You are on page 1of 10

Fungsi dan peranan pers

Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi


pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial .
Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan
peranan
sebagai berikut:
memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui menegakkkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia,
serta menghormati kebhinekaan mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan,
kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran
Berdasarkan fungsi dan peranan pers
yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat
demokrasi( the
fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta
pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers
itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers

dari pemerintah.
Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar
pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman
peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap
kebebasan pers.
Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn yang sangat
membatasi kebebasan pers . hl ini terlihat, dengan keluarnya Peraturna Menteri
Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izn Usaha penerbitan Pers (SIUPP),
yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi
redaksional pers dan pembredelan.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis
pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk , namun
tanpa
pers bebas yang ada hanya celaka.
Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah,
pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segal sesuatu yang menrutnya tidak
beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka
memberitakan hah-hal yang slah daripada yang benar. Pandangan seperti itu
sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif,
melainkan
parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga
memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan
yang
meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah
berbagai
kesulitan.

MAKALAH PERS
Maret 4, 2009 · Disimpan dalam Uncategorized

BAB I
PENDAHULUAN

Pandangan klasik yang dikemukakan de Sola Pool (1972) mengenai posisi wartawan
terhadap penguasa (negarawan) adalah bahwa wartawan mengkonotasikan dirinya sebagai
sebagai The St. George, sementara pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon jurnalistik
yang ada hal ini lebih dikenal dengan istilah relationship of government and the media.
Jargon ini berasal dari Amerika Serikat karena disana keadaan semacam ini sesungguhnya
hanya terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan dengan pemerintah
memang demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa untuk memberitakan
sesuatu yang bersumber berasal dari pemerintah.
Di Amerika Serikat pers begitu bebas untuk memberitakan. Wartawan memiliki keluasaan
yang besar untuk mencari dan menulis apa yang mereka suka. Di negara demokrasi, peran
pers berbeda dengan negara otoriter. Di negara yang menganut sistem demokrasi, maka pers
berfungsi sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain sebagai kawan juga lawan.
Hubungan antara wartawan, elit politik dan pemerintah begitu mewarnai perkembangan pers
disana. Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers. Kebebasan ini secara
implisit disebutkan dalam amandemen pertama dari konstitusi Amerika Serikat, bahwa media
massa diharapkan memperoleh akses atas government records.

BAB II
Pembahasan

1. Kebebasan Pers di Indonesia


Betulkan kebebasan pers di Indonesia mengalami kemajuan atau malah kemunduran dalam
arti seluas luasnya? Betulkan para jurnalis terutama pelaku industri media tidak bisa
memaknai perbedaan antara freedom of the press dengan free of press? Lalu dimana letak
kesamaan dan perbedaan kebebasan pers yang ada di Indonesia saat ini dengan di Amerika
Serikat? Mengingat Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki budaya normatif
(ketimuran/melayu) yang masih dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakat. Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pemerhati pers, akademisi, birokrat ataupun
masyarakat Indonesia pada umumnya dalam melihat perkembangan pers tanah air pasca orde
baru. Dikalangan pekerja pers sendiri juga belum ada satu konsensus tentang wujud
kebebasan pers yang cocok dengan ciri khas ke Indonesiaan. Apakah harus mengikuti gaya
barat? Atau paradoks seperti sekarang ini.
Bila merujuk de Sola Pool (1972) bahwa hubungan wartawan dengan para politisi seperti
halnya yang terjadi Amerika Serikat, menurut penulis juga dialami dalam tubuh pers
Indonesia sekarang terutama sejak bergulir reformasi. Namun tidak pada jaman orde baru.
Dalam era reformasi, pers nasional benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras.
Wartawan sebagai pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka
ini benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Dulu wartawan Indonesia
dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Kini tidak lagi karena
keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengamatkan
kebebasan mutlak.
Lahirnya undang undang tersebut tersebut sebagai pengejawantahan kemerdekaan pers yang
bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam
memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan
bagi masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal 1 butir 1 Undang
Undang Pers Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional, bertanggung jawab dan
menjaga independensinya.
Pers memiliki beban moril, menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan
kerja-kerja jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang
dibuat bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung
jawab secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan, menjaga netralitas
dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik dan mengawasi segala bentuk
ketimpangan. Pers selayaknya menjaga kebebasannya dengan tidak bertindak kebablasan.
Angin segar kebebasan pers, mengantarkan penyajian informasi cenderung lepas dan tidak
terkontrol. Hak media untuk memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata
sangat berpengaruh terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan
yang mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa
terkadang tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur
komsumtif yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal
dan politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak. Media
kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal.
Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus
melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki
siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi
rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan
menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik
dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus
dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya
lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.
Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu
sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang
mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki
keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarkat. Pers
idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap
berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta,
mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai
berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat.
Secara umum, Daniel Dhakidae, melalui desertasinya di Cornell University tentang The
State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of
Indonesia News Industry, menjelaskan pengaruh struktur dalam menekan kebebasan pers di
Indonesia. Terdapat korelasi yang kuat antara struktur kekuasaan dan kebebasan pers.
Manakala struktur kekuasaan menguat, kebebasan pers melemah. Sebaliknya, jika struktur
kekuasaan melemah, kebebasan pers menguat (Dhakidae, 1991).
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia sekarang? Kekuatan-kekuatan pemerintah
mestinya adalah yang paling besar saat ini karena legitimasinya relatif sangat tinggi. Namun
berlawan dengan asumsi Dhakidae, bahwa kekuatan pers juga terlihat amat kuat. Pers seakan
bebas memberitakan apa saja tentang segala hal, termasuk tentang pejabat pemerintah.
Beberapa pers terkesan “kebablasan” dan seakan tanpa batas lagi. Banyak kasus
memperlihatkan betapa ketika satu pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah media berniat
menuntut, ternyata media dimaksud sudah tidak terbit lagi karena tidak mampu bertahan
secara finansial sehingga hanya terbit satu hingga enam kali saja
Namun lagi-lagi bahwa kebebasan pers telah ikut berperan bagi tegaknya demokrasi dan
pemerintahan yang bersih. Terbongkarnya berbagai penyimpangan yang dilakukan para
pemegang kekuasaan adalah salah satu contoh nyata manfaat kebebasan pers. Manfaat lain
adalah terbukanya berbagai wacana penting dalam kehidupan berbangsa yang bisa dimasuki
oleh publik dalam arti seluas-luasnya-sesuatu yang musykil di sebuah negara dengan pers
yang ditindas.
Harus diakui kritik atas kebebasan pers di Indonesia karena pers kita yang terlalu liberal
seperti Amerika Serikat. Banyak tokoh pers nasional mengungkapkan kekhawatirannya itu.
Tjipta Lesmana (2005) misalnya mengatakan dalam era reformasi yang penuh euphoria
kebebasan terjadi kecenderungan pada sementara wartawan kita untuk bersikap arogan.
Mereka selalu menonjolkan kebebasan daripada tanggungjawab sosial. Tarman Azzman
(2005), mengatakan munculnya sikap arogansi sebagian komunitas pers yang benar benar
terkesan betapa sangat bebasnya pers Indonesia melebihi kebebasan pers di Amerika Serikat,
Australia, Jepang dan Eropa Barat sekalipun. Pengacara OC Kaligis (2005) juga ikut
memberikan catatan khusus tentang kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya situasi
kebebasan pers sekarang kiranya sama dengan situasi pada masa transisi di Amerika Serikat.
Kebebasan yang yang tidak bisa lepas dari kepentingan kepentingan politik, kelompok atau
orang-orang tertentu.
Bukan berarti bahwa sejumlah tudingan dari berbagai kalangan tadi tidak diperhatikan
masyarakat pers. Menurut amatan penulis pers Indonesia sendiri juga sudah menyadari bahwa
masih ada begitu banyak masalah yang dihadapi. Namun, jalan keluar terbaik bukanlah
dengan menerapkan berbagai pembatasan baru terhadap pers, melainkan dengan memberikan
kesempatan kepada kalangan pers sendiri untuk berbenah, terutama menyangkut
profesionalisme dan etika wartawan, serta perbaikan tingkat kesejahteraan para pekerja pers.
Sejumlah langkah konkret sebenarnya sudah dilakukan atas inisiatif kalangan pers, misalnya
berjenis pelatihan jurnalistik oleh berbagai lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan
media. Tentu saja pembenahan ini tak mungkin tuntas seketika, terlebih jika diingat bahwa
pers Indonesia masih dalam proses belajar, untuk mengisi kemerdekaan yang dinikmati
delapan tahun terakhir ini, setelah dibungkam lebih dari 30 tahun
2. Dinamika Pers Era Reformasi
Seperti kita tahu, adalah tabiat dasar pers untuk selalu bersikap kritis dan memerankan fungsi
kontrol sosial-nya. Di negeri ini, sejak reformasi bergulir, era kebebasan pers bisa dibilang
memasuki fase bulan madu. Namun, seiring perjalanan waktu, momentum kebebasan pers
juga tak luput dari kondisi pasang surut.
Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kekerasan yang menimpa para jurnalis
tetap terjadi di era reformasi ini. Sepanjang Mei 2006 hingga April 2007 saja, setidaknya
terjadi 53 kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis dan media massa dalam berbagai
bentuk, yakni 8 kasus ancaman, 8 kasus pengusiran, 7 kasus penuntutan hukum, 4 kasus
pelecehan, 3 kasus penyensoran, 1 kasus pemenjaraan, 1 kasus penculikan, dan 21 kasus
penyerangan oleh massa.
Di negeri kampiun demokrasi seperti AS saja, relasi pers-penguasa tak selalu berjalan mulus.
Kritik keras pers AS atas peristiwa 11 September 2001, perang Irak, atau kebijakan standar
mereka di Timur Tengah, misalnya, telah membuat gerah pemerintah AS. Para petinggi AS
kerap meminta agar pers mereka menulis berita secara lebih patriotik. Di Indonesia era Orde
Baru, pemerintah bisa dengan mudah menuduh pers sebagai “corong asing” dan tak segan
membungkam media yang kritis. Lihat kasus pembredelan Detik, Tempo, dan Editor tahun
1994 lalu.
Ketika wartawan Sidney Morning Herald, David Jenkin, melaporkan bisnis keluarga
Cendana, Menpen Harmoko segera menyetop peredaran harian Australia itu di Indonesia.
Tak cuma Harmoko, para pejabat Orde Baru lainnya juga kerap menuding pers asing yang
beroperasi di Indonesia mempraktikkan “jurnalisme alkohol”, menulis dengan gaya orang
mabuk.
Di era Gus Dur, konflik pers-pemerintah muncul lewat kegusaran Syamsul Mu’arif, mantan
Menteri Negara Kominfo, yang mewacakan term “jurnalisme patriotis”. Intinya, pemerintah
Gus Dur meminta pers nasional untuk lebih bersikap nasionalis dalam memberitakan konflik
Aceh. Sejak itu, pers mengubah sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi Gerakan
Separatis Aceh (GSA).
Komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers kian melemah pada era Megawati. Hal itu
tampak dalam kasus hukum yang menimpa Majalah Tempo. Ketika kantor dan media ini
diserbu dan para wartawannya dianiaya massa akibat berita “Ada Tommy di Tanah Abang”,
hanya Amien Rais (Ketua MPR saat itu), yang datang mengunjungi wartawan Tempo.
Pejabat lain tak tampak bersimpati, apalagi berempati.
Di masa Yudhoyono, intervensi pemerintah atas kebebasan pers muncul dalam bentuk
pemangkasan fungsi dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator
penyiaran nasional. Melalui paket peraturan pemerintah tentang penyiaran, pemerintah
kembali mengoreksi fungsi regulasi penyiaran KPI, seperti tercermin dalam revisi UU
Penyiaran No. 32/2002 dan UU Pers No. 40/1999.
Faktual, pemihakan sosial pers adalah semacam “tugas suci” (mission sacre). Pers memang
hadir untuk misi itu. Dominasi dan hegemoni kekuasaan sepanjang sejarah politik Indonesia
telah melahirkan watak kekuasaan yang demikian sentralistik dan sulit di kontrol. Seluruh
kekuatan politik alternatif bisa dibilang tiarap. Hanya pers dan segelintir elemen pro-
demokrasi yang berani mengontrol perilaku rezim saat itu.
Adagium Napoleon Bonaparte, “pena wartawan lebih tajam dari peluru tentara”, barangkali
adalah peribahasa yang hingga kini kerap mendasari hadirnya sikap curiga kekuasaan atas
pers. Padahal, berbagai gerakan reformasi dunia yang penyebarannya mendapat dukungan
penuh pers, terbukti mampu melahirkan institusi-institusi negara independen (state auxiliary
agencies). Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Yudisial, atau Mahkamah Konstitusi adalah beberapa institusi independen yang
kemunculannya tak bisa dilepaskan dari peran pers.
Tanpa kebebasan pers, mungkinkah pemerintah pusat menyadari bahwa warga negara di tiga
per empat provinsi negeri ini masih bergizi buruk, tidak memiliki akses kesehatan, miskin
sarana pendidikan serta belum teraliri listrik? Tanpa keberpihakan pers, bisakah pemerintah
mendeteksi secara cepat kasus busung lapar yang menimpa warga lapis miskin di Papua,
NTT, NTB, dan wilayah-wilayah lain di Tanah Air?
Gencarnya pemberitaan pers dalam kasus kelaparan, gempa bumi, tanah longsor, banjir
bandang, lumpur Lapindo, berbagai kecelakaan moda transportasi publik, dan sederet tragedi
kemanusiaan lain telah membuat aparatur birokrasi dan unsur-unsur masyarakat di semua
level bergerak bahu membahu membantu para korban.
Benar, reformasi telah melahirkan kemerdekaan pers. Namun, di usia yang relatif muda itu,
kita harus tetap waspada menjaga dinamika pers nasional dari ancaman intervensi negara dan
dominasi kepentingan para pemilik kapital. Tak ada jaminan, pers nasional yang kritis,
edukatif, profesional, andal, dan berwibawa bisa bertahan dalam konstelasi politik transitif, di
mana posisi negara dan pasar cenderung menguat, sementara posisi rakyat (civil society) kian
melemah.
Pers bebas dan merdeka adalah syarat mutlak bagi tegaknya sistem demokrasi. Jika di era
reformasi ini kita kembali gagal merawat institusi pers yang bebas dan merdeka, dan
membiarkan pers berada dalam orbit ancaman dominasi negara dan kendali para pemilik
kapital, maka kegagalan proyek demokrasi dalam konteks transisi politik Indonesia bagai
menunggu kotak pandora yang siap terbuka
BAB III
PENUTUP
Pers sebagai bagian bagian dari jaringan komunikasi diharapkan memerankan fungsinya
sebagi media yang bebas dan bertanggungjawab. Demikian pula dalam menyajikan berita,
pers dituntut mengikuti mekanisme dan ketentuan hukum, sebab tidak menutup kemungkinan
pekerja pers yang tidak mematuhi kaidah hukum yang berlaku akan dituntut oleh pihak yang
dirugikan untuk mempertanggung jawabkan isi pemberitaan. Di dalam penyajian berita, pers
dituntut mengikuti kode etik yang telah disepakati bersama, mengedepankan kepentingan
masyarakat dan tidak bias.
Sebagai institusi sosial, lembaga pers memiliki peran signifikan dalam memajukan kehidupan
masyarakat terutama pada perannya untuk menghadirkan kembali realitas yang terjadi
ditengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bentuk kemasan informasi yang sehat bagi
masyarakat. Bagaimanapun, informasi yang disajikan oleh pers tetap saja terkait dengan hasil
interpretasi para penulisnya sehingga tidak jarang informasi yang disajikan sering dikritisi
dan dianggap mendahui azas praduga tak bersalah.
Oleh karena itu untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup hanya
mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah sistem. Mekanisme Kontrol dari
dalam profesi sendiri dalam bentuk deontologi jurnalisme juga dianggap masih belum
menjawab kepentingan masyarakat konsumen sendiri.
Sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang, atau bahkan
mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra. Media massa juga dapat
menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan sebagai pengawal kebijakan
pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan
interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam pengelolaan media.
Sebagai penutup perlu penulis sampaikan bahwa perbandingan kebebasan pers di Indonesia
dengan Amerika Serikat, sebenarnya kurang relevan mengingat adanya kesenjangan tingkat
kehidupan demokrasi yang begitu besar antara kedua negara. Negara Amerika Serikat
memiliki tradisi demokrasi lebih dua abad sedangkan Indonesia baru kurang dari sepuluh
tahun. Perbedaan lainnya bahwa di Amerika Serikat tidak ada undang undang pers seperti di
Indonesia. Mereka hanya mengakomodir kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi
hanya dalam undang undang dasar Amerika Serikat yang telah beberapa kali di amandemen.
Di sana itu perihal etika, profesionalisme, kebenaran isi berita, tanggungjawab pers akan
bersentuhan dengan hukum negara.
Khusus untuk Indnoesia, kebebasan pers itu tidak hanya menjadi concern atau monopoli
orang-orang pers saja, tetapi juga menjadi urusan warga masyarakat. Soalnya, kebebasan pers
bisa disalahgunakan oleh orang-orang pers itu sendiri yaitu ketika pers, baik pada atas nama
individu jurnalis, pemilik media, akan berselingkuh dengan kekuasaan politik dan
kapitaslime.
Atmakusumah Astraatmaja. secara arif menyatakan bahwa pers memang tidak akan bisa
memuaskan semua pihak. Walau mengakui berbagai keluhan dan ungkapan kekecewaan
yang ditujukan kepada pers mengandung kebenaran, namun Atmakusumah menghimbau agar
masyarakat tidak memandang sinis pers. Ada perbedaan karakteristik dan kepentingan yang
berbeda-beda dari pers. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menghimbau agar pers
yang majemuk tersebut dapat menggunakan standar jurnalisme profesional.

Daftar Pustaka
Altschul, J. Herbert.1990. From Milton to McLuhan, The Ideas Behind American Journalism.
New York : Longman.
Dhakidae, Daniel. 1991. The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism:
Political Economy of Indonesia News Industry. PhD Thesis, Cornell University.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi.
Jakarta: Kanisius.
Hidayat dkk, Dedy N. 2000. Pers dan Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta:
Gramedia.
Lesmana, Tjipta. 2005. Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan
Amerika. Jakarta: Erwin-Rika Press.
Suwardi, Harsono. 2007. Bahan Kuliah: Media & Government Relations. Jakarta:
Pascasarjan FISIP UI.

Pers Indonesia dari Zaman Hindia Belanda Sampai


Masa Revolusi
Posted on 13 December 2006 by bataviase

Pers Indonesia dari Zaman Hindia Belanda Sampai Masa Revolusi


”Medan Prijaji” Koran Politik Pribumi
Oleh HARYADI SUADI

Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini,
bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951)

BERBICARA perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya
bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah,
khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta
persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan
adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.

Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam
bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak
abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada
tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat
dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda,
Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun
1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws
pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat
kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat
sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah
merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu
telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang
menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para
kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha
dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.

Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang.
Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai
berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam
menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi,
orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal
ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu
disimpan untuk berbagai keperluan.

Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh
pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda
pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang
terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui
bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.

Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai
Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik,
ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan,
percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di
negeri kita.

Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara

Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa
Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena
surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar
beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa
dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa,
sampai berita ekonomi dan kriminal.

Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya
soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan.
Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat”
(1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie
wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia
Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah,
yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan
mengoreksi kebijakan atasannya.

Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat
kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag
ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah
mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang
menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan
menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya
karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.

Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada
yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk.
Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit
koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai
hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda)
pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.

Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah
surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan
merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik.
Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya
yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar
adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan
bangsa kita yang memelopori kebebasan

Pers kaum pribumi

Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini
terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut,
Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata
terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah
bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para
pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka
suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.

Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan
yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian
Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama
Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni
Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah
mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan
Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih
Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak
ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun
1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar
Indonesia.***

Penulis dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

You might also like