You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini ketidak
adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik
karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjjukkan Renmdahnya kesadaran
manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama
makhluk Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin
tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang
bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karen
konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan
hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk
memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi
ketidak adilan yang terjadi di indonesia.

B. Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakan diatas maka, kita dapat
rumuskan masalah konsep keadilan
1. Bagaimanakah konsep keadilan yang ideal ?
2. Sejauh mana keadilan diterapkan di Indonesia ?
3. Siapa sajakah orang yang diperlakukan adil dan diperlakukan tidak adil ?
BAB II
PEMBAHASAN

Tidak dapat dipungkiri, Al-qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan


manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu
dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan
yang mudah diperoleh secara gamblang itu.
Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas Al-
qur’an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang keadilan. Kebetulan persepsi
semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai
Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu
sudah sepantasnya Al-qur’an yang menjadi firmanNya kalamu 'l-Lah juga menjadi
sumber pemikiran tentang keadilan?
Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa
berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang
sangat kompleks dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran
dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada
itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas?
Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis
kaum skolastik mutakallimin Muslim sejak delapan abad terakhir ini.
Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan
segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata.
Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan
dalam ukuran sangat massif. Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai
sebuah paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan,
dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti
sosialisme, komunisme, nasionalisme, dan liberalisme. Namun, sebenarnya
kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak akan
menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang
disederhanakan, justru akan menambah parah keadaan. Kaum Muslim akan semakin
menjauhi keharusan mencari pemecahan yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk
jangka panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang tidak akan
berdayaguna efektif dalam jangka panjang.
Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak perolehan
warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk
memiliki alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan,
dengan menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis yang
menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti
dengan kemauan mendirikan negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam
dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa
hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para
pemimpin mereka sendiri dimana-mana. Rendahnya produktivitas individual sebagai
akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat yang sudah
berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan
perombakan total seperti diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet
beberapa waktu lalu.
Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau
masalah keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun
ada persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan
dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan
kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat
manusia di masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi
juga oleh paham yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang
sama dengan yang menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan
pengembangannya secara baik dan tuntas, bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.
Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang
harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam Al-
qur’an . Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian
dicoba pula untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang
dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok
kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung
dalam hati.
A. Pengertian Keadilan
Al-qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah
yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk
menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl.
Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Al-qur’an dalam
pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja
kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
Allah SWT. Berfirman :

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan


dalam Al-qur’an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak
memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar
keadilan. Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi
keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari
terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara
langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat
tempat dalam Al-qur’an , sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan
Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama
al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan Al-qur’an agar
manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang
menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesame
warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu
menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-qur’an. Demikian pula,
wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan
warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan
masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi
juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-
urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan
keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Hal ini sesuai denga firman
Allah SWT, sebagai berikut :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 8)

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan


atau sisi keadilan oleh Al-qur’an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan
peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah
posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda,
wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil
qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi
sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif
maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak
berwatak straktural. Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-qur’an
itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau
dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan
dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari
perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam Al-
qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari
revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentudengan
segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan
ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu.
Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini: bahwa sifat dasar
wawasan keadilan yang dikembangkan Al-qur’an ternyata bercorak mekanistik, kurang
bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan
itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.
Untuk mengakses dan mendownload tugas kuliah ini selengkapnya
anda harus berstatus Paid Member

You might also like