Professional Documents
Culture Documents
PROSIDING
BOGOR
2006
2
PROSIDING
Penyunting:
Budi Arifin
Tuti Wukirsari
Steven Gunawan
Wulan Tri Wahyuni
Diterbitkan oleh
Departemen Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor
bekerja sama dengan
Himpunan Kimia Indonesia Cabang Jawa Barat dan Banten
dalam rangka
Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia 2006
Bogor, 12 September 2006
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku
dengan cara atau bentuk apapun tanpa seizin penerbit.
3
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga Prosiding
Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia 2006 ini akhirnya berhasil diterbitkan. Prosiding ini
merupakan kumpulan sambutan dan makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Kimia
Indonesia yang diselenggarakan tanggal 12 September 2006. Dalam seminar tersebut, Menteri
Perindustrian RI hadir sebagai pembicara kunci, dan sebanyak 6 orang pembicara utama yang berasal
dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan industri hadir memaparkan presentasinya.
Tujuan seminar ini ialah menghimpun para ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang kimia
dan bidang ilmu lain yang terkait dari berbagai lembaga pendidikan, penelitian, dan industri di Indonesia,
untuk bertukar informasi dan pengalaman tentang hasil-hasil penelitian mutakhir yang telah
dilaksanakan. Telah terhimpun sebanyak 32 makalah yang dipresentasikan secara oral dan 22 makalah
lainnya yang disajikan dalam bentuk poster.
Terima kasih kami kepada semua penulis yang telah menyumbangkan makalahnya untuk
dikompilasikan dalam prosiding ini. Terima kasih pula kepada seluruh dosen dan mahasiswa
Departemen Kimia FMIPA IPB yang telah terlibat dalam perencanaan dan penyelenggaraan seminar.
Terima kasih secara khusus bagi Tuti Wukirsari dan Riki Ariwanda yang telah bekerja keras merapikan
prosiding ini, baik dari segi naskah agar memenuhi kaidah penulisan ilmiah dan ejaan bahasa Indonesia
yang disempurnakan maupun dari segi tampilan format dan gambar-gambar yang ada agar seragam
dan tersaji dengan apik.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, kami mohon maaf atas segala kesalahan yang
disengaja ataupun tidak, selama penyuntingan naskah prosiding ini. Kami juga mohon maaf atas
keterlambatan dalam penerbitan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Oktober 2007
4
DAFTAR ISI
Daftar Isi
4. Peranan Kimia Komputasi dalam Desain Senyawa Baru dan Optimalisasi Proses Industri
Harno Dwi Pranowo – Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Gajah Mada 33
6. Kimia dalam Industri Berbasis Minyak Nabati. Kasus: Konversi Asam Lemak ke Aditif
Pelumasan Batas
Zainal Alim Mas’ud – Departemen Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor 44
2. Alkaloid Eritrina yang Bersifat Anthelmintik dari Biji Dadap Ayam (Erythrina variegata)
Tati Herlina, Unang Supratman, Anas Subarnas, Supriyatna Sutardjo, Hideo Hayashi 55
1
6. Keterkaitan Kadar Logam-logam Transisi dengan Variasi Warna Batu Merah (Studi
Eksploratif Pigmen Anorganik Alami dari Batu Merah di Desa Tajun, Kabupaten Buleleng,
Bali)
I Wayan Karyasa 73
10. Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada Hibrid Amino-Silika dari Abu Sekam Padi
Nuryono, L Dewi, MR Kurniasari, Narsito 90
11. Prakonsentrasi dan Analisis Kelumit Selektif Spesies Cr(VI) Berdasarkan Teknik Analisis
Injeksi Alir
Ni Luh Gede Ratna Juliasih, Muhammad Bachri Amran 101
12. Pemisahan Selektif Pr(III) dan Nd(III) dari Larutan Encer Menggunakan Resin Terimpregnasi
yang Mengandung Asam Di-2-etilheksilfosfat
Ibnu Khaldun, Buchari, Muhammad Bachri Amran, Amminuddin Sulaeman 108
14. Alumina-Asam Termodifikasi untuk Prakonsentrasi dan Analisis Kelumit Timbel Berbasis
Analisis Injeksi Alir
Muhammad Iqbal, Muhammad Bachri Amran 122
15. Prakonsentrasi dan Analisis Kelumit Selektif Ion Timbel Berbasis Analisis Injeksi Alir
Menggunakan Resin XAD Termodifikasi
Muhammad Bachri Amran 132
16. Isolasi dan Analisis Senyawa Antioksidan Spons Petrosia sp. dan Beberapa Soft Coral dari
Perairan Kepulauan Seribu
Ifah Munifah, Thamrin Wikanta, Hedi Indra Januar 140
2
18. Studi Pendahuluan: Penggunaan Berulang Larutan Natrium Hidroksida dalam Pembuatan
Kitosan
Ariyanti Suhita Dewi, Yusro Nuri Fawzya 154
19. The Effect of Cinnamon on Bacterial Growth, Protein Degradation, and Amino Acid and Fatty
Acid Contents of Milks at Storage
Tatik Khusniati, Yantyati Widyastuti 162
20. Pengaruh pH dan Konsentrasi Awal pada Proses Ozonisasi Limbah Pabrik Asam Tereftalat
Murni
Indar Kustiningsih, Yeyen Maryani, Devi Sri Grahayu, Qoriatun Hasanah 171
21. Pentadekanal, Senyawa Antimikrob Hasil Sekresi Kimia Pertahanan Rayap Tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae)
Farah Diba 177
22. Isolasi dan Identifikasi Steroid dari Tumbuhan Ciplukan (Physalis angulata)
Susilawati, Herdini, Lusia Wilza 183
23. In Vitro Antifungal Activity of Xanthorrhizol Isolates from Curcuma xanthorrhiza Roxb. Against
Pathogenic Candida, Opportunistic Filamentous Fungi and Malassezia
Yaya Rukayadi, Jae-Kwan Hwang 191
24. Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) sebagai Antikanker: Mekanisme Inhibisi Ekstrak
Etanol dan Ekstrak Air terhadap Aktivitas Enzim Tirosin Kinase (Abstrak)
Dyah Iswantini, Gustini Syahbirin, Yusuf Affandi 203
27. Analisis Spesies Boron dalam Cairan Floem Tanaman Jarak (Ricinus communis L.) dengan
Metode PNC PAGE-ICP MS
Noor Fitri, Björn Thiele, Klaus Günther, Buchari 223
28. Ekstraksi Xilan dari Tongkol Jagung untuk Medium Pertumbuhan Bacillus pumilus RXAIII-5
Penghasil-Xilanase
Nur Richana, Tun Tedja Irawadi, M Anwar Nur, Illah Sailah, Khaswar Syamsu, Yandra
Arkenan 229
29. Beberapa Senyawa Heterosiklik yang Berpotensi sebagai Inhibitor Korosi pada Baja Karbon
dalam Larutan NaCl 1%
Deana Wahyuningrum, Sadijah Ahmad, Yana Maolana Syah, Buchari, Bambang
Ariwahjoedi 237
3
30. Peningkatan Kandungan Unsur Hara Kalium dan pH Tanah Gambut Menggunakan Dregs
(Limbah Bagian Recauticizing Pabrik Pulp)
Roza Linda, Rini, Admin Alif, Teguh Budi Santoso, Akmal Mukhtar 246
31. Pemanfaatan Kertas Bekas sebagai Bahan Baku Alternatif Pembuatan Etanol
Agus Rochmat, Indar Kustiningsih, Dedik Dermady, Asih Suharsih 252
32. Sintesis dan Pencirian Surfaktan Berbasis-inyak Sawit dan Karbohidrat untuk Aditif Produk
Pangan dan Detergen
Komar Sutriah, Tun Tedja Irawadi, M Farid, M Khotib, Betty M. Soebrata, Henny 259
Purwaningsih
1. Senyawa Difenil Eter Terpolibrominasi dari Spons Microciona sp. dari Mentawai, Sumatera
Barat
Irmanida Batubara, Latifah K Darusman, Anggia Murni, Ekowaty Chasanah 271
3. Identifikasi Fraksi Daging Buah Picung (Pangium edule Reinw.) yang Aktif sebagai
Insektisida Botani terhadap Ulat Grayak (Spodoptera litura F. [Lepidoptera: Noctuidae])
Zulhan Arief, Elly Suradikusumah, Irmanida Batubara 288
4. Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Air Biji Jengkol (Pithecellobium jiringa [Jack] Prain ex King
[Leguminosae]) pada Tikus Putih
Irma R Kartika, Muktiningsih Nurjayadi, Fera Kurniadewi, Dwianantyo Setyadi 298
5. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Mahkota Dewa, Temu Putih, Sambiloto, dan Keladi Tikus
Secara In Vitro (Abstrak)
Dyah Iswantini, Dedy Irawan, Gustini Syahbirin 303
6. Kajian Teknik Ekstraksi dan Identifikasi DHA, Sterol, dan Kuinon dalam Minyak
Schizochytrium sp. Galur SR21
Tri Marwati 304
7. Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet untuk Analisis Kuantitatif Kuinin dalam Tablet Obat
M Rafi, E Suradikusumah, I Batubara, E Daryadi 311
8. Konversi Eugenol dari Minyak Daun Cengkeh Menjadi Isoeugenol dengan Pemanasan
Gelombang Mikro
Tatang Hidayat, Edy Mulyono 316
9. Daya Inhibisi Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto (Andrographis paniculata [Burm. F] Ness)
dan Temu Putih (Curcuma zedoaria Roscoe) terhadap Aktivitas Tirosin Kinase secara In Vitro
Gustini Syahbirin, Dyah Iswantini Pradono, Tri Rahayu 323
4
10. Perbandingan Metode Ekstraksi Daging Biji Picung (Pangium edule Reinw.) dan Uji
Toksisitas terhadap Artemia salina Leach.
Tuti Setiawati Sudjana, Eti Rohaeti, Filia Candra Yunita 330
11. Adsorption of Amine Species on Nano-Ball Allophane and Its Molecular Orbital Mechanism
(Abstract)
Zaenal Abidin, Naoto Matsue, Henmi Teruo 334
12. Pemanfaatan Zeolit Alam Cikalong sebagai Adsorben Kromium Limbah Cair Proses
Penyamakan Kulit
Eti Rohaeti, Muhammad Sri Saeni, Astiana Sastiono 335
14. Pengaruh Kapur terhadap Pelepasan Gas H2S dan Unsur Hara pada Manur Ayam Petelur
Charlena, Irma H Suparto, Aldi Eka Praja 348
15. Pengaruh Penambahan Kapur terhadap Pelepasan Gas NH3 pada Manur Ayam Petelur
Charlena, Irma H Suparto, M Farid Humaidi 361
16. Adsorpsi Karbon Aktif Termodifikasi-Zink Klorida terhadap Surfaktan Anionik pada Berbagai
pH
Tetty Kemala, Ahmad Sjachriza, Dyah Pratama Puspitasari 372
17. Kajian Tanaman Anting-anting (Acalypha indica L.) sebagai Penurun Glukosa Darah
(Abstrak)
Purwantiningsih Sugita, Latifah K Darusman, Abadi Soetisna, Nurlaila, Danang Widya
Wardhana 379
19. Pencirian Membran Selulosa dari Kulit Nanas Menggunakan SEM, FTIR, dan Nilai Fluks
Betty Marita Soebrata, Sri Mulijani, Tya Prawesti Diana Putri 387
20. Modifikasi Kulit Singkong sebagai Bioremoval Logam Pb(II) dan Cd(II)
Betty Marita Soebrata, Muhammad Sri Saeni, Indiah Ratna Dewi 398
21. Potensi Beberapa Pakan Ikan Laut Alami dalam Pengadaan Asam Lemak Esensial pada Ikan
Baronang (Siganus canaliculatus)
Anna Priangani Roswiem 407
22. Efek Androgenik dan Anabolik Madu pada Anak Ayam Jantan (Tidak ada naskah)
Anna Priangani Roswiem 413
5
SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA 2006
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur alhamdullillah kita panjatkan ke hadirat Allah Yang Mahaesa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia 2006 ini dapat berlangsung sesuai
dengan tempat dan waktu yang telah direncanakan. Seminar nasional ini dapat terselenggara atas kerja
sama Departemen Kimia FMIPA IPB dengan Himpunan Kimia Indonesia (HKI) Cabang Jawa Barat dan
Banten, sebagai salah satu acara dalam rangkaian peringatan Dies Natalis IPB ke-43 sekaligus sebagai
bagian dari Program Hibah Kompetensi A2 Departemen Kimia IPB. Adapun tema yang diangkat dalam
seminar nasional ini ialah Peranan Kimia Memacu Kemajuan Industri.
Pada kesempatan yang baik ini kami menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Menteri Perindustrian RI, Bapak Rektor IPB, para pembicara tamu, Ketua Departemen Kimia IPB,
Ketua HKI Cabang Jabar dan Banten, para donatur dan sponsor, serta seluruh peserta seminar dan
para undangan, atas segala partisipasi dan bantuannya. Rasa bangga dan terima kasih juga kami
haturkan kepada seluruh anggota panitia dan Himpunan Profesi Imasika yang telah bekerja keras dan
bahu-membahu demi suksesnya acara ini. Akhirnya kami ucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian
kegiatan seminar ini. Semoga bermanfaat.
Wassallamu’alaikum wr. wb.
Dr. Purwantiningsih S, MS
1
SAMBUTAN KETUA DEPARTEMEN KIMIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Yang terhormat Bapak Menteri Perindustrian RI, Bapak Rektor IPB, Bapak Ketua HKI Cabang Jabar
dan Banten, para pembicara tamu, serta undangan sekalian.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Ilahi karena atas perkenan-Nya kita
boleh bertemu dan berkumpul pada kegiatan Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia 2006 ini
dalam keadaan sehat walafiat.
Sehubungan dengan tema yang diangkat dalam seminar nasional ini, yaitu Peranan Kimia Memacu
Kemajuan Industri, sebagai Ketua Departemen Kimia, saya berharap tema ini bermanfaat bukan hanya
bagi kalangan dosen dan peneliti kimia, melainkan juga bagi masyarakat dan para pelaku industri.
Melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu kimia, bidang industri dapat mengeksplorasi
proses yang lebih efektif dan efisien dan menghasilkan produk baru yang bernilai jual tinggi, sehingga
dapat menciptakan lapangan kerja baru dan juga menarik minat investor, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan perekonomian Indonesia.
Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada panitia penyelenggara atas
segala usaha dan upaya yang telah dilakukan. Saya sangat berharap seminar ini tidak hanya
ditindaklanjuti dengan penelitian lanjutan, tetapi yang terpenting ialah untuk pengembangan industri
baik industri besar maupun usaha kecil dan menengah.
Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Menteri
Perindustrian RI yang berkenan hadir sebagai pembicara kunci, dan kepada Bapak Rektor, saya mohon
berkenan memberi sambutan dan secara resmi membuka acara Seminar Nasional HKI 2006.
Demikian sambutan saya, mudah-mudahan seminar nasional ini berjalan baik dan lancar. Selamat
mengikuti seminar nasional, semoga bermanfaat.
2
SAMBUTAN REKTOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PADA SEMINAR NASIONAL HIMPUNAN KIMIA INDONESIA
Selasa, 12 September 2006
Yang terhormat,
Menteri Perindustrian
Saudara sekalian peserta seminar yang berbahagia,
Salam sejahtera.
Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Penyayang, atas izin-Nya, sehingga kita semua dapat berkumpul untuk bersama-sama mengikuti
acara yang penting bagi kita semua, yaitu Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia, dengan tema
Peranan Kimia Memacu Kemajuan Industri. Pada hari ini juga akan dilakukan Pelantikan DPP
Himpunan Kimia Indonesia periode 2006–2009 dan Pemilihan Ketua Himpunan Kimia Indonesia
Cabang Jawa Barat dan Banten periode 2006–2009.
Mewakili sivitas akademika IPB, saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya
menjadikan IPB sebagai tuan rumah pada acara yang penting ini. Saya ucapkan selamat datang
kepada seluruh peserta seminar di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Pada bulan September 2006 ini IPB
sedang merayakan Dies Natalisnya yang ke-43. Dalam rangka Dies Natalis tersebut, selama satu bulan
penuh diselenggarkan berbagai macam kegiatan seperti seminar, ekspos hasil-hasil penelitian, orasi
guru besar, pesta sains, open house, berbagai aksi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, serta
kegiatan penunjang seperti pertandingan olah raga, lomba-lomba, dan atraksi kesenian. Seminar
Nasional Himpunan Kimia Indonesia yang diselenggarakan di IPB ini telah turut serta mengisi dan
memeriahkan kegiatan Dies Natalis IPB ke-43 tersebut.
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi sumber daya alam hayati dan non
hayati yang sangat besar dan beragam untuk digali serta dikembangkan ke arah pengembangan
produksi industri kimia. Seperti kita ketahui bahwa sumber daya alam Indonesia sangat kaya, baik
dalam jumlah maupun jenisnya, termasuk aneka ragam produk pertanian. Salah satu sumber daya
alam yang berpotensi besar untuk dikembangkan dan digali adalah laut. Indonesia dengan luas lautan
yang mencakup hampir 2/3 luas wilayahnya seharusnya bisa memanfaatkannya sebagai bahan baku
untuk kebutuhan industri kimia dasar.
Pengelolaan dan pemanfaatan produk tersebut sampai saat ini masih belum optimal, karena
masih dipasarkan dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya sangat rendah. Salah satu cara
yang andal dalam meningkatkan nilai tambah produk tersebut adalah mengembangkan industri kimia.
3
Sebagai contoh nilai tambah produk kelapa sawit di Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan
dengan di Malaysia. Melalui teknologi kimia sederhana sebenarnya CPO dapat dijadikan bahan baku
untuk menghasilkan turunan-turunannya yang dapat menghasilkan nilai tambah lebih tinggi.
Industri kimia dan farmasi adalah salah satu sektor yang diminati oleh investor. Dengan
cakupan yang sangat Iuas, industri ini diramalkan akan terus berkembang pesat di Indonesia pada
masa-masa mendatang. Sementara itu, industri kimia ini ke depan akan semakin kompleks
dibandingkan dengan sebelumnya, karena mencakup berbagai proses kimia yang lebih kompleks
dalam berbagai skala dan kombinasi serta diatur dengan undang-undang, termasuk masalah
keselamatan kerja. Persaingan global yang makin tinggi membuat konsumen menuntut kualitas produk
terbaik dengan harga yang terjangkau. Untuk itu, teknologi kimia yang feasible harus terus-menerus
dikembangkan agar produk-produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar internasional.
Untuk itu peran pemerintah, akademisi/perguruan tinggi, dan industri sangat penting dalam
meningkatkan peran kimia dalam menunjang industrialisasi di Indonesia. Ketiga pihak tersebut harus
bersinergi sesuai dengan perannya. IPB sebagai salah satu perguruan tinggi di Indonesia akan selalu
mendukung penuh berbagai upaya peningkatan peran kimia terutama melalui penyediaan SDM yang
berkualitas dan teknologi yang andal.
Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia yang diselenggarakan pada hari ini adalah salah
satu cara untuk meningkatkan peran tersebut. Seminar ini diharapkan dapat menjadi wahana untuk
berinteraksi, melakukan pertukaran informasi hasil penelitian antara ilmuwan dan stakeholder dalam
rangka pemberdayaan potensi kimiawi bahan hayati dan non hayati di Indonesia. Melalui fokus
penelitian dan pengembangan yang baik, berbagai masalah yang ada dapat diselesaikan dengan tuntas.
Untuk itu perlu kerja sama dengan berbagai pihak. Saya berharap agar seminar ini dapat memfasilitasi
tumbuhnya jejaring antara pemerintah, perguruan tinggi/akademisi, dan industri, serta stakeholder
lainnya baik di dalam maupun di luar negeri.
Mudah-mudahan Seminar Nasional ini dapat berjalan dengan sukses sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang diinginkan. Semoga Allah SWT merestui dan selalu menunjukkan jalan yang terbaik bagi
kita semua.
Rektor IPB
4
Menteri Perindustrian Republik Indonesia
SAMBUTAN KUNCI
MENTERI PERINDUSTRIAN RI
PADA SEMINAR NASIONAL HIMPUNAN KIMIA INDONESIA
DENGAN TEMA
PERANAN KIMIA MEMACU KEMAJUAN INDUSTRI
Bogor, 12 September 2006
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga hari ini kita dapat berkumpul bersama untuk menghadiri acara
Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia. Kegiatan ini bertujuan sebagai usaha bersama untuk
memberikan kontribusi dan pemikiran berharga bagi perkembangan industri nasional, khususnya dalam
peningkatan peranan kimia memacu kemajuan industri.
Dalam kesempatan ini saya sampaikan apresiasi kepada Himpunan Kimia Indonesia dan
Institut Pertanian Bogor serta semua pihak yang telah bekerja keras sehingga acara Seminar Nasional
Himpunan Kimia Indonesia 2006 ini dapat terselenggara dengan baik.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Ilmu kimia sangat berperan dalam kehidupan umat
manusia. Penerapan ilmu kimia secara nyata diwujudkan dengan adanya berbagai macam produk
yang dikembangkan oleh industri kimia. Dalam kehidupan sehari-hari, umat manusia tidak lepas dari
penggunaan produk kimia dengan volume yang sangat besar, mulai dari sandang, pangan, dan
papan tidak lepas dari proses kimia. Oleh karena itu, ilmu kimia mempunyai nilai ekonomi yang
sangat besar dan potensinya sangat strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Bahkan, kualitas,
kuantitas, dan nilai ekonomi penggunaan produk kimia dapat dijadikan sebagai tolok ukur
kemandirian suatu bangsa dalam percaturan dunia.
Ilmu kimia dapat dikategorikan sebagai ilmu yang dinamis dan berkembang menyesuaikan
perkembangan kualitas serta kuantitas kehidupan umat manusia. Peningkatan jumlah penduduk dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia mendorong perkembangan ilmu kimia nasional ke arah yang
mutakhir. Dalam hal ini, peneliti dan praktisi ilmu kimia nasional harus berperan sebagai ujung
tombak dari perkembangan ilmu kimia di Indonesia. Hal tersebut merupakan tantangan bagi peneliti
dan praktisi kimia nasional agar selalu berkarya dengan performa yang unggul. Peneliti atau praktisi
5
kimia harus mempunyai keterkaitan yang kuat dengan praktisi industri agar mempunyai keterpaduan
yang erat dalam pemanfaatan ilmu kimia di industri nasional.
Perkembangan industri khususnya kimia sangat bertumpu pada keberhasilan peneliti dan
praktisi kimia dalam mengembangkan ilmu dan produk kimia. Dengan kata lain, ilmu kimia adalah
landasan bagi konsep perancangan/conceptual design bagi industri kimia. Pola penelitian ilmu kimia
diupayakan dapat memenuhi kebutuhan peningkatan teknologi industri kimia nasional. Pola yang dapat
dikembangkan meliputi rekayasa inovasi produk, optimalisasi proses reaksi kimia, pengembangan alur
proses baru, akurasi analisis produk kimia, pemanfaatan limbah industri, serta integrasi teknologi
komputasi dan informasi dalam ilmu kimia. Tentunya, peningkatan kualitas penelitian ilmu kimia tidak
lepas dari keterkaitannya dengan ilmu alam Iainnya seperti ilmu fisika, matematika, bioteknologi, dan
teknologi informasi. Peneliti dan praktisi kimia diharapkan membuka wawasan terhadap perkembangan
ilmu-ilmu alam tersebut serta memadukannya dalam rangkaian keilmuan yang harmonis. Dengan
demikian, kehadiran terobosan ilmu kimia dapat memberikan solusi dalam perkembangan industri kimia
nasional khususnya yang berorientasi pasar komersial.
Hadirin sekalian,
Pemerintah berharap bahwa peneliti kimia nasional hendaknya melakukan penelitian yang
saling mendukung dan menguntungkan antara peneliti dan sektor industri nasional. Kriteria mendukung
dan menguntungkan berbeda-beda bergantung pada sisi stakeholder penelitian dan pengembangan
kimia nasional. Dilihat dari sisi peneliti, angka kredit dan finansial dapat dijadikan sebagai motivasi agar
terus berkarya dengan performa prima. Dari sisi industri, penelitian dan pengembangan kimia nasional
diharapkan dapat menemukan inovasi baru yang dapat menjawab perkembangan zaman. Sementara
dari sisi pemerintah, penelitian yang menguntungkan berarti mendongkrak taraf hidup masyarakat,
menggerakkan sektor perekonomian, dan memperluas penguasaan teknologi dan kualitas SDM.
Penelitian dan pengembangan ilmu kimia dharapkan dapat menghasilkan produk dan
teknologi unggul yang dapat diterapkan di industri nasional. Kriteria unggul berarti mengandung
terobosan baru sekaligus bernilai ekonomi tinggi dan bermanfaat bagi kemajuan masyarakat. Dengan
demikian, investor dapat tertarik untuk membeli lisensi teknologi dan mengembangkannya melalui
investasi di bidang tersebut. Dengan masuknya investasi industri berbasis pengetahuan (knowledge-
based industry), maka sektor penelitian dan pengembangan produk dan teknologi bidang ilmu kimia
menjadi garda terdepan dalam perindustrian nasional. Selain itu, upaya ini dapat mengurangi
kebergantungan nasional pada lisensi produk dan teknologi dari Iuar negeri.
Dalam melahirkan inovasi dan terobosan baru dalam industri nasional, peneliti kimia harus
selalu melihat perkembangan industri dan hendaknya disesuaikan dengan skala prioritas yang
sedang dibutuhkan oleh industri nasional. Penentuan skala prioritas ini bertujuan sebagai pengaturan
agar hasil penelitian dapat Iangsung diterapkan untuk menjawab kebutuhan aktual sektor industri.
Pemerintah bertugas sebagai fasilitator dalam penentuan skala prioritas penelitian bekerja sama
dengan pihak-pihak terkait. Dalam menentukan skala prioritas tersebut, pemerintah menggunakan
dasar kebijakan pengembangan industri nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengembangan industri nasional dengan
pendekatan klaster. Pengertian klaster adalah sebagai aglomerasi industri inti, pendukung, dan
penyedia Iayanan secara terintegrasi di lingkungan kawasan tertentu. Pemerintah telah menetapkan
7 fokus klaster yang akan dikembangkan di bidang industri agro dan kimia. Fokus tersebut adalah
industri makanan dan minuman, hasil taut, kelapa sawit, kayu, karet, pulp dan kertas, petrokimia, dan
pengolahan bahan galian non logam. Kontribusi aktif peneliti dan praktisi kimia nasional dalam
pengembangan fokus klaster tersebut sangat dinantikan oleh pemerintah sebagai fasilitator klaster
dan sektor swasta sebagai pelaku usaha.
6
Hadirin yang saya hormati,
Pertemuan yang membahas tentang peranan kimia dalam memacu industri nasional seperti
ini sangat penting dalam menunjang industrialiasi Indonesia, khususnya industri kimia. Pokok pikiran
dan bahasan yang akan dikaji dalam pertemuan ini hendaknya disesuaikan dengan perkembangan
terkini dan isu aktual yang berkembang, terutama di bidang produk kimia yang akhir-akhir ini
mengemuka. Sebagai contoh saat ini pemerintah gencar menggalakkan pemakaian energi alternatif
pengganti BBM (biofuel) seperti biodiesel, bioetanol, biooil, dan biomassa. Praktisi kimia hendaknya
memandang ini sebagai peluang berkontribusi melalui penelitian yang inovatif dan menguntungkan.
Bidang yang dapat dikaji mendalam meliputi sistem produksi biofuel, pemanfaatan Iimbah industri
biofuel, hingga peningkatan keekonomian biofuel melalui inovasi pengembangan produk samping
biofuel seperti gliserol. Analog dengan bidang biofuel, tidak menutup kemungkinan pengembangan
bidang industri kimia lainnya seperti industri berbasis CPO, karet, dan kakao. Sektor industri tersebut
menunggu langkah nyata dari peneliti dan praktisi kimia nasional untuk berkontribusi melalui
penelitian ilmu kimia yang inovatif dan menguntungkan.
Pemerintah menyambut balk usaha-usaha yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam memacu
industri nasional melalui penelitian di bidang ilmu kimia. Dalam hal itu, pemerintah mengharapkan
agar selalu menempatkan segi teknologi, ekonomi, dan lingkungan dalam menentukan langkah
penelitian ilmu kimia. Pertemuan ini diharapkan dapat menghasilkan sinergi yang menguntungkan,
khususnya bagi peneliti dan praktisi kimia dan praktisi industri kimia nasional. Selain itu, pemerintah
mengharapkan pertemuan ini dapat digunakan sebagai momen untuk membuka saluran komunikasi
antara peneliti, praktisi kimia, praktisi industri kimia, pihak perguruan tinggi, pihak pemerintah maupun
swasta yang selama ini dirasakan belum berjalan secara optimal. Pertemuan ini diharapkan juga
memberikan kesadaran akan pematenan hasil penelitian dan pengembangan kimia agar tidak terjadi
penjiplakan bahkan pengakuan hasil penelitian oleh pihak-pihak yang tidak seharusnya mematenkan
hasil penelitian. Bagaimanapun juga, kesadaran atas Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) harus
ditanamkan dengan balk oleh para peneliti dan praktisi kimia nasional.
Dalam kesempatan ini saya mengharapkan kepada seluruh peserta seminar untuk
memberikan dukungan yang penuh dan sumbang saran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu
kimia dalam memacu kemajuan industri nasional. Manfaatkanlah acara Seminar Himpunan Kimia
Indonesia ini sebagai ajang berkumpul, berdiskusi, dan mengkaji bersama tentang terobosan inovasi
dan teknologi kimia nasional. Pada kesempatan ini pula, saya mengharapkan agar seminar ini
berjalan dengan lancar dan menghasilkan berbagai pemikiran serta langkah-langkah nyata dalam
memacu kemajuan industri kimia nasional.
Akhirnya dengan mengucapkan "Bismillahirrohmanirrohim" acara Seminar Himpunan Kimia
Indonesia ini, resmi saya buka dan selamat berseminar
MENTERI PERINDUSTRIAN
FAHMI IDRIS
7
PENGKAJIAN TEKNOLOGI PROSES DALAM LINGKUP
AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN
DAYA SAING INDUSTRI INDONESIA
Wahono Sumaryono
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi
PENDAHULUAN
Indonesia dikaruniai kondisi geografis dan sumber daya alam yang sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi aneka jenis industri, mulai dari industri yang bersifat ekstraktif, pengolahan,
manufaktur, sampai dengan industri jasa. Untuk pengembangan industri, mutu sumber daya manusia
dan penguasaan teknologi serta modal kerja merupakan peubah determinan.
Indonesia memiliki luas daratan lebih dari 1.9 juta km2 dan sekitar 70%-nya dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Indonesia juga memiliki lautan teritorial seluas
2.8 juta km2, dengan 8.36 juta ha di antaranya sangat potensial untuk budi daya perikanan laut. Selain
itu, perairan darat seluas 14 juta ha juga potensial untuk budi daya perikanan air tawar dan payau. Oleh
karena itu, pengembangan kawasan berbasis agroindustri merupakan pilihan yang tepat bagi Indonesia
karena lebih dari separuh penduduknya tinggal di pedesaan.
Dengan jumlah pengangguran yang relatif tinggi dan iklim investasi asing yang belum kondusif,
pengembangan agroindustri dan penerapan bioteknologi untuk pertanian akan memberikan solusi bagi
peningkatan nilai tambah produk-produk agro. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja maupun kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Dampak
positif juga akan terjadi pada peningkatan produk domestik bruto (PDB) tingkat nasional.
Dalam rangka peningkatan daya saing industri, segi peningkatan produktivitas perlu
diperhatikan. Hal-hal yang bersifat spesifik daerah terkait dengan produk-produk agro, dukungan
pemerintah melalui kebijakan industri, dan perdagangan yang efektif juga perlu diperhatikan.
KONDISI AKTUAL
Pembangunan pertanian dalam arti luas dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran
penciptaan lapangan kerja terutama di pedesaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada tahun 2004, sektor pertanian, mencakup tanaman bahan makanan, peternakan, hortikultura,
perkebunan, perikanan, dan kehutanan, menyerap 44.04% tenaga kerja dari total angkatan kerja dan
memberikan kontribusi sebesar 15.23% dari PDB nasional. Sektor pertanian juga berperan besar dalam
penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka memenuhi hak atas pangan.
Tingkat kesejahteraan, antara lain tercermin dari nilai tukar petani/nelayan, termasuk
masyarakat yang tinggal di sekitar dan bergantung pada hutan, menunjukkan bahwa pada tahun 2003
di sebagian besar wilayah, nilai tukar petani/nelayan masih di bawah nilai tukar tahun 1983. Artinya,
meskipun kontribusi sektor pertanian secara keseluruhan sangat besar terhadap perekonomian
nasional, kesejahteraan petani dan nelayan tidak mengalami perubahan. Selanjutnya, sekitar 70−80%
kelompok masyarakat ini termasuk golongan miskin dengan usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan
yang masih bersifat tradisional dan subsisten. Minimnya akses terhadap informasi, sumber permodalan,
8
dan penguasaan pasar menyebabkan masyarakat petani/nelayan dan masyarakat pesisir tidak dapat
mengembangkan usahanya secara layak.
Lahan pengusahaan petani semakin sempit sehingga pendapatan yang diperoleh tidak
mencukupi kebutuhan dan kurang mendorong upaya peningkatan produksi. Berdasarkan hasil Sensus
Pertanian, jumlah petani dalam kurun waktu 1983−2003 meningkat, tetapi jumlah lahan pertanian justru
menurun. Akibatnya, rata-rata pemilikan lahan per petani menyempit dari 1.30 menjadi 0.70 ha. Dengan
luasan lahan usaha tani seperti ini, meskipun produktivitas per luas lahan tinggi, tidak dapat
memberikan pendapatan yang cukup bagi petani untuk menghidupi rumah tangga dan mengembang-
kan usaha mereka. Hal ini merupakan tantangan besar dalam rangka mengamankan produksi
padi/beras dalam negeri untuk mendukung ketahanan pangan nasional pada khususnya dan
peningkatan daya saing, serta komoditas pertanian pada umumnya.
Akses petani dan nelayan ke sumber daya produktif, permodalan, dan layanan usaha masih
sangat terbatas. Dukungan kredit untuk usaha pertanian dalam mendukung kebutuhan modal petani
dan nelayan masih terbatas. Keterbatasan modal kurang mendorong petani dan nelayan untuk
menerapkan teknologi tepat guna dalam meningkatkan produktivitas, membatasi peningkatan nilai
tambah, dan berakibat pada kebergantungan terhadap penyedia modal informal (pengijon). Akses
terbatas petani dan nelayan terhadap prasarana dan sarana transportasi juga menghambat pemasaran
produk pertanian dan perikanan sehingga menekan harga produk.
Masih rendahnya sistem alih teknologi dan diseminasi teknologi pengolahan produk pertanian
dan perikanan berakibat pada rendahnya produktivitas serta nilai tambah produk pertanian dan
perikanan. Dalam sepuluh tahun terakhir, subsektor perkebunan, peternakan, dan perikanan masing-
masing tumbuh sekitar 4.9, 3.6, dan 5.8% per tahun. Namun demikian, nilai tambah komoditas ini masih
rendah karena pada umumnya dipasarkan dalam bentuk segar (produk primer) dan olahan sederhana.
Kondisi ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar negeri, baik yang masuk
melalui jalur legal maupun ilegal. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah menjadi importir neto
untuk komoditas tanaman bahan makanan, hasil ternak dan pakan ternak, beras, jagung, dan gula.
Suatu ilustrasi tentang aneka jenis industri dan kontribusinya terhadap PDB tahun 2004 serta
gambaran distribusi tenaga kerja per sektor untuk tahun 2005 digambarkan secara berurutan pada
Tabel 1 dan 2.
9
Tabel 2 Komposisi penduduk dengan umur di atas 15 tahun yang bekerja menurut sektor (tahun 2005)
Jumlah Tenaga Kerja
No Main Industry
(orang) (%)
1 Agriculture, Forestry, Hunting, and Fishery 41,814,197 44.04
2 Mining and Quarrying 808,842 0.85
3 Manufacturing Industry 11,652,406 12.27
4 Electricity, Gas, and Water 186,801 0.20
5 Construction 4,417,087 4.65
6 Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurants, and Hotels 18,896,902 19.90
7 Transportation, Storage, and Communications 5,552,525 5.85
8 Financing, Insurance, Real Estate, and Business Services 1,042,786 1.10
9 Community, Social, and Personal Services 10,576,572 11.14
Total 94,948,118 100.00
10
DAYA SAING-PRODUKTIVITAS-KOMPETISI INDUSTRI
Dalam perspektif tingkatan yang berbeda (mikro, meso, makro), istilah daya saing
(competitiveness) memiliki pengertian yang berbeda walaupun saling berkaitan satu dengan lainnya.
Pada tingkat mikro (perusahaan), daya saing diartikan sebagai kemampuan untuk mengatasi perubah-
an dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mempertahankan keuntungan (profitability), pangsa
pasar, dan/atau ukuran bisnisnya (skala usahanya). Tingkatan meso (industri) mendefinisikan daya
saing sebagai kemampuan suatu industri (agregasi perusahaan dan keterkaitan di antaranya) untuk
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan industri pesaingnya. Sementara itu,
pengertian daya saing pada tingkat makro ialah daya tarik (attractiveness) atau kemampuan
membentuk (menawarkan) lingkungan paling produktif bagi bisnis (termasuk menarik talenta/talented
people), investasi dan mobile factors lain, serta determinan lain dan kinerja unggul yang berkelanjutan.
Unsur-unsur Produktivitas
Kemampuan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi merupakan salah satu prasyarat bagi
peningkatan daya saing di tingkat mikro maupun meso. Untuk mencapai produktivitas tersebut, unsur-
unsur yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
Biaya (cost):
a. Tenaga kerja langsung (direct labor)
b. Overhead
c. Material dan energi
d. Penjualan dan distribusi
e. Biaya modal (cost of capital)
Nilai (value):
a. Desain
b. Mutu
c. Pelayanan
d. Kompetensi (competence)
e. Citra (image)
Waktu (time):
a. Ketanggapan (responsiveness)
b. Inovasi
c. Keandalan (reliability)
d. Teknologi
Kemampuan industri untuk mencapai dan mempertahankan daya saing pada sisi internal
dipengaruhi oleh tekanan pada biaya investasi dan biaya produksi, regulasi, tuntutan dari pemangku
kepentingan (stakeholders) untuk memperoleh keuntungan secara cepat, serta tingginya biaya dan
risiko untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan. Dari sisi eksternal, kemampuan sangat
dipengaruhi oleh pasar dan persaingan yang terus berubah, cepatnya perubahan teknologi,
11
kompleksitas teknologi dan/atau produk, serta tekanan globalisasi. Diagram pada Gambar 1
menunjukkan gambaran komprehensif mengenai segi-segi yang memengaruhi kemampuan suatu
industri untuk mencapai dan mempertahankan daya saingnya.
Marcel Proust
“The real voyage of DISCOVERY consist not in seeking new lands, but in seeing with new eyes Æ
VISION Æ MISION Æ STRATEGY“
Sejarah menunjukkan bahwa kemampuan daya saing suatu bangsa lebih banyak ditentukan
oleh kemampuan menghasilkan produk yang sarat dengan pengetahuan/teknologi (knowledge/tech-
nology intensive) dibandingkan dengan yang mengandalkan sumber daya alam (resource base).
Meskipun demikian, daya saing juga dapat dicapai dengan mengedepankan keunikan yang erat
kaitannya dengan konteks “daerah” (lokalitas). Daya saing global semakin ditentukan oleh faktor-faktor
lokalitas, dan agenda peningkatan daya saing perlu beriringan dengan upaya penguatan kohesi sosial
masyarakat yang semakin maju. Perspektif hubungan antara konteks daerah dan jangkauan global
ditunjukkan pada Gambar 2.
12
Internasional
Regional
Nasional
Daerah/
Lokal
Dalam membangun daya saing agroindustri, beberapa segi kelembagaan dan komunikasi
potensi daerah merupakan faktor sangat penting berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
1. Pergeseran pola pemerintahan: desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan dalam
kerangka otonomi daerah (UU No. 32 tahun 2004);
2. Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, menstimulasi, dan memfasilitasi
pengembangan iptek sebagai unsur peningkatan daya saing;
3. Perlunya memberikan perhatian terhadap konteks spesifik daerah sebagai unsur peningkatan daya
saing;
4. Koordinasi dengan mitra kerja atau institusi terkait untuk peningkatan kinerja inovasi dan daya saing.
Kerjasama ABG
Untuk mengembangkan kemampuan daya saing, sinergi potensi dari produk masing-masing
lembaga perlu digalang. Berdasarkan hal tersebut, konsep kerjasama ABG (Academia,
Pengusaha/Business, Pemerintah/Government) perlu ditumbuhkembangkan (Gambar 3). Melalui
sinergi “ABG”, keterbatasan sumber daya yang ada (SDM, dana, sarana-prasarana) serta iklim
pengembangan industri yang kondusif (kebijakan-kebijakan terkait) dapat dicarikan solusinya.
13
Trilateral Network dan
Organisasi Hibrid
Academia
(A)
Business Government
(B) (G)
Aneka produk pertanian yang relevan sebagai bahan baku dapat dikembangkan sekurang-
kurangnya ke arah 4 kelompok industri, yaitu industri pangan, bioenergi, kesehatan (obat-obatan herbal
dan produk bioteknologi), serta bahan baku industri lainnya.
Beberapa contoh teknologi proses untuk keempat jenis industri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Industri pangan.
Teknologi proses pengembangan pati-patian menjadi tepung, gula-gula monomer (fruktosa, glukosa,
dsb.), asam sitrat, dan asam laktat.
2. Industri bioenergi.
Teknologi proses produksi etanol, pure plant oil, dan biodiesel.
3. Industri kesehatan.
a. Teknologi pengembangan obat-obat herbal.
b. Teknologi proses bioteknologi untuk produk obat-obatan dan bahan baku industri.
4. Aneka bahan baku industri lainnya yang bernilai ekonomi tinggi.
a. Teknologi produksi enzim.
b. Teknologi produksi poli(laktat).
Uraian singkat teknologi proses secara skematis dari berbagai jenis industri di atas akan disampaikan
sebagai berikut:
14
15
16
17
18
19
20
21
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Alcohol, Citric Acid, and HFS Technology. Jerman: Vogelbusch Leaflet.
Anonim. 2005. Hasil Penelitian dan Pengembangan Unit-unit Kerja di Deputi Bidang Teknologi
Agroindustri dan Bioteknologi (laporan teknis, tidak dipublikasikan).
Anonim. 2006. Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Biooil, Biodiesel, Bioetanol) di BPPT
(laporan teknis, tidak dipublikasikan).
Badan Pusat Statistik (website: www.bps.go.id).
Bappenas. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Republik Indonesia 2005-2009.
Departemen Kelautan dan Perikanan (website: www.dkp.go.id).
Departemen Perindustrian dan Perdagangan (website: www.dprin.go.id).
Departemen Pertanian (website: www.deptan.go.id).
Food and Agricultural Organization (website: www.fao.org).
Stace D, Dunphy, D. 1994. Beyond the Boundaries, Leading and Re-Creating the Succesful Enterprise.
Sydney: McGraw Hill.
Taufiq, Tatang A. 2003. Pemetarencanaan (Roadmapping): Konsep, Metode, dan Implikasi Kebijakan.
Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
22
2010 CHALLENGES FOR CHEMICAL SOCIETY IN INDONESIA
M. Saleh
ICS/HKI Chairman
People nowadays are increasingly concerned about how our environment is changing over the time as a
result of man’s activities in exploiting earth. People reckon growing concern on social issues globally.
The gap between those who have and who do not have is widening, plus how now epidemic in one
country would become a global concern as a result of people travel and migration. We still see evidence
of starvation e.g. in Africa and developing countries, while natural disasters and terrorism are also
haunting people’s life and fears. People are also becoming aware of what goes into products and very
selective upon it.
The bottom line is, we see increasing concern on how the earth would evolve to in the future with all
those changes and significantly less and less energy and good quality water on earth.
This is why at the same time frustration is also escalating because of the inability of global leaders to
handle the case collaboratively.
Business in 2010
With people mobility and connectivity, we can see corporation has started to work as a global
community than before, as evidenced from many corporate restructuring, merger, and acquisition.
At the same time, spread of technology capability around the world is also happening, where basically
external orientation is necessary to watch out the trend and to survive the business.
Innovation remains a key to thrive the business, where fast track new technology acquisition will be
essential in order to be ahead in competition. However, what make one corporation excels relies on how
they come up with their implementation strategy as well as disruptive business models.
We still need to establish strong local industries, which do not only support our national development,
but also environmentally responsible to our planet, yet profitable and competitive in regional and global
battle. We need to re-ignite our local innovation as part of our competitiveness, generating better link
and synergy to industries as the end user, which is challenging in order to make it sustainable.
At the very core, we also need to have a clear direction from our national research strategy facing 2010,
which is aligned and supported by our national chemical education policy.
People is power -- It is very obvious that chemical profession readiness facing 2010 will be a crucial
element to prepare for. Capability is just one thing which any standard education can provide, but being
passionate, open minded with full of integrity, are other important elements which need to be injected
into our educational curriculum. These kinds of quality people will hopefully also bring benefit for
majority of Indonesian people as a whole.
23
Contribution of ICS/HKI
We have established our new framework to mobilize potencial of chemical professions in Indonesia, in
relation to Industry, Academia & Innovation, Solution for Health-Safety-Environment. How we can
maximize our potencial and contribution in those three areas would be very challenging, given it has
never been easy to really consolidate intellectual power which is spreading all over the nation.
Hopefully with a newly formed ICS/HKI’s central committee, who have been working under 7 key
agenda, in three years we can shape up the organization better and better.
We are consolidating… but indeed we welcome you to join and to participate in this chemical
professional’s media, to together be part of the nation’s effort and strengthen our social and national
economy.
24
CHALLENGES AND OPPORTUNITIES IN APPLYING
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
FOR INDUSTRIAL ORAL CARE PRODUCTS
Jae-Kwan Hwang1*, Yaya Rukayadi1,2
1Department of Biotechnology, Yonsei University
2Biopharmaca Research Center, Bogor Agricultural University
ABSTRACT
Curcuma xanthorrhiza Roxb., commonly known as temulawak or java turmeric, is an indigenous
plant from Java, Bali, and Mollucas, Indonesia. It has been used by Indonesian ancestors for food,
medicinal purposes, and as a tonic. C. xanthorrhiza has been traditionally used to treat stomach
diseases, liver disorders, constipation, bloody diarrhea, dysentery, children’s fevers, haemorrhoid, and
skin eruptions. Recently, it has been reported that temulawak confers various biological activities such
as antitumor, hypotriglyceridaemic, anti-inflammatory, hepatoprotective, and antibacterial. In our
research, we found that xanthorrhizol (1,3,5,10-bisabolatetraen-3-ol), isolated from the rhizome of C.
xanthorrhiza, possessed remarkable anticariogenic activity against oral pathogens. Xanthorrhizol
exhibited the highest antibacterial activity against Streptococcus species causing dental caries and also
demonstrated antibacterial potential against Actinomyces viscosus and Porphyromonas gingivalis which
are responsible for periodontitis. Xanthorrhizol killed completely Streptococcus mutans in a minute. This
bactericidal activity is of practical significance, since applications of xanthorrhizol in mouthwash or
toothpaste should be effective within a few minutes. Xanthorrhizol also showed a promising activity as
an antibacterial agent for inhibiting and removing S. mutans biofilms. Clinical test analysis showed that
xanthorrizol was active in vivo and was not toxic to the host cells. In Korea, temulawak oil has been
developed and marketed as xanthorrhizol-containing toothpaste. Thus, there are some challenges and
opportunities in applying temulawak for industrial oral care products.
INTRODUCTION
* Correspondence author:
Jae-Kwan Hwang, Department of Biotechnology, Yonsei University, 134 Shinchon-dong, Seodaemun-gu, Seoul 120-
749, South Korea. Tel: +82-2-2123-5881, Fax: 82-2-362-7265. E-mail: jkhwang@yonsei.ac.kr
25
and teak forest, mainly on moist, fertile, humus-rich soils, up to 750 m altitude (Wardini & Prakoso
1999).
C. xanthorrhiza has been traditionally used in Indonesia for food and medicinal purposes (Lin et
al. 1995). For food, temulawak produces starch and a yellow dye. Young stem and rhizome parts are
eaten as a vegetable, either raw or cooked. The inflourescences are eaten cooked. In Java, a soft drink
called ‘bir temulawak’ is prepared by cooking dried pieces of the rhizome. For medicinal purposes,
rhizomes of temulawak are used to treat various abdominal complaints and liver disorders (jaundice,
gall-stones, promoting the flow of bile). A decoction of the rhizome is also used as a remedy for fever
and constipation, and is taken by women as a galactagogue and to lessen uterine inflammation after
giving birth. Others applications are against bloody diarrhea, dysentery, inflammation of the rectum,
haemorrhoids, stomach disorders caused by cold, infected wounds, skin eruptions, acne vulgaris,
ecxema, smallpox, and anorexia. In Indonesia, rhizome is used as an important ingredient into many
“jamus” (Wardini & Prakoso 1999). Modern researches done by various overseas researchers found
that temulawak has the following effects: antihepatotoxic, antioxidant, antitumor, anti-inflammation, etc.
PYTHOCHEMISTRY OF TEMULAWAK
The fresh rhizomes of C. xanthorrhiza Roxb. contain terpenoids, one monoterpenoid, and
curcuminoids. There are 9 sesquiterpenoids (α-curcumene, arturmerone, xanthorrhizol, germacrone, β-
curcumene, β-sesquiphellandrene, curzerenone, α-turmerone, and β-turmerone) and 3 curcuminoids
(curcumin, mono-demethoxycurcumin, and bis-demethoxycurcumin) (Uehara et al. 1992). Dried
rhizomes of C. xanthorrhiza Roxb. contain on average 3.8% of essential oil, with ar-curcumene,
xanthorrhizol, α-, β-curcumene, and germacrene as major constituents. Cyclo-isopren-emyrcene and p-
tolylmethylcarbinol, which are often mentioned as essential oil constituents in older literature, are
artifacts which originated from distillation and fractionation of oils at higher temperatures. The phenolic
sesquiterpene xanthorrhizol is species specific: its presence can thus be used to distinguish C.
xanthorrhiza Roxb. from e.g. Curcuma longa. Three nonphenolic diarylheptanoids isolated from C.
xanthorrhiza Roxb. have been identified as trans, trans-1,7-diphenyl-2,3-heptadien-4-one (alnustone),
trans-1,7-diphenyl-1,3-hepten-5-ol, and trans, trans-1,7-diphenyl-1,3-heptadien-5-ol (Wardini & Prakoso
1999).
Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid (Figure 1), can be isolated as a pure form from ethyl
acetate fraction of the methanol extract of C. xanthorrhiza Roxb., according to the method of Hwang et
al. (2000b). Briefly, the rhizomes (100 g) were ground and extracted with 400 ml methanol 75% (v/v),
and further fractionations were carried out consecutively with ethyl acetate (4.8 g), n-butanol (1.7 g), and
water (1.1 g). Xanthorrhizol (0.2 g) was isolated from the ethyl acetate fraction by using a silica gel
column chromatography (Merck; 70−230 mesh; 5 × 43 cm; n-hexane/ethyl acetate, 10:1). Xanthorrhizol
was identified by direct comparison of the 1H-nuclear magnetic resonance (NMR), 13C-NMR, and
electron ionization (EI)-mass spectral results with the published data (Itokawa et al. 1985). The specific
rotation of xanthorrhizol was determined as [α]D20 : −50.2o (c = 0.65, CHCl3).
Our study has led to the isolation of xanthorrhizol, and the compound had a powerful activity
against oral pathogens and Streptococcus mutans biofilms (Hwang et al. 2000a,b; Rukayadi & Hwang
2006a,b). Other results related to xanthorrhizol have been published by our group and showed an
anticandidal activity of this compound (Rukayadi et al. 2006), a suppressive effect of natural
26
sesquiterpenoids on inducible cyclooxygenase (COX-2) and nitric oxide synthase (iNOS) activities in
mouse macrophage cells (Lee et al. 2002), an effect of cisplatin-induced hepatotoxicity abrogation on
the regulation of gene transcription in mice (Kim et al. 2004), a potential to attenuate the high dose
cisplatin-induced nephrotoxicity in mice (Kim et al. 2005a), a natural sesquiterpenoid and an anti-
metastatic potential in experimental mouse lung metastasis model (Choi et al. 2005). Our findings
demonstrated that xanthorrhizol is a compound with multibioactive functions. In the future, a single drug
for variously therapeutic will be very important in order to reduce drug-drug interactions.
14
4
OH
5
3
6 2
12
1
7 9 11
15 8 10 13
MIC of xanthorrhizol against S. mutans, which is known to be a major causative organism for
dental plaque and can also be a source of infective endocarditis (Banas 2004), was determined to be 2
µg/ml, which was much lower than other natural anticariogenic agents such as 16 µg/ml of sangunarine,
125 µg/ml of tea polyphenol, 125 µg/ml of carvacrol, 250 µg/ml of isoeugenol, 500 µg/ml of eucalyptol,
and 500 µg/ml of thymol. Figure 2 shows that 5 µg/ml treatment of xanthorrhizol killed completely S.
mutans in a minute. This bactericidal activity is of practical significance, since applications of
xanthorrhizol in mouthwash or toothpaste should be effective within a few minutes. These results
suggested that xanthorrhizol could be employed as a potential anticariogenic agent.
27
6
5
4
logCFU/ml
3
2
1
0
0 1 2 3 4
Treatment time (min)
Figure 2 Bactericidal activity of xanthorrhizol against S. mutans (-♦-: control; -■-: 1 µg/ml; -▲-: 3
µg/ml; -×-: 5 µg/ml).
S. mutans and other oral streptococci are colonizers of the surface of the tooth, where, together
with many other bacterial species, they build a biofilm also known as dental plaque. Plaque
development commences with the adhesion of microorganisms to acquired salivary pellicles on the
enamel’s surface. Therefore, inhibition of pathogenic bacterial adherence can yield benefits in
controlling caries and periodontal disease (Liljemark & Bloomquist 1996). Sharma et al. (2005) reported
that prevention of microbial adhesion and detachment of adhering microorganisms from the surface of
the tooth is important. Moreover, microbial adhesion in the oral cavity occurs under highly unfavorable
conditions, and flow of saliva and movement of the tongue, lips, and cheeks, for instance, cannot
prevent adhesion. This indicates that the forces involved in microbial adhesion to the surface of the
tooth are quite strong. Hence, interest has increased in studying prevention of microbial adhesion and
reducing plaque development.
A widely adopted approach to reduce and remove plaque development is the topical application
of bactericides, e.g. triclosan, chlorhexidine, and cetylpyridinium chloride, by inhibiting the plaque
development and lowering the number of microorganisms in saliva (Eley 1999). In general, they are
nonselective in their efficacy, and their frequent use can potentially lead to a change in the oral
microbiota and the occurrence of resistant strains (McMurry et al. 1998). An alternative approach for
controlling plaque formation is to select molecules that can block or reduce bacterial adherence. Coating
of the substratum surfaces by biomaterial is highly effective in the prevention of bacterial adhesion
(Roosjen et al. 2004). Vaccines against major cariogenic oral bacteria and chemical agents for coating
the tooth surface or interfering with bacterial binding, have been investigated (Wade et al. 1994;
Hajshengallis & Michalek 1999; Kato et al. 1999). In principle, the vaccine approach is more efficient,
but its limitations are high in cost. Chemical agents can offer an alternative means of reducing plaque
formation. However, these chemicals possess many adverse effects such as microorganisms building
tolerance, vomiting, diarrhea, and teeth staining (Chen et al. 1989). We have evaluated the effect of
coating the wells of a polystyrene plate with xanthorrhizol on S. mutans biofilm formation. Coating with
xanthorrhizol resulted in significant (up to 60%) reduction of adherent cells compared to that of cells in
uncoated wells, and similar result was found in the chlorhexidin-coated wells (Figure 3).
28
1.2
0.6
0.4
02
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26
Incubation time (h)
We determined the effect of xanthorrhizol on the S. mutans biofilms in vitro. The biofilms of S.
mutans at different phases of growth were exposed to xanthorrhizol at different concentrations (5, 10,
and 50 µmol/ml) and for different time exposures (1, 10, 30, and 60 min). The results demonstrated that
the activity of xanthorrhizol in removing S. mutans biofilm depended on the concentration, exposure
time, and growth phase of biofilm (Table 2). A concentration of 5 µmol/ml of xanthorrhizol completely
inhibited biofilm formation by S. mutans at adherent phases of growth, whereas 50 µmol/ml of
xanthorrhizol removed 76% of biofilm at plateau accumulated phase when exposed to S. mutans biofilm
for 60 min (Table 2).
Table 2 The effect of xanthorrhizol at different concentrations and exposure time on biofilms of S.
mutans at different phases of growth (Rukayadi & Hwang 2006a)
29
CLINICAL TEST OF XANTHORRHIZOL
Some clinical tests of oral hygiene products containing C. xanthorrhiza Roxb. extract (Cx) have
been determined and published. Gingivalis suppression effect of the de novo dentifrice containing C.
xanthorrhiza Roxb., bamboo salt, and various additives was investigated (Hwang et al. 2005). The
results showed that the dentifrice containing bamboo salt, C. xanthorrhiza Roxb., ursodeoxycholic acid,
and various additives could be a useful dentifrice in reducing gingivalis. Other test was a highly selective
antibacterial effect of Cx extract against oral pathogens and clinical effectiveness of a dentifrice
containing Cx in controlling bad breath (Kim et al. 2005b). The summary of this test showed that Cx with
its highly selective antibacterial activity appeared to be an attractive candidate to replace chemicals, and
oral hygiene products with Cx will be a new paradigm delivering natural benefit for consumers.
Some plant extracts clearly demonstrate antibacterial properties although the mechanism of
their activities are still poorly understood (Dorman & Deans 2000). The spice extracts, cinnamon bark oil,
papua-mace extract, and clove bud oil were all reported to inhibit the growth of many oral bacteria
(Saeki et al. 1989). Sanguinarine, an alkaloid extract from the rhizome of Sanguinaria canadensis, has
been reported to possess a broad spectrum against a wide variety of oral bacteria (Joann & Sigmund
1985). In particular, green tea extract, which is customarily drunk after every meal in Japan, is known to
contain several polyphenols that inhibit the growth of S. mutans (Sakanaka et al. 1989). However, they
have relatively mild effects against oral pathogens compared to that of commercial synthetic
anticariogenic agents. Our study showed that temulawak extract or xanthorrhizol has more powerful
activity against oral pathogens compared to that of anticariogenic agents. In Korea, temulawak extract
has been developed and marketed as xanthorrhizol-containing toothpaste (Figure 4). Thus, there are
some challenges and opportunities in applying temulawak for industrial oral care products.
Error!
REFERENCES
Chen CP, Lin CC, Namba T. 1989. Screening of Taiwanese crude drugs for antibacterial activity against
Streptococcus mutans. J Ethnopharmacol 27:285-295.
Choi MA, Kim SH, Chung WY, Hwang JK, Park KK. 2005. Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid from
Curcuma xanthorrhiza, has an anti-metastatic potential in experimental mouse lung metastasis
model. Biochem Biophys Res Commun 326:210-217.
30
Dorman HJD, Deans SG. 2000. Antimicrobial agents from plants: Antibacterial activity of plant volatile
oils. J Appl Microbiol 88:308-316.
Eley BM. 1999. Antibacterial agents in the control of supragingival plaque-A review. Br Dent J 186:286-
296.
Hajshengallis G, Michalek SM. 1999. Current status of a mucosal vaccine against dental caries. Oral
Microbiol Immunol 14:1-20.
Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000a. Antibacterial activity of xanthorrhizol from Curcuma xanthorrhiza
against oral pathogens. Fitoterapia 71:321-323.
Hwang JK, Shim JS, Baek NI, Pyun YR. 2000b. Xanthorrhizol: a potential agent from Curcuma
xanthorrhiza against Streptococcus mutans. Planta Med 66:196-197.
Hwang SJ et al. 2005. Gingivalis suppression effect of the de novo dentifrice containing Curcuma
xanthorrhiza, bamboo salt and various additives. J Korean Acad Dent Health 29:222-236.
Itokawa H, Hirayama F, Takeya K. 1985. Studies on the antitumor bisabolane sesquiterpenoids isolated
from Curcuma xanthorrhiza. Chem Pharm Bull 33:3488-3492.
Joann LD, Sigmund SS. 1985. Comparative in vitro activity of sanguinarine against oral microbial
isolates. Antimicrob Agents Chemother 27:663-665.
Kato H et al. 1999. The immunogenicity of various peptide antigens inducing cross-reacting antibodies
to a cell surface protein antigen of Streptococcus mutans. Oral Microbiol Immunol 14:213-219.
Kim SH, Hong KO, Chung WY, Hwang JK, Park KK. 2004. Abrogation of cisplatin-induced
hepatotoxicity in mice by xanthorrhizol is related to its effect on the regulation of gene
transcription. Toxicol Appl Pharmacol 196:346-355.
Kim SH, Hong KO, Hwang JK, Park KK. 2005a. Xanthorrhizol has a potential to attenuate the high dose
cisplatin-induced nephrotoxicity in mice. Food Chem Toxicol 43:117-22.
Kim BI et al. 2005b. A highly selective antibacterial effect of Curcuma xanthorrhiza extract against oral
pathogens and clinical effectiveness of a dentifrice containing Curcuma xanthorrhiza extract for
controlling bad breath. J Korean Acad Dent Health 35:1053-1069.
Lee SK et al. 2002. Suppressive effect of natural sesquiterpenoids on inducible cyclooxygenase (COX-
2) and nitric oxide synthase (iNOS) activity in mouse macrophage cells. J Environ Pathol Toxicol
Oncol 21:141-148.
Liljemark WF, Bloomquist C. 1996. Human oral microbial ecology and dental caries and periodontal
diseases. Crit Rev Oral Bio Med 7:180-198.
Lin SC, Lin CC, Lin YH, Supriyatna S, Teng CW. 1995. Protective and therapeutic effects of Curcuma
xanthorrhiza on hepatotoxin-induced liver damage. Am J Chin Med 23:243-254.
McMurry LM, Oethiger M, Levy SB. 1998. Triclosan targets lipid synthesis. Nature 394:531-532.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2006a. In vitro activity of xanthorrhizol against Streptococcus mutans biofilms.
Lett Appl Microbiol 42:400-404.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2006b. Effect of coating the wells of a polystyrene microtiter plate with
xanthorrhizol on the biofilm formation of Streptococcus mutans. J Basic Microbiol 46:411-416.
Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of xanthorrhizol isolated from
Curcuma xanthorrhiza Roxb. J Antimicrob Chemother 57:1231-1234.
31
Roosjen A, de Vries J, Mei HC van der, Busscher HJ. 2005. Stability and effectiveness against bacterial
adhesion of poly(ethylene oxide) coatings in biological fluids. J Biomed Mater Res Part B: Appl
Biomater 73B:347-354.
Saeki Y, Ito Y, Okuda K. 1989. Antibacterial action of natural substances on oral bacteria. Bull Tokyo
Dent Coll 30:129-135.
Sakanaka S, Kim M, Taniguchi M, Yamamoto T. 1989. Antibacterial substances in Japanese green tea
extract against Streptococcus mutans, a cariogenic bacterium. Agric Biol Chem 53:2307-2311.
Sharma PK, Gibcus MJ, Mei HC van der, Busscher HJ. 2005. Influence of fluid shear and microbubbles
on bacterial detachment from a surface. Appl Environ Microbiol 71:3668-3673.
Wardini TH, Prakoso B. 1999. Curcuma L. In: de Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemmens RHMJ,
editors. Plant Resources of South-East Asia 12. (1) Medicinal and Poisonous Plants 1. 1st Volume.
Bogor: Prosea. pp. 210-219.
Uehara S, Yosuda I, Takeya K, Itokawa H. 1992. Terpenoids and curcuminoids of the rhizome of
Curcuma xanthorrhiza Roxb. Yakugaku Zasshi 112:817-823.
32
PERANAN KIMIA KOMPUTASI DALAM DESAIN SENYAWA BARU
DAN OPTIMALISASI PROSES INDUSTRI
Harno Dwi Pranowo*
Jurusan Kimia, FMIPA, UGM, Yogyakarta
ABSTRAK
Perkembangan kemampuan komputer dalam mengolah data telah memberikan andil yang
besar dalam perkembangan kimia komputasi. Hal ini juga didukung oleh ketersediaan perangkat lunak
dan bahasa pemrograman yang semakin mudah diaplikasikan dalam penyelesaian masalah- masalah
kimia. Pengakuan terhadap peran kimia komputasi dalam sains dan teknologi ditandai dengan
penganugerahan hadiah nobel bidang kimia tahun 1998 kepada John A. Pople yang telah
mengembangkan metode komputasi dalam kimia kuantum dan Walter Kohn yang mengembangkan
teori fungsional-rapatan (density-functional theory).
Desain senyawa baru yang mempunyai aktivitas tertentu dapat dilakukan melalui studi QSAR
(quantitative structure and activity relationship = hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas) dengan
menggunakan prediktor teoretis, seperti muatan atom neto, yang dapat dihasilkan dari perhitungan
kimia komputasi. Prediksi senyawa aktif telah mampu mengurangi secara signifikan biaya produksi obat
tertentu karena senyawa yang disintesis hanyalah yang diprediksi memiliki aktivitas tinggi. Docking
molekular yang mampu memodelkan interaksi antara suatu senyawa dan reseptor juga banyak
memberikan informasi tentang rekayasa senyawa baru. Bidang lain yang menjadi topik kajian kimia
komputasi adalah spektroskopi, mekanisme reaksi, simulasi dinamika molekular, simulasi Monte Carlo,
dan termokimia.
Kemampuan komputer dalam menyelesaikan permasalahan kimia juga telah dimanfaatkan
dalam bidang kemometri, yang banyak menggunakan konsep statistika dalam kimia serta
kemoinformatika untuk mengembangkan database kimia dalam menghasilkan informasi baru.
Pendekatan diskoneksi dalam sintesis juga difasilitasi oleh keandalan dan kecepatan proses komputer
dalam mengolah database reaksi kimia. Pengembangan perangkat lunak yang mengatur proses
produksi bahan kimia tidak hanya menjadi bidang kajian kimiawan, tetapi juga ahli pemrograman,
statistika, dan teknik.
PENDAHULUAN
Teknologi komputasi diperlukan hampir di setiap segi penelitian kimia, baik dalam
pengembangan desain maupun produksi, yang dapat diaplikasikan mulai dari pemodelan molekul
sampai simulasi dan pengaturan suatu proses kimia. Bidang kimia komputasi mempunyai definisi luas,
yang meliputi komputasi molekular, korelasi empiris, seperti hubungan energi bebas linear (linear free
energy relationship, LFER) dan hubungan kuantitatif struktur-sifat (quantitative structure-property
relationships, QSPR), serta segi proses pemodelan dan simulasi. Kemajuan kimia komputasi telah
memberikan kontribusi yang besar dalam bidang proses kimia terutama dalam efisiensi desain proses
dan produk baru, optimalisasi proses yang sedang berjalan, peningkatan efisiensi energi, peminimuman
produksi yang menghasilkan limbah, penyempurnaan mekanisme reaksi, pemodelan lingkungan, dan
peningkatan produksi dengan tetap mempertimbangkan bidang kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan hidup.
* Alamat korespondensi:
harnodp@ugm.ac.id
33
Keberadaan perangkat keras komputer yang mampu menangani perhitungan dengan
kompleksitas tinggi telah mengalami peningkatan yang luar biasa dalam 10 tahun terakhir.
Pengembangan sistem komputasi paralel memungkinkan untuk menemukan jawaban atas
permasalahan yang sebelumnya tidak mungkin terselesaikan. Ketersediaan komputer dengan daya
guna yang sangat tinggi memberi peluang bagi pengembangan algoritme dan metode teoretis baru.
Tahap yang ingin dicapai oleh para peneliti bidang komputasi adalah pengembangan komputer dengan
biaya murah tetapi berdaya guna tinggi sehingga memudahkan penyusunan data input, analisis, dan
visualisasi hasil perhitungan. Upaya yang lain adalah agar perhitungan yang kompleks dapat dilakukan
pada desktop sehingga dapat dilakukan siapa saja tanpa dibebani biaya operasional yang tinggi.
Kimia komputasi melibatkan penjelasan matematis dari suatu sistem kimia. Tujuan kimia
komputasi adalah menyelesaikan persamaan kompleks seperti persamaan Schrödinger untuk gerakan
elektronik dan inti yang dapat digambarkan secara akurat seperti fenomena aslinya. Dalam aplikasi
praktis kimia komputasi, persamaan matematika atau algoritme digunakan untuk menggambarkan
suatu fenomena fisika dan kimia (energi, struktur, posisi atom, dll.) secara kuantitatif. Algoritme ini
kemudian diubah menjadi suatu program dengan menggunakan bahasa pemrograman komputer yang
sesuai sehingga komputer dapat menjalankan perhitungan yang efektif dan cepat dalam menggambar-
kan fenomena kimia tersebut. Hasil akhir yang ingin dicapai adalah perhitungan menggunakan metode
komputasi yang dapat memrediksi sifat dan kelakuan sistem kimia.
Kimia komputasi dapat digunakan untuk menjelaskan beragam sistem kimia dengan
kompleksitas yang sangat luas. Tiga metode kimia komputasi yang sering digunakan adalah ab initio,
semiempiris, dan mekanika molekular. Metode ab initio dapat digunakan untuk memrediksi sifat sistem
kimia yang melibatkan sedikit atom, sementara metode semiempiris mampu melakukan perhitungan
untuk sistem kimia yang lebih besar. Sistem kimia yang terdiri dari jutaan atom masih mungkin
dianalisis dengan metode mekanika molekular. Kemampuan perhitungan dengan metode kimia
komputasi bergantung juga pada kemampuan (platform) komputer dalam melakukan perhitungan.
Banyak aplikasi kimia komputasi yang dapat dimanfaatkan untuk memrediksi sifat dan kelakuan
sistem kimia dalam proses kimia. Dengan mengetahui kelakuan sistem, efisiensi dari sistem operasi
yang sedang digunakan berpotensi untuk ditingkatkan. Bahkan dapat didesain sistem baru yang lebih
andal untuk mengoptimumkan proses dan meningkatkan efisiensi energi.
Kimia komputasi juga memainkan peran dalam desain molekul. Kajian termokimia – energi
yang berhubungan dengan terjadinya reaksi – dapat dimanfaatkan untuk menguji kebolehjadian suatu
mekanisme reaksi sehingga keberlangsungan suatu reaksi secara termodinamika dapat diprediksi.
Kimia komputasi juga dapat digunakan secara cermat untuk memrediksi sifat spektroskopi seperti
inframerah, Raman, ultraviolet-tampak (UV-Vis), resonansi magnet inti (NMR), dan fotoelektron,
sehingga memudahkan elusidasi struktur suatu spesies kimia, baik sebagai produk maupun sebagai zat
antara reaksi. Perhitungan struktur elektronik dapat dimanfaatkan dalam mengeksplorasi jenis ikatan,
energi, dan bentuk orbital, yang dapat digunakan untuk menentukan target dalam desain senyawa baru
dengan reaktivitas yang diinginkan (Hofer et al. 2004).
Kimia komputasi diawali oleh para peneliti di bidang kimia dan fisika yang melakukan kajian
mekanika kuantum untuk sistem kimia dengan jumlah elektron yang terbatas. Hadiah nobel bidang
kimia telah diberikan kepada Pauling dan Mulliken atas jasanya dalam mengembangkan teori ikatan
34
valensi dan teori orbital molekul. Pada tahun 1998, hadiah nobel bidang kimia diberikan kepada Pople
dan Kohn yang telah mengembangkan metode kimia komputasi dan teori fungsional-rapatan (density-
fuctional theory, DFT). Perubahan dramatis yang terjadi pada dunia akademik dan pada bidang teknik
kimia adalah pengembangan dan penerapan perangkat kimia komputasi dalam proses kimia,
khususnya pada skala atomik. Di masa depan, peningkatan kolaborasi antara industri dan peneliti
universitas dan lembaga penelitian pemerintah akan mendorong pemanfaatan kimia komputasi pada
industri kimia. Peneliti bidang teknik kimia akan semakin berperan dalam aplikasi dan penyusunan
metode pemodelan molekul serta dalam penyelesaian permasalahan praktis di industri.
Teknik komputasi telah berkembang secara dramatis dalam dua dekade ini sejalan dengan
kemajuan yang revolusioner dari kemampuan komputasi (perangkat keras). Pada saat ini sangat
dimungkinkan menggunakan metode komputasi untuk menyelesaikan permasalahan di bidang teknik
dan desain baru dalam proses kimia. Teknik komputasi dapat digunakan sebagai pelengkap, petunjuk,
dan kadang-kadang dapat menggantikan perhitungan eksperimental, sehingga mampu mengurangi
waktu dan biaya penelitian yang dibutuhkan untuk membawa ide dari skala laboratorium ke dalam
aplikasi praktis. Keunggulan potensial akibat penggunaan teknik komputasi adalah telah terbentuknya
kelompok kimia komputasi di perusahaan kimia dan farmasi. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan
perangkat lunak yang menyediakan program pemodelan molekul yang mudah digunakan dalam bidang
kimia, farmasi, biokimia, dan aplikasi biologi lainnya.
Pada industri farmasi, metode komputasi sangat berperan penting dalam desain obat berbasis
struktur, misalnya penelitian tentang inhibitor protease HIV. Dalam industri kimia, penelitian telah
dikembangkan pada teknik komputasi yang diaplikasikan pada katalis homogen dan heterogen,
misalnya ketersediaan perangkat lunak untuk pemodelan zeolit. Hal ini diperkuat dengan keberadaan
perangkat lunak mekanika kuantum yang dilengkapi visualisasi 2D dan 3D. Dalam industri kimia, kimia
komputasi digunakan untuk mendesain proses kimia, mendesain pabrik kimia, memrediksi toksisitas
bahan kimia, dan juga mendapatkan informasi yang berkaitan dengan keselamatan kerja. Komputasi
molekular juga digunakan dalam pemodelan kimia atmosfer, yaitu keadaan spesies kimia setelah
berada dalam atmosfer, yang tentunya sangat bermanfaat untuk kajian perubahan cuaca.
Kemajuan dalam simulasi dan pemodelan, terutama kimia komputasi, dapat memberikan
pengaruh yang berarti dalam menurunkan biaya dan waktu yang diperlukan untuk mendesain proses
kimia dan senyawa baru. Pemodelan molekul yang akurat memungkinkan peneliti lebih cepat
memrediksi sifat dan spesies kimia yang terlibat dalam suatu proses kimia. Desain katalis baru untuk
suatu proses kimia akan menaikkan keunggulan produksi, mereduksi emisi dan limbah, serta
membangun proses kimia yang berkategori green chemistry. Pemodelan dan simulasi akan memainkan
peranan yang penting dalam pengembangan teknologi baru untuk produksi dan desain material/produk.
Kimia komputasi menjelaskan sistem kimia pada berbagai skala ukuran, yaitu skala kuantum,
skala atomik atau molekular, skala meso, dan jembatan antarskala.
Skala Kuantum
Skala kuantum menyelesaikan persamaan Schrödinger untuk gerakan elektronik dalam atom
dan molekul dengan menggunakan metode orbital molekul dan DFT. Beberapa perangkat lunak kimia
kuantum yang dikenal antara lain Gaussian, Games, Mopac, dan Turbomol yang tersedia untuk para
akademisi dan industriawan melalui vendor komersial, atau dapat diperoleh secara gratis untuk institusi
pendidikan. Hampir tidak ada bagian dalam kimia yang tidak dapat disentuh oleh kimia komputasi.
Peningkatan berkelanjutan dalam teori dan algoritme sejalan dengan peningkatan ukuran sistem kimia
35
yang dapat dianalisis oleh kimia kuantum komputasional. Pada saat ini, metode perhitungan dengan
menggunakan teori orbital molekul ab initio masih menghasilkan prediksi terbaik dari sifat molekular.
Metode korelasi seperti teori coupled cluster dengan menggunakan himpunan basis yang besar dapat
menghasilkan akurasi sifat kimia untuk molekul yang kecil. Perhitungan dengan DFT dan perlakuan
korelasi yang lain menghasilkan prediksi yang lebih rendah, tetapi masih cukup bermakna untuk sistem
kimia yang lebih besar. Perhitungan skala kuantum dapat memrediksi struktur molekul, energi ikatan,
laju reaksi, dan data spektroskopi. Metode kimia komputasi pada skala kuantum ini mampu memrediksi
geometri dan energi keadaan transisi untuk reaksi pada fase gas. Walaupun demikian, perhitungan
yang harus dilakukan masih terlalu kompleks jika sistem reaksi yang dianalisis mempunyai efek pelarut
yang tinggi. Perhitungan kimia komputasi dengan memasukkan efek pelarut masih membutuhkan waktu
dan biaya yang besar, karena harus memperhitungkan konfigurasi dari semua molekul pelarut dalam
sistem. Metode yang sering digunakan adalah model dielektrik kontinu yang mengeliminasi kebutuhan
akan konfigurasi pelarut, tetapi dengan memasukkan cukup banyak parameter. Metode yang banyak
dikembangkan saat ini adalah kombinasi perhitungan mekanika kuantum dan mekanika molekular yang
dikenal dengan metode QM/MM (Armunanto et al. 2004).
Skala atomik atau molekular menghitung interaksi antaratom atau gugus menggunakan
mekanika Newton klasik dan medan gaya yang dihasilkan dari data empiris (mekanika molekular). Pada
skala molekular ini, perhitungan melibatkan sifat struktur, termodinamika dan transpor ― perpindahan
massa dan panas ―, serta kebergantungan struktur pada perubahan waktu. Metode yang sering
digunakan adalah simulasi Monte Carlo dan dinamika molekular yang hasil perhitungannya dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku sistem kimia pada skala makroskopik. Banyak kelompok industri
juga menggunakan metode ini, mulai dari komoditas bahan kimia sampai industri farmasi (Rode et al.
2005).
Salah satu konsekuensi dari beragamnya keperluan para peneliti ialah para peneliti pada skala
atomik lebih banyak membuat perangkat lunak yang bersifat spesifik daripada yang bersifat komersial.
Beberapa perangkat lunak yang digunakan dalam skala atomik atau molekular adalah Gromos, Amber,
Charmm, dan Discover yang kebanyakan difokuskan pada sistem hayati dalam fase larutan dengan
pelarut air.
Komponen penting yang terus meningkat pada skala atomik adalah penyusunan potensial
interaksi yang sesuai untuk berbagai senyawa dan kondisi tekanan/suhu. Potensial interaksi ini sangat
penting dalam memrediksi sifat sistem kimia yang terkait dengan desain proses kimia dan produk.
Perhitungan dengan sistem komputasi paralel banyak digunakan pada skala atomik untuk mengetahui
gerakan molekul dalam sistem kimia, yang memerlukan kemampuan komputer tinggi. Sifat termofisika
dari gas dapat diprediksi dengan akurasi yang tinggi berdasarkan potensial interaksi dimer dan teori
transpor. Untuk sistem cairan, sifat termofisika dapat diprediksi menggunakan simulasi Monte Carlo
atau dinamika molekular. Akurasi prediksi keduanya sangat bergantung pada mutu potensial interaksi
yang digunakan (Pranowo 2003; Pranowo et al. 2006).
Skala Meso
Perhitungan skala meso menjelaskan kelakuan dan sifat sistem yang mencerminkan komposisi
molekular suatu material. Perhitungan ini umumnya diterapkan pada sistem dengan jutaan atom, yang
masih mencerminkan fenomena skala molekular. Penerapan hasil perhitungan pada tingkat molekular
kepada permasalahan tingkat makrosopik sangat penting untuk mempelajari material seperti senyawa
polimer dan katalis. Banyak sistem kimia mempunyai struktur yang lebih besar dibandingkan dengan
yang dapat dipelajari pada skala atomik, dan ternyata memberikan pengaruh yang besar pada sifat
36
struktur pada skala makroskopik. Metode kimia komputasi pada skala meso masih sangat jarang.
Beberapa metode pendekatan yang sering dilakukan adalah pemodelan statistika linear, model fraktal,
model re-normalisasi, pendekatan kisi-Boltzmann, wavelets, dan teori medan rerata konsistem mandiri.
Jembatan Antarskala
Teknik jembatan antarskala adalah metode komputasi yang digunakan sebagai jembatan dari
skala atomik ke skala meso, dan dari skala femtodetik ke menit atau jam. Tujuan teknik ini adalah
menggunakan hasil perhitungan dari suatu skala sebagai input bagi perhitungan pada skala yang lain.
Dua metode yang banyak dikaji adalah seamless data interfaces yang memungkinkan terjadinya
interaksi antara perhitungan pada skala ukuran yang berbeda-beda (skala kuantum dan atomik) serta
coarse-graining techniques, teknik yang memungkinkan untuk memperoleh informasi dari skala kecil
untuk dimanfaatkan pada skala yang lebih besar.
Hal yang penting dalam kimia adalah konsep yang menyatakan adanya hubungan antara sifat
meruah dari senyawa dan struktur molekul senyawa tersebut. Hal ini penting dalam hubungan antara
sifat makroskopis dan mikroskopis materi yang menjadi bahan kajian dalam bidang termodinamika
statistik. Hal ini juga merupakan landasan berpikir untuk mengidentifikasi hubungan struktur molekul
dengan aktivitas/sifat. Ada dua pendekatan yang tersedia untuk menentukan sifat fisika dan kimia. Yang
pertama adalah menghitung secara langsung melalui penerapan metode mekanika kuantum dan
mekanika klasik. Walaupun jumlah sifat yang dihasilkan dengan cara ini berkembang pesat, data
tersebut masih cukup terbatas, terutama pada keterbatasan besarnya molekul yang dianalisis.
Pendekatan kedua adalah penggunaan LFER dan hubungan kuantitatif aktivitas/sifat dengan struktur
(quantitative structure-activity/property relationship, QSAR/QSPR) yang lebih bersifat empiris sehingga
memerlukan data eksperimen sebagai himpunan penguji. Metode ini ternyata lebih fleksibel untuk
menghitung sifat fisis, kimiawi, dan biologis. Deskriptor berdasar empiris masih banyak digunakan
walaupun literatur saat ini dipenuhi oleh contoh QSAR/LFER dengan deskriptor yang diturunkan dengan
perhitungan kimia komputasi (Hansch et al. 2002).
Desain obat merupakan proses iteratif yang dimulai dengan penentuan senyawa yang
menunjukkan sifat aktif biologis penting dan diakhiri dengan mengoptimumkan profil aktivitas molekul
dan sintesis kimianya. Proses ini dapat berjalan jika kimiawan menghipotesiskan kaitan antara struktur
kimia suatu molekul (sederet molekul) dan aktivitas biologis tertentu. Tanpa pengetahuan yang rinci
tentang proses biokimia yang bertanggung jawab terhadap aktivitas, hipotesis umumnya akan diambil
atas dasar kemiripan struktur dan perbedaan antara molekul aktif dan takaktif. Pemilihan senyawa
untuk sintesis melibatkan keberadaan gugus fungsi atau konformasi tertentu dalam struktur molekul
yang bertanggung jawab terhadap aktivitas (Hansch et al. 1996).
Kebolehjadian kombinatorial dari strategi ini akan sangat besar sekalipun hanya berhadapan
dengan sistem yang sederhana. Alternatif yang dapat ditempuh adalah bekerja secara intensif pada
optimalisasi senyawa dalam molekul deskriptor yang dapat diprediksi sifatnya secara mudah. Perangkat
QSAR dapat membantu menunjukkan sintesis kimia dari senyawa yang berdaya guna.
Paradigma umum untuk menyatakan dan mengolah data adalah membuat tabel dan menyata-
kan suatu senyawa pada setiap baris sesuai dengan sifat molekul (deskriptor) yang didefinisikan pada
kolom yang berisi jenis senyawa. QSAR bermaksud mencari hubungan yang konsisten antara variasi
harga suatu besaran sifat molekul dan aktivitas biologis untuk sederet senyawa sedemikian rupa
sehingga “aturan” dapat digunakan untuk mendesain suatu bahan baru yang mirip dengan sederet
molekul yang dimodelkan. Secara umum QSAR menyatakan bentuk persamaan linear sebagai berikut:
37
Aktivitas biologis = tetapan +(C1.P1) +(C2.P2) +(C3.P3) + …
Pi adalah parameter yang dihitung untuk setiap molekul dan Ci merupakan koefisien yang dihitung
dengan variasi fitting parameter dan aktivitas biologis. Hubungan ini secara umum dicari melalui
penerapan teknik statistika, maka diperlukan pengetahuan statistika kimia yang memadai untuk
memahami QSAR. Persamaan QSAR merupakan model linear yang menyatakan hubungan antara
variasi aktivitas biologis dan variasi sifat yang dihitung (atau diukur) untuk sederet senyawa tertentu.
Jika data aktivitas biologis telah terkumpul, sering didapati fakta bahwa data tersebut dinyata-
kan dalam suatu besaran yang tidak dapat digunakan dalam analisis QSAR. QSAR didasarkan pada
hubungan energi bebas dengan tetapan keseimbangan, maka data untuk mempelajari QSAR harus
dinyatakan dalam besaran perubahan energi bebas yang terjadi pada proses respons biologis. Jika
pengujian potensi suatu obat dinyatakan dengan suatu dosis tertentu yang dapat menghasilkan
pengaruh biologis, maka perubahan energi bebas berbanding terbalik dengan logaritme konsentrasi
senyawa.
Pada tahun 1979, Marshall mengembangkan pendekatan 3-D untuk QSAR dengan secara
eksplisit mempertimbangkan fleksibilitas konformasi dari suatu sederet yang diasumsikan oleh bentuk
3-D sistem kimia. Langkah awal dari pendekatan analog-aktif adalah pencarian konformasi senyawa
yang mempunyai aktivitas sangat besar dalam uji biologis. Hasil pencarian ini dipetakan dari jarak
antaratom yang digunakan sebagai penapis pencarian konformasi yang menggambarkan profil
kemiripan aktivitas yang dapat diambil sebagai konformasi yang mirip. Jika konformasi aktif telah
ditentukan, volume setiap molekul dihitung dan dibandingkan. Analisis regresi dari volume digunakan
untuk menyatakan hubungan terhadap aktivitas biologis. Marshall mengomersialkan pendekatan
analog-aktif ini dan teknik desain obat yang lain dalam program pemodelan molekul dengan nama Sybyl.
Perkembangan penelitian dalam bidang QSAR telah banyak memberikan manfaat bagi industri
farmasi, karena desain senyawa obat akan dapat dilakukan dengan akurasi yang tinggi. Hal ini akan
memberikan kepastian bahwa rancangan jalur sintesis hanya dilakukan untuk senyawa yang secara
teoretis telah diyakini mempunyai aktivitas seperti yang diinginkan, dan secara automatis telah
menghilangkan langkah coba-coba dalam menentukan aktivitas suatu senyawa. Perlu ditekankan
bahwa kajian QSAR harus disertai dengan penguasaan yang baik dalam bidang statistika ― secara
spesifik tercakup dalam bidang kemometri ― serta keterampilan analisis dan sintesis senyawa,
misalnya penguasaan dalam bidang retrosintesis.
CATATAN AKHIR
Kimia komputasi dapat membantu desain dan optimalisasi proses yang baru atau proses yang
sedang berjalan maupun produknya. Kimia komputasi dapat mereduksi biaya pengembangan,
meningkatkan efisiensi energi dan daya guna lingkungan, serta menaikkan produktivitas dan keuntung-
an. Walaupun kimia komputasi dapat diterapkan pada bidang industri, ukuran permasalahan industri
yang dapat dimodelkan masih terbatas. Demikian pula validasi dan kesesuaian dari hasil pemodelan
molekulnya. Hambatan yang lain adalah keterbatasan perangkat lunak komersial yang mudah
digunakan oleh masyarakat. Keterbatasan ini disebabkan masih rendahnya kualifikasi masyarakat
pengguna, sedikitnya peminat, serta kurangnya publikasi informasi dan pendidikan tentang keuntungan
penggunaan kimia komputasi dalam bidang yang digeluti masing-masing individu.
Idealnya, kimia komputasi dalam bidang industri harus
1. Dapat diterapkan pada sistem yang bervariasi, yaitu berlaku untuk sistem yang besar, waktu
operasi yang panjang, sistem cairan atau padatan.
2. Fleksibel, dapat dijalankan pada berbagai platform komputasi (perangkat keras) dan perangkat
lunak, dan didukung oleh visualisasi grafis yang memadai.
38
3. Berkemampuan tinggi, mampu dijalankan pada desktop atau platform komputasi paralel berbiaya
murah.
4. Mudah digunakan, mekanisme penggunaan yang sederhana dan sistem yang canggih untuk dapat
digunakan oleh pengguna dengan kemampuan biasa.
5. Dapat divalidasi hasil perhitungannya secara eksperimental.
6. Termasuk dalam kurikulum pendidikan, dapat diberikan pada S1, S2, maupun S3 melalui kuliah
atau praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Armunanto R, Schwenk CF, Rode BM. 2004. Gold(I) in liquid ammonia: Ab initio QM/MM molecular
dynamics simulation. J Am Chem Soc 126:9934-9935.
Hansch C, Hoekman D, Gao H. 1996. Comparative QSAR: Toward a deeper understanding of
chemicobiological interactions. Chem Rev 96:1045-1075.
Hansch C, Hoekman D, Leo A, Weininger D, Selassie CD. 2002. Chem-bioinformatics: comparative
QSAR at the interface between chemistry and biology. Chem Rev 102:783-812.
Hofer TS, Tran HT, Schwenk CF, Rode BM. 2004. Recent developments and challenges in chemical
simulations. J Comput Chem 25:211-217.
Pranowo HD. 2003. Monte Carlo simulation of CuCl2 in 18.6% aqueous ammonia solution. Chem Phys
291:53-59.
Pranowo HD, Mudasir, Kusumawardani C, Purtadi S. 2006. The structure of Co2+ in liquid ammonia:
Monte Carlo simulation including three-body correction. Chem Phys 291:53-59.
Rode BM, Schwenk CF, Hofer TS, Randolf BR. 2005. Coordination and ligand exchange dynamics of
solvated metal ions. Coord Chem Rev 249:2993-3006.
39
KINETIC STUDY OF ENZYMATIC HYDROLYSIS OF
STARCH GRANULES AND CRYSTALLINE CELLULOSE
Hirosuke Tatsumi
Department of Bioscience, Fukui Prefectural University, Japan
Hirosuke Tatsumi
Department of Bioscience “Sugar chemistry” becomes more and more
important for the effective use of biomass.
Fukui Prefectural University, Japan
Polysaccharides
Starch (grains, potatoes, etc.)
Cellulose (all plants)
etc. Heat and Light Electricity Work
40
How amylases act on starch granules? Our approach
Although many reports have appeared on starch
Starch granule (barley) under granule hydrolysis, quantitative kinetic analyses have
enzymatic hydrolysis not been provided. Electrochemical measurements
(Taniguchi et al.,1986)
have advantages of being free from the influence of
Amylase turbidity and coloration of a test solution. In the
Glc present work, an amperometric glucose sensor has
been introduced to study the kinetics of enzymatic
Starch surface Glc
Glc hydrolysis of raw starch granules by glucoamylase in
Glc Glc
Glc a thick starch suspension.
Glc
d[P] β [E f ]
v= = vmax β?adsorption coefficient
dt 1 + β [E f ]
Γmax?saturation value of Γ
with vmax = k 0 Γ max aS , a?specific surface area of substrate
The scale
of each
k2 k +k S?weight of substrate per volume
where k0 = and K m′ = −1 2 picture is
1 + K m′ k1′ 170 µm ×
130 µm.
Pt
10% BQ-
mixed 0.1
carbon paste 0.1
GOx 0.0
Stirrer (500 rpm) 0
Teflon tube 0 100 200 300 400 500 0 0.2 0.4 0.6
Water
t/s [Glc] / mM
3 mm (25 oC)
Nylon net Dialysis
membrane 0.02 µA mM−1
Sensitivity: 0.39±
0.1 M Acetate buffer (pH 5.0)
Glucose sensor 0.025−0.25 g cm−3 Raw starch
41
Adsorption isotherm of glucoamylase Dependence of vmax on S and on a
β [E f ] vmax vs. S vmax vs. a
Γ = Γ max
1 + β [E f ] 0.6 0.15
5
vmax / mM min−1
Γ / pmol cm−2
vmax / mM min−1
I
β = (1.6 ± 1.3) ×107 M−1 0.4 0.1 II
2.5 Γ max = 5.5 ± 1.3 pmol cm−2 III
IV
0.2 0.05
Fraction IV
Calculated value:
(a = 2200 cm2 g−1) S = 0.010 g cm−3
0 5 pmol cm−2 Gluco-
amylase 0 0
0 0.2 0.4 0.6
0 0.05 0.1 0 2 4 6
[Ef] / µM Starch S / g cm−3
3 nm a / 103 cm2 g−1
surface
The surface of raw starch granules is fully covered vmax = k0 Γ max aS
with glucoamylase molecules when [Ef] >> β−1.
From the slopes of the vmax vs S and vmax vs a plots, k0 = 6.2 s−1
k −1 + k 2
By taking k2 = 77 s−1*), K m′ = = 11 *) K. Hiromi et al. BBA, 302, 362 (1973).
k1′
0.1 Kentang
2 min
0
Singkong Ubi Kentang
42
Sugars stored in plants Enzymatic hydrolysis of crystalline
cellulose
Mono- or di-saccharides Substrate
Glucose (grape, water-melon, etc.) Microcrystalline cellulose
Sucrose (sugar-cane, sugar-beet, etc.) (Avicel®, Merck)
etc. Density: 1.49 g cm−3
Specific surface area:
Polysaccharides 4.1 ×103 cm2 g−1
Starch (grains, potatoes, etc.)
Cellulose (all plants) Enzyme
etc. Cellobiohydrolase I (from Trichoderma viride)
Dependence of v on [E
[Ef] and of vmax on S Conclusion
v vs. [Ef] vmax vs. S
8
The initial rate of the enzymatic hydrolysis
15
vmax / µM min−1
6
10
4 can be explained by the rate equation based
2 β = (4.4±1.7) × 105 M−1 5
on the three-step mechanism, which consists
v max = 7.8±1.0 µM min−1
0 0 of adsorption of the free enzyme onto the
0 5 10 0 0.01 0.02
[Ef] / µM S / g cm−3 surface of the substrate, reaction of the
0.010 s−1
k0 = 0.040± adsorbed enzyme with the substrate, and the
0.003 s−1 for a soluble substrate)
(cf. k0 = 0.025± liberation of the product.
Acknowledgments
Colleague
Prof. Tokuji Ikeda
Prof. Hajime Katano
Students
Mr. Noriharu Maeda
Miss Satsuki Takabe
Mr. Yasuteru Fujimoto
Mr. Yoshihito Takeuchi
43
KIMIA DALAM INDUSTRI BERBASIS MINYAK NABATI:
KASUS KONVERSI ASAM LEMAK KE ADITIF PELUMASAN BATAS
Zainal Alim Mas’ud
Departemen Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Minyak nabati, terutama minyak sawit, adalah salah satu komoditas andalan Indonesia yang
menarik untuk dikaji dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan daya gunanya, salah satunya untuk
mengantisipasi kecenderungan berkurangnya sumber daya alami asal petrokimia yang selama ini biasa
digunakan untuk berbagai keperluan, khususnya menyangkut bahan-bahan yang berhubungan dengan
sistem pelumasan. Suatu alternatif yang diajukan dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan daya
guna dari minyak nabati ini ialah merekayasa komponen asam lemak utamanya (palmitat, stearat, oleat,
dan linoleat) menjadi bahan aditif pelumasan batas (boundary lubrication additive, BLA). Aditif ini
merupakan komponen pelumas yang penting, terutama dalam sistem pelumasan, misalnya pengerjaan
logam (rolling oil, cutting oil), fluida transmisi dan hidraulik, serta gear oil (automotif dan industri). Dari
tinjauan molekular, 2 segi utama yang menjadi dasar alternatif ini. Pertama, gugus fungsi karbonil dan
ikatan rangkap karbon-karbon dari komponen asam lemak trigliserida, yang penting dalam merancang
dan mensintesis molekul dengan kemampuan membentuk lapisan film permukaan dengan logam,
sebagai prasyarat BLA, sehingga wear dapat ditekan. Kedua, rantai karbon panjang dari fragmen alkil
asam lemak yang memberi bantalan tambahan dalam meningkatkan daya lumas dan tentunya juga
akan mengurangi friksi.
Desain molekul BLA dan sintesisnya difokuskan pada modifikasi gugus fungsi karbonil dan
beragam ikatan rangkap karbon-karbon alkil agar interaksinya dengan logam optimum. Sasaran akhir
senyawa yang diinginkan adalah kompleks logam M-dialkilditiokarbamat dengan rumus umum
(RR’NCS2)xM. Desain molekul ini bertitik tolak pada mimik bentuk molekul BLA yang telah digunakan
secara universal, yaitu zink dialkil/aril ditiofosfat. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa jumlah ikatan
rangkap pada rantai R, yang dapat diragamkan melalui jenis R dan M, memengaruhi karakter shear
strength dari lapisan film permukaan melalui kemampuan inhibisinya terhadap wear dan friksi.
Diperolehnya informasi mengenai parameter optimum dari ikatan rangkap ini penting dalam proses
formulasi BLA. Selanjutnya, tahapan-tahapan sintesisnya meliputi (i) konversi asam-asam lemak ke
turunan amina sekundernya, (ii) pembentukan natrium ditiokarbamat dari berbagai turunan tersebut,
diikuti pembentukan kompleks dengan logam M (Li, Zn, dan Sb).
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, nilai tambah dari komoditas minyak nabati, terkait dengan berbagai produk
olahan yang dapat dihasilkannya, masih memiliki peluang yang sangat besar untuk ditingkatkan. Dalam
rangka meningkatkan nilai tambah dan daya guna minyak nabati, makalah yang diajukan ini difokuskan
pada upaya memodifikasi komponen asam lemak utama dari trigliserida nabati (palmitat, stearat, oleat,
dan linoleat) menjadi aditif pelumasan batas (boundary lubrication additive, BLA).
Dalam sistem pelumasan batas, fenomena friksi dan wear/seizure terutama bergantung pada
shearing forces komponen-komponen pelumas relatif terhadap 2 permukaan logam yang saling kontak,
dan fenomena ini dapat dikurangi oleh BLA. Mekanisme kerja aditif ini adalah adsorpsi atau reaksi
44
membentuk lapisan film pada permukaan logam sehingga kontak antarlogam dikurangi. Lapisan film
yang terbentuk tersebut mempunyai shear strength yang lebih rendah daripada logam sehingga proses
pelumasan berjalan lancar (O’Brien 1983, Studt 1989).
Rancangan yang diajukan dalam makalah ini bertitik tolak dari model senyawa dialkilditio-
karbamat dengan rumus umum (RR’NCS2)xM. Perbedaan fundamental antara struktur yang diteliti dan
senyawa dialkilditiokarbamat yang telah umum digunakan terletak pada rantai alkilnya. Pada
dialkilditiokarbamat yang umum digunakan, kedua rantai R identik dengan 4–10 atom karbon dan
bersumber dari bahan petrokimia. Sementara struktur yang akan disintesis dan diteliti dapat memiliki
rantai R yang sama atau berbeda, dengan 16 atau 18 atom karbon (jenuh atau tak jenuh), yang berasal
dari trigliserida sawit.
Dari ragam R yang diimbangi dengan ragam M [Li(I), Zn(II), dan Sb(III)], maka analisis (ruang
lingkup) ditekankan pada faktor jumlah ikatan rangkap karbon-karbon dari rantai R tersebut dalam
kaitannya dengan penghambatan terhadap wear, seizure, dan friksi.
Pada awalnya, formulasi aditif yang berhubungan dengan fenomena pelumasan batas
difokuskan pada sistem pelumasan industri, terutama dalam kaitannya dengan masalah tekanan
ekstrem. Namun, sejumlah studi mengonfirmasikan bahwa terdapat kondisi-kondisi tekanan ekstrem
dalam sistem pelumasan mesin selama cold cranking, percepatan sekonyong-konyong, beban berat,
dan suhu ekstrem (Oil Extreme 2003). Dari fenomena ini, kemasan aditif dari pelumas mesin juga
menjadi pertimbangan akhir-akhir ini.
Minyak nabati seperti minyak jarak, minyak kelapa, dan minyak sawit merupakan komoditas
yang secara nasional berpotensi meningkatkan devisa negara. Minyak jarak akhir-akhir ini menjadi
perhatian utama, terutama dalam hubungannya dengan masalah energi, dan akan dikembangkan di
daerah lahan marginal beriklim kering. Dalam hal minyak kelapa, areal yang tertanami di Indonesia
terbesar di dunia, namun produksinya masih di bawah Filipina dan Srilangka.
Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama dunia dan produksinya meningkat dari
tahun ke tahun (Gambar 1). Tahun 2011 diramalkan bahwa Indonesia akan melampaui produksi minyak
sawit Malaysia (Oil World 2020 Magz.). Namun demikian, pendayagunaannya masih terbatas, yakni
sebagian besar digunakan sebagai minyak goreng dan ekspor masih didominasi oleh bentuk minyak
sawit mentah.
Gambar 1 Produksi minyak sawit dunia (dalam juta ton) (Oil World 2020 Magz.).
Berdasarkan fakta ini, usaha diversifikasi minyak nabati dalam jangka pendek, terutama minyak
sawit, perlu digalakkan dalam upaya memberi nilai tambah dan nilai guna yang tinggi. Diversifikasi ini
secara kronologis dapat kita bagi dalam 3 generasi (Gambar 2).
45
Gambar 2 Diversifikasi minyak nabati berdasarkan generasi.
Diversifikasi dari suatu generasi ke generasi yang lebih tinggi diikuti dengan kompleksitas
pengubahan yang semakin tinggi, namun nilai tambahnya juga meningkat. Sebagai contoh, generasi
pertama adalah minyak goreng, selanjutnya generasi kedua antara lain senyawa antara (asam lemak,
amina, fatty alcohol, dsb.), detergen, dan biodiesel. Pengubahan dari generasi pertama ke kedua lebih
rumit dibandingkan dengan dari awal (buah sawit, kelapa, dsb.) ke minyak goreng. Demikian juga ke
generasi ketiga (berbagai aditif, katalis, dan zat aktif lainnya) semakin rumit, tetapi nilai ekonominya
juga semakin tinggi. Diversifikasi yang akan dibahas dalam makalah ini termasuk generasi ketiga.
Pada prinsipnya, sistem pelumasan dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yakni (1)
pelumasan hidrodinamik, (2) pelumasan campuran dan elastohidrodinamik, serta (3) pelumasan batas.
Pelumasan hidrodinamik memisahkan sistem logam-logam secara utuh sehingga kontak antarlogam
tidak terjadi. Aliran pelumas berupa aliran laminar dengan laju relatif tinggi, dan sistem ini biasanya
terjadi pada kondisi kerja dengan beban rendah. Pelumasan campuran dan elasto-hidrodinamik
biasanya terjadi pada kondisi kerja dengan beban berat dan laju yang rendah. Pada sistem ini, aliran
laminar pelumas terganggu, tetapi tetap masíh dapat mengalir. Kontak antarlogam pada daerah tertentu
sudah mulai terjadi.
Pelumasan batas merupakan sistem pelumasan dengan permukaan antarlogam saling
bersentuhan. Sentuhan ini diusahakan tidak menimbulkan kerusakan atau keausan pada permukaan
logam yang bersentuhan. Kalaupun terjadi keausan diusahakan seminimum mungkin. Sentuhan
antarlogam diusahakan merupakan tumbukan lenting sempurna. Oleh karena itu, pelumas yang
digunakan harus mengandung BLA. Senyawa ini dapat bereaksi dengan permukaan logam yang
dilumasi dan membentuk pelindung yang bersifat pegas ketika terjadi sentuhan dengan logam lainnya.
Sistem ini terjadi pada kondisi kerja dengan beban yang sangat berat dan dengan laju alir pelumas
yang sangat rendah. Viskositas pelumas dalam hal ini tidak lagi efektif. Hubungan antara kondisi
pelumasan dan koefisien friksi disajikan dalam Gambar 3 (Bóoser 1983).
46
ADITIF PELUMASAN BATAS
Adsorpsi atau reaksi permukaan antarkomponen pelumas, khususnya BLA, dan permukaan
logam-logam yang saling kontak merupakan kunci untuk menekan wear, seizure, dan friksi.
Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa pertanyaan yang akan dicarikan solusinya dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana model molekul yang dapat teradsorpsi atau dapat melakukan reaksi permukaan
dengan logam secara efektif dalam menekan wear, seizure, dan friksi ?
b. Dari segi sumber, adakah bahan dari kandungan lokal yang cukup berlimpah dan bersifat
terbarukan (renewable) yang dapat digunakan atau dimodifikasi menjadi BLA yang efektif?
Pada dasarnya jawaban kedua pertanyaan tersebut dapat diperoleh dari komponen asam
lemak trigliserida nabati, terutama dari minyak sawit yang merupakan salah satu komoditas andalan
Indonesia yang bersifat terbarukan. Namun demikian, komponen asam lemak ini masih perlu
dimodifikasi agar diperoleh molekul dengan keefektifan yang tinggi untuk menekan wear dan friksi
dalam sistem pelumasan.
Selanjutnya, faktor polaritas memegang peran utama agar suatu molekul dapat teradsorpsi
atau membentuk lapisan film pada permukaan logam. Dalam makalah ini, desain dan modifikasi/
síntesis difokuskan pada gugus fungsi karbonil ke gugus ditiokarbamat, dan secara simultan efek
polaritas yang berhubungan dengan shear strength divariasikan melalui gugus fungsi ikatan rangkap
pada rantai alkil asam lemak. Dari varian ini, dengan melibatkan berbagai logam [Li(I), Zn(II), dan
Sb(III)], akan diperoleh berbagai purwarupa (prototype) dengan rumus umum (RR’NCS2)xM.
Model acuan dalam desain molekul ialah zink dialkilditiokarbamat, [R2NCS2]2Zn, BLA yang
lazim digunakan untuk mencegah wear dan friksi. Berbagai lintas síntesis dapat dilakukan, salah
satunya disajikan dalam skema pada Gambar 4. Secara garis besar, proses dimulai dari asam lemak
minyak nabati secara iteratif melalui halida asam dikonversi ke amida dan amina. Selanjutnya dibuat
bentuk dialkilditiokarbamat yang melalui reaksi kompleks dengan logam membentuk BLA.. Dari
berbagai asam lemak yang dipadukan dengan aneka jenis logam akan diperoleh berbagai purwarupa
BLA.
47
DAFTAR PUSTAKA
Booser RE, editor. 1983. CRC Handbook of Lubrication–Theory and Practice of Tribology. Boca Raton:
CRC Pr.
Joye JL, penemu. 2003. Sulphur orthophosphate compositions, preparation, and use. US patent 6 541
428.
Nachtman ES, Kalpakjian S. 1985. Lubricant and Lubrication in Metalworking Operations. New York:
Marcel Dekker.
O’Brien JA. 1983. Lubricating Oil Additives. Di dalam: CRC Handbook of Lubrication. Volume ke-2.
Booser ER, editor. Boca Raton: CRC Pr.
Oil Extreme. The Need for Extreme Pressure Agents in Engine Oil Formulation. http://oilextreme.com
Ramney MW. 1980. Synthetic Oils and Additives for Lubricants: Advance Science. New Jersey: Noyes
Data Corp.
Rizvi SQA. 1992. Lubricant Additive and Their Function. ASM Handbook, Friction, Lubrication, and
Wear Technology. ASM Int.
Studt P. 1989. Boundary lubrication: Adsorption of oil additive on steel and ceramic surface and its
influence on friction and wear. Trib Int 22:623.
Takagi, Fumaki, Abe, Kuzuuki, penemu. 2001. Extreme pressure agent, friction coefficient, modifier and
functional fluids. US patent 6 310 012.
Vogel’s. 1989. Textbook of Practical Organic Chemistry. Furniss BS, Hannaford AJ, Smith PWG,
Tatchell AR, editor. Longman Group UK.
48
KINERJA FENIL α-NAFTILAMINA PADA PENGHAMBATAN OKSIDASI
ESTER POLIGLISEROL-ESTOLIDA ASAM OLEAT
Dicky Dermawan*, Arry Kusnadi, Ilowati Kurniawan
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi, Institut Teknologi Nasional, Bandung
ABSTRAK
Ester poligliserol-estolida (PGE) dari asam oleat merupakan bahan biodegradabel yang sedang
dikembangkan sebagai alternatif minyak pelumas. Penelitian ini mengkaji kinerja fenil α-naftilamina
(PNA) sebagai antioksidan pada suatu contoh PGE yang memenuhi spesifikasi viskositas pelumas
mesin SAE 50. Ketahanan oksidasi diukur dengan uji oksidasi pengadukan-Indiana termodifikasi
(modified Indiana stirring oxidation test): contoh sebanyak 350 g ditempatkan dalam gelas piala 1000 ml
yang dimasukkan ke penangas minyak bersuhu konstan untuk mempertahankan suhu contoh pada 150
oC. Sambil diaduk, ke dalam contoh dialirkan udara dan ditambahkan katalis logam berupa tembaga
dan besi dengan luas permukaan berturut-turut 8 dan 16 in2. Secara berkala, sebanyak 10 ml contoh
diambil dan diukur viskositas kinematiknya. Kenaikan viskositas contoh yang terukur pada suhu 40 dan
100 oC digunakan sebagai parameter ketahanan oksidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa
bergantung pada suhu pengukuran viskositas, ketahanan oksidasi maksimum tercapai pada kadar PNA
sebesar 2% yang memperpanjang masa pakai sebesar 19.8 jam. Masa pakai didefinisikan sebagai
waktu yang diperlukan agar oksidasi pada kondisi uji menaikkan viskositas sebesar 275%, ketika diukur
pada suhu 40 oC. Kadar PNA di atas 2% memberikan efek yang merugikan. Bahkan, PNA dengan
kadar di atas 6% akan menurunkan ketahanan oksidasi PGE.
Kata kunci: ester poligliserol-estolida asam oleat, pelumas, fenil α-naftilamina, antioksidan, Indiana
stirring oxidation test.
ABSTRACT
Keywords: polyglycerol-estolide esters of oleic acid, lubricating oil, phenyl α-naphtylamine, antioxidant,
Indiana-stirring oxidation test
* Alamat korespondensi:
2d@itenas.ac.id
49
PENDAHULUAN
Ester poligliserol-estolida (PGE) asam oleat merupakan senyawa yang dikembangkan sebagai
bahan dasar pelumas sintetik. Keunggulan komparatif PGE dibandingkan dengan pelumas
konvensional adalah bahan bakunya teruraikan secara hayati, proses pembuatannya fleksibel sehingga
mungkin diperoleh berbagai grade viskositas pelumas sesuai kebutuhan (Dermawan 2004a), serta nilai
indeks viskositas dan titik nyalanya yang tinggi (Dermawan 2004b). Akan tetapi, keberadaan ikatan
rangkap dalam struktur PGE menjadi salah satu kelemahan mendasar karena membuat PGE relatif
lebih rentan terhadap oksidasi.
Oksidasi pelumas umumnya merupakan proses yang tidak dikehendaki, karena dampak negatif
yang ditimbulkannya. Oksidasi dapat menghasilkan produk ringan yang akan teruapkan bersama gas
buang, meninggalkan sisa pelumas yang viskositasnya relatif lebih tinggi. Oksipolimerisasi yang terjadi
juga memberikan akibat yang sama. Peningkatan viskositas ini akan menurunkan efisiensi sistem
pelumasan. Di samping itu, produk oksidasi dapat merupakan asam-asam organik yang korosif
terhadap sistem pelumasan. Pada taraf yang tinggi, oksidasi juga akan menghasilkan lumpur dan
endapan yang taklarut. Masa pakai pelumas harus diakhiri sebelum peningkatan viskositas, korosivitas,
serta pembentukan lumpur dan endapan yang berlebihan terjadi.
Sifat oksidasi yang eksoterm akan mengakselerasi proses oksidasi pelumas. Kalor reaksi ini,
bersama dengan peningkatan gesekan internal akibat kenaikan viskositas, juga akan meningkatkan
suhu kerja mesin. Suhu yang makin tinggi akan makin mempercepat oksidasi, yang pada gilirannya
akan semakin mempercepat laju peningkatan viskositas.
Skema mekanisme oksidasi pelumas (Mortier 1997) menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi
dipengaruhi oleh suhu. Reaksi dimulai dengan lepasnya hidrogen yang terikat paling lemah dari molekul
pelumas akibat pengaruh suhu dan sifat katalitik permukaan gesek yang berupa logam, diikuti dengan
absorpsi oksigen oleh radikal yang terbentuk. Radikal peroksi yang dihasilkan akan menarik hidrogen
dari molekul pelumas lainnya membentuk radikal baru yang kembali akan mengabsorpsi oksigen.
Demikian seterusnya sehingga terbentuk reaksi-rantai yang mengakibatkan kerusakan pelumas.
Pada suhu rendah, ROOH relatif stabil, tetapi pada suhu tinggi akan terurai menjadi radikal
alkoksi dan radikal hidroksi yang sangat reaktif:
Kedua radikal ini secara non-selektif berperan penting dalam mempercepat perusakan molekul
pelumas:
RO· + R”-H → ROH + R”· (5)
OH· + R”’-H → HOH + R”’· (6)
Viskositas produk oksidasi ini akan sangat tinggi apabila masih berfase cair. Bila tidak, produk ini akan
berupa lumpur dan/atau endapan taklarut.
50
Peningkatan ketahanan termal/oksidasi umumnya dilakukan melalui formulasi dengan
antioksidan. Walaupun terdapat beragam cara kerja antioksidan, secara umum antioksidan dapat
digolongkan ke dalam pemerangkap radikal dan pengurai hidroperoksida (ATC 1993). Penelitian ini
mengkaji kinerja fenil α-naftilamina (PNA) sebagai antioksidan pada suatu contoh PGE yang memenuhi
spesifikasi viskositas pelumas mesin SAE 50.
3500 100 5 5
90
3000
Viskositas Kinematik @ 100oC [cSt]
80 4 4
Viskositas Kinematik @ 40oC [cSt]
2500 70
60 3 3
KVI @ 100oC
2000
KVI @40oC
50
1500
40 2 2
1000 30
20 1 1
500 40oC 40oC
10 100oC
100oC
0 0 0 0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu Oksidasi [jam] Waktu Oksidasi [jam]
Gambar 1 Profil viskositas PGE selama uji oksidasi pada 150 oC.
51
Gambar 1 merupakan profil khas kenaikan viskositas PGE selama berlangsungnya proses
oksidasi. Secara umum, kenaikan viskositas pada suhu 40 oC berlangsung lebih cepat daripada ketika
diukur pada suhu 100 oC. Waktu yang diperlukan selama uji oksidasi dilakukan untuk mencapai
kenaikan viskositas dengan harga tertentu dijadikan ukuran masa pakai pelumas. Sebagai contoh, API
mensyaratkan kenaikan viskositas maksimum sebesar 325% pada pengujian oksidasi selama 64 jam
untuk klasifikasi layanan SJ. Bahkan, untuk layanan SL, kenaikan maksimum disyaratkan hanya 275%
dalam waktu oksidasi 100 jam. Pada penelitian ini, masa pakai pelumas secara apriori dihitung
berdasarkan kriteria terakhir, yaitu waktu yang diperlukan untuk tercapainya kenaikan viskositas
sebesar 275% berdasarkan hasil pengukuran viskositas pada suhu 40 oC, yang dilambangkan sebagai
40 o C 40 o C
t 275 % KVI . Gambar 1 menunjukkan bahwa untuk PEG yang tidak diberi aditif t 275% KVI hanya 25.4 jam,
jauh lebih singkat dibandingkan dengan persyaratan API. Tampak jelas dari hasil pengujian ini betapa
pentingnya dilakukan formulasi untuk meningkatkan ketahanan oksidasi PGE.
N N
H + ROO + ROOH
N N
2 ROO + H
- 2 ROOH
2 2
- ROOH
A"H + ROO ...............
Gambar 3 menunjukkan perbandingan profil kenaikan viskositas PGE tanpa aditif dengan PGE
40 o C
yang diformulasikan dengan 2% PNA. Tampak jelas bahwa masa pakai pelumas, t 275 % KVI , berhasil
40oC
4 100oC 4
Keterangan:
KVI @ 100oC
3 3
KVI @40oC
0 0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Waktu Oksidasi [jam]
52
o
Tabel 1 menunjukkan masa pakai pelumas pada berbagai kadar PNA. ∆t275 40 C
%KVI adalah
peningkatan masa pakai pelumas yang dihitung sebagai selisih antara masa pakai dengan keberadaan
40 o C
aditif dan tanpa aditif. Sebagai contoh, untuk PNA 2% ∆t275%KVI = 45.2–25.4 = 19.8 jam.
Tabel 2 menunjukkan pengaruh kadar PNA terhadap masa pakai pelumas, tetapi
100o C
menggunakan ∆t150 %KVI . Tampak bahwa tanpa bergantung pada suhu ukur yang digunakan sebagai
Pada konsentrasi PNA di atas 2%, sifat prooksidan PNA mulai tampak:
1
AH + R1 C C R2 A + R C C R2
H H H2 H
Akibatnya, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4, pemakaian PNA pada kadar di atas 2%
melemahkan kemampuannya sebagai antioksidan. Aplikasi PNA pada kadar 6% ke atas bahkan
memberikan ketahanan oksidasi lebih rendah daripada ketahanan oksidasi PGE tanpa antioksidan.
20 20
18 18
16 16
275% KVI , [ jam ]
14 14
150 % KVI [jam]
12 12
10 10
C
C
8 8
o
o
∆t 40
∆ t 100
6 6
4 4
2 2
0 0
0 1 2 3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7
(a) (b)
Gambar 4 Peningkatan masa pakai pelumas pada formulasi dengan berbagai kadar PNA berdasarkan
pengukuran viskositas pada (a) 40 oC dan (b) 100 oC.
53
SIMPULAN DAN SARAN
Studi empirik untuk mengkaji kinerja PNA sebagai antioksidan pada suatu contoh pelumas
percobaan PGE yang memenuhi spesifikasi viskositas pelumas mesin SAE 50 menunjukkan bahwa
tanpa bergantung pada suhu pengukuran viskositas, peningkatan ketahanan-oksidasi maksimum
tercapai pada kadar PNA sebesar 2%. Studi ini juga menunjukkan bahwa peningkatan kadar
antioksidan tidak selalu memberikan perbaikan. Penggunaan PNA pada konsentrasi di atas 2% justru
memberikan efek yang merugikan karena meningkatnya efek prooksidan. Bahkan, penggunaan PNA
dengan kadar di atas 6% akan menurunkan ketahanan oksidasi PGE. Studi lanjutan mengenai
peningkatan ketahanan oksidasi pelumas dapat dilakukan menggunakan aditif lain atau menggunakan
kombinasi aditif.
DAFTAR PUSTAKA
ATC. 1993. Document 49: Lubricant Additives and The Environment. Belgia: CEFIC.
Dermawan D. 2004a. Pengaturan viskositas produk esterifikasi poligliserol dengan campuran estolida-
asam oleat. Prosiding Seminar Nasional “Kejuangan”. Yogyakarta: Teknik Kimia UPN Veteran.
Dermawan D. 2004b. Karakteristik ester poligliserol dari estolida & asam oleat sebagai bahan dasar
pelumas mesin otomotif. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia & Proses. Semarang:
Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
Mortier RM, Orszulic ST. 1997. Chemistry and Technology of Lubricant. Ed ke-2. London: Blackie
Academic and Professional.
54
ALKALOID ERITRINA YANG BERSIFAT ANTHELMINTIK
DARI BIJI DADAP AYAM (Erythrina variegata)
Tati Herlina*, Unang Supratman1, Anas Subarnas, Supriyatna Sutardjo2,
Hideo Hayashi3
1Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jatinangor
2Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jatinangor
3Laboratory of Natural Products Chemistry, Division of Applied Biological Chemistry, Graduate School of
ABSTRAK
Erythrina variegata (Leguminosae) merupakan tumbuhan obat tradisional yang digunakan
sebagai anthelmintik. Dalam penelitian berkelanjutan untuk menemukan senyawa anthelmintik baru dari
tumbuhan eritrina, diperoleh bahwa ekstrak metanol dari biji E. variegata menunjukkan aktivitas
penghambatan yang signifikan terhadap perkembangan telur infektif Ascaris suum. Ekstrak ini
kemudian dipisahkan komponen-komponennya dengan cara fraksionasi yang dipandu oleh uji hayati.
Struktur kimia senyawa aktif ditetapkan berdasarkan data-data spektroskopi dan perbanding-an dengan
senyawa yang sebelumnya telah dilaporkan dan diidentifikasi sebagai alkaloid eritrina, yaitu eritratidinon.
Senyawa ini memperlihatkan aktivitas penghambatan terhadap perkembangan telur infektif A. suum
secara in vitro pada konsentrasi 10 ppm.
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia dengan
lebih dari 30 ribu spesies tanaman berkhasiat obat yang telah diteliti secara ilmiah. Namun, hanya
sekitar 180 spesies yang telah dimanfaatkan oleh industri obat tradisional (Depkes 2000).
Tumbuhan obat Indonesia yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam
pengobatan anthelmintik secara tradisional adalah dadap ayam (Erythrina variegata), yang termasuk
famili Leguminosae (Heyne 1987; Mursito 2002). Bagian tumbuhan E. variegata yang digunakan dalam
* Alamat korespondensi:
tatat_04her@yahoo.com
55
pengobatan tradisional adalah daun, kulit batang, akar, dan biji yang dilaporkan mengandung senyawa
alkaloid (Chawla et al. 1988), serta senyawa golongan flavonoid dan isoflavonoid (Tanaka et al. 2000;
Sato et al. 2003). Peneliti sebelumnya telah berhasil mengisolasi 4 senyawa alkaloid eritrina dari daun
Erythrina subumbrans yang beraktivitas paralitik terhadap ulat sutera (Bombyx mori) instar ketiga
(Supratman et al. 2000), alkaloid golongan isokuinolina dari kulit batang Erythrina poeppigiana (Herlina
et al. 2003; Herlina et al. 2005), alkaloid eritrina dari biji Erythrina fusca (Herlina et al. 2004), serta 2
alkaloid eritrina dari kulit batang E.subumbrans (Herlina et al. 2006).
Dalam penelitian berkelanjutan untuk menemukan senyawa anthelmintik baru dari tumbuhan
Erythrina, diperoleh bahwa ekstrak metanol dari biji E. variegata menunjukkan penghambatan terhadap
perkembangan telur infektif Ascaris suum. Pada makalah ini akan dipaparkan tentang isolasi,
penentuan struktur, dan uji aktivitas anthelmintik dari biji E. variegata.
PERCOBAAN
Umum
Spektrum inframerah (IR) diukur dengan spektrofotometer IR transformasi Fourier (FTIR)
Shimadzu seri 8400. Spektrum resonansi magnetik inti (NMR) 1H dan 13C diukur menggunakan Spectra
JEOL JNM A-400, yang bekerja pada 400 MHz (1H-NMR) dan 125 MHz (13C-NMR) dengan
tetrametilsilana (TMS) sebagai standar internal. Kromatografi kolom dilakukan dengan mengguna-kan
silika gel Merck 60 GF254, dan analisis kromatografi lapis tipis (TLC) menggunakan lempeng berlapis
silika gel Merck 60 GF254.
Pengumpulan Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji dadap ayam (E. variegata) yang
diperoleh dari hutan lindung di daerah Ciater, Kabupaten Subang. Bahan ini dideterminasi di
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung.
Serbuk biji E. variegata (2 kg) dimaserasi dengan metanol. Ekstrak metanol pekat lalu
diasamkan dengan asam sulfat sampai pH 2−3, sebelum dipartisi dengan diklorometana. Ekstrak
diklorometana kemudian dibasakan sampai pH 9−10, dipekatkan, dan dipisahkan menggunakan
kromatografi kolom silika gel G 60 dengan eluen kloroform-metanol (9.5:0.5). Fraksi D (65.5 mg)
kemudian dipisahkan dengan kromatografi kolom silika gel G 60 dan eluen n-heksana-aseton (3:2).
Diperoleh senyawa 1 (15 mg).
Suspensi telur (±40 telur) infektif A. suum diteteskan pada kaca objek, kemudian masing-
masing ditambahkan contoh dengan ragam konsentrasi 2, 1, 0.5, dan 0.1%. Setelah 3 jam, campuran
suspensi telur dengan contoh diperiksa di bawah mikroskop, dan dihitung jumlah telur yang mati untuk
memperoleh persen inhibisi sampel (Murad et al. 2003).
56
HASIL DAN PEMBAHASAN
Senyawa 1 diperoleh sebagai minyak berwarna kuning, titik leleh 120−122 °C, Spektrum UV
λmaks (EtOH) nm (ε): 283 (4600), 230 (24000); Spektrum FTIR (pelet KBr) νmaks: 3059, 2924, 1682,
1510, 1254, dan 753 cm-1. Spektrum 1H-NMR (400 MHz, CDCl3), δH ppm: 2.17 (1H, dd, J=13.1; 11.6
Hz, H-4a); 2.52 (1H, m, H-7a); 2.62 (1H, dd, J=11.6; 5.2 Hz, H-4b); 2.65 (1H, m, H-11a); 2.70 (1H, m, H-
7b); 2.82 (1H, dt, J=9.2; 7.3 Hz, H-8a); 3.02 (1H, m, H-11b); 3.22 (1H, dd, J=14.6; 6.7 Hz, H-10a); 3.49
(1H, m, H-10b); 3.50 (3H, s, OMe-3); 3.77 (3H, s, OMe-16); 3.78 (3H, s, OMe-15); 4.04 (1H, dd, J=13.1;
5.2 Hz, H-3); 6.12 (1H, dd, J=2.1; 1.5 Hz, H-1); 6.54 (1H, s, H-17); Spektrum 13C-NMR (125 MHz,
CDCl3), δC ppm: 120.93 (CH-1); 197.74 (C-2); 77.08 (CH-3); 42.58 (CH2-4); 64.35 (C-5); 168.29 (C-6);
28.56 (CH2-7); 45.87 (C-8); 39.87 (CH2-10); 21.35 (CH2-11); 124.61 (C-12); 125.97 (C-13); 109.78 (CH-
14); 146.55 (C-15); 146.93 (C-16); 112.96 (CH-17); 55.85 (OMe-3); 56.14 (OMe-16); 58.52 (OMe-15).
Ekstrak metanol pekat biji E. variegata dipartisi di antara diklorometana dan air. Ekstrak
diklorometana yang telah diasamkan selanjutnya dibasakan dan dipisahkan melalui kombinasi
kromatografi kolom silika gel G 60 dan TLC preparatif silika gel GF254 menghasilkan senyawa 1.
Senyawa 1 menunjukkan rumus molekul C19H23NO4 berdasarkan data 1H-dan 13C-NMR, serta
menunjukkan serapan enon dan aril pada 230 nm (ε = 24000) dan 283 nm (ε = 4600). Spektrum IR
menunjukkan adanya serapan cincin aromatik pada 3059, 1560, dan 753 cm-1 dan gugus karbonil α,β-
takjenuh pada 1682 cm-1. Spektrum 1H-NMR menunjukkan adanya proton-α dari keton α,β-takjenuh
pada δH 6.12 (1H, t, J=2.1 Hz) dan cincin benzena 1,2,4,5-tetrasubstitusi pada δH 6.54 (1H, s) dan 6.68
(1H, s), yang menunjukkan senyawa aktif sebagai struktur tetrasiklik. Spektrum 1H-NMR juga
menunjukkan adanya 3 gugus metoksi pada δH 3.50 (3H, s); 3.77 (3H, s); dan 3.78 (3H, s) yang
ditunjang pula dengan data 13C-NMR pada δC 55.85 (OMe-3); 56.14 (OMe-16); dan 58.52 (OMe-15).
Berdasarkan data-data spektrum yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya serta pendekatan
biogenetik tentang keberadaan senyawa golongan alkaloid eritrina pada marga Erythrina biologis,
senyawa 1 (Gambar 1) ditetapkan sebagai eritratidinon (Supratman et al. 2000). Aktivitas biologis
senyawa 1 diperiksa terhadap telur infektif A. suum. Isolat murni senyawa 1 menunjukkan persen
inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi D dan ekstrak metanol. Hasil uji aktivitas ekstrak
metanol, fraksi D, dan senyawa 1 dapat dilihat pada Tabel 1.
H 3C O 17 11
16 12
10
15
N 8
H 3C O 13
14 4 5
6 7
3
2 1
H 3C O
H O
57
SIMPULAN
Alkaloid eritrina, eritratidinon (15 mg), yang berupa minyak berwarna kuning hasil isolasi dari biji
E. variegata (2 kg), memperlihatkan aktivitas penghambatan (87%) terhadap perkembangan telur
infektif A. suum secara in vitro pada konsentrasi 10 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Chawla AS, Krishan TR, Jackson AH. Scalabrin DA. 1988. Alkaloidal constituents of Erythrina variegata
bark. J Planta Med 16:526-528.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta. hlm 10-11.
Herlina T, Harneti D, Supratman U, Subarnas A, Supriyatna, Hayashi H. 2003. A paralytic alkaloid from
the bark of Erythrina poeppigiana. Math et Natur Acta 7:6-15.
Herlina T, Supratman U, Subarnas A, Supriyatna, Hayashi H. 2004. Alkaloid yang bersifat paralitik dari
biji Erythrina fusca Lour (Leguminosae). Math et Natur Acta 3:43-49.
Herlina T, Supratman U, Subarnas A, Supriyatna, Hayashi H. 2005. Alkaloid isokuinolin yang bersifat
paralitik dari kulit batang Erythrina poeppigiana (Walpers) O.F. Cook (Leguminosae). Bionat
7:212-218.
Herlina T, Supratman U, Subarnas A, Supriyatna, Hayashi H. 2006. Paralytic alkaloids from the bark of
Erythrina subumbrans (Leguminosae). J Natur 8(2):65-68.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, penerjemah. Jakarta:
Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Indonesie.
Sato M, Tanaka H, Fujiwara S, Hirata M, Yamaguchi R, Etoh H, Tokuda C. 2003. Antibacterial property
of isoflavonoids isolated from Erythrina variegata against cariogenic oral bacteria. Phytomed
10:427-433.
Supratman U, Fujita T, Hayashi H. 2000. Erythrina alkaloids from the leaves of Erythrina subumbrans
(Leguminosae). Appl Bio Sci 6:7-16.
Tanaka H, Etoh H, Shimizu H, Makita T, Tateishi Y. 2000. Two new isoflavonoids from Erythrina
variegata. Planta Med 66:578-579.
58
ANTIBIOTIK BARU DARI ACTINOMYCETES DAN JAMUR
Desak Gede Sri Andayani, Linar ZU, LBS Kardono, M Hanafi
Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ABSTRAK
Antibiotik masih digunakan untuk mengobati infeksi. Akan tetapi, semakin banyak organisme
penyebab infeksi yang resisten terhadap berbagai antibiotik sehingga perlu dicari antibiotik baru.
Antibiotik adalah metabolit sekunder yang disintesis oleh mikrob tertentu yang dapat mematikan
mikrob lain. Sebagian besar antibiotik, antimikrob, dan antikanker dihasilkan oleh mikroorganisme
endogenik dan endofitik dari kelompok Actinomycetes dan jamur.
Pada penelitian ini, dilakukan pencarian antibiotik baru yang meliputi identifikasi
mikroorganisme penghasil antibiotik baru secara morfologis, kimiawi, dan molekular; fermentasi;
pemisahan/pemurnian yang meliputi ekstraksi dan fraksionasi; bioautografi; uji bioaktivitas; dan
elusidasi struktur senyawa bioaktif dengan spektroskopi resonansi magnetik inti.
Identifikasi dan isolasi menunjukkan bahwa antibiotik baru dihasilkan dari genus Streptomyces
sp. dengan senyawa bioaktif dari golongan poliena yang memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur
terhadap mikrob patogen Salmonella typhimurium A, B, C, Escherichia coli, Bacillus substilis,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi, Mycrosforum gypseum, dan
Thricopyton sp.
ABSTRACT
Antibiotics are still used to treat infection. However, organisms causing infection which are
resistant to antibiotics become greater, so a new antibiotic is needed.
Antibiotics are secondary metabolites synthesized by particular microbes that may kill other
microbes. Most antibiotics, antimicrobes, and anticancers are produced by endogenic and endophytic
microorganisms from the group of Actinomycetes and fungi.
In this research, new antibiotics were screened, including identification of microorganisms
producing new antibiotics morphologically, chemically, and molecularly; fermentation process;
separation/purification, including extraction and fractionation; bioautography; bioactivity assay; and
structural elucidation of the bioactive compounds with nuclear magnetic resonance spectrocopy.
The identification and isolation showed that new antibiotics are produced from Streptomyces sp.
strain with bioactive compounds from polyene group owing antibacterial and antifungal activities towards
pathogenic microbies of Salmonella typhimurium A, B, C, Escherichia coli, Bacillus substilis,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi, Mycrosforum gypseum, and
Thricopyton sp.
PENDAHULUAN
Golongan obat antibiotik lebih sering diproduksi menggunakan cara fermentasi. Dengan
kemajuan biologi molekular dan rekayasa genetika, produksi obat secara fermentasi telah maju pesat.
Di Indonesia, penelitian dan pengembangan bahan baku obat secara fermentasi relatif belum
59
berkembang. Di sisi lain, Indonesia terkenal akan keanekaragaman hayatinya, tidak terkecuali mikrob.
Namun, potensi mikrob untuk pengembangan antibiotik baru belum banyak terungkap1.
Banyaknya penyakit baru yang ditemukan memerlukan obat baru untuk menanggulanginya.
Demikian pula karena resistensi antibiotik yang sudah ada terhadap mikrob infeksi target, meskipun
antibiotik yang beredar sudah banyak, antibiotik baru yang lebih berpotensi dan efektif terus dicari.
Antibiotik adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme melalui proses
fermentasi. Hampir semua metabolit sekunder hasil fermentasi bernilai ekonomi yang tinggi; beberapa
di antaranya telah diproduksi secara komersial. Manfaat antibiotik dan modifikasi aktivitas-nya bagi
kepentingan makhluk hidup antara lain ialah untuk memerangi berbagai infeksi pada manusia dan
hewan, selain juga digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan nilai produk pangan.
Actinomycetes dan jamur yang diisolasi dari tanah maupun tanaman2,3 telah lama digunakan
sebagai antibiotik, antimikrob, dan antikanker. Selain itu, mereka juga merupakan kelompok
mikroorganisme paling penting dalam menghasilkan metabolit yang berguna. Hampir 85% antibiotik
ditemukan dari genus Streptomyces dari kelompok Actinomycetes. Keanekaragaman senyawa kimia
yang diproduksi menyebabkan Streptomyces berada di tempat teratas sebagai mikroorganisme
penghasil antibiotik4. Penelitian ini bertujuan mengembangkan bahan baku antibiotik baru dengan
aktivitas antimikrob dan antikanker dari mikrob alam Indonesia.
Mikroorganisme
Penapisan antibiotik baru dilakukan dari berbagai isolat mikroorganisme endogenik dari tanah
dataran rendah (kebun dan hutan) dan tinggi (gunung/tanah vulkanik) serta mikroorganisme endofitik
dari tanaman berkhasiat obat di Indonesia. Isolasi mikrob endogenik dilakukan pada medium agar pati,
sedangkan mikrob endofitik diisolasi dengan medium agar corn meal malt (CMM). Karakteristik
morfologi ditentukan menggunakan mikroskop optik (Nikon Microphot FXA, Japan) dan mikroskop
elektron payaran (Philips SEM 515, Netherland). Karakteristik genetis ditentukan menggunakan gen
pengurut rRNA 16s dan 18s.
Fermentasi
Kultur agar miring 10% yang ditumbuhkan pada medium agar dekstrosa kentang (PDA,
Difco.co) disuspensi dalam akuades kemudian diaktifkan dalam labu Erlenmeyer 500 ml yang berisi 100
ml medium [tripton 5g/l, pati 10g/l, glukosa 10 g/l, ekstrak khamir 2.5g/l, CaCO3 1 g/l, dan medium PDB
(Difco.co). Erlenmeyer lalu ditempatkan pada penggoyang mekanis dengan putaran 150 rpm dan suhu
30 oC. Setelah diinkubasi 2 hari, 100 ml kultur aktif diinokulasikan ke dalam fermentor 1 l yang
mengandung medium sama dengan medium pengaktif. Fermentasi dilakukan pada volume kerja 1 l,
putaran 150 rpm, aerasi 1 vvm, dan suhu 30 oC selama 7 hari. Cairan hasil fermentasi disentrifugasi 5
menit pada 5000 rpm untuk memisahkan supernatan dan biomassa.
Supernatan selanjutnya diekstraksi berturut-turut dengan n-heksana dan campuran etil asetat-
n-butanol (1:3). Hasil ekstraksi dikisatkan menggunakan penguap, lalu pemurnian dilanjutkan dengan
kromatografi lapis tipis (TLC) dan kromatografi kolom5,6,7,8.
60
Aktivitas Biologis
Pengujian aktivitas antimikrob (antibakteri dan antijamur) dari cairan fermentasi dilakukan
berdasarkan metode difusi agar9,10. Mikrob patogen yang terdiri atas bakteri Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Bacillus substilis, dan Salmonella typhimurium A, B, C, dan jamur patogen
Mycrosforum gypseum dan Thricopyton sp. digunakan sebagai organisme indikator. Mereka dikultur
dalam medium PDA pada suhu 25 oC. Sebanyak 16 ml medium PDA cair (suhu 45 oC) dituang ke
dalam cawan petri yang telah diisi 100 µl spora organisme indikator. Kertas saring yang telah
disterilisasi (Ǿ = 5 mm) dan telah diisi cairan fermentasi ditempatkan di atas medium padat. Setelah
beberapa hari dikultur, diameter penghambatan berupa zona bening dari organisme indikator diukur.
Pengaruh sitotoksik/aktivitas antikanker cairan fermentasi diuji secara in vitro dengan metode
MTT . Cell line (sel T47D) yang digunakan berasal dari sel kanker payudara manusia. Rapatan optis
9,11
(OD) diukur dengan microplate reader (M-3550, Bio-Rad) pada panjang gelombang 595−655 nm.
Konsentrasi penghambatan 50% (IC50) didefinisikan sebagai ekstrak pengenceran kultur contoh yang
menghambat 50% laju pertumbuhan sel kanker.
Mikroorganisme
Identifikasi secara morfologis, kimiawi, dan genetis menunjukkan bahwa mikrob endogenik
yang memiliki aktivitas antimikrob termasuk genus Streptomyces sp. Sementara dari amatan secara
morfologis, mikrob endofitik yang memiliki aktivitas antimikrob dan antikanker ialah jamur endofitik.
Aktivitas Biologis
Gambar 1 Aktivitas antijamur dan bioautografi pada ekstrak etil asetat dan n-butanol.
61
Tabel 1 Aktivitas antimikrob Streptomyces sp.
Diameter-hambat antimikrob (mm)
Contoh
S. aureus B. substilis E. coli P. aeruginosa S. typhi S. paratypy A Tricophyton sp. M. gypseum
Fermentasi hari ke-2 − − − − − − − 12
Fermentasi hari ke-3 − − − − − − 20 24
Fermentasi hari ke-4 − − − − − − 25 20
Fermentasi hari ke-5 − 12 12 12 10 13 30 30
Ekstrak etil asetat 12 15 12 12 15 15 33 30
Ekstrak n-butanol 20 25 21 23 25 20 25 15
Residu − 20 − − − − − 20
A. ekstrak etil asetat − − − − − − − 14
A. ekstrak n-butanol 16 10 − − − − − −
Aktivitas antibakteri terhadap S. typhimurium A ditunjukkan oleh isolat C2, C8, C10, C11, C18,
C19, dan C26; terhadap B. substilis ditunjukkan oleh jamur endofitik isolat C6. Sementara aktivitas
antibakteri terhadap S. typhimurium A, B, C; E. Coli; dan S. aureus ditunjukkan oleh jamur endofitik
isolat C18. Aktivitas antijamur terhadap M. gypseum ditunjukkan oleh isolat C9, C14, C17, dan C18, dan
terhadap Thricopyton sp. ditunjukkan oleh isolat C10, C14, dan C18.
Tabel 3 dan 4 berturut-turut memperlihatkan aktivitas antijamur dan antibakteri dari isolat jamur
yang menghambat organisme indikator. Daerah hambatan berdiameter 7 sampai 40 mm. 50% galur
(strain) yang diisolasi dari tanaman dan 50% cairan hasil fermentasi serta hasil ekstraksi jamur endofitik
memperlihatkan aktivitas antibakteri dan antijamur terhadap bakteri dan jamur patogen pada sekurang-
kurangnya satu organisme indikator. Hal ini mengindikasikan bahwa mikrob endofitik dapat
dikembangkan sebagai sumber baru senyawa antibakteri dan antijamur. Tabel 1, 2, 3, dan 4 juga
menunjukkan bahwa metabolit sekunder terbentuk mulai hari ke-2 dan ke-4 sampai dengan hari ke-5
dan ke-7, dengan aktivitas tertinggi pada hari ke-5. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu yang
diperlukan untuk terbentuknya antibiotik antimikrob dan antikanker oleh mikrob endogenik
(Streptomyces sp.) dan mikrob endofitik (jamur endofitik) melalui proses fermentasi ialah 5 hari.
62
Tabel 4 Aktivitas antibakteri jamur endofitik
Sifat Fisikokimia
Penurunan pH, kadar glukosa (g/l), dan kadar protein (g/l) pada Gambar 2, 3, 4 dan 5
berlangsung bermakna seiring dengan lamanya fermentasi. Hal ini disebabkan oleh katabolisme
glukosa menjadi asam-asam organik serta penggunaan sumber-sumber nitrogen dan glukosa untuk
pertumbuhan mikrob dan biosintesis antibiotik.
pH, kadar glukosa (g/l), Kadar
9
8
7
protein (g/l)
6
pH
5
Glukosa
4
Prot ein
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7
Gambar 2 Perubahan pH, kadar glukosa (g/l), dan kadar protein (g/l) Streptomyces sp.
7 C19
C26
6.5
C2
6
C6
5.5 C8
5 C10
4.5 C11
4 C18
3.5
3
2.5
2
1 2 3 4 5 6 7
Waktu fermentasi (hari)
3 C19
C26
C2
2 C6
C8
2 C10
C11
C18
1
0
1 2 3 4 5 6 7
Wa k t u f e rm e nt a s i ( ha ri)
63
2 C19
C26
C2
1.5 C6
C8
C10
1
C11
C18
0.5
0
1 2 3 4 5 6 7
Wa k t u f e rm e nt a s i ( ha ri)
Supernatan
F9 F14–17 F33–34
(Hx-EtOAc 9:1) (Hx-EtOAc 5:5) (EtOAc-MeOH 7:3)
0.013 g 0.0161 g 0.011 g
Skema 1 Prosedur isolasi senyawa bioaktif Streptomyces sp.
Fraksi F9 dengan bobot 0.013 g dilarutkan dengan aseton, dan dielusi pada kolom kromatografi
dengan eluen n-heksana (Hx)-etil asetat (EtOAc) (9:1) dan pelat kromatografi lapis tipis (TLC) dengan
eluen Hx-EtOAc (7:3), menghasilkan kristal berwarna putih. Hasil analisis kromatografi cair-spektrometri
massa (LC-MS) positif ion (+H) menunjukkan bobot molekul 365 dan analisis spektroskopi resonansi
magnetik inti (NMR) menunjukkan senyawa asam lemak (C16H15COOH) .
Fraksi F14−17 dengan bobot 0.0161 g dilarutkan dengan aseton, dan dielusi pada kolom
kromatografi dengan eluen Hx-EtOAc (5:5) dan pelat TLC dengan eluen Hx-EtOAc (1:1), menghasilkan
bentuk minyak. Hasil analisis LC-MS positif ion (+H) menunjukkan bobot molekul 382 dan hasil analisis
NMR menunjukkan senyawa asam lemak (C17H35COOH).
Fraksi F33−34 dengan bobot 0.011 g yang dilarutkan dengan metanol dan dielusi pada kolom
kromatografi dengan eluen EtOAc-metanol (MeOH) (7:3) dan pelat TLC dengan eluen EtOAc,
membentuk kristal kuning. Hasil identifikasi dengan NMR menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan
termasuk golongan poliena (Gambar 6).
64
SIMPULAN
Mikrob endogenik dari genus Streptomyces sp. menunjukkan aktivitas antimikrob dengan
spektrum yang luas terhadap bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif, dan jamur. 50% mikrob
endofitik memperlihatkan aktivitas antikanker selektif dengan nilai IC50 3µg/ml serta aktivitas antimikrob
dengan diameter-hambat sampai 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa mikrob endogenik (Streptomyces
sp.) dan mikrob endofitik (jamur endofitik) asal Indonesia dapat dijadikan sumber baru antibiotik,
antimikrob, dan antikanker
PUSTAKA
1. Anonim. Pengembangan bahan kimia kedokteran dan farmasi dari bahan baku potensial Indonesia.
Seminar Bahan Baku Kedokteran dan Farmasi. Fakultas Kedokteran, 17 Maret 1997. Jakarta:
Universitas Indonesia. 1997.
2. Stierle A, Stierle D, Strobel G, Bignami G, Grothaus P. Bioactive metabolites of the endophytic fungi
of Pacific yew, Taxus brevifolia: paclitaxel, taxanes, and other bioactive compound. Di dalam:
George GI, Chen TT, Ojima I., Vyas DM, editor. Taxane anticancer agents: Basic Science and
Current Status. Washington DC: American Chemical Society. 1995. hlm. 81-97.
3. Strobel G, Daisy B. Bioprospecting for microbial endophytes and their natural products.
Microbiology and molecular biology review. Am Soc Microbiol (Dept of Plant Sciences, Montana
State Univ). 2003;67:491-502.
4. Demain AL. The β-lactam antibiotics: Past, present, and future. Antonie van Leeuwenhoek
1999;75:5-19.
5. Chihara G, Hamuro J, Maeda YY, Aral Y, Fukuoka F. Fractionation and purification of
polysaccharides with marked anti tumor activity, especially lentinan from Lentinus edodes (Berk.)
Sing. Cancer Res 1970;30:2776-2781.
6. Cordell GA, Kinghorn AD, Pezzuto JM. Separation, structure elucidation, and bioassay of cytotoxic
natural products. Di dalam: Collegate SM, Molyneux RJ, editor. Bioactive Natural Products. London:
CRC; 1993. hlm. 195-220.
7. Kobayashi H, Sunaga R, Furihata K, Morisaka N, Iwasaki S. Isolation and structures of an
antifungal antibiotic, fusarielin A, and related compounds produced by a Fusarium sp. J Antibiotics
1995;48:42-52.
8. Seki-Asano M, Tsuchida Y, Hanada K, Mizoue K. Structures of new 18-membered macrolides FD-
891 and FD-892. J Antibiotics 1994;47:1234-1241.
9. Jayasuriya H, Mc. Chesney JD, Swanson SM, Pezzuto JM. Antimicrobial and cytotoxic activity of
rottlerin-type compound from Hypericum drummondii. J Nat Prod 1989;52:285-331.
10. Berghe DA van den, Vlietinck AJ. Assay for Bioactivity. London: Academic Pr; 1991.
11. Mosmann, F. Rapid calorimetric assay for cellular growth and survival: Application to proliferation
and cytotoxicity assay. J Immunol Methods 1983;65:55-63.
12. Smith JE. Biotechnology: Biotechnology and medicine. Ed ke-3. UK: Cambridge Univ Pr; 1997. hlm
128.
65
AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK RIZOMA
TUMBUHAN SPESIES ZINGIBERACEAE
Jasril
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Riau
ABSTRAK
Zingiberaceae merupakan salah satu famili tumbuhan tropis yang banyak ditanam dan
digunakan untuk berbagai keperluan, seperti bumbu masak, ramuan obat, dan kosmetik. Telah
dilakukan uji sitotoksisitas terhadap ekstrak metanol dan kloroform dari rizoma delapan spesies
tumbuhan Zingiberaceae. Aktivitas sitotoksik yang cukup kuat diperlihatkan oleh ekstrak metanol dari
Alpinia hookeriana, Alpinia mutica, dan Nicolaia speciosa terhadap sel human cervical carcinoma
(HeLa) dan oleh ekstrak metanol dari A. mutica dan Amomum gracile terhadap sel human T-
lymphoblastic leukaemia (CEM-SS) dengan konsentrasi inhibisi 50% sebesar 10 µg/ml.
ABSTRACT
Zingiberaceae is a family of tropical plants widely cultivated and used for many purposes, such
as spices, traditional medicines, and cosmetics. Cytoxicity assays had been carried out to methanol and
chloroform extracts of rhizomes from eight Zingiberaceae species. Moderate cytotoxic activity was
shown by the methanol extracts of Alpinia hookeriana, Alpinia mutica, dan Nicolaia speciosa against
human cervical carcinoma (HeLa) cell line and A. mutica dan Amomum gracile against human T-
lymphoblastic leukaemia (CEM-SS) cell line with inhibitory concentration 50% value of 10 µg/ml.
PENDAHULUAN
Tumbuhan Zingiberaceae telah dikenal baik oleh penduduk di berbagai negara tropis, terutama
di kawasan Asia Tenggara, sebagai tumbuhan obat yang memiliki nilai ekonomis. Berbagai spesies
tumbuhan Zingiberaceae telah lama digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, misalnya
bumbu masak, ramuan obat-obatan, dan kosmetik. Hampir semua spesies tumbuhan Zingiberaceae
menawarkan studi kimia yang menarik, karena diduga mengandung banyak komponen kimia yang
potensial dan bernilai komersial.
Bagian tumbuhan Zingiberaceae yang banyak dimanfaatkan adalah rizomanya. Rizoma
tumbuhan Zingiberaceae banyak mengandung senyawa dari golongan kurkuminoid dan flavonoid yang
memiliki bioaktivitas yang sangat berguna sebagai antioksidan dan antitumor. Beberapa spesies
tumbuhan Zingiberaceae yang telah dikenal secara luas dan banyak digunakan oleh masyarakat adalah
jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), lengkuas (Alpinia galanga), dan kencur
(Kaemferia galanga).
66
METODE
Bahan Tumbuhan
Bahan tumbuhan spesies Zingiberaceae dikoleksi di unit Germplasm, Institute of Biosciences,
Universiti Putra Malaysia. Spesimen diidentifikasi oleh A.A. Rahman dan disimpan di Herbarium
Department of Biology, Universiti Putra Malaysia. Delapan spesies Zingiberaceae yang diuji adalah
Alpinia hookeriana, Alpinia mutica, Alpinia nutans, Amomum compactum, Amomum gracile, Costus
mexicanus, Horstedtia leonurus, dan Nicolaia speciosa.
Ekstraksi Contoh
Contoh rizoma tumbuhan dibersihkan, dikeringkan, dan dihaluskan. Sebanyak 200 g kemudian
diekstraksi menggunakan Soxhlet dengan pelarut kloroform dan dilanjutkan dengan metanol.
Uji Toksisitas
Uji ini dilakukan terhadap benur udang Artemia salina, mengikuti metode yang dikembangkan
oleh Meyer et al. (1982). Telur udang dimasukkan ke dalam wadah dua sisi yang berisi air laut. Wadah
ditutup pada sisi yang diisi telur udang, sedangkan sisi di sebelahnya dibiarkan terbuka untuk menarik
benur udang yang telah menetas. Setelah itu, larutan contoh disiapkan dengan konsentrasi 1000, 100,
dan 10 µg/ml (dibuat triplo). Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam vial dan diuapkan
pelarutnya. Setelah 2 hari, benur udang telah tersedia dan digunakan untuk uji toksisitas. Air laut dan 10
benur udang dimasukkan ke dalam setiap vial (30 larva per konsentrasi) dan volumenya ditepatkan
dengan air laut menjadi 5 ml per vial. Jumlah benur udang yang masih hidup dihitung setelah 2 hari.
Data dianalisis dengan program analisis probit Finney untuk menentukan konsentrasi mematikan 50%
(LC50).
Uji Sitotoksisitas
Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode kolorimetri MTT (Mosmann 1983). Sel uji dikultur
dalam medium RPMI-1640 yang diperkaya dengan FCS 10%, penisilin 100 IU/ml, dan streptomisin 100
µg/ml. Sebanyak 100 µl suspensi sel dengan konsentrasi 5 × 105 sel/ml dimasukkan ke dalam sumur
pada pelat sumur mikro 96 beralas datar yang telah diisi contoh uji dengan berbagai konsentrasi. Pelat
sumur mikro tersebut diinkubasi selama 72 jam dalam inkubator CO2 pada suhu 37 ºC. Setelah
ditambahkan 5 mg/ml MTT, diinkubasi kembali selama 4 jam. Kemudian nilai absorbans setiap sumur
ditentukan dengan pembaca enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) pada panjang gelombang
550 nm dengan pembanding pada 630 nm. Aktivitas sitotoksik ditentukan berdasarkan konsentrasi
inhibisi 50% (IC50).
Tabel 1 memperlihatkan hasil uji toksisitas dan sitotoksisitas terhadap ekstrak metanol dan
kloroform dari 8 spesies tumbuhan Zingiberaceae.
67
Tabel 1 Hasil uji toksisitas dan sitotoksisitas tumbuhan Zingiberaceae
Toksisitas, Sitotoksisitas, IC50 (µg/ml)
Spesies Ekstraka
LC50 (µg/ml) Sel HeLab Sel CEM-SSb
Alpinia hookeriana M 817 10 30
K 426 30 30
Alpinia mutica M > 1000 10 10
K > 1000 30 30
Alpinia nutans M > 1000 30 30
K > 1000 > 30 > 30
Amomum compactum M > 1000 30 30
K > 1000 > 30 30
Amomum gracile M 97 30 10
K 296 30 30
Costus mexicanus M > 1000 > 30 > 30
K 910 30 > 30
Hornstedtia leonurus M > 1000 30 30
K 660 30 30
Nicolaia speciosa M > 1000 10 30
K > 1000 30 > 30
aM = metanol, K = kloroform
b HeLa (human cervical carcinoma), CEM-SS (human T-lymphoblastic leukaemia)
Hasil uji toksisitas terhadap benur udang A. salina menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari A.
gracile memiliki aktivitas yang paling kuat dengan nilai LC50 97 µg/ml. Aktivitas yang cukup kuat
ditunjukkan oleh ekstrak kloroform dari A. gracile (296 µg/ml), A. hookeriana (426 µg/ml), H. leonurus
(660 µg/ml), C. mexicanus (910 µg/ml), dan ekstrak metanol dari A. hookeriana (817 µg/ml). Ekstrak
lainnya tidak menunjukkan aktivitas, dengan nilai LC50 > 1000 µg/ml.
Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari A. hookeriana, A. mutica, dan
N. speciosa memiliki aktivitas yang cukup kuat terhadap sel HeLa dengan nilai IC50 10 µg/ml. Aktivitas
cukup kuat terhadap sel CEM-SS hanya ditunjukkan oleh ekstrak metanol dari A. mutica dan A. gracile.
Ekstrak lainnya menunjukkan aktivitas sitotoksik yang lemah dengan nilai IC50 sebesar 30 µg/ml.
SIMPULAN
Uji toksisitas terhadap benur udang A. salina menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari A.
gracile memiliki aktivitas yang paling kuat dengan nilai LC50 97 µg/ml. Uji sitotoksisitas terhadap sel
HeLa memperlihatkan bahwa ekstrak metanol dari A. hookeriana, A. mutica, dan N. speciosa memiliki
aktivitas yang cukup kuat dengan nilai IC50 10 µg/ml. Uji sitotoksisitas terhadap sel CEM-SS
menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari A. mutica dan A. gracile memiliki aktivitas yang cukup kuat
dengan nilai IC50 10 µg/ml.
DAFTAR PUSTAKA
Balandrin MF, Kinghorn AD, Farnsworth NR. 1993. Plant-derived natural products in drug discovery and
development. Di dalam: Kinghorn AD, Balandrin MF, editor. Human Medicinal Agents from Plants.
ACS Symp Series 534:2-12.
Burkill IH. 1966. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Vol ke-1, 2. Kuala
Lumpur: Ministry of Agriculture.
68
Jitoe A et al. 1992. Antioxidant activity of tropical ginger extracts and analysis of the contained
curcuminoids. J Agric Food Chem 40:1337-1340.
Kikuzaki H, Nakatani N. 1993. Antioxidant effects of some ginger constituents. J Food Sci. 58:1407-
1410.
Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta
Med 45:31-34.
Mosmann T. 1983. Rapid colorimetric assay for cellular growth and survival: Application to proliferation
and cytotoxicity assays. J Immunol Meth 65:55-63.
Zuhud EAM, Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan
Tropika Indonesia. Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN).
69
THE EFFECT OF Ce3+ ON THE CRYSTALLINITY OF
NANO-SIZED YTTRIUM ALUMINUM GARNET
Enrico F. Joland, I Made Joni, C. Panatarani
Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Padjadjaran University
ABSTRACT
We had been successfully synthesized yttrium aluminum garnet (YAG)-Ce3+ nanoparticles (30
nm in sized) having high crystallinity by using low-temperature sol-gel method. The influence of Ce3+
concentration (1−50 mol% of yttrium) on the crystallinity of YAG was studied by means of X-ray
diffraction characterization. Additional high Ce3+ concentration (>10 mol% of yttrium) into YAG particles
highly disturbed the crystallinity of YAG.
INTRODUCTION
Yttrium aluminum garnet (Y3Al5O12, YAG) had been widely used in many applications such as
electroluminescence display, field emission display, plasma display panel, fluorescent lamp, fiber optic,
and light emitting diode. Preparation of fine (submicron to nanometer-sized) YAG-phosphorus using
solid state, combustion, gas-phase condensation, colloidal chemical, and co-precipitation techniques
met some difficulties related to high temperature processing (> 1600 °C).
Our group had successfully synthesized nanometer-sized of YAG particle by sol-gel method.
However, the effect of additional Ce3+ on the crystallinity of YAG has not been studied yet. The purpose
of our research is to find optimium additional Ce3+ into YAG particles based on the crystallinity of YAG.
EXPERIMENT
Sol-gel method was used to synthesize YAG-Ce3+ particles with various Ce3+ concentration.
Yttrium nitrate hexahydrate, Y(NO3)3 ⋅ 6H2O (99.99%, Kanto Chemical), and aluminium triisopropoxide,
[(CH3)2CHO]3Al (99.99%, Kanto Chemical), were used as precursor materials. Cerium nitrate
hexahydrate, Ce(NO3)3 ⋅ 6H2O (99.99%, Kanto Chemical) was used as Ce3+ source. The concentration
ratio of precursor solution was fixed at Y(3−x):Al5:Cex while x was controlled parameter at 1, 5, 10, 20,
and 50% of yttrium.
The experimental procedure of sol-gel method and the particles characterization in detail is
shown in Figure 1.
70
Figure 1 Experimental procedure of sol-gel method.
Our sol-gel method had generated nano-sized YAG-Ce3+ particles. Figure 2 showed field
emission-scanning electron microscope (FE-SEM) image of the prepared YAG-Ce3+ particles. It is
clearly shown that the particles morphology is nearly spherical with average diameter of 30 nm.
71
Figure 3 Powder XRD-pattern of YAG-Ce3+ prepared with different additional Ce3+ concentration
CONCLUSION
ACKNOWLEDGEMENTS
REFERENCES
72
KETERKAITAN KADAR LOGAM-LOGAM TRANSISI DENGAN VARIASI
WARNA BATU MERAH
(STUDI EKSPLORATIF PIGMEN ANORGANIK ALAMI DARI BATU MERAH
DI DESA TAJUN, KABUPATEN BULELENG, BALI]*
I Wayan Karyasa**
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja, Bali
ABSTRAK
Penelitian eksploratif tentang potensi batu merah yang ada di Desa Tajun, Kecamatan
Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali sebagai bahan pigmen anorganik alami telah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kadar logam-logam transisi (Fe, Co, Ni, Cu, Mn, Cr, dan Ti) serta
mendeskripsikan keterkaitannya dengan variasi warna batu merah. Batu merah dari 5 lokasi di desa
Tajun dengan variasi warna merah tanah, merah darah, merah kehitaman, dan hitam diambil sebagai
contoh penelitian. Hasil destruksi serbuk contoh batu merah tersebut dengan HNO3 dan HCl dengan
penambahan beberapa ml HF 48% dianalisis kandungan logam-logam transisinya dengan
menggunakan spektrofotometer serapan atom.
Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi kadar logam Fe, Co, Ni, Cu, Mn, Cr, dan Ti pada
contoh batu merah. Kadar logam Fe, Co, Mn, dan Ti untuk semua contoh lebih tinggi daripada kadar
rerata mereka dalam batuan kerak bumi sedangkan kadar Ni, Cu, dan Cr berada dalam kisaran kadar
rerata. Juga diperoleh keterkaitan antara variasi kadar logam transisi dan variasi warna batu merah: Fe,
Mn, dan Cr cenderung memberikan warna merah tanah, sedangkan Co, Ni, Cu, dan Ti cenderung
memberikan warna hitam.
ABSTRACT
Explorative study on the potency of red stones in Tajun Village, District of Kubutambahan,
Regency of Buleleng, Bali as a natural inorganic pigment had been carried out. This research’s aims
were to analyze the transition metal (Fe, Co, Ni, Cu, Mn, Cr, and Ti) contents and to describe their
correlation with color variation of the red stones. Red stones from five locations in Tajun Village with
color variation of red earth, blood red, dark red, and black were used as experimental samples.
Transition metal contents of the red stone sample powders destructed with HNO3 and HCl with an
addition of a few ml of 48% HF were analyzed using atomic absorption spectrophotometer.
The results showed a variation of transition metal contents of Fe, Co, Ni, Cu, Mn, Cr, and Ti in
the samples. The contents of Fe, Co, Mn, and Ti in all samples were higher than their mean contents in
the earth’s crust rocks whereas the contents of Ni, Cu, and Cr were in the range of their mean contents.
There was also a good correlation between transition metal contents and color variations of the red
stones: Fe, Mn, and Cr tend to give red earth color; on the other hand, Co, Ni, Cu, and Ti tend to give
black color.
* Artikel ini merupakan sebagian dari hasil Penelitian Fundamental DP2M DIKTI 2006.
** Alamat korespondensi: yankaryasa@yahoo.com
73
PENDAHULUAN
Pigmen anorganik alami telah digunakan sebagai bahan pewarna sejak zaman prasejarah.
Pigmen anorganik alami yang ditambang dari deposit lempung dan batuan permukaan menunjukkan
kepermanenan yang istimewa dalam jangka waktu yang sangat panjang (MacEvoy 2002). Pigmen
anorganik biasanya dibedakan atas kelas oksida, hidroksida, sulfida, sulfat, dan karbonat (Riedel 2002;
Greenwood & Earnshaw 2003; Holleman & Wiberg 1985). Beberapa contohnya adalah pigmen merah
tanah (red earth) dan kuning tanah (yellow earth) (Potter 2001; Smith 2002). Kelompok pertama
mengandung oksida besi dengan proporsi yang besar, seperti hematit yang berwarna ungu gelap
sampai merah terang, lepidokrokit yang berwarna jingga sampai kuning, dan maghemit yang berwarna
cokelat gelap. Sementara kelompok kedua mengandung silika dan lempung, oksida-oksida besi
terhidrasi (limonit yang berwarna cokelat kekuningan atau goethit yang berwarna cokelat kekuningan
sampai kuning kehijauan), dan gips atau mangan karbonat dalam porsi yang sangat kecil.
Batu merah yang ada di desa Tajun, Kabupaten Buleleng, Bali menunjukkan ciri-ciri yang
memungkinkan untuk dieksplorasi menjadi pigmen anorganik alami. Penelitian pendahuluan
menunjukkan kandungan besi yang cukup tinggi (Mataram 1995). Batuan yang berwarna merah tanah
sampai merah gelap (kehitaman) tersebut berpori-pori, stabil, tidak luntur oleh sinar matahari dan
guyuran air hujan, serta tidak ditumbuhi lumut sehingga sejak beberapa dekade, batu merah ini telah
dimanfaatkan meskipun hanya sebatas sebagai bahan bangunan. Potensi batu merah sebagai pigmen
anorganik alami telah ditunjukkan dari hasil penelitian Karyasa & Sudria (2005) yang menyimpulkan
kestabilan warna batu merah terhadap pengaruh pembubukan menjadi berbagai ukuran partikel,
pencucian bubuk dengan larutan asam pada berbagai pH, dan pemanasan bubuk sampai 800 °C.
Penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi dan mencirikan senyawa-senyawa kimia yang berkaitan
dengan sifat-sifat fisik tersebut perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan menganalisis kadar berbagai
logam transisi pada batu merah dan keterkaitannya dengan variasi warna (merah tanah, merah darah,
merah kehitaman, dan hitam) dari batu merah yang ada di desa Tajun. Hasil penelitian ini diharapkan
berguna dalam mendeskripsikan sifat kimia dan fisika batu merah serta menambah pembendaharaan
sumber bahan pigmen anorganik alami sebagai upaya memberi nilai tambah pada batu merah tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah batu merah yang ada di desa Tajun dan
sekitarnya. Contoh penelitian diambil secara acak dan dibedakan berdasarkan warnanya, yaitu merah
tanah, merah darah, merah kehitaman, dan hitam. Lima lokasi (lokasi I, II, III, IV, dan V) ditentukan
secara acak dan dari setiap lokasi dipilih 4 contoh yang dibedakan berdasarkan warnanya. Semua
contoh yang masih berupa bongkahan dicuci beberapa kali dengan akuades lalu dikeringkan sampai
bobotnya konstan. Contoh dengan warna yang sama dipilih secara acak dari setiap lokasi, ditimbang
dengan bobot yang sama, lalu digabungkan dan dibuat menjadi contoh serbuk yang homogen (Si),
dengan i = 1, 2, 3, 4; dan 1 = merah tanah, 2 = merah darah, 3 = merah kehitaman, dan 4 = hitam.
Setiap serbuk contoh didestruksi dengan campuran HNO3 dan HCl dan ditambahkan HF 48%
secukupnya sampai destruksi sempurna. Larutan hasil destruksi diencerkan dan dianalisis kadar logam-
logam transisinya (Fe, Co, Ni, Cu, Mn, Cr, dan Ti) dengan metode spektroskopi serapan atom (AAS).
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk membandingkan kadar logam transisi dari contoh
batu merah yang bervariasi warnanya, dan menemukan keterkaitan kadar logam transisi tersebut
dengan variasi warna yang ada.
74
HASIL DAN PEMBAHASAN
7 .6
7 .4 1 9 8
Kadar Fe (% berat) 7 .4
7 .2 8 7 6
7 .2
7 .0 3 3 1
7 .0 6 .9 6 3 7
6 .8
S1 S2 S3 S4
S a m p e l v a r ia s i w a r n a
Berdasarkan Gambar 2 (a), kandungan kobal (Co) pada batu merah yang berwarna hitam
paling besar dan meningkat kadarnya dari warna merah tanah ke warna hitam. Dibandingkan dengan
kadar Co rerata dalam kerak bumi, yaitu 0.001% (Markham & Smith 1952), batu merah mengandung
kobal lebih dari tujuh sampai sebelas kali lipatnya. Gambar 2 (b) menunjukkan bahwa kandungan nikel
(Ni) juga paling besar pada batu merah dengan warna hitam, namun contoh warna merah darah
kadarnya paling kecil meskipun selisihnya dengan warna terdekat (merah tanah dan merah kehitaman)
tidak nyata jika dibandingkan dengan contoh warna hitam. Walaupun demikian, dibandingkan dengan
kadar rata-rata Ni pada batuan kerak bumi, yaitu 0.020% (Markham & Smith 1952) seluruh contoh batu
merah mengandung Ni yang jauh lebih sedikit.
0.0118 0.0086
0.012
0.008
Kadar Co (% berat)
0.010
Kadar Ni (% berat)
0.006 0.002
0.004 0.000
S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4
Sampel variasi warna Sampel variasi warna
(a)
(b)
Gambar 2 Kadar Co (a) dan Ni (b) dari 4 contoh batu merah yang bervariasi warnanya.
Variasi kandungan tembaga (Cu) pada batu merah (Gambar 3[a]) serupa dengan kandungan
nikel (Ni). Dibandingkan dengan kadar rerata Cu pada batuan kerak bumi, yaitu 0.0001% (Markham &
75
Smith 1952), kadar Cu pada batu merah dengan warna merah darah dan merah tanah tidak jauh
berbeda, tetapi berbeda cukup nyata untuk batu merah yang berwarna kehitaman sampai hitam.
Kadar Cr (% berat)
0.030
0.0003
0.025
0.00019 0.020
0.0002
0.00015 0.015
0.00011 0.010
0.0001
0.005
0.000
0.00031 0.00033 0.00145
0.0000
S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4
Sam pel variasi warna
S am pel variasi warna
(a) (b)
Gambar 3 Kadar Cu (a) dan Cr (b) dari 4 contoh batu merah yang bervariasi warnanya.
Sementara itu, kandungan kromium (Cr) pada batu merah dengan warna merah tanah paling
besar (0.04352%). Nilai ini melebihi kandungan Cr rerata batuan kerak bumi (0.037%) (Markham &
Smith 1952). Untuk batu merah dengan warna merah darah, merah kehitaman, dan hitam kandungan
kromiumnya jauh lebih kecil (Gambar 3 [b]). Warna kekuningan pada batu merah tanah diduga ada
kaitannya dengan kandungan kromium.
0 .1 3 5
1.0938
1 .1
0 .1 3 0
0 .1 2 4 2 0 .1 2 5 0 1 .0
Kadar Ti (% berat)
Kadar Mn (% berat)
0 .1 2 5
0 .1 2 0
0 .1 1 9 8 0 .9
0 .8
0 .1 1 5
0 .7 0.6575 0.6913 0.6763
0 .1 1 0
0 .1 0 5 2 0 .6
0 .1 0 5
0 .1 0 0 0 .5
S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4
S a m p e l v a ria s i w a rn a S am pel variasi w arna
(b )
(a )
Gambar 4 Kadar Mn (a) dan Ti (b) dari 4 contoh batu merah yang bervariasi warnanya.
Berdasarkan grafik pada Gambar 4(b), terlihat bahwa kandungan titanium (Ti) pada batu merah
warna hitam paling besar (hampir 2 kali lipat kandungan rerata dalam batuan kerak bumi, yaitu 0.63%
[Underwood & Earnshaw 2003]). Sementara kandungan titanium pada batu merah variasi merah tanah,
merah darah, dan merah kehitaman, yang ketiganya relatif tidak berbeda nyata, masih berada pada
kisaran sedikit di atas rerata. Persenyawaan titanium yang ada pada batu merah diduga
menyumbangkan warna keabuan sampai hitam.
Kadar logam-logam transisi pada Gambar 1−4 dapat dirangkum seperti tertera pada Tabel 1.
Keterkaitan antara kadar logam-logam transisi yang dianalisis dan variasi warna batu merah
diperlihatkan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar tersebut, warna merah tanah kemungkinan
76
ditentukan oleh kadar logam Fe, Mn, dan Cr sementara karakter warna hitam dipengaruhi oleh kadar
Co, Ni, Cu, dan Ti.
Tabel 1 Kadar logam-logam transisi (% bobot) pada batu merah dengan variasi warna
Kode contoh/ Kadar (% bobot)
warna Fe Co Ni Cu Cr Mn Ti
S1 (merah tanah) 7.4198 0.0073 0.0048 0.00015 0.04352 0.1242 0.6575
S2 (merah darah) 7.2876 0.0076 0.0046 0.00011 0.00031 0.1250 0.6913
S3 (merah kehitaman) 7.0331 0.0089 0.0053 0.00019 0.00033 0.1198 0.6763
S4 (hitam) 6.9637 0.0118 0.0086 0.00048 0.00145 0.1052 1.0938
Kerak bumi 5.12* 0.001* 0.020* 0.0001* 0.037* 0.10* 0.63**
* Markham & Smith (1955); ** Greenwood & Earnshaw (2003).
S1 S2 S3 S4
Fe
Co
Ni
Cu
Mn
Cr
Ti
Gambar 5 Keterkaitan antara kadar logam-logam transisi dan variasi warna batu merah.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi kadar logam Fe, Co, Ni, Cu, Mn, Cr, dan Ti pada
contoh batu merah. Kadar logam Fe, Co, Mn, dan Ti untuk semua contoh lebih tinggi daripada kadar
rerata mereka dalam batuan kerak bumi, sedangkan kadar Ni, Cu, dan Cr berada dalam kisaran kadar
rerata. Juga diperoleh keterkaitan antara variasi kadar logam transisi dan variasi warna batu merah: Fe,
Mn, dan Cr cenderung memberikan warna merah tanah, sedangkan Co, Ni, Cu, dan Ti cenderung
memberikan warna hitam.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada DP2M DIKTI atas dana Penelitian Fundamental
serta kepada Ketua Laboratorium Pusat Universitas Udayana dan Ketua Laboratorium Kimia Undiksha
Singaraja atas izin penggunaan AAS.
DAFTAR PUSTAKA
Greenwood NN, Earnshaw A. 2003. Chemistry of the Elements. Ed ke-2. Amsterdam: Elsevier.
Holleman AF, Wiberg N. 1985. Lehrbuch der Anorganische Chemie. Berlin: Walter de Gruyter.
77
Karyasa IW, Sudria IBN. 2005. Explorasi bahan pigmen anorganik alami dari batu merah di desa Tajun
(Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng) dan sekitarnya [laporan penelitian].
Singaraja: Jurusan Pendidikan Kimia, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja.
Mataram IGN. 1995. Kandungan besi (Fe) pada batu merah (studi kasus di desa Tajun Kabupaten
Buleleng) [skripsi]. Singaraja: Program Studi Pendidikan Kimia, Sekolah Tinggi Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja.
MacEvoy B. 2002. Natural Inorganic Pigments, http://www.handprint.com/HP/WCL/pigmt1a.html.
Potter MJ. 2001. Iron Oxide Pigments. US Geological Survey Minerals Yearbook.
Purnomo E. 1997. Kandungan besi (Fe) dan nikel (Ni) pada pasir besi (Bias Melela) di Desa Bukti,
Kabupaten Buleleng [skripsi]. Singaraja: Program Studi Pendidikan Kimia, Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja.
Riedel E. 2002. Anorganische Chemie, 5. Berlin: Walter de Gruyter.
Smith D. 2002. Earth Pigments: The Artist's Oldest Paintbox. http://www.danielsmith.com/learn/ink
smith/200208/.
Walter D. 2005. The mechanism of the thermal transformation from goethite to hematite. Di dalam:
Seminar Akademik Kimia Anorganik dan Workshop Pengelolaan Laboratorium Kimia. Jurusan
Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja, 11-12 Feb 2005.
78
PENGARUH KANDUNGAN SILIKA TERHADAP SIFAT TERMAL
MEMBRAN HIBRID POLI(METIL METAKRILAT)/SiO2
Muhammad Ali Zulfikar1*, Abdul Wahab Mohammad, H Amir Khadum2
1 ProgramStudi Kimia, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
2 Department of Chemical and Process Engineering, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia
ABSTRAK
Membran hibrid organik-anorganik berbahan poli(metil metakrilat) (PMMA)/SiO2 telah berhasil
disintesis dari campuran larutan PMMA dan tetraetoksi ortosilana (TEOS) menggunakan teknik sol-gel
pada keadaan asam. Membran hibrid tersebut dibuat dengan kandungan TEOS yang berbeda-beda.
Film membran tipis yang dihasilkan kemudian dicirikan dengan pengamatan fisik, spektroskopi
inframerah transformasi Fourier (FTIR), kalorimetri pemayaran diferensial (DSC), dan analisis
termogravimetri (TGA). Spektrum FTIR memperlihatkan pergeseran parsial pada puncak C=O akibat
adanya ikatan hidrogen dalam sistem. Berdasarkan analisis DSC, suhu transisi kaca naik dengan
meningkatnya kandungan TEOS dalam sistem. Hasil analisis TGA menunjukkan bahwa kestabilan
termal membran hibrid lebih baik dibandingkan dengan membran polimernya.
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Selama beberapa dekade belakangan ini, proses pemisahan dengan membran banyak
menggunakan polimer organik1. Keunggulan utama penggunaan polimer sebagai bahan dasar
membran adalah proses pembuatannya yang relatif sederhana. Bagaimanapun, membran polimer ini
mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu selektivitasnya rendah, tidak stabil pada suhu tinggi dan
lingkungan yang ekstrem, serta mengalami penggembungan dan terdekomposisi dalam pelarut organik.
Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi keterbatasan tersebut, di antaranya dengan
memodifikasi struktur membran dan komposisinya. Modifikasi dapat dilakukan terhadap gugus fungsi
kimia, rantai, volume bebas, mobilitas, pengemasan, atau interaksi antarrantai polimer.
* Alamat korespondensi:
zulfikar@chem.itb.ac.id
79
Keterbatasan membran polimer juga dapat diatasi dengan menggunakan membran
anorganik2,3. Membran anorganik mempunyai beberapa keunggulan seperti stabilitas termal dan
kimiawi, fluks yang tinggi, ketahanan terhadap tekanan tinggi, kekuatan mekanik yang baik, dan masa
pakai yang lebih panjang. Namun, sama halnya dengan membran polimer organik, membran anorganik
juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain perselektivitas yang rendah, rapuh, permukaan yang
kurang rata, dan ukuran pori yang akan membesar jika dipanaskan.
Berkembangnya penelitian mengenai polimer hibrid organik-anorganik sekarang ini
dikarenakan terbukanya kemungkinan pembuatan material baru yang menggabungkan sifat-sifat kaca
anorganik dan polimer organik. Gabungan tersebut kadang-kadang disebut “ceramer’’, “organoceramik”,
“ormocer’’, atau ‘’policeram’’. Pengaturan morfologi yang sangat bermanfaat dalam ukuran nano dan
luasnya sifat-sifat fisika membran hibrid ini membawa perspektif baru dalam penggunaannya pada
berbagai bidang, misalnya optika non-linear, optika dan elektrooptika, penyalutan, katalis, biomaterial,
luminesens, sensor kimia dan biokimia, serta penggunaan dalam bidang biomedis4-9.
Polimer hibrid mempunyai potensi yang besar untuk didesain sebagai membran yang baru.
Untuk penerapannya pada membran, penggunaan hibrid ini merupakan suatu strategi yang terbuka dan
menjanjikan, karena dapat menggabungkan karakter membran anorganik dan membran polimer organik.
Akibatnya, polimer hibrid mampu memberikan kontribusi dalam memecahkan beberapa masalah yang
berhubungan dengan salah satu di antara keduanya.
Karena membran hibrid mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan membran
polimer dan anorganik, penelitian ini melakukan sintesis dan pencirian membran hibrid poli(metil
metakrilat) (PMMA)/tetraetoksi ortosilana (TEOS). Kajian utama penelitian ini adalah mempelajari
pengaruh kandungan TEOS di dalam sistem hibrid terhadap sifat termal membran yang dihasilkan.
EKSPERIMEN
Bahan
PMMA (Mw 350,000) (Merck) digunakan sebagai polimer organiknya dan TEOS (Merck)
sebagai polimer anorganiknya. Sebagai pelarut digunakan tetrahidrofuran (THF) (Merck) dengan HCl
(Merck) sebagai katalis.
Membran hibrid PMMA/SiO2 dibuat dengan melarutkan PMMA di dalam THF dengan
konsentrasi 15% (b/b) dan diaduk dengan kecepatan tertentu selama beberapa jam. Setelah larut
sempurna, larutan TEOS-air 1:4 (pH 2) ditambahkan dengan ragam komposisi 0, 5, 10, 15, dan 20%
(b/b). Campuran tersebut diaduk terus-menerus selama beberapa jam sampai semuanya larut
sempurna. Larutan yang diperoleh lalu dibiarkan beberapa saat untuk menghilangkan gelembung gas
yang terbentuk. Kemudian larutan ini dituang dalam jumlah tertentu ke atas lempeng kaca, ditebarkan
menggunakan pisau Dr. Blade dengan bukaan 0.30 mm, dan dibiarkan selama 20 hari untuk proses
gelasi. Membran yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 60 oC (keadaan vakum) selama 5
jam. Membran yang didapat disebut H-00, H-05, H-10, H-15, dan H-20 dengan kandungan TEOS
berturut-turut 0, 5, 10, 15 dan 20%. Gambaran lengkap mengenai proses sintesis membran hibrid
PMMA/SiO2 tersebut dapat dilihat dalam10,11.
80
Pencirian Membran Hibrid
Penampakan fisis
Penampakan fisis merupakan kriteria awal untuk menentukan kehomogenan suatu sistem
hibrid. Pencirian dilakukan dengan mengamati membran yang dihasilkan di bawah cahaya lampu untuk
melihat apakah membran tersebut transparan, buram, atau tidak tembus cahaya.
Analisis termogravimetri (TGA). Selain analisis suhu transisi kaca, data analisis termal juga
digunakan untuk melihat kestabilan termal suatu bahan. Data analisis termal diperoleh dari hasil TGA
(TGA, TA 951) yang dilakukan pada keadaan atmosfer nitrogen dengan rentang suhu 35−800 oC
dengan laju pemanasan 10 oC/menit. Contoh membran dihancurkan menjadi berbentuk serbuk.
Pengukuran dilakukan dengan menimbang contoh tersebut sebanyak 3−5 mg. Kehilangan bobot akibat
kenaikan suhu dicatat.
Penampakan Fisis
Transparansi optik digunakan sebagai kriteria awal untuk melihat apakah membran yang
dihasilkan bersifat homogen atau heterogen (terjadi pemisahan fase organik dan anorganik)10-13. Seperti
terlihat pada Tabel 1, membran hibrid yang disintesis pada semua kandungan TEOS bersifat transparan.
Hal ini berarti terbentuk ikatan hidrogen antara polimer dan SiO2 di dalam membran hibrid10-12 sehingga
dapat mencegah terjadinya pemisahan fase secara mikroskopik10-14.
Tabel 1 Penampakan fisis membran hibrid PMMA/SiO2 pada berbagai kandungan silika
Membran Penampakan fisis Pengamatan lain
H-00 Transparan Rata
H-05 Transparan Rata
H-10 Transparan Rata
H-15 Transparan Rata
H-20 Transparan Rata
81
Penentuan Permeabilitas Air
Penentuan permeabilitas air dilakukan dengan menggunakan volume yang tetap. Hasilnya
ditunjukkan pada Gambar 1, yang memperlihatkan bahwa fluks air berbanding lurus dengan tekanan
yang digunakan. Selain itu, Gambar 1 juga menunjukkan bahwa permeabilitas air membran hibrid
dipengaruhi oleh kandungan silika di dalam sistem. Secara umum, permeabilitas air membran hibrid
meningkat dengan bertambahnya kandungan silika dalam membran. Hal ini berarti bahwa silika dalam
membran meningkatkan porositas membran.
35
30
25
flux (L/m.jam)
H-05
H-20
20 H-00
2
H-10
H-15
15
10
0
0 1 2 3 4
pressure (bar)
Analisis DSC
Analisis DSC dilakukan untuk melihat perubahan suhu transisi kaca (Tg) membran hibrid
PMMA/SiO2 dengan meningkatnya kandungan silika. Hasilnya diberikan dalam Tabel 2. Membran H-00
(tanpa silika) mempunyai satu nilai Tg pada suhu 73.58 oC. Suhu ini jauh lebih rendah dibandingkan
dengan Tg PMMA murni, yaitu 116.27 oC 14,15. Menurunnya nilai Tg tersebut disebab-kan oleh
keberadaan benda asing di dalam sistem membran, dalam hal ini adalah THF yang tidak hilang saat
membran dipanaskan. Sisa pelarut ini berfungsi sebagai pemlastis yang menyebabkan struktur
membran menjadi lebih longgar dan rantai makromolekul mempunyai lebih banyak ruang untuk
bergerak. Hal tersebut akan menekan Tg membran hibrid10-12.
Semua membran hibrid PMMA/SiO2 yang disintesis mempunyai satu nilai Tg. Nilai Tg tersebut
lebih besar dibandingkan dengan membran H-00. Hal ini berarti bahwa membran hibrid yang disintesis
mempunyai kestabilan termal yang lebih baik dibandingkan dengan membran polimernya. Kestabilan
termal ini disebabkan oleh adanya partikel silika di dalam sistem membran hibrid yang berinteraksi kuat
dengan matriks polimer.
Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya kandungan TEOS di dalam
membran hibrid, nilai Tg juga akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh bertambah banyaknya silika yang
terbentuk dengan semakin banyaknya TEOS di dalam matriks polimer. Dengan banyaknya silika di
dalam matriks polimer, pergerakan rantai makromolekul akan semakin terhalangi sehingga lebih banyak
energi (panas) yang diperlukan untuk pergerakannya, dan berakibat pada meningkat-nya nilai Tg.
82
Tabel 2 Analisis termal membran hibrid PMMA/SiO2 dengan berbagai kandungan silika
Suhu transisi kaca Td10 Abu, 800 oC
Membran
Tg (oC) (oC) (%)
H-00 73.58 248.0 1.04
H-05 92.15 261.5 6.15
H-10 110.02 272.0 13.24
H-15 134.82 300.5 19.30
H-20 135.50 268.0 25.66
Analisis TGA
Hasil TGA membran polimer (H-00) dan membran hibrid ditunjukkan dalam Gambar 2. Terlihat
bahwa membran polimer H-00 mempunyai 3 tahap penguraian, yaitu pada suhu 164.5, 284, dan 350.0
oC. Membran hibrid yang disintesis juga mempunyai 3 tahap penguraian. Penguraian pertama membran
hibrid H-05, H-10, H-15, dan H-20 berturut-turut terjadi pada suhu 60.0, 62.5, 63.0, dan 100.5 oC.
Karena penguraian ini terjadi pada suhu yang relatif rendah, kehilangan bobot pada tahap ini
disebabkan oleh benda asing (pelarut atau hasil samping reaksi) yang ada di dalam membran14,16,17.
Selama pemanasan, penguapan pelarut terjadi secara cepat dan akan hilang sebelum terjadinya
penguraian rantai utama. Selain itu, kehilangan bobot pada tahap ini juga disebabkan oleh pemutusan
ikatan kepala-ke-kepala polimer PMMA18,19.
100
90
80
70 H-00
H-05
sisa berat (%)
60 H-10
H-15
50 H-20
40
30
20
10
0
30 130 230 330 430 530 630 730
suhu (oC)
Penguraian kedua berturut-turut terjadi pada suhu 172.5, 185.0, 204.5, dan 292.5 oC untuk
membran hibrid H-05, H-10, H-15, dan H-20. Tahap kedua penguraian ini berhubungan dengan
pemutusan rantai akhir gugus fungsi vinilidena18,19. Penguraian ketiga terjadi berturut-turut pada suhu
351.0, 355.5, 357.0, dan 365.5 oC, yang disebabkan oleh terurainya rantai utama polimer yang diawali
dengan pemutusan secara acak18-20.
Tahap penguraian ketiga memperlihatkan bahwa membran hibrid mempunyai suhu penguraian
yang lebih tinggi dibandingkan dengan membran H-00 (tanpa silika). Hal ini berarti bahwa kestabilan
termal membran hibrid pada suhu tinggi lebih baik dibandingkan dengan membran polimernya21. Telah
didalilkan bahwa pembentukan ikatan hidrogen antara gugus fungsi karbonil dalam PMMA dan gugus
fungsi Si-OH pada permukaan silika dapat digunakan untuk menjelaskan peningkatan kestabilan termal
tersebut. PMMA dapat berikatan hidrogen dengan silika; ikatan hidrogen ini berpengaruh terhadap
kerapatan elektron dalam pasangan molekul polimer dan mengganggu pemutusan rantai. Semakin
banyak tapak reaksi, suhu penguraian PMMA juga semakin tinggi. Penelitian sebelumnya mengenai
83
pengaruh kandungan silika terhadap sifat termal bahan hibrid PMMA/silika yang dihasilkan melalui
teknik polimerisasi menemukan bahwa dengan meningkatnya kandungan TEOS, kehilangan bobot
bahan hibrid akan menurun. Disimpulkan bahwa dengan meningkatnya kandungan TEOS, sistem hibrid
akan menjadi lebih berikatan silang13.
Nilai Td10 (suhu ketika terjadi penguraian sebanyak 10%) untuk membran polimer H-00 dan
membran-membran hibrid yang disintesis pada pelbagai kandungan TEOS dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa membran hibrid mempunyai kestabilan termal yang lebih baik
dibandingkan dengan membran polimernya. Ini disebabkan oleh adanya struktur silika di dalam sistem
membran hibrid tersebut13,19. Akan tetapi, kestabilan termal membran hibrid pada suhu rendah tidak
beraturan dengan meningkatnya kandungan TEOS di dalam membran tersebut.
Kadar abu dari membran polimer (H-00) dan membran hibrid yang diperoleh pada suhu
pemanasan 800 oC juga diberikan dalam Tabel 2. Terlihat bahwa membran hibrid mengandung abu
lebih banyak daripada membran polimernya. Ini berarti bahwa pada suhu tinggi kestabilan termal
membran hibrid lebih baik dibandingkan dengan membran polimernya. Kestabilan termal ini disebabkan
oleh adanya struktur silika dan terjadinya reaksi yang kuat antara partikel silika dan matriks polimer di
dalam membran. Dengan meningkatnya kandungan TEOS di dalam membran, abu membran hibrid
juga semakin banyak.
SIMPULAN
Penyebaran fase silika yang baik dalam matriks PMMA telah didapat dengan menghidrolisis
dan mengkondensasikan TEOS ke dalam larutan polimer organik pada pelbagai komposisi
PMMA/TEOS secara in situ. Penyebaran dalam skala nano bisa dihasilkan dengan menambahkan
TEOS sampai 20%, yang akan membentuk ikatan kuat dengan gugus fungsi karbonil dari PMMA. Dari
hasil pencirian, dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya kandungan silika di dalam membran hibrid,
permeabilitas air juga semakin meningkat. Hasil pengamatan fisis menunjukkan bahwa dengan
kandungan silika sampai 20%, dihasilkan membran hibrid yang berkemampuan membentuk ikatan
hidrogen antara gugus karbonil dari PMMA dan SiOH dari silika. Dari hasil analisis termal juga
didapatkan bahwa meningkatnya kandungan silika di dalam membran akan meningkatkan sifat termal
membran hibrid.
PUSTAKA
1. Mulder M. Basic Principles of Membrane Technology. Ed ke-2. Dordrecht: Kluwer Academic; 1996.
2. Hsieh HP. Inorganic membrane reactors–A review. AIChE Symp Series 1989;85:53-67.
3. Noordman TR et al. Rejection of phosphates by a ZrO2 ultrafiltration membrane. J Membrane Sci
1997;135:203-210.
4. Messaddeq SH, Pulcinelli SH, Santilli CV, Guastaldi AC, Messaddeq Y. Microstructure and
corrosion resistance of inorganic-organic (ZrO2-PMMA) hybrid coating on stainless steel. J Non-
crystalline Solids 1999;247:164-170.
5. Lee RH, Hsiue GH, Jeng RJ. Organically modified inorganic sol-gel materials for second-order
nonlinier optics. J Appl Polym Sci 2001;79:1852-1859.
6. Wung CJ, Pang Y, Prasad PN, Karasz FE. Poly(p-phenylene vinylene)-silica composite: A novel
sol-gel processed non-linier optical material for optical waveguides. Polymer 1991;32:605-608.
7. Bescher E, Mackenzie JD. Hybrid organic-inorganic sensors. Mat Sci Eng 1998;C6:145-154.
8. Iketani K, Sun RD, Toki M, Hirota K, Yamaguchi O. Sol-gel-derived TiO2/poly(dimethylsiloxane)
hybrid films and their photocatalytic activities. J Phys Chem Solids 2003;64:507-513.
84
9. Frings S. Organic-inorganic hybrid coatings: based on polyester resins and in situ formed silica
[disertasi]. Belanda: Technische Universiteit Eindhoven;1999.
10. Zulfikar MA et al. Synthesis and characterization of PMMA/SiO2 hybrid membrane: effects of
solvents on structure and thermal properties. J Appl Polym Sci 2006;99:3163-3171.
11. Zulfikar MA et al. Synthesis and characterization of novel porous organic-inorganic hybrid
membranes. Desalination 2006;192:262-270.
12. Landry CJT, Coltrain BK, Brady BK. In situ polymerization of tetraethoxysilane in poly(methyl
methacrylate): Morphology and dynamic mechanical properties. Polymer 1992;33:1486-1495.
13. Huang ZH, Qiu KY. Preparation and thermal property of poly(methyl methacrylate)/silica hybrid
materials by the in-situ sol-gel process. Polym Bull 1995;35:607-613.
14. Chan CK, Peng SL, Chu IM, Ni SC. Effects of heat treatment on the properties of poly(methyl
methacrylate)/silica hybrid materials prepared by sol-gel process. Polymer 2001;42:4189-4196.
15. Ash BJ, Schadler LS, Siegel RW. Glass transition behavior of alumina/poly(methyl methacrylate)
nanocomposites. Mat Lett 2002;55:83-87.
16. Cho JW, Sul KI. Characterization and properties of hybrid composites prepared from poly(vinylidene
fluoride-tetrafluoroethylene) and SiO2. Polymer 2001;42:727-736.
17. Young SK. Covalent and non-covalently coupled polyester-inorganic composite materials. Polymer
2002;43:6101-6114.
18. Kashiwagi T et al. Thermal and flammability properties of a silica-poly(methyl methacrylate)
nanocomposite. J Appl Polym Sci 2003;89:2072-2078.
19. Morgan AB, Antonucci JM, van Landingham MR, Harris RH, Kashiwagi T. Thermal and flammability
properties of a silica-PMMA nanocomposite. Polym Mat Sci Eng 2000;83: 57-58.
20. Shahzada A, Sharif A, Agnihotry SA. Nanocomposite electrolytes with fumed silica in poly(methyl
methacrylate): thermal, rheological and conductivity studies. J Power Sources 2005;140:151-156.
21. Grohens Y, Brogly M, Labbe C, Schultz J. Chain flattening of spin-cast PMMA on aluminium
mirrors: influence of polymer tacticity. Eur Polym J 1997;33:691-697.
85
THE CRYSTAL STRUCTURE OF AN OCTAHEDRAL NIOBIUM
OXYCHLORIDE CLUSTER COMPOUND, Cs2GdNb6Cl15O3
Fakhili Gulo
Program Studi Pendidikan Kimia, FKIP, Universitas Sriwijaya
ABSTRAK
86
SINTESIS ITRIUM ALUMINIUM GARNET (YAG)-Ce3+
DENGAN METODE SOL-GEL
Loli Yusastri, I Made Joni, Camellia Panatarani
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Partikel itrium aluminium garnet (YAG)-Ce3+ telah berhasil disintesis menggunakan metode sol-
gel dengan suhu yang relatif rendah (1100 ºC). Proses pemanasan yang berbeda-beda telah dilakukan
untuk mendapatkan kristalinitas yang tinggi dari YAG-Ce3+. Hasil pencirian dengan difraksi sinar-X
menunjukkan bahwa pada suhu sintesis 900 ºC partikel yang dihasilkan masih memiliki struktur amorf,
namun telah terbentuk kecenderungan pola kristal YAG-Ce3+. Kristal YAG-Ce3+ telah benar-benar
terbentuk pada suhu 1100 oC. Kristalinitas YAG-Ce3+ terbaik didapatkan dengan menggunakan proses
pemanasan dua tahap, yaitu suhu sintesis 900 dan 1100 ºC.
PENDAHULUAN
Pendadahan (doping) itrium aluminium garnet (YAG) dengan Ce3+ adalah bahan luminisensi
(fosforus) yang telah digunakan secara luas dalam layar (display), berbagai jenis lampu, dan sistem
telekomunikasi serat optik. Gabungan antara aluminium dan itrium oksida tersebut dapat membentuk 3
jenis struktur kristal yang berbeda komposisi kimianya, yaitu Al2Y4O9 (YAM), AlYO3 (YAP), dan Al5Y3O12
(YAG)1-3. Di antara ketiga komposisi tersebut, kristal tunggal YAG merupakan bahan inang terbaik
untuk sistem luminisensi4,5. Kritalinitas yang tinggi dibutuhkan untuk aplikasi fosforus.
YAG umumnya disintesis melalui proses fase-padat dengan suhu tinggi (>1600 ºC) dan proses
pemanasan berulang6-8. Agar penggunaan energi lebih sedikit, YAG akan disintesis pada suhu yang
relatif rendah dengan metode sol-gel. Metode sol-gel merupakan metode sederhana yang dapat
menghasilkan partikel secara dapat-ulang9. Dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis YAG-Ce3+
dengan ragam proses pemanasan.
METODE PENELITIAN
Metode yang akan dilakukan adalah metode sol-gel dengan bahan prazat itrium nitrat
heksahidrat [Y(NO3)3· 6H2O) (99.99%, Kanto Chemical)], aluminium triisopropoksida {[(CH3)2CHO]3Al)
(99.99%, Kanto Chemical)}, dan Ce(III) nitrat heksahidrat {(Ce(NO3)3· 6H2O) (99.99%, Kanto Chemical)}.
Etanol (≥99.9%, Merck) dan air ultramurni digunakan sebagai pelarut. Konsentrasi prazat yang
digunakan adalah 0.3 M dengan nisbah molar Y:Al:Ce sebesar 2.7:5:0.3.
Tahapan-tahapan dalam sintesis YAG-Ce3+ meliputi penyiapan larutan, proses sol-gel,
pemanasan, dan pencirian. Larutan prazat A (5 ml) disiapkan dengan melarutkan Y(NO3)3· 6H2O dan
Ce(NO3)3· 6H2O ke dalam akuades, sedangkan larutan prazat B dibuat dengan melarutkan
[(CH3)2CHO]3Al ke dalam etanol. Proses sol-gel terjadi secara simultan dengan cara mereaksikan
larutan A dan B pada suhu 100 ºC selama 1 jam.
87
Pemanasan bertujuan menghasilkan kristal YAG-Ce3+ dengan derajat kristalinitas yang tinggi.
Proses pemanasan dilakukan dengan empat variasi pemanasan. Contoh I dipanaskan pada suhu 900
oC selama 2 jam. Contoh II dipanaskan dalam dua tahap, yaitu pada suhu 900 dan 1100 oC, masing-
masing selama 2 jam. Contoh III dipanaskan pada suhu 1100 oC selama 2 jam. Contoh IV dipanaskan
pada suhu 900 dan 1100 oC selama 2 jam dan dilakukan secara simultan. Untuk mencegah partikel
beraglomerasi dengan partikel lain, polietilena glikol (PEG) ditambahkan ke dalam gel prazat sebelum
proses pemanasan.
Pencirian dengan difraksi sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui struktur kristal dan derajat
kristalinitas partikel yang dihasilkan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah X-ray diffraction
Rigaku, Geiger Flex difraksi Bragg dengan panjang gelombang 1.54064 (Cu Kα).
Sintesis YAG-Ce3+ dengan metode sol-gel menghasilkan partikel berwarna putih kekuningan
yang beraglomerasi secara lemah. Penambahan PEG sebelum proses pemanasan dapat mencegah
terjadinya aglomerasi kuat antarpartikel. Selain itu, panas yang dihasilkan dari reaksi eksoterm PEG
berpengaruh terhadap pembentukan kristal pada proses pemanasan.
Pola difraksi sinar-X partikel yang dihasilkan dimuat dalam Gambar 1. Pola difraksi pada bagian
bawah dari Gambar 1 adalah pola difraksi YAG standar yang dibuat oleh Joint Committee for Powder
Diffraction (JCPDS) no. 33−40.
Gambar 1 Pola XRD YAG:Ce3+ yang disintesis dengan proses pemanasan berbeda-beda:
contoh I (a), contoh II (b), contoh III (c), dan contoh IV (d).
(Keterangan: “P” adalah YAP dan “ * “ adalah kristal yang belum diketahui jenisnya)
Pola difraksi contoh I belum memperlihatkan terbentuknya struktur YAG murni (masih
menunjukkan struktur amorf). Namun, kecenderungan kenaikan kemiringan kurva difraksi pada rentang
2θ = 30º telah terbentuk, menunjukkan adanya kecenderungan pembentukan kristal YAG.
88
Pola difraksi pada contoh II memiliki 14 puncak difraksi YAG yang sesuai dengan JCPDS no.
33−40. Puncak difraksi tertinggi diperoleh pada 2θ = 33.1o. Kristalinitas yang tinggi diperoleh karena
proses pemanasan dilakukan dalam dua tahap, yaitu 900 dan 1100 ºC. Selain puncak difraksi yang
menunjukkan struktur YAG, pada contoh II juga terdapat puncak lain pada 2θ = 16.9o, 44.68o, dan
49.68o. Puncak difraksi pada 2θ = 16.9o dan 44.68o merupakan puncak difraksi YAP (P) sedangkan
yang pada 2θ = 49.68o belum diketahui jenisnya. Puncak difraksi YAP terbentuk karena suhu
pemanasan belum optimum, sedangkan puncak lain yang belum diketahui jenisnya dimungkinkan
karena ketidakmurnian yang terjadi selama sintesis YAG-Ce3+.
Hasil pencirian YAG contoh III memperlihatkan terbentuknya fase YAG dengan 12 puncak
difraksi. Puncak difraksi tertinggi terdapat pada 2θ = 33.18º. Selain puncak difraksi YAP, terdapat juga
puncak difraksi lain, yaitu puncak difraksi YAP pada 2θ = 49.68º dan 44.68º serta satu puncak yang
tidak diketahui pada 2θ = 16.86º.
YAP dan satu puncak difraksi lain yang belum diketahui jenisnya juga terbentuk pada contoh IV.
Jika dibandingkan dengan contoh II, full width at half maximum (FWHM) pada contoh IV lebih lebar. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kristalinitas YAG contoh IV lebih rendah daripada contoh II. Untuk
mendapatkan partikel YAG-Ce3+ dengan kristalinitas yang tinggi dibutuhkan optimalisasi proses
pemanasan.
SIMPULAN
Proses pemanasan dalam metode sol-gel sangat menentukan mutu kristal YAG yang terbentuk.
Faktor yang memengaruhi perbedaan kritalinitas tersebut adalah lama pemanasan dan suhu
pemanasan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, meskipun belum mendapatkan hasil
yang optimum, proses pemanasan 2 tahap yang disertai dengan penambahan PEG dapat
menghasilkan YAG dengan kristalinitas paling baik.
DAFTAR PUSTAKA
89
ADSORPSI Zn(II) DAN Cd(II) PADA HIBRID AMINO-SILIKA
DARI ABU SEKAM PADI
Nuryono*, L Dewi, MR Kurniasari, Narsito
Jurusan Kimia, FMIPA, UGM, Yogyakarta
ABSTRAK
Dalam penelitian ini telah dikaji adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan oleh adsorben hibrid
amino-silika (HAS) yang disintesis dari abu sekam padi (ASP) melalui proses sol-gel. Pertama, dibuat
larutan natrium silikat (Na2SiO3) dari ASP. Sekam diabukan pada suhu 700 °C selama 4 jam. Abu
sekam kemudian dilebur dengan NaOH pada suhu 500 °C selama 30 menit. Hasil peleburan dilarutkan
dalam akuades sehingga diperoleh larutan Na2SiO3. Setelah itu, HAS dibuat dengan menambahkan (3-
aminopropil)trimetoksisilana dan larutan asam sitrat 1 M ke dalam larutan tersebut sampai pH-nya 7.
Gel yang didapat dicirikan dengan spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR) dan
difraktometri sinar-X (XRD). Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dilakukan dalam sistem lompok (batch) selama
satu jam dengan meragamkan konsentrasi ion logam dan juga waktu kontak pada kosentrasi ion logam
yang tetap. Ion logam yang teradsorpsi dihitung berdasarkan konsentrasi ion logam dalam larutan
setelah adsorpsi, yang ditentukan dengan spektrofotometri serapan atom (AAS). Data yang diperoleh
digunakan untuk mengevaluasi kinetika dan termodinamika adsorpsi. Hasil FTIR menunjukkan bahwa
HAS telah berhasil disintesis, ditandai dengan munculnya serapan khas dari gugus fungsi siloksana
(≡Si–O–Si≡), silanol (≡Si–OH), dan rantai alifatik (–CH2–). Sementara data XRD menunjukkan struktur
amorf dari HAS dan silika gel (SG). Kajian termodinamika adsorpsi menunjukkan bahwa kapasitas
adsorpsi HAS terhadap Zn(II) maupun Cd(II) lebih besar (berturut-turut 526.3 dan 135.1 µmol/g)
daripada SG (277.8 dan 117.6 µmol/g). Energi yang menyertai adsorpsi Zn(II) pada HAS dan SG
berkisar 16 kJ mol-1 sedangkan untuk Cd(II) berkisar 18 kJ mol-1, yang menunjukkan fisisorpsi. Tetapan
laju adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada HAS lebih besar dibandingkan dengan pada SG. Adsorpsi ion
logam pada HAS berlangsung melalui dua tahap (cepat dan lambat) dengan tetapan laju adsorpsi Zn(II)
lebih besar daripada Cd(II).
Kata kunci: abu sekam padi, sol-gel, silika, adsorpsi, ion logam.
ABSTRACT
In this research, adsorption of Zn(II) and Cd(II) in aqueous solution by amino-silica hybrid (ASH)
adsorbent prepared from rice hull ash (RHA) through sol-gel process had been studied. First, the
sodium silicate (Na2SiO3) solution was prepared from RHA. The hull was ashed at 700 °C for 4 hours.
The ash was then melted with NaOH at 500 °C for 30 minutes. The product was dissolved in distilled
water to get Na2SiO3 solution. Afterwards, the synthesis of ASH was carried out by adding (3-
aminopropyl)trimethoxysilane and 1 M citric acid solution into the solution until pH 7. The gel was
characterized with Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR) and X-ray diffractometry (XRD). The
adsorption of Zn(II) and Cd(II) was conducted in a batch system for one hour by varying the
concentration of metal ion and the contact time at constant ion concentration as well. The adsorbed
metal ion was calculated from the concentration of metal ion in solution after adsorption, analyzed by
atomic absorption spectrohotometry (AAS). The adsorption data were used to evaluate the kinetics and
thermodynamics of adsorption. The FTIR results showed that ASH had been successfully synthesized,
indicated by the appearance of characteristic absorbance of siloxane (≡Si–O–Si≡), silanol (≡Si–OH),
* Alamat korespondensi:
nuryono_mipa@ugm.ac.id; (0274)545188
90
and aliphatic chain (–CH2–) functional groups. The XRD data showed amorphous structure of both ASH
and silica gel (SG). Study on adsorption thermodynamics showed that adsorption capacity of ASH
toward Zn(II) and Cd(II) were higher (526.3 and 135.1 µmol/g, respectively) than SG (277.8 and 117.6
µmol/g). Energy involved in adsorption of Zn(II) on ASH and SG was approximately 16 kJ mol-1 and of
Cd(II) was 18 kJ mol-1, indicating physisorption. The adsorption rate constants of Zn(II) and Cd(II) on
ASH were higher compared with adsorption on SG. The adsorption of metal ion on ASH went through
two steps (fast and slow) with the rate constant of Zn(II) was higher than of Cd(II).
PENDAHULUAN
Dewasa ini modifikasi permukaan silika gel (SG) banyak dilakukan untuk meningkatkan kinerja
bahan anorganik itu sesuai dengan keperluannya. Berdasarkan jenis senyawa yang digunakan,
modifikasi ini dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu fungsionalisasi organik dengan pemodifikasi
berupa gugus organik dan fungsionalisasi anorganik yang gugus pemodifikasinya dapat berupa
senyawa organologam atau oksida logam (Jal et al. 2004). Modifikasi SG dapat dilakukan melalui
interaksi fisis dan kimiawi.
Modifikasi secara fisis suatu senyawa pada SG dapat dilakukan melalui impregnasi. Terrada et
al. (1983) telah melakukan impregnasi pada padatan pendukung SG, karbon aktif dan politrifluorokloro
etilena menggunakan bahan-bahan impregnan 2,5-dimerkapto-1,3,4-tiadiazola, 2-merkaptobenzotiazola,
dan 2-merkaptobenzimidazola untuk adsorpsi Cu(II) dalam medium air. Dilaporkan bahwa adsorpsi
hanya efektif pada pH tertentu untuk tiap jenis ligan. Kelemahan modifikasi secara fisis antara lain
interaksi yang terjadi relatif lemah atau mudah lepas sehingga tidak dapat digunakan berulang-ulang.
Modifikasi SG secara kimiawi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu imobilisasi pereaksi silan
dan melalui proses sol-gel. Teknik konvensional dilakukan dengan mengembangkan reaksi antara
gugus silanol dan pereaksi silan yang berfungsi sebagai prazat untuk imobilisasi molekul organik. Pada
umumnya, pereaksi silan bereaksi dengan gugus silanol permukaan dalam satu langkah sehingga
memungkinkan pengikatan gugus fungsional ujung yang diinginkan pada permukaan (Jal et al. 2004).
Fahmiati et al. (2004) telah memodifikasi permukaan SG secara impregnasi taklangsung menggunakan
bahan penghubung γ-glisidoksipropiltrimetoksisilana untuk adsorpsi ion logam Cd(II), Ni(II), dan Mg(II).
Laju adsorpsi ion logam didapati meningkat dengan urutan Cd(II)>Mg(II)>Ni(II), dan dengan aplikasi
isoterm Langmuir diperoleh tetapan kesetimbangan adsorpsi (K) untuk ion logam Cd(II), Ni(II), dan
Mg(II) berturut-turut 9.28 × 102, 14.56 × 102, dan 1.79 × 102. Kelemahan modifikasi melalui imobilisasi
ini adalah rendahnya efektivitas pengikatan senyawa pada permukaan SG.
Proses sol-gel telah banyak dikembangkan terutama untuk pembuatan hibrid, yaitu kombinasi
oksida anorganik (terutama silika) dengan alkoksisilana. Penggunaan proses sol-gel untuk mensintesis
beberapa bahan hibrid anorganik-organik telah banyak dilaporkan, di antaranya oleh Airoldi & Arakaki
(2001). Mereka menggunakan tetraetoksisilana (TEOS) sebagai bahan dasar yang dicampur dengan
senyawa organik aktif 2-(2-(3-(trimetoksisilil)propilamino)etiltio)etanatiol. Hibrid silika yang dihasilkan
digunakan untuk mengadsorpsi logam divalen. Dalam penelitian lainnya, Cestari et al. (2000) telah
melakukan imobilisasi etilenadiamina pada permukaan SG melalui proses sol-gel dan digunakan
sebagai adsorben ion Cu(II), Hg(II) dan Co(II). Nuryono et al. (2005) juga melaporkan pembuatan hibrid
merkaptosilika melalui proses sol-gel dengan prazat natrium silikat (Na2SiO3) yang dihasilkan dari
pengolahan abu sekam padi (ASP). Hasilnya menunjukkan bahwa modifikasi merkapto pada silika
mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi terhadap Zn(II) dan Cd(II).
Dalam makalah ini dilaporkan modifikasi SG dengan gugus aminopropil melalui proses sol-gel
menggunakan prazat Na2SiO3 hasil pengolahan abu sekam. Produk yang diperoleh digunakan sebagai
91
adsorben Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan. Beberapa parameter termodinamika dan kinetika adsorpsi
juga dihitung dan dievaluasi.
METODE PENELITIAN
Contoh sekam padi yang digunakan sebagai sumber silika berasal dari tempat penggilingan
gabah di daerah Wates, Kulon Progo, Yogyakarta. Bahan kimia berupa larutan H2SO4 5%, Na2EDTA
0.01 M digunakan untuk mencuci ASP. Untuk pembuatan adsorben digunakan padatan NaOH (Merck),
asam sitrat, C6H8O7· H2O, (Merck), dan (3-aminopropil)trimetoksisilana, APTS, (Aldrich). Larutan logam
diperoleh dengan melarutkan ZnCl2 dan CdCl2 (Merck) dalam akuades sesuai keperluan.
Peralatan yang digunakan meliputi alat penyiapan larutan Na2SiO3 dari ASP, yaitu tungku
pemanas (Charbolite), pompa vakum (Buchi VacR V-500”), dan ayakan ukuran 200 mesh (Fisher).
Untuk pencirian adsorben digunakan spektrofotometer inframerah transformasi-Fourier (FTIR)
(Shimadzu FTIR-8201PC) dan difraktometer sinar-X (XRD) (Shimadzu PW3 710), sedangkan untuk
proses adsorpsi digunakan sentrifus (Centrifig 228) dan spektrofotometer serapan atom (AAS) (Hitachi
Z-8000) untuk analisis logam.
Sebanyak 20 ml larutan Na2SiO3 hasil peleburan ASP dimasukkan ke dalam gelas plastik dan
ditambahkan 2 ml APTS sambil diaduk dengan pengaduk magnet. Selanjutnya ditambahkan asam sitrat
1 M tetes demi tetes sampai terbentuk gel dan diteruskan hingga pH 7. Gel lalu didiamkan semalam,
disaring dan dicuci dengan akuades hingga netral (diperiksa dengan indikator universal), sebelum
dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 70 ºC. Setelah kering, HAS digerus dan diayak dengan
ayakan 200 mesh. Pembentukan gel dengan cara yang sama tanpa penambahan APTS dilakukan
untuk mendapatkan silika gel (SG). HAS dan SG dicirikan dengan FTIR dan XRD.
Sebanyak 100 mg HAS ditempatkan dalam wadah plastik. Adsorpsi dilakukan dalam sistem
lompok (batch) dengan cara menambahkan 50 ml larutan ZnCl2 dengan ragam konsentrasi 10, 20, 40,
80, 150, 200, 300 mg/l lalu diaduk selama 1 jam. Selanjutnya larutan disentrifus dengan kecepatan
92
2000 rpm untuk memisahkan supernatan dari adsorben. Setiap supernatan dianalisis dengan AAS
untuk menentukan konsentrasi Zn(II) yang teradsorpsi. Hal yang sama dilakukan untuk logam Cd(II).
Adsorpsi yang sama juga dilakukan dengan SG sebagai adsorben.
Pelarutan Na2SiO3 dalam akuades menghasilkan sistem hidrosol Na2SiO3. Pada sistem ini,
terdapat anion silikat (≡Si–O−) sebagai gugus reaktif, dengan ion natrium sebagai penyeimbang muatan.
Pembentukan gel dari larutan silikat tersebut dilakukan dengan menurunkan pH larutan melalui
penambahan asam, dalam penelitian ini digunakan asam sitrat 1 M. Penambahan asam sitrat 1 M pada
20 ml larutan Na2SiO3 dilakukan tetes demi tetes sampai pH 7. Gel yang terbentuk didiamkan semalam
agar pembentukan gel sempurna kemudian dicuci dengan akuades untuk menghilangkan garam sisa
sebelum dikeringkan pada suhu 120 °C selama satu jam. Gel kering yang diperoleh disebut xerogel.
Xerogel yang berwarna putih ini kemudian digerus dan diayak dengan ayakan 200 mesh untuk
menghomogenkan ukurannya.
Pembuatan HAS dilakukan dengan menambahkan senyawa organik aktif APTS pada larutan
Na2SiO3 sebelum ditambah asam sitrat untuk pembentukan gel. Hasil pembuatan SG dan HAS dengan
tiga kali pengulangan (n = 3) ditampilkan dalam Tabel 1. Bobot HAS yang dihasilkan lebih banyak
daripada SG. Hal ini disebabkan penambahan APTS mengakibatkan penggantian gugus silanol oleh
merkaptopropilsilana yang bobot molekulnya lebih besar.
Spektrum FTIR
Spektrum FTIR digunakan untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsi yang terdapat pada SG
dan HAS (Gambar 1). Gambar 1 (a) merupakan spektrum IR dari SG produksi Merck (Kieselgel 60 tipe
G) yang digunakan sebagai pembanding. Pita serapan pada bilangan gelombang 472.5 cm-1
menunjukkan vibrasi tekuk gugus siloksana Si–O–Si. Vibrasi ulur simetris Si–O dari Si–O–Si
ditunjukkan oleh pita serapan pada bilangan gelombang 800.4 cm-1. Pita serapan pada 974.0 cm-1
menunjukkan vibrasi ulur Si–O dari Si–OH. Pita serapan yang kuat pada bilangan gelombang 1101.3
cm-1 merupakan vibrasi ulur asimetris Si–O dari Si–O–Si, sedangkan pita lebar pada bilangan
gelombang 3448.5 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur gugus OH dari Si–OH. Adanya pita serapan pada
1629.7 cm-1 menunjukkan vibrasi dari molekul air yang terikat (William 1998).
Gambar 1(b) merupakan spektrum IR dari SG hasil sintesis. Terlihat kemiripan dengan
spektrum SG pembanding. Pita-pita serapan terdapat pada bilangan gelombang yang hampir sama.
Dengan demikian, gugus fungsi yang terdapat pada SG ini adalah juga gugus siloksana dan silanol.
Perbedaan terletak pada jumlah gugus yang ada. Gugus silanol lebih sedikit dibandingkan dengan pada
Kieselgel 60, yang ditunjukkan oleh rendahnya intensitas serapan di sekitar 3400 cm-1.
93
Gambar 1 Spektrum IR SG Kieselgel 60 tipe G, Merck (a); SG hasil sintesis dari ASP (b); dan HAS (c).
Pada Gambar 1(c) yang merupakan spektrum HAS terlihat adanya perubahan pola serapan.
Pita serapan pada bilangan gelombang 3415.7 cm-1 mengalami penurunan intensitas serapan yang
cukup besar dibandingkan dengan spektrum SG hasil sintesis, begitu juga dengan pita serapan pada
bilangan gelombang 964.3 cm-1. Penurunan intensitas serapan ini menunjukkan berkurangnya gugus
silanol akibat terjadinya kondensasi dengan senyawa APTS pada proses transisi sol-gel. Munculnya
pita serapan baru pada bilangan gelombang 2933.5 cm-1 yang merupakan serapan rantai alifatik akibat
vibrasi ulur –CH2– juga menunjukkan bahwa HAS telah berhasil dibuat. Vibrasi ulur N–H ditunjukkan
oleh serapan pada bilangan gelombang 3500–3100 cm-1 Serapan gugus N–H ini mungkin bertumpang
tindih dengan serapan gugus OH dari Si–OH pada bilangan gelombang 3415.7 cm-1. Munculnya
serapan baru tersebut didukung oleh terjadinya pergeseran serapan gugus siloksana ke bilangan
gelombang yang lebih rendah, yaitu 462.9, 792.7, dan 1074.3 cm-1, yang menunjukkan adanya
perubahan lingkungan Si–O–Si akibat pembentukan HAS.
Perkiraan mekanisme reaksi pembentukan HAS pada kondisi basa ditampilkan pada Gambar 2.
Pada saat penambahan asam sitrat, terjadi proses pembentukan gel yang diduga diawali dengan
protonasi atom oksigen pada gugus metoksi (–OCH3) dalam senyawa APTS dan dilanjutkan dengan
serangan anion silikat (≡Si–O−) terhadap atom Si dalam senyawa APTS melalui mekanisme reaksi SN2.
Protonasi atom oksigen dari gugus metoksi yang terikat pada atom Si menyebabkan atom Si semakin
terpolarisasi positif sehingga lebih mudah diserang oleh spesies yang bermuatan negatif, yaitu anion
silikat, membentuk ikatan siloksan (≡Si–O–Si≡) dengan melepas metanol.
H
OCH 3
+ OCH 3
H 2N Si + H+ (1)
H 2N Si
H
+ OCH 3 H 2N Si
H -
H 2N Si O
+ OCH 3
Si
+ H 2N Si (2)
A
−
O - Si O - Si +
CH 3 OH
Gambar 2 Model mekanisme reaksi pembentukan dimer siloksana pada pembuatan HAS.
94
Reaksi tersebut masih dapat berlanjut karena masih terdapat 2 gugus metoksi yang dapat
terkondensasi dengan anion silikat yang lain. Secara sederhana, reaksi dalam tahapan proses sol-gel
selanjutnya ditampilkan dalam Gambar 3.
SiO SiO
+H+
− NH2
Si O + H3CO Si SiO Si NH2 (3)
-CH3OH
H3CO H3CO
B
SiO SiO
+H+
− NH2
Si O + SiO Si SiO Si NH2 (4)
-CH3OH
H3CO SiO
C
Reaksi kondensasi yang disertai pelepasan metanol tersebut tidak selalu berlanjut sampai
menghasilkan C, tetapi dapat terhenti hanya pada persamaan (2) menghasilkan A, atau pada
persamaan (3) menghasilkan B. Karena itu setelah HAS terbentuk, berbagai variasi permukaan seperti
yang dimodelkan pada Gambar 4 mungkin terjadi.
OCH3 OH
+
Si O Si NH2 n (H /H 2 O ) Si + n C H 3O H
O Si NH2
OCH3 OH
(A 1 ) (A 2 )
Si O OCH3 Si OH
O
n (H + /H 2 O )
Si NH2 Si NH2 + n C H 3O H
Si O Si O
(B 1 )
(B 2 )
Si O
Si O Si NH2
Si O
(C )
Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa bahwa A1 dan B1 masih dapat mengalami reaksi
hidrolisis menghasilkan hibrid masing-masing A2 dan B2. Pada hibrid A2, transisi sol-gel yang terjadi
melibatkan kondensasi satu gugus ≡Si–O− dan gugus metoksi menghasilkan dua gugus silanol dan
satu gugus amino sehingga menambah jenis dan jumlah tapak aktif pada HAS relatif terhadap SG.
Pada hibrid B2, transisi sol-gel tidak memengaruhi jumlah tapak aktif yang ada, tetapi hanya
meragamkan jenis tapak aktif tersebut, sedangkan pada hibrid C transisi sol-gel justru akan mengurangi
jumlah tapak aktif yang ada.
Selain reaksi kondensasi tersebut, pada pembentukan gel hibrid ini juga terjadi kondensasi
antara anion silikat dan gugus silanol yang terbentuk dari protonasi anion silikat karena penambahan
95
asam, menghasilkan ikatan siloksana yang membentuk jaringan kerangka gel. Masing-masing reaksi
kondensasi terus berlangsung membentuk trimer, tetramer, oligomer dan akhirnya membentuk bola-
bola polimer. Bola-bola polimer yang berasal dari reaksi kondensasi APTS dengan anion silikat maupun
anion silikat dengan silanol akan saling bergabung melalui reaksi kondensasi lebih lanjut membentuk
gel hibrid.
Difraksi Sinar-X
Metode XRD memberikan informasi mengenai struktur padatan yang dianalisis dalam bentuk
pola difraksi yang sesuai dengan tingkat kristalinitasnya. Hasil pencirian SG dan HAS menggunakan
metode ini ditampilkan dalam Gambar 5.
Terlihat bahwa SG dan HAS memiliki pola difraksi dengan puncak melebar dan dengan
intensitas maksimum di sekitar 2θ = 21˚ untuk SG dan 22˚ untuk HAS. Menurut Kalaphaty (2000),
puncak melebar di sekitar 2θ = 22˚ menunjukkan struktur amorf dari silika. Jadi, modifikasi SG dengan
gugus aminopropil tidak memengaruhi kristalinitas.
Termodinamika adsorpsi
Termodinamika adsorpsi dipelajari dengan membuat sederet konsentrasi awal ion logam Zn(II)
dan Cd(II) yang masing-masing diinteraksikan dengan adsorben selama 60 menit pada suhu kamar.
Pola isoterm adsorpsi ditunjukkan dengan membuat kurva jumlah ion logam yang teradsorpsi per gram
adsorben terhadap konsentrasi ion logam pada kesetimbangan (Gambar 6).
0.3
0.12
Zn(II) teradsorpsi, mmol/g
0.2
0.2 0.08
SG SG
0.1 HAS HAS
0.04
0.1
0.0 0.00
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
C, mmol/L C, mmol/L
(a) (b)
Gambar 6 Kurva isoterm adsorpsi Zn(II) (a) dan Cd(II) (b) pada adsorben SG (♦) dan HAS ( ).
96
Model isoterm adsorpsi Langmuir mengasumsikan bahwa permukaan adsorben mempunyai
sejumlah tertentu tapak adsorpsi yang sebanding dengan luas permukaan adsorben. Setiap tapak
adsorben hanya dapat mengadsorpsi satu molekul adsorbat sehingga terbentuk lapisan adsorpsi
monomolekular. Apabila tapak aktif adsorpsi belum jenuh dengan molekul adsorbat, maka kenaikan
konsentrasi adsorbat selalu disertai dengan naiknya jumlah ion logam yang teradsorpsi. Sebaliknya, bila
tapak aktif adsorpsi sudah jenuh oleh molekul adsorbat, maka kenaikan konsentrasi adsorbat relatif
tidak meningkatkan jumlah logam yang teradsorpsi (Oscik 1982).
Gambar 6 memperlihatkan bahwa adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) cenderung mengikuti pola isoterm
Langmuir. Pada konsentrasi rendah kenaikan konsentrasi kesetimbangan Zn(II) dan Cd(II) diikuti
dengan kenaikan jumlah ion yang teradsorpsi, tetapi pada konsentrasi kesetimbangan yang tinggi,
jumlah ion yang teradsorpsi cenderung konstan. Oleh karena itu, untuk penentuan nilai kapasitas
adsorpsi dan tetapan kesetimbangan adsorpsi digunakan persamaan isoterm Langmuir:
C 1 1
= + C
m bK b
dengan C ialah konsentrasi kesetimbangan, m ialah jumlah zat yang teradsorpsi per g adsorben, b ialah
kapasitas adsorpsi, dan K ialah tetapan kesetimbangan. Jika data yang diperoleh dari penelitian
memenuhi persamaan tersebut, maka plot C/m terhadap C akan menghasilkan garis lurus dengan
kemiringan 1/b dan intersep 1/bK. Dari grafik C/m versus C dapat ditentukan parameter-parameter
isoterm adsorpsi Langmuir. Energi total adsorpsi per mol dapat dihitung dari persamaan berikut:
Eads = −∆G0ads = RT ln K
K ialah tetapan kesetimbangan adsorpsi yang diperoleh dari persamaan Langmuir, dan energi total
adsorpsi ekuivalen dengan perubahan energi bebas Gibbs standar adsorpsi, ∆G0ads.
Data hasil perhitungan menunjukkan kesesuaian dengan persamaan Langmuir: diperoleh garis
lurus untuk grafik C/m versus C. Parameter-parameter isoterm adsorpsi Langmuir yang diperoleh
ditampilkan dalam Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa kapasitas adsorpsi HAS terhadap kedua ion
logam cenderung lebih besar daripada adsorben SG. Peningkatan kapasitas adsorpsi ini diduga
disebabkan oleh bertambahnya jenis dan jumlah tapak aktif yang berperan dalam adsorpsi, setelah
modifikasi. Selain terdapat gugus Si–OH dan Si–O–Si seperti pada SG, juga terdapat gugus aktif baru,
yaitu gugus –NH2.
Berdasarkan hasil perhitungan, HAS mempunyai nilai tetapan kesetimbangan adsorpsi (K) dan
energi adsorpsi, baik untuk Zn(II) maupun Cd(II), yang tidak berbeda secara signifikan dibandingkan
dengan SG. Adanya gugus –NH2 yang bersifat lebih basa daripada silanol dan siloksana pada HAS
ternyata tidak meningkatkan kemampuan adsorpsinya. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kebasaan
adsorben bukanlah satu-satunya faktor dominan dalam proses adsorpsi.
Nilai energi adsorpsi yang diperoleh masih tergolong rendah untuk adsorpsi kimia. Energi
adsorpsi Zn(II) pada adsorben SG dan HAS berkisar 16 kJ mol-1, sedangkan untuk logam Cd(II)
97
berkisar 18 kJ mol-1. Rendahnya energi adsorpsi ini mengindikasikan bahwa interaksi adsorben dengan
ion logam tidak berupa ikatan kimia langsung antara ion logam dan atom dari tapak aktif adsorben,
tetapi diduga melalui jembatan molekul dan membentuk ikatan hidrogen. Penggantian gugus silanol
oleh aminopropil dari SG ke HAS berakibat melemahnya ikatan hidrogen dan menurunkan energi
adsorpsi.
Dari Tabel 2 juga diketahui bahwa kapasitas adsorpsi terhadap Zn(II) lebih tinggi daripada
terhadap Cd(II), baik untuk SG maupun HAS. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui pendekatan jejari
hidrasi. Proses adsorpsi dilakukan dalam medium air. Kedua ion dapat membentuk kompleks dengan
molekul air, yaitu kompleks akua oktahedral [M(H2O)6]2+. Menurut Martell & Hancock (1996), logam
Zn(II) memiliki jejari kompleks lebih kecil (1.09 Å) jika dibandingkan dengan jejari Cd(II) (2.30 Å). Karena
ukuran [Zn(H2O)6]2+ yang lebih kecil, jumlah Zn(II) yang tertampung di permukaan adsorben lebih
banyak daripada [Cd(H2O)6]2+ yang berukuran lebih besar.
Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben SG dan HAS dipelajari berdasarkan proses
adsorpsi ion logam dalam sistem lompok pada berbagai waktu kontak. Laju adsorpsi ion logam dikaji
dari kurva hubungan antara jumlah ion logam yang teradsorpsi dan waktu adsorpsi (Gambar 7).
0.05
0.06
Zn(II) teradsorpsi, mmol/g
0.04
0.05
0.04 0.03
SG SG
0.03 HAS HAS
0.02
0.02
0.01
0.01
0 0
0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
t, menit t, menit
(a) (b)
Gambar 7 Kurva hubungan antara jumlah ion logam teradsorpsi dan waktu interaksi: Zn(II) (a) dan
Cd(II) (b) untuk adsorben SG (♦) dan HAS ( ). Konsentrasi awal Zn(II) = 0.72 mmol/l dan
Cd(II) = 0.42 mmol/l.
Nuryono et al. (2003) membedakan kinetika adsorpsi ion logam pada adsorben menjadi tiga
jenis. Jenis yang pertama, adsorpsi berlangsung dalam satu tahap cepat kemudian mencapai
kesetimbangan. Pada adsorpsi jenis ini, laju desorpsi relatif lambat dan dapat diabaikan. Jenis kedua,
adsorpsi berlangsung lambat kemudian mencapai kesetimbangan. Pada adsorpsi ini laju desorpsi relatif
cepat dan tidak dapat diabaikan. Dengan kata lain, adsorpsi berlangsung secara reversibel. Jenis ketiga,
adsorpsi berlangsung dalam dua tahap, tahap cepat dan lambat, kemudian mencapai kesetimbangan.
Dari Gambar 7 terlihat bahwa adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG maupun HAS termasuk jenis
adsorpsi ketiga. Dengan mengasumsikan bahwa proses mengikuti orde pertama, adsorpsi dapat
dinyatakan dengan persamaan reaksi
M + Adc kc
MAdc
k1
M + Adl MAdl
k'l
98
M adalah ion logam (adsorbat), Adc dan Adl adalah tapak aktif adsorben cepat dan lambat, Madc dan
Madl merupakan adsorben yang telah mengadsorpsi logam M, berturut-turut untuk reaksi cepat dan
lambat, kc merupakan tetapan laju adsorpsi tahap cepat, sedangkan kl merupakan tetapan laju adsorpsi
tahap lambat. Dari kurva hubungan ln([M]0/[M]) terhadap t diperoleh kemiringan, yang merupakan harga
tetapan laju adsorpsi tahap cepat (kc). Setelah tahap cepat selesai, berlangsung proses lambat yang
menentukan laju adsorpsi dan diasumsikan berlangsung secara reversibel. Dari kurva hubungan
ln{([M]0 – [M]e) / ([M] – [M]e)} terhadap t akan diperoleh kemiringan yang merupakan k1+k’1; k1 dan k’1
dapat dihitung. Tetapan kesetimbangan (K1) diperoleh dari k1/k’1.
Proses adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG maupun HAS terjadi melalui proses cepat yang
diikuti oleh proses lambat. Dua tahapan adsorpsi ini diduga terjadi pada gugus yang berbeda. Pada SG
tahap cepat terjadi antara ion-ion logam dan gugus silanol, karena gugus ini terletak lebih di luar
sehingga lebih mudah terjangkau dan karena itu, akan bereaksi terlebih dahulu dengan ion-ion logam.
Tahap lambat diduga terjadi antara ion-ion logam dan gugus siloksana, karena atom O pada gugus ini
kurang mampu mendonorkan elektronnya dibandingkan dengan O pada silanol, dan letaknya juga
cenderung agak ke dalam sehingga diperlukan waktu lebih lama bagi ion logam untuk mencapainya.
Pada HAS, tahap cepat diduga terjadi antara ion logam dan gugus −NH2 sementara tahap
lambat terjadi antara ion logam dan gugus silanol yang masih ada pada HAS dan juga gugus siloksana.
Hal ini disebabkan atom N pada gugus −NH2 dalam HAS bersifat lebih basa daripada atom O pada
gugus –OH silanol. Karena itu, gugus −NH2 akan lebih siap mendonorkan pasangan elektronnya
sehingga interaksinya dengan ion logam lebih efektif daripada gugus –OH, walaupun keduanya sama-
sama terletak di permukaan. Sementara itu, gugus siloksana cenderung berperan pada proses adsorpsi
tahap lambat, karena selain kurang efektif dalam mendonorkan elektron, keberadaannya relatif lebih di
dalam sehingga ion logam memerlukan waktu lebih lama untuk mencapainya.
Pada tahap cepat laju adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) lebih besar apabila digunakan adsorben HAS
dibandingkan dengan SG. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada hibrid, gugus yang berperan
dalam adsorpsi tahap cepat adalah gugus −NH2 sedangkan pada SG, gugus –OH. Gugus −NH2 lebih
basa daripada gugus –OH, maka lebih efektif dalam mendonorkan pasangan elektronnya. Hal tersebut
meningkatkan keefektifan HAS dalam mengadsorpsi Zn(II) dan Cd(II).
Pada tahap cepat, peningkatan laju adsorpsi untuk Cd(II) pada HAS tidak begitu nyata terlihat
sebagaimana untuk Zn(II). Keberadaan gugus –NH2 yang tidak begitu memengaruhi adsorpsi Cd(II),
dikarenakan Cd(II) mempunyai ukuran yang besar dan polarisabilitas yang tinggi sedangkan –NH2
mempunyai sifat yang tidak berbeda jauh dari OH, yaitu berukuran kecil dengan polarisabilitas yang
rendah. Oleh karena itu, interaksinya dengan Cd(II) kurang begitu efektif.
Seperti pada tahap cepat, laju adsorpsi tahap lambat untuk Zn(II) dan Cd(II) juga relatif lebih
besar apabila digunakan adsorben HAS. Gugus yang berperan pada tahap lambat untuk HAS adalah
gugus –OH pada silanol dan siloksana sedangkan pada SG hanya gugus siloksana. Jadi, pada HAS
terdapat 2 tapak aktif yang siap berinteraksi dengan ion logam sehingga proses adsorpsi cenderung
akan lebih cepat.
Dari Tabel 3 terlihat pula bahwa nilai tetapan laju adsorpsi pada SG maupun HAS untuk Zn(II)
lebih tinggi daripada untuk Cd(II). Sebagaimana diuraikan di muka, ion logam Zn(II) dan Cd(II) akan
99
membentuk kompleks dengan molekul air menjadi [Zn(H2O)6]2+ dan [Cd(H2O)6]2+. Karena ukuran Zn(II)
yang lebih kecil, mobilitasnya dalam larutan akan lebih cepat daripada Cd(II) sehingga mempercepat
pula interaksinya dengan gugus fungsi pada permukaan SG maupun HAS, dan dengan demikian akan
meningkatkan laju adsorpsi.
SIMPULAN
Adsorben hibrid amino-silika telah berhasil dibuat melalui proses sol-gel dengan menggunakan
prazat Na2SiO3 dari ASP. Hibridisasi dengan gugus amino mampu meningkatkan kapasitas dan laju
adsorpsi terhadap Zn(II) dan Cd(II). Proses adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada HAS diduga terjadi melalui
ikatan hidrogen antara molekul air yang terhidrasi pada ion logam dengan atom O dan N pada gugus
fungsi adsorben. Laju adsorpsi ion logam Zn(II) > Cd(II) pada SG maupun HAS.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan
dana untuk penelitian ini melalui Program Penelitian Fundamental tahun anggaran 2006.
DAFTAR PUSTAKA
Airoldi C, Arakaki LNN. 2001. Immobilization of ethylene sulfide on silica surface through sol-gel
process and some thermodynamic data of divalent cation interaction. Polyhedron 20:929-936.
Arakaki LNN, Airoldi C. 2000. Ethylene imine in the synthetic routes of a new silylating agent: chelating
ability of nitrogen and sulfur donor atoms after anchoring onto surface of silica gel. Polyhedron
19:367-373.
Cestari AR, Viera EFS, Simoni JDA, Airoldi C. 2000. Thermochemical investigation on the adsorption of
some divalent cations on modified silicas obtained from sol-gel process. Thermochem Acta
348:25-31
Fahmiati, Nuryono, Narsito. 2006. Thermodynamics adsorption of Cd(II), Ni(II), and Mg(II) on 3-
mercapto-1,2,4-triazole immobilized silica gel. Indo J Chem 6:52-55.
Jal PK, Patel S, Misrha BK. 2004. Chemical modification of silica by immobilization of functional groups
for extractive concentration of metal ions. Talanta 62:1005-1028.
Kalapathy U, Proctor A, Shultz J. 2000. A simple method for production of pure silica from rice hull ash.
Biores Technol 73:257-262.
Martel AE, Hancock RD. 1996. Metal Complexes in Aqueous Solution. New York: Plenum Pr.
Nuryono, Susanti VVH, Narsito. 2003. Kinetic study on adsorption of chromium(III) to diatomaceous
earth pre-treated with sulfuric and hydrochloric acids. Indo J Chem 3:32-38.
Nuryono, Suyanta, Narsito. 2005. Kinetics of Zn(II) and Cd(II) adsorption on mercaptopropyl-silica
hybrid synthesized from rice husk ash. The Second International Seminar on Environmental
Chemistry and Toxicology (InSECT); Yogyakarta, 26-27 April 2005.
Oscik J. 1982. Adsorption. England: Ellis Horwood.
Terrada K, Matsumoto K, Kimora H. 1983. Sorption of copper(II) by some complexing agents loaded on
various support. Anal Chem Acta 153:237-247.
William T. 1998. Structural Study of Xerogel. Queensland: Department of Engineering, University of
Quensland.
100
PRAKONSENTRASI DAN ANALISIS KELUMIT SELEKTIF SPESIES Cr(VI)
BERDASARKAN TEKNIK ANALISIS INJEKSI ALIR
Ni Luh Gede Ratna Juliasiha*, Muhammad Bachri Amranb
aProgram Magister Kimia, b Kelompok Keilmuan Kimia Analitik, FMIPA, ITB
ABSTRAK
Analisis kelumit selektif spesies Cr(VI) melalui teknik prakonsentrasi pada minikolom silika C-18
berbasis analisis injeksi alir dengan detektor spektrofotometer serapan atom telah dilakukan. Spesies
Cr(VI) terlebih dahulu dikompleks dengan 1,5-difenilkarbazida (DPC) 0.1% pada pH 1, yaitu pH
optimum pembentukan kompleks Cr(VI)-DPC, dengan HNO3 sebagai pengasam. Larutan asam pH 1
digunakan sebagai pembawa (carrier) dan metanol sebagai eluen. Hasil penelitian ini menunjukkan
kapasitas retensi silika C-18 sebesar 0.035 mg Cr(VI)-DPC per g silika C-18. Volume eluen minimum
yang dibutuhkan untuk mengelusi secara kuantitatif Cr(VI)-DPC dari kolom adalah 0.5 ml. Ketelitian
metode ini dinyatakan sebagai koefisien keragaman ialah 2.56% pada konsentrasi 50 ppb. Nilai
kepekaan dan limit deteksi yang diperoleh berturut-turut adalah 0.52 dan 1.8 ppb. Daerah linear dapat
diperoleh antara 10 dan 80 ppb dengan koefisien korelasi 0.989. Metode ini memiliki akurasi cukup baik
dengan nilai persen pemulihan lebih dari 95%. Kinerja analitik menunjukkan bahwa metode ini dapat
digunakan untuk menganalisis Cr(VI) pada tingkat konsentrasi kelumit dalam contoh air.
Kata kunci: kromium(VI), prakonsentrasi, analisis kelumit, analisis injeksi alir, minikolom silika C-18.
ABSTRACT
Trace selective analysis of Cr(VI) species using preconcentration techniques on C18-silica mini-
column based on flow injection analysis with atomic absorption spectrophotometer as the detector had
been done. First, chromium(VI) species was complexed with 0.1% 1,5-diphenyl-carbazide (DPC) at pH
1, the optimum pH for formation of Cr(VI)-DPC complex, with HNO3 as the acidifying agent. An acid
solution (pH 1) was used as a carrier and methanol was the eluent. This research showed that the
retention capacity of C18-silica was 0.035 mg Cr(VI)-DPC per g C18-silica. Minimum eluent volume
needed for quantitative elution of Cr(VI)-DPC from the column was 0.5 ml. The precision of this method
expressed as coefficient of variance was 2.56% for 50 ppb concentration. The sensitivity and detection
limit obtained were 0.52 and 1.8 ppb, respectively. Linear range could be attained between 10 and 80
ppb with correlation coefficient of 0.989. This method had a good accuracy, according to recovery
percentage of higher than 95%. The analytical performances showed that this method can be used to
analyze Cr(VI) at trace concentration in water sample.
Keywords: chromium(VI), preconcentration, trace analysis, flow injection analysis, C18-silica minicolumn.
PENDAHULUAN
Kromium (Cr) merupakan unsur transisi yang secara alami ditemukan pada batu, tanah,
tanaman, hewan, dan bahkan manusia. Secara alami, kromium ditemukan dalam 3 bentuk, yaitu bijih
logam, Cr(III), dan Cr(VI). Senyawanya banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri, seperti
dalam penyepuhan logam, pewarnaan, penyamakan kulit, tekstil, katalis, dan pengawetan kayu1.
* Alamat korespondensi:
ratnagd@yahoo.com
101
Selain banyak kegunaannya untuk kehidupan manusia, kromium juga menimbulkan kerugian
bagi lingkungan karena senyawanya mudah larut dalam air. Hal tersebut berakibat pada mudahnya
kromium terdistribusi dalam lingkungan yang akhirnya menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Toksisitas kromium bergantung pada konsentrasi dan bentuk spesiesnya. Kromium(III) merupakan
unsur esensial minor bagi tubuh manusia, karena berguna dalam metabolisme gula, protein, dan lemak2.
Sebaliknya, Cr(VI) dikenal toksik dan bersifat karsinogen untuk berbagai organisme. Spesies Cr(VI)
merupakan oksidator kuat dan mempunyai kelarutan tinggi dalam bentuk anionik sehingga
memungkinkan penetrasi melalui membran sel. Efek racun yang diberikan oleh Cr(VI) berasal dari
perusakan komponen sel tubuh karena terjadi pembentukan radikal bebas. Spesies Cr(VI) dalam tubuh
akan direduksi secara tak dapat-balik menjadi spesies Cr(III). Toksisitas spesies Cr(VI) memungkinkan
terjadinya kulit bernanah, gangguan hidung, dan kanker paru-paru. Unsur Cr(VI) teradsorpsi lebih
banyak daripada Cr(III) karena anion kromat, CrO42-, lebih mudah berdifusi ke dalam sel3.
Perbedaan toksisitas dan konsentrasi spesies Cr(III) dan Cr(VI) dalam sistem hayati menyebabkan
penentuan kandungan Cr total kurang memberikan informasi mengenai bahaya kesehatan. Hal inilah
yang menyebabkan perlunya spesiasi senyawa Cr(VI) dan Cr(III)4.
Konsentrasi kromium dalam air dapat ditentukan dengan beberapa metode, antara lain metode
kolorimetri5, gravimetri, volumetri6, spektrofotometri serapan atom (AAS)7, spektrometri massa-plasma
gandeng induktif (ICP-MS)8, kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)9, dan kromatografi penukar ion10.
Salah satu kendala dalam analisis dengan metode-metode di atas adalah konsentrasi kromium di
lingkungan yang sangat rendah, sehingga metode-metode tersebut kurang peka. Selain itu, beberapa
metode yang disebutkan terakhir memerlukan biaya sangat tinggi sehingga diperlukan cara-cara
prakonsentrasi untuk meningkatkan kepekaan analisis.
Dalam penelitian ini akan dipelajari beberapa kondisi yang memengaruhi keberhasilan
prakonsentrasi spesies Cr(VI) dalam suatu contoh, yang meliputi jenis eluen, pH, selektivitas metode,
volume eluen, dan kapasitas adsorpsi adsorben. Penelitian ini didasarkan pada reaksi Cr(VI) dengan
1,5-difenilkarbazida (DPC) untuk membentuk kompleks Cr(VI)-DPC yang berwarna ungu. Terhadap
kompleks yang terbentuk, dilakukan prakonsentrasi menggunakan minikolom silika C-18 dengan teknik
analisis injeksi alir (flow injection analysis, FIA) menggunakan detektor AAS.
Analisis injeksi alir merupakan teknik analitik yang didasarkan pada injeksi larutan contoh ke
dalam suatu segmen aliran sinambung. Analisis ini memiliki kelebihan berupa waktu analisis yang cepat
dengan jumlah contoh yang sedikit11.
PENELITIAN
Instrumentasi
Pompa peristaltik (Ismatec) digunakan untuk mengalirkan pembawa (carrier), contoh, dan eluen.
Katup injeksi 8 jalur digunakan untuk injeksi contoh (3 ml) dan eluen (0.5 ml). Minikolom yang diguna-
kan terbuat dari kaca dengan panjang 4.8 cm dan diameter 4 cm, diisi dengan LiCrolut Rp 18 (Merck).
Spektrofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis) (8452 A Diode Array Spectrophotometer) digunakan untuk
optimalisasi pembentukan kompleks Cr(VI)-DPC. AAS (GBC 902) digunakan sebagai detektor.
102
pembawa (larutan asam pH 1) dibuat dengan mengasamkan air demineralisasi dengan HNO3. Eluen
yang digunakan adalah etanol dan metanol.
Prosedur
Penelitian lanjutan
Minikolom silika C-18 ditentukan kapasitas retensinya dengan larutan Cr(VI)-DPC 0.5 ppm
pada laju alir 2.5 ml/menit. Untuk melihat pengaruh jenis eluen terhadap kompleks Cr(VI)-DPC,
digunakan etanol dan metanol.
Kompleks yang terbentuk berwarna lembayung, yang diyakini sebagai kelat Cr(III) dengan DPC5.
Reaksi pembentukan kompleks Cr(VI)-DPC bergantung pada pH. Dalam penelitian ini diperoleh
bahwa serapan maksimum kompleks Cr(VI)-DPC pada daerah sinar tampak terjadi pada pH~1.
Intensitas warna kompleks yang terbentuk pada pH tersebut cukup kuat dibandingkan dengan intensitas
warna pada pH lain. Kurva hubungan pH terhadap serapan Cr(VI)-DPC dapat dilihat pada Gambar 2.
103
Gambar 2 Kurva pengaruh pH terhadap serapan Cr(VI)-DPC.
Pengaruh jenis asam terhadap serapan Cr(VI)-DPC diamati dengan menggunakan HNO3 dan
H2SO4. Berdasarkan serapan Cr(VI)-DPC pada daerah sinar tampak, diketahui bahwa kedua jenis
asam tersebut tidak menimbulkan perbedaan serapan yang signifikan. Selanjutnya, HNO3 dipilih
sebagai zat pengasam karena memberikan kepekaan yang lebih tinggi12.
Silika C-18 merupakan adsorben nonpolar. Bahan tersebut digunakan sebagai bahan pengisi
minikolom karena merupakan bahan yang kuat, tidak menunjukkan gejala pengembangan maupun
penyusutan, cukup kuat untuk menahan laju alir linear tinggi yang melewati kolom, dan dapat digunakan
secara berulang. Analisis kapasitas retensi silika C-18 telah dilakukan, dan diperoleh bahwa silika C-18
mampu meretensi kompleks Cr(VI)-DPC sebanyak 0.035 mg/g silika C-18. Gambar 3 merupakan profil
penjenuhan silika C-18 terhadap sinyal yang dihasilkan.
Eluen berperan penting dalam FIA karena terkait dengan keberulangan penggunaan kolom
untuk analisis selanjutnya. Karena itu, dalam FIA juga perlu dipilih jenis eluen. Eluen yang digunakan
tidak boleh merusak kolom, harus mampu mengelusi dengan baik komponen-komponen yang teretensi
dalam kolom, dan mampu mempertahankan kapasitas retensi kolom. Untuk melihat pengaruh jenis
eluen yang akan digunakan untuk mengelusi kompleks Cr(VI)-DPC, digunakan etanol dan metanol.
Berdasarkan hasil penelitian, etanol memberikan gangguan yang lebih besar terhadap serapan Cr(VI)-
DPC pada detektor AAS daripada metanol, maka metanol dipilih sebagai eluen. Profil serapan etanol
dan metanol dapat dilihat pada Gambar 4.
104
Gambar 4 Profil serapan etanol dan metanol dengan AAS: A, B, E merupakan profil serapan metanol;
C, D merupakan profil serapan etanol.
Analisis volume eluen digunakan untuk mengetahui volume minimum eluen yang dibutuhkan
agar analit terelusi dengan baik. Tinggi sinyal analit dipengaruhi oleh volume eluen: jika eluen terlalu
sedikit, maka komponen-komponen analit tidak terelusi semuanya, sebagian masih tertinggal dalam
kolom. Hal ini dapat menurunkan tinggi sinyal dan tidak baik untuk keberulangan penggunaan kolom.
Analisis volume minimum eluen yang diperlukan untuk mengelusi Cr(VI)-DPC menunjukkan
bahwa 0.5 ml metanol telah mampu mengelusi kompleks yang terbentuk dalam kolom. Gambar 5
memperlihatkan bahwa volume eluen yang lebih kecil dari 0.5 ml menghasilkan puncak yang lebih
pendek, karena masih ada kompleks yang tertinggal di dalam kolom.
Untuk melihat pengaruh spesies Cr(III) terhadap pengukuran Cr(VI)-DPC, dilakukan analisis
dengan larutan yang mengandung Cr(III) dan Cr(VI)-DPC dengan nisbah 0:1, 1:1, 10:1, 100:1, dan
1000:1; hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6. Analisis dilakukan dengan membandingkan sinyal yang
dihasilkan oleh spesies Cr(VI)-DPC yang melalui kolom dengan sinyal yang dihasilkan oleh campuran
spesies Cr(VI)-DPC dengan Cr(III). Gambar tersebut memperlihatkan bahwa Cr(III) tidak memengaruhi
pengukuran Cr(VI)-DPC, karena Cr(III) tidak tertahan dalam kolom. Unsur Cr(III) langsung keluar dari
kolom bersama pembawa, yang ditunjukkan oleh puncak lebar pada gambar. Cr(III) tidak tertahan
dalam kolom karena berbentuk ion, sedangkan resin silika C-18 dalam kolom merupakan adsorben
nonpolar yang tidak bermuatan. Dengan demikian keberadaan spesies Cr(III) tidak mengganggu retensi
Cr(VI)-DPC pada kolom silika C-18.
105
Gambar 6 Profil sinyal Cr(VI)-DPC dan Cr(III):
A, C, E, G, I, J, K merupakan sinyal Cr(VI)-DPC; B, D, F, H merupakan sinyal Cr(III).
B dengan C = Cr(III): Cr(VI)-DPC = 1:1; D dengan E = Cr(III): Cr(VI)-DPC = 10:1;
F dengan G = Cr(III): Cr(VI)-DPC = 100:1; H dengan I = Cr(III): Cr(VI)-DPC = 1000:1.
Berdasarkan hasil analisis pengukuran kurva kalibrasi, diperoleh daerah linear untuk metode
prakonsentrasi dengan deteksi AAS ini pada konsentrasi 10 sampai 80 ppb (Gambar 7). Persamaan
garisnya y = 0.6498x − 0.9576 dengan koefisien korelasi 0.989.
Untuk menguji kemampuan metode ini dalam menganalisis kandungan analit yang bercampur
dengan banyak matriks, digunakan bahan uji dari limbah industri. Analisis contoh di sini menggunakan
metode spike. Diperoleh persen pemulihan untuk contoh 1 dan 2 berturut-turut 98.42 dan 99.34%.
Metode penelitian ini memberikan ketelitian, dinyatakan sebagai koefisien keragaman, sebesar
2.56%, yang memenuhi standar analitis13. Profil sinyal analisis ketelitian dapat diamati pada Gambar 8.
Gambar 8 Profil ketelitian sinyal Cr(VI)-DPC 50 ppb (volume 3 ml) dengan detektor AAS.
106
Kepekaan metode sebesar 0.52 ppb, sedangkan limit deteksinya (S/N = 3) 1.8 ppb, dengan
massa minimum yang terdeteksi adalah 5.4 ng. Untuk kinerja FIA-nya, diperoleh nilai faktor pengayaan
sebesar 30.38 kali dari perbandingan dengan sinyal pengukuran AAS langsung tanpa prakonsentrasi,
frekuensi pengukuran 22 kali per 60 menit menghasilkan efisiensi pemekatan 1.35 menit-1, dengan nilai
indeks konsumtif 4.5 ml.
SIMPULAN
Teknik prakonsentrasi dan analisis kelumit selektif spesies Cr(VI) berbasis-FIA yang
dikembangkan menunjukkan kinerja analitik yang sangat baik. Mengacu pada kinerja yang ditunjukkan,
teknik ini dapat digunakan untuk analisis selektif spesies Cr(VI) pada tingkat konsentrasi µg l -1 .
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Dr. M. Bachri Amran
selaku pembimbing penelitian dan kepada Dra. Glorida P. Supriyatna, MS. selaku penyandang dana
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
107
PEMISAHAN SELEKTIF Pr(III) DAN Nd(III) DARI LARUTAN ENCER
MENGGUNAKAN RESIN TERIMPREGNASI YANG MENGANDUNG
ASAM DI-2-ETILHEKSILFOSFAT
Ibnu Khaldun1*, Buchari, Muhammad Bachri Amran, Aminudin Sulaeman2
1Program Studi Kimia, FKIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2Kelompok Keilmuan Kimia Analitik, FMIPA, ITB, Bandung
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pemisahan ion Pr(III) dan Nd(III) dari larutan encer
menggunakan resin terimpregnasi yang mengandung ekstraktan asam di-2-etilheksilfosfat (D2EHPA)
dan polimer pendukung Amberlite XAD-16. Impregnasi resin oleh D2EHPA dilakukan dengan metode
kering. Pengaruh waktu kontak pada pemisahan ion Pr(III) dan Nd(III) menggunakan resin terimpreg-
nasi-D2EHPA (nisbah D2EHPA-resin 20:80, 40:60, 50:50, 60:40 % [b/b]) pada pH 3.0 telah diketahui
dengan baik. Ekstraksi Pr(III) dan Nd(III) menjadi lambat bila D2EHPA yang diimpregnasikan lebih kecil
dari 50% (b/b). Pemantauan adsorpsi D2EHPA pada matriks pendukung berpori dengan spektroskopi
inframerah transformasi Fourier menunjukkan interaksi lemah dengan resin. Pengaruh pH dan waktu
pengadukan juga ditentukan secara lompok (batch). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ion Pr(III) dan
Nd(III) dapat dipisahkan secara selektif pada pH 2.50 dengan faktor pemisahan α Nd
Pr
sebesar 5.46.
ABSTRACT
The aim of this work was to study the separation of Pr(III) and Nd(III) ions from dilute solution
using impregnated resin containing di-2-ethylhexylphosphoric acid (D2EHPA) as extractant and
Amberlite XAD-16 as supporting polymer. Resin impregnated by D2EHPA was prepared with dry
method. The effect of contact time on the separation of Pr(III) and Nd(III) ions using D2EHPA-
impregnated resins (D2EHPA-resin 20:80, 40:60, 50:50, 60:40 % [w/w]) at pH 3.0 has been well
recognized. Extraction of Pr(III) and Nd(III) became slow if the amount of impregnated D2EHPA was
less than 50% (w/w). Observation of D2EHPA adsorption on porous supporting matrix using Fourier
transform infrared spectroscopy showed weak interaction with the resin. Effect of pH and stirring time
were also determined in batch experiments. The results showed that Pr(III) and Nd(III) ions could be
separated selectively at pH 2.50 with separation factor α Nd
Pr
of 5.46.
PENDAHULUAN
Teknik ekstraksi pelarut dan pertukaran ion telah lama diaplikasikan untuk pemulihan dan
pemisahan ion-ion logam. Namun, teknik ekstraksi pelarut membutuhkan banyak tahap ekstraksi dan
ekstraksi-balik untuk menghasilkan pemisahan yang optimum. Sementara itu, resin penukar ion
memiliki selektivitas ekstraksi yang rendah pada pemisahan ion-ion logam. Sebagai pendekatan
* Alamat korespondensi:
ibnukhdn@yahoo.com
108
alternatif telah diperkenalkan suatu teknik yang disebut resin terimpregnasi-pelarut (solvent-
impregnated resin, SIR) oleh Warshawsky untuk memisahkan ion-ion logam secara selektif dengan
adsorpsi langsung oleh ekstraktan di dalam pori-pori polimer pendukung.
Metode ini merupakan gabungan antara ekstraksi pelarut dan pertukaran ion1. Teknik SIR lebih
unggul dibandingkan dengan ekstraksi pelarut untuk diaplikasikan pada proses hidrometalurgi antara
lain karena lebih selektif, dapat dilakukan secara kontinu dengan kolom, dan mudah ditangani2. Metode
SIR telah banyak diaplikasikan untuk memisahkan berbagai jenis ion logam seperti U(VI), Th(VI)3,
Au(III)4 dan juga ion-ion logam tanah jarang seperti La, Sm, Tb, dan Yb 5.
PERCOBAAN
Larutan induk dari Pr(III) dan Nd(III) dengan konsentrasi 1000 ppm dibuat dengan cara
melarutkan oksida Pr6O11 dan Nd2O3 (Sigma) dalam air yang mengandung HNO3 1 M. Ekstraktan yang
digunakan ialah D2EHPA (Aldrich) dengan resin Amberlite XAD-16 (kopolimer stirena-divinilbenzena:
luas permukaan 800 m2 g-1, diameter pori 10 nm, dan ukuran butir 20–60 mesh) (Sigma). Resin dicuci
secara berurutan dengan larutan HNO3 2 M, NaOH 2 M, air distilasi hingga pH netral, dan aseton.
Setelah itu, dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50 oC, dan disimpan dalam botol polietilena.
Peralatan
Spektrum inframerah (IR) dari Amberlite XAD-16, D2EHPA, dan XAD-16/D2EHPA diperoleh
dengan spektrofotometer IR transformasi Fourier (FTIR) 8400 Shimadzu menggunakan pelet KBr pada
bilangan gelombang 4000–500 cm-1. Spektofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis) model Hewlett
Packard 8452A Diode Array digunakan untuk mengukur konsentrasi Pr(III) dan Nd(III) dalam fase air
dengan pengompleks alizarin 0.1%. Tekstur permukaan resin sebelum dan setelah diimpregnasi difoto
dengan mikroskop elektron payaran (SEM) model Analytical SEM JSM-6360LA, dan pH larutan diukur
dengan pH-meter Hanna Insruments.
Proses Impregnasi
Impregnasi D2EHPA ke dalam resin (50% [b/b]) dilakukan dengan metode kering. Sebanyak 10
g D2EHPA dilarutkan dalam 50 ml aseton lalu 10 g resin Amberlite XAD-16 ditambahkan. Campuran
diaduk secara mekanik dengan kecepatan 110 rpm selama 2 jam kemudian aseton diuapkan. Setelah
itu, resin dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50 oC. SIR dengan nisbah bobot D2EHPA-resin
10:90, 20:80, 50:50, dan 60:40 % (b/b) dibuat dengan cara yang sama. Banyaknya D2EHPA yang
terimpregnasi ke dalam resin diperoleh dengan membandingkan bobot sebelum dan setelah impregnasi.
109
dipisahkan, konsentrasi ion-ion logam tunggal [ion Pr(III) dan Nd(III)] dalam fase air diukur dengan
spektrofotometer UV-Vis.
Prosedur pengukuran ialah sebagai berikut: sebanyak 1.0 ml larutan alikuot dimasukkan ke
dalam labu takar 10 ml, kemudian ditambahkan 1 tetes larutan merah fenol 1.0%. Selanjutnya, larutan
HCl 0.02 M diteteskan hingga larutan menjadi kuning dilanjutkan dengan penetesan larutan NaOH 0.02
M sampai larutan menjadi merah. Setelah itu, berturut-turut ditambahkan sebanyak 1.0 ml larutan bufer
amonium asetat sambil dikocok, 1.0 ml larutan alizarin sulfonat 0.1%, dan air. Larutan dibiarkan selama
5 menit lalu diukur serapannya pada λ = 530 nm.
Impregnasi D2EHPA/XAD-16
Impregnasi ekstraktan ke dalam resin dapat dilakukan dengan metode kering, metode basah,
atau modifikasi metode kering dengan campuran pelarut etanol-air1. Yang paling banyak digunakan
adalah metode kering, karena sangat baik dalam mengimpregnasi ekstraktan hidrofilik seperti senyawa
amina, eter, ester, dan organofosforus. Jumlah D2EHPA yang mampu ditransfer ke dalam resin
melebihi 99.5% sehingga kehilangan ekstraktan selama proses impregnasi dapat diabaikan2,5.
Hasil foto SEM (Gambar 1) digunakan untuk membedakan contoh resin XAD-16 sebelum dan
sesudah diimpregnasi dengan D2EHPA pada nisbah 10:90, 50:50, dan 60:40. Sebelum diimpregnasi,
permukaan resin XAD-16 memiliki banyak pori (Gambar 1a). Sejumlah kecil (10%) D2EHPA yang
terimpregnasi ke dalam resin XAD-16 belum mampu menutup semua pori-pori dalam resin (Gambar 1b),
tetapi pada nisbah 60:40, SIR menjadi adhesif karena pori-pori resin tidak mampu menampung semua
D2EHPA (Gambar 1d). Nisbah terbaik antara D2EHPA dan XAD-16 adalah 50:50 (Gambar 1c) yang
digunakan untuk percobaan selanjutnya.
Gambar 1 Fotografi SEM (pembesaran 10,000 kali) dari permukaan resin Amberlite XAD-16 sebelum
(a) dan setelah diimpregnasi dengan 10% (b), 50% (c), dan 60% D2EHPA (d).
110
Tabel 1 Beberapa frekuensi fundamental (cm-1) matriks resin Amberlite XAD-16 dalam resin XAD16-
D2EHPA
XAD-16* XAD-166 XAD-16/D2EHPA* Keterangan
3020.3 3019 regangan C-H aromatik
2958.6 2963 2958.6 regangan C-H aromatik
2927.7 2925 2927.7 regangan C-H alifatik
2873.7 2856 2862.2 regangan C-H alifatik
1604.7 1603 1600.8 regangan cincin C=C
1508.2 1510 1508.2 regangan cincin C=C
1485.1 1487 1461.9 regangan cincin C=C
1446.5 1448 1380.9 regangan cincin C=C
902.6 903 898.8 pita cincin tersubstitusi
833.2 836 833.2 C-H di luar bidang
794.6 795 794.6 C-H di luar bidang
709.8 709 709.8 C-H di luar bidang
* hasil pengukuran; 6 Merdivan et al. (2001)
Pengaruh waktu kontak pada ekstraksi Pr(III) dan Nd(III) menggunakan resin terimpregnasi
dengan nisbah 20:80 dan 50:50 berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. Berkurangnya
D2EHPA dalam matriks XAD-16 menyebabkan perolehan ekstraksi Pr(III) dan Nd(III) tidak optimum
meskipun kontak telah berlangsung selama 120 menit. Sementara bila SIR 50:50 yang digunakan,
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil optimum hanya sekitar 20 menit. Berdasarkan data
tersebut, pemisahan Pr(III) dan Nd(III) dengan metode SIR selanjutnya menggunakan SIR 50:50 dan
waktu kontak selama 20 menit atau lebih.
Persen ekstraksi (%E)
60
50
40
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu kontak (menit)
Gambar 2 Pengaruh waktu kontak terhadap persen ekstraksi Pr(III) (♦) dan Nd(III) (■) dari 20 ml
campuran 50 ppm pada pH 3 menggunakan 200 mg resin-D2EHPA dengan nisbah 20:80.
111
Persen ekstraksi (%E)
120
100
80
60
40
20
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu kontak (menit)
Gambar 3 Pengaruh waktu kontak terhadap persen ekstraksi Pr(III) (♦) dan Nd(III) (■). Kondisi
eksperimen seperti pada Gambar 2, tetapi dengan nisbah 50:50.
Pemisahan Pr(III) dan Nd(III) telah banyak dilakukan, khususnya dengan teknik ekstraksi
pelarut, menggunakan berbagai jenis ekstraktan seperti D2EHPA, ester mono-2-etilheksil dari 2-
etilheksilfosfat [HEH(EHP)], Alikuat 336, tenoiltrifluoroaseton (HTTA), 1-fenil-3-metil-4-benzoil-5-
pirazolon (HPMBP), dan 1-(2-piridilazo)-2-naftol (PAN). Pemisahan ion Pr(III) dan Nd(III) dengan
berbagai variasi pH dapat dilihat pada Gambar 4.
100
Persen ekstraksi
80
60
40
20
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
pH
Gambar 4 Pengaruh pH terhadap persen ekstraksi Pr(III) (♦) dan Nd(III) (■). Bobot resin XAD-16-
D2EHPA (50:50) = 100 mg; [M] = 100 ppm, volume = 10 ml, waktu kontak = 30 menit.
Dari Gambar 4, pemisahan optimum terjadi pada pH 2.50 dengan persen ekstraksi Nd(III) =
77.59 dan Pr(III) = 38.81. Persen ekstraksi (%E), koefisien distribusi (D) dan faktor pemisahan (α)
ditentukan dengan persamaan (1), (2) dan (3):
X 0 − X1
%E = .100 (1)
X0
(X 0 − X1)
D= (2)
X1
D
α Nd
Pr
= Pr (3)
DNd
X0 = konsentrasi ion logam awal dan X1 = konsentrasi ion logam yang tersisa dalam larutan setelah
proses ekstraksi. Berdasarkan persamaan (3) diperoleh faktor pemisahan Pr/Nd menggunakan teknik
112
SIR sebesar 5.46. Dari hasil ini, pemisahan Pr dari Nd lebih selektif dibandingkan dengan teknik
ekstraksi pelarut yang dilakukan sebelumnya, baik dengan jenis ekstraktan yang sama (D2EHPA)
maupun dengan ekstraktan jenis lainnya seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Faktor pemisahan (α) dari Pr(III) dan Nd(III) dengan berbagai jenis ekstraktan
Ekstraktan Faktor pemisahan α Nd
Pr
D2EHPA 5.46 *
D2EHPA 1.11 7
HEH(EHP) 1.34 7
HTTA-Alikuat 336 1.56 8
HPMBP 3.80 9
HTTA-PAN 1.82 10
HPMBP-PAN 1.82 10
* hasil pengukuran dengan teknik SIR
SIMPULAN
Ekstraksi Pr(III) dan Nd(III) dengan SIR yang mengandung berbagai variasi konsentrasi
D2EHPA telah dipelajari. Laju ekstraksi menjadi lambat apabila jumlah D2EHPA yang diimpregnasikan
lebih kecil daripada volume pori resin. Pemisahan optimum antara Pr(III) dan Nd(III) terjadi pada pH
2.50 dengan faktor pemisahan 5.46. Nilai faktor pemisahan ini lebih besar daripada faktor pemisahan
bila menggunakan metode ekstraksi pelarut baik dengan jenis ekstraktan yang sama (D2EHPA)
maupun dengan jenis ekstraktan lainnya.
Terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan dana dari Penelitian Hibah Bersaing XIV Tahun I dengan
nomor kontrak 001/SP3/PP/DP2M/II/2006 tanggal 1 Februari 2006.
DAFTAR PUSTAKA
113
6. Merdivan M, Zhir Duz M, Hamamci C. Sorption behaviour of uranium(VI) with N,N-dibutyl-N’-
benzoylthiourea impregnated in Amberlite XAD-16. Talanta 2001;55:639-645.
7. Moraisa CA, Ciminelli VST. Process development for the recovery of high-grade lanthanum by
solvent extraction. Hydrometallurgy 2004;73:237-244.
8. Atanassova M, Jordanov VM, Dukov IL. Effect of the quaternary ammonium salt aliquat 336 on the
solvent extraction of lanthanoid (III) ions with thenoyltrifluoroacetone. Hydrometallurgy 2002;63:41-
47.
9. Jorejanov VM, Atanassova M, Dukov IL. Solvent extraction of lanthanides with 1-phenyl-3-methyl-4-
benzoyl-5-pyrazolone. Separation Sci Technol 2002;371:3349–3356
10. Atanassova M, Dukov IL. Solvent extraction and separation of lanthanoids with mixtures of
chelating extractant and 1-(2-pyridylazo)-2-naphthol. Separation Purification Technol, in press;
2006.
114
PENERAPAN METODE SPEKTROFOTOMETRI
SERAPAN ATOM NYALA-PEMBANGKITAN HIDRIDA
UNTUK PENENTUAN Sn(II) PADA LEVEL ng DALAM LARUTAN
A Sentosa Panggabean1*, Muhammad Bachri Amran, Buchari, Sadijah Achmad2
1Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Mulawarman, Samarinda
2 Kelompok Keilmuan Kimia Analitik, FMIPA, ITB
ABSTRAK
Penentuan ion timah [Sn(II)] pada level nanogram dengan metode spektrofotometri serapan
atom nyala-pembangkitan hidrida (HG-FAAS) telah dilakukan. Metode ini didasarkan pada derivatisasi
ion Sn(II) menjadi hidrida-Sn dengan reduktor NaBH4 dalam medium HCl, diikuti dengan atomisasi
dalam FAAS. Kondisi optimum pembentukan hidrida dicapai pada konsentrasi NaBH4 1% dan HCl 0.5%.
Limit deteksi yang diperoleh ialah 71.10 µg l-1 dengan tingkat keterulangan, yang ditunjukkan oleh
koefisien keragaman, sebesar 1.49%. Kepekaan penentuan Sn(II) dengan metode ini 46 kali lebih baik
daripada metode langsung dengan FAAS. Metode ini juga telah diaplikasikan pada contoh air alami
dengan persen pemulihan lebih dari 95%.
ABSTRACT
Determination of tin ion [Sn(II)] at ng level with hydride generation-flame atomic absorption
spectrophotometry (HG-FAAS) method had been accomplished. This method was based on
derivatization of Sn(II) ion to form Sn-hydride with NaBH4 as reductant in HCl medium, followed by
atomization in FAAS. Optimum condition of hydride formation was achieved on 1% NaBH4 and 0.5%
HCl. The detection limit was 71.10 µg l-1 with reproducibility level, demonstrated by coefficient of
variance, of 1.49%. Sensitivity of Sn(II) determination with this method was 46 times better than using
FAAS directly. This method had also been applied to natural water samples with recovery percentage
higher than 95%.
PENDAHULUAN
Timah adalah logam yang banyak ditemukan di alam dalam bentuk mineral kasiterit atau batu
timah (SnO2). Logam timah bersifat lunak sehingga mudah ditempa dan tahan terhadap korosi. Atas
dasar sifat fisiknya tersebut, timah banyak digunakan dalam industri makanan sebagai pembungkus
bahan makanan dan minuman kaleng. Timah juga digunakan sebagai bahan paduan logam. Timah
dapat membentuk ikatan kovalen dengan satu atau lebih atom karbon membentuk sejumlah senyawa
organologam yang disebut organotimah1. Salah satu senyawa organotimah yang paling luas digunakan
adalah tributiltimah. Senyawa ini banyak digunakan sebagai bahan antifouling karena mempunyai sifat
biosida2. Seiring dengan hal ini, metode penentuan logam timah dalam contoh alami juga berkembang.
115
Penentuan timah dalam contoh alami selama ini dilakukan dengan pengukuran secara
langsung menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS). Akan tetapi, limit deteksinya hanya
berkisar pada tingkat konsentrasi mg l-1 3. Oleh sebab itu, di[perlukan metode yang lebih peka untuk
dapat mendeteksi timah dengan konsentrasi lebih rendah. Beberapa di antaranya ialah spektrometri
massa-plasma gandeng induktif (ICP-MS), spektrometri emisi atom-ICP (ICP-AES), AAS-elektrotermal
(ET-AAS), dan AAS nyala-pembangkitan hidrida (HG-FAAS)4,5,6. Umumnya, limit deteksi dapat
mencapai µg l-1, tetapi metode ini sangat sulit dikembangkan pada laboratorium di Indonesia karena
keterbatasan peralatan, dan biayanya juga sangat mahal.
Metode pembangkitan hidrida (hydride generation, HG) yang digabungkan dengan AAS telah
banyak dikembangkan untuk penentuan logam arsenik (As), bismut (Bi), germanium (Ge), timbel (Pb),
antimoni (Sb), timah (Sn), raksa (Hg), telurium (Te), dan selen (Se)7. Prinsip dasar metode ini adalah
pembentukan hidrida logam dalam reaktor pembangkit hidrida dengan reduktor NaBH4 atau NaBEt4
dalam medium asam. Hidrida logam yang terbentuk selanjutnya dialirkan ke dalam sebuah sel tabung
kuarsa yang diletakkan di atas nyala AAS, tempat atomisasi terjadi. Kelebihan metode ini adalah limit
deteksi dan kepekaannya yang meningkat, karena telah terjadi pemisahan dalam bentuk gas hidrida-
logam, sehingga atomisasi dapat dilakukan pada suhu sekitar 1000 oC saja8. Pada proses ini, faktor
kehilangan selama atomisasi diharapkan dapat diminimumkan, dan yang terpenting, metode ini dapat
dikembangkan di laboratorium dengan peralatan yang lebih sederhana dan biaya yang lebih murah.
Pada penelitian ini, dikembangkan metode penentuan ion Sn dalam contoh air alami
mengunakan metode HG-FAAS dengan reduktor NaBH4 dalam medium HCl. Pada proses
pembentukan hidrida, telah dikembangkan reaktor-separator terpadu yang mampu meningkatkan
kinerja analitik metode ini. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada penentuan ion logam dengan
metode ini adalah volume contoh, konsentrasi NaBH4, dan asam yang digunakan. Kinerja analitik yang
meliputi limit deteksi dan keterulangan, serta aplikasi metode ini terhadap contoh air alami juga
dipelajari. Metode ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif penentuan Sn dalam contoh dan
juga dalam analisis spesiasi senyawa organotimah.
METODOLOGI PENELITIAN
Eksperimen
116
Gambar 1 Separator gas-cair pembangkitan hidrida.
Penyiapan contoh
Contoh alami yang dianalisis berasal dari Sungai Cikapundung dan Sungai Cidurian yang
mengalir di kota Bandung, serta contoh yang berasal dari laboratorium. Untuk mengetahui pengaruh
matriks terhadap penentuan logam Sn dalam contoh, dilakukan metode spike, yaitu dengan membuat
standar Sn 10 mg l-1, lalu diencerkan dengan larutan contoh hingga garis tanda.
117
Proses pembentukan hidrida berlangsung dalam separator HG. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh
pada penentuan ion logam dengan metode HG adalah volume contoh, konsentrasi NaBH4, dan jenis
asam yang digunakan.
Hal ini dilakukan dengan meragamkan volume larutan standar Sn 10 mg l-1 pada konsentrasi
asam dan NaBH4 yang tetap. Profil sinyal hasil pengukuran pada berbagai volume larutan dapat dilihat
pada Gambar 3.
100
80
60
t (AU)
40
20
0 .5 1 1 .5 2 3
V o lu m e S n 1 0 p p m (m L )
Gambar 3 menunjukkan bahwa volume contoh yang memberikan hasil optimum adalah 0.5–1.5 ml.
Sementara volume contoh lebih dari 2 ml tidak memberikan perubahan yang bermakna, dan puncak
yang dihasilkan cenderung melebar.
Hal ini dilakukan dengan meragamkan konsentrasi HCl pada konsentrasi NaBH4 tetap dan
volume standar Sn 10 mg l-1 sebesar 1 ml. Konsentrasi optimum HCl yang diperoleh ialah 0.5%.
60
Tinggi Puncak (AU)
50
40
30
20
10
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2
118
Pengaruh Konsentrasi NaBH4
Hal ini dilakukan dengan meragamkan konsentrasi NaBH4 pada konsentrasi asam tetap dan
volume larutan standar 1 ml. Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaBH4,
semakin baik reaksi pembentukan hidridanya. Konsentrasi NaBH4 1% telah memberikan hasil yang
bermakna dan tidak berbeda nyata dengan konsentrasi lebih tinggi.
80
70
50
40
30
20
10
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
Konsentrasi NaBH4 (%)
60
Tinggi Puncak (AU)
50
40
30 y = 5.2467x + 2.4616
2
R = 0.9991
20
10
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi Sn (ppm)
119
50
10 ppm
a b c d e f g h
40
a : 4 4 ,2 4
b : 4 4 ,2 8
30 c : 4 4 ,2 9
t (AU)
d : 4 3 ,2 3
20
e : 4 3 ,1 0
f : 4 5 ,8 5
g : 4 4 ,9 3
10 h : 4 4 ,3 5
2 4 6 8 10
D e tik
Dengan pengukuran ion Sn secara langsung dengan FAAS, limit deteksi yang diperoleh sebesar 3.33
mg l-1. Dengan demikian, metode HG-FAAS dapat meningkatkan limit deteksi sebanyak 46 kali.
SIMPULAN
Metode HG-FAAS yang dikembangkan dapat meningkatkan limit deteksi menjadi 46 kali lebih
baik dibandingkan dengan metode pengukuran secara langsung dengan FAAS. Kinerja analitik yang
diperoleh cukup memadai, dengan keterulangan 1.49%, limit deteksi 71.06 µg l-1, dan persen
pemulihan Sn pada pengukuran contoh air alami lebih besar dari 95%.
DAFTAR PUSTAKA
120
4. Garcia ES, Alonso JLG, Medel AS. Determination of butyltin compounds by means of hydride
generation/cold trapping gas chromatography coupled to inductively coupled plasma-mass
spectrometric detection. J Mass Spectrom 1995;32:542-549.
5. Gotti M. Rivaro P, Frache R. Determination of butyltin compounds by high performance liquid
chromatography-hydride generation-electrothermal atomization atomic absorption spectrometry. J
Anal At Spectrom 2001;16:270-274.
6. Haug HO, Yiping L. Automated determination of tin by hydride generation using in situ trapping on
stable coatings in graphite furnace atomic absorption spectrometry. Spectrochim Acta Part B
1995;50:1311-1324.
7. Kumar AR, Riyazuddin P. Mechanism of volatile hydride formation and their atomization in hydride
generation-atomic absorption spectrometry. Anal Sci 2005;21:1401-1410.
8. Nakahara T. Development of gas-phase sample-introduction techniques for analytical atomic
spectrometry. Anal Sci 2005;21:477-484.
9. Ritschdorff ET, Fitzgerald N, McLaughlin RGJ, Brindle ID. The use of modified multimode sample
introduction system for the simple and rapid determination of cadmium by chemical vapour
generation-atomic absorption spectrometry. Spectrochim Acta Part B 2005;60:139-143.
121
ALUMINA-ASAM TERMODIFIKASI UNTUK PRAKONSENTRASI DAN
ANALISIS KELUMIT TIMBEL BERBASIS ANALISIS INJEKSI ALIR
Muhammad Iqbal1*, Muhammad Bachri Amran2
1Program Studi Kimia, 2Kelompok Keilmuan Kimia Analitik, FMIPA, ITB
ABSTRAK
Metode prakonsentrasi dan analisis kelumit Pb2+ berbasis analisis injeksi alir (FIA) dengan
menggunakan spektroskopi serapan atom telah selesai dikembangkan. Metode ini didasarkan pada
retensi ion Pb2+ pada alumina-asam yang dimodifikasi dengan natrium dodesil sulfat (SDS) dan 1-(2-
piridilazo)-2-naftol (PAN). PAN teretensi pada alumina-SDS secara optimum di pH 4, dengan kapasitas
retensi 0.19 mg PAN/g. Ion Pb2+ teretensi pada alumina-SDS-PAN secara optimum di pH 6 (99.96%),
dengan kapasitas retensi 0.13 mg Pb2+/g. Volume minimum HNO3 2 M untuk elusi kuantitatif timbel
ialah 0.1 ml. Metode ini memperlihatkan kinerja analitik yang baik: nilai ketelitian (koefisien keragaman)
1.90, limit deteksi 17.73 µg l-1, dan sensitivitas 15.30 µg l-1. Evaluasi kinerja FIA menghasilkan faktor
pengayaan, efisiensi pemekatan, dan indeks konsumtif berturut-turut 24.49, 6.90 menit-1, dan 6.70 ml.
ABSTRACT
An analytical method for preconcentration and trace analysis of lead(II) based on flow injection
analysis (FIA) using atomic absorption spectroscopy had been developed. This method was based on
Pb2+-retention on acidic alumina modified with sodium dodecyl sulphate (SDS) and 1-(2-pyridylazo)-2-
naphtol (PAN). PAN was optimally retented on alumina-SDS at pH 4 with retention capacity of 0.19 mg
PAN/g. Pb2+ was optimally retented on alumina-SDS-PAN at pH 6 (99.96%) with retention capacity of
0.13 mg Pb2+/g. The minimum volume of 2 M HNO3 for quantitative elution of lead was 0.1 ml. This
method showed good analytical performances: precision (coefficient of variance) 1.90, detection limit of
17.73 µg l-1, and sensitivity of 15.30 µg l-1. The performance evaluation of FIA gave enrichment factor,
concentration efficiency, and consumptive index of, 24.49, 6.90 minutes-1, and 6.70 ml, respectively.
PENDAHULUAN
Timbel (Pb) merupakan salah satu logam yang memiliki banyak manfaat sehingga pengguna-
annya cukup luas. Penggunaan Pb sempat sangat populer sampai diketahui bahwa Pb dan per-
senyawaannya merupakan spesies yang memiliki toksisitas tinggi, baik pada manusia maupun hewan.
Timbel mencemari lingkungan dalam konsentrasi yang sangat kecil (kelumit) dan terkandung dalam
matriks yang kompleks1,2. Kondisi ini menyulitkan analisis Pb secara kuantitatif, karena instrumen
standar yang biasa dipergunakan untuk analisis logam tidak memiliki limit deteksi yang cukup tinggi.
Instrumen seperti spektrofotometer sinar tampak, spektrofotometer serapan atom nyala
(FAAS), dan spektrofotometer emisi atom (AES) memiliki sensitivitas dan limit deteksi yang tidak cukup
baik untuk digunakan dalam analisis kelumit Pb. Kompleksnya matriks contoh yang mengandung Pb
menambah rumit proses penyiapan sehingga diperlukan metode analisis yang lebih selektif terhadap Pb
dan gangguan dari matriks harus dihilangkan, agar proses analisis secara keseluruhan lebih mudah.
Teknik analisis yang dapat mendeteksi Pb dalam skala kelumit telah banyak dikembangkan.
Analisis secara langsung dapat dilakukan dengan instrumen GF-AAS, AES-plasma terkopel induktif
* Alamat korespondensi:
kyu_aksen@yahoo.co.uk,
s102atha@mail.chem.itb.ac.id
122
(ICP-AES), fluoresensi sinar-X (XRF), atau EDS. Akan tetapi, terdapat kendala dalam hal jumlah
instrumen yang terbatas serta biaya analisis dan perawatan yang mahal3-6. Teknik tandem yang
menggabungkan proses penyiapan dan deteksi Pb menghasilkan metode analisis yang lebih baik dari
segi selektivitas maupun sensitivitas. Namun, metode tandem biasanya menggabungkan dua instrumen
atau lebih yang masing-masing memiliki peran tersendiri dalam proses analisis secara keseluruhan
sehingga tidak praktis. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang mampu menganalisis Pb dengan
selektivitas yang tinggi pada konsentrasi kelumit, tetapi tetap ekonomis.
Salah satu solusi bagi permasalahan ini adalah prakonsentrasi (pemekatan). Prakonsentrasi
dilakukan pada tahap penyiapan agar konsentrasi analit melebihi limit deteksi instrumen standar7. Untuk
keperluan analisis kuantitatif, dipilih metode prakonsentrasi penukar-ion menggunakan ligan
pengompleks yang selektif terhadap ion logam tertentu. 1-(2-Piridilazo)-2-naftol (PAN) menjadi ligan
pengompleks yang selektif terhadap Pb2+ jika reaksi berlangsung pada pH tertentu8,9.
Banyak penelitian yang mengembangkan teknik prakonsentrasi menggunakan bahan
pendukung berupa polimer nonpolar yang dimodifikasi oleh ligan pengompleks logam. Sebagai contoh
adalah penggunaan polimer XAD-2 dan XAD-16 yang dimodifikasi dengan PAN10,11. Penelitian-
penelitian tersebut menunjukkan selektivitas yang baik.
Alumina yang dimodifikasi dengan surfaktan menghasilkan permukaan nonpolar12. Gugus
hidrofilik natrium dodesil sulfat (SDS) yang berupa gugus sulfat (bermuatan negatif) akan berinteraksi
secara elektrostatik dengan permukaan alumina-asam yang bermuatan positif. Gugus hidrofobik SDS
yang berupa rantai karbon panjang nonpolar (gugus -C12H25) menjadi sisi aktif baru dari alumina.
Permukaan nonpolar tersebut kemudian dimodifikasi dengan ligan pengompleks PAN. Modifikasi terjadi
sebagai akibat interaksi hidrofobik antara bagian nonpolar SDS dan cincin aromatik pada PAN.
Alumina yang telah dimodifikasi dengan SDS dan PAN diharapkan mampu menjadi bahan yang
memberi selektivitas dan faktor pengayaan lebih baik. PAN menjadi sisi aktif yang akan bereaksi
dengan Pb2+ membentuk kompleks Pb-PAN (Gambar 1). Timbel akan dilepaskan ketika kompleks
berinteraksi dengan asam yang cukup banyak pada proses elusi. PAN kembali siap membentuk
kompleks dengan Pb2+ setelah diregenerasi ke kondisi optimum pembentukan kompleks Pb-PAN.
+ N
OH2 O
Al O N N
OH2 S C12H25 Pb
-
O
Al O N N O
OH2 O
N
n
Gambar 1 Model mekanisme retensi Pb pada alumina termodifikasi.
Penggabungan teknik prakonsentrasi yang dikombinasikan dengan metode analisis injeksi alir
(FIA) dengan pendeteksian menggunakan FAAS menjadi salah satu solusi alternatif untuk analisis Pb
dalam skala kelumit. Metode analisis yang berbasis injeksi alir akan lebih akurat dan praktis13.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan teknik prakonsentrasi dan analisis Pb berbasis injeksi alir
menggunakan mikrokolom alumina-asam termodifikasi-SDS dan PAN. Metode ini diharapkan memiliki
selektivitas dan sensitivitas yang baik, dan dapat digunakan untuk analisis kelumit Pb di lingkungan.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat
Selain peralatan kaca standar laboratorium kimia, digunakan pula berbagai peralatan lain, yaitu
pompa peristaltik (Ismatec®) untuk memompakan berbagai larutan dalam proses pengujian, minikolom
123
(diameter 0.5 cm, panjang 10 cm), dan selang berbahan dasar plastik, pH-meter (Hanna®), pengaduk
magnet (Fisher®), serta sentrifus (Fisher Scientific Company® Model 370). Sistem injeksi alir diatur
dengan katup putar sistem 8-jalur (Ismatec® 8-Port Rotary Valve). Absorbans PAN diukur dengan
spektrofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis) Hewlett Packard® 8452A. Penentuan kadar logam Pb
dilakukan dengan AAS berkas ganda GBC®-902. Datanya dicatat secara digital dengan menggunakan
perekam (recorder) Power Chrom (ADInstruments®) dan seperangkat komputer.
Bahan
Penelitian ini menggunakan bahan-bahan dengan kemurnian p.a., yaitu etanol, HNO3 pekat,
NaOH(s), dan Pb(NO3)2(s). Selain itu, digunakan pula bahan-bahan lain: SDS, PAN, NH4OH 1 M, serta
alumina-asam dan air demineralisasi (keduanya grade kromatografi).
Pembuatan Alumina-SDS-PAN
Sebanyak 0.5 g SDS dan 0.1 g PAN ditambahkan ke dalam gelas piala yang telah berisi 10 g
alumina-asam aktif dan 50 ml etanol-air (1:4) pH 4. Campuran diaduk selama 15 menit, lalu diatur pH-
nya hingga menjadi 4, dengan penambahan NaOH atau HNO3. Campuran kemudian dibiarkan sampai
mengendap. Alumina-SDS-PAN berwarna jingga-merah yang terbentuk dipisahkan dan dicuci dengan
HNO3 10-4 M sampai pH air bilasan menjadi 4. Setelah itu, dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C.
Larutan Pb2+ 50 mg l-1 sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam gelas piala yang telah berisi 0.4 g
alumina-SDS-PAN. Campuran diaduk selama 15 menit, diatur pH-nya dengan ragam pH 1 sampai 12,
dan dibiarkan hingga mengendap. Campuran lalu disentrifugasi selama 15 menit; supernatan
dipisahkan dan diukur absorbansnya menggunakan FAAS pada λ 283.3 nm.
Larutan Pb2+ 50 mg l-1 dipompakan ke dalam kolom yang terhubung dengan FAAS dengan laju
alir 2.75 ml menit-1. Serapan Pb direkam mulai dari masuknya larutan sampai kapasitas alumina-SDS-
PAN telah terlampaui.
124
Evaluasi Konsentrasi Eluen
Larutan Pb2+ 1 mg l-1 dipompakan sebanyak 2 ml ke dalam kolom yang terhubung dengan
FAAS dengan laju alir 2 ml menit-1. Ion Pb yang teretensi pada kolom dielusi dengan HNO3 dengan
ragam konsentrasi 0.5 sampai 3 M, masing-masing sebanyak 1/6 ml dengan laju alir yang sama.
Kinerja Analitik
Kinerja analitik diuji menggunakan sistem FIA berbasis volume (volume base). Pengujian
menggunakan katup 8 saluran yang dilengkapi 2 buah loop, 1 untuk contoh dan yang lain untuk eluen.
Keterulangan
Larutan standar Pb2+ 0.1 mg l-1 pH 6 dengan volume injeksi sebanyak 9 ml diukur berulang kali
menggunakan FIA-FAAS pada λ 283.3 nm. Digunakan eluen HNO3 1 M dengan volume injeksi 0.5 ml,
kemudian tinggi sinyal diukur. Keterulangan ditunjukkan dengan persen koefisien keragaman (% KV).
Kurva kalibrasi
Larutan standar Pb2+ pH 6 dengan volume injeksi sebanyak 6 ml dengan ragam konsentrasi 40
sampai 100 µg l-1 diukur menggunakan FIA-FAAS pada λ 283.3 nm. Digunakan eluen HNO3 2 M
dengan volume injeksi 0.1 ml, lalu tinggi sinyal diukur. Dari data yang diperoleh dibuat kurva kalibrasi.
Analisis contoh
Larutan contoh dengan volume injeksi 6 ml diukur menggunakan FIA-FAAS pada λ 283.3 nm.
Digunakan eluen HNO3 2 M dengan volume injeksi sebanyak 0.1 ml, kemudian tinggi sinyal diukur.
125
HASIL DAN PEMBAHASAN
PAN memiliki rentang perubahan warna kuning-jingga dari kondisi asam ke basa. Perubahan
warna ini tentunya akan memengaruhi spektrum serapan PAN di daerah sinar tampak. PAN larut
dengan baik dalam pelarut organik maupun basa. Namun, akan sangat menyulitkan jika menggunakan
basa sebagai pelarut karena yang akan diamati justru pengaruh pH terhadap PAN. Oleh karena itu,
digunakan etanol untuk melarutkan PAN. Air digunakan sebagai campuran etanol agar pelarut dapat
diatur tingkat keasamannya. Komposisi etanol-air 1:4 dipilih berdasarkan pertimbangan ekonomis
dalam penggunaan etanol p.a. untuk melarutkan PAN secara sempurna. Pengujian ciri-ciri PAN
dilakukan dalam pelarut etanol-air 1:4.
Pengaruh pH larutan terhadap λmaks PAN ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa λmaks PAN terus bergeser ke daerah merah dengan bertambahnya pH.
Pergeseran terjadi karena protonasi molekul PAN mengakibatkan warna larutan semakin lama semakin
jingga. Data λmaks ini kemudian dipergunakan dalam tahapan penelitian berikutnya yang menggunakan
spektrofotometer UV-Vis sebagai pendeteksi keberadaan PAN dalam contoh uji.
126
Penentuan pH Retensi Pb terhadap Alumina-SDS-PAN
Tahapan penelitian ini masih mempergunakan metode lompok, tetapi telah dipergunakan
bahan yang homogen dengan jumlah yang sama. Gambar 5 merupakan kurva aluran %Pb teretensi
terhadap pH larutan, yang diperoleh dari pengujian pada berbagai pH. Pengujian dilakukan dengan cara
mengukur serapan larutan standar Pb sebelum dan sesudah diretensikan pada alumina-SDS-PAN pada
rentang pH 1−12.
Perubahan persen Pb teretensi secara drastis terjadi pada pH 2 ke 3; hal ini diakibatkan PAN
telah terdeprotonasi (Ka1 1.26 × 10-2). Hasil pengujian menunjukkan bahwa Pb teretensi dengan baik
pada pH 6−12 dengan kisaran persen Pb teretensi 97.3–99.9%. Rentang pH optimum yang lebar ini
tidak berarti terdapat keleluasaan dalam pengujian, karena pengamatan secara visual menunjukkan
bahwa alumina-SDS-PAN mengalami kerusakan permanen di atas pH 8, yang sulit diregenerasi.
Alumina-SDS-PAN yang mulanya berwarna jingga (warna PAN) berubah menjadi ungu yang menyirat-
kan telah terjadi perubahan struktur kimia pada komponen penyusun bahan.
Tingginya persen Pb teretensi di atas pH 8 kemungkinan diakibatkan oleh deprotonasi alumina-
asam menjadi alumina-basa. Alumina-basa yang permukaannya bermuatan negatif mampu meretensi
Pb dengan baik, sehingga Pb teretensi di permukaan alumina, bukan terkompleks oleh PAN. Pengujian
selanjutnya menggunakan pH 6 sebagai pH optimum retensi Pb (%Pb teretensi 99.94%).
127
Gambar 6 Kurva titik patah kolom alumina-SDS-PAN.
Evaluasi Elusi
Pengujian volume eluen dilakukan untuk mengetahui jumlah eluen minimum yang mampu
mengelusi sejumlah Pb yang telah terkompleks dalam minikolom. Volume ini disesuaikan dengan
jumlah dan konsentrasi contoh yang akan dimasukkan ke dalam kolom. Sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 8, diperoleh keteraturan pada penggunaan berbagai volume eluen. Setelah volume tertentu,
tinggi sinyal relatif tidak berubah. Volume eluen yang terlalu banyak harus dihindari karena akan
mengakibatkan puncak menjadi lebih landai.
128
Kinerja Analitik
Keterulangan metode ini ditunjukkan dengan nilai %KV sebesar 1.90 dengan simpangan baku
0.34. Tinggi puncak dan profil sinyal dalam pengujian keterulangan dapat dilihat pada Gambar 9.
Kepekaan analisis memberikan hasil S sebesar 15.30 µg l-1. Artinya, metode ini masih belum
dapat membedakan dua analit yang selisih konsentrasinya lebih kecil dari nilai tersebut.
Pengukuran contoh dilakukan dengan metode kurva kalibrasi (Gambar 10). Akan tetapi, contoh
yang diuji berada di bawah limit deteksi pengukuran. Hal ini terlihat dari tidak munculnya puncak contoh.
Oleh karena itu, digunakan metode penambahan standar untuk menentukan kadar contoh. Perhitungan
menghasilkan nilai persen pemulihan (% recovery) sebesar 112.95%. Kelebihan nilai pemulihan sekitar
12.95% mengindikasikan kadar contoh sebesar 7.77 µg l-1. Karena konsentrasi contoh tidak
dikonfirmasi menggunakan spike dengan konsentrasi standar yang lebih besar, bisa saja sinyal yang
berlebih tersebut berasal dari gangguan matriks contoh. Namun, kemungkinan tersebut relatif kecil
karena PAN bersifat selektif pada logam, dan digunakan detektor AAS yang beroperasi pada panjang
gelombang tertentu.
Kinerja FIA
Evaluasi kinerja FIA yang dilakukan meliputi faktor pengayaan (enrichment factor, EF), faktor
efisiensi pemekatan (concentration efficiency, CE), dan faktor indeks konsumtif (consumptive index, CI).
Analisis berbasis FIA diharapkan memiliki nilai EF yang lebih besar. Nilai EF menunjukkan nisbah
kuantitatif sinyal yang dapat diperoleh. Nilai EF yang besar berarti nisbah sinyal hasil FIA terhadap
konsentrasi analit lebih besar dibandingkan dengan pengukuran langsung. Dengan kata lain,
konsentrasi yang sama akan menghasilkan sinyal yang lebih besar jika EF-nya besar. Pengujian
menghasilkan nisbah 24.49 kali lebih besar daripada pengukuran langsung (EF = 24.49) (Gambar 11).
129
FAAS 10 mg l-1
H = 101.195 AU
Nilai CE yang diperoleh adalah 6.90 menit-1; kinerja FIA ini berasal dari frekuensi siklus analisis
yang memerlukan waktu 213 detik. Dengan kata lain, dapat dilakukan sekitar 16 kali analisis per jam.
Nilai CI yang diperoleh (6.70 ml) merupakan jumlah pereaksi yang diperlukan untuk satu siklus analisis.
SIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa alumina-asam yang dimodifikasi dengan SDS dan PAN
dapat dipergunakan untuk prakonsentrasi dan analisis kelumit Pb berbasis-FIA dengan pendeteksian
menggunakan AAS. PAN teretensi pada alumina-SDS secara optimum pada pH 4 dengan kapasitas
retensi 0.19 mg PAN/g. Ion Pb2+ yang teretensi pada alumina-SDS-PAN mencapai optimum di pH 6
(99.96%) dengan kapasitas retensi 0.13 mg Pb2+/g dan dapat dielusi secara kuantitatif menggunakan
HNO3 2 M dengan volume minimum 0.1 ml. Metode analisis yang dikembangkan ini memberikan kinerja
analitik yang baik, ditunjukkan dengan nilai %KV 1.90, limit deteksi 17.73 µg l-1, dan S 15.30 µg l-1.
Kinerja FIA menghasilkan nilai EF 24.49, CE 6.90 menit-1, dan CI 6.70 ml. Metode ini memiliki potensi
yang besar untuk dipergunakan dalam analisis kelumit timbel pada contoh lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Cornell DW, Miller GJ. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Koestoer Y, penerjemah. Jakarta: UI-Pr;
1995. hlm 342-345.
Canham GR. Descriptive Inorganic Chemistry. Ed ke-2. New York: WH Freeman; 1999. hlm 259-266.
Boevski I, Daskalova N. Determination of barium, chromium, cadmium, manganese, lead, and zinc in
atmospheric particulate matter by inductively coupled plasma-atomic emission spectrometry (ICP-
AES). Spectrochim Acta Part B: Atomic Spectroscopy 2000;55:1643-1657.
Morales EB, Vázquez ALR. Simultaneous determination of inorganic and organic gunshot residues by
capillary electrophoresis. J Chromatogr A 2004;1061:225-233.
Locatelli C, Torsi G. Analytical procedures for the simultaneous voltammetric determination of heavy
metals in meals. Microchem J 2003:75:233-240.
Sipos P, Németh T, et al. Effect of soil composition on adsorption of lead as reflected by a study on a
natural forest soil profile. Geoderma 2005;124:363-374.
Burguera JL. Flow Injection Atomic Spectroscopy. New York: Marcel Dekker; 1989. hlm 1-6.
Taher MA. Flame atomic absorption spectrometric determination of trace lead after solid-liquid
extraction and preconcentration using 1-(2-pyridylazo)-2-naphthol. Croatica Chem Acta
2003;76:273-277.
130
Narin I, Soylak M. The uses of 1-(2-pyridylazo) 2-naphtol (PAN) impregnated Ambersorb 563 resin on
the solid phase extraction of traces heavy metal ions and their determinations by atomic absorption
spectrometry. Talanta 2003;60:215-221.
Ferreira SLC, Ferreira JL, et al. Copper determination in natural water samples by using FAAS after
preconcentration onto Amberlite XAD-2 loaded with calmagite. Talanta 2000;50:1253-1259.
Amran MB, Sianipar A. Lead ion retention on Amberlite XAD-16 modified with (1-(2-pyridilazo)-2-
naphtol). Prosiding Seminar MIPA IV ITB. 2004.
Førland GM, Rahman T et al. Adsorption of sodium dodecyl sulfate and butanol onto acidic and basic
alumina. J Colloid Interface Sci 1996;182:348-355.
Fang ZL. Flow Injection Separation and Preconcentration. New York: VCH; 1993. hlm 10-12, 79, 87, 98.
131
PRAKONSENTRASI DAN ANALISIS KELUMIT SELEKTIF ION TIMBEL
BERBASIS ANALISIS INJEKSI ALIR
MENGGUNAKAN RESIN XAD TERMODIFIKASI
Muhammad Bachri Amran*
Kelompok Keilmuan Kimia Analitik, FMIPA, ITB
ABSTRAK
Suatu metode prakonsentrasi untuk analisis ion timbel menggunakan spektroskopi serapan
atom-nyala pada tingkat konsentrasi kelumit telah dikembangkan. Metode ini didasarkan atas retensi
ion timbel pada polimer makropori XAD-16 yang dimodifikasi dengan 1-(2-piridilazo)-2-naftol (PAN).
Retensi maksimum PAN pada XAD-16 diperoleh pada pH 6 dengan kapasitas retensi sebesar 6.004 mg
PAN/g XAD-16. Retensi ion Pb2+ oleh polimer XAD-16 PAN yang dikembangkan mencapai 99% pada
pH 8 dengan kapasitas retensi 0.5 mg g-1. Elusi kuantitatif timbel yang teretensi terjadi dalam HNO3 3 N
dengan faktor prakonsentrasi 80 kali. Metode ini telah berhasil digunakan untuk penentuan ion timbel
dalam air minum, air ledeng, dan air sungai dengan persen pemulihan >95%, persen koefisien
keragaman 2.24%, dan limit deteksi (S/N=3) 6.71 µg l-1. Kinerja analisis injeksi alir yang dikembangkan
sangat baik, ditunjukkan oleh faktor pengayaan, efisiensi pemekatan, indeks konsumtif berturut-turut
sebesar 28.741, 8.412 menit-1, dan 0.017 ml-1.
ABSTRACT
A preconcentration method for lead(II) analysis using flame atomic absorption spectroscopy at
trace concentration had been developed. The procedure was based on the retention of lead ion on
macroporous polymer XAD-16 loaded with 1-(2-pyridylazo)-2-naphthol (PAN). Maximum retention of
PAN on XAD-16 was obtained at pH 6 with retention capacity of 6.004 mg PAN/g XAD-16. Retention of
Pb2+ by the developed XAD-16/PAN polymer was quantitative (99%) at pH 8 with retention capacity of
0.5 mg g-1. Quantitative elution for the retented lead occured in 3N HNO3 with preconcentration factor of
80 times. The method had been successfully applied for determination of lead in drinking water, tap
water, and river water with recovery percentage of >95%, coeficient variance percentage of 2.24%, and
detection limit (S/N=3) of 6.71 µg Pb l-1. A good performance of the developed flow injection analyisis
was indicated by enrichment factor, concentration efficiency, and consumptive index of 28.741, 8.412
minutes-1, and 0.017 ml- 1, respectively.
PENDAHULUAN
Analisis kelumit ion logam dalam berbagai contoh lingkungan, biologis, dan paduan logam
secara langsung dengan berbagai instrumen sering kali tidak dapat dilakukan akibat rendahnya
konsentrasi dan matriks contoh yang sangat kompleks. Oleh karena itu, prakonsentrasi dan/atau
pemisahan ion logam dari matriks sangat diperlukan untuk memperbaiki limit deteksi dan kepekaan dari
* Alamat korespondensi:
amran@chem.itb.ac.id
132
suatu metode analitik1,2. Berbagai metode untuk keperluan ini, seperti kopresipitasi, ekstraksi pelarut,
kromatografi penukar ion, dan ekstraksi fase padat, telah banyak dilakukan3,4. Dari berbagai metode ini,
ekstraksi fase padat merupakan yang paling luas digunakan, karena memiliki keunggulan dibandingkan
dengan metode lainnya. Penggunaan resin pengelat pada ekstraksi fase padat tidak saja mampu
memberikan keselektifan yang baik, tetapi juga dapat menghasilkan faktor pengayaan yang besar,
stabilitas mekanik yang sempurna, dan keterulangan sorpsi yang sangat baik5. Cara sederhana untuk
memperoleh resin pengelat seperti ini adalah melalui teknik perendaman (impregnasi). Pada teknik ini,
pereaksi pengelat tertentu diimobilkan pada material pendukung seperti polimer makropori, silika,
karbon aktif, atau alumina. Studi penggunaan 1-(2-piridilazo)-2-naftol (PAN) telah banyak dilakukan
untuk penentuan secara kuantitatif ion-ion vanadium, bismut, besi, nikel, kobalt, zink, rodium, paladium,
kadmium, dan indium. Senyawa PAN sebagai pengompleks juga telah digunakan pada ekstraksi pelarut
dan ekstraksi fase padat pada kolom penukar ion6-8.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah gugus pengelat PAN diimobilkan pada
polimer pendukung polistirena-divinilbenzena (PS-DVB) XAD-16 sehingga diperoleh resin pengelat
XAD-16/PAN. Resin XAD-16 yang digunakan bersifat non-ionik, hidrofobik, dengan luas permukaan 650
m2 g-1, ukuran partikel 0.3–0.9 mm, dan mempunyai kestabilan mekanik, fisik, serta kimia yang sangat
baik. Di sisi lain, PAN mampu mengikat ion-ion logam melalui pembentukan senyawa kelat yang stabil
dan merupakan senyawa yang secara luas digunakan sebagai pereaksi pembentuk kompleks dalam
analisis kelumit. Kombinasi sifat-sifat XAD-16 dan PAN diharapkan dapat memberikan kinerja yang
unggul sebagai resin pengelat untuk keperluan prakonsentrasi. XAD-16 termodifikasi-PAN yang
dikemas dalam minikolom selanjutnya diintegrasikan ke dalam teknik prakonsentrasi berbasis analisis
injeksi alir, dengan spektrofotometer serapan atom (AAS) sebagai detektor.
METODOLOGI PENELITIAN
Peralatan
Pengukuran konsentrasi dan perekaman sinyal ion logam dipantau menggunakan AAS berkas
ganda GBC®-902 yang dilengkapi dengan pengubah (converter) analog-digital (ADInstrument™) dan
pengolah sinyal PowerChrom®. Pompa peristaltik Ismatech®, pipa Tygon, katup putar 8 jalur
(FiaGlobal®), dan minikolom dengan ukuran 50 mm × 2 mm i.d. digunakan untuk menyusun sistem
peralatan analisis injeksi alir (FIAS). Secara skematik, susunan peralatan yang digunakan dapat dilihat
pada Gambar 1.
S/E
Pengolah Data
AAS
C P K8 MK
Gambar 1 Susunan peralatan FIA-AAS, C (carrier), P (pompa peristaltik), S/E (syringe untuk
memasukkan larutan contoh atau eluen), K8 (katup 8 jalur), MK (mini-kolom), AAS
(spektrofotometer serapan atom).
133
Resin dan Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan mempunyai tingkat kemurnian p.a. dan digunakan tanpa melalui
pemurnian lebih lanjut kecuali disebutkan lain. Sebagai bahan penyangga digunakan resin Amberlite
XAD-16 (Rhom & Hass™), dan PAN (E. Merck™) digunakan sebagai pengelat. Larutan induk 1000 mg
Pb(II)/l dibuat dengan melarutkan sejumlah tertentu garam nitratnya dalam HNO3 1% (b/b).
Polimer makropori XAD-16 yang telah diperlakukan dengan HNO3 0.1 M dan dibilas dengan air
(18.3 MΩ) sampai pH netral, direndam dengan larutan PAN 0.001% dalam metanol, kemudian dibilas
kembali dengan air (18.3 MΩ) dan dikeringkan pada suhu 45 oC. Perendaman dilakukan dengan
berbagai ragam waktu untuk memperoleh waktu kontak yang optimum.
Ke dalam 0.5 g resin XAD-16 ditambahkan 10 ml larutan PAN 0.001% dengan ragam pH
larutan 2− 8. Setelah pengadukan, jumlah PAN dalam supernatan ditentukan dengan spektrofotometri
sinar tampak pada panjang gelombang (λ) 460 nm. Kapasitas retensi XAD-16 terhadap PAN ditentukan
dari konsentrasi PAN tak terserap yang terukur dalam supernatan.
Kapasitas retensi ditentukan secara lompok (batch), yaitu ke dalam tabung sentrifus 25 ml yang
telah berisi 0.2 g XAD-16/PAN dimasukkan 10 ml larutan Pb 1−20 mg l-1. Kemudian dilakukan
sentrifugasi selama 10 menit, dan jumlah Pb(II) pada supernatan diukur dengan AAS pada λ 283.3 nm
untuk menentukan kapasitas retensinya.
Ke dalam minikolom yang berisi 0.2 g XAD-16/PAN dipompakan larutan Pb(II) 10 mg l-1
sebanyak 10 ml dengan laju alir 2 ml menit-1. Ion Pb(II) yang teretensi dielusi dengan berbagai
konsentrasi HNO3 (2−4 M) sebanyak 5 ml pada laju alir yang sama. Pb(II) yang terelusi ditampung dan
ditentukan konsentrasinya dengan AAS.
Ke dalam minikolom dipompakan 10 ml larutan ion Pb 10 mg l-1 pH 8 dengan ragam laju alir
1−3 ml menit-1. Ion Pb(II) yang teretensi dielusi dengan 5 ml HNO3 3 N dengan laju alir 2 ml menit-1.
Eluat ditampung dan diukur dengan AAS pada λ 283.3 nm.
Faktor Prakonsentrasi
Ke dalam minikolom dipompakan larutan Pb dengan variasi konsentrasi 0.025−1 mg l-1 dengan
volume 10−400 ml menggunakan laju alir 2 ml menit-1. Ion Pb(II) yang teretensi di dalam kolom dielusi
dengan 5 ml HNO3 3 N dengan laju alir 2 ml menit-1. Eluat ditampung dan diukur absorbansnya sebagai
134
A2, sedangkan absorbans larutan Pb sebelum dipompakan ke dalam kolom sebagai A1. Kemudian
ditentukan faktor prakonsentrasinya.
Analisis Contoh
Larutan contoh yang telah diatur ke pH 8 dan diinjeksikan ke dalam loop contoh (6 ml) akan
dibawa oleh carrier (air pH 8) dengan laju alir 2 ml menit-1 ke minikolom. Ion Pb(II) yang teretensi dalam
kolom akan dielusi oleh HNO3 3 N yang sebelumnya telah diinjeksikan ke dalam loop eluen (500 µL).
Konsentrasi ion Pb(II) dalam eluat dimonitor oleh AAS pada λ 283.3 nm.
6
mg PAN/g XAD
2
0 2 4 6 8 10
pH
Penentuan lamanya waktu yang diperlukan PAN untuk teretensi dengan sempurna pada XAD-
16 dilakukan juga secara lompok. Gambar 3 menunjukkan bahwa waktu minimum untuk meretensikan
PAN pada XAD-16 adalah 45 menit dan tidak terjadi perubahan kapasitas retensi yang signifikan untuk
waktu yang lebih lama.
135
0.14
0.12
mg PAN/0,2 g XAD
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
0.00
0 50 100 150
waktu (menit)
100
Pb (II) teretensi (%)
80
60
40
20
0
4 6 8 10 12 14
pH
Penentuan kapasitas retensi pada pH 8 dilakukan dengan meragamkan jumlah ion Pb(II) yang
digunakan. Hubungan antara jumlah Pb(II) yang teretensi dan konsentrasi Pb yang digunakan
ditunjukkan pada Gambar 5. Sebanyak 0.2 g XAD-16/PAN hanya mampu meretensi maksimum 10 ml
Pb(II) 10 mg l-1 atau dengan kata lain, kapasitas retensinya sama dengan 0.5 mg Pb(II)/g XAD-16/PAN.
100
% retensi
80
60
40
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi Pb [mg/l]
Gambar 5 Kapasitas retensi XAD-16/PAN (0.2 g) pada berbagai konsentrasi ion Pb(II).
136
Efisiensi Elusi
Eluen merupakan spesies yang sangat penting di dalam prakonsentrasi dan pemisahan analit.
Konsentrasi eluen yang diperlukan agar mampu mengelusi dengan baik dapat ditentukan dari nilai
persen pemulihan yang dihasilkan. Eluen yang baik juga diharapkan tidak merusak bahan pengisi
kolom dan detektor, yang pada akhirnya akan mengganggu pengukuran. Sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 6, efisiensi elusi bergantung pada konsentrasi HNO3 yang digunakan. Dari aluran persen
pemulihan terhadap konsentrasi HNO3, diketahui bahwa 5 ml HNO3 3 N sudah mampu mengelusi ion
Pb(II) teretensi dengan persen pemulihan sekitar 99%. Penggunaan konsentrasi HNO3 yang lebih tinggi
tidak terlalu disukai karena dapat memengaruhi sifat-sifat polimer penyangga yang digunakan. Oleh
karena itu, konsentrasi 3 N yang digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.
100
% pemulihan
80
60
1 2 3 4 5
Tabel 1 Pengaruh volume contoh pada persen pemulihan dan faktor prakonsentrasi (P)
[Pb] (µg/l) Volume (ml) % pemulihan P
1000 10 100.96 2
500 20 99.04 4
100 100 106.51 20
50 200 98.77 40
25 400 97.76 80
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa faktor prakonsentrasi (P) tertinggi yang dapat dicapai dengan
persen pemulihan lebih dari 95% adalah 80 kali. Juga terlihat bahwa faktor prakonsentrasi bergantung
pada volume dan konsentrasi contoh yang dianalisis. Jadi, jika minikolom berisi XAD-16/PAN digunakan
untuk prakonsentrasi Pb(II) dengan sistem offline dan volume larutan siap ukur sebesar 5 ml, maka
diperlukan contoh sebanyak 400 ml agar diperoleh faktor prakonsentrasi hingga 80 kali.
Dari hasil evaluasi penggunaan secara offline minikolom yang mempunyai kemampuan
memprakonsentrasikan logam Pb dalam tingkat kelumit, dikembangkan lebih lanjut metode
137
prakonsentrasi dengan minikolom berbasis injeksi alir (FIA). Dengan menggunakan susunan peralatan
seperti ditunjukkan pada Gambar 1, telah dilakukan analisis beberapa contoh air. Kinerja analitik dari
metode yang dikembangkan ini juga telah dikaji, dan hasil-hasilnya diberikan pada Gambar 7–9.
Gambar 7 menunjukkan profil sinyal dari berbagai konsentrasi ion Pb(II), sedangkan Gambar 8
merupakan kurva kalibrasi yang diperoleh. Kurva ini menunjukkan kelinearan yang sangat baik pada
konsentrasi 10–100 µg l-1. Keterulangan tinggi puncak yang diperoleh dengan menginjeksikan larutan
50 dan 100 µg l-1 dapat ditunjukkan pada Gambar 9.
40
Tinggi Puncak (H)
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120
konsentrasi (ug/L)
Gambar 8 Kurva kalibrasi analisis ion Pb(II) dengan metode prakonsentrasi FIA-AAS.
138
Keterulangan, yang dicerminkan oleh nilai persen koefisien keragaman (% KV) yang sebesar
0.93−2.24 (n = 5) dan limit deteksi (S/N = 3) sebesar 4.71 µg l-1, menunjukkan kelayakan metode yang
dikembangkan ini untuk keperluan analisis kelumit selektif ion timbel. Penggunaannya dalam analisis
beberapa contoh air juga memberikan hasil yang sangat memuaskan sebagaiman ditunjukkan oleh nilai
pemulihan yang tidak kurang dari 95% (Tabel 2).
Tabel 2 Penentuan Pb pada contoh air
SIMPULAN
Metode prakonsentrasi dan analisis kelumit selektif ion Pb(II) berbasis analisis injeksi alir
menggunakan XAD-termodifikasi yang dikembangkan mampu memberikan kinerja analitik yang sangat
baik. Dengan nilai persen pemulihan lebih dari 95%, persen koefisien keragaman antara 0.93 dan 2.24,
dan limit deteksi sebesar 4.71 µg l-1, metode ini sangat layak digunakan untuk analisis kelumit selektif
ion timbel pada tingkat konsentrasi µg l-1. Penggunaannya pada analisis beberapa jenis contoh air
memperlihatkan bahwa matriks contoh tidak mengganggu analisis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Garg BS, Sharma RK, Bhojak N. Microchem J 1999;61:94.
2. Guo Y et al. Anal Chim Acta 2004;504:319.
3. Matsubara I, Takeda Y, Ishida K. Anal Sci 2003;19:1472.
4. Fang G, Liu Y, Meng S, Guo Y. Talanta 2002;57:1155.
5. Pramanik S, Dhara PK, Chattophadhyay P. Talanta 2004;63:485.
6. West TS, Nurberg H. The Determination of Trace Element in Natural Waters. London: Blackwell
Scientific;1998. hlm 91-98.
7. Kalyakina, Kononova, Kachin. Bull Korean Chem 2003;24.
8. Taher MA. Croatica Chem Acta 2003;76(3):273.
139
ISOLASI DAN ANALISIS SENYAWA ANTIOKSIDAN
SPONS PETROSIA SP. DAN BEBERAPA SOFT CORAL
DARI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU
Ifah Munifah*, Thamrin Wikanta, Hedi Indra Januar
Research Center of Marine and Fisheries Product Processing and Biotechnology
Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Indonesia
ABSTRAK
Studi kimia terhadap ekstrak semipolar spons laut dan soft coral dari Kepulauan Seribu telah
dilakukan, yang meliputi isolasi, pencirian, dan uji aktivitas antioksidan. Elusidasi struktur dilakukan
dengan kromatografi cair-spektrometri massa (LC-MS) Shimadzu 2010A, spektroskopi inframerah
transformasi Fourier Perkin-Elmer, kromatografi gas-spektrometri massa Shimadzu 2010A, dan
spektroskopi ultraviolet-tampak Lambda 25 Perkin-Elmer. Ekstrak spons dan soft coral diuji aktivitas
antioksidannya secara in vitro menggunakan pereaksi 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil dan diuji sitotoksisitas-
nya terhadap Artemia salina. Ekstrak etil asetat dipisahkan melalui kolom Sephadex C-8 dengan
menggunakan eluen etil asetat-metanol kemudian fraksinya dianalisis dengan LC-MS Shimadzu 2010A.
Studi invertebrata dari laut ini memperlihatkan bahwa fraksi semipolar dari spons Petrosia sp.
memiliki aktivitas inhibisi radikal bebas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak lainnya, yaitu
sebesar 41.96% untuk konsentrasi 20 ppm, dengan konsentrasi inhibisi 50% 30.21 ppm, sedangkan
konsentrasi mematikan 50% 90 ppm, untuk sitotoksisitasnya terhadap A. salina. Dalam uji fitokimia,
fraksi metanol 27-PS-05 menunjukkan hasil positif terhadap uji Lieberman-Buchard dan Dragendorf.
Berdasarkan data spektroskopi, senyawa aktif dari fraksi semipolar Petrosia sp. ini merupakan asam N-
p-kumarilaspartat.
ABSTRACT
The chemical study of marine sponges and soft corals from Seribu Islands had led to the
isolation, characterization, and antioxidant assay of the semipolar extracts. The structure was elucidated
by liquid chromatography-mass spectrometry (LC-MS) Shimadzu 2010A, Fourier transform infrared
spectroscopy Perkin-Elmer, gas chromatography-mass spectrometry Shimadzu 2010A, and ultraviolet-
visible spectrometry Lambda 25 Perkin-Elmer. Sponge and soft corals extracts were tested for their in
vitro antioxidant activities by using 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl reagent, and for their cytotoxicities
against Artemia salina. The ethyl acetate extract was separated by Sephadex C-8 using ethyl acetate-
methanol as the eluent, then the fractions were analyzed through LC-MS 2010A. These marine
invertebrates studies showed that the semipolar fraction from Petrosia sp. sponge had better inhibition
activity against free radicals than other extracts, which was 41.96% for concentration of 20 ppm, with
50% inhibition concentration of 30.21 ppm and 50% lethal concentration of 90 ppm for its sitotoxitities
against A. salina. In phytochemistry assay, the methanol fraction (27-PS-05) showed positive results for
Lieberman-Buchard and Dragendorf assays. Based on spectroscopic evidence, the active compound
from this semipolar extract of Petrosia sp. was N-p-coumarilaspartic acid.
* Alamat korespondensi:
i_munifah@yahoo.com
140
PENDAHULUAN
Biota laut daerah tropis merupakan sumber daya alam yang kaya akan senyawa bioaktif.
Pencarian bahan obat dari laut menghasilkan beberapa temuan baru yang menginspirasikan bahwa laut
adalah sumber bahan obat yang potensial. Dikemukakan oleh Jadulco (2002) bahwa spons dari
Indonesia, Jaspis splendens, menghasilkan senyawa bioaktif yang memiliki aktivitas antiproliferasi.
Hashimoto (1997) telah mengisolasi 8 senyawa yang memiliki aktivitas hayati dalam uji
pengumpanan pada ikan (fish feeding assay), yaitu asam hamigeroksalamat, hamigeramina,
hamigeramida, dan hamiguanosinol dari spons Mediterania Hamigera hamigera (famili Anchinoideae).
Senyawa-senyawa ini merupakan kelompok nukleosida yang memiliki aktivitas antitumor dan antivirus.
Menurut Lik et al. (2000), simbiosis spons Sigmadocia symbiotica dengan alga merah dari perairan
Pulau Biaro, Indonesia menghasilkan senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder heptapeptida siklik
yang bersifat toksik terhadap Artemia salina (uji kematian larva udang, BSLT). Hasil-hasil penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa biota laut spons memiliki potensi yang penting sebagai sumber senyawa
bioaktif, yang dapat dikembangkan lebih jauh menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi.
Persiapan Bahan
Spons dan soft corals diambil dari perairan Kepulauan Seribu pada tanggal 22 Juni 2005 pada
kedalaman 10−15 meter. Reagen 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) diperoleh dari Sigma, sedangkan
pelarut lainnya [metanol (MeOH), n-heksana, dan etil asetat (EtOAc) p. a.] diperoleh dari Merck.
Penyiapan Ekstrak
Setiap contoh spons ditimbang sebanyak 100−500 g, dimaserasi menggunakan MeOH dalam
tempat penyimpanan contoh yang tahan pelarut organik, dan dibiarkan selama tiga hari, kemudian
disaring. Filtratnya diuapkan dan ekstrak pekat yang diperoleh dikeringkan-vakum dalam pengering
beku (freeze dryer). Serbuk ekstrak metanol yang dihasilkan difraksionasi dengan pelarut n-heksana
dan etil asetat. Fraksi EtOAc yang diperoleh diuapkan hingga diperoleh ekstrak kering yang merupakan
kumpulan senyawa semipolar. Ekstrak semipolar ini yang selanjutnya dianalisis aktivitas antioksidannya.
Prosedur pengujian yang digunakan merupakan modifikasi dari metode Chow et al. (2003) dan
Panichayupakaranant & Kaewsuwan (2004). Pertama-tama, larutan blangko dibuat dengan cara
menambahkan metanol ke dalam 1 ml DPPH 0.1 N sampai volumenya 5 ml. Kemudian dibuat larutan
ekstrak semipolar dengan konsentrasi 20 ppm, sesuai dengan batasan konsentrasi untuk menentukan
potensi suatu senyawa antioksidan. Setelah itu, setiap larutan contoh dengan volume yang sama diberi
1 ml DPPH dan diencerkan dengan metanol sampai volumenya 5 ml. Setelah diinkubasi pada suhu
37 °C selama 30 menit, perhitungan kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer
ultraviolet-tampak (UV-Vis) pada panjang gelombang 515 nm.
Daya inhibisi radikal bebas contoh dihitung dengan rumus berikut:
Astandar − Acontoh
% inhibisi = × 100%
Astandar
141
Jika persen inhibisi pada konsentrasi 20 ppm di atas 50%, maka tergolong antioksidan aktif.
Ekstrak semipolar EtOAc dari ekstrak kasar spons dilewatkan melalui kolom Sephadex C-8
dengan eluen EtOAc-MeOH untuk memisahkan fraksi besar, kemudian serapannya diukur
menggunakan spektrofotometer UV-Vis Perkin-Elmer. Setelah itu, dilakukan pemisahan menggunakan
kolom Sephadex LH-20 dengan eluen MeOH. Eluat yang diperoleh dianalisis kandungan senyawanya
dengan GC-MS Shimadzu 2010.
Kondisi Pemisahan
Untuk mengidentifikasi senyawa aktif antioksidan, dilakukan analisis kromatografi cair kinerja
tinggi (HPLC) terhadap subfraksi 1 yang memiliki inhibisi paling baik dibandingkan dengan semua
subfraksi hasil pemisahan dengan kolom kromatografi preparatif Sephadex C-8 sebelumnya. Instrumen
HPLC yang digunakan adalah Shimadzu LC-MS 2010A, dengan kolom Princeton Omni C-18, 150 × 2
mm, 3 µ, 100 A, dan fase gerak isokratik (asetonitril 100%); volume injektor 5 µL, 10 ppm. Hasil
pemisahan selanjutnya dideteksi dengan photodiode array, menggunakan berkas UV-Vis pada panjang
gelombang 200−800 nm.
Gambar 1 Lokasi pengambilan contoh di perairan Kepulauan Seribu tanggal 22 Juni 2005.
Walaupun vitamin C dan E telah lama dikenal sebagai senyawa antioksidan komersial,
keduanya memiliki kelemahan dalam stabilitas terhadap cahaya dan panas. Oleh karena itu, penelitian
untuk mencari senyawa antioksidan baru yang memiliki stabilitas lebih baik dan toksisitas yang rendah
merupakan riset nutrakeutikal yang potensial, terutama pada spons dan soft coral yang dikenal sebagai
sumber eksplorasi senyawa bahan alam baru dari biota perairan.
Secara umum, senyawa antioksidan terdapat dalam jumlah sedikit pada biota spons dan soft
coral. Tabel 1 memperlihatkan hasil uji tahap awal eksplorasi antioksidan menggunakan metode DPPH
pada konsentrasi 20 ppm.
142
Tabel 1 Hasil uji tahap awal eksplorasi antioksidan dengan metode DPPH pada konsentrasi 20 ppm
Inhibisi
Kode Contoh PS Warna Morfologi
radikal
lembaran berlekuk, dengan bulu-bulu halus
22 Sarcophyton cokelat muda 0.6
pada lekukannya
lembaran berlekuk, dengan bintik-bintik pada
24 Sarcophyton cokelat 2.17
permukaannya
lembaran dengan tonjolan panjang dan bintik-
26 Sinularia abu-abu 0.04
bintik pada permukaannya
27 Petrosia sp. cokelat ungu bongkahan bercabang bulat, permukaan licin 41.96
kuning keabu- bentuk kelopak bunga, permukaan halus, dan
32 Sarcophyton 22.01
abuan keras
batang bercabang dengan lubang pada
35 Dendronephthya jingga 5.03
ujungnya
36 Sarcophyton cokelat lembaran berlekuk, halus, licin, dan berlendir 5.19
abu-abu
39 Sinularia lembaran dengn tonjolan 3.34
kehitaman
bongkahan bercabang bulat, permukaan licin
40 Sarcophyton abu-abu 2.11
berlendir
batang pipa bercabang, permukaan kasar,
43 Demonspongia jingga 2.3
dan tekstur lunak
44 Sinularia abu-abu lembaran dengan tonjolan dan bintik-bintik 0.06
kuning keabu- bentuk kelopak bunga, permukaan halus, dan
45 Sarcophyton 23.03
abuan keras
Dari hasil uji antioksidan tahap awal terhadap ekstrak kasar metanol dari spons dan soft coral
yang didapatkan di perairan Kepulauan Seribu, diperoleh satu contoh (27-PS-05) yang merupakan biota
Demonspongia dengan bioaktivitas yang baik. Untuk mengisolasi bahan aktif dari biota ini, tahap awal
yang dilakukan adalah fraksionasi menggunakan pelarut metanol dan etil asetat untuk mengetahui
kepolarannya. Rendemen hasil fraksionasi diberikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rendemen fraksionasi awal menggunakan etil asetat dan methanol terhadap ekstrak kasar
metanol 27-PS-05
Fraksi wo (g) wi (g) w = wi − wo Rendemen (%)
27-PS-05:
MeOH 18.8050 19.0922 287.2 57.20
Bobot awal
EtOAc 18.7911 18.7918 0.7 0.14
= 502.10 mg
Fraksi taklarut 214.2 42.66
Ekstrak kasar metanol 27-PS-05 memiliki fraksi organik terbanyak pada pelarut metanol,
sedangkan fraksi semipolarnya (etil asetat) sangat sedikit sehingga tak mungkin diuji lebih lanjut dan
diisolasi. Seperti ekstrak kasar dari biota laut lainnya, sebanyak 42.66% tidak larut dalam metanol
maupun etil asetat p.a. dan diduga merupakan pengotor dari garam-garam laut. Data fraksionasi ini
menunjukkan bahwa senyawa aktif antioksidan dari 27-PS-05 memiliki kepolaran relatif di atas 3.4.
Karena rendemen fraksi etil asetat sangat rendah, fokus uji selanjutnya ialah fraksi metanol. Hasil uji
inhibisi radikal bebas DPPH serta toksisitasnya terhadap Artemia salina dengan kontrol vitamin C dari
fraksi ini dapat dilihat pada Tabel 3.
143
Tabel 3 Hasil uji inhibisi radikal bebas DPPH dan uji toksisitas menggunakan BSLT dari fraksi metanol
27-PS-05 serta vitamin C.
Antioksidan
Konsentrasi (ppm) Inhibisi Konsentrasi (ppm) Inhibisi
3 23.59 200 92.64
6 35.61 100 92.52
9 47.17 50 79.65
Vitamin C 27 PS-05
12 64.60 25 46.15
15 76.18 12.5 19.85
LC50 ppm LC50 ppm
9.037 30.21
Toksisitas terhadap A. salina
Konsentrasi (ppm) Kematian (%) Konsentrasi (ppm) Kematian (%)
1000 1000
100 100
Vitamin C 27-PS-05
10 10
LC50 ppm LC50 ppm
95 90
Walaupun data bioaktivitas antioksidan menunjukkan bahwa konsentrasi inhibisi 50% (IC50)
fraksi metanol 27-PS-05 hanya sebesar 33% dari daya hambat radikal bebas standar vitamin C, data
BSLT menunjukkan bahwa senyawa aktif ini cukup baik untuk diteliti karena toksisitasnya lebih rendah.
Menurut Langseth (1995) dan Brand-Williams et al. (1995), vitamin C memang memiliki kelemahan
dalam hal toksisitasnya pada dosis berlebih dan juga ketidakstabilannya terhadap cahaya dan panas.
Oleh karena itu, eksplorasi model senyawa baru yang memiliki tingkat toksisitas lebih rendah dan
stabilitas lebih baik tetap merupakan studi bahan alam yang potensial.
Golongan metabolit sekunder selanjutnya diuji inhibisi radikal-bebas-DPPH secara kualitatif untuk
mendapatkan golongan senyawa aktif yang akan diisolasi. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan HP-
TLC (kromatografi lapis tipis-kinerja tinggi). Gabungan uji hayati dan analisis kualitatif golongan
metabolit sekunder ini sangat penting pada proses pemurnian senyawa aktif tertentu yang tidak
diketahui identitasnya. Tahapan ini akan menghasilkan identitas awal senyawa aktif secara cepat dan
juga metode pemisahannya, sehingga memudahkan proses kromatografi preparatif selanjutnya. Hasil
uji ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa fraksi metanol 27-PS-05 bereaksi positif dengan
pereaksi Lieberman-Buchard (LB) dan Dragendorf. Berdasarkan literatur (Chow et al. 2003; Hall &
Uppett et al. 1997), hasil positif terhadap pereaksi LB menunjukkan bahwa contoh uji mengandung
triterpenoid, saponin, steroid, atau senyawa lipofilik lainnya. Sementara hasil positif terhadap pereaksi
Dragendorf menunjukkan bahwa contoh uji dapat mengandung alkaloid, amina, atau senyawa turunan
nitrogen lainnya. Uji DPPH kualitatif yang dilakukan menunjukkan bahwa senyawa aktif yang menjadi
fokus isolasi adalah yang memiliki Rf terkecil pada lempeng silika, berarti yang paling polar, dan
merupakan senyawa utama di dalam fraksi metanol tersebut.
144
Sebelum dilakukan kromatografi preparatif, dilakukan analisis menggunakan HPLC (Gambar 2).
Data analisis awal ini sangat berguna sebagai pembanding dengan hasil kolom preparatif, untuk
menganalisis kinerja kolom preparatif yang digunakan. Selanjutnya, fraksi dilarutkan dalam 2 ml
metanol lalu dimasukkan ke dalam kolom kromatografi preparatif. Hasil fraksionasi dapat dilihat pada
Gambar 3.
mAbs ID#1 290nm (1.00)
ID#2 280nm (1.00)
ID#3 440nm (1.00)
75
50
25
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 min
4.5
3.5
2.5
(A)
1.5
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
-0.5
min
Terlihat bahwa latar pemisahan masih terlalu tinggi, artinya terdapat senyawa lain yang terbawa selama
pemisahan. Berdasarkan kromatogram fraksionasi, vial-vial yang puncaknya sama digabungkan
menjadi 12 subfraksi. Kemudian masing-masing subfraksi diuji secara kualitatif daya inhibisinya
terhadap radikal bebas menggunakan TLC dengan pereaksi deteksi DPPH. Rendemen dan hasil uji
antioksidan kualitatif dan kuantitatif dari setiap subfraksi diberikan pada Tabel 5.
Perbandingan antara data uji antioksidan dan kromatogram kolom Sephadex C-8 sebelumnya
menunjukkan bahwa terdapat 2 golongan senyawa yang memiliki bioaktivitas antioksidan. Golongan
senyawa pertama, yang terdapat pada subfraksi 1 dan 2, merupakan senyawa berwarna (memiliki
serapan di daerah tampak pada 440 nm), dan juga memiliki gugus karbonil, karena menunjukkan
serapan pada 280 nm. Golongan senyawa kedua merupakan senyawa dengan gugus karbonil tanpa
warna (hanya menyerap pada 280 nm) dan terdapat pada subfraksi 5−9. Berdasarkan Tabel 5,
diketahui bahwa golongan senyawa pertama merupakan yang terbanyak dengan rendemen total
22.47% dari keseluruhan fraksi metanol 27-PS-05 dan memiliki daya inhibisi radikal bebas tertinggi
dibandingkan dengan subfraksi yang lain. Golongan senyawa kedua merupakan golongan minor
dengan rendemen total 12.3% dan daya inhibisi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan
golongan pertama. Untuk mengidentifikasi senyawa aktif antioksidan dari setiap golongan senyawa
yang didapatkan, analisis HPLC dilakukan terhadap subfraksi 1 yang memiliki inhibisi paling baik di
antara semua subfraksi hasil pemisahan kolom kromatografi preparatif Sephadex C-8 sebelumnya.
145
Tabel 5 Rendemen dan hasil uji DPPH tiap subfraksi hasil kromatografi kolom preparatif Sephadex C-8
dari fraksi metanol 27-PS-05
DPPH
Sub- Rendemen DPPH
Eluen Min wo (g) wi (g) w = wi - wo Kuantitatif,
fraksi (%) Kualitatif*
50 ppm
1 MeOH 100% 2−4 18.7996 18.8621 62.5 22.47 48.093 +
2 MeOH 100% 6 18.9094 18.9826 73.2 26.31 42.990 +
3 MeOH 100% 11−12 18.8415 18.8453 3.8 1.37 8.648 −
4 MeOH 100% 13−17 18.5762 18.5829 6.7 2.41 11.410 −
5 MeOH 100% 23−31 37.1091 37.1214 12.3 4.42 46.450 +
6 MeOH 100% 35−36 18.5986 18.6091 10.5 3.77 13.992 +
7 MeOH 60% 40−41 18.7174 18.7315 14.1 5.07 14.853 +
8 MeOH 60% 43 18.7809 18.7850 4.1 1.47 19.128 +
9 MeOH 60% 45 18.4916 18.4984 6.8 2.44 27.710 +
10 For 1%, 100% 56−60 18.7574 18.7608 3.4 1.22 15.554 −
11 For 1%, 100% 62−63 18.7479 18.7482 0.3 0.11 19.129 −
12 For 1%, 100% 66−68 18.6516 18.6524 0.8 0.29 6.681 −
w yang hilang 79.7 28.65
* perubahan warna ungu menjadi kuning
60
50
40
30
20
10
5.0
2.5
1
0.0
Kromatogram memperlihatkan bahwa senyawa hasil kolom telah murni dan dapat diidentifikasi
lebih lanjut. Gambar 6 merupakan spektrum UV-Vis dari isolat antioksidan tersebut, dan Gambar 7
merupakan spektrum FTIR-nya.
146
mAbs 4.58 /1.00
35
30
25
20
280.43
15
10
249.30
5
315.44
316.70
319.20
320.46
321.71
322.97
326.73
327.99
0
250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 nm
45
40
35
30
25
1414,23;23,96
%T 20
1046,72;21,14
1728,64;19,68
15 1216,97;16,59
603,40;14,31
10
5 1636,97;6,63
0
3433,57;0,56
-5
-9,2
4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450,0
cm-1
HO HN O
HO2CCH2 C CO2H
H
Gambar 8 Struktur senyawa asam N-p-kumarilaspartat, antioksidan dari biota Demonspongia 27-PS-05.
SIMPULAN
Studi invertebrata dari laut ini memperlihatkan bahwa fraksi semipolar dari spons Petrosia sp.
memiliki aktivitas inhibisi melawan radikal bebas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak lainnya,
yaitu sebesar 41.96% untuk konsentrasi DPPH 20 ppm, dengan IC50 30.21 ppm, dan LC50 90 ppm
untuk sitotoksisitasnya terhadap A. salina. Dari hasil uji fitokimia, fraksi metanol 27-PS-05 menunjukkan
hasil positif terhadap pereaksi LB dan Dragendorf. Hasil analisis spektroskopi menyimpulkan bahwa
senyawa aktif dalam fraksi semipolar Petrosia sp. ialah asam N-p-kumarilaspartat.
147
DAFTAR PUSTAKA
Brand-Williams W, Cuvelier ME, Berset C. 1995. Use of a free radical method to evaluate antioxidant
activity. U-Technol 28:25-30.
Chow ST, Chao WW, Chung YC. 2003. Antioxidative activity and safety of 50% ethanolic red bean
extract (Phaseolus raditus L. Var Aurea). J Food Sci 68:21-25.
Gunawan A. 2002. Food Combining–Kombinasi Makanan Serasi Pola Makan untuk Langsing dan Sehat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 104-105.
Hall CA, Uppett SL. 1997. Structure-Activities of Natural Antioxidants: Antioxidant Methodology. Illinois:
AOCS Pr. hlm 167-168.
Hashimoto Y. 1997. Marine Toxins and Other Bioactive Marine Metabolites. Japan Scientific Societies
Pr. hlm 220-230.
Ireland CM et al. 1993. Biomedical potencial of marine products. Di dalam: Ataway DH, Zaborsky OR,
editor. Marine Biotechnology, Pharmaceutical and Bioactive Natural Products. Vol ke-1. New
York: Plenum Pr. hlm 77-79.
Jansen B. 2003. Khasiat Jus–Cara Alami Hidup Lebih Sehat dan Panjang Umur. Slamet R, Sudarmadji,
penerjemah. Jakarta: Prestasi Utama. hlm 69.
Jadulco RC. 2002. Isolation and structure elucidation of bioactive secondary metabolites from marine
sponges and sponge-derived fungi [disertasi]. University of Wuerzburg.
Lik TT, Williamson RT, Gerwick WH. 2000. Cis, cis- and trans, trans-ceratospongamide, new bioactive
cyclic heptapeptides from the Indonesian red alga Ceratodictyon spongium and syimbiotic sponge
Sigmadocia symbiotica. J Org Chem 65:419-425.
Lillian L. 1995. Oxidants, Antioxidants, and Disease Prevention. Belgium: International Life Science
Institute Pr.
Oke JM, Hamburger MO. 2002. Screening of some Nigerian medical plants for antioxidant activity using
DPPH radical. African J Biomed Res 5:77-79.
Panichayupakaranant P, Kaewsuwan S. 2004. Bioassay-guided isolation of the antioxidant constituent
from Cassia alata L. leaves Songklanakarin J Sci Technol 26:103-107.
Tri W et al. 2001. Uji peredaman radikal bebas terhadap DPPH dari ekstrak kulit buah dan biji anggur
(Vitis venifera L.). Artocarpus 1:34-43.
148
PENGGUNAAN KITOSAN UNTUK MENINGKATKAN
PERMEABILITAS (FLUKS) DAN PERMSELEKTIVITAS
(KOEFISIEN REJEKSI) MEMBRAN SELULOSA ASETAT
Maria Erna1, T Ariful Amri, Resti Yevira2
1)Program Studi Pendidikan Kimia, FKIP, Universitas Riau, Pekanbaru
2)Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Riau, Pekanbaru
ABSTRAK
Membran selulosa asetat dapat diperbaiki nilai fluks dan koefisien rejeksinya dengan
menggunakan kitosan. Caranya adalah dengan melarutkan campuran selulosa asetat dan kitosan
(nisbah 0−100%) dalam formamida 24% lalu ditambahkan aseton 59%. Membran selulosa asetat yang
paling baik didapatkan saat penambahan kitosan 29.4%, dengan fluks air 68.3 l m-2 jam-1 atm-1 dan
koefisien rejeksi terhadap dekstran T-500 78.16%. Hasil foto mikroskop elektron payaran menunjukkan
ketidakhomogenan pori-pori permukaan membran, karena kitosan terdistribusi pada permukaan
membran. Foto penampang melintang memperlihatkan bahwa membran tersebut asimetris.
ABSTRACT
The cellulose acetate membranes can be improved for their flux and rejection coefficient by
using chitosan. The method was by dissolving blend of cellulose acetate and chitosan (0−100% ratio) in
24% formamide, then 59% acetone was added. The best cellulose acetate membrane was obtained
when 29.4% chitosan was added, with water flux of 68.3 l m-2 h-1 atm-1 and dextran T-500 rejection
coefficient of 78.16%. The photo resulted by scanning electron microscope showed pore inhomogeneity
of the membrane surface, because chitosan was distributed on the membrane surface. A cross-section
photo showed that the membrane was asymmetric.
PENDAHULUAN
Membran didefinisikan sebagai suatu lapisan tipis semipermeabel yang berada di antara dua
fase. Teknologi membran banyak digunakan dalam industri sebagai alternatif dari teknologi pemisahan
konvensional, misalnya penyulingan, ekstraksi, dan kromatografi. Keuntungan dalam penggunaan
teknologi membran adalah dapat digunakan pada suhu kamar, tidak destruktif, pemisahan dapat
berjalan terus-menerus, dan tidak banyak membutuhkan energi.
Efisiensi membran ditentukan oleh permeabilitas dan permselektivitasnya, yang sangat
dipengaruhi oleh jenis polimer dan teknik pembuatannya. Membran yang baik memiliki permeabilitas
dan permselektivitas yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Nasir & Radiman (2000) menunjukkan
bahwa kondisi optimum pembuatan membran selulosa asetat diperoleh pada komposisi selulosa asetat
17%, formamida 24%, dan aseton 59% (b/b). Membran tersebut memiliki fluks air 52.8 l m-2 jam-1 atm-1
149
dan koefisien rejeksi terhadap dekstran 97.08%. Nilai fluks tersebut tergolong rendah walaupun
koefisien rejeksinya tinggi.
Untuk mendapatkan membran dengan fluks dan koefisien rejeksi yang tinggi, dalam penelitian
ini dibuat membran poliblend selulosa asetat-kitosan. Selulosa asetat dipilih karena memiliki kristalinitas
yang baik (Mulder 1991) dan tidak larut dalam air. Sementara kitosan digunakan karena stabil, bersifat
hidrofilik (Feng & Huang 1996), dan tidak larut dalam sebagian besar pelarut, tetapi dapat larut dalam
asam (misalnya asam asetat) (Mima et al. 1983).
Membran dibuat dengan metode inversi fase, yaitu pengendapan, pencelupan, dan
pencampuran selulosa asetat-kitosan dengan komposisi yang beragam. Komposisi aseton dan
formamida dibuat tetap, yaitu 59 dan 24% (b/b). Setelah itu, membran dicirikan. Hasil pencirian
digunakan untuk menentukan nisbah selulosa asetat-kitosan yang permeabilitas dan permselektivitas
membrannya optimum dan untuk mengamati morfologinya.
150
dibuat. Hal ini disebabkan konsentrasi selulosa asetat sebagai bahan utama membran lebih sedikit
daripada konsentrasi kitosan sehingga selulosa asetat tidak bisa menahan kitosan. Akibatnya membran
akan hancur dan tidak dapat terbentuk. Selulosa asetat dan kitosan yang dicampurkan tidak bereaksi
secara kimia; kitosan hanya terikat pada rantai selulosa asetat.
Hasil pencirian menunjukkan bahwa membran yang memiliki nilai fluks dan koefisien rejeksi
hampir sama besar adalah membran yang dibuat dengan penambahan 29.4% kitosan. Hasil
selengkapnya ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2. Hal ini disebabkan kitosan yang terikat pada selulosa
asetat akan memengaruhi besar dan bentuk pori-pori membran. Semakin tinggi persentase kitosan,
pori-pori membran juga semakin besar sehingga fluksnya semakin tinggi. Akan tetapi, konsentrasi
kitosan di atas 40% menyebabkan penurunan fluks membran karena selulosa asetat tidak dapat lagi
menahan kitosan.
80
Fluks (l m-2 Jam-1 atm-1)
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50
Persentase konsentrasi kitosan (%)
100
Koefisien rejeksi (%)
80
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50
Persentase konsentrasi kitosan (%)
Koefisien rejeksi membran semakin kecil dengan bertambahnya kitosan. Hal ini diakibatkan
oleh ukuran pori-pori membran yang semakin besar sehingga partikel yang tertahan di permukaan
151
membran lebih sedikit. Cairan umpan akan lebih mudah lolos pada membran. Persentase kitosan di
atas 40% tidak menyebabkan pembesaran pori-pori membran, terbukti dengan membesarnya nilai
koefisien rejeksi. Hal tersebut terjadi karena selulosa asetat tidak mampu lagi menahan kitosan,
sehingga kitosan hanya terdistribusi di permukaan membran dan dapat menutupi pori-pori membran.
Hasil pengamatan morfologi membran dengan SEM diperlihatkan pada Gambar 3−5. Foto
membran yang ditampilkan hanya yang persentase kitosannya 0 dan 29.4%, yaitu berturut-turut foto
permukaan atas dan bawah serta penampang melintangnya. Terlihat bahwa pori-pori pada permukaan
membran 0% lebih merata daripada 29.4%. Hal ini disebabkan sebagian kitosan terdistribusi di
permukaan membran. Membran tanpa kitosan simetris, sedangkan yang dengan 29% kitosan asimetris.
Keasimetrikan membran terbukti dengan adanya ketidaksamaan pori-pori pada permukaan atas dan
bawah membran. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa inversi fase akan menghasilkan
membran asimetris.
(a) (b)
Gambar 3 Foto permukaan atas membran tanpa kitosan (a) dan membran dengan 29.4% kitosan (b).
(a) (b)
Gambar 4 Foto permukaan bawah membran tanpa kitosan (a) dan membran dengan 29.4% kitosan (b).
(a) (b)
Gambar 5 Foto penampang lintang membran tanpa kitosan (a) dan membran dengan 29.4% kitosan (b).
152
SIMPULAN
Membran selulosa asetat yang dibuat dengan pencampuran (blending) dengan kitosan
mempunyai kombinasi fluks dan koefisien rejeksi lebih baik dibandingkan dengan membran selulosa
asetat tanpa dicampur. Membran yang memiliki nilai fluks dan koefisien rejeksi hampir sama tinggi
adalah membran dengan persentase kitosan 29.4% (fluks 68.27 l m-2 jam-1 atm-1 dan koefisien rejeksi
78.16 %). Dari hasil foto SEM terlihat bahwa kitosan yang terikat dalam selulosa asetat dapat
memengaruhi bentuk dan ukuran pori-pori membran.
DAFTAR PUSTAKA
Feng X, Huang RYM. 1996. Pervaporation with chitosan membrans. I. Separation of water from
ethylene glycol by a chitosan/polysulfone composit membrane. J Membrane Sci 116:67-76.
Mima S, Miya M, Iwamoto R, Yoshikawa S. 1983. Highly deacetylated chitosan and its properties. J
Appl Polym Sci 28:1909-1917.
Mulder M. 1991. Basic Principles of Membrane Technology. London: Kluwer Academic.
Nasir M, Radiman CL. 2000. Pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat untuk pemekatan enzim
α-amilase. Di dalam: Prosiding Seminar Kimia Bersama ITB-UKM. Bandung.
153
STUDI PENDAHULUAN:
PENGGUNAAN BERULANG LARUTAN NATRIUM HIDROKSIDA
DALAM PEMBUATAN KITOSAN
Ariyanti Suhita Dewi, Yusro Nuri Fawzya
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Penggunaan berulang natrium hidroksida (NaOH) dalam pembuatan kitosan telah diteliti untuk
mengetahui pengaruh penggunaan larutan NaOH dalam deasetilasi kitin terhadap mutu kitosan yang
dihasilkan. Deasetilasi kitin dilakukan dengan 3 macam larutan NaOH, yaitu larutan NaOH 15 N baru,
bekas, dan larutan NaOH bekas yang ditambah padatan NaOH hingga konsentrasinya 15 N. Mutu
kitosan yang dihasilkan dari setiap perlakuan selanjutnya dievaluasi dengan mengukur rendemen,
kadar air, kadar abu, kelarutan, viskositas, dan derajat deasetilasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan berulang larutan NaOH cenderung menurunkan rendemen (77.39−83.85%) dan viskositas
kitosan (280−730 cps). Namun, kelarutan, kadar air, kadar abu, dan derajat deasetilasi kitosan
(51−55%) relatif tidak terpengaruh.
ABSTRACT
Reuse of sodium hydroxide (NaOH) solution for chitosan production had been investigated to
observe the effect of using waste NaOH solution for chitin deacetylation on the quality of chitosans.
Chitin deacetylation was carried out by 3 types of NaOH solution: fresh 15 N NaOH solution, waste
NaOH solution, and waste NaOH solution added with NaOH solids to make its concentration 15 N. The
chitosan produced from each treatment was evaluated for their qualities by measuring the yield,
moisture and ash content, solubility, viscosity, and degree of deacetylation. The results showed that
reusing NaOH solution tended to decrease the yield (77.39−83.85 %) and the viscosity of chitosan
(280−730 cps). However, their solubility, moisture and ash content, and degree of deacetylation
(51−55%) were relatively unaffected.
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan populasi penduduk dunia
cenderung meningkatkan kegiatan manusia yang berdampak pada berbagai masalah lingkungan
secara global. Masalah lingkungan yang banyak dihadapi saat ini antara lain adalah buangan limbah
yang beracun dan berbahaya (limbah B3)
Pencemaran lingkungan oleh limbah B3 dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang
semakin berat dan tingginya angka pesakitan baik karena penyakit infeksi maupun non-infeksi. Dalam
154
beberapa tahun terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologik, yaitu pergeseran pola penyakit yang
sebelumnya didominasi oleh penyakit infeksi menjadi penyakit non-infeksi seperti hipertensi, jantung,
diabetes, gangguan fungsi ginjal, dan kanker.
Sejak ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859, penelitian tentang kitosan terus berkembang
hingga saat ini. Hal ini didasarkan pada sifat polisakarida kitosan yang alami, tidak beracun, dan
biodegradabel serta sangat melimpah di alam. Sifat kimiawi dan biologisnya yang unik menjadikan
kitosan banyak diaplikasikan untuk keperluan komersial (Cho et al. 1998; Oktavia et al. 2005).
Kitosan adalah heteropolisakarida yang terdiri atas N-asetilglukosamina dan 70% atau lebih
glukosamina (Chasanah 2004; Choi et al. 2004). Polimer kationik ini tidak larut dalam air, basa kuat,
dan asam sulfat, tetapi sedikit larut dalam asam klorida, asam nitrat, dan asam fosfat. Kelarutannya
tinggi dalam asam organik lemah atau pelarut organik lain dengan tingkat keasaman di bawah 6.5.
Kitosan dibuat dengan cara menghilangkan gugus asetil dari kitin. Salah satu sumber kitin yang
cukup potensial adalah limbah cangkang krustasea. Limbah ini diketahui mengandung 30−40% protein,
30−50% kalsium karbonat, dan 20−30% kitin. Proporsi tersebut bervariasi bergantung pada jenis
krustasea dan musimnya (Cho et al. 1998). Industri perikanan seperti pengolahan udang, kepiting,
rajungan, dan lobster dapat menghasilkan limbah cangkang sebanyak 40−60% untuk udang dan
75−85% untuk kepiting (Suryaningrum et al. 2005). Produksi rajungan dan udang di Indonesia pada
tahun 2002 masing-masing adalah 31,228 dan 241,485 ton (Dirjen Perikanan Tangkap 2004 dalam
Oktavia et al. 2005). Berdasarkan data tersebut, limbah rajungan dan udang yang dihasilkan pada
tahun 2002 berturut-turut mencapai sekitar 25,000 dan 126,000 ton.
Proses deasetilasi kitin secara sempurna hanya dapat dilakukan dalam larutan basa dengan
konsentrasi 70–90% bergantung pada metode yang digunakan (Li et al. 1997). Beberapa penelitian
juga menyebutkan bahwa deasetilasi kitin dapat dilakukan pada suhu 70 °C dengan larutan NaOH 60%
selama 3 hari (Oktavia et al. 2005) atau pada suhu yang lebih tinggi, yaitu 100–150 °C (Muzzarelli 1977
dalam Fauzan 2001) dan 120–140 °C (Suptijah et al. 1992 dalam Fauzan 2001). Limbah NaOH yang
dihasilkan dari proses deasetilasi ini cukup pekat, dan karena bersifat korosif diperlukan penanganan
lebih lanjut untuk meminimumkan dampak berbahaya yang dapat ditimbulkan. Salah satunya dikenal
sebagai 3R (reuse, reduce, dan recycle). Pada penelitian ini larutan NaOH digunakan untuk beberapa
kali deasetilasi kitin agar mengurangi keberbahayaan limbah yang dihasilkan. Kemudian pengaruh
penggunaan berulang ini pada proses deasetilasi kitin dan mutu kitosan yang dihasilkan, dipelajari.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah kitin yang dibuat dari limbah rajungan di Cirebon, NaOH teknis,
kalium hidrogen ftalat (KHP), asam asetat glasial, KBr, dan bahan kimia lainnya untuk analisis.
Metode
Kitosan dibuat dengan 5 ragam perlakuan konsentrasi larutan NaOH untuk proses deasetilasi:
Kitosan A: larutan NaOH baru dengan konsentrasi 15 N.
Kitosan B: larutan NaOH bekas 1 kali pakai.
Kitosan C: larutan NaOH bekas 1 kali pakai ditambah dengan padatan NaOH agar konsentrasinya 15 N.
Kitosan D: larutan NaOH bekas 2 kali pakai.
Kitosan E: larutan NaOH bekas 2 kali pakai yang diperlakukan sama dengan kitosan C.
Semua larutan NaOH distandardisasi terlebih dahulu dengan KHP sebelum dipergunakan untuk
mendeasetilasi kitin.
155
Pembuatan kitosan dilakukan 2 kali berdasarkan metode Oktavia et al. (2005), yaitu dengan
cara merendam kitin dalam larutan NaOH pada suhu 70 οC dalam penangas air selama 3 hari. Setelah
itu, kitosan yang dihasilkan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50 οC
selama kira-kira 12 jam. Diagram alir pembuatan kitosan disajikan pada Gambar 1.
Pengamatan
Parameter mutu kitosan yang diamati meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kelarutan,
viskositas, dan derajat deasetilasi. Rendemen merupakan nisbah bobot kitosan (akhir) terhadap bobot
kitin (awal) yang dinyatakan dalam persen. Sementara, kadar air ditentukan dengan metode AOAC
(1999), yaitu sebanyak 1 g kitosan dalam cawan porselen ditimbang dan dipanaskan dalam oven 105
ο
C selama lebih kurang 24 jam. Contoh selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar
air dihitung sebagai nisbah dalam persen antara selisih bobot contoh awal dan akhir (bobot contoh yang
hilang karena penguapan) dan bobot contoh awal. Kitosan yang telah diukur kadar airnya lalu
diarangkan dan diabukan dalam tanur 600 οC selama sekitar 5 jam. Setelah itu, abu kitosan didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung sebagai nisbah bobot abu terhadap bobot contoh
awal, dinyatakan dalam persen (AOAC 1999).
Kelarutan kitosan ditentukan dengan metode filtrat (Aumeilia 2004). Sebanyak 1 ml larutan
kitosan 1% dalam asam asetat 1% dimasukkan dalam cawan porselen dan dioven pada suhu 100 οC
selama kira-kira 1 jam. Selisih bobot cawan porselen sebelum dan sesudah pemanasan menunjukkan
banyaknya contoh kitosan yang terlarut. Kelarutan juga dinyatakan dalam persen.
156
Viskositas larutan kitosan 1% dalam asam asetat 1% diukur dengan viskometer Brookfield
(model LVF seri: 88883). Spindel yang digunakan adalah spindel 3 dengan kecepatan 60 rpm. Nilai
kekentalan kitosan dihitung dengan persamaan berikut:
Viskositas (cPs) = nilai terukur × faktor konversi
Faktor konversi untuk spindel 3 dan kecepatan 60 rpm adalah 20.
Pengukuran derajat deasetilasi dilakukan dengan spektrofotometer inframerah transformasi
Fourier (FTIR) Perkin-Elmer metode Spectrum One pada bilangan gelombang 4000−450 cm-1
berdasarkan metode Domszy & Roberts. Dalam pembuatan pelet KBr, sebanyak 2 mg contoh kitosan
(telah dikeringkan dalam oven 105 °C selama kira-kira 12 jam) dan 200 mg KBr dicampur dan digerus.
Selanjutnya, campuran dimasukkan ke dalam alat pencetak pelet dan ditekan dengan tekanan 7−8 ton
sambil divakum untuk menarik uap air yang ada. Dari absorbans gugus hidroksil pada serapan 3000–
3500 cm-1 dan gugus amida pada 1600–1700 cm-1, persentase N-asetil ditentukan dengan rumus di
bawah ini (Domzy & Roberts 1985 dalam Khan et al. 2002):
Aamida 100
%N-asetil = × DD = 100% – %N-asetil
Ahidroksil 1.33
157
Tabel 3 Spesifikasi kitosan yang dihasilkan dari penggunaan berulang larutan NaOH
Jenis kitosan Rendemen (%) Kadar air (%) Kadar abu (%)
A 83.85 ± 2.15 12.43 0.12
B 88.12 ± 0.63 12.35 0.25
C 80.27 ± 4.02 12.54 0.29
D 77.39 ± 0.11 12.39 0.29
E 78.52 ± 1.02 12.90 0.77
Rendemen
Rendemen kitosan yang diperoleh dari penelitian ini ialah 77.39−83.85%. Nilai tersebut
cenderung turun, karena proses deasetilasi mengakibatkan gugus asetil pada kitin terlarut dan terbuang
pada saat pencucian. Penggunaan berulang larutan NaOH juga diduga menyebabkan depolimerisasi
polimer yang menurunkan rendemen.
Kadar Air
Setiap kitosan yang dihasilkan memiliki kadar air sekitar 12%, relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan persyaratan kitosan komersial pada umumnya (kurang dari 10%). Hal ini disebabkan kitosan
bersifat higroskopis sehingga mudah menyerap uap air dari udara sekitar 230 sampai 440%, terutama
selama masa penyimpanan (Knorr 1982 dalam Sugihartini 2001). Tingginya kadar air juga dapat
disebabkan oleh tingginya konsentrasi HCl yang digunakan pada proses demineralisasi kulit udang.
Kandungan mineral tersebut, walaupun rendah, mengakibatkan daya ikat kitosan terhadap air semakin
kuat (Hong et al. 1989 dalam Sugihartini 2001).
Kadar Abu
Kadar abu merupakan ukuran keberhasilan proses demineralisasi pada pembuatan kitin.
Semakin rendah nilai kadar abu, tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi. Demineralisasi dilakukan
dengan cara merendam cangkang rajungan dalam larutan HCl. Perlakuan ini menyebabkan CaCO3
yang terkandung di dalam cangkang bereaksi dengan HCl menghasilkan CaCl2, CO2, dan air seperti
terlihat dalam persamaan reaksi berikut:
Kadar abu setiap kitosan antara 0.12 dan 0.77%, relatif rendah dibandingkan dengan standar
yang ditetapkan Lab. Protan, yaitu kurang dari 2%. Dengan demikian kitin yang digunakan pada
penelitian ini telah melalui proses demineralisasi yang cukup.
158
Kelarutan
Kelarutan merupakan parameter penting yang terkait dengan aplikasi kitosan. Meskipun tidak
semua industri menetapkan kelarutan sebagai salah satu persyaratan, kelarutan kitosan dapat
memengaruhi penggunaannya secara komersial. Jumlah pelarut yang diperlukan untuk melarutkan 1
bagian kitosan berkisar antara 0.95 dan 1.04 sehingga termasuk dalam kriteria mudah larut dan sangat
mudah larut. Penggolongan tingkat kelarutan suatu bahan yang ditentukan dengan metode filtrat
menurut Farmakope Indonesia diberikan pada Tabel 4.
Setiap kitosan menunjukkan kelarutan yang tinggi dalam larutan asam asetat 1%. Hal ini
dimungkinkan karena penggunaan larutan NaOH berulang dapat memotong gugus asetil kitin dan
memecah rantai polimer kitosan sehingga meningkatkan kelarutannya dalam asam. Reaksi pelarutan
kitosan dalam larutan asam asetat 1% adalah sebagai berikut (Rinaudo & Domand 1989):
CH 2 OH CH 2 OH CH 2 OH CH 2 OH
O O O O
H H H H
H H H H
O O O O
H
O + H+ O
H
OH H OH H OH H OH H
H NH 2 H NH 2 H NH 3 + H NH 3 +
Sepasang elektron bebas pada atom nitrogen menyebabkan gugus amino pada kitosan bersifat basa
Lewis, sedangkan ion H+ pada asam asetat berfungsi sebagai asam Lewis. Ketika kitosan dilarutkan
dalam larutan asam asetat, gugus amino akan mengikat ion H+ dan membentuk senyawa kitosan yang
bersifat kationik.
Viskositas
Informasi mengenai viskositas kitosan juga berhubungan dengan aplikasinya. Dalam bidang
farmasi diperlukan kitosan dengan viskositas rendah, sedangkan untuk keperluan pengental atau
pengeras bahan makanan diperlukan kitosan dengan viskositas tinggi. Rinaudo & Domand (1989)
menyatakan bahwa viskositas kitosan berbanding lurus dengan bobot molekulnya. Kitosan dengan
bobot molekul tinggi mempunyai viskositas yang tinggi pula, begitu pula sebaliknya.
Viskositas kitosan yang berkisar antara 280 dan 730 cPs termasuk dalam viskositas sedang
(Lab. Protan 1987). Viskositas kitosan A dan B yang relatif tinggi menunjukkan bahwa penggunaan
larutan NaOH baru dalam pembuatan kitosan A lebih efektif dalam memotong gugus asetil dari kitin.
Akibatnya, kitosan yang dihasilkan memiliki rantai polimer yang cukup panjang dan mempunyai bobot
molekul cukup tinggi. Sebaliknya, viskositas kitosan C, D, dan E relatif rendah dan diduga karena
159
kondisi larutan NaOH bekas yang digunakan telah jenuh dengan gugus asetil sehingga memotong
rantai utama kitin, menghasilkan kitosan dengan rantai polimer yang pendek dan bobot molekul rendah.
Derajat Deasetilasi
Derajat deasetilasi menyatakan persentase gugus asetil yang telah dihilangkan dari kitin.
Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan murni. Konsentrasi basa
yang tinggi dalam proses deasetilasi dapat meningkatkan derajat deasetilasi dan memecah rantai
molekul kitosan. Akibatnya, bobot molekul dan viskositas kitosan menurun sedangkan kelarutannya
meningkat. Proses deasetilasi ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Dalam larutan, NaOH akan terurai menjadi ion Na+ (positif) dan OH− (negatif). Ion hidroksil
tersebut lalu menyerang karbon karbonil yang bersifat elektropositif. Produk akhir dari reaksi ini berupa
kitosan dan garam natrium asetat sebagai hasil samping.
Kitin Kitosan
OH-
H O O
+
O Na O Na+ O_Na+
H H
kitin kitosan natrium asetat
Derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan dalam penelitian ini ialah 51−55%, relatif lebih
rendah daripada yang disyaratkan, yaitu minimum 70%. Menurut Khan et al. (2002), nilai derajat
deasetilasi kitosan bergantung pada metode analisis yang digunakan. Beberapa metode penentuan
derajat deasetilasi kitosan yang pernah dilaporkan antara lain metode spektrofotometer ultraviolet-
tampak (UV-Vis) turunan pertama, titrasi, ninhidrin, resonansi magnetik inti (NMR), dan FTIR (Tan et al.
1998). Di antara metode-metode tersebut, metode FTIR paling cepat dan tidak memerlukan pelarutan
kitosan dalam pelarut tertentu (Baxter et al. 1992; Sabnis & Block 1997 dalam Khan et al. 2002).
Pengukuran derajat deasetilasi kitosan menggunakan metode FTIR dipengaruhi oleh kadar air
kitosan. Kandungan air yang tinggi (sekitar 12%) akan memengaruhi intensitas serapan gugus hidroksil
sehingga derajat deasetilasi kitosan yang terukur lebih rendah.
Derajat deasetilasi setiap kitosan yang relatif sama menunjukkan bahwa penggunaan larutan
NaOH berulang sampai 2 kali pakai cenderung tidak berpengaruh terhadap proses deasetilasi kitin.
Menurut Maghami & Roberts (1988) serta Gummow & Roberts (1985) dalam Curotto & Aros (1993),
derajat deasetilasi kitosan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia serta aktivitas biologis kitosan.
160
SIMPULAN
Larutan NaOH dapat digunakan secara berulang dalam pembuatan kitosan. Penggunaan
larutan NaOH berulang cenderung berpengaruh terhadap rendemen dan viskositas kitosan, tetapi relatif
tidak berpengaruh terhadap kelarutan, kadar air, kadar abu, dan derajat deasetilasi kitosan.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis. Volume ke-2. Ed
ke-16. Maryland: AOAC.
Aumeilia W. 2004. Pengaruh jumlah asam monokloroasetat dan jenis pelarut organik pengendap pada
pembentukan karboksimetil kitin [skripsi]. Jakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila.
Basmal J, Prasetyo A, Fawzya YN. 2005. Pengaruh konsentrasi asam monokloroasetat dalam proses
karboksimetilasi kitosan terhadap karboksimetil kitosan yang dihasilkan. J Penelitian Perikanan
11:47-56.
Chasanah E. 2004. Characterization of chitosanase of Bacillus licheniformis mb-2 isolated from Manado
hot spring water [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Cho YI, No HK, Meyers SP. 1998. Physicochemical characteristics and functional properties of various
commercial chitin and chitosan products. J Agric Food Chem 46:3839-3843.
Choi YJ, Kim EJ, Piao Z, Yun YC, Shin YC. 2004. Purification and characterization of chitosanase from
Bacillus sp. strain kctc 0377bp and its application for the production of chitosan
oligosaccharides. Appl Environ Microbiol 70:4522-4531.
Curotto E, Aros F. 1993. Quantitative determination of chitosan and the percentage of free amino
groups. Anal Biochem 211:240-241.
Fauzan A. 2001. Pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu proses terhadap derajat deasetilasi kitosan
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Khan TA, Peh KK, Ch’ng HS. 2002. Reporting degree of deacetylation values of chitosan: The influence
of analytical methods. J Pharm Pharmaceut Sci 5:205-212.
Lab. Protan. 1987. Cationic Polymer for Recovering Valuable By Product from Food Processing Waste.
Burgess. USA.
Li Q, Dunn ET, Grandmaison EW, Goosen MFA. 1997. Application and properties of chitosan. Di dalam:
Applications of Chitin and Chitosan. Pennsylvania: Technomic. hlm 5.
Oktavia DA, Wibowo S, Fawzya YN. 2005. Pengaruh jumlah monokloroasetat terhadap karakteristik
karboksimetil kitosan dari kitosan cangkang dan kaki rajungan. J Penelitian Perikanan 11:79-88.
Rinaudo M, Domand A. 1989. Solution properties of chitosan. Di dalam: Chitin and Chitosan. New York:
Elsevier. hlm 73.
Subasinghe S. 1999. Chitin from Shellfish Waste Health Benefits over Shadowing Industrial Uses. Info
Fish International 3.
Sugihartini L. 2001. Pengaruh konsentrasi asam klorida dan waktu demineralisasi kitin terhadap mutu
kitosan dari cangkang rajungan (Portunus pelagicus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suryaningrum TH, Basmal J, Aumeilia W. 2005. Pengaruh konsentrasi asam monokloroasetat dan jenis
pelarut sebagai bahan pengendap terhadap produksi karboksimetil kitin. J Penelitian Perikanan
11:89-100.
Tan SC, Khor E, Tan TK, Wong SM. 1998. The degree of deacetylation of chitosan: Advocating the first
derivative UV-spectrophotometry method of determination. Talanta 45:713-719.
161
THE EFFECT OF CINNAMON ON BACTERIAL GROWTH, PROTEIN
DEGRADATION, AND AMINO ACID AND FATTY ACID CONTENTS
OF MILKS AT STORAGE
Tatik Khusniati1*, Yantyati Widyastuti2
1Microbiology Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor
2Research Center for Biotechnology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor
ABSTRACT
Pasteurized milks might get spoiled at refrigerated storage due to psychotropic bacterial growth.
Cinnamon, which contains cinnamon oil and cinnamic acids as antibacterial and aromatic compounds,
may be used as milk supplement to inhibit psychotrophic bacterial activities. To investigate nutritional
compounds of milks with and without cinnamon at storage, the effect of cinnamon on bacterial growth,
protein degradation, and amino acid, and fatty acid contents of stored milks were detected. The detetion
were made by total plate counts, formol titration, high performance liquid chromatography, and gas
chromatography, respectively. The results showed that bacterial growth and protein degradation in
cinnamon milks at storage of 5 to 10 days after use by date were lower than that in control. Bacterial
growth and protein degradation in cinnamon whole milks (4.0 × 101−5.3 × 104 and 2.21–2.50%,
respectively) were lower than that in cinnamon skim milks (9.0 × 101–9.8 × 104 and 2.70−2.88%,
respectively) (P < 0.05). At 5 days after use by date, the content of alanine (1.103 mg/100 ml) in
cinnamon whole milks and the content of glycine (0.589 mg/100 ml), histidine (1.094 mg/100 ml),
alanine (1.127 mg/100 ml), methionine (0.795 mg/100 ml), and cysteine (0.222 mg/100 ml) in cinnamon
skim milks were higher than that in control (P < 0.05). The percentage of lauric acid (8.310%), myristic
acid (10.070%), oleic acid (33.148%), linoleic acid (12.254%), and linolenic acid (1.260%) in cinnamon
whole milks were also higher than that in control. On the contrary, the percentage of palmitic acid
(29.822%) and stearic acid (0.453%) were lower than that in control. Thus, cinnamon decreased
bacterial growth and protein degradation, and changed amino acid and fatty acid contents of skim and
whole milks at storage. Therefore, at storage of 5 days after use by date, cinnamon milks were better
than milks without cinnamon.
Keywords: pasteurized milks, skim, cinnamon, protein, amino acids, fatty acids.
INTRODUCTION
Pasteurized milks are spoiled after use by date, at refrigerated temperatures, due to the activity
of psychotropic bacteria, especially Pseudomonas spp. The main species that spoils pasteurized milks
is Pseudomonas fluorescens (Chandler et al. 1990; Deeth et al. 2002). It has been reported that
pasteurized milks which temperature is 72 °C 15’ to 88 °C 15’ in carton package stored at 4.5 and 7 °C
are spoiled due to the activity of psychotropic bacteria, especially Pseudomonas sp. (Cousin 1982;
Craven & Macauley 1992) and the average shelf life of milks stored at 4.5 and 7 °C are around 7 days
in nontropical area (Bishop & White 1986; Brown et al. 1984; Ngi 1991). However, Heo (1989) examined
commercial milk samples which temperature is 72 °C 15’ to 88 °C 15’ in carton package held at 7.2°C,
* Alamat korespondensi:
tatikkhusni@yahoo.com
162
and found that after 10 days of storage, 91% of milks were acceptable and even after 14 days, 82% of
whole milks were still acceptable.
The spoilage of pasteurized milks due to the activities of psychotropic bacteria may result in the
microbial and chemical changes of the milks (Overcast & Skean 1959; Reinheimer et al. 1993). The
biochemical changes of spoiled milks may be resulted from the activities of extracellular enzymes
(Griffith 1989; Sorhaug & Stepaniak 1997), especially protease which degrades protein (Hsu 1984;
Janzen et al. 1982) and lipase which degrades lipid (Bucky et al. 1986; Fitzgerald & Deeth 1983; Pieper
& Timms 1987). The spoilage of milks may be reduced by an addition of antibacterial and aromatic
supplements. Cinnamon has been known as an antibacterial and aromatic materials which may
suppress the growth of psychotrophic bacteria (Jayatilaka et al. 1995; Tabak et al. 1999).
The effect of cinnamon on bacterial growth, protein degradation, and amino acid and fatty acid
contents of pasteurized milks at storage has not been reported yet. Cinnamon is expected to decrease
bacterial growth and protein degradation and increase the content of amino acids and fatty acids of
pasteurized milks. Further explanation for these effects is that cinnamon contains antibacterial and
aromatic compounds of cinnamon oil and cinnamic acids that may reduce bacterial growth of
psychotrophic bacteria, especially Pseudomonas spp., and decrease the protease activities of the
bacteria. This decrease may result in a decrease of protein degradation of milks at storage. Moreover,
cinnamon contains specific nutritional and volatile cinnamon compounds which may increase the
contents of amino acids and fatty acids. This paper reported the effect of cinnamon on bacterial growth,
protein degradation, and amino acid and fatty acid contents of skim and whole milks at storage.
Milk Samples
Commercial pasteurized milks which temperature were 85 °C 15’ in 1 litre carton package,
produced by a factory in Jakarta-Indonesia, were purchased from retail outlets at temperatures between
4 and 7 °C. Identical cartons of pasteurized milks (identical use by date, identical factory) were
purchased. A lot of cartons of milks containing 1000 ml each from the same factory were used in the
trials. The milk samples were transported on ice to the laboratory and stored at 4 °C until use by date
stamped on the cartons. At the time of storage, a 100 ml aliquot of each milk sample was transferred
aseptically into a 200 ml sterile bottle. The samples were added by cinnamon, and cinnamon milks and
milks without cinnamon were then analyzed for the bacterial growth, protein degradation, and amino
acid and fatty acid contents.
Cinnamons which contain cinnamon oil and cinnamic acids as antibacterial and aromatic
compounds were collected from some supermarkets in Bogor-Indonesia. All cinnamons were macerated
in hot water (10 g in 100 ml hot water) and the mixtures were then filtered by stainless steel filter (Ø
[diameter] 1 mm) to produce liquid materials as juice supplements.
A 50 g of cinnamon was soaked in 500 ml boiled water. The cinnamon juice produced was
filtered by stainless steel filter (Ø 1mm) and the filtered juice was kept in refrigerated temperatures until
ready to be used as a supplement.
163
Pasteurized Milks with Addition of Cinnamon
Aliquots (100 ml) of commercial pasteurized milks were transferred aseptically from the cartons
into 200 ml sterile bottles. Liquid cinnamon juices were added into separate 200 ml aliquots of the batch
of pasteurized milks. The samples with addition of cinnamon, together with milks without cinnamon
(control), were incubated at 4 °C for up to 15 days (5 days before use by date, at use by date, and 5
and 10 days after use by date). Bacterial growth, protein degradation, and amino acid and and fatty acid
contents of control and samples were analyzed and every result was mean of three replicates.
Ten-fold serial dilutions of control and samples were made and spread plate counts performed
according to Australian Standard AS 1766.1.4 using nutrient agar. The plates were incubated for 2–3
days at 30 °C.
Protein degradation of control and samples at all times of storage were detected by using
formol titration. Ten ml of milks were added with 20 ml aquadest, 0.4 ml saturated potassium oxalate
monohydrate (K2C2O4⋅H2O), and 1 ml 1% phenolphtalein. These solutions were then kept for 2 minutes,
and titrated with 0.1 M NaOH until the color changed into pink. Furthermore, 2 ml formaldehyde 40%
was poured and the solutions were again titrated with 0.1 M NaOH until the color change into pink.
percentage (%) of milk protein = 1.83 × ml 0.1 M NaOH used in titration.
Amino acid contents in control and samples were detected by high performance liquid
chromatography (HPLC) at the times of storage 5 and 10 days after use by date. Samples of milk were
hydrolyzed to break down the protein by using 6 M HCl for 12–18 hours in vacuum gauge. The
hydrolysis was meant to measure the total amino acids composing milk protein. To release compounds
interfering complex reaction between PITC with amino acids, methanol and triethylamine were added as
a drying solution. The complex compounds formed between PITC and amino acids were detected by
fluorescence detector. Sample solutions for amino acid analyses were then injected to HPLC.
Statistical Analysis
All treatments of control and samples were statistically analyzed by Anova with factorial
complete randomized design (Snedecor & Cochran 1989) using general linear model with 3 replications.
164
RESULTS
The bacterial growth in whole milks at storage (5.2 × 103–9.3 × 106 cfu/ml) were lower than that
in skim milks (6.2 × 104–6.5 × 107) (P < 0.05). Furthermore, the bacterial growth in both milks after
addition of cinnamon at storage were lower than that in control, and the bacterial growth in cinnamon
whole milks (4.0 × 101–5.3 × 104) were lower than that in cinnamon skim milks (9.0 × 101–9.8 × 104
cfu/ml) (P < 0.05). The bacterial growth of skim and whole milks with or without addition of cinnamon at
times of storage were shown in Table 1.
Table 1 The bacterial growth of skim and whole milks with and without addition of cinnamon at times of
storage (cfu/ml)
No. Times of storage Whole milk1 Skim milk1
A With addition of cinnamon
1 5 days before use by date 4.0 × 101 (a) 9.0 × 101 (b)
2 At use by date 5.2 × 102 (c) 8.6 × 102 (d)
3 5 days after use by date 7.2 × 103 (f) 8.4 × 103 (g)
4 10 days after use by date 5.3 × 104 (h) 9.8 × 104 (k)
B Without addition of cinnamon
1 5 days before use by date 5.2 × 103 (e) 6.2 × 104 (i)
2 At use by date 7.5 × 104 (j) 8.6 × 105 (l)
3 5 days after use by date 8.5 × 105 (l) 6.1 × 106 (m)
4 10 days after use by date 9.3 × 106 (n) 6.5 × 107 (o)
1different letters show a significant difference (P < 0.05)
The protein degradation in whole milks at storage (2.64–2.98%) were lower than that in skim
milks (2.97–3.22%) (P < 0.05). Furthermore, the protein degradation in both milks after addition of
cinnamon at storage were lower than that in control, and the degradation in cinnamon whole milks
(2.21–2.50%) were lower than that in cinnamon skim milks (2.70–2.88%) (P < 0.05). The percentage of
protein degradation in skim and whole milks with and without additon of cinnamon at times of storage
were shown in Table 2.
Table 2 The percentage of protein degradation in skim and whole milks with and without addition of
cinnamon at times of storage (mg/100 ml)
No. Times of storage Whole milk1 Skim milk1
A With addition of cinnamon
1 5 days before use by date 2.21 i 2.70 e
2 At use by date 2.40 h 2.85 d
3 5 days after use by date 2.46 g 2.86 d
4 10 days after use by date 2.50 g 2.88 cd
B Without addition of cinnamon
1 5 days before use by date 2.64 f 2.97 b
2 At use by date 2.68 ef 3.18 a
3 5 days after use by date 2.91 c 3.20 a
4 10 days after use by date 2.98 b 3.22 a
1different letters show a significant difference (P < 0.05)
From seventeen amino acids tested, the content of some amino acids in skim and whole milks
with cinnamon was different with that in control at storage 5 days after use by date. Different amino acid
content between whole milk with and without cinnamon addition was alanine, while that of skim milks
165
were glycine, histidine, alanine, methionine, and cysteine. The content of alanine (1.103 mg/100 ml) in
cinnamon whole milks, and the content of glycine (0.589 mg/100 ml), histidine (1.094 mg/ml), alanine
(1.127 mg/ml), methionine (0.795 mg/100 ml), and cysteine (0.222 mg/100 ml) in cinnamon skim milks
were both higher than that in control (P < 0.05). These increments could be due to the additional amino
acids from the cinnamon. The amino acid contents of skim and whole milks with and without cinnamon
at storage 5 days after use by date (mg/100 ml) were shown in Table 3.
Table 3 The amino acid contents of skim and whole milks with and without addition of cinnamon at 5
days after use by date (mg/100 ml)
Whole milk with Skim milk with
No. Amino acids Whole milk1 Skim milk1
cinnamon1 cinnamon1
1 Aspartic acid 2.377 g 2.386 g 2.292 h 2.294 h
2 Glutamic acid 6.988 a 6.932 a 6.885 a 6.875 a
3 Serine 1.592 l 1.594 l 1.487 m 1.484 m
4 Glycine 0.607 a 0.609 a 0.576 u* 0.589 b*
5 Histidine 1.163 s 1.175 s 1.092 c* 1.094 t-u*
6 Arginine 1.172 s 1.174 s 1.162 s 1.175 s
7 Threonine 1.249 g-r 1.245 r 1.271 p-q 1.289 p
8 Alanine 1.048 v* 1.103 tu* 1.026 w* 1.127 t*
9 Proline 3.672 b 3.627 b 3.589 c 3.589 c
10 Tyrosine 1.392 n 1.395 n 1.340 o 1.341o
11 Valine 1.776 i-j 1.791 i 1.698 k 1.695 k
12 Methionine 0.831 x 0.832 x 0.785 y* 0.795 z*
13 Cysteine 0.246 d 0.247 d 0.212 f* 0.222 e*
14 Isoleucine 1.747 j 1.742 j 1.762 i-j 1.796 i
15 Leucine 3.282 d 3.284 d 3.197 l 3.195 l
16 Phenylalanine 1.398 n 1.397 n 1.350 o 1.354 o
17 Lysine 2.861 f 2.864 f 2.847 f 2.847 f
1different letters show a significant difference (P < 0.05) * significantly different (P<0.05)
At storage 10 days after use by date, from 17 amino acids, more amino acids in skim and whole
cinnamon milks had different contents with control. Different amino acid contents between whole milks
with and without cinnamon were observed for serine, histidine, arginine, threonine, valine, cysteine, and
isoleucine, while that between two types of skim milk were threonine and tyrosine. The contents of
arginine (0.123 mg/100 ml) and valine (0.113 mg/100 ml) in cinnamon whole milks at 10 days after use
by date were higher than that in control. On the contrary, the contents of serine (0.199 mg/100 ml),
histidine (0.058 mg/100 ml), threonine (0.037 mg/100 ml), cysteine (0.062 mg/100 ml), and isoleucine
(0.178 mg/100 ml) in the same milks were lower than that in control (P < 0.05). Furthermore, the
contents of threonine (0.033 mg/100 ml) and tyrosine (0.055 mg/100 ml) in cinnamon skim milks at the
same storage time were both lower than that in control (P < 0.05). The amino acid contents of skim and
whole milks with and without cinnamon at storage 10 days after use by date were shown in Table 4.
Based on the increase of alanine content in cinnamon whole milks, and the contents of glycine,
histidine, alanine, methionine, and cysteine in cinnamon skim milks, at storage 5 days after use by date
(Table 3); and the decrease in the contents of serine, histidine, threonine, cysteine, and isoleucine in
cinnamon whole milks, and the contents of threonine and tyrosine in cinnamon skim milks, at storage 10
days after use by date (Table 4), cinnamon skim and whole milks at storage 5 days after use by date,
were both better than that at storage 10 days after use by date. Thus, fatty acids contents of whole milks
with and without addition of cinnamon were further detected only at storage 5 days after use by date as
shown in Table 5.
166
Table 4 The amino acid contents of skim and whole milks with and without addition of cinnamon at 10
days after use by date (mg/100 ml)
Whole milks Skim milk
No Amino acids Whole milk# Skim milk#
with cinnamon# with cinnamon#
1 Aspartic acid 0.465 d-h 0.385 f-l 0.354 g-m 0.320 g-n
2 Glutamic acid 1.069 a 0.900 a-c 0.943 a-b 0.789 a-c
3 Serine 0.341 g-m* 0.199 n-s* 0.293 g-n 0.232 m-q
4 Glycine 0.068 y-z-a1 0.050 a1-d1 0.069 y-z-a1 0.040 b1-d1
5 Histidine 0.114 t-x* 0.058 a1-c1* 0.100 v-z 0.065 z-a1b1
6 Arginine 0.112 w-z* 0.123 s-v* 0.202 n-r 0.131 r-v
7 Threonine 0.245 k-p* 0.037 c1d1* 0.054 a1-c1* 0.033 d1*
8 Alanine 0.414 f-i 0.423 e-i 0.311 g-n 0.396 f-k
9 Proline 0.171 o-u 0.263 i-p 0.280 h-o 0.238 l-p
10 Tyrosine 0.077 x-z-a1 0.068 y-z-a1 0.120 t-x* 0.055 a1-c1*
11 Valine 0.038 c1d1* 0.113 t-x* 0.146 q-v 0.106 u-y
12 Methionine 0.050 a1-d1 0.068 z-a1b1 0.064 z-a1b1 0.040 b1-d1
13 Cysteine 0.118 u-y* 0.062 z-a1b1* 0.064 z-a1b1 0.053 a1-d1
14 Isoleucine 0.406 f-j* 0.178 o-t* 0.161 p-v 0.171 o-u
15 Leucine 0.463 d-g 0.669 b-e 0.588 c-f 0.693 a-d
16 Phenylalanine 0.224 m-q 0.248 j-p 0.264 i-p 0.279 h-o
17 Lysine 0.123 s-v 0.127 r-v 0.133 r-v 0.135 r-v
#different letters show a significant difference (p < 0.05) * significantly different (P<0.05)
Table 5 The differences of the fatty acid contents between milks with and without addition of cinnamon
at 5 days after use by date (%)
No Fatty acids Whole milk Whole milk with cinnamon
1 Lauric acid 7.576 8.310
2 Myristic acid 9.946 10.070
3 Palmitic acid 30.445 29.822
4 Stearic acid 0.859 0.453
5 Oleic acid 29.807 33.148
6 Linoleic acid 8.401 12.254
7 Linolenic acid 1.066 1.260
At 5 days after use by date, there were fatty acid contents in whole milks with and without
cinnamon. On the contrary, there was no fatty acids in skim milks with and without cinnamon. From the
seven fatty acids in whole milks with cinnamon, the percentages of five fatty acids (lauric acid [8.310%],
myristic acid [10.070%], oleic acid [33.148%], linoleic acid [12.254%], and linolenic acid [1.260%]) were
higher than that in control, while the percentages of the other two (palmitic acid [29.822%] and stearic
acid [0.453%]) were lower, as shown in Table 5.
In general, cinnamon, which contains cinnamon oil and cinnamic acids as antibacterial and
aromatic materials (Jayatilaka et al. 1995; Tabak et al. 1995), may decrease the bacterial growth and
protein degradation, and change the contents of amino acids and fatty acids in skim and whole milks at
storage 5 days after use by date. It can be concluded that based on the decreased of bacterial growth
and protein degradation, and change of amino acid and fatty acid contents at storage 5 days after use
by date, cinnamon milks were better than milks without cinnamon.
167
DISCUSSION
The lower bacterial growth and percentage of protein degradation in skim and whole milks with
cinnamon than that in control, at the times of storage 5 days before up to 10 days after use by date, may
be because cinnamon oil and cinnamic acids as antibacterial and aromatic compounds in cinnamon
inhibit psychotropic bacterial growth in the stored milks, as reported by Jayatilaka et al. (1995) and
Tabak et al. (1999) and at the same time, decrease the protease activities in protein degradation of
cinnamon skim and whole milks. Furthermore, the lower bacterial growth and percentage of protein
degradation in cinnamon whole milks than that in cinnamon skim milks may be caused by lipid content
in cinnamon whole milks which gave more protection to the attacking psychotropic bacteria and protein
degradation than that in cinnamon skim milks. It has been reported that there were more lipid contents
in whole milks than that in skim milks (Chandler et al. 1990), and that bacterial growth and protease
activities of whole milks at storage were lower than that of skim milks (Janzen et al. 1982; Deeth et al.
2000). The lower protease activities may result in the lower protein degradation in whole milks than that
in skim milks at storage (Hsu 1984; Sorhaug & Stepaniak 1997).
At storage 5 days after use by date, the higher content of some amino acids in skim and whole
milks with cinnamon than that in control may also be caused by cinnamon oil and cinnamic acids which
acted as antibacterial and aromatic compounds in cinnamon inhibiting the growth of psychotropic
bacteria in milks at storage and reduce nutritional degradation. At the same time, there were amino
acids from cinnamon which might contribute in increasing amino acid contents in cinnamon skim and
whole milks. Some reports showed that psychotropic bacteria grew at refrigerated temperatures and
these bacteria spoiled pasteurized milks, mainly by degrading milk protein (Chandler et al. 1990; Janzen
et al. 1982; Reinheimer et al. 1993).
At storage 10 days after use by date, the lower content of some amino acids in cinnamon skim
and whole milks than that in control may be because there were the growth of psychotrophic bacteria in
the stored milks to degrade protein compounds which may affect in decreasing amino acid contents in
cinnamon skim and whole milks. Furthermore, the more significant decrease in the contents of some
amino acids in cinnamon whole milks than that in cinnamon skim milks may be caused by the more lipid
contents in cinnamon whole milks resulting in the more complex reaction between the lipid compounds
and cinnamon. As shown in Table 5, lauric acid, myristic acid, palmitic acid, stearic acid, oleic acid,
linoleic acid, and linolenic acid were only found in cinnamon whole milks.
From the other point of view, at storage 5 days after use by date, the higher percentage of fatty
acids in cinnamon whole milks than that in control may be also caused by cinnamon oil and cinnamic
acids. At the same time, fatty acids from cinnamon in milks may contribute in increasing the fatty acid
contents in cinnamon whole milks. On the contrary, the lower percentage of some fatty acids in
cinnamon whole milks than that in control may be because there were mix reaction between lipid
compounds of whole milks and cinnamon, which decrease the percentage of these acids in cinnamon
whole milks. It has been reported that there were bacterial growth of psychotropic bacteria in
refrigerated milks at storage (Chandler et al. 1990; Craven & Macauley, 1992; Deeth et al. 2002) which
may affect in the decrease of the fatty acid percentages in whole cinnamon milks.
In general, it can be concluded that cinnamon which contains cinnamon oil and cinnamic acids
as antibacterial and aromatic compounds (Jayatilaka et al. 1995; Tabak et al. 1999) may decrease the
bacterial growth and protein degradation, and change the amino acid and fatty acid contents of skim
and whole milks at storage 5 days after use by date. Based on decreasing bacterial growth and protein
degradation, and changing on the contents of amino acids and fatty acids, cinnamon milks were better
than milks without cinnamon.
168
CONCLUSION
The bacterial growth and percentages of protein degradation in skim and whole milks with
cinnamon were lower than that without cinnamon (control) at the times of storage 5 days before up to 10
days after use by date, and the bacterial growth and percentage of protein degradation in cinnamon
whole milks were lower than that in cinnamon skim milks (P < 0.05). At 5 days after use by date, the
content of some amino acids in skim and whole milks with cinnamon were higher than that in control (P
< 0.05) and there were five of the seven fatty acids of whole milks which were higher than that of control.
Thus, cinnamon may decrease the bacterial growth and protein degradation and change the amino acid
and fatty acid contents in milks at storage. Based on the decrease of bacterial growth and protein
degradation and change of amino acid and fatty acid contents, cinnamon milks were better than milks
without cinnamon.
ACKNOWLEDGEMENTS
REFERENCES
Brown JV, Ranjith HMP, Prentice GA. 1984. Comparative shelf-lives of skimmed, semi-skimmed, and
whole milks. J Soc Dairy Tech 37:132-134.
Bishop JR, White CH. 1986. Assessment of dairy product quality and potential shelf life. J Food Protect
49:739-753.
Bucky A, Hayes PR, Robinson DS. 1986. Lipase production by a strain of Pseudomonas fluorescens in
whole milks and skimmed milks. Food Microbiol 3:37-44.
Chandler RE, Ngi SY, Hull RR. 1990. Bacterial spoilage of specialty pasteurized milk products. Food
Res Quarter 50:11-14.
Cousin MA. 1982. Presence and activity of psychotropic microorganisms in milk and dairy products. J
Food Protect 45:172-207.
Craven HM, Macauley BJ. 1992. Microorganisms in pasteurized milk after refrigerated storage. 1.
Identification of types. J Dairy Technol 47:38-45.
Deeth HC, Khusniati T, Datta N, Wallace RB. 2002. Spoilage patterns of skim and whole milks. J Dairy
Res 69:227-241.
Fitzgerald CH, Deeth HC. 1983. Factors influencing lipolysis by skim milk cultures of some psychotropic
microorganisms. J Dairy Technol 38:97-103.
Griffith MW. 1989. Effect of temperature and milk fat on extracellular enzyme synthesis by
psychotrophic bacteria during growth in milk. Milchwissenschaft 44:539-543.
Heo JI. 1989. Statistical evaluation, sampling and testing for downstream psychotrophic contamination
on shelf life of fluid milk products [dissertation].
Hsu HY. 1984. Methods for measuring the activities of bacterial and native proteinases in milk and a
study of factors affecting milk protein hydrolysis [thesis]. USA: Cornell University.
Janzen JJ, Bishop JR, Bodine AB. 1982. Relationship of protease activity to shelf life of skim and whole
milk. J Dairy Sci 65:2237-2240.
Jayatilaka A, Poole SK, Poole CF, Chichila TMP. 1995. Simultaneous micro-steam distillation/solvent
extraction for the isolation of semivolatile flavor compounds from cinnamon and their separation
by series coupled-column gas chromatography. Anal Chim Acta 302:147-162.
169
Ngi SY. 1991. Improved shelf life and quality of liquid milk products [thesis]. Melbourne: RMIT.
Oiso T, Yamaguchi K. 1985. Manual for Food Composition Analysis. Tokyo: Southeast Asian Medical
Information Center.
Overcast WW, Skean JD. 1959. Growth of certain lipolytic microorganisms at 4 °C, and their influence
on free fat acidity and flavour of pasteurized milk. J Dairy Sci 42:1479-1485.
Pieper G, Timms LL. 1987. Effect of storage temperature and fat contents on keeping quality of skim
and whole milk. J Dairy Sci 70 (Suppl. 1): 92. Abs D110.
Reinheimer JA, Suarez VB, Haye MA. 1993. Microbial and chemical changes in refrigerated pasteurized
milk in the Santa Fe area (Argentina). J Dairy Technol 48:5-9.
Snedecor GW, Cochran WG. 1989. Statistical Methods. Ed ke-8. Iowa: Iowa State Univ Pr.
Sorhaug T, Stepaniak L. 1997. Psychotropic and their enzymes in milk and dairy products: Quality
aspects. Trends in Food Science and Technol. 8:35-41.
Tabak M, Armon R, Neeman I. 1999. Cinnamon extracts inhibitory effect on Helicobacter pylori. J
Ethnopharmacol 67:269-277.
170
PENGARUH pH DAN KONSENTRASI AWAL PADA PROSES OZONISASI
LIMBAH ORGANIK PABRIK ASAM TEREFTALAT MURNI
Indar Kustiningsih*, Yeyen Maryani, Devi Sri Grahayu, Qoriatun Hasanah
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ABSTRAK
Penguraian limbah organik dari pabrik asam tereftalat murni (PTA) telah dilakukan dengan
menggunakan proses ozonisasi. Limbah ini sebagian besar mengandung asam asetat. Pada penelitian
ini dipelajari pengaruh pH dan konsentrasi awal terhadap penguraian limbah tersebut menggunakan
ozonator model AOSBN 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam keadaan basa penurunan
COD akan semakin besar. Pada pH 9 dan konsentrasi awal limbah 800 ppm, COD akhir lebih rendah
daripada nilai ambang baku mutu limbah, yaitu 60.72 ppm, sedangkan pada pH asam nilainya masih
lebih tinggi (395.68 ppm).
Kata kunci: ozonisasi, limbah organik pabrik PTA, pengolahan limbah, ozon.
ABSTRACT
Degradation of organic waste from purified terephthalic acid (PTA) industry had been conducted
by ozonization. The waste contain mostly acetic acid. In this research, the influence of pH and initial
concentration to the waste’s degradation were examined using an ozonator of AOSBN 2000 model. The
results showed that the decrease of COD was higher in alkaline condition. At pH 9 and initial waste
concentration of 800 ppm, the final COD was under the treshold value, that is 60.72 ppm, whereas in
acid condition, it was still higher (395.68 ppm).
Keywords: ozonization, organic waste from PTA industry, wastewater treatment, ozone.
PENDAHULUAN
Perkembangan industri di berbagai negara di dunia, termasuk di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Limbah cair yang dihasilkan oleh
industri, tanpa pengolahan yang baik, dapat mengancam keseimbangan ekosistem. Salah satu industri
yang menghasilkan limbah cair adalah industri pembuatan asam tereftalat murni (PTA). Sebagian besar
air buangan (efluen) dari proses pembuatan PTA mengandung asam asetat, asam tereftalat, asam
benzoat, asam p-toluat, dan sedikit asam 4-formilbenzoat, metil asetat, dan p-xilena.
Pada umumnya, sistem pengolahan limbah cair yang digunakan oleh industri PTA ialah proses
biologis atau lumpur aktif. Teknik ini membutuhkan waktu yang relatif lama dan lahan yang relatif besar;
pertumbuhan serta adaptasi dari bakteri juga sangat lambat, waktu start-up-nya lama, reaksinya tidak
sederhana, dan melibatkan kelompok mikroorganisme sehingga sulit dikendalikan (Khalil et al. 2002).
Salah satu alternatif pengolahan limbah cair organik yang potensial ialah proses ozonisasi. Ozon
merupakan oksidator kuat yang dapat mengurai senyawa organik, mengoksidasi larutan Fe dan Mn,
menghilangkan warna, bau, dan rasa, dan juga ramah lingkungan (Langlais et al. 1991; Bismo 1998).
* Alamat korespondensi:
indarkustiningsih@yahoo.com
171
Penelitian mengenai penguraian senyawa organik menggunakan teknologi ozonisasi telah
banyak dilakukan, di antaranya adalah penguraian fenol oleh Horng (2004), Esplugas et al. (2002), dan
Beltrán et al. (2005). Selain fenol, proses ozonisasi juga telah digunakan untuk mengurai ion oksalat
(Addamo et al. 2005), asam oksalat (Beltrán 2004), etilena glikol (Ertas & Mirat 2002), dan pemurnian
Cork oleh Benitez et al. (2003). Penelitian mengenai penguraian dengan proses ozonisasi senyawa
organik dari limbah nyata (real) industri telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya pada
limbah industri tekstil oleh Moraes et al. (2000) dan kertas oleh Fontainer et al. (2006). Pada penelitian
ini ozonisasi digunakan untuk mengurai senyawa organik yang terkandung di dalam limbah industri PTA.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan reaktor berpengaduk skala laboratorium yang dilengkapi oleh
sebuah ozonator AOSBN 2000 dengan laju produktivitas ozon sebesar 0.059 g O3/jam. Limbah organik
yang digunakan ialah limbah cair dari industri pembuatan PTA dengan kadar COD sebesar 6861 ppm.
Pengujian keaktifan ozon untuk mengurai senyawa organik yang terkandung di dalam limbah PTA
dilakukan dengan meragamkan konsentrasi (COD awal) dan pH. Analisis perubahan COD selama
proses dilakukan dengan larutan standar kalium dikromat, feroamonium sulfat, dan indikator feroin
(ketiganya p.a., diperoleh dari Merck).
Penguraian senyawa organik dalam limbah PTA menggunakan ozon dilakukan selama 4 jam
dengan pengambilan contoh setiap 1 jam. Pemakaian ozonator melebihi 6 jam tidak ekonomis karena
ozonator memerlukan energi listrik yang cukup besar (Bismo 1998). Penguraian senyawa fenol
menggunakan metode ozonisasi juga dilakukan selama 4 jam dalam reaktor semilompok yang
dilengkapi pengaduk, dengan laju massa ozonator sebesar 1.9 g O3/jam (Horng 2004).
Kandungan terbesar dalam limbah organik industri PTA adalah asam tereftalat (3729 ppm).
Sementara kandungan terkecil dimiliki oleh asam 4-formil benzoat, metil asetat, dan p-xilena.
800
600
COD, ppm
400
200
0
0 1 2 3 4
172
COD 300 ppm
800
COD 500 ppm
600 COD 800 ppm
COD, ppm
400
200
0
0 1 2 3 4
Waktu Ozonisasi, jam
Gambar 2 Pengaruh konsentrasi awal limbah (V = 1 l) terhadap penurunan COD pada pH basa: COD
mula-mula 300 (◊), 500 (□), dan 800 ppm (∆).
Setelah 4 jam proses ozonisasi pada pH asam (pH 5), COD akhir yang diperoleh adalah 199.68
ppm untuk konsentrasi awal 500 ppm. Konsentrasi akhir ini telah berada di bawah ambang baku mutu
untuk limbah industri, yaitu sebesar 300 ppm (Bapedal 1995). Dengan suasana basa (pH 8−10) dan
konsentrasi awal yang sama, waktu yang diperlukan agar nilai COD berada di bawah ambang baku
mutu (261.12 ppm) hanya 2 jam. Nilai ini masih terus menurun sampai mencapai 90.08 ppm setelah 4
jam. Sebagai perbandingan, untuk COD awal sebesar 800 ppm, diperoleh COD akhir sebesar 395.56
ppm pada suasana asam dan 60.72 ppm pada suasana basa, setelah 4 jam reaksi.
Persen penurunan COD yang diperoleh setelah 4 jam pada suasana asam sebesar 75.3, 62.1,
dan 60.5% untuk COD awal 300, 500, dan 800 ppm. Hasil yang lebih tinggi diperoleh pada suasana
basa, yaitu berturut-turut sebesar 81.47, 82.88, dan 91.46%. Persen penurunan COD yang diperoleh ini
diringkaskan pada Gambar 3. Terlihat bahwa konsentrasi awal sangat berpengaruh terhadap persen
penurunan COD. Pada suasana basa, semakin besar COD awal, semakin besar pula persen yang
diperoleh. Hubungan sebaliknya dijumpai pada suasana asam.
100
80
Konversi penyisihan COD, %
60
40
20
0
300 500 800
COD, ppm
Gambar 3 Persen penurunan COD pada berbagai konsentrasi awal, suasana asam (□) dan basa (■).
173
600
500 pH asam
pH basa
COD, ppm
400
300
200
100
0
0 1 2 3 4 5
Gambar 4 Pengaruh pH larutan terhadap persen penurunan COD dengan COD awal sebesar 500 ppm
dan volume 1 liter.
900
800 pH asam
700
pH basa
COD, ppm
600
500
400
300
200
100
0
0 1 2 3 4 5
Gambar 5 Pengaruh pH larutan terhadap persen penurunan COD dengan COD awal 800 ppm dan
volume 1 liter.
Gambar 4 dan 5 memperlihatkan dengan jelas bahwa pada konsentrasi yang sama, pH basa
menghasilkan penurunan konsentrasi COD yang jauh lebih besar. Hal ini disebabkan pada pH asam
terjadi reaksi langsung sedangkan pada pH basa reaksinya tidak langsung. Ozon akan bereaksi dengan
OH⎯ membentuk radikal bebas OH· yang lebih reaktif dibandingkan dengan O3 itu sendiri (Adammo et
al. 2005; Agustina 2005). Reaksi selengkapnya yang terjadi pada suasana basa adalah sebagai berikut
(Adammo et al. 2005):
174
9.5
9.0
pH
8.5
8.0
7.5
0 1 2 3 4
Penelitian Horng (2004) menunjukkan hal yang sama, yaitu pH mengalami penurunan dengan
bertambahnya waktu ozonisasi. Setelah 3.5 jam ozonisasi, pH naik kembali sampai mencapai netral.
Hasil ini memperlihatkan bahwa dietilena glikol hampir seluruhnya telah terurai menjadi CO2 dan air.
SIMPULAN
Persen penurunan COD limbah organik industri PTA dengan proses ozonisasi sangat
dipengaruhi oleh pH dan COD awal. Pada pH basa dan COD awal sebesar 500 ppm, dihasilkan COD
akhir di bawah ambang baku mutu limbah setelah 2 jam, sedangkan pada COD awal 800 ppm 4 jam
ozonisasi untuk mencapainya, dengan COD akhir sebesar 60.72 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Addamo M et al. 2005. Oxidation of oxalate ion in aqeous suspensions of TiO2 by photocatalysis and
ozonation. Catal Today 107-108;612-618.
Agustina TE, Ang HM, Vareek VK. 2005. A review of synergistic effect of photocatalysis and ozonation
on wastewater treatment. J Photochem Photobiol C: Photochem Rev 6:264-273.
[Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1995. Baku Mutu Limbah Cair, Kep MenLH
No.51/MENLH/10/1995.
Bismo S. 1998. Kinetika dan kinerja produksi ozon pada prototipe ozonator untuk pengolahan limbah
cair industri. Prosiding Seminar Teknik Kimia Soehardi Reksowardoyo.
Beltrán FJ, Rivas FJ, Montero-de-Espinosa R. 2004. A TiO2/Al2O3 catalyst to improve the ozonation of
oxalic acid in water. App Catal B: Environ 47:101-109.
Beltrán FJ, Rivas FJ, Gimeno O. 2005. Comparison between photocatalytic ozonation and other
oxidation process for the removal of phenols from water. J Chem Technol Biotechnol 80:973-
984.
Benitez FJ, Acero JL, Leal AI. 2003. Purification of cork processing wastewater by ozone, by activated
sludge, and by their two sequential application. Water Res 37:4081-4090.
Ertas TT, Mirat GD. 2002. Oxidation of diethylene glycol with ozone and modified Fenton processes.
Chemosphere 47:293-301.
Esplugas S, Gimenez J, Contreras S, Pascual E, Rodriguez M. 2002. Comparison of different advanced
oxidation processes for phenol degradation. Water Res 36:1034-1042.
Fontainer V, Farines V, Albet S, Baig S, Molinier J. 2006. Study of catalyzed ozonation for advanced
treatment of pulp and paper mill effluents. Water Res 40:303-310.
175
Horng RS. 2004. pH indications in aqueous organic photodecompositions with carbonyl and hydroxyl
groups. Chemosphere 55:757-762.
Khalil LB, Rophael MW, Mourad WE. 2002. The removal of the toxic Hg(II) salts from water by
photocatalysis. App Catal B: Environ 36:125-130.
Langlais B, Reckhow DA, Brink DR. 1991. Ozone in Water Treatment Application and Engineering.
USA: Lewis.
Moares SG de, Freire RS, Durán N. 2000. Degadation and toxicity reduction of textile effluent by
combined photocatalytic and ozonation processes. Chemosphere 40:369-373.
176
PENTADEKANAL, SENYAWA ANTIMIKROB HASIL SEKRESI KIMIA
PERTAHANAN RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren
(ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE)
Farah Diba*
Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura, Pontianak
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Sistem pertahanan-kimia kasta prajurit rayap dalam menghadapi pemangsa terdiri atas tiga
sistem, yaitu (1) kasta prajurit yang mengigit musuh, kemudian melepaskan sekret pertahanan diri yang
kental dan mengandung racun untuk melumpuhkan musuh, (2) kasta prajurit yang menyemprotkan
sekret pertahanan diri yang mengandung racun ke permukaan tubuh pemangsa dengan menggunakan
labrum, dan (3) kasta prajurit yang mengeluarkan sekret pertahanan diri yang kental (glue-squirting
poison) melalui fontanel (Prestwitch 1984). Sekret pertahanan diri yang disemprotkan oleh kasta prajurit
rayap telah menarik perhatian beberapa ahli kimia karena kemampuannya melumpuhkan musuh dan
pemangsa mereka. Beberapa penelitian mengenai sekret pertahanan diri kasta prajurit rayap telah
dilakukan oleh Prestwich (1984) dan Chuah et al. (1989) pada genus Nasutitermes, Chuah & Goh
(1990) pada genus Hospitalitermes, Goh et al. (1990) pada genus Laccessititermes, Roseangus &
Traniello (2001) pada genus Zootermopsis, Lamberty et al. (2001) pada rayap P.spinigerin, serta Da
Silva et al. (2003) pada genus Pseudacanthotermes. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
sekret pertahanan diri dari fontanel kasta prajurit rayap memiliki senyawa bioaktif yang berpotensi
sebagai pestisida hayati yang mampu mematikan pemangsa serta menghambat pertumbuhan bakteri
dan cendawan.
Rayap tanah Coptotermes curvignathus yang penyebarannya terbatas di daerah Asia Tenggara,
khususnya Indonesia dan Malaysia, menghasilkan sekret lebih banyak daripada jenis rayap tanah
* Alamat korespondensi:
farahdibapramudi@yahoo.com
177
Nasutitermitidae, Hospitalitermes, Mastotermitidae, dan Termitidae. Namun, hingga saat ini isolasi
sekret rayap kasta prajurit, serta pencirian dan pengujian aktivitas antimikrobnya terhadap bakteri belum
pernah dilakukan. Karena itu, penelitian ini bertujuan mempelajari sifat fisis dan kimiawi sekret kasta
prajurit rayap tanah C. curvignathus, mengetahui khasiatnya terhadap bakteri patogen Eschericia coli
dan Staphylococcus aureus, serta mengetahui senyawa bioaktif yang berperan dalam menghambat
kedua bakteri patogen tersebut.
METODE PENELITIAN
Isolasi sekret pertahanan-diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus dilakukan berdasarkan
metode Prestwich (1984) dan Quintana (2003) yang dimodifikasi. Sekret pertahanan diri dikeluarkan
dari fontanel prajurit rayap dengan menggunakan pipet Pasteur. Untuk setiap pelarut ekstraksi,
digunakan cairan sekresi dari 4000 ekor rayap. Pelarut yang digunakan meliputi akuabides, etanol, etil
asetat dan n-heksana. Dengan demikian, total rayap yang digunakan sebanyak 16,000 ekor. Cairan
sekresi yang menempel pada pipet Pasteur dipindahkan ke dalam botol kaca dan selanjutnya siap
diekstraksi.
Penyiapan Ekstrak
Ekstrak nonpolar (ekstrak eksudat n-heksana [EN]) diencerkan dengan akuabides yang berisi
Tween 80 (0.5%), sedangkan ekstrak polar dan semipolar (ekstrak eksudat etanol [EE], etil asetat [EEA],
dan akuabides [EA]) diencerkan dengan akuabides sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak uji 40%.
Uji Hayati
178
cawan petri memiliki 8 sumur yang masing-masing diisi dengan EA, EE, EEA, EN, dan keempat pelarut
ekstrak (sebagai kontrol) sebanyak 60 µl. Setelah itu, cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37 oC. Pengamatan zona hambat dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (mm) yang
terbentuk di sekitar sumur.
Sifat fisikokimia ekstrak yang meliputi nilai pH, warna, suhu, dan viskositas disajikan pada
Tabel 1. Ekstrak eksudat rayap berbentuk cair dan kental (oily) dengan warna putih susu sampai abu-
abu.
Tabel 1 Nilai pH, suhu, viskositas, dan warna ekstrak sekresi rayap C. curvignathus
Pelarut pH Suhu (oC) Viskositas (poise) Warna
Etil asetat (EEA) 4.0 27.0 0.00050 Putih susu
Etanol (EE) 5.0 27.5 0.00002 Putih susu
n-Heksana (EN) 5.5 27.0 0.00003 Putih susu
Akuabides (EA) 4.5 27.0 0.00020 Abu-abu
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya EE dan EEA yang memiliki aktivitas antimikrob
(Gambar 1). Ekstrak etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan diameter
penghambatan rata-rata sebesar 30.52 mm, sedangkan pada bakteri E. coli rata-ratanya sebesar 25.71
mm. Sementara itu, ekstrak etil asetat hanya menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. Coli
dengan diameter penghambatan rata-rata sebesar 17.92 dan 12.99 mm.
179
et EA et EA aq
aq
EE EE
ea
EEA nh
nh
ea EN EEA
EN
S. aureus E. coli
Gambar 1 Zona penghambatan pertumbuhan bakteri oleh ekstrak sekret rayap C. curvignathus
Holmgren dalam berbagai pelarut.
Keterangan: EN: Ekstrak n-heksana nh: n-heksana (kontrol)
EE: Ekstrak etanol et: etanol (kontrol)
EA: Ekstrak akuabides aq: akuabides (kontrol)
EEA: Ekstrak etil asetat ea: etil asetat (kontrol)
Nilai MIC ekstrak sekret rayap dalam pelarut etanol diperoleh sebesar 3.65% untuk bakteri E.
coli dan 1.84% untuk bakteri S. Aureus. Hasil pengujian diperlihatkan pada Gambar 2.
0 0
S. aureus E. coli
Gambar 2 Nilai MIC ekstrak etanol pada bakteri S. aureus dan E. coli (konsentrasi ekstrak 0–70%,
searah anak panah).
Analisis GC-MS pada ekstrak etanol menunjukkan adanya 5 komponen, yang berdasarkan
golongan senyawanya terdiri atas alkana (20%) dan aldehida (80%) (Tabel 2). Senyawa dengan
persentase terbesar adalah pentadekanal (C15H30O), yaitu sebesar 35.86%.
180
Kromatogram komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak sekret pertahanan rayap C.
curvignathus dalam pelarut etanol disajikan pada Gambar 3, sedangkan struktur kimia pentadekanal
disajikan pada Gambar 4.
SIMPULAN
Sekret rayap C. curvignathus yang diekstraksi dengan pelarut etanol memiliki aktivitas
antimikrob dan atibiotik karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen E. coli (penyebab
diare pada manusia) dan S. aureus. Senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak etanol adalah
pentadekanal (C15H30O).
DAFTAR PUSTAKA
Bloomfield SF. 1991. Methods for assessing antimicrobial activity. Di dalam: Davidson PM, Braenen AL,
editor. Antimicrobials in Foods. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker.
Carson CF, Riley TV. 1995. Antimicrobial activity of the major components of the essential oil of
Melaleuca alternifolia. J Appl Bacteriol 78:264-269.
Chuah CH, Goh SH. 1990. 17-O-Acetoxy-(8,19)β,3α,7α,9α,14α,17-hexahydroxytrinervitene 2,3,9,14-
O-tetrapropionate, a new diterpene from the Malaysian termite Hospitalitermes umbrinus.
Malaysian J Sci 12:63-70.
Chuah CH, Goh SH, Tho YP. 1989. Interspecific variation in defense secretions of Malaysian termites
from the genus Nasutitermes (Isoptera: Nasutitermitinae). J Chem Ecol 15:549-563.
Da Silva P et al. 2003. Solution structure of termicin, an antimicrobial peptide from the termite
Pseudacantho termes spiniger. Prot Sci 12:438-446.
Goh SH, Cuah CH, Vadiveloo J, Tho YP. 1990. Soldier defense secretions of Malaysian free-ranging
termite of the genus Laccessititermes (Isoptera: Nasutitermitinae). J Chem Ecol 16:619-630.
181
Lamberty M et al. 2001. Insect immunity: Constitutive expression of a cystein-rich antifungal and a linear
antibacterial peptide in a termite insect. J Biol Chem 276:4085-4092.
Larrayoz P, Addis M, Gauch R, Bosset JO. 2001. Comparison of dynamic headspace and simultaneous
distillation extraction techniques used for the analysis of the volatile components in three european
PDO ewes milk cheeses. Int Dairy J 11:911-926
Mondello L et al. 2002. Studies on the essential oil-bearing plants of Bangladesh. Part VIII. Composition
of some Ocimum oils O. basilicum L. var. purpurascens; O. sanctum L. green; O. sanctum L.
purple; O. americanum L. citral type; O. americanum L. camphor type. Flavour Fragrance J 17:335-
340
Prestwich GD. 1980. Termite soldiers – warriors with chemical weapons. The Sci Teacher 49(3)
Prestwich GD. 1984. The chemical defense of termite. Sci Am 249.
Quintana A. 2003. Interspecific variation in terpenoid composition of defensive secretions of European
Reticulitermes termites. J Chem Ecol 29:639-652.
Roseangus RB, Traniello JFA. 2001. Disease susceptibility and the adaptive nature of colony demo-
graphy in the dampwood termite Zootermopsis angusticollis. Behav Ecol Sociobiol 50:546-556.
182
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI STEROID DARI TUMBUHAN CIPLUKAN
(Physalis angulata)
Susilawati*, Herdini, Lusia Wilza
Prodi Pendidikan Kimia, FKIP, Unri, Pekanbaru
ABSTRAK
Telah diisolasi konstituen kimia dari contoh kering tumbuhan ciplukan (Physalis angulata).
Potongan kecil contoh dimaserasi dalam metanol kemudian difraksionasi dengan pelarut yang berbeda
kepolarannya, yaitu n-heksana dan etil asetat. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi kolom silika
gel-60 dengan metode polaritas gradien bertahap. Hasil isolasi dari fraksi etil asetat adalah 112.7 mg
kristal tak berwarna dengan titik leleh 169−171 °C. Analisis kromatografi lapis tipis dengan n-heksana-
etil asetat menunjukkan Rf 0.49. Berdasarkan uji Lieberman-Buchard dan Roseinhein, serta analisis
spektrum ultraviolet dan inframerah, senyawa tersebut diidentifikasi sebagai steroid yang mempunyai
ikatan rangkap tak terkonjugasi dan gugus fungsi -OH.
ABSTRACT
Chemical constituents from dry aerial parts of ciplukan (Physalis angulata) had been isolated.
The finely sliced materials were macerated with methanol and then fractionated with different polarity
solvents: n-hexane and ethyl acetate. Separation was carried out with column chromatography at silica
gel-60 by step gradien polarity method. Isolation product from ethyl acetate fraction was 112.7 mg of
colourless needles (melting point: 169−171 °C). Thin layer chromatography analysis with n-hexane-
ethyl acetate showed Rf of 0.49. Based on Lieberman-Buchard and Roseinhein tests, ultraviolet and
infrared spectrum, it was identified as steroid having unconjugated double bonds and -OH functional
groups.
PENDAHULUAN
Tumbuhan sangat berperan dalam berbagai segi kehidupan, antara lain sebagai bahan baku
pangan, kosmetik, tekstil, dan furnitur. Tumbuhan juga dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional,
salah satunya ialah ciplukan (Physalis angulata), yang digunakan untuk obat diabetes, mengobati gusi
berdarah, mengobati bisul, dan menurunkan panas (Siyok 2002). Di Brazil, tumbuhan ini digunakan
sebagai obat asma, malaria, rematik, dan kencing batu. Negara-negara di Asia yang telah
memanfaatkan tumbuhan ciplukan sebagai obat adalah Jepang dan Taiwan, yaitu sebagai obat demam
tinggi, hepatitis, lever, kencing batu, dan flu (Hall & Vernon 2004). Di Indonesia, tumbuhan ini umumnya
hanya dianggap sebagai tumbuhan semak/perdu yang mengganggu lahan (Siyok 2002).
Hasil metabolisme sekunder dari berbagai jenis tumbuhan telah banyak diteliti, dan sering kali
senyawa metabolit sekunder tersebut dapat memberikan efek fisiologis dan farmakologis. Metabolit
sekunder merupakan produk yang tidak digunakan langsung oleh sel dalam pertumbuhannya.
* Alamat korespondensi:
08153727771
183
Senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti terpenoid, steroid, kumarin, flavonoid, dan alkaloid
umumnya mempunyai bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama
penyakit (Darwis 2001).
Steroid adalah senyawa metabolit sekunder dengan kerangka dasar berupa sistem cincin
siklopentanoperhidrofenantrena (Harborne 1987). Senyawa golongan steroid memiliki bioaktivitas yang
penting, misalnya untuk pembentukan struktur membran, pembentukan hormon dan vitamin D, sebagai
penolak dan penarik serangga, dan sebagai antimikrob (Robinson 1995).
Di Amerika Serikat, pada tahun 2001, telah dilakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa
ciplukan dapat digunakan sebagai antitoksik untuk kanker dan tumor, antara lain leukemia, kanker paru-
paru, kanker usus, lever, dan melanoma. Diduga senyawa kimia yang mempunyai aktivitas tersebut
adalah fisalins yang tergolong steroid (Hall & Vernon 2004).
Kandungan metabolit sekunder dalam tumbuhan ciplukan meliputi steroid, flavonoid, alkaloid,
dan saponin (Hall & Vernon 2004). Berdasarkan uji fitokimia, kandungan senyawa steroidnya relatif
besar, sebagaimana terlihat dari warna hijau sampai biru yang dihasilkan. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa steroid dari tumbuhan ciplukan.
Tumbuhan ciplukan yang termasuk famili Solanaceae merupakan tumbuhan liar, berupa semak
atau perdu (biasanya tingginya sampai 1 meter), dan berumur kurang lebih 1 tahun. Tumbuhan ini
tumbuh subur di dataran rendah sampai ketinggian 1550 meter di atas permukaan laut, bisa dijumpai di
pekarangan rumah yang mendapat sinar matahari penuh dan tanahnya gembur, tersebar di tanah
tegalan, sawah-sawah kering, serta dapat ditemukan di hutan jati (Cybernews 2004).
Tumbuhan ciplukan dikenal dengan banyak nama, antara lain morel berry (Inggris), ceplukan
(Jawa), cecendet (Madura), lapinolat (Seram), angket, kepok-kepokan, keceplokan (Bali), dan di
Minahasa dikenal dengan leletokan (Cybernews 2004). Di Amerika Serikat lebih dikenal dengan
mullaca (Hall & Vernon 2004). Orang Melayu biasa menyebut tumbuhan ini sebagai meletup, dan di
daerah Sumatra Barat dikenal dengan nama latuik-latuik.
Penemuan steroid bermula dari penelitian terhadap sterol, dan dilanjutkan dengan asam
empedu. Kegunaannya pada waktu itu belum dimengerti, sampai akhirnya diketahui bahwa kebanyakan
hormon dan beberapa vitamin memiliki kerangka steroid (Robinson 1995).
R1
R2
12 17
R3 11 13 16
1 9 14 15
2 10 8
3 5 7
4 6
Perbedaan antara berbagai kelompok steroid ditentukan oleh jenis substituen, jumlah dan
posisi gugus fungsi oksigen, serta ikatan rangkap. Berdasarkan aktivitas fisiologinya, steroid dapat
dikelompokkan menjadi sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon
kardiak, dan sapogenin (Manitto 1980). Umumnya steroid merupakan senyawa tidak berwarna,
berbentuk kristal, dan sering kali bertitik didih tinggi. Uji yang banyak digunakan ialah dengan pereaksi
Lieberman-Buchard (anhidrida asetat-asam sulfat pekat) yang memberikan warna hijau sampai biru
(Harborne 1987). Beberapa contoh senyawa steroid diberikan pada Gambar 2.
Steroid terdistribusi secara luas pada tumbuhan dan binatang dalam keadaan bebas atau
terikat (sapogenin). Contoh steroid pada tumbuhan tinggi adalah stigmasterol dan ß-sitosterol,
sementara pada binatang adalah ekdison yang terdapat pada kulit serangga (Harborne 1987).
184
OH OH
7-dehidroksikolesterol Estron
OH OH
Stigmasterol ß- sitosterol
Secara biosintetik, steroid diperoleh dari molekul isoprena. Bentuk aktifnya di alam berupa
isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP), yang terbentuk dari asam asetat melalui
asam mevalonat (Gambar 3). DMAPP membentuk geranil pirofosfat (C10), suatu senyawa antara
dalam pembentukan monoterpenoid. Senyawa ini kemudian bergabung dengan IPP membentuk
farnesil pirofosfat (FPP), yang merupakan senyawa antara dalam pembentukan seskuiterpenoid
(Harborne 1987).
O O
O O O
H3C C SCoA
H3C C SCoA + H3C C SCoA H3C C CH2 C SCoA
OH O OH O OPP O
[H
H3C C H2C C SCoA H3C C CH2 C OH H3C C CH2 C O
CH2CH2 OH CH2CH2 OH
H2C CH2 SCoA
Asam
-OPP
H3C C CH2 CH2 OPP H3C CH2 CH2
-CO2 C OPP
CH2 CH3
Isopentenil pirofosfat(IPP) Dimetilalil pirofosfat (DMAPP)
Skualena dibentuk dari 2 molekul FPP yang bergabung secara ekor-ke-ekor membentuk 2,3-
epoksiskualena yang mempunyai 5 ikatan rangkap. Selanjutnya senyawa ini mengalami siklisasi
menghasilkan lanosterol dan sikloartenol. Pada siklisasi ini terjadi protonasi gugus fungsi yang diikuti
oleh pembukaan cincin epoksi (Gambar 4). Fitosteroid, yang merupakan senyawa steroid dalam
jaringan tumbuhan, terbentuk dari sikloartenol, sedangkan kolesterol yang merupakan senyawa steroid
pada jaringan hewan terbentuk dari lanosterol (Darwis 2001).
185
O
OPP +
H
G e r a n il p ir o p o s f a t ( m o n o t e r p e n o id ) IP P
H H H H
C + C
OPP OPP
F a r n e s il p ir o f o s f a t
F a r n e s il p ir o f o s f a t
+ 2H O P P
+
H O
2 ,3 S k u a le n
+ +
H H H H
H
CH2
H H
HO HO
-H+ -H+
HO HO
L a n o s te ro l C 3 0 S ik lo a r t e n o l C 30
- 3C
F it o s t e r o id
HO
K o le s t e r o l
Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan komponen dari suatu campuran (Anwar et
al. 1994), yang di antaranya adalah maserasi, distilasi, perkolasi, dan soxhletasi. Maserasi merupakan
perendaman contoh yang telah dihaluskan/dipotong-potong dalam suatu pelarut organik selama
beberapa waktu, kemudian disaring dan diambil filtratnya (Ibrahim 1998). Pelarut yang digunakan harus
memiliki kepolaran yang sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi (Harborne 1987).
Metode kromatografi melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Pemisahan
bergantung pada gerak relatif kedua fase ini. Jika fase diam berupa zat padat, maka disebut
kromatografi adsorpsi, dan jika zat cair sebagai fase diamnya, maka disebut kromatografi partisi.
Kombinasi kedua sistem ini menghasilkan berbagai macam model kromatografi, antara lain
kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (TLC) (Gritter 1991).
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi terbaik untuk memisahkan senyawa
dalam jumlah yang besar (lebih dari 1 g). Metode ini melibatkan interaksi fase-gerak cair dengan fase
diam yang padat atau cair. Bila fase-diam padat dan fase-gerak cair, maka pemisahan akan terjadi
karena perbedaan daya absorpsi. Senyawa yang terabsorpsi dengan kuat akan lambat keluarnya
sedangkan yang tidak terabsorpsi atau terabsorpsi dengan lemah akan keluar lebih dulu.
Kolom diisi dengan absorben seperti alumina atau silika gel dan dialiri dengan pelarut seperti n-
heksana, etil asetat, kloroform, atau metanol sebagai fase geraknya. Elusi dapat dilakukan secara
isokratik, yaitu menggunakan pelarut yang sama dari awal sampai akhir pemisahan, atau dengan
polaritas gradien bertahap (SGP) dari pelarut nonpolar sampai polar.
186
Kromatografi lapis tipis merupakan metode kromatografi yang paling sederhana. Fase diam
yang digunakan berupa lapisan tipis, dan fase geraknya berupa cairan (Ibrahim 1998). Bercak atau
noda yang dihasilkan ditandai; jika tidak tampak, dapat dilakukan penyinaran dengan lampu ultraviolet
(UV), pemberian uap iodium, atau penyemprotan dengan pereaksi penampak noda. Setelah terdeteksi,
dilakukan identifikasi komponen penyusun noda. Metode termudah adalah menggunakan nilai Rf, yaitu
perbandingan jarak tempuh noda dengan jarak tempuh eluen dalam sistem kromatografi (Gritter 1991).
Senyawa hasil isolasi dimurnikan dengan rekristalisasi jika berupa kristal atau distilasi apabila
berupa cairan. Rekristalisasi dilakukan dengan melarutkan kristal yang terbentuk dalam pelarut yang
cocok, lalu dipanaskan. Bila ada kotorannya, disaring panas-panas, kemudian filtrat dibiarkan dingin
sampai suhu kamar. Kristal murni yang terbentuk kemudian disaring.
Untuk mengetahui kemurnian kristal, dilakukan pengukuran titik leleh dan analisis TLC. Titik
leleh kristal adalah suhu saat fase padat berkesetimbangan dengan fase cair. Kristal organik murni
biasanya mempunyai rentang titik leleh 0.5−1.0 °C (Harborne 1987). Kristal senyawa organik murni
akan membentuk satu noda bulat pada analisis TLC.
Senyawa steroid umumnya berbentuk kristal tidak berwarna dengan titik leleh yang tinggi.
Untuk mengidentifikasinya dilakukan reaksi warna, uji kelarutan, analisis TLC, dan/atau analisis dengan
spektroskopi UV dan inframerah (IR). Pereaksi yang memberikan warna pada senyawa steroid di
antaranya ialah (1) pereaksi Lieberman-Buchard (anhidrida asetat-asam sulfat), yang memberikan
warna hijau-biru (Harborne 1987), (2) pereaksi Rosenhein (penambahan beberapa tetes larutan asam
trikloroasetat ke dalam larutan sterol dan kloroform) yang memberikan warna biru, dan (3) pereaksi
Tortelli-Jaffe, yaitu larutan bromin dalam kloroform yang dipipet ke dalam larutan sterol dalam asam
asetat glasial, dan menghasilkan warna hijau pada permukaan (Heltmann 1961).
Aturan umum untuk kelarutan senyawa non-ionik dikenal ialah like dissolve like. Hidrokarbon
steroid larut sempurna dalam pelarut yang relatif nonpolar seperti petroleum eter, n-heksana, benzena,
kloroform, dan etil asetat. Pada analisis TLC, senyawa ini berada di daerah nonpolar.
Pengukuran absorbans dalam daerah UV digunakan untuk analisis kualitatif. Pengukuran
spektrum serapan UV senyawa hasil isolasi berguna untuk melihat ada tidaknya sistem ikatan rangkap
dua terkonjugasi, yang diukur pada panjang gelombang 100−400 nm. Sebagai pelarut dapat digunakan
metanol, etanol 95%, atau sikloheksana (Robinson 1995). Spektrum IR merupakan grafik hubungan
persen transmitans terhadap bilangan gelombang (600–4000 cm-1) yang memberikan informasi tentang
gugus fungsi dalam suatu senyawa (Sastrohamidjoyo 1992).
Bahan yang digunakan meliputi tumbuhan ciplukan, metanol teknis, etil asetat teknis, n-
heksana teknis, asam sulfat pekat, kloroform, anhidrida asetat, pereaksi Dragendorf, logam Mg, HCl
pekat, FeCl3, dan asam trikloroasetat. Bahan-bahan lainnya adalah lempeng TLC silika gel GF254 dan
silika gel-60 untuk kromatografi kolom. Alat-alat yang digunakan terdiri atas penguap putar, kolom
kromatografi, lampu UV (254 nm), radas pengukur titik leleh Fisher, spektrofotometer UV Shimadzu,
spektrofotometer IR Shimadzu, dan alat-alat kaca lainnya.
Sampel ciplukan dari kawasan desa Guguak, Kabupaten 50 Kota, Sumatra Barat, diuji fitokimia
untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder di dalamnya. Sejumlah contoh dibersihkan
dan dikeringkan untuk memperoleh bobot kering 1 kg. Pengeringan dilakukan selama 20 hari dalam
ruangan yang terlindung dari sinar matahari langsung. Tumbuhan tersebut dipotong kecil-kecil; setelah
kering dengan bobot konstan, bahan ini siap untuk perlakuan selanjutnya.
Sebanyak 1 kg contoh kering dimaserasi 3 kali dengan metanol, kemudian ekstrak metanol
dipekatkan dengan penguap putar. Ekstrak pekat metanol disuspensikan dalam metanol-air (1:2),
sebelum difraksionasi berturut-turut dengan n-heksana (3 kali) dan etil asetat (5 kali) sampai ekstrak
187
tidak keruh. Setiap fraksi diuji steroid dan dipekatkan dengan penguap putar. Dalam penelitian ini
pelarut metanol yang dibutuhkan sebanyak 24 l, pelarut n-heksana sebanyak 600 ml, dan pelarut etil
asetat sebanyak 1 l.
Jika pengujian dengan pereaksi Lieberman-Buchard (LB: anhidrida asetat-asam sulfat pekat)
menghasilkan warna hijau sampai biru, berarti mengandung steroid. Uji Rosenhein juga dilakukan
dengan menambahkan beberapa tetes larutan asam trikloroasetat ke dalam larutan sterol dan
kloroform: jika positif, terbentuk warna biru. Dari uji warna, ada 2 fraksi yang positif mengandung steroid,
dan yang dilanjutkan ke kromatografi kolom adalah fraksi etil asetat.
Fraksi etil asetat yang positif mengandung steroid dipekatkan dan difraksionasi dalam kolom
kromatografi. Kolom dibilas dengan eluen (n-heksana), dimasukkan adsorben (bubur silika gel-60),
kemudian dibiarkan satu malam. Contoh yang telah dipraadsorpsi dengan adsorben dimasukkan ke
dalam kolom, lalu dielusi dengan eluen (n-heksana, etil asetat, dan metanol).
Dari kromatografi kolom diperoleh 235 vial; yang diperkirakan mempunyai nilai Rf sama
digabungkan, dan diperoleh 25 fraksi. Dilakukan uji LB dan Rosenhein; fraksi yang mengkristal
kemudian direkristalisasi. Hasil rekristalisasi dibuat spektrum UV (100−400 nm; pelarut metanol) dan IR-
nya (600−4000 cm-1).
Uji fitokimia menunjukkan bahwa ciplukan positif mengandung steroid. Hasil selengkapnya
diperlihatkan pada Tabel.
Tabel Hasil uji fitokimia tumbuhan ciplukan
No. Kandungan kimia Pereaksi Hasil
1. Alkaloid Dragendorf +
2. Flavonoid Logam Mg + HCl pekat +
3. Fenolik FeCl3 -
4. Triterpenoid LB -
5. Steroid LB ++++
6. Saponin + air, dikocok +
Keterangan: + sedikit; ++++ relatif besar
188
Pertama-tama dipilih pelarut yang mampu meminimumkan pengotor dan tidak dapat
melarutkan senyawa hasil isolasi dalam keadaan dingin, tetapi melarutkannya dalam keadaan panas.
Pelarut yang digunakan adalah n-heksana-etil asetat (1:1). Produk rekristalisasi berbentuk jarum
berwarna putih dengan bobot 112.7 mg dan titik leleh 169–171°C. Dengan kisaran 2 °C, dapat
disimpulkan bahwa senyawa ini relatif murni. Analisis TLC dengan berbagai pelarut juga menunjukkan 1
noda yang bulat: dengan pelarut n-heksana, harga Rf 0.40; dengan n-heksana-etil asetat (1:1), 0.49,
dan dengan etil asetat, 0.60 (Gambar 5).
Identifikasi senyawa hasil isolasi dengan pereaksi LB memberikan warna hijau sampai biru, dan
dengan pereaksi Rosenhein dihasilkan warna biru. Spektrum UV menunjukkan serapan maksimum
pada 198 nm (A = 3.275), yang menunjukkan adanya ikatan rangkap terkonjugasi. Spektrum IR
memiliki puncak pada frekuensi 3400 cm-1 yang merupakan O–H ulur, 3150 cm-1 (=C–H ulur), dan 2962
cm-1 (C–H ulur).
Pada penelitian ini struktur molekul senyawa steroid hasil isolasi belum dapat dielusidasi
dengan lengkap. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan spektrometri massa dan
resonansi magnet inti 1H dan 13C.
SIMPULAN
Senyawa steroid telah diisolasi dari tumbuhan ciplukan. Dari 1 kg contoh kering diperoleh kristal
jarum berwarna putih sebanyak 112.7 mg. Titik leleh kristal tersebut 169–171 °C. Analisis TLC dengan
berbagai pelarut menunjukkan bahwa senyawa steroid yang diperoleh murni, sebagaimana ditunjukkan
oleh 1 noda yang bulat. Dengan pelarut n-heksana, harga Rf 0.40, dengan n-heksana-etil asetat (1:1)
0.49, dan dengan etil asetat 0.60. Uji steroid dengan pereaksi LB memberikan warna hijau sampai biru,
dan dengan pereaksi Rosenhein diperoleh warna biru. Spektrum UV menunjukkan bahwa senyawa
tersebut memiliki ikatan rangkap terkonjugasi dan spektrum IR menunjukkan adanya uluran O-H, =C-H,
dan C-H.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar C, Bambang P, Harno DP, Tutik DW. 1994. Pengantar Praktikum Organik. Yogyakarta:
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi.
Cybernews. 2004. Ciplukan untuk Diabetes. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/sehatobat
alami/obat_alami 3.html.
189
Darwis D. 2001. Teknik isolasi dan karakterisasi senyawa metabolit sekunder. Makalah Lokakarya
Peningkatan SDM untuk Pemanfaatan SDA Hayati dan Rekayasa Bioteknologi, FMIPA Unand-
Dikti Depdiknas, Padang, 2-3, 41-42
Gritter RJ, James MB, Arthur ES. 1991. Pengantar Kromatografi. Ed Ke-2. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Hall DW Vernon VV. 2004. Cutleaf Ground-cherry, Physalis angulata. http://www.edis.ifas.ufl.edu/pdf
files/FW/FW03100.pdf.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Heltmann E. 1961. The Biochemistry of Steroid. New York: Reinhold.
Ibrahim S. 1998. Teknik Laboratorium Kimia Organik. Padang: Universitas Andalas.
Manitto P. 1980. Biosynthesis of Natural Products. New York: J Wiley.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Sastrohamidjoyo H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta: Liberty.
Siyok D. 2002. Morel Berry, Obat Kencing Manis. www.dayakology.com/kr/ind/2002/87/kesehatan.htm-9k.
190
IN VITRO ANTIFUNGAL ACTIVITY OF XANTHORRHIZOL ISOLATED
FROM Curcuma xanthorrhiza ROXB. AGAINST PATHOGENIC Candida,
OPPORTUNISTIC FILAMENTOUS FUNGI AND Malassezia
Yaya Rukayadi1,2, Jae-Kwan Hwang1*
1Department of Biotechnology, Yonsei University,
2Biopharmaca Research Center, Bogor Agricultural University, Bogor
ABSTRACT
Xanthorrhizol (XTZ) was isolated from the rhizome of temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
and its in vitro activities against Candida, filamentous fungi, and Malassezia were evaluated by using
the National Committee for Clinical Laboratory Standards standard method. All Candida species
showed susceptibility to XTZ in the minimum inhibitory concentration (MIC) range 1.0−15.0 mg/l for
Candida albicans, 1.0−10 mg/l for Candida glabrata, 2.0−8.0 mg/l for Candida guilliermondii, 2.5−7.5
mg/l for Candida krusei, 2.5−25 mg/l for Candida parapsilosis, and 2.0−8.0 mg/l for Candida tropicalis.
Time-kill curves demonstrated that XTZ conferred an ability to kill those Candida strains with minimum
fungicidal concentration (MFC) of 20 mg/ml, 15 mg/ml, 12.5 mg/ml, 10 mg/l, 30 mg/ml, and 10 mg/l,
respectively. XTZ was also found to be active against all the species tested, namely Aspergillus flavus,
Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Fusarium oxysporum, Rhizopus oryzae, and Trichophyton
mentagrophytes: MICs were 2.0, 2.0, 2.0, 4.0, 1.0, and 1.0 mg/l, while MFCs were 4.0, 4.0, 4.0, 8.0, 2.0,
and 2.0 mg/l, respectively. XTZ also had an activity to inhibit conidial germination of all tested species.
Futhermore, MIC values of XTZ against Malassezia furfur and Malassezia pachydermatis were 1.25 and
0.25 mg/l, respectively, whereas the MFC of XTZ was 5 mg/l for M. furfur and 2.5 mg/l for M.
pachydermatis. Time-kill curves demonstrated that treatment with 25 mg/l of XTZ for 5 hours was able
to kill 100 % of M. furfur, while M. pachydermatis was killed completely with 20 mg/l of XTZ for 15
minutes. These results strongly suggested that xanthorrhizol can be developed as a natural antifungal
agent.
INTRODUCTION
* Correspondence author:
Jae-Kwan Hwang, Department of Biotechnology, Yonsei University, 134 Shinchon-dong, Seodaemun-gu, Seoul 120-
749, South Korea. Tel: +82-2-2123-5881, Fax: 82-2-362-7265. E-mail: jkhwang@yonsei.ac.kr
191
Although most antibiotics in clinical use have been obtained from microorganisms, a renewed
interest in plant antimicrobials has emerged during the last 25 years. Because only a very small fraction
of the known plant species of the world have been evaluated for the presence of antifungal compounds,
and there is a rapid rate of plant species extinction, many efforts are necessary to collect and to screen
plants in order to avoid the loss of valuable potential sources, lead to the development of novel and
environmentally safe antifungal agents (Fenner et al. 2005).
Xanthorrhizol (Figure 1), isolated from the rhizome of Java turmeric (Curcuma xanthorrhiza),
had been reported to possess antibacterial activities against several oral pathogens (Hwang et al.
2000a, b) and had an ability to prevent and to remove Streptococcus mutans biofilms (Rukayadi &
Hwang 2006a, b). Here, we reported antifungal activities of xanthorrhizol to six Candida species (C.
albicans, C. glabrata, C. guilliermondii, C. krusei, C. parapsilosis, and C. tropicalis), six species of
opportunistic filamentous fungi (Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Asergillus niger, Fusarium
oxysporum, Rhizopus oryzae, and Trichophyton mentagrophytes), and two species of Malassezia (M.
furfur and M. pachydermatis).
14
4
OH
5
3
6 2
12
1
7 9 11
15 8 10 13
192
medium described above, at 4 °C, with subcultures being carried out on a monthly basis. The same
medium was used in all experiments.
A standardized inoculum of Candida for each isolate was prepared as follows: the Candida
species was propagated in SDB at 35 °C for 24 h with 200 rpm agitation. One ml of 24 h old culture in
SDB was centrifuged (3900 g at 4 °C for 1 min), and the pellets were washed twice with 1 ml of
physiological saline. Sterile physiological saline was added to give a McFarland turbidity of 0.5 at 530
nm, corresponding to 5 (±1.0) × 106 cfu/ml (NCCLS 2002a).
Inoculum suspensions of filamentous fungi were prepared by the method of NCCLS M38-A
(NCCLS 2002b). Briefly, fungi were grown on PDA at 35 °C for 7 days for Aspergillus strains and R.
oryzae, or at 35 °C for 48 to 72 h and then at 25 to 28 °C until day 7 for F. oxysporum. T.
mentagrophytes was grown on PDA at 28 °C for 7 days. Seven-days-old colonies were covered with
approximately 1 ml of sterile 0.85% saline, and the suspension was made by gently probing the colonies
with the tip of a Pasteur-pipette. The resulting mixture of conidia or sporangiospore and hyphal
fragments was withdrawn and transferred to a sterile tube. After heavy particles were allowed to settle
for 3 to 5 min, the upper homogenous suspension was collected, and mixed with a vortex mixer for 15 s.
The densities of the conidial suspensions were read and adjusted to an optical density (OD) ranged
from 80 to 82% of transmittance for Aspergillus species, and 68 to 70% of transmittance for F.
oxysporum and R. oryzae. The density of T. mentagrophytes was adjusted with a spectrophotometer at
a wavelength of 520 nm to a transmittance level of 70 to 72% (Santos et al. 2006). These suspensions
were diluted 1:50 in sterile distilled water. The 1:50 inoculum dilution corresponded to 2× density
(approximately 0.4 × 104 to 5 × 104 cfu/ml). Inoculum quantification was made by plating 0.01 ml of
1:100 dilution of the adjusted inoculum on SDA (Difco) to determine the viable number of cfu/ml. The
plates were incubated at 28−30 °C and observed daily for the presence of fungal colonies. The 2×
conidial or sporangiospore inoculum suspension was approximately 5 × 104 cfu/ml.
Inoculum suspensions of Malassezia were prepared by the method described previously
(Rukayadi et al. 2006). A 1 ml aliquot of 48 h culture was centrifuged (3000 g at 4 °C for 1 min), followed
by washing the pellets twice with 1 ml of 50 mM pH 7.0 phosphate buffered saline (PBS). Clusters of
Malassezia cells were formed upon preparation of inoculum suspensions, and washing with PBS
promotes single-cell status and more accurate in turbidity measurements. A standard inoculum (a
McFarland standard) for each isolate was 5 × 106 cfu/ml.
Antifungal Agents
Xanthorrhizol (XTZ) was isolated as a pure form from the ethyl acetate fraction of the methanol
extract of C. xanthorrhiza according to the method of Hwang et al. (2000b). XTZ was dissolved in 10%
dimethyl sulfoxide (DMSO) to obtain 1 g/l stock solutions. 10 % of DMSO was found not to kill the tested
fungi. Amphotericin B (AMB), purchased from Sigma Chemical (St. Louise, USA) and zinc pyrithione
(ZPT) (Dongsan Clean & Green, Korea) were dissolved in sterile-distilled water to 1 g/l (stock solution).
In vitro susceptibility tests of Candida to XTZ were performed to evaluate minimum inhibitory
and fungicidal concentrations (MICs and MFCs) using the method described in the guideline of NCCLS
M27-A2 (NCCLS 2002a). Briefly, MICs were determined for all species with the adjusted inoculum
suspension of 5 × 106 cfu/ml by diluting 1:100 with MOPS-buffered RPMI 1640 medium to make final
193
inoculum concentration of 5 × 104 cfu/ml. Individual antifungal agents were diluted 1:10 in MOPS-
buffered RPMI 1640 medium containing 5 × 104 cfu/ml inoculum, yielding an initial inoculum of 4.5 × 103
cfu/ml. The final concentration of individual antifungal agents ranged as follows: XTZ, 1−100 mg/l and
AMB, 0.1−7.5 mg/l. A 200 µl aliquot of each suspension was placed in 96-well round-bottom
microtitration plates. The plates were incubated at 35 °C, and endpoints were read visually after 48 h.
MFCs were determined for each anticandidal agent-Candida species-medium combination as outlined
under “MIC test” by removing the media from each well showing no visible growth and subculturing onto
SDA plates. The plates were incubated at 35 °C until growth was seen in the growth control plates.
In vitro susceptibility tests of filamentous fungi to XTZ were also performed to evaluate MICs
and MFCs. Individual MIC and MFC were determined following broth microdilution method
recommended by NCCLS approved standard M38-A (NCCLS 2002b), as modified by Espinel-Ingroff et
al. (2002) and Santos et al. (2006). The broth microdilution test was performed by using sterile and
disposable 96-well flat-bottomed microtitration plate. Briefly, each microdilution well containing 100 µl of
the twofold antifungal concentration was inoculated with 100 µl medium of the diluted inoculum
suspension. For each test plate, two antifungal-free controls were included, one with medium only
(sterile control), and the other with 100 µl of medium plus 100 µl of inoculum suspension (growth
control). Each kind of inoculum suspension was treated with XTZ and AMB. The assayed concentration
ranged from 0.125 to 64 mg/l. The plates were incubated at 35 °C for Aspergillus species, F. oxysporum,
and R. oryzae, and 28 °C for T. mentagrophytes. Endpoints were read visually after 3 and 7 days,
respectively. MIC was interpreted as the lowest concentration of antifungal totally inhibiting the growth of
the tested microorganism compared with the growth control after the preset incubation time. Assay was
always run in duplicate. MFC was determined for each antifungal agent-fungi species-medium
combination as outlined for MIC by removing the medium from each well showing no visible growth and
subculturing onto SDA plates. The plates were incubated at 35 °C for Aspergillus species, F. oxysporum,
and R. oryzae and 28 °C for T. mentagrophytes, until growth was seen in the growth control plates.
In vitro susceptibility tests of Malassezia to XTZ were performed to evaluate MICs and MFC as
well by using broth microdilution method as described in the guidelines of NCCLS M27-A2 (NCCLS
2002a). However, the standardized RPMI-1640 medium did not support growth of the Malassezia yeast
cells because of its lack of the specific required lipids (Gupta et al. 2000). SDB, SDA, SDBO, and SDAO
media were used for susceptibility test in this study. In this study, we did not use fatty acid RPMI 1640
media (RPMI 1640 supplemented with fatty acids, bile salt lipids, oleic acid, Tween 20, and the n-
octadecanoate fatty acid glycerol monostearate), a formulated media for testing susceptibilities of
Malassezia species (Velegraki et al. 2004). Sabouraud dextrose media is a rich media for cultivation of
yeasts including Malassezia, and olive oil is a complex compound made of fatty acids including oleic
and linoleic acid, vitamins, volatile components, water soluble components, and microscopic bits of
olive. Olive oil was sufficient to support growth of Malassezia (Bulmer & Bulmer 2000; Kaneko et al.
2005). Briefly, MICs were determined for all species with the adjusted inoculum suspension of 5 × 106
cfu/ml (a McFarland standard) by diluting 1:10 with SDHO or SDH medium to make final inoculum
concentration of 5 × 105 cfu/ml. Individual antifungal agents were diluted 1:10 in SDHO or SDH medium
containing 5 × 105 cfu/ml inoculum, yielding an initial inoculum of 4.5 × 105 cfu/ml. The final concen-
tration range of individual antifungal agents was 0.1−10 mg/l. A 200 µl aliquot of each suspension was
placed in 96-well round-bottom microtitration plates. The plates were incubated at 35 °C, and endpoints
were read visually after 48 h. MIC was defined as the corresponding concentrations required to inhibit
the growth of the species relative to controls grown in the absence of the antifungal agents. MFC was
determined for each anti-Malassezia using the method described by Rukayadi et al. (2006).
194
RESULTS
Table 1 In vitro anticandidal activity of xanthorrhizol against Candida species (Rukayadi et al. 2006)
As shown in Table 2, all species were susceptible to XTZ. XTZ inhibits the growth of A. flavus,
A. fumigatus, A. niger, F. oxyxporum, R. oryzae, and T. mentagrophytes with MICs at 2.0, 2.0, 2.0, 4.0,
1.0, and 1.0 mg/l, respectively. The strains were killed by XTZ at MFCs 4.0, 4.0, 4.0, 8.0, 2.0, and 2.0
mg/l, respectively. MICs of AMB in this work, against all tested fungi were in agreement with previous
reports (NCCLS 2002; Durand-Joly et al. 2003; Santos et al. 2006).
195
Table 2 In vitro antifungal activity of xanthorrhizol and amphotericin B against filamentous fungi species
MIC (mg/l) MFC (mg/l)
Species
XTZ AMB XTZ AMB
A. flavus ATCC 22546 2.0 1.0 4.0 1.0
A. fumigatus ATCC 26430 2.0 1.0 4.0 2.0
A. niger ATCC 9029 2.0 1.0 4.0 2.0
F. oxysporum ATCC 44187 4.0 4.0 8.0 8.0
R. oryzae ATCC 22580 1.0 2.0 2.0 4.0
T. mentagrophytes ATCC 11950 1.0 0.5 2.0 1.0
Table 3 In vitro antifungal activity of XTZ and ZPT against M. furfur and M. pachydermatis
XTZ (mg/l) ZPT (mg/l)
Yeast
MIC MFC MIC MFC
M. furfur ATCC 14521 1.25 5 0.625 5
M. pachydermatis ATCC 14522 0.25 2.5 0.25 2.5
Figure 2 Representative time-kill plots Malassezia species following exposure to XTZ and ZPT at 0
(─♦─), 1 (─■─), 5 (─▲─), 7.5 (─●─), 10 (─◊─), 15 (─□─), 20 (─∆─), and 25 µg.ml-1
(─○─) after endpoint (24 h). XTZ against M. furfur ATCC 14521 (A), ZPT against M. furfur
ATCC 14521 (B), XTZ against M. pachydermatis ATCC 14522 (C), and ZPT against M.
pachydermatis ATCC 14522 (D).
196
Table 4 Contingency table for comparing the effectiveness of XTZ and ZPT treatment to M. furfur and
M. pachydermatis
Concentration (mg/l) and time
P-value (Fisher
Yeast (min or h) for 100 % killing
Exact Test)
XTZ ZPT
M. furfur ATCC 14521 25 mg/l for 5 h 15 mg/l for 12 h 0.043*
M. pachydermatis ATCC 14522 25 mg/l for 15 min 20 mg/l for 12 h 0.00001*
*significantly different (P < 0.05, Fisher Exact Test)
DISCUSSION
Aspergilli produce a wide variety of diseases, and there are more than one hundred species of
aspergilli. The most common etiologic agents of aspergillosis, an infection caused by Aspergillus, are A.
flavus, A. fumigatus, and A. niger (Stevens et al. 2000). In this report, MICs of XTZ and AMB to all
Aspergillus strains were 2 and 1.0 mg/l, respectively. Reference MICs of AMB against A. flavus, A.
fumigatus, and A. niger were 0.5−4, 0.5−2, and 0.25−1 mg/l (NCCLS 2002; Hsueh et al. 2005). Thus,
MICs of XTZ against all tested Aspergillus were comparable and in the range of reference.
197
The Fusarium genus contains important mycotoxin-producing species that have been
implicated in human diseases. Fusarium such as F. oxysporum has become increasingly common
causes of breakthrough infections in immunosuppressed patients (Fleming et al. 2002). The
susceptibility of XTZ and AMB against F. oxysporum were same (4 mg/l). MIC of AMB against F.
oxysporum was also in agreement with the previous result reported by Lewis et al. (2005).
Zygomycosis is an infection caused by fungi of Zygomycetes class, Mucorales order. R. oryzae
is the most frequently isolated organism from patients with zygomycosis (Ribes et al. 2000). In this work,
MIC of XTZ against R. oryzae was 1.0 mg/l. Interestingly, this MIC was lower compared to that of AMB
(2 mg/l). Hence, XTZ has a potency to be developed as an antimycotic against R. oryzae.
Dermatophytoses are among the world’s most common diseases, and dermatophytes constitute
an important public health problem as yet unresolved (Fernandes-Torres et al. 2003). T.
mentagrophytes is one of the dermatophyte species often found in the chronic pyoderma diseases
(Skorepova & Stuchlik 2006). MIC of XTZ (1.0 mg/l) against this species was higher compared to that of
AMB (0.5 mg/l). The report of susceptibility of AMB are still limited and the published document do not
address the antifungal AMB susceptibilities of dermatophytes such as Trichophyton, Microsporum, and
Epidermophyton species (Ghannoum et al. 2004).
The germination of conidia of A. flavus, A. fumigatus, A. niger, F. oxysporum, R. oryzae, and T.
mentagrophytes in suspension containing XTZ is presented in Figure 3. Generally, the germination
decreased with increasing XTZ concentration. The average conidia germination of those species were
only 22, 18, 16, 24, 18, and 22 %, respectively, at 4 × MIC. This showed that XTZ was able to inhibit
conidia germination. To our knowledge, there is no report about inhibition of conidia germination of
filamentous fungi by XTZ. The discovery of new conidia germination inhibitors would be valuable for the
control of the diseases caused by pathogenic fungi (Jin et al. 2004).
The adequate treatment of mycotic infections is difficult since the fungi are eukaryotic
organisms similar with structure and metabolism to those of eukaryotic host (Singh et al. 2006).
Furthermore, long-term treatment with commonly used antifungals, such as AMB, has toxic effects, and
azoles antifungal are limited in their spectrum and efficacy in use which may result in strain resistance
(Denning et al. 1997; Wakabayashi et al. 1998; Helmerhorst et al. 1999). XTZ may be potentially
valuable as a natural active compound isolated from an edible plant, for mycotic or fungal infections.
However, the clinical applications of XTZ are challenging to interpret in this study due to lack of
pharmacokinetic and safety studies. Future works toward these objectives may resolve these issues.
In summary, the potent antimycotic activity of XTZ against opportunistic filamentous pathogenic
fungi was demonstrated in test using six reference strains, and then compared with the activities of AMB.
The results showed the usefulness of XTZ as a promising new antimycotic agent for the topical
treatment of mycoses.
Recently, the potential antifungal effects of certain bioactive compounds from plants have
attracted serious attention within the scientific community, largely as a result of the growing problem of
multidrug resistance among pathogenic fungi (Cowan 1999; Tim-Cushnie & Lamb 2005). In contrast,
there are few reports concerning the susceptibility of Malassezia to natural antifungal or anti-Malassezia
agents. However, to our knowledge there is no scientific information on anti-Malassezia properties of
XTZ. This study emphasized the importance of XTZ as an alternative anti-Malassezia agent against
pathogenic fungi causing dandruff and other human and animal skin diseases, M. furfur and M.
pachydermatis.
198
(A) A. flavus (D) F. oxysporum
100 100
% Germination
% Germination
80 80
60 60
40 40
20 20
0 0
0 X MIC 0.5 X MIC MIC 2 X MIC 4 X MIC 0 X MIC 0.5 X MIC MIC 2 X MIC 4 X MIC
100 100
% Germination
% Germination
80 80
60 60
40 40
20 20
0 0
0 X MIC 0.5 X MIC MIC 2 X MIC 4 X MIC 0 X MIC 0.5 X MIC MIC 2 X MIC 4 X MIC
Xanthorrhizol (µg/mL) Xanthorrhizol (µg/mL)
100 100
% Germination
% Germination
80 80
60 60
40 40
20
20
0
0
0 X MIC 0.5 X MIC MIC 2 X MIC 4 X MIC
0 X MIC 0.5 X MIC MIC 2 X MIC 4 X MIC
Xanthorrhizol (µg/mL) Xanthorrhizol (µg/mL)
Figure 3 Effect of xanthorrhizol to conidial germination of A. flavus ATCC 22546 (0, 1, 2, 4 and 8 µg/ml)
(A), A. fumigatus ATCC 26430 (0, 1, 2, 4, and 8 µg/ml) (B), A. niger ATCC 9029 (0, 1, 2, 4,
and 8 µg/ml) (C), F. oxysporum ATCC 44187 (0, 2, 4, 8, and 16 µg/ml) (D), R. oryzae ATCC
22580 (0, 0.5, 1, 2, and 4 µg/ml) (E), and T. mentagrophytes ATCC 11950 (0, 0.5, 1, 2, and 4
µg/ml) (F) after endpoint (12 h). Values given in brackets after species are 0 ×, 0.5 ×, 1 ×, 2 ×,
and 4 × MIC, respectively.
199
In vitro MFC of XTZ with endpoint after 48 h demonstrated that XTZ was able to kill the
Malassezia strains with MFC of 5 and 2.5 mg/l for M. furfur and M. pachydermatis, respectively. These
results were the same with the MFCs of ZPT against those strains (Table 4). Time-kill curves (Figure 2)
demonstrated that XTZ was able to kill 100% of M. furfur with 25 mg/l for 5 h, whereas ZPT was able to
kill 100% of M. furfur with 15 mg/l for 12 h. To kill 100% of M. pachydermatis, it was needed 25 mg/l for
5 min and 20 mg/l for 12 h of XTZ and ZPT, respectively. Fisher’s exact test analysis of these data
showed that XTZ was more effective in killing Malassezia strains than ZPT (Table 4.)
Our findings demonstrated that XTZ has anti-Malassezia activity against M. furfur and M.
pachydermatis in vitro. XTZ may be potentially valuable as a natural compound for treating Malassezia-
associated diseases. However, the use of Malassezia ATCC strains mainly may not truly reflect the
susceptibility of clinically isolated Malassezia. Hence, future research is necessary to determine anti-
Malassezia activity of XTZ against a range of clinical isolates.
REFERENCES
Alexander BD, Perfect JR. 1997. Antifungal resistance trends towards the year 2000: implications for
therapy and new approaches. Drugs 54:657-678.
Andriole VT. 1999. Current and future antifungal therapy: New targets for antifungal agents. J Antimic
Chemother 44:151-162.
Bonaventura GD et al. 2004. In vitro pharmacodynamic characteristics of amphotericin B, caspofungin,
fluconazole, and voriconazole against bloodstream isolates of infrequent Candida species from
patients with hematologic malignancies. Antimicrob Agents Chem 248:4453-4456.
Bulmer AC, Bulmer GS. 1999. The antifungal action of anti-dandruff shampoos. Mycopathology 147:63-
65.
Canton E et al. 2004. Patterns of amphoreticin B killing kinetics against seven Candida species.
Antimicrob Agents Chemoter 48:2477-2482.
Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Microbiol 12:564-582.
Denning DW et al. 1997. Itraconazole resistance in Aspergillus fumigatus. Antimicrob Agents
Chemother 41:1364-1368.
Durand-Joly I et al. 2003. Successful outcome of disseminated Fusarium infection with skin localization
treated with viroconazole and amphotericin B-lipid complex in a patient with acute leukemia. J
Clin Microbiol 41:4898-4900.
Espinel-Ingroff A, Fothergill A, Peter J, Rinaldi MG, Walsh TJ. 2002. Testing conditions for
determination of minimum fungicidal concentrations of new and established antifungal agents for
Aspergillus spp.: NCCLS collaborative study. J Clin Microbiol 40:3204-3208.
Fenner RM et al. 2005. Antifungal activity of some Brazilian Hypericum species. Phytomedicine 12:236-
240.
Fernandez-Torres B, Vazquez-Veuga H, Llovo X, Pereiro M, Guarro J. 2000. In vitro susceptibility to
itraconazole, clotrimazole, ketoconazole, and terbinafine of 100 species of Trichophyton rubrum.
Chemother 46:390-394.
Fleming RV, Walsh TJ, Anaissie EJ. 2002. Emerging and less common fungal pathogens. Infect Dis
Clin North Am 16:915-933.
Ghannoum MA, Chaturvedi V, Espinel-Ingroff A, Pfaller MA. 2004. Intra-and interlaboratory study of a
method for testing the antifungal susceptibilities of dermatophytes. J Clin Microbiol 42:2977-2979.
Gupta AK, Kohli Y, Li A, Faergemann J, Summerbell RC. 2000. In vitro susceptibility of the seven
Malassezia species to ketonazole, voriconazole, itraconazole and terbinafine. Br J Dermatol
142:758-765.
200
Helmerhorst EJ et al. 1999. Amphotericin B- and fluconazole-resistant Candida spp., Aspergillus
fumigatus, and other newly emerging pathogenic fungi are susceptible to basic antifungal
peptides. Antimicrob Agents Chemother 43:702-704.
Hsueh PR et al. 2005. Antifungal susceptibility of clinical isolates of Candida species, Cryptococcus
neoformans, and Aspergillus species from Taiwan: Surveillance of multicenter antimicrobial
resistance in Taiwan program data from 2003. Antimicrob Agents Chemother 49:512-517.
Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000a. Antibacterial activity of xanthorrhizol from Curcuma xanthorrhiza
against oral pathogens. Fitoterapia 71:321-323.
Hwang JK, Shim JS, Baek NI, Pyun YR. 2000b. Xanthorrhizol: A potential agent from Curcuma
xanthorrhiza against Streptococcus mutans. Planta Med 66:196-197.
Jin JK, Adams DO, Ko Y, Yu CW, Lin CH. 2004. Aviglycines and propargylglycine inhibit conidial
germination and mycelia growth of Fusarium oxysporum F. sp. luffae. Mycopathology 158:369-
375.
Kaneko T et al. 2005. Vital growth factors of Malassezia species on modified CHROM agar Candida.
Med Mycol 43:699-704.
Krcmary V, Barnes AJ. 2002. Non-albicans Candida spp. causing fungaemia: Pathogenicity and
antifungal resistance. J Hosp Infect 50:243-260.
Lewis RE, Wiederhold NP, Klepser ME. 2005. In vitro pharmacodynamics of amphotericin B,
itraconazole, and voriconazole against Aspergillus, Fusarium, and Scedosporium spp. Antimicrob
Agents Chemother 49:945-951.
[NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2002a. Reference Method for Broth
Dilution Antifungal Susceptibility Testing of Yeasts: Approved Standard M27-A2. 2nd Ed. USA:
Wayne PA.
[NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2002b. Reference Method for Broth
Dilution Antifungal Susceptibility Testing of Yeasts: Approved Standard M38-A. 2nd Ed. USA:
Wayne PA.
Nguyen MH et al. 1996. The changing face of candidemia: emergence of non-Candida albicans species
and antifungal resistance. Am J Med 100:617-623.
Ribes JA, Vanover-Sams CL, Baker DJ. 2000. Zygomycetes in human disease. Clin Microbiol 13:236-
301.
Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of xanthorrhizol isolated from
Curcuma xanthorrhiza Roxb. J Antimicrob Chemother 57:1231-1234.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2006a. In vitro activity of xanthorrhizol against Streptococcus mutans biofilms.
Lett Appl Microbiol 42:400-404.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2006b. Effect of coating the wells of polystyrene microtiter plate with
xanthorrhizol on the biofilm formation of Streptococcus mutans. J Basic Microbiol 46:411-416.
Santos DA, Barros MES, Hamdan JS. 2006. Established a method of inoculum preparation for
susceptibility testing of Trichophyton rubrum and Trichophyton mentagrophytes. J Clin Microbiol
44:98-101.
Sanguinetti M et al. 2005. Mechanisms of azole resistance in clinical isolates of Candida glabrata
collected during a hospital survey of antifungal resistance. Antimicrob Agents Chemother 49:668-
679.
Schmidt A, Ruhl-Horster B. 1996. In vitro susceptibility of Malassezia furfur. Arzneimittelforschung
46:442-444.
Singh DN, Verma N, Raghuwanshi S, Shukla PK, Kulshreshtha DK. 2006. Antifungal anthraquinones
from Saprosma fragrans. Bioorg Med Chem Lett 16:4512-4514.
Skorepova M, Stuchlik D. 2006. Chronic pyoderma vegetans triggered by Trichophyton mentagrophytes.
Mycoses 49:143-144.
201
Stevens DA et al. 2000. Practice guidelines for diseases caused by Aspergillus. Clin Infect Dis 30:696-
709.
Snydman DR. 2003. Shifting patterns in the epidemiology of nosocomial Candida infections. Chest
123:500S-503S.
Tim-Cushnie TP, Lamb AJ. 2005. Antimicrobial activity of flavonoids. Int J Antimicrob Agents 26:343-
356.
Velegraki A, Alexopoulos EC, Kritikou S, Gaitanis G. 2004. Use of fatty acid RPMI 1640 media for
testing susceptibilities of eight Malassezia species to the new triazole posaconazole and to six
established antifungal agents by a modified NCCLS M27-A2 microdilution method and E-test. J
Clin Microbiol 42:3589-3593.
Wakabayashi H, Abe S, Teraguchi S, Hayasawa H, Yamaguchi H. 1998. Inhibition of hyphal growth of
azole-resistant strains of Candida albicans by triazole antifungal agents in the presence of
lactoferrin-related compounds. Antimicrob Agents Chemother 42:1587-1591.
Zacchino S et al. 1999. In vitro evaluation of antifungal properties of phenylpropanoids and related
compounds acting against dermatophytes. J Nat Prod 62:1353-1357.
202
KELADI TIKUS (TYPHONIUM FLAGELLIFORME) SEBAGAI
ANTIKANKER: MEKANISME INHIBISI EKSTRAK ETANOL DAN
EKSTRAK AIR TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TIROSIN KINASE
Dyah Iswantini, Gustini Syahbirin, Yusuf Affandi
Departemen Kimia, IPB, Bogor
ABSTRAK
Enzim tirosin kinase berperan penting dalam perkembangan sel-sel kanker pada tubuh
manusia. Senyawa-senyawa kimia tertentu seperti genistein dapat menginhibisi aktivitas enzim tersebut
sehingga mampu menghambat perkembangan sel kanker. Keladi tikus (Typhonium flagelliforme)
merupakan salah satu tanaman yang memiliki potensial sebagai obat kanker. Pada penelitian ini, daya
hambat ekstrak air dan etanol tanaman keladi tikus diuji terhadap aktivitas tirosin kinase. Ekstrak hasil
maserasi keladi tikus (kadar air 6.56%) dalam 3 pelarut, yaitu etanol 70%, air demineralisasi (akuadem),
dan air panas menghasilkan rendemen berturut-turut sebesar 1.07, 1.02, dan 1.07%. Daya inhibisi
ketiga ekstrak tersebut ditentukan menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay.
Hasilnya dibandungkan dengan genistein sebagai kontrol positif. Pada konsentrasi 300 ppm, genistein
memiliki daya hambat terhadap enzim tirosin kinase sebesar 6.71%, sedangkan pada konsentrasi 700
ppm daya hambatnya 12.89%. Pada konsentrasi 700 ppm, daya hambat ekstrak etanol dan air panas
melebihi daya hambat genistein. Daya hambat terbesar berasal dari ekstrak akuadem, yaitu sebesar
76.10%. Adanya daya hambat tersebut menunjukkan bahwa keladi tikus berpotensi sebagai antikanker.
203
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PROPOLIS LEBAH MADU Trigona spp.
AE Zainal Hasan*, I Made Artika1, Kasno2, AD Anggraini1
1Departemen Biokimia FMIPA, IPB, 2Fakultas Kehutanan, IPB
ABSTRAK
Penelitian tentang manfaat propolis, salah satu produk alami lebah madu, telah banyak
dilakukan pada lebah jenis Apis, namun jarang sekali terhadap Trigona spp. Penelitian ini bertujuan
mencari informasi tentang aktivitas antibakteri propolis lebah madu Trigona spp. menggunakan bakteri
Gram positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus substilis) dan negatif (Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa). Propolis dimaserasi dengan etanol dan air lalu diuji aktivitas antibakteri dan
ditentukan konsentrasi hambat tumbuh minimumnya (MIC). Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan
metode difusi sumur, hitungan cawan, dan turbidimetri. Selain itu, uji fitokimia juga dilakukan.
Ekstrak yang diperoleh bersifat antibakteri terhadap bakteri Gram positif maupun negatif
dengan rendemen 8.20%. Aktivitas ekstrak tersebut terhadap B. substilis, S. aureus, E. coli, dan P.
aeruginosa lebih tinggi daripada propolis komersial, yaitu 156.61% untuk B. substilis, 142.82% untuk S.
aureus, 136.24% untuk E. coli, dan 252.04% untuk P. aeruginosa sedangkan untuk ampisilin 10 mg/ml
berturut-turut ialah 115.20, 149.70, 109.03, dan 144.64%. MIC ekstrak yang diperoleh adalah 0.7812%,
0.3906%, 0.7812%, dan 3.125%. Jumlah koloni B.substilis, S.aureus, E. coli, dan P. aeruginosa
berturut-turut ialah 5.1×107, 2.9×109, 2.4×109, dan 1.4×109 dengan nilai rapatan optis 1.140, 1.431,
1.420, dan 0.481. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak mengandung minyak atsiri,
steroid/triterpenoid, tanin, saponin, flavonoid, fenolik hidrokuinon, dan gula pereduksi.
ABSTRACT
Many researches had been done to find the benefit of propolis, one of the natural products from
honey bee, but mostly from Apis bee, not Trigona spp bee. This research aimed to get information about
antibacterial activities of propolis from Trigona spp. honey bee against Gram positive bacteria
(Staphylococcus aureus and Bacillus substilis) and negative (Escherichia coli and Pseudomonas
aeruginosa). Propolis was macerated with ethanol and water, then the antibacterial activities and
minimum inhibitory concentrations (MIC) were observed. The antibacterial activity was determined by
diffusion, plate count, and turbidimetry methods. Phytochemical test was also done.
The extract showed antibacterial activities toward Gram positive and negative bacteria, with
8.20% of yield. The activities of this extract were higher than commercial propolis, 156.61% for B.
substilis, 142.82% for S. aureus, 136.24% for E.coli, and 252.04% for P. Aeruginosa, whereas for 10
mg/ml amphicillin they were equal to 115.20%, 149.70%, 109.03%, and 144.64%, respectively. The
results showed that the MICs of extract were 0.7812%, 0.3906%, 0.7812%, and 3.125%, respectively.
The amount of B. substilis, S.aureus, E. coli, and P. aeruginosa colonies were 5.1×107, 2.9×109,
2.4×109 and 1.4×109 with optical density values of 1.140, 1.431, 1.420, and 0.481, respectively. The
phytochemical test showed that the extract contained essential oils, steroid/triterpenoid, tanin, saponin,
flavonoid, phenolic hydroquinone, and reducing sugar.
* Alamat korespondensi:
Dept. Biokimia, FMIPA, IPB (0251-323166;
08161337937; abuzakariyya@yahoo.com)
204
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang terkenal dengan kekayaan alamnya.
Berbagai macam flora dan fauna dapat ditemui dan dimanfaatkan, salah satunya adalah lebah madu.
Manfaat lebah madu tidak hanya terletak pada madunya, tetapi juga pada sarangnya. Sarang lebah
madu mengandung suatu resin yang disebut propolis. Akan tetapi, di Indonesia belum banyak yang
mengetahui manfaat dan cara memperolehnya.
Hingga akhir tahun 2005, beberapa produk propolis telah beredar di Indonesia dengan harga
yang cukup mahal, yaitu Rp75000−150000 per botol 6 ml. Menurut Khismatullina (2005), propolis
banyak bermanfaat untuk obat. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan kimia serta komposisinya
yang kompleks dan beragam sehingga khasiatnya juga bermacam-macam, di antaranya antikanker,
antivirus, antijamur, dan antibiotik. Dharmayanti et al. (2000) telah menggunakan propolis dari peternak-
an lebah madu di Pasuruan untuk penyembuhan abses yang diakibatkan oleh Staphylococcus aureus.
Pemakaian propolis yang berasal dari peternakan lebah madu tersebut sesuai dengan pernyataan
Matienzo & Lamorena (2004) bahwa teknologi penanganan dan ekstraksi propolis di Asia, Afrika, dan
Australia kurang maju dibandingkan dengan di Eropa.
Pada umumnya, propolis diekstraksi dari sarang lebah madu Apis spp. Lebah madu ini banyak
diternakkan karena menghasilkan lebih banyak madu dibandingkan dengan jenis lain. Salah satu jenis
lebah lain yang dekat dengan manusia ialah Trigona spp. Lebah jenis ini bersarang di lubang bambu
dan celah-celah rumah dan belum diternakkan di Indonesia. Walaupun menghasilkan madu lebih sedikit,
kandungan propolisnya diperkirakan lebih banyak daripada Apis spp.
Penelitian ini menguji aktivitas antimikrob propolis dari Trigona spp. menggunakan bakteri
Gram positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus substilis) dan negatif (Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa). Mikroorganisme tersebut mudah tumbuh, mudah diperoleh, dan banyak
terdapat di lingkungan sekitar kita.
METODE PENELITIAN
Ekstraksi Propolis
Propolis diekstraksi secara maserasi dengan metode Harborne (1987) serta Matienzo &
Lamorena (2004) dengan pelarut etanol dan air. Sekitar 150 g propolis dari 15 buah sarang lebah
Trigona spp. direndam dengan etanol 70%, ditutup lalu disimpan di ruangan gelap selama satu minggu,
dan dikocok setiap hari. Setelah satu minggu, filtrat diambil dan disaring, sedangkan residu diekstraksi
kembali. Setelah itu, filtrat diambil setiap hari selama satu minggu hingga pelarut jernih. Ekstrak
kemudian dipekatkan dengan penguap putar pada kira-kira 40 °C lalu ditimbang dan dihitung
rendemennya. Ekstrak ini dilarutkan dalam propilena glikol (PG) sebanyak 2 kali volumenya dan diuji
fitokimia dan aktivitas antibakterinya.
Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa-senyawa aktif pada ekstrak
propolis secara kualitatif. Analisis fitokimia ini dilakukan berdasarkan metode Harborne (1987).
Identifikasi yang dilakukan meliputi uji senyawa flavonoid dan fenolik, tanin, minyak atsiri,
steroid/triterpenoid, saponin, alkaloid, glikosida, dan gula pereduksi. Contoh propolis yang digunakan
ialah ekstrak propolis dan propolis komersial yang telah diencerkan dengan akuades.
205
Uji Aktivitas Antibakteri
Aktivitas antibakteri diuji menggunakan metode perforasi atau difusi sumur, metode hitungan
cawan, dan metode turbidimetri (kekeruhan). Kontrol positif yang digunakan ialah tablet ampisilin 500
mg dengan konsentrasi 10 mg/ml. Akuades digunakan sebagai kontrol negatif, dan larutan propolis
komersial sebagai standar. Juga digunakan kontrol pelarut (etanol dan PG).
Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode perforasi. Sebanyak satu ose
bakteri dari stok biakan diambil lalu diinkubasi di dalam 10 ml medium cair (nutrient broth) selama
18−24 jam pada suhu 37 °C sambil dikocok dengan penangas air bergoyang. Setelah itu, sejumlah
bakteri diambil dari biakan, disebarkan di dalam cawan petri, dan dituangkan 20 ml medium-agar PYG
yang bersuhu sekitar 45 °C; cawan digoyang supaya bakteri tersebar rata. Cawan didiamkan pada
suhu kamar sampai medium memadat lalu dilubangi dengan diameter kurang lebih 5 mm. Ekstrak
propolis dimasukkan ke dalam lubang tersebut sebanyak 50 µl lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama
24 jam. Zona bening yang terlihat di sekeliling lubang menandakan adanya aktivitas antibakteri pada
contoh. Volume bakteri yang diambil berdasarkan hasil absorbansnya. Jika absorbans kurang dari satu,
maka diambil 100 µl biakan bakteri, sedangkan jika di atas satu, diambil 50 µl. Komposisi medium PYG
dalam satu liter adalah 10 g bacto pepton, 10 g ekstrak khamir, 20 g glukosa, dan 20 g bacto agar.
Metode Turbidimetri
Metode ini merupakan metode penunjang yang bersifat semikuantitatif untuk menghitung
jumlah mikrob di dalam suatu larutan dengan menggunakan spektrofotometer. Sebanyak satu ose
biakan bakteri ditanam di dalam 10 ml medium cair serta 50 µl ekstrak propolis (berdasarkan
konsentrasi MIC-nya) lalu diinkubasi pada suhu 37 °C. Setelah 24 jam, kekeruhan diukur pada panjang
gelombang 620 nm. Hal yang sama juga dilakukan terhadap larutan kontrol (akuades, etanol 70%, dan,
PG), propolis komersial, serta ekstrak propolis 100%.
206
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode maserasi digunakan untuk mengekstraksi propolis. Teknik ekstraksi ini dilakukan untuk
bahan yang tidak tahan panas dengan cara perendaman di dalam pelarut selama waktu tertentu.
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol yang dicampur dengan air. Etanol memiliki
sifat semipolar sehingga komponen aktif dengan kepolaran berbeda-beda yang terkandung di dalam
propolis dapat terekstraksi. Menurut Woo (2004), propolis larut dalam etanol, tetapi sedikit larut dalam
air. Harborne (1987) menyatakan bahwa etanol 70% dapat mengekstraksi flavonoid yang merupakan
senyawa aktif terbanyak dan terpenting di dalam propolis. Keunggulan etanol sebagai pelarut adalah
memiliki titik didih yang rendah sehingga mudah diuapkan.
Woisky & Salatino (1998) dalam Cunha et al. (2004) melaporkan bahwa ekstraksi propolis
dengan cara maserasi dalam pelarut etanol 70% menghasilkan rendemen 20% lebih tinggi daripada
menggunakan pelarut etanol absolut. Mereka juga melaporkan bahwa lilin tidak terekstraksi dengan
etanol 70%. Berdasarkan hasil ekstraksi, rendemen propolis yang diperoleh sebesar 8.20%.
Kandungan bahan kimia dalam ekstrak propolis yang diperoleh bergantung pada metode
ekstraksi dan warna propolis. Propolis yang warnanya lebih gelap dihasilkan dengan rendemen lebih
tinggi dengan pelarut etanol 80%. Hal ini dikarenakan kandungan flavonoidnya lebih banyak (Woo
2004). Propolis pada penelitian ini berwarna cokelat tua.
Propolis mempunyai sifat termostabil, keras, dan liat pada suhu 15 ºC dengan titik didih 60−69
ºC (Woo 2004). Untuk menjaga kestabilan komponen-komponen aktifnya, propolis dan hasil ekstraksi
disimpan pada suhu kurang dari 25 ºC di tempat yang gelap dan tidak terkena sinar matahari langsung.
Analisis Fitokimia
Lebah madu mengumpulkan propolis dari bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan, yang
banyak sekali mengandung senyawa aktif. Analisis fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi secara
kualitatif golongan senyawa aktif antibakteri pada propolis yang telah diekstraksi. Tabel 1 memperlihat-
kan bahwa ekstrak propolis maupun propolis komersial mengandung senyawa aktif yang sama, yaitu
flavonoid, fenolik hidrokuinon, tanin, minyak atsiri, steroid/triterpenoid, saponin, dan gula pereduksi.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Matienzo & Lamorena (2004), yaitu senyawa
yang terkandung dari hasil ekstraksi propolis menggunakan pelarut etanol 70% antara lain senyawa
aromatik, ester, asam uronat, gula, alkohol, hidrokarbon alifatik, dan aldehida.
207
Pelczar & Chan (1988) menyatakan bahwa senyawa yang bersifat sebagai antimikrob antara
lain adalah alkohol, senyawa fenolik, klorin, iodium, dan etilena oksida. Flavonoid, senyawa fenolik
hidrokuinon, dan tanin termasuk golongan senyawa fenolik. Ketiga senyawa ini bersifat antibakteri.
Golongan flavonoid dan pigmen kuinon memberikan warna pada propolis karena merupakan
senyawaan aromatik yang dapat memberikan serapan pada daerah ultraviolet. Di dalam Harborne
(1987), Isman & Duffe (1981) menunjukkan bahwa flavonoid berperan sebagai faktor pertahanan alami.
Flavonoid pada propolis berbeda dengan yang ada pada tumbuhan. Flavonoid pada propolis tidak
mengandung glikosida sedangkan sebagian besar flavonoid pada tumbuhan mengandung glikosida.
Pernyataan ini diperkuat dengan hasil uji fitokimia terhadap glikosida yang menunjukkan hasil negatif.
Berdasarkan uji fitokimia, ekstrak propolis menunjukkan hasil positif terhadap uji tanin. Tanin
termasuk polifenol yang berasa sepat dan banyak terdapat pada tumbuhan hijau. Mekanisme
penghambatan tanin terhadap bakteri adalah dengan cara bereaksi dengan membran sel,
menginaktivasi enzim-enzim esensial, dan mendestruksi atau menginaktivasi fungsi material genetik
(Brannen & Davidson 1993).
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, yaitu minyak atsiri, triterpenoid, dan sterol
serta pigmen karatenoid yang sukar menguap. Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid. Zat ini
menyebabkan wangi harum atau bau yang khas (Harborne 1987). Pada umumnya, minyak atsiri yang
aktif mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan keton (Yuramen et al. 2002).
Hasil uji tersebut tidak dapat menunjukkan golongan terpenoid minyak atsirinya. Pino et al.
(2006) melaporkan bahwa senyawa atsiri pada stingless bee lebih banyak daripada lebah Apis mellifera.
Senyawa atsiri yang dikandungnya antara lain α-pinena, β-pinena, trans-verbenol, α-kopaena, β-
borbonena, β-kariofilena, spatulenol, dan kariofilena oksida.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa propolis mengandung senyawa steroid dan triterpenoid.
Triterpenoid terdiri atas triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Senyawa-
senyawa ini terdapat pada lapisan malam (lilin) daun dan buah yang berfungsi sebagai pelindung untuk
menolak serangga dan serangan mikrob. Triterpena juga terdapat pada damar, kulit batang, dan getah.
Senyawa ini rasanya pahit dan menyebabkan propolis berasa pahit (Harborne 1987).
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang banyak terdapat di dalam tanaman.
Saponin berasa pahit, berbusa, dan bersifat hemolisis terhadap sel darah merah. Uji yang positif
terhadap saponin ditandai dengan adanya busa pada pengocokan propolis. Karena sifatnya yang
seperti sabun, saponin bersifat antibakteri. Saponin menurunkan tegangan permukaan membran lipid
bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Uji Molisch untuk mendeteksi adanya glikosida menunjukkan hasil negatif. Propolis tidak
mengandung glikosida tetapi mengandung gula pereduksi. Hal ini sesuai dengan penelitian
Khismatullina (2005), yaitu propolis mengandung sedikit gula.
Aktivitas antibakteri diuji dengan metode perforasi yang mudah dan umum digunakan. Potensi
antibakterinya dapat dilihat dari zona bening di sekitar sumur medium padat. Terhadap 4 jenis bakteri uji,
aktivitas antibakteri ekstrak propolis berbeda-beda. Menurut Pelczar & Chan (1988), kemampuan
antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi antibakteri, jumlah bakteri, dan jenis bakteri yang digunakan.
Selain itu, aktivitas antibakteri propolis juga dipengaruhi oleh waktu pengambilan contoh. Berdasarkan
penelitian Lu et al. (2005), propolis yang diambil pada bulan Agustus memberikan efek antibakteri lebih
tinggi. Propolis yang digunakan dalam penelitian dikoleksi pada bulan Maret 2006.
Secara umum, berdasarkan zona bening yang terbentuk, semakin besar konsentrasi propolis,
daya antibakterinya semakin besar pula. Hal ini dikarenakan senyawa aktifnya makin bertambah dan
makin mudah berpenetrasi ke dalam sel. Menurut Dharmayanti et al. (2000), propolis membunuh
208
bakteri dengan beberapa cara, yaitu mencegah pembelahan bakteri sehingga tidak dapat berkembang
biak, merusak dinding sel, dan merusak membran sitoplasma bakteri.
Ekstrak propolis mempunyai efektivitas yang lebih tinggi daripada propolis komersial, sekitar
156.61, 142.82, 136.24, dan 252.04% terhadap B. substilis, S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa
(Gambar 1). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa diameter zona bening tidak berbeda nyata
antara ekstrak propolis 100% dan propolis komersial, tetapi antara propolis komersial dan ekstrak
propolis yang telah dikonversi berbeda nyata.
200
150
Efektivitas (%)
100
50
0
B. substilis E. coli P. aeruginosa
Bakteri Uji
Gambar 1 Efektivitas penghambatan ekstrak propolis terhadap propolis komersial. Propolis komersial
( ), ekstrak propolis ( ).
Aktivitas antibakteri ekstrak tidak sebanding dengan standar komersial yang digunakan (volume
sama). Aktivitas antibakteri propolis komersial lebih besar dibandingkan dengan ekstrak propolis
konsentrasi 100%, karena ekstrak propolis 100% merupakan larutan yang mengandung 1/3 bagian
propolis sedangkan propolis komersial mengandung 1/2 bagian.
Ada perbedaan keaktifan antara bakteri Gram positif dan negatif karena adanya perbedaan
komposisi dan struktur dinding sel bakteri. Dinding sel memberikan bentuk dan kekuatan pada sel
bakteri. Dinding sel bakteri Gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi dan berlapis
tunggal serta tidak mempunyai lapisan polisakarida sehingga zat antibakteri mudah masuk ke dalam
selnya. Daya hambat antibakteri ekstrak propolis terhadap bakteri Gram positif diperkirakan berasal dari
senyawa polar, karena lapisan membran bakteri ini mengandung gugus hidrofilik seperti karboksi,
amino, fosfat, dan hidroksil yang lebih mudah mengikat senyawa polar dan masuk ke dalam sel.
Berdasarkan hasil uji fitokimia diduga bahwa senyawa polar yang bersifat sebagai antibakteri adalah
tanin, flavonoid, senyawa fenolik, dan saponin.
Dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks dibandingkan dengan Gram positif. Membran
luar bakteri Gram negatif mengandung peptidoglikan yang kaya akan lipid dan membentuk
lipopolisakarida (LPS) serta berlapis-lapis. Lapisan ini bersifat impermeabel terhadap molekul-molekul
besar, tetapi dapat dilalui oleh molekul kecil seperti nukleosida, oligosakarida, dan asam amino. LPS
mengandung lipid dan polisakarida berantai-O. Rantai ini dimiliki oleh semua bakteri yang bersifat
patogen dan menyebabkan bakteri lebih tahan terhadap fagositosis serta mampu menghalangi zat
antibakteri untuk masuk ke dalam sel (Lay & Hastowo 1992).
Kedua macam pelarut (etanol 70% dan PG) juga diuji aktivitas antibakterinya sebagai kontrol
negatif. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh pelarut terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri.
Perlakuan dilakukan dengan penambahan pelarut dalam jumlah yang sama dengan ekstrak ke dalam
sumur agar.
Etanol bersifat sebagai antiseptik. Mekanisme kerja etanol sebagai antimikrob ialah dengan
mendenaturasi protein dan merusak membran sel (Pelczar & Chan 1988). Hasil pengamatan pada
metode perforasi menunjukkan bahwa kedua pelarut tidak memberikan efek antibakteri. Hal ini
dikarenakan jumlahnya terlalu sedikit.
209
Efektivitas Penghambatan Ekstrak Propolis Terhadap Ampisilin
Kontrol positif yang digunakan adalah ampisilin. Efektivitas ekstrak propolis terhadap ampisilin
10 mg/ml ialah sebesar 115.20% untuk B. substilis, 149.70% untuk S. aureus, 109.03% untuk E. coli,
dan 144.64% untuk P. aeruginosa (Gambar 2). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa diameter
penghambatan ekstrak propolis 100% yang telah dikonversi berbeda nyata dengan ampisilin 10 mg/ml
untuk semua jenis bakteri uji, kecuali E. coli.
200
Efektivitas (%)
150
100
50
0
B. substilis S. aureus E. coli P.
aeruginosa
Bakteri Uji
Gambar 2 Efektivitas penghambatan ekstrak propolis terhadap ampisilin. Ampisilin ( ), ekstrak propolis
( ).
Menurut Siswandono & Soekardjo (1995), ampisilin merupakan antibiotik yang bekerja
menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ampisilin mampu menghambat bakteri Gram negatif maupun
positif. Pada tingkat molekul, ampisilin menyerang nukleofili dari gugus hidroksil pada residu serin dari
enzim transpeptidase, pada karbon karbonil cincin β-laktam yang bermuatan positif, sehingga terjadi
hambatan biosintesis peptidoglikan. Akibatnya dinding sel menjadi lemah, dan karena tekanan turgor
dari dalam, dinding sel akan pecah atau lisis sehingga bakteri mengalami kematian.
Kerja ampisilin pada bakteri Gram negatif, yaitu E. coli dan P. aeruginosa, ialah dengan cara
menembus membran terluar selubung bakteri secara difusi pasif melalui saluran yang terbentuk oleh
pori protein. Setelah itu, melewati ruang periplasma dan mencapai sasarannya, yaitu serin protease.
Enzim ini terdapat pada membran terdalam (sitoplasma) yang berperan dalam biosintesis dinding sel
(Siswandono & Soekardjo 1995).
Penentuan MIC
Penentuan MIC dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terendah antibakteri pada ekstrak
propolis yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Konsentrasi yang digunakan beragam
(100−0.1953%). Gambar 3 memperlihatkan bahwa MIC masing-masing bakteri berbeda.
15
Diameter Daerah Bening (mm)
10
0
.5
25
25
12
06
53
5
0
50
25
12
10
12
56
78
39
19
6.
3.
1.
0.
0.
0.
210
Perbedaan ini dapat dikarenakan sifat bakteri uji maupun kerja senyawa aktif antibakterinya. Stepanovic
et al. (2003) menyatakan bahwa MIC ekstrak etanol untuk bakteri Gram positif sebesar 0.0789−1.25%,
lebih rendah dibandingkan dengan bakteri Gram negatif yang sebesar 1.25−5%. Hal tersebut berarti
bahwa ekstrak propolis dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif pada konsentrasi yang
terkecil. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa MIC ekstrak propolis pada bakteri Gram
positif, yaitu B. substilis (0.7812%) dan S. aureus (0.3906%), lebih rendah dibandingkan dengan bakteri
Gram negatif, yaitu E. coli (0.7812%) dan P. aeruginosa (3.125%).
MIC kedua jenis bakteri Gram positif berbeda. Konsentrasi propolis terendah yang masih dapat
menghambat pertumbuhan bakteri B. substilis adalah 0.7812% sedangkan S. aureus masih dapat
dihambat pada konsentrasi lebih rendah, yaitu 0.3906%, dengan diameter zona bening masing-masing
6.450 dan 6.142 mm.
Penelitian Dharmayanti et al. (2000) yang menggunakan propolis Apis mellifera dari peternakan
di Pasuruan menghasilkan MIC terhadap S. aureus sebesar 6.25%. Sementara MIC ekstrak etanol
propolis yang berasal dari Taiwan terhadap S. aureus sebesar 3.7−60 µg/ml (Lu et al. 2005). MIC
ekstrak propolis terhadap S. aureus di dalam penelitian ini, yakni sebesar 0.3906%, setara dengan 1.3
µg/ml dalam penelitian tersebut. Jadi, aktivitas antibakteri ekstrak propolis Trigona spp. lebih tinggi
dibandingkan dengan propolis Apis mellifera maupun yang berasal dari Taiwan.
MIC ekstrak propolis terhadap S. aureus paling rendah di antara ketiga jenis bakteri uji lainnya.
Komponen utama dinding sel S. aureus adalah peptidoglikan, ribotol, asam teikoat, dan protein A.
Penghambatan pertumbuhan S. aureus oleh senyawa aktif antibakteri pada propolis diduga melibatkan
asam teikoat. Asam teikoat berada pada membran sitoplasma dan bermuatan negatif, sehingga
memberikan muatan negatif pada permukaan sel bakteri Gram positif. Permukaan membran sitoplasma
ini dapat menarik senyawa antibakteri yang bersifat polar seperti tanin dan flavonoid. Protein A, di sisi
lain, bersifat antifagosit sehingga dapat mencegah antibakteri memasuki sel (Lay & Hastowo 1992).
S. aureus juga menghasilkan enzim β-laktamase yang akan menguraikan cincin β-laktam (Lay
& Hastowo 1992). Menurut Siswandono & Soekardjo (1995), enzim β-laktamase bakteri Gram positif
dilepaskan ke dalam medium dan merusak ampisilin sebelum mencapai sasaran.
MIC B. substilis lebih besar daripada S. aureus, padahal menurut Lay & Hastowo (1992), B.
substilis mudah dihambat pertumbuhannya dengan antibakteri yang bersifat menghambat sintesis
dinding sel. Penelitian Yuramen et al. (2002) menyebutkan bahwa B. substilis dapat dihambat
pertumbuhannya oleh minyak atsiri pada konsentrasi 6%.
E. coli mempunyai MIC 0.7812% dengan diameter zona bening 6.042 mm. Konsentrasi ini
sama dengan B. substilis. Namun, berdasarkan analisis statistik, zona bening pada B. substilis tidak
berbeda nyata dibandingkan dengan E. coli. E. coli merupakan bakteri Gram negatif yang lebih tahan
terhadap antibakteri karena struktur dinding selnya yang kompleks dibandingkan dengan B. substilis.
E. coli merupakan bakteri normal usus, tetapi kelebihan bakteri ini dapat menyebabkan
penyakit diare. E. coli juga ditemukan pada berbagai infeksi pada hewan. Pengobatannya sering
dilakukan menggunakan tetrasiklin, kloramfenikol, ampisilin, dan sulfonamida (Lay & Hastowo 1992).
Khismatullina (2005) menyatakan bahwa penambahan ekstrak propolis dapat menambah efek antibiotik
terhadap E. coli. Propolis bersifat bakteriostatik secara in vitro pada kultur E. coli, basilus, enterokokus,
dan asidolaktat (Woo 2004).
211
MIC P. aeruginosa terjadi pada konsentrasi 3.125% (6.067 mm). P. aeruginosa adalah bakteri
Gram negatif yang lebih tahan terhadap antibakteri karena struktur dinding selnya sangat kompleks.
Menurut Lay & Hastowo (1992), infeksi oleh bakteri ini tidak selalu dapat disembuhkan dengan obat.
Antibiotik yang sering digunakan ialah gentamisin dan polimiksin yang bekerja merusak membran sel.
Antibakteri yang terdapat pada propolis diduga bekerja dengan cara yang sama dengan antibiotik ini.
Antibakterinya bersifat nonpolar sehingga dapat menembus dinding sel P. aeruginosa.
P. aeruginosa juga menghasilkan enzim β-laktamase serupa dengan S. aureus sehingga dapat
mencegah bekerjanya antibakteri yang mengandung cincin β-laktam. Pada bakteri Gram negatif seperti
P. Aeruginosa, enzim β-laktamase terdapat pada ruang periplasma, yaitu ruang yang dilewati oleh
ampisilin sebelum mencapai sasaran.
2
Rapatan optis (OD)
1.5
0.5
0
B. substilis S. aureus E. coli P. aeruginosa
Bakteri Uji
Gambar 4 Diagram kekeruhan bakteri pada penentuan aktivitas antibakteri dengan metode turbidimetri:
MIC ( ), Akuades ( ), Etanol ( ), PG ( ), Komersial ( ), Ampisilin ( ), Ekstrak propolis
100% ( ).
Hasil analisis Anova menunjukkan perbedaan nyata akibat pengaruh jenis bakteri maupun
penambahan contoh. Jumlah koloni bakteri Gram positif (B. substilis dan E. coli) maupun Gram negatif
(P. aeruginosa dan S. aureus) didapati berbeda nyata. Sementara metode turbidimetri memperlihatkan
bahwa OD bakteri Gram positif tidak berbeda nyata, dan Gram negatif berbeda nyata. Jumlah koloni
dan OD setiap bakteri berbeda karena adanya perbedaan waktu generasi, waktu kontak antibakteri
dengan bakteri, dan kemampuan antibakteri dalam menghambat pertumbuhan.
Pada metode hitungan cawan, antibakteri ekstrak propolis 100% paling baik menghambat B.
substilis, S. aureus, dan P. aeruginosa secara tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan E. coli
(Gambar 5). Sementara hasil pengujian dengan metode turbidimetri menunjukkan bahwa P. aeruginosa
dan S. aureus tidak berbeda, tetapi berbeda nyata dengan B. substilis dan E. coli.
Saat MIC, kemampuan antibakteri propolis pada metode hitungan cawan terhadap P.
aeruginosa sama dengan B. substilis, E.coli, dan S. aureus, tetapi untuk S. aureus berbeda dengan B.
substilis. Hasil dengan metode turbidimetri menunjukkan bahwa E. coli dan S. aureus tidak berbeda,
tetapi berbeda dengan P. aeruginosa dan B. substilis, dan bahwa P. aeruginosa dan B. substilis
berbeda.
212
700
400
300
200
100
0
B. substilis S. aureus E. coli P. aeruginosa
Bakteri Uji
Gambar 5 Diagram jumlah koloni pada penentuan aktivitas antibakteri dengan metode hitungan cawan:
MIC ( ), Akuades ( ), Etanol ( ), PG ( ), Komersial ( ), Ampisilin ( ), Ekstrak propolis
100% ( ).
Kemampuan propolis komersial pada metode hitungan cawan terhadap B. substilis, S. aureus,
dan P. aeruginosa tidak berbeda nyata, tetapi berbeda dari E. coli. Pada metode turbidimetri, E. coli
berbeda dengan B. substilis maupun S. aureus, dan B. substilis berbeda dengan S. aureus maupun P.
aeruginosa, tetapi S. aureus dan P. aeruginosa tidak berbeda.
Daya kerja antibakteri ampisilin pada metode hitungan cawan terhadap masing-masing bakteri
tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Siswandono & Soekardjo (1995) bahwa ampisilin
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif maupun negatif. Akan tetapi, hasil ini tidak
sejalan dengan metode turbidimetri.
Hasil analisis akibat penambahan contoh berbeda nyata. Pada metode hitungan cawan, ekstrak
propolis saat MIC tidak berbeda nyata dengan kontrol negatifnya, tetapi berbeda dengan etanol maupun
PG. Propolis komersial juga tidak berbeda dengan akuades, ampisilin, ekstrak propolis 100%, dan
ekstrak propolis saat MIC, tetapi ampisilin dan ekstrak propolis 100% sangat berbeda dengan akuades.
Sementara itu pada metode turbidimetri, pengaruh pelarut dan penambahan ekstrak propolis saat MIC
tidak berbeda nyata, tetapi berbeda terhadap propolis komersial, ekstrak propolis 100%, dan ampisilin.
Bakteri B. substilis, S. aureus, dan P. aeruginosa mudah dihambat pertumbuhannya oleh
semua jenis antibakteri (propolis komersial, ekstrak propolis, dan ampisilin) dengan metode hitungan
cawan, sedangkan E. coli hanya dapat dihambat oleh ampisilin. Pada metode turbidimetri, OD semua
bakteri menurun akibat penambahan propolis komersial, kecuali P. aeruginosa.
Pengaruh perbedaan penambahan contoh pada masing-masing bakteri berbeda. Hasil analisis
pada B. substilis akibat penambahan propolis komersial, ekstrak propolis 100%, ekstrak propolis saat
MIC, ampisilin 10 mg/ml, etanol, dan akuades tidak berbeda nyata, tetapi berbeda dengan penambahan
PG. Seharusnya jumlah koloni pada penambahan PG tidak berbeda dengan kontrol negatifnya karena
PG tidak bersifat antibakteri. Pada metode turbidimetri, OD ekstrak propolis 100% lebih kecil
dibandingkan dengan propolis komersial, tetapi keduanya tidak berbeda nyata, dan berbeda dengan
kontrol negatifnya. Ekstrak propolis saat MIC, ampisilin, PG, dan etanol tidak berbeda dengan akuades.
Jadi, dapat dilihat bahwa kemampuan antibakteri ekstrak propolis 100% dan propolis komersial sama
dan lebih tinggi dibandingkan dengan ampisilin dan MIC jika menggunakan metode turbidimetri. Hasil uji
dengan metode hitungan cawan memperlihatkan bahwa ekstrak propolis 100%, ekstrak propolis saat
MIC, dan propolis komersial menurunkan jumlah koloni, tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol
akuades. Hal ini kemungkinan karena galatnya terlalu besar.
Jumlah koloni pada penambahan ekstrak propolis 100% kemungkinan lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah hasil penelitian. Penyebabnya, kandungan propolis pada ekstrak propolis
yang digunakan 2/3 dari propolis komersial.
213
Jumlah koloni S. aureus dengan penambahan ampisilin, propolis komersial, dan ekstrak
propolis 100% menurun dibandingkan dengan kontrol negatif, tetapi tidak berbeda nyata. Pada metode
ini, S. aureus mudah dihambat pertumbuhannya. Konsentrasi ekstrak propolis yang terkecil sudah
mampu menghambat pertumbuhan bakteri ini. Hal ini dapat dilihat dari jumlah bakteri pada
penambahan ekstrak propolis 100% yang tidak berbeda nyata dengan penambahan ekstrak propolis
saat MIC. Propolis komersial dan ampisilin mempunyai kemampuan antibakteri yang sama berdasarkan
metode turbidimetri. Walaupun OD pada penambahan akstrak propolis komersial lebih besar
dibandingkan dengan ampisilin, kedua antibakteri ini memiliki kemampuan yang sama. Rapatan optis S.
aureus pada penambahan ekstrak propolis saat MIC lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh contoh
yang lain. Sedikit sekalinya koloni yang dihambat pertumbuhannya selama waktu inkubasi pada
penambahan ekstrak propolis saat MIC mungkin disebabkan oleh kecilnya konsentrasi propolis yang
digunakan serta banyaknya koloni yang yang tumbuh.
Metode hitungan cawan tidak efektif untuk bakteri E. coli. Jumlah koloni E. coli pada
penambahan ekstrak propolis 100% dan propolis komersial lebih banyak dibandingkan dengan akuades,
dan tidak berbeda nyata. Sementara pada metode turbidimetri, OD lebih rendah dibandingkan dengan
akuades dan berbeda nyata.
Jumlah koloni P. aeruginosa tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan walaupun pada
penambahan ekstrak propolis 100%, ampisilin, maupun propolis komersial lebih rendah dibandingkan
dengan akuades. OD pada semua perlakuan tidak berbeda nyata, kecuali pada penambahan ampisilin,
lebih rendah.
Berdasarkan metode hitungan cawan, ampisilin mampu menurunkan jumlah koloni semua jenis
bakteri; propolis komersial dan ekstrak propolis saat MIC paling baik menghambat pertumbuhan B.
substilis; serta ekstrak propolis 100% paling baik menghambat semua bakteri, kecuali E. coli. Pada
metode turbidimetri, ampisilin hanya menurunkan OD P. aeruginosa dan S. aureus; propolis komersial
menurunkan OD semua bakteri, kecuali P. aeruginosa; dan ekstrak propolis 100% maupun saat MIC
menurunkan OD P. aeruginosa dan B. substilis.
Simpulan
Rendemen yang dihasilkan dari ekstraksi sebesar 8.20%. Ekstrak ini memberikan efek
antibakteri terhadap 4 bakteri uji (S. aureus, B. substilis, E. coli, dan P. aeruginosa). Berdasarkan
metode perforasi, ekstrak propolis lebih efektif menghambat pertumbuhan semua jenis bakteri uji
dibandingkan dengan propolis komersial maupun ampisilin 10 mg/ml, dengan MIC terhadap B. substilis
dan E. coli adalah 0.7812%, terhadap S. aureus sebesar 0.3906%, dan terhadap P. aeruginosa sebesar
3.125%. Metode hitungan cawan memperlihatkan bahwa ampisilin, ekstrak propolis, dan propolis
komersial paling baik menghambat pertumbuhan S. aureus, sedangkan pada metode turbidimetri
ekstrak propolis 100% dan propolis komersial paling baik menghambat B. substilis, dan ampisilin paling
baik menghambat P. aeruginosa dan S. aureus.
Ekstrak propolis mengandung senyawa aktif flavonoid, fenolik hidrokuinon, tanin, minyak atsiri,
steroid/triterpenoid, tanin, saponin, dan gula pereduksi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui mekanisme kerja antibakteri dari propolis.
Dapat dilakukan penelitian dengan metode ekstraksi yang berbeda. Penelitian aktivitas antibakteri juga
dapat dilanjutkan secara in vivo.
214
UNTUK PERHATIAN
Penelitian ini didanai oleh program Penelitian Dosen Muda IPB 2006. Hasilnya akan didaftarkan
untuk memperoleh hak paten.
DAFTAR PUSTAKA
Brannen LA, Davidson PM. 1993. Antimicrobials in Foods. New York: Marcel Dekker.
Cunha IBS et al. 2004. Factors that influence the yield and composition of Brazilian propolis extracts. J
Braz Chem Soc 15. mail to:ildenize@saofrancisco.edu.br [16 Agu 2006].
Dharmayanti NLP et al. 2000. Efektivitas pemberian propolis lebah dan royal jelly pada abses yang
disebabkan Staphylococcus aureus. Berita Biol 5:41-49.
Free JB. 1982. Bees and Mandkind. London: George Allen & Unwin.
Gojmerac WL. 1983. Bee, Beekeeping, Honey, and Pollination. Westport: Avi.
Harborne HB. 1987. Metode Fitokimia. Ed ke-2. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Holt JG et al. 1994. Bergey`s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-9. Baltimore: Williams &
Wilkins.
Khismatullina N. 2005. Apitherapy. Rusia: Mobile.
Lay W, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali.
Lu LC, Chen YW, Chou CC. 2005. Antibacterial activity of propolis against Staphylococcus aureus. Int J
Food Microbiol 102:213-220. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/
query.fcgi?db=pubmed&cmd=Retrieve&dopt=AbstractPlus&list_uids=15992620&query_hl=4&itool
=pubmed_docsum [29 Agu 2006].
Matienzo AC, Lamorena M. 2004. Extraction and initial characterization of propolis from stingless bees
(Trigona biroi Friese). Di dalam: Proceeding of the 7th Asian Apicultural Association Conference
and 10th BEENET Symposium and Technofora; Los Banos, 23-27 Februari 2004. Los Banos:Univ
of the Philippines. hlm 321-329.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Hadioetomo RS et al., penerjemah. Jakarta: UI
Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Pino et al. 2006. Volatile constituents of propolis from honey bees and stingless bees from Yucatán. J
Essential Oil Res. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa4091/ is_200601/ai_n16028087.
Singleton P. 1999. Bacteria in Biology, Biotechnology, and Medicine. Ed ke-5. New York: J Wiley.
Sing S. 1962. Beekeeping in India. New Delhi: Indian Council of Agricultural Research.
Siswandono, Soekarjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga Univ Pr.
Stepanovic S et al. 2003. In vitro antimicrobial activity of propolis and synergism between propolis and
antimicrobial drugs. Microbiol Res 158:353-357. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
entrez/query.fcgi?db=pubmed&cmd=Retrieve&dopt=AbstractPlus&list_uids=14717457&query_hl=
4&itool=pubmed_docsum [29 Agu 2006].
Woo KS. 2004. Use of bee venom and propolis for apitherapy in Korea. Di dalam: Proceeding of the 7th
Asian Apicultural Association Conference and 10th BEENET Symposium and Technofora; Los
Banos, 23-27 Februari 2004. Los Banos: Univ of the Philippines. hlm 311-315.
Yuramen, Eryanti Y, Nurbalatif. 2002. Uji aktivitas antimikrob minyak atsiri dan ekstrak metanol
lengkuas (Alpinia galanga). http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol4(2)/yuharmen.pdf [16 Agu
2006].
215
PENGOLAHAN LIMBAH FOTOGRAFI MENGGUNAKAN
PIROLISIS SEMPROT NYALA
Arif Jumari*, S Distantina, A Purwanto
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Limbah cair fotografi mengandung logam berat perak (Ag) yang sangat berbahaya bagi
kesehatan. Selama ini, upaya pengolahan limbah tersebut di Indonesia memerlukan biaya yang besar,
dan perak yang dapat diperoleh kembali sangat sedikit. Teknologi nanopartikel diharapkan dapat
mengatasi kendala ini. Penelitian ini bertujuan merancang alat sintesis nanopartikel perak
menggunakan pirolisis semprot nyala. Jenis reaktor nyalanya adalah pembakar difusi. Limbah fotografi
rumah sakit dialirkan sebagai tetesan aerosol menggunakan pengabut ultrasonik, dibantu udara
sebagai pendorongnya. Kabut yang terbentuk dibakar di ujung pembakar menggunakan gas elpiji
sebagai oksidator. Padatan hasil pembakaran dikumpulkan menggunakan kain saring. Berdasarkan uji
difraksi sinar-X, hasil yang diperoleh mengandung partikel Ag.
ABSTRACT
Photography liquid waste contains silver (Ag) heavy metal which is very dangerous for human
health. So far, in Indonesia, the silver recovery technologies need a great expense cost and produce
low yield. Nanoparticle technology is expected to overcome those problems. This project’s aim is to
design silver nanoparticle synthesis equipment using flame spray pyrolysis. Diffusion burner was used
as the flame reactor. Photography liquid waste from local hospital was flamed as aerosol droplets using
ultrasonic nebulizer with air as supplier. The produced nebula was blazed upon the burner using
liquified petroleum gas. The solid products were collected using filter paper. Based on X-ray diffraction
examination, these solids contained silver particle.
PENDAHULUAN
Limbah cair fotografi mengandung logam berat perak (Ag) yang sangat berbahaya bagi
kesehatan dan lingkungan. Selama ini, pengolahan limbah tersebut di Indonesia diupayakan dengan
berbagai macam metode seperti elektrolisis dan metode reduksi, dan logam peraknya diambil kembali.
Akan tetapi, metode-metode konvensional ini tidak memberikan hasil yang memuaskan karena biaya
pengolahan yang dibutuhkan relatif besar, dan perak yang bisa diperoleh kembali sangat sedikit dengan
nilai jual rendah.
Dengan teknologi nanopartikel, pengolahan limbah cair fotografi diharapkan dapat menjadi
lebih murah dan logam perak yang diperoleh lebih banyak dengan nilai jual lebih tinggi, yaitu sebagai
nanopartikel perak. Sebagai ilustrasi, nanopartikel perak telah dipasarkan oleh Nano Horison dalam
bentuk terdispersi dalam larutan air maupun organik dengan harga US$100–400 per liternya.
* Alamat korespondensi:
arifjumari@yahoo.com
216
Teknologi nanopartikel saat ini menunjukkan perkembangan sangat pesat seiring dengan
pemanfaatannya pada berbagai bidang baik industri maupun barang-barang konsumsi di negara-
negara maju khususnya Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Sebaliknya di Indonesia, teknologi ini
belum dimulai sama sekali, baik dalam taraf pengembangan proses sintesis maupun pemanfaatannya.
Nanopartikel logam perak sangat potensial untuk diaplikasikan sebagai katalis serta digunakan
dalam peralatan optik, mekanik, dan elektronik (He et al. 2004). Nanopartikel perak di antaranya telah
diaplikasikan pada peralatan elektronik rumah tangga seperti mesin cuci, pendingin udara, dan kulkas
berkaitan dengan kemampuannya sebagai antibakteri. Nanopartikel perak juga telah dan sedang diteliti
untuk diaplikasikan pada peralatan elektronik rumah tangga oleh PT Samsung, sebagai katalis reduksi
NO pada industri penyepuhan listrik (Park & Im 2005), dan juga di bidang optik dan elektronik (Backman
et al. 2002; He et al. 2004). Nanopartikel berarti partikel berukuran 100 nm atau lebih kecil. Studi
mendalam pada bidang ini disebabkan oleh adanya perbedaan sifat bahan yang sangat mencolok
antara nanopartikel dan partikel ruahannya.
Metode pembuatan nanopartikel perak dari larutan induknya meliputi metode cair-cair (Cai et al.
2004), reduksi kimia radiasi, reduksi kimia dalam medium cair atau polimer, reduksi-foto, pirolisis
semprot (Kim et al. 2002), dan pirolisis semprot nyala (Backman et al. 2002; Makela et al. 2004).
Metode-metode tersebut menggunakan AgNO3 dengan kemurnian tinggi sebagai larutan induk. Perak
nanopartikel yang dihasilkan dalam kisaran 10–20 nm untuk metode cair-cair (Cai et al. 2004) dan 10–
60 nm dengan metode pirolisis semprot nyala (Makela et al. 2004).
Penelitian ini menggunakan metode pirolisis semprot nyala. Hal ini didasarkan pada
keunggulannya bila dibandingkan dengan metode yang lain. Metode tersebut terbukti mampu
menghasilkan laju produksi yang tinggi sehingga sangat mungkin untuk diaplikasikan pada industri.
Selain itu, metode ini telah diteliti mampu memroduksi berbagai jenis nanopartikel, baik bahan tunggal
maupun komposit. Bahan tunggal yang telah diproduksi dengan reaktor ini antara lain SiO2, TiO2, SnO2,
dan Al2O3 (Kammler et al. 2001). Bahan oksida yang lain misalnya α-Al2O3, γ-Fe2O3, ZnO, ZrO2, Bi2O3,
dan α-wilemit (Tani et al. 2002a,b). Sementara bahan komposit yang telah diteliti produksinya dengan
reaktor nyala di antaranya besi oksida tertanam-silika (Janzen et al. 2003), serat-nano terkatalisis nikel
(Wal 2002a), tabung-nano karbon dinding tunggal berkataliskan-besi (Wal 2002b), dan katalis Pd/Al2O3
(Strobel et al. 2004). Bahan non-oksida dapat pula disintesis dengan reaktor nyala, antara lain
aluminium nitrida (Takao & Sando 2001), titanium unsur, dan titanium diborida (Dufaux & Axelbaum
1995). Bahan fosforus juga telah dirintis untuk diproduksi menggunakan reaktor ini. Seo et al. (2003)
memroduksi partikel fosforus (Y(1–x)Gdx)2O3:Eu dan Kang et al. (2002) memroduksi partikel strontium
titanat. Berbagai bahan lain yang telah maupun sedang diteliti dengan reaktor nyala misalnya bahan
superkonduktor dan bahan baterai litium.
Mekanisme produksi nanopartikel padat dari tetesan cairan dijelaskan dalam Gambar 1.
Tetesan akan diuapkan seluruh atau sebagian pelarutnya dalam nyala. Reaksi prazat logam dalam
tetesan akan menghasilkan residu logam atau oksida logam. Reaksi dan nukleasi lanjutan pada
komponen yang teruapkan menyebabkan nukleasi partikel berukuran-nano. Dari Gambar 1,
kemungkinan partikel yang dihasilkan adalah nanopartikel atau campuran nanopartikel dengan partikel
berukuran submikron.
217
Gambar 1 Bagan pembentukan nanopartikel dari tetesan cairan pada metode pirolisis nyala (Makela et
al. 2004).
Untuk menjelaskan dinamika pembentukan partikel dalam reaktor nyala, telah dibuat model
penguapan-cepat tetesan dalam partikel monodispersi oleh Mueller et al. (2004) pada sintesis ZrO2.
Model ini mengasumsikan penguapan tetesan prazat yang sangat cepat, diikuti dengan reaksi oksidasi
dan produksi partikel melalui tumbukan monomer-monomer atau gerombol-gerombol dengan
mengabaikan distribusi ukuran partikel utama. Model ini sangat menarik karena sederhana dan memiliki
ketepatan yang cukup tinggi (10%) terutama pada suhu tinggi. Perubahan konsentrasi partikel N dan
juga perubahan volume partikel v mengikuti persamaan dasar koagulasi berikut:
dv 1 dN
=− v0 (1)
dt N dt
dN 1
= − βN 2 (2)
dt 2
Luas permukaan agregat tunggal a meningkat selama koagulasi mengikuti penurunan jumlah total
agregat, dan akan menurun selama proses pelengketan:
da 1 dN 1
=− a − (a − a s ) (3)
dt N dt τ
dengan 2
a s = π ( 6v / π ) 3
(4)
Bagian persamaan yang berkaitan dengan koalesensi bergantung pada waktu karakteristik proses
pelengketan dan gaya dorong dari luas permukaan lebih, yaitu perbedaan antara luas permukaan
sesungguhnya a dan sferik total as.
dZ dZ dx dZ
= = u (5)
dt dx dt dx
218
dengan Z = N, A dan u (m/det) adalah kecepatan aksial gas sebagai fungsi dari ketinggian di atas
pembakar. Jadi, dengan persamaan di atas, secara sederhana dapat dihitung pertumbuhan diameter
partikel tiap ketinggian di atas pembakar dari posisi ke posisi.
Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
digunakan limbah fotografi sebagai prazat, sedangkan penelitian terdahulu dilakukan dengan bahan
kimia kemurnian tinggi. Pada penelitian ini disintesis nanopartikel perak dari bahan baku limbah
fotografi tersebut dengan menggunakan metode pirolisis semprot nyala. Untuk melihat morfologi serta
diameter partikel digunakan analisis mikroskopi elektron payaran (SEM). Kemurnian perak yang
dihasilkan kemudian ditentukan dengan difraksi sinar-X (XRD). Sebelum menentukan pengaruh kondisi
kerja reaktor nyala terhadap sifat perak yang dihasilkan, cara perangkaian alat perlu ditentukan. Pada
tulisan ini, alat dirancang sedemikian rupa agar dapat diaplikasikan pada skala laboratorium dengan
bahan dan alat yang mudah diperoleh di Indonesia.
METODOLOGI
Limbah fotografi yang diperoleh dari sebuah rumah sakit di daerah Surakarta mula-mula
diisikan ke dalam wadah pengabut ultrasonik. Jenis reaktor nyala yang digunakan adalah pembakar
difusi, dengan bahan bakar elpiji dan oksidator udara. Agar pembakaran berlangsung sempurna, laju
alir udara dibuat 2.5 kali laju alir gas elpiji. Untuk menyedot partikel yang diperoleh, dipasang pula
peniup. Partikel yang terbentuk kemudian ditangkap menggunakan kertas saring. Contoh ini dianalis
menggunakan XRD. Skema lengkap peralatan eksperimen disajikan pada Gambar 2 dan 3.
Filter
Burner Exhauster
Udara
Rotameter
Pembakar
Rotameter LPG
Rotameter Udara
Pembawa
Compressor
Ultrasonic nebulizer
219
Kapasitas maksimum pengabut (merek San Sonic) = 8 ml. Tekanan maksimum kompresor = 9 kg/cm2.
Debit pembuangan = 7.7 m3/menit. Tekanan pembuangan = 33 mmHg.
Whatman
Glass Filter
= 5,5 c m
19,4 c m
1,7 cm
1,1 cm
0,3 cm Kran 1 = terluar
31 c m Kran 6 = terdalam
Kran 1 Kran 2
2,3 cm Kran 4
Kran 3
2,9 cm
3,6 cm
59 c m
Kran 5
Kran 6
Makalah ini menyajikan hasil percobaan pendahuluan, yaitu kajian eksperimental terhadap alat
pirolisis semprot nyala yang telah dirancang. Alat ini, khususnya pembakar nyala, dirancang sendiri
secara khusus untuk mensintesis nanopartikel perak dari limbah cair yang mengandung perak dan dari
larutan yang dibuat mengandung perak. Dari penelitian ini diketahui bahwa peralatan pirolisis semprot
nyala bekerja baik dalam menghasilkan nanopartikel perak. Dengan demikian, peralatan tersebut dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya pada berbagai peubah proses.
Sampai saat ini, penelitian yang sudah dilakukan meliputi peragaman laju alir gas pembawa
(carrier gas) ke pengabut dan laju alir gas pembakar (oxidant gas) ke pembakar nyala. Contoh yang
diperoleh dicirikan menggunakan XRD untuk mengetahui ada tidaknya nanopartikel perak. Akan tetapi,
pencirian hanya dilakukan secara kualitatif. Penentuan ukuran nanopartikel perak akan segera
dilakukan dengan SEM dalam waktu dekat ini.
220
Dari hasil sementara ini dapat dikatakan bahwa alat yang dirancang dapat menghasilkan
nanopartikel perak. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa teknologi nanopartikel mempunyai prospek
yang menjanjikan untuk sintesis senyawa berukuran nano baik untuk pengolahan limbah maupun
industri di Indonesia.
Berdasarkan data percobaan pendahuluan, alat pirolisis semprot nyala yang dirancang dapat
menghasilkan nanopartikel perak dari limbah fotografi. Penelitian ini akan dilanjutkan dengan pengujian
SEM dan pencirian kuantitatif kandungan perak dalam contoh. Selain itu, penelitian lanjutan dengan
menggunakan laju alir bahan bakar (elpiji) juga akan dilakukan dalam rangka mencari kondisi optimum
proses sintesis nanopartikel perak dari limbah fotografi dengan metode pirolisis semprot nyala.
Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional melalui dana penelitian Hibah Bersaing tahun 2006. Terima kasih juga disampaikan kepada
para mahasiswa dan asisten yang membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Backman U, Jokiniemi JK, Auvinen A, Lehtinen KEJ. 2002. The effect of boundary conditions on gas-
phase synthesized silver nanoparticles. J Nanoparticle Res 4:325-335.
Bickmore CR et al. 1998. Ultrafine titania by flame spray pyrolysis of a titranatane complex. J Eur
Ceramic Soc 18:287-297.
Cai M, Chen J, Zhou J. 2004. Reduction and morphology of silver nanoparticles via liquid-liquid method.
Appl Surface Sci 226:422-426.
Dufaux DP, Axelbaum RL. 1995. Nanoscale unagglomerated nonoxide particles from a sodium coflow
flame. Combustion and Flame 100:350-358.
Grimm S, Schultz M, Barth S. 1997. Flame pyrolysis-a preparation route for ultrafine pure γ-Fe2O3
powders and the control of their particle size and properties. J Mat Sci 32:1083-1092.
He B, Tan JJ, Liew KY, Liu H. 2004. Synthesis of size-controlled Ag nanoparticles. J Mol Catalysis A:
Chem 221:121-126.
Jang HD. 2001. Experimental study of synthesis of silica nanoparticles by a bench-scale diffusion flame
reactor. Powder Technol 119:102–108.
Janzen C, Knipping J, Rellinghaus B, Roth P. 2003. Formation of silica-embedded iron-oxide
nanoparticles in low-pressure flames. J Nanoparticle Res 5:589–596.
Kammler HK, Madler L, Pratsinis SE. 2001. Flame synthesis of nanoparticles. Chem Eng Technol
24:583-596.
Kang YC, Seo DJ, Park SB, Park HD. 2001. Morphological and optical characteristics of Y2O3:Eu
phosphor particles prepared by flame spray pyrolysis Jpn J Appl Phys 40:4083-4086.
Kang YC, Seo DJ, Park SB, Park HB. 2002. Direct synthesis of strontium titanate phosphor particles
with high luminescence by flame spray pyrolysis. Mat Res Bull 37:263-269.
Kim JH, Germer TA, Mulholland GW, Ehrman SH. 2002. Size-monodisperse metal nanoparticles via
hydrogen free spray pyrolysis. Adv Mat 14:518-521.
221
Madler L, Kamler KH, Mueller R, Pratsinis SE. 2002. Controlled synthesis of nanostructured particles by
flame spray pyrolysis. Aerosol Sci 33:369-389.
Makela JM, Keskinen H, Forsblom T, Keskinen J. 2004. Generation of metal and metal oxide
nanoparticles by liquid flame spray pyrolysis. J Mat Sci 29:2783-2788.
Park SJ, Im BJ. 2005. A study on NO removal of activated carbon fibers with deposited silver
nanoparticles. J Colloid and Interface Sci 282:124-127.
Sahm T et al. 2004. Flame spray synthesis of tin dioxide nanoparticles for gas sensing. Sensor and
Actuators B 98:148-153.
Strobel R, Krumeich F, Stark WJ, Pratsinis SE, Baiker A. 2004. Flame spray synthesis of Pd/Al2O3
catalysts and their behavior in enantioselective hydrogenation. J Catalysis 222:307-314.
Takao Y, Sando M. 2001. Flame synthesis of aluminum nitride filler-powder. J Chem Eng Jpn 34:828-
833.
Tani T, Madler L, Pratsinis SE. 2002a. Homogenous ZnO nanoparticles by flame spray pyrolysis. J
Nanoparticle Res 4:337-343.
Tani T, Madler L, Pratsinis SE. 2002b. Synthesis of α-willemite nanoparticles by post-calcination of
flame-made zinc oxide/silica composites. Part Syst Charact 19:354-358.
Wal RL van der. 2002a. Flame synthesis of Ni-catalyzed nanofibers. Carbon 40:2101-2107.
Wal RL van der. 2002b. Fe-catalyzed single-walled carbon nanotube synthesis within a flame
environment. Combustion and Flame 130:37-47.
Varatharajan K et al. 2003. Synthesis of nanocrystalline α-Al2O3 by ultrasonic flame pyrolysis. Mat Res
Bull 38:577-583.
222
ANALISIS SPESIES BORON DALAM CAIRAN FLOEM TANAMAN JARAK
(Ricinus communis L.) DENGAN METODE PNC PAGE-ICP QMS
Noor Fitri1*, Björn Thiele, Klaus Günther2, M Bachri Amran, Buchari3
1Departemen Kimia, Universitas Islam Indonesia Kampus Terpadu,Yogyakarta
2Institute
for Chemistry and Dynamics of the Geosphere: ICG-III Phytosphere
Research Centre Juelich, D-52425 Juelich, Jerman
3Kelompok Keilmuan Kimia Analitik, Departemen Kimia, FMIPA, ITB, Bandung
ABSTRAK
Cairan floem biji jarak (Ricinus communis) difraksionasi dengan kromatografi permeasi gel
(GPC), dan fraksi yang mengandung spesies B-2 (BM ∼ 15.5 kDa) difraksionasi kembali dengan
elektroforesis gel poliakrilamida-preparative native continous (PNC-PAGE). Sebanyak 500 µl cairan
floem juga dipisahkan secara langsung menggunakan metode ini. Kondisi operasi PNC-PAGE ialah
sistem bufer sinambung Tris-HCl 20 mM/NaN3 1 mM pH 10 sebagai bufer elektroforesis; derajat
polimerisasi poliakrilamida 4%T – 2.67% C; panjang gel 40 mm; eluen MES 20 mM/NaN3 1 mM pH 8.0;
dan suhu analisis 4 oC. Diperoleh 74 fraksi dengan volume setiap fraksi 5 ml. Konsentrasi boron dalam
setiap fraksi ditentukan dengan spektrometer massa kuadrupol-plasma gandeng induktif, menggunakan
larutan indium 10 µg/l dalam asam nitrat sebagai standar internal. Didapati bahwa spesies B-2 berhasil
diisolasi secara langsung dari cairan floem maupun dari fraksi GPC yang mengandung spesies B-2.
Hasil ini menyiratkan bahwa spesies ini cukup stabil pada kondisi pemisahan yang digunakan.
ABSTRACT
Phloem sap of castor bean (Ricinus communis) was fractionated with gel permeation
chromatography (GPC), and fraction containing B-2 species (MW ∼ 15.5 kDa) was fractionated again
with preparative native continous-polyacrylamide gel electrophoresis (PNC-PAGE). A 500 µl of phloem
sap was also separated directly using this method. The operational conditions of PNC-PAGE were
continous buffer system 20 mM Tris-HCl /1 mM NaN3 pH 10 as electrophoresis buffer; degree of
polymerization of the polyacrylamide 4%T – 2.67% C; gel length of 40 mm; 20 mM MES/1 mM NaN3 pH
8.0 as eluent; and temperature of analysis of 4 oC. Seventy-four fractions, 5 ml per fraction, were
obtained. Boron concentration in each fraction was determined by inductively coupled plasma-
quadrupole mass spectrometer using 10 µg/l indium solution in nitric acid as internal standard. It was
found that B-2 species had been successfully isolated in quantitative amounts either directly from
phloem sap or from GPC fraction containing B-2 species. This results suggested that this species was
quite stable at the separation condition used.
* Alamat korespondensi:
Tel: 62-274-895920, Fax: 62-274-896439. E-mail: nfitri@fmipa.uii.ac.id
223
PENDAHULUAN
Boron (B) adalah salah satu mikronutrien esensial bagi tanaman. Defisiensi boron dapat
menghambat pertumbuhan tanaman dengan cepat karena dapat menyebabkan terjadinya perubahan
anatomi, fisiologi, dan biokimia yang signifikan pada tanaman (Blevins & Lukaszewski 1998). Efek
defisiensi B, misalnya pada seledri dapat menyebabkan batang mudah patah, pada tembakau terjadi
pembusukan di bagian atasnya, dan pada tebu terjadi pembusukan dan muncul bintik hitam di bagian
dalamnya.
Boron awalnya diperkirakan sebagai unsur yang tidak bergerak dalam floem tanaman. Hal ini
teramati pada gejala defisiensi B di jaringan pertumbuhan; unsur ini tidak segera ter-retranslokasi di
dalam tanaman (Lovatt 1985). Namun, saat ini diketahui bahwa spesies B tertentu bersifat mobil di
dalam floem, yang teramati dengan adanya translokasi sorbitol dalam jumlah signifikan di dalam floem
(Brown & Hu 1996). Selain itu, ditemukan kompleks B dengan manitol atau dulsitol yang juga dapat
ditranslokasi dalam floem (Hu et al. 1997).
Proses pengambilan (uptake), transpor, dan fungsi B dalam tanaman sangat bergantung pada
bentuk kompleksnya. Dengan demikian, identifikasi spesies B merupakan hal yang penting dalam
mempelajari fisiologi B dalam tanaman. Makalah ini membahas mengenai analisis spesies B dalam
cairan floem tanaman jarak menggunakan elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) sebagai metode
pemisahan dan spektrometer massa kuadrupol-plasma gandeng induktif (ICP-QMS) untuk mendeteksi
unsur B dalam fraksi native PAGE.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Institute for Chemistry and Dynamics of the Geosphere: ICG-III
Phytosphere, Research Centre Juelich, Jerman pada tahun 2003–2004.
Prosedur Penelitian
Kultur tanaman jarak dan pengambilan contoh cairan floem
Kultur tanaman jarak mulai dari penyemaian biji sampai tahap pengambilan contoh cairan floem
telah dideskripsikan sebelumnya oleh Arifudin et al. (2004).
224
Pemisahan dengan GPC
Prosedur pemisahan dengan GPC dan kalibrasi bobot-molekul kolom Sephadex G-50 M
dengan menggunakan kit kalibrasi yang terdiri dari beberapa protein dan vitamin B-12, telah
dideskripsikan dalam Arifudin et al. (2004).
Fase pengondisian. Perangkat PNC-PAGE diletakkan dalam lemari pendingin kaca, karena
proses elektroforesis dijalankan pada suhu 4 °C. Sebelum proses elektroforesis berlangsung, sistem
dibiarkan selama 80 menit pada suhu tersebut untuk menstabilkan kondisi pompa, sumber tegangan,
dan perekam/pencatat peralatan elektroforesis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan diperolehnya garis
dasar (baseline) yang stabil pada perekam. Lampu detektor ultraviolet (UV) dihidupkan sehari sebelum
fase pengondisian. Sebagai bufer digunakan larutan MES 20 mM/NaN3 1 mM pH 8.0.
Fase elektroforesis. Setelah prerun selama 75 menit, tegangan diturunkan dan sebanyak 500
µl contoh cairan floem yang telah dicampur dengan gliserol (9:1) diinjeksikan secara hati-hati dan
merata ke dalam larutan bufer di atas permukaan gel. Kemudian tegangan diaktifkan kembali. Contoh
difraksionasi dan diperoleh sebanyak 74 fraksi dengan volume setiap fraksi 5 ml. Parameter sistem
elektroforesis yang dijalankan dapat dilihat pada Tabel 1.
225
Penentuan konsentrasi boron
Konsentrasi boron dalam fraksi ditentukan menggunakan ICP-QMS ELAN 6100 (Perkin Elmer,
USA), menggunakan kalibrasi eksternal dengan perhitungan regresi melalui titik nol. Larutan standar B
1000 mg/l diencerkan secara bertahap pada setiap hari analisis dengan berbagai konsentrasi. Tiga
buah larutan blangko juga dianalisis dengan prosedur yang sama seperti pada contoh. Indium dalam
larutan asam nitrat digunakan sebagai larutan standar internal dengan konsentrasi akhir 10 µg/l.
Profil distribusi B ditentukan dengan membuat grafik hubungan konsentrasi unsur per fraksi
versus volume elusi. Kondisi operasional ICP-QMS dapat dilihat pada Tabel 2.
Metode PNC-PAGE merupakan salah satu metode yang tepat untuk spesiasi unsur. Hal ini
disebabkan spesies dapat dipisahkan tanpa harus mendenaturasi struktur (native) atau mendisosiasi
ikatan selama proses elektroforesis (Kastenholz 2004). Hal ini, yaitu mempertahankan struktur dan
keberadaan spesies selama proses pemisahan dan pendeteksian, sangat penting dan tersulit dalam
analisis spesies unsur. Spesies-spesies dalam contoh bermuatan negatif pada pH 10.0 dan bergerak
menuju anode kemudian terelusi berdasarkan titik isolistriknya (pI) (Kastenholz 2006). Contoh dapat
difraksionasi ke dalam beberapa fraksi dalam larutan bufer yang cukup memadai dan langsung
dideteksi kandungan unsurnya dengan ICP-QMS. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi tahap
penyiapan contoh. Metode ini telah digunakan oleh Günther et al. (2000) yang berhasil mencirikan
spesies Cd berbobot molekul tinggi dalam sayuran yang terkontaminasi. Muktiono (2006) juga
menggunakan metode ini untuk analisis spesies Cd dalam Arabidopsis thaliana.
Arifudin et al. (2004) telah memisahkan cairan floem tanaman jarak dengan menggunakan
metode GPC, dan mendeteksi kandungan boron dalam fraksi-fraksi yang diperoleh secara offline
menggunakan ICP-QMS. Diperoleh sedikitnya 4 spesies boron, yaitu (1) spesies B-1 yang terdeteksi
pada void volume (bobot molekul relatif > 30 kDa), (2) spesies B-2 (~ 15,5 kDa), (3) spesies B-3 (~ 1
kDa), dan (4) spesies utama dengan kelimpahan relatif sekitar 92–98% (<<< 1 kDa). Keberadaan
spesies B-1, B-3, dan B-4 berkorelasi dengan daerah serapan UV cairan floem tanaman jarak,
sedangkan B-2 tidak. Pada awalnya keberadaan spesies B-2 yang kelimpahan relatifnya kurang dari
1% masih dipertanyakan, apakah merupakan spesies boron atau hanya kontaminan. Secara kebetulan,
spesies B-2 berhasil dideteksi ketika melakukan pemisahan lebih lanjut spesies Cd-3 yang berasal dari
fraksi GPC (kolom Sephadex G-50 SF, nomor fraksi 22) dengan metode PNC-PAGE. Spesies B-2 juga
berhasil dideteksi dengan baik ketika cairan floem dipisahkan langsung menggunakan metode tersebut.
Gambar memperlihatkan pola distribusi boron dalam (a) cairan floem dan dalam (b) fraksi GPC no. 22
menggunakan metode PNC-PAGE.
226
Gambar Pola distribusi unsur B dalam cairan floem tanaman jarak (a) dan dalam fraksi GPC no. 22 (b)
dengan menggunakan metode PNC-PAGE. Pemisahan GPC dilakukan dalam kolom
Sephadex G-50 SF dengan buffer MES 20 mM/NaN3 1 mM pH 8,0. Deteksi B dalam fraksi
GPC dan PNC-PAGE dilakukan dengan ICP QMS.
Pada Gambar (a) terlihat puncak spesies boron berada pada volume elusi 85 ml sedangkan
pada Gambar (b) puncak tersebut berada pada volume elusi 55 ml. Ada beberapa hipotesis yang dapat
diajukan berkenaan dengan pergeseran ini: (1) kondisi operasional elektroforesis yang berbeda,
misalnya gel elektroforesis yang selalu dibuat baru untuk setiap percobaan; (2) pada cairan floem masih
terdapat spesies-spesies lain yang mungkin berinteraksi dengan spesies boron, sedangkan pada
Gambar (b) spesies boron telah diisolasi berdasarkan bobot molekulnya; atau (3) kemungkinan spesies
yang terdeteksi pada Gambar (a) masih terdiri dari beberapa spesies boron, dengan mencermati
konsentrasi boron yang mulai meningkat pada volume elusi 45 ml dan adanya tekukan pada volume
elusi 60 ml sebelum mencapai puncak pada volume elusi 85 ml. Pola puncak pada volume elusi 45–60
ml pada Gambar (a) sama dengan Gambar (b). Namun, ada kelemahan hipotesis ini, karena ´lekukan`
pada volume elusi 45–60 ml berada sangat tipis di atas garis dasar kurva. Hipotesis yang terakhir ialah
(4) akibat cairan floem yang digunakan berasal dari tanaman jarak yang berbeda. Hal yang sama juga
terjadi pada pemisahan spesies Cd dalam tanaman A.thaliana, walaupun contoh sitosol yang digunakan
berasal dari tanaman yang sama (Muktiono 2006). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis (1) mungkin
berperan cukup besar terhadap pergeseran tersebut.
Penemuan spesies B-2 di dalam cairan floem tanaman jarak merupakan suatu hal yang
spektakuler dalam analisis spesiasi. Hal ini disebabkan spesies B-2 yang kelimpahan relatifnya < 1%
dari total boron dalam cairan floem tanaman jarak masih dapat disolasi dan terdeteksi dengan baik.
Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian Hu et al. (1997) bahwa ada spesies B yang mobil di
dalam floem, walaupun cairan floem yang digunakan berbeda. Hu et al. (1997) menggunakan cairan
floem tanaman seledri (Apium graveolens), dan menemukan spesies B dalam bentuk kompleks manitol-
B-manitol. Spesies boron dari A. thaliana juga telah ditemukan dengan menggunakan metode PNC-
PAGE pada volume elusi 140 ml (Muktiono 2006).
Spesies boron dalam cairan floem tanaman jarak, yaitu spesies B-2, telah berhasil diisolasi baik
secara langsung maupun setelah pemisahan dengan metode GPC. Hal ini menunjukkan bahwa spesies
ini cukup stabil pada kondisi pemisahan yang dilakukan. Analisis lebih lanjut untuk mengungkap struktur
molekul spesies B-2 dapat dilakukan dengan menggunakan metode tandem kromatografi cair-
spektrometri massa/spektrometri massa (LC-MS/MS), matrix assisted laser desorption-time of flight-MS
(MALDI-TOF-MS) dan/atau ESI-MS.
227
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Islam Indonesia dan Institute for Chemistry and
Dynamics of the Geosphere: ICG-III Phytosphere, Research Center Juelich, Jerman, yang telah
mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arifudin NF, Thiele B, Günther K. 2004. Elemental fractionation of floem sap from castor bean on
Sephadex G-50 SF column. Proceedings of 9th ISSM 2004 (ISSN 0855-8692). Jerman: Aachen.
Blevins DG, Lukaszewski KM. 1998. Boron in plant structure and function. Annu Rev Plant Physiol Plant
Mol Biol 49:481-500.
Brown PH, Hu H. 1996. Phloem mobility of boron is species dependent: Evidence for phloem mobility in
sorbitol-rich species. Ann.Bot 77:497-505.
Günther K, Ji G, Kastenholz B. 2000. Characterization of high molecular weight Cd species in
contaminated vegetable food. Fresenius J Anal Chem 368:281-287.
Hu H, Penn SG, Lebrilla CB, Brown PH. 1997. Isolation and characterization of soluble boron
complexes in higher plants. The mechanism of phloem mobility of boron. Plant Physiol 113:649-655.
Kastenholz B. 2004. Preparative native continuous-polyacrylamide gel electrophoresis (PNC-PAGE): An
efficient method for isolating Cd cofactors in biological systems. Anal Lett 37:657-665.
Kastenholz B. 2006. Comparison of the electrochemical behavior of the high molecular mass cadmium
proteins in Arabidopsis thaliana and in vegetable plants on using preparative native continuous-
polyacrylamide gel electrophoresis (PNC-PAGE). Electroanal 18:103-106.
Lovatt CJ. 1985. Evolution of xylem in a requirement for boron in the apical meristems of vascular plants.
New Phytol 99:509.
Muktiono B. 2006. Multielement speziation in pflanzlichen lebensmitteln mittels offline kopplung von
Sepharcyl-S400-HR gel permeations chromatographie (GPC) und induktiv gekoppelten plasma
quadrupol-massenspektrometrie (ICP-QMS) [disertasi]. Jerman: Mathematisch-Naturwissen
schaftlichen Fakultät der Rheinischen Friedrich-Willhelms-Universität Bonn.
228
EKSTRAKSI XILAN DARI TONGKOL JAGUNG UNTUK MEDIUM
PERTUMBUHAN Bacillus pumilus RXAIII-5 PENGHASIL-XILANASE
Nur Richana1, Tun Tedja Irawadi, M Anwar Nur 2,
Illah Sailah, Khaswar Syamsu3, Yandra Arkenan
ABSTRAK
Tongkol jagung merupakan limbah jagung terbesar (45%) yang mengandung sekitar 12% xilan
dan belum banyak dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan meningkatkan nilai guna tongkol jagung
dengan mengekstraksi xilan dan memanfaatkannya sebagai medium pertumbuhan Bacillus pumilus
RXAIII-5 penghasil-xilanase. Ekstraksi dilakukan dalam dua tahap, yaitu delignifikasi menggunakan
NaOCl (0.5, 1.0, 2.5, 5, dan 7.5%) dan pengendapan dengan nisbah supernatan-etanol 1:1, 1:2, 1:3,
dan 1:4. Kelarutan xilan diuji pada pelarut organik, asam, basa, serta dalam air panas dan dingin.
Analisis kualitatif dan kuantitatif xilan juga dilakukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC).
Xilan kemudian digunakan untuk formulasi medium pertumbuhan B. pumilus RXAIII-5, dikombinasikan
dengan pepton, ekstrak khamir, dan K2HPO4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi
(12.95%), yang berdasarkan analisis HPLC mengandung xilan sebesar 63 mg/g, dihasilkan dengan
perlakuan NaOCl 0.5% dan nisbah supernatan-etanol 1:3 (v/v). Kelarutan xilan tertinggi ialah dalam
pelarut basa (NaOH 1%). Namun, xilan juga larut dalam air panas dan dingin. Berdasarkan hasil
tersebut, xilan diharapkan dapat digunakan sebagai medium cair untuk pertumbuhan bakteri alkalofilik.
Berdasarkan aktivitas xilanasenya, formulasi medium terpilih ialah campuran pepton 0.125%, ekstrak
khamir 0.05%, xilan tongkol jagung 3.04%, dan K2HPO4 0.08%.
ABSTRACT
Corn cob is the biggest part of corn waste (45%) containing about 12% of xylan which has not
been much utilized. This research objective is to increase the added value of corn cob by extracting
xylan and using it as growth media for xylanase-producer Bacillus pumilus RXAIII-5. The extraction was
carried out in two steps: first, delignification using NaOCl (0.5, 1.0, 2.5, 5, and 7.5%) and then
precipitation with the ratio of supernatant and ethanol 1:1, 1:2, 1:3, and 1:4. The solubility of xylan in
organic, acid, and alkaline solvents, and in cold and hot water were observed as well. Quantitative and
qualitative analysis of xylan were also carried out using high performance liquid chromatography
(HPLC). The xylan was then used in media formulation for B. pumilis RXAIII-5, combined with pepton,
yeast extract, and K2HPO4. The research results showed that the highest yield (12.95%), containing 63
mg/g of xylan based on HPLC analysis, was produced by 0.5% NaOCl and 1:3 supernatant-ethanol
ratio treatment. The highest solubility of xylan was in alkaline solvent (1% NaOH). However, xylan was
also soluble in cold and hot water. Based on these results, xylan is expected to be used as liquid media
for alkalophyllic bacteria growth. Based on xylanase activities, selected medium formulation was a
mixture of 0.125% pepton, 0.05% yeast extract, 3.04 xylan of corn cob, and 0.08% KH2PO4.
229
PENDAHULUAN
Dalam satu dekade terakhir ini, produksi jagung mengalami peningkatan yang cukup besar
meskipun agak berfluktuasi. Pada tahun 1989−1993 produksi mencapai 6.7 juta ton/tahun dengan
produktivitas 2.2 ton/ha (Subandi & Hermanto 1998). Pada tahun 2003 mencapai 9.66 juta ton/tahun,
atau meningkat sebesar 1.42% dibandingkan dengan tahun 2002 yang sebesar 9.53 juta ton/tahun. Di
tahun 2004, produksi jagung diperkirakan telah mencapai 11.75 juta ton/tahun dengan produktivitas 3.8
ton/ha (Deptan 2003).
Selain sebagai bahan pangan, jagung juga banyak digunakan untuk pakan dan bahan industri.
Sampai saat ini kebutuhan dan permintaan jagung terus meningkat. Peningkatan produksi dan
kebutuhan jagung berarti pula peningkatan limbah baik berupa jerami maupun tongkol jagung. Saat ini,
penggunaan jerami jagung semakin populer untuk pakan ternak, sementara tongkol jagung belum
dimanfaatkan. Padahal, tongkol jagung merupakan bagian terbesar dari limbah jagung, yaitu sekitar
50−60% dari jagung bertongkol, bergantung pada varietasnya. Oleh karena itu, dapat diperkirakan jika
produksi jagung 11.75 juta ton, akan dihasilkan limbah tongkol jagung sekitar 12 juta ton/tahun.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan perhatian dan penanganan untuk pemanfaatan limbah tongkol
jagung agar lebih bernilai guna dan ekonomis. Tongkol jagung merupakan bahan berlignoselulosa
(kadar serat 38.99%) yang mengandung xilan tertinggi (12.4%) di antara limbah pertanian lainnya
(Richana et al. 2004). Ekstrak xilan dari tongkol jagung dapat dimanfaatkan di antaranya sebagai
sumber karbon dalam medium kultivasi bakteri penghasil xilanase.
Xilanase merupakan kelompok enzim ekstraselular yang memiliki kemampuan menghidrolisis
hemiselulosa (xilan) menjadi xilosa dan xilo-oligosakarida. Berdasarkan substrat yang dipecahnya,
enzim xilanase digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu β-xilosidase, eksoxilanase, dan endoxilanase.
Beberapa mikroorganisme diketahui mampu menghasilkan xilanase secara ekstraselular.
Beberapa penelitian yang telah dilaporkan antara lain xilanase dari bakteri (Gilbert & Hazlewood 1993;
Sunna & Antranikan 1997), kapang (Sunna & Antranikan 1997), Actinomycetes (Ball & McCarthy 1989;
Beg et al. 2000), dan khamir (Hrmova et al. 1984; Liu et al. 1999). Xilanase dari bakteri alkalofilik
diharapkan dapat digunakan sebagai pemutih kertas (Arribas et al. 1995).
Produksi xilanase oleh mikroorganisme menggunakan substrat xilan. Xilan merupakan polimer
yang kompleks dengan xilosa sebagai komponen utama. Pada umumnya substrat yang digunakan
sebagai medium pertumbuhan mikroorganisme penghasil-xilanase adalah xilan komersial dari Sigma
yang harganya mahal sehingga tidak ekonomis bila digunakan dalam skala pabrik. Untuk
mengantisipasi masalah tersebut, perlu dicari bahan baku terbarukan (renewable raw material) dari
bahan berlignoselulosa limbah pertanian lokal, salah satunya adalah tongkol jagung. Karena itu,
penelitian ini bertujuan mengekstraksi xilan dari tongkol jagung dan memanfaatkannya sebagai medium
pertumbuhan Bacillus pumilus RXAIII-5 penghasil-xilanase sehingga akan meningkatkan nilai guna
limbah jagung.
230
Ekstraksi Xilan dari Tongkol Jagung
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap awal adalah analisis proksimat bahan
baku yang meliputi kadar air, abu, dan serat (AOAC 1984). Tahap selanjutnya adalah ekstraksi xilan
dengan memodifikasi metode dari Yoshida et al. (1994). Konsentrasi NaOCl pada proses delignifikasi
dan nisbah supernatan terhadap etanol (v/v) yang tepat untuk ekstraksi xilan ditentukan, lalu ekstrak
xilan yang diperoleh diuji kelarutannya serta dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan
kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC).
Tongkol jagung kering digiling sampai lolos saringan 40 mesh. Contoh sebanyak 50 g
dimasukkan ke dalam wadah plastik kemudian direndam dalam larutan NaOCl dengan konsentrasi 0.5,
1, 2.5, 5, dan 7.5% selama 5 jam pada suhu 28 oC (proses delignifikasi). Setelah 5 jam, contoh dibilas
dengan air dan disaring. Selanjutnya padatan direndam kembali dalam larutan NaOH 10% selama 24
jam pada suhu 28 oC. Perendaman ini bertujuan mengekstraksi xilan. Setelah 24 jam, suspensi disaring.
Filtrat yang dihasilkan diukur pH-nya, lalu dinetralkan dengan HCI 6 N. Setelah itu, disentrifugasi
selama 30 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Supernatan yang dihasilkan mengandung xilan.
Xilan yang larut dalam air dapat dipisahkan dengan menambahkan etanol 95%. Etanol
ditambahkan pada supernatan dengan nisbah supernatan-etanol 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4 untuk
mengetahui pada nisbah berapa xilan dihasilkan secara optimum.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap
faktorial 5 × 4 dengan dua kali ulangan. Parameter yang diamati adalah rendemen xilan. Diagram alir
penelitian diberikan pada Gambar 1.
Kelarutan xilan diuji dengan melarutkannya dalam NaOH 1%, HCl 1 N, etanol, air panas, dan
air dingin. Analisis kualitatif dan kuantitatif xilan dilakukan menggunakan HPLC dengan mengukur
waktu retensi. Alat yang digunakan adalah HPLC Shimadzu C-R3A, dengan jenis kolom LC-18, fase
gerak air, fase diam supelcosil LC 18, dan detektor indeks bias, dengan laju alir 0.8 ml/menit.
Formulasi Medium
Formulasi medium untuk pertumbuhan B. pumilus RXAIII-5 memanfaatkan ekstrak xilan dari
tongkol jagung sebagai sumber karbon. Di samping itu juga dikaji pengaruh pepton dan ekstrak khamir
sebagai sumber nitrogen, dan K2HPO4 sebagai sumber mineral. Kultivasi dilakukan di dalam labu
Erlenmeyer 100 ml menggunakan konsentrasi inokulan 10%. Contoh dipanen sesudah 3 hari inkubasi,
kemudian diukur biomassanya sebagai rapatan optik pada panjang gelombang 660 nm, protein
terlarutnya diukur dengan metode Bradford (1976), dan aktivitas enzim xilanasenya diukur menurut
metode Winterhalter & Liebl (1995).
Formulasi medium dilakukan dengan rancangan komposit pusat faktorial penuh 24. Empat
peubah yang dioptimalisasi ialah polipepton (X1), ekstrak khamir (X2), xilan (X3), dan mineral (X4).
Y1 = b0 + b1 X 1i + b2 X 2i + b3 X 3i + b4 X 4i + b11 X 1i2 + b22 X 2i
+ b33 X 3i2 + b44 X 4i2 + b12 X 1i X 2i + b13 X 1i X 3i + b14 X 1i X 4i
+ b23 X2i X 3i + b24 X 2i X 3i + b34 X 3i X 4i + ri
Sebelum melakukan ekstraksi xilan, bahan baku dicirikan kadar air, abu, dan seratnya. Kadar
air tongkol jagung 6.43%, kadar abu 1.86%, dan kadar serat 25.43%. Kadar abu tersebut lebih besar
dibandingkan dengan data yang disampaikan Koswara (1991), yaitu 1.33%. Namun, seratnya lebih
banyak dibandingkan dengan penelitian Maynard (1993), yaitu 35.5%. Perbedaan ini diduga karena
adanya perbedaan varietas dan umur panen jagung.
231
Tepung tongkol jagung
(≤ 40 mesh)
Pencucian
Sentrifugasi Lignin
(4000 rpm, 30 menit)
Pengeringan
(suhu 35 °C, 24 jam)
Sentrifugasi
(4000 rpm, 30 menit)
Endapan
Supernatan
Sentrifugasi
(4000 rpm, 30 menit)
Endapan
Supernatan
Etanol 95%
Xilan
Gambar 1 Diagram alir ektraksi xilan dari tongkol jagung (Yoshida et al. [1994] dimodifikasi pada
penambahan konsentrasi NaOCl dan etanol).
232
(v/v) dan proses delignifikasi menggunakan NaOCl 7.5%, sedangkan rendemen tertinggi diperoleh pada
ekstraksi dengan etanol pada nisbah 1:3 (v/v) dengan menggunakan NaOCl 0.5% untuk delignifikasi
(Gambar 2). Konsentrasi NaOCl yang tinggi (7.5%) dapat membuat hemiselulosa hilang atau larut
dalam proses delignifikasi. Sebaliknya, pada konsentrasi yang rendah (0.5%) hanya sebagian
hemiselulosa yang larut.
14
12
Rendemenxilan(%)
10
0
0 1 2 3 4
Etanol/supernatan(v/v)
NaOCl 0.5 NaOCl 1 NaOCl 2.5
NaOCl 5 NaOCl 7.5
Gambar 2 Grafik hubungan antara rendemen dan nisbah etanol-supernatan pada ekstraksi xilan dari
tongkol jagung dengan berbagai konsentrasi NaOCl dalam delignifikasi.
Kelarutan Xilan
Tabel 1 menunjukkan bahwa xilan larut sempurna dalam basa (NaOH 1%) dan air panas, tetapi
hanya sedikit larut pada air dingin dan tidak larut dalam asam (HCl 1 N). Menurut Austin (1984),
kelarutan suatu polimer (termasuk karbohidrat) akan berkurang dengan bertambahnya bobot molekul.
Xilan sukar larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air yang dipanaskan pada suhu 100 oC (Vandamme
& Derycke 1983). Demikian pula dalam penelitian ini, xilan hanya sedikit larut dalam air dingin.
Berdasarkan hasil tersebut, xilan tongkol jagung dapat dimanfaatkan dalam medium cair untuk bakteri
alkalofilik, karena bersifat larut dalam basa, serta dalam air panas maupun dingin.
Setelah diperoleh, ekstrak xilan dianalisis dengan HPLC untuk menentukan mutu dan
kemurniannya. Kromatogram menunjukkan bahwa waktu retensi contoh tidak berbeda jauh dengan
waktu retensi standar xilan oat spelt (Sigma), yaitu berturut-turut 2.57 dan 2.592 menit (Gambar 3).
Dengan demikian, ekstrak yang diperoleh merupakan xilan.
Tongkol jagung mempunyai satu puncak yang sangat tinggi dan satu puncak kecil. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak xilan dari tongkol jagung hampir murni. Dengan menambahkan
kromatogram standar xilan pada kromatogram ekstrak xilan dari tongkol jagung, diperoleh kemurnian
xilan sebesar 97.47%.
233
Gambar 3 Kromatogram ekstrak xilan dari tongkol jagung dan xilan oat spelt sebagai standar.
Optimalisasi medium kultivasi B. pumilus RXA III-5 dilakukan untuk menentukan kadar xilan
dari tongkol jagung, serta konsentrasi pepton dan ekstrak khamir sebagai sumber N. Biomassa tertinggi
berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh pada komposisi medium dengan polipepton sebesar 0.32%,
ekstrak khamir 0.25%, xilan 3.17%, dan K2HPO4 0.13%, dengan bobot kering 2.8154 g/l. Tingginya nilai
biomassa menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri pada medium tersebut, tetapi tidak menjamin
tingginya produk metabolit sekunder. Hal tersebut terjadi pada penelitian Fontes et al. (2000) pada
pertumbuhan mikrob Cellvibrio mixtus penghasil-xilanase yang menggunakan glukosa dan xilan
sebagai sumber karbon. Kedua sumber karbon tersebut menghasilkan biomassa yang tinggi, dan pada
medium glukosa pertumbuhan sel lebih cepat (36 jam) dibandingkan dengan xilan (84 jam). Akan tetapi,
dalam medium glukosa aktivitas xilanase tidak terdeteksi. Hal tersebut terjadi karena pada medium xilan,
mikrob akan berupaya membentuk xilanase untuk menghidrolisis xilan menjadi xilosa, yang kemudian
digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Sementara pada medium glukosa hal
tersebut tidak terjadi; mikrob langsung menggunakan glukosa sebagai sumber karbon.
Aktivitas xilanase tertinggi (70.22 U/ml) dicapai pada komposisi polipepton 0.125 g/l, ekstrak
khamir 0.059 g/l, xilan 3.048 g/l, dan K2HPO4 0.089 g/l. Aktivitas spesifik maksimum dicapai saat protein
263.007 U/mg, dengan formulasi medium 3.013% xilan, 0.164% polipepton, 0.172% ekstrak khamir,
dan 0.141% K2HPO4 (Tabel 2). Formulasi inilah yang kemudian dipilih, karena optimalisasi produksi
enzim xilanase ialah yang diutamakan di dalam penelitian ini.
Tabel 2 Formulasi medium berdasarkan hasil pengamatan protein, aktivitas xilanase, dan aktivitas
spesifik
Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Yang et al. (1995), yaitu aktivitas spesifik
xilanase dipengaruhi oleh sumber karbon. Sumber karbon dari xilan birchwood menghasilkan aktivitas
spesifik xilanase yang lebih tinggi daripada xilan oat spelt. Demikian juga medium yang menggunakan
234
bekatul gandum mempunyai aktivitas spesifik xilanase lebih tinggi daripada medium tepung batang
jagung.
Sumber karbon di samping berpengaruh terhadap aktivitas xilanase juga berpengaruh terhadap
aktivitas gen penghasil xilanasenya. Penelitian Prabhu et al. (1999) terhadap Melanocarpus albomyces
menggunakan medium ampas tebu, xilosa, dan glukosa. Untuk xilosa dan glukosa aktivitas xilanase
tidak terdeteksi sedangkan dengan ampas tebu terdeteksi 2 gen penghasil xilanase, yaitu gen xyl IA
dan gen xyl IIIA. Demikian juga hasil penelitian Tonukari et al. (2002), yang menyatakan bahwa jenis
sumber karbon dalam medium dipengaruhi oleh jenis gen mikrobnya. Tonukari telah mencoba
menggunakan medium pertumbuhan yang mengandung glukosa, sukrosa, xilosa, xilan, pektin, dan
selulosa pada Cochliobolus carbanum penghasil endo-1,4-β-xilanase. Hasilnya, C. carbanum yang
mengandung gen xyl1 dan gen xyl2 dapat tumbuh pada medium xilan dan selulosa, sedangkan C.
carbanum yang mengandung gen xyl3 dan xyl4 tumbuh pada xilosa dan xilan, dan C. carbanum yang
mengandung gen xyp dapat tumbuh pada medium xilosa, xilan, pektin, dan selulosa. Akan tetapi, tak
satupun C. carbanum yang mengandung gen-gen tersebut dapat tumbuh pada medium glukosa dan
sukrosa.
SIMPULAN
Konsentrasi NaOCl yang digunakan pada proses delignifikasi serta nisbah supernatan dan
etanol pada ekstraksi xilan berpengaruh terhadap peningkatan rendemen xilan. Kombinasi perlakuan
konsentrasi NaOCl 0.5% dan nisbah supernatan-etanol 1:3 (v/v) menghasilkan rendemen xilan tertinggi
(12.95%). Analisis HPLC membuktikan bahwa xilan yang dihasilkan murni. Kelarutan xilan dipengaruhi
oleh jenis pelarut. Dari empat jenis pelarut yang dicobakan, xilan sangat larut dalam basa (NaOH 1%),
dan larut dalam air panas dan dingin. Berdasarkan hasil tersebut, xilan diharapkan dapat dimanfaatkan
dalam medium cair untuk pertumbuhan bakteri alkalofilik penghasil xilanase murni. Komposisi medium
terpilih untuk pertumbuhan B. pumilus RXAIII-5 berdasarkan aktivitas xilanasenya ialah pepton 0.164%,
ekstrak khamir 0.172%, xilan tongkol jagung 3.013%, dan K2HPO4 0.141%.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Volume IIA.
Washington: AOAC Int.
Arribas RA, Abalos JMF, Sanches P, Gardu AL, Santamaria RI. 1995. Over production, purification and
biochemical characterization of xylanase I (xys 1) from Streptomyces halstedii. JM8. Appl
Environ Microbiol 6:2414-2419.
Austin HY. 1984. Di dalam: Morison, editor. Starch Chemistry and Technology. Ed. ke-2. London:
Academic Pr.
Ball AS, McCarthy AJ. 1989. Production and properties of xylanases from Actinomycetes. J Appl
Bacteriol 66:439-444.
Beg QK, Kapoor M, Mahajan L, Hoondal GS. 2001. Microbial xylanases and their industrial applications:
A review. J Appl Microbiol Biotechnol 56:326-338.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive methods for quantitative proteins utilizing the principles of
protein dye binding. Anal Biochem 72:248-354.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2003. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2004. Jakarta: Deptan.
Fontes CM et al. 2000. A novel Cellvibrio mixtus family 10 xylanase that is both intracellular and
expressed under non-inducing conditions. J Microbiol 145:1959-1967.
Gilbert HJ, Hazlewood GP. 1993. Bacterial cellulase and xylanases. J Gen Microbiol 139:187-194.
235
Hrmova M, Biely P, Vrsanska M, Petrakova E. 1984. Induction of cellulose and xylanase-degrading
enzyme complex in the yeast Trichosporon cutaneum. Arch Microbiol 138:371-376
Koswara J. 1991. Budi Daya Jagung. Bogor: Jurusan Budi Daya Pertanian, IPB.
Liu W, Lu Y, Ma G. 1999. Induction and glucose repression of endo-β-xylanase in the yeast
Trichosporon cutaneum SL409. Process Biochem 34:67-72.
Maynard LA, Loosli JK. 1993. Animal Nutrition. Ed ke-7. New Delhi: Hill Publ.
Prabhu KA, Ramesh M. 1999. Biochemical properties of xylanases from a thermophilic fungus,
Melanocarpus albomyces, and their action on plant cell walls. J Biosci 24:461-470.
Richana N, Lestina P, Irawadi TT. 2004. Karakterisasi lignoselulosa: Xilan dari limbah tanaman pangan
dan pemanfaatannya untuk pertumbuhan bakteri RXA III-5 penghasil-xilanase. J Penelitian
Pertanian 23:171-176.
Subandi IGI, Hermanto. 1998. Jagung: Teknologi Produksi dan Pascapanen. Bogor: Badan Litbang
Pertanian.
Sunna A, Antranikan G. 1997. Xylanolytic enzyme from fungi and bacteria. Crit Rev in Biotechnol 17:39-
67.
Tonukari NJ, Craig JSS, Walt JD. 2002. Influence of carbon source on the expression of Cochliobulus
carbonum xylan-degrading enzyme genes. African J Biotechnol 1:64-66.
Vandamme EJ, Derycke DG. 1983. Microbial inulinases process, properties, and application. Adv Appl
Microbiol 29:139-176.
Winterhalter C, Liebl W. 1995. Two extremely thermostable xylanase of the hyperthermophillic
bacterium Thermotoga maritima MSBB. Appl Environ Microbiol 61:1810-1815.
Yang VW, Zhuang Z, Elegir G, Jeffries TW. 1995. Alkaline-active xylanase produced by an alkaliphilic
Bacillus sp (VI-4), isolated from kraft pulp. J Industrial Microbiol 15:434-441.
Yoshida S et al. 1994. Substrate specificity of Streptomyces β-xylanase toward glucoxylan. Biosci
Biotechnol Biochem 58:1041-1044.
236
BEBERAPA SENYAWA HETEROSIKLIK YANG BERPOTENSI SEBAGAI
INHIBITOR KOROSI PADA BAJA KARBON
DALAM LARUTAN NaCl 1%
Deana Wahyuningrum, Sadijah Achmad, Yana Maolana Syah1,
Buchari2, Bambang Ariwahjoedi3
1Kelompok Keilmuan Kimia Organik, 2Kelompok Keilmuan Kimia Analitik,
3Kelompok Keilmuan Kimia Fisik dan Anorganik, Program Studi Kimia, FMIPA, ITB, Bandung
ABSTRAK
Beberapa senyawa heterosiklik telah disintesis menggunakan metode sintesis senyawa organik
berbantuan mikrogelombang dengan tujuan mempelajari mekanisme inhibisi korosinya pada
permukaan baja karbon. Produk hasil sintesis dicirikan menggunakan spektrofotometer inframerah dan
resonansi magnetik inti. Keaktifan atau daya inhibisi korosi produk sintesis terhadap baja karbon dalam
larutan NaCl 1% ditentukan menggunakan metode plot Tafel. Keaktifan atau daya inhibisi korosi
senyawa (1Z,4Z)-2-etil-10,10a-difenil-3,10a-dihidropirazino[1,2-a][1,3,5]triazepina (1); 2,3-difenil-2,5-
dihidropirazin-2-amina (2); dan 5-metil-2,3-difenilpirazina (3) pada konsentrasi 8 ppm dalam larutan
NaCl 1% berturut-turut 30.02, 38.87, dan 18.40%. Daya inhibisi korosi mereka ini layak disepadankan
dengan daya inhibisi korosi senyawa imidazola dan benzimidazola yang telah lebih dahulu dikenal
sebagai inhibitor korosi yang potensial.
Kata kunci: senyawa heterosiklik; sintesis senyawa organik berbantuan mikrogelombang; plot Tafel;
daya inhibisi korosi.
ABSTRACT
Several heterocyclic compounds have been synthesized using microwave-assisted organic
synthesis method, in order to study the corrosion inhibition mechanism on carbon steel surface. The
synthesized products were characterized using infrared and nuclear magnetic resonance spectro-
photometer. Corrosion inhibition activity of the synthesized products towards carbon steel in 1% NaCl
solution was determined by Tafel plot method. The corrosion inhibition activities of compound (1Z,4Z)-2-
ethyl-10,10a-diphenyl-3,10a-dihydropyrazino[1,2-a][1,3,5]triazepine (1), 2,3-diphenyl-2,5-dihydro
pyrazin-2-amine (2), and 5-methyl-2,3-diphenylpyrazine (3) at 8 ppm concentration in 1% NaCl solution
were 30.02, 38.87, and 18.40%, respectively. The corrosion inhibition activities of these heterocyclic
compounds were comparable to those of imidazole and benzimidazole which have been formerly known
as potential corrosion inhibitors.
237
PENDAHULUAN
Korosi merupakan salah satu masalah tertua di industri karena di dalam hampir semua proses
industri, peralatan berbasis logam mengalami interaksi terbuka dengan lingkungan kerja di sekitarnya.
Proses korosi yang terjadi pada pipa saluran di pertambangan gas dan minyak bumi, terutama yang
diinduksi oleh adanya gas karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), dan air, merupakan masalah
serius selama bertahun-tahun. Biaya pemeliharaan dan penggantian pipa menjadi sangat membengkak
yang menyebabkan biaya produksi di perindustrian gas dan minyak bumi menjadi tidak efisien, di
samping proses pengerjaannya yang memakan waktu dan tidak efektif. Salah satu cara yang paling
efektif untuk melindungi bagian dalam pipa adalah dengan menggunakan inhibitor korosi organik1-6.
Banyak studi telah dilakukan mengenai hubungan antara struktur inhibitor korosi senyawa
organik dan keaktifan inhibisi korosinya terhadap logam, khususnya logam baja karbon yang biasa
digunakan pada pipa kilang gas dan minyak bumi. Beberapa studi telah dilakukan untuk mempelajari
pengaruh gugus fungsi yang mengandung unsur oksigen, nitrogen, dan belerang dalam senyawa asiklik
maupun heterosiklik, terhadap kemampuannya menghambat korosi7-12. Ada 3 kelompok senyawa kimia
organik yang berpotensi memiliki daya inhibisi korosi, yaitu (i) senyawa amina, (ii) senyawa heterosiklik
yang memiliki gugus fungsi nitrogen, dan (iii) senyawa yang memiliki gugus fungsi belerang – amida
dan karbamida7-9. Di antara ketiga kelompok senyawa organik tersebut, kelompok senyawa yang kedua
dipilih oleh tim peneliti untuk disintesis dan kemudian diuji daya inhibisi korosinya terhadap logam baja
karbon dalam larutan NaCl 1%. Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti dapat menguraikan
hubungan struktur senyawa heterosiklik hasil sintesis dengan keaktifan atau daya inhibisi korosinya.
Selain itu, senyawa produk hasil sintesis dibandingkan daya inhibisi korosinya dengan senyawa
imidazola dan benzimidazola yang telah diteliti memiliki potensi sebagai inhibitor korosi2-7.
Oven mikrogelombang banyak digunakan untuk keperluan rumah tangga, terutama sebagai
alat pemanas makanan. Frekuensi mikrogelombang yang diterapkan untuk keperluan rumah tangga
maupun untuk keperluan sintesis senyawa kimia adalah 2.45 GHz (setara dengan panjang gelombang
12.24 cm)13,14. Para ilmuwan di berbagai belahan dunia telah menyadari betapa efektifnya penggunaan
mikrogelombang dalam berbagai keperluan ilmiah, di antaranya untuk penyiapan contoh yang akan
dianalisis, pengolahan air limbah, teknologi polimer, desain dan sintesis obat-obatan dan keramik, serta
hidrolisis protein dan peptida13-16. Hal terpenting dalam proses reaksi kimia yang menggunakan
mikrogelombang dibandingkan dengan metode konvensional adalah reaksi yang lebih cepat, rendemen
yang tinggi, dan reaksi yang lebih ‘bersih’ (sedikit produk samping maupun limbah) (13, 14). Metode
sintesis senyawa organik berbantuan mikrogelombang (MAOS) telah menjadi bagian tidak terpisahkan
dalam setiap laboratorium sintesis organik modern dewasa ini13-16. Oleh karena itu, tim peneliti
menerapkan metode MAOS untuk mensintesis beberapa senyawa heterosiklik yang berpotensi sebagai
inhibitor korosi.
PERCOBAAN
Umum
Semua reagen yang digunakan adalah dalam spesifikasi GR (grade) dan semua pelarut yang
digunakan didistilasi dahulu segera sebelum digunakan. Sintesis senyawa heterosiklik menggunakan
metode MAOS dengan oven mikrogelombang domestik merek GE tipe JEI642WC sebagai reaktor
sintesis. Semua data pada percobaan yang dilakukan dicirikan menggunakan spektrofotometer
inframerah (IR) metode pelet KBr, dengan instrumen Buck-IR® di Laboratorium Kimia Organik, Program
Studi Kimia, FMIPA, ITB. Penentuan titik leleh produk sintesis menggunakan radas titik leleh Fisher-
Johns®. Struktur produk sintesis dielusidasi berdasarkan spektrum resonansi magnetik inti-1H dan -13C
238
(1H- dan 13C-NMR) yang diukur dalam pelarut aseton-d6 atau CDCl3, menggunakan instrumen NMR
JEOL DELTA 400 MHz, di Department of Chemistry, Universiti Kebangsaan Malaysia. Penentuan daya
inhibisi korosi ester histidina menggunakan instrumen VoltaLab®, dengan elektrode baja karbon sebagai
elektrode kerja, elektrode platinum sebagai elektrode bantu, dan elektrode kalomel jenuh sebagai
elektrode pembanding.
Sebanyak 2 mmol benzil, 2 mmol propionaldehida, dan 2 mmol amina [dietilenatriamina (DETA)
untuk sintesis senyawa 1; etilenadiamina (EDA) untuk sintesis senyawa 2; dan 1,2-diaminopropana
untuk sintesis senyawa 3] ditempatkan dalam labu Erlenmeyer 50 ml. Ke dalam campuran reaksi
ditambahkan 20 mmol amonium asetat (NH4OAc) dalam 10 ml asam asetat glasial (CH3COOH).
Selanjutnya, campuran reaksi diaduk rata dan dimasukkan ke dalam oven mikrogelombang. Penyinaran
gelombang mikro dilakukan pada daya 700 W dengan waktu reaksi 50−65 detik. Setelah didinginkan
sampai 40 oC, ke dalam campuran reaksi ditambahkan tetes demi tetes larutan NH4OH jenuh dalam
penangas es (suhu 0 oC) sambil diaduk. Endapan yang terbentuk disaring dengan corong Büchner dan
dicuci dengan air demineralisasi. Residu yang merupakan produk kasar dimurnikan dengan
kromatografi lapis tipis preparatif menggunakan fase gerak n-heksana-etil asetat (7:3, % [v/v]). Hasil
pemisahan dimurnikan dengan cara rekristalisasi dalam campuran pelarut n-heksana-etil asetat (1:1, %
[v/v]). Selanjutnya, produk murni dicirikan dengan spektrofotometer IR, 1H-NMR. dan 13C-NMR.
Sebanyak 2 mg contoh dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 1% (b/v). Larutan NaCl 1%
dijadikan sebagai larutan blangko dalam uji korosi menggunakan metode Tafel. Larutan blangko
dituangkan ke dalam gelas kimia 400 ml yang dilengkapi pengaduk magnet. Elektrode kerja (baja
karbon), elektrode pembanding (kalomel jenuh), dan elektrode bantu (platinum) dicelupkan ke dalam
larutan dan dihubungkan dengan instrumen VoltaLab®. Larutan dijenuhkan dengan gas CO2 selama 10
menit. Pengukuran larutan contoh menggunakan prosedur yang sama dengan larutan blangko.
Keaktifan atau daya inhibisi korosi senyawa yang dilarutkan dalam larutan contoh dihitung dengan
persamaan berikut:
239
O
Tabel 1 Data bilangan gelombang (cm-1) dari spektrum inframerah senyawa 1, 2 dan 3
Contoh Bilangan Gelombang (cm-1 )
Senyawa 1 3398, 3065, 2962, 2924, 1736, 1680, 1602, 1509, 1453, 1382, 1207,
(produk percobaan 1) 1173, 971, 878, 722, 699
Senyawa 2 3424, 3117, 1736, 1609, 1451, 1397, 1169, 1109, 1072, 1012, 986, 919,
(produk percobaan 2) 766, 693
Senyawa 3 3450, 3168, 3078, 3027, 1747, 1736, 1647, 1541, 1520, 1460, 1397,
(produk percobaan 3) 1214, 1177, 1109, 1076, 1016, 770, 699
Hasil interpretasi data spektrum IR belum dapat menentukan struktur senyawa produk sintesis
karena spektrum IR hanya mengindikasikan puncak-puncak pada bilangan gelombang tertentu yang
mewakili gugus fungsi dalam senyawa. Serapan vibrasi ulur aromatik dan alkil senyawa 1 muncul pada
bilangan gelombang 2924–3065, 1382, 1173–1207, dan 699–971 cm-1. Gugus amino dan vibrasi ulur
ikatan C=N muncul pada bilangan gelombang 3398 dan 1453–1736 cm-1. Gugus aromatik pada
senyawa 2 terindikasi pada bilangan gelombang 3117, 1012–1169, dan 699–971 cm-1. Vibrasi ulur C-C
tampak pada bilangan gelombang 1397 cm-1. Gugus amino muncul pada bilangan gelombang 3424 cm-
1. Vibrasi ulur untuk ikatan C-N dan C=N terindikasi pada bilangan gelombang 1451–1736 cm-1. Pada
senyawa 3 tampak adanya gugus aromatik dan alkil yang terindikasi pada bilangan gelombang 3027–
3168, 1397, 1016–1214, dan 699–766 cm-1. Gugus amino dan vibrasi ulur ikatan C-N dan C=N untuk
senyawa 3 terlihat pada bilangan gelombang 3450 dan 1460–1736 cm-1. Berdasarkan analisis data
spektroskopi IR, dapat disimpulkan bahwa senyawa 1, 2, dan 3 memiliki struktur yang mengandung
kerangka aromatik, gugus amino, dan ikatan C-N maupun C=N. Elusidasi struktur yang lebih lengkap
didasarkan pada hasil analisis spektrum 1H- dan 13C-NMR senyawa 1, 2, dan 3 (Tabel 2). Penamaan
senyawa 1, 2, dan 3 menurut kaidah IUPAC berturut-turut adalah (1Z,4Z)-2-etil-10,10a-difenil-3,10a-
dihidropirazino[1,2-a][1,3,5]triazepina; 2,3-difenil-2,5-dihidropirazin-2-amina; dan 5-metil-2,3-
difenilpirazina17.
240
Tabel 2 Hasil analisis data spektrum 1H- dan 13C-NMR senyawa 1, 2, dan 3
Senyawa Struktur berdasarkan data spektrum 1H- dan 13C-NMR
6.4
H H
4.71 H 4.37
H 114.6
109.5 H
H 2.21 120.1
N 124.6 N
NH 130.1N NH
7.44 7.63N 7.98 129.2 H
172.4 130.7
H6.4 130.5
7.77 135.9 64.9
127.3 134.2
7.32
N N
160.7
7.44 7.63
7.77
129.2 130.1 130.7 133.8
1 7.98
1.30 7.77 23.3 130.5
0.88 14.3
1H-NMR (aseton-d6): δ 7.98–7.95 (dd J = 8 dan 2 Hz, 2H), 7.77–7.75 (dd, 2H), 7.63–7.60 (m,
2H), 7.46–7.32 (m, 3H), 6.4 (m, 2H), 4.37 (d, 1H), 4.37 (s, 1H), 2.21 (s, 1H), 1.30 (t, 2H), 0.88–
0.83 (t, 3H)
13C-NMR (aseton-d6): 172.4, 160.7, 135.9, 134.2, 133.8, 130.7, 130.5, 130.1, 129.2, 127.3,
1H-NMR (aseton-d6): δ 8.65 (s, 1H), 7.65–7.62 (dd, J = 8 dan 2 Hz, 2H, 7.45–7.39 (dd J = 8
dan 2 Hz, 3 H), 7.38–7.26 (m, 5H), 3.61 (s, 2H), 2.14 (b, 2H)
13C-NMR (aseton-d6): δ 160.4, 149.2, 143.1, 139.5, 130.7, 130.5, 130.1, 129.5, 129.0, 128.7,
241
H2 N
O
O +
NH NH
+ NH4OH
+
H
NH
HOAc N N
-H2O
-2 H2O
H2 N kalor
Benzil
N HN
DETA
H
NH2 N
H
kalor
H
H
H+ NH2
H H H
H
N NH
H NH
H
N
N
geseran hidrida, -H2 H
H N
N
N
kalor
kalor
H
1 N N
Gambar 1 Mekanisme reaksi pembentukan senyawa 1 dengan prazat benzil, DETA, NH4OAc,
propionaldehida, dan CH3COOH.
H NH
O
H2N propionaldehida
O
+ HOAc
+ + NH4OH N
kalor -2 H2O
NH2
H 2N
Benzil EDA
NH2 NH
N N N N
H
2
Gambar 2 Mekanisme reaksi pembentukan senyawa 2 dengan prazat benzil, EDA, NH4OAc,
propionaldehida, dan CH3COOH.
242
O O HOAc
O NH2
O
+ + H OH
propionaldehida
NH2
+ NH4OH -H2O N -H2O N
N
Benzil 1,2-diaminopropanakalor H
H2N
H2O
HN N N - H 2O
N N
N H N N
H2 C H+ H CH2 H
H+ H2 C
OH-
N N N N
H3C H3 C
3
243
Tujuan perbandingan daya inhibisi korosi senyawa produk sintesis dengan imidazola dan
benzimidazola adalah untuk menunjukkan bahwa senyawa heterosiklik 1, 2, dan 3 juga memiliki potensi
sebagai inhibitor korosi, sebagaimana halnya senyawa imidazola dan benzimidazola yang telah diteliti
memiliki potensi tersebut. Senyawa 1, 2, dan 3 merupakan senyawa heterosiklik yang mengandung
atom N dan gugus aromatik benzena yang dapat berinteraksi dengan permukaan logam besi. Senyawa
2 memiliki daya inhibisi korosi lebih baik daripada senyawa imidazola dan benzimidazola karena adanya
gugus –NH2 tambahan yang dapat meningkatkan daya adsorpsinya pada permukaan logam. Senyawa
1 pun memiliki daya inhibisi korosi lebih baik daripada imidazola dan benzimidazola karena lebih
banyaknya gugus fungsi –NH maupun –N=C- yang berpotensi untuk dapat berinteraksi dengan orbital d
logam. Daya inhibisi korosi senyawa 1 lebih kecil daripada 2 karena struktur senyawa 1 lebih meruah
daripada senyawa 2, sehingga probabilitas senyawa 1 untuk teradsorpsi dalam susunan rapat pada
permukaan logam lebih sedikit dibandingkan dengan senyawa 2. Sementara itu, senyawa 3 yang
diharapkan memiliki daya inhibisi paling besar di antara kelima senyawa pada Tabel 3, karena
merupakan sistem aromatik dengan ikatan rangkap terkonjugasi, justru memiliki daya inhibisi korosi
terendah. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus metil pada pirazina yang menyebabkan struktur 2,3-
difenilpirazina (senyawa 3) menjadi tidak cukup planar, sehingga proses adsorpsinya pada permukaan
logam menjadi kurang efektif.
SIMPULAN
Pada penelitian ini telah disintesis tiga senyawa heterosiklik, yaitu (1Z,4Z)-2-etil-10,10a-difenil-
3,10a-dihidropirazino[1,2-a][1,3,5]triazepina (senyawa 1); 2,3-difenil-2,5-dihidropirazin-2-amina
(senyawa 2); dan 5-metil-2,3-difenilpirazina (senyawa 3). Metode MAOS dalam sintesis ketiga senyawa
ini menunjukkan efisiensi dalam hal waktu reaksi, dan rendemen kimiawinya tinggi. Ketiga senyawa
heterosiklik produk sintesis menunjukkan potensi sebagai inhibitor korosi dengan daya inhibisi korosi
sedang, yaitu 30.02% (senyawa 1), 38.87% (senyawa 2), dan 18.40% (senyawa 3), yang layak
disepadankan dengan potensi inhibisi korosi senyawa imidazola dan benzimidazola. Pasangan elektron
bebas atom nitrogen dan elektron pi terdelokalisasi dalam gugus aromatik yang terintegrasi dalam
struktur ketiga senyawa heterosiklik hasil sintesis, memiliki peranan penting dalam proses
teradsorpsinya ketiga senyawa tersebut pada permukaan logam sehingga dapat melindungi permukaan
logam terhadap lingkungan oksidatif di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hong T, Jepson WP. Corrosion inhibitor studies in large flow loop at high temperature and high
pressure. Corrosion Sci. 2001;43:1839-1849.
2. Cao P, Gu R, Tian Z. Surface-enhanced Raman spectroscopy studies on the interaction of imidazole
with a silver electrode in acetonitrile solution. J Phys Chem B. 2003;107:7769-7773.
4. Zhao L et al. Corrosion inhibition approach of oil production systems in offshore oilfield. Mat
Corrosion. 2004;55:684-688.
244
5. Edwards A, Osborn C, Webster DK, Ostovar JP, Doyle M. Mechanistic studies of the corrosion
inhibitor oleic imidazoline. Corrosion Sci. 1994;36:315-325.
6. Hassanzadeh A et al. Inhibitor selection based on nichols plot in corrosion studies. Acta Chim Slov.
2004;51:305-316.
7. Gomma GK. Effect of azole compounds on corrosion of copper in acid medium. Mat Chem and Phys.
1998;56:27-34.
8. Popova A, Christov M, Raicheva S, Sokolova E. Adsorption and inhibitive properties of benzimidazole
derivatives in acid mild steel corrosion. Corrosion Sci. 2004;46:1333-1350.
9. Raicheva SN, Aleksiev BV, Sokolova EI. The effect of the chemical structure of some nitrogen- and
sulphur-containing organic compounds on their corrosion inhibiting action. Corrosion Sci.
1992:34:343-350.
10. Ramachandran S, Jovancicevic V. Molecular modelling of the inhibition of mild steel carbon dioxide
corrosion by imidazolines. Corrosion. 1999;55:259-267.
11. Ramachandran S et al. Atomistic simulations of oleic imidazolines bound to ferric clusters. J Phys
Chem A. 1997;101:83-89.
12. Ramachandran S et al. Self-assembled monolayer mechanism for corrosion inhibitor of iron by
imidazolaines. Langmuir. 1996;12:6419-6428.
13. Kappe CO. Controlled microwave heating in modern organic synthesis. Angew Chem Int.
2004;43:6250-6284.
14. Usyatinsky AY, Khmelnitsky YL. Microwave-assisted synthesis of substituted imidazolae on a solid
support under solvent-free conditions. Tetrahedron Lett. 2000;41:5031-5034.
15. Wolkenberg SE et al. Eficient synthesis of imidazoles from aldehydes and 1,2-diketones using
microwave irradiation. Organic Lett. 2004;6:1453-1456.
16. Abdel-Jalil RD, Voelter W, Stoll R. Microwave-assisted synthesis of 1-aryl-3-acetyl-1,4,5,6-
tetrahydrobenzimidazo[1,2-d][1,2,4]triazine: First example of a novel ring system. Tetrahedron
Lett. 2005;46:1725-1726.
17. CambridgeSoft®. ChemOffice Ultra 8.0.3, copyright (1985-2003)
245
PENINGKATAN KANDUNGAN UNSUR HARA KALIUM
DAN pH TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN DREGS
(LIMBAH BAGIAN RECAUTICIZING PABRIK PULP)
Roza Linda, Rini1, Admin Alif2, Teguh Budi Santoso3, Akmal Mukhtar4
1 Program Studi Kimia, Jurusan PMIPA, FKIP, Universitas Riau
2 Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Andalas
3 Jurusan Tanah, Faperta, Universitas Andalas
4 Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Riau
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian penggunaan dregs (limbah bagian recauticizing pabrik pulp) sebagai
amelioran untuk meningkatkan kandungan unsur hara makro kalium dan pH tanah gambut. Tanah
gambut diambil dari desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau. Tanah gambut yang telah
dikeringanginkan ditempatkan pada petakan kayu dan ditaburi dregs dengan dosis 100, 200, dan 300
g/petak (5, 10, dan 15 ton/ha). Sebagai indikator digunakan tanaman jagung. Dari penelitian diperoleh
bahwa pemberian dregs dengan dosis 300 g/petak (15 ton/ha) pada tanah gambut dapat meningkatkan
pH dari 3.20 menjadi 6.36 dan kandungan K dari 295.54 menjadi 407.16 mg/kg.
ABSTRACT
The research of using dregs (pulp recauticizing’s waste) as ameliorant to increase potassium
macronutrient content and pH of humic soil had been carried out. The humic soil used in the research
was taken from Rimbo Panjang village, Kampar Regency, Riau. The air-dried humic soils were placed in
wooden boxes and were poured by dregs with dosage variations of 100, 200, and 300 g/box (5, 10, and
15 tons/ha). Corn plants were used as indicator. From the research it was found that dregs in 300g/box
(15 ton/ha) dosage could increase the pH of humic soil from 3.20 to 6.36 and increase the potassium
content of humic soil from 295.54 to 407.16 mg/kg.
PENDAHULUAN
Riau merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki lahan gambut yang luas.
Menurut data statistik, 52.63% dari seluruh dataran di daerah Riau merupakan tanah gambut, yaitu
mencapai 1.87 juta hektar (Bappeda Riau 1998). Pemanfaatan tanah gambut ini sebagai lahan
pertanian terhambat oleh beberapa kendala, di antaranya keasaman yang tinggi (pH rendah),
rendahnya unsur hara (N, P, K, Ca, Mg), kelimpahan Al dan Fe, serta pelindian (leaching) yang sangat
besar (Darmawijaya 2000; Sanchez 1986). Kalium merupakan salah satu unsur hara makro yang
dibutuhkan tumbuhan. Unsur ini membantu sintesis karbohidrat dalam tumbuhan dan memperkuat
tumbuhan sehingga daun, bunga, dan buah tidak mudah gugur. Kalium juga merupakan sumber daya
246
tahan tumbuhan terhadap penyakit dan kekeringan serta dapat meningkatkan mutu biji (Rismunandar
1984).
Salah satu upaya memperbaiki sifat buruk tanah gambut adalah dengan pemberian amelioran
dan pemupukan yang tepat (Sarief 1990; Prasetyo 1997). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa
pemberian amelioran seperti kapur, pupuk buatan, atau pupuk organik sangat bermanfaat dalam
meningkatkan mutu dan produktivitas tanah pertanian (Sastino 1989; Prasetyo 1996). Secara umum,
pemberian amelioran ke dalam tanah gambut dimaksudkan untuk menetralkan asam-asam organik
(asam fenolik dan asam karboksilat) yang bersifat meracun. Pengaruhnya yang sangat menonjol
terhadap kimiawi tanah ialah naiknya pH dan kandungan hara kalium, sehingga reaksi tanah mengarah
ke netral. Selain itu, pertumbuhan dan produksi tanaman dapat diperbaiki (Halim 1989).
Amelioran yang digunakan pada penelitian ini adalah dregs. Dregs merupakan hasil sampingan
dari bagian recauticizing pabrik pulp, yaitu endapan yang terbentuk dari proses penjernihan cairan hasil
produksi bagian pemulihan di pabrik pulp. Endapan ini tidak berguna lagi untuk proses pembuatan pulp
selanjutnya. Dregs memiliki pH yang tinggi (9−12) sehingga pH tanah gambut dapat diharapkan
meningkat, dan tidak mengandung lagi zat-zat yang berbahaya bagi tanah dan tanaman. Dregs juga
mengandung sejumlah unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman, terutama unsur
nitrogen dan ion fosfat, sehingga cocok untuk dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Aktivitas mikrob
tanah gambut juga dapat ditingkatkan oleh dregs sehingga akan mempercepat proses dekomposisi.
Jumlah dregs semakin lama semakin meningkat. Ada dua sisi kebutuhan yang bisa
dihubungkan dan saling menguntungkan, yaitu mengurangi jumlah limbah dregs yang dibuang ke
lingkungan, serta memanfaatkannya sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan
ketersediaan unsur hara tanah, di antaranya kalium, agar tanah gambut menjadi lebih produktif.
Pemanfaatan dregs sebagai amelioran telah dilakukan untuk tanaman akasia. Pemberian dregs
sebanyak 2 kg per lubang meningkatkan 71% pertumbuhan tanaman akasia dibandingkan dengan
kontrol. Di Finlandia pada tahun 1992, dregs juga telah diaplikasikan sebanyak 60,000 ton untuk
pengelolaan tanah dalam pengembangan tanaman kehutanan (Gullichsen & Paulapuro 1998). Namun,
penelitian pemanfaatan dregs sebagai amelioran untuk tanaman pangan belum pernah dilakukan.
Karena itu, sebagai indikator pada penelitian ini digunakan tanaman jagung. Alasannya, tanaman
jagung memiliki kelengkapan organ tanaman (akar, batang, daun, dan buah), menghendaki pH yang
mendekati netral, dan masa tanamnya tidak begitu lama.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan Penelitian
Tanah gambut untuk penelitian ini berasal dari desa Rimbo Panjang, 18 km di luar kota
Pekanbaru. Tanah gambut diambil secara acak dengan alat bor tanah pada kedalaman 20 cm dan
dikeringanginkan selama 1 minggu. Dregs diambil dari tempat penampungan dan dikeringanginkan juga
selama 1 minggu.
Tanah gambut yang telah dikeringanginkan dimasukkan ke dalam petak-petak percobaan yang
dibuat dari kayu (50 cm × 50 cm × 50 cm). Bobot tanah gambut yang dimasukkan ke dalam setiap
247
petak ditimbang sama banyak (kira-kira 31 kg). Tinggi tanah gambut dalam petak percobaan kurang
lebih 40 cm.
Dalam penelitian ini digunakan dengan 1 faktor, 4 perlakuan, dan 3 kali ulangan. Perlakuan D0
ialah tanah gambut yang tidak diberi dregs, sementara perlakuan D1, D2, dan D3 ialah yang dengan
pemberian dregs sebanyak berturut-turut 100, 200, dan 300 g/petak (atau 5, 10, dan 15 ton/ha). Dua
minggu sebelum penanaman, dregs ditaburkan secara merata pada permukaan tanah gambut dalam
petak percobaan sesuai dosis perlakuan. Gambar 1(a) menunjukkan dregs yang digunakan, dan
Gambar 1(b) memperlihatkan kebun penelitian tempat percobaaan dilakukan.
(a) (b)
Gambar 1 Dregs yang digunakan (a); Kebun penelitian tempat percobaan dilakukan (b).
Sebagai indikator produktivitas tanah digunakan tanaman jagung varietas Arjuna. Tiap petak
ditanam dengan sistem tunggal, setiap lubang ditanami 3 biji. Setelah 2 minggu dilakukan penjarangan
dengan meninggalkan 1 batang pada setiap rumpun.
Uji Laboratorium
Uji laboratorium meliputi analisis pH dan kandungan K pada dregs, tanah gambut awal, dan
tanah gambut setelah ditambahkan dregs (2, 8, dan 14 minggu). Contoh dikeringanginkan, digiling, dan
diayak dengan ayakan berdiameter 300 µm. Sebanyak 10 g kemudian dimasukkan ke dalam gelas
piala, ditambahkan 25 ml akuades, dan diaduk selama 30 menit. Setelah itu, diukur pH-nya dengan pH-
meter. Sebanyak 2.5 g lainnya diberi 50 ml amonium asetat 1 N (pH 7), dikocok selama 30 menit,
disaring, dan ditambahkan 2 ml LaCl3 1%. Filtrat yang diperoleh dianalisis kandungan kaliumnya
dengan fotometer nyala Corning 400 pada panjang gelombang 767.5 nm.
248
Penambahan dregs dengan dosis 300 g/petak memberikan pengaruh yang hampir sama, tetapi
tanaman indikator lebih cepat berbuah. Menurut Hardjowigeno (1999), tanaman yang cukup unsur
kalium akan memiliki ruas yang panjang dan batangnya menjadi tinggi dengan daun yang tidak
mengerut atau keriting.
Hal ini menunjukkan bahwa dregs dapat berfungsi sebagai amelioran yang relatif murah
(ekonomis) untuk memperbaiki beberapa sifat kimia tanah, yaitu meningkatkan pH dan ketersediaan
unsur K dalam tanah gambut. Namun, pertumbuhan tanaman jagung yang dihasilkan masih belum
optimum. Dengan pemberian dregs, pada daun masih terlihat garis-garis tipis berwarna kekuningan
pada masa inkubasi 14 minggu, yang menunjukkan masih kurangnya unsur kalium (Novizan 2005).
Foto daun, buah, dan akar jagung setelah inkubasi selama 14 minggu diperlahatkan pada Gambar 3.
No Contoh pH K+ (mg/kg)
1 Dregs 10.04 1353.44
2 Tanah gambut (awal) 3.20 295.54
249
7
pH
3
0
0 g/petak 100 g/petak 200 g/petak 300 g/petak
Dosis Dregs
Peningkatan pH tanah gambut terjadi karena proses netralisasi oleh dregs yang bersifat basa
(pH 10.04). Kation-kation basa dalam dregs bereaksi dengan tanah gambut selama inkubasi dan
didorong oleh adanya penyiraman.
Kalium merupakan salah satu unsur hara makro selain nitrogen dan fosforus. Kalium diserap
oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Di dalam tanah ion tersebut bersifat sangat dinamis. Kalium di
dalam jaringan tanaman tetap berbentuk ion K+ sehingga siap dipindahkan dari satu organ ke organ lain
yang membutuhkan. Secara umum, peran kalium berhubungan dengan proses metabolisme, seperti
fotosintesis dan respirasi. Gejala kekurangan kalium dapat menyebabkan tanaman menjadi layu dan
pertumbuhannya terhambat (Novizan 2005; Hakim et al. 1992 ).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi dregs mampu meningkatkan jumlah kalium tanah
gambut. Ketersediaan kalium meningkat tajam dalam waktu inkubasi 8 minggu menjadi berturut-turut
402.27, 406.37, dan 407.16 mg/kg untuk dosis dregs 100, 200, dan 300 g/petak.
450
Konsentrasi K+ (mg/Kg)
360
270
180
90
0
0 g/petak 100 g/petak 200 g/petak 300 g/petak
Dosis Dregs
Setelah waktu inkubasi empat belas minggu terjadi penurunan kandungan kalium tersedia pada
tanah gambut yang diberi dregs. Hal ini dapat terjadi karena terserapnya kalium-tersedia oleh tanaman
jagung. Selain itu, struktur tanah gambut yang kurang menahan air membuat kalium-tersedia mudah
terlindikan oleh penyiraman yang merembes melalui pori-pori petak percobaan.
250
SIMPULAN
Pemberian dregs dapat menaikkan pH tanah gambut daerah Rimbo Panjang Riau dari 3.2
hingga mendekati netral (6,36). Pemberian dregs juga mampu meningkatkan kandungan kalium-
tersedia tanah gambut dari 295.54 menjadi 407.16 mg/kg dengan pemberian dregs sebanyak 300
g/petak (15 ton/ha). Karena itu, dregs sangat berpotensi dijadikan sebagai amelioran.
Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alloway BJ. 1995. Heavy Metal in Soils. Ed ke-2. London: Blackie Academic & Professional.
[Bappeda Riau] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau. 1998. Kebijaksanaan Pemerintah
dalam Pengembangan Gambut di Daerah Riau. Pekanbaru: Bappeda Riau.
Buckman HO, Brady NC. 1982. Ilmu Tanah. Soegiman, penerjemah. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Darmawijaya M. 2000. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta: Gajah Mada Univ Pr.
Gullichsen J, Paulapuro H. 1998. Environmental Control. Helsinki: Faped Oy.
Hakim N et al. 1992. Dasar- dasar Ilmu Tanah. Lampung: Unsri Pr.
Halim. 1989. Perbaikan tanah gambut pedalaman melalui peningkatan kejenuhan basa untuk budi daya
kedelai. Di dalam: Prosiding Seminar Tanah Gambut Untuk Perluasan Pertanian. Medan:
Universitas Sumatera Utara. Vol 03, hlm 80.
Jones UC. 1972. Soils & Soil Fertility. New York: Macmillan.
Leiwakabessy FM. 1988. Kesuburan Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nambiar EKS, Brown AG. 1997. Management of Soil, Nutrients, and Water in Tropical Plantation
Forests. Canberra: ACIAR.
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Kanisius.
Paavilainen E, Paivanen J. 1995. Peatland Forestry, Ecology, and Principles. Berlin: Springer-Verlag.
Prasetyo TB. 1996. Peningkatan serapan fosfat pada tanah gambut melalui pengendalian asam-asam
meracun. Di dalam: Prosiding Seminar HITI; Bogor.
Prasetyo TB. 1997. Kajian Adsorpsi Cu dan Zn pada Berbagai Tingkat Dekomposisi Gambut. Padang:
Lembaga Penelitian Universitas Andalas.
Rachim Y. 2000. Penggunaan logam-logam polivalen untuk meningkatkan ketersediaan fosfat dan
produksi pada tanah gambut [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sanchez PA.1976. Properties and Management of Soils in The Tropics. New York: J Wiley.
Sarief ES. 1990. Ilmu Tanah Pertanian. Bandung: Pustaka Buana.
Sastino. 1989. Karakterisasi Deposit Mineral Zeolit dalam Aspek Pemanfaatannya di bidang Pertanian.
Kongres HITI V. Medan. hlm 1-14.
Tan KH. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Goenadi DH, Radjagukguk B, penerjemah. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Pr.
Thompson LM, Troeh FR. 1978. Soil Fertility. Ed ke-4. New York: Mc-Graw Hill.
251
PEMANFAATAN KERTAS BEKAS SEBAGAI BAHAN BAKU
ALTERNATIF PEMBUATAN ETANOL
Agus Rochmat*, Indar Kustiningsih, Dedik Dermady, Asih Suharsih
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Cilegon, Banten
ABSTRAK
Pembuatan etanol dari kertas bekas telah dilakukan dengan menggunakan proses hidrolisis
dan fermentasi dengan khamir Saccharomyces cerevisiae. Kertas yang digunakan ialah kertas koran
dan kertas bekas-cetak (print out), dengan kertas HVS dan kertas koran polos sebagai pembanding-
nya. Hidrolisis dilakukan selama 1 dan 3 jam, sedangkan fermentasi dilakukan dalam 5, 7, dan 9 hari.
Etanol yang dihasilkan dianalisis menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa waktu fermentasi sangat berpengaruh terhadap etanol yang dihasilkan
dibandingkan dengan waktu hidrolisis. Etanol yang dihasilkan dari kertas print out dengan waktu
fermentasi 5 jam dan hidrolisis 1 jam adalah 1.474 ml/g sedangkan dari kertas HVS 1.963 ml/g.
ABSTRACT
Production of ethanol from used paper had been conducted by using hydrolysis process and
fermentation with Saccharomyces cerevisiae yeast. Newspaper and used print out paper were used in
this research, with HVS paper and plain newspaper as the comparator. Hydrolysis were carried out for 1
and 3 hours whereas fermentation was conducted in 5, 7, and 9 days. Ethanol yields were observed by
gas chromatography with flame ionization detector. The results showed that fermentation time was very
influent to the yield of ethanol compared with hydrolysis time. The ethanol produced from used print out
paper with fermentation for 5 hours and hydrolysis for 1 hour equals to 1.474 ml/g, while HVS paper
1.963 ml/g.
PENDAHULUAN
Mutu bensin sebagai bahan bakar motor dinilai dari bilangan oktannya. Semakin tinggi bilangan
oktan, semakin baik pula bensin tersebut dalam pembakarannya. Hasil pembakaran dalam mesin motor
diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh per satuan volume. Bensin yang telah diberi aditif
tetraetiltimbel [TEL, Pb(C2H5)4] dikenal sebagai bensin premium. Penambahan TEL tersebut diharapkan
dapat meningkatkan bilangan oktan bensin1,2.
Dari segi pembakaran, aditif yang terkandung dalam bensin premium dapat mencemari udara
karena mengandung timbel (Pb). Unsur ini juga dapat masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan
anemia serta penurunan tingkat kecerdasan terutama pada anak. Jika mangan (Mn) yang mencemari
udara terhirup maka akan terakumulasi dalam otak dan dapat mengakibatkan parkinson. Selain itu, besi
(Fe) sebagai aditif dalam bensin dapat mengakibatkan hipertensi dan penyakit jantung1,2.
* Alamat korespondensi:
Arochmat_untirta@yahoo.com
252
Mengingat adanya bahaya penggunaan aditif bensin terhadap lingkungan sekitar, perlu dicari
pengganti TEL pada bensin. Bahan aditif yang baru ini harus lebih ramah lingkungan dan bernilai
ekonomis, misalnya etanol.
Etanol dapat meningkatkan bilangan oktan seperti halnya timbel. Penggunaan etanol memiliki
beberapa keuntungan antara lain etanol tergolong bahan bakar bersih, karena tidak mengeluarkan
emisi gas beracun, dan harganya lebih murah jika dibandingkan dengan bensin bertimbel. Etanol dapat
dibuat dari bermacam-macam jenis bahan yang mengandung selulosa, salah satunya adalah kertas.
Kertas merupakan media komunikasi tertulis dan juga media informasi. Peningkatan pemakaian kertas
akan menaikkan jumlah sampah kertas. Menurut Irawadi, 35−53% sampah kota berupa kertas dan dari
jumlah itu, dihasilkan serat selulosa kurang lebih 23 juta ton/tahun3. Begitu pula pemaparan Wahyu
Widhi dalam penelitiannya, yaitu bahwa tahun 1995 kebutuhan kertas dan karton setiap tahunnya
mencapai 280 juta ton dan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 418 juta ton. Peningkatan
kebutuhan tersebut didasarkan pada data statistik dunia yang menunjukkan pertambahan jumlah
manusia dan konsumsi kertas setiap tahunnya. Kenyataannya, jumlah sampah kertas terus mengalami
peningkatan yang sangat besar. Daur ulang kertas pada tahun 1994 mencapai 108.5 juta ton dan pada
tahun 2010 diperkirakan mencapai 196.3 juta ton atau rata-rata meningkat 4% per tahun4.
Selulosa, yang merupakan komponen utama dari kertas, dapat dikonversi menjadi glukosa dan
kemudian difermentasikan menjadi etanol. Struktur selulosa yang kompleks menjadi penghalang utama
bagi mikroorganisme untuk mengubahnya menjadi etanol. Selulosa ini harus diputus menjadi monomer
glukosa sebelum diubah menjadi etanol. Pemutusan selulosa menjadi glukosa dilakukan melalui proses
hidrolisis menggunakan H2SO4 pada suhu 80 °C dilanjutkan dengan fermentasi glukosa oleh
Saccharomyces cerevisiae menjadi etanol. Pada penelitian ini digunakan medium sampah kertas yang
diolah menjadi etanol.
TINJAUAN PUSTAKA
Setiap hari, banyak kertas yang dipakai untuk sarana tulis-menulis dan media informasi. Produk
kertas tersebut umumnya dibuat hanya untuk sekali pakai, dan setelah itu menjadi sampah. Sampah
kertas biasanya dibakar dan sebagian kecil saja yang dijadikan bubur kertas untuk didaur-ulang.
Penggunaan selulosa dalam proses biokonversi cukup potensial dan merupakan salah satu alternatif
baru dalam menanggulangi permasalahan sampah kertas. Berkaitan dengan hal tersebut, proses
hidrolisis secara enzimatik merupakan alternatif yang baik. Enzim merupakan biokatalis yang dapat
meningkatkan laju reaksi hidrolisis dalam sel hidup tanpa dirinya mengalami perubahan apapun.
Hidrolisis enzimatik lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan
asam sulfat, dan hasilnya juga tinggi. Akan tetapi, biaya penggunaan enzim cukup tinggi. Dengan
hidrolisis enzimatik, limbah kertas dapat diolah menjadi glukosa yang kemudian dapat menghasilkan
etanol, tanpa menyebabkan pencemaran lingkungan oleh asam sulfat, yang biasanya digunakan.
Kandungan Kertas
Kertas HVS atau office paper mengandung sekitar 90% selulosa dan 10% lignin, sedangkan
kertas koran mengandung 60% selulosa dan 40% lignin. Kertas koran memiliki tekstur yang mirip
dengan kertas buram karena komposisi keduanya hampir sama. Kertas juga mengandung logam,
terutama kalsium, yang digunakan sebagai bahan pengisi kertas untuk meningkatkan transparansi dan
derajat putihnya. Magnesium juga terdapat dalam kertas untuk meningkatkan derajat putih, sedangkan
kadar mangan, besi ,dan tembaga relatif kecil5.
253
Selulosa
Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi: sekitar 1011 ton selulosa
dibiosintesis tiap tahun, dan sekitar 50%-nya berasal dari karbon tak-bebas di bumi. Selulosa terdapat
10−20% dalam daun kering, 50% dalam kayu, dan 90% dalam kapas. Selulosa merupakan polimer
linear dari β-(1,4’) D-glukosa. Hidrolisis total oleh asam anorganik dalam air terhadap selulosa hanya
menghasilkan D-glukosa. Hidrolisis sebagian juga menghasilkan disakarida yang disebut selobiosa,
yang dapat dihidrolisis lebih lanjut menjadi D-glukosa dengan katalis asam atau emulsi enzim. Selulosa
sendiri tidak mempunyai karbon hemiasetal sehingga tidak dapat mengalami mutarotasi atau dioksidasi
oleh pereaksi seperti Tollens. (Hemiasetal yang terdapat pada salah satu ujung molekul selulosa
hanyalah bagian kecil dari keseluruhan molekul, dan tidak memberikan sifat gula pereduksi.)
hidrolisis asam
Selulosa/pati Monosakarida (1)
fermentasi
Monosakarida Alkohol (etanol) (2)
Proses hidrolisis
Lignoselulosa, yang merupakan pelindung utama terhadap perusakan oleh jamur dan bakteri,
memiliki struktur yang kompleks, dan harus dipecah untuk selanjutnya dikonversi menjadi etanol.
Terdapat 3 macam proses hidrolisis yang menghasilkan berbagai macam gula yang dapat diubah
menjadi etanol, yaitu hidrolisis dengan asam encer, asam pekat, dan enzim6.
Hidrolisis dengan asam encer adalah teknologi tertua yang pertama kali dikomersialkan di
Jerman tahun 1898. Proses hidrolisis tersebut mampu memroduksi 7.6 l etanol per 100 kg limbah kayu
(18 galon per ton)7. Konsentrasi asam yang digunakan sekitar 2−5%6. Hemiselulosa dapat dihidrolisis
dengan katalis tersebut pada kondisi operasi yang sedang, tetapi kondisi ekstrem diperlukan untuk
menghidrolisis selulosa: suhu 160 °C dan tekanan sekitar 10 atm. Hanya sedikit glukosa yang diperoleh
dari proses hidrolisis ini sehingga kadar etanol yang didapatkan dari hasil fermentasi pun sedikit. Akan
tetapi, metode ini juga memiliki keuntungan, yaitu tidak diperlukan pengadaan kembali asam karena
proses tidak mengurangi asam dalam jumlah yang signifikan.
Proses hidrolisis dengan asam pekat memiliki sejarah yang panjang. Kemampuan asam pekat
untuk menghidrolisis selulosa pada katun tercatat pertama kali pada tahun 18838. Waktu yang
diperlukan untuk hidrolisis lebih lama, tetapi dihasilkan glukosa dalam jumlah yang lebih banyak. Asam
pekat dapat memutus ikatan hidrogen antarrantai selulosa, dan mengubahnya ke keadaan amorf.
Selulosa yang telah didekristalisasi ini akan berbentuk gel yang homogen dengan asam8. Pada
keadaan ini, selulosa sangat mudah mengalami hidrolisis; cukup digunakan suhu sedang, dengan
sedikit degradasi dapat terjadi. Kisaran konsentrasi asam yang digunakan adalah sekitar 10−30%6
dengan suhu dan tekanan operasi yang rendah. Namun, wadah yang berbeda dan proses pengadaan
kembali asam sangat diperlukan, karena asam banyak berkurang selama proses. Jamur Trichoderma
harzianum juga mampu memecah struktur selulosa yang kompleks menjadi monomer glukosa yang
lebih sederhana6.
Khamir (Yeast)
Khamir adalah sejenis jamur uniselular yang sangat kecil. Khamir berbentuk seperti telur yang
hanya dapat dilihat dengan mikroskop, berkembang biak dengan askospora, dan hidup berkoloni.
Habitat hidup khamir sangat luas: khamir biasanya hidup di daun tumbuhan dan bunga, tanah, dan air
asin. Khamir bereproduksi dengan membentuk aski yang terdiri atas 8 sel haploid askospora. Khamir
bersifat heterotropik, kekurangan klorofil, dan dapat dikenali oleh suatu pembagian yang besar dari
habitat alaminya. Dalam tanah dan air garam, khamir berperan dalam dekomposisi tanaman dan alga.
254
Gambar 1 Sel khamir (pembesaran 100×).
Sel khamir membutuhkan makanan sebagai energi untuk pertumbuhannya. Makanan kesukaan
khamir berupa zat gula, yaitu sukrosa, fruktosa, dan glukosa, serta maltosa. Oleh karena itu, khamir
biasa disebut jamur pemakan gula. Salah satu ciri utama khamir adalah kemampuannya untuk
memfermentasikan gula menjadi etanol.
Khamir yang biasa digunakan dalam fermentasi minuman beralkohol dan industri roti adalah S.
cerevisiae. Fungsi khamir dalam pembuatan roti adalah memfermentasikan gula dalam tepung atau
sebagai aditif dalam adonan, dengan kondisi pH pertumbuhan 2.4–8.6 dan pH optimum 4−5. Selain
menghasilkan alkohol, proses fermentasi juga menghasilkan karbon dioksida yang terlihat sebagai
gelembung kecil pada saat pengembangan adonan. Selain khamir roti, ada pula khamir yang dipakai
dalam pembuatan bir (Saccharomyces carlsbergensisi). Khamir jenis ini dipakai untuk fermentasi dasar
dan juga untuk menghasilkan sejenis bir yang lebih keras7.
Fermentasi
Fermentasi adalah perubahan kimia senyawa organik baik dalam keadaan aerob maupun
anaerob melalui kerja enzim yang dihasilkan oleh mikrob. Proses fermentasi dapat memecah bahan
organik kompleks dengan bantuan mikrob sehingga diperoleh bahan-bahan organik sederhana yang
diinginkan. Oleh sebab itu, fermentasi dapat menjadi teknologi tepat guna bila mudah dilaksanakan,
relatif murah, tidak menguras energi (bahan bakar dan tenaga manusia), dan berdampak positif9.
Selain senyawa karbohidrat, fermentasi juga dapat memecah protein dan lemak menjadi CO2,
H2O, serta energi dengan adanya mikroorganisme yang memiliki enzim tertentu. Proses ini biasanya
mengubah sifat bahan awal menjadi lebih baik, karena mikroorganisme bersifat katabolik. Sifat katabolik
ini akan memecah komponen yang kompleks menjadi sederhana (misalnya, protein menjadi asam
amino) dan mampu mensintesis beberapa vitamin B kompleks. Akibatnya, kadar serat kasar bahan
akan menurun selama proses fermentasi sebagai akibat kerja enzim selulase yang dihasilkan oleh
mikrob10. Reaksi kimianya adalah sebagai berikut:
khamir (enzim)
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 (4)
Dengan adanya oksigen, alkohol yang berasal dari fermentasi khamir akan mengalami fermentasi lebih
lanjut oleh bakteri, misalnya Acetobacter aceti, menjadi asam asetat seperti reaksi di bawah ini:
bakteri
C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O (5)
Etanol
Etanol merupakan suatu cairan jernih dan tidak berwarna yang mudah larut. Etanol, CH3CH2OH,
tergolong alkohol, senyawa yang memiliki gugus hidroksil (-OH) terikat dengan rantai atom karbon.
255
Alkohol pada dasarnya dapat digunakan sebagai obat. Akan tetapi, berbagai macam percobaan kimia
menunjukkan bahwa yang dapat dijadikan obat hanya produk hasil distilasi. Alkohol memiliki titik leleh –
114.1 οC, titik didih 78.5 οC, dan bobot jenis 0.789 g/ml pada suhu 20 οC. Karena titik lelehnya rendah,
alkohol digunakan sebagai cairan termometer pada suhu di bawah –40 οC11.
Etanol telah dibuat sejak zaman dahulu dengan fermentasi dari gula. Sebagian besar industri
pembuatan etanol masih menggunakan teknik ini untuk membuat etanol, dengan gula sebagai bahan
utamanya. Zimase, sejenis enzim dari khamir, dapat mengubah gula menjadi etanol dan CO2.
Etanol dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan dapat dicampur dengan
bensin untuk menghasilkan gasohol. Etanol dapat larut dalam air dengan berbagai komposisi dan biasa
digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan minyak wangi, cat, dan bahan peledak12.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas koran, kertas HVS, kertas tulis printer,
NaOH 2 N (Merck), H2SO4 98% (Merck), khamir roti, etanol absolut GR (Merck), dan akuades.
Peralatan yang digunakan untuk penyiapan contoh kertas antara lain alat pemotong kertas, blender,
corong Büchner, oven, mixer, agitator stirer, lempeng pemanas/penangas air, inkubator, alat-alat kaca,
serta termometer 100 oC. Adapun untuk analisis kadar etanol digunakan kromatografi gas (GC).
Pada tahap awal, kertas bekas dipotong-potong dengan ukuran 3 cm × 3 cm untuk memper-
luas permukaannya. Kemudian sebanyak 5 g kertas bekas tersebut ditambahkan 10 ml H2SO4 dan
dipanaskan. Proses hidrolisis dilakukan dalam termostat pada suhu konstan kurang lebih 80 °C selama
60 dan 180 menit. Penetralan pH campuran dilakukan dengan menambahkan NaOH 2 N5–8. Pada tahap
ini juga ditambahkan khamir roti Sacharomyces cerevisiae dan proses fermentasi dimulai. Setelah
melewati proses fermentasi selama yang telah ditentukan, contoh diambil untuk dianalisis secara
kuantitatif menggunakan GC dengan detektor ionisasi nyala (FID) Hp 6810 series dengan gas
pembawa N2, suhu kolom 160 οC, suhu injeksi 190 οC, kecepatan 5, kemiringan 70, dan jarak 102.
Proses pembuatan etanol dari kertas bekas dilakukan dalam 2 tahap, yaitu hidrolisis dengan
katalis H2SO4 10% dan fermentasi. Asam sulfat dipilih sebagai katalis karena ramah lingkungan dan
harganya lebih murah dibandingkan dengan HCl. Proses hidrolisis disertai dengan pengadukan untuk
mempercepat laju hidrolisis. Semakin cepat diaduk, tumbukan antarpartikel juga semakin banyak
sehingga laju reaksi meningkat dan memperbanyak glukosa yang terbentuk. Pemanasan contoh
dilakukan pada suhu 80 oC dan dijaga konstan untuk mencegah karamelisasi glukosa, yang ditunjukkan
oleh perubahan warna larutan menjadi kekuningan.
Sampah kertas yang digunakan dalam penelitian ini berupa kertas print out dan kertas koran,
dengan kertas HVS dan koran polos sebagai pembanding. Gambar 2 menunjukkan bahwa etanol yang
dihasilkan oleh kertas print out lebih besar dibandingkan dengan kertas koran. Hidrolisis 1 jam dan
256
fermentasi selama 5, 7, dan 9 hari secara berurutan menghasilkan etanol sebesar 0.39, 0.52, dan
0.46% (v/v). Hidrolisis selama 3 jam pada kertas print out dan kertas koran tidak menunjukkan kenaikan
yang signifikan dibandingkan dengan hidrolisis selama 1 jam. Hal ini mungkin karena logam kromium
(Cr) yang terkandung di dalam tinta mengganggu proses fermentasi. Sementara, kertas HVS dan koran
polos yang tidak mengandung tinta menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Fermentasi etanol terjadi secara anaerob dengan bantuan khamir yang berperan melepaskan
enzim kompleks zimase untuk memecah glukosa menjadi etanol. S. cerevisiae dipilih karena sangat
baik untuk proses fermentasi alkohol, biasanya digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol dan
industri roti7. Tahap fermentasi ini dilakukan pada suhu kamar selama 5, 7, dan 9 hari.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa etanol yang dihasilkan oleh kertas print out lebih besar
dibandingkan dengan kertas koran. Hasil hidrolisis 3 jam dan fermentasi selama 5, 7, dan 9 hari secara
berurutan menghasilkan etanol sebesar 0.36, 2.90, dan 1.31% (v/v). Kertas print out dan kertas koran
tidak mengalami kenaikan yang signifikan selama 9 hari fermenasi. Setelah hari ke-7, konsentrasi
etanol yang dihasilkan menurun. Penurunan ini disebabkan oleh kematian khamir se-hingga tidak
berperan lagi dalam proses fermentasi. Kemungkinan lain ialah pengaruh logam kromium (Cr) dalam
tinta. Hal ini terlihat pada kertas HVS dan koran polos yang menunjukkan kenaikan yang signifikan,
meskipun setelah hari ke-7 mengalami penurunan. Khamir tidak mendapatkan nutrisi yang cukup
berupa karbohidrat, yang biasanya diperoleh dari cuplikan contoh yang difermentasi.
(a) (b)
Gambar 3 Pengaruh waktu fermentasi terhadap konsentrasi etanol dengan waktu hidrolisis 1 jam (a)
dan 3 jam (b): ■ = pembanding (HVS), ♦ = koran, ▲= print out, dan × = pembanding (koran
polos).
257
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa suhu hidrolisis 80 οC
menghasilkan kadar etanol optimum yang berbeda-beda untuk setiap jenis kertas dan kertas yang
paling baik ialah kertas HVS. Kertas HVS dapat menghasilkan etanol sekitar 32.73% (v/v) atau 1.963 ml
etanol/g kertas. Semakin lama proses fermentasi, jumlah etanol yang dihasilkan juga meningkat. Akan
tetapi, setelah melewati titik optimum, fermentasi hari ke-7, etanol yang dihasilkan akan menurun. Jadi,
kertas bekas merupakan salah satu bahan baku potensial sebagai penghasil etanol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fessenden RJ, Fessenden JS. Kimia Organik Jilid 2.. Ed ke-3. Jakarta: Erlangga; 1989.
2. http://en.wikipedia.org/wiki/Psychoactive_drug
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Fermentation
4. Heranata WW, Muladi S. Pemutihan kertas bekas dengan peroksida dan penambahan bahan aditif
[laporan penelitian]. Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim.
5. http://en.wikibooks.org/wiki/Alcohols_(Organic_chemistry)
6. Iranmahboob, Jamshid, Nadim F, Monemi S. Optimizing acid-hydrolisis: a critical step for production
of ethanol from mixed wood chips. Biomass Bioenergy 2002;22:401-404.
7. http://www.ott.doe.gov/biofuels/dilute.html
8. http://www.ott.doe.gov/biofuels/concentrated.html
9. http://en.wikipedia.org/wiki/Saccharomyces_cerevisiae
10. Irawadi. Businness News. Edisi 1991.
11. http://www.orau.org/ptp/collection/consumer%20products/magazines.htm
12. KOMPAS,03/10/05 hlm.13
13. Sastrohamidjojo H. Kromatografi. Ed ke-2. Yogyakarta: Liberty; 2002.
14. Day RA, Underwood Jr AL. Analisis Kimia Kuantitatif. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga; 1989.
15. Kirk Orthmer Enclyclopedia of Chemical, copy right 2004-2005.
16. Miller, Miller. Statistika untuk Kimia Analitik. Ed ke-2. Bandung:ITB; 1991.
258
SINTESIS DAN PENCIRIAN SURFAKTAN
BERBASIS-MINYAK SAWIT DAN KARBOHIDRAT
UNTUK ADITIF PRODUK PANGAN DAN DETERGEN
Komar Sutriah, Tun Tedja Irawadi, M Farid, M Khotib,
Betty M Soebrata, Henny Purwaningsih
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia, Indonesia berpotensi
mengembangkan berbagai produk industri hilir berbasis-minyak sawit. Asam lemak dalam minyak sawit
dapat diubah menjadi produk industri intermediet dan hilir melalui reaksi terhadap gugus karbonil.
Beberapa turunan senyawa yang dapat diperoleh ialah alkohol (fatty alcohol), amina (fatty amine), dan
ester asam lemak. Senyawa-senyawa tersebut memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai sumber
energi (biodiesel atau biofuel) dan surfaktan pada berbagai proses pelumasan, serta dalam industri
farmasi dan kosmetik, pangan, dan detergen.
Penelitian ini melakukan sintesis surfaktan nonionik dari ester asam lemak minyak sawit dan
glukosa melalui reaksi interesterifikasi antara glukosa pentaasetat dan ester metil dari asam lemak.
Sintesis surfaktan ini menggunakan metode bebas-pelarut dengan katalis zeolit sintetik pada suhu 80–
100 °C selama 6 jam. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persen hasil semakin rendah seiring
dengan bertambahnya panjang rantai asam lemak (nisbah mol tetap). Produk ester asam lemak
dicirikan oleh munculnya serapan vibrasi ulur C−O ester pada 1170 cm-1 dan hilangnya serapan OH
asam lemak pada 3000−3400 cm-1.
Surfaktan yang dihasilkan memiliki kisaran pH 6.40−6.86 sehingga sesuai untuk produk
perawatan diri. Semakin panjang rantai karbon pada ester asam lemak-glukosa, semakin rendah pula
konsentrasi misel kritis dan hydrophile lypophile balance-nya. Daya detergensi terbaik dimiliki oleh ester
glukosa-oleat dan -miristat. Surfaktan yang dihasilkan memiliki stabilaias busa yang rendah dan
semakin menurun dengan bertambahnya panjang rantai karbon asam lemak dan stabilitas busa terbaik
diperlihatkan oleh ester glukosa laurat. Ester glukosa stearat berpotensi untuk diaplikasikan sebagai
pengemulsi minyak dalam air pada produk pangan, sedangkan ester glukosa oleat sebagai detergen
pada produk kosmetik dan perawatan diri.
PENDAHULUAN
Industri farmasi, kosmetik, detergen, cat, plastik, dan industri makanan berkembang cukup
pesat sekarang ini. Perkembangan ini berdampak terhadap meningkatnya permintaan surfaktan yang
merupakan salah satu bahan baku pada industri-industri tersebut. Tahun 2004, permintaan surfaktan di
pasar internasional sebesar 11.82 juta ton per tahun, dengan pertumbuhan rerata permintaan 3% per
tahun (Widodo 2005).
Surfaktan umumnya disintesis dari senyawa turunan minyak bumi, misalnya alkil
benzenasulfonat dan alkohol sulfat. Hal tersebut berakibat pada semakin menurunnya cadangan
minyak bumi dan timbulnya pencemaran lingkungan, karena surfaktan tersebut sukar terurai secara
hayati. Karena itu, para peneliti mencari dan mengembangkan bahan baku pengganti untuk
259
memroduksi surfaktan yang lebih ramah lingkungan. Minyak nabati, salah satunya adalah minyak sawit,
telah diketahui berpotensi sebagai bahan baku surfaktan yang mudah terurai secara hayati. Selain itu,
minyak nabati merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui sehingga kesinambungan
pengadaannya tidak perlu dikhawatirkan. Sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di
dunia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri surfaktan
berbasis-minyak sawit.
Produk turunan minyak sawit yang banyak dimanfaatkan adalah asam lemak. Asam lemak
akan menghasilkan ester jika direaksikan dengan suatu karbohidrat. Ester karbohidrat-asam lemak, ini
merupakan jenis surfaktan nonionik yang banyak digunakan pada industri kosmetik, farmasi, detergen,
dan makanan. Ester tersebut tidak bersifat racun, tidak berbau, tidak berasa, tidak mengiritasi kulit, dan
mudah terurai secara hayati (Obaje 2005). Akan tetapi, ester ini umumnya disintesis dengan pelarut
beracun sehingga membatasi aplikasi produknya dalam bidang farmasi dan makanan. Untuk mengatasi
hal tersebut, dapat digunakan metode sintesis bebas-pelarut (Feuge et al. 1970; Akoh & Swanson
1990; Kuang et al. 2000) sehingga surfaktan yang dihasilkan lebih aman digunakan.
Penelitian ini bertujuan mensintesis dan mencirikan surfaktan-nonionik ester glukosil dari asam
laurat (C12), asam miristat (C14), asam stearat (C18), dan asam oleat (C18:1). Sintesis dilakukan melalui
reaksi interesterifikasi dengan metode bebas-pelarut antara glukosa pentaasetat (GPA) dan ester metil-
asam lemak (FAME) menggunakan katalis zeolit. Penelitian ini diharapkan menghasilkan surfaktan
yang memiliki karakteristik yang cocok untuk kebutuhan industri pangan, kosmetik, detergen, dan
sebagainya.
TINJAUAN PUSTAKA
Glukosa adalah monosakarida yang mengandung gugus alkohol dan aldehida. Sama halnya
dengan gugus hidroksil pada alkohol, gugus hidroksil glukosa juga dapat diesterifikasi oleh asam
karboksilat atau asam anorganik. Salah satu contoh reaksi esterifikasi pada glukosa ialah asetilasi
dengan anhidrida asetat. Reaksi ini menggunakan katalis asam (misalnya, ZnCl2) dan menghasilkan
GPA. GPA merupakan padatan berwarna putih dengan kisaran titik leleh 112–113 °C, tidak larut dalam
air, tetapi mudah larut dalam alkohol (Furniss et al. 1978).
HO A cO
O O O O
O
Z n C l2
OH + 5 OAc + 5
OH CH3 O CH3 OAc CH3 OH
OH OAc
OH OAc
g lu k o sa a n h id rid a a se ta t GPA
Asam lemak merupakan komponen unit pembangun yang khas pada kebanyakan minyak dan
lemak. Asam lemak memiliki gugus karboksil tunggal dan ekor hidrokarbon nonpolar yang panjang.
Melalui reaksi esterifikasi secara langsung dengan metanol dan katalis asam seperti BF3, H2SO4, atau
HCl, maupun basa seperti NaOH, dapat dihasilkan FAME (Scrimgeour 2005).
Ester karbohidrat-asam lemak merupakan suatu surfaktan nonionik yang dapat mengaktifkan
permukaan secara baik dan mudah terurai secara hayati (Kasori & Kasiwa 1999). Reaksi esterifikasi
yang digunakan sering membutuhkan suhu tinggi dan pelarut beracun (misalnya, dimetilasetamida,
dimetilformamida, dan dimetil sulfoksida). Menurut Rizzi & Taylor (1987), pelarut beracun aprotik
digunakan untuk membentuk larutan homogen antara glukosa dan asam lemak yang tak saling campur
agar dihasilkan produk yang berjumlah banyak. Namun, penggunaannya berakibat surfaktan yang
dihasilkan tidak dapat digunakan sebagai aditif pada industri makanan dan kosmetik.
260
Feuge et al. (1970) melakukan esterifikasi antara sukrosa dan asam lemak tanpa
menggunakan pelarut dengan katalis litium, natrium, dan kalium pada suhu 170–187 °C. Reaksi
tersebut dibatasi oleh adanya kecenderungan karamelisasi glukosa pada suhu > 185 °C. Sementara
Akoh & Swanson (1990) berhasil mensintesis ester karbohidrat-asam lemak melalui metode bebas-
pelarut dengan mencampurkan sukrosa oktaasetat, FAME, dan 1–2% katalis logam Na pada suhu
105 °C. Dengan 2 jam reaksi pada tekanan 0–5 mmHg, persen hasil yang diperoleh ialah 99.6−99.8%.
Reaksi interesterifikasi antara GPA dan FAME dari minyak inti sawit dengan katalis logam Na pada
suhu 80–100 °C selama 4–6 jam juga telah dilakukan (Kuang et al. 2000). Produk utama yang
dihasilkan adalah mono- dan diester glukosa asam lemak, masing-masing sebesar 60.5 dan 20.2%.
A cO
O
O
F AM E
OAc O C R
O O
A cO OAc
n CH 3 C O CH 3
OAc
n R C O CH 3 M onoester glukosa asam lem ak
O
OAc OAc
O +
Na
R C O
OAc
O
OAc O
OAc O C R
G PA OAc
OAc
Diester glukosa asam lem ak
Obaje (2005) mensintesis ester karbohidrat-asam lemak menggunakan beberapa katalis asam
seperti asam sulfat, asam tosilat, dan asam alkil sulfonat. GPA dan asam lemak dengan nisbah 1:3
dipanaskan pada suhu 80–100 °C sampai menjadi homogen. Setelah itu, 0.1% asam sulfat (atau 0.01%
asam tosilat atau asam alkil sulfonat) ditambahkan dan divakum dengan tekanan 5–10 torr selama 3–6
jam. Produk reaksi tersebut dapat bercampur dengan GPA dan FAME yang tidak bereaksi sehingga
diperlukan pemisahan produk dengan metode ekstraksi dan pendinginan produk. Ekstraksi akan
memisahkan sisa FAME, sedangkan pendinginan akan memisahkan sisa karbohidrat.
Surfaktan (senyawa aktif permukaan) merupakan molekul ampifilik yang mengandung gugus
hidrofilik (polar) dan gugus lipofilik (nonpolar) dalam satu molekul yang sama. Gugus polar dapat
bermuatan negatif, positif, zwiterionik, atau tidak bermuatan (nonionik), dan memiliki afinitas yang tinggi
terhadap pelarut polar. Sementara gugus nonpolarnya dapat berupa rantai hidrokarbon lurus atau
bercabang dengan jumlah C > 8 yang berasal dari minyak bumi atau oleokimia, dan memiliki afinitas
yang rendah terhadap pelarut polar (Gervasio 1996).
Surfaktan berperan menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka sehingga mampu
meningkatkan kestabilan partikel terdispersi dan mengontrol pembentukan emulsi. Selain itu, surfaktan
dapat teradsorpsi ke dalam permukaan partikel minyak atau air sehingga menghalangi peng-gabungan
(coalescence) antarpartikel yang terdispersi. Beberapa karakteristik yang berhubungan dengan
surfaktan ialah tegangan permukaan dan antarmuka, hydrophile lypophile balance (HLB), emulsi, dan
detergensi.
Tegangan permukaan adalah sifat cairan yang membuatnya berperilaku seolah-olah
permukaannya terkurung dalam lapisan yang elastis. Beberapa contoh metode pengukuran tegangan
permukaan ialah metode kenaikan kapiler, sudut kontak, tekanan gelembung, bobot tetes, dan
tensiometer du Noüy. Metode cincin du Noüy dilakukan berdasarkan gaya yang diperlukan untuk
menarik cincin Pt-Ir dari permukaan cairan (Holmberg et al. 2003).
Nilai HLB mewakili kecenderungan hidrofilik dan lipofilik dari suatu surfaktan. Nilai ini
bergantung pada nisbah kekuatan bagian hidrofilik dan lipofilik. HLB adalah konsep untuk memilih
pengemulsi, yang diperkenalkan oleh William C. Griffin (Holmberg et al. 2003). Menurutnya, nilai HLB
261
surfaktan berkisar 1−20. Surfaktan dengan nilai HLB rendah (3−6) cocok sebagai pengemulsi air dalam
minyak (w/o), sedangkan surfaktan dengan HLB tinggi cocok sebagai dispersan.
Emulsi adalah dispersi dari satu cairan dalam cairan lain yang tidak saling bercampur. Stabilitas
emulsi terjadi ketika sistem dapat mempertahankan tetesan fase terdispersi, yaitu ketika penggabungan
antartetesan dapat dicegah oleh energi penghalang yang cukup besar. Pada umumnya energi
penghalang dibangun oleh lapisan pengemulsi pada permukaan tetesan (Heusch et al. 1987), yang
menimbulkan tolakan listrik dan rintangan sterik. Stabilitas emulsi dapat diukur dengan beberapa
metode: ultrasentrifugal, listrik, dengan mengukur pemisahan emulsi setelah dibiarkan selama waktu
tertentu, atau dengan mengukur ukuran partikel. Derajat stabilitas emulsi biasanya ditunjukkan oleh
perubahan nilai yang diukur dengan metode-metode tersebut pada beberapa selang (Holmberg et al.
2003).
Detergen merupakan zat yang ditambahkan ke dalam air untuk meningkatkan daya
pembersihnya. Detergen juga dapat diartikan sebagai senyawa yang menyebabkan zat nonpolar dapat
larut dalam air. Sementara daya detergensi ialah kemampuan surfaktan untuk mengikat minyak dan
mengangkat kotoran dari permukaan kain (Holmberg et al. 2003). Faktor-faktor yang memengaruhi
daya detergensi adalah komposisi pengotor secara kimiawi dan fisis, suhu pada saat proses pencucian,
durasi setiap tahap pencucian, jenis dan proses mekanik yang digunakan, jumlah pengotor yang
terdapat dalam sistem, serta jenis dan jumlah detergen yang digunakan.
Zeolit (M2/nO· Al2O3· ySiO2· wH2O), bahan dengan rongga-rongga intrakristalin yang teratur,
dibentuk oleh aluminosilikat alkali dan/atau alkali tanah terhidrasi yang mempunyai struktur kerangka 3
dimensi terbuka. Struktur 3 dimensi tersebut terbentuk karena adanya struktur tetrahedral dari SiO4 dan
AlO4− dengan jembatan OH sebagai penghubung antara atom Si dan Al (Ming & Mumpton 1989).
Berdasarkan sumbernya, zeolit dibedakan menjadi zeolit alami dan sintetik. Zeolit alami berasal dari
pelapukan abu vulkanik, perkolasi air permukaan melalui sedimentasi yang tepat, dan perkolasi air
hujan melalui batuan basal, sedangkan zeolit sintetik dibuat di laboratorium. Zeolit banyak digunakan
sebagai katalis karena berukuran mikrostruktur (diameter < 1.2 nm) sehingga pereaksi mudah masuk
ke dalam rongga strukturnya. Kemampuan adsorpsi inilah yang memberikan aktivitas katalitik pada
zeolit (Othmer 1995). Sementara jembatan gugus OH merupakan suatu asam Brönsted yang akan
berinteraksi dengan ligan okso dari aluminium, suatu basa Lewis. Interaksi ini akan memperlemah
ikatan hidrogen-oksigen, tetapi meningkatkan keasaman dan kebasaan ligan okso dari aluminium.
Metode
262
selanjutnya ialah pemisahan setiap ester dari campuran reaksi dan penciriannya sebagai surfaktan.
Sintesis ini dilakukan melalui jalur GPA dan FAME dengan ragam nisbah mol 1:1, 1:2, dan 1:3.
Pemilihan katalis zeolit dilakukan terhadap zeolit alami dan sintetik melalui aktivasi asam (HCl-
H2SO4, dan HCl-CuSO4) berdasarkan modifikasi metode Jon (2001). Esterifikasi glukosa dengan
anhidrida asetat untuk memperoleh GPA mengikuti metode Furniss et al. (1978). Sintesis FAME
dilakukan dengan mereaksikan asam lemak dengan metanol menurut metode AOAC (1999).
Sementara sintesis ester glukosa asam lemak dilakukan melalui reaksi interesterifikasi antara GPA dan
FAME dengan katalis zeolit menggunakan modifikasi metode Kuang et al. (2000). Pemisahan produk
ester dari sisa GPA dan FAME dilakukan secara ekstraksi dengan pelarut etanol dan heksana
berdasarkan metode Obaje (2005). Keberhasilan sintesis diamati melalui pengukuran perubahan pita
serapan IR menggunakan spektrofotometer FTIR, uji titik leleh, dan perhitungan persen hasil.
Pencirian sifat surfaktan produk ester meliputi pengukuran tegangan permukaan dan
antarmuka dengan metode ASTM D1331 2000 menggunakan cincin du Noüy, penetapan angka HLB
(Gupta et al. 1983), pengukuran stabilitas emulsi berdasarkan metode ASTM (2000) yang dimodifikasi,
pengukuran daya detergensi (Lynn 1996 di dalam Martini 2003), dan pengukuran daya busanya
(modifikasi Hui 1996 dalam Martini 2003).
Sintesis GPA
Walaupun anhidrida asetat tidak sereaktif etanoil halida, pereaksi ini dapat digunakan untuk
asetilasi asalkan tidak terdapat air yang dapat mengakibatkan reaksi berbalik arah. Asetilasi antara
glukosa dan anhidrida asetat dilakukan dengan katalis ZnCl2 pada suhu 60–70 °C selama 80 menit.
GPA yang diperoleh berupa padatan putih dengan kisaran titik leleh 109–112 °C, persen hasil 45.52%,
dan kadar air 0.26%. Hasil percobaan pada suhu lebih tinggi (80−100 °C) menunjukkan terjadinya
karamelisasi glukosa yang ditandai dengan terbentuknya warna cokelat pekat. Selain itu, GPA yang
dihasilkan berwarna putih kekuningan dengan kisaran titik leleh yang lebar, yaitu 98–104 °C.
Gambar 3 memperlihatkan perbandingan antara spektrum glukosa dengan GPA hasil sintesis.
Transmitans (%)
ulur C–H
ulur O-H
ulur C=O
tekuk
C–H
ulur C–O
Bilangan gelombang
Gambar 3 Spektrum FTIR glukosa murni (–) dan GPA hasil sintesis (– ).
263
Melemahnya serapan vibrasi ulur –OH (3200–3600 cm-1) pada produk asetilasi menunjukkan bahwa
gugus hidroksil glukosa telah digantikan oleh gugus asetil dari anhidrida asetat. Hal tersebut juga
didukung dengan adanya serapan yang sangat tajam dari vibrasi ulur C=O (1735–1750 cm-1) dan
vibrasi ulur C−O ester (1200 cm-1) pada GPA. Serapan C=O tersebut bergeser karena substitusi gugus
asetil dapat menurunkan pergeseran mesomeri yang berakibat meningkatkan orde ikatan C=O dan
bilangan gelombangnya. Perbedaan lain kedua spektrum tersebut terlihat pada bilangan gelombang
2800–3000 cm-1 dan 1370–1450 cm-1 yang berturut-turut menunjukkan vibrasi ulur C–H dari –CH3 dan
–CH2– rantai alkil serta vibrasi tekuk C–H dari CH3C=O (Silverstein et al. 1981).
Sintesis FAME
Dari percobaan diketahui bahwa penggunaan katalis NaOH dan BF3 dalam reaksi esterifikasi
menghasilkan persen hasil yang cukup tinggi (sekitar 80%). Persen hasil terbesar dicapai oleh metil
oleat, yaitu 88.36%. Larutan NaCl jenuh, heksana, dan Na2SO4 dapat memisahkan FAME dari
campuran reaksi secara efektif sehingga dihasilkan FAME yang cukup murni dengan kandungan asam
lemak bebas (FFA) yang rendah dan densitas yang hampir sama dengan literatur. Larutan NaCl jenuh
berfungsi sebagai elektrolit yang memberikan efek garam dan menarik molekul air yang merupakan
hasil samping reaksi sehingga proses solvasi FAME oleh heksana berlangsung lebih baik.
Spektrum FTIR asam stearat dan metil stearat (Gambar 4) memperlihatkan serapan vibrasi ulur
dan tekuk C–H dari CH3, –CH2– rantai alkil, berturut-turut pada 2800–3000 dan 1370–1450 cm-1.
Serapan pada 1745 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C=O dan 1170 cm-1 vibrasi ulur C–O ester. Hal ini
sesuai dengan Silverstein et al. (1981) yang menyatakan bahwa ester metil-asam lemak rantai panjang
memiliki tiga pita serapan dengan serapan yang kuat pada bilangan gelombang sekitar 1175 cm-1. Hasil
analisis FTIR juga memperlihatkan bahwa gugus −OH asam stearat telah tersubstitusi oleh gugus metil
dari metanol. Hal ini didasarkan pada hilangnya pita serapan −OH (3000–3400 cm-1) pada spektrum
metil stearat. Pita serapan ini lebih sempit dibandingkan dengan gugus hidroksil pada spektrum FTIR
asam stearat murni.
Transmitans (%)
ulur C–O
tekuk
Ulur C−H Ulur C=O C–H
Gambar 4 Spektrum FTIR asam asetat murni (–) dan metil stearat hasil sintesis (–).
264
Sintesis Ester Glukosa Asam Lemak
Ester glukosa asam lemak yang diperoleh berupa padatan putih yang menyerupai gabus.
Persen hasil cenderung berbanding terbalik dengan panjang rantai alkil asam lemak. Hal ini
menunjukkan bahwa ukuran molekul berpengaruh terhadap efektivitas adsorpsi pada permukaan katalis
selama reaksi. Tabel 2 memperlihatkan bahwa persen hasil terbesar (87.27%) dimiliki oleh ester
glukosa miristat dengan nisbah mol GPA-FAME 1:1.
Pertukaran gugus asil FAME dengan gugus asetil GPA terjadi selama reaksi interesterifikasi.
Reaksi ini termasuk jenis substitusi nukleofilik (gugus asil) dengan mekanisme adisi-eliminasi. Nukleofil
(atom O dari gugus −OCH3 FAME) menyerang atom C gugus karbonil GPA lalu melepas gugus pergi
untuk membentuk gugus karbonil dari ester yang baru. Selain sebagai katalis, zeolit juga berperan
menghomogenkan reaktan dan meratakan panas. Zeolit bertindak sebagai mediator tempat bertemunya
FAME dan GPA melalui mekanisme adsorpsi. Proses katalitik terjadi di bagian antarmuka ruang kosong
dalam kristal zeolit setelah molekul-molekul reaktan teradsorpsi dan berdifusi secara intrakristalin di
antara celah-celah sistem saluran dalam zeolit. Setelah terjadi reaksi, produk yang dihasilkan akan
terdesorpsi dan berdifusi meninggalkan permukaan zeolit.
Ester glukosa stearat dihasilkan karena substitusi gugus asetil GPA oleh gugus asil metil
stearat [CH3-(CH2)16C=O]. Hal tersebut menyebabkan spektrum FTIR ester glukosa stearat dan GPA
hasil sintesis hanya berbeda pada serapan 2800–3000 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur C–H dari
gugus CH3 dan –CH2– pada rantai alifatik asam lemak (Silverstein et al. 1981). Apabila dibandingkan
dengan pita spektrum GPA hasil sintesis, pita serapan ini lebih kuat karena gugus asetil GPA
tergantikan oleh gugus asil FAME. Akan tetapi, serapan tersebut masih lebih lemah dibandingkan
dengan serapan pada FAME karena tidak seluruh gugus asil FAME menggantikan gugus asetil GPA,
akibat adanya kompetisi antargugus alkil.
Hasil pengukuran tegangan permukaan menunjukkan bahwa semua ester hasil sintesis mampu
menurunkan tegangan permukaan air secara cukup signifikan. Kemampuan tertinggi dimiliki ester
glukosa laurat (20 dyne/cm). Kemampuan sebagai penurun tegangan permukaan menurun seiring
dengan semakin panjangnya rantai gugus hidrofobik. Namun, kehadiran ikatan rangkap pada gugus
hidrofobik dapat meningkatkan kemampuan tersebut (Gambar 5a).
Nilai CMC yang diperoleh untuk ester glukosa laurat, miristat, stearat, dan oleat berturut-turut
ialah 0.0027, 0.0026, 0.0024, dan 0.0013% (b/v). Berdasarkan data tersebut, panjang rantai berbanding
terbalik dengan nilai CMC, karena jumlah molekul yang diperlukan untuk mencapai kejenuhan pada
permukaan yang sama luasnya menjadi semakin sedikit. Sementara ikatan rangkap pada rantai
hidrofobik ester glukosa oleat menyebabkan dimensi molekulnya menjadi lebih ramping dibandingkan
dengan ester glukosa stearat. Karena itu, ester glukosa oleat diharapkan akan lebih banyak teradsorpsi,
dan nilai CMC-nya lebih besar daripada ester glukosa stearat. Namun, hal ini tidak terbukti.
Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh ketidakmurnian ester glukosa yang diperoleh.
265
Tegangan Tegangan
80 60
Permukaan Antarmuka
(dyne/cm)
70 (dyne/cm)
50
60
Ester Glukosa Laurat Ester Glukosa Laurat
40
50 Ester Glukosa Miristat Ester Glukosa Miristat
Ester Glukosa Stearat 30 Ester Glukosa Stearat
40
Ester Glukosa Oleat Ester Glukosa Oleat
30
20
20
10
10
(a) (b)
Gambar 5 Tegangan permukaan (a) dan antarmuka (b) larutan ester glukosa: ♦ glukosa laurat, ■
glukosa miristat, ▲glukosa stearat, dan × glukosa oleat.
Penurunan tegangan antarmuka air-xilena oleh ester glukosa juga bergantung pada besarnya
konsentrasi dan panjang rantai hidrokarbon. Berdasarkan Ferrer et al. (2002), semakin panjang rantai
hidrokarbon, semakin rendah pula tegangan antarmuka ester glukosa pada CMC. Namun, penurunan
tegangan antarmuka oleh ester glukosa oleat lebih besar dibandingkan dengan ester glukosa stearat
(Gambar 5b). Sebagaimana dijelaskan di muka, ikatan rangkap pada ester oleat menurunkan dimensi
molekul ini sehingga lebih banyak yang teradsorpsi pada antarmuka air-xilena.
Nilai HLB
Nilai HLB ester glukosa laurat, miristat, stearat, dan oleat berturut-turut ialah 8.75, 8.30, 7.25,
dan 3.85. Terlihat bahwa panjang rantai gugus hidrofobik juga berbanding terbalik dengan nilai HLB-nya.
Dengan kekuatan gugus hidrofilik yang tetap, keberadaan ikatan rangkap dalam gugus hidrofobik
seharusnya akan meningkatkan nilai HLB. Elektron π pada ikatan rangkap asam oleat mengurangi
hidrofobisitas molekul ester glukosa oleat sehingga nilai HLB-nya lebih besar. Namun, pada penelitian
ini diperoleh hal yang sebaliknya. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh ketidakmurnian ester
glukosa hasil sintesis. Mengacu pada konsep Griffin, ester glukosa laurat dan miristat dapat
diaplikasikan sebagai pengemulsi minyak dalam air (o/w), ester glukosa stearat sebagai wetting agent,
sedangkan ester glukosa oleat sebagai pengemulsi w/o.
Stabilitas Emulsi
Stabilitas emulsi diukur pada sistem campuran air-xilena. Digunakan 2 nisbah volume antara
larutan ester glukosa dan xilena, yaitu 0.5:9.5 (ml) dan 9.5:0.5 (ml) untuk membuktikan jenis emulsi
yang telah diramalkan sebelumnya melalui nilai HLB. Emulsi dibuat dengan ultrasonic homogenizer
pada kecepatan sedang selama 5 menit.
Gambar 6 memperlihatkan bahwa keempat surfaktan lebih mampu menstabilkan emulsi o/w
daripada w/o. Emulsi o/w dapat bertahan lebih dari 24 jam, sedangkan emulsi w/o hanya bertahan
selama beberapa menit saja. Hal ini membuktikan bahwa ester glukosa laurat dan miristat merupakan
pengemulsi o/w, dan sesuai dengan nilai HLB kedua ester tersebut. Meskipun pada daerah sekitar
CMC keempat surfaktan memiliki nilai stabilitas emulsi yang hampir sama, ester glukosa oleat
memperlihatkan hasil yang tidak bersesuaian dengan konsep Griffin. Menurut Griffin, ester glukosa
oleat seharusnya merupakan pengemulsi w/o. Hal ini juga dapat disebabkan ketidakmurnian ester
glukosa oleat yang didukung dengan lebarnya kisaran titik leleh (98−110 °C).
266
Stabilitas Stabilitas
100 16
Emulsi (menit) Emulsi (% )
90 14
80
Ester Glukosa Laurat 12 Ester Glukosa Laurat
70
60 Ester Glukosa Miristat 10 Ester Glukosa Miristat
Ester Glukosa Stearat Ester Glukosa Stearat
50 8
Ester Glukosa Oleat Ester Glukosa Oleat
40 6
30
4
20
10 2
0 Konsentrasi (% b/v) 0 Konsentrasi (% b/v)
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005
(a) (b)
Gambar 6 Stabilitas emulsi w/o (a) dan o/w (b) ester glukosa: ♦ glukosa laurat, ■ glukosa miristat,
▲glukosa stearat, dan × glukosa oleat.
Di bawah CMC, stabilitas emulsi sebanding dengan konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi,
stabilitas emulsi juga semakin tinggi (Friberg 1993). Hal ini juga terjadi pada keempat surfaktan ester
glukosil hasil sintesis. Stabilitas emulsi juga bergantung pada panjang rantai hidrokarbon dari asam
lemak yang digunakan. Pada umumnya, stabilitas emulsi meningkat dengan bertambahnya panjang
rantai hidrokarbon, dan hal tersebut terbukti dalam penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan halangan
sterik yang timbul akibat panjangnya rantai hidrokarbon (Holmberg et al. 2003). Setelah CMC, keempat
surfaktan ester memiliki kemampuan yang hampir sama sebagai pengemulsi o/w yang biasanya
digunakan pada industri produk-produk perawatan diri. Sementara surfaktan yang sesuai sebagai
pengemulsi w/o banyak digunakan pada industri makanan.
Daya Detergensi
Gambar 7a, b, dan c memperlihatkan bahwa daya detergensi ester glukosa miristat paling
tinggi dibandingkan dengan 2 jenis ester glukosa lainnya. Daya detergensi terendah diperlihatkan oleh
ester glukosa laurat.
6 6
3 3
2 2
1 1
(a) (b)
Daya Detergensi Daya Detergensi
8 8
(NTU) (NTU)
7 7
6 6
3 3
2 2
1 1
(c) (d)
Gambar 7 Daya detergensi ester glukosa laurat (a), miristat (b), stearat (c), dan oleat (d) disbanding-
kan dengan detergen komersial.
267
Gambar 7d memperlihatkan bahwa daya detergensi ester glukosa oleat lebih baik daripada ester
glukosa stearat. Kehadiran ikatan rangkap pada rantai karbon asam oleat mampu meningkatkan daya
detergensi. Fakta ini tidak sesuai dengan laporan Lynn (1993) yang menyatakan bahwa surfaktan
dengan rantai hidrofobik 12–16 atom karbon memperlihatkan daya detergensi optimum, sedangkan
surfaktan dengan rantai karbon lebih dari 16 akan menurun daya detergensinya.
Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, semakin tinggi pula daya detergensinya. Di atas CMC,
semakin tinggi konsentrasi surfaktan, misel yang terbentuk semakin banyak sehingga kotoran yang
dapat terikat oleh misel tersebut juga semakin banyak (Lynn 1993).
Stabilitas Busa
Stabilitas Busa
12
(jam)
10
Ester Glukosa Laurat
8
Ester Glukosa Miristat
0 Konsentrasi (% b/v)
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005
Gambar 8 Stabilitas busa ester glukosa: ♦ glukosa laurat, ■ glukosa miristat, ▲glukosa stearat, dan ×
glukosa oleat.
Ester glukosa laurat memiliki stabilitas busa terbaik karena gugus hidrofobiknya paling pendek.
Semakin panjang gugus hidrofobik suatu ester asam lemak, stabilitas busanya akan semakin rendah
pula karena strukturnya semakin meruah (Durian & Weitz 1993). Gambar 8 juga memperlihat-kan
bahwa stabilitas pembusaan ester glukosa oleat lebih baik daripada ester glukosa stearat. Ikatan
rangkap yang memperamping dimensi molekul sehingga lebih banyak molekul yang teradsorpsi pada
daerah antarmuka air-gas diduga juga mendukung elastisitas lamela.
Surfaktan nonionik lebih tepat jika diaplikasikan sebagai antibusa, terlebih jika merupakan
pengemulsi o/w. Bahan yang mudah terdispersi dalam air akan menurunkan elastisitas lamela sehingga
busa semakin cepat pecah.
Nilai pH
Nilai pH keempat surfaktan hampir mendekati netral dengan kisaran 6.40−6.86. Pada
umumnya, surfaktan yang digunakan dalam industri produk-produk perawatan diri bersifat netral.
Dengan dukungan sifat aktif permukaannya, ester glukosil cukup baik untuk diaplikasikan dalam industri
produk-produk perawatan diri, karena pH-nya mendekati netral.
268
SIMPULAN DAN SARAN
Ester glukosa asam lemak dapat disintesis melalui reaksi interesterifikasi dengan metode
bebas-pelarut antara GPA dan FAME dengan katalis zeolit sintetik pada suhu 80–100 °C selama 6 jam.
Spektrum FTIR ester glukosa asam lemak menghasilkan ciri pita serapan pada 2800–3000 cm-1 yang
menunjukkan vibrasi ulur C–H dari CH3 dan –CH2– rantai alifatik asam lemak. Terbentuknya ester asam
lemak dicirikan oleh pita serapan pada 1170 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur C–O ester, dan
hilangnya pita serapan OH asam lemak pada 3000−3400 cm-1. Pada nisbah mol yang tetap, rantai
asam lemak yang semakin panjang memberikan persen hasil sintesis yang semakin rendah.
Surfaktan yang dihasilkan memiliki kisaran pH 6.40−6.86 yang sesuai untuk digunakan pada
produk perawatan diri. Semakin panjang rantai karbon pada ester glukosa asam lemak, semakin rendah
nilai CMC dan nilai HLB-nya. Daya detergensi terbaik diperlihatkan oleh ester glukosa oleat dan miristat.
Surfaktan yang dihasilkan memiliki stabilitas busa yang rendah dan semakin menurun dengan
bertambah panjangnya gugus hidrofobik. Stabilitas busa terbaik diperlihatkan oleh ester glukosa laurat.
Ester glukosa stearat berpotensi untuk diaplikasikan sebagai pengemulsi o/w pada produk pangan,
sedangkan ester glukosa oleat berpotensi untuk diaplikasikan sebagai detergen pada produk kosmetik
dan produk perawatan diri.
Penelitian lebih lanjut mengenai optimalisasi metode sintesis dan pemisahan ester glukosa
asam lemak diperlukan untuk memperoleh persen hasil sintesis yang lebih besar dan meningkatkan
kemurniannya. Selain itu, diperlukan pencirian lanjutan terhadap produk surfaktan ester glukosa asam
lemak untuk mengelompokkan dan menyimpulkan kecocokan penggunaannya di bidang industri.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Associations of Official Analytical Chemists. 1999. Cunnif P, editor. Official Methods of Analysis
of AOAC International. Ed ke-5. Volume 2. Maryland: AOAC.
[ASTM] American Society for Testing Materials. 1991. ASTM D871: Standard Test Methods of Testing
Cellulose Acetate. Philadelphia: ASTM.
Akoh CC, Swanson BG. 1990. Carbohydrate Fatty Acid Esters. New York: Marcell Dekker.
Feuge RO, Zeringue Jr HJ, Weiss TJ, Brown M. 1970. Preparation of sucrose monolaurate. Am J Oil
Chem Soc 33:424.
Furniss BS, Hannaford AJ, Rogers V, Smith PWG, Tatchell AR. 1978. Vogel’s Textbook of Practical
Organic Chemistry. Ed ke-4. Essex: Longman.
Gervasio GC. 1996. Detergency. Di dalam: Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. New York: J Wiley.
Jon H. 2001. Karakterisasi zeolit alami termodifikasi asam [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Kasori Y, Kashiwa K, penemu; Mitsubishi Chemical Coorporation. 1 Jun 1999. Method for producing a
sucrose fatty acid ester. US patent 5 908 922.
Kuang D, Obaje OJ, Ali AM. 2000. Synthesis and characterization of acetylated glucose fatty esters
from palm and palm kernel oil fatty methyl esters. J Oil Palm Res 12:14-19.
Ming W, Mumpton FA. 1989. Zeolites in soils. Di dalam: Dixon JB, Weed SB, editor. Mineral in Soil
Environments. Wisconsin: Soil Science Society of America. hlm 873-911.
Obaje OJ, penemu; URAH Resources Ltd. 25 Jan 2005. Trans-acidolysis process for the preparation of
carbohydrate fatty-acid esters. US patent 6 846 916.
Ophardt CE. 2003. Virtual chembook. [terhubung berkala]. http://www. elmhurst.edu [24 Mar 2005].
Othmer K. 1995. Encyclopedia of Chemical Technology. Ed ke-4. New York: J Wiley.
Parker KJ, Khan RA, Mufti KS, penemu. 1976. Process of making sucrose esters. US patent 3 996 206.
Rizzi GP, Taylor HM. 1987. A solvent-free synthesis of sucrose polyesters. Am J Oil Chem Soc 55:398.
269
Scrimgeour C. 2005. Chemistry of Fatty Acid. Dundee: Scottish Crop Research Institute.
Silverstein RM, Bassler GC, Morrill TC. 1981. Spectrometric Identification of Organic Compounds. Ed
ke-4. Singapura: J Wiley.
Widodo HS. 7 Agu 2005. Produksi kelapa sawit Indonesia sebesar 11.08 juta ton per tahun. Media
Indonesia.
270
SENYAWA DIFENIL ETER TERPOLIBROMINASI DARI SPONS
Microciona SP. DI KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT
Irmanida Batubara, Latifah K Darusman1,2, Anggia Murni2, Ekowaty Chasanah3
1Departemen Kimia, FMIPA, IPB, 2Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB,
3BRKP Departemen Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Dua senyawa difenil eter terpolibrominasi telah diisolasi dari spons Microciona sp. no. 12 dari
Kepulauan Mentawai. Struktur mereka ditentukan berdasarkan spektrum resonansi magnet inti 1H dan
13C serta perbandingannya dengan senyawa standar: 3,4,5-tribromo-2-(2',4'-dibromofenoksi)fenol dan
ABSTRACT
Two polybrominated diphenyl ethers had been isolated from sponge Microciona sp. no. 12 from
Mentawai Islands. Their structures were elucidated from the 1H and 13C nuclear magnetic resonance
spectra and the comparison with standard compounds: 3,4,5-tribromo-2-(2',4'-dibromo phenoxy)phenol
and 3,5-dibromo-2-(2’,4’-dibromophenoxy)phenol. Both compounds showed anti-bacterial activity
against Bacillus substilis, but has no antibacterial activity against Escherichia coli and Staphylococcus
aureus. They were also active against rat bladder cell line.
PENDAHULUAN
Selain untuk bahan pangan, biota perairan telah lama diketahui sebagai sumber bahan baku
obat. Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan dari metabolisme
biota perairan ini merupakan salah satu alternatif untuk mencari sumber obat baru. Hal tersebut karena
berbagai aktivitas penting yang dimilikinya, antara lain antitumor, antimikrob, dan antipenuaan.
Indonesia merupakan negara bahari dengan kekayaan jenis biota perairan yang sangat beragam dan
melimpah. Oleh karena itu, prioritas yang tinggi diperlukan untuk mengeksplorasi senyawa bioaktif dari
biota perairan yang potensial, untuk dikembangkan sebagai model struktur dalam sintesis senyawa obat
maupun sebagai bahan baku obat yang menjanjikan. Salah satu biota perairan Indonesia yang
potensial untuk dikembangkan sebagai bahan biofarmasi adalah soft coral dan spons.
Salah satu jenis spons yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri ialah Microciona sp. yang
berasal dari daerah Pitologat Barat, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dengan diketahuinya
aktivitas ekstrak metanol spons ini, maka sangat menarik untuk mengetahui jenis atau golongan
senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri. Penelitian ini bertujuan mengisolasi senyawa yang
terdapat dalam ekstrak tersebut untuk kemudian diuji aktivitas antimikrob dan antikankernya.
271
METODOLOGI
Ekstraksi
Penelitian dimulai dengan mengekstraksi 100 mg spons Microciona sp. menggunakan metanol,
lalu disaring. Ekstrak metanol yang diperoleh (51 mg) lalu dipartisi dengan etil asetat, dan dihasilkan
17.53 mg ekstrak etil asetat. Hasil partisi ini dipisahkan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC).
Kolom yang digunakan ialah silika gel 60 dengan eluen heksana-etil asetat (4:1) dan menghasilkan 5
fraksi, yaitu EA1, EA2, EA3, EA4, dan EA5. Kondisi HPLC yang digunakan ialah detektor ultraviolet
(UV) TOSOH UV-8011, detektor indeks bias (RI) Shodex RI-101, panjang kolom 250−10 mm, panjang
gelombang 254 nm, atenuator 512 µRIU/FS, dan laju alir 2 ml/menit. Gambar 1 meringkaskan proses-
proses yang disebutkan di atas.
AM-4-EA4 AM-4-EA5
(6.4 mg ) ( 4.8 mg)
padatan putih padatan putih
* Kondisi HPLC:
Detektor UV:TOSOH UV-8011
Detektor RI: Shodex RI-101
Jenis kolom: Silika gel fase normal (250 x 10 mm, Mightysil Si-60)
Panjang gelombang: 254 nm
Atenuator : 512 mRIU/FS
Laju alir: 2 ml/menit
Analisis antimikrob dimulai dengan peremajaan bakteri target. Bakteri yang digunakan ialah
biakan murni Escherichia coli yang merupakan bakteri Gram negatif, serta Staphylococcus aureus dan
Bacillus sp. yang merupakan bakteri Gram positif. Sebanyak satu ose bakteri target diinokulasi pada
100 ml medium cair (nutrient broth, NB) dengan suhu 37 °C, selama 16 jam untuk S. aureus dan 9 jam
untuk E. coli. (Hal ini dilakukan untuk mencapai konsentrasi minimum 1 juta sel/ml). Setelah itu, rapatan
optis (OD) diukur pada panjang gelombang 620 nm. Sementara uji antagonis terhadap Candida sp.
dilakukan dengan menggunakan medium agar dektrosa kentang (PDA).
Pengujian dilakukan dengan teknik agar overlay. Sebanyak 8 ml medium agar (nutrient agar,
NA) 15% dituangkan ke dalam cawan dan dibiarkan memadat. Selanjutnya, 0.1 ml biakan bakteri target
yang memuat 1 juta sel/ml diinokulasikan ke dalam medium NA lunak (8%) steril dan disebar merata
272
pada seluruh permukaan medium NA yang telah memadat sebelumya. Setelah dibiarkan mengering
selama 5–10 menit, cakram kertas berdiameter 13 mm diletakkan dengan sedikit ditekan, dan pada
masing-masing cakram ditetesi 50 µl ekstrak contoh. Pengamatan zona hambat dilakukan setelah
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C untuk E. coli dan 30 °C untuk S. aureus dengan cara
mengukur diameter zona bening yang terbentuk.
EA4 dan EA5 merupakan kristal padat putih dengan bobot berturut-turut 6.4 dan 4.8 mg.
Keduanya kemudian dianalisis menggunakan spektroskopi resonansi magnet inti (NMR) 1H, 13C, dan
pola COSY NMR-nya. Data yang didapat lalu diinterpretasi untuk memperoleh struktur senyawa.
Berdasarkan spektrum 13C-NMR EA4 (Gambar 2), diketahui bahwa senyawa tersebut
mengandung 12 atom C. Lebih lanjut, spektrum 1H-NMR (Gambar 3) dan 2H-NMR menunjukkan bahwa
EA4 merupakan 3,5-dibromo-2-(2’,4’-dibromofenoksi)fenol (Gambar 4).
Gambar 2 Spektrum 13C-NMR kristal EA4 dari ekstrak metanol Microciona sp.
Gambar 3 Spektrum 1H-NMR kristal EA4 dari ekstrak metanol Microciona sp.
273
Br OH
2' 1
O
2
3' 1' 6
5
6'
4' 3
Br Br Br
5' 4
AM-4-EA4
COSY
Gambar 4 Struktur 3,5-dibromo-2-(2’,4’-dibromofenoksi)fenol.
Data hasil 1H-NMR dan 13C-NMR untuk EA4 ini diberikan pada Tabel 1 dan sesuai dengan hasil
penelitian Fu dan Schmitz (1996). Keterkaitan ruang yang diperoleh dari interaksi kopling spin-spin
polar dan keterkaitan proton-proton juga dilihat dengan menggunakan teknik spektroskopi korelasi
(correlation spectroscopy) 1H-1H dua dimensi (COSY). Melalui teknik NMR dua dimensi ini dapat
diketahui atom-atom hidrogen yang saling memengaruhi, yaitu atom H pada C 5’ dan 6’ (Gambar 5).
Tabel 1 Data 1H dan 13C-NMR kristal EA4 dari ekstrak metanol Microciona sp. dan perbandingannya
dengan hasil dari senyawa 3,5-dibromo-2-(2’,4’-dibromofenoksi)fenol
AM-4-EA4 3,5-dibromo-2-(2',4'-dibromofenoksi)fenol*
Posisi 1H, mult, integ (J dalam Hz) 13C (mult) 1H, mult, integ (J dalam Hz) 13C (mult)
1 152.90 C 152.10 C
2 139.80 C 138.40 C
3 118.80 C 118.70 C
4 7.38, d, 1H, (J=2.5) 127.00 CH 7.36, d, 1H, (J=2.0) 125.10 CH
5 119.80 C 118.00 C
6 7.25, d, 1H, (J=2.0) 120.80 CH 7.17, d, 1H, (J=2.0) 119.60 CH
1' 153.90 C 152.60 C
2' 112.90 C 111.60 C
3' 7.82, d, 1H, (J=2.0) 136.30 CH 7.85, d, 1H, (J=2.5) 135.10 CH
4' 115.10 C 113.90 C
5' 7.42, dd, 1H, (J=8.5, 2.5) 132.40 CH 7.38, dd, 1H, (J=9.0, 2.5) 131.50 CH
6' 6.58, d, 1H, (J=9.0) 116.80 CH 6.46, d, 1H, (J=9.0) 115.90 CH
OH 9.65 brs, 1H 10.79 brs, 1H
* Tetrahedron 1981;37:2335-2339 dan J Nat Prod 1996;59:1102-1103
Gambar 5 Analisis COSY kristal EA4 dari ekstrak metanol Microciona sp.
274
Seperti contoh EA4, senyawa EA5 juga dianalisis dengan NMR 13C (Gambar 6) dan 1H
(Gambar 7) serta COSY (Gambar 8).
Gambar 6 Spektrum 13C-NMR kristal EA5 dari ekstrak metanol Microciona sp.
Gambar 7 Spektrum 1H-NMR kristal EA5 dari ekstrak metanol Microciona sp.
275
Data NMR 1H dan 13C selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis menggunakan
1H-NMR dan 2H-NMR, dapat diketahui bahwa EA5 merupakan 3,4,5-tribromo-2-(2',4'-dibromofenoksi)
fenol (Gambar 9).
Tabel 2 Data 1H dan 13C-NMR kristal EA5 dari ekstrak metanol Microciona sp. dan perbandingannya
dengan hasil dari senyawa 3,4,5-tribromo-2-(2’,4’-dibromofenoksi)fenol
AM-4EA5 3,4,5-tribromo-2-(2',4'-dibromofenoksi)fenol
Posisi 1H, mult, integ (J dalam Hz) 13C
(mult) 1H, mult, integ (J dalam Hz) 13C (mult)
1 151.60 C 150.80 C
2 140.80 C 139.50 C
3 122.40 C 121.50 C
4 117.80 C 115.90 C
5 122.60 C 121.50 C
6 7.50, s, 1H 121.90 CH 7.43, s, 1H 120.70 CH
1' 153.60 C 152.30 C
2' 112.90 C 111.70 C
3' 7.83, d, 1H, (J=2.0) 136.40 CH 7.84, d, 1H, (J=2.0) 135.10 CH
4' 115.30 C 114.10 C
5' 7.41, dd, 1H, (J=9.0, 2.0) 132.40 CH 7.35, dd, 1H, (J=8.5, 2.0) 131.50 CH
6' 6.63, d, 1H, (J=8.5) 116.80 CH 6.51, d, 1H, (J=8.5) 115.90 CH
OH 9.82 brs 10.92 brs
* Tetrahedron Lett 1972;1715-1718 dan J Nat Prod 1996;59.1102-1103
Br OH
2' O 1
2 6
3' 1'
3
4' 6' 5
Br Br 4 Br
5'
Br
AM-4-EA5
COSY
Gambar 9 Struktur 3,4,5-tribromo-2-(2',4'-dibromofenoksi)fenol.
276
Tabel 3 Hasil uji antibakteri terhadap B. substilis pada 2 senyawa murni
Konsentrasi Diameter zona hambat
(µg/cakram) AM4-EA4 (mm) AM4-EA5 (mm)
0.1 6 7
1 7 7
5 10 11
10 13 13
Kedua senyawa ini juga ditemukan aktif terhadap sel NBT II walaupun baru dapat menghambat
pertumbuhan sel setelah 48 jam (Tabel 4 & Gambar 10). Daya hambat kedua zat tersebut terhadap
pertumbuhan sel NBT II semakin besar dengan bertambahnya konsentrasi.
(a) (b)
Gambar 10 Sel NBT II dengan blangko etanol (a), dengan contoh AM1-EA1 0.5 ppm (b).
SIMPULAN
277
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
Campbell NA, Mitchell LG, Reece JB. 2000. Biology: Concepts and Connections. Ed ke-3. San
Fransisco: Addison Wesley Longman.
Handayani D et al. 1997. Four new bioactive polybrominated diphenyl ethers of the sponge Dysidea
herbacea from West Sumatra, Indonesia. J Nat Prod 60:1313-1316.
Jenie UA, Kardono LBS, Hanafi M, Rumampuk RJ, Darmawan A. 2006. Teknik Modern Spektroskopi
NMR: Teori dan Aplikasi dalam Elusidasi Struktur Molekul Organik dan Biomolekul. Jakarta:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Fu X, Francis J, Govindan M, Abbas SA. 1995. Enzyme Inhibitors: New and known polybrominated
phenols and diphenyl ethers from four Indo-Pasific Dyaszdea sponges. J Nat Prod 58:1384-
1391.
278
PERBANDINGAN SISTEM EKSTRAKSI DALAM PENENTUAN
XANTORIZOL PADA TEMULAWAK
Irmanida Batubara, Latifah K Darusman1,2, Sri Wahyuni Nur1
1Departemen Kimia, FMIPA, IPB, 2Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB
ABSTRAK
Xantorizol, salah satu komponen minyak atsiri temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.),
memiliki aktivitas antioksidan, antikanker, dan antibakteri. Sistem ekstraksi yang efektif dan efisien
diperlukan untuk xantorizol temulawak agar dapat diterapkan dalam industri. Penelitian ini
menggunakan 4 sistem ekstraksi yang berbeda dan menganalisis ekstraknya dengan kromatografi cair
kinerja tinggi (HPLC). Beberapa parameter validasi yang meliputi limit deteksi (LOD), limit kuantifikasi
(LOQ), linearitas, ketelitian, dan ketepatan, dievaluasi.
Sistem ekstraksi terbaik ialah maserasi terhadap rimpang temulawak yang tidak dikupas
kulitnya dalam etanol selama 24 jam, dengan kadar xantorizol 107.92 ppm atau 1.11% (b/b). Analisis
standar xantorizol dengan HPLC menunjukkan puncak dengan waktu retensi (7.910 ± 0.092) menit.
Nilai LOD dan LOQ metode ini berturut-turut ialah 9.83 dan 65.79 ppm. Diperoleh persamaan regresi y
= 165608 + 104355x dengan nilai koefisien korelasi 0.9998 yang menunjukkan bahwa analisis memiliki
linearitas yang tinggi. Metode analisis ini juga memiliki ketelitian dan ketepatan yang baik dengan nilai
simpangan baku relatif 1.52% dan rerata pemulihan kembali (106.27 ± 1.79)%. Jadi, metode ini dapat
digunakan untuk menentukan kadar xantorizol secara kuantitatif.
ABSTRACT
Xanthorrhizol, one component of volatile oils in java turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb.),
showed antioxidant, anticancer, and antibacterial activities. An effective and efficient extraction system
is needed for xanthorrhizol from java turmeric to be applied in industry. In this research, extraction was
done in 4 different extraction systems and the extracts were analyzed by high performance liquid
chromatography (HPLC). Parameters of validation consisted of limit of detection, limit of quantification,
linearity, precision, and accuracy were evaluated.
The best extraction system was maceration of unpeeled java turmeric’s rhizome in ethanol for
24 hours, with xanthorrhizol content of 107.92 ppm or 1.11% (w/w). HPLC identification of xanthorrhizol
standard showed peak with retention time of (7.910 ± 0.092) minutes. LOD and LOQ of this method
were 9.83 and 65.79 ppm, respectively. Regression equation obtained was y = 165608 + 104355x with
correlation coefficient value of 0.9998 showing high linearity of this method. This method also had good
precision and accuracy with relative standard deviation of 1.52% and average recovery of (106.27 ±
1.79)%. So, this method can be used to determine xanthorrhizol content quantitatively.
279
PENDAHULUAN
Xantorizol merupakan senyawa khas dalam temulawak yang memiliki aktivitas antibakteri,
antiseptik, dan antibiotik (Sirait et al. 1985). Metode yang lazim digunakan di industri untuk memperoleh
campuran yang berkhasiat dari temulawak ialah penggodokan dengan air. Hal ini kurang efektif karena
banyak senyawa aktif, termasuk xantorizol, yang tidak larut dengan baik dalam air. Oleh karena itu,
perlu dicari metode ekstraksi yang lebih baik dalam mengambil xantorizol dari temulawak yang dapat
diterapkan dalam industri.
Xantorizol dapat dianalisis dengan berbagai macam cara, antara lain dengan kromatografi gas
(GC), GC-spektrometri massa (GC-MS), kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC), spektrofotometri
ultraviolet (UV), dan kromatografi lapis tipis (TLC). Pada penelitian ini digunakan HPLC karena memiliki
kepekaan yang paling tinggi. Selain itu, HPLC hanya memerlukan jumlah contoh yang sedikit (beberapa
mikroliter), dapat digunakan untuk contoh yang atsiri maupun nonatsiri, dan waktu analisisnya lebih
cepat (Hendayana et al. 1994). Hasil analisis yang akurat dan sahih diperoleh jika metode yang
digunakan telah tervalidasi. Tujuan penelitian ini ialah membandingkan 4 sistem ekstraksi yang berbeda
terhadap kadar xantorizol yang diperoleh dan memvalidasi metode analisis xantorizol dengan HPLC.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri atas penyiapan bahan baku, penentuan kadar air dan kadar abu, uji
fitokimia, ekstraksi, analisis TLC, penyiapan injeksi HPLC, validasi metode penentuan xantorizol dengan
HPLC, dan pengukuran kadar xantorizol dengan HPLC. Ringkasnya tahapan penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Ekstraksi
Ada 4 sistem ekstraksi xantorizol yang dilakukan. Sistem ekstraksi ke-1 menggunakan rimpang
kering yang tidak dikupas kulitnya dan direndam dalam NaOH untuk menghilangkan pengotor atau
senyawa yang berbobot molekul besar seperti lemak (Robinson 1995). Setelah dikeringkan, residu
dimaserasi dalam etanol, dipanaskan, dan ditambahkan karbon aktif untuk menghilangkan pengotor
yang ikut terekstraksi. Sistem ekstraksi ke-2 hampir sama dengan sistem ke-1, tetapi rimpangnya tidak
direndam dahulu dalam NaOH. Kedua sistem tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh
perendaman dalam NaOH terhadap rendemen dan kadar xantorizol.
Contoh pada sistem ekstraksi ke-3 ialah rimpang temulawak kering yang sudah dikupas
kulitnya dan langsung dimaserasi dalam etanol tanpa perendaman dalam NaOH, pemanasan, dan
penambahan karbon aktif. Sistem ekstraksi ke-4 sama dengan yang ke-3, tetapi tidak dikupas terlebih
dahulu. Hal yang ingin dilihat pada sistem ke-3 dan ke-4 ialah pengaruh pengupasan kulit terhadap
rendemen dan kadar xantorizol.
280
Rimpang temulawak segar
Ekstraksi
Pengenceran 10x
Analisis kadar air dan abu serta uji fitokimia terhadap bahan baku dilakukan sebagai uji
pendahuluan. Kadar air rimpang temulawak segar cukup besar, yaitu 64.66%, sehingga tidak dapat
disimpan dalam waktu yang lama. Sementara itu, rimpang temulawak kering kadar airnya 3.69%
sehingga lebih tahan lama untuk disimpan. Hal tersebut dikarenakan kestabilan optimum bahan akan
tercapai dan pertumbuhan mikrob dapat dikurangi jika kadar airnya 3−7% (Winarno 1997). Kadar abu
contoh segar (6.20%) lebih besar daripada yang kering (5.30%), berarti bahwa kandungan bahan
anorganik dalam contoh segar lebih besar.
Uji fitokimia merupakan uji awal untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder dan
pengaruh proses pengeringan. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa proses pengeringan pada
suhu 40 oC tidak merusak kandungan senyawa terpenoid dalam rimpang temulawak. Selain terpenoid,
rimpang temulawak juga mengandung flavonoid, alkaloid, dan steroid. Senyawa inilah yang diduga
akan mengganggu analisis selanjutnya dengan HPLC.
281
Tabel 1 Uji fitokimia pendahuluan rimpang temulawak*
Uji Tanpa kupas segar Kupas segar Tanpa kupas kering Kupas kering
Flavonoid ++ ++ ++ ++
Alkaloid:
Dragendorf + + + +
Mayer − − − −
Wagner + + + +
Steroid +++ +++ +++ +++
Terpenoid +++ +++ +++ +++
Tanin − − − −
Saponin − − − −
*(−) = hasil uji negatif; (+) = hasil uji positif dan jumlahnya menunjukkan intensitas warna
Sistem ekstraksi ke-4 menghasilkan rendemen terbesar, yaitu 4.40%, karena waktu maserasi-
nya lebih lama (24 jam), yang berarti kontak antara serbuk contoh dan etanol lebih lama, sehingga lebih
banyak komponen yang terekstraksi. Waktu maserasi pada sistem ekstraksi ke-3 juga 24 jam, tetapi
rendemennya lebih rendah karena menggunakan rimpang temulawak yang dikupas. Beberapa senyawa
aktif temulawak, seperti xantorizol, berada di bagian kulit ataupun di antara kulit dan daging rimpang
temulawak sehingga pengupasan berakibat pada hilangnya senyawa-senyawa tersebut dan
menurunkan rendemen.
Rendemen terkecil dimiliki oleh sistem ekstraksi ke-1 (0.55%) sedangkan rendemen sistem
ekstraksi ke-2 sebesar 4.10%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perendaman dalam NaOH sebelum
ekstraksi dapat menghilangkan pengotor sehingga menurunkan rendemen, namun ekstraknya
diperkirakan menjadi lebih murni. Rendemen kedua sistem ini lebih kecil dibandingkan dengan sistem
ekstraksi ke-4 karena waktu ekstraksinya lebih singkat, yaitu 5 jam.
Uji fitokimia juga dilakukan terhadap ekstrak untuk mengetahui senyawa lain yang ikut
terekstraksi dan dapat memengaruhi analisis dengan HPLC. Tabel 2 memperlihatkan bahwa ekstraksi
tidak berpengaruh terhadap kandungan senyawanya: flavonoid, alkaloid, steroid, dan terpenoid memiliki
intensitas warna yang sama, kecuali pada sistem ekstraksi ke-1. Ekstrak dari sistem ke-1 mengalami
penurunan kandungan flavonoid, steroid, dan terpenoid, yang ditunjukkan dengan berkurangnya
intensitas warna yang terbentuk.
282
adanya ketidakmurnian standar. Standar xantorizol yang digunakan memiliki kemurnian 98.259%. Nilai
Rf standar xantorizol 0.5311, maka noda dengan nilai Rf di sekitar itu dengan warna yang sama diduga
merupakan xantorizol. Dengan demikian, ekstrak yang mengandung xantorizol ialah yang dari sistem
ekstraksi ke-1, 3, dan 4. Ekstrak sistem ekstraksi ke-2 tidak mengandung xantorizol karena waktu
ekstraksinya hanya 5 jam sehingga xantorizol tidak ikut atau hanya sedikit sekali yang terekstraksi.
Pemanasan dan penambahan karbon aktif diduga juga menghilangkan xantorizol.
S 1 2 3 4
Gambar 2 Kromatogram lapis-tipis standar xantorizol serta ekstrak keempat sistem ekstraksi (1−4).
Berdasarkan rendemen, hasil TLC, dan uji fitokimia, ekstrak sistem ekstraksi ke-1 dan ke-4
dianalisis kadar xantorizolnya dengan HPLC. Ekstrak sistem ke-4 dipilih karena memiliki rendemen
tertinggi dan hasil analisis TLC-nya menunjukkan kandungan xantorizol. Sementara itu, ekstrak ke-1
dipilih karena memiliki jumlah senyawa dan pengotor paling sedikit serta mengandung xantorizol ,
walaupun rendemennya paling kecil.
Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan menginjeksi larutan standar 122.82 ppm sebanyak 5
kali ulangan. Rerata faktor ikutan yang dihasilkan ialah 1.16, masuk ke dalam kriteria penerimaan 0.5 ≤
T ≤ 2.0. Hal ini berarti sistem kromatografi dan kolom yang digunakan sesuai untuk analisis xantorizol.
Luas puncak xantorizol dalam standar dengan konsentrasi 9.83 ppm ialah 1378535 (Tabel 3)
sedangkan derau (noise) terbesar pada pengukuran ini memiliki respons sebesar 703094. Jadi, larutan
standar tersebut memiliki nisbah sinyal-derau (signal to noise ratio) sebesar 2:1 dan memenuhi syarat
untuk dijadikan sebagai limit deteksi. Xantorizol dengan konsentrasi 9.83 ppm hanya dapat digunakan
untuk mendeteksi adanya xantorizol, tetapi untuk menghitung kadar diperlukan sinyal analit yang lebih
besar.
283
Menurut Green (1996), limit kuantifikasi memiliki nisbah sinyal analit-derau sebesar 10:1,
sedangkan menurut Levin (2002) 4:1. Limit kuantifikasi yang memenuhi persyaratan Green adalah
65.79 ppm, sedangkan larutan standar dengan konsentrasi 24.56 ppm memenuhi persyaratan Levin.
Linearitas ditentukan dengan membuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi standar
xantorizol dan luas puncak pada Tabel 3. Diperoleh persamaan garis y = 165608 + 104355x dengan
koefisien korelasi (r) 0.9998 (Gambar 3) untuk kisaran konsentrasi standar xantorizol 49.13−147.39
ppm. Nilai r yang mendekati satu menunjukkan linearitas yang tinggi, artinya meningkatnya konsentrasi
xantorizol akan memperluas puncak juga secara linear. Menurut ICH (1994), nilai r yang dihasilkan
telah memenuhi persyaratan, yaitu harus lebih besar dari 0.990.
18 y = 104355x + 165608
16 r = 0.9998
14
6
Luas puncak x 10
12
10
8
6
4
2
0
0 50 100 150 200
Konsentrasi standar xantorizol (ppm)
Ketelitian dapat diketahui berdasarkan nilai simpangan baku relatif (SBR) dari enam kali
pengukuran. Larutan yang digunakan pada uji ketelitian ialah ekstrak dari sistem ekstraksi ke-4 karena
memiliki kadar xantorhizol terbesar, yaitu 107.29 ppm. Rerata luas puncak dan konsentrasi xantorizol
yang dihasilkan sebesar 11361611.83 dan 107.29 ppm (Tabel 4). Nilai SBR hasil pengukuran adalah
1.52% dan memenuhi kriteria penerimaan parameter ketelitian menurut ICH (1994) dan ASEAN (1996),
yaitu SBR harus lebih kecil atau sama dengan 2.0%. Berdasarkan nilai SBR yang diperoleh, metode ini
termasuk teliti sehingga setiap hasil analisis yang dilakukan secara berulang memiliki nilai yang tidak
jauh berbeda.
284
Ketepatan dapat dilihat berdasarkan nilai pemulihan kembali (PK) standar yang ditambahkan ke
dalam contoh dengan menggunakan metode penambahan standar. Batas penerimaan ketepatan
berdasarkan ICH (1994) ialah dengan PK antara 80 dan 110%. Data hasil uji ketepatan dapat dilihat
pada Tabel 5. Rerata PK xantorizol yang ditambahkan untuk 3 konsentrasi berada pada kisaran
tersebut, yaitu (106.27 ± 1.79)%. Jadi, metode ini tepat untuk menganalisis kadar xantorizol karena
memenuhi persyaratan ICH.
Berdasarkan hasil validasi, metode analisis xantorizol dengan HPLC termasuk ke dalam kelas
C, yaitu dapat menentukan kadar xantorizol secara kuantitatif. Hal ini dikarenakan hasil validasi
memperlihatkan ketepatan dan ketelitian yang baik dan memenuhi persyaratan ICH (1994).
Ekstrak sistem ekstraksi ke-1 dan ke-4 setelah dianalisis dengan HPLC terbukti mengandung
xantorizol karena memiliki puncak serapan pada kisaran waktu retensi standar xantorizol, yaitu (7.910 ±
0.092) menit (Gambar 4). Rerata kadar xantorizol berdasarkan bobot kering dalam kedua ekstrak
tersebut berturut-turut ialah 0.51 dan 1.11% (b/b) (Tabel 6). Hasil ini menunjukkan bahwa sistem 4
dapat mengekstraksi lebih banyak xantorizol.
(a)
(b)
Gambar 4 Kromatogram ekstrak dari sistem ekstraksi ke-1 (a) dan ke-4 (b).
285
Kromatogram ekstrak sistem ke-1 dan ke-4 menunjukkan kandungan senyawa yang sama
karena keduanya mempunyai puncak-puncak dengan waktu retensi yang serupa (Gambar 4). Luas dan
tinggi puncak pada kromatogram ekstrak ke-1 lebih kecil daripada ekstrak ke-4, artinya konsentrasi
senyawa-senyawanya lebih rendah. Tahapan perendaman dalam NaOH, pemanasan, dan
penambahan karbon aktif pada sistem ke-1 diduga menghilangkan pengotor dan juga xantorizol. Sistem
ekstraksi ke-4 tidak melalui tahap-tahap tersebut sehingga jauh lebih sederhana, tetapi dapat
mengekstraksi xantorizol lebih banyak sehingga lebih mudah jika diterapkan di industri yang
menggunakan ekstrak sebagai bahan baku. Akan tetapi, ekstrak ke-4 mengandung pengotor yang lebih
banyak terlihat dengan banyaknya puncak yang muncul pada kromatogram. Senyawa selain xantorizol
tersebut mengganggu analisis. Berdasarkan hasil uji fitokimia, senyawa tersebut kemungkinan
termasuk ke dalam kelompok flavonoid, alkaloid, dan steroid.
Simpulan
Sistem ekstraksi ke-4 dapat mengekstraksi xantorizol dari temulawak dengan kadar yang
terbesar. Sistem ekstraksi ke-1 dapat menghasilkan ekstrak yang lebih murni, tetapi xantorizol yang
terekstraksi lebih sedikit. Sistem ekstraksi ke-2 dan ke-3 juga memiliki rendemen yang besar, namun
memiliki tahapan ekstraksi yang lebih sulit dibandingkan dengan sistem ekstraksi ke-4 sehingga kurang
efisien jika digunakan dalam industri. Kadar xantorizol ekstrak sistem ekstraksi ke-4 ialah 107.92 ppm
atau 1.11% (b/b). Analisis HPLC standar xantorizol menghasilkan puncak dengan waktu retensi (7.910
± 0.092) menit. Limit deteksi dan limit kuantifikasi metode adalah 9.83 dan 65.79 ppm. Linearitas yang
dihasilkan termasuk tinggi dengan persamaan garis y = 165608 + 104355x dan nilai koefisien korelasi
0.9998. Metode analisis ini memiliki ketelitian dan ketepatan yang baik dengan nilai SBR 1.52% dan
rerata pemulihan kembali yang dihasilkan sebesar (106.27 ± 1.79)%. Berdasarkan hasil validasi metode
tersebut, metode ini tergolong dalam kelas C, yaitu dapat digunakan untuk menentukan kadar xantorizol
secara kuantitatif.
Saran
Parameter validasi selektivitas dan sensitivitas dari metode analisis penentuan xantorizol
dengan HPLC juga perlu diuji. Selain itu, uji ketahanan (robustness) dan ketidakrataan (ruggedness)
juga diperlukan untuk mengetahui pengaruh dari analit, kondisi instrumen yang digunakan, dan waktu
analisis yang berbeda, dalam laboratorium yang sama maupun berbeda, terhadap hasil akhir.
DAFTAR PUSTAKA
[ASEAN] Association of South East Asian Nations. 1996. Good Manufacturing Practice Guidelines. Ed
ke-3. Jakarta: ASEAN.
[FDA] Food and Drug Administration. 1994. Reviewer Guidance: Validation of Chromatographic
Methods. Rockville: FDA.
Green JM. 1996. A practical guide to analytical methode validation. Anal Chem 68:305A-309A.
Hwang JK, Pyun YR, Shim JS. 2000. Antibacterial activity of xanthorrizol from Curcuma xanthorrhiza
against oral pathogens. Fitoterapia 71:321-323.
286
[ICH] International Conference on Harmonization. 1994. Validation of Analytical Procedures: Definitions
and Terminology. WWW ICH. [terhubung berkala]. http://www.ich.org [9 Jan 2006].
Levin S. 2002. Quantitative Work in HPLC. WWW Forumsci [terhubung berkala]. http://www.forum
sci.co.il/HPLC [2 Feb 2006].
Oei BL, Apsarton Y, Puspa S, Widjaja T. 1985. Beberapa Aspek Isolasi, Identifikasi, dan Penggunaan
Komponen-komponen Curcuma xanthorrhiza Roxb. dan Curcuma domestica Vahl. Bandung:
Darya Varia Laboratoria.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Ed ke-6. Padmawinata K, penerjemah;
Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Organic Constituent of Higher Plants.
Setijadi T. 1985. The Identification of the Active Ingredients of Curcuma xanthorrhiza Roxb. and
Curcuma longa Vahl. After Extraction With Supercritical Carbon Dioxide. Bogor: Darya Varia
Laboratoria.
Sidik, Muhtadi A, Mulyono MW. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bandung: Yayasan
Pengembangan Obat Bahan Alam.
Sirait M, Gana A, Moesdarsono, Nor KM. 1985. Pemeriksaan Kadar Xantorizol dalam Curcuma
xanthorrhiza Roxb. Simposium Nasional Temulawak. Bandung. Penerbit ITB.
Skoog DA, Leary JJ. 1992. Principles of Instrumental Analysis. Ed ke-4. Portland: Saunders College.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia.
287
IDENTIFIKASI FRAKSI DAGING BUAH PICUNG (Pangium edule Reinw.)
YANG AKTIF SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI TERHADAP
ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F. [Lepidoptera: Noctuidae])
Zulhan Arif, Elly Suradikusumah1, Irmanida Batubara1,2
1 Departemen Kimia, FMIPA, IPB, 2 Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB
ABSTRAK
Pemakaian pestisida sintetik yang meluas meningkatkan residu pestisida dan menimbulkan
bahaya terhadap organisme bukan sasaran. Penelitian ini bertujuan mencari fraksi daging buah picung
(Pangium edule Reinw.) yang aktif sebagai insektisida botani, dan mengidentifikasinya. Daging buah
picung segar dan kering diekstraksi dengan pelarut air, metanol, kloroform, diklorometana, dan n-
heksana. Uji aktivitas ekstrak kasar dilakukan terhadap larva Spodoptera litura instar III dan Artemia
salina, sedangkan fraksi hasil pemisahan hanya diuji pada S. litura instar III.
Aktivitas penghambatan makan ekstrak kasar yang paling tinggi terdapat pada ekstrak n-
heksana daging buah picung kering (DBPK), yaitu sebesar 65.83% dengan mortalitas kumulatif sebesar
33.33% pada konsentrasi 50% (b/v) selama 5 hari uji. Uji larva udang A. salina menunjukkan nilai
konsentrasi mematikan 50% 244.47 ppm. Fraksionasi ekstrak n-heksana DBPK menghasilkan 7 fraksi.
Fraksi V merupakan fraksi teraktif terhadap S.litura instar III dengan nilai penghambatan makan sebesar
67.82% dan kematian kumulatif 46.67% pada konsentrasi 20% (b/v) selama 5 hari uji. Identifikasi fraksi
secara kualitatif mengindikasikan keberadaan golongan alkaloid.
PENDAHULUAN
Pestisida dan pertanian merupakan 2 hal yang sulit dipisahkan karena pestisida telah lama
menjadi bagian dari sistem pengendalian hama dan penyakit tumbuhan (Sudarmo 1991). Peningkatan
residu pestisida menimbulkan bahaya terhadap organisme bukan sasaran, seperti manusia dan
lingkungan sekitar, serta menyebabkan resistensi organisme terhadap pestisida tertentu (Kabaru &
Gichia 2001). Salah satu cara mengurangi masalah residu pestisida ialah dengan memanfaatkan
pestisida alami, misalnya dari ekstrak tumbuhan dan mikrob (Novizan 2002).
Indonesia kaya akan keragaman hayati, termasuk tumbuhan yang mengandung senyawa aktif
pestisida (Heyne 1987). Menurut Lahiya (1983) salah satu tumbuhan yang berpotensi menjadi sumber
pestisida botani ialah picung (Pangium edule Reinw.). Penelitian ini bertujuan mencari fraksi aktif daging
buah picung yang berpotensi sebagai insektisida botani terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F.), dan
mengidentifikasinya.
Picung merupakan tanaman dengan tinggi mencapai 40 meter, tumbuh di hutan, pinggiran
sungai, atau daerah bukit-bukit rendah, atau sengaja dibudidayakan di daerah dengan ketinggian
kurang dari 1000 m di atas permukaan laut (Backer & Brink 1963; Heyne 1987; Keng 1969). Buah
picung berbentuk bulat telur dengan kedua ujung tumpul dan tidak simetris (Gambar 1).
288
Gambar 1 Buah picung (P. edule Reinw.).
Insektisida botani merupakan senyawa beracun, mengandung bahan aktif tunggal atau
majemuk yang berasal dari tumbuhan dan dapat digunakan untuk mengendalikan organisme peng-
ganggu (Sitepu et al. 1999). Penggunaan insektisida botani mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
relatif lebih aman dibandingkan dengan insektisida sintetik, hanya berefek pada hewan target dan
organisme yang berhubungan dekat, efektif pada jumlah sedikit, dan cepat terurai. Jadi, insektisida
botani tidak menimbulkan pencemaran dan dapat menekan penggunaan insektisida sintetik (Novizan
2003).
Ulat grayak (S. litura F.) merupakan anggota ordo Lepidoptera famili Noctuidae. Ordo
Lepidoptera terdiri atas 5 subordo, 25 superfamili, dan 80 famili. Famili Noctuidae merupakan salah satu
famili Lepidoptera yang paling merusak tanaman pertanian (Stehr 1987). Ulat grayak (S. litura
Fabricius), hama dari tanaman tembakau, kedelai, kacang tanah, kentang, cabai, bawang merah, kubis,
dan berbagai macam tumbuhan lainnya, bersifat polifag dan dapat memakan berbagai macam
tumbuhan (Lamb 1974).
METODE PENELITIAN
Penelitian diawali dengan mengekstraksi daging buah picung (DBP) segar dan kering dengan
pelarut yang berbeda-beda kepolarannya, yaitu air, metanol, kloroform, diklorometana, dan n-heksana.
Ekstrak kasar dalam masing-masing pelarut selanjutnya diuji fitokimia dan aktivitasnya terhadap larva
udang Artemia salina L. dan larva S. litura instar III. Ekstrak kasar teraktif dipisahkan menggunakan
kromatografi lapis tipis preparatif (TLCp) dengan eluen terbaik hasil TLC analitik. Fraksi-fraksi yang
diperoleh diuji kembali menggunakan larva S. litura instar III. Fraksi paling aktif kemudian diidentifikasi
dengan spektrofotometer inframerah (IR), ultraviolet (UV), dan diuji fitokimia kembali.
Larva S. litura didapatkan dari perkebunan talas SEAMEO Biotrop, Bogor. Larva yang diperoleh
dibiakkan terlebih dahulu. Pengembangbiakan ini bertujuan mengondisikan larva dari kondisi lapangan
ke kondisi uji (Boardman 1977). Larva diberi pakan daun talas sampai membentuk fase pupa. Pupa
yang telah menjadi imago dipindahkan ke dalam kurungan dengan dimensi (40 × 30 × 30) cm3. Imago
diberi pakan madu 10% (v/v) dengan bantuan kapas. Bagian dalam kurungan diberi daun sebagai
tempat meletakkan telur dan tempat bertengger.
Uji mortalitas
Ekstrak dilarutkan dalam air, lalu ditambahkan Tween-80 sampai konsentrasi tertentu, dan
diencerkan untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi yang lain. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan konsentrasi 1.00, 5.00, 10.00, dan 50.00% (b/v). Daun pakan dipotong seragam,
dicelupkan ke dalam larutan, ditiriskan sampai pelarut kering, ditimbang, dan dimasukkan ke dalam
cawan petri yang berisi 10 ekor larva S. litura instar III yang telah dipuasakan selama 4 jam. Bobot daun
diukur setelah 24 jam. Kontrol yang digunakan 2 macam, yaitu daun yang diberi pelarut dan daun tanpa
penambahan pelarut dan pestisida. Kematian-terkoreksi ulat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
289
Po − Pc
% Kematian = × 100 %
100 − Pc
dengan Po = % kematian kumulatif pada perlakuan
Pc = % kematian kumulatif pada kontrol.
⎛ T⎞
% Penghambatan= ⎜1 − ⎟ × 100 %
⎝ C⎠
dengan T = bobot daun yang dimakan pada perlakuan (g)
C = bobot daun yang dimakan pada kontrol pelarut (g).
290
Tabel 1 Rendemen ekstraksi berdasarkan bobot kering bahan
Rendemen DBP* (% [b/b])
Pelarut
Segar Kering
n-Heksana 3.43 0.96
Diklorometana 19.20 10.00
Kloroform 5.01 2.92
Metanol 23.10 13.06
Air 12.46 16.46
* DBP = daging buah picung.
Pemeriksaan terhadap metabolit sekunder dilakukan untuk beberapa senyawa, antara lain
glikosida sianogen, alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, saponin, tanin, dan kuinon. Hasil
pemeriksaan fitokimia disajikan pada Tabel 2.
Uji glikosida sianogen dilakukan untuk mendeteksi keberadaan HCN, senyawa yang beracun
terhadap makhluk hidup. Senyawaan glikosida sianogen akan menghasilkan HCN jika terhidrolisis.
Senyawa HCN yang menguap akan membuat kertas pikrat berubah warna dari kuning menjadi merah
kecokelatan. Daging buah picung kering terdeteksi tidak mengandung HCN. Diduga HCN yang terdapat
pada daging buah telah terhidrolisis dan teruapkan ketika dikeringkan dengan cara pemanasan. HCN
mempunyai titik didih 26°C (Weast 1981), sehingga pengeringan dengan oven pada suhu 40−50 °C
sangat mungkin menguapkannya. Reaksi hidrolisis senyawaan glikosida sianogen ialah sebagai berikut
(Robinson 1995):
Uji alkaloid dilakukan karena sebagian alkaloid merupakan racun bagi manusia dan mempunyai
efek fisiologis yang menonjol (Harborne 1987). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan adanya
senyawaan alkaloid pada ekstrak yang mempunyai aktivitas tertinggi. Sementara uji-uji lain dilakukan
untuk melihat kandungan metabolit sekunder lainnya. Uji tersebut juga dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya senyawaan racun lain.
Pemeriksaan fitokimia juga dilakukan pada ekstrak berbagai macam pelarut untuk melihat
pengaruh sistem ekstraksi terhadap keberadaan senyawa-senyawa yang ada pada bahan.
Dimungkinkan, akibat sistem ekstraksi yang digunakan, ada sebagian senyawa kimia yang tidak
terekstraksi. Hasil pemeriksaan fitokimia ekstrak disajikan pada Tabel 3 dan 4.
291
Tabel 3 Pemeriksaan fitokimia ekstrak berbagai pelarut daging buah picung segar
Ekstrak*
Uji
H D K M A
Glikosida − − + + +
Alkaloid ++ ++ ++ +++ ++
Flavonoid − ++ + + ++
Steroid − + + ++ −
Triterpenoid − − − − −
Saponin − − − − −
Tanin − − − − −
Kuinon − − − − −
* H = n-heksana; D = diklorometana; K= kloroform; M = metanol; dan A = air
Tabel 4 Pemeriksaan fitokimia ekstrak berbagai pelarut daging buah picung kering
Ekstrak*
Uji
H D K M A
Glikosida − − + + +
Alkaloid ++ ++ ++ ++ ++
Flavonoid − + + + ++
Steroid − − + + −
Triterpenoid − − − − −
Saponin − − − − −
Tanin − − − − −
Kuinon − − − − −
* H = n-heksana; D = diklorometana; K = kloroform; M = metanol; dan A = air
Aktivitas Insektisida
Sebelum pengujian, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 4 jam agar kondisi lapar larva
S. litura seragam. Dengan kondisi lapar, ulat diharapkan akan mengonsumsi pakan yang telah diberi
perlakuan. Ulat yang tidak memakan pakan merupakan dampak dari adanya perlakuan. Pemuasaan
hanya dilakukan dalam waktu 4 jam dan tidak lebih lama, karena adanya sifat kanibal ulat terhadap
sesamanya.
Penghambatan makan tertinggi didapat dari perlakuan dengan ekstrak n-heksana DBP kering,
yaitu sebesar 65.83% pada konsentrasi 50% (b/v) (Tabel 5). Uji mortalitas dilakukan pada konsentrasi 1,
5, 10, dan 50% (b/v) untuk melihat respons hewan uji terhadap pengaruh konsentrasi. Uji mortalitas
menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana DBP kering juga mempunyai aktivitas tertinggi, yaitu 33.33%
(Tabel 5). Aktivitas ini relatif tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak yang
digunakan, yaitu mencapai 50% (b/v) .
Ekstrak n-heksana DBP kering menunjukkan aktivitas penghambatan makan dan efek
mortalitas yang tidak terlalu tinggi terhadap larva S. litura instar III. Hal ini kemungkinan karena DBP
merupakan bagian yang sedikit mengandung racun. Selain itu, bagian ini juga cepat membusuk dan
tidak tahan lama dalam penyimpanan. Aktivitas tinggi terhadap S. litura instar III telah dilaporkan
terdapat pada ekstrak n-heksana daun picung kering (Nulhakim 2005).
292
Tabel 5 Uji penghambatan makan dan uji mortalitas ekstrak DBP pada S. litura instar III
Ekstrak* Aktivitas penghambatan makan** Kematian (%)**
AB 56.09 13.33
MB 54.78 10.00
KB 54.31 20.00
DB 59.08 30.00
HB 61.75 20.00
AK 57.42 23.33
MK 55.65 26.67
KK 52.65 26.67
DK 60.86 20.00
HK 65.83 33.33
* B = segar, K= kering, A = air, M = metanol, K = kloroform, D = diklorometana, H = n-heksana
** Konsentrasi yang dipakai 50% (b/v)
Hasil uji larva udang menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana DBP kering mempunyai nilai LC50
terendah, yaitu 244.47 ppm (Gambar 2), diikuti oleh ekstrak n-heksana DBP segar (271.66 ppm).
Ekstrak dengan aktivitas tinggi merupakan ekstrak dalam pelarut nonpolar sehingga senyawa aktifnya
kemungkinan bersifat nonpolar. Uji ini bertujuan melihat respons ekstrak kasar DBP terhadap hewan uji
selain S. litura dan untuk penapisan awal senyawa pestisida. Hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak yang
aktif terhadap A. salina juga aktif terhadap larva, yaitu ekstrak n-heksana DBP kering.
2000.00
1659.53
1148.11
922.79
1000.00
613.00 680.94
586.96
500.00 244.47 271.66
0.00
AK MK KK DK HK AB MB KB DB HB
Ekstrak
Gambar 2 Nilai LC50 berbagai ekstrak DBP terhadap A. salina: B = segar, K = kering, M = metanol, K
= kloroform, D = diklorometana, H = n-heksana.
Fraksionasi
Fraksionasi dilakukan terhadap ekstrak dengan aktivitas tertinggi terhadap larva S. litura F.
instar III, yaitu ekstrak n-heksana DBP kering. Fraksionasi didahului dengan pencarian eluen terbaik
menggunakan TLC analitik, sedangkan fraksionasinya menggunakan TLCp. Eluen terbaik yang
diperoleh ialah n-heksana-kloroform dengan nisbah 1:1. Hasil pemisahan menunjukkan adanya 7 fraksi
(Gambar 3). Masing-masing fraksi dipisahkan dan dihitung nilai Rf-nya, kemudian ditimbang untuk
dihitung rendemennya (Tabel 6). Fraksi-fraksi tersebut selanjutnya diperiksa dengan TLC analitik untuk
diuji kemurniannya berdasarkan jumlah bercak yang terbentuk.
293
Gambar 3 TLCp ekstrak n-heksana DBP kering dengan eluen terbaik (kloroform-n-heksana 1:1).
Fraksi-fraksi tersebut kemudian diujikan kembali terhadap larva S. litura F. instar III. Hasilnya
menunjukkan bahwa fraksi V merupakan fraksi teraktif dengan nilai aktivitas penghambatan makan
67.82% dan mortalitas kumulatif 46.67%. Bila dibandingkan dengan pestisida sintetik, aktivitas ini
terpaut sangat jauh, padahal konsentrasi uji yang digunakan mencapai 20% (b/v), 100 kali lebih besar
daripada konsentrasi peptisida sintetik, yaitu 0.20% (Tabel 7).
Nilai uji fraksi V yang diperoleh tidak menunjukkan adanya sinergisme di antara senyawa-
senyawa penyusun pestisida. Sifat sinergis didefinisikan, salah satunya oleh Isman (1997), sebagai sifat
pestisida yang menunjukkan aktivitas tinggi bila beberapa golongan senyawa berada dalam campuran
dengan komposisi tertentu. Adanya sifat sinergis, terutama pada petisida botani, membuat formulasi
pestisida botani terhambat. Sifat ini pula yang terkadang menyebabkan pemurnian pestisida botani
cenderung menurunkan aktivitas pada fraksi hasil pemisahan. Hasil uji penghambatan makan dan
mortalitas terhadap fraksi hasil pemisahan masih menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi terhadap larva
294
S. litura instar III daripada ekstrak kasar, sehingga dapat dikatakan bahwa efek sinergis tidak terlihat
pada pengujian aktivitas ekstrak.
Pemisahan fraksi V dan fraksi-fraksi lain hasil pemisahan pada TLC analitik menunjukkan
adanya beberapa bercak (Gambar 4). Hal tersebut berarti bahwa ekstrak kasar n-heksana DBP kering
belum betul-betul murni.
Gambar 4 TLC analitik fraksi-fraksi hasil pemisahan TLCp dengan eluen kloroform-n-heksana 1:1.
Fraksi teraktif (fraksi V) dari pemisahan TLCp diidentifikasi lebih lanjut yang meliputi uji fitokimia,
TLC analitik, spektrofotometri UV, dan spektrofotometri IR. Dua uji pertama menunjukkan adanya
kemungkinan golongan senyawa alkaloid. Analisis lanjutan dengan spektrofotometri UV (Gambar 5)
memperlihatkan serapan pada panjang gelombang (λ) 218, 234, 268, dan 284 nm. Serapan pada λ 218
dan 234 nm dengan intensitas yang relatif kuat diperkirakan merupakan transisi jenis n-σ* atau π-π*
aromatik. Sementara itu, serapan lemah pada λ 268 dan 284 nm mungkin diakibatkan oleh jenis transisi
n-π* (Pavia et al. 1996).
Gambar 5 Spektrum serapan UV fraksi V dalam pelarut n-heksana pada konsentrasi 0.1% (b/v).
295
Gambar 6 Spektrum FTIR fraksi V dalam pelet KBr.
SIMPULAN
Daging buah picung (DBP) segar mengandung 78.26% air, dengan kandungan metabolit
sekunder meliputi glikosida sianogen, alkaloid, flavonoid, steroid, saponin, tanin, dan kuinon. DBP
kering mempunyai kadar air 13.32% dan hanya menunjukkan senyawaan alkaloid, flavonoid, steroid,
dan saponin. Jadi, uji fitokimia ekstrak DBP segar maupun kering menunjukkan adanya senyawa
alkaloid, flavonoid, steroid, dan saponin.
Uji aktivitas insektisida ekstrak DBP terhadap S. litura instar III memperlihatkan aktivitas
tertinggi pada ekstrak n-heksana DBP kering, dengan nilai penghambatan makan 65.83% dan nilai
mortalitas kumulatif 33.33% pada konsentrasi 50% (b/v). Uji larva udang terhadap ekstrak tersebut juga
menunjukkan aktivitas tertinggi dengan nilai LC50 sebesar 244.47 ppm.
Pemisahan ekstrak n-heksana DBP kering dengan eluen terbaik kloroform-n-heksana (1:1)
menghasilkan 7 fraksi. Fraksi V merupakan fraksi teraktif terhadap S. litura instar III dengan nilai
penghambatan makan 67.82% dan mortalitas kumulatif 46.67% pada konsentrasi 20% (b/v).
Identifikasi fraksi V secara kualitatif menunjukkan adanya golongan alkaloid. Identifikasi dengan
spektrofotometer UV menunjukkan serapan pada λ 218, 234, 268, dan 284 nm sedangkan spektrum
FTIR-nya menunjukkan kemungkinan keberadaan gugus N-H, C=O aldehida, dan C-N.
DAFTAR PUSTAKA
Backer CA, Brink RCB. 1963. Flora of Java (Spermatophytes Only). Groningen: NVP Noordhaaff.
Boardman LA. 1977. Insectary culture of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae). The New Zealand
Entomol 6:316-318.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Kosasih P, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan
dari: Phytochemical Methods.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Litbang Kehutanan, penerjemah.
Jakarta: Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Indonesie.
Isman MB. 1997. Neem and other botanical insecticides: barriers to commercialization. Phytoparasitica
25:339-344.
Kabaru JM, Gichia L. 2001. Insecticidal activity of extracts derived from different parts of the mangrove
tree Rhizophora mucronata Lam. (Rhizophoracea) againts three arthropods. Afr J Sci Technol
2:44-49
296
Keng H. 1969. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Kuala Lumpur: Univ of Malaya Pr.
Lahiya AA. 1983. Budi Daya Tanaman Holtikultura. Jenis-jenis Sayuran Daerah Tropis. Jilid III A-H.
Bogor: Biotrop.
Lamb KP. 1974. Economics Entomology in the Tropics. London: Academic Pr.
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Nulhakim L. 2005. Karakterisasi senyawa aktif daun picung (Pangium edule Reinw.) sebagai insektisida
botani terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera: Noctuidae) [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pavia DL, Lampman GL, Kriz GS. 1996. Introduction to Spectroscopy. A Guide for Students of Organic
Chemistry. Ed ke-2. Orlando: Saunders.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Ed ke-6. Padmawinata K, penerjemah.
Bandung: Penerbit ITB.
Sitepu D, Kardinan A, Asnan A. 1999. Hasil penelitian dan peluang pengembangan pestisida nabati. Bul
Litbang Pertanian 11:24-33.
Stehr FW. 1987. Immature Insects. Iowa: Kendall/Hunt.
Sudarmo S. 1991. Pestisida. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Weast RC. 1981. Handbook of Chemistry and Physics. Ed ke-61. 1980-1981. Boca Raton: CRC Press.
Yunita FC. 2004. Ekstraksi daging biji picung (Pangium edule Reinw.) dan uji toksisitas terhadap
Artemia salina Leach. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
297
UJI AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK AIR BIJI JENGKOL
(Pithecellobium jiringa [Jack] Prain ex King [Leguminoceae])
PADA MENCIT PUTIH
Irma R Kartika, Muktiningsih Nurjayadi, Fera Kurniadewi, Dwianantyo Setyadi*
Jurusan Kimia, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta Timur
ABSTRAK
Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King (PJ) (Leguminoceae), biasa disebut “jengkol”, telah
digunakan sebagai pengobatan alternatif diabetes. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek
antidiabetes dari ekstrak air-biji jengkol pada kadar glukosa darah mencit putih (Rattus norvegicus)
galur Wistar dengan ragam dosis dan waktu pengamatan. Mencit, setelah dipuasakan selama 18 jam,
diberi glukosa sebanyak 2 g/kg bobot badan (BB), kemudian ekstrak PJ diberikan secara oral dengan
dosis 0.2, 0.4, dan 0.8 g/kg BB. Efek antidiabetes ekstrak dibandingkan dengan obat antidiabetes yang
sering digunakan, yaitu Diabinese (0.25 g/kg). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 30, 60, 90,
dan 120 setelah pemberian ekstrak atau obat. Ekstrak air biji jengkol dengan dosis 0.8 g/kg BB mampu
menurunkan kadar glukosa darah 57% dari penurunan yang dihasilkan oleh Diabinese pada menit ke-
30.
Kata kunci: antidiabetes, Diabinese, ekstrak air, jengkol, Leguminoceae, Pithecellobium jiringa (Jack)
Prain ex King, Rattus norvegicus, mencit putih, Wistar.
ABSTRACT
Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King (PJ) (Leguminoceae), locally known as “jengkol”, has
been used as an alternative medication for diabetes. The objective of this study was to evaluate the
antidiabetic effect of aqueous extract of PJ’s seed on blood glucose level of white mouse (Rattus
norvegicus) Wistar strain with various doses and observation times. The mice, after fasted for 18 hours
were given 2 g/kg of body weight (BW) of glucose and PJ’s extract with doses of 0.2, 0.4, and 0.8 g/kg
of BW was administered orally to the mice. The antidiabetic effect of extracts were compared with the
commonly used antidiabetic drug, namely Diabinese (0.25 g/kg). The blood glucose level were observed
at 0, 30, 60, 90 and 120 minutes after the extract or drug administration. The aqueous extract of PJ’s
seed at concentration of 0.8 g/kg of BW was able to decrease the blood glucose level by 57% of the
decrease caused by Diabinese after 30 minutes.
PENDAHULUAN
Jengkol [Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King] (Gambar 1) telah banyak dimanfaatkan
sebagai bahan makanan di Indonesia, dan juga sebagai pengobatan alternatif tradisional diabetes yang
telah terbukti manfaatnya (Newlands 2005). Kedudukan tumbuhan jengkol dalam taksonomi tumbuhan
adalah sebagai berikut [http://plants.nrcs.usda.gov/]:
*Alamat korespondensi:
kardono@indosat.net.id
298
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae – Pea Family – Leguminoceae
Genus : Pithecellobium
Spesies : Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King
Sinonim : Pithecellobium lobatum (Benth) L,
Zygia jiringa (Jack) Kosterm.,
Mimosa jiringa (Jack),
Albizzia jiringa (Jack) Kurz,
Inga jiringa (Jack) Jack,
Archidendron jiringa (Jack) I. C. Nielsen.
(a) (b)
Gambar 1 Biji jengkol (a) dan pohon jengkol (b).
Selain kandungan nutrisi (Tabel 1), biji jengkol juga mengandung asam jengkolat, minyak atsiri,
saponin, alkaloid, terpenoid, steroid, tanin, dan glikosida. Asam jengkolat dapat menimbulkan
keracunan bila dikonsumsi berlebihan, karena asam ini sangat sukar larut dalam air dan kelarutannya
dalam asam dan basa sangat lama (Winarno 1992).
Tabel 1 Kandungan nutrisi dalam 100 gram biji jengkol.
Komponen Jumlah
Air 76.3 g
Lemak 0.2 g
Karbohidrat 16.9 g
Serat 1.3 g
Protein 6.2 g
Kalsium 23 mg
Fosforus 38 mg
Besi 0.7 mg
Vitamin A 658 IU
Vitamin B1 0.14 mg
Vitamin B2 0.01 mg
Niasin 0.4 mg
Vitamin C 8.0 mg
Sumber: Thai Department of Health (2006).
Penelitian mengenai isolasi senyawa bioaktif jengkol dan efek farmakologisnya sebagai
antidiabetes masih sedikit dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan uji aktivitas
antidiabetes ekstrak air biji jengkol pada mencit putih sebagai hewan uji. Penelitian ini juga dapat
dijadikan sebagai dasar penelitian lanjutan dalam usaha menemukan dan mengembangkan obat
tradisional sebagai obat antidiabetes yang relatif murah.
299
METODOLOGI PENELITIAN
Pelarut-pelarut organik teknis digunakan setelah terlebih dahulu didistilasi, yang meliputi air dan
kloroform. Juga digunakan pelarut p.a., yaitu amonia, amil alkohol, kloroform, dan glukosa, untuk
analisisnya. Bahan kimia lain yang digunakan ialah pereaksi Lieberman-Buchard, pereaksi Mayer,
bubuk Mg, HCl pekat, H2SO4 pekat, FeCl3, dan Diabinese (Pfizer Indonesia). Peralatan yang digunakan
antara lain berupa alat-alat kaca, radas distilasi, mantel pemanas, penguap putar (rotary evaporator),
neraca analitik, sonde, dan Gluko Test Meter GlucoDr.
Hewan Percobaan
Mencit putih sehat (Rattus norvegicus) galur Wistar usia 2−3 bulan dengan bobot 190−240 g
dijadikan sebagai hewan uji. Mencit ini diperoleh dari Puslitbang Pemberantasan Penyakit di Badan
Litbangkes Departemen Kesehatan, Jakarta. Sebelum penelitian, semua mencit dipelihara dahulu
selama 1 minggu untuk penyesuaian dengan lingkungannya.
Sebanyak 1400 g biji jengkol segar dibersihkan dan dipotong tipis-tipis, lalu dikeringkan. Contoh
kering ini kemudian digodok dalam 1000 ml air sampai cairan yang tersisa 200 ml. Filtrat lalu diuapkan
sehingga diperoleh ekstrak kental kecokelatan. Selanjutnya ekstrak ini diuji fitokimia untuk mengetahui
golongan senyawa apa saja yang terdapat di dalamnya. Golongan senyawa yang diujikan meliputi
alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin, steroid, dan triterpenoid.
Rancangan Percobaan
Mencit putih jantan sehat galur Wistar dibagi menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri
atas 3 ekor tikus. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Kelompok I : kontrol negatif, diberi air 5 ml/kg bobot badan (BB)
Kelompok II : kontrol positif, diberi obat antidiabetes Diabinese 0.25 g/kg BB
Kelompok III : diberi ekstrak dengan dosis 0.8 g/kg BB
Kelompok IV : diberi ekstrak dengan dosis 0.4 g/kg BB
Kelompok V : diberi ekstrak dengan dosis 0.2 g/kg BB
Aktivitas antidiabetes dari ekstrak biji jengkol diamati dengan metode normal, yaitu hewan uji
dipuasakan dahulu selama 18 jam, lalu tiap kelompok diberi larutan glukosa 2 g/kg BB sebelum
diperlakukan seperti di atas. Air, glukosa, Diabenese, dan ekstrak diberikan secara oral dengan
menggunakan sonde. Pengambilan darah dilakukan dari ujung ekor pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan
120 setelah perlakuan, dengan menggunakan Gluko Test Meter GlucoDr. Data yang diperoleh
dianalisis secara statistik dengan Anova Two Way Split Plot Design untuk mengetahui pengaruh waktu
pemeriksaan kadar glukosa darah hewan uji dan interaksinya terhadap dosis perlakuan.
300
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia
Pengeringan 1400 g biji jengkol segar menghasilkan 428 g contoh kering, yang setelah digodok
dalam air dan dipekatkan, menghasilkan ekstrak kental kecokelatan sebanyak 8.11 g. Hasil uji fitokimia
terhadap ekstrak tersebut menunjukkan adanya senyawaan alkaloid, steroid, terpenoid, dan saponin
(Tabel 2).
Tabel 2 Tabel uji fitokimia ekstrak air jengkol
Uji Golongan Hasil Uji
Alkaloid +
Flavonoid −
Steroid +
Terpenoid +
Saponin +
Fenolik −
Tabel 3 dan Gambar 2 memperlihatkan bahwa ekstrak air biji jengkol dapat menurunkan kadar
glukosa darah mencit putih menuju kadar normalnya hingga waktu akhir perlakuan (menit ke-120). Akan
tetapi, kemampuan menurunkan kadar glukosa darah (hipoglikemik) ini masih belum sebaik obat
antidiabetes Diabinese. Ekstrak dengan dosis 0.8 mg/kg BB dapat menurunkan kadar glukosa darah
lebih besar dibandingkan dengan dosis 0.4 dan 0.2 mg/kg BB. Kemampuan hipoglikemik diduga berasal
dari kandungan senyawaan alkaloid, steroid, terpenoid, dan saponin di dalam ekstrak air, baik bekerja
secara terpisah maupun sinergis. Selain itu, pengaruh senyawa lain yang bertindak sebagai zat bioaktif
pencetus hipoglikemik juga perlu diperhitungkan.
Tabel 3 Kadar glukosa darah rata-rata hewan uji dengan Gluko Test Meter
Kadar Glukosa Darah (mg/dl)*
Waktu Pengamatan (menit)
KI K II K III K IV KV
0 87.67 86.33 90.67 86.67 90.66
30 127.67 129.33 127.0 126.67 128.33
60 110.67 61.33 88.33 95.33 95.67
90 109.67 62.67 96.33 100.33 100.67
120 106.0 65.33 100.0 101.33 101.33
* K = kelompok perlakuan
Kadar glukosa darah
140
120
100
80
60
40
0 30 60 90 120
Waktu pengamatan (menit)
Gambar 2 Kadar rerata glukosa darah hewan uji: K I (♦), K II (■), K III (▲), K IV (×), dan K V (ж).
301
Penurunan maksimum kadar glukosa darah terjadi setelah 30 menit pemberian ekstrak dengan
dosis 0.8 g/kg BB atau obat Diabinese. Data tersebut menunjukkan bahwa efek hipoglikemik ekstrak
dan Diabinese hampir sama. Hal ini berarti mekanisme kerja keduanya dalam menurunkan glukosa
darah juga hampir sama. Diabinese bekerja dengan cara menstimulasi pengeluaran insulin dari sel beta
pankreas sehingga obat ini sesuai untuk penderita diabetes tipe II, pasien yang umurnya di atas 40
tahun, dan pasien yang telah mengidap diabetes kurang dari 10 tahun.
Pada menit ke-30, ekstrak air biji jengkol mampu menurunkan kadar glukosa 57% dari
penurunan oleh obat Diabinese. Data tersebut membuktikan bahwa ekstrak bekerja lebih cepat dalam
menurunkan glukosa darah dibandingkan dengan Diabinese sehingga berpotensi sebagai obat
hipoglikemik yang lebih ampuh.
Ekstrak air biji jengkol [P. jiringa (Jack) Prain ex King] dengan dosis 0.8 g/kg BB mampu
menurunkan kadar glukosa darah lebih besar daripada ekstrak 0.4 dan 0.2 g/kg BB dan menurunkan
kadar glukosa darah 57% dari penurunan yang dihasilkan oleh obat Diabinese. Penurunan maksimum
terjadi 30 menit setelah pemberian ekstrak atau obat.
Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan dosis ekstrak air-biji jengkol yang paling
efektif sebagai obat antihiperglikemik, mengisolasi senyawa aktif dan menentukan struktur molekulnya,
serta menentukan mekanisme selular dan molekular ekstrak air-biji jengkol dalam menurunkan kadar
glukosa darah. Selain itu, efektivitas ekstrak ini perlu juga dibandingkan dengan ekstrak lain yang
berpotensi serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro A. 2005. Skrining fitokimia dan uji efek hipoglikemik ekstrak etanol daun tanaman sukun
(Artocarpus altilis) pada tikus putih. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Jakarta.
Lewis C. Jan-Feb 2002. Diabetes: A growing public health concern. US Food and Drug Administration,
FDA Consumer Magazine.
Newlands A. 2005. Isolasi dan penentuan struktur molekul senyawa turunan flavonoid dari kulit buah
jengkol (Pithecellobium lobatum (Benth) L.) dan uji bioaktivitas terhadap benur udang Artemia
salina. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta.
Ngapi Nut, Pithecellobium lobatum. http://www.asiafood.org [3 Jan 2006].
Plants Profile for Pithecelobium jiringa. http://plants.nrcs.usda.gov/ [17 Mei 2006].
Ramadhani RB, Sudjarwo SA. 2001. Efek antidiabetes dari ekstrak buah mengkudu (Morinch citrifolic)
pada tikus yang diinokulasi dengan alloxan. Surabaya: Universitas Airlangga.
Suharmiati. 2003. Pengujian bioaktivitas anti diabetes mellitus tumbuhan obat. Cermin Dunia
Kedokteran 140.
Widowati L, Dzulkarnain B, Sa'roni. 1997. Tanaman obat untuk diabetes mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran 116.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
302
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK MAHKOTA DEWA, TEMU PUTIH,
SAMBILOTO, DAN KELADI TIKUS SECARA IN VITRO
Dyah Iswantini, Dedy Irawan, Gustini Syahbirin
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa, Boerl), temu putih (Curcuma zedoaria), sambiloto
(Andrographis paniculata, Nees), dan keladi tikus (Typhonium flagelliforme) berkhasiat sebagai
tanaman obat. Tanaman tersebut berpotensi mengobati kanker, dan kandungan senyawa di dalamnya
juga diduga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan menentukan daya
antioksidan keempat tanaman tersebut dengan menggunakan metode asam tiobarbiturat. Pada metode
ini, asam linoleat dioksidasi oleh udara pada suhu 40 oC selama 8 hari sehingga terbentuk produk
malondialdehida. Malondialdehida akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat membentuk produk
berwarna merah yang serapannya dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm. Potensi antioksidan
dari keempat ekstrak tanaman tersebut dilihat dari kemampuannya menghambat proses oksidasi. Daya
hambat masing-masing tanaman pada konsentrasi 200 ppm untuk ekstrak air demineralisasi, air panas,
dan etanol berturut-turut sebesar 83.44, 70.86, 81.84% (mahkota dewa); 60.21, 82.74, 69.28% (temu
putih); 81.45, 81.45, 67.96% (sambiloto); dan 68.60, 63.53, 72.17% (keladi tikus); sementara untuk
vitamin E (sebagai pembanding) 87.01%. Berdasarkan uji statistik Anova dan Duncan, potensi
antioksidan masing-masing tanaman pada konsentrasi 200 ppm berbeda nyata jika dibandingkan
dengan vitamin E pada selang kepercayaan 95%.
303
KAJIAN TEKNIK EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI DHA, STEROL, DAN
KUINON DALAM MINYAK SCHIZOCHYTRIUM SP. GALUR SR21
Tri Marwati
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
ABSTRAK
Asam dokosaheksaenoat (22:6, ω-3) (DHA) telah lama menarik perhatian karena peranannya
yang sangat penting dalam pertumbuhan sel otak dan susunan syaraf pusat serta retina mata. Sumber
DHA komersial terbesar ialah dari minyak ikan. Akan tetapi, sumber tersebut memiliki keterbatasan
dalam hal proses produksi dan produk yang dihasilkan sehingga perlu dicari sumber lain. Beberapa
hasil penelitian menyatakan bahwa mikroorganisme air laut dapat memroduksi DHA. Untuk
mengidentifikasi jenis mikroorganisme, diperlukan kemotaksonomi melalui teknik ekstraksi dan
identifikasi sterol dan kuinon dari minyak yang dihasilkan. Salah satu jenis mikroorganisme yang telah
teridentifikasi dan unggul dalam memroduksi DHA ialah Schyzochytrium sp. SR 21. Proses-proses yang
terlibat dalam ekstraksi dan identifikasi DHA, sterol, dan kuinon meliputi sentrifugasi, pengeringan,
ekstraksi dan penyaringan, fraksionasi dan esterifikasi, serta teknik kromatografi.
Kata kunci: teknik ekstraksi dan identifikasi, DHA, sterol, kuinon, Schyzochytrium sp..
PENDAHULUAN
Asam dokosaheksaenoat (22:6, ω-3) (DHA) telah lama menarik perhatian karena peranannya
yang sangat penting dalam pertumbuhan sel otak dan susunan syaraf pusat serta retina mata. Sumber
DHA komersial terbesar ialah dari minyak ikan, namun penggunaannya terbatas karena minyak ikan
berbau amis yang tidak diinginkan (Yaguchi et al. 1997). Selain itu, isolasi DHA murni dari minyak ikan
sangat sulit dan membutuhkan banyak proses, misalnya ekstraksi dengan urea, metode larutan garam
perak, distilasi molekular, dan kromatografi cair superkritis menggunakan lempung perak (Yamamura &
Shimomura 1997). Oleh karena itu, pencarian sumber DHA baru sangat potensial untuk dikembangkan.
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa mikroorganisme air laut dapat memroduksi DHA.
Salah satunya yang telah teridentifikasi dan unggul ialah Schyzochytrium sp. SR 21 (Nakahara et al.
1997). Analisis taksonomi berdasarkan karakteristik morfologi atau secara mikroskopik terhadap suatu
mikroorganisme terkadang sulit dilakukan. Untuk itu, dikembangkan cara kimia atau kemotaksonomi
sebagai pelengkap analisis secara mikroskopik. Kemotaksonomi dapat dilakukan melalui identifikasi
sterol dan kuinon. Berdasarkan identifikasi sterol, posisi suatu mikroorganisme dalam genus dapat
diketahui (Warner et al. 1983; Schiff & Fedlanfer 1996). Sementara itu, taksonomi menggunakan profil
kuinon saja memiliki hasil yang sangat dekat dengan hasil taksonomi dengan metode-metode yang lain
(Vancanneyt et al. 1994). Untuk menunjang keberhasilan identifikasi sterol dan kuinon, diperlukan
teknik ekstraksi yang tepat.
304
KAJIAN TEKNIK EKSTRAKSI DAN IDENTIFIKASI
Diagram alir proses ekstraksi dan identifikasi DHA, sterol, dan kuinon secara garis besar dapat
dilihat pada Gambar.
Kaldu kultivasi
* sentrifugasi
* pengeringan
* pemecahan sel
* ekstraksi
Minyak
Gambar Diagram alir proses ekstraksi dan identifikasi DHA (a), sterol (b), dan kuinon (c).
Keterangan: TLC = kromatografi lapis tipis, HPLC = kromatografi cair kinerja tinggi, GC =
kromatografi gas, dan MS = spektroskopi massa.
305
Sentrifugasi
Kaldu kultivasi dipanen pada fase pertumbuhan stasioner dan dicuci dengan air dengan
menggunakan sentrifus tipe turbular. Sentrifugasi merupakan cara terbaik untuk memisahkan massa sel
Schyzochytrium sp. strain SR21 dari cairan kultivasi, karena massa sel merupakan padatan dan
komponen minor dari kaldu kultivasi (Coulson & Richardson 1996; Sinnott 1996). Atkinson & Mavituna
(1991) juga menyatakan bahwa biomassa dapat dipisahkan dari medium cair dengan cara sentrifugasi.
Prinsip kerja sentrifus tipe turbular ialah memisahkan partikel padatan dan cairan berdasarkan
perbedaan densitas dan gaya sentrifugal. Jadi, padatan yang merupakan massa sel berada di bagian
bawah sedangkan cairan di bagian atas tabung sentrifus.
Pengeringan
Sel yang telah disentrifugasi dimasukkan ke dalam labu, dikeringkan dengan pengering beku
(freeze dryer) pada suhu 105 °C selama 3 jam, dan ditimbang sehingga diperoleh bobot sel kering (dry
cell weight). Pengeringan bertujuan menurunkan kadar air sehingga sel mudah dipecahkan dan minyak
lebih mudah terekstraksi. Selain itu, Coulson & Richadson (1996) serta Sinnott (1996) menyatakan
bahwa pengeringan merupakan metode yang paling tepat untuk memisahkan komponen utama massa
sel yang berupa padatan dari komponen minornya, cairan.
Pengeringan massa sel dengan metode pengeringan beku terdiri atas 3 tahap, yaitu (1) tahap
pembekuan, (2) tahap pengeringan utama, yang di dalamnya air dan pelarut dalam keadaan beku
dikeluarkan secara sublimasi dengan tekanan ruang kurang atau mendekati tekanan uap
kesetimbangan air dalam bahan beku, dan (3) tahap pengeringan sekunder, yaitu tahap pengeluaran
uap air hasil sublimasi atau air terikat yang ada di lapisan kering (Earle 1969). Keunggulan pengeringan
beku ialah air dalam bahan tidak berada dalam fase air sehingga mencegah perpindahan zat-zat yang
dapat larut dalam air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi (King 1971). Keunggulan lain
pengeringan beku dibandingkan dengan pengeringan konvensional dapat dilihat pada Tabel.
Keuntungan yang diperoleh dari pengeringan beku terhadap sel Schyzochytrium sp. galur
SR21 ialah degradasi minyak diminimumkan sehingga jumlah dan mutu minyak dalam sel relatif tetap,
dan DHA yang terkandung di dalamnya tidak rusak. Massa sel yang kering dan berongga juga
membuat proses ekstraksi minyak menjadi lebih efektif karena proses pemecahan sel menjadi lebih
mudah dan pada akhirnya kontak pelarut dengan sel pun lebih baik. Selain itu, stabilitas penyimpanan
juga meningkat pada massa sel kering.
306
Pemecahan sel. DHA merupakan produk intraselular, maka diperlukan proses pemecahan sel
untuk melepaskannya. Pemecahan sel dilakukan secara mekanis dengan bantuan pecahan kaca dan
homogenizer. Pecahan kaca tersebut akan bergesekan dengan sel sedangkan putaran homogenizer
akan mempermudah pemecahan sel.
Ekstraksi. Ekstraksi merupakan suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari suatu
bahan. Ekstraksi minyak dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu dengan pelarut, rendering, dan
pengepresan (Winarno 1995). Metode yang lazim digunakan ialah ekstraksi pelarut, dan cara inilah
yang dilakukan pada penelitian ini. Dengan cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar minyak yang
rendah, yaitu kurang dari 1% (Ketaren 1986).
Pemilihan pelarut didasarkan pada 2 hal utama, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang
tinggi serta tidak berbahaya dan tidak bersifat racun. Selain itu, titik didih, mudah tidaknya terbakar, dan
pengaruh terhadap radas ekstraksi juga perlu diperhatikan (Goldman 1949). Pelarut tersebut harus
bersifat lembam terhadap bahan baku, mudah diperoleh, dan murah.
Kloroform-metanol bersifat nonpolar sehingga diharapkan dapat melarutkan minyak yang juga
bersifat nonpolar. Menurut Durran (1933) dalam Novinda (1995), pelarut yang mempunyai gugus
hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk nonpolar; dengan demikian kloroform/metanol
merupakan pelarut nonpolar.
Penyaringan
Ekstrak kloroform-metanol yang mengandung minyak dipisahkan dari massa sel dan pecahan
kaca dengan cara disaring menggunakan kertas saring Whatman 42 dan penyaring vakum.
Penyaringan vakum digunakan untuk mempercepat proses pemisahan. Setelah itu, minyak dalam filtrat
dipisahkan.
307
Ekstraksi DHA dengan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
Setelah difraksionasi, contoh dianalisis dengan HPLC. Kondisi alat ialah sebagai berikut: kolom
i.d 4.6 × 250 mm, eluen asetonitril-air (97.5:2.5, v/v), dan laju alir 1.5 ml/menit. Sementara itu, ekstraksi
DHA menggunakan eluen alkohol-air (98:2).
Kromatografi merupakan cara yang sesuai untuk memisahkan komponen cairan minor (DHA)
dari cairan lainnya (Coulson & Richardson 1996; Sinnott 1996). Eluen atau fase gerak yang digunakan
ialah alkohol-air (98:2) karena dapat melarutkan DHA. Sewel & Clark (1987) menyatakan bahwa eluen
dalam kromatografi cair seperti HPLC harus dapat melarutkan contoh sehingga terbawa melewati kolom.
Eluen yang digunakan juga harus bermutu p.a. agar kromatogram dapat diinterpretasikan dengan
mudah.
Saponifikasi
Saponifikasi dilakukan dengan larutan KOH 2 N dan pirogalol 10%, serta dipanaskan selama 1
jam. Setelah itu, ditambahkan air dan dietil eter sehingga terbentuk 2 fase. Fase eter lalu diuapkan.
308
Identifikasi akhir dengan HPLC atau HPLC-MS
Identifikasi kuinon dengan HPLC dilakukan dengan kolom BDS (150 mm × 3 mm × 5 µm)
dengan eluen asetonitril 90% dalam air. Identifikasi juga dapat dilakukan dengan HPLC-MS, meng-
gunakan kolom Hypersil BDS (150 mm × 3 mm × 5 µm) dengan eluen aseton 90% dalam air. Kedua
metode tersebut sebelumnya telah berhasil dicobakan untuk mengidentifikasi kuinon (Marwati 2001).
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak yang diperoleh memiliki tingkat kemurnian yang
tinggi dan sangat membantu dalam melakukan identifikasi. Dengan demikian, kemotaksonomi menjadi
mudah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Asenjo JA. 1990. Cell disruption and removal of insolubles. Di dalam: Pyle DL, editor. Separation for
Biotechnology. London: Elsevier Appl Sci.
Atkinson B, Mavituna F. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook. Ed ke-2. New
York: M. Stockton Pr.
Coulson JM, Richardson JF. 1996. Chemical Engineering: Particle Technology and Separation
Processes. Volume ke-2. Ed ke-4. Tokyo: McGraw-Hill.
Datar R, Rosen CG. 1990. Downstream process economics. Di dalam: Asenjo JA, editor. Separation
Processes in Biotechnology: Bioprocess Technology. Ed ke-9. London: Open Univ.
Desrosier NW. 1988. The Technology of Food Preservation. Muljoharjo M, penerjemah. Jakarta: UI Pr.
Earle. 1969. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Nasution Z, penerjemah. Jakarta: Sastra
Hudaya Perkasa.
Goldman A. 1949. How spice oleoresin are made. Am Perf Ess Oil 53:230-233.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Pr.
King CJ. 1971. Freeze Drying of Food. Ohio: CRC Pr.
Marwati T. 2001. Chemotaxonomic analysis of isoprenoid quinones in DHA-producing microbes
(Thraustochytrids). Di dalam: Proceeding International Seminar on Natural Products Chemistry and
Utilization of Natural resources; Jakarta, 5-7 Jun 2001. Universitas Indonesia-UNESCO.
Marwati T. 2005. Identification of fatty acid and sterol in single cell oil. Makalah disampaikan pada "9th
Asean Food Conference", Jakarta, 8-10 Agu 2005.
Nakahara et al. 1996. Production of docosahexaeonic acid by Schyzochytrium sp. isolated from Yap
island. J Am Oil Chem Soc 73:1421-1425.
Nur MA, Sjachri M. 1978. Teknik Separasi: Data Analisa Pangan. Bogor: PAU-IPB.
Peppler HG, Perlman D. 1979. Microbial Technology. New York: Academic Pr.
Schiff NM, Fedlanfer MF. 1996. Neutral sterols of sawflies (symphyta), their relationship to other
Hymenoptera. Oils 31:441-443.
Sewel PA, Clark B. 1987. Chromatographic Separation. Chichester: J Wiley.
Sinnott RK. 1996. Chemical Engineering. Volume ke-6. Ed ke-3. Oxford: Butterworth Heinemann.
Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Principles of Fermentation Technology. New York: Pergamon Pr.
Vancanneyt M, Coopman R, Tytgat R, Hennebert GL, Kerters K. 1994. Whole cell pattern, DNA base
composition and coenzyme-Q type in the yeast genus Cryptococcus kuitzing and related taxa. Syst
Appl Microb 17:65-75.
Warner SA, Sovocool GW, Domnas AJ. 1983. Sterol of selected species of Oomycetes and
Hyphochytridiomycetes. Mycologia 75:285-291.
309
Winarno FG. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaguchi T, Tanaka S, Yokochi T, Nakahara T, Higashihara T. 1997. Production of high yield of
docosahexaenoic acid by Schyzochytrium sp. strain SR21. J Am Oil Chem Soc 74:1431-1434.
Yamamura R, Shimomura Y. 1997. Industrial high performance liquid chromatography purification of
docosahexaenoic acid ethyl ester and docosapentanoic acid ethyl ester from single cell oil. J Am
Oil Chem Soc 74:1435-1440.
310
SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF ULTRAVIOLET UNTUK ANALISIS
KUANTITATIF KUININ DALAM TABLET OBAT
M Rafi1,2 , E Suradikusumah1, I Batubara1,2, E Daryadi1
1Departemen Kimia, FMIPA, IPB, 2Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB
ABSTRAK
Kuinin merupakan suatu alkaloid kuinolina yang telah lama digunakan sebagai obat malaria.
Metode cepat yang dapat dipercaya dibutuhkan untuk penentuan kuinin dalam bentuk sediaan farmasi
(obat) untuk mengendalikan mutunya. Metode yang dikembangkan dalam penelitian ini ialah teknik
spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV).
Penentuan kadar kuinin dilakukan dengan mengukur amplitudo puncak dari garis nol (Dz) pada
panjang gelombang 245.2 nm untuk obat komersial. Kadar kuinin yang didapat dengan metode SDUV
ialah (169.92 ± 2.91) mg/tablet. Sebagai pebanding, kadar kuinin juga diukur dengan metode
kromatografi cair kinerja tinggi yang memberikan hasil sebesar (166.99 ± 4.58) mg/tablet. Uji t-student
dan uji F pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa kedua metode memberikan hasil yang
tidak berbeda nyata. Linearitas kurva kalibrasi yang memberikan nilai koefisien korelasi sebesar 0.9999
pada kisaran konsentrasi 2−10 µg/ml menandakan bahwa metode SDUV cukup peka. Ketelitian dan
ketepatan metode ini juga cukup baik, yang ditunjukkan oleh persen simpangan baku relatif sebesar
1.71 dan pemulihan kembali sebesar 93.06−116.37%. Perkiraan limit deteksi dan kuantifikasi dari
metode SDUV berturut-turut ialah 0.1261 dan 0.3823 µg/ml.
PENDAHULUAN
Kuinin, senyawaan alkaloid kuinolina dari pohon Cinchona, telah lama digunakan sebagai obat
malaria. Selain itu, kuinin juga banyak digunakan dalam industri kosmetika dan sebagai pemberi rasa
pada minuman ringan.
Saat ini telah banyak teknik analisis yang dapat digunakan untuk menentukan kadar kuinin,
seperti spektrofotometri baik yang konvensional1 maupun derivatif2, spektrofluorometri3, kromatografi
cair kinerja tinggi (HPLC)4-6, dan potensiometri7. Teknik spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV)
menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan spektrofotometri UV konvensional, yaitu
dapat memilih puncak yang tajam di antara spektrum yang lebar dan meningkatkan resolusi spektrum
yang tumpang tindih. Spektrofotometri derivatif juga menghasilkan daerah sidik jari yang lebih baik
dibandingkan dengan spektrum serapan yang umum8,9 serta menghilangkan geseran garis-dasar dan
tilt10.
Metode SDUV telah digunakan untuk penentuan kadar kuinin dalam minuman ringan2
menggunakan spektrum derivat ke-4. Penelitian ini mengembangkan penggunaan SDUV untuk
penentuan kadar kuinin dalam tablet yang matriksnya berbeda dengan minuman ringan. Hasil analisis
dengan metode SDUV kemudian dibandingkan secara statistika dengan metode yang umum digunakan
dalam penentuan kadar kuinin, yaitu HPLC.
311
METODOLOGI
Larutan stok standar kuinin 100 µg/ml disiapkan dengan melarutkan sebanyak 0.0115 g
standar kuinin dalam etanol panas, lalu diencerkan menjadi 100 ml di dalam labu takar. Selanjutnya
dibuat larutan stok contoh obat yang setara dengan 100 µg/ml kuinin. Contoh dan standar kemudian
diencerkan menjadi 6 µg/ml.
Deret larutan standar dibuat dengan konsentrasi 2−10 µg/ml dari larutan stok standar, lalu
spektrum UV (200−300 nm) setiap standar dibuat dengan spektrofotometer UV-Vis. Jarak antara
puncak dan garis dasar (Dz) pada panjang gelombang (λ) 245.2 nm untuk spektrum derivat ke-1
kemudian diukur. Persamaan kurva kalibrasi dibuat dengan metode regresi kuadrat terkecil.
Pengukuran Dz larutan contoh dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas. Konsentrasi kuinin
diperoleh berdasarkan persamaan garis yang diperoleh dari kurva kalibrasi.
Ketelitian
Disiapkan contoh obat dengan konsentrasi yang setara dengan 6 µg/ml kuinin, lalu diukur
dengan spektrofotometer sebanyak 6 kali ulangan pada hari yang sama. Persentase simpangan baku
relatif (%SBR) ditentukan untuk melihat ketelitian metode yang digunakan.
Linearitas
Tiga deret kurva kalibrasi disiapkan dengan konsentrasi 2−10 µg/ml, lalu diukur dengan
spektrofotometer. Linearitas kurva kalibrasi diperoleh dengan metode regresi kuadrat terkecil sebagai
nilai koefisien korelasi (r).
312
Ketepatan
Ketepatan ditentukan berdasarkan nilai pemulihan kembalinya. Sejumlah tertentu standar
kuinin ditambahkan ke dalam contoh pada 3 konsentrasi berbeda lalu setiap konsentrasi dianalisis
sebanyak 3 kali ulangan.
Penentuan kadar kuinin dalam tablet obat tidak dapat dilakukan secara langsung. Hal ini
disebabkan oleh adanya gangguan dari senyawa lain dalam contoh atau disebut juga matriks contoh.
Gambar memperlihatkan bahwa serapan pada spektrum contoh lebih besar dibandingkan dengan
standar walaupun konsentrasinya sama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengukuran contoh secara
langsung akan memberikan hasil yang tidak akurat.
]
0.7 0.005
0.6
0.5
0.000
0.4
0.3
-0.005
0.2 245,2 nm
0.1
0.0 -0.010
nm nm
200 250 300 350 200 250 300 350
(a) (b)
Gambar 1 Spektrum mula-mula (a) dan spektrum derivatif orde pertama (b) dari tablet obat (−) dan
standar kuinin (−) dengan konsentrasi setara 6 µg/ml kuinin.
Derivatisasi spektrum dan pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak antara 2 puncak yang
diperoleh ataupun ke garis dasarnya sehingga efek matriks contoh dapat dihilangkan. Gambar 1(b),
spektrum derivatif orde pertama, memperlihatkan bahwa efek matriks dihilangkan melalui derivatisasi
spektrum.
Melalui kondisi optimum yang telah diperoleh, kurva kalibrasi dibuat dengan mengalurkan jarak
puncak pada λ 245.2 nm ke garis dasar dari spektrum derivatif orde pertama dengan berbagai
konsentrasi larutan standar kuinin (2−10 µg/ml). Linearitas kurva kalibrasi dan kecocokan pengukuran
nilai Dz spektrum derivatif orde pertama terhadap hukum Lambert-Beer ditunjukkan dengan nilai
koefisien korelasi yang mendekati 1. Tabulasi data kurva kalibrasi ditunjukkan pada Tabel 1.
313
Tabel 1 Data kurva kalibrasi metode SDUV (n = 3)
Parameter 1D
245.2 nm
Kisaran konsentrasi standar (µg/ml) 2−10
Persamaan regresi (1.5 × 10-4) + (2.015 × 10-3)c
Koefisien korelasi (r) 0.9999
Hasil analisis kadar kuinin dengan metode SDUV sebanyak 6 kali ulangan pada hari yang sama
memberikan ketelitian yang cukup baik, ditandai dengan nilai %SBR yang relatif rendah. Ketepatan
metode yang dikembangkan ini diukur dengan uji pemulihan kembali dengan hasil 93.06−116.37%.
Nilai estimasi LD dan LK yang diperoleh berturut-turut ialah 0.1261 dan 0.3823 µg/ml. Tabel 2
menunjukkan semua nilai yang diperoleh dari evaluasi kinerja metode SDUV untuk penetapan kadar
kuinin pada tablet obat.
Tabel 2 Evaluasi kinerja analitik metode SDUV dan analisis statistik untuk membandingkannya dengan
metode HPLC
Metode
SDUV HPLC
n 6 3
Rerata (µg/ml)a ± SD 169.92 ± 2.91 166.99 ± 4.58
SBR (%) 1.71 2.74
Ketepatan/perolehan kembali (%)b 93.06−116.37 −
Uji tc 1.01
Uji Fd 2.47
LD (µg/ml) 0.1261
LK (µg/ml) 0.3823
Keterangan: a 6 kali ulangan (SDUV), 3 kali ulangan (HPLC)
b 3 kali ulangan untuk 3 konsentrasi berbeda
c Nilai t tabel (95%) = 2.36
d Nilai F tabel (95%) = 5.79
Untuk melihat apakah metode SDUV dapat menjadi suatu metode alternatif untuk penentuan
kadar kuinin dalam tablet obat, diperlukan verifikasi menggunakan metode lain, yaitu HPLC. Kadar
kuinin yang diperoleh dari kedua metode tersebut secara statistik (menggunakan uji t dan F) didapati
tidak memberikan perbedaan nilai rerata maupun ketelitian hasil yang signifikan (Tabel 2).
SIMPULAN
Metode SDUV dapat digunakan untuk penentuan kuinin dalam obat. Kadar tablet obat yang
diperoleh dari metode SDUV dan HPLC berturut-turut ialah 169.92 dan 166.99 mg/tablet. Hasil yang
didapatkan dari kedua metode tersebut secara statistik (uji t-student dan uji F) tidak berbeda nyata.
314
DAFTAR PUSTAKA
315
KONVERSI EUGENOL DARI MINYAK DAUN CENGKEH MENJADI
ISOEUGENOL DENGAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO
Tatang Hidayat, Edy Mulyono
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian
ABSTRAK
Minyak daun cengkeh (Syzigium aromaticum) merupakan salah satu komoditas ekspor
tradisional Indonesia. Indonesia memasok minyak daun cengkeh ke pasar dunia lebih dari 60%. Namun,
harga minyak daun cengkeh di pasar dunia relatif rendah sehingga nilai tambah yang diperoleh dari
proses penyulingan minyak daun cengkeh juga rendah. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah
ialah dengan mengisolasi komponen eugenolnya dan mengubah eugenol menjadi isoeugenol yang
harganya jauh lebih tinggi. Isoeugenol merupakan senyawa yang banyak digunakan sebagai bahan
campuran dalam produk wewangian dan produk-produk konsumsi harian seperti parfum, produk
perawatan kulit, deodoran, sabun, sampo, dan bahan baku vanilin sintetik.
Pengubahan eugenol menjadi isoeugenol didasarkan pada isomerisasi kedua struktur tersebut:
ikatan rangkap pada gugus alkenil pindah ke posisi yang terkonjugasi dengan ikatan rangkap cincin
benzena. Dengan katalis basa atau logam transisi dan bantuan panas, proses isomerisasi tersebut
dapat berlangsung dengan baik. Dibandingkan dengan pemanasan konvensional, pemanasan dengan
gelombang mikro memiliki keunggulan, karena mempercepat waktu isomerisasi 5−20 kali. Karena itu,
teknologi gelombang mikro memiliki prospek yang sangat baik untuk diterapkan dalam isomerisasi
eugenol pada skala komersial, namun diperlukan peningkatan kapasitas reaktornya.
PENDAHULUAN
316
Fragrance Association mencatat sekitar 25.6 ton isoeugenol digunakan di Eropa setiap tahunnya
(Anonim 2005).
Pengubahan eugenol menjadi isoeugenol didasarkan pada proses isomerisasi: ikatan rangkap
pada gugus alkenil pindah ke posisi yang terkonjugasi dengan ikatan rangkap pada cincin benzena
(Sharma et al. 2006). Dengan bantuan katalis dan panas, proses isomerisasi tersebut dapat
berlangsung dengan baik. Katalis yang digunakan ialah basa berlebih, seperti NaOH (Sumangat et al.
2005) dan KOH (Moestafa et al. 1990; Baby 1997). Penggunaan basa berlebih sebagai katalis dapat
digantikan oleh logam transisi (Givaudan 1977; Andrieux et al. 1977; Cerveny et al. 1987; Sharma et al.
2006).
Untuk mendapatkan tingkat konversi yang tinggi, isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol
dengan pemanasan konvensional umumnya menggunakan suhu sangat tinggi (120−190 oC) selama 5–
7 jam. Kondisi tersebut dapat menyebabkan overheating yang berakibat terurainya bahan dan produk,
misalnya terbentuknya polimer yang akan mengurangi rendemen. Givaudan (1977) mencatat bahwa
produk polimer yang terbentuk pada isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol menggunakan katalis
RhCl3· 3H2O mencapai 6–9%.
Penelitian yang menggunakan panas gelombang mikro dalam isomerisasi eugenol menjadi
isoeugenol belum banyak dilakukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan panas
gelombang mikro menghasilkan isoeugenol dengan kemurnian dan efisiensi proses yang tinggi. Sampai
saat ini, aplikasi teknologi tersebut masih terbatas pada skala laboratorium dan belum diperluas dalam
skala produksi, karena kapasitas reaktornya masih terbatas. Namun, metode ini dapat dijadikan
alternatif dalam proses pengubahan eugenol menjadi isoeugenol.
317
OH O- K+ OH
OCH3 OCH3 OCH3
KOH HCl
KCl
(a) (b)
CH2 CH CH2 CH CH CH3 CH CH CH3
eugenol K-isoeugenolat isoeugenol
Penggunaan katalis basa dapat digantikan oleh katalis dari golongan logam transisi seperti
rodium (Givaudan 1977; Andrieux et al. 1977; Cerveny et al. 1987) dan rutenium (Sharma et al. 2006).
Givaudan (1977) dan Andrieux et al. (1977) melakukan isomerisasi eugenol dengan katalis RhCl3·
3H2O yang dilarutkan dalam etanol disertai dengan pemanasan pada suhu 120 oC, dan menghasilkan
92–98% isoeugenol. Produk tersebut mengandung isomer trans- sebanyak 86.3–90%. Sementara itu,
Cerveny et al. (1987) melakukan isomerisasi eugenol dengan nisbah mol katalis RhCl3 terhadap
eugenol 1 mmol:1 mol. Reaksi ini menggunakan refluks selama 5 jam pada suhu 143 oC dan
menghasilkan isoeugenol sebanyak 98%. Isomerisasi yang dilakukan oleh Sharma et al. (2006) dengan
katalis kompleks logam transisi lain (rutenium), yaitu RuCl2(PPh3)3 yang dilarutkan dalam etanol
mencapai tingkat konversi lebih dari 99% dengan komposisi trans-isoeugenol mencapai 95%.
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa katalis logam transisi lebih unggul
dibandingkan dengan basa kuat, yaitu menghasilkan isoeugenol dengan kemurnian lebih tinggi. Selain
itu, katalis logam juga selektif terhadap produk isomerisasinya sehingga trans-isoeugenol diperoleh
sebagai produk utama. Trans-isoeugenol lebih diinginkan pasar karena memiliki kegunaan yang lebih
luas dibandingkan dengan isomer cis-nya (Sharma et al. 2006). Menurut spesifikasi S–915, kemurnian
produk isoeugenol minimum 95% dengan kandungan trans-isoeugenol 91.0–93.0%, sedangkan
kemurnian yang harus dimiliki berdasarkan spesifikasi HT 914 ialah minimum 99% dengan kandungan
trans-isoeugenol minimum 95.0% (Indesso 2006).
Reaksi isomerisasi berkataliskan logam transisi terdiri atas 2 mekanisme (Chiu 2002), yaitu (1)
eliminasi-adisi hidrida logam (Gambar 2a) yang memerlukan hidrogen eksternal, dan (2) kompleks π-alil
atau pergeseran-1,3 atom hidrogen (Gambar 2b). Menurut Sharma et al. (2006), kunci mekanisme
kompleks π-alil ialah pengaktifan –C–H pada posisi β yang melibatkan penyusunan 3 atom karbon pada
ikatan π terhadap logam.
(a)
β (b)
γ α
Gambar 2 Mekanisme reaksi isomerisasi dengan katalis logam: eliminasi-adisi hidrida logam (a),
kompleks π-alil (b) (Chiu 2002).
318
MEKANISME PEMANASAN DENGAN GELOMBANG MIKRO
Mekanisme dasar pemanasan dengan gelombang mikro ialah agitasi molekul-molekul polar
atau ion-ion yang bergerak (oscillate) karena adanya gerakan medan magnet atau listrik. Gerakan
medan tersebut menyebabkan partikel-partikel mencoba berorientasi sejajar dengan medan tersebut.
Pergerakan partikel-partikel ini dibatasi oleh gaya pembatas (interaksi antarpartikel dan ketahanan
listrik) yang menahan gerakan partikel dan membangkitkan gerakan acak sehingga menghasilkan
panas (Taylor & Atri 2005). Pengaruh energi gelombang mikro dalam reaksi kimia hanya sebatas suhu
(panas) dan tidak terjadi pengaktifan langsung oleh energi gelombang mikro terhadap reaksi.
Pemanasan oleh radiasi gelombang mikro berbeda dengan pemanasan konvensional.
Perpindahan energi pada pemanasan konvensional (Gambar 3a) melibatkan peristiwa konduksi dari
sumber panas. Wadah yang digunakan memiliki sifat konduktor panas dari sumber energi ke bahan
yang kurang baik. Saat penguapan di permukaan tercapai, kesetimbangan termal oleh arus konveksi
menyebabkan hanya sebagian kecil larutan yang berada pada suhu yang diaplikasikan oleh sumber
energi di luar wadah. Karena itu, diperlukan waktu yang lama untuk mencapai reaksi sempurna.
Aliran konveksi
Pemanasan
Panas konduksi gelombang mikro
(a) (b)
Gambar 3 Pemanasan larutan secara konvensional (a) dan dengan gelombang mikro (b).
Pada pemanasan dengan gelombang mikro (Gambar 3b), hanya pelarut dan partikel larutan
saja yang dipanaskan sehingga terjadi pemanasan yang merata pada pelarut (Taylor & Atri 2005).
Pemanasan terjadi pada semua bagian bahan atau larutan reaksi, karena energi langsung diserap oleh
bahan yang akan dipanaskan tanpa melibatkan wadah yang ada sehingga mempercepat tercapainya
reaksi sempurna (Copson 1975).
319
memperoleh rendemen yang setara, waktu yang diperlukan oleh reaksi isomerisasi ini 20 kali lebih
singkat daripada pemanasan konvensional (Tabel 2).
Tabel 1 Perbandingan persen hasil dan waktu reaksi isomerisasi eugenol dengan katalis KOH antara
pemanasan konvensional dan dengan gelombang mikro
Pemanasan konvensional Pemanasan dengan gelombang mikro
Konsentrasi
t(c) t(mw) t(c)/t(mw)
KOH (M) Isoeugenol (%) Isoeugenol (%)
(jam) (menit)
2 25 85 480 87 3.1
4 5 95 60 96 5.0
Sumber: Baby (1997)
Tabel 2 Perbandingan persen hasil dan waktu reaksi isomerisasi dengan katalis RhCl3· 3H2O antara
pemanasan konvensional dan dengan gelombang mikro
Pemanasan konvensional Pemanasan dengan gelombang mikro
Nisbah mol
t(c) Isoeugenol t(mw) Isoeugenol t(c)/t(mw)
(eugenol:RhCl3· 3H2O)
(jam) (%) (menit) (%)
1 mol : 0.5 mmol 5 81.2 15 80.5 20
1 mol : 1.0 mmol − − 15 93.6 −
1 mol : 1.5 mmol − − 15 95.3 −
Sumber: Soesanto (2006)
Percepatan reaksi kimia melalui pemanasan dengan gelombang mikro merupakan hasil
interaksi antara gelombang dan bahan (Perreux & Loupy 2001). Efek termal (pemanasan dielektrikum)
dihasilkan oleh polarisasi dipol sebagai akibat interaksi dipol-dipol antara molekul polar dan medan
elektromagnetik. Untuk menyesuaikan gerakan medan elektromagnetik pada frekuensi tertentu,
molekul-molekul polar berusaha mengikuti orientasi medan tersebut dan menjajarkan dirinya searah
dengan medan. Gerakan acak partikel-partikel ini membangkitkan panas. Pada frekuensi 2.45 GHz
(frekuensi gelombang mikro), peristiwa penjajaran diri molekul dan proses sebaliknya mencapai 4.9 ×
109 kali per detik dan menghasilkan pemanasan yang sangat cepat. Secara teoretis, energi panas ini
memengaruhi laju reaksi. Semakin banyak energi radiasi yang diserap, semakin besar energi panas
yang diterima oleh larutan bahan dan semakin tinggi suhunya, sehingga laju reaksi semakin cepat dan
produk yang terbentuk semakin banyak.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, penggunaan gelombang mikro
untuk isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol menunjukkan prospek yang sangat baik untuk diterapkan
dalam skala komersial. Hal ini disebabkan penggunaan gelombang mikro dapat menghasilkan
rendemen dan kemurnian isoeugenol yang tinggi dengan waktu reaksi yang singkat sehingga
meningkatkan efisiensi proses. Dalam aplikasi secara komersial, berkurangnya waktu reaksi yang
sangat signifikan dibandingkan dengan proses konvensional akan mengurangi biaya variabel seperti
biaya tenaga kerja dan biaya listrik sehingga mengurangi biaya produksi. Selain itu, diperolehnya
isoeugenol dengan kemurnian yang tinggi akan mempersingkat waktu pemurnian selanjutnya sehingga
mengurangi biaya produksi isoeugenol secara keseluruhan.
Kendala yang dihadapi untuk penerapan teknologi gelombang mikro secara komersial saat ini
ialah terbatasnya kapasitas proses. Hal ini disebabkan penetrasi gelombang mikro hanya dapat
320
menembus suatu bahan sampai kedalaman tertentu. Karena itu, salah satu pusat perhatian dalam
pengembangan teknologi gelombang mikro dalam 2 tahun terakhir ialah peningkatan kapasitas (scaling-
up) reaktor gelombang mikro (Taylor & Atri 2005).
Dua pendekatan yang digunakan dalam peningkatan kapasitas reaktor gelombang mikro ialah
scale-up reaktor tipe single mode melalui sistem flow-through dan scale-up reaktor tipe multi-mode
melalui sistem lompok (batch). Sistem flow-through pada reaktor tipe single-mode mampu
meningkatkan kapasitas reaktor dari skala gram menjadi kilogram (dikembangkan oleh CEM Corp.),
sedangkan sistem lompok pada reaktor multi-mode mampu mengakomodasi volume reaktan yang lebih
besar dibandingkan dengan tipe single-mode dalam sekali proses (dikembangkan oleh Biotage AB dan
Milestone s.r.l.).
SIMPULAN
Transformasi eugenol menjadi isoeugenol merupakan salah satu cara meningkatkan nilai
tambah minyak daun cengkeh. Prinsip transformasi ini adalah reaksi isomerisasi dengan cara
memindahkan ikatan rangkap gugus alkenil ke posisi yang terkonjugasi dengan ikatan rangkap cincin
benzena. Reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dapat dilakukan dengan menggunakan katalis
basa atau logam transisi. Katalis logam transisi cenderung menghasilkan isoeugenol dengan kemurnian
yang lebih tinggi dan lebih selektif terhadap produk isomerisasinya. Isomerisasi eugenol menggunakan
kedua jenis katalis tersebut dapat dilakukan dengan pemanasan gelombang mikro. Penggunaan panas
gelombang mikro memiliki keunggulan dibandingkan dengan pemanasan konvensional, yaitu dapat
mempercepat waktu reaksi 5−20 kalinya. Penggunaan teknologi gelombang mikro dalam isomerisasi
eugenol memiliki prospek yang sangat baik untuk diterapkan pada skala komersial, namun diperlukan
peningkatan kapasitas reaktornya.
DAFTAR PUSTAKA
Andrieux J, Barton DHR, Patin H. 1977. Rhodium-catalyzed isomerization of some unsaturated organic
substrates. J Chem Soc Perkin Trans 1:359-363.
[Anonim]. 2005. Isoeugenol (4-hydroxy-3-methoxy-1-propen-1-yl benzene). CAS 97-54-1. HERA Risk
Assessment of Isoeugenol. http://www.heraproject.com.
Baby C. 1997. Microwave isomerization of safrole and eugenol. Syn Comm 27:4335-4340.
Cerveny L, Krejcikova A, Marhoul A, Ruzicka V. 1987. Isomerization of eugenol to isoeugenol. React
Kinet Catal Lett 33:471-476.
Copson DA. 1975. Microwave Heating. Ed ke-2. Connecticut: AVI.
Chiu A. 2002. Transition metal-catalyzed olefin isomerization of allylic systems. Evans Group Seminar,
15 Mar 2002. http:www//daecr1.harvard.edu/pdf.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh:
Dukungan Segi Teknologi Pascapanen. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Deptan. hlm 66.
Egloff G, Hulla G, Komasewsky VI. 1942. Isomerization of Pure Hydrocarbons. New York: Reinhold.
Furia TE, Bellanca N. 1975. Fenarolies Handbook of Flavour Ingredients. Volume ke-2. Ed ke-2.
Cleveland: CRC Pr.
Givaudan L, penemu. 1977. Process for the preparation of isoeugenol. Patent Specification 1 489 451.
London: The Patent Office. http://v3.espacenet.com.
Indesso 2006. Eugenol and Isoeugenol Specification. Jakarta: Indesso Aroma.
321
Moestafa A, Waspodo P, Sitorus SP. 1990. Pengaruh suhu, lama pemanasan, dan konsentrasi kalium
hidroksida terhadap proses transformasi eugenol menjadi isoeugenol asal minyak daun
cengkeh. Warta IHP 7:1-7.
Perreux L, Loupy A. 2001. A tentative rationalization of microwave effects in organic synthesis
according to the reaction medium, and mechanistic consideration. Tetrahedron 57:9199-9223.
Sumangat D, Laksmanahardja MP, Hernani, Nurdjannah N, Ma’mun. 2005. Penelitian pengolahan
isoeugenol dari minyak daun cengkeh. Bul Teknol Pascapanen Pert 1:57-63.
Soesanto H. 2006. Pembuatan isoeugenol dari eugenol menggunakan pemanasan gelombang mikro
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sharma SK, Srivastava VK, Jasra RV. 2006. Selective double bond isomerization of allyl phenyl ethers
catalyzed by ruthenium metal complexes. J Mol Catal A: Chem 245:200-209.
Taylor M, Atri S. 2005. Development in Microwave Chemistry. United Kingdom: Evalueserve.
Wingrove AS, Caret RL. 1981. Organic Chemistry. New York: Harper & Row.
322
DAYA INHIBISI EKSTRAK KASAR FLAVONOID SAMBILOTO
(Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) DAN TEMU PUTIH
(Curcuma zedoaria Roscoe) TERHADAP AKTIVITAS TIROSIN KINASE
SECARA IN VITRO
Gustini Syahbirin, Dyah Iswantini Pradono, Tri Rahayu
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Berdasarkan hasil uji fitokimia, tanaman sambiloto (Andrographis paniculata [Burm. F] Ness)
dan rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Roscoe) mengandung senyawaan flavonoid. Salah satu
manfaat flavonoid ialah sebagai penghambat aktivitas tirosin kinase, enzim yang berperan penting
dalam perkembangan sel kanker. Inhibitor spesifik tirosin kinase merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk mencari obat antikanker. Daya inhibisi ekstrak kasar sambiloto terhadap tirosin kinase
lebih besar daripada kontrol positif, yaitu senyawa genistein (4',5,7-trihidroksiisoflavon), sedangkan
daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid temu putih lebih rendah.
PENDAHULUAN
Indonesia kaya dengan tanaman yang berpotensi mencegah maupun mengobati penyebaran
sel kanker, antara lain sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dan temu putih (Curcuma zedoaria
Roscoe). Penelitian yang dilakukan oleh Sukardiman et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak metanol
tanaman sambiloto mempunyai efek sitotoksik terhadap kultur sel kanker leukemia. Kandungan
senyawa aktif tanaman ini yang berfungsi sebagai antikanker bahkan telah dipatenkan oleh US patent
dengan nomor 6,486,196 (Nanduri et al. 2002) dan 6,410,590. Namun, paten tersebut menggunakan
sel kanker untuk mengetahui keaktifan senyawa aktif herbal sambiloto. American Institute of Cancer
Medical Herbs melaporkan bahwa temu putih mengandung ribosome inacting protein (RIP) yang
berfungsi sebagai antikanker, antioksidan, dan anti-peradangan. Temu putih dapat menyembuhkan
kanker serviks serta meningkatkan khasiat radioterapi dan kemoterapi guna membunuh sel kanker
(Dalimartha 1999).
Tirosin kinase, dikenal juga sebagai tirosilprotein kinase, protein kinase (tirosin), atau gen lck
tirosin kinase, merupakan enzim yang berperan dalam transduksi sinyal sel. Aktivitas tirosin kinase
sebagai reseptor faktor pertumbuhan dan produk protein onkogen sangat penting bagi perbanyakan sel.
Tirosin kinase mengkatalisis transfer gugus fosforusil ujung (gama) dari adenosin trifosfat (ATP) ke
tirosin pada substrat protein sehingga mengubah struktur dan fungsi substrat (Voller et al. 1986;
O’Dwyer & Druker 2000). Reaksi fosforilasi protein tersebut hanya terjadi ketika jumlah ATP dalam sel
berlimpah. Protein kinase, akseptor gugus fosforusil, dikelompokkan menjadi 2, yaitu (1) protein kinase
serin dan treonin serta (2) protein kinase yang secara spesifik memfosforilasi residu tirosin.
Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas enzim tirosin kinase
akibat proses mutasi (Mahlmann 2000). Matter (2002) menyatakan bahwa inhibitor spesifik tirosin
kinase merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mencari obat antikanker. Aktivitas
tirosin kinase dapat dihambat oleh beberapa senyawa metabolit sekunder, misalnya flavonoid. Botelho
et al. (1988) menyatakan bahwa flavonoid memiliki kemampuan menghambat reseptor faktor
323
pertumbuhan epidermal (EGFR) dari tirosin kinase. Senyawaan flavonoid juga diduga berperan dalam
menghalangi terjadinya ikatan antara benzo(a)pirena (salah satu penyebab kanker) dan DNA (Le Bon et
al. 1993).
Dardanela (2005) melaporkan bahwa senyawa polifenol tanaman dapat menghambat aktivitas
EGFR. Selain itu, ekstrak kasar flavonoid buah mengkudu, buah mahkota dewa, meniran, dan keladi
tikus juga dilaporkan memiliki daya hambat terhadap aktivitas tirosin kinase yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol positif, yaitu genistein. Genistein merupakan senyawa isoflavon pada biji
kedelai. Menurut Dixon & Ferreira (2005), genistein mampu menghambat aktivitas sel kanker
(kemoprotektan), mengobati penyakit kardiovaskular, serta memiliki aktivitas fitoestrogen. Selain itu,
genistein mampu memerangkap radikal bebas molekul oksigen sehingga menghambat pembentukan
anion superoksida dari xantin oksidase (Wei et al. 1995). Selain, genistein, contoh lain inhibitor alami
tirosin kinase ialah daidzein (Challem et al. 2002; Rood 1998).
Enzim lain yang selalu terlibat dalam pertumbuhan sel kanker ialah siklooksigenase, khususnya
siklooksigenase II dan DNA topoisomerase II. Efek analgesik dan anti-peradangan dari DNA
topoisomerase digunakan sebagai target utama dalam penemuan obat antikanker. Inhibitor
topoisomerase umumnya memiliki efek stabilisasi lanjutan dari reaksi kovalen topoisomerase, sehingga
terlibat dalam pembelahan DNA serta penghancuran sel kanker (Sismindari 2003).
Penelitian ini menggunakan uji inhibisi ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto dan rimpang
temu putih terhadap aktivitas tirosin kinase secara in vitro.
Bahan
Contoh rimpang temu putih pada penelitian ini diperoleh dari kebun tanaman obat Karyasari,
Leuwiliang, Bogor, sedangkan contoh tanaman sambiloto didapat dari kebun tanaman obat Pusat Studi
Biofarmaka, Bogor. Sementara itu, bahan-bahan kimia yang digunakan ialah pereaksi Mayer,
Dragendorf, Wagner, etanol, metanol (MeOH), kloroform, air, H2SO4, NaOH, serbuk logam Mg dan Zn,
amil alkohol, eter, anhidrida asam asetat, HCl pekat, H2SO4 pekat, FeCl3, pereaksi Folin-Ciocalteau,
Na2CO3, larva udang, air laut, akuades, asam galat, dan kit untuk uji aktivitas tirosin kinase dengan
metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Metode Penelitian
Ekstraksi flavonoid (Markham 1988)
Rimpang temu putih dan daun-batang sambiloto dibersihkan dengan air, diiris tipis,
dikeringudarakan, dan dikeringkan dengan oven (40−50 oC) selama 4−5 hari. Contoh kering diblender
hingga diperoleh serbuk dengan butiran yang cukup halus, dan ditimbang.
Masing-masing serbuk direndam dalam pelarut metanol-air 9:1 (v/v) sebanyak 2 kali. Setelah
itu, contoh disaring dan diambil filtratnya. Residunya direndam kembali dengan pelarut metanol-air 1:1
(v/v) sebanyak 1 kali. Kemudian filtrat dan residunya dipisahkan. Setiap maserasi dilakukan selama 2 ×
24 jam dengan diaduk teratur. Seluruh filtrat yang terkumpul digabungkan dan dipekatkan. Ekstrak
pekatnya lalu dipartisi dengan heksana (teknis) sebanyak 2 kali. Lapisan MeOH-H2O dipisahkan dari
lapisan heksana dan dipartisi dengan kloroform (p.a.) sebanyak 1 kali. Lapisan MeOH-H2O kemudian
dipisahkan dari lapisan kloroform. Fraksi-fraksi air-MeOH digabungkan dan diuapkan pelarutnya.
324
Penentuan total fenol
Sebanyak 5 mg ekstrak kering dilarutkan dalam 2 ml etanol 95%, ditambahkan 5 ml akuades
dan 0.5 ml reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v), lalu didiamkan 5 menit. Setelah itu, ditambahkan 1 ml
Na2CO3 5% (b/v), dihomogenisasi, dan diinkubasi dalam ruang gelap selama 1 jam. Kemudian
dihomogenisasi kembali dan diukur serapannya pada panjang gelombang 725 dan 760 nm.
Penentuan konsentrasi mematikan 50% (LC50) dengan uji kematian larva udang (BSLT)
Sebanyak 10 ekor larva udang (Artemia.salina Leach) dimasukkan ke dalam vial yang berisi air
laut lalu ditambahkan larutan ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih sehingga konsentrasi
akhirnya menjadi 1000, 500, 100, dan 10 ppm. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan
menghitung jumlah larva yang mati dari total larva yang dimasukkan ke dalam vial. Data persen
mortalitas kumulatif diolah dengan analisis probit LC50 pada selang kepercayaan 95%. Air laut tanpa
penambahan ekstrak digunakan sebagai kontrol.
Pengujian protein tirosin kinase (PTK). Pelarut bufer tirosin kinase (BTK) dengan konsentrasi
1× dibuat dengan cara melarutkan BTK konsentrasi 10× sebanyak 1 ml ke dalam 9 mL air deionisasi.
Selanjutnya, 32.5 µl EGFR (130U) dicairkan, dicampur dengan 292.5 µl BTK (1×) (setiap 10 µl
mengandung 4 U), diaduk, dan disimpan dalam es. Larutan stok ATP sebanyak 128 µl juga dilarutkan
dengan 3.2 ml BTK (1×), diaduk perlahan, dan disimpan dalam es. Setelah itu, sebanyak 5 vial
disiapkan, 1 vial untuk kontrol EGFR, 1 vial untuk genistein (sebagai pembanding), dan 3 vial untuk
masing-masing contoh. EGFR sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam setiap vial, kemudian berturut-
turut ditambahkan 20 µl air bebas ion, 20 µl genistein, dan 20 µl contoh.
BTK sebanyak 90 µL (1×) yang mengandung ATP dimasukkan ke dalam masing-masing
sumur. Setelah itu, ditambahkan 20 µl larutan contoh yang berisi EGFR (duplo) sehingga tiap sumur
mengandung 10 µl sampel dan 10 µl EGFR 4U dengan konsentrasi ATP 0.3 mM. Selanjutnya, sumur-
sumur ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar. Setelah 30 menit, campuran dikeluarkan dari masing-
masing sumur dan sumur dicuci lima kali dengan 200 µl bufer pencuci.
Sebanyak 100 µl larutan antibodi konjugat (horse radish peroxidase, HRP) dimasukkan ke
dalam sumur. Sumur ditutup dan diinkubasi kembali selama 30 menit pada suhu kamar. Setelah itu,
larutan antibodi dikeluarkan dari sumur, dan setiap sumur dicuci dengan 200 µl bufer pencuci sebanyak
5 kali. Substrat (o-fenilenadiamina, OPD) sebanyak 100 µl segar ditambahkan pada masing-masing
sumur dan diinkubasi selama 7 menit dalam keadaan gelap pada suhu kamar. Larutan substrat
peroksidase segar dibuat dengan cara melarutkan satu tablet OPD dan satu tablet urea hidrogen
peroksida dalam 20 ml air deionisasi, dicampurkan sampai larut, dan dihindarkan dari cahaya sampai
digunakan. Larutan ini tidak untuk disimpan.
Warna jingga-kuning akan muncul dalam sumur yang positif. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 100 µl H2SO4 2.5 N sebagai larutan penghenti pada masing-masing sumur. Setelah 30
menit, umur diukur absorbansnya dengan microplate ELISA yang ditetapkan pada 490 nm.
325
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Rendemen ekstrak kasar flavonoid rimpang temu putih dan batang-daun sambiloto
Contoh Rendemen (%) Wujud
Sambiloto 16.90 Pasta hijau pekat
Temu putih 19.81 Pasta cokelat pekat
Penapisan Fitokimia
Berdasarkan hasil uji fitokimia (Tabel 2), kandungan metabolit sekunder rimpang temu putih
segar dan kering tidak berbeda, yaitu alkaloid, flavonoid glikosida, flavonoid aglikon, saponin, dan
terpenoid, sedangkan uji tanin dan steroid memberikan hasil yang negatif. Hasil uji fitokimia kedua jenis
contoh daun sambiloto juga menunjukkan kandungan senyawa yang secara kualitatif sama, yaitu
alkaloid, flavonoid glikosida, flavonoid aglikon, tanin, dan steroid, tetapi tanpa saponin dan terpenoid.
Namun, ekstrak kasar flavonoid tidak memiliki kandungan yang sama dengan contoh segar maupun
keringnya. Senyawaan tanin dan alkaloid tidak teridentifikasi dalam ekstrak kasar flavonoid sambiloto,
sedangkan ekstrak kasar flavonoid rimpang temu putih tidak mengandung senyawaan terpenoid.
Tabel 2 Hasil penapisan fitokimia tanaman segar dan kering serta ekstrak kasar flavonoid
Hasil Uji Kualitatif*
Contoh
A F (g) F (a) Sa T Te S
Rimpang temu putih
Segar ++ + + + − + −
Kering + + + + − + −
Ekstrak kasar flavonoid + ++ + + − − −
Daun-batang sambiloto
Segar + + + − + − +
Kering + + ++ − + − +
Ekstrak kasar flavonoid − +++ +++ + − − +
* Keterangan: A = alkaloid, F(g) = flavonoid glikosida, F(a) = flavonoid aglikon, Sa = saponin,
T = tanin, Te = triterpenoid, S = steroid.
(+) = hasil uji positif, jumlah menunjukkan intensitas, (−) = hasil uji negatif.
Hasil uji fitokimia terhadap golongan flavonoid dalam ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan
temu putih berbeda intensitas warnanya. Pada uji flavonoid golongan aglikon, ekstrak sambiloto
menghasilkan warna merah yang cukup pekat pada lapisan amil alkohol, sementara ekstrak temu putih
menghasilkan warna jingga. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis flavonoid yang
terkandung. Hasil uji fitokimia terhadap senyawa flavonoid glikosida juga memperlihatkan warna merah
yang lebih intensif pada ekstrak sambiloto ketika ditambahkan HCl pekat.
326
Bagaimanapun, uji fitokimia menunjukkan tingginya kandungan flavonoid pada kedua tanaman.
Hal ini didukung oleh nilai absorbans yang cukup besar pada uji total fenol terhadap kedua ekstrak
(Tabel 3).
Tabel 3 Hasil uji total fenol pada ekstrak tanaman dengan metode spektrofotometri sinar tampak
Absorbans (A)
Ekstrak kasar tanaman
725 nm 760 nm
Blangko 0.0052 0.0081
Sambiloto 1.0362 1.6198
Temu putih 0.9830 1.5528
1570.76
Konsentrasi (ppm)
1600
1500
1400 1351.83
1300
1200
Temu putih Sambiloto
Ekstrak tanaman
Nilai LC50 ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto dan temu putih berturut-turut ialah
1351.83 dan 1570.76 ppm. Karena kedua ekstrak baru bersifat toksik pada konsentrasi lebih dari 1000
ppm, mereka tidak dapat dikatakan berpotensi bioaktif (Meyer et al. 1982). Di sisi lain, kedua ekstrak
tanaman tersebut dapat diharapkan tidak akan memberikan efek toksik terhadap tubuh walaupun
dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama.
Data total fenol dan nilai LC50 kedua ekstrak ternyata saling mendukung. Tingginya kandungan
total fenol ekstrak sambiloto menyebabkan nilai LC50-nya lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak temu
putih. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak akan semakin bersifat toksik dengan meningkatnya kadar
total fenol.
Daya Hambat In Vitro Ekstrak Kasar Flavonoid terhadap Enzim Tirosin Kinase
Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini ialah genistein, senyawa isoflavonoid yang
lazim digunakan sebagai standar dalam analisis daya hambat terhadap tirosin kinase. Senyawa ini
berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif ATP dan nonkompetitif dengan sisi aktif substrat tirosin
kinase (Akiyama et al. 1987). Genistein telah digunakan untuk pengobatan kemoterapi sel kanker
karena mampu menghambat aktivitas tirosin kinase (Dixon 2005).
Hasil pengukuran disajikan pada Gambar 2. Besarnya nilai absorbans sebanding dengan
aktivitas tirosin kinase. Jadi, nilai absorbans yang besar menunjukkan bahwa enzim tersebut tidak atau
hanya sedikit diinhibisi aktivitasnya oleh ekstrak kasar flavonoid tanaman. Daya inhibisi ekstrak kasar
327
sambiloto (67.19%) lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol positif (genistein) (6.71%), sedangkan
ekstrak kasar temu putih lebih rendah (2.83%) (Gambar 3). Perbedaan daya hambat tersebut diduga
karena kandungan senyawa flavonoid yang tidak sama.
A 0.6
b
s 0.5
o 0.4
r 0.3
b
a 0.2
n 0.1
s 0
EGFR Genistein Smblt T.putih
(Ekstrak kasar flavonoid)
Gambar 2 Absorbans hasil uji daya hambat EGFR (kontrol negatif), ekstrak kasar flavonoid, dan
genistein (kontrol positif) terhadap enzim tirosin kinase.
D
a 80 67.19
y 70
a 60
50
h 40
a 30
m 20 6.71
b 10 2.83
a 0 0
t EGFR Genistein Sambiloto T. Putih
(%)
300 ppm
(Ekstrak kasar tanaman)
Gambar 3 Persen inhibisi EGFR, genistein, serta ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih
terhadap enzim tirosin kinase.
SIMPULAN
Ekstrak kasar flavonoid dari daun-batang tanaman sambiloto dan rimpang temu putih
berpotensi menghambat aktivitas enzim tirosin kinase secara in vitro. Besar daya inhibisi kedua ekstrak
dan genistein berturut-turut ialah 67.19, 2.83, dan 6.71%.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama et al. 1987. Genistein, a specific inhibitor of tyrosine-specific protein kinases. J Biol Chem
262:5592-5595.
Challem J, Toecus VD, Knittel L. 2002. The Soy Sensation. New York: McGraw-Hill.
Dalimartha S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Dardanella D. 2005. Penapisan beberapa tanaman asli Indonesia yang berpotensi sebagai antikanker
secara enzimatis [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Dixon RA, Ferreira D. 2002. Molecules of interest genistein. Phytochemistry 60: 205-211.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Kosasih P, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari:
Phytochemical Methods.
328
Le Bon AM, Ziegler L, Suschetet M, Fenwick GR. 1993. Comparison of hydroxylated and non-
hydroxylated natural flavonoid as in vitro modulator of rat hepatic benzo(a)pyrene metabolism.
Waldron KW, Johnson IT, editor. Royal Society of Chemistry, Cambridge. Paris: INRA
Toxycologic Nutritionelle.
Mahlmann S. 2000. Signalling by Tyrosine Kinase on Regular and Disrupted Hemetopiesis. Swiss:
Brusell Institute of Immunology.
Matter A. 2002. Tyrosine kinase inhibitors in cancer drug discovery. http://www.cancerprev.org/
Journal/Issue/26/101/901/4237. [21 Jan 2005].
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Kosasih P, penerjemah. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Techniques of Flavonoid Identification.
Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: A convenient general bioassay for active plant constituents. Planta
Med 45:31-34.
Nanduri et al., penemu; Dr. Reddy’s Research Foundation. 26 Nov 2002. Anticancer compounds:
Process for their preparation and pharmaceutical compositions containing them. US patent 6
486 196.
O’Dwyer ME, Druker BJ. 2000. The Role of Tyrosine Kinase Inhibitor ST1571 in The Treatment of
Cancer. Portland: Oregon Health Sciences Univ.
Rood L. 1998. The possible role of soy in breast cancer prenvetion and treatment. Nutr Bytes 4:1-5.
Sismindari. 2003. Cytotoxic effects of methanol extract isolated from Erythrina fusca Lour leaves on
cancer cell-lines. 35(2).
Sukardiman, Rahman A, Ekasari W. 2001. Efek sitotoksik senyawa andrografolida dari herba sambiloto
terhadap kultur sel kanker leukemia [laporan penelitian]. Surabaya: Fakultas Farmasi,
Universitas Airlangga.
Voller A, Bidwell D, Bartlett A. 1986. Microplate enzyme immunoassay for the immunodiagnosis of virus
infection. Di dalam: Rose NR, Friedman H, editor. Manual of Clinical Laboratory Immunology.
Ed ke-3. Washington DC: American Society for Microbiology.
Wei H, Bowen R, Cai Q. 1995. Antioxidant and antipromotional effects of the soybean isoflavone
genistein. Proc Soc Exp Biol Med 208:124-130.
329
PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI DAGING BIJI PICUNG
(Pangium edule Reinw.) DAN UJI TOKSISITAS TERHADAP
Artemia salina Leach.
Tuti Setiawati Sudjana, Eti Rohaeti, Fillia Candra Yunita
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRACT
Correct extraction method can maximized the extraction of picung seed flesh’s components
without changing their properties. Seeking of the best extraction method towards picung seed flesh
giving the highest toxicity effect to Artemia salina Leach was done in this research.
Picung seed flesh was extracted by maceration and soxhletation methods with methanol,
chloroform, and n-hexane. Water steam distillation method was also done. The toxicity of crude extracts
were tested against A. salina with concentration of 1000, 100, and 10 ppm. The test showed that
methanol maceration extract had the highest toxicity effect with lethal concentration 50% (LC50) of
274.26 ppm. This extract was then fractionated by preparative thin layer chromatography, using
methanol-chloroform-butanol (1:9:0.05) as the eluent, and five fractions were obtained. The separated
components were tested against A. salina and fraction III was shown to be toxic with LC50 of 470.08
ppm. The phytochemical assay result of this fraction showed the presence of alkaloid.
PENDAHULUAN
Picung (Pangium edule Reinw.) tumbuh tersebar di seluruh Nusantara, dapat hidup dalam
berbagai kondisi tanah dengan ketinggian 300−1000 m, serta dapat hidup lebih dari 100 tahun.
Tumbuhan ini merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya.
Selain digunakan sebagai bumbu masak, biji picung juga dimanfaatkan sebagai obat kudis,
bahan baku minyak goreng, sabun, pewarna benang, antioksidan, fungisida, antibakteri, dan insektisida
(Burkill 1935). Penelitian mengenai manfaat biji picung juga telah banyak dilakukan, di antaranya hasil
penelitian Indriyati (1987) yang menyatakan bahwa biji picung dapat digunakan sebagai antibakteri
pembusuk pada ikan secara in vitro. Penelitian lain dilakukan oleh Saputra (2002) yang menunjukkan
bahwa ekstrak air daging biji picung memberikan efek fungisida paling besar terhadap cendawan
Fusarium solani.
Daging biji picung dapat termanfaatkan secara optimal jika digunakan metode ekstraksi yang
tepat. Metode ekstraksi yang tepat akan menghasilkan rendemen ekstrak yang maksimum tanpa
mengurangi toksisitasnya. Penelitian ini membandingkan 3 metode ekstraksi, yaitu maserasi dan
soxhletasi dengan pelarut yang berbeda-beda kepolarannya serta metode distilasi uap, untuk mencari
metode ekstraksi terbaik terhadap daging biji picung berdasarkan efek toksisitas terbesar terhadap larva
Artemia salina.
330
BAHAN DAN METODE
Metode
Penyiapan contoh
Contoh yang digunakan ialah daging biji picung yang diperoleh dari daerah Cimahpar, Bogor.
Daging biji picung (DBP) ini digiling dengan mesin penggiling sampai halus kemudian disimpan di dalam
lemari pembeku.
Ekstraksi
Maserasi. Serbuk DBP direndam berulang-ulang dalam metanol sampai warna pelarut yang
digunakan seperti asalnya. Semua filtrat hasil penyaringan dijadikan satu dan dipekatkan menggunakan
penguap putar. Hal yang sama juga dilakukan dengan pelarut n-heksana dan kloroform. Ketiga ekstrak
ini digunakan untuk uji fitokimia dan uji kematian larva udang (BSLT).
Soxhletasi. Serbuk DBP disoxhletasi selama 8 jam per hari sampai warna pelarut seperti
semula. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dan ditimbang untuk mengetahui kadarnya berdasarkan bobot
kering contoh yang telah dikoreksi terhadap kadar airnya. Ekstrak kasar metanol diuji fitokimia dan
BSLT. Hal yang sama juga dilakukan terhadap pelarut n-heksana dan kloroform.
Distilasi uap. Contoh serbuk didistilasi uap dengan laju konstan, yaitu 2−3 sirkulasi per detik.
Distilatnya ditampung dan juga diuji fitokimia dan BSLT.
Uji fitokimia
Seluruh uji fitokimia dilakukan sesuai metode Harborne (1987).
331
dilakukan sebanyak 5 ulangan dengan menggunakan kontrol terhadap pelarut dan Tween 80.
Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah larva yang mati di dalam botol.
Rendemen ekstraksi DBP ditunjukkan pada Tabel 1. Rendemen tertinggi dengan metode
maserasi diperoleh ketika menggunakan pelarut metanol, yaitu 22.37%. Sementara pelarut n-heksana
menghasilkan rendemen tertinggi jika digunakan metode soxhletasi, yaitu 29.64%. Rendemen metode
soxhletasi dengan pelarut kloroform dan n-heksana lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya sirkulasi pelarut panas secara automatis yang dapat
meningkatkan kelarutan. Hal sebaliknya ditunjukkan oleh ekstrak metanol: rendemen dengan metode
maserasi justru lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya senyawa polar yang rusak karena pemanasan.
Tidak diperoleh ekstrak dengan metode distilasi uap. Hal ini menunjukkan bahwa pada DBP
tidak terdapat komponen atsiri, karena komponen terbesarnya ialah air dan lemak.
Pemeriksaan senyawa metabolit sekunder pada DBP di antaranya dilakukan terhadap
senyawaan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, terpenoid, dan asam sianida. Hasil yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa ekstrak metanol hasil maserasi mengandung
metabolit sekunder paling banyak.
332
Uji BSLT terhadap semua ekstrak kasar DBP dilakukan pada konsentrasi 10, 100, dan 1000
ppm. Berdasarkan nilai konsentrasi mematikan 50% (LC50), ekstrak yang aktif hanya ekstrak metanol
dan kloroform hasil maserasi serta ekstrak metanol hasil soxhletasi (Tabel 3). Ekstrak teraktif
ditunjukkan oleh ekstrak metanol hasil maserasi dengan LC50 sebesar 274.26 ppm.
Hasil uji TLC memperlihatkan adanya 7 bercak yang selanjutnya difraksionasi dan
menghasilkan 5 fraksi. Hasil uji BSLT kelima fraksi tersebut (Tabel 4) menunjukkan bahwa fraksi III
merupakan fraksi yang paling aktif terhadap A. salina.
SIMPULAN
Berdasarkan rendemen yang diperoleh, metanol baik digunakan untuk metode maserasi,
sedangkan kloroform dan n-heksana baik untuk metode soxhletasi, dengan nilai rendemen berturut-
turut 22.37, 17.72, dan 29.64%. Sementara itu, metode distilasi uap tidak menghasilkan ekstrak kasar.
Ekstrak kasar DBP mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, dan sianida.
Ekstrak teraktif terhadap larva A. salina ialah ekstrak kasar metanol hasil maserasi dengan nilai LC50
274.26 ppm. Fraksionasi terhadap ekstrak ini menghasilkan 5 fraksi, dan fraksi yang teraktif ialah fraksi
III dengan nilai LC50 470.08 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Products of Malay Peninnsula. London: Crown Agents for
the Colonies Milbank.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Kosasih P, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari:
Phytochemical Methods.
Indriyati. 1987. Mempelajari aktivitas antibakterial biji picung (Pangium edule Reinw.) terhadap
beberapa bakteri pembusuk ikan secara in vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Rusman. 2002. Penapisan senyawa insektisida pada daun picung (Pangium edule Reinw.) [skripsi].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Saputra TK. 2001. Potensi daging biji picung (Pangium edule Reinw.) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
333
ADSORPTION OF AMINE SPECIES ON NANO-BALL ALLOPHANE AND
ITS MOLECULAR ORBITAL MECHANISM
Zaenal Abidin, Naoto Matsue, Henmi Terou
Environmental Soil Science Laboratory, Faculty of Agriculture, Ehime University, Japan
ABSTRACT
334
PEMANFAATAN ZEOLIT ALAM CIKALONG SEBAGAI ADSORBEN
KROMIUM LIMBAH CAIR PROSES PENYAMAKAN KULIT
Eti Rohaeti, Muhammad Sri Saeni1, Astiana Sastiono2
1 Departemen Kimia, FMIPA, IPB, 2 Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB
ABSTRAK
Pemulihan kromium dari limbah cair penyamakan kulit (tanning) dengan cara pengendapan
menjadi mahal jika jumlah kromium dalam limbah sedikit. Zeolit alam, mineral yang cukup melimpah di
Indonesia, dapat digunakan sebagai adsorben dan penukar kation kromium dari larutannya pada
konsentrasi rendah. Kemampuan adsorpsi zeolit asal Cikalong terhadap kromium dari filtrat sisa
pengendapan limbah penyamakan ditetapkan pada penelitian ini melalui teknik lompok (batch) dan
teknik lapik tetap (fixed-bed). Kromium diendapkan dengan larutan NaOH 1.5 M. Zeolit yang digunakan
tergolong jenis mordenit dengan kemurnian 79%, luas pori 24.8 m2/g, dan kapasitas tukar kation 94.14
mek/100 g. Kapasitas adsorpsi terhadap kromium yang berasal dari limbah pada teknik lompok dan
lapik tetap berturut-turut ialah 398 dan 90 mg/kg. Sementara kapasitas adsorpsi terhadap kromium(III)
dari larutan simulasi berturut-turut 1749 dan 1450 mg/kg.
ABSTRACT
Chromium recovery from tanning liquid waste by precipitation technique becomes costly at low
chromium concentration. Natural zeolite, a quite abundant mineral in Indonesia, can be used as
adsorbent and ion exchanger of chromium from its solution at low concentration. Adsorption capacity of
zeolite from Cikalong towards chromium in filtrate of tanning waste precipitation residue was determined
in this research by batch and fixed-bed methods. Chromium was precipitated with 1.5 M NaOH. The
zeolite used was mordenite type with purity of 79%, pore area of 24.8 m2/g, and cation exchange
capacity of 94.14 meq/100g. The capacity of chromium adsorption from the waste with batch and fixed-
bed methods were 398 and 90 mg/kg, respectively. In the same time, the capacity of chromium(III)
adsorption from simulation solution were 1749 and 1450 mg/kg, respectively.
PENDAHULUAN
Sebanyak 90% kegiatan penyamakan di dunia menggunakan kromium (Ortega et al. 2005)
dengan efisiensi adsorpsinya dari limbah hanya 60−70% (Bapedalda Jatim 2003). Oleh karena itu,
kromium, logam berat yang bersifat karsinogen, terdapat dalam jumlah yang cukup besar dalam limbah
penyamakan kulit (tanning), yaitu dapat mencapai 8000 ppm (Esmaeili et al. 2005).
Mengurangi limbah dengan cara menangani sumbernya merupakan solusi terbaik bagi masalah
pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri. Untuk mengurangi pembuangan kromium dari
kegiatan penyamakan, limbah dapat digunakan untuk menyamak ulang (reuse) tanpa diolah terlebih
dahulu atau kromium diendapkan dan dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku (recovery).
335
Pengendapan limbah penyamakan dengan menambahkan suatu basa merupakan teknik yang
sangat dianjurkan dan telah banyak diaplikasikan untuk memperoleh kembali kromium (Fabiani et al.
1996). Akan tetapi, pengendapan tersebut tidak berlangsung efisien dan terlalu mahal untuk menangani
kromium dengan konsentrasi yang rendah (Barros et al. 2003).
Zeolit, suatu adsorben, merupakan salah satu solusi untuk menangani limbah kromium dengan
konsentrasi kurang dari 20 ppm (Barros et al. 2003). Zeolit alam Indonesia yang melimpah, diperkirakan
terdapat lebih dari 200 juta ton deposit zeolit dan lempung (Arryanto et al. 2002), sangat berpotensi
untuk menangani limbah kromium penyamakan kulit. Penelitian ini bertujuan menentukan kemampuan
zeolit alam asal Cikalong dalam mengadsorpsi kromium yang terdapat dalam limbah cair proses
penyamakan kulit.
METODE
Zeolit ditumbuk dan diayak sehingga diperoleh serbuk dengan ukuran 20−40 mesh, dicuci, lalu
diaktifkan dengan pemanasan pada suhu 200 °C selama 2 jam. Zeolit ini kemudian disimpan dalam
wadah kedap udara sebelum dipergunakan. Contoh limbah berasal dari 2 pabrik penyamakan kulit yang
berlokasi di Kecamatan Gunung Putri dan Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Limbah ini
diendapkan terlebih dahulu dengan penambahan larutan NaOH 1.5 M hingga pH 8, dan filtratnya
dipisahkan untuk perlakuan dengan zeolit.
Sebelum digunakan untuk mengadsorpsi kromium dari limbah, zeolit diuji terlebih dahulu sifat
adsorpsinya menggunakan larutan kromium simulasi (larutan Cr3+ 20–400 ppm). Metode adsorpsi yang
digunakan ada 2, yaitu cara lompok (batch) dan lapik tetap (fixed-bed). Cara lompok dilakukan dengan
mengocok 2 g zeolit dengan 50 ml larutan kromium simulasi selama 40 jam. Massa kromium yang
teradsorpsi dihitung dari selisih konsentrasi kromium awal (sebelum pengocokan) dan akhir (setelah
pengocokan). Kapasitas adsorpsi dihitung sebagai massa kromium yang teradsorpsi dibagi dengan
massa zeolit. Sementara pada cara lapik tetap larutan dialirkan ke dalam kolom kaca yang berisi zeolit.
Digunakan kolom dengan diameter 2.3 cm, massa zeolit 20, 25, dan 30 g, serta larutan Cr3+ 20 ppm.
Larutan kromium dialirkan dengan laju 5, 8, dan 12 ml/menit sampai lapik mencapai keadaan jenuh.
Cairan yang keluar dari kolom (efluen) ditampung dalam fraksi-fraksi dengan volume masing-masing 20
ml. Jumlah kromium yang teradsorpsi dihitung dengan bantuan perangkat lunak Curve Expert versi 1.3
melalui pembentukan kurva breakthrough, yaitu kurva aliran volume efluen terhadap C/C0, dengan C
menyatakan konsentrasi kromium dalam efluen dan C0 konsentrasi dalam influen. Kapasitas adsorpsi
rerata dihitung pada kondisi C/C0 50%.
Hasil adsorpsi kromium dari larutan simulasi dengan cara lompok dapat dilihat pada Gambar 1.
Kurva hubungan antara konsentrasi kromium dan kapasitas adsorpsi berbentuk cembung-menaik
(convex upward). Isoterm adsorpsi seperti ini umumnya sangat diharapkan dari suatu adsorben karena
menunjukkan kapasitas adsorben yang cukup tinggi walaupun pada konsentrasi rendah (McCabe et al.
2001). Kapasitas adsorpsi maksimum yang diperoleh ialah 1749 mg/kg, sedangkan tetapan
kesetimbangan adsorpsinya, yaitu nisbah konsentrasi kromium dalam zat padat (mg/kg) terhadap
konsentrasinya dalam larutan yang berkesetimbangan (mg/l), ialah 23.
336
S = 125.41519769
r = 0.97700568
.96
73
(units)(mg/kg)
19
.98
45
16
adsorpsi
.99
17
13
0
0 .0
Y Axis
99
Kapasitas
2 .0
66
2
4 .0
33
4
6.0
0.5 65.0 129.5 194.0 258.5 323.0 387.5
Konsentrasi
X AxisCr
3+ (ppm)
(units)
Pengaruh laju alir larutan dan massa zeolit terhadap kurva breakthrough ditunjukkan pada
Gambar 2. Bentuk kurva yang relatif simetris di antara massa 20, 25, dan 30 g hanya terlihat pada laju
alir 12 ml/menit. Bentuk kurva pada laju alir 5 dan 7 ml/menit untuk massa unggun 20 g lebih tegak
daripada untuk massa 25 dan 30 g. Hal ini menunjukkan bahwa lebar daerah transfer massa yang
meliputi sepanjang kolom terjadi pada laju alir 12 ml/menit. Sementara pada laju alir 5 dan 7 ml/menit
dengan massa 20 g, tinggi zeolit lebih kecil dibandingkan dengan daerah transfer massa.
1.2
1.2
1 1
0.8 0.8
C/Co
C/Co
0.6 0.6
0.4 0.4
0.2 0.2
0 0
0 100 200 300 400 0 100 200 300 400
Volume efluen (ml) Volume efluen (ml)
(a) (b)
Gambar 2 Kurva breakthrough adsorpsi Cr3+, dengan laju alir 8 ml/menit (a) dan 12 ml/menit (b): 20 g
zeolit (♦), 25 g zeolit (■), dan 30 g zeolit (▲).
Waktu break point ialah waktu tercepat yang dibutuhkan partikel adsorben untuk mencapai
ujung kolom, dinyatakan pada saat C/C0 = 0.05. Waktu break point tertinggi diperoleh pada kolom
dengan laju alir terendah, yaitu rata-rata 8.328 menit/g. Sementara waktu break point terendah terjadi
pada laju tercepat (12 ml/menit), yaitu rata-rata 2.825 menit/g (Tabel). Waktu untuk mencapai kondisi
C/C0 0.5 dan untuk mencapai kondisi zeolit jenuh, yang ditetapkan saat C/C0 = 0.95, menunjukkan
kecenderungan serupa. Hal ini dapat menjelaskan dugaan bahwa massa kolom yang sama
menyediakan tapak adsorpsi kromium yang sama banyak tanpa dipengaruhi laju alir. Waktu untuk
melewatkan sejumlah kromium yang sama akan lebih lama pada laju alir yang lebih rendah, sehingga
waktu break point menjadi lebih tinggi.
Kapasitas adsorpsi tertinggi pada kolom terjadi pada laju alir terendah (5 ml/menit), yaitu rerata
1450 mg kromium/kg zeolit, sedangkan kapasitas terendah terjadi pada kolom dengan laju alir tertinggi
(12 ml/menit), yaitu rata-rata 1303 mg/kg (Tabel). Hal ini menunjukkan bahwa peluang interaksi antara
zeolit dan kromium dalam larutan lebih besar pada laju alir yang rendah sehingga kesempatan
pengikatan kromium oleh zeolit juga lebih besar. Meskipun demikian, nilai kapasitas adsorpsi tertinggi
pada cara lapik tetap masih lebih rendah daripada cara lompok. Hal tersebut disebabkan oleh gaya
337
dorong pada saat pengadukan dalam cara lompok yang menyebabkan tercapainya kesetimbangan
antara kromium yang teradsorpsi dan yang tetap dalam larutan (Selim & Spark 2001).
Tabel Kapasitas dan efisiensi adsorpsi pada berbagai laju alir dan massa zeolit
Massa Waktu (menit/g) Kapasitas Adsorpsi
Laju alir Efisiensi
zeolit (C/Co = 0.5)
(ml/menit) C/Co = 5% C/Co = 50% C/Co = 95% Adsorpsi
(g) (mg/g)
20 9.210 15.617 24.061 1.39 0.54
5 25 10.316 17.638 23.607 1.58 0.58
30 5.458 16.287 24.084 1.38 0.33
20 4.571 8.350 11.607 1.18 0.55
8 25 5.667 10.22 15.150 1.57 0.52
30 3.488 9.491 16.209 1.19 0.33
20 2.662 5.892 9.019 1.24 0.45
12 25 3.254 6.136 7.866 1.34 0.55
30 2.560 6.347 8.187 1.32 0.42
Kapasitas dan efisiensi adsorpsi tertinggi terjadi pada saat massa zeolit 25 g, yaitu 1580, 1570,
dan 1340 mg/kg, berturut-turut untuk laju alir 5, 8, dan 12 ml/menit. Efisiensi rerata pada massa zeolit
25 g ialah 0.54 (Tabel). Tinggi kolom yang digunakan untuk massa 25 gram ialah 8.5 cm, maka panjang
kolom yang tidak digunakan sebesar (1–0.54) × 8,5 cm atau 3.91 cm.
Rerata kapasitas adsorpsi kromium dari limbah pada teknik lompok dan lapik tetap berturut-
turut ialah 398 dan 90 mg/kg. Sementara kapasitas adsorpsi terhadap larutan kromium simulasi dengan
kedua teknik tersebut berturut-turut ialah 1749 dan 1450 mg/kg. Kapasitas adsorpsi kromium yang lebih
rendah dikarenakan adanya kompetisi antara kromium dan logam lain pada limbah untuk menempati
tapak aktif pertukaran kation pada zeolit. Selektivitas zeolit NaY terhadap ion Ca2+ dan Mg2+ lebih besar
daripada terhadap ion Cr3+ (Barros et al. 2003). Kadar ion Mg2+, Ca2+, Na+, dan K+ pada filtrat berturut-
turut ialah 2400, 1287, 1002, dan 32 ppm. Gambar 3 menunjukkan kurva aluran nisbah konsentrasi
C/C0 efluen terhadap waktu pada pengaliran filtrat.
S = 0.10437298
r = 0.94939106
5
1.1
6
0.9
(units)
7
0.7
C/Co
8
0.5
Y Axis
9
0.3
0
0.2
0
0.0
1.0 23.4 45.9 68.3 90.8 113.2 135.7
Waktu
X Axis(menit)
(units)
Hasil pencirian menunjukkan bahwa zeolit asal Cikalong merupakan jenis mordenit dengan
tingkat kemurnian 97%. Zeolit alam di Indonesia sebagian besar memang merupakan jenis mordenit
serta klinoptilolit (Arryanto et al. 2002). Zeolit tersebut memiliki luas pori 24.8 m2/g, kapasitas tukar
kation 94.14 mek/100 g, dan massa jenis 2.09 mg/ml.
338
SIMPULAN
Kapasitas adsorpsi terhadap kromium yang berasal dari limbah dengan teknik lompok dan lapik
tetap berturut-turut ialah 398 dan 90 mg/kg. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas adsorpsi
terhadap kromium(III) dari larutan kromium simulasi, yaitu 1749 mg/kg untuk teknik lompok dan 1450
mg/kg untuk lapik tetap.
Massa zeolit 25 g dan laju alir sebesar 5.6 ml/menit merupakan kondisi optimum adsorpsi
larutan kromium(III) 20 ppm pada kolom dengan diameter 2.3 cm dan tinggi zeolit 8.5 cm. Pada kondisi
ini, efisiensi adsorpsinya sebesar 0.54, atau tinggi kolom yang tidak terpakai sebesar 3.91 cm.
Zeolit asal Cikalong tergolong jenis mordenit dengan kemurnian 79%, luas pori 24.8 m2/g,
kapasitas tukar kation 94.14 mek/100 g, dan massa jenis 2.09 mg/ml.
DAFTAR PUSTAKA
Arryanto Y, Amini, Lu MGQ. 2002. Prospective of natural zeolites in Indonesia for industrial separations
and environmental management. J Zeolit Indones 1.
Bapedalda Jatim. 2003. Produksi bersih. http://www.bapedaljatim.go.id/menuis [14 Nov 2003].
Barros MASD, Zola AZ, Arroyo PA, Sousa EF, Tavares CRG. 2003. Binary ion exchange of metal ion in
Y and X zeolites. Braz J Chem Eng 20.
Esmaeili A, Mesdaghi A, Vajirinezad R. 2005. Chromium(III) removal and recovery from tannery
wastewater by precipitation process. Am J Appl Sci 2:1471-1473.
Fabiani C, Ruscio F, Spadoni M, Pizzichini M. 1996. Chromium(III) salt recovery process from tannery
wastewaters. Desalination 108:183-191.
Ortega LM, Lebrum R, Noel IM, Hausler R. 2005. Application of nanofiltration in the recovery of
chromium(III) from tannery effluents. Separation Purification Tech 44:45-52.
McCabe WL, Smith JC, Harriot P. 2001. Unit Operation of Chemical Engineering. New York: McGraw-
Hill.
Selim HM, Sparks DL, editor. 2001. Heavy Metals Release in Soils. New York: Lewis.
339
TEKNIK SEPARASI DAN APLIKASINYA PADA INDUSTRI AGRO
Edy Mulyono, Tri Marwati
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian
ABSTRAK
Teknik separasi memegang peranan penting dalam industri. Berdasarkan komponen mayor
dan minor yang dipisahkannya, ada beberapa macam teknik separasi. Yang sering dilakukan adalah
pemisahan padatan atau cairan dari padatan atau cairan lainnya. Untuk memisahkan padatan dari
padatan dapat digunakan teknik sortasi, pengayakan, klasifikasi, sentrifugasi, serta pemisahan dengan
gaya magnet atau sifat elektrostatik. Untuk memisahkan cairan (komponen mayor) dari padatan dapat
digunakan teknik pengendapan, pengempaan, penyaringan, dan sentrifugasi. Sementara pemisahan
padatan (komponen mayor) dari cairan dapat menggunakan teknik pengempaan dan pengeringan.
Untuk memisahkan padatan terlarut dari cairan digunakan teknik evaporasi dan kristalisasi. Akhirnya
untuk memisahkan cairan dari cairan digunakan teknik dekantasi dan sentrifugasi. Akhirnya untuk
memisahkan cairan terlarut digunakan teknik distilasi, ekstraksi, dan kromatografi. Aplikasi teknik
separasi dalam bidang industri agro sangat luas, antara lain pada industri pati, gula, serta minyak dan
lemak.
PENDAHULUAN
Ada beberapa teknik separasi berdasarkan komponen mayor dan minor dalam bahan yang
akan dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan teknik separasi akan tepat bila dilakukan
setelah sifat dan jumlah komponen yang akan dipisahkan dianalisis. Berdasarkan hasil analisis tersebut
akan diketahui apakah separasi terjadi antara padatan dan padatan, padatan dan cairan, atau yang
lainnya.
Teknik separasi memegang peranan penting dalam industri. Aplikasi teknik separasi dalam
bidang industri agro sangat luas, beberapa di antaranya akan dibahas dalam makalah ini, yaitu pada
industri pati, gula, minyak, dan lemak. Teknik separasi yang digunakan di masing-masing industri
tersebut berbeda-beda, bergantung pada komponen yang akan dipisahkan.
Teknik-teknik utama separasi tersaji pada Tabel 1. Dapat dilihat berbagai teknik separasi, mulai
dari yang digunakan untuk memisahkan padatan dari padatan sampai memisahkan gas dari gas.
Pemisahan Padatan-Padatan
Tabel 1 memperlihatkan bahwa pemisahan padatan dari padatan dapat dilakukan dengan
teknik sortasi, pengayakan, klasifikasi, sentrifugasi, serta pemisahan dengan gaya magnet atau sifat
elektrostatik.
340
Tabel 1 Teknik separasi utama berdasarkan komponen yang dipisahkan
KOMPONEN KOMPONEN MINOR
MAYOR Padatan Cairan Gas/uap
Padatan sortasi pengempaan penghancuran
pengayakan pengeringan pemanasan
klasifikasi
sentrifugasi
magnetik
elektrostatik
Pengayakan
Pengayakan merupakan proses pemisahan partikel padatan dari padatan berdasarkan
perbedaan ukurannya, yaitu dari 0.015–100 mm. Aplikasi utamanya ialah untuk membagi bahan baku
dan produk dalam kisaran ukuran tertentu. Dalam proses pengayakan, zat padat yang dijatuhkan ke
permukaan ayakan akan terbagi menjadi bahan kasar yang tertinggal (oversize) atau massa limpahan
atas dan bahan halus yang lolos (undersize) atau massa limpahan bawah.
Klasifikasi
Padatan dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel dan densitasnya. Kedua hal
tersebut berpengaruh terhadap efisiensi pemisahan.
Sentrifugasi
Dibandingkan dengan metode yang mengandalkan gaya berat, kecepatan pengendapan
dengan gaya sentrifugal jauh lebih baik. Sebagai contoh, proses sentrifugasi di industri, yang
kecepatannya mencapai 500–1000 kali gravitasi bumi, dapat mempercepat pengendapan sampai 30
kalinya.
Berdasarkan mekanisme yang digunakan untuk memisahkan padatan, sentrifugasi
diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu pengendapan dan filtrasi. Pemisahan dengan cara
pengendapan bergantung pada densitas padatan dan cairan (padatan lebih berat). Sementara filtrasi
menggunakan dinding sentrifus berpori, dan cairan melewati cake padatan sehingga filtrat dapat
dipisahkan. Pemilihan kedua proses tersebut bergantung pada sifat masukan dan produk yang
diinginkan. Secara umum, pengendapan digunakan untuk memperoleh cairan yang jernih dan filtrasi
digunakan untuk memperoleh produk yang murni, kering, dan padat.
341
Pemisahan Cairan-Padatan (Padatan-Cairan)
Tabel 1 memperlihatkan bahwa cairan (komponen mayor) dapat dipisahkan dari padatan
dengan teknik pengendapan, pengempaan, penyaringan, dan sentrifugasi. Sementara pemisahan
padatan (komponen mayor) dari cairan dapat dilakukan dengan teknik pengempaan dan pengeringan.
Pemisahan cairan-padatan atau padatan-cairan lazim dilakukan pada proses industri. Jika
konsentrasi padatan rendah, digunakan teknik pengendapan; sebaliknya jika konsentrasi padatan
tinggi, digunakan teknik pengeringan, dan seterusnya. Teknik yang paling sesuai untuk digunakan akan
bergantung pada konsentrasi padatan dan kecepatan masukan, serta ukuran dan sifat alami partikel
padatan. Pemilihan peralatan akan bergantung pada tujuan utama yang ingin diperoleh, yaitu cairan
jernih, produk padatan, atau derajat kekeringan produk padatan yang diinginkan (Coulson & Richardson
1998).
Penyaringan (Filtrasi)
Filtrasi merupakan proses pemisahan partikel berdasarkan perbedaan ukuran dan bentuknya.
Pada proses ini, padatan dipisahkan dari cairan dengan melewatkan bubur (slurry) melalui medium
penyaring, dan adanya perbedaan tekanan menyebabkan zat padat itu tertahan. Filtrasi digunakan
secara luas dalam industri kimia. Filtrasi bertujuan mendapatkan padatan yang diinginkan atau
membuang padatan yang tidak diinginkan. Ada banyak jenis medium penyaring yang penggunaannya
disesuaikan dengan aplikasinya. Filter aids atau alat bantu penyaringan (selulosa, kapur giling, dan
tanah diatom) sering digunakan untuk mempercepat penyaringan bubur yang lambat. Bahan ini memiliki
permukaan yang luas sehingga memiliki daya adsorpsi yang besar terhadap partikel padatan yang
halus.
Proses filtrasi di tingkat industri menggunakan vakum, tekanan, atau gaya sentrifugal untuk
melewatkan cairan melalui cake padatan. Pada pokoknya, proses filtrasi tidak kontinu, tetapi dapat
dibuat kontinu dengan penambahan beberapa unit secara paralel atau menyediakan tempat
penyimpanan masukan dan produk.
Pengempaan
Pada proses pengempaan, cairan dikeluarkan dari padatan dengan menggunakan tekanan.
Pengempaan memerlukan banyak energi dan hanya digunakan jika tidak ada teknik lain yang sesuai.
Pada dasarnya, ada 2 tipe alat, yaitu kempa hidraulik dan sekrup. Kempa hidraulik antara lain
digunakan untuk mengempa jus buah, sedangkan kempa sekrup digunakan untuk menghilangkan air
(dewatering) bahan seperti pulp kertas, sampah, dan pupuk.
Pengeringan
Pengeringan ialah pemisahan air atau cairan atsiri dari bahan padat dengan cara penguapan.
Pengeringan memerlukan energi yang intensif berupa panas sehingga lebih mahal daripada teknik
separasi mekanis. Pada beberapa industri, digunakan udara panas (steam) sebagai pemanas dan
medium transfer panas. Udara dapat dipanaskan langsung dari bahan bakar atau tidak langsung
dengan pemanas uap.
342
Pemisahan padatan terlarut
Pada skala industri, evaporasi dan kristalisasi merupakan proses utama yang digunakan untuk
mengambil kembali padatan terlarut dari suatu larutan (Tabel 1).
Evaporasi. Evaporasi adalah penguapan pelarut dari padatan tak atsiri. Tujuan utamanya ada
4, yaitu pertama, untuk membuat konsentrat makanan (jus buah, susu, dan kopi) sebelum pengeringan,
pembekuan, atau sterilisasi, untuk mengurangi bobot dan volumenya. Kedua, untuk meningkatkan total
padatan dalam makanan (selai atau molase, sirup), dan untuk mengawetkan, dengan cara menurunkan
aktivitas air. Selain itu, evaporasi juga mempermudah pemakaian oleh konsumen (minuman sari buah,
sup, dan pasta) atau oleh pabrik (larutan pektin, konsentrat buah untuk es krim). Yang terakhir ialah
mengubah cita rasa atau warna makanan (sirup karamel untuk permen dan roti).
Pemisahan Cairan-Cairan
Pemisahan 2 fase cairan, yang tidak bercampur atau bercampur sebagian lazim digunakan
pada proses industri. Tabel 1 memperlihatkan bahwa pemisahan ini dapat menggunakan teknik
dekantasi, penggabungan, atau sentrifugasi
Dekantasi
Proses dekantasi digunakan untuk memisahkan 2 cairan yang densitasnya cukup berbeda.
Proses ini akan membentuk 3 daerah yang terpisah, yaitu cairan berat yang jernih, zona dispersi, dan
cairan ringan yang jernih. Decanter biasanya dirancang untuk proses kontinu, tetapi prinsip yang sama
juga dapat diaplikasikan untuk sistem lompok (batch). Beberapa bentuk bejana dapat digunakan untuk
decanter, tetapi bejana silinder yang banyak digunakan, karena paling murah.
Penggabungan
Proses penggabungan sering menggunakan medium penggabung berupa bahan berpori atau
membran khusus untuk menggabungkan dan memisahkan komponen halus yang terdispersi. Medium
ini bekerja dengan cara memegang tetesan yang didispersikan cukup panjang untuk yang berbentuk
globular.
Sentrifugasi
Teknik ini digunakan untuk memisahkan cairan yang sulit dipisahkan dengan gaya gravitasi
sederhana. Sentrifugasi akan memberikan hasil pemisahan yang lebih jernih daripada dengan gaya
gravitasi. Sentrifus dapat digunakan jika perbedaan gravitasi di antara kedua cairan sangat kecil, di
bawah 100 kg/m3. Sentrifugasi biasanya akan memecah emulsi yang mungkin terbentuk.
343
Distilasi (penyulingan). Distilasi merupakan teknik separasi yang digunakan paling luas pada
industri kimia. Distilasi ialah pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran 2 jenis cairan atau
lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen. Campuran cairan yang disuling
dapat berupa cairan yang tidak saling bercampur dan selanjutnya membentuk 2 fase, atau cairan yang
saling melarutkan secara sempurna membentuk satu fase.
Untuk industri skala kecil, penggunaan metode penyulingan air dan uap lebih menguntung-kan.
Sementara pada industri besar, hanya metode penyulingan uap yang menguntungkan, terutama untuk
penyulingan minyak atsiri bertitik didih tinggi.
Ekstraksi dengan pelarut dan penapisan (leaching). Ekstraksi dengan pelarut, disebut juga
ekstraksi cair-cair, dapat digunakan untuk memisahkan suatu zat dari larutan. Metode ini digunakan
untuk memperoleh zat yang bernilai atau untuk memurnikan pelarut awal dengan cara memindahkan
komponen yang tidak diinginkan.
Prosesnya bergantung pada zat yang sedang diekstraksi. Kelarutan zat ini harus lebih tinggi di
dalam pelarut ekstraksi daripada di dalam pelarut awal. Kedua pelarut juga harus tidak saling
bercampur. Pelarut dicampurkan untuk memberikan efek transfer dari bahan yang dilarutkan, dan fase-
fase terpisahkan. Bahan yang dilarutkan biasanya diperoleh kembali dari pelarut dengan cara distilasi,
dan pelarut didaur ulang (recycled). Berdasarkan kepolarannya, pelarut pengekstraksi disusun pada
Tabel 2. Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus disesuaikan dengan bahan yang akan diekstraksi.
Untuk mengekstraksi komponen polar, misalnya, harus digunakan pelarut polar.
Cairan terlarut yang berada di dalam padatan dapat ditapis melalui kontak antara padatan dan
pelarut yang sesuai. Teknik penapisan ini diterapkan antara lain dalam ekstraksi minyak dari kacang-
344
kacangan atau biji-bijian. Peralatan yang digunakan untuk mengatur padatan dan pelarut biasanya
dirancang khusus agar cocok dengan jenis padatan yang diproses. Penapisan biasanya dilakukan
dalam sejumlah tahapan yang menyerupai ekstraksi cairan-cairan.
Kromatografi. Kromatografi memerlukan waktu kerja yang lebih singkat dan lebih efektif
daripada metode lain, serta memungkinkan pemisahan komponen-komponen yang tidak dapat
dipisahkan dengan metode lain. Teknik kromatografi didasarkan pada perbedaan distribusi komponen
contoh di antara 2 fase. Salah satu fase dibuat tetap (fase diam), sedangkan fase lainnya bergerak di
antara celah-celah atau pada permukaan fase diam (fase gerak). Pergerakan fase gerak
mengakibatkan pergerakan diferensial dari komponen-komponen di dalam contoh.
Fase diam pada kromatografi dapat berupa padatan atau cairan, sedangkan fase geraknya
cairan atau gas. Dengan demikian, kromatografi dapat dikelompokkan menjadi 4 berdasarkan jenis
fasenya, yaitu cairan-padatan, gas-padatan, cairan-cairan, dan gas-cairan.
Pada semua jenis kromatografi, campuran zat terlarut terpisah sepanjang kolom (atau kertas
atau lapisan tipis) berdasarkan perbedaan laju migrasi di antara mereka. Laju migrasi dipengaruhi oleh
2 hal, yaitu gaya yang cenderung menggerakkan dan yang cenderung menahan zat terlarut.
Pati ialah homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Beberapa sumber pati secara
komersial ialah biji (jagung, sorgum, beras, dan gandum), akar umbi (kentang), akar (ubi kayu, ubi jalar,
dan talas) serta pith (sagu). Teknik pemisahan yang digunakan dalam industri pembuatan pati ialah
ekstraksi, filtrasi, pengendapan, dan pengeringan (Gambar 1).
BAHAN
PENCUCIAN DAN PENGHANCURAN
(Penghancuran dengan pemarutan, pemotongan, atau penggilingan)
EKSTRAKSI PATI
(Ekstraksi dengan air)
PENYARINGAN
PENGENDAPAN
(Pati terendapkan, cairan di atas endapan dibuang)
PENCUCIAN
(Dilakukan berkali-kali hingga cairan di atas endapan bening)
PENGERINGAN
(Pengeringan hingga kadar airnya 12 %, dengan alat pengering atau penjemuran)
PATI
345
Industri gula tebu (Fuadri 2001)
Gula yang banyak diperdagangkan sebagai bahan makanan adalah sukrosa yang berupa
kristal putih yang jernih. Sukrosa (C12H22O11) merupakan senyawa disakarida (α-D glukopiranosil-β-
fruktofuranosida). Sukrosa terhidrolisis dalam larutan asam encer atau oleh enzim, mempunyai rasa
manis, tidak berbau, larut air, dan bersifat optis aktif. Salah satu sumber gula ialah tanaman tebu
(Saccharum officinarum). Teknik separasi yang digunakan pada pembuatan gula tebu ialah ekstraksi,
evaporasi, kristalisasi, dan sentrifugasi (Gambar 2).
Batang tebu
Penggilingan dan pemerasan (ekstraksi)
Nira tebu
Pemurnian
1. Penyaringan
(Untuk memisahkan nira dari serat, pasir, lilin, fosfatida, dan protein)
2. Pemanasan
(Untuk memisahkan nira dari protein dan sebagian pentosan)
3. Pemberian bahan kimia: batu kapur, arang aktif, bentonit, dll.
(Untuk memisahkan bahan bukan gula: protein, lemak, logam, sabun, asam)
Nira murni
Evaporasi (60–110 °C, 60–64° Brix)
Kristalisasi (Penambahan bibit: fondant)
Sentrifugasi molase
Gula kasar
Lipid adalah senyawaan organik yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik
nonpolar. Lipid diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu lipid sederhana (minyak dan lemak, lilin),
senyawa lipid (fosfolipid, glikolipid, sfingolipid), steroid, dan miscellaneous lipid (vitamin A,D,E, dan K).
Berdasarkan sumbernya, minyak dan lemak diklasifikasikan menjadi minyak nabati (biji-bijian
dan kulit buah) dan minyak hewani (susu, daging hewan piaraan, hasil laut). Sementara berdasarkan
sifat mengeringnya, minyak dikelompokkan menjadi minyak tidak mengering (minyak zaitun, minyak
rape, dan minyak hewani), minyak nabati setengah mengering (minyak biji kapas dan minyak bunga
matahari), serta minyak nabati mengering (minyak kacang kedelai dan minyak karet).
Separasi minyak dari sumbernya dapat dilakukan dengan 3 teknik. Pertama, rendering, yaitu
cara memperoleh minyak/lemak dari bahan berkadar air tinggi dengan atau tanpa penambahan air.
Kedua, pengepresan mekanis/pengempaan, untuk memperoleh minyak/lemak dari biji-bijian yang
346
berkadar minyak lebih dari 20%. Yang terakhir ialah ekstraksi pelarut, yaitu melarutkan minyak dalam
pelarut minyak/lemak.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Coulson JM, Richardson JF. 1998. Chemical Engineering: Particle Technology and Separation
Processes. Volume 2. Ed ke-4. Tokyo: McGraw Hill.
Fuadri. 2001. Proses pembuatan gula tebu di industri [makalah kuliah Kimia Industri Pertanian]. Bogor,
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Murtiningrum. 2001. Pati dan teknologi konversi pati [makalah kuliah Kimia Industri Pertanian]. Bogor:
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rivai M. 2001. Teori lipid [makalah pada kuliah Kimia Industri Pertanian]. Bogor: Program Studi
Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sinnott RK. 1996. Chemical Engineering. Volume 6. Ed ke-3. Oxford: Butterworth Heinemann.
347
PENGARUH KAPUR TERHADAP PELEPASAN GAS H2S DAN UNSUR
HARA PADA MANUR AYAM PETELUR
Charlena, Irma H Suparto, Aldi Eka Praja
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRACT
PENDAHULUAN
348
beragam. Senyawa CaO mudah larut dalam air dan asam, serta bereaksi sangat eksoterm dengan air
menghasilkan ion hidroksil (OH−). Daya disinfektan dari bahan yang bersifat basa seperti ini bergantung
pada pemisahan dan konsentrasi OH− dari hasil pemisahan. Kapur dalam jumlah yang cukup dapat
meningkatkan pH menjadi 11 atau 11.5 yang akan menghancurkan bakteri. Manur ayam-basa biasanya
baik digunakan sebagai pupuk kandang pada tanah yang asam (Soepardi 1983).
Manur ayam memiliki lebih banyak unsur hara dibandingkan dengan hewan lain (Tisdale et al.
1965), di antaranya nitrogen, fosforus, dan kalium yang selalu mendapat perhatian lebih karena mudah
terjadi defisiensi unsur-unsur tersebut pada tanaman .
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian kapur terhadap pelepasan gas H2S
dari manur ayam. Pelepasan gas tersebut dipengaruhi oleh kadar air, pH, konsentrasi kapur, dan
komponen hara dalam manur. Hipotesis penelitian ini adalah kapur merupakan suatu disinfektan yang
dapat menyerap air, medium pertumbuhan mikrob, sehingga pemberian kapur diharapkan dapat
mengurangi bau manur ayam dengan cara mematikan mikrob. Hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi para pengusaha ternak, agar dapat menggunakan kapur dengan metode yang tepat
untuk mengurangi bau di lingkungan peternakan.
TINJAUAN PUSTAKA
Manur Ayam
Secara umum, manur terdiri atas sisa makanan yang tidak tercerna seperti serat selulosa
(karbohidrat), lemak, protein, dan unsur-unsur anorganik (Tabbu & Hariono 1993). Protein yang
terdapat dalam manur merupakan sumber utama nitrogen. Selain itu, nitrogen juga berasal dari asam
urat dan urine yang dikeluarkan bersama feses. Jumlah dan komposisi manur yang dihasilkan oleh
ayam bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh umur, ras, dan jenis makanan. Seekor ayam diperkirakan
menghasilkan 0.15 kg manur/hari, yang mengandung 1.7% nitrogen, 0.16% fosforus, dan 0.58% kalium
(Kumar & Biswar 1982). Keberadaan N, P, K, Ca, protein, dan asam-asam amino esensial
menyebabkan manur ayam menjadi tempat yang subur bagi perkembangan mikrob.
Manur dapat dimanfaatkan sebagai biogas, pupuk organik, dan dapat juga diolah menjadi
bahan campuran pakan unggas ataupun ternak lain (Malone 1992). Jika manur akan digunakan
sebagai pupuk, maka kandungan N, P, dan K-nya harus diperhatikan. Manur yang telah diolah
sehingga dapat dijadikan sebagai akan ternak dinamakan dried poultry waste dengan kadar air 15%
(Santoso 1987).
Unsur-unsur kimia dan fraksi manur perlu diketahui untuk merancang dan mengevaluasi sistem
penanggulangan limbah manur. Fraksi manur dibagi menjadi 4. Pertama, padatan kasar yang
merupakan bahan yang tertahan dengan saringan berpori-pori 0.22 mm. Kedua, padatan halus, yaitu
sedimen hasil sentrifugasi dengan laju 10000 rpm selama 20 menit. Fraksi lainnya ialah koloid, yaitu
bahan yang tertahan dengan saringan netral. Dan yang terakhir ialah larutan, manur cair yang melewati
saringan ultra.
349
Dampak Negatif Manur Ayam
Secara umum, sebanyak 5–7% manur, hasil produksi peternakan selain daging dan telur,
merupakan limbah (Pauzenga 1991). Manur ayam mengandung N, P, dan K, sumber nutrisi bagi
tanaman, sehingga berguna sebagai pupuk organik. Akan tetapi, jika produksi manur berlebihan, justru
akan menjadi masalah bagi lingkungan. Proses dekomposisi protein pada manur ayam adalah sebagai
berikut (Salle 1961):
bakteri deaminasi
manur (protein) asam-asam amino NH3 + H2S
Nitrogen dalam manur hewan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu nitrogen anorganik dan organik.
Nitrogen organik seperti protein secara berangsur-angsur diubah oleh mikrob tanah menjadi nitrogen
anorganik yang berbentuk kation amonium yang stabil di dalam tanah dan terikat pada permukaan
partikel lempung. Apabila amonium ini terakumulasi di dalam tanah akibat penggunaan manur (sebagai
pupuk) yang berlebihan atau penumpukan manur pada tempat tertentu, keberadaan air akan
menyebabkan terjadinya nitrifikasi. Nitrifikasi ialah pengikatan amonium dengan oksigen dalam air
menghasilkan nitrit dan nitrat. Proses nitrifikasi ini dapat terjadi dengan adanya bakteri Nitrosomonas
yang mengoksidasi amonium menjadi nitrit, yang selanjutnya oleh bakteri Nitrobacter diubah menjadi
nitrat. Reaksinya adalah sebagai berikut (Wellinger 1984):
Nitrat ini tidak terikat pada partikel lempung sehingga dapat bergerak bebas dan larut terbawa aliran air
yang pada akhirnya menimbulkan pencemaran air.
Bakteri Pseudomonas akan mengubah nitrat menjadi gas NH3. Reduksi nitrat ini terjadi pada
kondisi netral atau basa (Clifton 1958). Pada manur, gas H2S kadang-kadang dihasilkan bersama-sama
dengan gas NH3. Kedua gas ini merupakan polutan berbau yang sangat berpengaruh terhadap ternak
dan manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Gas H2S
Gas H2S merupakan gas toksik yang berbau busuk, dan merupakan masalah yang cukup nyata
pada industri peternakan. Kehadiran mikrob akan menguraikan protein dalam manur menjadi asam-
asam amino. Asam-asam amino yang mengandung sulfur, sistein dan metionin, akan dipecah lagi
menjadi komponen yang lebih sederhana dan melepaskan gas H2S. Mikrob yang dapat menghasilkan
gas H2S biasanya berasal dari genus Desulfovibrio. Proses pemecahan bahan organik yang
mengandung sulfur ini disebut pembusukan (putrefaction).
Pada kondisi anaerob atau sedikit oksigen, sistin direduksi menjadi 2 molekul sistein yang
kemudian diubah menjadi gas H2S, NH3, asam asetat, dan asam format. Pada kondisi aerob, sistein
terdeaminasi dan melepaskan gas NH3, lalu gas H2S dihasilkan melalui proses desimilasi. Keberadaan
oksigen menyebabkan gas H2S cepat teroksidasi menjadi sulfat (Darwis & Said 1988). Reaksinya ialah
sebagai berikut:
2 H2S + O2 Æ 2 S + 2 H2O
H2S + 2 O2 Æ H2SO4
2 S + 2 H2O + 3 O2 Æ 2 SO42− + 4 H+
350
Gas H2S juga akan dioksidasi oleh bakteri sulfur seperti Thiobacillus menjadi bentuk sulfat. Sebaliknya
dalam keadaan O2 tinggal sedikit, bakteri pereduksi sulfat seperti Spirillum akan mereduksi senyawa
sulfat menjadi H2S dengan reaksi
Tabel 1 memperlihatkan efek yang ditimbulkan oleh beberapa konsentrasi H2S. Konsentrasi
maksimum yang masih diizinkan di atmosfer adalah 10 ppm, sedangkan konsentrasi maksimum yang
diperbolehkan terhirup manusia adalah 0.03 ppm.
Pupuk Kandang
Pupuk kandang sudah lama dikenal dan digunakan dalam bidang pertanian. Pupuk kandang
digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan bentuknya, yaitu padat dan cair. Pupuk kandang dapat
mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi
tanah Selain itu, pupuk kandang juga melestarikan sumber daya tanah dengan cara mempertahankan
kelembapan tanah, mengurangi erosi, dan mengurangi penyerapan pupuk oleh logam-logam tertentu
dalam tanah. Kandungan hara dalam berbagai pupuk kandang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar rerata unsur hara dalam pupuk kandang (Tisdale et al. 1965)
Jenis Hewan H2O (%) Nitrogen (%) P2O5 (%) K2O (%)
Kuda 78 0.70 0.25 0.55
Sapi 86 0.60 0.15 0.45
Domba 68 0.95 0.35 1.00
Babi 87 0.50 0.35 0.40
Ayam 55 1.00 0.80 0.40
Unsur Hara
Unsur hara makro dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah banyak, antara lain C, H, O, N, P, K,
Ca, S, Mg, dan Fe, sedangkan unsur hara mikro (Mn, Cu, Zn, Mo, B, dan Cl) hanya dibutuhkan dalam
jumlah sedikit (Soepardi 1983). Dari keenam belas unsur hara esensial tersebut, unsur C, H, dan O
diambil dari udara dan air dalam jumlah besar karena unsur-unsur tersebut merupakan penyusun utama
bahan organik tanaman (sekitar 94–95%). Sementara itu, unsur N, P, dan K relatif tidak tersedia di
dalam tanah.
Unsur nitrogen
Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman dan menjadi salah satu
unsur penyusun protein, asam nukleat, serta berbagai senyawa nitrogen nonprotein (Russel 1961).
Beberapa peranan nitrogen dalam pertumbuhan tanaman ialah merangsang pertumbuhan vegetatif
351
pada daun, batang, dan akar, serta mempercepat pengubahan karbohidrat menjadi protein dan
protoplasma.
Kelebihan nitrogen akan menyebabkan menipisnya dinding sel sehingga tanaman mudah
diserang oleh hama tanaman dan penyakit. Sebaliknya, kekurangan nitrogen ditandai dengan warna
daun yang hijau kekuningan dan akhirnya akan mengering (Setyamidjaja 1986).
Unsur fosforus
Menurut Tisdale et al. (1965), fosforus merupakan hara makro bagi setiap tanaman yang
berperan penting dalam proses fotosintesis, pengubahan karbohidrat dan senyawa yang berhubungan
dengan glikolisis, metabolisme lemak, oksidasi biologis, serta proses transfer energi. Pemberian
fosforus juga penting untuk perkembangan akar yang masih muda, menguatkan batang, dan
mempercepat pematangan biji. Fosforus banyak dijumpai dalam biji, tetapi umumnya terdapat pada
bagian tubuh tanaman yang masih muda.
Kekurangan fosforus dapat menghambat penyerapan unsur lain, menghambat pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, memperlambat kematangan buah, serta menghambat perkembangan
daun dan perakaran, sehingga sintesis protein terganggu. Apabila tidak terjadi sintesis protein, gula
akan terakumulasi di daun dan merangsang pembentukan antosianin sehingga daun berwarna keungu-
unguan.
Unsur kalium
Kandungan kalium yang relatif tinggi diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Kalium
mengaktifkan beberapa enzim dan memegang peranan penting pada kesetimbangan air di dalam tanah.
Unsur ini penting untuk membantu pembentukan karbohidrat dan protein, mengeraskan bagian kayu
dari tanaman, meningkatkan kekebalan terhadap penyakit, dan meningkatkan mutu buah. Hasil-hasil
pertanian biasanya akan berkurang sangat drastis pada tanah yang mengalami defisiensi kalium
(Soepardi 1983).
Kapur
Kapur yang ada di pasaran diperoleh dari batuan kapur yang telah mengalami proses kalsinasi
(pembakaran). Reaksinya adalah sebagai berikut:
Kapur yang dihasilkan dari proses kalsinasi batuan kapur memiliki 2 bentuk senyawa kalsium, yaitu
CaO dan Ca(OH)2.
Kapur merupakan suatu disinfektan, yaitu bahan yang mampu menghancurkan penyebab
penyakit. Secara klasik, disinfeksi ialah suatu proses yang dilakukan untuk menghancurkan atau
menghentikan kegiatan mikrob penyebab penyakit, khususnya bakteri yang berasal dari saluran
pencernaan. Disinfeksi dilakukan dengan 2 cara, yaitu secara fisik (pemberian panas atau radiasi) dan
kimiawi (pemberian bahan-bahan kimia). Disinfeksi kimiawi memberikan hasil yang lebih baik daripada
secara fisik. Mikrob memiliki batas toleransi pH tertentu untuk dapat hidup, misalnya bakteri patogen
tidak dapat tumbuh pada pH lebih dari 11 atau kurang dari 3. Sebagai disinfektan, kapur dapat
mencegah mikrob patogen melalui 2 cara, yaitu mengabsorpsi secara fisik sehingga membentuk
gumpalan atau memperbesar pH sehingga dapat menghancurkan mikrob patogen
352
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan ialah manur ayam petelur, kapur tohor, akuades, zink asetat,
asam asetat glasial, asam sulfat pekat, larutan HNO3 pekat, asam klorida, feri(III) klorida, p-
aminodimetilanilina, iodium, raksa(II) klorida, natrium tiosulfat, asam sulfat 98%, indikator Conway
(campuran indikator hijau bromkresol dan merah metil), dan katalis selenium.
Alat yang digunakan antara lain pH-meter, Spectronic-20, spektrofotometer serapan atom
(AAS), neraca analitik, oven, radas distilasi Kjeltec, inkubator, aerator, serta alat-alat kaca dan non-kaca
yang biasa digunakan di laboratorium.
Metode
Penelitian ini menggunakan kapur dengan 4 tingkat konsentrasi, yaitu 0 (kontrol), 1, 3, dan 5%.
Pengukuran kadar gas H2S, pH, dan kadar air dilakukan setiap 2 hari selama 14 hari. Pupuk kandang
juga dianalisis unsur haranya (N, P, dan K) pada hari pertama dan ke-30.
Perlakuan manur
Manur ayam petelur dikumpulkan dalam bak plastik dan diaduk sampai homogen, kemudian
dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama tidak diberi kapur, bagian kedua 1%, bagian ketiga 3%, dan
bagian keempat 5%. Masing-masing diaduk hingga homogen dan diambil 100 g untuk diinkubasi. Sisa
manur dibagi lagi menjadi 3 bagian dan ditempatkan dalam bak plastik untuk penetapan pH dan kadar
air. Setiap analisis dilakukan triplo.
Pembuatan kurva kalibrasi. Setelah didapat panjang gelombang pengukuran, kurva kalibrasi
dibuat dengan berbagai konsentrasi sulfida, yaitu 0, 0.5, 1, 2, 3, dan 4 ppm. Ke dalam setiap larutan
standar ditambahkan 0.5 ml pereaksi amin sulfat 2 N dan 0.1 ml feri (III) klorida 0.07 N.
Analisis gas contoh. Pengukuran kadar gas H2S yang tertampung dalam zink asetat 0.04 N
dilakukan dengan memipet contoh sebanyak 2 ml, diencerkan hingga 10 ml, diberi pereaksi yang sama
seperti pada penentuan kurva kalibrasi, dan diukur serapannya.
Pengukuran pH
Sebanyak 5 g manur dilarutkan dalam 10 ml akuades dan diukur pH-nya dengan pH-meter.
353
Pengukuran kadar air
Cawan kosong dipanaskan dalam oven 105 °C selama 1 jam. Setelah itu, cawan dimasukkan
ke dalam eksikator selama 30 menit dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong. Sebanyak 5 g contoh
dimasukkan ke dalam cawan, lalu dipanaskan ke dalam oven selama 3 jam. Setelah itu, cawan
dimasukkan kembali ke dalam eksikator dan bobotnya ditimbang. Pengeringan dan penimbangan
diulangi hingga bobot konstan.
a
b
−
Kadar air = a × 100% a = bobot basah manur ayam (g)
b = bobot kering manur ayam (g)
( A − B) × 14.007 × N
%N = × 100% A = volume HCl untuk titrasi contoh (ml)
Bobot contoh (mg)
B = volume HCl untuk titrasi blangko (ml)
N = normalitas HCl
C
%P2O5 = × fp × 100% C = konsentrasi P2O5 dari kurva standar
W
fp = faktor pengenceran
W = bobot contoh (g)
354
C
%K2O = × fp × 100% C = konsentrasi K2O pada kurva standar
W
fp = faktor pengenceran
W = bobot contoh (g)
Rancangan penelitian
Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap sebagai rancangan dasarnya.
Rancangan ini digunakan dalam menganalisis pengaruh konsentrasi kapur terhadap gas H2S yang
dihasilkan oleh manur ayam, yang dipengaruhi oleh kadar air dan pH manur, selama 14 hari
pengamatan. Kandungan N, P, dan K dalam manur juga diukur. Percobaan dilakukan sebanyak 3
ulangan. Hubungan regresi antara konsentrasi kapur dan gas H2S dihasilkan menggunakan model
dengan
Yijk = nilai pengamatan (respons) yang diperoleh dari kombinasi perlakuan faktor A taraf ke-i dan
faktor B taraf ke-j, pada ulangan ke-k,
µ = rerata,
αi = pengaruh faktor A taraf ke-i,
βj = pengaruh faktor B taraf ke-j,
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j, dan
εijk = pengaruh galat pada faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j, pada ulangan ke-k.
Respons perlakuan dianalisis dengan analisis ragam untuk melihat perbedaan nilai tengah perlakuan
dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk hasil uji yang berbeda nyata (Mattjik & Sumertajaya 2003).
Kadar Air
Kadar air memperlihatkan penurunan yang nyata, baik karena pemberian kapur maupun yang
tidak diberi kapur (Gambar 1). Kadar air merupakan faktor paling penting bagi aktivitas bakteri, sebab
air merupakan medium yang sangat penting bagi pertumbuhan bakteri, yang nantinya akan
berpengaruh terhadap gas H2S yang dihasilkan (Salle 1961).
70
60
K
a 50
d
a 40
r
30
a
i 20
r
(%) 10
0
0 2 4 6 8 10 12 14
Waktu (Hari)
Gambar 1 Kadar air manur dengan jumlah kapur 0 (♦), 1 (■), 3 (▲), dan 5% (×).
355
Kadar air manur kontrol pada hari ke-0 ialah 67.08%, sedangkan kadar air manur yang diberi
kapur 1, 3, dan 5% berturut-turut ialah 65.27, 64.21, dan 62.24%. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian kapur berpengaruh terhadap kadar air, dan persen penurunannya semakin besar dengan
semakin banyak kapur yang ditambahkan. Hal ini juga didukung oleh data kadar air hari ke-14 untuk
pemberian kapur sebanyak 0 (kontrol), 1, 3, dan 5%, yaitu berturut-turut sebesar 10.42, 9.80, 9.77, dan
8.33% yang menunjukkan persen total penurunan kadar air 84.46, 84.78, 84.98, dan 86.61%.
Analisis ragam pada taraf uji 5% menunjukkan bahwa lamanya waktu inkubasi dan konsentrasi
kapur berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air (P < 0.05). Sementara hasil uji Duncan
memperlihatkan bahwa pemberian kapur dengan konsentrasi 0 (kontrol), 1, 3, dan 5% berpengaruh
terhadap penurunan kadar air pada hari ke-4 dan 8, sedangkan pada hari ke-10, 12, dan 14 tidak
berpengaruh.
Adanya penurunan rerata kadar air akibat pemberian kapur disebabkan oleh sifat kapur yang
dapat menyerap dan bereaksi dengan air. Semakin besar konsentrasi kapur maka daya serapnya
terhadap air juga semakin tinggi. Reaksi kapur dengan air ialah sebagai berikut:
pH Manur Ayam
Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai pH kontrol naik dari 7.55 (hari ke-0)
menjadi 8.71 (hari ke-14). Hal yang sama juga terjadi pada manur yang diberi kapur. Nilai pH awal–pH
akhir pada manur yang diberi kapur 1, 3, dan 5% berturut-turut ialah 7.73–8.75, 8.40–9.06, dan 8.94–
9.13. Berdasarkan hasil analisis ragam, lamanya waktu inkubasi dan konsentrasi kapur berpengaruh
terhadap perubahan pH. Hasil uji Duncan ialah pemberian kapur dengan konsentrasi 0 (kontrol), 1, 3,
dan 5% berpengaruh terhadap kenaikan pH pada hari ke-10, tetapi tidak berbeda nyata pada hari ke-12
dan 14.
9.3
p 9.1
H
m 8.9
a
n
u
8.7
r
8.5
2 4 6 8 10 12 14
Waktu (Hari)
Gambar 2 Nilai pH manur dengan jumlah kapur 0 (♦), 1 (■), 3 (▲), dan 5% (×).
Manur ayam petelur memiliki pH sedikit basa, yaitu sekitar 7.59. Hal ini disebabkan oleh
kandungan kalsiumnya yang cukup besar dibandngkan dengan ayam ras lain. Manur ayam petelur
akan terdekomposisi atau dibusukkan oleh aktivitas bakteri. Pada umumnya, pembusukan menurunkan
pH, tetapi pada manur ayam petelur justru sebaliknya. Kenaikan pH tersebut disebabkan oleh adanya
OH− sebagai hasil reaksi antara kapur dan air dalam manur. Konsentrasi OH− semakin besar jika
jumlah kapur yang digunakan cukup banyak (Hakim 1986).
Aktivitas bakteri juga dapat menaikkan pH dengan cara menghasilkan NH3 selama proses
dekomposisi manur. Akan tetapi, jika amonia tersebut digunakan kembali oleh bakteri sebagai sumber
356
nitrogen, pH medium akan cenderung menurun. Dalam proses ini mikrob menggabungkan NH4+ ke
dalam selnya sebagai R-NH3+, sedangkan H+ akan terakumulasi dalam medium.
Selain dalam bentuk NH3, nitrogen di dalam manur juga terdapat dalam bentuk NO3− dan NO2−.
Ion hidrogen di dalam manur akan mereduksi NO3− dan NO2− ini menjadi NH3. Nilai pH akan meningkat
jika mikrob mengambil sumber nitrogen dari proses ini. Namun, bila sumber nitrogen yang digunakan
ialah bahan-bahan organik (protein), akan terjadi deaminasi sehingga pH meningkat.
Banyak mikrob yang mampu memecah bahan organik bersulfur, misalnya Desulfovibrio, dan
membebaskan gas H2S (Clifton 1958). Pada kondisi aerob, asam amino metionin dan sistein sulfur
akan mengalami desimilasi dan desulfurisasi. Contoh reaksi desimilasi:
Pemberian kapur dan lamanya pengamatan berpengaruh terhadap penurunan gas H2S yang
dilepaskan. Efektivitas pemberian kapur terhadap pelepasan gas H2S terlihat pada hari ke-4. Semakin
banyak kapur yang diberikan, gas H2S yang dilepaskan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan kapur
dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikrob dengan cara menyerap air dan membunuh
mikrobnya.
Selain itu, penambahan kapur menyebabkan pH meningkat, sehingga sulfida berada dalam
bentuk HS− dan S2−. Akibatnya sulfida yang terbentuk tidak akan dilepaskan sebagai H2S. Gambar 3
memperlihatkan pengaruh kapur terhadap pelepasan gas H2S.
6
K
a 5
d
a 4
r
3
H2S
(mg/100 2
g/2hari)
1
0
2 4 6 8 10 12 14
Waktu (Hari)
Gambar 3 Kadar gas H2S yang dihasilkan manur ayam dengan jumlah kapur 0 (♦), 1 (■), 3 (▲), dan
5% (×).
Kadar gas H2S yang dilepaskan cenderung menurun seiring dengan lamanya waktu
pengamatan. Hal tersebut dikarenakan semakin berkurangnya nutrien bagi pertumbuhan bakteri
sehingga aktivitas bakteri dan karena itu, produksi gas H2S menurun. Jumlah manur yang digunakan
selama pengamatan tetap.
357
Unsur Hara Manur Ayam
Pengamatan terhadap N, P, dan K, baik langsung dianalisis maupun yang disimpan terlebih
dahulu selama satu bulan, menunjukkan peningkatan yang tidak berbeda nyata (P > 0.05). Tabel 3
memperlihatkan bahwa kadar nitrogen tidak terpengaruh oleh jumlah kapur yang ditambahkan.
Tabel 3 Hasil uji Duncan terhadap kadar nitrogen manur ayam pada berbagai konsentrasi kapur
Konsentrasi kapur Kadar nitrogen (%)*
(%) Pengukuran langsung Setelah disimpan 1 bulan
0 2.5500a 1.7400a
1 2.5800a 1.7550a
3 2.6150a 1.7600a
5 2.6850a 1.7700a
* = angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan.
Menurut Kirchman & Witter (1989), karbohidrat di dalam manur akan dirombak oleh mikrob dan
menghasilkan H2O dan CO2 (Reaksi 1) yang kemudian bereaksi membentuk H2CO3 (Reaksi 2). Dalam
air, senyawa tersebut dapat berkesetimbangan dengan bentuk ionnya (Reaksi 3 dan 4).
Protein akan mengalami deaminasi, dan -NH2 yang dilepaskan akan mengambil H+ dari
lingkungannya membentuk NH3. Manur yang basah menyebabkan NH3 terperangkap dalam bentuk ion
amonium (Reaksi 5). Ion amonium akan melepaskan proton jika terdapat HCO3− dan akhirnya
membebaskan gas NH3 ke udara (Reaksi 6). Pemberian kapur menyebabkan Ca2+ dari kapur bereaksi
dengan HCO3- membentuk CaCO3. Akibatnya, bentuk ion amonium dipertahankan dan hilangnya N
dalam bentuk NH3 (volatilisasi) dapat dikurangi (Reaksi 7).
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada pengukuran langsung kadar fosforus manur ayam dengan
penambahan 5% kapur berbeda dengan pemberian 0, 1, dan 3% kapur. Sementara dalam manur ayam
yang disimpan selama 1 bulan, kadar fosforus pada penambahan 3% sama dengan 5%.
Tabel 4 Hasil uji Duncan terhadap kadar fosforus manur ayam pada berbagai konsentrasi kapur
Kadar fosforus (%)*
Konsentrasi kapur (%)
Pengukuran langsung Setelah 1 bulan
0 0.4218a 0.4049a
1 0.4471a 0.4284a
3 0.4898a 0.4767ab
5 0.5975b 0.5696b
* = angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji
lanjut Duncan.
358
Berdasarkan hasil uji Duncan, untuk kadar kalium yang diukur langsung, penambahan 1%
kapur tidak berpengaruh terhadap kadar kalium, dibandingkan dengan kontrol (Tabel 5). Sementara
peningkatan penambahan kapur dari 3% menjadi 5% meningkatkan kadar kalium secara signifikan.
Akan tetapi, kadar kalium dengan penambahan 3 dan 5% menjadi tidak berbeda nyata setelah manur
disimpan 1 bulan.
Tabel 5 Hasil uji Duncan terhadap kadar kalium manur ayam pada berbagai konsentrasi kapur
Kadar kalium (%)*
Konsentrasi kapur (%)
Pengukuran langsung Setelah 1 bulan
0 0.1089a 0.1059a
1 0.1275a 0.1233a
3 0.1805b 0.1772b
5 0.2193c 0.2045b
* = angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji
lanjut Duncan.
Berdasarkan data-data di atas, kadar hara manur menurun setelah disimpan 1 bulan. Hal
tersebut dikarenakan kapur dapat bereaksi dengan N, P, dan K dalam manur. Fosforus dan kalium
bereaksi dengan ion Ca2+ membentuk Ca-P dan Mg-P yang stabil dalam suasana basa. Kapur dan
manur akan membentuk gumpalan dan mengakibatkan air dalam manur berkurang sehingga aktivitas
bakteri pengurai dapat terhenti. Bila sumber nutrien ini berkurang, mikrob akan berkompetisi dalam
mempertahankan hidupnya dan aktivitasnya pun akan semakin berkurang.
Simpulan
Pemberian kapur pada manur berpengaruh terhadap penurunan kadar air, kenaikan pH, serta
penurunan pelepasan gas H2S. Hasil analisis ragam dan uji Duncan secara keseluruhan menunjukkan
bahwa kapur dengan konsentrasi 1, 3, dan 5% berpengaruh secara nyata (P < 0.05) terhadap
penurunan kadar air pada pengamatan hari ke-4 dan ke-8, untuk perubahan pH pada pengamatan hari
ke-10, serta untuk penurunan kadar gas H2S efektif bekerja pada pengamatan hari ke-4. Penyimpanan
manur selama 1 bulan cenderung menurunkan kadar N, P, dan K-nya.
Saran
Diperlukan penelitian lanjutan mengenai konsentrasi kapur optimum untuk mengurangi kadar
gas H2S yang dilepaskan oleh manur ayam.
DAFTAR PUSTAKA
Ariens EJE, Simonis AMM. 1986. Toksikologi Umum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada Univ
Pr.
Clifton CE. 1958. Introduction to The Bacteria. Ed ke- 2. New York: McGraw-Hill.
Darwis AA, Said EG. 1988. Teknologi Fermentasi. Rajawali Pr dan PAU Bioteknologi.
Fardiaz S, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Fontenot JP, Smith LW, Sutton AL. 1983. Alternative utilization of animal wastes. J Anim Sci 57:221-233.
359
Foot AS et al. 1976. Studies on Farm Livestock Waste. Ed ke-1. London: Agricultural Research Council.
Grock TD, Madigan MT. 1991. Biology of Microorganisms. Ed ke6. New Jersey: Prentice Hall .
Hakim N. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Univ Lampung.
Kirchman H, Witter E. 1989. Ammonia volatilization during aerobic and anaerobic manur decomposition.
Department of Soil Science, Division of Plant Nutrition, Swedish University of Agricultural
Science. Plant and Soil. hlm. 1534-1535
Kumar S, Biswar TD. 1982. Biomass production from different animal exreta. J Indian Agr Sci 51:513-
520.
Kusnoputranto H, Jaya IM. 1984. Khasiat Pembubuhan Kapur Tohor dalam Hal Daya Membunuh
Mikroorganisme (E. Coli) dan Peningkatan Alkalinitas pada Lumpur Tinja dari Septic Tank
Jamban Jamak di DKI Jakarta. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Malone GW, 1992. Nutrient enrichment in integrated broiler production system. J Poultry Sci 71:1117-
1122.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2003. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor:
IPB Pr.
Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-2. Hadioetomo RS, Imas T,
Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of
Microbiology.
Pauzenga. 1991. Animal production in the 90’s in harmony with nature: A case study in the Netherland.
Di dalam: Lyons TP, editor. Biotechnology in The Feed Industry. Proceeding of The Alltech’s 7th
Annual Symposium. Nicholasville, Kentucky.
Russel EW. 1961. Soil Condition and Plant Growth. Ed ke-7. London: Longmans Green.
Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Ed ke-5. New York: McGraw-Hill.
Sutedjo MM, Kartasapoetra, Sastroatmodjo RDS. 1986. Mikrobiologi Tanah. Jakarta: Rineka Cipta.
Santoso U. 1987. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. Jakarta: Bhrata Karya Aksara.
Setiawan H. 1996. Amonia, sumber pencemar yang meresahkan. Dalam Infovet (Informasi Dunia
Kesehatan Hewan). Edisi 037 Agu 1996. Asosiasi Obat Hewan Indonesia.
Setyamidjaja D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta: CV Simplex.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Insitut Pertanian Bogor.
Sumardi. 2002. Teori dasar AAS dan peralatan. Di dalam: Kursus Tehnik Analisis Spektroskopi Aplikasi
dan Kalibrasi. Bandung: Pusat Penelitian Kimia.
Tabbu CR, Hariono B. 1993. Pencemaran lingkungan oleh limbah peternakan dan cara mengatasinya. J
Ayam Sehat 18:7-9.
Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1965. Soil Fertility and Fertilizers. New York: McMillan.
Usri T. 1988. Zeolisitas kotoran ternak dan gas bio. J Peternakan Indones 46:40-41.
Wellinger A. 1984. An aerobic digestion. A review comparation with two types of aeration system for
manure treatment and energy production on the small farm. J Agr Waste 10:117-123.
360
PENGARUH PENAMBAHAN KAPUR TERHADAP PELEPASAN GAS NH3
PADA MANUR AYAM PETELUR
Charlena, Irma H Suparto, M Farid Humaidi
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRACT
The increasing livestock population has negative impact to the environment. The accumulation
of livestock’s manure pollutes the land, water, and also air from the NH3 gas release. Efforts to treat
and decrease the odor problem had been done. One treatment which is cheap and efficient is adding
lime directly to the manure. The objective of this study was to analyze the effect of lime addition with
different concentrations to chicken layer’s manure toward NH3 gas released, pH, water content, and
protein content.
Layer’s manure was divided into four different concentrations. The first concentration was 0%
(manure without addition of lime); the other three were 3, 4, and 5%. A hundred grams of manure from
each concentration were analyzed for the NH3 and water content as well as pH, at baseline and every
two days for 14 days. Protein content, in the other hand, was measured only at baseline and 14th day’s
of incubation at room temperature.
The result of the study showed that addition of 5% lime after 14 days of incubation had the
lowest NH3, water, and protein contents (0.0025 ppm, 9.7133%, and 25.5%, respectively). The highest
pH (9.95) was obtained with 5% lime addition but at the 8th days of incubation.
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia peternakan yang semakin pesat telah membawa dampak negatif bagi
lingkungan hidup. Jumlah manur dari usaha peternakan ayam skala besar menyebabkan pencemaran
udara, tanah, dan air. Dampak yang paling utama ialah bau busuk manur ayam yang diakibatkan oleh
gas H2S dan NH3 yang berasal dari penguraian zat makanan sisa pencernaan oleh mikrob perombak
protein.
Manur merupakan medium bagi mikrob untuk melangsungkan fermentasi zat makanan sisa
pencernaan baik secara aerob maupun anaerob. Proses penguraian manur tersebut disertai dengan
pelepasan gas NH3 yang berbau tidak sedap dan berbahaya bagi lingkungan. Bau gas NH3 juga dapat
mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja kandang. NH3 merupakan gas alkali, tidak berwarna,
mempunyai daya iritasi tinggi, bersifat toksik, dan dihasilkan selama proses dekomposisi bahan organik
atau reduksi zat bernitrogen oleh bakteri.
Pekerja kandang juga dapat mengalami keracunan gas NH3. Untuk keamanan mereka, perlu
diiupayakan untuk mengurangi bau dari manur ayam. Usaha-usaha yang telah dilakukan antara lain
ialah meletakkan jerami pada manur, sedangkan peternak Jepang menggunakan zeolit. Selain itu, juga
telah diteliti penambahan bahan aditif tertentu pada makanan ternak, misalnya penggunaan fitogenik
dan antibiotik (avilamisin dan flavomisin) pada makanan ayam buras (Kurniawan 2003). Cara
sederhana yang juga dapat dilakukan ialah memberi kapur pada manur.
Kapur merupakan disinfektan yang dapat dipakai untuk mengurangi bau dan mencegah
perkembangan bakteri patogen dalam manur (Tabbu & Hariono 1993). Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh pemberian kapur terhadap pelepasan gas NH3 dari manur ayam petelur, dan
361
hubungannya dengan kadar air, pH, konsentrasi kapur yang digunakan, dan konsentrasi protein manur.
Penelitian ini akan memberikan informasi bagi para peternak tentang kegunaan kapur dalam
mengurangi pelepasan gas NH3 dari manur ayam petelur, dengan hipotesis bahwa penambahan kapur
pada konsentrasi tertentu dapat mengurangi pelepasan gas NH3 tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Industri yang bergerak dalam bidang peternakan semakin berkembang pesat seiring dengan
pola konsumsi makanan berprotein, khususnya di kota-kota besar. Dalam peternakan ayam terdapat 3
unsur pokok proses produksi, yaitu masukan (pakan, air, dan oksigen), luaran (daging, telur, manur),
dan perkandangan.
Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh peternakan ayam sering dikaitkan dengan jumlah
manur yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan proses penguraian manur oleh mikrob sehingga
dihasilkan gas berbau dan beracun seperti NH3 (Usri 1998).
Manur Ayam
Manur ayam terdiri atas feses yang berasal dari usus besar dan urine yang berasal dari ginjal
(Ensminger 1992). Seekor ayam diperkirakan menghasilkan 0.15 kg manur/hari, yang mengandung
4.8% nitrogen, 1.8% fosforus, 1.8% kalium, dan 5.5% kalsium. Nitrogen yang berasal dari protein akan
menguap dan jumlahnya berkurang jika dibiarkan terlalu lama di tempat penampungan.
Jumlah air yang diekskresikan bersama manur bergantung pada konsumsi air oleh ayam.
Kandungan protein yang tinggi pada ransum ayam petelur menyebabkan kadar air manurnya juga tinggi,
yaitu sekitar 80% (Patrick 1995; Lesson et al. 1995). Kelebihan nitrogen yang berasal dari protein
ransum tersebut akan dibuang dalam bentuk asam urat dalam urine, proses yang memerlukan banyak
air (Sujono et al. 2001).
Manur, hasil produksi peternakan selain daging dan telur ayam, mengandung unsur-unsur N, P,
dan K yang merupakan nutrisi bagi tanaman. Akan tetapi, manur menjadi masalah bagi lingkungan jika
jumlahnya berlebih. Gas H2S dan NH3 yang dihasilkan oleh manur merupakan polutan berbau yang
sangat dominan dalam menimbulkan efek merugikan terhadap ternak dan manusia. Proses
dekomposisi protein pada manur ayam adalah sebagai berikut (Salle 1961):
NH3 + H2S
Nitrogen dalam manur hewan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu nitrogen anorganik dan organik.
Nitrogen organik, misalnya protein, akan diubah secara berangsur-angsur oleh mikrob tanah menjadi
nitrogen anorganik. Nitrogen anorganik dalam manur sebagian besar berbentuk kation amonium yang
stabil di dalam tanah dan terikat pada permukaan partikel lempung. Apabila ion amonium ini
terakumulasi pada tempat penyimpanan manur, keberadaan air akan menyebabkan pengikatan oksigen
air oleh amonium yang menghasilkan nitrit dan nitrat melalui proses nitrifikasi (Pettigrew 1992). Proses
nitrifikasi terjadi dengan adanya bakteri Nitrosomonas yang mengoksidasi amonium menjadi nitrit, yang
362
selanjutnya oleh bakteri Nitrobacter diubah menjadi nitrat. Reaksinya adalah sebagai berikut (Salle
1961):
Nitrat tidak terikat pada partikel lempung sehingga dapat larut terbawa aliran air dan menimbulkan
pencemaran air. Bakteri dari spesies Pseudomonas akan mengubah nitrat menjadi NH3. Reduksi nitrat
ini terjadi pada kondisi netral atau basa (Pettigrew 1992).
Kapur
Komposisi utama batuan kapur adalah kalsium karbonat (CaCO3), magnesium karbonat
(MgCO3), silika, dan alumina. Kapur yang ada di pasaran biasanya diperoleh sebagai hasil kalsinasi
batuan kapur; reaksi yang terjadi ialah sebagai berikut (Kusnoputranto & Jaya 1984):
Kalsinasi kapur menghasilkan 2 bentuk senyawa, yaitu CaO dan Ca(OH)2. Komposisi kedua
bentuk senyawa ini bervariasi. CaO mudah larut dan bereaksi eksoterm dengan air menghasilkan
gugus hidroksil. Selain itu, CaO juga mudah larut dalam asam.
Tanah mengandung bagian yang disebut koloid tanah. Sama halnya dengan manur, koloid
tanah juga mengandung unsur organik. Reaksi pengapuran pada tanah dapat dijadikan sebagai
gambaran dari reaksi pengapuran yang terjadi pada manur (Kusnoputranto & Jaya 1984):
Reaksi dengan H2O:
CaO + H2O Æ Ca(OH)2
CaCO3 + H2O Æ Ca2+ + HCO3− + OH−
Kapur dapat berfungsi sebagai disinfektan, dan daya disinfeksinya bergantung pada pemisahan
dan konsentrasi ion hidroksilnya. Kapur mencegah mikrob patogen dengan 2 cara, yaitu dengan
absorpsi secara fisik sehingga membentuk gumpalan atau meningkatkan pH menjadi 11–11.5 sehingga
menghancurkan mikrob patogen.
Kapur juga digunakan dalam pengolahan air, antara lain untuk menurunkan kesadahan, kadar
silikat, dan bahan-bahan organik sehingga nilai BOD-nya juga turun. Selain itu, kapur juga dapat
menetralkan keasaman. Pada proses pengolahan limbah tekstil, kapur digunakan untuk mengurangi
warna. Pemanfaatan lain kapur ialah dalam pencegahan pencemaran udara ialah untuk mengurangi
gas SO2 yang dihasilkan pada proses pembakaran batu bara atau minyak yang tinggi kandungan
sulfurnya.
363
Gas NH3 dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Pelepasan gas NH3 merupakan mekanisme utama dari proses kehilangan nitrogen dalam
manur. Sekitar 30–90% nitrogen hilang dari manur selama masa penyimpanan dengan aerasi dan
sekitar 10–70% selama penyimpanan anaerobik (O’Halloran 1993). Gas NH3 dihasilkan oleh bakteri
melalui tiga jalur. Pertama, dekomposisi protein melalui proteolisis oleh protease mikrob membentuk
asam-asam amino, yang selanjutnya mengalami deaminasi menjadi gas NH3 (Svenson 1990). Gas NH3
sebagian besar dihasilkan oleh bakteri melalui jalur tersebut. Kedua, urea dan asam urat yang
dihasilkan oleh hewan dalam jumlah tertentu, sebagian dihidrolisis menjadi amonium karbonat oleh
enzim urease yang disekresikan bakteri. Amonium karbonat mudah pecah menjadi gas NH3, CO2, dan
H2O. Yang terakhir ialah reduksi nitrat oleh sejumlah bakteri anaerob dan aerob fakultatif: gas NH3
dihasilkan dalam proses reduksi ini setelah terbentuknya nitrit.
Gas NH3 yang dihasilkan oleh manur merupakan polutan yang sangat besar pengaruhnya
terhadap ternak dan manusia. Selama musim dingin pada kandang yang kurang berventilasi, gas NH3
akan berubah menjadi nitrat dan nitrit yang dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Gas NH3 juga
memengaruhi fisik ternak, meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, dan mengganggu efisiensi
kerja pekerja kandang. Di atmosfer, gas NH3 membentuk endapan ion-ion amonium, misalnya partikel
amonium nitrat dan amonium sulfat, yang dapat menyebabkan hujan asam (Sjogren 1990).
Batas maksimum gas NH3 yang masih dapat ditoleransi berbeda-beda. Batas untuk manusia
ialah 5–10 ppm. Gas NH3 5 ppm merupakan kadar terendah yang terdeteksi baunya, sedangkan kadar
maksimum yang dapat ditoleransi selama 8 jam bagi kesehatan adalah 25 ppm dan untuk 10 menit
adalah 35 ppm. Untuk unggas batas toleransinya lebih tinggi, yaitu 15–20 ppm, tetapi sebanyak 11 ppm
gas NH3 telah dapat menurunkan produktivitas ayam. Penurunan produktivitas ayam yang sangat tinggi
terjadi bila kadar gas NH3 sudah mencapai 50 ppm (Setiawan 1996). Tabel 1 memperlihatkan efek
ditimbulkan oleh beberapa konsentrasi NH3.
Gas NH3 dapat diukur dengan metode titrasi dan kolorimetri, yang terkenal adalah metode
Nessler. Kadar gas NH3 dapat diukur dengan cukup teliti pada panjang gelombang 400–425 nm. Gas
NH3 ditampung dalam larutan asam borat dan akan memberikan warna kuning khas ketika diberi
reagen Nessler jika konsentrasinya rendah. Namun, jika kadar gas NH3 tinggi, terbentuk warna cokelat
kemerahan yang dapat diukur pada panjang gelombang 450–500 nm. Unsur-unsur pengganggu seperti
Ca, Fe, Mg, dan sulfida akan menimbulkan warna keruh bila diberi pereaksi Nessler. Reaksi reagen
Nessler dengan gas NH3 ialah sebagai berikut:
Hg
NH 4 + + 4OH − + 2HgI4 2− O
−
NH 2 + I −(s) + 7I + 3H 2 O
Hg
(cokelat)
364
BAHAN DAN METODE
Alat-alat yang digunakan adalah Spectronic-20, pH-meter, aerator, radas distilasi Kjeltec, serta
alat-alat kaca dan non-kaca yang lazim digunakan di laboratorium.
Bahan-bahan yang digunakan ialah manur ayam petelur, kapur tohor, akuades, asam borat,
larutan standar NH3, pereaksi Nessler, katalis Se, H2SO4 pekat, indikator hijau bromkresol-merah metil
(BCG-MM), dan HCl 0.02 M.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan kapur dengan 4 tingkat konsentrasi, yaitu 0, 1, 3, dan 5%. Manur
yang tidak diberi kapur dianggap sebagai kontrol. Pengukuran kadar gas NH3, pH, dan kadar air
dilakukan setiap 2 hari selama 14 hari masa inkubasi, sedangkan pengukuran kadar protein hanya
dilakukan pada hari ke-0 dan ke-14 dalam masa inkubasi.
Perlakuan manur
Manur ayam petelur dikumpulkan dalam bak plastik dan diaduk sampai homogen, kemudian
dibagi menjadi 4 bagian yang secara berurutan diberi 0, 1, 3, dan 5% kapur. Setiap bagian ditimbang
100 g, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml untuk diinkubasi selama 14 hari. Masing-masing
sisa manur dibagi lagi menjadi 4 bagian dan ditempatkan dalam bak plastik, lalu diratakan untuk
penetapan pH, kadar air, dan kadar protein.
a −b
x= ×100%
a
dengan x = kadar air (%), a = bobot basah manur ayam (g), dan b = bobot kering manur ayam (g)
Pengukuran pH
Sebanyak 5 g manur dilarutkan dalam 10 ml akuades dan diukur pH-nya.
Penentuan Protein
Analisis protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sebanyak 0.5–1 g contoh ditimbang dalam
labu destruksi, lalu ditambahkan 12 ml H2SO4 pekat dan tablet katalis selenium. Campuran tersebut
didestruksi selama 45 menit sampai jernih. Larutan hasil destruksi kemudian ditempatkan pada radas
365
distilasi Kjeltec dan didistilasi uap. Uapnya ditampung di dalam Erlenmeyer yang berisi asam borat 4%
dan indikator BCG-MM. Setelah itu, distilat dititrasi dengan HCl 0.02 M sampai terjadi perubahan warna
dari biru menjadi merah muda. Penetapan blangko juga dilakukan.
N
( A - B ) × 14.007 ×
Kadar protein = 6.25 ×
bobot contoh (mg)
Analisis data
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap untuk mengetahui pengaruh penambahan
kapur dengan berbagai konsentrasi dan lamanya masa inkubasi serta kemungkinan interaksi di antara
keduanya terhadap kadar gas NH3, pH, kadar air, dan kadar protein manur. Percobaan dilakukan
sebanyak 3 ulangan.
Uji lanjut yang digunakan adalah uji perbandingan berganda Duncan (DMRT, Duncan multiple
range test). Prosedur Duncan mempersiapkan segugus nilai pembanding yang nilainya meningkat
bergantung pada jarak peringkat dua buah perlakuan yang akan dibandingkan. Perlakuan-perlakuan
yang berada dalam satu garis yang sama dikatakan tidak berbeda nyata pada taraf α.
Pelepasan terbesar gas NH3 terjadi pada hari ke-2, sedangkan pada hari ke-4 terjadi
penurunan yang sangat tajam. Setelah hari ke-4, pelepasan gas NH3 pada manur yang diberi kapur
cenderung menurun dibandingkan dengan kontrol, walaupun selisihnya tidak terlalu besar (Gambar 1).
Secara teoretis, 1 mol Ca2+ dari kapur akan mencegah pelepasan 2 mol gas NH3 hasil dekomposisi
manur. Keefektifan dalam menekan pelepasan gas NH3 ini didasarkan pada pembentukan CaCO3 dari
Ca2+ kapur dan HCO3− yang ada pada manur. Semakin tinggi konsentrasi kapur dan semakin lama
masa inkubasi, kadar gas NH3 yang diperoleh cenderung menurun. Analisis ragam menunjukkan
adanya interaksi antara jumlah kapur dan lamanya waktu inkubasi terhadap nilai penurunan tersebut (P
< 0.05).
2.5
0.5
0 Hari ke-
2 4 6 8 10 12 14
Gambar 1 Pelepasan gas NH3 dari manur ayam petelur yang diberi kapur sebanyak 0 (♦), 1 (■), 3 (▲),
dan 5% (×).
366
Hasil uji nilai tengah Duncan pada taraf uji 5% memperlihatkan bahwa kadar gas NH3 terendah,
yaitu sebesar 0.0025 ppm, dimiliki oleh manur dengan pemberian kapur 5% dan masa inkubasi 14 hari
(Tabel 2).
Tabel 2 Hasil uji Duncan terhadap rerata kadar gas NH3 yang dilepaskan oleh pada manur ayam
petelur yang diberi berbagai konsentrasi kapur.
Pada saat proses dekomposisi, karbohidrat dalam manur akan mengalami perombakan oleh
mikrob dan menghasilkan H2O dan CO2 (reaksi a). Kedua molekul ini akan bereaksi membentuk H2CO3,
yang akan terionisasi menjadi HCO3− dan CO32− di dalam air (reaksi b, c dan d). Sementara itu, protein
akan mengalami deaminasi. Gugus amina (-NH2) yang dilepaskan akan mengambil H+ dari
lingkungannya dan membentuk NH3. Manur yang basah menyebabkan NH3 yang terperangkap
membentuk ion amonium (reaksi e). Keberadaan HCO3− dalam manur akan mendorong NH4+ untuk
melepaskan proton kepada HCO3− sehingga terjadi pelepasan gas NH3 ke udara (reaksi f). Dengan
pemberian kapur pada manur, Ca2+ dari kapur akan bereaksi dengan HCO3− membentuk CaCO3. Hal ini
menyebabkan bentuk ion amonium dipertahankan, dan pelepasan gas NH3 dapat dikurangi (reaksi g).
Reaksi-reaksi yang terjadi ialah sebagai berikut:
Karbohidrat CO 2 + H 2O (a)
CO2 + H 2O H 2CO 3 (b)
H 2CO3 + H2O H 3O + + HCO 3− (c)
− + 2− (d)
HCO3 + H2O H3O + CO 3
+ −
NH3 + H2O NH 4 + OH (e)
+ − −
2NH4 + HCO3 + OH 2NH3 (g) + 2H2O + CO2 (g) (f)
+ − − 2+ +
2NH4 + HCO 3 + OH + Ca CaCO 3 (s) + 2NH4 + H2O (g)
Berkurangnya pelepasan gas NH3 juga berbanding lurus dengan lamanya inkubasi. Hal ini
dikarenakan semakin lama waktu inkubasi, semakin berkurang air dan nutrien untuk pertumbuhan
bakteri, karena jumlah manur yang diberikan tetap. Mikrob membutuhkan nutrien selain air untuk hidup
dan pertumbuhannya, yaitu sebagai sumber karbon, nitrogen, mineral, dan vitamin. Bila sumber nutrien
ini berkurang, mikrob akan berkompetisi dalam mempertahankan hidupnya. Sejalan dengan itu,
aktivitasnya pun akan semakin berkurang.
Kapur juga dapat menyerap air sehingga tidak dapat digunakan oleh mikrob. Air sangat
dibutuhkan oleh mikrob untuk pertumbuhan dan pekembangannya. Selain itu, air juga merupakan
bagian terbesar dari protoplasma yang berperan dalam reaksi metabolisme mikrob. Penurunan kadar
air dalam manur menyebabkan aktivitas mikrob menurun sehingga jumlah gas NH3 yang dilepaskan
juga berkurang. Selain itu, kapur juga menaikkan pH di atas pH kehidupan mikrob (bakteri hidup pada
pH 6 sampai 8).
367
Kadar Air Manur Ayam Petelur
Kadar air manur ayam sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu lingkungan serta kondisi
iklim selama pengamatan. Hasil pengamatan memperlihatkan penurunan kadar air, baik yang diberi
kapur maupun tidak (Gambar 2). Pengamatan kadar air dilakukan 2 hari sekali.
K 80
a 70
d 60
a 50
r
40
a 30
i 20
r 10
(%)
0
0 2 4 6 8 10 12 14
Hari ke-
Gambar 2 Kadar air manur ayam yang diberi kapur sebanyak 0 (♦), 1 (■), 3 (▲), dan 5% (×).
Kadar air manur ayam awal dengan penambahan 0, 1, 3, dan 5% kapur berturut-turut ialah
66.74, 65.76, 64.52, dan 63.11%. Sementara hasil pengukuran kadar air keempat manur tersebut pada
hari ke-14 ialah 11.36, 10.82, 10.41, dan 9.71%. Berdasarkan data tersebut, kadar air menurun selama
masa inkubasi berturut-turut sebanyak 82.98, 83.55, 85.19, dan 84.61%. Penurunan ini disebabkan
oleh semakin berkurangnya kandungan bahan organik dalam manur. Hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap proses dekomposisi, yaitu proses pemecahan (penguraian) senyawa-senyawa organik
menjadi senyawa-senyawa anorganik. Sebagai contoh ialah dekomposisi urea berikut:
Semakin banyak kapur yang diberikan ke manur, kadar airnya cenderung berkurang,
sedangkan persen total penurunan kadar airnya meningkat. Penurunan tersebut disebabkan oleh sifat
kapur yang dapat menyerap dan bereaksi dengan air. Reaksi yang terjadi antara kapur dan air ialah
sebagai berikut (Kusnoputranto & Jaya 1984):
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi antara jumlah kapur dan lama inkubasi
terhadap penurunan kadar air (P < 0.05). Kadar air terendah yang diperoleh dari hasil uji Duncan pada
taraf uji 5% ialah 9.71%, yang dimiliki oleh manur dengan 5% kapur setelah masa inkubasi 14 hari,
meskipun tidak berbeda nyata dengan nilai kadar air untuk perlakuan yang lain (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil uji Duncan terhadap nilai rerata kadar air manur ayam petelur yang diberi berbagai
konsentrasi kapur
Jumlah kapur Kadar air hari ke- (%)*
(%) 0 2 4 6 8 10 12 14
0 66.74a 59.23d 48.01f 32.07i 19.20l 14.08mn 12.00pq 11.36pqr
1 65.76ab 57.99d 46.55f 27.87j 16.69l 15.96no 12.62pqr 10.82pqr
3 64.52bc 51.60e 41.74g 23.27k 16.19m 11.15po 11.27pqr 10.41qr
5 63.11c 50.99e 38.85h 20.82l 15.80m 10.28pq 10.28qr 9.71r
* = angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan.
368
pH Manur Ayam Petelur
Manur ayam petelur memiliki pH sedikit basa, yaitu sekitar 7.59. Hal ini disebabkan kandungan
kalsiumnya cukup besar dibandingkan dengan ayam ras lain. Kandungan kalsium manur ayam layer,
buras, dan kalkun secara berturut-turut ialah 5.5, 1.9, dan 2.8%. Pada umumnya, pH manur menurun
akibat dekomposisi oleh aktivitas bakteri, tetapi dalam dekomposisi manur ayam petelur justru
sebaliknya. Hal ini disebabkan keberadaan zat kapur yang cukup banyak dalam manur ayam petelur
akan mendorong pembentukan ion hidroksida ketika bereaksi dengan air dalam manur. Reaksinya
adalah sebagai berikut (Kusnoputranto & Jaya 1984):
Aktivitas bakteri dipengaruhi oleh pH manur. Bakteri dari spesies-spesies tertentu akan
menghasilkan gas NH3 dan seharusnya meningkatkan pH. Akan tetapi, beberapa bakteri juga
menggunakan gas tersebut sebagai sumber nitrogennya sehingga pH justru menurun. Mikrob
menggabungkan NH4+ ke dalam selnya sebagai R-NH3+, sedangkan H+ akan terakumulasi di dalam
medium. Kenaikan pH dapat terjadi jika proses pengambilan sumber nitrogen oleh mikrob dilakukan
dengan cara lain, yaitu reduksi NO3− dan NO2− menjadi NH3 dengan bantuan H+ dalam manur.
Kenaikan pH terjadi selama masa inkubasi manur, baik yang diberi kapur maupun yang tidak.
Nilai pH awal dan akhir (hari ke-14) untuk manur yang diberi 0, 1, 3, dan 5% kapur berturut-turut ialah
7.28 dan 8.71, 7.55 dan 8.83, 8.33 dan 9.03, serta 8.67 dan 9.09. Pada hari ke-4 dan ke-6, nilai pH
kontrol lebih tinggi daripada yang diberi manur. Akan tetapi, setelah hari ke-6 pH sebanding dengan
kandungan kalsium di dalam manur (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bakteri sudah
tidak berperan lagi setelah hari ke-6.
12
10
pH 8
6
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14
Hari ke-
Gambar 3 Nilai pH manur dengan jumlah kapur 0 (♦), 1 (■), 3 (▲), dan 5% (×).
Analisis ragam menunjukkan adanya interaksi antara jumlah kapur dan lama waktu inkubasi
terhadap penurunan pH manur (P < 0.05). Nilai pH tertinggi berdasarkan hasil uji Duncan pada taraf uji
5% dimiliki oleh manur dengan 5% kapur dan masa inkubasi 8 hari, yaitu 9.95, tetapi tidak berbeda
nyata secara statistik dengan nilai pH pada perlakuan yang lain (Tabel 4).
Tabel 4 Hasil uji Duncan terhadap nilai pH manur ayam petelur yang diberi berbagai konsentrasi kapur
369
Kadar Protein Manur Ayam Petelur
Kadar NH3 yang dilepaskan oleh manur ayam bergantung pada tinggi rendahnya protein yang
terkandung di dalamnya. Penambahan kapur cenderung meningkatkan kadar protein (Tabel 5), tetapi
secara statistik, jumlah kapur tidak berpengaruh terhadap kadar protein. Tabel 5 juga memperlihatkan
penurunan kadar protein selama masa inkubasi, karena menguapnya nitrogen yang berasal dari protein.
Tabel 5 Kadar protein manur ayam petelur pada hari ke-0 dan ke-14
Konsentrasi kapur Kadar protein hari ke- (%)
(%) 0 14
0 26.5 21.0
1 29.0 20.5
3 28.0 24.0
5 29.5 25.5
Simpulan
Penambahan kapur pada manur ayam petelur berpengaruh terhadap pelepasan gas NH3,
kadar air, pH, dan kadar proteinnya. Pelepasan gas NH3 terkecil berasal dari manur dengan
penambahan 5% kapur pada hari ke-14 masa inkubasi, yaitu sebesar 0.0025 ppm dengan penurunan
kadar air 9.7133%. Namun, penambahan 5% kapur sampai hari ke-8 masa inkubasi masih menaikkan
pH sampai 9.95. Kadar protein kasar manur dengan penambahan 5% kapur paling tinggi, yaitu 29.5%
pada hari ke-0 dan 25.5% setelah 14 hari masa inkubasi.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kusnoputranto H, Jaya IM. 1984. Khasiat Pembubuhan Kapur Tohor dalam Hal Daya Membunuh
Mikroorganisme (E. Coli) dan Peningkatan Alkalinitas pada Lumpur Tinja dari Septic Tank
Jamban Jamak di DKI Jakarta. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Kurniawan EL. 2003. Retensi nitrogen dan konsentrasi amonia ekskreta ayam ras pedaging yang
disuplementasi fitogenik dan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan [skripsi]. Bogor:
Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Institut Pertanian Bogor.
Lesson SG, Diaz, Summers JD. 1995. Poultry Metabolic Disorders and Mycotoxins. Oslo: Univ Books.
O’ Halloran IP. 1993. Ammonia volatilization from liquid hog manure. Influence of aeration and trapping
systems. Am J Soc 57:1300-1303.
Patrick H. 1995. Influence of protein source on consumption and excretion of water and excreta voided
by broiler chicks. Poultry Sci 34:155-159.
370
Pauzenga. 1991. Animal Production in The 90’s in Harmony with Nature. Nicholasville, Kentucky.
Pettigrew JE. 1992. Waste Management and Pollution Control. Nicholasville, Kentucky.
Sainsbury D. 1984. Poultry Health and Management. Ed ke-2. London: Granada.
Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Ed ke-5. New York: McGraw-Hill.
Setiawan H. 1996. Amonia, sumber pencemar yang meresahkan. Dalam Infovet (Informasi Dunia
Kesehatan Hewan). Edisi 037 Agu 1996. Asosiasi Obat Hewan Indonesia.
Sjogren. 1990. The nitrogen problem. Acid Environ Mag 9:16-17.
Sujono, Widarti, Ramziah. 2001. Pengaruh pemberian feed additive Joster-HE (high efficiency)
terhadap kadar amonia ekskreta dan retensi nitrogen pada ayam pedaging. J Prot 16:971-976.
Svenson L. 1990. Putting the lid on the dung headps. Acid Environ Mag 9:13-15.
Tabbu CR, Hariono B. 1993. Pencemaran lingkungan oleh limbah peternakan dan cara mengatasinya.
Ayam Sehat 18:7-9.
Usri T. 1998. Zeolitisasi kotoran ternak dan gas bio. J Peternakan Indones 46:40-41.
371
ADSORPSI KARBON AKTIF TERMODIFIKASI-ZINK KLORIDA
TERHADAP SURFAKTAN ANIONIK PADA BERBAGAI pH
Tetty Kemala, Ahmad Sjahriza, Dyah Pratama Puspitasari
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Karbon aktif dari tempurung kelapa yang diaktivasi dengan ZnCl2 5% dapat dimanfaatkan untuk
mengadsorpsi bahan pencemar. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi adsorpsi ialah kadar air, abu,
zat mudah menguap, dan karbon terikat. Bahan pencemar yang diadsorpsi ialah detergen yang
mengandung surfaktan anionik jenis linear alkil benzenasulfonat (LAS). Studi adsorpsi LAS dilakukan
pada pH 3, 6, 7, dan 12 yang dikondisikan dengan penambahan HCl dan NaOH. Sebelum adsorpsi,
panjang gelombang maksimum, kurva standar, dan waktu optimum ditentukan. Isoterm adsorpsi yang
digunakan meliputi Freundlich dan Langmuir dengan pengolahan data menggunakan Data Fit versi
8.1.69. Berdasarkan analisis, kadar air 5.04%, abu 4.90%, zat mudah menguap 19.01%, dan karbon
terikat 76.09%. Panjang gelombang maksimum sebesar 222 nm. Waktu optimumnya adalah 35 menit.
Pada konsentrasi LAS 15 ppm, efisiensi tertinggi dihasilkan pada pH 3, yaitu sebesar 87.15%, dan
terendah pada pH 12, yaitu sebesar 33.84%. Demikian pula kapasitas tertinggi diperoleh pada pH 3
(3.2761 mg/g) dan terendah pada pH 12 (2.2588 mg/g). Nilai k dan n yang didapat pada isoterm
Freundlich, serta nilai k1 dan k2 pada persamaan Langmuir menurun dari pH rendah ke tinggi. Dari nilai
linearitasnya yang hampir sama, adsorpsi dapat digambarkan dengan kedua persamaan tersebut, tetapi
isoterm yang lebih sesuai adalah Freundlich.
ABSTRACT
Active carbon from coconut shell activated by ZnCl2 could be utilized to adsorb pollutants.
Several factors influencing adsorption are water content, ash content, volatile matter, and fixed carbon.
Pollutant adsorbed was detergent containing anionic surfactant of linear alkyl benzenesulfonate (LAS)
type. LAS adsorption study was carried out on pH 3, 6, 7, and 12 which were conditioned by adding HCl
and NaOH. Before adsorption, maximum wavelength, standard curve, and optimum time were
determined. Isotherm of adsorption used included Freundlich and Langmuir by using Data Fit 8.1.69.
Based on analysis, water content was 5.04%, ash content 4.90%, volatile matter 19.01%, and fixed
carbon 76.09%. Maximum wavelength was 222 nm. Optimum time was 35 minutes. At LAS
concentration of 15 ppm, the highest efficiency was obtained on pH 3, that was 87.15%, and the lowest
on pH 12, that was 33.84%. The highest capacity was also obtained on pH 3 (3.2761 mg/g) and the
lowest on pH 12 (2.2588 mg/g). k and n values in the Freundlich isotherm and k1 and k2 values in the
Langmuir equation decreased from low to high pH. From their insignificantly different linearities,
adsorption could be represented by both equations, but Freundlich isotherm was more suitable.
PENDAHULUAN
Karbon aktif merupakan padatan amorf berbentuk heksagonal datar dengan sebuah atom C
pada setiap sudutnya (Gambar 1) serta mempunyai permukaan yang luas dan jumlah pori yang sangat
banyak (Baker 1997). Manes (1998) mengatakan bahwa karbon aktif adalah bentuk umum dari
372
berbagai macam produk yang mengandung karbon yang telah diaktifkan untuk meningkatkan luas
permukaannya. Karbon aktif berbentuk kristal mikro karbon grafit dengan pori-pori yang telah
berkembang kemampuannya dalam mengadsorpsi gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang
tidak larut atau yang terdispersi dalam cairan (Roy 1985).
Luas permukaan, dimensi, dan distribusi karbon aktif bergantung pada bahan baku serta
pengarangan dan pengaktifannya. Berdasarkan ukuran pori, karbon aktif diklasifikasikan menjadi
mikropori (diameter < 2 nm), mesopori (2–50 nm), dan makropori (> 50 nm) (Baker 1997).
Karbon aktif dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbon dalam jumlah cukup banyak.
Salah satunya yang potensial ialah tempurung kelapa (Gambar 2). Pemanfaatan tempurung kelapa
sebagai bahan baku karbon aktif selain karena harganya yang murah juga karena dapat mengurangi
limbah pertanian. Penggunaan karbon aktif di Indonesia mulai berkembang dengan pesat, dimulai dari
pemanfaatannya sebagai adsorben untuk pemurnian pulp, air, minyak, gas, dan katalis. Namun, mutu
karbon aktif domestik masih rendah (Harfi & Kusuma 1994).
Salah satu cara meningkatkan mutu karbon aktif ialah melalui pengaktifan secara kimia dengan
merendam karbon dalam H3PO4, ZnCl2, NH4Cl, atau dengan AlCl3 (Setyaningsih 1995). Fernandez &
Delgado (1994) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa karbon aktif hasil pengaktifan kimiawi dengan
ZnCl2 memiliki kapasitas adsorpsi terhadap I2 yang lebih tinggi daripada hasil pengaktifan dengan uap,
bahkan melebihi karbon aktif komersial. Rahman & Saad (2003) mengatakan bahwa pengaktifan tanpa
penambahan bahan kimia akan menghasilkan karbon aktif yang tidak maksimum dalam mengadsorpsi
dibandingkan dengan pengaktifan menggunakan bahan kimia seperti ZnCl2. Karbon aktif yang diaktif-
kan dengan ZnCl2 dapat mengadsorpsi sebesar 98%, sedangkan yang tanpa bahan kimia hanya 50%.
Menurut Sibelzor (2004), karbon aktif dapat digunakan untuk mengadsorpsi surfaktan anionik
pada berbagai pH. Surfaktan anionik yang digunakan adalah dodesil benzenasulfonat (DBS), dan
karbon aktif yang digunakan tidak diaktifkan secara kimia. Berdasarkan penelitiannya, karbon aktif
dapat mengadsorpsi DBS sebesar 99.60% pada pH 3 dan 75.42% pada pH 12.
Surfaktan anionik seperti linear alkilbenzenasulfonat (LAS atau LABS) dalam suatu detergen
yang tidak disertai enzim akan lambat terurai. Oleh karena itu, jenis surfaktan tersebut dapat mencemari
dan harus dihilangkan dari perairan. Masyarakat biasanya hanya melihat sifat murah dan mudah
berbusa dari suatu detergen tanpa memandang bahayanya terhadap lingkungan sekitar. Pada
umumnya, detergen digolongkan sebagai zat yang berbahaya terhadap alga pada konsentrasi 9.1 ppm,
ikan pada 3.5 ppm, dan invertebrata pada 4.1 ppm (HERA 2002).
Adsorpsi surfaktan anionik atau bahan organik yang sejenis biasanya menggunakan karbon
aktif. Faktor-faktor yang memengaruhi adsorpsi surfaktan pada permukaan ini ialah struktur permukaan
dan lebar pori bahan pengadsorpsi, struktur molekul dan lebar pori surfaktan (ionik atau tidak; rantai
373
hidrofobiknya panjang atau pendek; cabangnya linear, alifatik, atau aromatik), serta fase larutan
(konsentrasi, suhu, dan pH) (Holmberg et al. 2003). Penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh pH
terhadap adsorpsi surfaktan anionik menggunakan karbon aktif-termodifikasi ZnCl2.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan antara lain larutan LAS 1000 ppm, ZnCl2 5%, HCl 0.1 N dan 1 N,
NaOH 0.1 N dan 1 N, akuades, serta akuabides. Alat-alat yang digunakan antara lain oven, pengaduk
magnet, pH-meter, spektrofotometer ultraviolet (UV) Genesys UV 10, dan alat-alat kaca.
Penentuan panjang gelombang maksimum (λmaks) dilakukan terhadap konsentrasi larutan LAS
20 ppm, pada panjang gelombang 200–240 nm. Data yang diperoleh berupa kurva serapan yang
menghubungkan panjang gelombang dengan absorbans.
Sebanyak 0.1 g karbon aktif dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan LAS
40 ppm, dan digoyang dengan kecepatan tetap. Proses adsorpsi diamati pada menit ke-0, 5, 10, 15, 20,
25, 30, 35, 40, 45, dan ke-50 serta jam ke-1, 1.5, 2, 2.5, 3, 4, dan ke-6 dengan cara disaring dan
filtratnya diukur serapannya dengan spektrofotometer UV. Data yang diperoleh berupa kurva hubungan
antara waktu dan kapasitas adsorpsi.
374
C − Ca
Efisiensi(%) = o × 100% Co = konsentrasi awal (ppm)
Co Ca = konsentrasi akhir (ppm)
Kapasitas adsorpsi (Q) dan tetapan adsorpsi (k) dihitung dengan model isoterm adsorpsi
Langmuir dan Freundlich. Pengolahan data menggunakan Data Fit versi 8.1.69. Penentuan kapasitas
adsorpsi menggunakan persamaan berikut:
Modifikasi karbon aktif dengan menggunakan ZnCl2 dapat meningkatkan kapasitas adsorpsinya
(Rahman & Saad 2003). Sebelum direndam dalam larutan ZnCl2, arang direndam dalam air deionisasi
untuk membersihkannya dari ion-ion pengganggu kemudian diaktifkan dengan cara pemanasan yang
akan menguapkan bahan-bahan atsiri yang menutupi tapak-tapak aktif arang. Sebagai hydrating agent,
ZnCl2 dapat mengadsorpsi air yang menutupi permukaan tapak aktif sehingga lebih bersifat mesopori.
Pemanasan kembali pada suhu 700 °C juga dilakukan setelah perendaman dalam larutan ZnCl2 untuk
menghilangkan pengotor yang bersifat atsiri (Yang 2003). Tahap selanjutnya ialah pencucian dengan
HCl yang juga bertujuan memperluas permukaan karbon aktif sehingga dapat mengadsorpsi zat
pencemar. Arang yang telah diaktifkan kemudian disimpan dalam wadah kedap udara. Arang tersebut
diaktifkan kembali dengan pemanasan pada suhu 105 °C selama 1 jam setiap kali akan digunakan.
Larutan LAS memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 222 nm. Pengukuran
serapan larutan contoh pada λmaks dapat mengurangi galat dan meningkatkan kepekaan analisis.
Penggunaan panjang gelombang maksimum akan menghasilkan kecuraman paling besar sehingga
lebih peka terhadap perbedaan konsentrasi yang kecil.
375
Penentuan Waktu Optimum
Pengaruh waktu adsorpsi dapat dilihat dari nilai kapasitas adsorpsinya (Q). Nilai Q akan naik
hingga mencapai titik optimum kemudian stabil atau sedikit menurun setelah melewati waktu
kesetimbangannya (Gambar 4), yaitu saat karbon aktif telah jenuh.
7.0000
6.0000
5.0000
Q 4.0000
(mg/g) 3.0000
2.0000
1.0000
0.0000
35 36 37 38 39 40
Waktu (menit)
Gambar 4 Hubungan antara waktu dan kapasitas adsorpsi pada pH 3 (––), 6 (––), 7 (––), dan 12 (––).
Waktu optimum untuk pH 3 terjadi pada menit ke-35 dengan Q sebesar 5.5457 mg/g. Setelah
menit ke-35, nilai Q sedikit naik, tetapi mulai stabil pada menit ke-39. Permukaan karbon aktif yang
yang bermuatan positif pada pH 3 mempermudah adsorpsi sehingga karbon aktif lebih cepat jenuh.
Lain halnya untuk pH yang lebih tinggi, pada menit ke-35, nilai Q masih mengalami peningkatan
berarti dan stabil pada menit ke-39. Walaupun waktu optimum pada pH 6, 7, dan 12 hampir sama, nilai
Q yang didapat ketika jenuh berbeda-beda. Adsorpsi pada pH 6 memiliki nilai Q 3.0954 mg/g serta
cenderung lebih cepat jenuh dan mencapai Q maksimum dibandingkan dengan pH 7 dan 12. Hal ini
disebabkan pada pH 6 permukaan karbon aktif masih bermuatan positif, sedangkan pada pH 12
bermuatan negatif sehingga adsorbat semakin sulit teradsorpsi. Waktu optimum yang digunakan ialah
35 menit karena adsorpsi berlangsung maksimum pada menit ke-35, walaupun pada pH yang lebih
tinggi masih terjadi sedikit kenaikan Q pada waktu yang lebih lama.
80.00
Efisiensi (%)
60.00
40.00
20.00
0.00
0 15 30 45 60
Gambar 5 Hubungan antara konsentrasi dan efisiensi pada pH 3 (––), 6 (––), 7 (––), dan 12 (––).
Peningkatan konsentrasi LAS menyebabkan penurunan jumlah adsorbat yang teradsorpsi. Hal
ini diduga karena setelah karbon aktif mencapai kapasitas adsorpsi, molekul LAS cenderung
membentuk 2 lapisan (bilayer) karena reaksi hidrofobik antarrantai hidrokarbon sehingga gugus polar
masuk ke fase cair dan terjadi desorpsi. Interaksi ini menunjukkan tingginya kekuatan tolakan
376
antarmolekul LAS yang teradsorpsi pada permukaan adsorben dan gaya tarik antara LAS dan fluida
yang justru lebih besar.
Isoterm Adsorpsi
Linearitas isoterm Freundlich dan Langmuir pada adsorpsi LAS menggunakan karbon aktif-
termodifikasi ZnCl2 cukup tinggi. Isoterm yang dipilih ialah yang linearitasnya lebih tinggi (Atkins 1994),
yakni isoterm Freundlich. Isoterm ini mengasumsikan terjadinya fisisorpsi, yaitu ikatan lemah antara
adsorbat dan adsorben yang hanya melibatkan interaksi van der Waals. Lemahnya ikatan karbon aktif
dengan LAS dapat disebabkan oleh adsorpsi yang bersifat bilayer, karena lapisan kedua mempunyai
energi lebih kecil daripada yang pertama sehingga lebih mudah terlepas dari permukaan adsorben.
Isoterm adsorpsi Freundlich dibuat pada pH 3, 6, 7, dan 12. Tabel 1 menunjukkan nilai k dan n
yang didapat. Nilai n yang lebih besar dari 1 mengindikasikan bahwa adsorpsi LAS oleh karbon aktif
berlangsung baik (Sibelzor 2004). Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai k dan n menurun dengan
naiknya pH.
Tabel 1 Nilai tetapan k dan n menggunakan persamaan isoterm Freundlich.
pH k n
3 2.6565 5.7398
6 1.6963 2.9488
7 0.6080 1.5540
12 0.4479 2.1567
SIMPULAN
Waktu optimum adsorpsi LAS menggunakan karbon aktif-termodifikasi ZnCl2 adalah 35 menit.
Pada konsentrasi LAS 15 ppm, efisiensi tertinggi diperoleh pada pH 3, yaitu sebesar 87.15% dan
terendah pada pH 12 (33.84%). Demikian pula kapasitas adsorpsi tertinggi terjadi pada pH 3 (3.2761
mg/g) dan terendah pada pH 12 (2.2588 mg/g).
377
SARAN
Perlu dilakukan pengaktifan karbon aktif dengan berbagai konsentrasi ZnCl2 agar dapat
diketahui konsentrasi optimum ZnCl2 untuk mengaktifkan karbon aktif yang digunakan dalam adsorpsi
LAS. Karbon aktif yang berukuran kurang dan lebih dari 100 mesh juga perlu diuji sifat adsorpsinya.
DAFTAR PUSTAKA
378
KAJIAN TANAMAN ANTING-ANTING (Acalypha indica L.)
SEBAGAI PENURUN GLUKOSA DARAH
Purwantiningsih Sugita1, Latifah K Darusman1,3, Abadi Soetisna2,
Nurlaila, Danang Widya Wardhana1
1Departemen Kimia, FMIPA, IPB
2Departemen Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
3Pusat Studi Biofarmaka, IPB
ABSTRACT
Anting-anting (Acalypha indica L.) is well known as diabetes mellitus traditional medicine. This
research studied the potential for reducing blood sugar of anting-anting. Air-dried anting-anting's leaves
and roots were separately ground into 60 mesh and macerated by n-hexane. The residues were then
air-dried and macerated with methanol-water (4:1). The filtrates were evaporated, acidified with 2 M
H2SO4 until pH 3.5, and extracted with chloroform. Chloroform layers, either from leaves (ECD) or roots
(ECA), were evaporated and fractionated using column chromatography with chloroform-methanol for
ECD and chloroform-ethyl acetate for ECA. This fractionation gave 9 and 17 fractions, respectively.
Fraction IV of ECD (ECD4) and fraction II of ECA (ECA2) were sufficient enough to get through to
bioassay test. Mice were induced with 180 mg/kg body weight dose of alloxan. The effect of ECD4 or
ECA2 to reduce blood sugar level was determined by blood sugar measurement and α and β cells
figure out. The blood sugar measurement results showed 10.05% decrease in daonil (positive control
group), 7.46% in ECD4, and 12.78% in ECA2 treatment group. Histopathology of daonil mice showed
that daonil-stimulated β cell secreted more insulin, while ECA2 treatment mice regenerated the cell.
379
SINTESIS DAN OPTIMALISASI
GEL KITOSAN-KARBOKSIMETIL SELULOSA
Purwantiningsih Sugita, Achmad Sjachriza, Rachmanita
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Telah dilakukan sintesis dan optimalisasi gel kitosan-karboksimetil selulosa (CMC) pada
beragam konsentrasi glutaraldehida dan hidrokoloid alami CMC untuk memperbaiki sistem pengantaran
obat. Gel dibuat dengan ragam konsentrasi glutaraldehida 4, 5, dan 6% (v/v) dan konsentrasi CMC 0.00,
0.25, 0.50, dan 1.00% (b/v). Berdasarkan optimalisasi dengan perangkat lunak Modde 5, matriks gel
kitosan-CMC dengan konsentrasi kitosan 2.5% (b/v) optimum pada konsentrasi glutaraldehida 6% dan
CMC 1%. Sifat reologi kekuatan, titik pecah, ketegaran, pembengkakan, dan pengerutan gel yang
terukur berturut-turut ialah 738.923 g cm-2, 1.0685 cm, 3.5095 g cm-1, 5.3373 g, dan 1.2084 g.
PENDAHULUAN
Udang merupakan komoditas ekspor penting dari hasil perikanan. Harga maupun permintaan
pasaran luar negeri terhadap udang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ekspor udang ke
Amerika Serikat pada triwulan pertama tahun 2005 mencapai 14 ribu ton. Volume ini melonjak 117
persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2004, yaitu 6 ribu ton (Kustiani 2005).
Menurut Sudibyo (1991), sekitar 80–90% ekspor udang Indonesia dilakukan dalam bentuk udang beku
tanpa kulit dan kepala yang bobotnya mencapai 25–30% dari bobot udang utuh. Limbah kulit dan
kepala ini menimbulkan pencemaran lingkungan, terutama baunya yang tidak sedap.
Selama ini, limbah udang dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan campuran pakan ternak.
Bertambahnya limbah dari tahun ke tahun mendorong perlunya diversifikasi untuk meningkatkan nilai
tambah limbah tersebut. Pembuatan kitin dan kitosan merupakan salah satu bentuk diversifikasi yang
bermanfaat di berbagai bidang seperti farmasi, fotografi, kosmetika, fungisida, industri kertas, industri
pangan, dan industri tekstil. Secara khusus untuk obat-obatan dan kesehatan, kitosan biasanya dibuat
dalam bentuk hidrogel.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, modifikasi kimia kitosan menjadi gel kitosan dapat
meningkatkan kemampuan dan kapasitas adsorpsinya terhadap ion logam berat (Guibal et al. 1997).
Hal ini disebabkan oleh volume pori bentuk gel yang lebih besar dibandingkan dengan bentuk serpihan.
Daya adsorpsi gel kitosan ini dipengaruhi oleh kestabilan sifat gel yang terbentuk. Penambahan polivinil
alkohol pada saat pembentukan gel kitosan dapat memperbaiki sifat matriks gel dengan cara
menurunkan waktu gelasi dan meningkatkan kekuatan mekanik gel (Wang et al. 2004). Cardenas et al.
(2003) juga telah meneliti modifikasi membran kitosan dengan penambahan alginat. Alginat bermanfaat
dalam memperbaiki struktur dasar makromolekul kitosan karena dapat membentuk ikatan silang pada
proses gelasi sehingga gel lebih kuat. Kitosan-alginat berguna untuk bidang pangan, kosmetik, dan
industri farmasi.
Hidrokoloid alami lainnya seperti gom xantan, CMC, dan gom guar dapat digunakan untuk
memperbaiki kekuatan matriks dari gel kitosan. Gel kitosan-termodifikasi hidrokoloid alami mempunyai
380
banyak kegunaan. Sugita et al. (2006a dan b) telah mensintesis gel kitosan-gom guar yang
dioptimalisasi dengan Modde 5 ke arah penerapannya untuk memperbaiki sistem pengantaran obat,
dan kitosan-alginat yang juga dioptimalisasi dengan Modde 5 ke arah penerapannya sebagai adsorben
ion logam Cu(II).
Pada penelitian ini dilakukan modifikasi gel kitosan dengan menambahkan glutaraldehida
sebagai bahan pembentuk ikatan silang dan CMC sebagai interpenetrating polymer network (IPN)
agent. CMC dipilih karena dapat digunakan dalam kisaran konsentrasi yang lebih beragam
dibandingkan dengan polimer larut air lainnya (Nussinovitch 1997). Selain itu, CMC juga mampu
berikatan dengan air sehingga meminimumkan pengerutan.
Penelitian ini bertujuan mensintesis gel kitosan-CMC dan melakukan optimalisasi gel tersebut
berdasarkan sifat reologinya. Sintesis dilakukan dengan beragam konsentrasi glutaraldehida dan CMC
pada konsentrasi kitosan yang tetap. Pembentukan gel kitosan-termodifikasi CMC diharapkan dapat
memperbaiki sifat reologi gel yang akan diterapkan untuk memperbaiki sistem pengantaran obat.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia, FMIPA, IPB. Bahan-
bahan yang digunakan adalah kitosan (hasil isolasi limbah kulit udang pancet yang berasal dari Muara
Angke, Jakarta), akuades, bufer asetat pH 4, bufer fosfat pH 7, CH3COOH, glutaraldehida, dan CMC.
Sifat reologi gel diukur dengan penganalisis tekstur Stevens LFRA di Laboratorium Kimia dan Biokimia
Pangan, Pusat Antar Universitas (PAU), IPB.
Pembuatan Gel Kitosan-CMC (modifikasi Kurniati 1999 dan Wang et al. 2004)
Sebanyak 30 ml larutan kitosan 2.5% (b/v) dalam asam asetat 1% (v/v) ditambahkan 2 ml
larutan CMC yang nilai pH-nya telah diatur menjadi 4. Ragam konsentrasi larutan CMC yang digunakan
ialah 0.00, 0.25, 0.50, dan 1.00% (b/v). Kemudian campuran diaduk dengan pengaduk magnet sampai
homogen. Sebanyak 1 ml glutaraldehida dengan ragam konsentrasi 4.00, 5.00, dan 6.00% (v/v)
ditambahkan ke dalam campuran tersebut tetes demi tetes sambil terus diaduk, lalu larutan didiamkan
pada suhu ruang selama 24 jam. Gel kitosan-CMC yang diperoleh masing-masing diukur sifat
reologinya yang meliputi kekuatan, titik pecah, dan ketegaran dengan menggunakan penganalisis
tekstur. Sifar reologi lain yang diukur ialah kemampuan gel untuk menyerap air (pembengkakan) dan
melepaskan air (pengerutan).
Parameter kekuatan, titik pecah, dan ketegaran gel diukur dengan menggunakan penganalisis
tekstur (Gambar 1). Penganalisis tekstur yang dipakai memiliki luas bidang probe 0.1923 cm2, beban
probe 96–97 g, dan jarak probe ke gel 2.525–2.575 cm. Pembengkakan dilakukan dengan merendam
sekitar 1 g gel dalam larutan bufer asetat pH 4 selama 24 jam pada suhu kamar. Selama proses
pembengkakan, wadah ditutup untuk mencegah penguapan larutan bufer. Setelah 24 jam, gel
ditimbang kembali untuk mengetahui bobot air yang terserap. Pengerutan dilakukan dengan merendam
sekitar 2 g gel dalam larutan bufer fosfat pH 7 selama 24 jam pada suhu 10 ºC. Setelah itu, gel
ditimbang untuk mengetahui bobot air yang dilepaskan.
381
beban pecah (g)
Perhitungan untuk menetapkan kekuatan, titik pecah, dan ketegaran gel ialah sebagai berikut:
beban probe
Nilai kalibrasi =
jarak probe ke gel
Rancangan Percobaan
Hasil penelitian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Modde 5 untuk melihat pengaruh
perubahan konsentrasi CMC dan glutaraldehida terhadap kekuatan, titik pecah, ketegaran,
pembengkakan, dan pengerutan, serta mengetahui konsentrasi CMC dan glutaraldehida (glu) yang
optimum untuk memperbaiki sistem pengantaran obat. Persamaan yang dimodelkan berpengaruh nyata
terhadap respons jika reologi gel memiliki nilai P < 0.05 yang berarti bahwa perbedaan konsentrasi
CMC, glu, dan glu*CMC memengaruhi respons.
Gambar 2 menjelaskan bahwa matriks gel semakin kuat dengan meningkatnya konsentrasi
glutaraldehida. Rohindra et al. (2003) menyatakan bahwa adanya ikatan silang antara kitosan dan
glutaraldehida akan meningkatkan kekuatan mekanik matriks gel. Sebaliknya, kekuatan matriks gel
menurun jika CMC ditambahkan dalam jumlah banyak, walaupun konsentrasi glutaraldehida juga tinggi.
Meskipun ikatan yang terbentuk semakin rapat dengan bertambah tingginya konsentrasi glutaraldehida,
kemungkinan ada gugus −NH2 kitosan yang tidak berikatan silang dengan glutaraldehida. Akibatnya,
antargugus tersebut terjadi tolakan kuat yang menurunkan kekuatan matriks gel.
382
Gambar 2 Kurva pengaruh konsentrasi CMC dan glutaraldehida terhadap kekuatan gel.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa titik pecah matriks gel semakin kecil dengan naiknya
konsentrasi glutaraldehida. Pada konsentrasi glutaraldehida yang tinggi, ikatan silang matriks semakin
rapat sehingga kedalaman penetrasi pada saat gel pecah menjadi kecil. Kurva tersebut juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi CMC pada konsentrasi glutaraldehida yang rendah,
nilai titik pecahnya 1.0199–1.0297 cm. Jadi, peningkatan konsentrasi CMC tidak memberikan pengaruh
yang berarti terhadap titik pecah jika konsentrasi glutaraldehidanya rendah. Hal ini mungkin
dikarenakan nilai titik pecah dapat berubah-ubah bergantung pada kondisi ikatan.
Gambar 3 Kurva pengaruh konsentrasi CMC dan glutaraldehida terhadap titik pecah gel.
Gambar 4 menunjukkan bahwa ketegaran matriks naik jika konsentrasi glutaraldehida juga naik.
Sebaliknya, kenaikan konsentrasi CMC akan menurunkan ketegaran matriksnya. Penambahan CMC
menyebabkan gel semakin elastis. Ketegaran merupakan nisbah antara beban pada saat gel pecah (g)
dan kedalaman penetrasi (Fry & Hudson 1983, diacu dalam Kurniati 1999). Ketegaran berbanding
terbalik dengan kedalaman penetrasi.
Gambar 4 Kurva pengaruh konsentrasi CMC dan glutaraldehida terhadap ketegaran gel.
383
Gambar 5 menunjukkan bahwa pembengkakan matriks gel berbanding terbalik dengan
konsentrasi glutaraldehida. Matriks gel diperkirakan menjadi lebih kompak oleh bertambahnya ikatan
silang, sehingga ruang untuk masuknya air ke dalam gel menjadi semakin sempit. Rohindra et al.
(2003) dan Berger et al. (2004) menyatakan bahwa pembengkakan menurun dengan meningkatnya
derajat ikatan silang. Sebaliknya, peningkatan konsentrasi CMC meningkatkan pembengkakan. CMC
berfungsi sebagai IPN yang tidak bereaksi dengan kitosan. Kenaikan jumlah CMC di dalam matriks gel
menyebabkan ikatan silang mejadi kurang rapat dan gel semakin elastis, sehingga kemampuan
hidrogel untuk membengkak juga semakin besar. Selain itu, CMC bersifat menarik air yang turut
meningkatkan pembengkakan. Pembengkakan juga diduga karena tidak semua gugus −NH2 kitosan
berikatan silang dengan glutaraldehida. Pada pH 4, gugus ini akan berinteraksi dengan H+ dari larutan
bufer asetat membentuk NH3+. Interaksi antargugus tersebut menyebabkan gaya tolak yang tinggi
sehingga memperlebar pori-pori matriks gel dan air akan lebih mudah masuk ke dalam struktur gel.
Gambar 5 Kurva pengaruh konsentrasi CMC dan glutaraldehida terhadap pembengkakan gel.
Pengerutan gel berbanding lurus dengan konsentrasi CMC dan berbanding terbalik dengan
konsentrasi glutaraldehida (Gambar 6). Peningkatan konsentrasi glutaraldehida memperbanyak ikatan
silang sehingga keluarnya molekul air dari gel semakin sulit. Pengerutan yang makin tinggi dengan
meningkatnya konsentrasi CMC dikarenakan kurang larutnya CMC dalam kondisi asam. Menurut
Fardiaz (1989), CMC dapat mencegah pengerutan karena dapat mengikat air. Namun, bufer yang
digunakan dalam proses pengerutan ialah bufer fosfat yang memiliki ukuran molekul lebih besar
daripada air dan asam asetat yang merupakan cairan yang ada di dalam matriks gel. Besarnya ukuran
molekul fosfat ini diduga dapat mendesak molekul air keluar dari pori-pori matriks gel. Pengerutan juga
dibantu dengan adanya gugus −NH2 pada kitosan yang tidak bereaksi dengan glutaraldehida. Gugus
tersebut membentuk ikatan hidrogen antarmolekul kitosan dalam matriks gel sehingga matriks gel
makin rapat dan air akan terperas keluar matriks gel.
Gambar 6 Kurva pengaruh konsentrasi CMC dan glutaraldehida terhadap pengerutan gel.
384
Analisis keragaman atau Anova menghasilkan persamaan-persamaan yang menghubungkan
glutaraldehida, CMC, dan interaksi keduanya dengan respons yang diukur, yaitu kekuatan, titik pecah,
ketegaran, pembengkakan, dan pengerutan gel (Tabel). Menurut Lindblad (2003), gel yang baik bersifat
elastis, lembut, dan mudah membengkak di dalam air. Nilai optimum yang memenuhi syarat gel untuk
memperbaiki sistem pengantaran obat adalah kekuatan, titik pecah, dan pembengkakan yang
maksimum, serta ketegaran dan pengerutan yang minimum. Dari penelitian ini, gel kitosan-CMC
optimum diperoleh pada konsentrasi glutaraldehida dan CMC berturut-turut 6.00 % dan 1.00%.
Validasi
Berdasarkan data hasil percobaan, kondisi gel optimum memberikan nilai kekuatan, titik pecah,
ketegaran, pembengkakan, dan pengerutan gel berturut-turut 738.923 g cm-2, 1.0685 cm, 3.5095 g cm-1,
5.3373 g, dan 1.2084 g. Validasi hanya dilakukan terhadap nilai pembengkakan dan pengerutan karena
hanya kedua respons itu yang modelnya sesuai dengan percobaan. Hasil validasi pembengkakan
sebesar 5.3422 g masuk dalam kisaran nilai 4.8036–5.8710 g. Demikian pula hasil validasi pengerutan
sebesar 1.2534 g masuk dalam kisaran 1.0876–1.3292 g.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa matriks gel kitosan-CMC optimum pada
konsentrasi kitosan 2.5% terjadi pada konsentrasi glutaraldehida 6% dan CMC 1%. Hasil optimalisasi
dengan perangkat lunak Modde 5 untuk memperbaiki sistem pengantaran obat memberikan nilai
kekuatan, titik pecah, ketegaran, pembengkakan, dan pengerutan gel berturut-turut sebesar 738.923 g
cm-2, 1.0685 cm, 3.5095 g cm-1, 5.3373 g, dan 1.2084 g.
DAFTAR PUSTAKA
Berger J et al. 2004. Structure and interactions in covalently and ionically crosslinked chitosan
hydrogels for biomedical applications. Eur J Pharm Biopharm 57:19-34.
Cardenas A, Monal WA, Goycoolea FM, Ciapara IH, Peniche C. 2003. Diffusion through membranes of
the polyelectrolyte complex of chitosan and alginate. Macromol Biosci 3:535-539.
Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Guibal E, Milot C, Roussy J. 1997. Chitosan gel beads for metal ion recovery. Perancis: European
Chitin Society.
Kurniati I. 1999. Mempelajari pengaruh pH, penambahan MnCl2 dan CMC terhadap karakteristik gel
cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Kustiani R. 25 Jun 2005. Sebelas eksportir udang diperiksa Amerika. Koran Tempo.
Nussinovitch A. 1997. Hydrocolloid Applications. Israel: Chapman & Hall.
385
Rohindra DR, Nand AV, Khurma JR. 2003. Swelling properties of chitosan hydrogels. [terhubung
berkala]. www.usp.ac.fj/spjns/volume22/rohindra.pdf<http://www.usp.ac.fj/spjns/volume22/
rohindra.pdf.[7 Agu 2005].
Sudibyo A. 1991. Meraih devisa melalui industri pengolahan kitin dan kitosan. Bul Ekonomi Bapindo
16:55-62.
Sugita P, Sjachriza A, Lestari SI. 2006a. Sintesis dan optimalisasi gel kitosan-gom guar. J Nat, in press.
Sugita P, Sjachriza A, Wahyono D. 2006b. Sintesis dan optimalisasi gel kitosan-alginat. J Sains Teknol
Indones, in press.
Wang T, Turhan M, Gunasekaram S. 2004. Selected properties of pH-sensitive, biodegradable
chitosan-poly(vinyl alcohol) hydrogel. Polym Int 53:911-918.
386
PENCIRIAN MEMBRAN SELULOSA DARI KULIT NANAS
MENGGUNAKAN SEM, FTIR, DAN NILAI FLUKS
Betty Marita Soebrata, Sri Mulijani, Tya Prawesti Diana Putri
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Selain dari tanaman, selulosa juga dihasilkan oleh mikroorganisme. Jenis mikroorganisme yang
berpotensi menghasilkan selulosa mikrobial ialah Acetobacter xylinum. Penelitian ini memanfaatkan
limbah kulit nanas dengan cara menggunakan sarinya sebagai medium pertumbuhan mikrob karena
kandungan nutrisinya yang cukup lengkap. Selulosa mikrobial yang dihasilkan berpotensi untuk
dijadikan bahan dasar alternatif dalam pembuatan membran. Pencirian selulosa mikrobial dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR), mikroskop elektron
payaran (SEM), serta dengan menguji nilai fluksnya menggunakan umpan air, glukosa, dan albumin.
Berdasarkan nilai fluksnya, membran selulosa termasuk membran mikrofiltrasi dengan nilai fluks lebih
dari 50 l/m2. Hasil pengamatan dengan SEM menunjukkan rerata ukuran pori sebesar 0.5–0.6 µm
sehingga masuk dalam kisaran ukuran pori membran mikrofiltrasi, yaitu 0.02–10 µm. Spektrum FTIR-
nya menunjukkan adanya kesamaan dengan gugus fungsi penyusun struktur selulosa pada spektrum
selulosa murni. Hal ini memperlihatkan bahwa membran selulosa yang diperoleh mempunyai kemurnian
yang tinggi.
PENDAHULUAN
Nanas (Ananas comosus) merupakan jenis buah yang terkenal di Indonesia. Selain dikonsumsi
sebagai buah segar, nanas juga banyak digunakan dalam industri pengolahan pangan. Menurut BPS
(2005), produksi nanas dari tahun ke tahun terus meningkat seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Proses
pengolahan nanas juga menimbulkan limbah kulit nanas yang banyak sehingga perlu dimanfaatkan
untuk meningkatkan mutunya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan mengubahnya
menjadi nata de pina yang selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan membran.
Nata atau selulosa mikrobial merupakan hasil fermentasi bakteri dalam medium yang
mengandung glukosa. Salah satu bakteri penghasil nata adalah Acetobacter xylinum yang merupakan
bakteri Gram negatif aerob. Kristynowicz & Bielecki (2001) menyatakan bahwa pada medium statik,
selulosa akan terakumulasi pada permukaan medium dan terlihat seperti agar-agar berlapis yang terdiri
387
atas pelikel-pelikel. Selulosa mikrobial tersebut memiliki kemurnian, derajat kristalinitas, kekuatan tarik,
elastisitas, kekenyalan, ketahanan gesek, serta kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi.
Selain itu, selulosa mikrobial memiliki densitas 300–900 kg/m3, mudah dimodifikasi, dapat diuraikan
secara alami, tidak beracun, dan tidak menimbulkan alergi.
Penamaan nata bergantung pada medium yang digunakan. Selama ini masyarakat lebih
mengenal nata de coco, yang menggunakan air kelapa sebagai mediumnya, daripada nata de pina
yang menggunakan sari buah nanas. Limbah cair pengolahan tahu juga dapat digunakan sebagai
medium dan hasilnya disebut nata de soya. Penelitian tentang pembuatan nata de pina dari kulit nanas
sebelumnya pernah dilakukan oleh Susanto et al. (2000) dan Santoso (1993). Nata de pina umumnya
hanya dijual di pasaran sebagai makanan yang kaya serat, sedangkan nata de coco telah digunakan
sebagai bahan dasar membran (Yarni 2000). Penelitian ini akan mengkaji pemanfaatan nata de pina
sebagai bahan dasar alternatif membran selulosa.
Membran dapat digunakan dalam proses pemisahan yang lebih ekonomis, efektif, dan tidak
menimbulkan perubahan pada zat yang dipisahkan. Keunggulan lain membran dibandingkan dengan
proses pemisahan lainnya adalah terjadi penghematan energi, karena pemisahan dilakukan pada suhu
kamar, dan ramah lingkungan. Produk-produk yang memanfaatkan membran selulosa antara lain
membran diafragma pengeras suara, bahan penyaring, produk-produk perawatan luka, serat tekstil, dan
bahan tambahan pada makanan fungsional (Yoshinaga et al. 1997).
Penelitian ini bertujuan membuat membran selulosa dari sari kulit nanas dan mencirikannya
dengan menggunakan spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR), mikroskop elektron
payaran (SEM), dan nilai fluks.
TINJAUAN PUSTAKA
Nanas
Nanas berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Tanaman ini termasuk divisi Plantae,
subdivisi Spermatophyta, kelas Monocotyledonae, ordo Farinosae, famili Bromelioceae, genus Ananas,
dan spesies comosus. Pada umumnya nanas dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kulit, daging, dan
hati. Komposisi kimia nanas dapat dilihat pada Tabel 2.
388
Selulosa Mikrobial
Acetobacter merupakan bakteri Gram negatif, aerob obligat, berbentuk batang, membentuk
kapsul, bersifat nonmotil, dan tidak membentuk spora. Spesies yang telah dikenal antara lain A. aceti, A.
orleanensis, A. liquefaciens, dan A. xylinum. Meskipun memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan
spesies lain, A. xylinum dapat mengubah glukosa dari medium menjadi selulosa ekstraselular Akan
tetapi, proses tersebut dipengaruhi oleh sifat fisis dan kimiawi lingkungan (Lapuz et al. 1967).
Pertumbuhan A. ylinum dipengaruhi oleh pH, suhu, sumber nitrogen, dan sumber karbon
(Lapuz et al. 1967). Tanda awal pertumbuhan bakteri penghasil nata ialah timbulnya kekeruhan setelah
diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah 36–48 jam, suatu lapisan tembus cahaya mulai
terbentuk di permukaan medium yang secara bertahap akan menebal membentuk lapisan yang
kompleks. Jika diganggu, lapisan ini akan tenggelam dan lapisan baru akan terbentuk di permukaan
selama kondisinya masih memungkinkan. Pada kondisi yang mendukung, ketebalan nata dapat
mencapai lebih dari 5 cm dalam waktu satu bulan. Aktivitas pembentukan nata hanya terjadi pada
kisaran pH 3.5–7.5; mutu nata terbaik dan terbanyak dicapai pada pH 5.0 dan 5.5 dalam medium air
kelapa pada suhu kamar.
Membran
Membran adalah fase permeabel atau semipermeabel, biasanya berupa padatan polimer tipis
yang menahan pergerakan bahan tertentu. Menurut Scott & Hughes (1996), kegunaan utama membran
dalam industri ialah untuk filtrasi padatan taklarut berukuran mikron dan submikron dari cairan dan gas
yang mengandung padatan terlarut, pemindahan makromolekul dan koloid dari cairan yang
mengandung ion, pemisahan campuran terlarut, pemisahan selektif gas dan uap dari aliran gas dan uap,
transpor selektif spesies ion, serta pemindahan semua bahan yang larut maupun taklarut dalam air.
Secara umum, bahan membran dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu polimer sintetik,
produk alami-termodifikasi yang berbahan dasar selulosa, serta bahan lainnya seperti bahan anorganik,
keramik, logam, dan membran cair. Aplikasi umum membran pada penanganan air, aplikasi proses, dan
penanganan limbah membuka peluang aplikasi membran yang potensial pada dunia industri (Scott &
Hughes 1996).
Sifat-sifat yang harus dimiliki membran bergantung pada kegunaannya. Namun, sifat ideal yang
harus dimiliki semua membran agar efektif pemisahannya ialah ketahanan kimia, stabilitas mekanik,
stabilitas termal, permeabilitas tinggi, selektivitas tinggi, dan mempunyai jumlah pengoperasian yang
tinggi.
389
Berdasarkan fungsinya, membran dibedakan menjadi 4. Pertama, membran mikrofiltrasi yang
dapat digunakan dalam pemisahan antarpartikel (bakteri, ragi) dan penyaringan makromolekul dengan
bobot molekul (BM) > 500,000 g/mol atau partikel berukuran 0.1–10 µm. Tekanan yang digunakan ialah
0.5–2 atm. Tekanan osmotik dan polarisasi konsentrasi diabaikan. Membran ini memiliki struktur
asimetrik dan simetrik. Kedua, membran ultrafiltrasi untuk pemisahan antarmolekul dan menyaring
makromolekul dengan BM > 5000 g/mol atau partikel berukuran 0.001–0.1 µm. Tekanan yang
digunakan 1.0–3.0 atm. Tekanan osmotik dan polarisasi konsentrasi juga diabaikan. Membran ini
memiliki struktur asimetrik. Ketiga, membran osmosis balik yang berfungsi menyaring garam-garam
organik dengan BM > 50 g/mol atau partikel berukuran 0.0001–0.001 µm. Tekanan yang digunakan
ialah 8.0–12.0 atm. Keempat, membran dialisis yang berfungsi memisahkan larutan koloid yang
mengandung elektrolit dengan molekul kecil. Pelarut dari larutan yang konsentrasinya tinggi akan
melewati membran dan menuju larutan yang lebih encer. Dengan demikian, perbedaan konsentrasi
menjadi gaya pendorongnya. Yang terakhir ialah membran elektrodialisis yang digunakan untuk
memisahkan larutan dengan gaya gerak listrik sebagai gaya pendorongnya (Wenten 1996).
Filtrasi
Menurut Toledo (1991), filtrasi ialah proses pemisahan dua atau lebih komponen dalam suatu
aliran fluida. Proses ini digunakan untuk memisahkan padatan, komponen taklarut, dan partikel lain
yang tidak dikehendaki dalam suatu cairan. Filtrasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu filtrasi partikel
konvensional (dead-end filtration) dan filtrasi membran (crossflow filtration). Pemisahan partikel
tersuspensi yang berukuran lebih besar dari 10 µm dapat dilakukan dengan menggunakan filtrasi
partikel konvensional, sedangkan partikel yang berukuran lebih kecil dari 10 µm dipisahkan
menggunakan filtrasi membran. Pada sistem dead-end, larutan umpan dialirkan secara tegak lurus
terhadap membran sehingga terjadi peningkatan konsentrasi komponen-komponen yang tertahan pada
permukaan membran dan terjadi penurunan laju permeat (zat yang dapat dialirkan melalui membran)
yang melalui membran. Sementara pada sistem crossflow, aliran umpannya sejajar dengan membran
sehingga fouling dapat dikurangi. Aliran umpan dapat dibagi menjadi 2, yaitu aliran permeat dan
rentetate (zat yang ditahan oleh membran). Penggambaran kedua sistem tersebut ditunjukkan pada
Gambar 3 (Mulder 1996).
Pencirian Membran
Pencirian, desain, dan segi teknik kimia merupakan beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam kinerja membran. Kinerja dan efisiensi membran ditentukan oleh dua parameter utama, yaitu
selektivitas dan fluks membran (Mulder 1996). Fluks ialah jumlah volume permeat yang melewati satu
satuan luas membran dalam waktu tertentu dengan adanya gaya dorong, dalam hal ini tekanan, yang
dapat digambarkan dalam persamaan berikut:
V Keterangan: J = fluks (l/m2 jam atm) V = volume permeat (l)
J= t = waktu (jam) ∆ P = tekanan (atm)
A × t × ∆P
390
Faktor-faktor yang memengaruhi nilai fluks antara lain tekanan membran, kecepatan crossflow,
dan konsentrasi larutan. Penurunan fluks terjadi karena adanya gejala fouling pada membran, tetapi
adanya fouling dapat meningkatkan rejeksi. Menurut Henry (1988), fouling disebabkan oleh akumulasi
partikel pada permukaan membran yang semakin lama semakin menumpuk sehingga mengakibatkan
penurunan fluks dan perubahan selektivitas. Perbedaan ukuran molekul umpan juga dapat menurunkan
nilai fluks, karena semakin besar ukuran molekul zat yang dialirkan melalui membran, semakin mungkin
terbentuk lapisan gel pada permukaan membran yang dapat menghambat laju alir.
Tekanan sebagai gaya dorong yang diberikan pada beberapa jenis proses membran akan
menghasilkan nilai fluks yang berbeda-beda pula (Tabel 3).
Tabel 3 Kisaran nilai fluks dalam berbagai tekanan pada proses membran dengan ∆P sebagai gaya
dorong (Mulder 1996)
Proses membran Kisaran tekanan (bar) Kisaran nilai fluks (l/m2 jam atm)
Mikrofiltrasi 0.1−2.0 > 50
Ultrafiltrasi 1.0−5.0 10−50
Nanofiltrasi 5.0−20.0 1.40−12
Osmosis balik 10.0−100.0 0.05−1.40
Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit buah nanas, starter (bakteri A. xylinum) dari Balai
Besar Industri Agro (BBIA), asam asetat glasial, amonium sulfat, natrium hidroksida, air suling, sukrosa,
glukosa, bovine serum albumin (BSA), dan kertas saring.
Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, wadah fermentasi, vakum dan corong
Büchner, pemanas, alat-alat kaca, kertas steril, indikator universal, spektrofotometer FTIR TENSOR 27,
SEM Jeol JSM–5000, dan alat penyaring crossflow. Analisis FTIR dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka
IPB. Analisis SEM dilakukan di Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia. Sementara pengukuran fluks dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknik
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pembuatan medium dari sari kulit nanas,
pembuatan nata de pina, pemurnian selulosa, pembuatan membran, dan pencirian membran dengan
mengukur fluks serta melakukan analisis FTIR dan SEM.
391
dan didiamkan semalam. Keesokan harinya, kertas steril dibuka sebagian dan sebanyak 10% (v/v)
inokulum dimasukkan ke dalam medium. Medium ditutup kembali dengan rapat dan diinkubasi selama
kira-kira 15 hari hingga diperoleh nata de pina seperti pada Gambar 4 (Susanto et al. 2000).
Pemurnian selulosa
Nata de pina direndam dalam larutan NaOH 1% (b/v) pada suhu kamar selama 24 jam,
kemudian dinetralkan dengan cara direndam dalam asam asetat 1% (v/v) selama 24 jam. Volume
NaOH dan asam asetat yang digunakan kurang lebih 1 l. Selanjutnya, produk dicuci beberapa kali
dengan air (Yarni 2000).
Pembuatan membran
Nata dipotong sesuai dengan kebutuhan dan dikeluarkan airnya dengan bantuan corong
Büchner dan vakum. Hasil yang diperoleh berupa lembaran membran tipis yang masih basah.
Sementara Gambar 5 menunjukkan membran yang telah dikeringkan.
Pengukuran fluks
Membran dibentuk lingkaran berdiameter 5.5 cm, sesuai bentuk dan ukuran modul membran,
kemudian diukur fluksnya dengan alat penyaring crossflow menggunakan akuades, glukosa 200 ppm,
dan albumin 200 ppm sebagai umpan. Ragam tekanan yang digunakan pada pengukuran fluks dengan
umpan akuades ialah 2.5, 5.0, 7.5, dan 10.0 psi, sedangkan ketika menggunakan umpan larutan
glukosa dan albumin ialah 2.5 dan 10.0 psi. Pengukuran fluks masing-masing dilakukan sebagai fungsi
waktu sampai mencapai kondisi tunak.
Proses pembuatan nata de pina pada dasarnya meliputi penyiapan medium, inokulasi bakteri,
dan pemurnian selulosa. Selama 24 jam inokulasi, pada permukaan medium terlihat suatu lapisan
392
bening, yang dikenal dengan pelikel, yang terus menebal. Pada hari ke-5, lapisan tersebut telah
menebal sempurna dan dapat dipanen. Nata de pina yang dihasilkan berserat dan berlendir dengan
warna yang agak kekuningan dan tebal 0.5 cm. Lendir tersebut merupakan kapsul atau lapisan lendir
bakteri yang berfungsi sebagai pelindung dan tempat cadangan makanannya (Pelczar & Chan 1986).
Gas karbon dioksida yang dihasilkan secara lambat oleh A. xylinum menyebabkan nata mengapung
dan terdorong ke atas. Nata de pina yang dihasilkan bersifat asam dengan pH 3–3.5. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Dimaguila (1967) yang menyatakan bahwa A. xylinum menghasilkan asam asetat
sejak diinokulasikan ke dalam medium.
Proses pengepresan nata menyebabkan pecahnya ikatan dengan energi paling rendah dalam
sistem selulosa-air, yaitu ikatan hidrogen antarmolekul air. Sebagian air lepas dari permukaan dan
selulosa mendekat satu sama lain. Proses ini berlanjut sampai hanya tertinggal lapisan monomolekul air
di antara 2 permukaan selulosa. Hal ini dapat dibuktikan dengan diperolehnya lapisan tipis nata yang
belum kering sempurna. Oleh karena itu, proses pengeringan dilanjutkan pada suhu 60 °C agar ikatan
hidrogen antara gugus –OH air dan selulosa putus dan terbentuk ikatan hidrogen antarselulosa
(Gambar 6). Nata yang diperoleh berbentuk lembaran tipis yang kering, agak berkerut, dan warnanya
agak kecokelatan. Warna kecokelatan ini diduga terjadi karena gula dan protein yang terkandung di
dalamnya mengalami reaksi pencokelatan (browning) dan perusakan asam amino. Membran selulosa
ini mampu menyerap air sehingga dapat dikelompokkan sebagai membran yang bersifat hidrofilik.
Kemampuan menyerap air oleh selulosa dipengaruhi oleh strukturnya.
Gambar 6 Perubahan ikatan hidrogen selama pelepasan air dari dua rantai selulosa yang berdekatan
(Fengel & Wegener 1989).
Pengukuran fluks dilakukan dengan menggunakan 3 jenis umpan, yaitu air, glukosa, dan
albumin. Fluks air merupakan standar dalam mengevaluasi penurunan kinerja membran sebelum dan
sesudah digunakan. Pengukuran ini menggunakan prinsip filtrasi crossflow, yaitu dengan
mensirkulasikan umpan ke dalam sistem modul. Penggunaan prinsip ini diharapkan mampu
mengurangi gejala fouling yang dapat menghambat laju permeat.
Pengukuran fluks air, glukosa, maupun BSA pada jenis membran yang sama menunjukkan
gejala yang sama pula, yaitu nilai fluks semakin turun seiring dengan lamanya analisis dan tercapai nilai
yang stabil pada keadaan tunak (Gambar 7). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
adanya fouling dan polarisasi konsentrasi. Penurunan fluks secara terus-menerus yang disebabkan
oleh fouling dapat menahan partikel-partikel yang menempel pada permukaan membran.
393
(a) (b) (c)
Keterangan:
Gambar 7 Hubungan antara fluks dan waktu pada tekanan 2.5 psi untuk jenis umpan air (a), glukosa
(b), dan BSA (c).
Menurut Mulder (1996), penurunan nilai fluks pada proses ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi untuk air
murni kurang dari 5%. Namun, Gambar 7 (a) memperlihatkan penurunan nilai fluks air dari nilai awalnya,
yaitu 10936.02 l/m2 jam atm, lebih dari 5%. Hal ini disebabkan oleh kandungan padatan atau pengotor
dalam akuades. Mulder (1996) menyatakan bahwa molekul air dengan bobot molekul 18 dan diameter
0.2 nm tidak mungkin menyebabkan peristiwa fouling. Kontaminasi akuades ini sangat mungkin terjadi
terutama jika peralatan yang digunakan kurang memenuhi standar dan proses sanitasi alat kurang
sempurna. Pembersihan ulang terhadap sistem modul dan pompa merupakan salah satu hal yang
dapat dilakukan untuk mengurangi fouling.
Gambar 7 (b) dan (c) menunjukkan bahwa nilai fluks glukosa dan BSA lebih rendah daripada
fluks air, yaitu berturut-turut 4552.95 dan 5311.78 l/m2 jam atm. Penurunan nilai fluks tersebut
disebabkan ukuran molekul glukosa dan albumin yang lebih besar sehingga pori-pori membran
tersumbat. Selain itu, penurunan fluks juga disebabkan oleh terakumulasinya zat-zat secara permanen
di atas atau di dalam struktur membran (terjadi fouling). Akumulasi zat tersebut membentuk lapisan gel
yang menurunkan fluks dan mengubah selektivitas membran.
Gejala penurunan nilai fluks dengan naiknya tekanan teramati baik dengan larutan umpan
akuades, glukosa, maupun BSA (Gambar 8). Berdasarkan data nilai fluks untuk semua jenis umpan,
membran selulosa yang dihasilkan termasuk dalam kelompok mikrofiltrasi dengan kisaran nilai fluks
lebih dari 50 l/m2 jam atm.
Penurunan fluks akibat kenaikan tekanan disebabkan oleh adanya kompaksi membran.
Menurut Mulder (1996), kompaksi merupakan suatu perubahan mekanik pada struktur membran
polimer yang terjadi dalam proses membran dengan gaya dorong ∆P. Dengan demikian, kenaikan
tekanan yang dikenakan akan menyebabkan kompaksi membran semakin cepat. Hal ini berhubungan
dengan sifat membran selulosa yang hidrofilik. Kemampuan membran selulosa dalam menyerap air
(umpan) dapat mengubah struktur selulosa menjadi lebih kompak. Selama proses penyerapan
394
berlangsung, pori-pori membran merapat sehingga menurunkan nilai fluks. Bahkan setelah relaksasi
(dengan cara menurunkan tekanan pada proses), nilai fluks tidak dapat kembali sebagaimana nilai
awalnya karena gejala ini bersifat tidak dapat balik.
Hasil pengamatan permukaan membran dengan SEM (Gambar 9a) menunjukkan morfologi
membran yang berupa jaringan serat selulosa yang berbentuk batang/pipa (tanda panah). Sementara
Gambar 9b memperlihatkan bahwa ruang antarserat selulosa merupakan pori-pori yang berukuran
sekitar 0.5–0.6 µm (tanda panah). Rerata ukuran pori membran ialah sekitar 0.5–0.6 µm sehingga
masuk ke dalam kisaran membran mikrofiltrasi, yaitu 0.1–10.0 µm. Ketidakseragaman ukuran pori ini
dapat dikendalikan dengan penambahan zat aditif yang disebut porogen.
(a) (b)
Gambar 9 Hasil pengamatan SEM terhadap morfologi (a) dan ukuran pori (b) membran.
(Keterangan: 1 = Serat selulosa yang berbentuk batang/pipa, 2 = Pori membran selulosa)
Hasil FTIR membran selulosa dapat dilihat pada Gambar 10. Gugus fungsi –OH selulosa nata
de pina terdeteksi pada bilangan gelombang 3267.77–3468.06 cm-1, sedangkan gugus –OH selulosa
murni (Gambar 11) pada 3295.7–3336.3 cm-1. Gugus –OH pada karbohidrat mempunyai karakter pita
yang sangat lebar (3200–3400 cm-1) dan tajam (Sudjadi 1983). Pita pada gugus –OH dalam membran
selulosa ini lebih lebar daripada pita dalam spektrum selulosa murni. Hal ini diduga karena adanya
asam asetat yang belum tercuci sempurna oleh air. Keberadaan gugus C–H dengan vibrasi ulur dan
tekuk dapat ditunjukkan dengan puncak pada bilangan gelombang 2903.89 dan 1424.40 cm-1.
395
Gambar 11 Spektrum FTIR selulosa murni.
Selulosa terdiri atas unit-unit glukosa. Bentuk glukosa tidak mutlak dalam keadaan siklik;
glukosa juga dapat stabil dalam bentuk rantai terbuka pada proyeksi Fischer. Hal ini diperkuat dengan
adanya gugus C=O pada bilangan gelombang 1645.80 cm-1 dan gugus C–O ulur pada 1109.89–
1156.16 cm-1. Berdasarkan hasil analisis FTIR, gugus-gugus fungsi yang terdapat pada membran
selulosa mempunyai kemiripan dengan spektrum standarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa
membran selulosa mikrobial dihasilkan dalam penelitian ini, walaupun masih tercampur zat lain.
SIMPULAN
Berdasarkan nilai fluksnya, membran selulosa dari nata de pina termasuk dalam kelompok
mikrofiltrasi. Hal ini juga diperkuat dengan hasil pengamatan SEM, yaitu rerata ukuran porinya 0.5–0.6
µm. Hasil analisis FTIR menunjukkan adanya kesamaan serapan gugus fungsi antara membran
selulosa mikrobial dan selulosa murni.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Produksi Buah-buahan Indonesia. http://www.BPS.go.id. [16 Agu 2005].
Dimaguila LS. 1967. The nata de coco 2: Chemical nature and properties of nata. Phillip Agric 51:475-
485.
Fengel D, Wegener G. 1989. Wood: Chemistry and Ultrastructure Research. Berlin: Walter de Gruyter.
Henry JD. 1988. Crossflow Filtration: Recent Development in Separation Science. Ohio: CRC Pr.
Krystynowicz A, Bielecki S. 2001. Biosynthesis of bacterial cellulose and its potential application in the
different industries. Polish Biotechnology. http://www.Biotechnology-pl.com/science/
krystynowicz.htm. [1 Jul 2005].
Lapuz MM, Gallerdo EG, Palo MA. 1967. The nata organs cultural requirements: Characteristics and
identity. Phillip J Sci 96:91-96.
Mallevialle J, Odendaals PE, Wichser MR. 1996. Water Treatment Membrane Process. New York: Mc
Graw Hill.
Morton JF. 1987. Pineapple, fruit of warm climates. http://www.hort.Purdue.Edu/newcorp/morton/
pineapple. html. [15 Mar 2005].
396
Mulder M. 1996. Basic and Principles of Membrane Technology. London: Kluwer.
Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar–Dasar Mikrobiologi. Volume 1,2. Hadioetomo RS, Imas T,
Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of
Microbiology.
Rabbek JK. 1987. Experimental Method in Polymer Chemistry. Toronto: J Wiley.
Santoso I. 1993. The utilization of pineapple peel for nata production. Sains Teknol 1:31-34.
Scott K, Hughes K. 1996. Industrial Membrane Separation Technology. London: Blackie Academic and
Professionals.
Sudjadi. 1983. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Susanto T, Adhitia R, Yunianta. 2000. Pembuatan nata de pina dari kulit nanas: Kajian dari sumber
karbon dan pengenceran medium fermentasi. Teknol Pertanian 1:58-66.
Sutiani A. 1997. Biodegradasi poliblend polistirena-pati [tesis]. Bandung: Program Pascasarjana, Institut
Teknologi Bandung.
Toledo RT. 1991. Fundamentals of Food Processing Engineering. New York: Chapman and Hall.
Wenten IG. 1996. Teknologi Industrial Membran. Bandung: Departemen Teknik Kimia, ITB.
Yarni D. 2000. Produksi dan karakterisasi membran mikrofiltrasi dari selulosa mikrobial [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Yoshinaga et al. 1997. Research progress in production of bacterial celulose by aeration and agitation
culture and its application as a new industrial material. Biosci Biotechnol Biochem 6:119-224.
397
MODIFIKASI KULIT SINGKONG SEBAGAI BIOREMOVAL
LOGAM Pb(II) DAN Cd(II)
Betty Marita Soebrata, Muhammad Sri Saeni, Indiah Ratna Dewi
Departemen Kimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Kulit singkong berpotensi sebagai bioremoval logam berat, namun belum banyak dimanfaatkan.
Pada penelitian ini, bioremoval kulit singkong digunakan untuk mengadsorpsi dua ion logam divalen,
yaitu Pb(II) dan Cd(II). Perlakuan terhadap kulit singkong meliputi pencucian dengan air deionisasi atau
impregnasi dengan basa sebagai perlakuan pendahuluan, dengan dan tanpa diikuti modifikasi dengan
asam nitrat atau asam fosfat 0.6 M. Hasil adsorpsi pada keenam contoh dibandingkan dengan adsorpsi
oleh karbon aktif komersial. Hasilnya menunjukkan bahwa adsorpsi maksimum kulit singkong tercapai
hanya dalam 10−40 menit dengan efektivitas yang tinggi. Modifikasi asam dapat meningkatkan
persentase logam yang teradsorpsi per gram bioremoval. Kapasitas adsorpsi larutan tunggal ion logam
yang diperoleh pada hasil modifikasi dengan asam fosfat dan nitrat ialah 59.3239 µg Cd/g dan
106.3032 µg Pb/g. Kemampuan adsorpsi kulit singkong lebih baik daripada karbon aktif, dengan
kenaikan efektivitas adsorpsi sebesar 10%. Mekanisme adsorpsi bioremoval logam berat terhadap
logam Pb(II) dan Cd(II) berlangsung secara kemisorpsi dan fisisorpsi, dengan linearitas di atas 80%
untuk kedua jenis isoterm adsorpsi, Freundlich dan Langmuir.
PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan teknologi berdampak negatif pada penurunan mutu lingkungan.
Keberadaan logam berat yang melewati ambang batas lingkungan sangat berbahaya bagi kehidupan
perairan dan kesehatan manusia. Logam berat yang sangat berbahaya ialah timbel, kadmium, dan
raksa yang umumnya berasal dari limbah industri pupuk dan penyepuhan listrik (electroplating) (Palar
2004). Beberapa teknik penghilangan logam dalam limbah industri meliputi presipitasi, pertukaran ion,
dan teknik elektrolit (Blanco et al. 1999), tetapi sering kali hasilnya kurang memuaskan karena efisiensi
dan kapasitas adsorpsinya kecil, serta membutuhkan biaya yang mahal. Saat ini, penelitian mengarah
pada pemanfaatan biomassa-termodifikasi asam sebagai bioremoval logam berat.
Bioremoval didefinisikan sebagai bahan hayati yang digunakan dalam proses adsorpsi
pencemar dari suatu cairan, yang selanjutnya melalui proses desorpsi, bahan ini dapat dibuang dan
ramah lingkungan (Suhendrayatna 2001). Modifikasi asam yang paling umum digunakan untuk
mengaktifkan adsorben hayati atau bioremoval, karena efektivitas adsorpsinya jauh lebih besar
daripada karbon aktif (David 2000; Vaughan et al. 2001).
Salah satu bioremoval potensial berasal dari kulit singkong (Horsfall & Abia 2003a, b). Tercatat
di Biro Pusat Statistik Indonesia, angka produksi singkong pada tahun 2002 mencapai 16,913,104 ton
dan tahun 2003 diperkirakan mencapai 17,722,803 ton (BPS 2004). Seiring dengan meningkatnya
konsumsi singkong dan penggunaannya sebagai bahan baku industri di Indonesia, limbahnya dapat
dimanfaatkan sebagai bioremoval logam berat. Marshall & Jhons (1996) juga telah melaporkan
beberapa produk samping pertanian yang berpotensi sebagai bioremoval, di antaranya ialah tongkol
jagung, gabah padi, gabah kedelai, biji kapas, jerami, ampas tebu, dan kulit kacang tanah.
398
Modifikasi asam terhadap kulit singkong mengarah pada pengaktifan gugus hidroksil yang
banyak terdapat pada selulosa. Selulosa merupakan penyusun kulit singkong terbesar bersama lemak,
protein, dan senyawa lain yang umum terdapat dalam tumbuhan (Sangseethong & Sriroth 2000). Gugus
hidroksil selulosa akan berikatan dengan asam membentuk ester. Keberadaan asam dalam ester
tersebut mampu meningkatkan muatan negatif total, sehingga memperbesar kemampuannya berikatan
dengan logam. Sifat inilah yang diasumsikan dapat menjadikan kulit singkong sebagai bioremoval yang
potensial.
Bioremoval yang baik harus memiliki kapasitas adsorpsi, efektivitas adsorpsi, dan kapasitas
desorpsi yang tinggi sehingga dapat digunakan kembali. Penelitian ini bertujuan membuat bioremoval
logam berat (Pb dan Cd) dari kulit singkong yang termodifikasi asam. Manfaat penelitian ini adalah
mampu menambah nilai guna kulit singkong, sekaligus menghasilkan adsorben bermutu baik dari
bahan yang murah dan melimpah.
METODE PENELITIAN
Kulit singkong dicuci dengan air deionisasi dan diimpregnasi dengan NaOH 0.1 N. Modifikasi
berbasis-asam menggunakan 2 macam asam, yaitu asam nitrat dan fosfat, dengan konsentrasi masing-
masing 0.6 M. Kemampuan bioremoval kulit singkong dikaji dengan menentukan kapasitas dan
efektivitas adsorpsinya terhadap logam berat Pb(II) dan Cd(II). Mekanisme adsorpsinya dikaji dengan
isoterm Freundlich dan Langmuir.
Kulit singkong dibersihkan dengan air keran untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang
menempel. Kulit yang dipakai adalah kulit bagian dalam atau endodermis. Sejumlah kecil kulit singkong
tersebut diambil untuk ditentukan kadar airnya, selebihnya dikeringkan di bawah sinar matahari,
selanjutnya dihaluskan dengan blender hingga berukuran ±100 mesh.
Sebanyak 1 g kulit singkong bersih dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah dikeringkan
dalam oven dan diketahui bobot kosongnya. Cawan petri berisi contoh dikeringkan dalam oven pada
suhu 105 °C selama 3 jam dan didinginkan. Setelah dingin, disimpan dalam eksikator lalu ditimbang.
Pengeringan dilakukan beberapa kali selama 30 menit sampai diperoleh bobot yang tetap. Analisis
dilakukan tiga ulangan.
Sebanyak 100 g kulit singkong halus dimasukkan ke dalam gelas piala 1 l dan ditambah 660 ml
air deionisasi. Campuran dikocok selama 20 menit dan dibuang airnya. Pencucian diulangi sebanyak
dua kali. Selanjutnya, dikeringkan dalam oven pada suhu 50 °C selama 24 jam. Contoh yang dihasilkan
selanjutnya disebut bioremoval dengan pencucian air (DWB).
Sebanyak 100 g kulit singkong halus dimasukkan ke dalam gelas piala 4 l, ditambah 2 l NaOH
0.1 M, dikocok selama 20 menit pada suhu 80 °C, disaring, dan dibuang airnya. Setelah itu, dicuci 2 kali
399
dengan air deionisasi untuk menghilangkan kelebihan basa dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50
°C selama 24 jam. Contoh yang dihasilkan selanjutnya disebut bioremoval dengan impregnasi NaOH
(DWSB).
Contoh dimasukkan dalam gelas piala 1 l dan ditambah 660 ml asam. Asam yang digunakan
adalah asam nitrat dan asam fosfat dengan konsentrasi 0.6 M. Campuran dikocok selama 30 menit dan
disaring. Contoh dikeringkan dalam oven bersuhu 50 °C selama 24 jam, lalu suhunya dinaikkan
menjadi 180 °C dan didinginkan. Setelah dingin, direndam dalam air panas untuk menghilangkan
kelebihan asam dan dikeringkan pada suhu 50 °C selama 24 jam. Contoh hasil modifikasi-asam
terhadap DWB selanjutnya disebut bioremoval termodifikasi-asam nitrat (NAB) dan -asam fosfat (PAB)
sementara contoh hasil modifikasi-asam terhadap DWSB selanjutnya berturut-turut disebut bioremoval
termodifikasi-asam nitrat dan -asam fosfat dengan impregnasi basa (NASB dan PASB).
Ion logam yang digunakan adalah Pb(II) dan Cd(II). Larutan tunggal ion logam stok dibuat
dalam konsentrasi 100 ppm dalam bufer natrium asetat (0.01 M)-asam asetat (0.01 M) dengan pH 4.80.
Sebanyak 1 g dari setiap modifikasi bioremoval dimasukkan ke dalam 50 ml larutan tunggal ion
logam Pb dan Cd. Campuran dikocok dengan pengaduk magnet berkecepatan 300 rpm selama 40
menit dan disaring. Sebanyak 40 ml supernatan diambil, dimasukkan dalam gelas piala, ditambahkan 1
ml HNO3 pekat, dipanaskan sebentar, kemudian didinginkan lagi. Larutan siap dianalisis dengan
spektrofotometer serapan atom (AAS) pada panjang gelombang tertentu untuk menentukan konsentrasi
ion logam bebas yang masih terlarut. Panjang gelombang untuk Pb(II) 261 nm, sedangkan untuk Cd(II)
226 nm. Konsentrasi ion logam dihitung menggunakan kurva standar yang dibuat dari hubungan
absorbans dengan konsentrasi larutan standar. pH larutan logam diukur sebelum penambahan
bioremoval, sesaat setelah penambahan bioremoval, dan setelah adsorpsi. Kapasitas adsorpsi dapat
dihitung dengan rumus
V (C 0 − C a )
Q=
mb
(Co − Ca )
Efektivitas = × 100%
Co
dengan Q = kapasitas adsorpsi per bobot bioremoval (µg/g bioremoval),
V = volume larutan (ml), mb = massa bioremoval (g), dan
Co, Ca = konsentrasi awal dan akhir larutan (ppm)
400
Pb dan Cd dengan ragam waktu adsorpsi 10, 20, 40, 60, dan 80 menit. Waktu optimum ditentukan dari
kapasitas adsorpsi maksimum tiap bioremoval-nya.
Isoterm Adsorpsi
Kepada sebanyak 1 g singkong ditambah 20 ml larutan tunggal ion Pb dan Cd pada beberapa
konsentrasi, yakni 0.0, 0.1, 0.5, 1.0, 5.0, 10.0, 25.0, 50.0, dan 100.0 ppm. Campuran dikocok pada suhu
25 °C selama 2 jam kemudian disaring dan diukur kadar ion logamnya dengan AAS. Kapasitas adsorpsi
(Q) dan tetapan afinitas dihitung dengan model isoterm Langmuir dan Freundlich.
Modifikasi Bioremoval
Kulit singkong yang akan digunakan sebagai bioremoval logam berat Pb(II) dan Cd(II)
dimodifikasi terlebih dahulu dengan asam. Asam yang digunakan ialah asam nitrat dan fosfat. Biomassa
termodifikasi-asam fosfat memiliki kapasitas adsorpsi lebih tinggi daripada yang tidak termodifikasi
(Chamarthy et al. 2001; Vaughan et al. 2001). Asam fosfat memiliki kemiripan struktur dengan asam
nitrat. Modifikasi asam nitrat terhadap karbon aktif juga mampu meningkatkan kapasitas adsorpsinya
(Wu & Chen 1998).
Sebagian contoh kulit singkong diimpregnasi terlebih dahulu dengan NaOH 0.1 N sebelum
dimodifikasi dengan asam. Impregnasi dengan NaOH 0.1 N hanya digunakan sebagai perlakuan
pendahuluan yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi dan mempercepat waktu
adsorpsi (Marshall & Johns 1996).
Limbah kulit singkong awal masih kotor oleh tanah. Pembersihan dan pencucian dilakukan
untuk menghilangkan tanah dari kulit singkong. Perolehan pada tahap ini kurang lebih 90%. Sepuluh
persen epidermis atau kulit luar singkong tidak dimanfaatkan karena terkotori oleh tanah dan
diperkirakan memiliki kandungan selulosa yang relatif sedikit dibandingkan dengan lapisan endodermis.
Kulit singkong yang telah dikeringudarakan dan berukuran 100 mesh memiliki kadar air sekitar
68.60%. Bioremoval dengan berbagai modifikasi dibuat dari kulit singkong yang telah dihaluskan
tersebut. Sekitar 10−20% bioremoval hilang selama proses modifikasi. Bioremoval termodifikasi-asam
nitrat berwarna kuning kecokelatan (Gambar 1a dan b), sedangkan bioremoval termodifikasi-asam
fosfat berwarna cokelat kehitaman (Gambar 1c dan d). Bioremoval tanpa modifikasi asam memiliki
warna yang paling pucat (Gambar 1e dan f).
Gambar 1 Bioremoval kulit singkong: NASB (a), NAB (b), PASB (c), PAB (d), DWSB (e), dan DWB (f).
Waktu Adsorpsi
Bioremoval dari kulit singkong termodifikasi-asam digunakan untuk mengadsorpsi Pb(II) dan
Cd(II) dari larutan tunggal dan limbah industri. Konsentrasi larutan tunggal ion Pb(II) dan Cd(II) dibuat
401
0.1 ppm, namun konsentrasi yang terukur sebesar 0.1987 dan 2.2185 ppm untuk Pb(II), serta 1.4578
ppm untuk Cd(II). Lamanya proses adsorpsi ditentukan berdasarkan kapasitas adsorpsinya selama
rentang waktu tertentu. Saat kapasitas adsorpsi (Q) bioremoval mencapai nilai maksimum, maka
lamanya proses adsorpsi tersebut diambil sebagai waktu optimum adsorpsi.
Q (ppm/g) Q (ppm/g)
80.00 8.00
70.00 7.00
60.00 6.00
50.00 5.00
40.00 4.00
30.00 3.00 c
20.00 2.00
10.00 1.00
0.00 0.00
0 10 20 40 60 80 0 10 20 40 60 80
(a) (b)
Gambar 2 Waktu adsorpsi ion Cd(II) (a) dan Pb(II) (b): NAB (♦), NASB (■), PAB (▲), PASB (×).
Adsorpsi maksimum ion logam terjadi pada rentang waktu 10–40 menit dan stabil pada nilai
maksimum atau cenderung menurun sampai menit ke-80. Adsorpsi terhadap Cd(II) relatif lebih cepat
dibandingkan dengan terhadap Pb(II). Adsorpsi Pb(II) optimum pada menit ke-40, sedangkan adsorpsi
maksimum Cd(II) hanya memerlukan waktu 10 menit (Gambar 2). Hal ini karena jari-jari ion Cd(II) (0.95
Ǻ) lebih kecil dibandingkan dengan Pb(II) (1.19 Ǻ) (Baig et al. 1999). Jika adsorpsi terjadi secara fisik,
partikel yang lebih kecil akan lebih cepat teradsorpsi pada pori-pori adsorben. Kecenderungan
menurunnya kapasitas adsorpsi setelah mencapai nilai maksimum dimungkinkan karena proses
desorpsi atau pelepasan kembali selama pengocokan.
Pada adsorpsi ion Pb, terlihat kedinamisan kapasitas adsorpsi terhadap waktu, meskipun akan
mencapai kapasitas maksimum relatif pada waktu yang sama. Bioremoval dengan perlakuan awal
NaOH, yaitu NASB dan PASB, mengadsorpsi ion logam lebih cepat daripada bioremoval yang hanya
termodifikasi-asam. Hal ini berkenaan dengan konsep pembentukan pori baru oleh impregnan NaOH
(Setiadi & Sugiarso 1999). Semakin banyak pori yang dimiliki suatu adsorben, kecepatan adsorpsi juga
semakin meningkat.
Kapasitas adsorpsi terhadap ion logam diukur berdasarkan waktu optimum yang telah diperoleh.
Logam Pb(II) dalam larutan tunggal diadsorpsi dengan bioremoval selama 40 menit. Konsentrasi logam
sebelum dan setelah adsorpsi diukur untuk menentukan kapasitas dan efektivitas adsorpsinya.
Bioremoval NAB memiliki kapasitas dan efektivitas adsorpsi paling tinggi, yaitu 106.3032 µg/g
bioremoval dan 95.83%. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan karbon aktif. Kapasitas
adsorpsi logam Pb(II) oleh karbon aktif sebesar 94.0712 µg/g dengan efektivitas 84.85%. Modifikasi
dengan asam, baik asam nitrat maupun asam fosfat, terbukti mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi
bioremoval terhadap logam Pb(II) hampir 33 kali lipat (Gambar 3).
Adsorpsi berlangsung pada kondisi asam dengan pH sekitar 3−4. Gugus nitrat yang telah
terikat oleh gugus hidroksil selulosa membentuk ester nitrat dan mampu menarik lebih banyak ion Pb2+.
Pengikatan ini melibatkan interaksi elektrostatik antara gugus bermuatan negatif pada dinding sel dan
kation logam (Baig et al. 1999). Berdasarkan teori, adsorpsi spesifik pada logam Pb(II) termasuk
kemisorpsi.
402
Efektivitas (%)
120
(a) (b)
Gambar 3 Kapasitas (a) dan efektivitas (b) adsorpsi bioremoval kulit singkong terhadap ion Pb(II) tanpa
(■) dan dengan (■) impregnasi NaOH.
Impregnasi dengan NaOH juga mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi bioremoval dengan
cara menghasilkan pori-pori baru setelah terjadi oksidasi parsial oleh oksigen dan karbon. Walaupun
bioremoval dimodifikasi dengan asam, jika tidak diimpregnasi dengan NaOH terlebih dahulu, kapasitas
adsorpsinya sedikit lebih kecil. Akan tetapi, jumlah pori yang banyak juga tidak menjamin adsorpsi yang
lebih banyak. Dalam hal ini, kemisorpsi lebih dominan daripada fisisorpsi.
Adsorpsi terhadap Cd(II) dilakukan selama 10 menit. Bioremoval kulit singkong termodifikasi
asam-fosfat tanpa impregnasi NaOH (PAB) memiliki kapasitas dan efektivitas adsorpsi tertinggi
dibandingkan dengan adsorpsi oleh karbon aktif atau bioremoval lain. Kapasitas adsorpsinya sebesar
59.3239 µg/g bioremoval dengan efektivitas 81.40%. Karbon aktif ternyata memiliki kemampuan yang
lebih baik dalam mengadsorpsi logam Cd(II) daripada logam Pb(II), karena ukuran ion Cd2+ yang lebih
kecil. Kapasitas adsorpsinya sebesar 40.9705 µg/g bioremoval dengan efektivitas 56.20%. Nilai ini
hanya sebanding dengan kemampuan adsorpsi bioremoval tanpa modifikasi asam (DWB). Kapasitas
dan efektivitas adsorpsi logam Cd(II) oleh bioremoval kulit singkong ditunjukkan pada Gambar 4.
70
59.3239 90 81.4
Q (µg logam/g bioremoval)
60 80
50.5907 49.085 69.42 67.35
50 70
efektivitas (%)
40.9705 60 56.2
37.9464 52.07
40 33.1277 45.45
50
30 22.8854 40 31.4
30
20
20
10 10
0 0
DWB NAB PAB karbon aktif DWB NAB PAB karbon aktif
(a) (b)
Gambar 4 Kapasitas (a) dan efektivitas (b) adsorpsi bioremoval kulit singkong terhadap ion Cd(II) tanpa
(■) dan dengan impregnasi NaOH (■).
403
efektivitas 97.83%. Sementara kapasitas dan efektivitas adsorpsi logam Cd(II) oleh PAB ialah 23.7952
µg/g (Gambar 5b) dan 82.29%. Kulit singkong termodifikasi-asam fosfat dan nitrat lebih baik dalam
mengadsorpsi ion logam dari limbah industri dibandingkan dengan adsorben komersial karbon aktif
yang banyak dipakai pada sistem pengolahan limbah.
25
Q (µg logam/g bioremoval)
22.5
25 23.1789 23.7952
22.8916 22.4427
19.4981 21.9616
20
20 18.6654
17.4594
15
15
Q (ppm)
10 8.4985
6.9986 7.485 10
5 5
0.4997
0.4999
0 0
DWB NAB PAB karbon aktif DWB NAB PAB karbon Aktif
(a) (b)
Gambar 5 Kapasitas adsorpsi bioremoval kulit singkong terhadap ion Pb(II) (a) dan Cd(II) (b) dalam
limbah penyepuhan listrik, tanpa (■) dan dengan impregnasi NaOH (■).
Kemampuan adsorpsi kulit singkong tanpa modifikasi-asam juga cukup tinggi. Kapasitas
adsorpsi logam Pb(II) dan Cd(II) di dalam limbah industri penyepuhan listrik relatif lebih kecil daripada
logam pada larutan tunggalnya. Hal ini disebabkan oleh keberadaan logam berat lain di dalam limbah,
yaitu Fe, Cu, Cr, Zn, dan Ni dengan konsentrasi tiap logam kira-kira 100 ppm (Handoyo et al. 1999),
yang mungkin ikut teradsorpsi.
Isoterm Adsorpsi
Jenis isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme adsorpsi. Adsorpsi fase
padat-cair pada umumnya mengikuti isoterm Freundlich dan Langmuir. Data konsentrasi kesetimbang-
an, konsentrasi logam teradsorpsi, dan bobot bioremoval digunakan dalam pembuatan kurva regresi
linear untuk kedua jenis isoterm tersebut. Penentuan jenis isoterm ini digunakan pada bioremoval
terbaik untuk masing-masing ion logam. Adsorpsi logam Pb(II) oleh NAB memberikan nilai linearitas
yang tinggi untuk kedua jenis isoterm, yaitu 92.45% untuk isoterm Langmuir (Gambar 6a) dan 80.31%
untuk isoterm Freundlich (Gambar 6b). Adsorpsi logam Pb(II) oleh bioremoval NAB dianggap mengikuti
tipe isoterm Langmuir karena linearitasnya yang lebih tinggi.
350 y = 20.91x + 20.662 3.5
R2 = 0.8031 3
300 y = 7417.2x - 792.4
2.5
250 R2 = 0.9245
2
1.5
log x/m
200
1
x/m
150
0.5
100 c 0
50 -1 -0.95 -0.9 -0.85 -0.5-0.8
-1
0
-1.5
0.0000
-50 0.0500 0.1000 0.1500 0.2000
log c
c (ppm )
(a) (b)
Gambar 6 Grafik persamaan isoterm Langmuir (a) dan Freundlich (b) pada adsorpsi Pb(II).
Linearitas kedua jenis isoterm pada adsorpsi logam Cd(II) oleh PAB juga menunjukkan nilai
yang tinggi. Linearitasnya berdasarkan isoterm Langmuir dan Freundlich secara berurutan ialah 91.08
dan 80.22% (Gambar 8). Jadi, adsorpsi logam Cd(II) oleh PAB juga sesuai dengan isoterm Langmuir.
404
180
160 3.0000
140 y = 11.556x + 14.466 2.5000
120 R2 = 0.8022
y = 4107.6x - 242.05 2.0000
100
x/m
R2 = 0.9108 1.5000
log x/m
80
60 1.0000
40 0.5000
20
0.0000
0
-1.2500 -1.2000 -1.1500 -1.1000 -1.0500-0.5000
-1.0000
-20
0.0000 0.0200 0.0400 0.0600 0.0800 0.1000
-1.0000
c (ppm)
log c
(a) (b)
Gambar 7 Grafik persamaan isoterm Langmuir (a) dan Freundlich (b) pada adsorpsi Cd(II).
SIMPULAN
NAB baik digunakan untuk mengadsorpsi logam Pb(II) dalam larutan tunggal maupun limbah
industri pelapisan listrik. Waktu adsorpsi optimum ialah selama 40 menit dengan kapasitas adsorpsi
106.3032 µg/g bioremoval dan efektivitas adsorpsi 95.83% pada larutan tunggal logam Pb(II).
PAB baik digunakan untuk mengadsorpsi logam Cd(II) dalam larutan tunggal maupun limbah
industri penyepuhan listrik. Waktu adsorpsi optimumnya ialah selama 10 menit dengan kapasitas
adsorpsi 59.3239 µg/g bioremoval dan efektivitas 81.40% pada larutan tunggal logam Cd(II).
Adsorpsi terhadap logam Pb(II) dan Cd(II) berlangsung secara kemisorpsi maupun fisisorpsi,
dengan linearitas di atas 80% untuk tipe isoterm Langmuir maupun Freundlich.
DAFTAR PUSTAKA
Abia AA, Horsfall MJr, Didi O. 2002. Study on the use of agriculture by-product for the removal of the
trace metals from aqueous solution. J Appl Sci Environ Mgt 6:89-95.
Anggraningrum IT. 1996. Model adsorpsi ion kompleks koordinasi nikel(II) pada permukaan alumina
[tesis]. Jakarta: Magister Sains Ilmu Kimia, Universitas Indonesia.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. Jilid 2. Ed ke-4. Kartohadiprojo II, penerjemah. Jakarta: Erlangga.
Baig TH, Garcia AE, Tiemann KJ, Gardea-Torresdey JL. 1999. Adsorption of heavy metal ions by the
biomass of Solanum elaeagnifolium (silverleaf nigtshade). Proceedings of the Conference on
Hazardous Waste Research.
Blanco Ab, Sanz B, Liama MJ, Serra JL. 1999. Biosorption of heavy metals to immobilized Phormidium
laminosum biomass. J Biotechnol 69:227-240.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: BPS.
David AR. 2000. Characterization of Pecan Shell-Based Carbon. Technical Completion Report. New
Mexico: New Mexico State University.
405
Johns MM. 1997. Agriculture by-product as granular activated carbon for adsorbing dissolved metals
and organics. J Chem Technol Biotechnol 71:131-140.
Handoyo LEB, Bachtiar, Yulistiono HBS. 1999. Perencanaan (model) sistem pengelolaan limbah
elektroplating. J Intek 5:6-11.
Horsfall MJr, Abia AA. 2003a. Sorption of cadmium(II) and zinc(II) ions from aqueous solutions by
cassava waste biomass (Manihot esculenta Cranz). Water Res 37:4913-4923.
Horsfall MJr, Abia AA, Spiff AI. 2003b. Removal of Cu(II) and Zn(II) ions from wastewater by cassava
(Manihot esculenta Crantz) waste biomass. African J Technol 2:360-364.
Marshall WE, Jhons MM. 1996. Agriculture by-product as metal adsorbent: Sorption properties and
resistance to mechanical abrasion. J Chem Technol Biotechnol 66:192-198.
Marshall WE, Wartelle LH, Boler DE. 1999. Enhanced metal adsorption by soybean hulls modified with
citric acid. Biores Technol 69:263-268.
Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Sangseethong K, Sriroth K. 2000. Modification of cassava pulp and its metal adsorption property: A
preliminary study. Bangkok: Department of Biotechnology, Kasetsart University.
Setiadi, Sugiarso E. 1999. Pengaruh impregnan NaOH terhadap luasan permukaan karbon aktif dan
kemampuan adsorpsi terhadap gas CO2. Fundamental Apl Kim A17:1-7.
Suhendrayatna. 2001. Heavy metal bioremoval by microorganism: A literature study. Seminar on-air:
Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21.
Tchobanoglous G, Franklin LB. 1991. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse.
Singapura: McGraw-Hill.
Vaughan T, Seo CW, Marshall WE. 2001. Removal of selected metal ions from aqueous solution using
modified corncobs. Biores Technol 78:133-139.
Wafyono W, Seo CW, Marshall WE. 1999. Utilization of peanut shells as adsorbent for selected metals.
J Chem Technol Biotechnol 74:1117-1121.
Wu S, Chen JP. 1998. Modification of commercial activated carbon for metal adsorption by several
approaches. Singapura: Dept. of Chemical and Environmental Engineering, National University
of Singapore.
406
POTENSI BEBERAPA PAKAN IKAN LAUT ALAMI DALAM PENGADAAN
ASAM LEMAK ESENSIAL PADA IKAN BARONANG
(Siganus canaliculatus)
Anna Priangani Roswiem
Departemen Biokimia, FMIPA, IPB
ABSTRAK
Penelitian ini membandingkan antara campuran pakan buatan (pelet ikan X)-pakan ikan alami
(Enhalus sp., Turbinaria sp., Gracilaria sp., dan Chlorella sp.) dengan nisbah 7:1 (b/b) dan pelet ikan X
(tanpa dicampur pakan alami). Pakan tersebut diberikan pada ikan baronang (Siganus canaliculatus) 2
hari sekali sebanyak 7.5% bobot badan per hari per kelompok. Pengamatan asam lemak esensial pada
ikan dilakukan selama 28 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan berpengaruh terhadap kandungan asam lemak
esensial (asam linolenat) pada taraf nyata 5%. Rerata kadar asam linolenat pada ikan yang diberi
pakan campuran pelet ikan X-Chlorella sp. dan pelet ikan X-Turbinaria sp. secara berurutan ialah 0.84
dan 0.81%. Nilai tersebut lebih potensial bila dibandingkan dengan pelet ikan X, yaitu 0.63 %. Selain itu,
pakan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dengan taraf nyata 5%. Pakan pelet ikan X-
Chlorella sp., pelet ikan X-Gracilaria sp., dan pelet ikan X berturut-turut meningkatkan pertumbuhan
ikan uji sebesar 42.65, 37.74, dan 33.57 %.
PENDAHULUAN
Asam linoleat dan linolenat dikenal sebagai asam lemak esensial bagi hewan mamalia dan ikan.
Oleh karena itu, asam-asam tersebut harus tersedia dalam pakan karena hewan mamalia dan ikan
tidak mampu mensintesisnya. Asam lemak esensial memegang peranan penting dalam biosintesis
asam polienoat lainnya, misalnya asam arakidonat dan dokosaheksaenoat. Asam arakidonat
merupakan prekursor dalam sintesis prostaglandin, yaitu hormon yang berperan dalam menurunkan
tekanan darah dan menaikkan kontraksi otot halus tertentu. Pada manusia, prostaglandin disintesis dari
asam linoleat, sedangkan pada ikan dan udang laut disintesis dari asam linolenat (Castell 1982).
Ikan adalah salah satu bahan makanan manusia. Menurut Burhanuddin et al. (1983), salah satu
jenis ikan laut yang berpotensi baik untuk dibudidayakan adalah ikan baronang (Siganus canaliculatus).
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, pakan alami ikan baronang berupa rumput laut,
fitoplankton, dan lain-lain. Namun, tidak semua pakan tersebut dapat dimanfaatkan secara langsung
oleh manusia karena manusia tidak mempunyai enzim yang sesuai untuk mencernanya. Berdasarkan
hal tersebut, kajian mengenai pakan alami perlu dilakukan untuk mengetahui pakan yang potensial
dalam pengadaan asam lemak esensial dalam tubuh ikan baronang. Selain itu, pengaruh pakan
terhadap pertumbuhan ikan juga perlu diamati.
407
BAHAN DAN METODE
Bahan
Hewan uji yang digunakan ialah ikan baronang (S. canaliculatus). Pakan yang diteliti ialah pelet
ikan X dan campuran pelet ikan X-pakan alami (Enhalus sp., Turbinaria sp., Gracilaria sp., dan Chlorella
sp.) dengan nisbah 7:1 (b/b). Pelet campuran kemudian dibuat lembap dengan penambahan 1.25%
CMC dan akuades sebanyak 100% bobot pakan.
Metode
Penelitian pendahuluan
Aklimatisasi sekitar 150 ekor benih alami ikan baronang dilakukan di bak-bak plastik selama 2
minggu dengan diberi pakan buatan X kira-kira 10% bobot badan per hari. Hal tersebut dimaksudkan
agar ikan baronang terbiasa memakan pelet buatan tersebut dan agar kandungan asam lemaknya
seragam. Pencarian kondisi pemberian pakan (jumlah dan waktu) untuk setiap hari dilakukan selama 1
minggu.
Penelitian utama
Analisis kandungan asam lemak awal dilakukan pada 3 ekor hewan uji, yang diberi campuran
pakan selama 8 minggu. Jumlah pakan dan waktu pemberian pakan disesuaikan dengan hasil
penelitian pendahuluan. Bahan uji juga dianalisis proksimat dan diuji fitokimia. Analisis asam lemak
dilakukan dengan kromatografi gas-cair (GLC).
Rancangan percobaan
Dalam penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan. Setiap
perlakuan dilakukan 3 ulangan untuk parameter pertumbuhan dan 2 ulangan untuk parameter asam
lemak esensial. Jika dari hasil analisis sidik ragam ada perbedaan yang nyata antarperlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel & Torrie 1980; Sudjana 1985).
Potensi pakan-pakan alami dalam pengadaan asam lemak esensial pada ikan baronang,
dicerminkan oleh kadar asam lemak esensial perlakuan yang lebih tinggi. Hasil yang diperoleh tersebut
dibandingkan dengan kadar asam lemak esensial dalam ikan yang diberi pakan pelet ikan X.
Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan bahwa ikan baronang (S. canaliculatus) dapat
memakan pakan buatan (pelet ikan X). Jumlah makanan yang habis dimakan oleh kelompok ikan
tersebut sekitar 7–8%. Berdasarkan hasil tersebut maka jumlah makanan yang diberikan pada
penelitian utama ialah 7.5% dari bobot tubuhnya.
408
perbedaan yang mencolok. Tingginya kadar asam lemak tersebut menunjukkan bahwa pelet ikan X
cukup potensial sebagai pakan ikan baronang.
Tabel 1 Komposisi asam lemak pada awal percobaan dalam hewan uji
Rerata kadar asam lemak (%)
Jenis asam lemak
Ikan baronang awal Pelet ikan X
14 : 0 (asam miristat) 0.11 0.09
16 : 0 (asam palmitat) 0.57 0.63
18 : 1 (asam oleat) 0.02 0.03
18 : 3 * (asam linolenat) 0.64 1.64
20 : 4 (asam arakidonat) 0.12 0.16
* asam lemak esensial.
Selain asam palmitat dan linolenat, beberapa hewan uji juga mengandung asam arakidonat
walaupun kadarnya kecil, yaitu ikan dengan pakan pelet X dan campuran pelet X-Chlorella sp. (Tabel 2).
Asam lemak ini juga berperan penting sebagai prazat prostaglandin. Sementara asam linolenat dapat
diperpanjang dan didesaturasi menjadi asam lemak eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat yang
masing-masing-masing dapat dikonversi menjadi prostaglandin (Simopoulos 1988).
409
Kandungan asam lemak pada campuran pelet X-pakan alami dapat dilihat pada Tabel 3. Bila
Tabel 2 dan 3 dibandingkan, terlihat adanya beberapa asam lemak pakan yang tidak dijumpai pada
ikan. Asam-asam lemak tersebut diduga digunakan sebagai sumber energi bagi hidup ikan.
410
Tabel 4 Kandungan asam linolenat akhir dalam ikan baronang
Jenis pakan Rerata kadar* (%)
X + Chlorella sp. 0.84b
X + Turbinaria sp. 0.81b
X + Enhalus sp. 0.70a
X + Gracilaria sp. 0.67a
X 0.63a
* = angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak
berbeda nyata berdasarkan uji lanjut BNT.
Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam akumulasi asam lemak esensial akhir dalam ikan baronang
Sumber keragaman db JK RJK Fhitung
Rerata 1 5.3290 5.3290 −
Pakan 4 0.0660 0.0165 6.6*
Galat 5 0.0126 0.0025
Total Terkoreksi 10 5.4076
* berbeda nyata (P < 0.05).
Pertumbuhan
Data pertambahan bobot ikan dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam (Tabel 8)
menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%; demikian pula hasil uji BNT pada taraf nyata 5%
pada Tabel 7.
Tabel 7 Bobot tubuh dan pertambahan bobot tubuh rerata perlakuan sampai akhir penelitian.
Rerata bobot tubuh ikan Rerata pertambahan bobot tubuh
Jenis Pakan
Awal percobaan (g) Akhir Percobaan (g) (g)* (%)
X + Enhalus sp. 20.00 20.90 0.900a 4.5
X + Turbinaria sp. 20.00 25.50 5.500b 27.5
X + Gracilaria sp. 20.20 27.42 7.220c 37.74
X + Chlorella sp. 20.00 28.53 8.533d 42.65
X 20.05 26.78 6.733e 33.57
* = angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut BNT.
Tabel 8 Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan ikan baronang pada akhir penelitian
Sumber keragaman db JK RJK Fhitung
Rerata 1 525.21875 525.21875 -
Pakan 4 77.85874 19.46469 2336.70*
Galat 9 0.07501 0.00833
Total Terkoreksi 14 603.15250
* berbeda nyata (P < 0.05).
411
Perbedaan pertambahan bobot tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan protein dan
energi dalam masing-masing pakan (Tabel 9).
SIMPULAN
Pakan yang diberikan pada ikan baronang berpengaruh terhadap kandungan asam
linolenatnya dengan taraf nyata 5%. Pakan alami yang potensial dalam pengadaan asam lemak
esensial ialah Chlorella sp. dan Turbinaria sp., dibandingkan dengan pelet X. Kadar asam linolenat
tertinggi dimiliki oleh pakan campuran pelet X dan Chlorella sp., yaitu 0.84%. Pakan juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan. Pakan yang dicampur Chlorella sp. dan Gracilaria sp. dapat meningkatkan
bobot tubuh ikan lebih tinggi daripada pelet X, berturut-turut sebesar 42.65, 37.74, dan 33.57%.
SARAN
Penelitian lanjutan yang perlu dilakukan ialah optimalisasi nisbah pelet ikan X dengan Chlorella
sp. dan Gracilaria sp. yang paling baik dalam pertumbuhan ikan. Selain itu, pakan alami lainnya,
misalnya Ulva sp. dan Hypnea sp. juga perlu dikaji kemampuannya dalam pengadaan asam lemak
esensial ikan baronang (Siganus sp.) maupun manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Castell JD. 1982. Fatty acid metabolism in Crustacean. Di dalam: Pruder GD, Langdon CJ, Conklin DE,
editor. Biochemical and Physiological Approaches to Shellfish Nutrition. Proceeding of the
International Conference on Aquaculture Nutrition; Louisiana State University, Baton Rouge,
Louisiana. hlm 124-125.
Martosewojo S et al. 1983. Ikan Baronang: Biologi, Potensi, dan Pengelolaan. Proyek Studi Potensi
Sumber Hayati Ikan. Jakarta: LON-LIPI.
Simopoulos AP. 1988. ω-3 fatty acids in growth and development and in health and diseases. Nutr
Today 23:10-19.
Steel RR, Torrie JH. 1980. Principle and Procedures of Statistic: A Biometrical Approach. Ed ke-2.
London: McGraw-Hill.
Sudjana. 1985. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.
412
EFEK ANDROGENIK DAN ANABOLIK MADU
PADA ANAK AYAM JANTAN
Anna Priangani Roswiem
Departemen Biokimia, FMIPA, IPB
(Naskah abstrak dan makalah belum diterima sampai dengan prosiding ini dibuat.)
413