You are on page 1of 33

TEORI ARSITEKTUR 2

ARSITEKTUR TRADISIONAL NIAS SELATAN


SUMATERA UTARA

Disusun Oleh :
Sari Wahyuni
10/305251/TK/37429

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR


DAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013

" ........... pengakuan seorang Arsitek dunia Alain M.


Viaro dan Arletta Ziegler dalam bukunya berjudul
Traditional Architecture of Nias Island mengakui
bahwa arsitektur rumah tradisional Nias merupakan
satu-satunya arsitektur rumah tahan gempa yang
terdapat di dunia ini. Dan ini memang terbukti, ketika
gempa berskala besar melanda kepulauan Nias tahun
2005 yang lalu, rumah-rumah adat Nias yang masih
asli tetap kokoh berdiri... "

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nias
Suku Nias Selatan
BAB 1. BUDAYA NIAS
Kosmologi Masyarakat Nias
Sistem Kemasyarakatan Nias
Tatanan Sosial Masyarakat Nias
Bawomataluo dan Tradisi Perang
BAB II. ARSITEKTUR TRADISIONAL NIAS
Pola Perkampungan
Bentuk
Type Rumah Adat Nias
Denah dan Potongan
Tata Ruang
Sistem Struktur Rumah Adat Nias
Material
Ukiran dan Patung
BAB III. KESIMPULAN
SUMBER REFERENSI

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Arsitektur adalah hasil dari faktor sosio-budaya manusia, yaitu suatu lingkungan
binaan yang dihasilkan manusia dalam menanggapi lingkungannya, serta sebagai wahana
ekspresi cultural untuk menata kehidupan jasmani, psikologi dan sosial. Arsitektur turut
memberikan karakter suatu tempat (spirit of place), turut memberikan identitas bagi
lingkungannya, sehingga manusia mudah mengenali dimana ia berada.
Sejalan dengan berkembangnya waktu, asitektur bergeser menjadi sesuatu yang
kadang kala sulit untuk dikenali atau bahkan terlalu gampang dikenali karena ada di setiap
tempat. Ketika efektifitas dan efisiensi menjadi tolok ukur keberhasilan setiap pekerjaan,
tidak bisa disangkal itu akan mempengaruhi sikap manusia dalam menghadapi hidupnya.
Termasuk sikapnya terhadap ruang dimana ia hidup. Tuntuntan fungsional dijadikan alasan
untuk menghadirkan wajah-wajah yang seragam tanpa makna, menghilangkan aspek-aspek
arsitektural sarat makna kultural simbolis. Sehinggga yang terjadi adalah No one living
nowhere , seseorang yang tidak tahu dimana ia hidup.(Charles Jenk,1985 : 303).
Pergeseran ini hanya bisa diluruskan dengan pengenalan suatu identitas lingkungan
yang mampu memberikan karakter tempat tersebut. Mempertahankan dan menguatkan
karakter suatu kawasan adalah bertujuan untuk menumbuhkan kembali dasar identitas suatu
kawasan; menumbuhkan perasaan someone living somewhere, seseorang tinggal di suatu
tempat (bukan di sembarang tempat) (Charles Jenk,1985 : 302.). Karya arsitektur dapat
dikatakan berhasil bila tidak hanya mampu menanggapi aspek fungsional belaka, tetapi juga
merupakan ekspresi budaya lokal "dimana ia berada.
Budaya merupakan hal yang sangat penting dan berpengaruh dalam menciptakan
kekhususan atau ciri khas suatu masyarakat dan daerah tertentu. Milai kebudayaan yang
dimiliki suatu masyarakat atau daerah, tidak sama dengan daerah yang lain. Jadi Nilai
kebudayaan dapat memberikan identitas diri pada suatu daerah. Untuk mewujudkan hal
tersebut perlu adanya upaya pengembangan atau pelestarian budaya dengan cara
menyadiakan suatu wadah yang menampung unsure-unsur budaya suatu daerah yang
kemudian diperkenalkan kepada generasi-generasi berikutnya.
Kebudayaan Nias, khususnya Nias Selatan memiliki produk kebudayaan dan
arsitektural yang khas dan berkarakter tertentu. Masyarakat Nias adalah masyarakat adat yang
memiliki aturan-aturan yang ketat dalam sistem kemasyarakatannya. Hubungannya dalam

arsitektur adalah terciptanya konsep-konsep keruangan yang mengacu pada sistem


kemasyarakatan tersebut. Sebagai suku bangsa tradisional tentu segala aspek.
2. Nias
Nias (bahasa Nias Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat
pulau Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh
mayoritas suku

Nias (Ono

Niha)

yang

masih

memiliki budaya megalitik. Pulau dengan luas wilayah


5.625 km ini berpenduduk 700.000 jiwa.
Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen
Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi
empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias,
Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat,
Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.

Gambar 1. Pulau Nias

3. Suku Nias Selatan


Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias, Sumatera Utara.
Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka Ono Niha (Ono =
anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai Tan Niha (Tan = tanah). Suku
Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrak yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya
megalitik, ini dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang
masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Di Pulau Nias terjadi pembentukan kasta-kasta kaum Salawa dan Siulu (tingkatan
bangsawan). Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta
yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu
melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor
ternak babi selama berhari-hari.
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah
pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora`a yang terletak di sebuah tempat yang bernama
Tetehli Anaa. Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama
ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang dikeluarkan
dari Tetehli Anaa karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap
menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Di Nias Selatan masih banyak terdapat desa-desa adat. Yang menonjol dari desa-desa
adat ini adalah penataan arsitekurnya, baik landskap maupun bangunannya. Dulunya setiap
desa di pimpin oleh seorang raja. Desa-desa ini terletak di daerah yang sulit dijangkau seperti
di perbukitan terjal atau lembah-lembah yang ada di baliknya. Tujuannya adalah untuk
membentengi diri dari serangan desa lain. Pada masa lalu perang antar desa kerap kali terjadi.
Penyerbuan sebuah desa oleh desa yang lainnya kerap terjadi. Biasanya disertai
dengan penculikan penduduk yang nantinya akan dijadikan budak. Maka struktur masyarakat
Nias masa lalu terdiri dari kelas raja, cendikia dan bangsawan, rakyat biasa dan budak. Dan
pola pemukiman pun terbentuk dari struktur masyarakat ini. Di mana rumah tinggal raja yang
disebut ,Omo Sebua, yang artinya rumah besar terletak di poros pola jalan yang berbentuk
tegak lurus, tepat di tusuk satenya. Rumah raja, Omo Sebua, diapit oleh rumah-rumah adat
yang lebih kecil lainnya yang disebut Omo Hada. Rumah-rumah adat atau Omo Hada ini kuat
menahan gempa, pada gempa lalu banyak menyelamatkan nyawa manusia.
Sedikitnya ada 14 desa adat yaitu desa Bawodobara, Bawagosali, Bawomataluo,
Hiliamaetaliha, Hilifalago, Hilimondregeraya, Hiliganowo, Hilinamauzaua, Hilinawalo Fau,
Hilinawalo Mazino, Hilinamaetano, Hilizalootano, Lagundri, Lahusa Fau, Onohondro, dan
Orahili. Keempat belas desa adat inilah masih banyak memiliki rumah adat. Tapi tidak semua
desa memiliki Omo Sebua, rumah besar atau rumah raja. Tercatat hanya empat desa yang
masih memiliki Omo sebua, yaitu desa Hilinawalo Fau, Ono Hondro, Bawomataluo dan
Hilinawalo Mazino.

BAB I
BUDAYA NIAS

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan
yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrak yang mengatur segala
segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Dari sejarah kebiasaan berperang antar desa kemudian timbul kesenian Tari Perang
dan lompat batu (Fahombe). Acara lompat batu ini dahulu dikhususkan untuk persiapan
perang. Karena biasanya setiap desa membentengi dirinya dengan pagar bambu setinggi dua
meteran, maka para pria desa di latih untuk bisa melompati pagar itu dengan cara melompati
batu. Lompat batu merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan unik,
dimana seorang pria melompat diatas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2
meter. Lompatan itu untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, terutama tersebut di desa
Bawomatolua, Hilisimaetano atau didesa sekitarnya walaupun hal ini sangat berbahaya.
1. Kosmologi Masyarakat Nias
Dalam masyarakat Nias sebelum masuknya agama menganut kepercayaan akan
adanya 3 (tiga) dunia, yakni :

Dunia atas atau dunia leluhur;

Dunia manusia dan

Dunia bawah.

Kosmologi masyarakat Nias ini merupakan gambaran pandangan dari masyarakat


tentang asal-usul nenek moyang suku Nias yang berasal dari Teteholi Anaa (langit) yang
diturunkan ke bumi di puncak gunung sekarang di kenal dengan nama Boro Nadu, yang
berada di Kecamatan Gmo Kabupaten Nias Selatan.

Gambar 2. Kosmologi Masyarakat Nias

Pengaruh Kosmologi ini terlihat jelas dalam bentuk arsitektur tradisional Nias, baik
itu dalam bentuk rumah adatnya maupun dalam pola perkampungan. Dalam bentuk rumah
adat, masyarakat Nias menepatkan bagian atas dari pada bangunannya sebagai tempat yang
paling dihormati (disucikan). Dalam pola perkampungan, semakin tinggi letak kampung
berada, semakin dekat dengan dunia atas, yang berarti semakin aman dan sejahtera kampung
tersebut.
Dunia atas, dunia manusia dan dunia bawah digambarkan oleh masyarakat Nias dalam
bentuk perkampungannya. Gambaran Teteholi Anaa (langit) diperlihatkan dengan gerbang
atau jalan menuju ke kampung.
Dalam bentuk arsitektur tradisonal, rumah-rumah Nias berbentuk rumah panggung,
terdiri dari 3 lapisan;

Bagian bawah/kolong (untuk Binatang/Tempat ruh jahat),

Bagian tengah (tempat tinggal manusia)

Bagian atas /atap (tempat ruh / dewa dewa),

Bagian Atas / Atap

Bagian Tengah
Bagian Bawah/ Kolong
Gambar 3. Kosmologi Arsitektur Tradisional

2. Sistem Kemasyarakatan Nias


Jauh sebelum Indonesia Merdeka dan membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia, telah ada kelompok sosial di kepulauan Nias yang terorganisir dalam sebuah desa
yang disebut Banua, dan ri sebagai koalisi dari beberapa desa. Penataan kehidupan dalam
Banua, baik menyangkut system pemerintahan, system mata pencaharian, system religious,
system kekerabatan dan kemasyarakatan, dan lain sebagainya dilakukan berdasarkan unsur

dan nilai kebudayaan setempat, yakni Kebudayaan Nias. Untuk menciptakan kehidupan
yang harmoni, damai dan sejahtera, masyarakat Nias menerapkan system stratifikasidemokratis dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kebenaran (dengan
symbolAfore (ukuran babi), Lauru (Ukuran beras/padi) dan Fali'era(Timbangan).
Prinsip tersebut di atas menjiwai bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum
dalam Fondrak. Menurut S.W. Mendrofa bahwa Fondrak tersebut memiliki banyak
pengertian, yakni: lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian Ono
Niha, lambang seni dan budaya Ono Niha, lambang Tata Hukum pemerintahan tradisional
Ono Niha dan lambang persatuan atau hubungan sosial Ono Niha. Menurutnya bahwa dasar
Fondrak adalah:Foadu (mengkultus suatu dzat sebagai tumpuan kepercayaan, dan
dinyatakan dalam menyembah Adu), Fangaso (tata aturan pemilikan yang diatur dalam
Fondrak), Foharahao-hao (adat

yang

menyangkut

pribadi

dan

tata

kemasyarakatan), Fobarahao (cara menyusun pemerintahan) dan Bw Masi-masi (etika


saling mengasihi). Jadi Fondrak adalah budaya dan sekaligus "agama" yang terdapat di
setiap banua atau ri, sehingga terdapat "keragaman" atau "variasi" Fondrak bagi orang
Nias. Bertolak dari dasar Fondrak tersebut di atas, maka pokok-pokok yang dibahas,
dimusyawarahkan dan disyahkan dalamFondrak menyangkut adat-istiadat, yakni: (1) huku
sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia), (2) huku si
fakhai ba gokhta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik
manusia), (3) huku sifakhai ba rorogof sumange(hukum yang menyangkut kehormatan
manusia).
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kepulauan Nias sebagai bagian Nusantara
telah memiliki kearifan lokal menata kehidupan bersama dalam Banua berdasarkan
pandangan hidupnya, yakni kebudayaan setempat. Namun, sistem tersebut mengalami
kegoncangan dan perobahan terutama sejak pemerintah Kolonial Belanda, Jepang, NKRI dan
juga interaksi dengan agamaagama yang datang dari luar. Pada pihak lain, Fondrako yang
justru mendapat tempat strategi dalam penataan kehidupan masyarakat, tidak berjalan lagi
sebagaimana mestinya, karena pada tahun 1914, pemerintah kolonial Belanda melarang
melaksanakan upacara Fondrako, dan diarahkan untuk mengikuti Hukum Adat Kristen di
Nias yang dibuat oleh kerjasama kolonial dan misionaris.

3. Tatanan Sosial Masyarakat Nias


Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada
sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan
untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan
mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
a) Siulu (Balugu/Salaa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan
tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses
pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Faulu). Bangsawan yang telah memenuhi
kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fauulu disebut Siulu Si Maawai dan
menjadi Bal Ziulu yaitu bangsawan yang memerintah;
b) Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang
dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang
yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis
besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Brnadu dan Ere Mbanua;
c) Siila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa.
Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalahmasalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Bal Ziulu dan Siulu lainnya;
d) Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono
mbanua atau si fagl-gl atau niha si tol;
e) Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari
orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang
dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa.
Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya
semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal
dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang
diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
Stratifikasi sosial di Nias memiliki pemahaman dan dasar agama suku. Dualisme para
dewa tercermin dalam pelapisan sosial di Nias. Sifat dewa atas sebagai pencipta dan yang
memerintah kosmos, itu dimiliki oleh kaum bangsawan (nga`t zalawa/si'ulu) dan sifat
dewa bawah dimiliki oleh rakyat biasa (nga`t niha sato/sito`l). Sedangkan budak
atau nga`t zawuyu, pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias, tidak dijumpai. Kaum
budak timbul kemudian, karena beberapa alasan, misalnya tawanan perang, atau orang yang

tidak sanggup membayar utang lalu dijadikan budak, atau orang yang seyogianya dihukum
mati karena kesalahannya yang cukup berat, lalu ditebus oleh kaum bangsawan dan
kemudian dijadikan budak. Kaum bangsawan sebagai pencipta dan pemerintah banua, seperti
halnya Lowalangi, mencipta dan memelihara kosmos. Kaum rakyat kebanyakan rela mati di
medan perang karena mereka bertugas menjaga dan memelihara banua, seperti halnya
Laturadan yang memelihara dan menjaga kosmos.

Gambar 4. (1)Batu Megalit, (2) Meja Batu

Meski kerajaan telah tiada dan sistem kasta telah dihapuskan, pengaruh masa lalu
masih terasa kuat hingga saat ini.
Julukan yang tersemat pada Si Ulu adalah anak dari surga atau titisan dewa bumi.
Permintaan terakhir sang raja sebelum ajal menjemput haruslah dituruti walau emas-emas
atau barang beharga lainnya harus dikubur bersamanya. Perlindungan bagi Si Ulu
dipercayakan kepada para ksatria terbaik di Tanah Manusia yang setiap saat selalu
dipersenjatai dengan pedang yang dilengkapi gigi buaya dan taring babi. Menurut
kepercayaan masyarakat Nias, di atas langit terdapat sembilan tingkatan surga. Pada
tingkatan yang paling atas bersemayam Lowalangi, Dewa Surga. Sembilan tingkatan di
bawah bumi dikuasai oleh Latura, Dewa Kematian.
Lowalangi, Dewa Surga, dirayakan dengan mengorbankan hewan yang ditujukan
baginya. Persembahan lainnya seperti telur, hasil bumi, tuak, dan air juga sekarang ditujukan
bagi roh para leluhur dan alam. Pada saat upacara pemakaman, perhatian khusus diberikan
pada kepala suku. Jasad ditempatkan pada sebuah altar dan dicuci dengan daun-daunan

wewangian, sehingga diharapkan arwah yang kembali ke rumah dapat dikenali dari
wewangian tersebut.
Nyanyian penguburan dan tari-tarian berlangsung selama empat hari di mana tidak
boleh ada kegiatan lain-lain selain upacara tersebut. Pada hari ketiga, jasad mulai dikuburkan
dan untuk mencegah arwah yang kembali, maka sebuah patung kayu Adu dibuatkan di
dekat makam untuk memungkinkan arwah tinggal di dalamnya.
4. Bawomataluo dan Tradisi Perang
Desa Bawomataluo, Sumatera Utara, merupakan desa adat yang cukup terkenal di
Kabupaten Nias Selatan.. Bawomataluo memiliki arti bukit matahari. Sesuai dengan namanya
desa ini terletak di daerah perbukitan dengan hawa yang sejuk. Uniknya permukaan di Desa
Bawomataluo tersusun oleh bebatuan, berbeda dengan derah lainnya yang tertutup tanah.
Konon, desa ini sudah ada sejak 300 tahun lalu, atau lebih tepatnya zaman megalitikum atau
batu besar. Sebagai bukti di desa ini masih terdapat sisa-sisa bangunan di zaman itu.
Contohnya, Rumah Adat Raja Nias yang sekarang menjadi tempat tinggal untuk keturunan
keempat dari Raja Nias. Selain itu ada juga balai musyawarah yang tempat duduknya terbuat
dari bebatuan.
Menyaksikan Bawomataluo dari dekat, maka akan terlihat bahwa warga di pulau Nias
memiliki tradisi kemiliteran yang luar biasa. Dengan lokasi desa yang dibangun di pucuk
bukit dengan luas 5 Ha. Untuk sampai ke wilayah ini, harus melewati tanjakan dengan
kemiringan sekira 60 derajat.
Pada empat penjuru terdapat undakan yang beragam ketinggian dan jumlahnya.
Paling tinggi dan curam adalah undakan yang terdapat pada gerbang utara dan barat. Gerbang
barat memiliki undakan berjumlah 85, sedangkan di utara lebih dari seratus undakan.
Konon, dahulu Bawomataluo memang dikelilingi tembok sebagai perlindungan. Belum lagi
tradisi yang kini masih dijalankan oleh warga desa tersebut. Mulai dari pengamanan 24 jam
oleh petugas yang ditunjuk berjaga, hingga tradisi lompat batu yang masih lestari hingga kini,
serta tarian perang (Maluaya ) yang melibatkan puluhan lelaki.
Menurut Hikayat, dengan keahlian lompat batu ini, para kstaria Bawomataluo mampu
memenangi peperangan demi peperangan. Maka tak heran, wilayah kekuasaan Bawomataluo
dulu mencapai sekitar 16 desa di sekitarnya.
Dahulu semua penduduk Desa Bawomataluo menganut ajaran animisme, dimana
orang-orang menyembah patung-patung. Buktinya masih ada patung-patung sesembahan
yang berupa harimau dan patung seperti manusia yang dipercayai sebagai dewa. Seluruh

peninggalan patung tersebut sekarang disimpan di Museum Nias. Ketika ajaran agama
Protestan memasuki wilayah Nias pada abad ke-19, perlahan-lahan penduduk Desa
Bawomataluo memeluk agama Protestan. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan gereja
tua yang didirikan pada awal abad ke-19 di Desa Bawomataluo.
Keunikan lain Desa Bawomataluo adalah bahwa gambaran desa ini terlihat seperti
sebuah lahan luas yang rata dengan batu dan dipenuhi deretan rumah-rumah penduduk yang
saling berhadapan. Dari tangga masuk desa, kita bisa melihat deretan rumah penduduk dan
rumah raja Nias di sebelah kiri dan deretan rumah adat penduduk dan sebuah balai desa di
sebelah kanan.. Bangunan-bangunan itu tidak pernah direnovasi kecuali atap rumah yang
diganti dengan seng agar lebih awet.
Selain bangunan-bangunan kuno, Desa Bawomataluo juga mempunyai sebuah
meriam Belanda yang posisinya tidak pernah berpindah tempat, yaitu di depan balai
musyawarah. Di dekat meriam Belanda itu, terdapat beberapa batu yang panjangnya sekitar
10 meter. Batu-batu itu permukaannya rata dan berwarna hitam sehingga terlihat unik.
Konon, batu panjang itu adalah tempat
duduk raja Nias ketika menyampaikan sesuatu
kepada

rakyatnya.

Protestan

masuk

Namun
Desa

setelah

Bawomataluo,

agama
batu

panjang itu bisa diduduki siapa saja.


Di Desa Bawomataluo juga terdapat batu
istimewa yang berukuran panjang 90 cm, lebar
60 cm, dan tinggi 2 meter. Batu itu digunakan
sebagai alat untuk menguji kekuatan fisik lelaki
Nias

sebelum

diperbolehkan

ia

dianggap

menjadi

prajurit

dewasa
raja

dan
Nias.

Dulu,acara lompat batu ini dahulu dikhususkan


untuk persiapan perang. Karena biasanya setiap
desa membentengi dirinya dengan pagar bambu
Gambar 5. Batu Lompat

setinggi dua meteran, maka para pria desa di latih


untuk bisa melompati pagar itu dengan cara

melompati batu. Lompat batu merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan
unik, dimana seorang pria melompat diatas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih
dari 2 meter. Bagi penduduk Desa Bawomataluo, melompati batu tersebut adalah sebuah

kehormatan dan kebanggaan. Keluarga anak lelaki yang bisa melompati batu tersebut sering
melakukan acara-acara besar seperti memotong ayam atau kambing. Batu ini terdiri atas
bentuk seperti menhir, bangku panjang, dan bangku bundar. Rumah pertemuan umum disebut
bale terletak di dekat rumah kepala suku yang terletak di seberang lapangan gorahua
newali. Sekarang tradisi lompat batu yang disebut Hombo Batu ini diadakan setiap hari
Sabtu.
Sedangkan untuk tradisi upacara pemakaman Famadaya Hasijimate (Siulu) yaitu
sebuah upacara pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan, tarian Maluaya ditarikan
dibawah pimpinan desa Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran
kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk memperlihatkan dasarnya setelah itu
jenasah tersebut dikuburkan.

BAB II
ARSITEKTUR TRADISIONAL NIAS

Bila membicarakan mengenai arsitektur tradisional di pulau Nias maka tidak bisa
terlepas dari apa yang dinamakan rumah tradisional Nias. Rumah tradisional Nias dapat
dibedakan atas 3 (tiga) tipe rumah adat sesuai dengan penelitian yang diadakan Oleh Alain
M. Viaro Arlette Ziegler yang didasarkan pada bentuk atap dan denah lantai bangunan.
Ketiga tipe tersebut adalah
a. Tipe Nias Utara
Bentuk atap bulat ; bentuk denah oval
b. Tipe Nias Tengah
Bentuk atap bulat ; bentuk denah segi empat
c. Tipe Nias Selatan
Bentuk atap segi empat ; bentuk denah persegi
Dalam hal ini akan dibahas lebih dalam mengenai rumah adat Nias Selatan.
1. Pola Perkampungan
Masyarakat Nias yang memiliki kebiasaan berperang, mendirikan bangunannya
sedemikian rupa, sehingga hunian bagi mereka adalah sebagai shelter sekaligus benteng yang
melindungi mereka dari cuaca, binatang buas dan sekaligus musuh. Kekerabatan yang erat,
menciptakan hunian yang rapat antara rumah yang satu dengan lainnya, sehingga membentuk
suatu pola linier yang memanjang, gerbang tidak begitu jelas dan halaman terdiri dari tanah
yang diperkeras. Perkampungan yang membentuk pola tertutup ini masih ditambah lagi
dengan proteksi di luar kampung berupa pagar yang tinggi mengelilingi kampung tersebut.
Bangunan

yang diangkat kedudukannya dari tanah, juga menunjukkan kosmologi

masyarakat Nias terhadap pencipta-Nya.

Gambar 6. Arsitektur Tradisional Nias ( Dawson & Gillow, 1994

Gambar 7. Pola Perkampungan Nias

Pada pola perkampungan tersebut selalu berorientasi ke arah utara-selatan, sedangkan


gerbangnya berada pada arah timur-barat. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Nias telah mengetahui cara penempatan
bangunan yang baik dengan berpedoman pada cuaca atau
iklim. Dalam pengertian mereka bahwa arah terbitnya matahari
disebut raya dan arah terbenamnya you.
Hierarki kesakralan suatu zona semakin ke tengah atau
ke pusat semakin tinggi. Mulai dari zona 3 terluar lalu zona 2 ke
zona 1 sebagai zona atau wilayah terpenting (utama ).

Gambar 8. Hierarki Kesakralan


Zona Ars. Nias

Di Nias terdapat pembagian bangunan berdasarkan hirarki nilai pentingnya jenis


bangunan, sebagai berikut :
Desa Nias Selatan
No
Nama Daerah
1

Siboloi

Ewali

Halama

Jenis Bangunan
Rumah Raja; Ewali Gorahua dan bale ( tempat
musyawarah adat )
Rumah Penduduk Biasa
Hele ( pemandian ), Tangga masuk ke desa

2. Bentuk

Gambar 9. Bentuk Rumah


Tradisional Nias Selatan

Keterangan :
1. "dinding batu"-- ruang setengah umum di depan rumah tempat megalit didirikan
2. Secara tradisional selesainya rumah baru ditandai dengan bangku panjang batu ( daro-daro )
3. dasar rumah batu dinaikkan -- daerah pribadi tempat para wanita melakukan tugas harian
mereka
4. Tiang tegak ( enomo )
5. Tiang miring ( driwa )
6. Tiang tiang rumah pada pondasi batu mencegah pembusukan kayu. Tempat di bawah rumah
sebagai gudang serta kandang ayam dan babi
7. Tangga sebagai jembatan umum jalan masuk ke sepasang rumah yang terpisah
8. Kaso lantai yang mencuat keluar di sisi rumah dinamakan sicholi dan sering diukir
menyerupai seekor ular dan burung enggang
9. Dinding muka berkelok, menciptakan tempat duduk panjang dalam ruang
10. Ruang depan umum untuk menerima tamu
11. Ruang keluarga pribadi dengan panggung untuk tempat tidur
12. Perapian -- tidak ada cerobong asap, ruang dalam rumah mempunyai cukup ventilasi dan asap
dari perabian mengurangi parasit dan tikus di ruang atap
13. Kotak menyimpan beras-- rumah Nias tidak memiliki lumbung terpisah
14. Dinding samping penyandang berat menunjang tiang ujung kerangka atap
15. Kaso-kaso miring, diolah dengan unsur mendatar dan tegak dari susunan atap sebagai penguat
bila rumah tergoyang oleh getaran gempa
16. Bukaan atap tempat memasukkan cahaya dan pergantian udara unutk ruang dalam rumah.

3. Type Rumah Adat Nias Selatan


Di Nias Selatan terdapat beberapa type, berdasarkan kasta yang ada terdapat 3 jenis
yaitu Omo Sebua, Omo Nifobabatu, dan Omo Sato, dilengkapi dengan bale yang
merupakan tempat untuk musyawarah
a. Omo Sebua ( Rumah Raja )
Omo sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias, Sumatera
Utara. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan
tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara
khusus untuk melindungi penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang
suku pada zaman dahulu.Bentuk Rumah adat Nias Selatan adalah berdenah persegi
dengan memanjang ke arah belakang. Dilihat dari bentuknya, Omo Sebua memiliki
bentuk yang paling besar dan paling tinggi di antara yang lain.

Gambar 10.Omo Sebua ( Rumah Raja)

b. Omo Nifobabatu (Rumah Silla)


dengan bentuk yang sama, bedanya dengan rumah raja adalah rumah silla merupakan
rumah dengan satu tingkat dibawah raja, biasanya letaknya berdekatan dengan rumah
raja. Rumah Silla ini digunakan untuk para bangsawan si Ulu atau si Illa, bentuknya
hampir sama tetapi dengan ukuran yang lebih kecil

Rumah Raja
( Omo Sebua )

Rumah Silla
( satu tingkat di bawah raja )

Gambar 11.Omo Nifobabatu ( Rumah Silla)

c. Rumah Sato
Omo sato merupakan rumah untuk rakyat biasa. Dari segi fisik bangunan, omo sato
merupakan bangunan yang paling rendah dibandingkan dengan omo Sabua dan omo
Nifobabatu ( rumah Silla )
Ciri khas lainnya yaitu, peletakkan omo sato yang berhimpitan satu sama lain.Rumah
Sato ( Rakyat Biasa ).

Gambar 12.Omo Sato ( Rumah Rakyat Biasa )

d. Omo Aro Gosali ( Bale Pertemuan )


bale merupakan tempat berkumpulnya warga masyarakat untuk menggelar acara adat
atau sebagai tempat bermusyawarah. Bale ini biasanya terletak di dekat rumah kepala
adat ( Omo Sebua )

Gambar 13.Omo Aro Gosali ( Bale )

4. Denah dan Potongan


a. Denah

Gambar 14.Denah Omo Hada ( Rumah Hunian )

Rumah kepala suku atau Omo Sebua sebagai rumah terbesar memiliki denah
dengan ukuran lebar seitar 10m, panjang 30 m dengan memanjang ke arah belakang.

b. Tampak

Gambar 15. (1) tampak depan, (2) tampak sampng dan atas

Untuk Omo Sabua, tinggi dari bangunan ini bisa mencapai 20 m.


c. Potongan

Gambar 16.Potongan Memanjang dan Melintang

5. Tatanan Ruang
Rumah-rumah di Nias dibedakan oleh denah lantai dasar yang khas dengan bentuk
persegi. Atapnya terdiri dari struktur yang lebih ringan dengan ruangan bawah atap yang
tanpa halangan, yang memungkinkan lantai tingkat di atas sebagai lantai tempat tinggal
utama. Rumah Nias bukan saja menampilkan kesan monumental, tetapi juga berperan sebagai
wadah bertinggal yang leluasa dan nyaman. Denah dengan pola open lay out memudahkan
penghuni mengatur tata ruang sesuai selera.Pembangian ruang pada Omo Hada (rumah adat)

secara

horizontal

terdiri

dari

dua

pembagian ruang yang penting yakni


ruang depan (Tawolo) bersifat semi
privat. Tawolo merupakan tempat bagi
kaum pria bersifat publik karena tempat
menjamu tamu yang datang, sedangkan
ruang belakang (Foroma) bersifat privat
merupakan tempat kaum wanita yang
harus dilindungi oleh kaum pria yang
ada di rumah tersebut. Ruangan pertama
adalah Tawalo yaitu berfungsi sebagai
Gambar 17.Ruang Omo Hada ( Rumah Hunian )

ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan


tempat

tidur

para

jejaka.

Seperti

diketahui pada masyarakat Nias Selatan mengenal adanya perbedaan derajat atau kasta
dikalangan penduduknya, yaitu golongan bangsawan atau si Ulu, golongan pemuka agama
atau Ene, golongan rakyat biasa atau ono embanua dan golongan Sawaryo yaitu budak.
Di bagian ruang Tawalo sebelah depan dilihat jendela terdapat lantai bertingkat 5
yaitu lantai untuk tempat duduk rakyat biasa, lantai ke 2 bule tempat duduk tamu, lantai
ketiga dane-dane tempat duduk tamu agung, lantai keempat Salohate yaitu tempat sandaran
tangan bagi tamu agung dan lantai ke 5 harefa yakni untuk menyimpan barang-barang tamu.
Di belakang ruang Tawalo adalah ruang Forema yaitu ruang untuk keluarga dan tempat untuk
menerima tamu wanita serta ruang makan tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur dan
disampingnya adalah ruang tidur.
Sedangkan pembagian ruang secara vertikal, terdiri dari kolong rumah merupakan
tempat memelihara tenak dan badan rumah merupakan tempat hunian atau tinggal pemilik
rumah.Pola paling umum adalah membagi ruang menjadi empat bagian, cukup dengan
meletakkan dinding penyekat bersilangan tegak lurus satu sama lain di tengah ruangan.
Sistem denah terbuka juga membuat rumah vernakular ini sangat adaptif dengan kebutuhan
masyarakat masa kini sebab pemilik rumah dapat leluasa menggunakan berbagai perabot
modern di dalamnya.
Kenyamanan ruang cukup terjaga karena elemen rumah dirancang secara cerdik
menggunakan prinsip arsitektur tropis. Dinding miring memungkinkan privasi karena seluruh
kegiatan di balik rumah tidak tampak dari luar walaupun jerajak dibiarkan terbuka sepanjang
hari. Bukaan dengan posisi miring mampu mengatasi tempias air hujan. Ukurannya cukup

lebar sehingga udara dan cahaya alam bebas menerobos masuk ke dalam rumah. Di ruang
duduk dan dapur, salah satu bagian atap dapat berfungsi sebagai sky light, cukup dengan cara
mendorongnya ke arah luar lalu menopangnya dengan tongkat dari dalam.

Gambar 18.Bukaan Pada Atap

6. Sistem Struktur Rumah Adat Nias Selatan


Sistem struktur bangunannya rangka kayu dengan 3 sub sistem modifikasi sistem :
Sub sistem rangka-tiang (bawah/kolong), sub sistem kotak (tengah), dan sub sistem semi
rangka ruang (atas/atap). Kontruksi sambungannya dengan pasak (tanpa paku), jepit dan
ikat.
a. Atap
Struktur Atap pada rumah adat Nias ini tersusun dari struktur dengan sub
sistem rangka ruang dimana harus mampu menopang atap yang sangat tinggi dan
curam

dapat mencapai tinggi 16 meter dengan bukaan atap yang dapat dibuka,

berfungsi memasukkan sinar matahari ke ruang dalam serta memberikan sirkulasi


udara yang baik. Atap ini memiliki kekhasan tersendiri karena tidak ditemukan di
bagian Nusantara lainnya. Bentuk atap rumah yang sangat curam selain digunakan
untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap
goncangan gempa bumi.
Struktur atap bertingkat dilengkapi dengan bracing juga memungkinkan untuk
perkuatan apabila terjadi gempa..Sedangkan penutup atap dibuat dari material yang
ringan, dari bahan serat palem, yang kemudian seiring masuknya pengaruh
modernitas mulai ditinggalkan dan beralih ke atap seng.

b. Kolom
Rumah-rumah vernakular di Nias, walaupun tidak bereaksi ketika digoyanggoyang sebagaimana dahulu rumah di Aceh, secara bijak dirancang dengan prinsip
tahan gempa. Di bagian kaki bangunan kolom-kolom terbagi menjadi dua jenis, yaitu
kolom struktur utama yang berdiri dalam posisi tegak dan kolom penguat yang
terletak dalam posisi silang-menyilang membentuk huruf X miring.
Balok kayu ataupun batu besar sengaja diletakkan di sela- sela kolom penguat sebagai
pemberat untuk menahan bangunan dari terpaan angin. Sedangkan ujung atas kolom
tegak dihubungkan dengan balok penyangga melalui sambungan sistem pasak yang
kemudian ditumpangi balok-balok lantai di atasnya.

Gambar 19.Kolom-kolom yang membentuk Kolong

Kolom-kolom diagonal, tanpa titik awal maupun akhir, jalin-menjalin untuk


menopang bangunan berdenah persegi dengan kantilever mengelilingi seluruh sisi
lantai denah. Bagaikan sabuk, rangkaian balok dipasang membujur sekeliling tubuh
bangunan. Di atas sabuk bangunan, sirip-sirip tiang dinding berjarak 80 sentimeter
dipasang berjajar dengan posisi miring ke arah luar. Di antara sirip-sirip dipasang
dinding pengisi dari lembaran papan.
Kolom-kolom ini berukuran cukup besar sehingga kekokohannya bukan saja
mampu mempertinggi angka keamanan bangunan terhadap gempa, tetapi secara
psikologis juga memberi perasaan aman bagi penghuninya sebab di atas kolom berdiri
dengan megah bangunan berskala besar dengan atap menjulang.
Terdapat juga perbedaan kolom pada masing-masing jenis rumah, karena
kolom yang memanjang ke belakang jumlahnya selalu lebih banyak daripada kolom

yang melebar. Kolom dengan jumlah banyak tentu saja terdapat pada rumah Raja,
sebagai berikut
No

Tipologi Rumah Adat

Jumlah Kolom Rumah


Depan

Belakang

Rumah Raja

11

Rumah Silla

Rumah Sato

c. Pondasi
Arsitektur rumah di Tanah Manusia terkenal dengan fondasinya yang terdiri
atas pengaturan rumit tiang tegak agak miring. Bangunan ini dirancang untuk tahan
akan guncangan gempa bumi. Hal ini dapat dilihat dari bangunan yang memiliki
tingkat kelenturan karena tiangnya tidak dipancangkan ke tanah tetapi bersandar di
atas fondasi batu.
Penggunaan kolong memang bukan satu-satunya di Nias. Di beberapa wilayah
Nusantara, kolong di samping mengemban fungsi struktur juga menciptakan ruang
yang cukup efektif untuk menyiasati masalah kelembapan yang ditimbulkan iklim
tropis.
Kolong juga dapat menghindari kontak langsung penghuni dengan tanah yang
cenderung becek saat hujan. Berbeda dari daerah lain, di Nias kolong tidak menjadi
ruang positif yang berfungsi sebagai tempat menenun, menyimpan barang, atau
memelihara ternak, melainkan benar-benar mengemban fungsi struktural.

Gambar 20. Kolong rumah Nias

d. Dinding dan Lantai


Dinding dan lantai yang digunakan disini juga merupakan rangka kayu yang
disusun sebagai dinding dan lantai, dinding dengan bukaan-bukaan pada jendela dan
bukaan ini terletak pada sisi depan dan belakang rumah. Rumah di Nias tidak
mempunyai jendela dan hanya menggunakan teralis, hal ini disebabkan karena orang
Nias ingin menunjukkan sifat terbukanya.

e. Pintu dan Akes Tangga Masuk


Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan.
Untuk memasuki rumah adat ini terlebih dahulu menaiki tangga dengan anak tangga
yang selalu ganjil 5 7 buah, kemudian memasuki pintu rumah yang ada dua macam
yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu rumah
dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk seperti ini mempunyai maksud
untuk menghormati pemilik rumah juga agar musuh sukar menyerang ke dalam
rumah bila terjadi peperangan.

7. Material
Material yang digunakan dalam rumah adat Nias :
No.

Material

Keterangan

Catatan

Batu

Batu

Gehomo(bg)

digunakan untuk menyanggah tiang Ehomo yang pahat berbentuk

dengan

permukaan

rata

yang Batu

cadas

sungai

(memisahkan tiang Ehomo dari permukaan kotak


tanah)
2

Batu

Ndriwa Batu

(bd)

dengan

digunakan

permukaan

untuk

rata

menyanggah

yang Batu

cadas

sungai

tiang yang pahat berbentuk

Ndriwa (memisahkan tiang Ndriwa dari kotak


permukaan tanah)
3

Ehomo(e)

Tiang kayu bulat (pillar) penyanggah Berbentuk balok bilat


struktur bangunan tradisional Nias yang dan
diletakkan secara vertikal

menggunakan

material kayu Berua


atau Manawa Dano

Ehomo Mbumbu Tiang kayu bulat (pillar) penyanggah atap

Fafa

Papan kayu

Menggunakan
material kayu Berua
atau Manawa Dano

Fafa Daro-daro

Papan untuk tempat duduk

Menggunakan
material kayu Berua
atau Manawa Dano

Fafa Gahembato

Papan untuk lantai

Menggunakan
material kayu Berua
atau Manawa Dano

Folano

Balok kayu yang menjadi bagian dari


struktur

kerangka

atap

bangunan

tradisional Nias selatan


9

Gaso

Balok kayu yang menjadi bagian dari


struktur

kerangka

atap

bangunan

tradisional Nias selatan


10

Gaso

Matua Balok kayu yang menjadi bagian dari

(Fanimba)

struktur

kerangka

atap

bangunan

tradisional Nias selatan


11

Jepitan Bumbu

Kayu yang disusun berbentuk X yang


berfungsi untuk menjepit atap rumbia yang
berada di puncak atap

12

Kapita

Balok horizontal penyanggah atap

13

Lago-lago

Papan

kayu

tebal

yang

diletakkan Menggunakan

membujur pada bagian kiri dan kanan material kayu Berua


bangunan dan berfungsi menjepit seluruh atau Manawa Dano
struktur bagian bawah atap pada sebuah
bangunan tradisional Nias Selatan
14

Laliowo (I)

Balok membujur yang menyanggah papan Berbentuk


lantai struktur bangunan tradisional

bulat

balok
dan

menggunakan
material kayu Berua
atau Manawa Dano
15

Ndriwa

(Diwa) Tiang kayu bulat (pillar) penyanggah Berbentuk

balok

struktur bangunan tradisional Nias yang bulat

(d)

diletakkan secara diagonal

dan

menggunakan
material kayu Berua
atau Manawa Dano

16

Oto Mbao

Berfungsi

seperti

konstruksi

beton.

kaki

gajah

Untuk

dalam

menambah

kekuatan pada Ehomo atau sebagai anti


gempa
17

Sago

Atap daun rumbia

18

Sicholi (Sikholi)

Papan

kayu

tebal

yang

diletakkan Menggunakan

membujur dan berfungsi menjepit seluruh material kayu Berua


struktur lantai (Ahe Mbato) pada sebuah atau Manawa Dano
bangunan tradisional. Diletakkan di bagian
kiri dan kanan bangunan. Ujung-ujung
Sikholi akan dibentuk melengkung ke atas
dan diberi ragam hias ukiran
19

Siloto (s)

Balok melintang yang menyanggah papan Menggunakan


lantai struktur bangunan tradisional

material kayu Berua


atau Manawa Dano

20

Sirau

Penyangga

21

Tangga

Tangga kayu

22

Toga

(Balo- Balok melintang yang menutup ujung Menggunakan

balo)

Laliowo dan menyanggah posisi Laso

material kayu Berua


atau Manawa Dano

23

Tohu-tohu

8. Ukiran dan Patung


Rumah adat masyarakat Nias mempunyai bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan
kegunaan dan tingkat kedudukannya dalam adat. Rumah Adat Nias dilihat dari ukiran yang
biasanaya terdapat pada tiang.
1. Omo Hada, terdapat ukiran-ukiran yang unik, yang melambangkan kekuasaan dan
kekayaan.
2. Omo Nifolasara, tiangnya berukiran dengan motif Nifolasara (lasara = naga)

3. Omo Sato, setiap tiangnya tidak memiliki ukiran.


Ornamen-ornamen yang melambangkan kekayaan budaya terpasang di dinding omo
sebua, seperti tambur besar fondrahi, rangkaian puluhan tengkorak babi, peralatan perang
khas Nias, dan aneka hiasan lainnya.
Hikayat Manao, seniman yang bermukim di Bawomatoluo, mengemukakan banyak
orang sudah mengunjungi omo sebua pada desa-desa tradisional di Nias dan Nias Selatan.
Namun, menurutnya, setelah mengunjungi Bawomatoluo mereka mendapatkan ternyata omo
sebua di sini paling unik menggambarkan kekayaan budaya . Salah satu ornamen itu terlihat
pada seni pahat batu yang juga unik di desa ini, mulai dari tangga masuk, lompat batu hingga
aneka perkakas bebatuan di halaman omo sebua.
Dulu, menurut Manao, untuk membangun omo sebua saja ada tujuh tahap yang mesti
dilampaui oleh leluhur mereka, mulai dari pembangunan fondasi hingga ke atap. Setiap tahap
biasanya diselesaikan dengan mengadakan upacara yang mengorbankan puluhan ekor babi.
Maka sampai tahap terakhir ada ratusan ekor hewan itu dikorbankan untuk membangun satu
omo sebua. Semua tengkorak kepala babi itu dipajangkan di bagian dalam rumah untuk
menunjukkan kebesaran omo sebua.

Gambar 21.Bangku Panjang Batu di Depan rumah

Di masing-masing desa terdapat batu persemayaman (darodaro) yang dibuat untuk


menyemayamkan arwah yang telah terpisah dari jasadnya. Tugu ini dipahat dan dihiasi
dengan relief dan rupa seperti manusia.

BAB III
KESIMPULAN

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan
yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrak yang mengatur segala
segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Sisi budaya yang sangat kuat mampu
membuat Nias bertahan pada perkembangan modernsasi yang semakin menghilangkan nilai
budaya, termasuk diantaranya arsitektur Nias Selatan sebagai ciri khas unik sebagai senjata
agar Nias masih mampu bertahan.
Rumah kepala suku disebut omo sebua. Bangunannya berbeda dengan rumah
masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari arsitektur rumah dengan banyaknya
piagam penghargaan perang dan patung di sekitarnya. Desa-desa dibangun dalam dua
barisan rumah-rumah (kiri dan kanan) dan sebuah ruang kosong di tengah pemukiman
sebagai jalan utama ewali dengan lantai batu. Tugu batu prasejarah terletak di depan
pelataran sebagai tempat berkumpul masyarakat kelas menengah-keatas. Disebut dinding
batu oli batu, karena tugu-tugu tersebut menunjukkan kelas pemilik rumah sebagai tanda
penghargaan jasa masa lalu serta peringatan abadi bagi orang yang mengadakan pesta
penghargaan. Batu tersebut merupakan contoh tingkatan sosial di masyarakat desa dalam
pendirian menhir faulu oleh ketua adat.Hak mendirikan tugu ditentukan oleh majelis desa
yang anggotanya mempertimbangkan pada dasar-dasar berikut:
1. Mokho, yaitu kekayaan;
2. Molakhomi, yaitu kepemimpinan;
3. Faasia, yaitu ketuaan atau umur;
4. Onekhe, yaitu kecerdasan atau kemahiran.
Bangunan rumah adat menegaskan pentingnya tanah sebagai tempat untuk
melaksanakan berbagai kegiatan, seperti pesta adat perkawinan, kegiatan musyawarah,
pengembangan desa dan lain sebagainya. Luas tanah dan pekarangan rumah terkadang juga
menandakan kekuasaan dari si pemilik tanah untuk memperoleh penghargaan pada acaraacara adat yang dilaksanakan di desanya.
Dari satu sisi, pembuatan rumah adat tidak terlepas dari budaya yang ada. seperti
bangku panjang batu ( daro-daro ) yang menandai selesainya pembuatan rumah, juga

perayaan pembuatan rumah kepala adat atau Omo Sabua dengan upacara pengorbanan
puluhan ekor babi.
Secara fisik pun masyarakat Nias juga tidak meninggalkan budaya yang telah terlahir
dengan kuat. Setiap bagian dari arsitektur rumah adat tidak terlepas dari aturan-aturan yang
nyatanya sampai sekarang masih terawat dengan baik. Pembuatan rumah panggung yang
dalam budaya dan kepercayaan mereka sebagai tempat menyimpan roh jahat, secara nyata
mampu menyelamatkan rumah dari bencana banjir dan justru menjadi suatu tempat
perlindungan yang mampu bertahan dari guncangan gempa.
Sisi kultural dari sebuah daerah mungkin tidak akan selamanya bisa bertahan, begitu
pula di Nias Selatan, yang semakin rapuh seketika masuknya pengaruh modernisasi.
Pengembangan atap tinggi dengan material penutup atap yang dulunya mampu diperoleh dari
alam, yaitu material serat palem, kini semakin ke depan semakin sulit ditemukan. Dulunya
material ini menjadi ciri khas yang menunjukkan ke-spesial-an dari arsitektur Nias, atap
tinggi dan curam dengan material yang ringan. Adanya tuntutan untuk mengadakan perbaikan
dan revitalisasi memaksa masyarakat Nias untuk merubah penggunaan material serat palem
menjadi seng, walapun di satu sisi seng merupakan bahan yang mudah didapat, namun,
adanya berkembangan jaman tetap mampu merubah sisi kultural dari arsitektur Nias Selatan.
Rumah Adat Nias, walaupun saat ini sudah tidak berfungsi seperti dulu lagi, masyarakat tetap
mempertahankan budaya yang ada. Omo Sebua yang sudah tidak difungsikan sebagai rumah
kepala adat tetap dijaga dan dilestarikan oleh keturunannya sendiri. Setiap kesenian dan
budaya lompat batu tidak dihilangkan, juga kesenian dan upacara adat itu sendiri. Banyak hal
yang bisa dan terus dapat dipertahankan oleh masyarakat Nias di tengah pengaruh
modernisasi. Tapi dengan adanya budaya itu sendiri, masyrakat mampu menghargai apa yang
telah diwariskan oleh budaya, walaupun dalam bentuk fisik, seperti arsitektur Nias rumah
adat, Batu lompat, juga bangku panjang batu atau daro-daro, hingga satu hal yang bersifat
non fisik seperti kesenian dan tarian bahkan bahasa.
Sebagian orang Nias mungkin juga ada yang tidak memperhatikan keberadaan Omo
hada atau rumah adat Nias yang masih asli. Namun warisan budaya tanah air ini bukanlah
hanya milik Nias tapi milik Indonesia dan sudah sepatutnya kita menjaga dan melestarikan
warisan tanah air kita ini, sangat memperihatinkan keadaan akan kesadarn cinta akan budaya
negara sendiri oleh masyarakatnya. Padahal, orang asing di luar negeri sangat mengagumi
arsitektur Omohada Nias. Salah satu buktinya adalah pengakuan seorang Arsitek dunia Alain
M. Viaro dan Arletta Ziegler dalam bukunya berjudul Traditional Architecture of Nias
Island mengakui bahwa arsitektur rumah tradisional Nias merupakan satu-satunya arsitektur

rumah tahan gempa yang terdapat di dunia ini. Dan ini memang terbukti, ketika gempa
berskala besar melanda kepulauan Nias tahun 2005 yang lalu, rumah-rumah adat Nias yang
masih asli tetap kokoh berdiri.
Masih belum terlambat untuk menyelamatkan warisan budaya ini, dukungan
masyarakat maupun pemerintah sangat diharapkan dalam melestarikannya. Karena kita tidak
bisa menuntut pemilik Rumah Adat Nias yang masih asli untuk tetap mempertahankan
keaslian rumahnya, apabila kita dan pemerintah tidak mengulurkan tangan dalam
memberikan biaya perawatan yang tidak sedikit jumlahnya. Pelestarian rumah adat Nias
bukan hanya tanggung jawab pemilik rumah, tapi tanggung jawab kita bersama dalam
merawat dan mempertahankan keasliannya.

SUMBER REFERENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Nias
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126499-R210861-Analisa%20ketahanan-Analisis.pdf
http://www.scribd.com/doc/56117628/ars-nias
http://www.scribd.com/doc/98707433/Nias
http://merancangrumahminimalis.blogspot.com/2009/08/omo-sebua-rumah-adat-nias.html
http://www.scribd.com/doc/54981808/arsitektur-tradisional-Nias
http://cutnuraini.wordpress.com/2010/07/22/building-architectural-quality-arsitekturtradisional-sebagai-wujud-ketergantungan-antara-lingkungan-dan-sosio-kultural/
http://niasselatanku.com/2012/10/14/kontruksi-yang-ramah-lingkungan/
http://welcometonias.blogspot.com/2012/10/wahana-kepercayaan-tradisional-nias.html
http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=316
http://justinlase.blogspot.com/2013/01/kearifan-lokal-masyarakat-pulau-nias.html

You might also like