You are on page 1of 16

Kita (Perempuan) Dilahirkan Bukan

untuk Hal-Hal yang Sepele!

Pertama-tama, untuk melepaskan rasa sakit


dan kepayahan yang dialami oleh ibuku, dan
berikutnya pasti bukan untuk hal-hal yang
sepele!

dalam kehidupan terus berkembang dan


ngga berhenti saat jadi anak-anak. Coba saja
lihat, kalau ada anak laki-laki atau laki-laki
dewasa yang cerewet dan suka bertanya iniitu, ia pasti diberi label: Nanya mulu lu
kayak cewek! atau Cerewet banget sih
kamu. Kayak perempuan aja. Ya,
perempuan dikonstruksikan agar jadi
seorang yang pendiam dan hanya bicara
hal-hal yang substansial. Rasa ingin tahu
atau rasa ingin mengalami sesuatu,
dikekang atas nama behave atau elegant
woman. Dari sanalah kemudian, kelucuankelucuan seriusyang sama sekali tidak
lucuselanjutnya terjadi pada diri kita,
pada perempuan.

--

--

Tulisan
ini
ditujukan
untuk
melawan konstruksi bahwa perempuan
harus kalem, tenang, dan jadinya
pendiam serta tidak boleh berpikir kritis,
jika tidak mau dikatai: cerewet.

Kelucuan serius pertama yang akan


saya bahas dalam tulisan ini adalah tentang
konstruksi bahwa menjadi perempuan
adalah berarti menjadi seorang yang
sebaiknya-kamu-ngga-usah-banyak-omongdeh-sepintar-apapun-kamu-tetaplahsubordinat-dari-laki-laki.

Fathimah Fildzah Izzati1

uatu malam, saya pernah


berpikir dan bertanya:
Untuk apa aku dilahirkan?

Setelah merenung agak lama,


saya menemukan jawabannya:

-Seorang filsuf dunia terkenal


bernama Socrates pernah berkata pada
suatu hari:
Wonder is the beginning of wisdom.
Atau Bertanya-tanya adalah awal dari
kebajikan
Ya, saya setuju sekali dengan
Socrates. Tanpa pertanyaan, pasti tak akan
ada kebajikan yang tercipta.

Dalam sebuah
film berjudul
Agora2 , dikisahkan seorang perempuan
bernama Hypatia yang cerdas luar biasa. Ia
menjadi guru bagi puluhan murid lakilakinya. Hypatia mengajarkan pada filsafat
dan matematika pada para muridnya.
Namun, karena ia perempuan, akhirnya ia
dibakar oleh masyarakat Mesir saat itu.
Hypatia mati dibunuh karena ia cerdas. Yap,
perempuan dilarang cerdas dan itu terjadi
bukan hanya dalam film.

-Menjadi cerewet dan suka banyak


tanya ini-itu sepertinya adalah nature dari
setiap jiwa kanak-kanak. Jiwa yang murni,
ingin tahu, dan menyenangkan. Tapi, saat
beranjak dewasa, menjadi seorang yang
cerewet dan suka tanya ini-itu ternyata
bukan hal mudah. Apalagi jika kamu adalah
seorang perempuan. Padahal, pertanyaan

Perempuan yang cerdas biasanya


lantang bicara menyuarakan apa yang
diyakininya dan sepertinya hal itu
menakutkan bagi masyarakat patriarkis,
masyarakat yang merendahkan perempuan.
Kita tentu ingat Marsinah, seorang
perempuan buruh yang dibunuh dengan
keji hanya karena ia bicara dengan lantang,
menuntut haknya dan hak kawan-

Seorang perempuan berusia 25 tahun yang ingin


menghancurkan masyarakat yang patriarkal ini
bersama kelima sahabatnya yang juga menulis
dalam terbitan sederhana ini.

Film Agora yang disutradarai oleh Alejandro


Amenabar ini diproduksi pada tahun 2009.

kawannya untuk mendapatkan upah yang


layak. 3
-Baru-baru ini saya mendengar
kembali sebuah pernyataan mengagetkan
yang sudah lama tak terdengar dari
seseorangyang untungnya bukan teman
sayalangsung di telinga saya:
Maklumlah perempuan cerewet. Mulutnya
ada dua.

Dalam setiap kelasnya, ia selalu


memulai dengan pertanyaan:
Siapa yang mau bertanya?
Asik, ya?
-Finally, untuk semua yang membaca
tulisan-tulisan
dalam
terbitan
ini,
khususnya bagi kalian perempuan yang
selalu diberi label cerewet:

Maksud Lo? Jadi orang ini ingin


bilang kalau perempuan suka banyak tanya
ini-itu karena ia punya vagina. Duh! Disitu
alis mata saya bersatu.

TETAP KRITIS DAN SUKA BERTANYA YA!

--

Kita (Perempuan) Dilahirkan Bukan untuk


Hal-Hal yang Sepele!

Sepanjang
sejarah
peradaban
manusia yang patriarkis ini, perempuan
yang berani bersuara memang ditakuti.

bersuara, perempuan
mengapa
tubuhnya

Dengan bersuara, perempuan menggugat


label-label buruk yang dilekatkan pada
dirinya; Dengan bersuara, perempuan
melawan kekerasan yang menimpa dirinya;
Dengan bersuara, perempuan menuntut apa
yang menjadi haknya;
Dengan bersuara, perempuan menjadi apa
saja yang mereka inginkan!
-Saya teringat pada seorang dosen
sekaligus mentor saya.
Ia laki-laki, tapi anti patriarki.

Ingatlah,

Kita dilahirkan untuk hal-hal besar,


dan itu dimulai dengan bicara,

Kenapa?
Karena dengan
mempertanyakan
diatur-atur;

BODO AMAT KALO DIKATAIN CEREWET.

Marsinah adalah seorang perempuan pemberani


yang bekerja sebagai buruh pabrik arloji bernama
PT. Catur Putra Surya, Sidoarjo. Ia dibunuh oleh
tentara dan mayatnya ditemukan pada tanggal 8
Mei 1994. Kini, setiap tanggal 8 Mei diperingati
sebagai hari buruh perempuan Indonesia.

dari berpikir kritis,


banyak tanya,dan cerewet!

Cumberbitches, Femen, dan


Keperawanan
Perdana Putri

etika asyik fangirling


dengan menonton video
wawancara
Benedict
Cumberbatch di ABC
News, saya justru tersadar
dari realita. Dialog si
pembawa acara sederhana saja, tapi
jawaban Benedict lah yang membuat saya
merasa ditampar.

What do your fans call themselves?


(Fanbase kamu namanya apa sih?)
Uhm, Lot of things; [...] Cumberbitches?
[audiens tertawa],

Im ok if they label themselves so, but


doesnt it send feminism back? (oh,
banyak sekali [...] Cumberbitches? Aku
sih gak masalah kalau mereka manggil diri
seperti itu, tapi bukannya ini bikin
feminisme rada mundur ya?)
Oke. Saya langsung menghapus
tulisan Cumberbitches dari boks bio di
akun Twitter saya. Benedict Cumberbatch
menyadarkan saya bahwa kita ini masih
terjebak dalam paradigma umum yang
merendahkan bahasa dan hanya ingin
memakan makna lapisan kedua, atau
menurut Bartes: konotasi atau makna yang
sudah diterima masyarakat luas. Ia
mencoba menjelaskan wacana bagaimana
panggilan yang, diasumsikan masyarakat,
merendahkan diri tersebut akan membuat
perjuangan perempuan sulit. Sebab, seolah
orang-orang
akan
berpikir,
Oh,
perempuan memang bitch (dengan, sekali
lagi, makna yang konotatif). Dan mereka
senang
dipanggil
begitu.
Maka
perlakukanlah mereka begitu.
Namun, saya rasa himbauan
Benedict harus kita cermati dengan kritis.
Ia berusaha mengingatkan kita bahwa
terkadang pembebasan perempuan justru
dipersulit oleh keberadaan perempuan itu
sendiri. Contohnya secara idelogis adalah
istilah white feminism atau Feminisme
Kaum Putih yang sebenarnya cukup rasis
dan mengandalkan supremasi rasial
mereka. Keadaan ini kadang dibuat oleh
feminis yang tidak secara objektif
merumuskan permasalahan perempuan.
Rasisme, lupakan konteks, dan yangpenting-gue-bisa-bebas adalah karakter
feminisme berbasis warna kulit ini.
Sudah menjadi semacam kontrak
tak tertulis bahwa menjadi feminis berarti
menjadi
bagian
untuk
pergerakan
masyarakat secara masif. Feminis tidak
boleh rasis; atau dia sama sekali bukan
feminis.
Feminisme
hadir
untuk
membebaskan masyarakat dari jeratan
patriarki yang dilanggegkan dan berkaitan
erat dengan kapitalisme. Ia bukan hanya

permasalahan saya harusnya boleh


memakai bra Victorias Secret dan hot
pants GAP di jalanan tanpa male gaze
atau my body my rules semata, karena
tentu, jika kita mengamini Althusser, kita
adalah
makhluk
ideologis
yang
keakuannya telah jauh ditekan oleh
pergulatan ideologi di luar tubuh kita.
Jika white feminism bisa saya ejek
sebagai
gerakan
naif
perempuanperempuan
yang
membicarakan
pembebasan di antara dentingan koktil
mahal, maka contoh berikut mungkin
menggambarkan apa yang terjadi jika
white feminism bercampur dengan
ketidakmauan untuk membaca. Harafiah,
maupun tidak. Sudahkah kita familiar
dengan Femen? Femen merupakan grup
feminis radikal berbasis di Ukraina pada
tahun 2008. Seperti pendahulunya tentang
feminisme radikal yang berputar di isu
ketubuhan, Femen menasbihkan diri
sebagai, mengutip Inna Shevchenko si
ketua, Gerakan terbaru feminisme, dan
sudah seharusnya menjadi patokan karena
feminis klasik sudah mati.
Oh, really?
Perlu diketahui, Femen memakai
metode topless atau tanpa busana di bagian
atas, menunjukkan dada mereka, untuk
memprotes hal-hal seperti turisme seks,
homofobia, institusi agama, dan lainnya.
Oke, di sini memang hal yang mereka
protes bermasalah, tapi bagi saya cara
mereka justru lebih bermasalah lagi.
Mereka mengonsepkan patriarki berbasis
pada eksploitasi terhadap perempuan,
kediktatoran,
dan
agama.
Mereka
mengusung sextrisme sebagai tujuan
pergerakan. Metode topless mereka di satu
titik bisa dimengerti sebagai penarikan
yang (dipaksa) privat ke ruang publik.
Toh,
pada
kenyataannya
memang
perempuan dipaksa keluar dari ranah

publik dan menjadikannya, baik ia wanita


karir ataupun tidak, terdomestifikasi.
Namun, yang bermasalah adalah
ketika menyeret yang biasanya di privat ke
publik, tanpa memahami permasalahan
dasarnya. Femen sejak kelahirannya di
tahun 2008 tidak terlalu mendapat
pandangan yang baik oleh para feminis
lain. Kritik paling keras datang dari
perempuan-perempuan di Jazirah Arab dan
Islam. Mereka mengkritik Femen jatuh ke
lubang yang sama dengan white feminism
dengan
abainya
terhadap
konteks
permasalahan struktural yang menciptakan
patriarki. Seperti, tentu kita tak bisa begitu
saja membuat perempuan Arab Saudi
datang ke tengah-tengah Mekkah dan
membuka pakaiannya, sebab hal tersebut
akan membuat pandangan masyarakat
tentang perempuan akan semakin buruk
(dan perempuannya akan dicambuk).
Apa artinya? Gerakan-gerakan
perempuan harus cerdas dalam melihat
semangat zaman dalam melakukan
perjuangan. Juga, tetap harus jeli membaca
langkah-langkah masyarakat patriarkis
akan melakukan counter. Ketika Femen
melakukan protes di Ukraina sejak 2008,
tidak ada satu media pun yang
memberikan nada berita,
Oh, lihat! Ketubuhan perempuan
harus ada pada mereka dan berada di ruang
publik juga!. Sebaliknya: More topless
women on the street and guys love it!.
Di media seksis seperti 9Gag
(sebuah situs humor terkenal dan menjadi
budaya pop kekinian), foto aksi beberapa
aktivis Femen dan white feminism
dijadikan citra umum untuk menjelaskan
karakter feminis! Dalam suatu rilis foto,
Vladimir Putin yang datang ke Ukraina

dan dicegat oleh aktivis Femen (tanpa


atasan), malah memberikan jempol dan
muka apresiatif akan kepuasan badan si
aktivis. Putin adalah, sayangnya, gambaran
masyarakat patriarki pada umumnya. Jika
perempuan
tidak
secara
cerdas
merumuskan masalah perempuan yang
sebenarnya sangat berjejaring dengan
permasalahan sosial lain, lalu melakukan
aksi tertentu terkait kajian mereka, maka
kita akan selamanya tetap hidup di bawah
male gaze dan patriarki.
Sekarang, kita melakukan refleksi. Apakah
suara-suara semacam tubuh saya sesuka
saya, saya yang berdaulat, saya harusnya
bisa bebas dan mampu menghentikan
penindasan struktural insititusi pendidikan
Indonesia yang hampir saja, dan bahkan
saat ini terjadi lagi, untuk mebuat
keperawanan menjadi standar moral?
Suara individual yang tidak berdasar dari
permasalahan yang sesungguhnya hanya
dianggap angin lalu dan tak akan membuat
perubahan apa pun. Hanya dengan
menyerang basis permasalahan, gerakan
perempuan baru bisa dianggap jeli dan
dapat menjadi alat penggerak perubahan
masyarakat secara total.
Karena kalian tidak bisa begitu saja
mengetuk pintu Pemda Jember dan
melepaskan
atasan
kalian
untuk
membatalkan peraturan daerah yang hanya
meluluskan perempuan perawan, kan?

Aksi Kamisan
Syavira Wahyuni

Hidup Korban!;
Jangan Diam!;
Jangan Diam!;

Lawan!
Jokowi-JK Hapus Impunitas!

tulah jargon-jargon yang kami terus


teriakan selama mengikuti dan
memperingati SEWINDU AKSI
KAMISAN yang diselenggarakan didepan
Istana Negara kemarin Kamis, 22 Januari
2015.
Ini merupakan kali pertama saya
dalam mengikuti Aksi Kamisan, berhubung
saya merupakan anggota baru dari suatu
organisasi mahasiswa. Selama mengikuti
organisasi mahasiswa seperti ini saya
banyak sekali mendapat ilmu dan
pengalaman, khususnya ketika mengikuti
kegiatan seperti Aksi Kamisan ini.
Menurut sejarahnya itu sendiri, Aksi
kamisan ini bermula pada tanggal 18
Januari 2007 yang terinspirasi oleh apa
yang dilakukan oleh kaum perempuan/ibuibu di Argentina, mereka menekan
pemerintah akan kasus anak-anaknya yang
hilang. Keteguhan dan kegigihan mereka
dalam memeperjuangkan hak-hak mereka
untuk mencari keadilan sangat memotivasi
masyarakat Indonesia, karena Indonesia
pun memiliki sejarah kelam tentang kasus
pelanggaran HAM. Maka dari itu, Aksi
Kamisan ini merupakan aksi serupa namun
kami sering menyebutnya aksi damai yang
memiliki tujuan yang sama yaitu menekan
pemerintah agar mengusut, menguak
kebenaran, menolak lupa dan mengakkan
keadilan bagi para korban kasus
pelanggaran HAM.
Untuk saya pribadi sebagai seorang
mahasiswi yang baru mengikuti aksi ini,
Aksi Kamisan merupakan salah satu aksi
yang memiliki sangat banyak simpatisan
yang terdiri dari aktivis HAM, mahasiswa,
para keluarga korban, selebritis, sampai
para pendemo yang sudah berusia lanjut.

Antusiasme dan semangat mereka yang


menggebu-gebu dalam memperjuangkan
keadilan patut diacungi jempol. Khususnya
para pendemo yang telah berusia lanjut,
mereka melakukan orasi dan sesekali
mengutarakan keinginan mereka dengan
penuh semangat agar keinginan mereka
dapat didengar. Namun, tentu tidak hanya
didengar tapi diusut sampai tuntas oleh
para pemegang kekuasaan. Semangat saya
pun semakin timbul ketika bentuk
solidaritas mereka dalam berpakaian serba
hitam, berpayung hitam, menggelar
spanduk, foto korban, berjalan keliling
Istana sambil membunyikan kentongan
yang tujuannya untuk membangunkan
para penguasa didalam Istana untuk segera
membongkar kekjaman para pelaku
pelanggaran HAM.
Mayoritas Aksi Kamisan ini diikuti
oleh para kaum laki-laki, namun tak
banyak juga para kaum perempuan yang
ikut berpartisipasi dalam aksi ini.
Mungkin, bagi sebagian perempuan
mengikuti aksi semacam ini hanyalah
kegiatan yang membuang-buang waktu
dan tenaga, namun menurut saya itu
pemahaman yang salah. Disinilah kita
kaum perempuan dapat merasakan
kesetaraan hak untuk memperjuangkan
keadilan, disini juga kita dapat membantu
para korban dan keluarganya untuk
mendapatkan hak yang semestinya
diberikan kepada mereka karena sampai
saat ini kasus pelanggaran HAM masih
belum menemukan titik akhir dari
penyelesaiannya. Faktanya, di masa ini
generasi muda tidak banyak yang
mengetahui akan adanya peristiwa
1965/1966, peristiwa Tanjung Priok 1984,
Talangsari
1989,
penculikan
dan
penghilangan paksa 1997/1998, tragedi
Trisakti 1998, peristiwa Mei 1998,
Semanggi 1998/1999. Maka dari itu, aksi

ini sering juga disebut sebagai aksi


menolak lupa dan mereka akan tetap
melanjutkan aksi ini sampai kasus-kasus
pelanggaran HAM terdahulu dapat
dituntaskan oleh pemerintah.
Di era modern ini, generasi muda
hendaknya harus berperan aktif dalam
menanggapi setiap permasalan yang terjadi
di dalam bangsa ini, khususnya masalah
sosial dan poitik yang belakangan ini
ramai diperbincangkan dan menjadi
sorotan publik. Terutama kita para kaum
perempuan, tidak ada batasan yang
menghambat kita untuk turut serta
berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang
bersifat kemanusiaan. Sikap lembut
seorang perempuan justru seringkali
diremehkan oleh para kaum lelaki. Maka
dari itu, kita harus membuktikan bahwa
kita pun bisa aktif dalam berbagai macam
kegiatan. Peran kita generasi muda sangat
penting untuk membangun negara ini
supaya lebih baik dan berharap agar
nantinya kita bisa mengambil alih
kekuasaan/duduk di bangku pemerintahan
yang selama ini diduduki oleh pihak-pihak
yang
bertindak
sewenang-wenang,
mendzolimi, dan mengkhianati rakyat.
Dengan begitu, kita bisa ikut turut dalam
membangun bangsa dan negara ini
kedepannya lebih baik.

Menata Elegi Keperempuanan


Adelia Tiarasany

i kala senja mulai


menuruni langit dengan
segala
air
matanya
sehingga membasahi bumi Pertiwi,
terbersit suatu kabar dan cerita tentang apa
yang menjadi penting maupun tidak

penting. Bumi pun semakin padat dan


ramai hiruk pikuk kendaraan dari arus
balik Jakarta-Depok dimana orang
pinggiran telah lelah menyambung hidup
di ibukota demi mencari sesuap nasi dan
membayar tagihan-tagihan rumah tangga
lainnya
dan
siap-siap
menemui
keluarganya dengan penuh peluh tetapi
juga bahagia melihat anak-anak mereka
menyambut mereka di rumah penuh suka
cita. Ah, ini sih biasa, eh, tapi kan juga ada
sisi puitis di balik itu. Kemudian aku pun
tertawa dalam batin dan tetap tertegun
memandang lalu lintas Jl. Margonda yang
dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan
sambil otak ini berpikir tentang segala
macam hal bagaikan roll film yang terus
diputar di layar putih itu. Salah satunya
adalah tentang identitas dan peran yang
tidak bisa dipisahkan dari rancangan sosial
konformistis
yang
menghinggapi
perempuan sehingga menghantui mereka
di setiap jejak langkah saban hari.
Apakah kita akan terus begini yang
menghadapi minoritas keperempuanan
baik disadari maupun tidak? Sebagian
perempuan yang aku amati tampak
bergegas mengejar kendaraan umum,
terkadang berjejalan di dalamnya sehingga
menyesakkan nafas ruang gerak. Aku
mengetahui bahwa sebagian di antara
mereka di rumah diajarkan untuk tidak
boleh melakukan aktivitas yang berbahaya
di luar rumah, lebih baik berjalan menuju
tempat tujuan daripada naik kendaraan
pribadi yang diasosiasikan kepada mereka
sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan
ancaman bahaya fisik. Apalagi jika
perempuan keluar di malam hari, pasti
mendapat cap yang tidak enak walaupun
tidak menelusuri alasan mereka harus
pergi atau pulang pada waktu tersebut.
Dalam hati aku membatin, sebegitu tidak

percayakah masyarakat akan kekuatan


perempuan yang tersembunyi dan hanya
melihat packaging perempuan yang
notabene, harus aku akui, terlihat lebih
lemah daripada lelaki. Akan tetapi, aku
menolak keras dalam hati, perempuan
lebih punya otak dan perasaan yang
terkendali dan logis daripada lelaki yang
cuma
bisa
bernaung
di
balik
superioritasnya. Mentang-mentang lebih
memiliki fisik yang lebih kuat daripada
perempuan,
lantas
dengan
mudah
masyarakat, yang kesadarannya sudah
dioccupy pemikiran patriarkis, bisa
membelenggu ruang dan waktu gerak
perempuan dan membuat mereka tidak
nyaman bepergian karena sudah mendapat
terror kecil-kecilan dari masyarakat. Ya
ampun, be a little bit rational, please
Drama daerah satelit ibukota pun
membuat aku terhenyak sekejap, apa lagi
yang akan kehidupan ini tawarkan kepada
perempuan. Senjapun sudah semakin
gelap, yaitu this is it, waktu malam pun
makin menunjukkan tajinya. Aku sempatsempatnya memikirkan nasib perempuan
rumah tangga yang ditinggal suaminya
kerja di Ibukota dan jadi teringat kisah
seseorang yang curhat di warteg bahwa dia
dilarang kerja di luar rumah oleh
suaminya. Aturan macam apa yang tidak
memperbolehkan perempuan kerja di luar
rumah? Anak-anak tidak ada yang
mengurus? Urusan rumah tangga jadi
terlantar? Suaminya lebih mementingkan
ego sebagai pencari nafkah keluarga? Dan
pertanyan-pertanyaan lainnya terlintas di
kepala. Ah, masa kegiatan perempuan
sebatas di dalam rumah dan tidak
melakukan hal-hal lain yang berhubungan
langsung (maupun tidak langsung) dengan
ilmu pengetahuan yang ia miliki dan
menyumbangkan
kontribusinya
bagi

masyarakat luas. Lantas, siapa yang


mampu
membiayai
perekonomian
keluarga di tengah kehidupan yang
semakin keras ini? Pertanyaan seperti
itulah yang membuat lelaki seharusnya
sadar akan kelemahannya karena yang
namanya rumah tangga atau institusi
keluarga itu harus disokong oleh pilar-pilar
yang kokoh, tidak rapuh, dan tidak berat
sebelah. Aku tidak akan mengatakan
bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga
itu termasuk pekerjaan yang hina ataupun
rendah, bisa dikatakan jika pekerjaan itu
termasuk
sangat
mulia
karena
mengabdikan sepenuhnya dan optimal
pada keluarga. Akan tetapi, karena
kontribusi ibu rumah tangga dianggap
minim terhadap sektor-sektor lainnya yang
lebih luas dan kurang relevan kepada
struktur formal yang berpengaruh terhadap
hajat orang banyak, maka perlahan posisi
IRT tersebut termarjinalkan oleh sistem
yang ada. Perempuan didomestifikasi
secara gambling oleh tatanan masyarakat
patriarkis. Tidak lebih dari derajat
perempuan zaman dahulu yang berfungsi
sebagai alat mekanisasi reproduksi dan
hanya boleh mengurus keluarga, tidak ada
bedanya dengan budak sahaya dan belum
ada arti kebebasan sesungguhnya bagi
perempuan itu untuk berkiprah lebih lanjut
terjun langsung ke masyarakat mengatasi
problem sosial yang ada. Seolah-olah suara
mereka dianggap tidak berarti apa-apa. Oh
my God, what the hell am I thinking? Go
over it, girl~
Dan masih banyak isu-isu
yang berkutat di kepala kecil ini dari
seorang individu galau akan identitas
keperempuanannya. Malampun semakin
pekat menuju pukul 20.00 WIB dan aku
disini nongkrong di pinggir jalan
Margonda
memikirkan
berbagai

kemungkinan apa yang akan terjadi ke


depannya dan langkah apa yang harus
dilakukan selanjutnya. Oke, saatnya kita
sesapi kopi hitam pekat ini sembari menata
hati akan kegamangan terhadap elegi
keperempuanan. Akan aku terus buktikan
tanpa lelah kepada masyarakat patriarkis
ini bahwa kami tidak seburuk itu kok,
bahkan lebih bisa diandalkan daripada
sosok lelaki yang kalian kultuskan. Tabik!

Feminisme yang Tuhan Mau


Rancha Aurintiesta Belnevan

Jika Tuhan mau begini, ubahlah semua


jadi yang kumau~

gaknya potongan lirik lagu


Krisdayanti
ini
sesuai
dengan apa yang saya
pikirkan ketika saya tengah scrolling-down
akun-akun dakwah muslimah yang militan
sekali berkampanye di Twitter mengenai
konspirasi keji feminisme atas nama Tuhan.
Konspirasi keji lho! Bahkan ketika
perempuan buruh migran diperkosa di Arab
Saudi, patriarki ndak pernah tuh dituduh
sebagai biang kerok kebejatan seksual.
Apalagi dituduh sebagai konspirasi keji.
Apa benar meng-keji-kan feminisme adalah
yang Tuhan mau, atau cuma akal-akalan
golongan
yang diuntungkan
dengan
berdagang surga dan menasfsirkan agama
secara banal?
Hush! Ndak boleh tanya begitu. Yang jelas
feminisme itu bidah.
Meanwhile,
kampanye
antifeminisme ini disebarkan melalui internet
yang magnitude-nya seringkali diselebrasi
secara
berlebihan
sebagai
ruang

pemberdayaan (to enabling). Khususnya


bagi wacana perberdayaan perempuan dan
kesetaraan gender.
Really? Think again.
Akun @Women4Khilafah adalah
salah satu yang paling menggelitik perut
saya hingga ke asam lambung. Pasalnya,
akun-akun semacam ini seolah mengejek
konsep-konsep mengenai gender gap dalam
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Kurang lebih konsep ini meyakini bahwa
masa depan pemberdayaan perempuan
melalui TIK akan lebih cerah ketika
permasalahan gender gap ini dapat diatasi.
Utopia tentang pemberdayaan perempuan di
sosial media-pun dirayakan seiring dengan
naiknya angka-angka statistik pengguna
internet.
Bukannya saya ngoyo. Iya, saya
percaya Indonesia menempati peringkat lima
pengguna Twitter terbanyak di dunia. Saya
percaya kalau pengguna internet di
Indonesia sudah mencapai angka 63 juta
orang pada 2013. Saya pun percaya bahwa
gender gap juga merupakan masalah. Tapi
rasanya kurang bernas kalau kita hendak
bicara soal pemberdayaan perempuan
melalui TIK, cuma lewat hitungan statistik
dan menjadikan gender gap sebagai patokan
yang deterministik. Sehingga lupa bahwa
dibalik layar monitor, ada perempuan yang
bisa jadi berperan sebagai subjek internet,
tapi juga sekaligus menjadi objek dari
ketimpangan relasi kuasa.
Akun @Women4Khilafah cuma satu
contoh. Akun ini dengan lantang
mengkampanyekan gerakan anti-feminisme.
Seolah, muslimah dibuat harus merasa puas
dengan dongeng-dongeng balita tentang
sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah
wanita sholihah atau betapa mulianya
peran muslimah yang mengurus rumah
tangga atau muslimah yang bekerja di luar
rumah lebih pantas disebut sebagai

karyawan daripada seorang ibu. Kemudian


mereka akan bilang, Perempuan tidak butuh
kesetaraan! dan seruan ini mereka ramaikan
baik di ranah online maupun offline.
Apakah seruan @Women4Khilafah
dilindungi oleh asas kebebasan berekspresi?
Jelas!
Apakah
penggunaan
teknologi
internet sejalan dengan dengan pemahaman
tentang mengapa feminisme menjadi
penting? *hening*
Disitu saya merasa sedih.
Lebih sedih dari ketika saya
menyaksikan video klip Blurred Lines
dengan Emily Ratajkowski yang menari-nari
dengan hanya memakai thong berwarna
kulit. Pernyataan Ratajkowski bahwa ia
melakukan hal tersebut sebagai bentuk
kebebasan berekspresi saja sudah membuat
saya ingin menelan dua tablet aspirin.
Apalagi mendengar seruan galak dari
perempuan-perempuan yang merasa bahwa
muslimah tidak butuh kesetaraan.
Well, menurut saya tidak penting
menyalahkan Ratajkowski dan kawankawannya maupun @Women4Khilafah. Toh
keduanya juga sama-sama bertindak
berdasarkan gagasan yang berasal dari luar
dirinya. Bedanya: jika Ratajkowski memilih
telanjang,
maka
@Women4Khilafah
memilih sebaliknya.
Sehingga jika saya boleh menebak,
jika keduanya dihadapkan pada kenyataan
bahwa ada seorang perempuan pekerja
rumah tangga yang tidak digaji, diperkosa
hingga hamil, lalu dibunuh, jawaban mereka
mungkin akan seperti :
Ratajkowski and friends (might be
like) : Dammit Patriarchi!
Sementara..
@Women4Khilafah (might be like) :
Itulah mengapa tugas wanita yang

utama dalam Islam adalah mengurus


rumah, suami, mendidik, dan
membesarkan anak. Sungguh Islam
telah sangat memuliakan dan
melindungi perempuan
Perkara pekerja rumah tangga
tersebut rentan diperlakukan semena-mena
karena ia merupakan manusia bervagina
yang kelas sosialnya dipandang rendah, bisa
jadi itu bukan menjadi urusan bagi mereka.
Lantas beginikah yang Tuhan mau?
Terlepas dari apapun kepercayaan
orang tentang Tuhan, saya sih percaya
bahwa Tuhan-pun mau keadilan bagi
perempuan. Masa iya Tuhan mau melihat
perempuan tertindas?
Ah, mungkin itu hanya perasaan beberapa
orang saja..

Nasib BUKAN Kesunyian MasingMasing!


Fathimah Fildzah Izzati

alam tulisan ini saya ingin


mengajak
teman-teman
berkenalan dengan tiga teman
kita Dan mendiskusikan kehidupan
mereka yang walau berbeda-beda,
ternyata nasibnya mirip-mirip..
-(Sebut Saja) Indah, Mba-Mba SPG
Rokok di Sekitaran Margonda
Pernah nggak kamu memberi judgement
ke Mbak-Mbak SPG (Sales Promotion
Girl) ber-rok-mini yang menawarkan
rokok saat kamu dan teman-temanmu
sedang
nongkrong
di
angkringan/warkop?
Lalu,
pernah
nggak kamu lihat ada yang coba
menggoda SPG itu?
Apa yang kamu rasakan? Apakah kamu
sebel sama Mbak-Mba SPG itu? Atau
kamu malah merasa kasihan padanya?

dan Notulensi
Riset dan LSM

Kegiatan

Lembaga

Atau pernahkah kamu menyelesaikan


transkripsi
rekaman
wawancara
penelitian berdurasi 18 jam hanya
dalam waktu 1,5 hari, kemudian
mengalami penangguhan upah, dan di
lain waktu mengalami sepi job, dan
kamu merasa sangat menderita?
-Berbeda-Beda Namun Tetap Begitu
Jua
Tulisan ini akan mencoba menganalisis
kenapa Mba-Mba SPG kebanyakan
memakai rok yang sangat mini dan
mengapa kita malah memberikan
judgement yang aneh-aneh kepadanya.
Tulisan ini juga akan mencoba
menganalisis kenapa Mas-Mas usia 20an
itu mau berdiri berjam-jam di dalam lift
demi memencetkan tombol lantai yang
dituju para pengunjung mall.

(Sebut Saja) Arif, Mas-Mas Pemencet


Tombol Lift di Plaza Blok M

Dantulisan ini juga akan mencoba


menganalisis kenapa di suatu waktu,
kamu akan menjadi seorang yang begitu
tangguh dan kuat, lebih dari yang bisa
kamu bayangkan.

Pernah nggak kamu merasa canggung


dan aneh, saat masuk lift, melihat ada
Mas-Mas 20 tahunan, yang kerjaannya
mencetin tombol lantai lift di mall-mall
besar?

Tapi, tulisan ini juga akan mencoba


melihat apa yang sama dari nasib ketiga
orang ini. Apakah benar nasib mereka
adalah kesunyian mereka masingmasing?

Gila banget kan, ternyata ada profesi serobotic itu?

--

(Sebut Saja (Memang Nama Asli))


Fildzah, Mba-Mba Tukang Transkrip

Tentang Kerja
Banyak orang bilang kalau
persoalan tentang nasib (kaya/miskin,
susah/senang, nganggur/punya kerjaan

tetap/kerja
kontrak)
itu
adalah
persoalan sendiri-sendiri, persoalan
masing-masing, tergantung usaha dan
kerja keras masing-masing individu atau
dengan kata lain: Derita Lo!
Tapi, masa sih begitu?
Salah satu persoalan tentang
nasib seseorang yang akan sedikit kita
kupas dalam tulisan ini adalah
persoalan tentang kerja. Banyak scholar
menyatakan bahwa persoalan tentang
kerja adalah persoalan paling penting
yang mesti dibahas kalau kita ingin
menganalisis hal-hal lebih yang besar,
seperti patriarki dan sistem pendidikan.
Salah satu scholar itu bernama George
Caffentzis. Dalam bukunya In Letters of
Blood and Fire : Work, Machine, and
Crisis of Capitalism (2013), Caffentzis
menyatakan bahwa persoalan tentang
kerja (work) dan penolakan atasnya (its
refusal) adalah persoalan terpenting
harus ditelusuri dan dibahas secara
mendalam.
Nah, persoalan tentang kerja
yang akan kita bahas di tulisan ini
adalah persoalan yang dihadapi oleh
Indah, Arif, Fildzah, dan mungkin kamu
juga. Persoalan sebagai seorang
precariat.
Precariat: Kerja
Bertahan Hidup

Apa

Aja

Demi

Masa ketika menjadi seorang


precariat bisa jadi adalah masa-masa
terberat dalam kehidupan seseorang.
Hari ini kerja, punya penghasilan,
seminggu lagi belum tentu, dan bisa jadi
bulan depan sepi job atau bahkan
nganggur total. Kondisi ekonomi yang
semakin menyulitkan, seperti penaikan

harga BBM yang berdampak pada


naiknya biaya sewa kost, biaya
kebutuhan
sehari-hari,
termasuk
transportasiapalagi ojek di UI yang
mahal
minta
ampun--tentunya
merupakan beban dan tekanan hidup
bagi para precariat.
Ditambah lagi, ketiadaan jaminan
mendapatkan perlindungan sosial dari
negara, membuat precariat semakin tak
punya banyak pilihan. Militansi dan
daya
tahan
dalam
menghadapi
kehidupan yang keras pun benar-benar
diuji. Siapa aja bisa jadi apa aja dan
melakukan apa aja demi bertahan dalam
kehidupan
yang
begitu
keras.
Sayangnya, siapa aja jadi apa aja dan
melakukan apa aja itu ditentukan oleh
kondisi-kondisi lain yang kita ngga bisa
se-random itu menentukan, kita mau
jadi apa melakukan apa.
Seksisme
Memang
sulit
menjalani
kehidupan sebagai precariat, terlebih
lagi
bagi
perempuan.
Ditengah
gempuran erotic capital, pilihan
struktural yang dihadapi perempuan
precariat pun dibatasi hal-hal patriarkal
macam seksisme. Ini, misalnya, dapat
dengan mudah kita jumpai, saat kita
ditawari berbagai produk rokok oleh
para Sales Promotion Girl yang
mengenakan rok super pendek. Apakah
kamu
pikir
Mbak-Mbak
SPG
mengenakan rok pendek karena mereka
genit? Bukan! Tapi karena seksisme
yang dimanfaatkan para pengusaha
rokok untuk mengeruk keuntungan.
Para pengusaha itu tahu, masyarakat
yang patriarkal akan senang melihat
perempuan dengan rok mini dan

dengan demikian akan memudahkan


penjualan produk mereka.
Oleh karena itu, mereka pun
tidak segan untuk memanfaatkan
kondisi itu. Seperti yang dikatakan oleh
Beatrix Campbell dalam bukunya End
of Equality, pekerjaan-pekerjaan yang
berhubungan
dan
dengan
memanfaatkan unsur seks yang ada
dalam tubuh perempuan akan terus ada
selama masih ada seksisme (yang
dilanggengkan oleh kapitalisme melalui
berbagai produk dan iklan) dalam
masyarakat. Para perempuan precariat
yang memilih bekerja di berbagai
bidang yang memanfaatkan seksisme
yang bertahan dalam masyarakat
patriarkal ini pun memang tak punya
banyak pilihan. Terlebih, kebanyakan
precariat pun menjadi precariat karena
kondisi
struktural
lain
yang
melandasinya, diantaranya: mahalnya
biaya pendidikan tinggi.
Mahalnya Biaya Pendidikan Tinggi
Apa yang kamu rasakan ketika
kamu sedang berjalan-jalan di sebuah
mall besar dan melihat ada seorang
Mas-Mas usia 20an tahun berdiri di
dalam lift, berpakaian rapi, dan
memencetkan tombol lantai yang dituju
para pengunjung mall? Apakah kamu
merasa
canggung,
bingung,
dan
dipenuhi rasa yang aneh? Tentu kamu
tidak sendirian. Banyak dari kita yang
merasakan hal seperti itu. Mas-Mas
pemencet tombol lift itu pun tentu tidak
menganggap pekerjaan itu sebagai
pekerjaan impiannya. Ia hanya tidak
punya pilihan.

Jika
ia
berkesempatan
mengenyam pendidikan tinggi, ia
mungkin lebih memilih mendatangi
berbagai job fair di berbagai kampus,
atau melamar pekerjaan ke berbagai
perusahaan, dan bahkan mengikuti tes
CPNS. Jadi, ketika kamu, para precariat
lulusan
perguruan
tinggi,
harus
menyelesaikan transkripsi rekaman
wawancara dari sebuah LSM berdurasi
18 jam hanya dalam waktu 1,5 hari,
kemudian mengalami penangguhan
upah, dan di lain waktu mengalami sepi
job, sebaiknya kamu tidak merasa jadi
yang paling menderita. Bagaimanapun,
kamu punya kesempatan yang lebih
besar untuk bisa lepas dari belenggu keprecariat-an
daripada
Mas-Mas
pemencet tombol lift di mall yang tidak
punya banyak pilihan itu.
-Sebagai precariat, seringkali kita
merasa galau, merasa paling menderita,
dan mungkin putus asa. Di saat-saat
seperti itu, kata-kata terkenal dari
penyair yang mati muda itu sangatlah
mengusik nalar.
Ya, Chairil Anwar dalam salah satu
puisinya yang amat terkenal pernah
berkata
nasib adalah kesunyian masingmasing.
Namun, benarkah nasib itu
kesunyian masing-masing, sementara
kondisi yang kita alami tersebut
tidaklah unik sama sekali?

Sebagai usaha untuk menghancurkan ke-anonimus-an perempuan.


Berikut ini adalah sedikit biodata kami: (Next kamu juga nulis disini
ya! :) )

Adelia Tiarasany
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum 2010 Program Kekhususan (PK) 3 - Praktisi
Hukum. Anggota Serikat Mahasiswa Progresif UI (SEMAR UI) divisi Agitasi
& Propaganda. Mempunyai minat yang besar terhadap budaya, hukum,
sosial, politik, & kriminal-forensik. Menyukai subkultur urban/masyarakat
perkotaan & kucing.

Fathimah Fildzah Izzati


Selalu ada untuk SEMAR UI. Ilmu Politik UI 2011 (lulusnya). Anggota
redaksi IndoPROGRESS dan peneliti di Puslit Politik LIPI. Menulis diary
sejak SMP dan mengagumi the Second Sex-nya Simone de Beauvoir to the
moon and back!

Perdana Putri
Kuliah di sastra Rusia UI, bekerja Remotivi. Aktif juga di Semar UI dan
Komune Rakapare Bandung. Penggemar Bjrk & The Bee Gees ini bercitacita punya rumah kayu dan seekor anjing Rottweiler yang akan ia namai
Foucault.

Rancha Aurintiesta Belnevan


Kajian Media, Komunikasi UI 2011, aktif sebagai anggota SEMAR UI.
Lebih suka bangun pagi. Bukan setengah manusia

Syavira Wahyuni
Mahasiswi program Vokasi UI - Administrasi Perkantoran dan Sekretari UI
2014 yang juga merupakan Anggota SEMAR UI sebagai sekretaris. Suka
corat-coret (gambar), gasuka pink ,black is such a happy color, lebih suka
Batman daripada Barbie. Saatnya perempuan angkat bicara!

You might also like