You are on page 1of 74

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN AIR DAN HARA TANAMAN (AGH 322)

Disusun Oleh :
Kelompok 7A
1. Rahmad Bahari (A24070036)

2. Ibnu Abi Hatim A. (A24070037)

3. Siti Khalimah (A24070038)

4. Galvan Yudistira (A24070040)

5. Meli Nurfarida (A24070042)

6. Dian Karisnawati (A24070047)

7. Izhul Laksana (F14061041)

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR DI KANTOR DAN DI LAHAN

Disusun Oleh :
Izhul Laksana (F14061041)

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekurangan air pada musim kering merupakan fenomena yang sering


terjadi pada lahan pertanian di Indonesia, terutama pada daerah kering yang
keadaan tanahnya mempunyai tingkat perkolasi yang tinggi. Sumber air yang
terkadang jauh dengan lahan pertanian menambah masalah dalam pemenuhan
kebutuhan air . disamping itu banyak lahan yang terlewati ailran air dan
sebaliknya ada lahan pertanian yang kelebihan dalam kebutuhan airnya.
Melihat keadaan diatas, maka perlu di aturnya tentang pemberian tata air
atau dengan peningkatan atau pengembangan sumber daya air pada kantor dan
lahan pertanian. Melihat keadaan kantor dan lahan pertanian yang berada pada
sawah baru maka perlu adanya perkembangan. Hal ini bertujuan agar tanaman
yang ditanam memiliki produktivitas yang tinggi dan optimum seperti yang
diinginkan.
Pada sumber daya air yang ada di lahan dan di kantor terdapat beberapa
sudah cukup baik, namun perlu adanya pengembangan agar kebutuhan air selalu
terpenuhi pada setiap musim, selain itu perlu adanya metode pengembangan agar
efisien dalam penggunaan air dan meng optimumkan tanaman yang sedang
ditanam.

1.2 Tujuan

• Mengetahui keadaan menejemen air di lahan dan di kantor dan lahan


• Mencari perkembangan SDA yang diterapkan
• Menggambar rancangan SDA yang akan diterapkan
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung


didalamnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang digunakan sepenuhnya
untuk kemakmuran rakyat. Pemanfaatannya haruslah diabadikan kepada
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat yang sekaligus menciptakan
pertumbuhan. Tata pengaturan air adalah usaha untuk mengatur pembinaan seperti
pemilikan penguasaan, pengelolaan, dan pengaturan atas air.
Adapun penatagunaan air tersebut meliputi :
a. Penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian baik air
permukaan dan/atau air
tanah.
b. Pengembangan daerah rawa, untuk pertanian dan/atau untuk budidaya
perikanan.
c. Pengendalian dan pengaturan banjir serta usaha untuk perbaikan sungai,
waduk dan
sebagainya serta pengaturan prasarana dan sarana sanitasi.
d. Pengaturan dan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri dan
pencegahan terhadap
pencemaran atau pengotoran air.
e. Pemeliharaan ketersediaan kuantitas dan kualitas air yang berkelanjutan,
melalui
pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
pengisian air pada
sumber air; pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu; pengaturan
daerah sempadan
sumber air; rehabilitasi hutan dan lahan dan/atau pelestarian hutan lindung,
kawasan suaka
alam, dan pelestarian alam.
Area lahan beririgasi teknis harus dipertahankan agar tidak berubah fungsi
menjadi peruntukan yang lain, jika areal tersebut terpaksa harus berubah fungsi
maka disediakan lahan areal baru yang menggantikannya dengan luasan minimal
sama. Prasarana pengairan direncanakan sesuai dengan kebutuhan peningkatan
sawah irigasi teknis. Dalam revisi tata ruang wilayah Jawa Timur ini tidak
direncanakan perluasan sawah, tetapi peningkatan pengairan dari irigasi non
teknis atau setengah teknis menjadi irigasi teknis. Disamping itiu direncanakan
pula beberapa pemindahan sawah yang menempati lahan dengan fungsi lindung
mutlak, dipindah ke lahan dengan fungsi semusim sesuai dengan daya dukung
lingkungannya.
BAB III

METODOLOGI

Pada pengembangan sumber daya lahan ini menggunakan rencana


pengembangan dengan metode menggambar setelah melihat keadaan lahan yang
ada, lahan yang ada digambar dan dilihat keadaannya kemudian lahan tersebut
dibentuk pengembangan SDA dengan menggambar atau memplotkan gambar
yang ada. Alat dan bahan : Alat tulis (bolpoint, pensil dan penghapus), meja
jalan, Kertas A4.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada lahan kantor, keadaan air yang ada menggunakan sumur dan air
PAM, maka untuk mebuat perkembangan pada kantor dibuat pemenuhan air yang
menggunakan 2 ppemenuh kebutuhan air yang pertama menggunakan sumur dan
yang kedua menggunakan air dari layanan PAM. Untuk penampungan air yang
ada maka menggunakan penampung air dan untuk air PAM menggunkan
penampungan pula. ini bertujuan agar kebutuhan air terus terpenuhi.
Untuk lahan sawah atau lahan pertanian dibuat penampungan dengan
menggunkan kolam utama pada awal penampungan kemudian 2 kolam lainnya
untuk lahan pelimpahan. Lahan dialirkan melalui bedengan-bedengan dengan
parit yang ada ke lahan sawah atau tempat pertaniannya. Kemudian dari lahan air
akan dialirkan ke kolam pelimpah yang ada pada 2 kolam tersebut sehingga lahan
tidak terendam air terlalu banyak.
Pada perkembangan lahan ini akan mengalami kesulitan dalam
pengkontrolan bedengan dan parit agar tetap mengairi lahan sawah dan juga
untuk keadaan lahan sawah sendiri, pembuatan pintu masuk dan keluar harus tetap
terkontrol agar aliran air bisa tetap terjaga.
Pada perencanaan telah digambarkan secara teknis bagaimana
perkembangan akan dilakukan. Pada proses perencanaan dan perancangan desain
perlu diperhatikan bagaimana efektifitas dan efesiensi yang akan didapat.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pengembangan SDA pada lahan dan kantor perlu dilakaukan agar dapat
memenuhi kebutuhan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Tempat
penampungan (kolam dan tangki penampungan) menjadi salah satu solusi yang
bisa diterapkan dalam pengembangan ini, serta alur aliran menjadi hal pokok
dalam pengembangan pada lahan pertanian.
5.2 Saran

Pengontrolan tetap harus dilaksanakan agar aliran dan kebutuhan air tetap
terjaga. Perencanaan dijalankan sesuai prosedur yang telah dibuat.
LAPORAN PRAKTIKUM
EFISIENSI PEMAKAIAN AIR

Oleh :
1. Meli Nurfarida A24070042
2. Dian Karisnawati A24070047
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam
jumlah maupun mutunya, aman dan merata, serta terjangkau. Berbagai cara dapat
dilakukan dalam rangka pembangunan di bidang pertanian untuk dapat
meningkatkan produksi pangan antara lain dengan ekstensifikasi yaitu usaha
peningkatan produksi pangan dengan meluaskan areal tanam, dan intensifikasi
yaitu usaha peningkatan produksi pangan dengan cara-cara yang intensif pada
lahan yang sudah ada, antara lain dengan penggunaan bibit unggul, pemberian
pupuk yang tepat serta pemberian air irigasi yang efektif dan efisien.
Sumber daya air sangat dibutuhkan untuk kepentingan pengairan lahan-
lahan pertanian, terutama bagi pertumbuhan tanaman-tanamannya. Namun air
yang tersedia dari sumber-sumbernya tidak semuanya dapat dimanfaatkan.
Seluruh keperluan air bagi tanaman dan untuk kelembaban tanahnya dicukupi
oleh ketersediaan air pengairan yang berasal dari air permukaan (sungai, danau,
waduk, dan curah air hujan) dan air tanah. Ketersediaan air bagi pertanian itu
berbeda-beda tergantung pada musim, lokasi, sumber air dan usaha-usaha
konservasi air. Namun demikian ketersediaan air pengairan yang cukup banyak
akan tetapi tidak bebas dari pencemaran dan bahan-bahan buangan yang dapat
meracuni tanaman, maka sumber air tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
Penggunaan konsumtif adalah jumlah total air yang dikonsumsi tanaman
untuk penguapan (evaporasi), transpirasi dan aktivitas metabolisme tanaman.
Kadang-kadang istilah tersebut disebut juga sebagai evapotranspirasi tanaman.
Jumlah evapotranspirasi kumulatif selama pertumbuhan tanaman yang harus
dipenuhi oleh air irigasi, dipengaruhi oleh jenis tanaman, radiasi surya, sistem
irigasi, lamanya pertumbuhan, hujan dan faktor lainnya.
Agar suatu areal lahan pertanian mendapatkan air pengairan yang cukup,
maka dalam memperkirakan kebutuhan airnya perlu memperhatikan berbagai
faktor yang berpengaruh atas kebutuhan dan ketersediaan air tersebut, seperti jenis
dan sifat tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim, luas areal pertanaman,
dan kehilangan air selama pengaliran dan penyalurannya. Kehilangan air
pengairan selama penyaluran antara lain disebabkan oleh: evaporasi,
evapotranspirasi, perkolasi, perembesan dan kebocoran.
Terdapat dua metoda untuk mendapatkan angka penggunaan konsumtif
tanaman, yakni (a) pengukuran langsung dengan lisimeter bertimbangan
(weighing lysimeter) atau tidak bertimbangan, dan (b) secara tidak langsung
dengan menggunakan rumus empirik berdasarkan data unsur cuaca. Secara tidak
langsung dengan menggunakan rumus empirik berdasarkan data unsur cuaca,
pertama menduga nilai evapotranspirasi tanaman (ETo).
ETo adalah jumlah air yang dievapotranspirasikan oleh tanaman dengan
tinggi 15-20 cm, tumbuh sehat, menutup tanah dengan sempurna, pada kondisi
cukup air. Ada berbagai rumus empirik untuk pendugaan evapotranspirasi
tanaman acuan (ETo) tergantung pada ketersediaan data unsur cuaca, antara lain:
metoda Blaney-Criddle, Penman, Radiasi, evaporasi Panci. FAO
merekomendasikan metoda Penman-Monteith untuk digunakan jika data iklim
tersedia (suhu rata-rata udara harian, lamanya penyinaran rata-rata harian,
kelembaban relatif rata-rata harian, dan kecepatan angin rata-rata harian). Selain
itu diperlukan juga data letak geografi dan elevasi lahan di atas permukaan laut.
Pembagian air pengairan harus disesuaikan dengan kebutuhan air yang
telah diperhitungkan bagi lahan-lahan pertanaman yang ada dan digunakan
dengan tepat guna, efektif dan efisien. Untuk mewujudkannya diperlukan
teknologi atau cara-cara penentuan kebutuhan air bagi lahan-lahan pertanaman.
Memang untuk menentukan kebutuhan air yang setepat-tepatnya adalah tidak
mungkin, akan tetapi penentuan yang mendekati ke arah itu dapat dikatakan telah
mencukupi, asalkan penggunaannya dilakukan secara tepat guna. Pembagian air
pengairan untuk tanaman didasarkan atas kebutuhan tanaman padi sebagai
tanaman utama. Untuk menentukan besarnya kebutuhan air pada petak-petak
persawahan dapat digunakan dua macam metode, yaitu dengan pengukuran secara
langsung dan pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung
salah satunya adalah pengukuran dengan lisimeter.
Lisimeter adalah alat untuk mengukur keseimbangan air alamiah di dalam
tanah pada sebidang tanah yang ditumbuhi tanaman, dikelilingi suatu penahan
sehingga tidak terjadi hubungan hidrologis dengan lingkungan sekitarnya. Bagian
bawahnya dilengkapi lubang penyaluran sehingga air yang merembes dari tanah
dapat ditampung. Perubahan dalam kelembapan bidang tanah tersebut dapat
dihitung dari jumlah air yang hilang karena penguapan dan yang lenyap karena
transpirasi (www.bahtera.org, 2010).
Pengelolaan air irigasi padi sawah sangat penting untuk memaksimumkan
pemanfaatan pengembangan teknologi budidaya padi. Dasar utama dalam
pengelolaan air tersebut adalah pengetahuan tentang kondisi air yang optimum
dalam kaitannya dengan tahap pertumbuhan padi dan beberapa metoda untuk
mendapatkan kondisi optimum tersebut. Seringkali dikatakan bahwa irigasi
tanaman padi di sawah adalah merupakan suatu proses penambahan air hujan
untuk memenuhi keperluan air tanaman.
Tanaman padi sawah memerlukan air cukup banyak dan menginginkan
genangan air untuk menekan pertumbuhan gulma dan sebagai usaha pengamanan
apabila terjadi kekurangan air. Di daerah tropik walaupun pada musim hujan,
sering terjadi suatu periode kering sampai 3 minggu tidak turun hujan. Pada
situasi tersebut diperlukan air irigasi untuk menjamin pertumbuhan tanaman padi
yang baik.
Fungsi respirasi akar pada periode vegetatif tanaman padi sangat tinggi
sehingga ketersediaan udara (aerasi) dalam tanah dengan cara drainase diperlukan
untuk menunjang pertumbuhan akar yang mantap. Selain itu drainase juga
membantu menghambat pertumbuhan anakan tak-efektif (noneffective tillers).
Pada sebagian besar dari periode generatif, konsumsi air cukup banyak.
Kekeringan yang terjadi pada periode ini akan menyebabkan beberapa kerusakan
yang disebabkan oleh terganggunya pembentukan panicle, heading, pembungaan
dan fertilisasi yang berakibat pada peningkatan sterilitas sehingga mengurangi
hasil.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk untuk mengukur efisiensi pemakaian air
pada irigasi padi sawah dengan cara langsung menggunakan lisimeter. Selain itu,
praktikum ini juga bertujuan memberikan pengalaman kepada mahasiswa
sehingga mampu untuk menghitung kebutuhan air irigasi tanaman padi pada suatu
kondisi iklim tertentu di suatu daerah dan juga agar mahasiswa mampu
memahami konsep efisiensi irigasi, cara perhitungan dan beberapa data efisiensi
irigasi, dan pengukuran debit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Irigasi


Indonesia merupakan negara agraris dan pembangunan di bidang pertanian
menjadi prioritas utama. Indonesia merupakan salah satu negara yang
memberikan komitmen tinggi terhadap pembangunan ketahanan pangan sebagai
komponen strategis dalam pembangunan nasional. UU No.7 tahun 1996 tentang
pangan menyatakan bahwa perwujudan ketahanan pangan merupakan kewajiban
pemerintah bersama masyarakat (Partowijoto, 2003).
Kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat dari waktu ke waktu
sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di sisi lain ketersediaan pangan
terbatas sehubungan dengan terbatasnya lahan yang ada untuk bercocok tanam,
teknologi, modal dan tenaga kerja, sehingga defisit penyediaan bahan pangan
masih sering terjadi di negeri ini. Untuk itu berbagai pihak tidak henti-hentinya
berupaya untuk mengatasi masalah tersebut diatas melalui berbagai kebijaksanaan
dan program (Sudjarwadi, 1990).
Untuk kondisi di luar Pulau Jawa masih memungkinkan pengembangan
pertanian dengan cara ekstensifikasi, namun untuk di Pulau Jawa sudah sangat
tidak mungkin mengingat sangat terbatas areal sawah, di lain pihak kepadatan
penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah sehingga perlu membuka lahan
baru untuk pemukiman. Pembangunan saluran irigasi untuk menunjang
penyediaan bahan pangan nasional sangat diperlukan, sehingga ketersediaan air di
lahan akan terpenuhi walaupun lahan tersebut berada jauh dari sumber air
permukaan (sungai). Hal tersebut tidak terlepas dari usaha teknik irigasi yaitu
memberikan air dengan kondisi tepat mutu, tepat ruang dan tepat waktu dengan
cara yang efektif dan ekonomis (Sudjarwadi, 1990).
Sudjarwadi (1990) mendefinisikan irigasi merupakan salah satu faktor
penting dalam produksi bahan pangan. Sistem irigasi dapat diartikan sebagai satu
kesatuan yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya penyediaan,
pembagian, pengelolaan dan pengaturan air dalam rangka meningkatkan produksi
pertanian. Beberapa komponen dalam sistem irigasi diantaranya adalah:
a) siklus hidrologi (iklim, air atmosferik, air permukaan, air bawah permukaan)
b) kondisi fisik dan kimiawi (topografi, infrastruktur, sifat fisik dan kimiawi
lahan)
c) kondisi biologis tanaman
d) aktivitas manusia (teknologi, sosial, budaya, ekonomi).
Kontribusi prasarana dan sarana irigasi terhadap ketahanan pangan selama
ini cukup besar yaitu sebanyak 84% produksi beras nasional bersumber dari
daerah irigasi (Hasan, 2005). Salah satu persoalan utama yang terjadi dalam
penyediaan air irigasi adalah semakin langkanya ketersediaan air (water scarcity)
pada waktu-waktu tertentu. Pada sisi lain permintaan air untuk berbagai
kebutuhan cenderung semakin meningkat sebagai akibat peningkatan jumlah
penduduk, beragamnya pemanfaatan air, berkembangnya pembangunan, serta
kecenderungan menurunnya kualitas air akibat pencemaran oleh berbagai kegiatan
(Bustomi, 2003).
Ditinjau dari proses penyediaan, pemberian, pengelolaan dan pengaturan
air, sistem irigasi dapat dikelompokkan menjadi 4 (Sudjarwadi, 1990), yaitu:
a) sistem irigasi permukaan (surface irrigation system),
b) sistem irigasi bawah permukaan (sub surface irrigation system),
c) sistem irigasi dengan pemancaran (sprinkle irrigation system),
d) sistem irigasi dengan tetesan (trickle irrigation / drip irrigation system).
Segera setelah tanam, kelembaban yang cukup diperlukan untuk
perkembangan akar-akar baru padi. Kekeringan yang terjadi pada peiode ini akan
menyebabkan pertumbuhan yang jelek dan hambatan pertumbuhan anakan
sehingga mengakibatkan penurunan hasil. Pada tahap berikutnya setelah tahap
pertumbuhan akar, genangan dangkal diperlukan selama periode vegetatif ini.
Beberapa kali pengeringan (drainase) membantu pertumbuhan anakan dan juga
merangsang perkembangan sistem akar untuk berpenetrasi ke lapisan tanah bagian
bawah (Dastane, 1974).
Pemilihan jenis sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi,
klimatologi, topografi, fisik dan kimiawi lahan, biologis tanaman sosial ekonomi
dan budaya, teknologi (sebagai masukan sistem irigasi) serta keluaran atau hasil
yang akan diharapkan (Bustomi, 2000). Menurut Bustomi (2000) representasi
sistem irigasi sebagai suatu kesatuan hubungan masukan (input), proses dan
keluaran (output).

2.2 Jaringan Irigasi


Di Taiwan hasil penelitian pada musim hujan memperlihatkan penurunan
hasil yang cukup nyata jika jumlah air yang dikonsumsi tanaman kurang dari 600
mm. Di Jepang, keperluan air untuk mendapatkan hasil padi optimum adalah
antara selang 20 mm sampai 30 mm per hari. Jumlah ini dapat dipertimbangkan
optimum pada kondisi pemupukan berat dan teknik pemeliharaan intensif
(Doorenbos dan Pruitt, 1984).
Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang
diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan,
pembagian, pemberian dan penggunaannya. Secara hirarki jaringan irigasi dibagi
menjadi jaringan utama dan jaringan tersier. Jaringan utama meliputi bangunan,
saluran primer dan saluran sekunder. Sedangkan jaringan tersier terdiri dari
bangunan dan saluran yang berada dalam petak tersier. Suatu kesatuan wilayah
yang mendapatkan air dari suatu jarigan irigasi disebut dengan Daerah Irigasi
(Direktorat Jenderal Pengairan, 1986).
Mengacu pada Direktorat Jenderal Pengairan (1986) cara pengaturan,
pengukuran, serta kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu (1) jaringan irigasi sederhana; (2) jaringan irigasi
semi teknis; dan (3) jaringan irigasi teknis.
Pada periode vegetatif jumlah air yang dikonsumsi sedikit, sehingga
kekurangan air pada periode pematangan bulir padi tidak mempengaruhi hasil
secara nyata asalkan tanaman sudah pulih dan sistem perakarannya sudah mapan.
Tahapan sesudah panicle primordia, khususnya pada masa bunting, heading dan
pembungaan memerlukan air yang cukup. Kekurangan air selama periode tersebut
menghasilkan pengurangan hasil tak terpulihkan. Dengan demikian perencanaan
program irigasi di areal dimana jumlah air irigasinya terbatas untuk menggenangi
sawah pada seluruh periode, prioritas harus diberikan untuk memberikan air
irigasi selama periode pemulihan dan pertumbuhan akar serta seluruh periode
pertumbuhan reproduktif.
2.3 Pengelolaan Air Irigasi
Padi varietas unggul umumnya tidak memperlihatkan penurunan hasil
pada kedalaman genangan sampai 15 cm. Di atas kedalaman genangan tersebut
diduga akan terjadi penurunan hasil akibat dari pelemahan culms dan pengurangan
jumlah anakan. Pengelolaan air yang terkendali dapat mengurangi pertumbuhan
gulma. Dengan genangan 15 cm, pertumbuhan rumput-rumputan dan teki-tekian
(sedges) akan tertekan, tetapi pada genangan 7,5 cm beberapa gulma berdaun
lebar dan teki-tekian tumbuh dengan baik. Sebagai kesimpulan, lingkungan air
pada tanaman padi adalah relatif kritis pada kondisi di bawah jenuh tetapi relatif
toleran terhadap genangan air pada kedalaman antara 10-15 cm. Di atas
kedalaman tersebut akan terjadi pengurangan hasil.
Pengelolaan sumberdaya air di Indonesia pada saat ini mengalami
beberapa permasalahan pokok, diantaranya adalah ketersediaan air yang semakin
terbatas (scarcity), kompetisi pemanfaatan air antar sektor, penurunan ketahanan
fisik dari prasarana pengendali banjir serta penurunan keberlanjutan dari
prasarana jaringan irigasi, penyediaan air bersih untuk penduduk perkotaan,
pembuangan limbah cair perkotaan dan industri, penurunan daya dukung daerah
14 tangkapan air, semakin meningkatnya frekuensi banjir tahunan akibat alih
fungsi lahan dan penggundulan hutan (Koehuan, 2003).
Carruthers, dkk (1997) dalam Koehuan (2003), menggolongkan
penggunaan air dalam tiga sektor utama yaitu untuk pertanian, industri dan
domestik. Penggunaan air untuk pertanian di dunia rata-rata 70 persen dan di atas
90 persen pada negara-negara berkembang. Menurut Purcell (2000) dalam
Koehuan (2003), pertanian menggunakan 80-90 persen dari air yang tersedia di
negara-negara berkembang.
Pertumbuhan penduduk, perkotaan dan pendapatan ternyata telah
menimbulkan tekanan pada kebutuhan dan ketersediaan air. Pada saat yang sama,
pertumbuhan penduduk berdampak pada peningkatan permintaan akan pangan.
Untuk itu tantangan kedepan adalah bagaimana memproduksi pangan dengan
menggunakan air yang relatif lebih sedikit (to produce food with less water),
melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan air, mengurangi degradasi kualitas air
dan peningkatan produktifitas air untuk tanaman (Koehuan 2003; Purcell 2000;
Vermillion 1997). Sudjarwadi (1999) menyatakan bahwa dalam teknik
pengelolaan sumberdaya air selain aspek fisik terdapat pula pengaruh aspek non
fisik diantaranya sosial budaya yang perlu mendapat perhatian dalam upaya
mengatur dinamika air baik kuantitas maupun kualitas.
Terdapat dua metoda pemberian air untuk padi sawah yakni: (a) genangan
terus-menerus (continuous submergence) yakni sawah digenangi terus-menerus
sejak tanam sampai panen; (b) irigasi terputus atau berkala (intermittent
irrigation) yakni sawah digenangi dan dikeringkan berselang-seling. Permukaan
tanah diijinkan kering pada saat irigasi diberikan. Untuk menentukan jumlah air
yang dikonsumsi tanaman dapat digunakan berbagai metoda sebagai berikut: (a)
metoda tangki pengamatan, (b) percobaan petakan di lapangan, dan (c) metoda
inflow-outflow (keseimbangan air).
Pengelolaan sumberdaya air yang dimaksudkan disini adalah peningkatan
kinerja pendistribusian dan pengalokasian air secara efektif dan efisien untuk
memenuhi berbagai kebutuhan air secara optimal. Pengaturan air adalah
pengelolaan sumber-sumber air yang ada dalam sistem sumberdaya air sehingga
diperoleh hasil yang terbaik/optimal dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Komponen-komponen sasaran umumnya berupa nilai kuantitas air yang
merupakan kebutuhan air yang harus dipenuhi. Komponen komponen kendala
umumnya berupa keterbatasan nilai kuantitas ketersediaan air (Hapsari dkk,
1999).
Dari sudut pandang penggunaan sumber daya air global, sangat penting
untuk memperkenalkan cara-cara irigasi yang lebih. Memperbaiki efisiensi irigasi
bisa membebaskan air untuk bisa digunakan di daerah-daerah kota sekitar
(jakarta.usembassy.gov, 2004).
Pemberian air irigasi secara tepat dan efisien memerlukan bangunan ukur
debit untuk setiap saluran. Bangunan ukur debit tersebut berfungsi untuk
mengetahui debit air yang melalui saluran tersebut sehingga pemberian air ke
petak-petak sawah yang menjadi daerah oncoran dapat dipantau, dengan demikian
diharapkan bahwa pemberian airnya tidak berlebihan ataupun kekurangan dan
sesuai dengan kebutuhan air tanaman yang ada dalam petak sawah tersebut
(Direktorat Jenderal Pengairan, 1986).
Secara kuantitatif efisiensi irigasi suatu jaringan irigasi sangat kurang
diketahui dan merupakan parameter yang sukar diukur. Akan tetapi sangat penting
dan umumnya diasumsikan untuk menambah 40% sampai 100% terhadap
keperluan air irigasi. Kehilangan air irigasi pada tanaman padi berhubungan
dengan: (a) kehilangan air di saluran primer, sekunder dan tersier melalui
rembesan, evaporasi, pengambilan air tanpa ijin dan lain-lain; (b) kehilangan
akibat pengoperasian termasuk pemberian air yang berlebihan.
Doorenbos dan Pruit (1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman
sebagai jumlah air yang disediakan untuk mengimbangi air yang hilang akibat
evaporasi dan transpirasi. Kebutuhan air di lapangan merupakan jumlah air yang
harus disediakan untuk keperluan pengolahan lahan ditambah kebutuhan air
tanaman. Kebutuhan air tanaman merupakan syarat mutlak bagi adanya
pertumbuhan dan produksi.
Efisiensi penyaluran di beberapa daerah irigasi di banyak negara telah
sering dikaji dan nampaknya merupakan suatu fungsi dari: (a) luas areal daerah
irigasi; (b) metoda pemberian air (kontinyu atau rotasi); dan (c) luasan dari unit
rotasi. Apabila air diberikan secara kontinyu dengan debit kurang lebih konstan
maka tidak akan terjadi masalah pengorganisasian. Kehilangan air hanya terjadi
karena rembesan dan evaporasi.
Walker (1981) dalam Marhendi (2002), melakukan penelitian terhadap
cara-cara pemberian air yang dilakukan petani di Jawa barat. Menurut Walker
(1981) sebagian petani di Jawa Barat masih menggunakan air irigasi secara
berlebihan. Hasil penelitian yang dilakukan di lokasi Dermaga dekat Bogor dan
Sukamanah di pantai utara Jawa Barat menunjukkan bahwa sekitar 50% air irigasi
terbuang percuma. Marhendi (2002) melakukan penelitian peluang penyimpangan
pemberian air irigasi daerah irigasi Kalibawang Kulon Progo. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan pemberian air irigasi. Hal ini
disebabkan kondisi Sumber Daya Manusia di lapangan yang kurang siap serta
sarana dan prasarana seperti pintu air (intake), bendung dan beberapa sarana lain
yang sudah tidak layak menjadi penyebab terjadinya penyimpangan pemberian air
irigasi.
Kehilangan air di saluran dapat diukur dengan beberapa metoda. Salah
satu metoda adalah inflow-outflow atau teknik keseimbangan air pada suatu ruas
saluran. Hal ini dapat dilakukan dengan mengukur debit inflow pada pangkal
saluran dan debit outflow pada ujung saluran.
Menurut Sigit (2001) pengelolaan irigasi merupakan bagian dari sistem
sosio-kultural masyarakat yang terdiri dari subsistem budaya, subsistem sosial
ekonomi dan susbsistem artifak dengan teknologi termasuk didalamnya. Al-
Jayyousi, (1999) menyimpulkan bahwa Peningkatan efisiensi dalam sistem
jaringan irigasi mempunyai kontribusi besar untuk penghematan air. Peningkatan
efisiensi dalam sistem jaringan irigasi memperhitungkan aspek teknis, aspek
kelembagaan, aspek lingkungan dan aspek ekonomi.
Sering kali pemberian air pada petakan irigasi terjadi secara berlebihan
sehingga menyebabkan banyaknya air yang terbuang dan mengakibatkan
terjadinya inefisiensi di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem
pemberian air irigasi yang lebih efisien. Dalam hal ini air yang disalurkan ke
lahan harus tepat waktu dan jumlah dengan yang dibutuhkan di lahan
(digilib.itb.ac.id, 2007).
Ketersediaan air di lahan adalah air yang tersedia di suatu lahan pertanian
yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di lahan itu
sendiri. Ketersediaan air di lahan yang dapat digunakan untuk pertanian terdiri
dari dua sumber, yaitu konstribusi air tanah dan hujan efektif (Direktorat Jenderal
Pengairan, 1986). Menurut Direktorat Jenderal Pengairan (1986) konstribusi air
tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah, kedalaman akuifer dan jenis
tanaman (kedalaman zona perakaran). Untuk daerah irigasi yang berada pada
daerah aquifer dangkal, konstribusi air tanah diperoleh melalui daya kapiler tanah.
Untukdaerah yang berada pada daerah aquifer dalam konstribusi air tanah sangat
kecil dan dapat dianggap bernilai nol. Dalam praktek analisis ketersediaan air
irigasi, konstribusi air tanah belum diperhitungkan secara teliti. Curah hujan
efektif adalah curah hujan yang secara efektif dan secara langsung dipergunakan
memenuhi kebutuhan air tanaman untuk pertumbuhan.

2.4 Kebutuhan Air Irigasi


Pengelolaan air perlu disesuaikan dengan sumber daya fisik alam (tanah,
iklim, sumber air) dan biologi dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk
membawa air ke perakaran tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi
(Aqil et al., 2008). Sasaran dari pengelolaan air adalah tercapainya empat tujuan
pokok, yaitu: (1) efisiensi penggunaan air dan produksi tanaman yang tinggi, (2)
efisiensi biaya penggunaan air, (3) pemerataan penggunaan air atas dasar sifat
keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak menentu kejadian serta
jumlahnya, dan (4) tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumber daya air
yang hemat lingkungan.
Direktorat Jenderal Pengairan (1986) memberikan gambaran bahwa dalam
penentuan kebutuhan air untuk irigasi atau air yang dibutuhkan untuk lahan
pertanian didasarkan pada keseimbangan air di lahan untuk satu unit luas andalan
periode biasanya periode setengah bulanan. Faktor-faktor yang menentukan
kebutuhan air untuk irigasi di sawah untuk tanaman padi menurut Direktorat
Jenderal Pengairan (1986) adalah:
a) Penyiapan lahan (Ir)
b) Penggunaan Konsumtif (Etc)
Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
mempunyai peranan strategis dalam pemulihan ekonomi nasional. Peranan
strategis tersebut khususnya adalah dalam penyediaan pangan, penyediaan
bahan baku industri, peningkatan eksport dan devisa negara, penyediaan
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan petani
dan kesejahteraan masyarakat (one.indoskripsi.com, 2008).
Penggunaan konsumtif diartikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman. Doorenbos dkk., (1977) mendefinisikan kebutuhan air
tanaman sebagai jumlah air yang disediakan untuk mengimbangi air yang
hilang akibat evaporasi dan transpirasi. Menurut Direktorat Jenderal Pengairan
(1986) penggunaan konsumtif dapat dihitung dengan persamaan berikut ini:
Etc = Eto x kc …………………………………........................….....(7)
dengan :
Etc = penggunaan konsumtif (mm/hari),
Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari),
kc = koefisien tanaman.
Besarnya koefisien tanaman setiap jenis tanaman berbeda-beda dan berubah
setiap periode pertumbuhan tanaman itu. Evapotranspirasi potensial dihitung
dengan metode modifikasi Penman yang telah disesuaikan dengan keadaan
daerah Indonesia dan nilai kc untuk berbagai jenis tanaman yang ditanam
disajikan harga-harga koefisien tanaman padi dengan varietas unggul dan
varietas biasa menurut Nedeco/Prosida dan FAO (Direktorat Jenderal
Pengairan, 1986).
c) Perkolasi dan Rembesan (P)
Laju perkolasi sangat tergantung pada sifat-sifat tanah. Guna menentukan laju
perkolasi, tinggi muka air tanah juga harus diperhitungkan. Perembesan terjadi
akibat meresapnya air melalui tanggul sawah. Perkolasi dan rembesan di sawah
berdasarkan Direktorat Jenderal Pengairan (1986), yaitu sebesar 2 mm/hari.
d) Penggantian Lapisan Air (Wlr)
Penggantian lapisan air dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing 50 mm
selama sebulan dan dua bulan setelah transplantasi atau pemindahan bibit
(Direktorat Jenderal Pengairan, 1986). Lama pengolahan lahan sawah
dilakukan kurang lebih 20-30 hari baik dengan tenaga kerbau atau traktor.
Sehingga lama pengolahan lahan sawah diasumsikan selama 30 hari.
Banyaknya air yang dibutuhkan oleh tanaman palawija sebesar 50-100 mm.
e) Efisiensi Irigasi (Ei)
Efisiensi irigasi adalah angka perbandingan dari jumlah air irigasi nyata yang
terpakai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang keluar
dari pintu pengambilan (intake). Efisiensi irigasi merupakan faktor penentu
utama dari unjuk kerja suatu sistem jaringan irigasi. Efisiensi irigasi terdiri atas
efisiensi pengaliran yang pada umumnya terjadi di jaringan utama dan efisiensi
di jaringan sekunder yaitu dari bangunan pembagi sampai petak sawah
(Direktorat Jenderal Pengairan, 1986). Efisiensi irigasi didasarkan asumsi
sebagian dari jumlah air yang diambil akan hilang baik di saluran maupun di
petak sawah. Kehilangan air yang diperhitungkan untuk operasi irigasi meliputi
kehilangan air di tingkat tersier, sekunder dan primer. Besarnya masing-masing
kehilangan air tersebut dipengaruhi oleh panjang saluran, luas permukaan
saluran, keliling basah saluran dan kedudukan air tanah.
Prioritas pembangunan pertanian dewasa ini adalah melestarikan
swasembada pangan, peningkatan ekspor non migas dan mengurangi pengeluaran
devisa yang sekaligus memperluas lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan
petani serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan
wilayah pedesaan merupakan salah satu tujuan utama pembangunan pertanian
maka sangat diharapkan perkembangan agribisnis daerah yang berdaya saing
sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing daerah, berkelanjutan,
berkeadilan dan demokrasi (one.indoskripsi.com, 2008).
Di masa mendatang permintaan air irigasi akan terus meningkat seiring
dengan pertambahan luas tanam padi yang diperlukan. Di sisi lain, volume air
yang harus dialokasikan untuk memenuhi permintaan dari sektor non pertanian
semakin meningkat pula. Implikasinya, pasokan air irigasi semakin langka. Oleh
karena itu, peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi harus dilakukan
(pse.litbang.deptan.go.id, 2006).
Peubah iklim yang paling sering diamati di stasiun klimatologi adalah
curah hujan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) sejak tahun
2002 telah mengembangkan sistem basisdata iklim nasional (Runtunuwu et al.,
2006). Sampai saat ini, ada 2679 stasiun curah hujan/iklim yang telah tercatat di
sistem database (Runtunuwu et al., 2007; Runtunuwu dan Las, 2007). Namun,
dari semua data tersebut, belum ada stasiun yang secara periodik mengukur
evapotranspirasi potensial ataupun aktual, padahal peubah tersebut sangat penting
di dalam agroklimatologi. Lisimeter merupakan instrumen penting yang
digunakan untuk mengukur real penggunaan air oleh tanaman.
Curah hujan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
pertumbuhan dan produksi tanaman padi, sehingga budidaya tanaman padi perlu
disesuaikan terhadap fluktuasi curah hujan. Namun, karena curah hujan sangat
berfluktuatif dan acak, budidaya tanaman padi seringkali sulit disesuaikan bahkan
terlambat antisipasi perubahan yang tiba-tiba dan ekstrim. Sebagian tanaman padi
mengalami puso karena kekeringan atau kebanjiran (www.deptan.go.id, 2007).

BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Efisiensi Pemakaian Air dilakukan pada tanggal 28 Agustus
2009. Pengamatan dilakukan mulai tanggal 4 September 2009 sampai 11
Desember 2009 di Kebun Percobaan Sawah Baru, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah ember, pipa plastik, lem,
tali raffia, plastik hitam, cangkul, gelas ukur, penggaris (mistar) dan penakar
hujan. Dan bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu benih padi,
pupuk urea, SP 18, dan KCl.

3.3 Metode
Praktikum ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Lisimeter dirakit dari ember, pipa plastik dan plastik hitam dengan
menggunakan lem sebagai perekat antara pipa plastik dan ember, serta tali
raffia untuk mengikat plastik hitam ke pipa plastik. Selanjutnya lisimeter diisi
dengan tanah yang macak-macak sampai mencapai bibir pipa plastik bagian
bawah.
2. Lisimeter diletakkan (dibenamkan) pada bedengan sawah. Bibit padi ditanam
di lahan dengan cara dialur.
3. Setelah 1 MST dilakukan penjarangan/transplanting, pembersihan gulma dan
pemupukan (urea, SP 18, KCl). Pengukuran lisimeter dilakuakn dengan cara
mengukur volume irigasi pada lisimeter dan volume runoff yang tertampung
pada plastik hitam.
4. Selain pengukuran lisimeter, dilakukan pula pengukuran curah hujan melalui
volume air hujan yang tertampung pada penakar hujan. Pengamatan lisimeter
dan penakar hujan dilakukan selama 14 MST.
5. Selain peubah-peubah tersebut, faktor lain yang diamati adalah tinggi tanaman,
jumlah anakan, dan lebar daun.
6. Panen dilakukan pada 15 MST, hanya tanaman padi yang ada di dalam
lisimeter saja yang dipanen. Kemudian ditimbang bobot segar tanaman (akar,
tajuk dan gabah).
Data yang digunakan merupakan data pengamatan lisimeter bulan Agustus
sampai dengan Desember 2009 pada lahan pertanaman padi sawah di Kebun
Percobaan Sawah Baru. Selain data tersebut, praktikum ini juga menggunakan
data pengamatan curah hujan harian dan faktor vegetatif tanaman.
BAB IV
PEMBAHASAN

Salah satu permasalahan dalam penyediaan air irigasi adalah pengaturan


dan pendistribusian atau operasi dan pemeliharaan. Secara teknis pengaturan dan
pendistribusian air irigasi dapat direncanakan dan dilakukan secara akurat dan
optimum berdasarkan teknologi yang ada.
Rata-rata total irigasi selama 12 minggu pada lahan pertanaman padi yang
tertinggi terjadi pada bedeng tanam kelompok 8, yaitu sebesar 343.43 mm, dan
diikuti oleh kelompok 7 sebesar 261,511 mm. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor yang mempengaruhi irigasi itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan
pengaturan dan pendistribusian air irigasi seperti kehilangan air di saluran primer,
sekunder maupun tersier atau penempatan inlet dan outlet.
Pada lahan pertanaman padi, inlet terletak tepat diantara bedengan
kelompok 7 dan 8. Hal inilah yang mengakibatkan total irigasi dari kelompok 7
dan 8 paling tinggi. Ini dibuktikan oleh rata-rata total irigasi yang semakin kecil
pada bedengan yang letaknya semakin jauh dari inlet. Seperti kelompok 6 dan 10
dengan total irigasi berturut-turut sebesar 102,142 mm dan 190,09 mm. Total
irigasi kelompok 6 adalah yang terendah dibandingkan 5 kelompok lainnya
dikarenakan arah aliran outlet menuju ke arah bedengan kelompok 6.
Air irigasi yang dialirkan ke lahan pertanian padi sawah tidak semuanya
dapat diserap oleh tanaman padi untuk pertumbuhannya. Salah satu hal yang
mengindikasikan hal tersebut adalah adanya run off yang terjadi di dalam
lisimeter yang dibuat di petakan lahan sawah. Total run off dari 5 kelompok
selama 12 minggu sangat bervariasi mulai dari 55 mm sampai 150 mm. Perbedaan
volume ron off tersebut dapat disebabkan oleh struktur tanah dan tinggi muka air
dalam lisimeter masing-masing kelompok berbeda, sehingga akan mempengaruhi
jumlah air yang merembes ke dalam tanah dan mengalir sebagai aliran run off.
Volume run off yang mengalir cukup banyak, hal tersebut mengindikasikan
kurang efektifnya pemakaian air untuk tanaman padi dalam petakan.
Evapotranspirasi dapat diketahui melalui gabungan nilai-nilai presipitasi
(curah hujan), irigasi dan run off. Penggunaan konsumtif tanaman merupakan
fungsi dari evapotranspirasi potensial tanaman.

Data hasil yang dibuat ke dalam bentuk grafik di atas memperlihatkan


bahwa nilai evapotranspirasi berbeda-beda pada setiap bedengan. Pengaruh irigasi
dan run off menyebabkan perbedaan total rataan evapotranspirasi itu. Dapat
dilihat adanya hubungan yang berbanding lurus antara evapotranspirasi dengan
irigasi. Akan tetapi, nilai evapotranspirasi berbanding terbalik dengan run off.
Rata- rata tinggi tanaman padi tidak terlalu berbeda antara tanaman dalam
lisimeter dengan tanaman contoh di dalam petakan. Namun pada minggu ke-5
hingga minggu terakhir pengamatan yaitu minggu ke-9 rata-rata pertumbuhan
tanaman contoh lebih tinggi daripada tanaman dalam lisimeter. Curah hujan pada
tanggal 11 september 2009 hingga 23 oktober 2009 lebih sedikit dari minggu
pengamatan selanjutnya, yaitu 16,7 mm.
Pada minggu pengamatan selanjutnya rata-rata curah hujan meningkat
yaitu 20,87 mm. Tanaman dalam lisimeter lebih banyak mendapatkan pasokan air
dari curah hujan dibandingkan aliran irigasi, karena aliran dalam lisimeter
terhalang oleh dinding lisimeter buatan (ember yang dibenamkan), sedangkan
petak lahan di luar lisimeter mendapatkan pasokan air dari curah hujan yang jatuh
ke lahan aliran irigasi yang mengalir keluar dan masuk melalui inlet dan outlet.
Curah air yang lebih tinggi pada minggu pengamatan ke-5 hingga minggu ke-9
menyebabkan rata-rata pertumbuhan tanaman pada petak sawah lebih tinggi dari
pada tanaman dalam lisimeter karena volume air yang dapat Banyaknya jumlah
air menentukan pertumbuhan tanaman karena air sangat diperlukan terutama pada
fase vegetatif.
Rata-rata jumlah anakan dari tanaman contoh pada petak di luar lisimeter
lebih banyak dari jumlah anakan didalam lisimeter. Pertambahan jumlah anakan
mengalami kenaikan yang cukup konstan dari pengamatan pada 1 MST hingga 3
MST. Namun pada 4 MST hingga 9 MST jumlah anakan baik yang dalam
lisimeter maupun tanaman contoh dalam petak sawah mengalami penurunan. Hal
tersebut berkorelasi negative dengan curah hujan yang terjadi pada 5 MST hingga
9 MST yang cenderung lebih tinggi dari curah hujan pada 1 MST hingga 5 MST.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil evapotranspirasi yang diperoleh dari pengamatan
dapat diketahui bahwa pemakaian air irigasi dalam praktikum ini masih kurang
efisien. Hal ini dikarenakan penyerapan air oleh tanaman kurang efektif yang
dapat dilihat dari tinggi tanaman dan jumlah anakan. Pada minggu akhir
pengamatan, jumlah anakan semakin menurun, padahal curah hujan saat itu
tinggi. Hasil pemakaian air yang kurang efisien memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan pemakaian air menjadi
tidak efisien serta cara mengatasinya.

5.2 Saran
Pada praktikum Efisiensi Pemakaian Air selanjutnya diharapkan sarana
dan prasarana yang digunakan bisa lebih baik dari yang telah ada sebelumnya. Hal
itu akan sangat membantu kelancaran praktikum serta membantu dalam mencapai
tujuan dari praktikum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jayyousi, O.R. 1999. Rehabilitation of Irrigation Distribution Systems: The


Case of Jericho City, Int.j. Water Resources Management 13, 117-132p.
Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Aqil, M, et al. 2008. Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Maros: Balai Penelitian
Tanaman Serealia.
Bustomi, F. 2003. Pandangan Petani Daerah Irigasi Glapan Timur Mengenai
Hak Atas Air Irigasi. Padang: Jurnal Ilmiah VISI, PSI-SDALP Universitas
Andalas.
Bustomi. 2000. Prinsip Dasar Analisis Kebutuhan Air dan Ketersediaan Air
Irigasi, Kursus Singkat Sisitem Sumber Daya Air Dalam Otonomi Daerah
II. Yogyakarta: Grup Sumber Daya Air Laboratorium Hidrolika, JTS-FT
UGM.
Dastane, N.G. 1974. Effective Rainfall in Irrigated Agriculture. Roma: FAO,
Irrigation and Drainage Paper No 25.
Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Standar Perencanaan Irigasi (KP. 01-05).
Bandung: Departemen Pekerjaan Umum, CV. Galang Persada.
Doorenbos, J. dan Pruitt W.O. 1984. Crop Water Requirements. Roma: FAO,
Irrigation and Drainage Paper no.24.
Dorrebons, J., and Pruitt, W. O. 1977. Guidelines for Predicting Crop water
Requirements. Rome: Food and Agriculture Organization od The United
Nations.
Hapsari, R.I., dkk. 1999. Studi Optimalisasi Pengaturan Air di Daerah
Pengaliran Sungai Kali Brantas Bagian Hulu dengan Paket Program
Water Resources Manajement Model (WRMM). Malang: Jurnal Teknik,
Universitas Brawijaya, Edisi April, 1999.
Hasan, M. 2005. Bangun Irigasi Dukung Ketahanan Pangan. Jakarta: Majalah
Air, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum.
Koehuan, J.E. 2003. Analisis Pemanfaatan dan Pengelolaan Air di Sistem Irigasi
Kalibawang Kabupaten Kulon Progo. Padang: Jurnal Ilmiah VISI, PSI-
SDALP Universitas Andalas.
Partowijoto, A. 2003. Peningkatan Produksi Sebagai Salah Satu Faktor
Ketahanan Pangan. Jakarta: Majalah Dunia Insinyur.
Runtunuwu, E. dan I. Las. 2007. Penelitian Agroklimat dalam Mendukung
Perencanaan Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan Pertanian 1(3):33-42.
Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian.
Runtunuwu, E., et al. 2006. Penyusunan Alat Bantu Pengambil Keputusan
Pendayagunaan Sumberdaya Iklim dan Air untuk Perencanaan Pertanian.
Laporan akhir penelitian. Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi.
Runtunuwu, E., et al. 2007. Pemutakhiran dan Pendayagunaan Sistem Informasi
Sumberdaya Iklim dan Air Nasional untuk Perencanaan Pertanian.
Laporan akhir penelitian. Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi.
Sigit Supadmo Arif. 2001. Penerapan Teknologi Tata Air, Peluang, Kendala dan
Prospek. Yogyakarta: Bahan Kursus Singkat Sistem Sumber Daya Air
dalam Otonomi Daerah ke III, Jurusan Teknik Sipil FT UGM.
Sudjarwadi. 1990. Teori dan Praktek Irigasi. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas
Ilmu Teknik, UGM.
Sudjarwadi. 1999. Konsep Dasar Pengelolaan Sumber Air di Satuan Wilayah
dengan Pendekatan Sistem. Yogyakarta: Kursus Singkat Sistem Sumber
Daya Air dalam Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada.
Teguh Marhendi. 2002. Uji Distribusi Normal Dan Gamma Terhadap Peluang
Penyimpangan Pemberian Air Irigasi. Purwokerto: Jurnal Ilmu-ilmu
Teknik Techno, Fakultas Teknik UMP.
http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/ basisdata/data_ba/banjir_kering_padi.html
http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/basisdata/data_ba/kering_padi.html
http://digilib.itb.ac.id/index.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-
sitikodari-27314&newlang=english&newlang=indonesian
http://jakarta.usembassy.gov/ptp/airbrs4.html
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/skripsi-lainnya/analisis-efisiensi-
penggunaan-faktor-faktor-produksi-pada-usahatani-jagung
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?
option=com_content&task=view&id=216&Itemid=41
http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=lisimeter
LAPORAN PRAKTIKUM
KULTUR AIR

Oleh :
Galvan Yudistira A24070040
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hidroponik merupakan aktivitas pertanian yang dijalankan dengan


menggunakan air sebagai media untuk menggantikan tanah. Hidroponik
mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan bertani secara
konvensional. Keunggulan hidroponik antara lain produksi tanaman yang
higienis, penggunaan nutrisi yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman,
pertumbuhan tanaman yang cepat, dan mudahnya perawatan tanaman.
Salah satu sistem hidroponik yang dapat diterapkan dalam budidaya
tanaman adalah kultur air (water culture). Kultur air merupakan salah satu
dari sistem hidroponik yang mana akar tanaman dicelupkan dalam larutan
hara secara bersusunan berimbang secara sinambung atau berkala (Steiner,
1997 dalam Notohadinegoro, 2006) Sistem ini merupakan sistem pasif
karena air tidak mengalir (stagnant). Sistem pasif mempunyai kelemahan
dalam menyerap nutrisi. Hal ini disebabkan karena tidak ada pergerakan
air dan pergerakan udara sehingga akar kekurangan energi dalam
menyerap unsur hara (Musfati et al, 2009).

1.2 Tujuan

Mengetahui pengaruh kultur air dalam budidaya beberapa tanaman


hortikultura diantaranya cabe, bayam dan padi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Diantara budidaya tanam tanpa tanah, kulur air adalah budidaya tanaman
yang menurut definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air
juga sering disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di
dalam kultur air, akar tanaman terendam dalam media cair yang merupakan
larutan hara tanamn, sementara bagian atas tanman ditunjang adanya lapisan
medium inert tipis yang memungkinkan tanaman tumbuh tegak (Resh, 1998
dalam Susila, 2009).
Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama
tentang hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat
atau media tanah (Woodward, 1699 dalam Susila, 2009). Teknik-teknik dasar
kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach dan Knopp pada tahun 1860
(Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan sebelumnya oleh
Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati bila
terendam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa disamping
mengandung udara air juga mengandung CO2 campuran gas mengandung 20% O2
(Hewit, 1966; Hewitt dan Smith, 1975 dalam Susila, 2009).
Aerasi adalah suatu hal yang esensial untuk aktivitas perakaran walaupun
hal ini sangat beragam antar spesies tanamn. Pengambilan unsur mineral akan
terjadi ketidakseimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya
akan terangsang bila konsentrasi oksigen di zona perakaran meningkat.
Akumulasi karbondioksida (CO2) di dalam larutan hara akan memperlambat
absorbsi sebagian besar unsur hara tanaman dan hara, sedangkan kekurangan
oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan abdsorbsi air (dalam periode tertentu)
akan tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara (Soffer, 1985 dalam
Susilla, 2009).
Selama lebih dari 300 tahun kultur air merupakan suatu sistem yang paling
sesuai untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanman hingga saat ini.
Beberapa hal yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki
larutan hara yang homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam
mempengaruhi sistem perakaran, serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur
hara yang tepat. Kultur air dikelompokkan ke dalam: (1) Aeroponik, (2) Nutrient
Film Tehnique (NFT), dan (3) Deep Flow Technique (DFT) yang semuanya
memiliki tanaman dengan akar yang terbuka (bare root plant) (Vestergaard, 1984
dalam Susila, 2009).
Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
langsung berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di
zone perakaran (2) kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang
memungkinkan tanaman tumbuh tegak. Manipulasi aerasi di zone perakaran pada
sistem kultur air menurut Resh (1998) dalam Susila (2009) dapat dilakukan
dengan pemberian udara kedalam larutan hara tanaman menggunakan pompa atau
kompresor. Disamping itu peningkatan aerasi di zone perakaran dapat pula
dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanamn dengan reservoar hara.
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991)
dalam Susila (2009) di dalam kultur air (NFT) paling sedikit 1/3 – ½ sistem
perakaran seharusnya tidak terendam larutan hara. Hal ini merupakan kunci
perakitan teknologi hidroponik sistem terapung dimana tidak lagi diperlukan
adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun kompresor guna
meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara.
Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman
sayuran telah dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al,
1985), Jepang (Taakura, 1985), Israel (Soffer, 1985), Unite Kingdom (Hurd,
1985), dan USA (Carpenter, 1985). Pengusahaan kultur air secara komersial di
Jepang mencapai kurang lebih 2000 greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit
kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri bak yang terbuat dari plastik
yang berukuran lebar 0,8 m dan panjang 3 m dengan kedalaman 6-8 cm. Tanman
diselipkan dalam lubang pada styrofoam. Larutan hara dipompakan ke dalam bal
selama 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara aerasi. Baik selalu
penuh dengan larutan hara dimana akar tanaman terendam didalamnya. Pipa
aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini
mempunyai lubang berdiameter 2mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh, 1998
dalam Susila, 2009).
Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen
dari Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson,
USA dengan pengembangan prototype Raceway, Raft atau Floating System untuk
produksi selada antara tahun 1981-1982. Dalam percobaan ini dapat dihasilkan
4,5 juta head selada per hektar per tahun (Lensen dan Collins, 1985 dalam Susila,
2009). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif lebih dalam 15-20
cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang lebih 3,5
m kubik atau setara dengan 3.600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan
pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji
efektifitas penggunaan alat sterillisasi larutan hara dengan UV-sterilizerterhadap
fungi patogeik maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam
greenhouse.
Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung
(floating raft system) telah digunakan di Florida sejak awal tahub 1980-an (Resh,
1998 dalam Susila, 2009). Sepuluh sampai 12 kali panen tanaman selada terutama
bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse yang berpendingin. Dengan jarak
tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta per acre per tahun selada
yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem komersial ini adalah tingginya
modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi yang diperlukan untuk
mengoprasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung ini sulit
diaplikasikan diberbagai tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan
non recirculating system telah dipelajari di Asian Vegetable Research Center
(AVRDC) di Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988;Kratky, 1993,
1996 dalam Susila, 2009). Penelitian hidroponik terapung untuk produksi tanaman
sayuran didalam greenhouse di Florida menunjukkan haasil yang positif (Fedunak
dan Tyson, 1997;Tyson et. Al, 1998 dalam Susila, 2009). Lima dari tujuh varietas
komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating
hydroponics di luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk
dipasarkan (Tyson et al., 1999 dalam Susila, 2009).
Beberapa unsur hara memeberikan fungsi tertentu bagi tanaman dan
memiliki gejala defisiensi atau kekuranga, dan keracunan atau kelebihan yang
berbeda-beda untuk masing-masing unsur, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Nitrogen
Fungsi Nitrogen
Komponen utama dari berbagai substansi penting dalam tanaman,
komponen pembentukan asam amino, komponen pembentukan klorofil
Gejala kekurangan N
Pada organ vegetatif : pertumbuhan tanaman lambat, tanaman tumbuh kerdil,
warna daun terlihat hijau muda pada daun tua, daun-daun yang lebih tua
menguning dan akhirnya kering, pucuk ranting mati dan pertumbuhannya
tidak simetris
Pada organ generatif : pembentukan bunga dan buah terlambat bahkan
terhenti
Gejala kelebihan N
Pada organ vegetatif : tanaman tampak terlalu subur, ukuran daun menjadi
lebih besar dan berwarna hijau tua, batang menjadi lunak dan berair
(sukulensi), sehingga mudah rebah dan terserang penyakit.
Pada organ generatif : pembentukan bunga tertunda, bunga yang sudah
terbentuk lebih mudah rontok, pembentukan dan pematangan buah terhambat.

2. Pospor
Fungsi P
Bagian asam nukleat, menyimpan enegi ATP dan ADP, merangsang
pembelahan sel, membantu proses asimilasi dan respirasi, berperan dalam
pertumbuhan akar
Gejala kekurangan P
Pada organ vegetatif : pertumbuhan tanaman lambat dan kerdil, perkembangan
akar terhambat, daun menjadi warna hijau tua, lebar kebiru-biruan dan
mengkilap yang tidak normal atau kusam.
Pada organ generatif : pembentukan dan pematangan buah terhambat,
perkembangan bentuk dan warna buah buruk, biji berkembang tidak normal.
Gejala kelebihan P : kulit buah keriput

3. Kalium
Fungsi K
Berperan dalam proses fotosintesis (pembentukan dan penutupan
stomata) dan respirasi, translokasi gula pada pembentukan pati dan protein,
membantu proses membuka dan menutup stomata, efisiensi penggunaan air,
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan HPT, memperkuat
jaringan dan organ tanaman sehingga tidak mudah rontok, memperbaiki
ukuran dan kuantitas buah pada masa generatif, menambah rasa manis buah.
Gejala kekurangan K
Pada organ vegetataif : daun terlihat lebih tua, batang dan cabang lemah serta
mudah rebah, muncul warna kuning di pinggir dan di ujung daun yang sudah
tua yang akhirnya mengering dan rontok, daun mengerut di mulai dari daun
tua, tunas muda dan ranting mati, terdapat bercak kuning cekung pada kulit
batang atau ranting
Pada organ generatif : kematangan buah terhambat, ukutan buah menjadi lebih
kecil dan berkeriput, kulit buah tipis dan kadang-kadang retak, buah mudah
rontok,warna buah tidak merata, buah tidak tahan disimpan lama, biji buah
menjadi kisut.
Gejala kelebihan K
Kualitas buah jelek dan berkulit kasar, pemasakan buah lama dan buah
menjadi lebih masam.

4. Sulfur
Fungsi S
Berperan dalam proses pembentukan protein, berperan dalam pembentukan
klorofil, meningkatkan ketahanan terhadap serangan jamur, membentuk
senyawa minyak bearoma.
Gejala kekurangan S
Pada organ vegetatif : daun muda berwarna hijau muda hingga kunig merata,
tanaman kurus kerdil atau perkembangannya sangat lambat.
Pada organ generatif : pematangan buah terhambat
Gejala kelebihan S : buah tumbuh tidak normal dan cepat matang.

5. Magnesium
Fungsi Mg
Merupakan unsur pembentuk warna hijau pada daun, regulator dalam
penyerapan unsure lain seperti P dan K, membantu translokasi pati dan
distribusi P di dalam tanaman, activator berbagai jenis enzim tanaman,
peningkatan kadar gula dan vitamin serta aroma buah.
Gejala kekurangan Mg
Pada organ vegetatif: di sekitar tulang daun tua berwarna kunig,
pangkal daun berwarna hijau gelap berbentuk huruf V dan bagian lainnya
berwarna kunig, pada keadaan kurang berat daun-daun mengalami klorosis
dan gugur.
Pada organ generatif : buah berkembang lambat dengan warna pucat.
Gejala kelebihan Mg : terdapat bercak-bercak kuning pada daun.

6. Kalsium
Fungsi Ca
Membentuk dinding sel yang kokoh, mencegah pecah buah, mencegah
terjadinya bentuk buah yang tidak sempurna, mencegah gugur bunga dan
bakal buah serta buah.
Gejala kekurangan Ca
Pada organ vegetatif : matinya titik tumbuh pada pucuk dan akar, daun muda
berwarna cokelat dan terus menggulung, daun terpilin dan mengerut.
Pada daun generatif : kuncup bunga dan buah ggugur premature, warna buah
tidak merata, buah retak-retak, tangkai buanga membusuk.
Gejala kelebihan Ca : buah keras dan tidak lentur.

7. Seng
Fungsi Zn
Bagian enzim yang berperan dalam sintesis asam indolasetat, membantu
kelancaran proses metabolisme untuk pertumbuhan dan system enzim
tanaman, berperan dalam produksi klorofil dan karbohidrat, aktif dalam proses
redoks pada proses fotosintesis.
Gejala kekurangan Zn
Pada organ vegetatif : daun muda pada pucuk ranting menunjukkan warna
belang hijau- kekuningan dan belang klorosis, tulang daun dan sekitarnya
berwarna hijau tua terutama pada bagian tajuk tanaman yang banyak
menerima sinar matahari, ukuran lebar dan panjang daun mengecil, helaian
daun lebih sempit dan ujung daun meruncing berwarna kunig dan klorotik,
pada daun yang menguning tersebut sering ditemukan bercak hijau tua, daun
pada ranting tumbuh kecil, tangkai daun dan ruas pada ranting memendek,
pertumbuhan daun yangmenguning berakibat kematian ranting, tanaman jeruk
kehilangan daun dan pucuk ranting meranggas, pembentukan warna kuning di
antara tulang daun pada daun muda kemudian diikuti kematian jaringan di
antara tulang daun.
Pada organ generatif : buah mengecil dan jumlah daun berkurang, warna buah
terlihat tidak sehat dan pucat, bentuk buah tidak normal, kandungan vitamin C
menurun, pembentukan bakal buah terhambat atau tanaman sama seakli tidak
dapat berbuah.
Gejala kelebihan Zn
Muncul bintik-bintik nekrosis atau sel mati dan berwarna hitam pada daun.
8. Besi
Fungsi Fe
Komponen pembentuk hema dan sitokrom yang berperan dalam
transfer electron dalam kloroplas dan mitokondria, terlibat dalam proses
pertumbuhan meristem atau titik tumbuh pada ujung akar, sebagai activator
dalam proseslkimia dalam tanaman seperti fotosintesis dan respirasi,
komponen pembentuk beberapa enzim tanaman, dibutuhkan dalam reduksi
nitrat dam sulfat, asimilasi N dan pada produksi ADP nitrogen, terlibat dalam
proses pertumbuhan meristem atau titik tumbuh pada ujung akar.
Gejala kekurangan Fe
Pada organ vegetatif : muncul warna kuning di antara tulang daun tetapi
tulang daunnya tetap berwarna hijau, selanjutnya warana daun menjadi putih,
pertumbuhan terhenti, daun gugur dan bagian pucuknya mulai mati, daun
muda menguning kecuali pada tulang daun dan mengecil serta tipis, daun
yang lebih ta tetap hijau, pada kondisi kekuranagn yang parah menimbulkan
kematian dahan dan ranting tumbuh roset atau melingkar.
Pada organ generatif : buah lebih kecil dan rsa lebih masam.
Gejala kelebihan Fe
Muncul bintik-bintik atau sel mati dan berwarna hitam pada daun.

9. Tembaga
Fungsi Cu
Aktivator enzim pada proses penyimpanan cadangan makanan, sebagai
katalisator dalam proses respirasi dan perombakan karbohidrat, berperan
dalam fiksasi nitrogen, berperan dalam pembentukan biji.
Gejala kekurangan Cu
Pada organ vegetatif : daun muda akan menguning,, pertumbuhanya tertekan
kemudian berubah menjadi putih, daun-daun tua gugur, pada batang jeruk
tumbuhtonjolan getah yang melepuh, tanaman menjadi kerdil, terjadi
pigmentasiyang buruk, daun berwarna hijjau kebiruan dan melintir serta
berbentuk tidak beraturan, kadang berbintik nekrosis pada titik tumbuh pucuk
sehingga pertumbuhan pucuk terhenti dan tidak tegar membuka, ujung daun
muda bertepi menguning, system perakaran terganggu dan terjadi kematian
pada rambut akar.
Pada organ generatif : pada kulit jeruk terlihat retak-retak dan bercak hitam
seperti luka mongering.
Gejala kelebihan Cu
Pertumbuhan terhambat yang disusul dengan gejala klorosis, antagonis
dengan Fe sehingga menampakkan gejala defisiensi Fe, tanaman kerdil serta
percabangan terbatas, perpanjangan akar tertekan dan pembentukan akar
lateral berkurang, akar terkadang menebal dan berwarna menjadi agak gelap.

10. Molibdenum

Fungsi Mo
Berperan dalam penyerapan unsure N dan fiksai N serta asimilasi N,
sebagai activator beberpa enzim, komponen system enzim nitrogenase dan
reduksi nitrat.

Gejala kekurangan Mo
Pada organ vegetatif : mirip dengan gejala defisiensi N, muncul warna kuning
di antara tulang daun, muncu bintik-bintik kuning pada daun jeruk yang
kemudian mongering, daun menggulung dan keriput serta mongering, daun
tua menunjukkan gejala nekrosis lebih dahulu yang dimulai dari antara tulang
daun kemudia di susuusl daun muda, terkadang tepi daun menggulunng serta
pertumbuha terhambat, terkadang tepi daun menjadi gosong.
Pqada organ generatif : pembungaan terhambat.
Gejala kelebihan Mo
Warna daun menjadi kuning keemasan.

11. Mangan
Fungsi Mn
Sebagai aktivator enzim yang berperan dalam proses perommbakan
karbohidrat dan metabolisme nitrogen, bersama dengan besi membantu
terbentuknya sel-sel klorofil, ikut berbepran dalam sintesis berbagai vitamin,
mengatur permeabilitas membran.
Gejala kekurangan Mn
Pada organ vegetatif : daun muda akan berwarna kuning tetapi tulan daunya
masih tetap berwarna hijau, daun tua akan menguning dengan tulang daun
hijau, daun akan gugur lebih cepat.
Pada organ generatif : bunga tidak normal dan fruitset buah rendah,
pertumbuhan buah lammbat, bentuk buah tidak sempurna.
Gejala kelebihan Mn
Daun tua tampak berbintik cokelat yang dikelilingi lingkaran nekrosis
kuning, penyebaran klorofil tidak merata, antagonis dengan Fe dan
menampakkan gejala-gejala defisiensi unsur Fe.

12. Boron

Fungsi B
Berperan dalam proses diferensiasi sel yang sedang tumbuh,
membantu sintesa protein, membantu metabolisme karbohidrat, mengatur
kebutuhan air dalam tanaman, membentuk serat dan biji, meningkatkan
pertumbuhan pollen dan pembentukan bunga dan buah, berperan dalam
absorpsi dan penyerapan Ca.
Gejala kekurangan B
Pada organ vegetatif : daun akan mengecil dan muncul bercak-bercak
kuning, pertumbuhan titik tumbuh abnormal, titik tumbuh di pucuk akan
mengerdil dan akhirnya mati sehingga cabang tanaman berhenti
memanjangkan diri, terjadi akumulasi ZPT pada titik tumbuh sehingga
daun dan ranting akan menjadi regas bila diremas, titik tumbuh pada ujung
akar membengkak dan warna akan berubah sehingga akhirnya mati,
bagian dalam tanaman akan sering mengalami disintegrasi dengan gejala
heart rot, daun memperlihatkan beberapa gejala seperti menebal dan regas
serta keriting kemudian layu, dahan dan ranting terbelah dan
mengeluarkan getah.
Pada organ generatif : bunga lebih cepat rontok, daging buah menjadi
keras, kulit buah menipis, buah mengecil.
Gejala kelebihan B
Pucuk daun menguning yang disusul dengan gejala nekrosisyang
berkembang menjadi bercak-bercak daun, daun tampak gosong dan gugur
sebelum waktunnya, gejala dimulai sebagai nekrosis dari ujung tepi daun
yang kemudian melebar hingga ke tulang daun utama, pada kondisi
kelebihan yang parah daun mengecil dengan pupus atau tuans berikutnya
pucat kecuali di sketar tulang daun, ranting kering dan mati.

13. Klor
Fungsi Cl
Diperlukan dalam proses reaksi fotosintesis terutama yang
berhubungan dengan evolusi oksigen, berkaitan langsunng dengan
pengaturan tekanan osmosis di dalam sel tanaman, esensial untuk
pertumbuhan tanaman,
Gejala kekurangan Cl
Pada organ vegetatif : dapat menghambat pertumbuhan kar, daun menjadi
layu dan berwarna kuning, muncul bercak-bercak kuning di permukaan
daun.
Pada organ generatif : pertumbuhan buah dan bunga terhambat.
Gejala kelebihan Cl
Terjadi penebalan dan penggulungan daun.

BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada 20 November 2009 s.d. 4


Desember 2009 di Kantor Kebun Percobaan Sawah Baru, Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan berupa tanaman padi, cabe, dan


bayam, air, serta busa. Persentase larutan hidroponik yang digunakan
adalah 2% amoniak, 3% nitrat, 27% Urea, 10% P2O5, 10% K2O, 0,05%
Cu, 0,1% Mg, 0,2% S, 0,05% B, 0,1% Fe, 0,05% Mn, 0,0005% Mo, dan
0,05% Zn. Alat yang digunakan adalah bak air, stereofoam, dan gunting.

3.3 Metode

Larutan stok terdiri dari 25 gram hara hidroponik yang dicampur


dengan 4 liter air, sehingga diperoleh konsentrasi 6,25 gram/liter. Larutan
stok tersebut kemudian diencerkan kembali sampai konsentrasi 1 gram/
liter. Larutan tersebut dituangkan ke dalam bak dan ditutup dengan
sterefoam yang telah dilubangi sebelumnya. Batang bawah tanaman padi,
cabe, dan bayam digulung dengan busa dan dimasukkan ke dalam
stereofoam yang telah dilubangi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil dari pengamatan terhadap kondisi tanaman padi, cabe,
dan bayam
Tabel1. Kondisi daun tanaman padi, cabe, dan bayam
Tanaman Gejala
Padi Daun berwarna kuning pada bagian tepi
Cabe Daun berwarna kuning pada bagian tepi
Bayam Daun berwarna kuning dari bagian tengah
Nitrogen di dalam tanah berasal dari bahan organik, hasil pengikatan N
dari udara oleh mikroba, pupuk, dan air hujan. Nitrogen yang dikandung tanah
pada umumnya rendah, sehingga harus selalu ditambahkan dalam bentuk pupuk
atau sumber lainnya pada setiap awal pertanaman. Selain rendah, Nitrogen di
dalam tanah mempunyai sifat yang dinamis (mudah berubah dari satu bentuk ke
bentuk lain seperti NH4 menjadi NO3, NO, N2O dan N2) dan mudah hilang tercuci
bersama air drainase. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya, pupuk N
dalam bentuk urea atau ZA harus diberikan 2-3 kali untuk satu musim tanam,
serta dimonitor tingkat kecukupannya dengan Bagan Warna Daun (Balitpa-IRRI).
Namun bila pupuk N yang digunakan adalah pupuk yang zat haranya tersedia
lambat seperti urea tablet/briket/granul, maka pemberiannya cukup satu kali untuk
satu kali musim tanam.
Tanaman yang cukup N akan tumbuh normal, daunnya berwarna hijau dan
kuat. Tanaman akan berbunga tepat pada waktunya, dan pertumbuhan akar tak
terbatas sehingga produksi tinggi. Tanaman yang kekurangan N dapat diperbaiki
dengan pemupukan N dalam berbagai bentuk seperti Urea, ZA, DAP, pupuk
majemuk NPK, dan pupuk organic seperti: kompos, azolla, pupuk hijau, dan
kotoran ternak. Pemberian pupuk N yang tepat jumlah, waktu, dan jenis, dapat
meningkatkan efisiensi biaya dan efisiensi pupuk sehingga tanaman akan tumbuh
secara optimal. Dengan pemberian N yang tepat (tidak berlebihan) diharapkan
pula tidak terjadi pencemaran lingkungan tanah dan air.
Berdasarkan praktikum yang kami lakukan tanaman padi tdan cabe tidak
kekurangan nitrogen. Hal ini terlihat dari tulang daun bagian tengah pada tanaman
tersebut masih hijau dan menandakan bahwa larutan stok tersebut mampu
mencukupi kebutuhan hara pada tanaman padi dan cabe. Namun, hal ini berbeda
dengan bayam. Daun bayam mengalami kekuningan pada bagian tulang daun.
Bayam kekurangan nitrogen karena bayam merupakan tanaman sukulen yang
membutuhkan banyak nitrogen. Oleh karena itu persentase amoniak, nitart, dan
urea pada tanaman bayam harus lebih banyak dibandingkan dengan tanaman lain
dan harus dalam bak yang terpisah dengan padi dan cabe.
Fosfor (P) dalam tanah terdiri dari P-anorganik dan P-organik yang berasal
dari bahan organik dan mineral yang mengandung P (apatit). Unsur P dalam tanah
tidak bergerak (immobile), P terikat oleh liat, bahan organik, serta oksida Fe dan
Al pada tanah yang pHnya rendah (tanah masam dengan pH 4-5,5) dan oleh Ca
pada tanah yang pH-nya tinggi (tanah netral dan alkalin dengan pH 7-8). Tanah
mineral yang disawahkan pada umumnya mempunyai pH netral antara 5,5-6,5
kecuali untuk tanah sawah bukaan baru, sehingga ketersediaan P tidak menjadi
masalah.
Akibat pemupukan fosfat (P) dalam jumlah besar dan kontinyu di tanah
sawah intensifikasi selama bertahun-tahun, telah terjadi timbunan (akumulasi)
fosfat di dalam tanah. P tanah yang terakumulasi ini dapat digunakan kembali
oleh tanaman apabila reaksi tanah mencapai kondisi optimal pelepasan P tersebut.
Fosfor berperan penting dalam sintesa protein, pembentukkan bunga, buah dan
biji serta mempercepat pemasakan.
Berdasarkan pengamatan tanaman tidak ada yang kekurangan P. Hal ini terlihat
dari tidak adanya daun yang memiliki strip berwarna ungu.Kecukupan P dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi subur, anakan banyak, pemasakan
tepat waktu, dan produksi tanaman tinggi.
Kebutuhan tanaman akan hara P dapat dipenuhi dari berbagai sumber
antara lain TSP, SP-36, DAP, P-alam, NPK yang pada umumnya diberikan
sekaligus pada awal tanam. Agar pupuk yang diberikan efisien, pupuk P harus
diberikan dengan cara, waktu, serta takaran yang tepat jumlah dan jenisnya.
Kalium dalam tanah mempunyai sifat yang mobile (mudah bergerak)
sehingga mudah hilang melalui proses pencucian atau terbawa arus pergerakan
air. Berdasarkan sifat tersebut, efisiensi pupuk K biasanya rendah, namun dapat
ditingkatkan dengan cara pemberian 2-3 kali dalam satu musim tanam. Kalium
dalam tanaman berfungsi mengendalikan proses fisiologis dan metabolisme sel,
meningkatkan daya tanah terhadap penyakit. Kekurangan hara kalium
menyebabkan tanaman kerdil, lemah (tidak tegak), proses pengangkutan hara,
pernafasan, dan fotosintesis terganggu, yang pada akhirnya mengurangi produksi.
Berdasarkan praktikum yang kami lakukan tanaman padi dan cabe
kekurangan kalium. Hal ini terlihat dari daun yang menguning dari bagian tepi.
Padi Kekurangan K karena padi membutuhkan banyak kalium yang tersimpan
dalam jerami. Oleh karena itu jerami padi yang dikembalikan ke tanah dapat
digunakan sebagai pupuk organik. Kadar K dalam jerami umumnya 1 % sehingga
dalam 5 ton jerami terdapat sekitar 50 kg K setara dengan pemupukan 50 kg
KCl/ha.
Pengembalian jerami dalam bentuk segar maupun dikomposkan di lahan
sawah harus digalakkan, karena selain mengandung unsur K juga mengandung
unsur hara lain seperti N, P, Ca, Mg dan unsur mikro, hormon pengatur tumbuh
serta asam-asam organik yang sangat berguna bagi tanaman. Penambahan jerami
dan bahan organik lain dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan
keragaman hayati/biologi tanah yang secara tidak langsung dapat meningkatkan
dan mengefisienkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman.
Tanaman cabe kekurangan kalium karena cabe membutuhkan kalium lebih
banyak untuk keberlangsungan hidupnya dan untuk pembentukan pertumbuhan
bunga dan buah cabe. Ketersediaan cabe yang cukup mampu membuat kulit buah
cabe bagus. Untuk menghindari defisiensi kalium pada padi dan cabe perlu
adanya penambahan konsentrasi K2O pada media.
Berdasarkan praktikum, kami tidak melihat adanya kekurangan unsure
hara mikro pada tanaman padi, cabe, dan bayam, sehingga dengan konsentrasi
tersebut mampu menyediakan unsur mikro dalam jumlah yang cukup.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kultur Air merupakan salah satu subsistem dari hidroponik yang mana
merupakan suatu teknik untuk memanfaatkan hara secara maksimal. Namun
dalam pelaksaannya perlu memerhatikan kecukupan hara untuk setiap jenis
tanaman. Kecukupan hara setiap jenis tanaman berbeda, sehingga perlu adanya
pemisahan bak antar masing- masing tanaman. Tanaman padi dan cabe banyak
menyerap kalium sehingga konsentrasi kalium dalam media harus tinggi,
sedangkan tanaman bayam banyak menyerap unsur nitrogen sehingga konsentrasi
nitrogen dalam media harus tinggi.

5.2 Saran
Sebaiknya perlu adanya percobaan dengan jumlah tanaman yang lebih
banyak, adanya ulangan pada setiap tanaman, dan bak air yang berbeda- beda
untuk setiap tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

Susila, Musfati, A, Rosadi, B, Oktafiani. 2009. Modifikasi Sistem


hidroponik Kultur Air (Water Culture) pada Tanaman Pak Choi (Brassica
chinensis L.). Skripsi Universitas Lampung
Notohadinegoro, Tejoyuwono. 2006. Konsep Sempit Lingkup Pertanian
Kendala Berat Bagi Pembangunan Nasional. Repro : Ilmu Tanah Universitas
Gadjah Mada
Anas D. 2009. Fertigasi pada Budidaya Tanaman Sayuran dalam
Greenhouse. Bogor. Bahan Ajar Dasar-Dasar Hortikulura AGH 342
LAPORAN PRAKTIKUM
DEFISIENSI HARA

Oleh :

Siti Khalimah A24070038

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan derah tropis. Di kawasan tropis banyak ditemukan
areal pertanian yang tingkat kesuburannya rendah. Pemupukan merupakan salah
satu jawaban pokok untuk menjadikan lahan pertanian yang subur dan lebih
produktif. Namun, perlu dilaksanakan dalam kerangka manajemen tanah dan
tanaman yang sesuai agar diperoleh hasil yang menguntungkan secara ekonomis
dan mendukung pertanian berkelanjutan.
Langkah-langkah optimasi tersebut dibutuhkan dalam segala keadaan,
apalagi dalam kondisi harga asupan yang tinggi seperti belakangan ini, termasuk
pupuk. Ketersediaan hara tertentu di masing-masing areal bisa berbeda dari satu
daerah dengan daerah lain dan dari waktu ke waktu. Hasil analisa kimia tanah
akan menjadi pedoman aplikasi hara di masing-masing areal atau lahan sehingga
tidak kurang ataupun berlebihan.
Tujuan dari strategi tingkat aplikasi hara ialah agar aplikasi pupuk
dilakukan pada tingkat yang paling ekonomis, optimalisasi hara bagi tanaman, dan
agronomist. Di sini faktor yang menentukan termasuk rasio harga tanaman yang
dihasilkan dan pupuk, dan juga tipe respon terhadap aplikasi hara di lahan
tertentu.

1.2 Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah melatih mahasiswa untuk mengetahui
komposisi hara yang tepat dan dampaknya terhadap pertumbuhan tanaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Padi, cabe, dan bayam merupakan komoditas penting dalam mendukung


ketahanan pangan nasional. Komoditas berperan sebagai sumber karbohidrat,
protein nabati, vitamin, dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi. Produksi padi,
cabe, dan bayam di Indonesia meningkat setiap tahun. Peningkatan produksi lebih
banyak terkait dengan peningkatan produksi yang merupakan dampak dari
penerapan teknologi budidaya (Adiyoga 1999). Budidaya tanaman adalah
manajemen dalam memadukan teknologi dan kemampuan (skill) petani dalam
memanfaatkan sumber daya, termasuk unsur hara yang diperlukan tanaman untuk
tumbuh dan menghasilkan produk dengan efisien dan menguntungkan (Sanchez
1976).
Menurut Thompson dan Knoxfield (1995) analisis kimia tanah dan daun
tanaman memberikan panduan untuk menentukan pemupukan yang tepat. Hal ini
dapat mencegah pemborosan akibat penggunaan komponen pupuk yang
sebenarnya sudah tersedia di tanah. Selama ini petani selalu memberikan
pemupukan NPK secara rutin tanpa mengetahui kandungan mineral tersebut di
tanah. Dalam dua dasawarsa terakhir, aplikasi teknologi penggunaan pupuk kimia
berkembang pesat dalam budidaya padi, cabe, dan bayam tinggi. Penggunaan
input agrokimia secara tidak terkendali menjadi penyebab turunnya produktivitas,
kualitas sumber daya, dan pencemaran lingkungan (Kruseman et al. 1993;
Stringer 1998). Berdasarkan hal tersebut, budidaya padi, bayam, dan cabe perlu
memperhatikan penggunaan input sesuai kebutuhan tanaman atau “feed what the
crop needs” tanpa menimbulkan dampak negatif bagi sumber daya dan
lingkungan.
Pemupukan yang efisien dapat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan sejarah
lahan pertanian sehingga analisis kimia tanah dan daun tanaman sangat penting
untuk dilakukan secara berkala. Analisis tanah memperkirakan kemampuan tanah
untuk menyediakan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman sedangkan analisis daun
mengukur kondisi ketersediaan nutrisi di tanaman itu sendiri. Kedua hal ini dapat
memberikan informasi tentang defisiensi nutrisi sebelum gejala defisiensi itu
tampak pada tanaman (Rideout, 2002).
Profil tanah yang normal lapisan tanah atas merupakan sumber unsur-
unsur hara makro dan hara mikro. Hara makro adalah unsur hara yang diperlukan
dalam jumlah banyak seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan
belerang. Hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah sedikit,
seperti mangan, boron, tembaga, besi, seng, serta molybdenum. Hara makro dan
hara mikro merupakan hara yang sangat esensial bagi pertumbuhan tanaman
(Soepardi, 1983).

Nitrogen
Nitrogen adalah hara utama tanaman dan merupakan komponen dari asam
amino, asam nukleid, nucleotides, klorofil, enzim, dan hormon. Ketersediaannya
di tanah dipengaruhi oleh keseimbangan antara input dan output dalam sistem
tanah. Unsur N mudah hilang dari tanah melalui volatilisasi atau perkolasi air
tanah, mudah berubah bentuk (mudah menguap), dan mudah pula diserap tanaman
(Shellp 1987; Mattason dan Schjoerring 2002; Abdolzadeh et al. 2008).
Nitrogen merupakan elemen pembatas pada hampir semua jenis tanah.
Oleh karena itu, pemberian pupuk Nitrogen yang tepat sangat penting untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya dalam sistem pertanian
intensif. Tanaman menyerap unsur N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat
(NO3-). Keberadaan NH4+ sangat dinamis karena mudah berubah bentuk menjadi
nitrat nitrogen (NO3-) akibat proses nitrifikasi oleh organisme tanah (Mattason dan
Schjoerring 2002; Setyorini dan Ladiyani 2008). Kekurangan N mengakibatkan
pertumbuhan tanaman terhambat dan kerdil, daun kuning, serta mempengaruhi

Fosfor
Fosfor (P) adalah hara utama tanaman yang penting untuk perkembangan
akar, anakan, berbunga awal, dan pematangan. Fosfor tidak mudah bergerak
(immobile) dalam tanah, tetapi mobile dalam tanaman. Hara P di tanah tersedia
dalam jumlah cukup bagi tanaman, tetapi karena sifatnya dinamis, bergantung
pada reaksi tanah, sebagian terikat atau terfiksasi oleh oksida dan mineral liat
membentuk Al, Fe, dan Ca- P atau oleh bahan organik (Tisdale et al. 1985; Wien
1997). Kekurangan P menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat akibat
terganggunya perkembangan sel dan akar tanaman, metabolisme karbohidrat, dan
transfer energi (Marshner 1986; Delvian 2006).

Kalium
Kalium (K) adalah hara tanaman utama yang dibutuhkan untuk
meningkatkan perkembangan akar dan vigor tanaman, ketahanan terhadap
kerebahan dan hama atau penyakit. Kalium mobile dalam tanaman dan sangat
mobile di dalam tanah. Kalium seringkali merupakan unsur pembatas untuk
memperoleh hasil padi yang tinggi setelah nitrogen (N). Cadangan K dalam tanah
cukup banyak. Pada jerami padi, kandungan K mencapai 80% (Tandon dan
Kimmo 1993; Makarim 2007). Meski hanya sebagian kecil K tersedia yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman, hara K mudah bergerak, terlindi, dan terikat oleh
permukaan koloid tanah (Wien 1997; Barker dan Pilbean 2006).
Gejala kahat K adalah tanaman hijau gelap dan kerdil dengan margin daun
cokelat kekuningan dan atau dengan margin dan ujung daun tua nekrotik, gejala
kahat K pada daun dapat menyerupai gejala penyakit tungro, namun tungro
biasanya terjadi pada spot-spot yang tersebar (tidak menyeluruh) dan lebih nyata
warna daun kuning dan oranye dan tanaman kerdil; gejala pada daun nampak pada
fase pertumbuhan lanjut, akar tidak sehat dan menghitam, kerebahan dan
kehampaan gabah tinggi, bobot gabah lebih ringan. Kahat K terjadi di daerah
pertanaman yang intensif yang mendapat pemupukan N dan P tinggi. K seringkali
kurang pada tanah berpasir atau bertekstur kasar, tanah.

Kalsium
Sebagian besar tanah mengandung cukup kalsium untuk menyokong
pertumbuhan tanaman dengan baik. Unsur tersebut tersedia di tanah dan
berkurang akibat intensifnya pengelolaan lahan untuk produksi tanaman (Suwandi
1982, 1984).Namun, tanah masam akibat curah hujan yang tinggi dan sering
dipupuk dengan kapur untuk menaikkan pH, kalsium tidak dapat ditranslokasikan
dalam floem dengan baik. Akibatnya kekahatan sering terlihat lebih jelas. Daerah
meristematik pada akar, batang, dan daun yang selnya aktif membelah merupakan
bagian yang paling peka. Hal ini terjadi karena kalsium dibutuhkan untuk
pembentukan lamella tengah baru pada lempeng sel, yang tumbuh diantara dua sel
anak. Jaringan yang mengerut dan berubah bentuk juga disebabkan karena
kekurangan kalsium dan jaringan meristematik mati lebih awal. Marshner (1986)
menambahkan bahwa gejala tanaman yang kekurangan Ca yaitu terhambatnya
pertumbuhan pucuk (titik tumbuh), kemudian pertumbuhan tanaman kerdil dan
mati.

Magnesium
Hara Mg merupakan unsur makro sekunder yang sering terlupakan
pengelolaannya dalam usaha tani. Unsur tersebut tersedia di tanah dan berkurang
akibat intensifnya pengelolaan lahan untuk produksi tanaman (Suwandi 1982,
1984). Tanpa magnesium, gejala yang pertama terlihat adalah klorosis pada daun
tua. Biasanya klorosis ini tampak pada diantara urat- urat daun, karena sel- sel
mesofil di dekat ikatan pembuluh mempertahankan klorofil lebih lama daripada
sel parenkim. Tisdale et al. (1985) menambahkan kekurangan Mg pada tanaman
mengganggu unsur penyusun klorofil daun, yang ditandai oleh warna kuning di
antara tulang-tulang daun yang menua Tisdale et al. 1985; Tandon dan Kimmo
1993; Wien 1997).

Mangan
Mangan diserap dalam bentuk ion Mn2+. Seperti hara mikro lainnya, Mn
dianggap dapat diserap dalam bentuk kompleks khelat dan pemupukan Mn sering
disemprotkan lewat daun. Mn dalam tanaman tidak dapat bergerak atau beralih
tempat dari logam yang satu ke organ lain yang membutuhkan. Mangaan terdapat
dalam tanah berbentuk senyawa oksida, karbonat dan silikat dengan nama
pyrolusit (MnO2), manganit (MnO(OH)), rhodochrosit (MnCO3) dan rhodoinit
(MnSiO3). Mn umumnya terdapat dalam batuan primer, terutama dalam bahan
ferro magnesium. Mn dilepaskan dari batuan karena proses pelapukan batuan.
Kadar Mn dalam tanah berkisar antara 300 smpai 2000 ppm. Bentuk Mn dapat
berupa kation Mn2+ atau mangan oksida, baik bervalensi dua maupun valensi
empat.
Penggenangan dan pengeringan yang berarti reduksi dan oksidasi pada
tanah berpengaruh terhadap valensi Mn. Mn merupakan penyusun ribosom dan
juga mengaktifkan polimerase, sintesis protein, karbohidrat. Berperan sebagai
activator bagi sejumlah enzim utama dalam siklus krebs, dibutuhkan untuk fungsi
fotosintetik yang normal dalam kloroplas,ada indikasi dibutuhkan dalam sintesis
klorofil. Defisiensi unsur Mn antara lain pada cabe dan bayam interveinal
chlorosis pada daun muda mirip kekahatan Fe tetapi lebih banyak menyebar
sampai ke daun yang lebih tua, pada padi bercak-bercak warna keabu-abuan
sampai kecoklatan.

Boron
Boron dalam tanah terutama sebagai asam borat (H2BO3) dan kadarnya
berkisar antara 7-80 ppm. Boron dalam tanah umumnya berupa ion borat hidrat
B(OH)4-. Boron yang tersedia untuk tanaman hanya sekitar 5%dari kadar total
boron dalam tanah. Boron ditransportasikan dari larutan tanah ke akar tanaman
melalui proses aliran masa dan difusi. Selain itu, boron sering terdapat dalam
bentuk senyawa organik. Boron juga banyak terjerap dalam kisi mineral lempung
melalui proses substitusi isomorfik dengan Al3+ dan Si 4+
. Mineral dalam tanah
yang mengandung boron antara lain turmalin, kernit, kolamit, uleksit, dan aksinat.
Boron diikat kuat oleh mineral tanah, terutama seskuioksida (Al2O3 + Fe2O3).
Fungsi boron dalam tanaman antara lain berperanan dalam metabolisme
asam nukleat, karbohidrat, protein, fenol dan auksin. Di samping itu boron juga
berperan dalam pembelahan, pemanjangan dan diferensiasi sel, permeabilitas
membran, dan perkecambahan serbuk sari. Gejal defisiensi hara mikro ini antara
lain : pertumbuhan terhambat pada jaringan meristematik (pucuk akar), mati
pucuk (die back), mobilitas rendah, buah yang sedang berkembang sngat rentan,
mudah terserang penyakit.
Tembaga
Tembaga (Cu) diserap dalam bentuk ion Cu++ dan mungkin dapat diserap
dalam bentuk senyaewa kompleks organik, misalnya Cu-EDTA (Cu-ethilen
diamine tetra acetate acid) dan Cu-DTPA (Cu diethilen triamine penta acetate
acid). Dalam getah tanaman bik dalam xylem maupun floem hampir semua Cu
membentuk kompleks senyawa dengan asam amino. Cu dalam akar tanaman dan
dalam xylem > 99% dalam bentuk kompleks.
Dalam tanah, Cu berbentuk senyawa dengan S, O, CO3 dan SiO4
misalnya kalkosit (Cu2S), kovelit (CuS), kalkopirit (CuFeS2), borinit (Cu5FeS4),
luvigit (Cu3AsS4), tetrahidrit [(Cu,Fe)12SO4S3)], kufirit (Cu2O), sinorit (CuO),
malasit [Cu2(OH)2CO3], adirit [(Cu3(OH)2(CO3)], brosanit [Cu4(OH)6SO4].
Kebanyakan Cu terdapat dalam kloroplas (>50%) dan diikat oleh plastosianin.
Senyawa ini mempunyai berat molekul sekitar 10.000 dan masing-masing
molekul mengandung satu atom Cu. Hara mikro Cu berpengaruh pafda klorofil,
karotenoid, plastokuinon dan plastosianin.
Fungsi dan peranan Cu antara lain : mengaktifkan enzim sitokrom-
oksidase, askorbit-oksidase, asam butirat-fenolase dan laktase. Berperan dalam
metabolisme protein dan karbohidrat, berperan terhadap perkembangan tanaman
generatif, berperan terhadap fiksasi N secara simbiotis dan penyusunan
lignin.Adapun gejala defisiensi / kekurangan Cu antara lain : pembungaan dan
pembuahan terganggu, warna daun muda kuning dan kerdil, daun-daun lemah,
layu dan pucuk mongering serta batang dan tangkai daun lemah.

Besi
Fe adalah hara esensial yang dibutuhkan tanaman untuk mendukung
transportasi elektron dalam proses fotosintesis. Fe merupakan akseptor elektron
penting dalam reaksi redoks dan aktivator untuk beberapa enzim. Kekurangan Fe
akan menghambat absorpsi K. Fe tidak mobile, baik dalam tanaman maupun
tanah. Setelah kahat unsur utama N, P, K, S, dan Zn, kahat Fe merupakan urutan
penting berikutnya yang membatasi hasil tanaman padi. Aplikasinya harus
berimbang agar terjamin pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif.
Unsur mikro ini diserap dalam bentuk ion ferri (Fe3+) atau pun ferro
(Fe2+). Fe dapat diserap dalam bentuk khelat (ikatan logam dengan bahan
organik). Mineral Fe antara lain olivin (Mg, Fe)2SiO, pirit, siderit (FeCO3), gutit
(FeOOH), magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3) dan ilmenit (FeTiO3) Besi dapat
juga diserap dalam bentuk khelat, sehingga pupuk Fe dibuat dalam bentuk khelat.
Khelat Fe yang biasa digunakan adalah Fe-EDTA, Fe-DTPA dan khelat yang lain.
Fe dalam tanaman sekitar 80% yang terdapat dalam kloroplas atau sitoplasma.
Penyerapan Fe lewat daun dianggap lebih cepat dibandingkan dengan penyerapan
lewat akar, terutama pada tanaman yang mengalami defisiensi Fe. Dengan
demikian pemupukan lewat daun sering diduga lebih ekonomis dan efisien.
Fungsi Fe antara lain sebagai penyusun klorofil, protein, enzim, dan berperanan
dalam perkembangan kloroplas. Sitokrom merupakan enzim yang mengandung Fe
porfirin. Kerja katalase dan peroksidase adalah Catalase : H2O + H2O O2 +
2H2O dan Peroksidase : AH2 + H2O A + H2O.
Gejala kahat Fe adalah terhambatnya pembentukan klorofil, penyusunan
protein menjadi tidak sempurna, kenaikan kadar asam amino pada daun dan
penurunan jumlah ribosom secara drastic, penurunan kadar pigmen dan protein
antar tulang daun menguning, mengakibatkan pengurangan aktivitas semua
enzim, dan daun yang muncul mengalami klorosis. Seluruh daun dan bagian
tanaman menguning (khlorotik). Produksi bahan kering dan hasil juga dapat
menurun. Kahat Fe tidak dijumpai pada sawah tergenang yang sedikit asam,
namun banyak dijumpai pada sawah dengan tekstur tanah berpasir, kalkareous
dan bereaksi alkalin. Kahat Fe sering dijumpai pada lahan kering dengan tanah
bereaksi netral, kalkareous dan alkalin (basa). Sumber Pupuk Fe yang biasa
digunakan adalah larutan fero sulfat (20-30 % Fe), fero amonium sulfat (14 %
Fe), dan chelate besi (5-14 %).

Seng
Seng atau Zinc (Zn) adalah hara utama penting yang dibutuhkan tanaman
untuk beberapa proses biokimia dalam tanaman jagung ketan, termasuk produksi
klorofil dan integritas membran. Oleh karenanya kahat Zn mempengaruhi warna
dan turgor tanaman. Zn hanya sedikit mobil dalam tanaman dan sangat mobil di
dalam tanah.
Zn diserap oleh tanaman dalam bentuk ion Zn2+ dan dalam tanah alkalis
mungkin diserap dalam bentuk monovalen Zn(OH)+. Di samping itu, Zn diserap
dalm bentuk kompleks khelat, misalnya Zn-EDTA. Seperti unsur mikro lain, Zn
dapat diserap lewat daun. Kadar Zn dalam tanah berkisar antara 16-300 ppm,
sedangkan kadar Zn dalam tanaman berkisar antara 20-70 ppm.
Zn membatasi pertumbuhan tanaman, suplai Zn tanah rendah atau kondisi
tanah buruk (misalnya, selalu kebanjiran) menghalangi serapan Zn oleh tanaman.
Pada kasus tertentu, Zn perlu diberikan sesuai kebutuhan. Hara lainnya perlu
diberikan dalam jumlah seimbang untuk menjamin respon tanaman yang baik
terhadap pupuk Zn dan pencapaian pertumbuhan tanaman yang sehat dan
produktif.
Gangguan akibat kekahatan seng, meliputi daun kerdil karena
terhambatnya pertumbuhan daun muda dan ruas batang. Tepi daun jagung sering
tampak mengerut dan berubah bentuk dan klorosis di antar urat daun.

Molibdenum
Molibdenum diserap dalam bentuk ion Mo4-. Variasi antara titik kritis
dengan toksis relatif besar. Bila tanaman terlalu tinggi, selain toksis bagi tanaman
juga berbahaya bagi hewan yang memakannya. Hal ini agak berbeda dengan sifat
hara mikro yang lain. Pada daun kapas, kadar Mo sering sekitar 1500 ppm.
Umumnya tanah mineral cukup mengandung Mo.
Fungsi Mo dalam tanaman adalah mengaktifkan enzim nitrogenase, nitrat
reduktase dan xantine oksidase. Gejala yang timbul karena kekurangan Mo
hampir menyerupai kekurangan N. Kekurangan Molibdenum dapat menghambat
pertumbuhan tanaman, daun menjadi pucat dan mati dan pembentukan bunga
terlambat. Gejala defisiensi Mo dimulai dari daun tengah dan daun bawah. Daun
menjadi kering kelayuan, tepi daun menggulung dan daun umumnya sempit. Bila
defisiensi berat, maka lamina hanya terbentuk sedikit sehingga kelihatan tulang-
tulang daun lebih dominan.
Klor
Klor merupakan unsur yang diserap dalam bentuk ion Cl- oleh akar
tanaman dan dapat diserap pula berupa gas atau larutan oleh bagian atas tanaman,
misalnya daun. Kadar Cl dalam tanaman sekitar 2000-20.000 ppm berat tanaman
kering. Kadar Cl yang terbaik pada tanaman adalah antara 340-1200 ppm dan
dianggap masih dalam kisaran hara mikro. Klor dalam tanah tidak diikat oleh
mineral, sehingga sangat mobile dan mudah tercuci oleh air drainase. Sumber Cl
sering berasal dari air hujan, oleh karena itu, hara Cl kebanyakan bukan
menimbulkan defisiensi, tetapi justru menimbulkan masalah keracunan tanaman.
Klor berfungsi sebagai pemindah hara tanaman, meningkatkan osmose sel,
mencegah kehilangan air yang tidak seimbang, memperbaiki penyerapan ion
lain,untuk tanaman kelapa dan kelapa sawit dianggap hara makro yang penting.
Juga berperan dalam fotosistem II dari proses fotosintesis, khususnya dalam
evolusi oksigen.
Gejala kekahatan klorin pada daun meliputi, menurunnya pertumbuhan,
pelayuan, dan munculnya bercak nekrosis. Akhirnya daun sering berwarna coklat
lembaga. Akar menjadi pendek, tetapi tebal atau membengkak di bagian ujunya.
Kekahatan klorida jarang terjadi di alam karena kelarutan dan ketersediaannya
yang tinggi dalam tanah.

Tingkat ketersediaan unsur hara bagi tanaman bergantung pada banyak


faktor, antara lain status hara dalam tanah dengan keragaman jenis dan sifatnya,
ketersediaan air (irigasi), jenis tanaman yang diusahakan, dan pola pemupukan
sebelumnya (Sanchez 1976; Tisdale et al. 1985).
Kekurangan unsur hara pada tanaman sering termanifestasikan pada daun
(Marshner 1986; Delvian 2006). Upaya untuk mengatasi kekurangan unsur hara
adalah pemupukan dengan pupuk anorganik atau organik sesuai kebutuhan
tanaman. Masalah umum dalam pemupukan adalah rendahnya efisiensi serapan
unsur hara oleh tanaman. Efisiensi pemupukan N dan K tergolong rendah,
berkisar antara 30-40% (Setyorini dan Ladiyani 2008). Efisiensi pemupukan P
oleh tanaman juga rendah, berkisar 15-20% (Suwandi 1988; Hilman dan Suwandi
1989). Teknologi pemupukan N, P, dan K spesifik lokasi untuk meningkatkan
efisiensi, produktivitas, dan mutu hasil sayuran dataran tinggi (tomat dan kentang)
diungkapkan oleh Hilman et al. (1992) serta Hilman dan Suwandi (1987a, 1987b,
1989). Teknologi cabai di dataran rendah dilaporkan oleh Suwandi dan Hilman
(1992a, 1992b). Penerapan teknologi penggunaan pupuk yang tepat, baik jenis,
takaran maupun aplikasinya, dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N, P, dan
K hingga 40-50%.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada 20 November 2009 s.d. 4 Desember 2009
di Kebun Percobaan Sawah Baru, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan tanaman yang digunakan berupa tanaman padi, cabe, dan bayam,
air, serta busa. Persentase larutan hidroponik yang digunakan adalah 2% amoniak,
3% nitrat, 27% Urea, 10% P2O5, 10% K2O, 0,05% Cu, 0,1% Mg, 0,2% S, 0,05%
B, 0,1% Fe, 0,05% Mn, 0,0005% Mo, dan 0,05% Zn. Alat yang digunakan adalah
bak air, stereofoam, dan gunting.

3.3 Metode
Larutan stok terdiri dari 25 gram hara hidroponik yang dicampur dengan 4
liter air, sehingga diperoleh konsentrasi 6,25 gram/liter. Larutan stok tersebut
kemudian diencerkan kembali sampai konsentrasi 1 gram/ liter. Larutan tersebut
dituangkan ke dalam bak dan ditutup dengan sterefoam yang telah dilubangi
sebelumnya. Batang bawah tanaman padi, cabe, dan bayam digulung dengan busa
dan dimasukkan ke dalam stereofoam yang telah dilubangi.
Pengamatan dilakukan terhadap kondisi tanaman. Kondisi tanaman yang
dilihat adalah gejala defisiensi hara, cukup hara, atau kelebihan hara.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada kultur air tanaman padi,


cabai dan bayam yang telah ditanam, hasil yang diperoleh yaitu daun baik pada
tanaman padi, cabai dan bayam terlihat berwarna hijau kekuningan bahkan ada
yang sudah menguning. Pertumbuahan ketiga tanaman tersebut juga sedikit
lambat dan terlihat kecil. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga tanaman
yang ditanam dalam kultur air mengalami gejala defisiensi unsur nitrogen (N).
Berdasarkan literatur, tanaman yang kekurangan unsur N gejalanya :
pertumbuhan lambat/kerdil, daun hijau kekuningan, daun sempit, pendek dan
tegak, daun-daun tua cepat menguning dan mati.
Nitrogen adalah unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman dalam
jumlah yang banyak. Sumber nitrogen dapat berasal dari air hujan dan melalui
penambahan pupuk buatan seperti Urea atau ZA. Zat lemas diserap oleh akar
tanaman dalam bentuk NO3- dan NH4+ , protoplasma yang hidup terdiri dari
kira-kira 25% bahan kering dengan komposisi 50-50% zat-zat putih telur dan 5-
10% lipoiden dan persenyawaan lainnya yang mengandung N. Kadar zat lemas
dari protoplasma kira-kira antara 2-2,5%. Dengan adanya pemungutan hasil
tanaman secara besar-besaran maka banyak sekali zat lemas yang hilang. Nitrogen
di dalam tanaman merupakan unsur yang sangat penting untuk pembentukan
protein, daun-daunan dan berbagai persenyawaan organik lainnya. Nitrogen
ditinjau dari berbagai sudut, mempunyai pengaruh positif sebagai berikut :
Besar pengaruhnya dalam menaikkan potensi pembentukan daun-daun dan
ranting. Mempunyai pengaruh positif terhadap kadar protein pada rumput dan
tanaman makanan ternak dan lainnya.
Bila terjadi kelebihan N, tanaman akan tampak terlalu subur, ukuran daun
akan menjadi lebih besar, batang menjadi lunak dan berair (sekulensi) sehingga
mudah rebah dan mudah diserang penyakit. Kelebihan juga dapat menyebabkan
penundaan pembentukan bunga, bahkan mudah lebih mudah rontok dan
pemasakan buah cenderung terlambat. Biarpun ada hubungan yang erat antara
pemberian N dengan sejumlah bahan kering yang dihasilkan, tidak berarti bahwa
pemberian zat N itu harus sebanyak-banyaknya sebab pemberian zat N yang
berlebih akan dapat membahayakan. Memang benar pemberian N akan
menghasilkan banyak bahan hijau berupa daun dan batang tetapi pemberian N
yang banyak dapat memperlambat masaknya biji.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tanaman padi, cabai, dan bayam
yang ditanam dengan kultur air dapat disimpulkan bahwa ketiga tanaman tersebut
mengalami gejala defisiensi unsure makro yaitu nitrogen (N). Ketiga tanaman
tersebut pertumbuhannya lambat sehingga terlihat kecil, pada daun-daunnya pun
terlihat berwarna hijau kekuningan bahkan ada yang kuning. Untuk mengatasi
masalah tersebut perlu ditambahkan N berupa pupuk Urea ataupun ZA pada
larutan kultur.

5.2. Saran
Saran untuk praktikum ini adalah jumlah tanaman dan media untuk
pengamatan defisiensi hara ditambah agar seluruh praktikan dapat mengamati
gejala-gejala defisiensi yang ada sehingga mengerti dan dapatmembedakan
defisiensi masing-masing unsure hara pada tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

Abdolzadeh, A., K. Shima, H. Lambers, and K. Chiba. 2008. Change in uptake,


transport and accumulation of ions in Nerium oleander (rosbebay) as
affected by different nitrogen sources and salinity. Ann. Bot. 102(5): 735-
746.

Adiyoga, W. 1999. Pola pertumbuhan produksi beberapa jenis sayuran di


Indonesia. J. Hort. 9(2): 258-265.

Baker, A.V. and D.J. Pilbean. 2006. Hunger sign in crops. In Handbook of Plants
Nutrition 117. CRC Press.

Delvian. 2006. Faktor penting bagi pertumbuhan pohon dalam pengembangan


hutan tanaman industri. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara. 21 hlm.

Kruseman, G., H. Hengsdijk, and R. Ruben. 1993. Disentangling the concept of


sustainability. Conceptual definitions, analytical framework and operation
techniques in sustainable land use. DLV Report No. 2, CABO-DLO,
Wageningen, the Netherlands.

Makarim, A.K. 2007. Aplikasi Ekofisiologi dalam Sistem Produksi Padi


Berkelanjutan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Fisiologi
Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 74 hlm.

Marshner, H. 1986. Mineral Nutrition in Higher Plants. Academic Press Inc.,


London. p.195-265 & 391-407.

Mattason, M. and J.K. Schjoerring. 2002. Dynamic and steady-atate responses of


inorganic nitrogen pools and NH3 exchange in root nitrogen supply. Plant
Physiol. 128(2): 742-750.
Rideout, J. W. 2002. Soil Facts, Soil and Plant Analysis for Apple Trees. North
Carolina Cooperative Extension Service. Carolina. US

Sanchez, P.A. 1976. Properties and management of soils in the tropics.


Department of Soil Science, North Carolina State University. A. Wiley-
Interscience Publication. John Wiley and Sons, New York, London,
Sydney, Toronto.

Setyorini, D. dan R.W. Ladiyani. 2008. Cara cepat menguji status hara dan
kemasaman tanah. www.litbang.deptan.go.id. [8 Januari 2009].

Shellp, B.J. 1987. Plant characteristics and nutrient composition and mobility of
brocoli supplied with NH4+, NP3 or NH4NO3. J. Exp. Bot.
http://jxb.oxfordjournals.org. [18 Desember 2009]

Siswanto, D. dan Ekowati, G. 2009. Evaluasi Kualitas Buah dan Hara Makro
Daun Apel Rome Beauty di Bumiaji, Batu, Malang.
http://fisika.brawijaya.ac.id. [18 Januari 2009].

Stringer, R. 1998. Environmental policy and Australia’s horticulture sector. CIES


Policy Discussion Paper. Univ. Adelaide, Australia.
http://papers.ssrn.com. [18 Januari 2009].

Suwandi. 1982. Effects of dolomite application on tomato, potato and bean grown
in highland areas of Lembang. Buletin Penelitian Hortikultura 9(4):7- 16.

Suwandi. 1984. Pengaruh sisa pemupukan magnesium pada tanaman tomat,


kentang, dan kacang jogo. Buletin Penelitian Hortikultura 11(2): 17-26.

Suwandi. 1988. Effect of mulching and planting distance of Talaut variety of


chinnese cabbage. Buletin Penelitian Hortikultura 16(2): 26-33.
Suwandi. 2009. Menakar Kebutuhan Hara Tanaman Dalam Pengembangan
Inovasi Budidaya Sayuran Berkelanjutan. http://www.pustaka-deptan.go.id. [18
Januari 2009].

Suwandi and Y. Hilman. 1988. Effect of liming and NP fertilizer application on


Sangihe varieties of chinnese cabbage. Buletin Penelitian Hortikultura
17(1): 37-40.

Tandon, H.L.S. and I.J. Kimmo. 1993. Balanced Fertilizers Use. Its practical
importance and guidelines for agriculture in the Asia-Pacific Region.
United Nation, New York. 49 pp.

Thompson, W. And Knoxfield. 1995. Orchad Nutrition 2, Soil and Leaf Analysis.
Agriculture Notes. State of Victoria, Department of Primary Industries

Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.
Fourth Ed. Macmillan Publ. Co., New York. 754 pp.

Wien, H.C. 1997. The Physiology of Vegetable Crops. Department of Fruit and
Vegetables Science, Cornell University of Thaca, New York. CAB
International.

You might also like