You are on page 1of 15

Source: http://asia.geocities.com/djsjah/menuju_allah.

htm

PERJALANAN MENUJU ALLAH

Tuhan Yang Maha Perkasa dengan kebijaksananNya telah mengirimkan rahasia Dzat-Nya dari Langit
Tersembunyi ke Bumi, dan telah menyembunyikan rahasia itu dalam sifat manusia untuk menunjukkan
Nama dan SifatNya sendiri. Tetapi manusia yang tenggelam dalam kegelapan telah melupakan nilai-nilai
dan kesempurnaan yang dimilikinya sebelum ia datang ke dunia ini. Jika manusia cenderung kepada
dunia dan kehendak dirinya, mereka menyandang sifat bodoh, dan sepenuhnya melupakan kebenaran
dan tanah asal mereka. Allah telah menurunkan nabi-nabi dan kitab-kitab suci kepada mereka agar
mereka bangun dari tidur terlelap, untuk menuntun mereka ke jalan yang lurus, untuk memurnikan dan
menata luar dan dalam mereka sehingga mereka mampu menyapu jaringan kegelapan dan nafsu,
menemukan Alam Terang, mengingat tempat asalnya dan kembali ke sana. Jika orang mendekati Allah
satu sentimeter dengan kemauan keras, Allah akan mendekat kepadanya satu meter, dan Allah datang
dengan berlari kepada mereka yang datang dengan berjalan.

Seperti pada bahasa Mesir kuno (ba dan ka) dan Cina (hun dan <I.P'O< i>), para ilmuwan Islam membagi
ruh manusia menjadi dua: ruh hewan, dan ruh manusia. Yang mereka maksud dengan ruh hewan adalah
dzat spiritual halus yang terdiri dari nyawa, kesadaran, daya gerak dan kehendak tubuh, yaitu sifat-sifat
manusia yang juga dimiliki hewan. Diri yang bersatu dengan ruh ini disebut diri hewan (nafs al-haywani).

Semua kemampuan yang lebih tinggi pada manusia dikelompokkan oleh ulama Islam di dalam ruh
manusia. Diri yang bersatu dengan ruh ini mereka sebut diri yang bicara/berpikir (nafs al-natiqa), dan
diri inilah yang mampu mendorong ke tingkatan diri yang lebih tinggi: mencela, sadar, tenang, puas,
diridhai, dan sempurna. Tetapi karena diri hewan merupakan substrat-nya, makin sering diri manusia
tidak dapat hadir tanpa ini, diri hewan menjadi lebih jinak dan orang dapat menahan keinginan hewan.
Inilah satu-satunya jalan agar makin banyak aspek manusia dan ilahi dari diri dapat bangkit.

Tingkatan Nama Arab Nama Inggris Nama Indonesia Acuan dalam


Al Qur'an
1 Ammarah Impelling Self Diri dasar, Diri hina 12:53
2 Lawwamah Critical Self Diri yang Kritis 75:2
3 Mulhimmah Inspired Self Diri yang Sadar 91:8
4 Mutmainnah Serene Self Diri yang Tenang 89:27
5 Radhiyah Pleased Self Diri yang Puas 89:28
6 Mardhiyah Pleasing Self Diri yang Diridhai 89:28
7 Kamilah, Zakiyah Perfected, Purified Diri Sempurna
atau Safiyah Sanctified Self
TINGKATAN 1: NAFS-AL-AMMARAH (DIRI PENGUASA, DIRI DASAR, DIRI
PENDORONG)

Dalam cerita Seribu Satu Malam, Sinbad si pelaut, dalam salah satu petualangannya, kapalnya
tenggelam tetapi ia selamat. Ia berenang ke pantai setelah terdampar di sebuah pulau aneh, dan
tertidur karena kelelahan. Ketika terbangun, ia melihat bahwa sepasang kaki seorang pemabuk yang
menjijikkan menjepit lehernya. Sejak hari itu, Sinbad menjadi budak manusia kejam itu, yang tidak
pernah mengendorkan cengkeramannya dan memukuli kepalanya sepuas hati.

Tentu saja Sinbad pada akhirnya dapat lolos, dan tiada contoh yang lebih baik selain jepitan pemabuk di
atas; karena ini merupakan penjelasan terbaik dalam literatur dunia mengenai sifat diri dasar atau diri
jahat.

Bukan hanya pada mitos masa lalu atau fiksi ilmiah masa depan kita dapat menemukan diri-hina, tetapi
juga dalam literatur kontemporer, teater dan film-pendeknya, dalam seni. Minotauromachy
("Perjuangan Melawan Minotaurus") dan Guernica, karya Picasso; Steppenwolf, separuh manusia
separuh serigala, karya Herman Hesse-semua merupakan penggambaran diri-dasar. Para pengarang dan
seniman, sebagai alat pengindera masyarakat, berusaha menarik perhatian ke arah penyakit jiwa yang
menyebar sangat luas, karena agama tidak pernah menyangkal bahwa penyakit itu terjadi juga pada
abad ini.

Tentu saja, itu tadi adalah contoh-contoh ekstrim. Bagaimana dengan kita, manusia biasa? Pada sisi
gelap jiwa tiap orang, bersembunyi sebuah Minotaurus, yang dengan sabar menunggu untuk beraksi. Ia
terselubung, kita mungkin tidak menyadari kehadirannya, tetapi ia ada di sana. Minotaurus merupakan
simbol dari kehendak-kehendak diri yang kompleks. Dan putri yang ditawan yang menunggu
penyelamatan, adalah ruh. Kita harus memilih antara ruh dan ego kita; tidak dapat keduanya dibebaskan
sekaligus. Jika diri-hina dibebaskan, ia akan mencekik ruh. Ego dapat menekan ruh sedemikian rupa
hingga kita menjadi mesin tak berjiwa. Maka, untuk membangkitkan dan membebaskan ruh kita, kita
harus memenjarakan ego kita. Baru kemudian perkembangan spiritual dimungkinkan, dan baru
kemudian ruh berkuasa.

Pengendalian diri ego menjadi lebih penting pada zaman ini. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, orang yang paling rendah sekali pun kini menikmati hak yang tak terbayangkan oleh Fir'aun
dan kaisar-kaisar masa lalu. "Kotak ajaib" membawa suara dan gambar dari belahan dunia lain; "kereta
yang berjalan sendiri" dapat membawa seorang miskin dengan kecepatan yang tak terbayangkan oleh
para raja dahulu; orang desa di Afrika dapat berkomunikasi dengan keempat sudut dunia. Pemerataan
kesempatan dan barang yang dulu tidak terbayangkan, hanya dapat disambut, dan tak seorang pun
berpikir bahwa hal ini buruk.

Namun di situ ada bahaya. Pengendalian diri ego relatif mudah dalam keadaan "kekurangan", tetapi
menjadi sulit dalam keadaan "kelimpahan". Karena diri-hina cenderung untuk berkembang dalam
keadaan demikian, kemewahan kita dapat menjadi kemunduran terselubung.

Pandangan ekologis sangat relevan di sini. Bukan konsumsi maksimal, tetapi konsumsi yang lestari;
berpegang pada prinsip emas; tidak mengambil sesuatu lebih dari yang diperlukan meskipun kita berada
di dekat lautan luas. Begitulah kita mengendalikan diri, mempertahankan standar hidup kita, dan
memberi sumbangan kepada demokratisasi sumber daya (berbagi dengan sesama dalam penggunaan
kekayaan dunia) dalam kelimpahan.

Pada tingkatan awal, diri manusia atau diri bicara/berpikir dikekang oleh diri daging dan tertahan di
tingkatan ini; kita didorong ke arah perbuatan buruk, dan karena itu kita menyebut dengan istilah diri
pendorong. Cirinya adalah kebiasaan buruk seperti kebodohan, egois, tamak, sombong, pementingan
diri sendiri, nafsu, iri, kelakuan buruk, kegiatan tak bermanfaat, menertawakan dan menyakiti orang
lain.

Diri pendorong merupakan beban bagi manusia. Ibarat seorang anak yang pemabok yang selalu
melakukan kekotoran dan memaksa ayahnya merapikan bekas-bekas perbuatannya

Diri atau "aku" merupakan produk dari karunia Allah yang tak terhingga, tetapi ini kemudian dikotori
oleh ketertarikan kepada dunia dan pemihakan kepada nafsu sendiri. Ini terjadi berkat pengaruh nafsu
hewan yang merupakan nafsu murni, terikat dengan nafsu dan menjadi sifat hewan. Terjadi penyerapan
sifat hina hewan, hingga perbedaan yang tersisa antara manusia dengan hewan hanyalah bentuk
luarnya. Syaitan pun memperoleh kekuatan dari sini. Diri hina adalah musuh di dalam diri kita; ia bersifat
memaksa dan menjajah seperti diktator. Selain itu, ia muncul dari tempat dan pada waktu yang tak
terduga, ketika kita mengira telah mengalahkannya, dan memaksa kita untuk memenuhi kehendaknya.
Hanya setelah semuanya berlalu, kita baru menyadari apa yang terjadi.

Ahmad Sirhindi, seorang wali tersohor, berkata: "Dalam keadaan aktif, diri hina berusaha untuk menjadi
penguasa, menjadi pemimpin, dan lebih besar dari sesamanya. Ia menghendaki agar semua makhluk
tergantung kepadanya dan agar mereka mematuhi perintah dan larangannya. Ia menolak
ketergantungan dan hutang kepada pihak lain. Ia mengaku bersifat ilahi dan bersekutu dengan Allah.
Tentu saja, diri yang bersifat memaksa, mengerikan dan jauh dari kebahagiaan, tidak akan tenang meski
berpartner dengan Allah. Ia bahkan ingin mengalahkan Allah dengan memperhamba segala yang ada.
Oleh karena itu maka perbuatan membantu dan membina diri-hina ini, musuh Allah ini, hingga ia dapat
mempertahankan kepemimpinan dan kekuasaan, merupakan kebodohan dan bencana terbesar."

Makhluk menakutkan itu hanya dapat dijinakkan dengan pengendalian. Berikan diri pendorong itu
haknya, tetapi jangan biarkan ia menikmatinya. Kata Abdulkadir Jailani, salah satu wali besar:

Hak-hak diri adalah makan, minum, pakaian, dan rumah, seperlunya. Kenikmatan merupakan hal yang
disukainya, nafsunya, dan keinginannya. Berikan haknya menurut ukuran yang ditentukan di dalam
syariat. Berikan kepadanya apa-apa yang halal atau bersih, jangan sekali-sekali memberinya barang
haram atau kotor. Puaslah dengan yang sedikit, asalkan halal. Biasakan dirimu dengan hal ini.

Bila kamu ingin kebebasan, lawanlah dirimu sebagai tanda kepatuhanmu terhadap Tuhanmu. Jika dirimu
cenderung mematuhi-Nya, setujuilah. Jika cenderung terhadap dosa, lawanlah.

Jangan singkirkan tongkat perjuangan dari belakangmu. Jangan percaya pada tipu dayanya. Ia akan pura-
pura tertidur. Ketika binatang buas itu pura-pura tidur atau kelelahan, kamu mungkin tidak memiliki
perlindungan. Ia selalu mencari kesempatan ketika ia tampak tidur atau lelah. Begitulah sifat predator.

Diri adalah bagaikan predator. Ia beraksi ketika tampak mengantuk atau tidur, namun ketika melihat
kesempatan, ia beraksi. Di luar, tampaknya diri itu patuh, taat, dan setuju dengan kebaikan; tetapi ia
menyembunyikan kebalikannya. Jadi, hati-hatilah ketika ia tampak patuh.

Obati dirimu sendiri. Katakan: "Kebaikan apa pun yang kamu lakukan, adalah demi kepentinganmu
sendiri, dan keburukan yang kamu lakukan adalah penderitaanmu. Apa pun yang kamu lakukan, baik
atau buruk, semua akan kembali kepadamu."

Berjuanglah melawan dirimu sendiri, karena Allah bersabda: "Siapa pun yang berjuang di jalanku, Kami
akan membimbingnya ke jalan yang lurus" (29:69), dan juga: "Jika kamu menolong agama Allah, Ia akan
membantumu" (47:7).

Jangan beri kesempatan kepada dirimu, jangan penuhi tuntutannya. Hanya dengan begitu kamu dapat
menemukan keselamatan dan kebebasan. Jangan sekali-sekali tersenyum kepadanya. Jika ia
mengatakan seribu hal, jawablah sekali saja, sampai kamu yakin bahwa kelakuannya membaik dan
tenang. Jika ia minta sesuatu untuk kesenangan, tangguhkan dengan berkata: "Tunggu nanti di Sorga."
Biasakan menyabarkan keinginan. Jangan langsung turuti perkataannya, karena ini selalu cenderung
kepada keburukan. Sudah pasti, apa yang diinginkannya ialah agar kamu melakukan keburukan. Kalau
kamu terpaksa menjawabnya, katakan "Tidak". Penolakan terhadap diri merupakan jalan menuju
perbaikan.

Kesabaran di jalan ini mempunyai akhir. Kesabaran itu berbatas, namun hasilnya tak terbatas.

Masuk Perangkap Syaitan

Syaitan adalah asas keburukan yang ada di dunia luar. Meskipun merupakan asas yang abstrak, tetapi ia
dipersonifikasikan karena Al-Qur'an dan kitab-kitab suci sebelumnya menulis bahwa ia adalah malaikat
yang terkutuk karena selalu mencoba menipu manusia dari tujuan baiknya, yaitu mencapai Surga dan
persahabatan dengan Allah. Tidak seperti agama-agama lain, syaitan dalam Islam tidak memiliki
kekuatan supranatural yang besar, dan kemampuannya terbatas pada menipu mereka yang percaya
kepada ajakan sesatnya. Karena itu, ia disebut "Pembujuk" di dalam Al-Qur'an.

Salah satu siasat jitu syaitan ialah meyakinkan manusia bahwa ia tidak ada. Dengan demikian, ia dapat
bekerja pada orang yang tidak curiga, dan melanjutkan pekerjaannya tanpa terganggu. Karena segala
sesuatu terlihat sebagai kebalikannya, penyangkalan keberadaan syaitan mengakibatkan penyangkalan
keberadaan kebaikan dan Allah. Jika titik ini tercapai, orang terjebak dalam gejolak moral di mana baik
tidak dapat dibedakan dari buruk, sehingga tendensi untuk melakukan keburukan meningkat, karena
orang tidak menghalangi perbuatan itu.

Di dalam manusia, syaitan berkawan dengan diri hewan, diri yang selalu mendorong keburukan. Jika
orang mengikuti bujukan syaitan dan masuk ke dalam perangkapnya, asas luar keburukan menjadi asas
dalam. Derita internal berubah menjadi derita eksternal.

Ketika seseorang mencapai tingkatan diri pendorong yang demikian, syaitan mendekatinya dan
mencoba menyimpangkan jalannya, memberondongnya dengan sugesti: "Untuk apa kamu berada di
jalan itu? Semua yang memasuki jalan itu telah mati. Hanya perkataan dan bukunya saja yang tinggal.
Aku tahu kamu hendak memasuki Jalur Kebenaran. Tetapi siapa yang membimbingmu? Tunjukkan,
mana orang-orang berkemampuan tinggi itu, Pejuang dan Pengamat besar, yang mampu membuat
mu'jizat? Itu sudah berlalu. Kini, tak ada lagi seorang pun. Hal terbaik bagimu ialah berpegang pada
syariat, puas dengan itu, dan minta bantuan dari para wali yang sudah meninggal."

Tipu daya merupakan esensi syaitan, dan di sini ia mencoba menyembunyikan fakta ini. Manusia
sempurna, mursyid yang guru yang mumpuni, selalu ada pada segala zaman. Muhammad
menggabungkan dua aspek dalam dirinya: kenabian dan kewalian. Meskipun ia merupakan Nabi
Terakhir dan tidak akan ada lagi nabi, atribut kewalian (persahabatan dengan Allah) akan terus
berlangsung.

Jika orang tersebut mendengarkan nasihat syaitan, ia akan mengendorkan upaya dan perjuangannya
dalam jalur spiritual, semangatnya turun, dan rasa takut dalam melanjutkan perjalannya akan muncul.
Jika demikian, syaitan akan datang dan berkata: "Allah selalu mengampuni. Ia mencintai mereka yang
melaksanakan Perintah untuk hal-hal yang diperkenankanNya. Jangan kasari dirimu lagi. Perlakukan
dengan lembut, supaya ia menaatimu."
TINGKATAN 2: NAFS-AL-LAWWAMAH (DIRI YANG KRITIS, MENCELA)

Tingkatan kedua dari diri rasional disebut "kritis," "menyalahkan, mencela, menyesali," atau "mencari
jiwa," karena menyangkal perintah jahat dan mencela diri sendiri. Beberapa sifat diri pendorong masih
ada pada tingkatan ini, tetapi sudah timbul kemampuan untuk membedakan kebenaran dari keburukan.
Diri ini gusar ketika menemukan sifat buruk di dalamnya, tetapi tidak mampu menghilangkannya. Ia
mencintai hukum syariat dan guru spiritual, dan melakukan banyak amal, seperti shalat, puasa, dan
zakat. Tetapi, kemunafikaan tersembunyi masih bersamanya.

Pemilik diri ini ingin agar amal perbuatannya diketahui banyak orang. Ia melakukannya demi Allah, dan
juga untuk dipertontonkan. Namun ia bosan dengan kebiasaan ini, dan tidak dapat menemukan
ketenangan, tetapi tidak dapat melepaskan diri dari keadaan ini.

Mereka pada tingkatan ini, atas pilihannya sendiri, memutuskan untuk mematikan dirinya dan berada di
sisi Allah, dan memasuki jalur kematian atas kemauan sendiri sebelum kematian fisik merenggutnya.
Nabi bersabda: "matilah sebelum kamu mati," yaitu, bunuhlah dirimu sendiri. Musa mengatakan hal
yang sama kepada umatnya: "Bunuhlah dirimu" (2:54). Yang dimaksud dengan "diri" di sini adalah ego-
yaitu pementingan diri. Sudah pasti, yang dimaksud di sini bukanlah bunuh diri.

Orang tersebut harus terus berjalan tanpa berhenti di tingkatan ini, karena ada bahaya besar dan
kelelahan di tingkatan 2. Mereka yang berhenti di sini tidak dapat menemukan ketenangan atau
keselamatan.

Dua bahaya pada tingkatan ini ialah congkak dan amarah. Amarah terbentuk dari api yang sama yang
dipakai untuk membuat syaitan. Ketika Aisyah, isterinya, marah, Nabi berkata: "Ini adalah api yang
disebut tempat syaitan."

Keadaan marah ini sangat berbahaya dan musuh terkutuk bagi pemiliknya. Hakikat dari kebiasaan buruk
ini adalah kecongkakan. Pengikisan kecongkakan ini dari diri seseorang adalah pengobatan yang terbaik.

Amarah dan congkak dapat diobati dengan tiga cara:


Ketika congkak hilang, amarah akan hilang pula dengan sendirinya. Selama penyebabnya masih ada,
congkak tidak dapat dihilangkan. Penyebab congkak adalah perut yang kenyang. Ini memperkuat
congkak, dan amarah mulai merusak tabiat. Karena itu, lapar dan kurang tidur harus dibiasakan. Akar
congkak harus dicabut dengan lapar.

Obat terbaik untuk penyebab amarah adalah berpikir bahwa diri kita lemah, dan karena itu berpikir
bahwa kita tak beralasan untuk menyerang orang lain. Kita harus mengancam diri kita dengan buah
kemarahan yang pahit dan balasan Allah. Kebajikan, kasih sayang, dan kelembutan itu perlu, tetapi
mengatasi amarah itu lebih penting.

Bila anda berdiri ketika marah, duduklah; kalau anda duduk, berdirilah. Jika mungkin, kerjakan wudhu,
rebahkan badan menghadap ke atas, dan baca doa ini: "Ya Allah, tambahlah pengetahuanku, hiasilah
aku dengan kelembutan, jadikan aku orang yang tunduk dan takut kepada-Mu, berilah aku
kesejahteraan dan kesehatan. Amiin."

Syaitan iri kepada salik, dan mencoba mencegah kehadiran Allah. Akibatnya, orang itu tidak menyukai
sesuatu pun atau takut kepada siapa pun.

Syaitan membuat perbuatan seseorang tampak menyenangkan bagi orang pada tingkatan ini, dan
memasukkan perasaan mencintai diri sendiri. Kemudian ia seolah-olah berpihak kepada kebenaran, dan
berkata: "Kini kamu sudah mempelajari segalanya. Mulai sekarang, kami tidak perlu belajar lebih lanjut,
atau mengikuti kelompok diskusi orang-orang bijaksana dan berilmu, atau mendengarkan khotbah-
khotbah. Biarlah mereka itu menasihati dirinya sendiri; mereka hanya melaksanakan sepersepuluh dari
amal-amalmu!"

Hasil tipuan ini ialah, orang menjadi begitu terpedaya dan sama sekali tak mau mendengarkan nasihat
guru. Ia shalat menurut kehendaknya sendiri, dan tenggelam di dalam gelapnya kebodohan.

Siasat dan tipuan merupakan senjata syaitan. Kalau bisa, ia ingin menenggelamkan semua amal kita; dan
jika tidak dapat, ia akan menganjurkan amal yang lebih tinggi di dalam hati kita, begitu tinggi sehingga
kita tidak mampu menjalankannya. Ia mendukung amal itu dan memaksa orang tersebut untuk
melakukannya, sehingga dalam upaya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi itu, orang ini
meninggalkan amal-amal yang kecil. Dengan demikian, ia kehilangan kedua-duanya.

Misalnya, syaitan menyarankan agar orang itu melakukan ibadah haji, meskipun ia tidak mempunyai
sarana yang memadai untuk melaksanakannya. Salik itu merintis jalan tanpa atau hanya dengan sedikit
persiapan, dan menjadi melarat. Hatinya menjadi gelap, ia menunda-nunda shalatnya, melakukan gosip,
menyumpah, dan terlibat dalam berbagai perbuatan buruk. Sementara ketika ia berhati cerah, bersikap
manis di rumah, memperlakukan dirinya dengan kelembutan dan menghargai orang lain lebih tinggi dari
dirinya sendiri, kini ia mulai menghujat orang lain dan menganggap mereka rendah. Kelakuannya
menjadi buruk, hatinya gundah, dirinya tidak tenang, bernafsu dan senang mencari kesalahan orang.
Dengan demikian, upaya syaitan itu berhasil.

Jika Allah menyelamatkan dan melindunginya dari tipuan syaitan itu, orang itu dapat dinaikkan ke
tingkatan ketiga dengan tekun melaksanakan tata cara syariat dan persyaratan sekolah mistik yang
diikuti.
TINGKATAN 3: NAFS-AL-MULHIMMAH (DIRI YANG SADAR)

Tingkatan ini disebut sadar (inspired) karena menerima inspirasi dari Allah tanpa perantara. Meskipun
lebih tinggi dari diri kritis, ini pun merupakan tingkatan yang berbahaya dan memerlukan panduan
mursyid (guru) yang sudah tercerahkan. Kalau tidak, dikhawatirkan ia akan kembali ke tingkatan
sebelumnya.

Tingkatan ini, yang lebih tinggi dari dua tingkat sebelumnya, tidak terlindung dari godaan syaitan dan
ego. Pada tingkatan ini Allah juga memberi petunjuk sehingga membingungkan.

Syaitan masih berupaya keras dalam tingkatan ketiga ini. Dengan berpura-pura memihak kebenaran, ia
berkata: "Kini kamu telah melihat, mendengar dan mengerti semuanya. Kamu sudah menjadi guru.
Untuk apa kamu masih saja melakukan amalan yang berat itu? Mulai sekarang, tinggalkan shalat dan
pekerjaan yang tampak dari luar. Manfaatkan waktumu dengan shalat hati, dengan konsentrasi dan
kontemplasi (pikirkan Allah dan upayakan untuk melihat-Nya). Itu lebih penting daripada shalat fisik."

Jika salik (= orang yang berjuang menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah) terbawa oleh
bujukan itu dan meninggalkan shalat serta perjuangannya, hatinya mulai gelap dan syaitan berkuasa lagi
atas dirinya. Syaitan mendekat dan berkata: "Kamu adalah kebenaran dari Tuhanmu, dan Ia adalah
kebenaranmu. Kini kamu menjadi seorang wali. Segala kewajiban dan larangan kepada hamba tidak lagi
berlaku bagimu. Karena itu, kamu dapat melakukan apa pun yang kamu sukai. Segalanya diperbolehkan
bagimu. Kamu tidak akan diminta bertanggung jawab."

Ini merupakan tipuan syaitan yang paling jahat, karena segala sesuatu tidak diperkenankan selama
seseorang menyangkal Allah.

Jika hal ini terjadi, tabir kegelapan menutupi penglihatan fisik dan spiritual si salik sedemikian rupa
hingga ia sepenuhnya tidak mampu lagi melihat kebenaran. Ia tidak ragu-ragu lagi melakukan kejahatan,
seperti mencuri, berdusta, berzina, atau minum. Keyakinannya rusak. Ia tidak lagi takut kepada Allah. Ia
menjadi permainan syaitan, mengesampingkan Allah, dan menjadikan syaitan pemimpinnya. Ini
merupakan akhir cerita buruk bagi mereka yang mengikuti perkataan syaitan.

Jika karunia Allah menyelamatkan salik itu, jika ia tetap teguh menjalankan shalat dan berjuang dengan
cinta dan sabar, ia naik ke tingkatan 4.
TINGKATAN 4: NAFS-AL-MUTHMAINNAH (DIRI YANG SADAR)

Diri manusia atau rasional (bicara/berpikir) dalam tingkatan ke-4 adalah puas, hatinya tenang, dan
kesedihannya hilang oleh sabda Allah.

Pada tingkatan ini salik tak sedikit pun menyimpang dari syariat. Ia menikmati dalam menjalankan
perbuatan moral Nabi, hatinya puas dalam mengikuti contoh perbuatan dan kelakuan. Segala kata-
katanya serasi dengan Al Qur'an dan Hadits. Orang yang mendengarkan perkataannya tidak merasa
bosan, karena kebenaran dan kehalusan telah dicurahkan Allah ke dalam hatinya menjadi hidup di
dalam perkataannya. Ia mencerahkan orang-orang di sekelilingnya, dan mengisi sebagian besar waktu
hidupnya dengan shalat dan dzikir. Ia telah memiliki sifat-sifat yang baik, menjadi dermawan, suka
menolong percaya pada Allah, pasrah, sabar, berpengharapan, jujur, lembut hati, ceria, bersyukur,
menyembunyikan aib orang lain, pemaaf, dan riang hati. Ia tidak peduli dengan kemampuan paranormal
yang tumbuh pada dirinya, dan mengikatkan diri pada Allah yang merupakan sumber sejati dari
fenomena ini. Ia tahu bahwa kecenderungan kepada kemampuan ini adalah memalukan dan
menyesatkan. Manusia sempurna tidak tahu adanya kemampuan spiritual yang muncul pada dirinya,
dan kalau pun tahu, mereka menganggapnya tidak penting; mereka mencoba menyembunyikannya,
tidak memberitahukannya kepada siapapun.

Setelah perjuangan keras, salik dalam tingkatan 4 ini akhirnya dapat mengalahkan syaitan. Ia taat
kepada Perintah-perintah Allah dan Sunnah Nabi dalam setiap gerakan dan perbuatan. Keduanya itu
merupakan pelampung penyelamat di lautan yang penuh rintangan. Maka salik yang mencapai tingkatan
telah benar-benar mengalahkan syaitan, dan bahaya-bahaya yang ada pada tingkatan-tingkatan
sebelumnya tidak ada lagi pada tingkatan ini. Mulai sekarang langkat untuk menuju tingkatan yang lebih
tinggi akan lebih mudah. Al Qur'an menggaris bawahi dengan ayat: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhamu, kamu puas dengan Dia dan Dia ridha kepadamu" (89:27-28).

Syaitan tidak dapat mendekati orang dari tingkat kematangan seperti ini, dan kalau pun bisa, ia tak
dapat mencapai hatinya atau menariknya keluar dari jalur. Ketika syaitan mendekati guru besar
Abdulkadir Jailani dan berkata: "Abdulkadir, Aku ini Tuhanmu. Kini aku halalkan apa yang dulu aku
haramkan bagimu. Lakukan apa yang kamu inginkan," beliau menjawab: "Kamu bohong. Kamu adalah
syaitan. Allah tidak pernah ingin agar Larangan-Nya dikerjakan, dan tak akan memerintahkan siapa pun
untuk melakukannya."
TINGKATAN 5: NAFS-AL-RADHIYAH (DIRI YANG PUAS)

Diri manusia pada tingkatan ke 5 disebut diri yang puas karena telah mencapai kepuasan yang matang
dalam semua aspek, ia tetap puas dengan Allah walau apa pun yang terjadi. Sifat diri pada tingkatan ini
ialah: menghindari Larangan, mencintai dengan hati yang murni, damai, berkemampuan spiritual,
pasrah, meninggalkan dan melupakan segala sesuatu kecuali Allah. Ia menerima kejadian apa pun di
dunia ini dengan tenang, tanpa protes. Karena ia telah mampu mengendalukan dirinya sendiri, ia tidak
mendekati hal-hal terlarang. Allah tidak pernah menolak doanya dan selalu menerimanya. Tetapi sifat
malu dan kerendahannya membuatnya tidak berdoa; ia malu untuk meminta sesuatu dari Allah. Ia
hanya berdoa hanya kalau terpaksa, dan tentu saja doanya dikabulkan. Ia dikaruniai penglihatan Allah. Ia
didudukkan di suatu singgasana di dunia dalam sedemikian hingga dunia luar siap menjalankan
perintahnya.
TINGKATAN 6: NAFS-AL-MARHIYAH (DIRI YANG DIRIDHAI)

Diri rasional pada tingkatan ketiga dibuat diri yang diridhai karena Allah senang (ridho) dengannya.
Orang pada eselon ini menyandang moralitas Allah. Ia telah meninggalkan keinginan manusia dan
menjadi arif. Ia mengampuni kesalahan orang lain, menyembunyikan aib orang, dan selalu berpikir
positif. Ia baik hati, dermawan dan menyayangi orang. He mencintai dan berpihak kepada manusia,
berusaha menyelamatkan mereka dari penjara alam dan kegelapan ego, ke dalam cahaya ruh.
Kecintaannya semata-mata demi Allah, dan karena itu sangat berharga. Diri yang diridhai
menggabungkan cinta makhluk dan cinta Allah.

Salik pada tingkatan ini bersikap moderat dalam segala perbuatannya. Ia tidak melebih-lebihkan, dan
tidak mengurangkan. Sikap hidup ini tampaknya mudah, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Semua
orang ingin memiliki sifat ini, tetapi hanya sedikit yang mampu karena memang sangat sulit untuk
dipertahankan. Ini merupakan karunia dan berkah khusus bagi orang-orang di tingkatan diri ini.

Bagi orang yang matang pada tingkatan 6, tanda awal kekuasaan yang besar mulai tampak. Pada akhir
proses ini, ia memakai pakaian kebesaran dari tingkatan ini. Hamba itu tahu semua rahasia halus melalui
pengetahuan yang diberikan Tuhannya. Allah memberitahukan rahasia itu kepada hambaNya dengan:
"Aku mengajarkan kepada Adam nama semua benda." Ada rahasia-rahasia yang berkaitan dengan
tingkatan ini yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tidak mungkin bagi orang yang tidak
berada di tingkatan ini untuk memahaminya, karena mereka tidak mempunyai korelasi dalam dunia fisik
yang dapat dijadikan perbandingan.
TINGKATAN 7: NAFS-AL-KAMILAH (DIRI YANG SEMPURNA, SUCI, LENGKAP)

Diri manusia yang naik ke tingkatan 7 disebut diri yang sempurna karena telah mencapai puncak
kematangan, dan diri yang suci karena telah sepenuhnya disucikan. Salik dapat mencapai tingkatan 6
dengan perjuangan, tetapi tingkatan 7 hanya dianugerahkan kepada mereka yang dipilih Allah.

Tingkatan 7 ini merupakan yang tertinggi. Kerajaan Allah (Kerajaan yang disebut Nabi Isa sebagai di
dalam dirimu) telah mencapai kesempurnaan, dan perjuangan telah selesai. Pertapaan dan penekanan
diri tidak diperlukan lagi, cukup baginya untuk melakukan perbuatan yang moderat dalam semua hal.
Pemilik tingkatan ini tidak lagi mempunyai kehendak karena seluruh anugerah sudah diserahkan
kepadanya. Namun, ia masih terus mengharap ridho Allah.

Tindakan-tindakan being pada tingkatan ini semuanya berupa kebaikan dan penyembahan Allah.
Napasnya merupakan kekuatan dan keindahan. Perkataannya yang lembut merupakan pengetahuan
dan kebijaksanaan, kebaikan dan caahaya. Wajahya yang diberkati memancarkan kedamaian dan
ketenangan.

Orang pada tingkatan ini selalu menyembah Allah, dan tak pernah meninggalkannya sesaatpun. Ia
menyembah dengan semua organ tubuhnya, dengan lidah, tangan dan kaki atau hanya dengan hatinya,
dan tidak pernah melalaikan Tuhannya.

Orang yang demikian sering sekali beristighfar. Ia sangat merendah. Kecenderungan orang kepada Allah
sangat menggembirakannya. Ia sedih dan tersinggung jika mereka melalaikan Allah. Ia mencintai mereka
yang cenderung kepada Allah, lebih dari cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Baik cinta maupun
kemarahannya semata-mata karena Allah. Apa pun yang dilakukannya adalah benar. Ia bertindak adil
dalam segala hal. Kehendak-kehendaknya selalu sesuai dengan kehendak Allah.
MENGATASI MASALAH DUNIA

Kewalian, peningkatan ke tingkatan diri yang lebih tinggi, merupakan pekerjaan yang berat. Ini
merupakan tantangan tetapi juga merupakan janji. Ini merupakan tantangan yang hanya dapat dipenuhi
oleh orang-orang yang paling tekun. Ini merupakan janji yang tak seorang pun akan dikecewakan dengan
alasan apapun. Sebagai manusia, anda sudah memenuhi syarat untuk ikut melamar. Satu-satunya
penghalang adalah tiadanya upaya dan perjuangan dari anda.

Tentu tidak semua dari kita dapat mencapai tingkatan yang tertinggi, namun cukuplah bagi kita semua
untuk berjuang sebisa mungkin melawan diri-hina kita. Tidak peduli seberapa jauh kita dapat maju, kita
akan mendapatkan kebaikan bagi kita sendiri, dan bagi masyarakat.

Penjelasan di atas hanya merupakan ikhtisar dan petunjuk umum untuk memahami Kitab Alam semesta.
Mengalami sendiri realita dari penjelasan tersebut merupakan hal lain. Allah Yang Maha Perkasa telah
bersabda kepada manusia di dalam Al Qur'an bahwa masih banyak tanda-tanda di dalam setiap benda
yang tampak. Sesungguhnya setiap kata yang diucapkan seseorang mempunyai makna yang berbeda
bila didahului atau diikuti dengan kata tertentu. Serupa dengan itu, terdapat rahasia di dalam setiap
benda atau kejadian, dan masing-masing tampak berbeda bagi tiap manusia. Pemahaman langsung
terhadap hal ini sangat sulit, dan jarang. Allah hanya membuka rahasia itu hamba-Nya yang bijak yang
tahu akan dirinya sendiri, dan menyembunyikannya dari hambanya yang bodoh.

You might also like