You are on page 1of 165

BUDAYA NUSANTARA

KEBUDAYAAN JAWA

Disusun oleh :
Ainul Fuadi 02/3B
Cory Denies Kartika 08/3B
Fransiscus Asisi Edo HS 14/3B
Irvan Widi Santoso 15/3B
Laila Sahajah 18/3B

DIPLOMA III PENILAI / PBB


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2007
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................i
PENDAHULUAN..................................................................................................1
PEMBAHASAN ...................................................................................................2
A. IDENTIFIKASI......................................................................................2
B. MITOLOGI KEBUDAYAAN JAWA.......................................................4
C. BAHASA DAN AKSARA JAWA...........................................................7
C.1. Bahasa Jawa...................................................................7
C.2. Aksara Jawa....................................................................14
D. MATA PENCAHARIAN........................................................................22
E. SISTEM KEMASYARAKATAN............................................................26
F. SISTEM KEKERABATAN...................................................................28
G. RELIGI ...............................................................................................43
H. PRODUK BUDAYA.............................................................................63
H.1. Seni Tari..........................................................................63
H.2. Seni Musik......................................................................80
H.3. Kalender Jawa................................................................89
H.4. Rumah Adat....................................................................95
H.5. Karya Sastra...................................................................102
H.6. Wayang...........................................................................108
H.7. Pakaian Adat...................................................................115
H.8. Keris................................................................................125
H.9. Makanan Khas................................................................133
H.10. Ketoprak dan Ludruk.....................................................138
H.11. Reog.............................................................................139
H.12. Kidung/Puisi..................................................................140
H.13. Lagu Adat Jawa............................................................141
I. SUB SUKU JAWA.................................................................................154
I. 1. Suku Osing......................................................................154
I. 2. Suku Tengger..................................................................156
J. UNGKAPAN-UNGKAPAN JAWA.........................................................157
K. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI..............................................159
PENUTUP...........................................................................................................161
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

Masyarakat Jawa merupakan “ladang” potensial yang masih memendam


segudang informasi budaya untuk dapat digali seiring dengan perkembangan waktu.
Harus diakui bahwa usaha untuk mengungkap alam pikiran, pandangan, dan
kehidupan orang Jawa tidak akan pernah tuntas dan bahkan diperlukan cara-cara
baru dalam mengungkap “misteri” kebudayaan Jawa tersebut. Magnis-Suseno
(1984:1), mengatakan bahwa kebudayaan Jawa mempunyai ciri khas yaitu terletak
dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-
gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat
mempertahankan keasliannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebudayaan Jawa
justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan
dalam mencerna masukan-masukan budaya dari luar. Hal tersebut menjadikan
kebudayaan Jawa kaya akan unsur-unsur budaya yang kemudian menyatu dan
kemudian menjadi milik kebudayaan Jawa seperti sekarang ini, di mana berbagai
macam persilangan budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan
budaya Jawa.
Walaupun terpaan ideologi modern cukup kuat, namun manusia Jawa yang
hidup dalam bayang-bayang Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta masih tetap
menyimpan dan memegang teguh pandangan budayanya misalnya tentang
keberadaan makhluk supranatural, mitos, adat istiadat dan lain-lain. Tentunya
pandangan-pandangan tersebut mengandung suatu makna yang dalam dan
mempunyai keeratan hubungan dengan konsepsi manusia Jawa tentang dunia. Peta
kognitif ini merupakan dokumen dan khazanah pengetahuan penting dalam usaha
memahami budaya Jawa saat ini, apabila budaya dipandang sebagai sesuatu yang
secara internal heterogen dan muncul dari peristiwa-peristiwa yang paling
mendasarinya.

kebudayaan Jawa

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. IDENTIFIKASI

Daerah kebudayaan Jawa sangatlah luas meliputi seluruh bagian tengah dan
timur pulau Jawa. Ada daerah yang disebut daerah Kejawen yaitu Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar yang tersebut di
atas disebut daerah Pesisir dan Ujung Timur. Sehubungan dengan itu, maka dalam
rangka seluruh kebudayan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram
sebelum terpecah yakni Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan
Jawa. Sudah barang tentu terdapat berbagai variasi dan perbedaan yang bersifat
lokal dalam beberapa unsur kebudayaannya di daerah yang tercakup dalam
kebudayaan Jawa. Namun, variasi dan perbedaan tersebut tidaklah besar karena
apabila diteliti, hal-hal itu masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistim
kebudayaan Jawa.
Sama halnya dengan daerah Kejawen lainnya, di dalam wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta sebelah selatan terdapat kelompok-kelompok masyarakat
orang Jawa yang masih mengikuti atau mendukung kebudayaan Jawa ini. Pada
umumnya, mereka itu membentuk kesatuan-kesatuan hidup yang menetap di desa-
desa.
Penduduk
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya
mungkin ada sekitar 90 juta data pada tahun 2004. Mereka berasal dari pulau Jawa
dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi
Jawa Barat, Banten dan tentu saja Jakarta mereka banyak ditemukan. Selain suku
Jawa baku terdapat subsuku Osing dan Tengger.
Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan dan
halus.Tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau
terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga
harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung
untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.

kebudayaan Jawa

2
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi
yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga banyak. Mereka juga
terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan
pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang
disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan
kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat
Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap
dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang
kadangkala menjadi kabur.
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-
hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini,
seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak
berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia ataupun status sosialnya.
Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria
tingkatannya yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Krama. Bahasa Jawa Ngoko
dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda
usianya serta lebih rendah tingkatannya atau status sosialnya. Bahasa Jawa Krama
digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal tetapi yang sebaya
dalam umur dan derajat, juga terhadap orang yang umurnya lebih tua atau status
sosialnya lebih tinggi.
Bentuk Desa
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang Jawa, di
daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat
pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara adminstratif desa langsung
berada di bawah kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh.
Tiap-tiap wilayah bagian desa ini diketuai oleh seorang Kepala Dukuh. Di sini
dijumpai sejumlah perumahan penduduk beserta tanah-tanah pekarangannya, yang
satu sama lain dipisah-pisahkan dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-
tumbuhan. Ada di antara rumah-rumah itu yang dilengkapi dengan lumbung padi,
kandang-kandang ternak dan perigi, yang dibangun di dekat-dekat rumah atau di
halaman pekarangannya. Kemudian sebuah dukuh dengan dukuh lainnya,
dihubungkan oleh jalan-jalan desa, yang luasnya sering tidak lebih dari 2 meter.
Selain rumah-rumah tersebut yang tampak berkelompok, dan yang sebagian berjajar
menghadap jalan desa itu, ada juga Balai Desa, tempat pemerintahan desa

kebudayaan Jawa

3
berkumpul, atau mengadakan rapat-rapat desa, yang diadakan tiap-tiap 35 hari
sekali. Untuk menampung kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan, dan sosial
ekonomi rakyat, biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau masjid. Kecuali itu ada
pasar yang kelihatan ramai pada hari pasaran. Adapun kuburan desa berada di
lingkungan wilayah salah satu sebuah dukuh, sedangkan tanah pertanian berupa
sawah-sawah atau ladang-ladang terbentang di sekeliling desa.

B. MITOLOGI KEBUDAYAAN JAWA

MITOLOGI KANGJENG RATU KIDUL


Pemahaman Tentang Mitos
Masyarakat Jawa merupakan ladang potensial yang masih memendam
segudang informasi budaya untuk dapat digali seiring dengan perkembangan waktu.
Harus diakui bahwa usaha untuk mengungkapkan alam pikiran, pandangan, dan
kehidupan orang Jawa tidak akan pernah tuntas dan bahkan masih diperlukan cara-
cara baru dalam mengungkap misteri kebudayaan Jawa tersebut. Magnis-Suseno
(1984:1), mengatakan bahwa kebudayaan Jawa mempunyai ciri khasaitu terletak
dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-
gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat
mempertahankan keasliannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebudayaan Jawa
justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan
dalam mencerna masukan-masukan budaya dari luar. Hal tersebut menjadikan
kebudayaan Jawa kaya akan unsur-unsur budaya yang kemudian menyatu dan
menjadi milik kebudayaan Jawa sekarang ini di mana berbagai macam persilangan
budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan budaya Jawa.
Pandangan manusia Jawa terhadap dunia mengisyaratkan bahwa baik dunia yang
secara fisik kelihatan maupun dunia yang tidak kelihatan merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan manusia dengan makhluk alam nyata
dengan makhluk supranatural tidak dibedakan. Manusia yang hidup di dunia ini tidak
hanya menjalin komunikasi dengan sesama saja melainkan dengan makhluk
supranatural. Dengan demikian tidak mengherankan apabila dalam masyarakat
Jawa terdapat perilaku-perilaku yang menandai hubungan antara manusia dan
makhluk supranatural. Jong (1985:10) menekankan bahwa di alam pikiran mistik dan

kebudayaan Jawa

4
mitos dapat tercermin suatu sikap hidup. Selain itu, mistik merupakan salah satu
bentuk, bahkan isi dasar Javanisme.
Menurut William R. Bascom, prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan
besar yaitu mite (myte), legenda (legend), dan dongeng (folktale). Di dalam
masyarakat Jawa ada mitologi religius yang hampir diterima secara universal, yang
menyebabkan ketaatan emosional dan intelektual yang mendalam, yaitu mitologi
wayang. Sebenarnya masih banyak mitologi lainnya yang hidup dalam alam pikiran
orang Jawa misalnya mitologi Kanjeng Ratu Kidul, penguasa gunung, penguasa
hutan dan lain-lain. Menurut Mircea Eliade (dalam Susanto, 1987:91), mitos berarti
suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga,
karena memiliki sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh model bagi tindakan
manusia, memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini. Sedangkan Levi-Strauss
(1963:209), mengatakan bahwa mite adalah bahasa untuk diketahui. Mitos
sebenarnya mempunyai arti secara tersirat yang perlu diketahui, yaitu merupakan
model hubungan manusia dengan alam supranatural. Pada kesempatan ini, kami
akan berfokus pada mitologi Kanjeng Ratu Kidul.
Menurut Choy (1976:13), Kanjeng Ratu Kidul tidak hanya merupakan legenda; untuk
sebagian orang Jawa ia benar-benar ada. Tetapi karena keberadan alam
supranatural yang dipahami orang Jawa sampai taraf tertentu tidak dapat
diterangkan maka praktik-praktik keagamaan yang mengarah pada penghormatan
penguasa dunia supranatural justru menjadi pintu masuk dalam memahami alam
pikiran orang Jawa tersebut.

Ratu Kidul dalam Mitos


Di kalangan masyarakat Jawa, sebenarnya terdapat banyak cerita tentang
Kanjeng Ratu Kidul. Salah satu cerita dalam Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa
waktu kerajaan Pajajaran di bawah kekuasaan Prabu Mundingsari, ia mempunyai
seorang putri bernama Ratna Suwidi. Putri tersebut mempunyai kebiasaan bertapa
dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Banyak sekali raja dan
pangeran yang melamarnya, tetapi tidak satupun yang diterima karena ia lebih
mementingkan segi kerohanian. Penolakan-penolakan itu membuat Sang Prabu
marah dan prihatin terhadap putrinya. Akibatnya, ia mengusir putrinya sendiri dari
kerajaan. Kemudian Ratna Suwidi mengembara seorang diri, naik turun gunung dan
menembus lebatnya hutan menuju ke arah timur. Tujuannya adalah mencari tempat

kebudayaan Jawa

5
yang cocok untuk bertapa. Akhirnya, ia menemukan puncak Gunung Kombang yang
dirasa cocok untuk bertapa. Di puncak gunung itu ada sebatang cemara. Dengan
kesaktiannya, ia mengubah diri menjadi lelaki. Pohon cemara yang berada di puncak
gunung tersebut diabadikan menjadi nama samarannya yaitu Hajar Cemara Tunggal.
Sang pertapa ini kemudian terkenal dengan kesaktiannya.
Pada suatu hari, Hajar Cemara Tungal didatangi dewa dan ditanya tentang
keinginannya bertapa terus menerus. Ratna Suwidi menJawab bahwa ia ingin sekali
tidak bisa meninggal dunia dan bisa hidup sepanjang zaman. Kemudian dewa
berkata bahwa manusia tidak dapat hidup sepanjang zaman, tetapi keinginan Ratna
Suwidi itu dapat terkabulkan apabila ia bersedia menjadi makhluk halus. Dengan
menyetujui saran dewa tersebut, maka Ratna Suwidi kemudian berubah menjadi
makhluk halus yang membawahi semua makhlus di seluruh tanah Jawa.
Dikisahkan pula waktu Hajar Cemara Tunggal masih berada di puncak Gunung
Kombang, ia didatangi Raden Sesuruh, seorang putra mahkota kerajaan Pajajaran
yang melarikan diri bersama pengikutnya karena terjadi perebutan kekuasan. Hajar
Cemara Tunggal tahu maksud dan tujuan Raden Sesuruh yang datang menemuinya.
Sang Hajar kemudian memberi petunjuk kepada Raden Sesuruh supaya berjalan
terus ke arah timur. Apabila nanti di suatu tempat menemukan batang pohon Kemaja
berbuah hanya satu dan rasanya pahit, maka tempat itulah yang dapat digunakan
oleh Raden Sesuruh untuk memegang kekuasaan dan menurunkan raja di tanah
Jawa. Dari tempat itulah Raden Sesuruh dapat membalas sakit hati atas perlakuan
raja Pajajaran.
Hajar Cemara Tunggal kemudian menceritakan kisah pelariannya dan siapa
sebenarnya dirinya. Berdasarkan garis keturunan, sebenarnya Hajar Cemara
Tunggal adalah adik perempuan dari kakek Raden Sesuruh. Tetapi di tengah-tengah
cerita tiba-tiba Sang Hajar berubah wujudnya, ia berubah menjadi putri cantik Ratna
Suwidi. Berkat kesaktiannya, ia dapat mancala putra-mancala putri. Raden Sesuruh
terpesona dan jatuh cinta kepada putri cantik yang ada di depannya tersebut
kemudian ia mendekati dan merayunya. Seketika itu juga putri itu menghilang dari
pandangan mata Raden Sesuruh dan menjelma menjadi Hajar Cemara Tunggal lagi.
Dengan rasa malu, Raden Sesuruh segera bersujud di kaki Sang Hajar meminta
maaf.
Sang Hajar melanjutkan ceritanya dengan nada menghibur, bahwa kelak
apabila Raden Sesuruh telah dinobatkan sebagai raja Majapahit, mereka akan

kebudayaan Jawa

6
bertemu kembali. Kelak setelah Raden Sesuruh memegang kekuasaan dan
membawahi seluruh tanah Jawa, Hajar Cemara Tunggal tidak lagi bertapa di
Gunung Kombang, melainkan pindah ke samudera pasir. Selama bertahta di
samudera pasir atau Laut Selatan Jawa, ia akan berubah wujud seperti semula yaitu
sebagai putri yang cantik jelita dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Pesan terakhir
Sang Hajar kepada Raden Sesuruh adalah apabila Raden Sesuruh beserta
keturunannya yang menjadi raja tanah Jawa menemui halangan, sebaiknya
memanggil Sang Hajar. Dengan sekejap, Sang Hajar pasti akan datang bersama
makhluk halus bawahannya. Selain itu, kelak akan ada keturunan Raden Sesuruh
yang menjadi raja Jawa akan dapat mengawini Kanjeng Ratu Kidul

Peran Mitologi Kanjeng Ratu Kidul


Dalam modelnya, Leach (1981:82) menjelasan bahwa aktivitas-aktivitas ritual
merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan dunia datan kasat mata.
Praktik-praktik keagamaan seperti penyelenggaraan Tari Bedaya Lambang Sari dan
Tari Bedaya Semang merupakan usaha dari para penguasa Mataram untuk
berhubungan dengan alam supranatural.
Pada prinsipnya, mitologi Kanjeng Ratu Kidul digunakan oleh penguasa Kasultanan
Yogyakarta sebagai kerangka acuan dalam menjalankan pemerintahan. Selain itu
juga digunakan untuk menjamin keselamatan dan ketentraman hidup serta
digunakan sebagai pengantara manusia dengan alam supranatural.

C. BAHASA DAN AKSARA JAWA


C.1 Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku
bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah &
Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo.
Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi
menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Selanjutnya
Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ).
Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala
dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun
berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan
kalangan rakyat biasa.

kebudayaan Jawa

7
Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau
Jawa. Bahasa Jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf
Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubah sesuai dari huruf Arab.
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
• Dialek daerah, dan
• Dialek sosial
Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda
dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun
Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan
budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-
70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu
kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of
Studies on the Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
1. Dialek Banten
2. Dialek Indramayu-Cirebon
3. Dialek Tegal
4. Dialek Banyumasan
5. Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
1. Dialek Pekalongan
2. Dialek Kedu
3. Dialek Bagelen
4. Dialek Semarang
5. Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. Dialek Blora
7. Dialek Surakarta
8. Dialek Yogyakarta
9. Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek
Surakarta dan Yogyakarta.

kebudayaan Jawa

8
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
1. Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
2. Dialek Surabaya
3. Dialek Malang
4. Dialek Jombang
5. Dialek Tengger
6. Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
1. Ngoko
2. Ngoko Andhap
3. Madhya
4. Madhyantara
5. Kromo
6. Kromo Inggil

Kromo Inggil adalah suatu tingkatan kehalusan bahasa Jawa tutur.


Dipakai oleh penutur untuk berkomunikasi dengan lawan bicara yang:
a. dianggap jelas lebih tua, seperti ayah, ibu, kakek.
b. dihormati.
c. dianggap memiliki kedudukan/kekuasaan/pendidikan lebih tinggi, seperti
majikan, Pak Guru, Pak Lurah.

7. Bagongan
8. Kedhaton

Kedua logat terakhir digunakan di kalangan keluarga Kraton dan sulit


dipahami oleh orang Jawa kebanyakan.
* Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”
1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi
kuwi, nèng ndi?”
kebudayaan Jawa

9
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng
pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng
pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas
Budi punika, wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika,
wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas
Budi punika, wonten pundi?”

Beberapa jenis dialeg Jawa :


♦ Dialeg Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa
Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di
Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh
sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural
bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling
kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus
masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk
penghormatan atas orang lain.
Pada umumnya menganggap dialek suroboyoan adalah yang terkasar
tapi sebenarnya itu menunjukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang.
Sikap basa basi yang diagung-agungkan wong Jawa, tidak berlaku di
kehidupan arek suroboyo. misalnya dalam berbicara, wong Jawa
menekankan tidak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua
atau yang dituakan atau pemimpin, karena dianggap tidak sopan. Tapi
dalam budaya arek suroboyo, itu tanda bahwa orang tersebut sejatinya
pengecut, karena tidak berani memandang mata lawan bicara
♦ Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan
di Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah
Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara,
maka tak beda dengan daerah lainnya, Yogyakarta, Solo, Boyolali dan
Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir

kebudayaan Jawa

10
(Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian
selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngoko,
ngoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang. Para
pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frase, misalnya
Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah
(5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin",
seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua
frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat
para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi
contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu
tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
♦ Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak
adalah kelompok bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat
Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga
dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat
bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini
disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan
bahasa Jawa Kuna (Kawi). Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek
Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya.
Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'.
Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan
orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati
dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena,
sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf
'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan
bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan
dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara
morfologi maupun fonetik.

kebudayaan Jawa

11
Banten
Cirebonan Banyumasan & Tegalan Jawa Standar Indonesia
Utara
sire sira/rika sira/rika kowe kamu
pisan pisan Pisan banget sangat
keprimen kepriben keprimen/kepriben/kepriwe piye/kepriye/kepripun bagaimana

♦ Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di
daerah Kedu, tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo,
Magelang dan khususnya Temanggung.
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan
pertemuan antara dialek "bandek" (Yogya-Solo) dan dialek "ngapak"
(Banyumas). Contoh: Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak
dalam tuturannya agak bandek:
 "Nyong": aku, tetapi orang Magelang memakai "aku" orang
Temanggung yang di kotanya juga menggunakan "aku" di Parakan
juga sebagian kecil menggunakan "aku"
 "njagong": duduk (bahasa Jawa standar: lungguh)
 "Trus Priben": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar: "banjur
piye" atau "terus piye")
 "gandhul": pepaya
♦ Dialek Tegal
Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan bagian barat.
Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada
di Tegal beda dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat
agak kental. Dialek Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa
Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang relatif sama
dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta-merta
mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain: perbedaan
intonasi, pengucapan, dan makna kata.

Ciri khas

kebudayaan Jawa

12
Selain pada intonasinya, dialek Tegal memiliki ciri khas pada
pengucapan setiap frasanya, yakni apa yang terucap sama dengan
yang tertulis. Untuk lebih jelas, mari kita amati beberapa contoh dan
tabel berikut ini:

Dialek Tegal Bahasa Jawa Standar


padha Podho
saka Soko
sega Sego
apa Opo
tuwa Tuwo

Salah satu persoalan yang selalu dihadapi oleh para siswa sekolah (SD
sampai SMA) adalah dalam hal mata pelajaran bahasa daerah (Jawa).
Kurikulum yang mereka terima seolah-olah merupakan 'paksaan' agar
menggunakan menggunakan dialek Jawa Tengah dan Yogyakarta
yang bukan merupakan bahasa ibu mereka.

Bilangan dalam bahasa Jawa


Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa
memiliki system bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jawa Kuna sa rwa telu pat lima nem pitu wwalu sanga sapuluh
Kawi eka dwi tri catur panca sad sapta as.t.a nawa dasa
Krama setunggal kalih tiga sekawan gangsal nem pitu wolu sanga sedasa
Ngoko siji loro telu papat lima nem pitu wolu sanga sepuluh
Fraksi
• 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
• 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
• 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
• 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)

C.2 Aksara Jawa


Hanacaraka atau dikenal dengan nama caraka adalah abjad / alat tulis yang
digunakan oleh suku Jawa (juga Madura, Sunda, Bali, Palembang, dan Sasak).
Aksara Jawa bila diamati lebih lanjut memiliki sifat silabik (kesuku-kataan). Hal ini

kebudayaan Jawa

13
bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili 2 buah
huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf
yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan
kata "hari". Aksara Na yang mewakili dua huruf yakni N dan A, dan merupakan satu
suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata "nabi".
Beberapa buah aksara itu bisa digabungkan secara langsung untuk
membentuk sebuah kata. Sebagai contoh :

Bila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat membentuk kalimat: Hana


Caraka (Terdapat Pengawal); Data Sawala (Berbeda Pendapat); Padha Jayanya
(Sama kuat/hebatnya); Maga Bathanga (Keduanya mati).

Adapula tafsir berbeda yang diajarkan oleh Pakubuwono IX, Raja Kasunanan
Surakarta. Tafsir tersebut adalah:
 Ha-Na-Ca-Ra-Ka
berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja.
Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia
( sebagai ciptaan ).

 Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil )
" tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus
bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.

 Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup
( makhluk ). Maksudnya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal
batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan

kebudayaan Jawa

14
keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
 Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis
kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk
menanggulanginya.

Jumlah aksara / huruf pada hanacaraka berjumlah 20 buah tampak pada


gambar berikut.

Makna Huruf
 Ha Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha
Suci
 Na Nur candra, gaib candra, warsitaning candara - pengharapan manusia
hanya selalu ke sinar Illahi
 Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi - arah dan tujuan pada Yang Maha
Tunggal
 Ra Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
 Ka Karsaningsun memayu hayuning bawana - hasrat diarahkan untuk
kesejahteraan alam
 Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa adanya
 Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian
dalam memandang hidup
 Sa Sifat ingsun handulu sifatullah - membentuk kasih sayang seperti kasih
Tuhan

kebudayaan Jawa

15
 Wa Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun
implikasinya bisa tanpa batas
 La Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
 Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah
 Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu dimulai dari
dasar
 Ja Jumbuhing kawula lan Gusti - Selalu berusaha menyatu memahami
kehendak-Nya
 Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas titah/kodrat
Illahi
 Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat kehidupan
 Ma Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin/mantap dalam menyembah
Ilahi
 Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani
 Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam
 Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan
 Nga Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi manusia

Pasangan
Jika Carakan / aksara Jawa lebih bersifat silabis (kesuku-kataan), bagaimana
Carakan bisa menuliskan huruf mati. Hal ini bisa diJawab dengan adanya pasangan.
Pasangan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup (diakhiri)
konsonan dengan suku kata berikutnya.
Sebagai contoh kata "banda" yang bila dipisahkan menurut silabiknya adalah
"ban" dan "da". Suku kata yang pertama suku kata ban. Untuk menuliskan ban ini
pertama-tama adalah dengan menuliskan aksara Ba terlebih dahulu. Kemudian
menuliskan aksara Na karena aksara Na mewakili dua buah huruf latin yakni N dan
A sehingga kita tidak bisa langsung menuliskan aksara da. Untuk mematikan huruf
Na, maka kita harus menuliskan bentuk pasangan da.
Bentuk pasangan disebutkan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata
yang tertutup konsonan dengan suku kata berikutnya. Artinya bahwa huruf yang
diikuti pasangan akan dimatikan sehingga menjadi konsonan. Pada kasus di atas
aksara Na diikuti pasangan Da yang berarti Na akan dibaca sebagai N.

kebudayaan Jawa

16
Semua aksara pokok yang ada di Carakan memiliki pasangannya masing-
masing. Bentuk pasangan ini ada yang dituliskan di bawah dan ada juga yang di atas
sejajar dengan aksara.

Bentuk-bentuk pasangan itu adalah:

Aksara Murda
Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf
kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan :
 Nama Gelar
 Nama Diri
 Nama Geografi
 Nama Lembaga Pemerintah
 Dan Nama Lembaga Berbadan Hukum.
(Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang menunjukkan hal-hal diatas
biasanya diawali dengan huruf besar atau kapital. Untuk itulah pada perangkat lunak
ini kita gunakan huruf kapital untuk menuliskan aksara murda atau pasangannya).

Aksara Murda dan pasangannya

kebudayaan Jawa

17
Aturan Pengunaan
Untuk aturan penulisan Aksara murda ini hampir sama dengan penulisan aksara-
aksara pokok di Hanacaraka, ditambah dengan beberapa aturan tambahan yakni :
a. Murda tidak dapat dipakai sebagai sigeg (konsonan penutup suku kata).
b. Bila ditemui aksara murda menjadi sigeg, maka dituliskan bentuk aksara
pokoknya.
c. Bila dalam satu kata atau satu kalimat ditemui lebih dari satu aksara murda,
maka ada dua aturan yang dapat dipergunakan yakni dengan menuliskan
aksara murda terdepannya saja, atau dengan menuliskan keseluruhan dari
bentuk aksara mudra yang ditemui.
Contoh Pemakaian Aksara Murda
Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh berikut bisa
digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.
Contoh:

Aksara swara

kebudayaan Jawa

18
Kegunaan Aksara Swara
Aksara Swara sebagaimana aksara Murda memiliki fungsi dan kegunaan
tertentu. Aksara Swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan untuk menuliskan
aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing,
untuk mempertegas pelafalannya.
Bentuk Aksara Swara
Aksara Swara tidak seperti aksara-aksara yang lain. Aksara ini tidak
dilengkapi dengan bentuk pasangan. adapun bentuk Aksara Swara ini adalah
sebagai berikut :

Aturan Penulisan Aksara Swara


Dalam menuliskan Aksara Swara, diikuti aturan penulisan aksara swara
sebagai berikut :
a. Aksara swara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan.
b. Bila aksara swara menemui sigegan (konsonan pada akhir suku kata
sebelumnya), maka sigegan itu harus dimatikan dengan pangkon.
c. Aksara swara dapat diberikan sandangan wignyan, layar, cecak, suku, wulu dan
lainnya.
Contoh Penggunaan Aksara Swara
Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh berikut bisa
digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.
Contoh:

Sandangan

kebudayaan Jawa

19
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam
tulisan Jawa. Di dalam tulisan Jawa, aksara yang tidak mendapat sandangan
diucapkan sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a. Vokal a di dalam
bahasa Jawa mempunya dua macam varian, yakni / / dan /a/.
 Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh doi dalam
bahasa Indonesia, misalnya :
 Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa, semua di dalam
bahasa Indonesia, misalnya :
Sandangan di dalam aksara Jawa dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni sebagai
berikut :
1. Sandangan Bunyi Vokal (Sandhangan Swara)
Sandangan bunyi vokal ada lima buah. Adapun bentuk dari sandangan bunyi
vokal ini adalah :
Pemakaian Sandangan Wulu
Sandangan Wulu dipakai untuk melambangkan vokal ( i ) di dalam suatu suku
kata. Sedangkan wulu ditulis di bagian atas akhir suatu aksara. Apabila selain wulu
juga terdapat sandangan yang lain, maka sandangan wulu digeser sedikit ke kiri.
Pemakaian Sandangan Suku
Penulisan sandangan suku dapat dituliskan dalam dua keadaan yaitu :
1. Penulisan sandangan suku pada aksara. Sandangan suku dipakai untuk
melambangkan bunyi vokal u yang bergabung dengan bunyi konsonan di
dalam suatu suku kata, atau vokal U yang tidak dituliskan dengan aksara
swara.Sandangan suku dituliskan serangkai di bagian bawah akhir aksara
yang mendapatkan sandangan itu.
2. Penulisan sandangan suku pada pasangan. Sandangan suku pada pasangan
dituliskan mengikuti letak penulisan pasangan itu. Letak sandangan sukunya
sendiri tetap berada pada bagian bawah akhir dari pasangan. Apabila
sandangan suku mengikuti pasangan aksara (ka), (ta), atau (la), maka
pasangan ini harus dirubah dulu ke dalam bentuk aksara pokoknya dahulu,
baru kemudian diberikan sandangan suku.
Pemakaian Sandangan Pepet
Kegunaannya untuk dipakai untuk melambangkan vokal e di dalam suatu
suku kata. Aturan penulisan sandangan pepet tertera sebagai berikut:

kebudayaan Jawa

20
Sandangan pepet ditulis di bagian atas akhir aksara. Apabila selain pepet juga
terdapat sandangan layar, maka sandangan pepet digeser sedikit ke kiri dan
sandangan layar ditulis di sebelah kanan pepet. Apabila selain pepet juga terdapat
sandangan cecak, maka sandangan pepet digeser sedikit ke kiri dan sandangan
cecak ditulis di dalam pepet. Penempatan sandangan pepet pada aksara yang
mendapatkan pasangan dituliskan sesuai dengan aturan di atas, kecuali untuk
aksara yang mendapatkan pasangan yang dituliskan di atas seperti sandangan (ha),
(sa), dan (pa). Untuk aksara yang mendapatkan pasangan ini, maka penulisan pepet
berada di atas pasangannya.
Pengecualian: Sandangan pepet tidak dipakai untuk menuliskan suku kata re dan le
yang bukan sebagai pasangan. Sebab suku kata re dan le yang bukan pasangan
dilambangkan dengan tanda pacerek (re) dan Nga lelet (le).
Pemakaian Sandangan Taling
Untuk membedakan penggunaan sandangan pepet dengan taling, maka
dibedakan sebagai berikut ;
 é untuk penulisan sandangan pepet
 e untuk penulisan sandangan taling
Pemaikaian Sandangan Taling Tarung
Sandangan taling tarung dipakai untuk melambangkan bunyi vokal O yang
tidak dituliskan dengan aksara swara di dalam suatu suku kata. Untuk Sandangan
taling tarung dituliskan mengapit aksara yang dibubuhi sandangan itu.
Sandangan taling tarung untuk aksara pasangan di tuliskan mengapit aksara
yang dimatikan (yang menjadi sigeg). Untuk aksara pasangan yang ada di atas
seperti pasangan (ha), (sa), dan (pa), maka taling ditaruh didepan aksara sigeg,
sedangkan tarung ditaruh di belakang aksara pasangan.

2. Sandangan Konsonan Penutup Suku Kata (Sandhangan Panyigeging


Wanda)
Sandangan penutup suku kata ada 4 buah.
Pemakaian Sandangan Wignyan
Sandangan wignyan adalah pengganti sigegan ha (konsonan ha di akhir
suku). Penulisan wignyan diletakkan di belakang aksara yang dibubuhi sandangan
itu.

kebudayaan Jawa

21
Pemakaian Sandangan Layar
Hampir sama dengan sandangan wignyan, sandangan layar digunakan untuk
pengganti sigegan ra (konsonan ra di akhir suku). Penulisan layar ditulis dibagian
atas akhir aksara yang mengikuti.
Pemakaian Sandangan Cecak
Sandangan cecak digunakan untuk menuliskan sigegan ng (sepasang
konsonan nga di akhir suku kata). ada tiga buah kondisi dalam menuliskan
sandangan cecak, yakni :
 Sandangan cecak ditulis di atas aksara. Sandangan cecak dituliskan
menurut aturan ini bila menemui keadaan aksara yang diikuti tidak memiliki
sandangan di atas aksara selain dirinya.
 Sandangan cecak ditulis di atas aksara belakang sandangan wulu. Apa
bila sandangan cecak mengikuti sandangan wulu, maka sandangan cecak
dituliskan di belakang sandangan wulu.
 Sandangan cecak ditulis di atas aksara di dalam pepet. Sandangan
cecak apabila mengikuti sandangan pepet, maka penulisan cecak di taruh
di dalam sandangan pepet.
Pemakaian Sandangan Pangkon
Tidak seperti ketiga sandangan sebelumnya, sandangan pangkong memiliki
beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itu adalah :
 Sandangan pangkong dipakai sebagai penanda bahwa aksara yang
dibubuhi sandangan pangkon itu merupakan aksara mati, aksara penutup
suku kata, atau aksara penyigeging wanda. Sandangan pangkong ditulis di
belakang aksara yang di bubuhi sandangan itu.
 Sandangan pangkon dapat juga dipakai sebagai pembatas bagian kalimat
atau rincian yang belum selesai, senilai dengan pada lingsa, atau tanda
koma (,) di dalam ejaan latin, di samping untuk mematikan aksara. Pada
kasus ini pangkong berfungsi ganda.
o Contoh: bapak macul, aku angon sapi, adhiku dolanan ijen.
Sandangan pangkon dapat ditulis untuk menghindarkan penulisan aksara
yang bersusun lebih dari dua tingkat.
o Contoh : benik klambi

kebudayaan Jawa

22
3. Sandangan Gugus Konsonan
Gugus konsonan adalah kumpulan dari dua konsonan dalam Hanacaraka
yang akan membentuk suatu suku kata. sebagai contoh kraton yang dapat dipisah
menjadi kra-ton. suku kata kra memiliki gugus konsonan kr. Di dalam Hanacaraka
ada lima buah gugus konsonan yang digunakan dalam bentuk sandangan.
Sandangan Cakra
Sandangan cakra merupakan penanda gugus konsonan yang unsur
terakhirnya berwujud konsonan r. Tanda cakra ditulis serangkai di bawah bagian
akhir aksara yang diberi tanda cakra itu.
Aksara yang sudah diberikan cakra dapat diberikan sandangan lagi selain
sandangan cakra, cecak, cakra la, cakra wa. Dan apa bila sandangan itu adalah
pepet, maka sandangan cakra dan pepet ditulis menjadi cakra keret.
Sandangan Cakra Keret
Sandangan Cakra Keret dipakai untuk melambangkan gugus konsonan yang
berunsur akhir konsonan r dengan diikuti vokal e pepet. Dengan kata lain cakra keret
digunakan sebagai ganti tanda cakra yang mendapatkan penambahan sandangan
pepet. Tanda cakra keret ditulis serangkai di bawah bagian akhir aksara yang
diberikan tanda keret itu.
Sandangan Pengkal
Sandangan Pengkal dipakai untuk melambangkan konsonan y yang
bergabung dengan konsonan lain di dalam suatu suku kata. Tanda pengkal ditulis
serangkai di belakang aksara yang diberi tanda pengkal.

Tanda Baca
Dalam Hanacaraka terdapat pula tanda-tanda baca yang digunakan dalam
penulisan kalimat, paragraf dan lainnya. Bentuk tanda baca yang ditangani dalam
perangkat lunak ini ada 4 buah yakni :
1) Adeg-adeg
Adeg adeg dipakai di depan kalimat pada tiap-tiap awal alinea.
2) Pada Lingsa
Pada lingsa dipakai pada akhir bagian kalimat sebagai tanda intonasi
setengah selesai. Tanda ini hampir setara dengan penggunaan koma(,).
Contoh: wong gedhe, dhuwur, lan pakulitane ireng.

kebudayaan Jawa

23
3) Pada Lungsi
Pada lungsi dipakai pada awal suatu kalimat. Tanda ini hampir setara dengan
titik.
Contoh: wis meh jam telu esuk, sumini durung bisa turu. pikirane goreh. goreh
amarga mikirna bojone kang wis telung dina iki durung mulih.
4) Pada Pangkat
 Pada pangkat dipakai pada akhir pernyataan lengkap jika diikuti
rangkaian atau pemerian. Contoh: aku arep tuku bala pecah :
mangkok, piring, lan gelas.
 Pada pangkat dipakai untuk mengapit angka. Contoh: Ibu mundhut
emas 75 gram.
 Pada pangkat dipakai untuk mengapit petikan langsung.
Contoh: Ibu ngendika, "sapa kancamu"

D. MATA PENCAHARIAN
Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang. Terutama
bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang Jawa. Meski
banyak pengusaha Indonesia yang sukses berasal dari suku Jawa, orang Jawa tidak
menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri, banyak diantara suku Jawa bekerja
sebagai buruh kasar dan tenaga kerja indonesia seperti pembantu, dan buruh di
hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang. Dan tentunya kini
semakin bertambah banyak. Banyak variasi pekerjaan sesuai dengan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki.
Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-pekerjaan
kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, bertani adalah juga merupakan salah
satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat orang Jawa di desa-
desa. Di dalam melakukan pekerjaan pertanian ini, diantara mereka ada yang
menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering ( tegalan ), terutama
mereka yang hidup di daerah pegunungan. Sedangkan yang lain, yaitu yang
bertempat tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-tanah
pertanian tersebut untuk dijadikan sawah. Biasanya disamping tanaman padi,
beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di

kebudayaan Jawa

24
tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu musim kemarau
dimana air sangat kurang untuk pengairan sawah-saah itu. Tanaman penyela
tersebut, diantaranya adalah ketela pohon, ketela rambat, kedelai, kacang tanah,
kacang tunggak, kacang brol, dan lain-lain.
Sawah itu ada yang dimiliki sendiri dan sawah ini disebut sawah sanggan dan
sawah yasan. Pemilik yang kelebihan dapat menjual sawah seperti itu kepada orang
lain. Dalam hal ini dia bisa menjual secara adol tahunan, ialah hanya menyewakan
sawahnya untuk satu tahun, atau secara adol ceplik, ialah menjual lepas sawahnya.
Banyak orang di desa tidak memiliki tanah-tanah pertanian yang luas, bahakna
banyak juga yang tidak mempunyaianya sama sekali. Orang seperti itu terpaksa
bekerja menjadi buruh tani, menyewa tanah, bagi hasil atau menggadai tanah.
Orang yang menyewa tanah, karena ia kaya dapat memberikan sejumlah
uangnya kepada orang pemilik sawah yang memerlukan, misalnya untuk satu masa
panen, yang disebut adol oyodan. Apabila orang yang tidak mempunyai tanah ingin
mendapat hasil dengan cara bagi hasil, artinya memperoleh separo bagian hasil
panennya, maka sistem itu disebut maro. Kalau ia menerima sepertiga bagian saja,
sistem itu disebut mertelu. Sudah barang tentu cara-cara bagi hasil ini tergantung
kepada keadaantingkat kesuburan tanah pertanian tersebut. Terutama untuk bagi
hasil tanaman palawija kacang brol, si pemilik sawah biasanya hanya akan
menerima seperlima bagian dari seluruh hasil panenan sawahnya.
Akhirnya jika orang hendak menggadai tanah, maka ada yang disebut adol
sende, artinya ia meminjamkan uang kepada orang lain, dimana ia mendapat tanha
pertanian sebagai barang gadaian untuk diolah. Kemudian jika si peminjam uang dan
pemilik sawah tersebut berhasil mengembaikan uang pinjamannya pada suatu
waktu, maka tanha pertanian tadi diserahkan kembali kepadanya. Walaupun
demikian ornag yang menggadai tanah itu sudah dapat memungut hasil
pertaniannya setidak-tidaknya satu kali masa panen, sebagia bunganya. Hubungan
transksi semacam ini, umumnya dilakukan oleh kedua belah pihak dengna
disaksikan oleh salah seorang anggota Pamong Desa.
Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok bertani tersebut,
adapula beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha kerja
sambilan membuat makanna tempe, mencetak batu merah, mbotok atau membuat
minyak goreng kelapa, membatik, menganyam tikar, dan menjadi tukang-tukang

kebudayaan Jawa

25
kayu, batu atau reparasi sepeda dan lapangan-lapangan pekerjaan lain yang
mungkin dikerjakan.

E. SISTEM KEMASYARAKATAN
 Lapisan sosial
 priyayi
Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa para dan yayi yang secara
harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja. Namun menurut
Robson (1971) kata ini bisa pula berasal dari kata Sansekerta priyā, yang berarti
kekasih
Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu
kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi
dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan
priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini
terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan.
Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya
ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas,
jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik
gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa
(18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat
dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki
gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan
pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati
Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau
gelar yang berubah nama.
Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian
tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat
Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri
digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan
mengamalkan agama. Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan
juga bukan santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena
pengelompokkan priyayi-non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang,

kebudayaan Jawa

26
sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku
seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang
santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.

 Ningrat
Adalah keluarga keraton dan keturunan bangsawan lainnya. Yang biasanya
mempunyai gelar-gelar yang menandakan tingkat kebangsawanannya. Misalnya
seorang laki-laki ningrat yang merupakan keturunan langsung (generasi pertama)
dari raja/pemimpin yang memerintah akan mendapat tambahan Bandara (baca
"bandoro") di depan gelarnya, sehingga menjadi Bandara Raden Mas (disingkat
BRM).

 Wong Cilik
Merupakan golongan masyarakat yang paling bawah, biasanya hidup didesa-
desa dengan sesuai dengan mata pencaharian mereka sebagai petani, tukang dan
pekerja kasar lainnya. Golongan ini juga dapat digolongkan lagi menjadi :
a. Wong baku
merupakan lapisan tertinggi dalam lingkungan desa di Jawa, mereka
adalah keturunan orang-orang yang dahulu yang pertama kali menetap
didesa, mereka memiliki sawah, rumah, serta pekarangannya.
b. Kuli gandok atau lindung
Mereka adalah orang laki-laki yang sudah kawin, akan tetapi tidak
mempunyai tempat tinggal sendiri,sehingga terpaksa menetap di kediaman
mertuanya.
c. Joko, sinoman, atau bujangan
Mereka semua belum menikah, dan masih tinggal bersama orang
tuanya atau tinggal (ngenger) dirumah orang lain. akan tetapi golongan bujang
ini bisa mempunyai tanah baik dari pembelian atau warisan.
Desa-desa di Jawa sering dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang
disebut dukuh, oleh karena itu dalam susunan kepemimpinan desa tiap-tiap
dukuh diketuai oleh kepala dukuh. Dalam hal memelihara dan membangun
masyarakat desanya, para pamong desa harus sering menggerakkan

kebudayaan Jawa

27
masyarakat dengan gugur gunung atau kerik desa guna bekerja sama
membersihkan, memperbaiki dan membuat sarana fasilitsa pedesaan.

F. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral.
Semua kakak laki-laki atau wanita ayah dan ibu beserta istri atupun suami
masing – masing diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah siwa atau uwa. Adapun
adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan
menurut jenis kelamin menjadi paman dan bibi.
Dalam adat masyarakat Jawa dikenal adanya ngarang wulu serta wayuh.
Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan seorang
wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi merupakan pernikahan sororat.
Adapun wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari satu istri (poligami).
Masyarakat Jawa mengenal beberapa sistem pernikahan, yaitu :
a. Pelamaran biasa
b. Magang atau ngenger, ialah seorang jejaka yang telah mengabdikan
dirinya pada kerabat si gadis.
c. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau
penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya
keluarga keraton atau keluarga kyai agung.
d. Ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak kerabat si gadis yang melamar si
jejaka.
e. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan seorang pria dan wanita atas
kemauan kedua orang tua mereka.
Menurut adat Jawa apabila akan diadakan suatu perkawinan, terlebih dahulu
diselenggarakan berbagai upacara-upacara sampai dilaksanakannya peresmian
perkawinan. Upacara- upacara tersebut adalah
 Nakokake
Seorang pria pertama-tama datang ke kediaman orang tua si gadis dengan
didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang tuanya untuk menanyakan

kebudayaan Jawa

28
kepadanya, apakah si gadis sudah ada empunya atau belum (legan). Jika orang tua
si gadis telah meninggal, hal itu yang disebut nakokake kepada wali, yakni anggota
kerabat dekat menurut garis laki – laki (patrilineal).
 Nontoni
Calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon istrinya.
 Persiapan
Penunjukkan Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi
pemimpin dari acara pernikahan. Dia mengurus dandanan dan pakaian pengantin
laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta
pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin, perhiasan dan
perlengkapan lain untuk pesta pernikahan.
Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta pernikahan.
Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang terdiri dari teman dekat, keluarga dari
kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakang dan berapa
banyaknya tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih).
Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan
minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa
acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan.
Persiapan yang paling penting adalah Ijab (catatan agama dan catatan sipil), dimana
tercatat sebagai pasangan suami istri.
Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah
orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), terdiri dari berbeda
Tuwuhan (tanaman dan daun), yaitu :

• Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti: Suami akan
menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang sangat mudah tumbuh
dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja.

kebudayaan Jawa

29
• Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang bersama untuk
bantuan nikah.
• Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama lain dan akan
merawat keluarga mereka.
• Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap srep berarti:
Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi keluarga.

• Bekletepe

Bleketepe yang berada di atas pintu gerbang berarti menjauhkan dari


gangguan roh jahat dan menunjukan di rumah mana pesta itu
diadakan.

Selain pemasangan tarub juga dikenal


adanya Kembar Mayang yang merupakan
karangan dari bermacam daun (sebagian
besar daun kelapa di dalam batang pohon
pisang). Itu dekorasi sangat indah dan
mempunyai arti yang luas.

• Mempunyai bentuk seperti gunung. Gunung itu


tinggi dan besar, berarti laki-laki harus punya
banyak pengetahuan, pengalaman dan kesabaran.
• Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati dalam kehidupan,
pintar dan bijaksana.
• Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan hasrat untuk
kehidupan yang baik.

kebudayaan Jawa

30
• Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya.
• Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam mengambil
keputusan untuk keluarganya.
• Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang tinggi.
• Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi keluarganya dan
masyarakat sekitarnya.
• Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan setan.
• Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk
menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai pikiran
yang jernih dan tenang dalam mengadapi masalah.
• Daun Dlingo Benglé: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya, itu digunakan
untuk melindungi gangguan setan.
• Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah karangan.
Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat hidangan
spesial yang dinamakan Sajen. Tradisionil Sajen (persembahan) dalam pesta
adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah simbol yang sangat berarti, di mana
Tuhan Pencipta melidungi kami. Sajen berarti untuk mendoakan leluhur dan
untuk melindungi dari gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat di
mana pesta itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah
pintu gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-lain.

Siraman sajen terdiri dari:


• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan.
• Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan.
• Makanan: ayam, daging, tahu, telur.
• Tujuh macam bubur.
• Pisang raja dan buah lainnya.
• Kelapa muda.

kebudayaan Jawa

31
• Kue manis, lemper, cendol.
• Teh dan kopi pahit.
• Rokok dan kretek.
• Lantera.
• Buna Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan air Suci.

 Siraman.

Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta
Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum Ijab dan Panggih.
Siraman di adakan di rumah orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya
dilakukan di kamar mandi atau di taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman.
Daftar nama dari orang yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya
orangtua, tetapi juga keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi
orang yang bermoral baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya tujuh
orang. Bahasa Jawa tujuh itu PITU, mereka memberi nama PITULUNGAN (berarti
menolong). Yang harus dipersiapkan:
• Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga atau perunggu. Air dari
sumur atau mata air.
• Bunga Setaman - mawar, melati, magnolia dan kenanga - di campur dengan air.
• Aroma - lima warna - berfungsi seperti sabun.
• Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang, santan, air asam Jawa).
• gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama.
• Kursi kecil, ditutup dengan:

kebudayaan Jawa

32
• Tikar - kain putih - beberapa macam daun - dlingo benglé (tanaman untuk obat-
obatan) - bango tulak (kain dengan 4 macam motif) - lurik (motif garis dengan
potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu).
• Memakai kain putih selama Siraman.
• Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari.
• Handuk.
• Kendi.
Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa air-bunga
ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci Perwitosari, berarti air suci dan
simbol dari intisari kehidupan. Air ini diletakan di rumah pengantin laki-laki.
Dalam pelaksanaan upacara Siraman Pengantin perempuan/laki-laki datang
dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke tempat Siraman.
Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki dengan kain batik, handuk,
dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah Siraman. Dia mendudukkan di kursi
dan berdoa. Orang pertama yang menyiramkan air ke pengantin adalah ayah. Ibu
boleh menyiramkan setalah ayah. Setelah mereka, orang lain boleh melakukan
Siraman. Orang terakhir yang melakukan Siraman adalah Pemaes atau orang
sepesial yang telah ditunjuk. Pengantin perempuan/laki-laki duduk dengan kedua
tangan di atas dada dengan posisi berdoa. Mereka menyiramkan air ke tangannya
dan membersihkan mulutnya tiga kali. Kemudian mereka menyiramkan air ke atas
kepala, wajah, telinga, leher, tangan dan kaki juga sebanyak tiga kali. Pemaes
menggunakan tradisionil shampoo dan conditioner. Setelah Kendi itu kosong,
Pemaes atau orang yang ditunjuk memecahkan kendi ke lantai dan berkata: 'Wis
Pecah Pamore' - berarti dia itu tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).
 Upacara Ngerik
Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin. Pemaes
mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi pewangi (ratus) di
seluruh rambutnya. Dia mengikat rambut ke belakang dan mengeraskannya
(gelung). Setelah itu Pemaes membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap
untuk di dandani. Pemaes sangat behati-hati dalam merias pengantin.
Dandanan itu tergantun dari bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita
memakai kebaya dan kain batik dengan motif Sidomukti atau Sidoasih. Itu
adalah simbol dari kemakmuran hidup.

kebudayaan Jawa

33
 Upacara Midodareni
Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat sama dengan Ijab dan
Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang berarti Dewi. Pada
malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi cantik sama seperti Dewi.
Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan datang dari kayangan. Pengantin
wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai tengah malam di
temani dengan beberapa wanita yang dituakan. Biasanya mereka akan
memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita
akan datang berkunjung; semuanya harus wanita.

Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan untuk


yang terakhir kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan bertanggung
Jawab.
Yang harus diletakan di kamar pengantin :

• Satu set Kembar Mayang.


• Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras, kacang, dan lain-lain) di
lapisi dengan kain Bango Tulak.
• Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi dengan daun dadap srep.
• Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan bunga) diletakan
di bawah tempat tidur.
• Suruh Ayu (daun betel).
• Kacang Areca.
kebudayaan Jawa

34
• Tujuh macam kain dengan corak letrek.
Di tengah malam semua sajen di ambil dari kamar. Keluarga dan tamu
dapat makan bersama. Di kamar lain, keluarga dan teman dekat dari
pengantin wanita bertemu dengan keluarga dari pengantin laki-laki.

 Peningsetan atau Srah-Srahan

Peningsetan berasal dari kata singset (berarti ikatan). Kedua keluarga


menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan. Keluarga dari pengantin
laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin perempuan. Mereka membawa
hadiah:
• Suruh Ayu (daun betel), mengharapkan untuk keselamatan.
• Beberapa kain batik dengan corak berbeda, mengharapkan
untuk kebahagiaan dan kehidupan yang baik.
• Kain Kebaya.
• Setagen putih untuk tanda kekuatan.
• Buah-buahan, mengharapkan kesehatan.
• Beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain, tanda dasar
kehidupan.
• Cincin untuk pasangan pengantin.
• Sumbangan uang untuk pesta pernikahan.
Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah. Hanya
pengantin laki-laki tidak bisa bertamu ke kamar pengantin perempuan yang
sudah bagus di dekorasi. Pengantin laki-laki tiba bersama dengan
keluarganya, tetapi dia tidak boleh masuk ke rumah. Hanya keluarganya boleh
masuk ke rumah. Dia duduk di serambi depan rumah bersama dengan
beberapa teman dan keluarga. Selama itu, dia hanya diberi segelas air dan

kebudayaan Jawa

35
tidak boleh merokok. Dia boleh makan hanya setelah malam hari. Dengan
maksud agar dia bisa menahan lapar dan godaan. Sebelum keluarganya
meninggalkan rumah, utusan dari keluarga pengnatin laki-laki mengatakan
kepada tuan rumah bahwa mereka akan mengambil alih tanggungJawab
pengantin laki-laki. Utusan menyatakan bahwa pengantin laki-laki tidak
kembali ke rumah. Setelah pengunjung meninggalkan rumah, pengantin laki-
laki boleh masuk ke rumah, tetapi tidak ke kamar pengantin. Orangtua dari
pengantin perempuan akan mengurus penginapannya.
Itu disebut Nyantri. Nyantri dilakukan untuk keamanan dan praktisnya,
dengan pertimbangan bahwa besok dia harus berpakaian pengantin dan siap
untuk Ijab dan upacara pernikahan lain.
 Upacara Ijab
Upacara ijab merupakan syarat yang paling penting dalam
mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari
pasangan pengantin. Tempat di adakan Ijab diletakan Sanggan atau Sajen
disekitarnya. Pengantin wanita dengan gelungan, minyak rambut mengkilap,
perhiasan emas dan kebaya untuk saat ini. Pengantin laki-laki juga
berpakaian khusus untuk upacara ini. Pasangan pengantin muncul terbaik.
Mereka dihormati seperti Raja dan Ratu di hari itu.

Setelah selesainya rangkaian persiapan maka dilanjutkan dengan


upacara perkawinan. Upacara perkawinan menurut adat Jawa terdiri dari
beberapa tahapan yaitu :
 Upacara Panggih
Suara sangat bagus dan mistik dari Gamelan digabungkan dengan
tradisi Panggih atau Temu: pertemuan antara pengantin wanita yang cantik
dengan pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan

kebudayaan Jawa

36
tanaman Tarub. Pengantin laki-laki di antar oleh keluarga dekatnya (tetapi
bukan orangtuanya karena mereka tidak boleh berada selama upacara), tiba
di rumah dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang.
Pengantin wanita, di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari
kamar pengantin. Orangtuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya.
Di depannya dua puteri disebut Patah, dengan membawa kipas. Dua wanita
dituakan atau dua putera membawa dua Kembar Mayang yang tingginya
sekitar satu meter atau lebih. Satu orang wanita dari keluarga pengantin laki-
laki berjalan keluar dari barisan dan memberi Sanggan ke ibu pengantin
perempuan, sebagai tanda dari penghargaan kepada tuan rumah dari
upacara. Selama upacara Panggih, Kembar Mayang di bawa keluar rumah
dan diletakan di persimpangan dekat rumah, melukiskan bahwa setan tidak
akan menggangu selama upacara di rumah dan di sekitarnya. Untuk dekorasi,
dua Kembar Mayang diletakan di samping kanan dan kiri dari kursi pasangan
pengantin. Dekorasi itu hanya digunakan bila pasangan pengantin
sebelumnya tidak pernah menikah.
 Upacara Balangan Suruh
Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka
mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulia
melempar sebundel daun betel dengan jeruk di dalamnya bersama dengan
benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan besar dan
kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno,
daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan
melempar daun betel satu sama lain, itu akan mencoba bahwa mereka benar-
benar orang yang sejati, bukan setan atau orang lain yang menganggap
dirinya sebagai pengantin laki-laki atau perempuan.
 Upacara Wiji Dadi
Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin
perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air
dicampur dengan bermacam bunga. Itu melukiskan bahwa pengantin laki-laki
siap untuk menjadi ayah yang bertangung Jawab dan pengantin perempuan
akan melayani setia suaminya.

kebudayaan Jawa

37
 Upacara Sindur Binayang

Setelah upacara Wiji Dadi, ayah pengantin perempuan mengantar


pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin perempuan menutup
pundak pasangan pengantin dengan Sindur. Itu berarti bahwa ayah akan
menunjukan jalan kebahagiaan. Ibu memberi dorongan moral.
 Upacara Timbang

Kedua pasangan pengantin duduk di atas pangkuan ayah dari


pengantin wanita, sementara dia bicara bahwa mereka sama beratnya, berarti
dia cinta mereka sederajat.
 Upacara Tanem
Ayah pengantin wanita mendudukan pasangan pengantin ke kursi
pengantin. Itu melukiskan bahwa dia menyetujui perkawinan. Dia memberi
restu.

kebudayaan Jawa

38
 Upacara Tukar Kalpika
Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta.

 Upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya

Dengan dibantu oleh Pemaes, pasangan


pengantin berjalan bergandengan tangan dengan jari kelingking ke tempat
upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya. Di sana, pengantin perempuan
mendapat dari pengantin laki-laki beberapa kedelai, kacang, padi, jagung,
beras kuning, jamu dlingo benglé, bunga, dan beberapa mata uang yang
berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Itu melukiskan bahwa
suami akan memberi semua gajinya ke istrinya. Pengantin perempuan sangat
berhati-hati dalam menerima pemberiannya di dalam kain putih, di atas tikar
yang sudah diletakan di pangkuannya. Dia akan mengurus dan menjadi ibu
rumah tangga yang baik.
 Upacara Dahar Klimah atau Dahar Kembul

kebudayaan Jawa

39
Pasangan pengantin makan bersama
dan menyuapi satu sama lain. Pemaes, menjadi pemimpin dari upacara,
memberi piring ke pengantin wanita (dengan nasi kuning, dadar telur, tahu,
tempe, abon dan hati ayam). Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga
bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin
wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk
suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu
melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup
bahagia satu sama lain.
 Upacara Mertui
Orangtua pengantin wanita menjemput orangtua pengantin laki-laki di
depan rumah. Mereka berjalan bersama menuju ke tempat upacara. Kedua
ibu berjalan di depan, dan kedua ayah berjalan di belakang. Orangtua dari
pengantin laki-laki duduk di sebelah kiri dari pasangan pengantin. Orangtua
dari pengantin perempuan duduk di sebelah kanan dari pasangan pengantin.
 Upacara Sungkeman
Mereka bersujud untuk mohon doa restu dari orangtua mereka.
Pertama ke orangtua pengantin wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-
laki. Selama Sungkeman, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki.
Setelah Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya. Orantua
pasangan pengantin memakai motif batik yang sama (Truntum), berarti
pasangan akan selalu mempunyai cukup keuntungan untuk hidup baik,
mereka juga memakai Sindur seperti ikat pinggang. Warna merah dari
Sindur dengan pinggir berliku berarti bahwa hidup itu seperti sungai mengalir
di gunung. Orangtua mengantar mereka ke kehidupan nyata dan mereka akan
membentuk keluarga yang kuat.

kebudayaan Jawa

40
Setelah upacara Pernikahan, dilanjutkan dengan pesta resepsi.
Pasangan pengantin baru bersama dengan orangtuanya menerima ucapan
selamat dari para tamu. Bersamaan dengan itu, beberapa penari Jawa
menpertunjukan (tari klasiek Gathot Kaca-Pergiwo, fragment dari cerita
wayang atau tari lebih modern Karonsih). Semantara semua tamu menikmati
pesta dan makan santapan, diiringi suara gamelan di ruang resepsi.

Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa istrinya, hal ini


dapat dilaksanakan sesudah sepasar, atau sama dengan lima hari sejak
mereka dipertemukan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi di
tempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten.
Selain masalah perkawinan, dalam adat Jawa juga diatur mengenai masalah
perceraian (pegatan). Dalam hal ini, perceraian hanya bisa dilakukan dengan
persetujuan kedua belah pihak, istri tidak dalam keadaan hamil dan di hadapan
pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak. Sedangkan
sebaliknya istri pun berhak meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Apabila
seorang istri meminta cerai sedangkan suaminya tidak bersedia maka istri mengadu
kepada kaum yang akan meneruskan pengaduan ke Kantor Urusan Agama
Kecamatan. Akhirnya, Kantor Urusan Agama Kabupaten yang akan memberi
keputusan.Pengaduan gugatan perceraian bertingkat-tingkat tersebut dinamakan
rapak.

kebudayaan Jawa

41
Apabila setelah bercerai, suami istri ingin rukun kembali sebelum melebihi
jangka waktu seratus hari maka disebut rujuk, sedangkan apabila hal itu dijalankan
melebihi batas waktu tersebut dinamakan balen. Baik rujuk maupun balen hanya
bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, karena apabila sudah mencapai
talak sebanyak tiga kali maka suami istri tersebut harus bercerai selamanya. Dalam
hubingan ini sorang janda dapat bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah lewat
masa iddahnya, yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid.
Dalam sebuah keluarga (kulawarga atau keluarga-batih) Jawa kepala
keluarga disebut somah. keluarga-batih dalam bentuk keluarga yang luas adalah
suatu pengelompokan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal.
Suatu kekerabatan yang lain ialah sanak-sadulur yang terdiri dari orang-orang
kerabat keturunan dari seorang nenek moyang sampai derajat ketiga. Selain itu
terdapat kelompok kekerabatan lain yang disebut alurwaris. Kelompok ini terdiri dari
semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya, yang
tugasnya memelihara makam leluhur.
Setelah pernikahan pasangan pengantin Jawa bebas menentukan apakah ia
akan menetap di sekitar tempat kediaman sendiri atau kerabat, atau mereka memilih
untuk tinggal di tempat tinggal yang baru. Adat menetap sesudah nikah ada tiga sifat:
a. Utrolokal, artinya mempunyai tempat tinggal sendiri yang terlepas dari
tempat menetap kerabat masing-masing pihak.
b. Neolokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat tempat
kediaman kerabat suami.
c. Uxorilokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat tempat
kediaman kerabat istri.
Dalam pembagian warisan harta peninggalan orang tua dikenal adanya 2
macam cara yaitu perdamaian dan sepikul segendongan. Menurut cara perdamaian,
pembagian harta dilakukan melalui permusyawaratan antara para ahli waris.
Biasanya orang tua cenderung memberikan rumah kediamannya kepada tabon, yaitu
seorang anak laki-laki atau perempuanyang tetap tinggal di rumah bersama orang
tua. Pemeliharaan benda pusaka diserahkan kepada anak laki-laki tertua, sedangkan
ternak dibagikan sama sesuai jumlah yang ada.
Menurut cara sepikul segendongan, anak laki-laki ditetapkan mendapat
bagian 2/3 sedangkan perempuan 1/3 dari seluruh jumlah warisan orang tua.
Biasanya dipergunakan untuk pembagian warisan tanah pekarangan. Besarnya

kebudayaan Jawa

42
jumlah pembayaran pajak dituliskan dalam surat tanda pembayaran pajak yang
disebut kohir (petuk) yang biasanya dipegang ahli waris yang paling tua.
Tanah pertanian (sawah) yang bisa diwariskan adalah sawah sanggan (milik
pribadi) yang terdiri atas tiga macam yaitu:
a. Sawah gantungan, merupakan sawah bagian warisan dari seseorang
yang pergi meninggalkan sawah tadi, sehingga harus dipelihara dan
digarap oleh saudaranya sendiri, tetapi setelah ia datang hak dan
kewajiban tanah pertanian itu kembali kepadanya.
b. Sawah dunungan, sesungguhnya belum menjadi harta warisan namun
sudah ditunjuk kepada siapa masing-masing bagian sawah itu akan
diberikan. Biasanya anak yang lebih tua mendapat bagian di sebelah barat
dan anak yang muda di sebelah timur.
c. Sawah garapan, sawah ini juga belum menjadi benda warisan tetapi
sudah diberi ijin dari orang tua untuk digarap oleh anak-anak atau menantu
laki-lakinya dan setelah orang tua meninggal akan menjadi warisan bagi
penggarapnya.
Dalam adat Jawa dikenal adanya pembedaan harta benda milik suami sendiri
sebelum kawin (benda gawan) dan harta kekayaan yang diperoleh selama hidup
bersama (benda gana gini) keduanya dapat diwariskan. Benda gawan kembali
kepada kerabat masing-masing apabila suami istri tidak mempunyai anak,
sedangkan benda gana gini baru dipersoalkan pembagiannya jika kedua orang
tersebut bercerai, yaitu banda gana untuk suami dan banda gini untuk istri.

G. RELIGI
Agama Islam berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa. Selain itu,
terdapat pemeluk agama nasrani dan agama besar lainnya.Pemeluk agama Islam
pada masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu :
• Islam Santri
adalah penganut agama Islam Jawa yang secara patuh dan teratur
menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya.
• Islam Kejawen
penganut agama Islam ini beranggapan walaupun tidak menjalankan shalat,
atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi tetap percaya kepada

kebudayaan Jawa

43
ajaran keimanan agama Islam. Kecuali itu mereka tidak terhindar dari
kewajiban berzakat. Tuhan mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad
adalah Kanjeng Nabi.
Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah
diatur dalam alam semesta sehingga mereka memiliki sikap nerima yaitu
menyerahkan diri kepada takdir. Selain itu, orang Jawa pada suatu kekuatan yang
disebut kasakten, arwah atau roh leluhur, dan makhluk halus seperti misalnya
memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar
tempat tinggalnya. Menurut kepercayaan makhluk halus tersebut dapat
mendatangkan sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, namun
sebaliknya mereka juga dapat menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan
kematian. Maka apabila seorang Jawa hidup tanpa menderita gangguan ia harus
berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta, misalnya dengan berpuasa,
pantang makan makanan tertentu, berselamatan, dan bersaji.
Selamatan adalah upacara makan bersama yang makanannya telah diberi
doa sebelum dibagi-bagikan. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh
keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan apapun. Upacara ini dipimpin oleh
modin, yaitu seorang pegawai masjid yang berkewajiban mengumandangkan adzan
karena dianggap mahir membaca do keselamatan dari dalam ayat-ayat Al Quran.
Upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai
peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni:
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang seperti hamil tujuh
bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh
tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, serta upacara yang
berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya.
Upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya
dilakukan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang meninggal
dunia, terutama keluarganya. Rangkaian upacara selamatan (sedekahan)
yang ditujukan untuk menolong keselamatan roh nenek moyang tersebut di
dalam akhirat ialah:
a. Sedekah Surtanah atau Geblak yang diadakan pada saat
meninggalnya seseorang. Upacara adat ini diselenggarakan setelah
acara penguburan jenazah. Tujuannya untuk memberikan doa supaya
arwah dari orang yang meninggal itu mendapat pengampunan.

kebudayaan Jawa

44
Upacara surtanah ini diselenggarakan secara sederhana, yang hadir
umumnya adalah saudara, tetangga yang dekat dan ulama yang
diundang. Selain doa biasanya juga ada acara tahlilan yang dilanjutkan
dengan mengaji bersama. Tidak ada undangna khusus untuk acara ini,
umumnya tetangga hadir dengan membawa bahan-bahan panganan
( beras, telur, bahan untuk sayur, gula, kopi ataupun uang dan lain-
lain )yang tujuannya untuk meringankan beban keluarga.
Inti dari upacara surtanah adalah berdoa, yang diutamakan
untuk berdoa adalah putra-putri dari orang yang meninggal, saudara
dekat, teman atau tetangga atau siapa saja yang mau ikut berdoa.
Tidak ada acara kendhuren, jika ada hidangna yang disajikan itu hanya
seadanya. Bisa juga jika keluarga yang ”kesripahan” ingin sodaqoh
bisa dengan membuat makanan yang banyak atau menyiapkan besek
untuk dibawa pulang yang hadir tapi itu tidak wajib. Yang dianjurkan
adalah orang lain yang membawa bantuan untuk keluarga yang
”kesripahan”.
b. Sedekah Nelung dina ialah upacara selamatan kematian yang
diselenggarakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya
seseorang.
c. Sedekah Mitung dina ialah upacara selamatan saat sesudah
menginggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh.
d. Sedekah Matangpuluh dina atau upacara keselamatan kematian
seseorang pada hari keempat puluh.
e. Sedekah Nyatus yakni upacara keselamatan kematian yang diadakan
sesudah hari keseratus sejak saat kematiannya.
f. Sedekah Mendak sepisan dan Mendak pindo, masing-masing upacara
selamatan kematian yang dilakukan pada waktu sesudah satu tahun
dan dua tahun dari saat meninggal seseorang.
g. Sedekah Nyewu, sebagai upacara selamatan sesudah kematian
seseorang bertepatan dengan genap seribu harinya. Upacara juga
disebut sedekah Nguwis-nguwisi artinya yang terakhir kalinya.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah
pertanian dan setelah panen padi.

kebudayaan Jawa

45
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar
Islam
4. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu berkaitan dengan kejadian-
kejadian, misalnya menempati rumah atau menolak bahaya (ngruwat).
Selain upacara selamatan, pada masyarakat Jawa juga dikenal adanya
sesajen. Sesajen merupakan penyerahan sajian pada waktu dan di tempat tertentu
dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat yang dipilih biasanya
tempat yang dianggap keramat dan mengandung bahaya ghaib (angker)agar
terhindar dari gangguan makhluk halus. Sesajen merupakan ramuan tiga macam
bunga (kembang telon) yang dimasukkan ke dalam air,kemenyan, uang recehan,
dan kue apem yang ditaruh dalam besek ataupun bungkusan daun pisang kemudian
ditempatkan di atas meja untuk dikutug. Ada sesajen yang dibuat pada tiap malam
Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Masyarakat Jawa juga mengenal adanya upacara
sesaji panyadran agung yang dilakukan tiap tahun oleh keluarga Kraton Yogyakarta
bertepatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau disebut juga Gerebeg Mulud.
Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) ditujukan kepada
benda-benda pusaka, keris, gamelan,bahkan pada burung perkutut, kendaraan
istana (kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada raksasa Batara Kala.
Untuk kendaraan istana setiap setahun sekali pada hari Jumat Kliwon pada bulan
Sura dibersihkan dengan upacara siraman yang dilakukan di dalam lingkunagn
istana (Ratawijaya) secara terbuka. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, air
bekas siraman tersebut dapat memberi berkah. Sedangkan Batara Kala adalah
raksasa yang mempuyai kekuatan sakti untuk mendatangkan bencana pada benda
atau manusia, sehingga orang Jawa yang mempunyai anak akan mengadakan
ruwatan untuk menghindarkan anaknya dari bahaya. Ruwatan dilakukan oleh dukun,
yang pandai menyembuhkan penyakit dan mengenyahkan ruh jahat. Ruwatan
biasanya disrtai pertunjukkan wayang kulit sehari semalam dengan mengambil cerita
Batara Kala.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa terdapat berbagai macam aliran
kebatinan, yang macamya yaitu:
1. Gerakan atau aliran kebatinan yang keuaniyahan, yang percaya pada
adanya ruh halus, atau badan halus, serta jin dan lain-lain.

kebudayaan Jawa

46
2. Aliran yang keislam-islaman, yang ajarannya banyak mengambil unsur
keimanan agama Islam, dengan syariat yang sengaja dibedakan dengan
syariat Islam dan mengandung banyak unsur Hindu-Jawa.
3. Aliran kehindu-jawian, yang pengikutnya percaya kapada dewa agama
Hindu
4. Aliran yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari kesatuan
dengan Tuhan.
Contoh aliran kebatinan yang pernah berkembang di daerah selatan
Yogyakarta misalnya ”ADARI” singkatan ”Agama Jawa Asli Republik Indonesia”,
Hidup Betul, Hendra Pusara, Hidup Betul Iman Agama Hak, dan Parda Pusara
Penitisan Rohani. Hampir semua gerakan kebatinan ini bertujuan menuju
kesempurnaan hidup manusia.

Selain yang telah dijelaskan, terdapat upacara- upacara adat yang lain yaitu
sebagai berikut :
Sadran
Sadran merupakan Upacara masyarakat Jawa Baru (dan Madura serta
mungkin juga Sunda) yang disebut dengan nama sadran atau bentuk verbal
nyadran, merupakan reminisensi daripada upacara sraddha Hindu yang dilakukan
pada jaman dahulukala.
Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah
sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran
Islam berpuasa.
Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan
menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa
yang tidak menganut ajaran Islam pula.
Mitung Mbengeni
Mitung Mbengeni (berasal dari Bahasa Jawa: pitu: tujuh; bengi: malam)
adalah sebuah prosesi yang dilakukan pada bayi pada malam ketujuh sejak
kelahirannya. Mekanismenya hampir sama dengan prosesi tasyakuran biasa. Hanya
pada menu makanannya ditambahin menu ngethingi.

kebudayaan Jawa

47
Mitung mbengeni juga sebagai pertanda puput puset pada bayi. Untuk orang
jaman dulu, puput puser dilakukan oleh seorang dukun bayi, dia sekaligus yang
menolong proses persalinan sampai dengan perawatan selama sang ibu atau
keluarga belum bisa memperlakukan bayi sebagaimana mestinya.
Ngerak
Ngerak adalah sebuah tradisi memandikan anak kecil dengan umur dibawah 5
tahun, disebuah belik. Sebelum berangkat dari rumah, dilakukan prosesi iring-
iringan, dengan menempatkan si anak didepan dengan posisi di gendong dengan
menggunakan selendang berwarna kuning. Sesampainya di belik, kemudian
dimandikan dengan kembang tujuh rupa oleh sesepuh setempat. Sesampainya
dirumah, si anak di suruh menaiki piramida yang terbuat dari bambu yang berisi
pernak-pernik, mulai dari permainan, sampai dengan makanan. Sedangkan yang
paling menarik adalah seekor ayam panggang yang ditaruh disebelah kiri tas
piramida. Uniknya, sebagian besar dari anak-anak peserta Ngerak tertarik untuk
mengambil kaki ayam panggang tersebut. Entah sebuah kebetulan ataukah memang
bermakna khusus.
Mantu Poci
Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal (Jawa Tengah),
dengan cara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah
berukuran raksasa.
Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang
telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya
pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan.
Lengkap dengan dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk
menghibur para undangan yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi
disediakan kotak sumbangan berbentuk rumah.
Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan
keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi
layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian
dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.
♦ Ruwatan
Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas
dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya.

kebudayaan Jawa

48
Upacara adat ini berasal dari buadaya adat Jawa kuna yang sifatnya sinkretis, tetapi
sekarang diadaptasi dengan ajaran agama.

Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang Jawa,
sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya
yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Tradisi ruwatan di Jawa ( Jawa tengah)
awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita Jawa kuno, yang isi pokoknya
memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar
menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu
kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media
wayang kulit.
Dalam tradisi Jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang
sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan
ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini
akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam
cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri
Dewi Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma
menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang
gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta
makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau
sukerta. Jenis manusia yang disukai Bathara Kala yaitu :
a. Yang akan mengalami penderitaan atau sukerta.
b. Yang lahir tunggal atau ontang-anting.
c. Kembang sepasang atau kembar.
d. Sendang kapit pancuran atau laki-laki, perempuan, laki-laki.
e. Uger-uger lawang atau dua anak laki-laki semua.

kebudayaan Jawa

49
Sesajen yang perlu disiapkan untuk upacara ini adalah :
a. Kain pitung werna
b. Beras kuning
c. Jarum kuning
d. Kembang pitung rupa
Jika untuk tolak bala atau membuang sial orang yang mengalami sukerta,
orang yang diruwat harus menjalani siraman air suci dan gunting rambut, rambutnya
lalu dilarung di laut.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam
pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang
hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi
doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita
citakan.

Tumpeng

Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai


'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi 'tumpengan' pada malam
sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk
mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa
pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari
orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada
orang tersebut. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan
dialasi daun pisang.

kebudayaan Jawa

50
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian,
beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur
dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya
melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele
goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan
bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan
laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam
atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya
Jawa dan Bali.
Variasi Nasi Tumpeng :
 Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman
dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan
berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur
ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
 Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan
tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di
tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa
disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
 Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria
yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk
sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling
membelakangi.
 Tumpeng Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian
dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
 Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral
yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran,
pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
 Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk
peringatan Maulud Nabi.
Kutug
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh penganut
ajaran tertentu, dengan tujuan agar mendapat lindungan, keselamatan dan berkah
dari Syang Hyang Widi. Ritual ini biasanya dilakukan oleh kepala adat, dihari-hari
tertentu.

kebudayaan Jawa

51
Ngethingi
Ngethingi merupakan tradisi tasyakuran sebagai bentuk atau moment
peringatan terhadap seorang bayi ketika berusia tertentu. Ritualnya, sebuah keluarga
yang dikaruniai tambahan jumlah anggota baru (melahirkan) wajib melaksanakan
syukuran dengan selalu membuat masakan yang berbahan dasar sayur-sayuran
(lebih tepatnya dan lazimnya yang digunakan adalah daun pepaya muda). Ada
beberapa tahapan yang dilakukan oleh suatu keluarga dalam rangka ngethingi.
Diantaranya adalah :
1. Mitung Mbengeni
2. Neloni
3. Mitoni
4. Nyetauni
5. Ngarotengahi
Malam Satu Suro
Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penganggalan islam
oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah islam dijaman etelah nabi
Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender islam
di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahum 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu
pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat
penyesuaian antara sistem kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa pada
waktu itu.
Tradisi Jawa
Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual
menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan
caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian, warga yang
melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton
dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan
kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri,
berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi
tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau
sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih
mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah ditemui di seputaran
Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan

kebudayaan Jawa

52
dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan
Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.
Pantai Parangkusumo
Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta,
Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik
tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga
masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto
Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi
ini. Hal ini yang menarik perhatian saya untuk berkunjung kesana di malam satu
Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal
15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.
Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama
pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya
disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis.
Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang
kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat
tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak
bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.
Wayang Kulit Semalam Suntuk
Tradisi dan warisan budaya Jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen
penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai
selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.

Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk


pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran
wayang malam itu.
Cepuri Parangkusumo

kebudayaan Jawa

53
Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu
Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu
Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura
masuk.

Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat
keramat macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang
dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.

Diantara rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada
seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan
Senopati dengan pakaian Jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin pengunjung
lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru kunci sendiri duduk bersila
tepat di depan gapura setelah pengunjung masuk. Tiap pengunjung yang masuk
wajib menemui juru kunci dan menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan
berdoa.

kebudayaan Jawa

54
Rombongan peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah
rombongan peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar.
Mereka menggunakan pakaian Jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain putih
dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.

Puro Pakualaman
Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di
pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua”
di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu
Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo,
di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan
sebuah tenda. Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di
halaman Kraton pun tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.
Bahkan, warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan
beranjak dari atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang
kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas sadel
tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi penumpangnya pun
dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya untuk duduk berselimut
sarung dan menikmati malam panjang itu.

kebudayaan Jawa

55
Ngupat
Ngupat atau ngupati adalah salah satu upacara adat yang dilakukan saat
calon ibu mengandung ( mbobot ) 4 bulan. Kata ”ngupat ” berasal dari kata papat
( 4 ) atau kupat. Tujuannya adalah untuk keselamatan calon bayi dan ibu atau untuk
tolak bala jadi hampir sama seperti mitoni. Yang membedakan dengan upacara adat
”meteng” lainnya yaitu ada sajian kupat yang ditaruh didalam tempat yang biasa
disebut ”besek” yang dibawa pulang oleh orang yang hadir pada acara kenduren.
Ngupati ini mengandung maksud sebagai lambang bahwa ”jabang bayi”
sudah masuk dalam tahap keempat dalam proses penciptaan manusia.
Waktunya harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut hitungan hari
Jawa.
Ngliman
Ngliman adalah salah satu upacara adat ”wetwngan” yang diselenggarakan
ketika calon ibu mengandung lima bulan. Kata ”ngliman” berasal dari kata lima ( 5 ).
Tujuan dari upacara adat ini adalah sama dengan ngupati yaitu upacara untuk
keselamatan bayi dan calon ibu atau juga untuk tolak bala.
Upacara adat ini kurang dikenal pada daerah-daerah tertentu, berbeda
dengan upacara adat ”mitoni” yang sudah umum dikenal oleh masyarakat Jawa dan
juga dikenal oleh masyarakat nusantara.
Mitoni atau Tingkeban
Mitoni berasal dari kata ”pitu” ( 7 ). Upacara adat ini diselenggarakan saat
calon ibu mengandung 7 bulan. Tujuannya adalah untuk keselamatan calon bayi dan
calon ibu dan juga untuk tolak bala. Di daerah tertentu upacara ini juga disebut
tingkeban.
Jabang bayi yang berumur tujuh bulan itu sudah mempunyai raga yang
sempurna. Jadi menurut orang Jawa ”wetengan” umur tujuh bulan itu proses
penciptaan manusia itu sudah nyata dan sudah sempurna atau Sapta Kawasa Jati.
Rangkaian acara dari ”mitoni” adalah sebagai berikut :

kebudayaan Jawa

56
Rangkaian acara untuk upacara mitoni ini lebih banyak daripada upacara
ngupati, yaitu:
1) Siraman

2) Memasukkan telur ayam kampung didalam kain calon ibu oleh calon bapak.
3) Salin rasukan ( ganti baju )
4) Brojolan ( memasukkan kelapa gading muda ).
5) Memutus lawe atau lilitan benang ( janur ).
6) Memecahkan wajan dan gayung.
7) Mencuri telur.
8) Kenduren.
Waktu pelaksanaannya menurut orang Jawa mitoni itu harus diselenggarakan
pada hari yang benar-benar bagus, yaitu hari senin siang sampai malam. Atau hari
jumat siang sampai malam.
Mendhem ari-ari
Mendhem ari-ari adalah salah satu upacara kelahiran yang umum
diselenggarakan dan juga di daerah – daerah ( suku-suku ) lain. Ari-ari itu bagian
penghubung antara ibu dan bayi waktu bayi masih didalam rahim. Istilah lain dari ari-
ari adalah aruman atau embing-embing ( mbingmbing ).
Orang Jawa itu percaya bahwa bahwa ari-ari itu adalah salah satu dari
”sedulur papat” atau ”sedulur kembar” dari si bayi sehingga ari-ari harus dirawat dan
dijaga. Yaitu tempat yang digunakan untuk memendham ari-ari diberi lampu
( umumnya lampu senthir ) untuk penerangan, ini menjadi simbol pepadadang untuk
bayi. Senthir itu dihidupkan sampai 35 hari ( selapan dina ).
Tata caranya adalah sebagai berikut ;
1) Ari-ari dicuci sampai bersihdan dimasukkan kedalam kendhi atau batok
kelapa.
2) Sebelum ari-ari dimasukkan alas kendhi diberi ”godhong senthe” lalu kendhi
itu ditutup dengan lemper yang masih baru dan dibungkus kain mori.
3) Kendhi lalu digendong, dipayungi, dibawa ke lokasi penguburan.

kebudayaan Jawa

57
4) Lokasi penguburan kendhi harus berada di sebelah kanan pintu utama rumah.
Yang memendam kendhi harus bapak dari bayi.
Brokohan
Brokohan adalah salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran
bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan syukur dan sukacita
karena kelahiran itu selamat. Brokohan itu asal katanya dari bahasa Arab yaitu
”barokah” yang artinya mengharapkan berkah.
Tujuannya adalah untuk keselamatan proses kelahiran juga untuk
perlindungan terhadap bayi dan dengan harapan bayi yang lahir menjadi anak yang
baik perilakunya.
Rangkaian acaranya diawali dari mendhem ari-ari yang dilanjutkan dengna
bagi-bagi sesajen brokohan untuk saudara dan tetangga.
Sepasaran
Adalah salah satu upacara adat Jawa waktu bayi berumur 5 hari. Upacara
adat ini umumnya diselenggarakan secara sederhanatetapi jika bersamaan dengan
pemberian anma bayi, upacara ini diselenggarakan secara lebih meriah. Kata
sepasaran berasal dari kata sepasar. Umumnya diselenggarakan sore dengan
acara kenduren dengan mengundang saudara dan tetangga. Suguhan yang
disajikan umumnya adalah air minum dan ”jajan pasar” tetapi juga ada “besek” yang
nantinya dibawa pulang.
Puputan atau Dhautan
Puputan itu sebenarnya mempunyai makna ”tali puser bayi puput”. Jadi
upacara ini diselenggarakan waktu bubar pupute dari pusar bayi. Biasanya ada
upacara slametan di upacara puputan ini. Acaranya yaitu kendhuren, bancakan dan
memberi nama bayi. Acara ini bagus diselenggarakan setelah maghrib.
Tedhak siti atau Tedhak Siten
Tedhak siti adalah salah satu upacara adat untuk anak yang berumur 7 bulan.
Upacara ini di daerah yang lain di nusantara juga ada, biasanya disebut ”injak tanah”
di Jakarta atau juga disebut ”mudhun lemah”. Tedhak Siten itu berasal dari kata
tedhak atau idhak dan siten ( dari kata siti yang berari lemah atau tanah ). Upacara
ini sebagai lambang bahwa anak bersiap-siap menjalani hidup dengan dituntun
orangtua dan diselanggarakan jika anak sudak berumur 7 selapan atau 245 hari
( 7 x 35 = 245 ).
Urutan kegiatannya :

kebudayaan Jawa

58
1) Tedhak sega pitung warna
2) Mudhun tangga tebu
3) Ceker-ceker
4) Kurungan
5) Sebar udik-udik
6) Siraman
Sedekah Bumi
Bersih desa adalah salah satu upacara adat Jawa yang diselenggarakan
setelah selesainya panen padi, jadi maksudnya sebagai ungkapan syukur
“tandhuran” padi berhasil panen dan hasilnya baik. Upacara adat ini kadang juga
disebut upacara mreti desa dan biasanya digabung dengn upacara adat sedekah
bumi atau mreti bumi. Setiap daerah mempunyai atat cara dan prosesi upacara yang
berlainan menurut kebiasaan masing-masing tetapi tujuannya sama saja.
Pada jaman dahulu upacara adat ini dikaitkan dengan Dewi sri yang dianggap
sebagai dewi Padi karena keberhasilan panen itu hasil kemurahan dari Dewi sri yang
wajib disyukuri.
Tujuan dari mengadakan upacara ini adalah:
1) Untuk mengucapakan syukur kepada tuhanyang sudah memberi hasil panen
padi yang melimpah.
2) Untuk menjaga keselamatan para warga desa dari gangguan hal-hal yang
gaib, roh atau arwah yang gentayangan dan juga dari gangguan penyakit,
serta bencana.
3) Untuk membersihkan desa dan warganya dari halangna atau kesusahan
supaya keadaan desa menjadi tentram dan aman.
Prosesi
Umumnya dimulai setelah panen pertama. Lokasi upacara pertama di sawah
yang sudah dilengkapi dengan ”ubo rampe’ yaitu janur kuning, kembang setaman,
kemenyan, kaca, suri, banyu kendhi, jajan pasar, bungkusan nasi dan pisang.
Setelah acara berdoa, padi yang sudah dipetik digotong ke lumbung padi. Di
lumbung padi juga disiapkan perangkat upacara lanjutan yang umumnya dibuat dari
daun. Diantaranya daunkluwih, dhadhap serep, godhong mojo, godhong tebu,
godhong jati juga godhong luh. Masing-masing godhong ( daun ) itu mempunyai
makna.

kebudayaan Jawa

59
Munggah wuwungan
Adalah salah satu upacara adat yang diselenggarakan setelah wuwungan
dibangun dalam proses membangun rumah. Istilah munggah wuwungan ini biasanya
disebut juga munggah gendheng. Upacara ini diselenggarakan saat rangka
wuwungan sudah jadi tetapi gendeng belum dipasang. Upacara adat ini uga dikenal
di daerah-daerah lain di Nusantara.
Upacara ini sebenarnya upacara untuk syukuran karena rumah yang
dibangun sudah mempunyai wuwungan jadi sebentar lagi sudsh bisa dipake
sehingga tidak akan kepanasan atau kehujanan. Puncak acaranya adalah
kendhuren, diutamakan untuk tuakang-tukang yang membangun rumah dan para
tetangga yang berada dekat dengan rumah yang dibangun. Acara ditutup dengan
doa bersama yang dipimpin oleh ulama. Biasanya acara kendhuren munggah
wuwungan ini diselenggarakan siang atau setelah shalat dhuhur, jadi sekalian
dengan makan siang para tukang dan jamaah serta ulama yang baru keluar dari
masjid atau langgar bisa langsung ikut dan pulangnya bisa membawa besek.
Sesajen juga perlu disiapkan untuk digantung disalah satu kayu di wuwungan.
Yang tidak digantung hanya bendhera merah putih yang dipasang dengan galah
dengna panjang sedang 9 tidak terlalu panjang ), yang bisa kelihatan dari rumah
tetangganya.
Sesajen yang harus disiapkan :
1) Gedhang setandan
2) Tebu ireng sewit
3) Pari secukupe
4) Kelapa seiji uga bendhera
Grebeg Maulud
Perayaan Grebeg

Puncak peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. diperingati dengan


penyelenggaraan upacara Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada tanggal 12

kebudayaan Jawa

60
Maulud, atau pagi hari esoknya, setelah kedua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo
dan Kyai Guntur madu dibawa masuk kembali ke dalam Kraton oleh masyarakat
Yogyakarta, kejadian ini lazim disebut dengan istilah Bendhol Songsong. Pada pagi
hari, pukul 08.00, upacara dimulai dengan parade kesatuan prajurit Kraton yang
mengenakan pakaian kebesarannya masing-masing. Puncak dari upacara ini adalah
iringan gunungan yang dibawa ke Masjid Agung .
Setelah di Masjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagian gunungan dibagi-bagikan pada masyarakat
umum dengan jalan diperebutkan. Bagian-bagian dari gunungan ini umumnya
dianggap akan memperkuat tekad dan memiliki daya tuah terutama bagi kaum
petani, mereka menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat
doanya agar lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak
tanaman.
Selain upacara Grebeg Maulud, didalam satu kurun tahun Jawa terdapat
upacara-upacara Grebeg yang lain, yakni Grebeg Syawal yang diselenggarakan
pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada
Tuhan dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa selama satu bulan
penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang diselenggarakan pada
tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan hari Raya Qurban Idhul Adha.
Upacara Jamasan

Bagi orang Jawa, benda-benda pun dianggap memiliki jiwa. Oleh karena itu,
benda-benda itu harus diperlakukan istimewa yang nyaris sama seperti manusia itu
sendiri. Mungkin saja ini masih dianggap sebagai animisme, tapi tentu saja orang
Jawa akan menyangkalnya. Yang jelas, untuk benda-benda milik Keraton
Yogyakarta seperti kereta, gamelan, maupun pusaka, semuanya memiliki nama
seperti manusia. Ada Kiai Sangkelat, Kiai Nagasasra (keris), Kiai Guntur Madu
(gamelan), ada pula Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Puspakamanik (kereta). Di
Keraton Yogyakarta, benda-benda itu selalu dicuci yang diistilahkan dengan nama

kebudayaan Jawa

61
dijamasi pada bulan Sura (Muharam) dan selalu pada hari istimewa Jumat Kliwon
atau Selasa Kliwon.
Cara jamasan itu sendiri juga khas. Semua yang terlibat dalam ritual itu harus
mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Mereka, semuanya laki-laki,
mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon. Mereka berbusana
seperti itu karena mereka akan menjamasi sebuah kereta. Kereta ini dibuat pada
tahun 1750-an, semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, diberi nama
Kanjeng Nyai Jimat. Kereta itu menjadi tunggangan Sultan Hamengku Buwono I
sampai III. Kereta itulah yang setiap bulan Sura selalu dijamasi karena dianggap
sebagai kereta cikal-bakal kereta lainnya. Berbentuk anggun, bergaya kereta
kerajaan-kerajaan Eropa, beroda empat, dua buah yang besar di belakang, dan dua
buah di depan agak kecil, diperkirakan ditarik oleh enam sampai delapan kuda.
Sebuah simbol kewibawaan seorang raja. Kereta yang penuh ukiran itu sendiri
memiliki pintu dan atap sehingga mirip mobil. Kereta itu tersimpan di dalam Museum
Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada sekitar selusin kereta yang sebagian besar
masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, dan dia selalu ditemani
oleh salah sebuah kereta lain yang dipilih secara bergantian setiap tahunnya.
Kemudian ada Kyai Puspakamanik, sebuah kereta hadiah dari Kerajaan
Belanda yang dibuat pada tahun 1901. Kereta itu menjadi tumpangan para pangeran
pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Jamasan biasanya seorang
pejabat keraton yang khusus menangani masalah perawatan kereta.
Proses pencucian kereta ini memiliki nilai wisata ritual magis religius. Sehingga
banyak orang rela berebut bekas air cucian kereta dengan cara menampung aliran
air dari badan kereta dan memasukkan air bekas cucian itu ke dalam botol bekas air
kemasan maupun jerigen. hal ini dikarenakan masyarakat Jawa percaya bahwa air
ini akan membawa berkah bagi mereka, karena mereka percaya bahwa air ini
mengandung hal gaib/sakti karena pemiliknya merupakan orang yang sakti.
Sebenarnya, di samping jamasan kereta, di dalam keraton juga ada jamasan
pusaka. Akan tetapi, jamasan pusaka itu tidak boleh dilihat oleh umum. Misteri
jamasan pusaka itu sendiri akhirnya memang tinggal misteri yang dipelihara turun-
temurun. Semisteri pusaka yang dipercayai memiliki kekuatan supra natural itu
sendiri.

kebudayaan Jawa

62
Upacara Labuhan
Selain itu terdapat pula Upacara Labuhan yang merupakan rangkaian dari
Tradisi 1 Sura. Dimana pagi hari sesudah malam 1 Sura maka diadakan Upacara
labuhan yaitu dengan mempersembahkan pakaian wanita , alat-alat rias, sirih, bunga
dan lain-lain ke laut selatan , sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan
kesejahteraan dan keselamatan kepada Ratu Kidul Penguasa laut Selatan .
Berbagai pakaian bekas yang pernah dipergunakan oleh Sri Sultan, potongan
rambut serta potongan kuku beliau ditanam di dalam areal tanah sengker (suatu
areal tanah yang dianggap keramat di daerah Parangkusumo). Sehingga bisa
dikatakan bahwa kedua upacara ini yaitu tradisi malam 1 Suro dan Upacara Labuhan
merupakan 2 hal yang saling berkaitan di dalam tradisi Kraton Yogyakarta.

H. PRODUK BUDAYA
H.1 Seni Tari
Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata
tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari
haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan
pengungkapan wujud gerak yang luluh.
Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-
gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan
gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa
sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam
dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan
upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang
berangkat dari kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan
Raja Hayam Wuruk. Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya
terdapat di Keraton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah
kemudian meluas ke daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga
meliputi daerah Jawa Tengah, terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang
berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan
telah mempunyai ahli-ahli yang dapat dipertanggungJawabkan. Tokoh-tokoh tersebut
umumnya masih keluarga Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan.

kebudayaan Jawa

63
Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya
Surakarta.
Beberapa contoh tarian gaya surakarta, diantaranya :
Srimpi, Bedhaya, Gambyong, Wireng, Prawirayudha, Wayang-Purwa
Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari Langendriyan,
yang mengambil cerita Damarwulan.
Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat
dalam dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang
termasuk seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-
macam tari daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional,
seperti :
Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg,
Ketek Ogleng, barongan, sintren, lengger, dan lain-lain.

Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis
dan tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu
ditentukan sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan.
Seni tari dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Tari Klasik
2. Tari Tradisional
3. Tari garapan Baru

Beberapa jenis tari yang ada antara lain :


1. TARI KLASIK dari JAWA TENGAH
• Tari Bedhaya
Menurut kitab Wedbapradangga yang dianggap pencipta tarian Bedhoyo
Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan terbesar dari kerajaan
Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga
disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung
memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang
bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah
Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya
dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap

kebudayaan Jawa

64
tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem
Jumenengan".

Busana Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif


Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun. Gamelan yang
mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan "Kyai Kaduk Manis" dan "Kyai
Manis Renggo". Instrumen gamelan yang dimainkan hanya beberapa yakni
Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng.
Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama
keramat. Dua buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai
Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur
serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo
Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII diselenggarakan pada hari
kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa.

kebudayaan Jawa

65
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada
jaman Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari
disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya
dengan 9 penari ini akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian
Giyanti pada tahun 1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki
Panjang Mas, maka disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini
kemudian dibawa ke Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I
dinamakan Bedhaya Ketawang, termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan
nama peranan sebagai berikut:
o Endel pojok
o Batak
o Gulu
o Dhada
o Buncit
o Endhel Apit Ngajeng
o Endhel Apit Wuri
o Endhel Weton Ngajeng
o Endhel Weton Wuri
Beberapa jenis tari Bedhaya yang belum mengalami perubahan :
o Bedhaya Ketawang lama tarian 130 menit
o Bedhaya Pangkur lama tarian 60 meit
o Bedhaya Duradasih lama tarian 60 menit
o Bedhaya Mangunkarya lama tarian 60 menit
o Bedhaya Sinom lama tarian 60 menit
o Bedhaya Endhol-endhol lama tarian 60 menit
o Bedhaya Gandrungmanis lama tarian 60 menit
o Bedhaya Kabor lama tarian 60 menit
o Bedhaya Tejanata lama tarian 60 menit
Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu
raja dan menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya
Ketawang yang jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara

kebudayaan Jawa

66
keperluan jahat di lingkungan Istana. Disamping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang
bertema kepahlawanan dan bersifat monumental.
Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi) maka untuk konsumsi
masa kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan tidak mengurangi isi dan
bobotnya.
Contoh Bedhaya garapan baru :
o Bedhaya La la lama tarian 15 menit
o Bedhaya To lu lama tarian 12 menit
o Bedhaya Alok lama tarian 15 menit

• Tari Srimpi
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan :
air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga
melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu,
Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo.
Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir
Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa
kini diadakan inovasi.

Contoh Srimpi hasil garapan baru :


o Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
o Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
o Dan lain-lain

Beberapa tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi :


o Beksan Gambyong

kebudayaan Jawa

67
Berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng
Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal
suaranya yang baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan
Kasunanan Surakarta untuk menari di Istana sambil memberi pelajaran
kepada para putra/I Raja. Oleh istana tari itu diubah menjadi Tari
gambyong. Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk
menyambut tamu dalam upacara peringatan hari besar dan perkawinan.
Adapun ciri-ciri tari ini :
 Jumlah penari seorang putri atau lebih
 Memakai jarit wiron
 Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
 Tanpa jamang melainkan memakai sanggul atau gelung
 Dalam menari boleh menggunakan sindenan
( menyanyi ) atau tidak
o Beksan Wireng
Berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit yang
unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman
pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau
tangkas dalam olah keprajuritan dengan menggunakan alat senjata
perang. Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam latihan
perang dengan menggunakan alat perang.
Ciri-ciri tarian ini :
 Ditarikan oleh dua orang putra atau putri
 Bentuk tariannya sama
 Tidak mengambil suatu cerita
 Tidak mengambil ontowacono (dialog)
 Bentuk pakaiannya sama
 Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan
gending sampak/srepeg, hanya iramanya atau temponya
kendho atau kenceng
 Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang
kemudian diteruskan gendhing ketawang
 Tidak ada yang kalah, menag atau mati

kebudayaan Jawa

68
• Tari Pethilan
Hampir sama dengan tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil adegan
atau bagian dari cerita pewayangan.
Ciri-cirinya :
 Tari boleh sama, boleh tidak
 Menggunakan ontowacono ( dialog )
 Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
 Ada yang kalah, menang atau mati
 Perang menggunakan gendhing srepeg, sampak,
gangsaran
 Memetik dari suatu cerita lakon
Contoh Tari Pethilan :
 Bambangan Cakil
 Hanila
 Prahasta
 Dan lain-lain

• Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta pada
upacara perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun 1910.
Selanjutnya mengalami persesuaian dengan gaya Surakarta. Tari ini
menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru menginjak masa
akhil baliq, agar lebih cantik dan menarik.

kebudayaan Jawa

69
Macam-macamnya :
 Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
 Golek Montro iringan Gendhing Montro
 Golek Surungdayung iringan gendhing Ladrang
Surungdayung, dan lain-lain

• Tari Bondan
Tari ini dibagi menjadi :
o Bondan Cindogo
o Bondan Mardisiwi
o Bondan Pegunungan atau tani
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira,
mengungkapkan rasa kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi Bondan
Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang
pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa
menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.

Ciri pakaiannya :
o Memakai kain wiron
o Memakai jamang
o Memakai baju kotang
o Menggendong boneka, memanggul payung
o Membawa kendhi (dahulu), sekarang jarang

kebudayaan Jawa

70
Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Tapi
sekarang ini menurut kemampuan guru/pelatih tarinya. Sedangkan Bondan
Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik
menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan
tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap.
Ciri pakaiannya :
o Mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok,
memakai caping adan membawa alat pertanian
o Di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti Bondan biasa,
hanya tidak memakai jamang tetapi memakai sanggul/gelungan. Kecuali
jika memakai jamang maka klat bahu, sumping, sampur, dll sebelum
dipakai dimasukkan tenggok.
o Bentuk tariannya ; pertama melukiskan kehidupan petani kemudian
pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu
demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti
gerak tari Bondan Cindogo / Mardisiwi.

• Tari Topeng
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng
yang pernah mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari kayu
dipoles dan disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang diambil dari
Wayang Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak Islam
masuk terutama oleh Suann Kalijaga yang menggunakannnya sebagai penyebaran
agama.
Beliau menciptakan 9 jenis topeng, yaitu :
o Topeng Panji Ksatrian
o Condrokirono
o Gunung sari
o Handoko
o Raton
o Klono
o Denowo
o Benco(Tembem)

kebudayaan Jawa

71
o Turas (Penthul)
Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat pada
kepala.
Tari Topeng yang berasal dari Malang sangat khas karena merupakan hasil
perpaduan antara budaya Jawa Tengahan, Jawa Kulonan dan Jawa Timuran
(Blambangan dan Osing) sehingga akar gerakan tari ini mengandung unsur
kekayaan dinamis dan musik dari etnik Jawa, Madura dan Bali. Salah satu
keunikannya adalah pada model alat musik yang dipakai seperti rebab (sitar Jawa)
seruling Madura (yang mirip dengan terompet Ponorogo) dan karawitan model
Blambangan.
Tari Topeng sendiri diperkirakan muncul pada masa awal abad 20 dan
berkembang luas semasa perang kemerdekaan. Tari Topeng adalah perlambang
bagi sifat manusia, karenanya banyak model topeng yang menggambarkan situasi
yang berbeda, menangis, tertawa, sedih, malu dan sebagainya. Bisanya tari ini
ditampilkan dalam sebuah fragmentasi hikayat atau cerita rakyat setempat tentang
berbagai hal terutama bercerita tentang kisah2 panji.
Tari Topeng masih bertahan hingga saat ini. Biasanya digelar pada acara-
acara-acara penting kesenian tradisional tingkat nasional. Dengan demikian
walaupun masih bertahan namun Tari Topeng sudah mendekati kepunahan
walaupun masih tetap mengikuti acara-acara penting kesenian tradisional tingkat
nasional.

2. TARI TRADISIONAL dari JAWA TENGAH


Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional yang
tumbuh dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian tradisional tersebut tak
kalah menariknya karena mempunyai keunikan-keunikan tersendiri.
Beberapa contoh kesenian tradisional :
o Tari dolalak, di Purworejo
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang berpakaian
menyerupai pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu dan diiringi
dengan alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari kentrung, rebana, kendang, kencer,
dllnya. Menurut cerita, kesenian ini timbul sejak berkobarnya perang Aceh di
jaman Belanda yang kemudian meluas ke daerah lain.

kebudayaan Jawa

72
o Patolan (Prisenan), di Rembang
Sejenis olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat
dipimpin oleh dua orang Gelandang (wasit) dari masing-masing pihak.
Pertunjukan ini diadakan sebagai olah raga dan sekaligus hiburan di waktu
senggang pada sore dan malam hari terutama di kala terang bulan purnama.
Lokasinya berada di tempat-tempat yang berpasir di tepi pantai. Seni gulat
rakyat ini terutama berkembang di kalangan pelajar terutama di pantai
diantara kecamatan Pandagan, Kragan, Bulu sampai ke Tuban, Jawa Timur.
o Blora
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, barongan
dan Wayang Krucil (sejenis wayang kulit ternuat dari kayu).
o Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren.
Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan
iringan bunyi-bunyian seperti bedug, terbang, dllnya. Sedangkan Sintren
adalah sebuah tari khas yang magis animistis yang terdapat selain di
Pekalongan juga di Batang dan Tegal. Kesenian ini menampilkan seorang
gadis yang menari dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebelum tarian dimulai
gadis menari tersebut dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam tempat
tertutup bersama peralatan bersolek, kemudian selang beberapa lama ia telah
selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi ini dapat disaksikan pada
waktu malam bulan purnama setelah panen.
o Obeg dan Begalan
Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri dari
beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari
anyaman bambu (kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu.
Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang atau dukun yang dapat
membuat pemain dalam keadaan tidak sadar. Varian lain dari jenis kesenian
ini di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada
juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur).
Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk
menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan. Penarinya
mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata

kebudayaan Jawa

73
hitam, mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua
pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga
gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi
kerincingan. Jumlah penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua orang berperan
sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7
orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan
16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan
penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk jenis tari massal,
pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti
lapangan atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan
umumnya siang hari dengan durasi antara 1 – 4 jam. Peralatan yang
dipergunakan anatara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Untuk
mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti
ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung dan lain-lain, dan yang unik adalah
para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling) atau barang tajam
lainnya sehingga menunjukkan keperkasaan sebagai Satria, demikian pula
pemain yang manaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit
berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg
dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Dalam
pertunjukannya, ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe.
Laisan adalah jenis kesenian yang melekat pada kesenian ebeg.
Laisan dilakukan oleh seorang pemain pria yang sedang mendem, badannya
ditindih dengan lesung terus dimasukkan ke dalam kurungan, biasanya
kurungan ayam, di dalam kurungan itulah Laisan berdandan seperti wanita.
Setelah terlebih dulu dimantra-mantara, kurunganpun dibuka, dan munculah
pria tersebut dengan mengenakan pakaian wanita lengkap. Laisan muncul di
tengah pertunjukan ebeg. Pada pertunjukan ebeg komersial, salah seorang
pemain biasanya melakukan thole-thole yaitu menari berkeliling arena sambil
membawa tampah untuk mendapatkan sumbangan. Laisan juga dikenal di
wilayah lain (wetan) dan mereka biasa menyebutnya Sintren.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara
perkawinan adat Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah Bangumas pada
umumnya juga terdapat di Cilacap, Purbalingga maupun di daerah di luar
Kabupaten Banyumas. Yang bersifat khas banyumas antara lain : Calung,

kebudayaan Jawa

74
begalan dan Dalang Jemblung. Begalan adalah jenis kesenian yang biasanya
dipentaskan dalam rangkaian upacara perkawinan yaitu saat calon pengantin
pria beserta rombongannya memasuki pelataran rumah pengantin wanita.
Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa
Jawa disebut begal. Yang menarik adalah dialog-dialog antara yang dibegal
dengan sipembegal biasanya berisi kritikan dan petuah bagi calon pengantin
dan disampaikan dengan gaya yang jenaka penuh humor. Upacara ini
diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan
merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan
iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat
pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama
gending. Jumlah penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-
barang (peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai
pembegal/perampok. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, ian, cething,
kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil
dan wangkring. Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang. Pembegal
biasanya membawa pedang kayu. Kostum pemain cukup sederhana,
umumnya mereka mengenakan busana Jawa. Dialog yang disampaikan
kedua pemain berupa bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama
jenis barang yang dibawa, contohnya ilir yaitu kipas anyaman bambu diartikan
sebagai peringatan bagi suami-isteri untuk membedakan baik buruk.
Centhing, tempat nasi artinya bahwa hidup itu memerlukan wadah yang
memiliki tatanan tertentu jadi tidak boleh berbuat semau-maunya sendiri.
Kukusan adalah alat memasak atau menanak nasi, ini melambangkan bahwa
setelah berumah tangga cara berpikirnya harus masak/matang. Selain
menikmati kebolehan atraksi tari begalan dan irama gending, penonton juga
disuguhi dialog-dialog menarik yang penuh humor. Biasanya usai pertunjukan,
barang-barang yang dipikul diperebutkan para penonton. Sayangnya
pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu lama karena masih
termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.

o Lengger-Calung dari banyumas


Kesenian tradisional lengger-calung tumbuh dan berkembang
diwilayah ini. Sesuai namanya, tarian lengger-calung terdiri dari lengger
kebudayaan Jawa

75
(penari) dan calung (gamelan bambu), gerakan tariannya sangat dinamis dan
lincah mengikuti irama calung. Diantara gerakan khas tarian lengger antara
lain gerakan geyol, gedheg dan lempar sampur.

Tari Lengger

Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini
penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai
badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana, badut biasanya
hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4
orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat
menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya
terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan
kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang
lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat
sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung,
gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari
bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang
biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai
sinden. Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri dari
penabuh gamelan dan penari/lengger.
Calung adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan menggunakan bunyi-
bunyian semacam gambang yang terbuat dari bambu, lagu-lagu yang dibawakan
merupakan gending Jawa khas Banyumas. Juga dapat untuk mengiringi tarian
yang diperagakan oleh beberapa penari wanita. Sedangkan untuk Begalan
biasanya diselenggarakan oleh keluarga yang baru pertama kalinya
mengawinkan anaknya. Yang mengadakan ini adalah dari pihak mempelai
wanita.
o Kuda Lumping (Jaran kepang) dari Temanggung

kebudayaan Jawa

76
Kesenian ini diperagakan secara massal, sering dipentaskan untuk
menyambut tamu-tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu upacara.

o Lengger dari Wonosobo


Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang laki-laki yang
masing-masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi
dengan bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa.
Tarian ini mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari
suaminya yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh
raksasa yang digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari
mencapai keadaan tidak sadar.
o Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini biasanya dimainkan oleh delapan orang yang dipimpin
oleh seorang pawang yang diiringi dengan bunyi-bunyian berupa bende,
kenong dll. Dan pada puncaknya para pemain mencapai keadaan tidak sadar.

o Tarian Jlantur dari Boyolali


Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai
ikat kepala gaya turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang
dengan senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang
akan berangkat ke medan perang, dahulu merupakan tarian penyalur
semangat kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.
o Ketek Ogleng dari wonogiri
Kesenian yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan cinta kasih
klasik pada jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian diubah menurut

kebudayaan Jawa

77
selera rakyat setempat menjadi kesenian pertunjukan Ketek Ogleng yang
mengisahkan percintaan antara Endang Roro Tompe dengan Ketek Ogleng.
Penampilannya dititik beratkan pada suguhan tarian akrobatis gaya kera
(Ketek Ogleng) yang dimainkan oleh seorang dengan berpakaian kera seperti
wayang orang. Tarian akrobatis ini di antara lain dipertunjukan di atas seutas
tali.

3. TARI GARAPAN BARU ( KREASI BARU ) dari JAWA TENGAH


Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional.
Sebagai contoh :
o Tari prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri
dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan
juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
o Tari Tepak-Tepak Putri
Tari yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja putri
sedang bersuka ria memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair yang
bernafas Islam.

4. PUJANGGANONG atau BUJANGGANONG


adalah penari dan tarian yang menggambarkan sosok patih muda ( Patihnya
Klana Sewandana) yang cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini digambarkan
dengan topeng yang mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot,
mulut terbuka dengan gigi yang besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut
yang lebat warna hitam menutup pelipis kiri dan kanan.

5. KLANA SEWANDANA atau KLONO


Penari dan tarian yang menggambarkan sosok raja dari kerajaan Bantarangin
( kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo jaman dahulu. Sosok ini
digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah berwarna merah, mata besar
melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia membawa Pecut Samandiman; berbentuk

kebudayaan Jawa

78
tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning
sebanyak 5 atau 7 jebug.

6. ANGGUK
Tarian ini berasal dari Banyumas. Tarian jenis ini sudah ada sejak abad ke 17
dibawa para mubalig penyebar agama Islam yang datang dari wilayah Mataram-
Bagelen. Tarian ini disebut angguk karena penarinya sering memainkan gerakan
mengangguk-anggukan kepala. Kesenian angguk yang bercorak Islam ini mulanya
berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyiarkan agama Islam. Sayangnya jenis
kesenian ini sekarang semakin jarang dipentaskan. Angguk dimainkan sedikitnya
oleh 10 orang penari anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun. Pakaian para penari
umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan garis-garis merah dan kuning di
bagian dada/punggung sebagai hiasan. Celana panjang sampai lutut dengan hiasan
garis merah pula, mengenakan kaos kaki panjang sebatas lutut tanpa sepatu, serta
memakai topi pet berwarna hitam. Perangkat musiknya terdiri dari kendang, bedug,
tambur, kencreng, 2 rebana, terbang (rebana besar) dan angklung. Syair lagu-lagu
tari angguk diambil dari kitab Barzanji sehingga syair-syair angguk pada awalnya
memang menggunakan bahasa Arab tetapi akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya
mulai dimodifikasi dengan menyisipkan gerak tari serta bahasa khas Banyumasan
tanpa merobah corak aslinya. Bentuk lain dari kesenian angguk adalah “aplang”,
bedanya bila angguk dimainkan oleh remaja pria maka “aplang” atau “daeng”
dimainkan oleh remaja putri.

7. RENGKONG
Rengkong adalah kesenian yang menyajikan bunyi-bunyian khas bagai suara
kodok mengorek secara serempak yang dihasilkan dari permainan pikulan bambu.
Pikulan bambu tersebut berukuran besar dan kuat tetapi ringan karena dibuat dari
bambu yang sudah cukup tua, biasanya menggunakan bambu tali dengan panjang
sekitar 2,6 meter. Pada kedua ujung bambu dibuat lobang persegi panjang selebar 1
cm, sekeliling bambu melintasi lobang tersebut diraut sekedar tempat bertengger tali
penggantung ikatan padi. Dua ikat padi seberat ± 15 kg digayutkan dengan tali ijuk
mengalungi sonari (badan rengkong bambu di tempat yang diraut). Di tengah
masing-masing ikatan padi ada sunduk (tusuk) bambu sepanjang hampir 2 meter.
Ujung atas sunduk bambu dimasukkan ke badan bambu rengkong dekat gantungan

kebudayaan Jawa

79
tali ijuk. Cara memainkannya, pikulan bambu rengkong yang berisi muatan padi
diletakkan pada bahu kanan (dipikul). Pemikul mengayun-ayunkan ke kiri dan ke
kanan dengan mantap dan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang menggantung
pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang keras inilah
yang menimbulkan suara berderit-derit nyaring. Kalau ada beberapa rengkong yang
dimainkan serempak maka akan timbul suara yang mengasyikan, khas alam petani,
terlebih bila dimainkan dengan berbaris berarak-arakan maka suasananya akan lebih
semarak. Kesenian tradisional para petani ini biasanya diadakan pada pesta
perayaan panen atau pada hari-hari besar nasional.

8. BUNCIS
Buncis adalah perpaduan antara seni musik dengan seni tari yang dimainkan
oleh 8 orang pemain. Dalam pertunjukannya diiringi dengan perangkat musik
angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik serta
vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.

9. AKSIMUDA
Aksimuda adalah kesenian bernafas Islam yang disajikan dalam bentuk
atraksi pencak silat yang digabung dengan tari-tarian.

10. TARI GAMBYONG


Salah satu tari dari Surakarta. Menurut cerita, kata ”gambyong” diambil dari
uru tari (tledhek) yang mempunyai nama Mbok gambyong. Jadi Tari Gambyong itu
berasal dari kawulo alit ( orang kecil / rendah ) yang datang ke Kraton. Di tahun
1950-an, Pura Mangkunegaran mengambil Tari Gambyong menjadi salah satu tari
unggulan yang diberi nama gambyong Pareanom.

11. TAYUBAN
Adalah salah satu jenis tari masyarakat Jawa. Tarian ini juga dikenal di
seluruh Nusantara, tetapi dengan versi yang berbeda. Tayuban digelar sebagai
bagian dari upacara sakral yang berhubungan dengan kesuburan ( kesuburan
perkawinan dan kesuburan pertanian/tanah ). Di daerah tertentu tarian ini digelar
sebagai bagian dari upacara pembersihan ( bala atau malapetaka ) dan biasanya

kebudayaan Jawa

80
juga digelar dalam penyambutan tamu-tamu agung, sedekah desa, sedekah bumi,
khitanan, perkawinan, dan lain-lain.
Pada zaman dahulu tarian ini mempunyai nilai hiburan dan sensual karena
tarian ini menggambarkan keakraban hubungan lelaki ( pengibing ) dan perempuan (
ronggeng ). Makanya ada yang beranggapan bahwa Tayuban itu berasal dari kata
”tayub” ( ditata guyub ).Guyub antara lelaki dan perempuan. Di daerah tertentu,
penari perempuan menggunakan sampur atau selendang. Nantinya selendang itu
diberikan kepada laki-laki ( ketiban sampur ). Dan yang menerima selendang itu
mendapat kehormatan untuk menari bersama dengan penari perempuan tadi.

12. APLANG atau DAENG


Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.

H.2 Seni Musik


Beberapa jenis alat musik yang terdapat di Jawa, diantaranya :
a) GAMELAN JAWA
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa,
sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun
Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow,
berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat
mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena
Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama
musik gamelannya.

Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya


adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam
berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-

kebudayaan Jawa

81
ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam
musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi
kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup
irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan.
Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan,
rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga
dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai
gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian.
Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan
dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu
set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung,
gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-
alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat
memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong
berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi
keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Seperangkat gamelan tersebut diantaranya :
1) Kendang
Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor
dari musik gamelan. Ada 5 ukuran kendang dari 20 cm - 45 cm.

2) Saron
Alat musik pukul dari bronze dengan disanggah kayu. Ada 3 macam
Saron; Saron Barung, Saron Peking, Saron Demung.

kebudayaan Jawa

82
3) Bonang Barung
Terdiri dari 2 baris peralatan dari bronze dimainkan dengan 2 alat
pukul.

4) Slentem
Lempengan bronze ini diletakan diatas bambu untuk resonansinya.

5) Gender
Hampir sama dengan slentem dengan lempengan bronze lebih banyak.

6) Gambang
Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.

kebudayaan Jawa

83
7) Gong
Setiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong
besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm, terbuat
dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya
panjang.

8) Kempul
Gong kecil, untuk menandakan lagu yang bagiannya berirama pendek.
Setiap set slendro dan pelog terdiri dari 6 atau 10 kempul.

kebudayaan Jawa

84
9) Kenong
Semacam gong kecil diatas tatakan, satu set komplet bisa 10 kenong
baik set slendro atau pelog.

10) Ketug
Disebut juga kenong kecil, menandakan jeda antar lirik lagu.

kebudayaan Jawa

85
11) Clempung
sebuah instrument kecil, dimana setiap satu set slendro dan pelog
membutuhkan satu clempung.

12) Siter
Tiap set slendro dan pelog memerlukan 1 siter.

13) Suling
Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.

14) Rebab
Alat musik gesek

kebudayaan Jawa

86
15) Keprak dan Kepyak
Diperlukan untuk pertunjukan tari

16)Bedug

Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan


gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro
memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan
interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F#
G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan
diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan

kebudayaan Jawa

87
pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang
terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik
tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti
wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik
gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi
pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana).
Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik
ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-
gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan
diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan
gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB
digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu
pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang
kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan
sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda
bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat
gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke
belakang.
Hampir semua bagian dari alat musik ini terbuat dari logam
( tosan ). Seperti : besi, tembaga yang dicampur nikel atau perunggu. Yang
memainkan gamelan itu adalah Penayagan. Sedangkan yang menyanyikan
adalah Pesinden ( wira-swara/swarawati ).
Berdasarkan suaranya, Gamelan Jawa itu dibagi menjadi dua :
1. Gamelan Slendro
Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi
pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain.
2. Gamelan Pelog
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan
salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di
masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di
masyarakat.

kebudayaan Jawa

88
Yang menabuh gamelan itu harus mengerti tinggi rendahnya suara dan
cepat lambatnya lagu. Alat yang menuntun suara adalah rebab. Sedangkan
yang menuntun sampak adalah kendhang.
Beberapa daftar Gamelan ;
- kempul - rebab
- gong ageng - suling
- kenong - saron demung
- gong suwuk - saron panerus
- kethuk - gambang
- kempyang - bonang
- saron barung - slenthem
- kendhang batangan - gender
- kendhang gendhing - siter/celempung

b) JULA-JULI
Jula-juli adalah salah satu gendhing yang sangat lazim dijumpai pada
pertunjukan ludruk dan tari remo di Jawa Timur. selain itu gendhing ini
merupakan satu-satunya gendhing yang dapat mencirikan keragaman
karawitan Jawa timuran karena terangkai menjadi berbagai gaya. sebut saja
jula-juli surabaya, jombangan, meduroan dan malangan. susunan pola
balungan melodi yang ada adalah 65626521 21262165.

c) BONGKEL
Bongkel adalah musik tradisional Banyumasan yang mirip dengan
angklung, hanya terdiri dari satu jenis instrumen dengan empat bilah berlaras
slendro. Nada-nadanya 2 (ro), 3 (lu), 5 (mo), 6 (nem). Dalam pertunjukkannya
Bongkel disajikan gendhing - gendhing khusus bongkel.

d) CALUNG
Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang
dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang
terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan Jawa, terdiri atas gambang
barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu
ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan

kebudayaan Jawa

89
mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat
dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi
vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa
gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-
Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang.

e) KENTHONGAN
Sebagian orang menyebutnya tek-tek. Kentongan juga terbuat dari
bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi
lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan
tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari
sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin
oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada
beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang
dibawakan kebanyakan lagu Jawa dan Dangdut.

f) SALAWATAN JAWA
yaitu salah satu seni musik bernafaskan Islam dengan perangkat musik
berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu
yang diambil dari kitab Barzanji.

H.3 Kalender Jawa


Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan
perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga
sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua:
siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan siklus
pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan
Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam
kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka.
Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah
atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah
(saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini
dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun
1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.

kebudayaan Jawa

90
Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II: seluruh
pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan).
Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau
Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut
mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.

Daftar bulan Jawa Islam


Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan
diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di
antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan
kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa
dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra
(lunar).

1. Sura 5. Jumadilawal 9. Poso (siyam)


2. Sapar 6. Jumadilakhir 10. Sawal
11. Sela
3. Mulud 7. Rejeb
(Dulkangidah)
4.
8. Ruwah (Saban) 12. Besar(Dulkijah)
Bakdamulud

A. Daftar bulan Jawa matahari


Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak
memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan
musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan
oleh Sri Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya ditetapkan secara resmi.
Sebenarnya pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah
digunakan pada jaman pra-Islam. Lalu oleh beliau tanggalnya disesuaikan dengan
penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi
lama setiap mangsa berbeda-beda.

I. Kasa / Kartika (23 Juni-2 VII. Kapitu / Palguna (23


Agustus) Desember-3 Februari)
II. Karo / Pusa (3 Agustus-25 VIII. Kawolu / Wisaka (4
Agustus) Februari-1 Maret)

kebudayaan Jawa

91
III. Katiga / Manggasri (26 IX. Kasanga / Jita (2 Maret-
Agustus-18 September) 26 Maret)
IV. Kapat / Setra (19 X. Kasepuluh / Srawana (27
September-13 Okober) Maret-19 April)
V. Kalima / Manggala (14 XI. Kasewelas / Sadha (20
Oktober-9 November) April-12 Mei)
VI. Kanem / Maya (10 XII. Karolas / Asuji (13 Mei-
November-22 Desember) 22Juni)

B. Siklus windu
Oleh orang Jawa tahun-tahun digabung menjadi semacam abad yang terdiri
dari delapan satuan lebih kecil. Setiap satuan ini terdiri atas 8 tahun Jawa dan
disebut windu. Di bawah disajikan nama-nama windu:

1. Alip 4. Je 7. Wawu

2. Ehe 5. Dal 8. Jimakir

3. Jimawal 6. Be

Pembagian pekan
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya
tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-
nama dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara (pancawara), sadwara, saptawara,
astawara dan sangawara. Jaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari
dan tujuh hari saja yang dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan
yang lain ini masih dipakai.
Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa
dan terdiri dari hari-hari: Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga
dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan.
Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi.
Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari
dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan. Berikut ini secara singkat
dijelaskan sebagai berikut:
kebudayaan Jawa

92
1. Pancawara – Pasaran dan bobot angkanya; Perhitungan hari dengan siklus 5
harian :

1. Kliwon/ Kasih (8) 4. Pon / Palguna (7)


5. Wage / Kresna/ Langking
2. Legi / Manis (5)
(4)
3. Pahing / Jenar (9)

2. Sadwara – Paringkelan, Perhitungan hari dengan siklus 6 harian

1. Tungle / Daun 4. Paningron / Mina/Ikan


2. Aryang / Manusia 5. Uwas / Peksi/Burung
3.Wurukung/ Hewan 6. Mawulu / Taru/Benih.

3. Saptawara – Padinan, Perhitungan hari dengan siklus 7 harian :

1. Minggu / Radite 5. Kemis / Respati


2. Senen / Soma 6. Jemuwah / Sukra
3. Selasa / Anggara 7. Setu / Tumpak/Saniscara
4. Rebo / Budha

4. Hastawara – Padewan, Perhitungan hari dengan siklus 8 harian :

1. Sri 5. Rudra
2. Indra 6. Brama
3.Guru 7. Kala
4. Yama 8. Uma

5. Sangawara – Padangon, Perhitungan hari dengan siklus 9 harian :

1. Dangu / Batu 4. Kerangan / Matahari 7. Tulus / Air


2. Jagur / Harimau 5. Nohan / Rembulan 8. Wurung / Api
3. Gigis / Bumi 6. Wogan / Ulat 9. Dadi / Kayu

kebudayaan Jawa

93
6. Wuku, Perhitungan hari dengan siklus mingguan dari 30 wuku :

1. Sinta 11. Galungan 21. Maktal


2. Landhep 12. kuningan 22. Wuye
3. Wukir 13. Langkir 23. Manahil
4. Kurantil 14. Mandhasiya 24. Prangbakat
5. Tolu 15. Julungpujud 25. Bala
6. Gumbreg 16. Pahang 26. Wugu
7. Warigalit 17. Kuruwelut 27. Wayang
8. Warigagung 18. Marakeh 28. Kulawu
9. Julungwangi 19. Tambir 29. Dhukut
10. Sungsang 20. Medhangkungan 30 Watugunung

Sistim Penanggalan Jawa disebut juga Penanggalan Jawa


Candrasangkalaatau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran Bulan
mengitari Bumi. Perhitungan penanggalan Jawa sudah dicocokkan dengan
penanggalan Hijriah namun demikian pencocokan ini bukanlah menjiplak seluruhnya
tapi juga mempergunakan perhitungan yang rumit dari para leluhur kita. Ada
perbedaan yang hakiki antara system perhitungan penanggalan Jawa dengan
penanggalan Hijriah, perbedaan yang nyata adalah pada saat penetapan pergantian
hari ketika pergantian sasi/bulan. Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa
pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap yaitu pada saat
matahari terbenam (surup-antara pukul 17.00 sampai dengan 18.00), sedangkan
pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan
dengan Hilal dan Rukyat.
7. Weton
Tiap hari pasaran menurut penanggalan Jawa mempunyai bobot angka yang disebut
neton, misalnya:
 Paing mempunyai bobot angka 9
 Pon mempunyai bobot angka 7
 Wage mempunyai bobot angka 4
 Kliwon mempunyai bobot angka 8, dan
 Legi mempunyai bobot angka 5.
Sementara hari mingguan akan mengikuti bobot angka sbb:

kebudayaan Jawa

94
 Senin mempunyai bobot angka 4
 Selasa mempunyai bobot angka 3
 Rabu mempunyai bobot angka 7
 Kamis mempunyai bobot angka 8
 Jum'at mempunyai bobot angka 6
 Sabtu mempunyai bobot angka 9, dan
 Minggu mempunyai bobot angka 5.
Contoh :
• Seperti disebutkan di atas, tanggal 1 Januari 2001 (awal abad ke-21 dan awal
alaf ke-3) adalah hari Senin-Paing, dan mempunyai bobot angka 13, karena
Senin = 4 + Paing = 9. Angka semacam ini biasanya dipakai untuk
menentukan hari baik dalam melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk untuk
memilih hari perkawinan menurut adat kepercayaan Jawa.

H.4 Rumah Adat


Bangunan adat rumah Jawa

Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut
Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Rumah Jawa adalah arsitektur
tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok)
yaitu :
1. Joglo (atap joglo) atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap
4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
Bentuk Rumah Joglo :Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko
guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari.

kebudayaan Jawa

95
Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai pendopo dan juga untuk
tempat tinggal (dalem).
2. Limasan (atap limas), yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah
bubungan di tengahnya.
Bentuk rumah Limasan: Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4
(empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal.
Perkembangannya dengan penambahan emper atau serambi, serta beberapa
ruangan akan tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk ngambang, lambang
gantung, trajumas, dan lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak
biasa digunakan sebagai tempat tinggal
3. Kampung (atap pelana), yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah
bubungan di tengah saja
Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota
maupun di desa dan di gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga
dipergunakan sebagai tempat tinggal
4. Panggang Pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
Bentuk Rumah Panggang-pe :Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan
minuman, nasi dan lain-lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila
diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda, tempat mobil /
garasi, pabrik, dan sebagainya
5. Mesjidan/Tajugan, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi,
tanpa bubungan, jadi meruncing.
Bentuk Rumah Tajug :Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru
dengan blandar-blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya
selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan sebagai tempat suci, semisal :
Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal.

Jenis-jenis Rumah Joglo :


1. Joglo Lawakan
2. Joglo Sinom
3. Joglo Jompongan
4. Joglo Pangrawit
5. Joglo Mangkurat
6. Joglo Hageng
kebudayaan Jawa

96
7. Joglo Semar Tinandhu

Limasan Joglo

Jenis-jenis Rumah Limasan


1. Limasan Lawakan
2. Limasan Gajah Ngombe
3. Limasan Gajah Njerum
4. Limasan Apitan
5. Limasan Pacul Gowang
6. Limasan Cere Gancet
7. Limasan Trajumas
8. Limasan Gajah Mungkur
9. Limasan Klabang Nyander
10. Limasan Lambang Teplok
11. Limasan Semar Tinandu
12. Limasan Lambang Sari
13. Limasan Semar Pinondhong, contoh Bangsal Kama, Kraton Cirebon

Jenis-jenis Rumah Kampung :


1. Kampung Pokok
2. Kampung Trajumas
3. Kampung Pacul Gowang
4. Kampung Srotong
5. Kampung Cere Gancet
6. Kampung Gotong Mayit
7. Kampung Semar Pinondhong
8. Kampung Apitan

kebudayaan Jawa

97
9. Kampung Gajah Njerum
10. Kampung Gajah Ngombe
11. Kampung Doro Gepak
12. Kampung Klabang Nyander
13. Kampung Jompongan Lambang Teplok Semar Tinandhu (untuk tobong kapur)
14. Kampung Lambang Teplok (untuk gudang genteng)

Jenis-jenis Rumah Panggang Pe :


1. Panggang Pe Pokok
2. Panggang Pe Trajumas
3. Panggang Pe Empyak Setangkep
4. Panggang Pe Gedhang Selirang
5. Panggang Pe Gedhang Setangkep
6. Panggang Pe Cere Gancet
7. Panggang Pe bentuk kios
8. Panggang Pe Kodokan (jengki)
9. Panggang Pe Barengan
10. Panggang Pe Cere Gancet

Jenis-jenis Mesjidan/Tajugan :
1. Mesjidan Cungkup Pokok
2. Mesjidan Lawakan (langgar)
3. Mesjidan Lambang Teplok, contoh : Bangsal Gianyar, Bali
4. Mesjidan payung agung (meru), susun 3 untuk rakyat, 5 sentana (keluarga)
raja, 7 pangeran, 11 raja, contoh Pamujaan Besakih, Bali
5. Tajug Tawon Boni, contoh : Bangsal Pajajaran
6. Tajug Tiang Satu Lambang Teplok, contoh : Mesjid rakyat Gombong
7. Tajug Semar Sinongsong Lambang Teplok, contoh : Langgar Kecil Kraton
Cirebon
8. Tajug Pendawa, contoh : Kraton Cirebon
9. Tajug Lambang Gantung, contoh : Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta
10. Tajug Lambangsari, contoh : Bangsal Pertemuan para Wali, Gunung
Sembung
11. Tajug Lawakan Lambang Teplok, contoh : Pasarean Suwargan, Imogiri

kebudayaan Jawa

98
12. Tajug Semar Tinandhu, Dukuh, Yogyakarta
13. Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, contoh : Masjid Soko Tunggal
(gabungan Pajajaran dan Sultan Agungan, Taman, Kraton Yogyakarta
14. Tajug Ceblokan Lambang Teplok, Masjid Agung Yogyakrata
15. Tajug Mangkurat, Bangsal Witono, Kraton Yogyakarta
16. Tajug Sinom Semar Tinandhu, Lawang Sanga-sanga, Kraton Cirebon

Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan variasi yang


bukan hanya berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja, melainkan juga dengan
situasi dan kondisi daerah setempat. Dari kelima macam bangunan pokok rumah
Jawa ini, apabila diadakan penggabungan antara 5 macam bangunan maka terjadi
berbagai macam bentuk rumah Jawa. Sebagai contoh : gedang selirang, gedang
setangkep, cere gencet, sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain.
Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah itu
mempunyai sifat dan penggunaan tersendiri. Misalnya bentuk Tajug, itu selalu hanya
digunakan untuk bangunan yang bersifat suci, umpamanya untuk bangunan Masjid,
makam, dan tempat raja bertahta, sehingga masyarakat Jawa tidak mungkin rumah
tempat tinggalnya dibuat berbentuk Tajug.
Rumah yang lengkap sering memiliki bentuk-bentuk serta penggunaan yang
tertentu, antara lain :
- pintu gerbang : bentuk kampung
- pendopo : bentuk joglo
- pringgitan : bentuk limasan
- dalem : bentuk joglo
- gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang
- dapur : bentuk kampung

kebudayaan Jawa

99
- dan lain-lain.
Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian. Dengan
sendirinya rumah yang berbentuk doro gepak (atap bangunan yang berbentuk mirip
burung dara yang sedang terbang mengepakkan sayapnya) misalnya bagian-
bagiannya dipergunakan untuk kegunaan yang tertentu, misalnya :
- emper depan : untuk Pendopo
- ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga
- emper kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan
- emper yang lain : untuk gudang dan dapur.
Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang berkolong. Hal
tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila ada banjir. Dalam Seni Bangunan
Jawa karena telah begitu maju, maka semua bagian kerangka rumah telah diberi
nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur, brunjung, usuk peniyung, usuk ri-gereh,
reng, blandar, pengeret, saka guru, saka penanggap, umpak, dan sebagainya.
Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati. Arsitektur
tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa sendiri tetapi sampai
menjangkau manca negara. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura dan Malaysia
juga Bandar Udara Soekarno-Hatta mempunyai arsitektur tradisional Jawa.
Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa – sebagaimana halnya Bali dan
daerah lain – adalah arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar. Yang disebut
rumah yang utuh seringkali bukanlah satu bangunan dengan dinding yang pejal
melainkan halaman yang berisi sekelompok unit bangunan dengan fungsi yang
berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling mengimbas tanpa pembatas yang tegar.
Struktur bangunannya merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan
payung yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai
pembatas, bukan dinding pemikul. Yang sangat menarik pula untuk diungkap adalah
struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar dan jujur tanpa ada usaha
menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan bangunannya, semua dibiarkan
menunjukan watak aslinya. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang
cukup handal terhadap gempa.
Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang sangat
melindungi ruang beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang dan struktur yang
demikian sungguh cocok untuk daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa
dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang memiliki kepribadian senang berada

kebudayaan Jawa

100
di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat
bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam
seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu,
peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang
bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional.
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri
dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat
untuk tidur, istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang
digunakan untuk keperluan lain dai keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut
terdiri dari: pendhapa, terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk
menerima tamu. Rumah belakang (omah buri) digunakan untuk rumah tempat
tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan
ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang
bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Dalam
pertunjukan tersebut tamu laki-laki ditempatkan di pendapa, sedang tamu wanita
ditempatkan di rumah belakang. Susunan rumah demikian mirip dengan susunan
rumah istana Hindu Jawa, misalnya Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.
Bagi warga masyarakat umum (kawula dalem) yang mampu, disamping
bangunan rumah tersebut, tempat tinggalnya (rumah) masih dilengkapi dengan
bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya.
Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Letaknya agak berjauhan.
Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang (omah buri), tempat
memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau
kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-
kadang terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang,
untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan
sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong
(ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhongan. Kandang bisa
terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa
dengan disela oleh halaman yang luas. Gedhongan biasanya menyambung ke kiri
atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri
agak jauh dari pendhapa.
Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya
diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi

kebudayaan Jawa

101
pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat
bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan
tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping
dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat
buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya
untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan
pendhapa. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.
Demikian sedikit variasi bangun rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah
keluarga. Hal tersebut sangat bergantung pada kemampuan keluarga. Secara
lengkap kompleks rumah tempat tinggal orang Jawa adala rumah belakang,
pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan), lumbung, kandhang, gedhogan,
dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya. Besar kecilnya
maupun jenis bangunannya dibuat menurut selera serta harus diingat status sosial
pemiliknya didalam masyarakat.

H.5 Karya Sastra


SASTRA JAWA
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di
daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri, Jawa Timur. Prasasti yang biasa
disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi.
Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang
berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah
sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
• Sastra Jawa Kuna
• Sastra Jawa Tengahan
• Sastra Jawa Baru
• Sastra Jawa Modern
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa
Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra
Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling
berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah

kebudayaan Jawa

102
proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara
Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.

A. Sastra Jawa Kuna


Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada
periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai
dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa
(gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak
wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuna diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-
manuskrip yang memuat teks Jawa Kuna jumlahnya sampai ribuan sementara
prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus
diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk
Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa
Jawa Kuna. Karya sastra Jawa Kuna sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis
pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuna
terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuna yang
terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuna yang tidak dikenal
di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuna mulai berkembang pada abad
ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari
Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan
beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel
Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuna.
Istilah sastra Jawa Kuna agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra
dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih
halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa
sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara
sastra Jawa Kuna dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir
inilah yang dipakai.
Sastra Jawa Kuna yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar
diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali.
Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat

kebudayaan Jawa

103
dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan
lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuna berasal dari tahun 804, namun
isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah
prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856
Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang
berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks
Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11. Banyak teks dalam bahasa
Jawa Kuna yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak
semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar
20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad
ke-11.

Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk prosa:


1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa, 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk puisi (kakawin)
1. Kakawin Tertua Jawa, 856
2. Kakawin Ramayana ~ 870
3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030

kebudayaan Jawa

104
4. Kakawin Kresnayana
5. Kakawin Sumanasantaka
6. Kakawin Smaradahana
7. Kakawin Bhomakawya
8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
9. Kakawin Hariwangsa
10. Kakawin Gatotkacasraya
11. Kakawin Wrettasañcaya
12. Kakawin Wrettayana
13. Kakawin Brahmandapurana
14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
19. Kakawin Parthayajna
20. Kakawin Nitisastra
21. Kakawin Nirarthaprakreta
22. Kakawin Dharmasunya
23. Kakawin Harisraya
24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung

B. Sastra Jawa Tengahan


Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-
13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali
menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang
berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa:
1. Tantu Panggelaran
2. Calon Arang
3. Tantri Kamandaka
4. Korawasrama
5. Pararaton
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi:
kebudayaan Jawa

105
1. Kakawin Dewaruci
2. Kidung Sudamala
3. Kidung Subrata
4. Kidung Sunda
5. Kidung Panji Angreni
6. Kidung Sri Tanjung

C. Sastra Jawa Baru


Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di
pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam
menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa
Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang
Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis
seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya
ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa,
sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih
lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa
Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin
dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna
yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam
bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang
menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru
Masa Islam:
• Kidung Rumeksa ing Wengi
• Kitab Sunan Bonang
• Primbon Islam
• Suluk Sukarsa
• Serat Koja Jajahan
• Suluk Wujil
• Suluk Malang Sumirang
kebudayaan Jawa

106
• Serat Nitisruti
• Serat Nitipraja
• Serat Sewaka
• Serat Menak
• Serat Yusup
• Serat Rengganis
• Serat Manik Maya
• Serat Ambiya
• Serat Kandha
Masa Renaisans dan sesudahnya:
• Serat Rama Kawi
• Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
• Serat Panitisastra
• Serat Arjunasasra
• Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
• Serat Darmasunya
• Serat Dewaruci
• Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
• Serat Tajusalatin
• Serat Cebolek
• Serat Sasanasunu
• Serat Wicara Keras
• Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
• Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
• Serat Jitapsara
• Serat Pustaka Raja
• Serat Cemporet
• Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
• Serat Darmagandhul
Babad-Babad:
• Babad Giyanti
• Babad Prayut
• Babad Pakepung
• Babad Tanah Jawi

kebudayaan Jawa

107
D. Sastra Jawa Modern
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin
terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk
menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi,
cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia
Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah
tentang perjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.
Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan
juga kata-kata Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga
diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa
Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
Daftar Karya Sastra
• Lelampahaning Purwalelana, Raden Mas Purwalelana (jeneng
sesinglon) 1875-1880
• Rangsang Tuban, Padmasoesastra, 1913
• Ratu, Krishna Mihardja, 1995
• Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet
• Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004
• Pagelaran, J. F. X. Hoery
• Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery

H.6 Wayang

kebudayaan Jawa

108
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di
Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7
November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang
cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and
Intangible Heritage of Humanity). Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa-
yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada
pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas
antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton
hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada
kelir.
Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni
sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang
terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang
dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan
boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya
berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran
wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.
Wayang, oleh para pendahulu negri ini sangat mengandung arti yang sangat
dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam
mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian
rupa menjadi tiga bagian.
1. Wayang Kulit di Jawa Timur
2. Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah,
3. Wayang Golek di Jawa Barat
Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang
Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".
Jenis-jenis wayang :
Selama berabad-abad, budaya wayang berkembang menjadi beragam jenis.
Kebanyakan jenis jenis wayang itu tetap nenggunakan Mahabarata dan Ramayana
sebagai induk ceritanya. Sedangkan alat peraganya pun berkembang menjadi
beberapa macam, antara lain yang terbuat dari kertas, kain, kulit, kayu, dan juga

kebudayaan Jawa

109
Wayang Orang.Perkembangan jenis wayang ini juga dipengaruhi oleh keadaan
budaya daerah setempat.
-Wayang Kulit -Wayang Wahyu
-Wayang Golek/ Wayang Thengul Bojonegoro -Wayang Menak
-Wayang Krucil - Wayang Klitik
-Wayang Purwa - Wayang Suluh
-Wayang Beber - Wayang Papak
-Wayang Orang - Wayang Madya
-Wayang Gedog - Wayanng Parwa
-Wayang Sasak - Wayang Sadat
-Wayang Calonarang - Wayang Kancil

1. Wayang Beber
Berupa selembar kertas atau kain yang berukuran sekitar 80 cm X 12 meter,
yang digambari dengan beberapa adegan lakon wayang tertentu. Satu gulung
wayang beber biasanya terdiri atas 16 adegan. Pada saat pergelaran bagian gambar
yang menampilkan adegan lakon itu dibuka dari gulungannya, dan sang Dalang
menceritakan kisah yang terlukis dalam setiap adegan itu. Wayang Beber pada
umumnya menceritakan kisah Panji.
2. Wayang Kulit Purwa
Merupakan jenis wayang yang paling populer di masyarakat sampai saat ini.
Wayang Kulit Purwa mengambil cerita dari kisah Mahabarata dan Ramayana.
Peraga wayang yang dimainkan oleh seorang dalang terbuat dari lembaran kulit
kerbau (atau sapi) yang dipahat menurut bentuk tokoh wayang dan kemudian
disungging dengan warna warni yang mencerminkan perlambang karakter dari sang
Tokoh.
Agar lembaran wayang itu tidak lemas, digunakan "kerangka penguat" yang
membuatnya kaku. Kerangka itu disebut cempurit, terbuat dari tanduk kerbau atau
kulit penyu. Jenis wayang ini tersebar hampir di seluruh Jawa dan daerah
transmigrasi, bahkan juga di Suriname di benua Amerika bagian selatan. Pergelaran
Wayang Kulit Purwa diiringi dengan seperangkat gamelan sedangkan penyanyi

kebudayaan Jawa

110
wanita yang menyanyikan gending-gending tertentu, disebut pesinden atau
waranggana.
3. Wayang Golek Menak
Disebut juga Wayang Tengul, juga menggunakan peraga wayang
berbentuk boneka kecil. Selain berupa golek, Wayang Menak juga ada yang
dirupakan dalam bentuk kulit. Wayang ini diciptakan oleh Ki Trunadipa, seorang
dalang dari Baturetno, Surakarta, pada zaman pemerintahan Mangkunegoro VII.
Induk ceritanya bukan diambil dari Kitab Ramayana dan Mahabarata, melainkan
dari Kitab Menak. Latar belakang cerita Menak adalah negeri Arab, pada masa
perjuangan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam

.
Walaupun tokoh ceritanya sebenarnya orang Arab, peraga Wayang Golek
Menak diberi pakaian mirip dengan Wayang Kulit Purwa, antara lain dengan
memberinya kuluk, sumping, jamang, dsb, walaupun tubah dan sorban Arab juga
digunakan.
4. Wayang Klitik
Terbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan disungging menyerupai Wayang
Kulit Purwa. Hanya bagian tangan peraga wayang itu bukan dari kayu pipih
melainkan terbuat dari kulit, agar lebih awet dan ringan menggerakkannya. Pada
Wayang Klitik, cempuritnya merupakan kelanjutan dari bahan kayu pembuatan
wayangnya. Wayang ini diciptakan orang pada tahun 1648. Pementasan Wayang
Klitik juga diiringi oleh gamelan dan pesinden, tetapi tanpa menggunakan kelir
sehingga penonton dapat melihat secara langsung.
5. Wayang Krucil
Sering dianggap sama dengan Wayang Klitik. Anggapan itu disebabkan -
karena Wayang Krucil juga terbuat dari kayu pipih. Yang berbeda benar adalah induk

kebudayaan Jawa

111
cerita yang diambil untuk lakon-lakonnya. Wayang Krucil mengambil lakon dari cerita
Damarwulan, bukan dari Ramayana atau Mahabarata. Baik Wayang Krucil maupun
Wayang Klitik, saat ini sudah hampir punah.
6. Wayang Orang
Adalah seni drama tari yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata
sebagai induk ceritanya. Dari segi cerita, Wayang Orang adalah perwujudan drama
tari dari Wayang Kulit Purwa. Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua
penari Wayang Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip
dengan pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini.

7. Wayang Suluh
Suluh tergolong wayang modern, karena baru tercipta setelah zaman
kemerdekaan. Wayang ini dimaksudkan sebagai media penerangan mengenai
sejarah perjuangan bangsa. Karena itu, di antara tokoh peraganya, antara lain
terdapat Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, Syahrir, dan Jenderal Sudirman.
Penggambaran tokoh Wayang Suluh dibuat realistik.
8. Wayang Wahyu
Mempunyai bentuk peraga wayang terbuat dari kulit, tetapi corak tatahan dan
sunggingannya agak naturalistik. Wayang ini mengambil lakon dari cerita Injil, baik
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Bahasa pengantarnya, bahasa Jawa. Di
antara lakonnya, antara lain adalah Samson Ian Delilah, dan David Ian Goliat.

kebudayaan Jawa

112
Pergelaran Wayang wahyu hampir serupa dengan Wayang Kulit Purwa,
diiring oleh seperangkat gamelan dan pesinden, kelir dan gedebog. Para dalangnya
pun pada umumnya juga merangkap sebagai dalang Wayang Kulit Purwa.
Perkembangan Wayang Wahyu amat terbatas pada lingkungan masyarakat
beragama Katolik, itu pun yang berasal dari suku bangsa Jawa. Padahal, tidak
semua orang Jawa menyukai wayang. Dengan demikian Wayang Wahyu praktis
tidak berkembang.
9. Wayang Gedog
Diciptakan oleh Sunan Giri di tandai candra sengkala Gegamaning Naga
Kinaryeng Bathara: 1485 caka (1568 M). Wayang ini amat mirip dengan Wayang
Kulit Purwa, tetapi mengambil lakon dari cerita-cerita Panji. Itulah sebabnya,
sebagian orang menamakan Wayang Gedog ini Wayang Panji. Di antara tokoh-tokoh
ceritanya, antara lain adalah Prabu Lembu Hamiluhur, Prabu Klana Madukusuma,
dan Raden Gunungsari.

Wayang ini, boleh dibilang sudah punah. Hanya sisa-sisa peraganya saja
yang masih bisa dilihat di beberapa museum dan Keraton Surakarta.

kebudayaan Jawa

113
10. Wayang Kancil
Termasuk wayang moderen, diciptakan tahun 1925 oleh seorang keturunan
Cina bernama Bo Liem. Wayang yang juga terbuat dari kulit itu, menggunakan tokoh
peraga binatang, dibuat dan disungging oleh Lie To Hien. Cerita untuk lakon-lakon
para Wayang Kancil diambil dari Kitab Serat Kancil Kridamartana karangan Raden
Panji Natarata.

Wayang Kancil termasuk di antara jenis


wayang yang tidak berkembang, meskipun
seorang seniman, yakni Iedjar Subroto tetap berusaha mempopulerkannya.
11. Wayang Kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang


di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan
Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator
dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan
wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton
harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di
layar.
Jenis Wayang Kulit menurut asal daerah di Jawa :
• Wayang Jawa Yogyakarta
• Wayang Jawa Surakarta

kebudayaan Jawa

114
• Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya pedalangan
di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan berperan sebagai
bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika,
devosional dan hiburan, yang kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-
sungguh oleh para pakar yang memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-
unsur yaitu, lakon wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya), sabet ( seluruh
gerak wayang), catur ( narasi dan cakapan) , karawitan ( gendhing, sulukan dan
properti panggung ) .
Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental
sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan hidup serta
berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas, merupakan ekspresi dan
sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini
dalam menghadapi perubahan jaman, karena memperoleh simpati dan dicintai
masyarakatnya.
Dalam Wayang Gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam penceritaan
yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang dimanivestasikan dalam tokoh
punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama dan lain-lain selain itu pula
wayang Gagrag Banyumasan lebih menonjolkan peran para muda dalam
penyelesaian kasus-kasus dan permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger'
yang merupakan terusan lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh
kongkrit bahwa peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat
sentral.
Contoh gambar wayang :

kebudayaan Jawa

115
Batara Guru (Siwa) dalam bentuk seni wayang Jawa.

H.7 Pakaian Adat


Rasukan adat Jawa
Rasukan adat Jawa atau pakaian adat Jawa yang umumnya disebut rasukan
kejawen yang sudah ada sejak jaman dahulu dan mulai terbentuk lengkap pada
jaman kerajaan demak. Pakaian adat Jawa ini mempunyai perlambang tertentu bagi
orang Jawa. Busana Jawa penuh dengan piwulang sinandhi (ajaran tersamar) kaya
akan ajaran Jawa. Dalam busana Jawa ini tersembunyi ajaran untuk melakukan
segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, diri sendiri maupun Tuhan
Yang Maha Kuasa Pencipta segalanya. Selain rasukan kejawen juga ada rasukan
surjan, rasukan mesiran, rasukan basahan dan rasukan gedhog.
Masing-masing jenis rasukan Jawa ini mempunyai makna perumpamaan atau
melambangakn nilai-nilai luhur filosofi Jawa.
Pada umumnya rasukan Jawa dibagi menjadi 4 bagian yaitu;
• 1 Bagian ndhuwur/bagian atas (Penutup Kepala)
 Iket atau blangkon

Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan


digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional
Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan
pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model
rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di
bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian
belakang blangkon.
Untuk bagian kepala selain menggunakan blangkon biasanya
orang Jawa kuna (tradisional) mengenakan "iket" yaitu ikat kepala yang
dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara
kebudayaan Jawa

116
mengenakan iket harus kenceng (kuat) supaya ikatan tidak mudah
terlepas. Makna iket dimaksudkan manusia seyogyanya mempunyai
pemikiran yang kenceng, tidak mudah terombang-ambing hanya
karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang.
 Udheng
Udheng juga dikenakan di bagian kepala dengan cara
mengenakan seperti mengenakan sebuah topi. Jika sudah dikenakan
di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena ujud dan
fungsinya sama. Udheng dari kata kerja Mudheng atau mengerti
dengan jelas, faham. Maksudnya agar manusia mempunyai pemikiran
yang kukuh, mengerti dan memahami tujuan hidup dan kehidupan atau
sangkan paraning dumadi. Selain itu udheng juga mempunyai arti
bahwa manusia seharusnya mempunyai ketrampilan dapat
menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang mantap
atau mudheng. Dengan kata lain hendaklah manusia mempunyai
ketrampilan yang profesional.
• 2 Bagian tengah (bagian tengah)
 Rasukan utawa kelambi uga benik (pakaian dan juga kancing
baju)
Busana kejawen seperti beskap selalu dilengkapi dengan benik
(kancing baju) disebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam
benik itu adalah agar orang (Jawa) dalam melakukan semua
tindakannya apapun selalu diniknik, diperhitungkan dengan cermat.
Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan
orang lain, dapat , menjaga antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum.
 Jarik lan wiron utawa wiru
Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk
menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja
gampang serik (jangan mudah iri terhadap orang lain). Menanggapi
setiap masalah harus hati-hati, tidak grusa-grusu (emosional)
Wiru Jarik atau kain dikenakan selalu dengan cara mewiru
(meripel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru

kebudayaan Jawa

117
atau wiron ( rimple ) diperoleh dengan cara melipat-lipat (mewiru). Ini
mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru,
dimaksudkan wiwiren aja nganti kleru, kerjakan segala hal jangan
sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan
dan harmonis.
 Sabuk
Sabuk (ikat pinggang) dikenakan dengan cara dilingkarkan
(diubetkan) ke badan. Ajaran ini tersirat dari sabuk tersebut adalah
bahwa harus bersedia untuk tekun berkarya guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Untuk itulah manusia harus ubed (bekerja dengan
sungguh-sungguh) dan jangan sampai kerjanya tidak ada hasil atau
buk (impas/tidak ada keuntungan). Kata sabuk berarti usahakanlah
agar segala yang dilakukan tidak ngebukne. Jadi harus ubed atau
gigih.
 Epek
Epek bagi orang Jawa mengandung arti bahwa untuk dapat
bekerja dengan baik, harus epek (apek, golek, mencari) pengetahuan
yang berguna. Selama menempuh ilmu upayakan untuk tekun, teliti
dan cermat sehingga dapat memahami dengan jelas.
 Timang
Timang bermakna bahwa apabila ilmu yang didapat harus
dipahami dengan jelas atau gamblang, tidak akan ada rasa samang
(khawatir) samang asal dari kata timang.
• 3 Bagian mburi (bagian belakang)
 Curiga atau keris dan rangka
Curiga atau keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat di dalam
warangka atau wadahnya. Curiga dikenakan di bagian belakang badan.
Keris ini mempunyai pralambang bahwa keris sekaligus warangka
sebagaimana manusia sebagai ciptaan dan penciptanya Yatu Allah
Yang Maha Kuasa, manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di
bagian belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam
menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa untuk

kebudayaan Jawa

118
ngungkurake godhaning setan yang senantiasa mengganggu manusia
ketika manusia akan bertindak kebaikan.
• 4 Bagian ngisor (bagain bawah)
 Canela yaitu: cripu, selop atau sandal
Canela mempunyai arti "Canthelna jroning nala" (peganglah
kuat dalam hatimu) canela sama artinya Cripu, Selop, atau sandal.
Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau
manembah di kaki-NYA. Dalam hati hanyalah sumeleh (pasrah)
kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

 Bebed
Bebed adalah kain (jarik) yang dikenakan oleh laki-laki seperti
halnya pada perempuan, bebed artinya manusia harus ubed, rajin
bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan "tumindak
nggubed ing rina wengi" (bekerja sepanjang hari)

Kebaya
Kebaya adalah blus tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan
Malaysia yang terbuat dari bahan tipis yang dikenakan dengan sarung, batik, atau
pakaian rajutan tradisional lainnya seperti songket dengan motif warna-warni.
Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke
Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung
ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat. Sebelum 1600, di
Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang hanya dikenakan keluarga kerajaan di
sana. Selama masa kendali Belanda di pulau itu, wanita-wanita Eropa mulai
mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi. Selama masa ini, kebaya diubah dari
hanya menggunakan barang tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman
warna-warni.
Pakaian yang mirip yang disebut "nyonya kebaya" diciptakan pertama kali
oleh orang-orang Peranakan dari Melaka. Mereka mengenakannya dengan sarung
dan kaus cantik bermanik-manik yang disebut "kasut manek". Kini, nyonya kebaya

kebudayaan Jawa

119
sedang mengalami pembaharuan, dan juga terkenal di antara wanita non-Asia.
Terpisah dari kebaya tradisional, perancang mode sedang mencari cara
memodifikasi desain dan membuat kebaya menjadi pakaian yang lebih modern.
Kebaya yang dimodifikasi itu malah bisa dikenakan dengan jins atau rok.
Kebaya Indonesia
Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya (1996)
Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan
lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata Kebaya
diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse) pertama yang dipakai wanita
Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu
berterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang
kita masih mengenal ‘Abaya’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara
sebagian yang lain percaya Kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan
pada masa kekasiran Ming di Tiongkok, dan pengaruh ini ditularkan setelah imigrasi
besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-
13 hingga ke-16 Masehi. Pada tahun 1600, kebaya dikenakan secara resmi oleh
keluarga Kerajaan. Setelah penyebaran agama Islam, kebaya menjadi busana yang
populer dan bahkan menjadi simbol status. Dokumentasi lama kerajaan Islam
Cirebon, Surakarta maupun Jogjakarta menunjukkan penggunaan busana ini bagi
keluarga kerajaan.
Kita perlu menilik penyebaran dan masuknya Islam di Indonesia (abad ke-15)
untuk mengetahui perkembangan Kebaya modern saat ini. Keislaman sangat kuat
memengaruhi siluet Kebaya di awal-awal perkembangannya. Dugaan kuat
mengatakan Kebaya awalnya merupakan atasan panjang berbentuk tunik sederhana
yang menjulur dari leher hingga lutut (baju kurung). Hal ini mengingatkan kita akan
Abaya dan kebaya Melayu. Pakaian semacam ini serta-merta menggeser kemben
tradisional. Di beberapa pelosok Indonesia bahkan bisa ditemukan wanita yang
tampil tanpa atasan apapun (Bali, Lampung, Jawa). Kebiasaan berbusana macam itu
juga ikut tergeser, meski dalam beberapa acara adat harus berbusana seperti itu
lagi, terutama di Bali. Dokumentasi lama milik keluarga kerajaan dan keraton
(Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) di tanah Jawa masih merekam Kebaya panjang ini
dengan beberapa ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisinya (abad
ke-19). Gelang dan jam dikenakan diluar lengan Kebaya, sementara bros serangkai
(tiga berjajar) tersemat di bagian depan membentuk suatu penutup. Jenis ini

kebudayaan Jawa

120
akhirnya merambah permainan bahan. Katun kasar dan tenun tradisional tentu saja
menjadi cikal bakalnya. Namun beludru, sutra, dan katun halus kemudian
menggantikan bahan-bahan keras tadi sesuai dengan masuknya koloni Eropa ke
Indonesia dan membuka jalur perdagangan tekstil antar negara (sejak abad ke-18).
Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan Indonesia
tahun 1945 membawa Kebaya pada konstelasi nasionalis yang lebih absolut. Dari
sekedar tradisional yang pribumi, Kebaya menjalar menjadi nasionalis dan bernafas
kemerdekaan. Para wanita terdidik yang dekat dengan pemerintahan Soekarno saat
itu banyak mengenakan aneka kebaya, terutama jenis putu baru dan Kebaya encim
yang masih ada jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini
sebagai masa-masa keemasan Kebaya sampai tahun 1960-an. Hampir semua
wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra nasional
yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum aristrokrat tertentu
yang berpihak pada Soekarno. India, Tiongkok, dan sebagian Asia Tenggara
mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen Barat pada Soekarno, dan sentimen
Soekarno sendiri pada Barat membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan
Indonesia. Yang terlihat adalah aneka corak dan warna-warna Kebaya yang
beragam. Potongan dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang
pakem-pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.
Belum pulih benar Kebaya dari trauma politiknya, ia harus mengalami sekali
lagi pukulan itu. Peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke pemerintahan Orde
Baru di bawah Soeharto tahun 1965 menempatkan Kebaya di posisi lemah. Citra-
citra dan simbol-simbol yang diemban Kebaya di masa Soekarno membuat ia dijauhi.
Kaum perempuan yang merasa tidak terlibat dengan gejolak politik Orde Lama
(Soekarno) memilih untuk tidak mengenakan Kebaya. Terusan modern dan kemeja-
kemeja wanita lebih digemari ketimbang Kebaya. Perlahan namun pasti, Kebaya
tersingkir dalam kotak eksklusif Dharmawanita (organisasi wanita istri pegawai
negeri yang terbentuk sejak tahun 1974). Dengan warna jingga salem-nya, Kebaya
menjadi seragam resmi organisasi ini.
Hingga tahun 1980-an Kebaya semakin terkucil di kalangan istri Militer dan
pegawai negeri, meski beberapa desainer lokal macam Iwan Tirta mencoba
melestarikannya. Kabar baiknya adalah peran informasi dan pertukaran komoditi
antar negara kembali terbuka lebar. Tinggal bagaimana tangan-tangan kreatif anak
Bangsa memanfaatkannya. Tidak memakan waktu lama, awal tahun 90-an Ghea

kebudayaan Jawa

121
Panggabean melakukan eksperimen berarti pada Kebaya. Dalam lingkup kelas atas,
Ia memanfaatkan bahan sutra organdi dan serat-serat alam lain yang tergolong
mewah menjadi Kebaya. Di kalangan elit dan perempuan berpendidikan, Kebaya
macam ini, yang kemudian banyak juga dikembangkan oleh desainer lokal lain,
memiliki predikat khusus. Ia sah digunakan di acara-acara formal baik bersifat
pribadi, keluarga, maupun kenegaraan.
Tahun 90-an pula Kebaya mulai mendapat tempat yang lebih luas. Bahkan
dipandang mempunyai janji ekonomi yang besar. Desainer-desainer Indonesia
sepakat, Kebaya adalah genre khas dari dunia fesyen yang menjanjikan. Mereka
mulai meliriknya, memelajarinya, dan kemudian berkreasi dengannya. Kuncinya
adalah inovasi! Sepertinya tuntutan kreasi dan aksentuasi dari para pemakai juga
menjadi faktor besar yang mendorong Kebaya kembali ke era abad-19—masa
dimana Kebaya punya kebebasan untuk berkembang.
Setelah 32 Tahun memerintah Indonesia, Soeharto undur. Reformasi
membawa angin segar sekaligus liar. Untuk beberapa alasan, hal ini baik. Banyak
pranata yang dijungkirbalikan. Reformasi dipahami sebagai era kebebasan.
Keterbukaan pikiran menjadi titik tolak semua kegiatan di masa-masa 1997-2002.
Kreatifitas tak terbendung yang dicontohkan oleh para pemimpin setelah Soeharto
dan dunia politik juga diikuti masyarakatnya. Kekangan adalah barang haram di
masa ini. Digalilah kreasi-krasi baru yang segar dari banyak sumber untuk
mempercantik Kebaya. Kita harus mencermati trend brokat (lace), bordir, teknik
aplikasi, drapery, dan pencampuran bahan sebagai cikal bakal revolusi Kebaya di
tahun 2000-an.
Yang tandang dengan banyak ide, dia yang menang. Dunia pernikahan,
pertemuan formal kenegaraan, hingga acara-acara eksklusif yang mengusung citra
Indonesia secara konsensus-tersembunyi mewajibkan Kebaya sebagai kode
busananya. Hal ini kemudian memancing kompetisi antar desainer. Secara pola,
siluet, cutting, dan garis luar berubah beragam-ragam. Bagai bola liar, perubahan
besar itu juga diikuti dengan pemanfaatan bahan baku. Keluar dari sekedar organza
dan katun, Kebaya merambah ke jalur sutra, sifon, shantung, lace, hingga serat-serat
yang tak terbayangkan sebelumnya seperti jute, nanas, pisang, dan unsur metal.
Teknik bordir, renda, pilin, lipit, layer hingga quilt ikut mewarnai kemegahan Kebaya.
Hingga akhirnya pemanfaatan material mewah macam payet, kristal, batu-batu mulia
dan bulu binatang (ostrich’s feathers/cincila fur) hadir bersama taknik aplikasi yang

kebudayaan Jawa

122
revolusioner. Dengan teknik yang satu ini, kreasi tanpa batas sangat mungkin
dikerjakan. Teknik aplikasi membuka kesempatan Kebaya sebagai benda seni yang
bisa dihiasi apa saja—bahkan berlian jika memungkinkan. Lewat banyak teknik dan
potongan, material dan bahan, sampai aksesorisnya, Kebaya tercipta sebagai karya
seni. Bahkan ada satu Kebaya yang memiliki berat hingga 22 Kg, karena kerumitan
detail yang melekat padanya. Kebaya memasuki masa revolusinya sendiri. Ia kini,
seperti banyak masyarakat Indonesia era 2000-an, punya daya pandang dan
tempatnya masing-masing. Tanpa harus terpengaruh imbas politik, ekonomi, bahkan
adat istiadat. Kebaya semata-mata menganut faham kreatifitas yang feminis.

Batik
Darimanakah kata Batik ?, Batik adalah kata dari bahasa Indonesia, tepatnya
Ambatik (bahasa Jawa yang berarti menggambar dan melukis), sehingga batik
adalah asli dari Indonesia walaupun banyak beredar sekarang batik Malaysia sampai
Myanmar. Batik pada prinsipnya merupakan proses pencelupan dan pencucian dan
menggunakan malam sebagai bahan dasar. Kata ""tik" dari "setitik" berarti sedikit
menggambarkan proses yang bertingkat sedikit demi sedikit.

Batik merupakan busana hasil kerajinan rakyat dimana batik dibuat dengan
menggunakan cara tradisional dan cara modern. Cara Tradisional adalah suatu cara
dimana pengrajin batik masih menggunakan canting untuk menulis batik dan
menggunakan malam sebagai bahan untuk menulis. Sedangkan cara modern
merupakan suatu cara dimana pengrajin batik menggunakan cap yang menulis batik
sehingga proses pengerjaannya lebih cepat. Secara kualitas batik yang dibuat
dengan menggunakan cara tradisional akan lebih bagus kualitasnya. Harga batik
yang dibuat dengan cara tradisional pun lebih mahal.

kebudayaan Jawa

123
"Falsafah batik sebenarnya berakar pada petani, yang dibawa masuk ke
keraton, lalu diperbaiki dan diperhalus. Baru kemudian timbul falsafah batik yang
tidak berpijak pada pertanian."
"Karena berasal dari petani, mestinya harus mengalir kembali ke asalnya,
yaitu masyarakat pertanian. Masyarakat itu, yang kini sudah bergeser menjadi
masyarakat industri agraris dan sepanjang masa sengsara, mestinya diberi
kesempatan mendapat bagian dari batik." Begitu keyakinan KRT. Harjonagoro (Go
Tik Swan) yang pernah hidup di antara rakyat jelata (antara lain para pengrajin batik
di rumah kakeknya) maupun lingkungan keraton.

Canthing

Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain, canthing
dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk
kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong satu
atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau cerek,
sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk
membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.

Batik Surakarta

Batik adalah bentuk seni klasik yang ruwet dan sudah lama sekali sangat
penting di dalam adat Java. Ada banyak motif yang berbeda, setiap motif mampunyai
arti khusus, sering simbolis, dan digunakan untuk acara formal tertentu, contohnya
upacara pernikahan, pemakaman atau hari peringatan.

kebudayaan Jawa

124
Batik adalah cara yang melawan celup. Pola digambar pada kain dengan
malam yang dicairkan. Setelah malamnya menjadi keras, itu menjadi melawan celup,
sekarang, kainnya tanpa malam bisa dicelup, sedangkan bagian yang dimalam
masih sama.
Cara ini dilakukan berulang kali, tergantung jenis pola dan berapa warna-
warna yang diinginkan, dengan merebus malam keras pada kain dan menciptakan
sebuah pola baru.

Ada tiga dasar utama untuk menerapkan malam; dengan tangan,


menggunakan alat tembaga khusus untuk menggambar; dengan sebuah cap
tembaga; atau gabungan/combinasi tangan dan cap. Ketiga cara merupakan bentuk
seni yang menarik. Batik-batik yang digambar dengan tangan disebut batik tulis
memerlukan 2-3 bulan untuk membuatnya, yaitu sepotong kain 2.25 x 1.25 meter
membutuhkan 60-90 hari untuk membuatnya. Juga terdapat dua cara untuk
membuat batik tulis, cara tradisi dan cara modern. Untuk hasil dari batik cap disebut
batik cap, pertama-tama harus dibuat cap tembaga. Cap ini digunakan untuk proses
pemalaman. Cap dibuat dengan tangan dan juga proses memalaman. Capnya,
dapat digunakan untuk lebih dari satu kain, lebih murah dan lebih cepat, dan hasilnya
sama baiknya. Sering sangat sulit untuk membedakan antara tulis, cap atau batik
combinasi. Capnya sendiri sering diperlihatkan sebagai seni.

H.8 Keris

kebudayaan Jawa

125
Keris atau tosan aji adalah salah satu senjata tradisional masyarakat Jawa
serta menjadi salah satu lambang utama seorang laki-laki selain turangga, wisma,
wanita dan kukila. Keriss mempunyai makna jantan perkasa dan dewasa, atau laki-
laki Jawa itu harus tangguh, sanggup melindungi diri sendiri, keluarga dan membela
Negara. Keris, atau pisau belati, adalah hasil kegaiban yang lain dari Jawa kuno.
Keris adalah bagian integral dari upacara Jawa. Keris dipakai oleh lelaki untuk
peristiwa penting dan tatacara tradisionil.

Sajarah
Belum ada penelitian yang berhasil menentukan kapan orang Jawa mulai
mengenal keris, keris Jawa sudah mempunyai wajud yang sempurna saat kerajaan
majapahit. Pada zaman dahulu, keris menjadi lambing kepangkatan serta bisa
dijadikan sebagai hadiah yang paling istimewa, apalagi jika yang memberikannya
adalah raja. Keahlian membuat pisau belati Jawa berawal dari masa kuno, bahkan
sebelum Kerajaan Majapahit (abad ke-13).
Fungsi

Zaman sekarang fungsi dari sebuah keris sudah mulai berkurang, pada
umunya hanya menjadi barang koleksi atau sebagai perlengkapan upacara-upacara
dan ritual adat. Di zaman dulu selain menjadi senjata, keris juga bisa diguanakan
sebagai tanda status sosial, jenjang pangkat serta sebagai hadiah, selain itu, dahulu
keris juga bisa menjadi simbol persaudaraan yang ditandai upacara tukar-menukar
keris yang merupakan simbol persaudaraan yang paling luhur
Fungsi keris lainnya adalah keris dianggap azimat dan media penghubung
antara dunia manusia dengan dunia mistis (mahluk gaib)

Bagian-bagian keris

kebudayaan Jawa

126
Keris mempunyai tiga bagian utama, masing masing bagain mempunyai
bagian-bagian lagi yang lebih detil yang biasanya berupa ukiran. Ukiran pada
bagian-bagian keris Jawa mempunyai makna dan karakter yang berbeda-beda.
Bagian-bagian keris itu antara lain;
• Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri
dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya
disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk
dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak,
jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah
keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi
ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai
10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut
ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya
terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah
dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa
kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili
lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas
berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut
gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam
bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari
bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris
yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk
pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung
dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan
terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil)
dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah
luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya
disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

• Warangka atau sarung keris

kebudayaan Jawa

127
Warangka, atau sarung keris, adalah komponen keris yang mempunyai fungsi
tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena
bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari
kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan
perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan
status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering
diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka
ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong
(berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis
wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka
ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak
mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja,
acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan,
perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah
dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian
belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan
wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada
bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman ,
pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman
lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama
menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang
wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk
membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk
tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya
tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-
silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang
biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran
tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja
Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan

kebudayaan Jawa

128
tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan
berlian.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1)
pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok
blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga
bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya
terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu
pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

• Gaman
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking
( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng
dan bungkul.

Pamor Keris

Pamor merupakan hiasan atau motif atau ornamen yang terdapat pada bilah
tosan aji (Keris, Tombak, Pedang atau Wedung dan lain lainnya). Hiasan ini dibentuk
bukan karena diukir atau diserasah (Inlay) atau dilapis tetapi karena teknik tempaan
yang menyatukan beberapa unsure logam yang berlainan.
Diluar wilayah Nusantara dan sekitarnya biasanya hanya dikenal teknik Inlay
saja seperti pedang dari Iran atau negara Eropa lainnya sehingga walau secara seni
(art) tampak indah tetapi kesan “Wingit” nya tidak ada sama sekali.
Terkenal dulu bahan pamor dari Luwu, Sulawesi Selatan yang dibawa oleh
pedagang dari Bugis.

kebudayaan Jawa

129
Bahan Pamor yang paling terkenal adalah Pamor Prambanan, saat ini ada di
Kraton Surakarta diberi nama Kanjeng Kyai Pamor dan ukurannya sekarang tinggal
sekitar 60x60x80 Cm sebesar meja kecil karena sudah banyak digunakan empu
membuat karis pesanan dari Kraton.
Setelah bahan meteorit susah didapat, barulah bahan Nikel digunakan,
sehingga keris saat ini bobot nya biasanya lebih berat dari keris kuno.
a. PAMOR MLUMAH, PAMOR MIRING.
Dilihat dari cara pembuatannya sebetulnya hanya dua cara pembuatan Pamor
yang baik yaitu Mlumah dan Miring. Pamor mlumah adalah lapisan-lapisan pamornya
mendatar sejajar dengan permukaan tosan aji sedangkan pamor miring lapisan
pamornya tegak lurus permukaan bilah.
Ada juga tosan aji yang dibuat dengan kombinasi pamor mlumah dan miring
hanya saja pembuatannya sangat sulit, lebih sulit dari pembuatan pamor miring.
Pamor Mlumah biasanya bermotif Beras Wutah, Ngulit Semangka, Satria
Pinayungan, Udan Mas, Wulan-wulan dan sebagainya, sedangkan Pamor Miring
umumnya motif Adeg, Batu Lapak, Sodo Saeler, Tumpuk dll. Kesan Pamor Miring
agak kasar bila diraba bilahnya dan nyekrak dibanding pamor mlumah.

Apabila lipatannya banyak, baik di pamor mlumah atau miring, maka hasilnya
kemungkinan akan menjadi pamor luluhan, praktis pamor dan besi sudah “menyatu”
walau tidak terlalu homogen, ini akan terlihat dengan menggunakan kaca pembesar.
Pamor luluhan yang gampang terlihat antara lain di keris buatan Empu Pitrang
dijaman Blambangan, diantara pamor Adeg pada beberapa bagian bilah tampak
pamor luluan yang sepintas seperti pamor Nggajih.
Kalau lipatannya lebih banyak lagi seperti buatan Empu Pangeran Sedayu
maka pamor luluhan ini tidak tampak dengan mata telanjang dan sangat kecil atau
tiad mungkin kena karat karena menyatunya bahan pamor dengan bahan besinya.
Cara lainnya.

kebudayaan Jawa

130
Ada cara lain membuat pamor selain Mlumah dan Miring yaitu dengan cara
mengoleskan bahan pamor ke bilah, biasanya bukan dari batu meteorit tetapi logam
yang titik leburnya lebih rendah dari besi, caranya dengan menuangkan bahan
tersebut yang cair kebilah besi yang membara kemudian dioleskan dengan ujung
mancung (kelopak bunga) kelapa sebelum bahan cair tersebut mengeras dan dibuat
pamor yang dikehendaki si Empu. Hasilnya umumnya kasar bila diraba dan pamor
ini disebut Ngintip (dari Intip/Kerak nasi).

Cara ini hanya digunakan Empu luar keraton, empu Desa atau disebut juga
empu Njawi.Ada lagi cara membuat pamor dengan menyiramkan bahan pamor cair
ke bilah membara dari pangkal keris keujungnya, pamornya dinamakan Nggajih
karena menyerupai lemak.

b. PAMOR REKAN dan PAMOR TIBAN.


Sewaktu membuat keris, Sang Empu berpasrah diri kepada Tuhan YME dan
menyerahkan saja bagaimana bentuk pamor yang terjadi maka biasanya pamor
yang timbul disebut pamor Tiban, sedangkan bila selama pembuatan direka oleh
sang Empu maka pamor yang terjadi disebut pamor rekan.
Pamor rekan sering juga gagal dalam pembuatannya, misal sang empu ingin
membuat pamor Ron Genduru tetapi jadinya malah Ganggeng Kanyut.
Sebenarnya agak sulit membedakan mana pamor rekan atau tiban karena
bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda.

c. PAMOR MUNGGUL

Banyak yang menganggap pamor ini pamor titipan, selain itu


banyak yang menganggap ini sebagai pamor tiban karena tidak
bisa dibuat secara sengaja.
Pamor ini seperti bisul menonjol sekitar 1 mm diatas permukaan
bilah umumnya berbentuk lingkaran, baik bulat atau lonjong

kebudayaan Jawa

131
tetapi ada yang berbentuk gambar membujur lancip panjang. Letaknya bisa
dibagian sor-soran, tengah ataupun pucuk. Bisa ditepi atau tengah bilah dan
termasuk pamor yang baik serta dicari banyak orang.
Bagaiman pamor ini timbul tidak bisa diterangkan secara pasti, tetapi diduga saat
“masuh” atau membersihkan bahan keris dari kotoran, ada unsur logam lain yang
menyelip dan lebih keras dari unsur logam besi, tetapi ini baru dugaan saja.

d. PAMOR AKHODIYAT.
Namanya kadang Akordiyat, Kodiyat atau Akadiyat. Wujudnya menyerupai
lelehan dari tepi bentuk pamor dengan warna putih cemerlang keperakan dan lebih
cemerlang dibanding keputihan pamor pada umumnya.
Ada yang menganggap sebagai pamor titipan atau “sifat” dari pamor tersebut,
ternyata semua salah.
Sebetulnya ini terjadi karena penempaan pamor tersebut dilakukan pada suhu
yang tepat yang berbeda setiap bahannya, jadi susah diduga berapa suhu yang
tepat itu, sehingga banyak yang sepakat bahwa pamor ini dikategorikan ke pamor
tiban.
Di Madura biasa disebut pamor “dheling”, kalau tersebar dipermukaan bilah
disebut “dheling setong” dan dianggap mempunyai tuah baik.
Pamor dheling yang terbaik terdapat di pucuk bilah dan disebut “dheling
pucuk” dan atau dibagian peksi yang disebut “dheling peksi”.

e. PAMOR TITIPAN.

Pamor ini berbentuk rangkaian kecil yang merupakan perlambang atau tuah
tertentu dan pamor ini jarang berdiri sendiri, umumnya tergabung dengan pamor lain
yang lebih dominan, antara lain Beras Wutah, Pulo Tirto atau Pendaringan Kebak.

kebudayaan Jawa

132
Pamor ini ada yang merupakan pamor tiban, tidak sengaja dibuat seperti
Pamor Rahala, Dikiling, Inkal, Putri Kinurung, Gedong Mingkem, Jung Isi Dunya,
Telaga Membleng dll.
Pamor titipan yang merupakan pamor rekan antara lain yang terkenal adalah
Kuto Mesir, Kul Buntet, Udan Mas, Watu Lapak dll.
Pamor Titipan yang merupakan pamor tiban dibuat bersama dengan pamor
lainnya sedangkan yang rekan biasanya dibuat setelah pamor dominan jadi,
merupakan pamur yang disusulkan.

H.9 Makanan Khas


Makanan khas Jawa Timur diantaranya adalah
1) Rawon dan rujak petis.

Surabaya terkenal akan rujak cingur, semanggi, lontong balap, sate


kerang, dan lontong kupang. Kediri terkenal akan tahu takwa, tahu pong, dan
getuk pisang. Madiun dikenal sebagai penghasil brem dan nasi pecel.
Kecamatan Babat, Lamongan terkenal akan wingko babat nya. Malang
dikenal sebagai penghasil keripik tempe. Bondowoso merupakan penghasil
tape yang sangat manis. Sidoarjo terkenal akan kerupuk udang dan petisnya.
Jagung dikenal sebagai salah satu makanan pokok orang Madura,
sementara ubi kayu yang diolah menjadi gaplek dahulu merupakan makanan
pokok sebagian penduduk di Pacitan dan Trenggalek.
2) Tahu Campur Lamongan
Tahu campur disajik di dalam mangkuk, terdiri dari tahu, tauge, petis, mi, daun
sla diiris, tuangi kuah dan daging tetelan, diberi irisan perkedel singkong dan
ditaburi dengan bawang goreng dan dengan bahan pelengkap sambal.
3) Madu mongso

kebudayaan Jawa

133
Merupakan makanan khas Jawa Timur yang dibuat dari ketan item
dicampur dengan tape. makanan ini dibungkus menyerupai bentuk permen
menggunakan kertas minyak yang berwarna-warni.

4) Rujak Cingur
Makanan khas Jawa timur ini merupakan campuran dari berbagai macam
sayuran yang disirami bumbu kacang yang dilengkapi dengan petis dan
pisang klutuk muda. Yang membuat makanan ini berbeda adalah dengan
adanya cingur (hidung sapi).

Makanan dan Minuman khas Jawa Tengah


1. Sate Sarepeh Berupa sate ayam kampung
bumbunya terdiri dari cabe merah, gula merah, santan dan garam. Adalah
sebagai lauk pauk dan biasanya dirangkai dengan lontong.
2. Mangut
Ikan laut segar yang dipanggang dengan bumbu-bumbu cabe hijau, bawang
merah, bawang putih, garam dan santan kental. Sebagai sayur untuk makan
siang/malam dalam menu sehari-hari.
3. Pindang Tempe
Tempe dengan bumbu-bumbu cabe, bawang merah, bawang putih, asam
(tomat) garam dan air. Biasanya ditambahkan juga ikan pindang. Sebagai sayur
untuk makan siang (menu sehari-hari).
4. Sayur Merica
Dari ikan laut segar dengan bumbu cabe, merica, bawang merah, bawang
putih, kunyit, garam dan air.
5. Petis Bumbon
Sayur untuk makan siang/malam yang terbuat dari bahan-bahan petis
ikan/udang, telur rebus/ceplok langsung dengan bumbu cabe, bawang putih, bawang

kebudayaan Jawa

134
merah, kunci, lengkuas, daun jeruk purut, garam dan ditambah santan kental.
6. Lontong Tuyuhan
Lontong dengan opor ayam kampung pedas khas desa Tuyuhan (Kecamatan
Pancur). Makanan ini tidak pernah atau jarang dibuat ibu rumah tangga. Sebagai
makanan sore hari/malam hari, biasanya sekitar jam 15.00 WIB sudah dijual di lokasi
desa Tuyuhan di sepanjang pinggir jalan dengan pemandangan sawah-sawah yang
menghijau. Dan minumannya air putih yang ditempatkan di kenda (tanpa gelas).

7. Dumbeg
Dibuat dari tepung beras, gula pasir/gula aren dan ditambahkan garam, air
pohon nira (legen), dan kalau suka ditaburi buah nangka/kelapa muda yang dipotong
sebesar dadu. Kemudian tempatnya dari daun lontar (pohon nira) berbentuk kerucut
dengan bau yang khas. Yang terkenal dari desa Pohlandak (Kecamatan Pancur) dan
desa Mondoteko (Kecamatan Rembang).
8. Jenang Waluh
Dibuat dari buah waluh, gula aren, air nira dan garam, yang rasanya sangat
manis. Dan biasanya dimakan dengan Jadah. Jadah yang terkenal adalah dari desa
Pohlandak (Kecamatan Pancur).
9. Jadah
Terbuat dari beras ketan putih, kelapa muda, garam yang ditumbuk halus
(sewaktu masih panas) di atas keranjang yang Terbuat dari daun lontar/daun kelapa
muda dan alat tumbuknya juga dilapis dengan daun lontar dan kelapa muda.
Rasanya sangat gurih, kemudian dicetak persegi dan dibungkus dengan daun pisang
(seperti lemper). Biasanya dimakan bersama dengan Jenang waluh, yang terkenal
dari desa Pohlandak (Kecamatan Pancur).
10. Kaoya Dudul
Terbuat dari beras ketan, kacang hijau, gula aren/gula pasir dan garam.
Tempatnya dari daun lontar berlubang bulat kecil sebanyak 5 buah, kalau makan
tinggal didudul (ditekan) saja, rasanya sangat manis dan gurih. Berasal dari desa
Gunem Kecamatan Gunem.
11. Kerupuk Bakar
Kerupuk udang dan tengiri dari kota Rembang yang dioven atau dibakar.
12. Gula Semut

kebudayaan Jawa

135
Terbuat dari pohon nira ( legen ) dengan proses pemanasan, sehingga
hasilnya seperti gula pasir atau gula halus yang berwarna coklat.
13. Terasi Petis Bonang
Terbuat dari udang atau ikan segar dengan proses pemanasan. Bau dan
rasanya enak. Yang terkenal dari Desa Bonang Kecamatan Lasem.
14. Kupat Tahu
Merupakan makanan khas Magelang yang berisi tahu, tauge, kubis, dan diberi
ketupat. Menggunakan sambal kacang sebagai campurannya.

Sedangkan yang lain diantaranya adalah :


Dari Banyumas :
• Sroto Sokaraja
Soto Sokaraja atau oleh masyarakat Banyumas disebut Sroto Sokaraja
adalah sejenis makanan dari Indonesia. Soto ini memiliki ciri khas yang berbeda
dengan soto-soto lainnya yang ada di Indonesia.
Ciri utama dari soto ini adalah penggunaan sambal kacang dan ketupat. Soto
Sokaraja sudah banyak dijual di luar Banyumas tetapi kalau sempat mampir ke
Sokaraja, kita dapat menikmati soto di warung-warung yang berderet rapi di
sepanjang jalan di Sokaraja.
• Gethuk goreng
• Tempe mendoan
• Lanting
• Sate Ambal

Dari Jepara :
• Bangket
Pesisir Utara
• Soto Kudus

kebudayaan Jawa

136
• Soto Tegal
• Sate Tegal
• Lumpia Semarang
• Taoto
• Nasi megono
• Nasi Grombyang
Dari Yogya-solo :
• Gudeg

Gudeg Jogja punya rasa manis yang khas.


• Nasi pecel
• Opor ayam
• Tongseng
• Cabuk rambak
• Tumpeng
• Mangut lele
• Srabi Solo
• Geplak
• Sate Kocor
• Tengkleng
• Bakpia
• Trancam
• Sate Winong
Pati-Juwana Jawa tengah
• nasi gandul

kebudayaan Jawa

137
H.10 Ketoprak dan Ludruk

Ketoprak (bahasa Jawa kethoprak) adalah sejenis seni pentas yang berasal
dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi dengan lagu-
lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan.
Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya
diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil cerita dari luar
negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos (wiracarita):
Ramayana dan Mahabharata. Sebab nanti pertunjukkan bukan ketoprak lagi
melainkan menjadi pertunjukan wayang orang.
Beberapa tahun terakhir ini, muncul sebuah genre baru; Ketoprak Humor yang
ditayangkan di stasiun televisi RCTI. Dalam pentasan jenis ini, banyak dimasukkan
unsur humor.
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk
merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian
yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan

kebudayaan Jawa

138
rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan
lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya
tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu
dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang
berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap
oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan, etc).
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi
dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan "Pak Sakera", seorang jagoan
Madura.
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering
diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat
menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-
hari (biasanya) kalangan wong cilik.

H.11 Reog

Salah satu tarian Topeng barong reog yang dipakai


Pembuka
sebagai atraksi penutup

Reog adalah salah satu seni yang ada di Jawa Timur bagian barat-laut dan
Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Di daerah ini kondisi
sosio kultural masih sangat kental dengan hal-hal yang dianggap magis dan dapat
mereka buktikan dengan kemampuan mereka (masyarakat Ponorogo) dan
Religi/Kebatinan yang sangat kuat.
Pada dasarnya masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi
warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam
pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya
aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun
menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk

kebudayaan Jawa

139
memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis
keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan Seni Reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti
pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari
beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya
dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka
dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani.
Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada
reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian
wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni
tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa
tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan
pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan
khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun
rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin
rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain
yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut
kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan
kepuasan kepada penontonnya.

kebudayaan Jawa

140
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng
berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat
topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya
dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan
latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan
tapa.

H.12 KIDUNG/PUISI
Kidung adalah puisi Jawa asli walaupun masih dijumpai vokal panjang tetapi
tidaklah sebanyak yang ditemui di dalam kekawin. Ia juga turut dikenali sebagai
tembang atau nyanyian. Sementara itu nama tembang dalam kidung pula amat
bergantung kepada jumlah baris dalam bait dan vokal akhir pada setiap baris.
Bahasa yang digunakan di dalam kidung ialah campuran Jawa Kuno dengan Jawa
Baru tetapi susunannya masih menurut cara kuno dengan memakai *Tembang
Gedhe yang sudah menyimpang iramanya seperti Kidung Subrataka yang muncul
pada zaman Jawa Tengahan. Berikut ini contohnya :
Sangtabyana ta pakulun
rancana cipta kumawi
Panji prakasa tembange
Ki Subrataka kang winuwus
luputa ring lara roga
nirmala waluya jati
luputta ring pamurung
luputta ring baya pati.

Arti :
Bahagialah tuanku
kisah cubaan akan dinyanyikan
dengan lagu panji prakasa
Ki Subrata yang dikisahkan
moga-moga terluput dari malapetaka
nirmala dan sihat wal¡¯afiat
luput dari halangan
luput dari bahaya maut.

kebudayaan Jawa

141
H.13 LAGU ADAT JAWA
MACAPAT
Adalah lagu tradisional dari tanah Jawa. Macapat juga menular ke
kebudayaan Bali, madura dan Sunda. Jika dilihat dari ”kerata basa”, macapat artinya
”maca papat-papat”. Membacanya memang dirakit tiap empat suku kata. Lagu ini
mulai ada di jaman Majapahit, dan dimulai saat walisanga memegang kekuasaan.
Tetapi itu juga belum pasti, karena tidak ada peninggalan tulisan yang dapat
membuktikannya. Macapat banyak dipakai di Sastra Jawa Tengah dan Sastra Jawa
Baru. Jika dibandingkan dengna kakawin, aturan-aturan pada macapat itu lebih
mudah. Kitab-kitab pada jaman Mataram Baru, seperti wedathama, Wulangreh,
Serat Wirid Hidayat Jati, Kalathida, dan yang lain-lain disusun dengna lagu ini.
Aturan – aturan itu ada pada :
• Guru gatra : bilangan baris/gatra tiap bait.
• Guru wilangan : bilangan suku kata tiap gatra.
• Guru lagu : suara vokal di akhir tiap baris.
Macapat bisa dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
Sekar Macapat atau Sekar Alit
Sekar Madya atau Sekar Tengahan
Sekar Ageng
1. Sekar Macapat atau Sekar Alit
Macapat ini juga disebut sebagai lagu macapat asli, yang umumnya
sering dipakai dimana-mana.

• Mijil
Mijil itu artinya lahir atau keluar. Di deretan lagu macapat, mijil umumnya
ditaruh didepan. Tiap bait, lagu ini ada enam larik, dengan guru wilangan dan guru
lagu :
• 10-i
• 6-o
• 10-é
• 10-i
• 6-i

kebudayaan Jawa

142
• 6-u
Contoh
1. Mijil ing donya siniwi ratri
2. Kabeh durung katon
3. Amung anjali soca ing tembé
4. Lelaku alon siniji-siji
5. Nunggu mring wartaning
6. Sesotya satuhu

• Sinom
Arti umumnya sinom berarti ”godhong asem sing isih enom” ( daun asam yang
masih muda ). Di Macapat, sinom mempunyai sifat yang masih muda. Seperti anak
kecil yang baru tahu dunia.
Metrum
Tiap bait, lagu ini ada sembilan baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
• 8-a
• 8-i
• 8-a
• 8-i
• 7-i
• 8-u
• 7-a
• 8-i
• 12 – a
Contoh
1. Amenangi jaman édan
2. Éwuh aya ing pambudi
3. Milu édan nora tahan
4. Yèn tan milu anglakoni
5. Boya kaduman melik
6. Kaliren wekasanipun
7. Ndilalah karsa Allah
kebudayaan Jawa

143
8. Begja-begjané kang lali
9. Luwih begja kang éling lawan waspada
Dari Serat Kalatidha, karya Ki Ranggawarsita.

• Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah salah satu lagu macapat yang isinya “pengharapan
yang baik”. Dhandhang itu harapan. Karena itu, lagu yang menggunankan metrum
Dhandhanggula juga mempunyai isi yang manis seperti gula. banyak nasehat pada
jaman dahulu yang menggunakan jenis ini.
Tetapi ada juga yang menghubungkan asala kata dhandhanggula dengan
salah satu raja di jaman Kediri yaitu dhandhanggendhis. Dari sini kita bisa
mengetahui jika lagu ini dibuat pada jaman Kediri.
Metrum
Tiap bait ada 10 baris.
• 10-i
• 10-a
• 8 -é
• 7 -u
• 9 -i
• 7 -a
• 6 -u
• 8 -a
• 12-i
• 7 –a
Contoh
Yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa sira anuladha,
duk ing uni caritane,
andelira sang prabu,
Sasrabahu ing Maespati,
aran patih Suwanda,
lelabuhanipun,
kang ginelung tri prakara,

kebudayaan Jawa

144
guna kaya purun ingkang den antepi,
nuhoni trah utama

• Kinanthi
Kinanthi adalah salah satu lagu macapat yang umunya dipakai rasa suka,
cinta dan kebijaksanaan. Kinanthi ini juga bias mempunyai arti “gegandhengan
tangan” dan bias juga berarti nama suatu bunga. Ada juga yang memasangkan
kinanthi dengan maskumambang. Maskumambang itu untuk laki-laki yang dewasa,
sedangkan kinanthi itu untuk perempuan.
Metrum
Kinanthi itu terdiri dari 6 baris pada tiap bait.
• 8-u
• 8-i
• 8-a
• 8-i
• 8-a
• 8-i
Contoh 1
Anoman mlumpat sampun
praptêng witing nagasari
mulat mangandhap katingal
wanodyâju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga kêksi
(diambil dari ” Serat Rama Kawi”, karya Kyai Yasadipura )
Contoh 2
Pitik tulak pitik tukung
Tetulake Jabang bayi
Ngedohaken cacing racak
Sarap sawane sumingkir
Si tulak manggung ing ngarso
Si Tukung ngadhangi margi

kebudayaan Jawa

145
• Asmarandana
Lagu Asmarandana umumnya dipakai bagi orang yang sedang jatuh cinta.
Jika dilihat aslinya, kata asmaradana diambil dari kata asmara yang artinya cinta,
dan dahana yang artinya api. Oleh karena itu, asmarandana berisi tentang kasih
sayang.

Metrum
Asmarandana terdiri dari 7 baris dalam tiap bait.
• 8-a
• 8-i
• 8-é
• 8-a
• 7-a
• 8-u
• 8-a
Contoh
Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
wong welek sabar narima

kebudayaan Jawa

146
• Durma
Durma adalah salah satu lagu macapat yang mempunyai sifat galak.
Adakalnya Durma memuat keadaan yang menyeramkan dan membuat takut. Durma
termasuk lagu yang wingit.
Metrum
Tiap bait ada 7 baris.
• 12-a
• 7 -i
• 6 -a
• 7 -a
• 8 -i
• 5 -a
• 7 -i
Contoh
Kae manungsa golek upa angkara
Sesingidan mawuni
ngGawa bandha donya
mBuwang rasa agama
Nyingkiri sesanti ati
Tan wedi dosa
Tan eling bakal mati

• Pangkur
Pangkur adalah salah satu lagu macapat yang mempunyai sifat “munggah
ndhuwur”. Jika suatu nasihat, itu adalah nasehat yang tinggi. Jika cinta, itu adalah
cinta yang utama. Dari lagu ini, lalu banyak beraneka macam lagu yang
menggunakan nama pangkur, yaitu antara lain : pangkur jenggleng, pangkur palaran,
pangkur lombok dan lain-lain.
Metrum
Lagu pangkur terdiri dari 7 baris tiap bait.
• 8-a
• 11- i
• 8-u

kebudayaan Jawa

147
• 7-a
• 12- u
• 8-a
• 8-i
Contoh
Sekar Pangkur kang winarna
lelabuhan kang kanggo wong aurip
ala lan becik puniku
prayoga kawruhana
adat waton puniku dipun kadulu
miwa ingkang tatakrama
den keesthi siyang ratri

• Maskumambang
Maskumambang adalah salah satu lagu macapat yang menjadi lambing saat
orang laki-laki beranjak dewasa, pada masa ketika dari anak menjadi manusia yang
kelihatan ditengah lingkup social. Kata maskumambang itu merupakan sambungan
antara kata ‘emas’ den ‘kumambnag’. Ada juga yang menganggap jika
Maskumambang itu lagunya laki-laki, sedangkan yang perempuan itu adalah
kinanthi. Sifat dari lagu ini, umumnya berisi orang yang sedang mengeluh sakit dan
sengsara.
Metrum
Tiap bait, lagu Maskumambnag ada 4 baris.
• 12-i
• 6 -a
• 8 -i
• 8 -a
Contoh
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira

• Pocung

kebudayaan Jawa

148
Pucung (adakalanya ditulis pocung) adalah lagu macapat yang mengingatkan
tentang kematian. Kata pucung dekat dengan kata pocong. Seperti lambnag mori
untuk membungkus orang yang meninggal. Pucung dipakai sebagai lagu yang bias
mengingatkan kepada manusia yaitu jika hidup di dunia pasti ada akhirnya.
Tetapi Pucung juga dapat diartikan sebagai nama biji buah-buahan. Akhiran
cung juga memberi rasa segar yang mengingatkan kepada sesuatu yang lucu seperti
menggunakan kata “dikuncung”. Lagu ini sering digunakan untuk lagu-lagu yang lucu
seperti parikan atau tanya Jawab.
Metrum
Lagu pucung hanya ada 4 baris pada tiap bait.
• 12-u
• 6 -a
• 8 -i
• 12-a
Contoh
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
setya budya pangekesing dur angkara

• Gambuh
Contoh
Sekar gambuh ping catur
Kang cinatur
Polah kang kalantur
Tanpo tutur katulo-tulo katali
Kadaluwarso katutur
Katutuh pan dadi awon

Lagu gambuh itu memang penuh dengan nasehat. Nasehat yang menggiring
manusia agar ingat dengan tingkah lakunya.manusia diingatkan kalau semua tingkah
laku manusia itu ada akibatnya.

kebudayaan Jawa

149
• Megatruh
Megatruh mempunyai sifat prihatin rasa sakit hati karena rindu.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada lima baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
12u, 8i, 8u, 8i, 8o.
Contoh
Contoh ini diambil dari Babad Tanah Jawi karya Ki Yasadipura.
sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kéring
kang gèthèk lampahnya alon

2. Sekar Madya utawa Sekar Tengahan


Macapat jenis ini seperti lagu kidung yang sering dipakai pada jaman
Majapait.
• Jurudemung
Jurudemung itu termasuk sekar madya. Sifatnya “prenesan” dan biasanya
dipakai sebagai lagu wangsalan atau yang agak erotis.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada 7 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
8a, 8u, 8u, 8a, 8u, 8a, 8u.
Contoh
Contoh ini diambil dari “Serat Pranacitra”
ni ajeng mring gandhok wétan
wus panggih lan Rara Mendut
alon wijilé kang wuwus
hèh Mendut pamintanira
adhedhasar adol bungkus
wus katur sarta kalilan
déning jeng kyai Tumenggung.

• Wirangrong

kebudayaan Jawa

150
Wirangrong itu termasuk dalam sekar madya. Sifatnya itu penuh wibawa.
Lagu ini biasanya dipakai untuk menyanyikan hal-hal yang gagah.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini terdiri dari 6 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
8i, 8o, 10u, 6i, 7a, 8a.
Contoh
dèn samya marsudêng budi
wiwéka dipunwaspaos
aja-dumèh-dumèh bisa muwus
yèn tan pantes ugi
sanadyan mung sakecap
yèn tan pantes prenahira

• Balabak
Balabak itu memiliki sifat yang spontan.
Guru bilangan dan guru lagu
Tiap bait, lagu ini ada 6 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu:
12i, 3é, 12a, 3é, 12a, 3é.
Contoh
Contoh ini diambil dari “Serat Jaka Lodhang” karya Ki Ranggawarsita.
byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang
mamèt wé
turut marga nyambi reramban janganan
antuké
praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané

3. Sekar Ageng
Sekar Macapat Ageng ( besar ) hanya ada satu yaitu Girisa. Jika dilihat dari
kesusahannya, sekar macapat ageng seperti lagu kakawin di jaman dahulu.
Girisa (macapat)
Girisa itu memiliki sifat nasihat.
Guru bilangan dan guru lagu

kebudayaan Jawa

151
Tiap bait, lagu ini ada 8 baris, dengan guru bilangan dan guru lagu :
8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a.
Contoh
Contoh ini diambil dari “Serat Wiratadya” karya Ki Ranggawarsita.
déné utamaning nata
bèr budi bawa leksana
liré bèr budi mangkana
lila legawa ing driya
agung dènya paring dana
anggeganjar saben dina
liré kang bawa leksana
anetepi pangandika.

LAGU-LAGU LAIN SELAIN MACAPAT


Kumpulan lagu (Jawa)

 ANDE ANDE LUMUT


Putraku si ande ande lumut….
Tumuruna ana putri kang unggah unggahi…..
Putriku kang ayu rupane………
Kleting kuning kang dadi asamane……
Bu…si Bu… kulo mboten purun…..
Putri niku sisane si yuyu kangkang…

 YEN ING TAWANG ANA LINTANG


Yen ing tawang ono lintang cah ayu….aku ngenteni tekamu
Marang mego ing angkoso,nimas…
Sun takokne pawartamu
Janji janji aku iling,cah ayu…
Sumedot rasaning ati
Linang lintang ngiwi iwi,nimas..
Tresnaku sundul ing ati
Dek sakmono janjimu disekseni

kebudayaan Jawa

152
Mego kartiko kairing
Raso tresno asih
Rungokno tangising ati
Ginarung swaraning ratri,nimas..
Ngenteni mbulan ndadari

 CUBLAK CUBLAK SUWENG


Cublak cublak suweng…..suwenge ting gelenter……..
Mambu kutundung gudel…pak hempong, lera.. lere…
Sopo ngguyu ndelekake…………
Sir …sir…. pong ,dele gosong………..

 LIR-ILIR
Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh panganten anyar
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Sun suraka surak hiyo

 SUWE ORA JAMU


Suwe ora jamu
Jamu godhong telo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan gawe gelo

kebudayaan Jawa

153
I. SUB SUKU JAWA
I. 1. SUKU OSING
Suku Osing
Jumlah populasi
-
Kawasan dengan jumlah penduduk
yang signifikan
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
Bahasa
bahasa Osing
Agama
Sebagian besar Islam dan sebuah
minoritas beragama Hindu.
Kelompok etnis terdekat
suku Jawa, suku Tengger, suku Bali
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk
mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Sejarah
Sejarah Suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar
tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama
Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-
orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku
Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari
corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan
Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang
bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat
percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian
terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.

kebudayaan Jawa

154
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan
kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan
masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan
dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan
masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang
mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana
tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar
Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada
hiasan di bagian atap bangunan.
Bahasa
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung
dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing sangat berbeda
dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa
Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Kepercayaan
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing
adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan
Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan
suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam
masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah
Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya
masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebaga
usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan
kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu
pada tahun 1771 M.
Demografi
Suku Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi
bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan
Rogojampi, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri,
Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Profesi
Profesi utama Suku osing adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah
pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
Stratifikasi Sosial

kebudayaan Jawa

155
Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku
Osing tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh
agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. tetapi telah ditemukan
perbedaan stratifikasi di Suku tersebut, kaum Drakula, kaum sudrakula, kaum
hydrakula, kaum coliba. mereka merupakan penduduk asli.
Seni
Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik
seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain
Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong dan Jedor.
Desa Adat Kemiri
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku osing
yang cukup besar dengan menetapkan desa kemiri di kecamatan Glagah sebagai
desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Suku Osing. Desa
kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat
Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya
sering diadakan di desa ini.

I. 2. SUKU TENGGER
Suku Tengger
Jumlah populasi
500.000.
Kawasan dengan jumlah penduduk
yang signifikan
gunung Bromo, Jawa Timur
Bahasa
bahasa Jawa
Agama
Sebagian besar Hindu dan sebuah
minoritas beragama Islam dan Kristen.
Kelompok etnis terdekat
suku Jawa

Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo,
Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten

kebudayaan Jawa

156
Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Suku Tengger, konon adalah keturunan
pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di Pegunungan Tengger dan sekitarnya.
Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu.
Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal
dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama
Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari
Joko Se-"ger".
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci.
Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau
Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung
Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada
tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di
bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

J. UNGKAPAN-UNGKAPAN JAWA
 Mangan Ora Mangan Asal Kumpul
Ungkapan mangan ora mangan asal kumpul bukan berarti bahwa orang
Jawa adalah manusia-manusia yang tahan lapar, atau yang tidak mempunyai
sepeser uangpun untuk membeli sejumput padi, ataupun manusia malas yang
maunya hanya kumpul terus. Dalam ungkapan ini terdapat dua kata kunci, yakni
mangan (makan) dan kumpul. Makan adalah manifestasi dari nafsu biologis dan
kepentingan perseorangan, sedang kumpul menunjukkan adanya kehidupan
berkelompok atau bermasyarakat. Dengan demikian, ungkapan mangan ora
mangan asal kumpul pada dasarnya ingin mengatakan bahwa orang Jawa
merasa menjadi bagian integral dari masyarakatnya dan bersedia mendahulukan
kepentingan kelompok/umum dari pada kepentingan individu.

 Alon-Alon Waton Kelakon


Demikian pula terhadap ungkapan alon-alon waton kelakon. Adalah kurang
tepat jika diartikan sebagai sikap hidup ragu-ragu, malas dan pesimis. Justru
sebaliknya, hal itu menandakan manusia yang berpandangan optimis yang
mampu melihat jauh kedepan, disamping merupakan anjuran untuk melakukan
pekerjaan secara cermat agar selesai dengan baik. Orang Jawa dengan

kebudayaan Jawa

157
kekuatan spiritual atau kebatinannya yang didapatkan dari kegiatan-kegiatan
asketis seperti semadi/tapa, pasa atau nglakoni (melaksanakan suatu syarat
untuk suatu tujuan), selalu yakin akan kekuatan diri sendiri dan yakin pula bahwa
apa yang dicita-citakan pasti akan terwujud. Jadi, mengapa harus tergesa-gesa
kalau sesuatu yang dikejar itu pasti datang? Namun dalam hal ini harus diakui
bahwa hanya orang-orang tertentu yang sudah mencapai taraf weruh sadurunge
winarahlah yang bisa menghayati ungkapan alon-alon waton kelakon.

 Urip Mung Mampir Ngombe


Adapun ungkapan urip mung mampir ngombe menunjukkan bahwa kehidu-
pan manusia didunia begitu cepatnya, ibarat sepeminuman segelas air. Disini
terkandung makna bahwa setelah selesai minum, masih ada kewajiban lain yang
lebih penting. Oleh karenanya, selama proses minum berlangsung, betul-betul
harus dapat dirasakan bahwa minum itu merupakan rahmat dari Yang Kuasa
yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga dapat menjadi “bekal” untuk
menunaikan kewajiban lainnya, yaitu agar tidak “kehausan” di tengah jalan.

 Kanca Wingking Dan Suwarga Nunut Neraka Katut


Ungkapan lain yang bisa memberi kesan negatif adalah kanca wingking dan
suwarga nunut neraka katut. Keduanya seolah-olah mendiskriminasikan wanita
atau istri terhadap laki-laki atau suami. Interpretasi negatif akan mengatakan
bahwa wanita hanya berfungsi sebagai pemuas kebutuhan biologis (seksual)
atau sebagai pembantu rumah tangga. Tanpa pemahaman terhadap makna yang
tersembunyi didalamnya, tuntutan emansipasi, persamaan hak, derajat dan
kedudukan akan mengalir bagaikan air bah.
Dari pengertian tersebut sudah dapat dibayangkan bahwa ungkapan suwarga
nunut neraka katut dan kanca wingking adalah dimaksudkan untuk menempatkan
manusia pada peran, fungsi dan kedudukannya. Islam — yang ajaran-ajarannya
banyak diserap oleh masyarakat Jawa kemudian digabungkan dengan pemikiran
dalam ajaran Hindu Budha (sinkretisme) — mengajarkan bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi wanita, dan suami adalah pemimpin bagi istrinya. Sepanjang tidak
bertentangan dengan agama, kesusilaan dan Undang-Undang, istri wajib
mentaati perintah atau aturan suami. Jadi, arti suwarga nunut neraka katut bagi

kebudayaan Jawa

158
istri adalah mematuhi suami, disamping kewajiban untuk memperingatkan bila
suami kurang benar. Istri yang tidak mau menegur kesalahan suami, berarti ikut
menanggung dosa yang diperbuat suaminya.
Begitu pula ungkapan kanca wingking. Sebagai “teman belakang”, para istri
memegang peranan yang amat penting dalam sebuah keluarga. Jika mereka
tidak kuat memegang peran sebagai kanca wingking, maka keluarga itupun tidak
dapat diharapkan kelangsungan eksistensinya. Jadi tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa surga laki-laki terletak ditelapak kaki wanita. Semboyan bahwa
suatu revolusi tidak akan berhasil tanpa andil kaum wanita-pun, tidaklah
mengada-ada.
Hanya saja persoalannya, mengapa wanita dikatakan sebagai kanca wingk-
ing, bukan kanca ngajeng (teman depan)? Hal ini juga ada alasannya sendiri.
Barangkali tidak seorangpun yang menyangkal bahwa masyarakat Jawa memiliki
nilai-nilai dan norma-norma luhur yang dijunjung tinggi. Perbuatan yang
melanggar atau tidak sesuai dengan nilai atau moral itu, dikatakan sebagai saru,
ora lumrah, atau ora ilok.
Kedudukan wanita Jawa terhadap lawan jenisnya sebagaimana kedudukan
wanita terhadap pria pada umumnya — secara kodrati (bedakan dengan
kedudukan sosial politik) — adalah lebih rendah. Dengan demikian, adalah tidak
patut apabila wanita yang memimpin suatu keluarga. Adalah tidak lumrah apabila
wanita mencarikan nafkah bagi suaminya dan menempatkannya sebagai rewang
(pembantu). Dan adalah tidak ilok (tidak boleh dilakukan) apabila seorang istri
berani membantah suaminya.

K. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI


Sifat dasar yang menjadikan satu kelemahan yang juga merupakan
penghambat pembangunan di Jawa antara lain adalah sifat yang pasif terhadap
hidup, kesukaan-kesukaan terhadap kebatinan, penilain yang tinggi yang di nyatakan
dengan konsep nerimo, ketabahan yang ulet dalam hal menderita, tetapi yang lemah
terhadap hal karya.
Selain itu, pengaruh dari tekanan bangsa-bangsa asing yang menjajah di
Jawa serta jumlah penduduk yang semakin membeludak menjadi salah satu
penyebab lain terhambatnya pembangunan di Jawa.

kebudayaan Jawa

159
Struktur masyarakat desa di Jawa yang asli, sudah terlanjur dirusak oleh
struktur administratif yang ditumpangkan diatasnya oleh pemerintahan kolonial.
Akibatnya masyarakat di Jawa tidak mengenal kesatuan-kesatuan social dan
organisasi adat yang sudah mantap dan kreatif.
Dari uraian diatas masih banyak hal-hal yang dapat menghambat
pembangunan diJawa, antara lain;
a. Mental orang Jawa yang terlalu nerimo dan bersiakap pasif terhadap hidup

b. Tekanan jumlah penduduk yang mengakibatkan penduduk desa diJawa


menjadi terlalu miskin.

c. Tidak adanya organisasi-organisasiasli yang telah mantap dan jika


dimodernisasi menjadi organisasi yang mantap, aktif serata kreatif

d. Tidak adanya kepeimpinan desa yang aktif kreatif untuk dapat memimpin
aktivitas produksi yang bisa member hasil 3-4 kali lebih besar dari pada
sekarang tiap-tiap tahun.

kebudayaan Jawa

160
BAB III
PENUTUP

Kebudayaan Jawa merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia


yang memiliki nilai yang sangat luhur bersama dengan kebudayaan bangsa
Indonesia lainnya. Oleh kerenanya, sudah layak apabila kita mengetahui serta
memahami kebudayaan Jawa agar tercapai pemahaman yang tepat mengenai
kebudayaan Jawa. Hendaknya patut digaris bawahi bahwa kata “memahami”
merupakan sesuatu yang amat penting untuk dapat memperoleh pandangan yang
benar dan jelas mengenai kebudayaan Jawa itu sendiri. Oleh karena itu,
sesungguhnya tidaklah cukup apabila kita ingin memahami kebudayaan Jawa dalam
waktu yang singkat tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dan mendalam.
Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan usaha kami untuk menyediakan
berbagai pengetahuan seputar kebudayaan Jawa
Secara khusus pula makalah ini kami buat untuk teman-teman di lingkungan
Kampus STAN yang memiliki latar belakang bukan dari budaya Jawa untuk
menambah pengetahuan sekaligus sebagai bekal bagi teman-teman di lingkungan
kerja nanti, supaya kita dapat berkomunikasi lintas budaya. Dan akhirnya,
sesungguhnya makalah ini jauh dari lengkap dan mendalam mengenai kebudayaan
Jawa. Kami meminta maaf apabila di dalam makalah ini ada pernyataan yang kurang
berkenan di hati teman-teman. Terima kasih.

kebudayaan Jawa

161
DAFTAR PUSTAKA

Twikromo, Y Argo. 2006. Mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Yogyakarta: Nindia Pustaka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng
http://id.wikipedia.org/wiki/Sadran
http://heritageofjava.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Jula-juli
http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Gamelan_Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Ebeg
http://id.wikipedia.org/wiki/Reog
http://id.wikipedia.org/wiki/Blangkon
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Surabaya
http://id.wikipedia.org/wiki/Kromo_Inggil
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Banyumas
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Kedu
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Semarang
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Tegal
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Timur
http://id.wikipedia.org/wiki/Banyumasan
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Osing
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Modern
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Kuna
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Baru
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Pertengahan
www.sekarjagad.org
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa
http://jv.wikipedia.org/wiki/Keris_Jawa
http://jv.wikipedia.org/wiki/Ruwatan

kebudayaan Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_masakan_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Keris
http://jv.wikipedia.org/wiki/Pengantenan_adat_Jawa
http://jv.wikipedia.org/wiki/Tingkeban
http://jv.wikipedia.org/wiki/Brokohan
http://id.wikipedia.org/wiki/Ketoprak
http://jv.wikipedia.org/wiki/Mendhem_ari-ari
http://jv.wikipedia.org/wiki/Rasukan_adat_Jawa
http://ms.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_tradisional_Banyumasan
http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Lengger
http://jv.wikipedia.org/wiki/Tari_Gambyong
http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Tayuban
http://id.wikipedia.org/wiki/Degung
http://id.wikipedia.org/wiki/Soto_Sokaraja
http://id.wikipedia.org/wiki/Priyayi

kebudayaan Jawa

You might also like