Professional Documents
Culture Documents
MASYARAKAT DEMOKRATIS
Kelas :
XII IPS 1
Ketua :
Sapto Priyo
Nama Anggota Kelompok :
1. Basuki
2. Farid Fatur R.
3. Indah Purmita N.
4. Miftakhul Jannah
5. Wiji Sunarti
1. Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers
seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk
pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian
jurnalistik pers berarti proses kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat
dan menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau majalah
kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
BEBERAPA hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok
telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut
terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di
perusahaan koran milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar
Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 koran-koran tersebut telah terbit
dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa
itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti
"Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri",
"Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu
"Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai
oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Di
masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun
masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap
menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers kita terbagi dua.
Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah
mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu
dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama
tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain
Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman,
dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi
tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat,
Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau
stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.
2.1 Sejarah Pers Kolonial
Sejak awal, Pertja Selatan menjadi satu-astunya surat kabar yang beredar di Palembang, yang
berani mengkritik pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Wartawan maupun korannya
beberapa kali diperingati atau mendapat sanksi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Bahkan, Tjondrokoesoemo, seorang wartawan yang berani, terpaksa diganti oleh Mas Arga,
setelah mendapat tekanan dari pemerintahan colonial tersebut.
Pertja Selatan berakhir setelah Jepang masuk ke Indonesia, khususnya di Palembang. Sebab
hampir semua surat kabar yang terbit di masa colonial Hindia Belanda diberangus atau
dibubarkan oleh Jepang.
Di masa pendudukan Jepang, di Palembang terbit surat kabar Shimbun Palembang. Surat
kabar ini tentu saja dibuat untuk kepentingan para Jepang, sehingga selama proses pembuatan,
pencetakan, hingga penyebaran di bawah pengawasan para penguasa Jepang. Nungcik Ar
tercatat sebagai pimpinan Shimbun Palembang.
Setelah Indonesia merdeka, Nungcik Ar bersama sejumlah wartawan lainnya yang
sebelumnya bekerja di Shimbun Palembang menerbitkan Soematra Baroe pada 5 September
1945, kemudian pada Juni 1946 namanya berganti menjadi Obor Rakjat yang salah seorang
pemimpin redaksinya Adnan Kapau (AK) Gani, yang kemudian menjadi tokoh PNI, dan
menteri dalam kepemimpinan Soekarno-Hatta di Jakarta (Tribuana Said, Sejarah Pers
Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, 1988).
Satu hari setelah peristiwa 30 September 1965, PWI memecat dan membrediel wartawan dan
surat kabar yang dinilai terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 atau pada masa Orde
Lama berada dalam satu kelompok dengan pihak komunis. Surat kabar yang dibridel atau
dilarangan terbit itu adalah Fikiran Rakjat dan Trikora dilarang terhitung sejak 1 Oktober
1965. Beberapa hari kemudian, 23 Oktober 1965, 16 wartawan harian Fikiran Rakjat dipecat
oleh PWI. Di antaranya, M Uteh Riza Yahya, H.H. Syamsuddin, R. Abubakar H. R, dan
Abdullah Hasan.
Setahun kemudian, suhu politik terus meningkat. Beberapa pendukung Soekarno tetap
melakukan perlawanan, Termasuk para wartawannya. Djohan Hanafiah, yang tercatat sebagai
wartawan surat kabar Panji Revolusi sempat ditahan, lantaran dirinya dan beberapa wartawan
dari media yang berapiliasi ke PNI itu dituduh merusak atau merobek surat kabar yang
mendukung Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Tahun 1970-an, surat kabar yang terkait dengan masa perjuangan dan kemerdekaan Indonesia
tampaknya sudah mati. Beberapa surat kabar yang baru muncul, seperti Suara Rakyat
Semesta, Sumatera Ekspres, dan Garuda Post.
Digambarkan Soleh Thamrin, pendiri harian Sriwijaya Post atau disingkat namanya menjadi
Sripo, campur tangan pemerintah terhadap pers di Indonesia di masa Orde Baru tidaklah
berbeda di masa colonial Hindia Belanda, Jepang, maupun Orde Lama. Beberapa pers di
nasional merasakan “tangan besi” pemerintahan Soeharto. Misalnya yang dialami harian
Indonesia Raja pimpinan Mochtar Lubis yang kembali dibridel pada tahun 1974. Bersama
pula dibriedel sejumlah surat kabar seperti Kami, Abadi, The Jakarta Times, dan mingguan
Wenang dan Pemuda Indonesia. Pembriedelan ini terkait masalah Malari (Malapetaka
Limabelas Januari).
Tahun 1980-an akhir hingga 1990-an, muncul sejumlah wartawan muda yang bermimpi ingin
melahirkan surat kabar yang benar-benar berfungsi sebagai media massa.
Soleh Thamrin sendiri salah satu wartawan muda di Palembang yang memiliki keinginan
tersebut. Dia pun memulai tahun 1986 dengan menerbitkan harian Radar Selatan bersama
sejumlah wartawan. Harian ini berusia 11 bulan. Harian Radar Selatan terbit bersama
Sumatera Ekspres, Garuda Post, dan Suara Rakyat Semesta, yang lebih dulu terbit di
Palembang.
Memasuki abad millennium ketiga, surat kabar di Palembang bukan hanya menghadapi
persaingan modal, ancaman kekerasan, profesionalitas pekerjanya, juga perkembangan
teknologi yang menyebabkan persaingan penyediaan informasi kian meningkat.
Keberadaan internet dan televisi, misalnya, menyebabkan surat kabar harus mampu
menyajikan berita lebih mendalam dan menarik, sebab media internet atau media online dan
televisi telah memberikan penyajian berita secara cepat.
Dari puluhan media massa di Palembang dan sekitarnya, tampaknya hanya Sriwijaya Post dan
Sumatera Ekspres yang memanfaatkan secara optimal atau serius. Sriwijaya Post dengan
www.sripoku.com dan Sumatera Ekspres dengan situs ww.sumeks.co.id.
Persaingan di dunia internet ini juga tidak gampang. Surat kabar selain mengimbangi media
online, juga harus berhadapan dengan weblog atau situs pribadi, serta jejaringan social, yang
terkadang memberikan pertukaran informasi antarmasyarakat lebih cepat dari media massa
online sekalipun.
Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di China tak pernah jauh merupakan
cerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama.
Wartawan-wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberi tugas
mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan
melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau,
Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar
Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-
berita dari istana
wal masuknya pers di Indonesia terjadi pada tahun 1712, namun pemerintah VOC
melarangnya, karena khawatir saingan VOC akan memperoleh keuntungan dari berita dagang
yang dimuat di koran itu. 32 tahun kemudian terbit koran dengan nama Bataviase Nouvelles,
namun itupun hanya bertahan dua tahun karena dilarang kembali oleh Belanda dengan alasan,
pemberitaannya membahayakan Belanda. Intervensi media massa pada saat itu sangat ketat
sampai abad ke-20.
Awal abad 20, pers mulai dijadikan sebagai alat perjuangan oleh sejumlah organisasi
politik (boedi oetomo, SI,Indische Partji, PKI, PNI,...) yang pada pada saat itu menjadi wadah
untuk menyuarakan gagasan-gagasannya, sedangkan Pada masa penjajahan Jepang, penguasa
militer Jepang menempatkan shidooin (penasihat) di bagian redaksi dalam setiap surat kabar
dengan tujuan untuk mengontrol media secara langsung. Pada tahun 1960 pemerintah
menetapkan 19 pasal yang mengatur mengenai penerbitan yang secara keseluruhan bersifat
kewajiban pers untuk mendukung politik pemerintah.
Tonggak politis yang pertama dari penguasa orde baru mengenai pers adalah UU
pokok pers No.11/66 jo UU No.4/1967,namun prakteknya sangat berbeda dengan yang tertulis
di peraturan tesebut, karena pertimbangan politik pemerintah pada saat itu lebih besar daripada
pertimbangan perundangan. Dalam UU pokok pers dinyatakan bahwa pers nasional tidak
dikenakan sensor dan pembredelan, namun pasca peristiwa malari 1978 tujuh surat kabar
ibukota dibredel. Kejadian itu juga yang menjadi awal pemusatan kekuasaan ditangan
segelintir elit (rezim Soeharto) yang menjangkau semua sektor kehidupan termasuk media
massa di dalamnya.
Pasca jatuhnya rezim ORBA pada tahun 1998 dan dikeluarkannya UU No.40/1999,
ratusan surat kabat terbit tanpa SUPP setelah keharusan itu dicabut oleh menpen yang pada
saat itu dijabat oleh Yusuf Yosfiah. Pers kini lebih sering menjadi ”broker” yang
menyuarakan kepentingan penguasa dan pengusaha yang memiliki modal, pun demikian
dengan para penguasa dan pengusaha tersebut, mereka bisa membuat media yang akan
mendukung kesuksesan menuju yang mereka inginkan. Kebijakan itu juga yang pada akhirnya
memberikan alasan kuat bagi lahirnya pers industri yang berorientasi pemodal dan menggeser
pers idealis yang berorientasi rakyat jelata.
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu
alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi
dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, termasukpers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh
mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa
demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem
pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol.
Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers
dikenal sebagai pers partisipan.
Keberadaan pers pada masa ini dilandasi oleh konstitusi Indonesia Serikat dan UUDS. Dalam
konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Kemudian isi pasal ini kembali dicantumkan dalam UUDS 1950
mencerminkan meskipun terjadi pasang surut kehidupan pilitik, namun kebebasan pers dalam
berpendapat seharusnya tetap ada dalam konstitusi.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah
membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta
pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas yaitu :
1. Penggantian undang-undang pers colonial
2. pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia
3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia
4. pengaturan yang memadai tentang kedudukan social dan hokum bagi wartawan
Indonesia.
Pers di era orde lama dan orde baru dapat dikategorikan ke dalam periode kedua di mana
kontrol Negara terhadap pers – meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan
harmoni masih dapat terlihat – sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah
penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih
semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat
kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia
yang terbit di Jakarta sejak 6 September 1945.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat
panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di
beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi.
Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat
kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia,
diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta
Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam
empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim.
Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000
eksemplar. Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan
tiras 283.000 eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada
Desember 1948. Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi 5.000 eksemplar.
Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan,
mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisan.
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami
depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan
peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar,
PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi
massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran
kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya
pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16
tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
1. Sifat Pers
Misi Pers
Fungsi Pers
3. Peranan Pers
UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum.”
Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :
1. Undang-Undang Pers
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers
meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media
lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau
media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang
akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat
mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari
pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau
penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan
atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan
informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi,
data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang
bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial.
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi.
Pasal 4
Pasal 5
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-
norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk
kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamt dan penanggung jawab secara terbuka melalui
media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
a. a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan
hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan
negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
Pasal 17
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Kode Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan.
Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke
koran lain, namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya
tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya:
Tanggung-jawab. Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada
kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat
membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tak boleh
menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
Kebebasan. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota
masyarakat (milik publik) dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus
diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang
mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Kebenaran. Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa
berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa
berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias.
Tak memihak. Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus
secara jelas diidentifikasikan sebagai opini.
Adil dan Ksatria (Fair). Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam
berita yang ditulisnya serta mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat
serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk
menjawab.
Kode Etik Jurnalistik seringkali hanya bersifat umum. Itu sebabnya seringkali masih
menyisakan sejumlah pertanyaan, misalnya: apakah etis memata-matai kehidupan publik
seorang tokoh, atau bolehkah menjadi anggota partai politik tertentu? Di sini, biasanya
seorang wartawan memiliki Kode Etik Pribadi (Personal Code).
4. Profesi Kewartawanan
Jurnalisme adalah salah satu profesi yang memberikan layanan kepada publik.
Secara singkat tugas dan kewajiban wartawan adalah menyampaikan serta meneruskan
informasi atau kebenaran kepada publik tentang apa saja yang perlu diketahui publik.
Wartawan semestinya sadar akan kekuasaan dalam profesinya, namun mereka bukanlah dewa
atau malaikat. Mereka bisa membuat kesalahan -- disengaja atau tidak. Pers bahkan bisa
menjadi lembaga yang sangat kejam. Wartawan bisa menjadi tiran, seperti yang kita bisa baca
dalam novel Hilangnya Kehormatan Katharina Blum karya Heinrich Boll (sastrawan Jerman
pemenang Nobel).
Beberapa hal di bawah ini dimaksudkan sebagai pembatas tindak-tanduk wartawan dan
praktek jurnalistik demi melindungi masyarakat dari tindakan atau praktek wartawan yang tak
terpuji:
Kode Etik
pasal Pencemaran (Libel): hukum-hukum yang menyangkut pence-maran nama baik
Hukum tentang hak pribadi (Privacy)
Panduan tentang selera umum