You are on page 1of 18

DINAMIKA PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM

PERTANAHAN DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

peraturan dasar pokok – pokok agraria pada tanggal 24 September

1960 merupakan tonggak sejarah perkembangan agraria / pertanahan

di Indonesia dan hukum pertanahan pada khusunya.1

Hukum tanah merupakan cabang hukum yang mandiri dalam tata

hukum nasional yang substansinya merupakan suatu kumpulan

peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak penguasaan

atas tanah sebagai lembaga - lembaga hukum dan sebagai hubungan –

hubungan hukum konkret beraspek publik dan perdata yang dapat

disusun dan dipelajarai secara sistematik hingga secara keseluruhan

menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.2

1 Boedi Harsono, 1999, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agararia,


Isi dan pelaksanaanya ,Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan Jakarta. Hlm
20

2 Ibid hlm 30 - 31

1
Politik hukum tanah Indonesia bertitik tolak dari keberadaan Pasal

33 UUD 1945 yanng mengamanatkan penguasaan bumi, air, dan

kekayaan yang terkandung di dalamnya oleh negara digunakan sebesar

– besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga arah kebijakan pembangunan

petanahan Indonesia kepada pendayagunaan potensi dalam negeri demi

kepentingan rakyat.

Yahya Harahap berpendapat hukum mengendalikan keadilan.

Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai : persamaan

hak azazi individu, kebenaran, kepatutan dan melindungi masyrakat.

Selain itu juga menurut beliau hukum tidaklah sesuatu yang berdiri

sendiri ia tidak dapat dipisahkan dari budaya, sejarah dan waktu dimana

kita sedang berada. Setiap perkembangan sejarah dan sosial akan

didikuti dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial

akan mempengaruhi perkembangan hukum.3

Dengan demikian hukum terbentuk dan berkembang sebagai

produk yang sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan

dinamika proses interaksi yang berlangsung terus menerus antara

berbagai kenyataan kemasyarakatan satu dengan lainnya yang

berkonfrontasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap

3 M. Yahya Harahap, 1997, Berberapa Tinjauan Mengenai Permasalahan


Hukum, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 55-45

2
kenyatan kemasyarakatan tersebut yang berakar dalam pandangan

hidup yang di anut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia.

Berdasarkan konsep pemikiran diatas maka akan dibahas mengenai

bagaimana dinamika perubahan karakter produk hukum tanah di

indonesia dari masa kemasa.4

B. HUKUM TANAH PADA MASA PENJAJAHAN

Penelusuran mengenai keberadan hukum tanah pada masa

penjajahan memberikan kesimpulan, bahwa pada zaman kolonial hukum

tanah bersifat sangat ekpolitatif , dualistik, feodalistik yang berazaskan

Domein Verkalring nyata – nyata sangat bertentangan dengan rasa

keadilan masyarakat.5

Hukum tanah administratif pemerintahan hindia Belanda didasari

pada politik pemerintahan kolonial pada masa itu. Hal tersebut tertuang

di dalam Agrarische Wet 1870. Agrarische Wet (AW) merupakan suatu

produk hukum yang setara dengan undang – undang yang dibuat di

Belanda pada tahun 1870 . AW di undangkan di dalam S 1870 – 55

sebagai tambahan ayat – ayat baru pada pasal 62 Regerings

4 Arief Sidharta,1998, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif


Positivistis,Makalah, Simposium Nasional Ilmu Hukum,Dies Natalis Fakultas
Hukum UNDIP Ke 41, Semarang, hlm 33

5 Moh. Mahfud MD, 1993, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh
Politik Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia, Disertasi, UGM,
Yogyakarta, hlm 33

3
Regelement (RR) Hindia Belanda tahun 1854. Semula RR tersebut terdiri

dari 3 ayat . Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 s/d 8) oleh AW, maka

pasal RR terdiri dari 8 ayat.6

Sebelum AW berlaku di lakukan sistem tanam paksa

(Cultursetesel) sejak tahun 1830 yang memberikan ruang bagi

pengusaha besar untuk melakukan usaha di bidang perkebunan. Oleh

karena itu sejak tahun 1839 sejalan dilaksanakannya Culturstelsel, maka

berdasarkan RR 1854/Pasal 62 ayat 3 secara tegas dibuka kembali

kesempatan untuk menyewa tanah dari pemerintah, yang peraturannya

dimuat didalam Algemeene Maatgerel Van Besteur (AMVB) yang

diundangkan dalam S 1856 – 54.

Tetapi penerapan peraturan tersebut ternyata tidak menimbulkan

dampak berarti terhadap perkembangan perkebunan besar di Hindia

Belanda. Hal tersebut dikarenakan jangka waktu sewa yang hanya

maksimun 20 tahun yang tidak mencukupi umur tanaman keras.

Lagipula hak sewa tidak dapat digunakan sebagai jaminan kredit yang

diperlukan denganpemberian jaminan hipotek.7

6 Boedi Harsono, Op Cit hlm 33

7 Alvi Syahrin,2009, Berberapa Masalah Hukum,PT Soft Media, Medan hlm 20

4
Para pengusaha besar Belanda yang kelebihan modal. Mengingat

masih banyaknya tanah hutan di Hindia Belanda yang belum

diusahakan maka sejak abad ke 19 mereka menuntut untuk diberi

kesempatan berinvestasi pada bidang perkebunan besar. Hal tersebut

mendorong lahirnya AW 1870, yang bertujuan untuk membuka

kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha

swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.8

Ketentuan AW juga menggariskan perlindungan bagi pribumi.

Pemberian tanah kepada pengusaha besar juga tidak boleh melanggar

hak – hak pribumi. Pengambilan tanah – tanah pribumi hanya boleh bagi

kepentingan umum, melalui cara pencabutan hak dan pemberian ganti

rugi yang layak. Namun demikian, pemberian perlindungan bagi rakyat

tersebut bukan merupan tujuan AW tujuan. AW adalah tetap pada tujuan

memberikan dasar pada perkembangan perkebunan – perkebunan

besar swasta untuk kepentingan pemerintahan kolonial.

Ketentuan pelaksanaan AW diatur didalam berbagai peraturan dan

keputusan , diantaranya Koninjlijk Besluit dalam S. 1870 -118 yang

dikenal sebagai Agararisch Besluit (AB). Pasal 1 AB kurang menghargai

8 Boedi Harsono, Op Cit hlm 36 - 37

5
hak – hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.9 Hal

tersebut dikarenakan ketentuan pada ayat 1 AB bahwa dengan tidak

mengurangi berlakunya ketentuan pasal 2 dan 3 AW, tetap

dipertahankan azas semua pihak lain yang tidak dapat membuktikan

sebagai hak eigendomnya merupakan hak milik

(domein) pemerintahan kolonial. Padahal hukum adat tidak mengenal

sertifikat atau bukti kepemilikan tertulis dalam menentukan hak milik

atas tanah. Sehingga pada masa itu terjadi kesewenangan perampasan

tanah. Keadaan tersebut jelas sangat merugikan rakyat Indonesia yang

masih tunduk terhadap hukum adat.

C. HUKUM TANAH PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI

TERBENTUKNYA UUPA

Pemerintah republik Indonesia yang baru merdeka mendapat

tuntutan untuk mengubah peraturan pertanahan yang lama. Untuk

menanggapi berbagai tuntutan tersebut maka pemerintah membentuk

komisi yang dikenal sebagai Panitia Tanah Konversi pada tangal 6 Maret

1948. Dari komisi ini lahirlah produk RUU untuk memperbaiki peraturan

sewa tanah atas tanah milik pangeran melalui sepucuk surat tertanggal

9 Ibid hlm 41

6
28 Maret 1948 kepada presiden Sukarno. UU No 13 tahun 1948 ini

kemudian menghapuskan hak konversi.10

Sampai dengan tahun 1959 keinginan pemerintah Republik

indonesia untuk membentuk produk hukum tanah yang sesuai dengan

kehidupan nasional indeonsia belum lah tercapai. Hal tersebut

dikarenakan du faktor yaitu dari luar karena pemerintah masih berkutat

mempertahankan kedaulatan negara dari usaha Belanda untuk

merebutnya kembali, kendala kedalam adalah masalah mengenai

penyusunan aparatur administrasi pemerintahan menurut UUD 1945

serta membangun stabilitas dan perekonomian negara.11

Salah satu upaya untuk mengatasi kendala tersebut adalah

dengan mengeluarkan peraturan – peraturan yang bersifat parsial yang

menyangkut bagian bagian tertentu saja dari peraturan agraria. Selain

itu diberlakukan hukum agraria zaman kolonial dengan kebijakan dan

penafsiran yang baru disesuaikan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Peraturan – peraturan tersebut antara lain12 :

10 Moh. Mahfud MD, Op Cit hlm 231 - 232

11 Iman Soetiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm 4

12 Boedi Harsono, Op Cit, hlm 89

7
1. Penghapusan hak konversi dengan UU No 13 tahun 1948

kemudian dilengkapi dengan UU No 5 tahun 1950 , yang

mengamanatkan ditertibkannya pemakaian tanah – tanah

negara dan dilaksanakannya program pemberian tanah – tanah

kepada rakyat untuk usaha pertanian dan tempat tinggal.

2. Penghapusan tanah Partikelir dengan UU No 1 tahun 1958,

yang mengamanatkan penyerahan tanah partikelir dengan

pembelian maupun penyerahan serta dimuat juga kebijakan

menghapus tanah partikelir.

3. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat berdasarakan

UU No 6 thn 1952. Peraturan ini berisi mengenai tambahan

pasal 51 IS.

4. Peraturan Tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas

tanah sebagaimana di atur di dalam UU darurat No 1 tahun

1952 yang kemudian menjadi UU No 24 tahun 1954. Yang

mengatur mengenai peralihan hak tanah yang statusnya masih

tunduk pada hukum Eropa harus mendapat persetujuan

menteri Kehakiman. Sampai akhirnya lahir UU No 76 tahun

1957 yang mengalihkan kewengan izin oleh menteri Kehakiman

kepada menteri Agraria.

8
5. Menaikkan besarnya Canon dan Cijns dengan UU No.78 tahun

1957. Canon adalah uang yang wajib dibayarkan oleh

pemegang hak erfpacht setiap tahun kepada negara,

sedangkan Cijns uang ang hars dibayar oleh pemegang hak

konsesi perusahaan perkebunan besar.

6. Larangan dan penyesuaian tanah tanpa izin dengan UU Darurat

No 1 tahun 1954 yang kemudian diubah dan ditambahkan

dengan UU darurat No 1 tahun 1956,

7. Pengaturan perjanjian bagi hasil dengan UU No 2 tahun 1960.

Sebelumnya lahirnya peraturan ini perjanjian bagi hasil

dialkukan berdasarkan hukum adat yang cenderung

mengakibatkan kerugian bagi si penggarap. Peraturan ini

mengatur tentang : imbangan pembagian hasil, jangka waktu

perjanjian, bentuk perjanjian, dan subjek – subjek yang boleh

menjadi penggarap.

8. Pengalihan tugas – tugas wewenang agraria dengan Keppres

No 55 tahun 1955 dan UU No 7 tahun 1958. Terjadi pengalihan

kekuasaan agraria dari wewenang mendagri kepada menteri

urusan agraria yang dibentuk berdasarkan Keppres No 55

tahun 1955. Sedangkan untuk di daerah – daerah tetap di urus

9
oleh pejabat – pejabat pamong praja dan daerah swantrata dan

swapraja.

Sejak awal kemerdekaan pemerintah republik Indonesia telah

membentuk hukum komisi – komis atau panitia – panitia yang bertugas

menyusun dasar – dasar hukum agraria, komisi – komisi dan panitia –

panitia tersebut antara lain :

1. Panitia Agraria Yogya

Saran saran dari panitia ini yang dipakai dalam hukum agraria

nasioanla adalah sebagai berikut :

– Dilepaskannya azas domein dan penyaluran hak rakyat

– Pengadaan peraturan yang memungkinkan adanya hak

perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat

dibebabani hak tanggungan

– Pelaksanaan study banding mengenai kepemilikan tanah

oleh orang asing dinegara lain

– Penetapan luas minimun tanah petani

– Penetapan luas maksimum tanah petani

– Penerimaan skema tentang hak – hak atas tanah yang

diusulkan oleh Sarimin Reksodiharjo

10
– Pelasaksanaan registrasi tanah milik dan hak hak

menumpang yang penting

1. Panitia Agraria Jakarta

Setelah Indonesia menjadi negara Kesatuan dan ibukota negara

berpindah ke Jakarta dirasakan perlunya dibentuk kepanitiaan

agrarria yang baru yang dapat bekerja sesuai dengan

perkembangan keadaan. Panitia tersebut menghasilkan

berberapa kesimpulan antara lain :

– Perlu penetapan batas minimum (diusulkan 2 ha)

– Perlu penentapan batasan maksimum (diusulkan 25 ha)

– Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya WNI

– Untuk pertanian kecil diterima bangunan – bagunan hukum :

hak milik, hak usaha , hak sewa, dan hak pakai

– Pengakuan hak rakyat atas nama kuasa UU.

1. Panitia Soewahjo

Panitia ini dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya

pembentukan hukun agraria yang baru sesuai dengan

ketentuan Pasal 26 Pasal 37 (1), dan Pasal 38 (3) UUDS

1950.Panitia ini diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Pada

11
tahun 1957 panitia ini selsai menyusun rancangan dengan

usulan sebagai berikut :

– Penghapusan azas Domein dan pengakuan hak rakyat yang

harus ditundukkan demi kepentingan umum

– Pengantian azas Domein dengan azas “ Hak menguasai

negara”

– Penghapusan dualisme hukum agraria

– Meletakkan hak milik sebagai hak terkuat dan hanya boleh

dimiliki WNI

– Perlu penetapan batasan maksimum dan minimum tanah

yang dapat dimiliki

– Pengerjaan dan penuasaan tanahnya sendiri sebagai azas

kepemilikan tanah

– Pelaksanaan pendaftaran tanah dan perencanaan

penggunaan tanah

Periode 1945 -1959, pemerintah belum berhasil mengundangkan

sebuah UU agraria nasional yang bulat. Tetpai walaupun belum ada UU

Pertanahan yang bulat, tetpai azas – azas yang lahir dari kerja panitia

dan komisi tersebut dimuat dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok –

Pokok Agararia.

12
A. UUPA SEBAGAI KETENTUAN POKOK HUKUM TANAH NASIONAL

Menteri Agraria, Soedjarwo meneruskan usaha untuk menciptkan

hukum tanah nasional yang baru. Sebuah RUU yang baru yang

disesuaikan dengan UUD 1945 dan manifesto politik, diajukan kepada

DPR – GR oleh pemerintah dengan sebuah amanat presiden tertanggal

1 Agustus 1960.

RUU tersebut kemudian disetujui oleh DPR – GR untuk kemudian

disahkan pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang – Undnag

Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok – Pokok Agraria

(UUPA). UUPA memberikan cakupan yang lebih luas mengenai

pertanahan sesuai dengan kemungkinan penguasaan seperti bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagaiman yang

termuat didalam pasal 33 UUD 1945. Bahkan UPA memperluas

cakupan tersebut hingga meliputi ruang angkasa.

UUPA mencabut berberapa peraturan perundangan yang berlaku

sebelumnya, peraturan tersebut antara lain :

1. Agrarische Wet (S 1870 – 55) sebagaimana yang termuat

didalam pasal S1 dan ketentuan dari pasal – pasal itu :

a. Domeinverklering tersebut dalam pasal 1 Agrarisch Besluit

(S 1870 – 118)

13
b. Algemene Domeinverklering tersebut dalam S.1875 – 119a.

c. Domeinverklering untuk Sumatera tersebut dalam pasal S.

1874 – 94f

d. Domeinverklering untuk keresidenan Manado tersebut

dalam Pasal 1 dari S. 1877 – 55

e. Domeinverklering untuk Residentie Zeider en Qosterafdeling

van Borneo tersebut dalam Pasal 1 dan S. 1886 – 58.

1. Konijlk Besluit tanggal 16 April 1872 No.29 ( S.1872 – 117) dan

peraturan pelaksanaannya.

2. Buku ke II Kitab Undang – Undang Hukum perdata Indonesia

sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya, ekcuali ketentuan – ketentuan

mengenai Hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya

undang – undang ini.

Ketentuan perundangan yang dicabut oleh UUPA sangat

bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. AW 1870 merupakan

UU Pokok Agraria kolonial Belanda dan dibidani oelh Liberalisme yang

ketika itu berkembang di Nederland harus dicabut karena bersifat

sangat menindas dan eksploitatif. AW 1870 meletakkan pejabat kolonial

14
Belanda sebagai eksploitator terhadap sumber daya pertanahan bagi

rakyat pribumi.

Selanjutnya Domein Verklaring baik bersifat umum maupun yang

ditentukan untuk wilayah – wilayah tertentu juga sangat bertentangan

dengan cita – cita nasional. De atau secara lebih spesifik dengan etika

hukum Indonesia khusus yang bersumber dari Proklamasi kemerdekaan

dan Pancasila.13 Demikian juga halnya Koninklijk Besluit sebagaimana

yang termuat dalam S. 1977 – 117, yang kemungkinan bagi orang –

orang In Indonesia untuk memiliki hak atas tanah yang kuat yang dalam

praktek di sebut agrarisch eigendoom juga harus dihentikan

keberlakuannya setelah keluarnya UUPA. 14

Pencabutan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan buku ke II

BW sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya (kecuali mengenai Hipotik) oleh dualisme dalam hukum

agararia akan tetap berlaku.

Penjelasan umum I UUPA menyatakan ada 3 tujuan pokok, yaitu :

1. Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agraria

nasional yang akan merupakan alat untuk membawa

13 Alvi Syahrin, Op Cit hlm 31

14 Ibid hlm 32

15
kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagia rakyat dan

negar terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan

makmur.

2. Meletakkan dasar – dasar untuk mengadakan kesatuan dan

kesederhanaan dalam hukum pertanahan

3. Meletakkan dasar – dasar untuk memberikan kepastian hukum

mengenai hak – hak tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hal ini berarti bahwa dalam meletakkkan dasar bagi ketiga

bidang tersebut dengan sendirinya merupakan perwujudan dan

penjelmaan sila – sila Pancasila15, sebagai yang dimaksudkan dalam

konsideran / Berpendapat huruf C, artinya kelima sila Pancasila terwujud

penjelmaannya dalam ketentuan – ketentuan pokok UUPA.16 Ketentuan

pasal 5 UUPA memberikan penegasan bahwa salah satu dasar hukum

agraria nasional adalah hukum adat. Pemberian kedudukan istimewa

terhadap hukum adat di dalam hukum agraria juga ditemui di dalam

pasal 2 ayat (4), pasal 3, pasal 22 ayat (1), pasal 56, pasal 58, pasal VI

Konversi, Pasal VII Konversi konsiderans dan penjelasan UUPA.

A. PENUTUP

15 Periksa juga konsiderans huruf c UUPA

16 Periksa, Boedi Harsono, Op Cit hlm 216

16
Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang

sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkanproses interksi

yang terus berlangsung antara berbagai kenyataan kemasyarakatan

satu sama lainnya yang berkonfrontasi dengan kesadaran dan

penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu yang

berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan

kebutuhan nyata manusia, sehingga hukum dan tatanan hukumnya

bersifat dinamis.

Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam

lainnya harus dilaksanakan secara adil, mengembangkan ekonomi

kerakyatan serta menghilangkan segala bentuk pemusatan

pengusahaan dan pemilikan tanah. Kebijaksanaan yang dilaksanakan

berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Tanah sebagai basis usaha

pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan

pertanian rakyat yang mampu melibatkan serta memberikan sebesar –

besaranya kemakmuran rakyat.

G. DAFTAR PUSTAKA

Arief Sidharta,1998, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif


Positivistis,Makalah, Simposium Nasional Ilmu Hukum,Dies Natalis Fakultas
Hukum UNDIP Ke 41, Semarang,

Boedi Harsono, 1999, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agararia,


Isi dan pelaksanaanya ,Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta

17
M. Yahya Harahap, 1997, Berberapa Tinjauan Mengenai Permasalahan Hukum,
Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung,

Moh. Mahfud MD, 1993, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh
Politik Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia, Disertasi, UGM,
Yogyakarta,

Iman Soetiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta

18

You might also like