You are on page 1of 13

Proses Masuk dan Berkembangnya

Pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia


Posted by: yufrizal on: Desember 17, 2008

• In: Ilmu Pengetahuan


• Comment!

Pada permulaan tarikh masehi, di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat
peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini menjalin
hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik. Arus lalu lintas perdagangan dan
pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Salah satu jalur lalu lintas laut yang
dilewati India-Cina adalah Selat Malaka. Indonesia yang terletak di jalur posisi silang dua
benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu:

1. Sering dikunjungi bangsa-bangsa asing, seperti India, Cina, Arab, dan Persia,
2. Kesempatan melakukan hubungan perdagangan internasional terbuka lebar,
3. Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain semakin luas, dan
4. Pengaruh asing masuk ke Indonesia, seperti Hindu-Budha.

Keterlibatan bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional


menyebabkan timbulnya percampuran budaya. India merupakan negara pertama yang
memberikan pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Ada
beberapa hipotesis yang dikemukakan para ahli tentang proses masuknya budaya Hindu-
Buddha ke Indonesia.

1. Hipotesis Brahmana

Hipotesis ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya
penyebaran budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari
penguasa Indonesia untuk menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan.
Pendukung hipotesis ini adalah Van Leur.

2. Hipotesis Ksatria

Pada hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan oleh
kaum ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi peperangan
antargolongan di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau jenuh menghadapi
perang, lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka ada pula yang sampai ke
wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan koloni-koloni
baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula terjadi proses penyebaran agama dan
budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah salah seorang pendukung hipotesis ksatria.

3. Hipotesis Waisya
Menurut para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari kelompok
pedagang telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara. Para pedagang
banyak berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan hubungan itu telah
membuka peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya Hindu. N.J. Krom adalah
salah satu pendukung dari hipotesis waisya.

4. Hipotesis Sudra

Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah
menyebabkan golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan
India dengan mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan
sudralah yang memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.

Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang
belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi
yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk
menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.

Pada umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya
budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia
sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India di Indonesia adalah penemuan arca perunggu
Buddha di daerah Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini
mempunyai langgam yang sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli
memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau barang
persembahan untuk bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan
prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan
prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.

Masuknya pengaruh unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari India telah mengubah dan
menambah khasanah budaya Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan.

1. Agama

Ketika memasuki zaman sejarah, masyarakat di Indonesia telah menganut kepercayaan


animisme dan dinamisme. Masyarakat mulai menerima sistem kepercayaan baru, yaitu
agama Hindu-Buddha sejak berinteraksi dengan orang-orang India. Budaya baru tersebut
membawa perubahan pada kehidupan keagamaan, misalnya dalam hal tata krama,
upacara-upacara pemujaan, dan bentuk tempat peribadatan.

2. Pemerintahan

Sistem pemerintahan kerajaan dikenalkan oleh orang-orang India. Dalam sistem ini
kelompok-kelompok kecil masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas.
Kepala suku yang terbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Oleh
karena itu, lahir kerajaan-kerajaan, seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.

3. Arsitektur

Salah satu tradisi megalitikum adalah bangunan punden berundak-undak. Tradisi tersebut
berpadu dengan budaya India yang mengilhami pembuatan bangunan candi. Jika kita
memperhatikan Candi Borobudur, akan terlihat bahwa bangunannya berbentuk limas
yang berundak-undak. Hal ini menjadi bukti adanya paduan budaya India-Indonesia.

4. Bahasa

Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia meninggalkan beberapa prasasti yang


sebagian besar berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Dalam perkembangan
selanjutnya bahkan hingga saat ini, bahasa Indonesia memperkaya diri dengan bahasa
Sanskerta itu. Kalimat atau kata-kata bahasa Indonesia yang merupakan hasil serapan dari
bahasa Sanskerta, yaitu Pancasila, Dasa Dharma, Kartika Eka Paksi, Parasamya
Purnakarya Nugraha, dan sebagainya.

5. Sastra

Berkembangnya pengaruh India di Indonesia membawa kemajuan besar dalam bidang


sastra. Karya sastra terkenal yang mereka bawa adalah kitab Ramayana dan Mahabharata.
Adanya kitab-kitab itu memacu para pujangga Indonesia untuk menghasilkan karya
sendiri. Karya-karya sastra yang muncul di Indonesia adalah:

1. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa,


2. Sutasoma, karya Mpu Tantular, dan
3. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca.

Agama Hindu

Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Sumber ajaran Hindu
terdapat dalam kitab sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhita atau
“himpunan” yaitu:

1. Reg Weda, berisi syair puji-pujian kepada para dewa.


2. Sama Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.
3. Yajur Weda, berisi mantera-mantera untuk upacara keselamatan.
4. Atharwa Weda, berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit.

Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memiliki kitab suci lainnya yaitu:

1. Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.


2. Kitab Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti
atau “Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:

1. Dewa Brahmana, sebagai dewa pencipta.


2. Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara dan pelindung.
3. Dewa Siwa, sebagai dewa perusak.

Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja yaitu Dewa Indra pembawa
hujan yang sangat penting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yang berguna untuk
memasak dan upacara-upacara keagamaan. Menurut agama Hindu masyarakat dibedakan
menjadi 4 tingkatan atau kasta yang disebut Caturwarna yaitu:

1. Kasta Brahmana, terdiri dari para pendeta.


2. Kasta Ksatria, terdiri dari raja, keluarga raja, dan bangsawan.
3. Kasta Waisya, terdiri dari para pedagang, dan buruh menengah.
4. Kasta Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil, dan budak.

Selain 4 kasta tersebut terdapat pula golongan pharia atau candala, yaitu orang di luar
kasta yang telah melanggar aturan-aturan kasta.

Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggap suci misalnya, Benares sebagai
tempat bersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat mensucikan
dosa umat Hindu, sehingga bisa mencapai puncak nirwana.

Agama Buddha

Agama Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama di India pada tahun ± 531 SM. Ayahnya
seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya Dewi Maya. Buddha artinya orang yang
telah sadar dan ingin melepaskan diri dari samsara.

Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya “Tiga Keranjang” yang ditulis dengan
bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang adalah:

1. Winayapittaka : Berisi peraturan-peraturan dan hukum yang harus dijalankan oleh


umat Buddha.
2. Sutrantapittaka : Berisi wejangan-wejangan atau ajaran dari sang Buddha.
3. Abhidarmapittaka : Berisi penjelasan tentang soal-soal keagamaan.

Pemeluk Buddha wajib melaksanakan Tri Dharma atau “Tiga Kebaktian” yaitu:

1. Buddha yaitu berbakti kepada Buddha.


2. Dharma yaitu berbakti kepada ajaran-ajaran Buddha.
3. Sangga yaitu berbakti kepada pemeluk-pemeluk Buddha.
Disamping itu agar orang dapat mencapai nirwana harus mengikuti 8 (delapan) jalan
kebenaran atau Astavidha yaitu:

1. Pandangan yang benar.


2. Niat yang benar.
3. Perkataan yang benar.
4. Perbuatan yang benar.
5. Penghidupan yang benar.
6. Usaha yang benar.
7. Perhatian yang benar.
8. Bersemedi yang benar.

Karena munculnya berbagai penafsiran dari ajaran Buddha, akhirnya menumbuhkan dua
aliran dalam agama Buddha yaitu:

1. Buddha Hinayana, yaitu setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya
sendiri.
2. Buddha Mahayana, yaitu orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama
dan saling membantu.

Pemeluk Buddha juga memiliki tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat yaitu:

1. Kapilawastu, yaitu tempat lahirnya Sang Buddha.


2. Bodh Gaya, yaitu tempat Sang Buddha bersemedi dan memperoleh Bodhi.
3. Sarnath/ Benares, yaitu tempat Sang Buddha mengajarkan ajarannya pertama kali.
4. Kusinagara, yaitu tempat wafatnya Sang Buddha.

udaya Indonesia tumbuh lewat lintasan sejarah yang panjang. Jika budaya diartikan
sebagai tata keyakinan, pemikiran, perilaku ataupun produk yang dihasilkan secara
bersama, maka budaya Indonesia dapat dikatakan mengalami relativitas. Artinya, budaya
yang kini berkembang di Indonesia merupakan hasil percampuran dari aneka budaya
berbeda. Hasil dari percampuran tersebut hingga kini masih berada dalam keadaan
berubah secara konstan. Terdapat gelombang-gelombang pengaruh “luar” yang turut
membentuk karakter budaya Indonesia.

Namun, pembentukan budaya oleh pengaruh “luar” bukannya hendak menganggap


Indonesia “asli” tidak punya budaya spesifik. Misalnya, dalam tata keyakinan
sesungguhnya “orang Indonesia” telah mengenal keesaan Tuhan. Meski dalam bentuk
yang masih “proto” (tua), tokoh wayang Semar (asal katanya "samar") sesungguhnya
telah beredar dalam tata keyakinan orang Indonesia lokal (terutama di Jawa) sebelum
datangnya pengaruh Hindu-Buddha. Semar digambarkan meliputi seluruh sifat dan ciri
yang tidak dimiliki makhluk biasa. Tokoh ini bukan perempuan juga bukan laki-laki.
Tidak senyum atau cemberut. Tokoh Semar merupakan upaya orang “asli” Indonesia
mencari keberadaan Tuhan yang tunggal, dan hendak diterapkan dalam kredo keagamaan
mereka. Kitab-kitab narasumber pewayangan dari India (semisal Mahabaratha atau
Baratayudha) tidak mengenal tokoh Semar ini.
Tulisan ini tiada bertujuan melakukan penelusuran atas dimensi prasejarah Indonesia
sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Buddha. Tulisan ini sekadar berupaya memberi
gambaran tentang pembentukan budaya Indonesia pasca datangnya pengaruh “luar” yang
turut membentuk karakter budaya Indonesia. Percampuran oleh yang “baru” terhadap
yang “lama” dari budaya yang ada merupakan titik pusat perhatian tulisan.

Datangnya Budaya “Luar”

Perlu ditegaskan terlebih dulu, pengertian budaya yang digunakan pada tulisan ini
mengacu pada pendapat Kathy S. Stolley. Menurutnya, budaya terbangun dari seluruh
gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama,
dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan
dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi.

Selain itu, budaya juga dapat dibedakan menurut komponen material dan nonmaterial
yang menyusunnya. Komponen material misalnya makanan, teknologi, pakaian, rumah,
dan sejenisnya. Sementara komponen nonmaterial termasuk bahasa, nilai, keyakinan, tata
perilaku, dan sejenisnya.

Budaya tidak statis melainkan dinamis. Budaya baru, apapun itu, tatkala memasuki suatu
ranah budaya lain akan mengalami proses percampuran. Pasca percampuran tersebut,
muncul suatu budaya jenis “baru” yang khas. Ia sulit disamakan begitu saja dengan yang
“lama” atau “baru.” Proses percampuran budaya ini dinamakan sinkretisasi. Demikian
pula budaya Hindu dan Buddha ini, selain mempertahankan wujud-wujud aslinya, juga
menampakkan pengaruh budaya “asli” Indonesia.

Pengaruh Budaya Hindu-Buddha di Indonesia

Penggunaan istilah “pengaruh Hindu-Buddha” pun kiranya kurang tepat. Istilah ini
sesungguhnya hendak memberikan gambaran beberapa pengaruh yang diberikan orang-
orang India atau Cina yang datang dan melakukan kontak dengan penduduk kepulauan
Indonesia. Kebetulan, orang-orang India dan Cina yang melakukan kontak-kontak
tersebut mayoritas beragama Hindu dan Buddha. Di masa-masa awal ini, Islam belumlah
lagi berdiri selaku sebuah agama secara formal.

Tulisan ini pun sengaja tidak bercorak historiografis yang ketat pada dimensi kronologis
suatu peristiwa. Tulisan ini lebih condong pada identifikasi sejumlah komponen material
dan nonmaterial budaya yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha. Komponen-komponen
tersebut selain punya bentuk asli juga punya dimensi sinkretis hasil percampurannya
dengan kebudayaan yang berkembang di Indonesia sebelumnya.

Pengaruh Hindu-Buddha bukan pada tataran agama belaka. Pengaruh tersebut meliputi
baik bahasa, bangunan, teknologi, aksara, politik, ataupun sistem sosial. Kendati
sekurangnya telah teridentifikasi pengaruh awalnya sejak tahun 400-an Masehi, pengaruh
Hindu-Buddha tetap dapat diidentifikasi di kehidupan Indonesia kontemporer saat ini. Jill
Forshee bahkan mencatat, sejak abad pertama Masehi telah tercatat kontak-kontak antara
masyarakat asli Indonesia dengan India juga Cina. Kontak ini terutama melalui jalur
hubungan laut.

Masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia

Koentjaraningrat mencatat, penduduk asli Indonesia telah mengembangkan sejumlah


pranata sosial semisal “Negara.” Entitas Negara ini diantaranya dibuktikan dengan
adanya prasasti Muara Kaman yang menunjukkan kerajaan Kutai dengan rajanya
Kudungga. Orang-orang Indonesia ini kemudian melakukan kontak dengan para
pedagang dari India. Selain di Kutai, juga berdiri kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
tepatnya di tepi sungai Cisadane, Bogor. 1

Koentjaraningrat juga beranggapan kerajaan-kerajaan tersebut sudah hidup makmur lewat


kontak dagangnya dengan India Selatan. Raja-rajanya kemudian mengadaptasi konsep-
konsep Hindu ke dalam struktur kerajaannya. Mereka mengundang para Brahmana India
Selatan dari aliran Wisnu atau Brahma. Para pendeta tersebut memberi konsultasi dan
nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara keagamaan, termasuk pula bentuk
Negara, organisasi Negara, dan upacara-ucapara kenegaraan menurut sistem yang berlaku
di India Selatan. Ke-"jenius-lokal"-an orang-orang Indonesia ini ditunjukkan dengan
kemampuan mereka mengadaptasi pola-pola sosial dan politik India ke dalam hidup
kerajaan mereka.

Dari anggapan ini, maka sesungguhnya pengaruh Hindu tidak datang lewat penaklukan
melainkan atas permintaan (influenced by demand). Jadi, orang-orang Indonesia ini justru
mengundang oleh sebab keinginan mereka hendak maju dan membuka diri. Lewat cara
“undangan” inilah, kesusasteraan Hindu dan agamanya masuk ke dalam Indonesia secara
hampir taken for granted. Sayang, akibat masalah elitisme dan sistem kasta yang inheren
di sistem kemasyarakatan Hindu di India, yang menerima pengaruh paling besar adalah
lapisan atas kekuasaan dan masyarakat di sekitar istana. Mereka rata-rata memang secara
sosiologis diuntungkan oleh pola kemasyarakatan tersebut. Masyarakat biasa hampir
kurang merasa tersentuh oleh pengaruh ini.

Budaya Indonesia asli seperti “desa” yang egaliter perlahan berubah dengan masuknya
konsep kenegaraan India Selatan yang hirarkis. Raja mulai dianggap sebagai turunan
dewa. Namun, pengaruh hirarkis ini juga tidak dapat dipukul rata. Ia terutama diadaptasi
oleh kerajaan-kerajaan Indonesia yang ada di pedalaman dan mengandalkan pertanian
dan penggunaan irigasi sebagai basis ekonominya. Masyarakat atau kerajaan di pesisir
pantai tidak terlampau terpengaruh oleh sistem India Selatan ini. Di masa mendatang,
wilayah-wilayah pesisiran kerap melakukan pembangkangan politik atas kuasa sentral di
pedalaman. Misalnya, pemberontakan Pati (pesisir Utara) di bawah pimpinan Adipati
Pragola terhadap Sultan Agung Hanyakrakusuma di Yogyakarta (pedalaman-sentral).

Negara pesisir lain semisal Sriwijaya juga biasanya mengandalkan perdagangan sebagai
basis ekonominya. Dalam Negara yang demikian, tidak diperlukan wilayah pertanian,
petani yang banyak, sistem komando yang tersentralistik, serta pedalaman yang luas oleh
sebab barang produksi dapat diperoleh lewat interaksi pertukaran. Hubungan lebih berada
dalam suasana egalitarian. Ini mungkin menjadi sebab Sriwijaya pun lebih terpengaruh
oleh Buddha ketimbang Hindu.

Sebaliknya, di Jawa lebih berkembang pengaruh Hindu. Ini akibat basis ekonomi Jawa
yang kental nuansa pertaniannya. Contoh dari ini adalah kerajaan Majapahit, Kediri,
Singasari, juga Mataram Kuno. Mereka adalah Negara-negara agraris. Letaknya di
daerah-daerah subur lembah sungai, gunung berapi, dan rakyatnya hidup dari bercocok
tanam. Akibat surplus beras, mulailah kerajaan-kerajaan Jawa ini berekspansi keluar
wilayah (misalnya Majapahit) dengan mencari Negara-negara bawahan di kepulauan
Nusantara. Pola sentralistik kuasa politik mereka kemudian berbenturan dengan nuansa
egalitarian di kerajaan-kerajaan (atau wilayah-wilayan) pesisiran.

Kerajaan Jawa biasanay tersusun secara hirarkis, dengan semua pemberkatan diutarakan
kepada raja. Namun, susunan ini hanya berlangsung di level atas (palace circle)
sementara masyarakat biasa hampir tidak tersentuh oleh ciri ini. Inilah yang mungkin
mengakibatkan pengaruh-pengaruh lain semisal Islam dan Barat (terutama Islam yang
egalitarian) masuk dengan mudahnya ke kalangan masyarakat Indonesia.

Bahasa

Kita mungkin kerap menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra, Indra,
Wisnu, Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun
Jalesveva Jayamahe. Nama-nama dalam bahasa Sanskerta tersebut merupakan suatu bukti
bahwa hingga kini pun pengaruh India masih terasa kental di bumi Indonesia. Salah satu
penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing” pertama yang sifatnya “maju” dan
telah lama berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia. Asimilasi ini kemudian diakui
selaku bagian dari budaya Indonesia itu sendiri. Seharusnya bahasa Sanskrit ini terus
"populer" layaknya bahasa Arab, tetapi oleh sebab dahulunya ia eksklusif dikuasai oleh
hanya struktur atas masyarakat dan ahli agama saja, tidak terlampau banyak orang
menguasai dan menturun-temurunkan penguasaan bahasa ini.

Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang di Indonesia dapat dibagi dua
kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia.
Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua
terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur nusantara,
termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun bahasa Austronesia
juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.

Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa ini, maka prasasti
Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai
Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400
Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses asimilasi
dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat dari isi
prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya
Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya
adalah Mulawarman. Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara
Kudungga adalah bukan dan kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum
datangnya pengaruh India dan agama Hindu. Jadi, nama Kudungga dapat dikatakan
sebagai nama "Kalimantan" asli atau "Indonesia" asli. Pola ini diubah dengan mahirnya
oleh para jenius lokal Indonesia, sehingga turunan langsung dari Kudungga otomatis
langsung mengadaptasi Sanskrit sebagai bahasa penyebut gelarannya.

Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India, sementara Pallawa adalah
huruf yang digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk rumpun
bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah bahasa
Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun
bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya adalah bahasa
Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.2

Mengenai fungsinya, Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin agama
Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa
pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan
bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara bahasa Melayu (cikal-bakal
bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai bahwa sejak abad ke-7 para penganut
agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu
Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).3

Kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan
bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis 2 buku
berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di Fo-shih
(Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan
perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India.4 I-Ching mengutarakan bahwa di
Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha yang rata-rata adalah orang lokal
Indonesia.

Posisi Sriwijaya sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa
tersebut jadi signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah
kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi di pesisir Laut Jawa
dan dekat dengan Selat Malaka.

Bahasa Sanskerta yang dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia berangsur-angsur
mengalami perubahan. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan
budaya lokal lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa
Kuno kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat
kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman. Namun, sulit dipungkiri bahwa
bahasa Kawi dipengaruhi secara besar oleh bahasa Sanskrit.

Saat itu pula, nusantara dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi sendiri-
sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna
sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era Hindu-
Buddha jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa “tinggi”
yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal suatu kerajaan.
Bahasa ini cukup "elitis" layaknya bahasa Yunani dan Latin pada Abad Pertengahan
Eropa.

Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun juga terjadi. Bahasa Melayu ini
merupakan lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau
nusantara. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangnya bahasa
Indonesia selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini
sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.

Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh


prasasti Kedukan Bukit, Palembang.5 Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29 Nopember
1920 dan diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta
juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota
Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi
(686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan
prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.

Sebagian bahasa Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada


kemungkinan 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa
Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga
Indonesia) antara lain :

Selain kata-kata yang sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah
digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah
Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi,
keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri,
ataupun seri paduka.

Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun
turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti
Bugis, Sunda, ataupun Jawi.

Arsitektur

Arsitektur atau seni bangunan ala masa Hindu-Buddha juga bertahan hingga kini. Meski
tampilannya tidak lagi serupa benar dengan bangunan Hindu-Buddha (candi), tetapi
pengaruh Hindu-Buddha membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi
khas.

Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah “berundak.” Sejumlah undakan umumnya
terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan tersebut paling jelas
terlihat di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama
Buddha.

Hal yang khas dari arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu ‘kepala’, ‘badan’
dan ‘kaki.’ Ketiga bagian ini melambangkan ‘triloka’ atau tiga dunia, yaitu: bhurloka
(dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia
para dewa). Untuk lebih jelasnya, lihat Figure 1.

Pengaruh sistem 3 tahap hidup religius manusia ini bertahan cukup lama. Bahkan ia
banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih
kekinian. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan
spiritual semisal masjid maupun profan (biasa) semisal Gedung Sate di Bandung.

Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan mempengaruhi bangunan-
bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola
arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya bernama Masjid Al Aqsa, dibangun
Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Yang unik adalah, sebuah menara di sisi
timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi Hindu.

Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada gerbang masjid yang
menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya
dihiasi ornament khas Hindu.

Banyak hipotesis yang diutarakan mengapa Jafar Shodiq menempatkan arsitektur Hindu
ke dalam sebuah masjid. Hipotesis pertama mengasumsikan pembangunan tersebut
merupakan proses akulturasi antara budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat
Kudus sebelumnya dengan budaya Islam yang hendak dikembangkan. Ini dimaksudkan
agar tidak terjadi Cultural Shock yang berakibat terasingnya orang-orang pemeluk Islam
baru sebab tercerabut secara tiba-tiba dari budaya mereka.

Hipotesis kedua menyatakan bahwa penempatan arsitektur Hindu diakibatkan para


arsitek dan tukang yang membangun masjid menguasai gaya bangunan Hindu. Ini
berakibat hasil pembangunan mereka bercorak Hindu.

Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal
Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung. Gedung Sate didirikan tahun 1920-1924
dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding gedung secara kuat
bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Termasuk pula, menara yang terletak di
puncak atas gedung yang mirip dengan menara masjid Kudus atau tumpak yang ada di
bangunan suci Hindu di daerah Bali.

Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu juga ditampakkan Masjid
Demak. Nuansa arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M misalnya
tampak pada atap limas yang bersusun tiga (meru), mirip dengan candi dimana
bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut kemudian
ditransfer kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan.

Ciri lainnya adalah bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang
atap di bawahnya. Atap tertinggi yang berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada
puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu.6

Kesusasteraan

Salah satu peninggalan Hindu di bidang sastra yang terkenal adalah Ramayana,
Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra Hindu ini cukup berpengaruh terhadap
budaya asli Indonesia semisal wayang. Wayang yang tadinya digunakan sebagai media
pemberi nasihat tetua adat terhadap keluarga yang ditinggalkan kini memiliki trend
tersendiri. Ia digunakan sebagai basis pengajaran agama dan budaya.

Tokoh-tokoh wayang yang kini terkenal adalah Pandawa Lima (Yudhistira, Bima,
Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman,
Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna sebelum
perang).

Tokoh-tokoh wayang di atas memainkan peran sentral dalam kesenian wayang Indonesia.
Sementara, budaya asli Indonesia coba mengimbanginya dengan hadirkan tokoh-tokoh
punakawan semisal Semar, Petruk, Gareng, atapun Bagong. Selaku pengimbang,
punakawan kerap mampu menaklukan para tokoh yang berasal dari kesustareraan Hindu.
Ini merupakan upaya dari orang Indonesia untuk terus berada dalam posisi dominan
terhadap budaya "luar".

Kini, wayang diakui sebagai budaya asli Indonesia dengan segala variannya. Di masa
perkembangan Islam, wayang kerap digunakan Sunan Kalijaga guna menyebarkan Islam.
Ia menciptakan cerita semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat
dengan Semar selaku tokoh yang berikan pengajaran kepada Pandawa.

Cerita-cerita yang terkandung di dalam kesusasteraan India di atas memiliki nilai


moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan,
kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta Negara. Tradisi sastra
Hindu ini justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal Indonesia di antaranya
dengan menghadirkan tokoh-tokoh serta alur cerita yang sangat variatif.

Sisa peninggalah Hindu kini paling jelas terlihat di Bali dan sebagian masyarakat
Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi pengaruh
Hindu yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni
ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban Hindu.

PENGARUH HINDU BUDHA DI INDONESIA


Masuknya agama hindu dan budha di Indonesia membawa pengaruh yang cukup besar.
Pengaruh itu antara lain:
1. Agama/Kepercayaan
Masuk dan berkembangnya agama hindu dan budha di Indonesia menjadi babak baru
dalam kepercayaan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia mulai menganut agama
tersebut dan membawa perubahan pada kehidupan keagamaan, misalnya upacara
keagamaan, upacara pemujaan dan bentuk tempat peribadatan.
2. Sistem pemerintahan
Berkembangnya agama hindu budha sangat besar pengaruhnya dalam bidang
pemerintahan di Indonesia. Bangsa Indonesia mulai mengenal sistem pemerintahan
kerajaan dan meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku. Kelompok-kelompok kecil
dalam masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas serta kepala suku yang
terbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Dalam sistem kerajaan,
seorang raja memerintah secara turun temurun. Lahirlah kerajaan-kerajaan hindu budha
seperti Kutai, Sriwijaya dan Majapahit.
3. Sosial
Dalam bidang sosial, terjadi bentuk perubahan dalam tata kehidupan sosial masyarakat.
Masyarakat mulai mengenal sistem kasta. Muncullah golongan-golongan baru dalam
masyarakat seperti golongan brahmana.
4. Kebudayaan
Berkembangnya kebudayaan Hindu Budha terlihat dari berbagai hasil-hasil kebudayaan
seperti bangunan candi, seni sastra dan sistem tulisan.
Tetapi budaya tersebut tidak serta merta diterima oleh masyarakat Indonesia. Unsur-
unsur kebudayaan yang masuk diolah dan disesuaikan dengan kondisi kebudayaan asli
Indonesia. Maka terjadilah akulturasi kebudayaan.

You might also like