You are on page 1of 22

BAB VIII

MANAJEMEN RANTAI PASOK


(SUPPLY CHAIN MANAGEMENT-SCM)

A. Latar Belakang Munculnya SCM


Munculnya SCM dilatar belakangi oleh 2 hal pokok, yaitu:
1. Praktek manajemen logistik tradisional yang bersifat adversarial
pada era modern ini sudah tidak relevan lagi, karena tidak dapat
menciptakan keunggulan kompetitif
2. Perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat dengan
persaingan yang semakin ketat
Perkembangan lingkungan industri yang dinamis pada era global
seperti sekarang ini menjadi pemicu bagi banyak organisasi perusahaan
untuk menggali potensi yang dimiliki, serta mengidentifikasi faktor kunci
sukses untuk unggul dalam persaingan yang semakin kompetitif. Teknologi
yang juga berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan untuk diterapkan
dalam iklim persaingan. Usaha-usaha yang dilakukan pada akhirnya
diarahkan untuk memberikan produk terbaik kepada konsumen.
Konteks produk yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen
dalam pengertian manajemen produksi dan operasi adalah kombinasi produk
barang dan jasa. Industri manufaktur tidak akan dapat bersaing apabila
produk yang ditawarkan murni hanya barang, dan industri jasa juga tidak
memiliki daya tarik apabila yang ditawarkan kepada konsumen murni berupa
layanan. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan produk terbaik kepada
konsumen meliputi kombinasi di antara keduanya, yaitu barang dan jasa
dalam porsi masing-masing yang ideal menurut perusahaan. Menyajikan
produk dalam arti luas tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang bagi
sistem produksi operasi yang harus dijalankan perusahaan. Mulai dari
mengidentifikasi selera konsumen sampai dengan mengupayakan seluruh
VIII-2

kebutuhan input dari pemasok untuk memproduksi dan mendistribusikan


produk tersebut sesuai dengan selera konsumen yang dibidik.
Pada dasarnya konsumen mengharapkan dapat memperoleh produk
yang memiliki manfaat pada tingkat harga yang dapat diterima. Untuk
mewujudkan keinginan konsumen tersebut maka setiap perusahaan berusaha
secara optimal untuk menggunakan seluruh asset dan kemampuan yang
dimiliki untuk memberikan value terhadap harapan konsumen. Implementasi
upaya ini tentunya menimbulkan konsekuensi biaya yang berbeda di setiap
perusahaan termasuk para pesaingnya. Untuk dapat menawarkan produk
yang menarik dengan tingkat harga yang bersaing, setiap perusahaan harus
berusaha menekan atau mereduksi seluruh biaya tanpa mengurangi kualitas
produk maupun standar yang sudah ditetapkan.
Salah satu upaya untuk mereduksi biaya tersebut adalah melalui
optimalisasi distribusi material dari pemasok, aliran material dalam proses
produksi sampai dengan distribusi produk ke tangan konsumen. Distribusi
yang optimal dalam hal ini dapat dicapai melalui penerapan konsep Supply
Chain Management (SCM). SCM sesungguhnya bukan merupakan suatu
konsep yang baru. Menurut Jebarus (2001) SCM merupakan pengembangan
lebih lanjut dari manajemen distribusi produk untuk memenuhi permintaan
konsumen. Konsep ini menekankan pada pola terpadu yang menyangkut
proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga kepada
konsumen. Dari sini aktivitas antara supplier hingga konsumen akhir adalah
dalam satu kesatuan tanpa sekat pembatas yang besar, sehingga mekanisme
informasi antara berbagai elemen tersebut berlangsung secara transparan.
SCM merupakan suatu konsep menyangkut pola pendistribusian produk
yang mampu menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara optimal.
Pola baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian, jadual produksi, dan
logistik
Gambar 8.1 memberikan ilustrasi sebuah Supply Chain (SC) yang
sederhana. Sebuah SC akan memiliki komponen-komponen yang biasanya
VIII-3

disebut channel. Semua chanel bekerja untuk memenuhi kebutuhan


konsumen akhir.

Gambar 8.1. Supply Chain yang disederhanakan

Pada kenyataannya struktur SC jauh lebih kompleks dari gambar 8.1.


Berbagai kemungkinan di lapangan bisa terjadi, antara lain:
1. Sebuah pemasok mungkin sekaligus adalah industri manufaktur,
dengan kata lain sebuah SC bisa saja melibatkan sejumlah industri
manufaktur dalam satu rantai hulu ke hilir
2. SC tidak selalu merupakan rantai lurus
3. Sebuah industri manufaktur bisa memiliki ratusan bahkan ribuan
pemasok
4. Produk-produk yang dihasilkan oleh sebuah industri mungkin
didistribusikan oleh beberapa pusat distribusi yang melayani ratusan
bahkan ribuan distributor, retailer, pedagang kecil, dan sebagainya.
Setiap chanel dalam SC akan memiliki aktivitas-aktivitas yang saling
mendukung. Secara keseluruhan aktivitas-aktivitas tersebut meliputi
perancangan produk, pengadaan material, produksi, pengendalian persediaan,
distribusi/transportasi, penyimpanan/pergudangan, dukungan pelayanan
kepada pelanggan, proses pembayaran, dan sebagainya. Pada tingkatan yang
VIII-4

lebih strategis ada aktivitas-aktivitas seperti pemilihan pemasok, penentuan


lokasi pabrik, gudang, pusat distribusi, dan sebagainya.

Praktek tradisional, semua aktivitas tersebut dilakukan tanpa atau


dengan sedikit koordinasi. Istilah cross fungsional team misalnya tidak
banyak diaplikasikan dalam manajemen SC tradisional. Pola hubungan
manajemen logistik tradisional masih bersifat adversarial, dalam arti pola
hubungannya masih mementingkan pihak-pihak secara individual tidak
mengacu pada kinerja keseluruhan pihak yang menjadi pembentuk sebuah
SC, contohnya antara lain:
Hubungan antara pemasok dengan perusahaan yang disuplainya hanya
terbatas pada transaksi jual beli. Pola-pola negosiasi hanya mementingkan
pihak-pihak secara individual. Pemasok ingin secepatnya memindahkan atau
menjual produknya secepat dan sebanyak mungkin dengan harga yang tinggi,
sementara perusahaan yang disuplainya menginginkan harga yang murah dan
pengiriman yang cepat dan tepat.

B. Perubahan Lingkungan Bisnis


Lingkungan Bisnis senantiasa berubah dan perubahan tersebut
semakin lama semakin cepat. Akselerasi perubahan ini disebabkan
berkembangnya secara cepat faktor-faktor penting, antara lain:
1. Tuntutan konsumen yang semakin kritis. Konsumen menjadi
semakin rumit dan terlalu banyak menuntut. Mereka menuntut harga
murah, mutu tinggi untuk setiap produk yang ditawarkan, penyerahan
tepat waktu, dan sesuai dengan selera mereka.
2. Infrastruktur telekomunikasi, informasi, transportasi, dan
perbankan yang semakin canggih memungkinkan berkembangnya model
baru dalam aliran material/produk.
3. Daur hidup produk. Daur hidup produk sangat pendek seiring
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pasar.
VIII-5

4. Kesadaran konsumen akan pentingnya aspek sosial dan lingkungan


dalam kehidupan, menuntut industri manufaktur memasukkan konsep-
konsep ramah lingkungan mulai dari proses perancangan produk, proses
produksi maupun proses distribusinya.
5. Globalisasi dan perubahan peta ekonomi dunia ke arah
meningkatnya kemampuan ekonomi negara-negara dunia ketiga, telah
menciptakan banyak paradigma baru dalam dunia bisnis, dan salah satu
paradigma penting adalah meningkatnya persaingan antara produk jasa di
pasaran.

C. Definisi Supply Chain Management


Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional dan
perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply
Chain Management (SCM) merupakan salah satu konsep dalam rangka
merespon persoalan tersebut.
Supply Chain Management (SCM) menekankan pada pola terpadu
menyangkut proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga
pada konsumen akhir. Dalam konsep SCM ingin diperlihatkan bahwa
rangkaian aktivitas antara supplier hingga konsumen akhir adalah dalam satu
kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme informasi antara berbagai
komponen tersebut berlangsung secara transparan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Supply Chain Management
(SCM) adalah suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk
yang mampu menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara
tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal
produksi, dan logistik.
Ada pula yang mengatakan bahwa Supply Chain Management (SCM)
adalah suatu metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna
akhir, dimana di dalamnya tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier
of raw materials, the manufacturing units, warehouses, transporters,
retailers, and finally selling.
VIII-6

Dari 2 definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus utama


dari SCM adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Semua
supply chain pada hakekatnya memperebutkan pelanggan dari produk atau
jasa yang ditawarkan. Semua pihak yang berada dalam satu rantai supply
chain harus bekerja sama satu dengan lainnya semaksimal mungkin untuk
meningkatkan pelayanan dengan harga murah, berkualitas, dan tepat
pengirimannya.
Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan
antar individu perusahaan. Kelemahan praktek tradisional yang bersifat
adversarial adalah terfokusnya ukuran keberhasilan dan aktivitas pada
bagian-bagian kecil dari supply chain yang justru sering berlawanan dengan
tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau konsumen
akhir.

D. Integrated Supply Chain


Semua perusahaan memerlukan sesuatu yang sangat ekonomis guna
melakukan kegiatan memproduksi untuk memperoleh keuntungan. Untuk
mencapai keinginan tersebut, kelancaran arus material yang diperlukan pasti
melibatkan lebih dari satu rantai pasokan. Faktor kritis dalam rantai pasokan
yang efisien adalah pembelian, karena tugas pembeliaan untuk menyeleksi
pemasok (berikut materialnya) dan kemudian membangun hubungan yang
saling menguntungkan. Tanpa pemasok yang baik dan tanpa pembelian yang
memadai, rantai pasokan tidak akan memiliki peran untuk kondisi pasar pada
masa seperti sekarang ini.
SCM diperlukan oleh perusahaan yang sudah mengarah pada
pengelolaan dengan sistem just in time, karena konsep just in time sangat
menekankan ketepatan waktu kedatangan material dari pemasok sampai ke
tangan konsumen sesuai dengan yang ditetapkan. Artinya, kedisiplinan dan
komitmen seluruh mata rantai harus benar-benar dilaksanakan, karena sistem
just in time tidak menekankan pada persediaan atau zero inventory. Sehingga
apabila terjadi penyimpangan pada salah satu mata rantai saja, maka akan
VIII-7

mengganggu pasokan material secara keseluruhan dan menghambat


kelancaran tugas dari mata rantai yang lain, karena tidak adanya persediaan.
Untuk kondisi di Indonesia sistem just in time akan berhasil kalau mata
rantai terkait berada dalam satu cluster.
Bagi perusahaan yang masih mementingkan persediaan karena
karakteristik material (misalnya faktor musiman) atau sebagai langkah
antisipatif untuk menyiasati lingkungan industri yang tidak stabil, SCM juga
diperlukan. Peran SCM untuk jenis perusahaan ini adalah menekan biaya
persediaan, karena persediaan yang tidak optimal akan menimbulkan dampak
biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya backorder (apabila terjadi
stockout).
Baik perusahaan yang menerapkan sistem just in time maupun yang
masih mementingkan persediaan, SCM yang dilaksankan akan lebih optimal
apabila diterapkan secara terintegrasi oleh seluruh mata rantai pasokan yang
terkait.
Menerapkan konsep SCM secara menyeluruh dan terintegrasi tentu
bukan merupakan hal yang mudah dilakukan perusahaan. Kesulitan akan
banyak dialami dalam kaitan dengan lingkungan eksternal yaitu hubungan
dengan supplier dan distributor serta konsumen akhir. Hal ini dapat terjadi
karena lingkungan eksternal relatif berada di luar kendali perusahaan,
sehingga perlu upaya kedua belah pihak untuk mencapai komitmen menjadi
mata rantai yang saling berkoordinasi untuk menyalurkan seluruh kebutuhan
material sesuai yang dibutuhkan.
Sekilas konsep SCM memiliki kesamaan dengan manajemen logistik,
karena keduanya mengelola arus barang dan jasa melalui pembelian,
pergerakan, penyimpanan, adminitrasi, dan penyaluran barang. Selain itu
baik SCM maupun manajemen logistik juga memiliki kesamaan dalam hal
peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan barang. Perbedaan
SCM dengan manajemen logistik terletak pada orientasinya. SCM
mengusahakan hubungan dan koordinasi antar proses dari perusahaan-
perusahaan lain dalam business pipelines, mulai dari suppliers sampai
VIII-8

kepada pelanggan juga mengutamakan arus barang antar perusahaan, sejak


paling hulu sampai paling hilir. Sedangkan manajemen logistik berorientasi
pada perencanaan dan kerangka kerja yang menghasilkan rencana tunggal
arus barang dan informasi di seluruh perusahaan, jadi lebih terfokus pada
pengelolaan termasuk arus barang dalam perusahaan.
Dalam perkembangannya, SCM telah banyak mengalami evolusi
yang dapat digambarkan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut (Indrajit dkk,
2002):
1. Tahap 1, dalam tahap 1 ada semacam kesendirian dan ketidak-
saling-tergantungan fungsi produksi dan fungsi logistik. Mereka
menjalankan program-program sendiri yang terlepas satu sama lain (in-
complete isolation). Contohnya adalah bagian produksi yang hanya
memikirkan bagaimana membuat barang sesuai dengan mutu dan yang
telah ditetapkan, dan sama sekali tidak mau ikut memikirkan
penumpukan inventory dan penggunaan ruang gudang yang
menimbulkan biaya persediaan yaitu biaya simpan.
2. Tahap 2, dalam tahap 2 perusahaan sudah mulai menyadari
pentingnya integrasi perencanaan walaupun dalam bidang yang masih
terbatas, yaitu di antara fungsi internal yang paling berdekatan, misalnya
produksi dengan inventory control dan functional integration yang lain.
3. Tahap 3, dalam tahap 3 integrasi perencanaan dan pengawasan atas
semua fungsi yang terkait dalam satu perusahan (internal integration).
4. Tahap 4, dalam tahap 4 menggambarkan tahap sebenarnya dari
suplly chain integration, yaitu integrasi total dalam konsep perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan (manajemen) yang telah dicapai dalam
tahap 3 dan diteruskan ke upstreams yaitu suppliers dan downsterams
sampai ke pelanggan.
Evolusi SCM yang telah mencapai tahap keempat tersebut
menunjukkan suatu integrasi yang menyeluruh di antara seluruh komponen
terkait sehingga menuntut adanya transparansi arus informasi. Strategi
kemitraan dapat digunakan untuk mewujudkan kelancaran arus pasokan
VIII-9

material dari pemasok sampai distributor hingga ke tangan konsumen.


Dengan startegi kemitraan maka perlu mengembangkan komunikasi di
antara semua pihak terkait, sehingga komunikasi arus informasi maupun data
yang dibutuhkan akan lebih lancar.

E. Manfaat SCM
Secara umum penerapan konsep SCM dalam perusahaan akan
memberikan manfaat yaitu (Jebarus, 2001) kepuasan pelanggan,
meningkatkan pendapatan, menurunnya biaya, pemanfaatan asset yang
semakin tinggi, peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar.
1. Kepuasan pelanggan. Konsumen atau pengguna produk merupakan
target utama dari aktivitas proses produksi setiap produk yang dihasilkan
perusahaan. Konsumen atau pengguna yang dimaksud dalam konteks ini
tentunya konsumen yang setia dalam jangka waktu yang panjang. Untuk
menjadikan konsumen setia, maka terlebih dahulu konsumen harus puas
dengan pelayanan yang disampaikan oleh perusahaan.
2. Meningkatkan pendapatan. Semakin banyak konsumen yang setia
dan menjadi mitra perusahaan berarti akan turut pula meningkatkan
pendapatan perusahaan, sehingga produk-produk yang dihasilkan
perusahaan tidak akan ‘terbuang’ percuma, karena diminati konsumen.
3. Menurunnya biaya. Pengintegrasian aliran produk dari perusahan
kepada konsumen akhir berarti pula mengurangi biaya-biaya pada jalur
distribusi.
4. Pemanfaatan asset semakin tinggi. Aset terutama faktor manusia
akan semakin terlatih dan terampil baik dari segi pengetahuan maupun
keterampilan. Tenaga manusia akan mampu memberdayakan
penggunaan teknologi tinggi sebagaimana yang dituntut dalam
pelaksanaan SCM.
5. Peningkatan laba. Dengan semakin meningkatnya jumlah
konsumen yang setia dan menjadi pengguna produk, pada gilirannya
akan meningkatkan laba perusahaan.
VIII-10

6. Perusahaan semakin besar. Perusahaan yang mendapat keuntungan


dari segi proses distribusi produknya lambat laun akan menjadi besar,
dan tumbuh lebih kuat.
Keenam manfaat yang sudah dijelaskan seperti tersebut di atas
merupakan manfaat tidak langsung. Secara umum, manfaat langsung dari
penerapan SCM bagi perusahaan adalah :
1. SCM secara fisik dapat mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi
dan mengantarkannya kepada konsumen akhir. Manfaat ini menekankan
pada fungsi produksi dan operasi dalam sebuah perusahaan. Dalam
fungsi ini dilakukan penggunaan dari seluruh sumber daya yang dimilki
dalam sebuah proses transformasi yang terkendali, untuk memberikan
nilai pada produk yang dihasilkan sesuai dengan kebijaksanaan
perusahaan dan mendistribusikannya kepada konsumen yang dibidik.
2. SCM berfungsi sebagai mediasi pasar, yaitu memastikan apa yang
dipasok oleh rantai suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau
konsumen akhir tersebut. Dalam hal ini fungsi pemasaran yang akan
berperan. Melalui pelaksanaan SCM, pemasaran dapat mengidentifikasi
produk dengan karakteristik yang diminati konsumen. Selanjutnya fungsi
ini harus mampu mengidentifikasi seluruh atribut produk yang
diharapkan konsumen tersebut dan mengkomunikasikan kepada
perancang produk. Apabila seleksi rancangan produk sudah dilakukan
dan dilakukan pengujian maka produk dapat diproduksi. Sehingga SCM
akan berperan dalam memberikan manfaat seperti point 1 tersebut.
Ditinjau dari segi ongkos, masing-masing fungsi di atas berkaitan
dengan ongkos, yaitu:
1. Fungsi pertama berkaitan dengan ongkos-ongkos fisik, yakni
ongkos material, ongkos penyimpanan, ongkos produksi, ongkos
transportasi, dan sebagainya.
2. Fungsi kedua berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar,
perancangan produk, serta biaya-biaya akibat terpenuhinya aspirasi
konsumen oleh produk yang disediakan oleh rantai supply chain.
VIII-11

Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos markdown, yakni penurunan


harga produk yang tidak laku dengan harga normal, atau ongkos
kekurangan supply yang dinamakan dengan stockout cost.

F. Prinsip-prinsip SCM
Prinsip terpenting yang harus diperhatikan dalam sinkronisasi
aktivitas-aktivitas sebuah supply chain adalah menciptakan hasil yang lebih
besar, tidak hanya bagi tiap anggota rantai tetapi bagi keseluruhan sistem.
Kesuksesan implementasi dari prinsip ini membutuhkan perubahan-
perubahan pada tingkatan strategis maupun taktis. Sebaliknya kegagalan
biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen mendefinisikan
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-
komponen supply chain yang kompleks ke arah yang sama.
Anderson, Britt & Frave (1997) memberikan 7 prinsip SCM untuk
membantu para manajer dalam merumuskan strategi pelaksanaan SCM,
yaitu:
1. Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.
2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani
kebutuhan pelanggan yang berbeda.
3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut
sebagai dasar dalam perencanaan kebutuhan (demand planning) sehingga
bisa menghasilkan ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang
optimal.
4. Diferensiasi produk pada titik yang lebih dekat
dengan konsumen dan percepat konversinya di sepanjang rantai supply.
5. Kelola sumber-sumber supply secara strategis untuk
mengurangi ongkos kepemilikan dari material maupun jasa.
6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan
rantai supply yang mendukung pengambilan keputusan berhirarki serta
berikan gambaran yang jelas dari aliran produk, jasa, maupun informasi.
VIII-12

7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply


chain secara keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan
kepada konsumen akhir.

G. Persyaratan Penerapan SCM


Sebagai suatu konsep yang melibatkan banyak pihak sebagai mata
rantai, SCM menuntut beberapa persyaratan yang tidak hanya terkait dengan
material, tetapi juga informasi. Syarat utama dari penerapan SCM tentunya
dukungan manajemen. Manajemen semua level dari strategis sampai
operasional harus memberikan dukungan mulai dari proses perencanaan,
pengorganisasian, koordinasi, pelaksanaan, sampai pengendalian.
Selain dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat yang
melibatkan faktor eksternal yaitu pemasok dan distributor. Sebelum
membangun komitmen dan melaksanakan ‘kontrak kerja’ dengan para
pemasok, maka perusahaan terlebih dahulu harus melaksanakan evaluasi
pemasok. Sebagi catatan, melaksanakan evaluasi pemasok untuk pemasok
yang ‘bermain’ dalam pasar yang monopoli tentunya sulit dan tidak bisa
dilaksanakan, sehingga yang perlu dilakukan untuk kondisi ini adalah
membangun kemitraan dalam suatu kesepakatan.
Evaluasi pemasok dilakukan apabila untuk material yang sama dapat
diperoleh lebih dari satu alternatif pemasok. Setidaknya ada tiga kriteria
dalam melakukan evaluasi pemasok, yaitu: keadaan umum pemasok,
keadaan pelayanan, dan keadaan material. Beberapa contoh indikator dari
setiap kriteria evaluasi pemasok adalah sebagai berikut (Gaspersz, 2002):
1. Keadaan umum pemasok
a. Ukuran atau kapasitas produksi
b. Kondisi finansial
c. Kondisi operasional
d. Fasilitas riset dan desain
e. Lokasi geografis
f. Hubungan dagang antar industri
VIII-13

2. Keadaan pelayanan
a. Waktu penyerahan material
b. Kondisi kedatangan material
c. Kuantitas pemesanan yang ditolak
d. Penanganan keluhan dari pembeli
e. Bantuan teknik yang diberikan
f. Informasi harga yang diberikan
3. Keadaan material
a. Kualitas material
b. Keseragaman material
c. Jaminan dari pemasok
d. Keadaan pengepakan (pembungkusan)
Dari ketiga kriteria tersebut, bobot (berdasarkan tingkat kepentingan)
yang terbesar diberikan pada kriteria keadaan material, karena keadaan
material akan mempengaruhi kinerja fungsi produksi dan operasi khususnya
kualitas produk. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk setiap indikator dan
dihitung total skor-nya.
Syarat berikutnya adalah pemilihan distributor sebagai perantara
produk perusahaan sampai ke tangan konsumen akhir. Intensitas saluran
distribusi yang ideal bagi suatu perusahaan adalah bagaimana menyajikan
jenis produk secara luas dalam pemuasan kebutuhan konsumen
(Sitaniapessy, 2001). Penggunaan distributor yang terlalu sedkit dapat
membatasi penyebaran jenis produk dalam aktivitas pemasaran. Sebaliknya,
penggunaan distributor yang terlalu banyak dapat mengganggu brand image
dalam posisinya berkompetisi. Satu kunci yang penting dalam mengelola
saluran distribusi adalah menentukan berapa banyak saluran distribusi yang
dikembangkan serta membentuk suatu pola kemitraan yang menunjang
pemasaran suatu produk dalam area pemasaran tertentu.
Model penghematan usaha oleh distributor dapat digambarkan
sebagai berikut (Kotler, 1997):
VIII-14

Error: Reference source not found


produsen distributor konsumen

Gambar 8.2. Model penghematan usaha oleh distributor

Satu lagi persyaratan yang penting dalam penerapan SCM adalah


transparansi arus informasi. Untuk dapt mendukung arus informasi yang
transparan dari seluruh mata rantai yang terlibat dalam SCM diperlukan
komitmen (dapat dicapai melalui kemitraan dan kesepakatan) disertai dengan
ketersediaan database.
Konsep database yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya
kumpulan data yang dikelola dan dikendalikan secara terpusat, melainkan
data tersebut harus memenuhi lima kriteria sebagai berikut :
1. Ketersediaan, kapanpun diperlukan harus tersedia disertai dengan
kemudahan akses.
2. Kemampuan dipergunakan untuk berbagi kebutuhan terkait
3. Kemampuan data untuk selalu berkembang dalam konteks yang
efektif
4. Jumlah data tidak tergantung kondisi fisik penyimpan data
(penyimpan data yang harus menyesuaikan jumlah data)
5. Konsistensi dan validitas data
H. Strategi Dasar SCM
Strategi yang paling mendasar dalam SCM berkaitan erat dengan
konfigurasi fisik maupun manajemennya. Dalam rancangan struktur supply
chain, mulai dari konfigurasi jaringan antar chanel sampai pada konfigurasi
fasilitas di dalam sebuah chanel tidak bisa dilepaskan dari karakteristik
produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply chain.
Dalam SCM karakteristik produk ini dibedakan ke dalam 2 jenis yang
didasarkan pada berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya, jumlah
variasinya, stabilitas permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat markdown,
dan sebagainya. Kedua jenis tersebut adalah sebagai berikut:
VIII-15

1. Produk fungsional, biasanya diperlukan untuk memenuhi


kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti garam, gula, sabun, minyak goreng,
buku tulis, ballpoint, dan sebagainya.
2. Produk inovatif, yaitu produk yang permintaannya biasanya sangat
tidak stabil dan sulit diramalkan. Produk inovatif ini biasanya muncul
sebagai respon atas perubahan pasar yang cepat atau sebagai akibat dari
kemampuan teknologi dan inovasi yang bagus. Contoh dari produk
inovatif ini adalah komputer yang perubahan rancangannya sudah dalam
hitungan minggu atau bahkan hari. Ini merupakan contoh produk inovatif
yang dipacu oleh kemampuan perusahaan melakukan inovasi (innovation
driven). Contoh lain adalah pakaian yang modelnya cepat berubah dan ini
lebih dipacu oleh kebutuhan pasar yang mengisyaratkan perubahan
model (market driven).
Untuk lebih jelasnya pembagian produk sesuai dengan
karakteristiknya dapat dilihat pada tabel 8.1.

Tabel 8.1. Produk fungsional vs invovatif


Karakteristik Fungsional Inovatif
Siklus hidup > 2 tahun < 2 tahun
Variasi produk 10 – 20 per kategori Jutaan per kategori
Variabilitas permintaan tinggi rendah
Kesalahan peramalan 10 % 40 % - 100 %
Tingkat markdown 0% 10 % - 25 %
Margin keuntungan Rendah Tinggi
Lead time 6 bln – 1 thn 1 hari – 2 minggu
Aspirasi konsumen Harga murah cepat

Pernyataan kedua produk berdasarkan karakteristik di atas mengindikasikan


kebutuhan akan penanganan yang berbeda, baik dalam aktivitas fisik maupun
VIII-16

dalam mediasi pasar sebuah supply chain sehingga diperlukan strategi yang
tepat untuk masing-masing produk, seperti ditunjukkan pada tabel 8.2.

Tabel 8.2. Strategi yang tepat berdasarkan jenis produk


Strategi Produk
Fungsional Inovatif
Lean Tepat Tidak tepat
Agile Tidak tepat Tepat

Strategi Lean Supply Chain adalah strategi efisiensi yang


membutuhkan dukungan struktur supply chain yang ramping dan terintegrasi
dengan baik. Pada produk fungsional, fungsi mediasi pasar lebih jarang dan
lebih mudah dilakukan karena siklus hidup produknya panjang atau selera
konsumen yang tidak banyak berubah. Dengan demikian ongkos-ongkos
mediasi pasar akan merupakan fokus utama, sehingga strategi yang tepat
untuk produk-produk fungsional adalah efisiensi.
Fokus utama dalam mengelola Lean Supply Chain adalah menekan
ongkos-ongkos fisik disepanjang supply chain yang terdiri dari ongkos-
ongkos material, produksi, distribusi, penyimpanan dan sebagainya. Dalam
lean supply chain koordinasi yang baik antar chanel dalam rantai supply
sangat diperlukan, termasuk di dalamnya koordinasi untuk manangani
dampak variabilitas dan ketidakpastian permintaan maupun supply.
Untuk produk inovatif, keunggulan kompetitif produk terletak pada
kemampuan supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang cepat
berubah. Kunci keberhasilan di sini adalah yang dinamakan agility. Agility
untuk suatu supply chain harus mempunyai kemampuan kecepatan dalam
merespon kebutuhan pasar secara bersama-sama sebagai suatu team.
Kecepatan ini harus dimiliki semua pihak yang berada dalam suatu supply
chain.
Distributor yang handal tidak dapat menjamin keunggulan
berkompetisi apabila perusahaan yang mensuplai produk-produk yang
didistribusikannya tidak mampu secara cepat merespon perubahan yang
disyaratkan oleh pasar. Dengan demikian hubungan antar perusahaan
VIII-17

merupakan faktor kritis dalam menciptakan agility suatu supply chain.


Strategi supply chain yang menekankan pada agility tentunya memerlukan
pola pikir yang berbeda dengan pola pikir untuk strategi supply chain yang
mendasarkan pada efisiensi.

I. Tantangan Penerapan SCM


Meskipun SCM memiliki banyak manfaat dalam menjalankan sistem
produksi dan operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang
harus dihadapi dan disikapi oleh perusahaan apabila akan menerapkannya.
Tantangan yang pertama berasal dari lingkungan makro dan juga lingkungan
eksternal. Misalnya saja trend perekonomian global yang menunjukkan
adanya kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain itu
juga kecenderungan perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu
rumit dan banyak menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan
teknologi. Perkembangan teknologi yang terkait dengan teknologi informasi
sedapat mungkin diadaptasi oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkan
SCM sehingga dapat mengelola informasi yang bergerak sangat cepat untuk
menanggapi perpindahan produk. Sehingga sangat perlu bagi perusahaan
yang menerapkan SCM untuk memiliki peralatan fungsional seperti
(Watanabe, 2001):

1. Demand management / forecasting


2. Advanced planning and scheduling
3. Transportation management
4. Distribution and deployment
5. Production planning
6. Available to promise
7. Supply Chain Modeler
8. Optimizer (Linier programming, non linier programming, heuristic,
dan genetic algorithm)
VIII-18

Selain tantangan-tantangan tersebut, tantangan yang juga sering


dihadapi khususnya negara berkembang adalah masalah infrastruktur
termasuk birokrasi yang rumit. Masalah ini akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap tantangan SCM yang lain, yaitu teknologi informasi.
Di sisi lain, ada juga tantangan yang dapat digolongkan dalam
lingkungan mikro atau di lingkungan perusahaan itu termasuk
stakeholdernya. Mengingat sebuah rantai supply chain terdiri dari aktivitas-
aktivitas yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, maka pengelolaannya
tidak mudah. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan cepat begitu
pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi dilihat dalam
lingkungan keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung hilir. Karena
kompleksnya permasalahan pengelolaan tersebut, banyak sekali tantangan
yang bisa mengakibatkan kegagalan pengelolaan sebuah supply chain.
Lee & Bilington (1992) mendeskripsikan 14 tantangan yang harus
diperhatikan dalam SCM, yaitu:
1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap
chanel menentukan ukuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk
membuat ‘joint matrics’ yang mengukur kinerja rantai secara
keseluruhan.
2. Customer service tidak didefinisikan dengan jelas, tidak ada
pengukuran terhadap kelambatan respon dalam pelayanan, dan
sebagainya.
3. Status data pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat.
4. Sistem informasi tidak efisien.
5. Dampak ketidakpastian diabaikan.
6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidakpastian
tidak diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut,
kadang-kadang terlalu statis dan generik.
7. Diskriminasi terhadap internal customer. Prioritasnya rendah,
service levelnya tidak terukur, sistem insentifnya tidak tepat.
VIII-19

8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak


bagus.
9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada
pertimbangan efek persediaan dan waktu respon.
10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.
11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.
12. Perancangan produk maupun proses tidak memperhitungkan
konsep supply chain.
13. Perancangan dan operasional supply chain dibuat secara terpisah.
14. Supply chain tidak lengkap, fokusnya sering hanya pada operasi
internal saja, tidak bisa membedakan antara ‘immediate customers’
dengan ‘end customers’.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, terlebih dahulu perusahaan harus
melakukan perbaikan dan membangun komitmen di lingkungan internal
perusahaan tersebut, baru kemudian membangun kemitraan dan komitmen
dengan mata rantai lain di lingkungan eksternal. Satu hal yang juga penting
dalam mengatasi tantangan untuk penerapan SCM adalah mengelola
informasi dalam sebuah sistem yang harus mendukung proses pengambilan
keputusan di wilayah penerapan SCM.

J. Perkembangan-perkembangan Terbaru dalam SCM


Agar perusahaan selalu dapat memimpin dalam berkompetisi di
pasaran, cara-cara baru yang lebih inovatif perlu ditemukan atau
dikembangkan. Seiring dengan menyebarnya konsep-konsep SCM di dunia
industri baik industri manufaktur atau jasa. Konsep-konsep yang lebih
canggih yang merupakan pengembangan dari SCM bermunculan. Konsep-
konsep tersebut antara lain:
1. Just In Time (JIT), prinsip ini menekankan pada kemitraan yang
erat antara perusahaan dengan pemasoknya, dan pemasok akan memiliki
wakil di perusahaan yang disuplainya. Wakil tersebut berfungsi
menggantikan peran bagian pembelian di perusahaan pembeli. Atas nama
VIII-20

perusahaan pembeli, wakil tersebut akan membuat order pembelian ke


perusahaannya berdasarkan rencana produksi yang telah ditetapkan oleh
perusahaan pembeli. Praktek ini memungkinkan kedua belah pihak untuk
merundingkan rencana-rencana produksi maupun pembelian sehingga
menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan pembeli akan lebih
mudah menegosiasikan jadwal pengiriman karena wakil tadi sewaktu-
waktu bisa ditemui di perusahaannya. Demikian pula wakil tadi akan
lebih banyak memberikan masukan tentang kemampuan perusahaannya
untuk memasok kebutuhan material atau bahan baku yang dibutuhkan
perusahaan pembeli.
2. Vendor Managed Inventory (VMI), adalah merupakan salah satu
variasi dari JIT II. Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang
mensuplai bisnis retail. Selama ini pihak retail yang berkewajiban
membuat order pembelian untuk menjaga kelangsungan persediaan dari
setiap item yang terjual. Pada VMI kebalikannya, justru pemasoklah
yang berkewajiban untuk menentukan kapan dan berapa jumlah suatu
item harus dikirim ke retailnya, berdasarkan informasi tingkat penjualan
dan ketersediaan stock yang ada di retail tersebut. Pada VMI pertukaran
informasi yang lancar sangat diperlukan. Pemasok akan mampu membuat
keputusan yang baik, apabila informasi tingkat kebutuhan maupun
tingkat persediaan yang dimiliki pihak retail bisa diakses dengan mudah.
3. Global Pipeline Management (GPM), konsep ini didasarkan pada
teori kontrol di mana aliran material atau produk akan optimal bila
dikontrol dari satu titik. Aliran material atau produk pada konsep GPM
hendaknya dikendalikan oleh satu pihak atau chanel dalam supply chain,
yang lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi yang
diperlukan.

K. Rangkuman
1. Supply Chain Management (SCM) adalah suatu
konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu
VIII-21

menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara tradisional. Pola


baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal produksi, dan
logistik.
2. Supply Chain Management (SCM) adalah suatu
metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir,
dimana di dalamnya tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier of
raw materials, the manufacturing units, warehouses, transporters,
retailers, and finally selling.
3. Manfaat penerapan konsep SCM dalam perusahaan
yaitu: kepuasan pelanggan, meningkatkan pendapatan, menurunnya
biaya, pemanfaatan asset yang semakin tinggi, peningkatan laba, dan
perusahaan semakin besar.
4. Strategi yang paling mendasar dalam SCM
berkaitan erat dengan konfigurasi fisik maupun manajemennya. Dalam
rancangan struktur supply chain, mulai dari konfigurasi jaringan antar
chanel sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah chanel tidak
bisa dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan
oleh sebuah supply chain.
5. SCM membedakan karakteristik produk ke dalam 2
jenis yang didasarkan pada berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya,
jumlah variasinya, stabilitas permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat
markdown, dan sebagainya.

L. Bahan Acuan
1. Gaspersz, Vincent, 2002, Production Planning and Inventory
Control: Berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan
JIT Menuju Manufakturing 21, edisi revisi, cetakan ketiga, Gramedia.
2. Indrajit, Richardus Eko dan Richardus Djokopranoto, 2002,
Konsep Manajemen Supply Chain: Cara Baru Memandang Mata
Rantai Penyediaan Barang, cetakan kedua, Grasindo.
VIII-22

3. Jebarus, Felix, 2001, Supply Chain Management, Usahawan no :


02 Th XXX Februari.
4. Kotler, Phillip, 1997, Marketing Management Analysis,
Planning, Implementation and Controlling, Upper Sadle River.
5. Sitaniapessy, Rainier Hendrik, 2001, Mengorganisir Saluran
Distribusi dalam Meningkatkan Kinerja Pemasaran, Usahawan no : 02
Th XXX Februari.
6. Watanabe, Ryoichi, 2001, Supply Chain Management : Konsep
dan Teknologi, Usahawan no : 02 Th XXX Februari.

You might also like