You are on page 1of 16

Khutbah Idul Adha 1429 H: Membangun Kembali

Semangat Berqurban
Khutbah Idul Adha
19/11/2008 | 19 Zulqaedah 1429 H | Hits: 18.194
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

dakwartuna.com - Allahu Akbar- ALLahu Akbar- Allahu Akbar – WaliLlahil Hamd.

Jama’ah Idul Adha yang senantiasa mengharapkan ridha Allah swt.


Alhamdulillah, tentu merupakan satu kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terhingga
bahwa pada hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha, hari raya terbesar bagi umat
Islam yang bersifat internasional, setelah dua bulan sebelumnya kita merayakan hari raya
Idul Fithri. Pada hari ini sekitar tiga juta umat Islam dari beragam suku, bangsa dan ras
serta dari berbagai tingkat sosial dan penjuru dunia berkumpul dan berbaur di kota suci
Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji:
“Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 27)
Hari raya Idul Adha juga merupakan hari raya istimewa karena dua ibadah agung
dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuh di penghujung tahun hijriyah, yaitu ibadah haji
dan ibadah qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-
syi’ar Allah swt yang harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan
seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati”. (Al-Hajj: 33) Atau menjadi jaminan akan kebaikan seseorang di mata
Allah seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya, “Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah
maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (Al-Hajj: 30)
Kedua ibadah agung ini yaitu ibadah haji dan ibadah qurban tentu hanya mampu
dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah yang
merupakan makna ketiga dari hari raya ini: “Qurban” yang berasal dari kata “qaruba –
qaribun” yang berarti dekat. Jika posisi seseorang jauh dari Allah, maka dia akan
mengatakan lebih baik bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya daripada pergi
ke Mekah menjalankan ibadah haji. Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan
dengan Rabbnya dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma Labbaik” – lebih baik aku
memenuhi seruanMu ya Allah…Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang yang
jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka
yang posisinya dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan segala yang
dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.
Mencapai posisi dekat “Al-Qurban/Al-Qurbah” dengan Allah tentu bukan merupakan
bawaan sejak lahir. Melainkan sebagai hasil dari latihan (baca: mujahadah) dalam
menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Karena seringkali terjadi benturan antara
keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah). Disinilah akan nyata
keberpihakan seseorang apakah kepada Allah atau kepada selainNya. Sehingga
pertanyaan dalam bentuk “muhasabah: evaluasi diri ” dalam konteks ini adalah:
“mampukan kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah
berpihak kepada Allah?…Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang
mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.
Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLLahil Hamd
Icon manusia yang begitu dekat dengan Allah yang karenanya diberi gelar KhaliluLlah
(kekasih Allah) adalah Ibrahim. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya
secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha,
yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran nabi Ibrahim tidak bisa
dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan nabi
Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya: “Dan (ingatlah), ketika
Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan):
“Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu
ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang
ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta
yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 26-27).
Ibadah ini harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut
dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya
mengenakan dua helai kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan
antar seluruh manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah
mengenal Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di
Arafah. Dengan penuh kekhusyu’an dan ketundukkan seseorang akan larut dalam dzikir,
munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh
perintahNya setelah itu. Dalam proses bimbingan spritual yang cukup panjang ini
seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol
perlawanan terhadap syetan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan
Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju
Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf keliling satu titik fokus yang bernama
ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia:
“katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah,
Tuhan seru sekalian alam”. (Al-An’am: 162)Akhirnya dengan modal keyakinan ini,
seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam
naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa’I antara bukit shafa dan bukit marwah.
Demikian ibadah haji sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Ibrahim dan
keluarganya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumuLlah.
Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang
mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia harus menunjukkan ketaatannya yang
totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian
lama. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102). Begitulah biasanya manusia
akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.
Jama’ah Shalat Idul Adha RahimakumuLlah.
Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit untuk menentukan pilihan. Salah
satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Allah atau Isma’il.
Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan
menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata
Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya,
dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih
mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang akhirnya
menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.
Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar
simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya
nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri,
keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang
kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan
kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar
dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan
membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal
batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya: “Katakanlah:
jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan
dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-
Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah:
24)
Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang
Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah
menghendaki. Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada
Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim yang siap berbuat
untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.
Hadirin Jama’ah Shalat Idul Adha yang berbahagia.
Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah keta’atan
Isma’il untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa Isma’il,
seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?. Bagaimanakan Isma’il
memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdoa: “Tuhanku,
anugerahkan kepadaku anak yang shalih (Ash-Shaffat: 100). Maka Allah mengkabukan
doanya: “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan
ghulamun halim”. (Ash-Shaffat: 101). Inilah rahasia kepatuhan Isma’il yang tidak lepas
dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun
halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan
antara rasio dengan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses
pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya
dengan satu kalimat yang indah: : “Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan
Allah, niscaya ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Allah”. (Ash-
Shaffat: 102)
Orang tua mana yang tak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan
perintah Allah yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak
terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah peri
pentingnya pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil lagi,
jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim
bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang
berpredikat ‘ghulamun halim’.
Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLlahil Hamd
Setelah mencermati dua pelajaran kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas,
Prof. Dr. Mushthafa Siba’i pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah
hati: “Akankah seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai
dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang
lain? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan
dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?
Memang secara fithrah, manusia cenderung bersikap egois dan mementingkan diri
sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya. Namun demikian,
disamping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang
cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan
menyendiri, dan pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian
haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasama tersebut ia dapat mengambil manfaat
berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam
pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan
dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat
hidup dengan bahagia.
Dalam hal ini, tentu kita sepakat bahwa kita sangat berhutang budi dalam setiap
kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah
berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang budi dalam bidang
kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama,
muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk
menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan.
Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka.
Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan untuk
ilmu pengetahuan: “Aku begadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan,
lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita
yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan satu masalah ilmu
pengetahuan lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat”.
Hadirin wal Hadirat RahimakumuLlah.
Kita juga sadar bahwa kita berhutang budi dalam memanfaatkan negeri ini kepada orang
tua generasi pendahulu, para perintis dan mereka yang telah berjasa untuk itu. Kita juga
berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama yang kita banggakan ini, kepada
generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam
mempertahankan risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan harta
dan jiwa mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini
kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak
rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini.
Demikian sungguh pelajaran yang sangat berharga. Kita selaku generasi masa kini telah
berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati
saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan
kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangkaian pengorbanan
mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generasi berikutnya
seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita. Akankah generasi kita saat ini
mampu menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain?
Apakah generasi kita mampu mempertahankan akhlak luhur seperti ini yang memang
telah diperintahkan oleh Allah swt?. “Dan orang-orang yang telah menempati Kota
Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin);
dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al
Hasyr: 9)
Disini hari raya Idul Adha kembali hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai
ibadah haji dan ibadah qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukhuwwah,
pengorbanan dan mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan
lahir keluarga-keluarga Ibrahim berikutnya dari bumi tercinta Indonesia ini yang layak
dijadikan contoh teladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh umat.

hutbah Idul Adha oleh Ust. Sigit Pranowo, Lc.


Jumat, 05/12/2008 16:23 WIB Cetak | Kirim | RSS

Menghidupkan Sunnah-sunnah Rasulullah saw

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd


Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt

Di hari yang agung dan mulia ini, seluruh kaum muslimin baik yang sedang menjalani
manasik haji di tanah suci dan yang berada di negeri-negeri mereka mengumandangkan
dzikir-dizkirnya mengingat Allah swt. Mereka bertakbir mengagungkan kebesaran Sang
Penciptanya, sebagai pernyataan kecilnya mereka dihadapan Yang Maha Besar, hinanya
mereka dihadapan Yang Maha Mulia dan rendahnya mereka dihadapan Yang Maha
Tinggi.
Mereka menggemakan alam ini dengan tahlil mengesakan Yang Maha Tunggal, sebagai
pernyataan bahwa tidak ada yang pantas diibadahi kecuali Yang Maha Kuasa, tidak ada
yang pantas ditaati aturan-Nya kecuali Yang Maha Adil, dan tidak ada yang pantas
ditakuti kecuali Yang Maha Pedih siksa-Nya.

Mereka menggemakan alam ini dengan tahmid memuji Yang Maha Sempurna, sebagai
pernyataan bahwa tidak ada yang memberikan nikmat kepadanya kecuali Yang Maha
Pemberi Rezeki dan sebagai pernyataan tidak ada yang pantas diminta kecuali Yang
Maha Kaya.

Semua itu diucapkan dengan hati yang ikhlas dengan hanya mengharap ridho’-Nya
secara bersama-sama, berjama’ah menggentarkan musuh-musuh Allah swt, menciutkan
nyali mereka dan mengkerdilkan pemimpin mereka, iblis laknatullah alaihi. Dan
menyatakan kepada mereka bahwa bumi dan alam ini seluruhnya adalah milik Allah swt
dan diwariskan kepada kaum mukminin yang selalu mengagungkan dan mengingat-Nya.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd


Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt

Ibadah haji yang merupakan warisan bapak para Nabi, Ibrahim as sangatlah syarat
dengan nilai-nilai ilahiyah yang bisa dijadikan sebagai pegangan bagi kaum muslimin
didalam mengarungi kehidupan mereka.

Haji sebagaimana ibadah pada umumnya bahwa ia memerlukan dua rukun agar diterima
Allah swt dan menjadikannya mabrur. Kedua rukun itu adalah ikhlas semata-mata karena
Allah swt dan mengikuti cara-cara yang dicontohkan Rasulullah saw didalam
bermanasik. Allah swt berfirman,”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah : 5) Juga hadits yang diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah berkata,”Aku telah menyaksikan Rasulullah saw melontar jumroh
dan beliau saw berada diatas ontanya sambil mengatakan,’Wahai manusia ambillah cara-
cara manasik kalian (dariku). Sesungguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak
bisa lagi berhaji setelah tahun ini.” (HR Muslim, Nasai dan Ahmad)

Dua rukun tersebut haruslah ada secara bersamaan, tidak hanya salah satunya. Suatu
ibadah akan rusak manakala ia hanya ikhlas namun dalam pelaksanaannya tidak
mencontoh cara-cara Rasulullah saw dalam melakukannya dan ibadah akan sia-sia
manakala hanya mencontoh cara-cara Rasulullah saw namun tidak dilaksanakan dengan
ikhlas karena-Nya.

Firman Allah swt,”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”
(QS. Al Mulk : 2) Fudhoil bin Iyadh mengatakan bahwa amal ibadah yang terbaik adalah
akhlasu (ikhlas) dan ashwab (meniru Rasulullah saw).
Allahu Akbar 3X Walillahilhamd
Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt

Didalam kesempatan yang mulia ini, mari kita ambil salah satu rukun dari dua rukun
ibadah tersebut sebagai pegangan buat kita didalam menjalani kehidupan yang semakin
berat ini, yaitu meniru segala sesuatu yang dicontohkan baginda Rasulullah saw, yang
bisa kita artikan dengan menghidupkan sunah-sunahnya.

Tahun demi tahun telah kita lewati, rezim demi rezim telah kita lalui, namun kehidupan
kita kaum muslimin tidaklah ada kemajuan secara significan, baik dalam skala nasional
maupun internasional. Berbagai krisis terus melanda kita kaum muslimin, krisis ekonomi
yang tidak pernah berhenti menghantam kaum muslimin sehingga menjadikan
kemiskinan seakan-akan menjadi sahabat mereka.

Krisis sosial dan moral yang hampir merata diseluruh tempat di negeri ini, mulai dari
pelecehan seksual, menampilkan tarian-tarian erotis dihadapan public, perzinahan hingga
pergaulan sesama jenis sudah sering dipertontonkan oleh para aktor kemaksiatan tanpa
pernah merasa takut akan adzab Allah kepada mereka, bentuk-bentuk perzinahan terus
menghiasi berita-berita diberbagai mass media seakan-akan UU Pornografi bukanlah apa-
apa.

Krisis kepemimpinan islam, ini bisa dibuktikan, sepuluh tahun sudah reformasi di negeri
ini berjalan namun kaum muslimin masih susah terlepas dari kondisi mengenaskan, baik
materil maupun immaterial. Kondisi yang seolah-olah menggambarkan bahwa umat ini
bak anak ayam kehilangan induknya, mereka berjuang sendiri mempertahankan
eksistensinya, bertarung menghalau serangan yang dilakukan oleh gerombolan musang
dan srigala yang bisa datang setiap saat sementara induknya asyik dengan dunianya,
menikmati berbagai fasilitas yang sebetulnya kontribusi dari anak-anaknya, sungguh
malang nasib anak ayam ini… Allahumma laa tusallith alainaa man laa yarhamunaa
walaa yakhoofuka fiinaa

Untuk itu bagi kita yang mengimani Allah swt sebagai Tuhannya dan Muhammad saw
adalah Rasul dan suri tauladan baginya sudah seharusnya untuk mengembalikan segala
prilaku kita kepada yang dicontoh Rasulullah saw dengan menghidupkan sunnah-
sunnahnya, sehingga kita tidak mengalami kesesatan di dunia dan akherat. Sabda
Rasulullah saw,”Telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, selama kalian berpegang
teguh dengan keduanya maka kalian tidak akan pernah sesat selama-lamanya, Kitab
Allah (Al Qur’an) dan Sunnahku.”

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd


Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt

Rasulullah saw bersabda,”..Sesungguhnya islam ini pada awalnya asing dan akan
kembali asing, maka berbahagialah orang yang asing yang datang setelahku berpegang
dengan sunnahku dalam memperbaiki apa-apa yang dirusak manusia.” (HR. Tirmidzi)
Apakah saat ini termasuk zaman yang disebutkan Rasulullah saw didalam hadits ini,
wallahu a’lam. Namun jika kita lihat ternyata tidak jarang berbagai sunnah Rasulullah
saw tampak seperti sesuatu yang aneh dikalangan kaum muslimin sendiri, misalnya :
Pernikahan yang jauh dari ikhtilath (tidak bercampurnya antara para undangan laki-laki
dan perempuan) menjadi suatu yang akhir-akhir ini sulit didapat meskipun pernah ramai
pada beberapa tahun lalu, berjabat-tangan antara yang bukan mahramnya sudah dianggap
biasa oleh kaum muslimin dan para pejabatnya, berbagai jenis musik dari yang slow
hingga yang hingar bingar sudah menjadi asesoris kehidupan kaum muslimin, busana
muslim hanya sebatas pemanis bukan sebagai suatu ciri khas yang membedakannya dari
wanita non muslim dan banyak lagi yang lainnya Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Betul-
betul islam sudah menjadi asing ditengah umatnya sendiri.

Sebagai pengimplementasian daripada syahadatnya (persaksian) bahwa Muhammad


adalah Rasulnya maka diharuskan bagi setiap muslim untuk mentaati beliau saw, dalam
bentuk menghidupkan sunnah-sunnahnya yang sudah banyak ditinggalkan orang. Karena
menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw adalah indikator dari :

Pertama : Kecintaannya kepada Allah swt.

Firman Allah swt,”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. Al Imron : 31 – 32)

Kecintaan didalam bahasa arab disebut juga dengan mahabbah yang bisa juga berarti suci
dan tulus. Dari makna etimologi ini bisa diartikan bahwa kecintaan seorang muslim
kepada Allah swt haruslah bersih dan suci. Tidak diperbolehkan dalam mencintai Allah
swt ia menyertakan yang lainnya, jika ini terjadi maka berarti ia telah melakukan sebuah
kesyirikan.

Hal ini bisa kita lihat didalam pelaksanaan ibadah haji, mereka para hujjaj rela
meninggalkan keluarganya dan jauh dari tanah airnya serta melakukan berbagai manasik
haji di tanah suci dikarenakan mereka mencitai Allah swt ketimbang yang lainnya.

Demikianlah seharusnya seorang muslim, ia lebih mencintai Allah daripada istri, anak-
anak, orang tua, teman seperjuangan bahkan dari dirinya sendiri. Ia lebih mencintai Allah
swt daripada jabatan, hata benda, kendaraan atau investasi duniawinya. Seorang mukmin
tidak rela manakala itu semua menghambatnya dari mendapatkan cinta Allah swt.

Pada awal-awal dakwah Rasulullah saw sempat ditawari oleh tokoh-tokoh Quraisy harta,
wanita, tahta bahkan beliau saw akan dijadikan raja asalkan mau meninggalkan da’wah
ini. Namun beliau saw bukanlah tipe manusia yang bisa diperdaya oleh dunia dan
seisinya sehingga harus meninggalkan idealismenya. Beliau saw menolak itu semua
dengan tegas dan mengatakan,”Wahai pamanku seandainya engkau letakan matahari di
tangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan da’wah ini maka aku
tidak akan pernah meninggalkannya walaupun aku harus binasa karenanya.”
Beliau saw lakukan itu semua karena lebih mencintai Allah dan kehidupan akherat
ketimbang dunia dan tarikan-tarikannya yang banyak mencelakakan manusia. Kalaulah
saja seluruh penduduk negeri ini lebih mencintai Allah daripada yang lainnya pastilah
keberkahan akan dapat dirasakan oleh mereka. Tapi sayang kebanyakan dari kita justru
sebaliknya.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd


Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt

Kedua : Kecintaannya kepada Rasulullah saw

Bagaikan dua keping mata uang, bukti kecintaan seorang muslim kepada Allah swt
adalah ia juga harus mencintai Rasul-Nya saw. Sebagaimana bentuk kecintaannya kepada
Allah maka demikianlah pula kecintaannya kepada Rasulullah saw. Ia harus
mencintainya melebihi segala sesuatunya, melebihi istri, anak-anak, harta benda, jabatan
bahkan atas dirinya sendiri.

Suatu ketika Umar bin Khottob pernah mengatakan kepada Rasulullah saw,”Wahai
Rasulullah sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada keluargaku, anak-anakku,
seluruh manusia kecuali dari diriku.’ Kemudian Rasulullah saw berkata,’Bukan begitu
wahai Umar.” Umar menjawab,”melebihi diriku sendiri wahai Rasulullah.” Rasul
menjawab,”Sekarang telah sempurna keimananmu wahai Umar.”

Sikap yang ditunjukkan Umar kepada Rasulullah adalah sikap yang juga pada umumnya
ada didalam diri para sahabat. Disaat kaum muslimin terdesak pada fase pertama perang
uhud dan mereka sempat kocar-kacir panic sehingga gigi Rasulullah saw patah pada saat
itu maka ada seorang sahabat yang dengan berani menjadikan dengan badannya sebagai
tameng buat diri Rasulullah saw, dia melindungi Rasulullah saw dari hujan panah yang
diarahkan ke beliau oleh pasukan musyrikin, sehingga digambarkan badan sahabat itu
seperti seekor landak.

Disebutkan didalam sejarah ada seorang shohabiyat yang ditinggalkan oleh anak dan
saudara laki-lakinya berperang, dan ketika pasukan kaum muslimin kembali ke Madinah
maka yang ditanyakan pertama kali kepada mereka bukanlah anaknya atau saudara laki-
lakinya tetapi Rasulullah saw, bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?
Subhanallah

Dimanakah kita dibandingkan mereka semua?? Badan mereka di bumi namun fikiran
mereka sudah di akherat, badan mereka menyatu dengan masyarakat namun jiwa dan hati
mereka menyatu dengan Allah dan Rasul-Nya, mereka memegang dunia namun tidak
mencintainya. Mereka bukanlah sebatas beriman namun mereka adalah orang yang sudah
bisa merasakan lezatnya iman.
Sabda Rasulullah saw,”Tiga golongan yang merasakan lezatnya iman : Orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dari segalamya. Orang yang tidak mencintai
saudaranya kecuali karena Allah. Orang yang tidak mau kembali kepada kekufuran
sebagaimana ia tidak suka dilemparkan kedalam api neraka.” (HR. Bukhori)
Kecintaan mereka kepada Rasulullah saw yang demikian dikarenakan mereka tidak
hanya bersama Rasulullah saw di dunia saja namun mereka menginginkan kelak bersama
beliau saw di surga-Nya. Didalam sebuah hadits disebutkan bahwa “Barangsiapa yang
mecintai sunnahku sesunguhnya ia telah mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku
maka ia akan bersamaku di surga.”

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd


Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt

Ketiga : Kecintaannya kepada umat

Hadits yang diawal-awal khutbah ini telah disingung, yaitu”..Sesungguhnya islam ini
pada awalnya asing dan akan kembali asing, maka berbahagialah orang yang asing yang
datang setelahku berpegang dengan sunnahku dalam memperbaiki apa-apa yang dirusak
manusia.” (HR. Tirmidzi) adalah bukti kecintaan seorang yang menhidupkan sunnah
Rasul saw kepada umatnya.

Mereka tidak ingin umatnya binasa karena kemaksiatannya kepada Allah, mereka tidak
ingin umatnya mengalami kerusakan di berbagai sisis kehidupannya baik disadari atau
tidak. Untuk itu mereka selalu melakukan perbaikan terhadap masyarakatnya, baik
perbaikan materil maupun moril.

Mereka bukanlah orang-orang yang disebut dengan imma’ah, artinya dia akan selalu
bersama arus. Ketika masyarakat sekelilingnya baik maka ia pun baik namun jika
masyarakat sekelilingnya buruk maka ia ikut buruk, bagai orang yang tidak memiliki
prinsip.

Jika keadaan seorang mukmin ataupun alim seperti ini maka sampai kapan pun ia tidak
akan bisa mewarnai dan mengajak manusia kepada islam yang hakiki namun yang terjadi
bisa sebaliknya ia akan terwarnai oleh kemauan dan idealisme masyarakat yang jauh dari
nilai-nilai islam.

Orang-orang yang menghidupkan sunnah Rasul ini adalah mereka yang mencintai
umatnya melebihi dirinya sendiri. Mereka berikan segala yang dimiliki untuk
kepentingan dan kemajuan umatnya. Mereka bukanlah orang-orang yang mengeksploitir
umat untuk kepentingannya sendiri, atau dijadikan barang dagangan untuk kekayaannya
sendiri. Merekalah yang berbuat untuk umat bukan umat yang berbuat untuk mereka.

Dan hal yang seperti ini sudah banyak dicontohkan didalam kepemimpinan para salafush
sholeh terdahulu, mulai dari Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali hingga Umar bin Abdul Aziz,
mereka adalah contoh-contoh nyata yang pernah menghiasi sejarah kepemimpinan umat.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamd


Jama’ah sholat ‘id yang dimuliakan Allah swt
Demikianlah nilai dan urgensi menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw didalam
prespektif umat ini. Marilah kita jadikan berbagai amalan didalam ibadah haji sebagai
momentum untuk kita kembali menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nya, agar kita bisa
menjadi penyelamat bagi umat ini menuju kebaikan dan keredhoan Allah swt dan semoga
kita semakin mencintai Allah san Rasul-Nya dan berharap kepada Allah swt agar
menyatukan kita semua dengan kekasih kita Rasulullah saw di surga-Nya kelak. Amin ya
robbal alamin.

Dec 1, '08 12:06


KHUTBAH ‘IDUL ADHA 1429 H: Bersikap Memerlukan
AM
Pengorbanan
for everyone

Bersikap Memerlukan Pengorbanan


Oleh KH.Yusuf Supendi,Lc
Mesjid Baitussalam, Perumahan Permata Puri Laguna,
Radar AURI, Mekar Sari Cimanggis, Depok
Jakarta, 10 Dzulhijah 1429 H

Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd

Hadirin yang dirahmati Allah swt.

Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,

Pada hari yang mulia ini, 10 Dzulhijah 1429 H seluruh umat Islam di seantero
dunia memperingati hari raya Idul Adha atau hari raya qurban. Sehari
sebelumnya, 9 Dzulhijah 1429 H, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah
haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai ihram putih sebagai
lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan antar
satu bangsa dengan bangsa yang lainnya kecuali takwa kepada Allah.

“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS Al-Hujaraat
(49):13

Peringatan hari raya ini tak bisa dilepaskan dari peristiwa bersejarah ribuan
tahun silam ketika Nabi Ibrahim as, dengan penuh ketaqwaan, memenuhi
perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan disayanginya, Nabi
Ismail as. Atas kekuasaan Allah, secara tiba-tiba yang justru disembelih oleh
Nabi Ibrahim as telah berganti menjadi seekor kibas (sejenis domba). Peristiwa
itulah yang kemudian menjadi simbol bagi umat Islam sebagai wujud ketaqwaan
seorang manusia mentaati perintah Allah swt. Ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada
Allah swt diwujudkan dengan sikap dan pengorbanan secara totalitas,
menyerahkan sepenuhnya kepada sang Pencipta dari apa yang ia percaya sebagai
sebuah keyakinan.

Allah swt berfirman dalam Qur’an Surat 12 ayat 111,’

Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi


orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-
buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan
segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Betapa beratnya ujian dan cobaan yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau
harus menyembelih anak semata wayang, anak yang sangat disayang. Namun
dengan asas iman, tulus ikhlas, taat dan patuh akan perintah Allah swt Nabi
Ibrahim AS akhirnya mengambil keputusan untuk menyembelih putra
tercintanya Ismail, beliau memanggil putranya dengan pangilan yang diabadikan
dalam Al Quran Surat Ash Shaafaat (37) ayat 102,

“ Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama
Ibrahim , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlah apa pendapatmu?” “ Ia menjawab:”
Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar “

Ismail sebagai anak shaleh, senantiasa patuh kepada orang tua, tidak pernah
membantah perintah orang tua, setia membantu orang tua di antaranya
membangun Ka’bah Baitullah di Makkah.

Ibrah atau pelajaran


1. Sebagai orang tua atau pimpinan tidak bertindak otoriter atau sewenang-
wenang. Orang tua yang baik adalah orang tua yang mendidik anaknya dengan
contoh dan ketauladanan. Seorang pemimpin yang baik akan ditiru oleh
rakyatnya jika ia memberikan contoh perilaku yang baik. Seorang pemimpin
tidak diikuti ucapannya, tetapi perilaku atau tindak tanduknya. Seorang
pemimpin juga harus menjunjung nilai-nilai demokratis, tidak selalu
memberikan perintah-perintah, tetapi juga harus mendengarkan aspirasi
rakyatnya.
2. Peran sang Ibu dalam mendidik sehingga melahirkan anak yang sholeh.
Peran Ibu sbg madrasah/sekolah utama dan pertama bagi anak sangat penting.
Pendidikan anak sholeh dimulai dari saat pertemuan benih dan sel telur, diawali
do'a mohon perlindungan dari syetan. Mulai dari kandungan banyak dibacakan
ayat2 Qur'an. Dari peran Ibulah, karakter anak sholeh dapat terbentuk.
Intensitas pertemuan yang cukup, memungkinkan penanaman dan sosialisasi
nilai-nilai normatif, akhlak, dan perilaku terpuji lainnya dapat terinternalisasi
pada diri anak.

3. Pembentukkan anak sholeh tergantung dari orang tua


Banyak orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan itu akan terbentuk hanya
di sekolah-sekolah, jadi tidaklah perlu orang tua mengarahkan anak-anaknya di
rumah. Bahkan ada sebagian orang tua yang tidak tahu tujuan dalam mendidik
anak. Perlu kita pahami, bahwasannya pendidikan di rumah yang meskipun
sering disebut sebagai pendidikan informal, bukan berarti bisa diabaikan begitu
saja. Orang tua harus memahami bahwa keluarga merupakan institusi
pendidikan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan institusi pendidikan
formal. Ini bisa dimengerti karena keluarga merupakan sekolah paling awal bagi
anak. Di keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan pengetahuan,
pengajaran dan pendidikan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd,


Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,

Kata kurban dalam bahasa arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqh Islam
dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr
sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,

“ Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah “

Akan tetapi, pengertian korban bukan sekadar menyembelih binatang korban


dan dagingnya kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara
filosofis, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.

Dalam konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna
pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi
Muhammad dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi
ini memerlukan pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus
dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam
di Mekkah ketika itu. Umat Islam disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji
lainnya dari kaum kafir quraisy. Rasulullah pernah ditimpuki dengan batu oleh
penduduk Thaif, dianiaya oleh ibnu Muith, ketika leher beliau dicekik dengan
usus onta, Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan
kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas ditengah
sengatan terik matahari siang, Yasir dibantai, dan seorang ibu yang bernama
Sumayyah,ditusuk kemaluan beliau dengan sebatang tombak.
Tak hanya itu, umat Islam di Mekkah ketika itu juga diboikot untuk tidak
mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, bagaimana lapar dan menderitanya
keluarga Rasulullah SAW. saat-saat diboikot oleh musyrikin Quraisy, hingga
beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-
kulit sepatu bekas.

Sejarah nabi Yusuf as yang disiksa dan dibuang ke sebuah sumur tua oleh para
saudaranya sendiri adalah bagian dari pengorbanan beliau menegakkan
kebenaran. Sejarah nabi Musa as yang mengalami tekanan, tidak hanya dari
Fir’aun, tetapi juga kaumnya, adalah juga wujud dari pengorbanan beliau.

Pengorbanan Nabi Suaib juga dikisahkan dalam QS Al-A’raf, ayat 88,

”Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata:


”Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang
beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”.
Berkata Syu’aib: ”Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami
tidak menyukainya?” (QS AL-A’raf ayat 88)

Qur’an Surat Ibrahim Ibrahim (14) ayat 12-13,

(12) Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah
menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar
terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya
kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”.

(13) Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ”Kami sungguh-


sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada
agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: ”Kami pasti akan
membinasakan orang-orang yang zalim itu.

Dalam konteks kekinian, pengorbanan umat Islam di berbagai belahan dunia


terlihat nyata di Palestina, Kashmir, Thailand Selatan, dan Philipina Selatan.
Dengan sikap dan keyakinan mereka terhadap Islam, mereka harus mengalami
berbagai penyiksaan dan penindasan oleh penguasa. Umat Islam di Palestina
menjadi gambaran betapa pengorbanan yang dipikul sangat berat. Mereka
mengalami penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan blokade di kawasan Jalur
Gaza oleh Israel laknatullah. Akan tetapi, umat Islam di Palestina tidak ada kata
menyerah. Mereka terus berjuang membela martabat dan kehormatan bangsa
dan agamanya. Sama halnya dengan yang terjadi di kawasan lain dunia.

Dalam sejarah perjuangan bangsa, para pahlawan mengorbankan jiwa raga,


harta benda untuk kemerdekaan bangsanya. Jenderal Sudirman harus keluar
masuk hutan memimpin tentara Indonesia berjuang melawan Belanda. Sikap
para tokoh bangsa yang dipenjara, dibuang, dan disiksa adalah sebagai wujud
dari keyakinan mereka akan kebenaran. Ribuan nyawa yang mati adalah
pengorbanan mereka terhadap negeri ini. Tentu saja, mereka berkorban atas
dasar sikap yang mereka percaya sebagai sebuah kebenaran. Pengorbanan para
pemuda di berbagai tempat di Indonesia menghadapi penjajah, adalah sebagai
wujud dari sikap mereka mempertahankan kemerdekaan bangsa.

Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd


Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,

Dalam konteks keseharian kita, pengorbanan juga bisa dilihat dari pengorbanan
seorang pemimpin yang berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya,
pengorbanan seorang isteri terhadap suami dan anak-anaknya, serta sebaliknya,
anak terhadap kedua orang tuanya.

Seorang pemimpin yang adil terhadap rakyatnya dan berusaha memberikan


kontribusinya bagi negaranya adalah wujud pengorbanan. Seorang suami sebagai
kepala rumah tangga berjuang membanting tulang demi menafkahi dan
membahagiakan keluarganya. Seorang istri mengabdi setia kepada suaminya
juga sebagai wujud pengorbanan. Orang tua yang mendidik dan membesarkan
anak-anaknya sehingga menjadi berhasil, adalah juga wujud pengorbanan.

Dengan demikian, pengorbanan bisa berdimensi luas. Pengorbanan adalah


sebagai sebuah konsekuensi logis dari keyakinan yang diperjuangan demi sebuah
kebenaran.

”Dan mereka berkata: "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya
kami akan diusir dari negeri kami." Dan apakah Kami tidak meneguhkan
kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang
didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan)
untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui. (QS 28 ayat 57)

Allahu Akbar, Allahu Akbar Walilaahilhamd


Bapak-bapak, ibu-ibu serta hadirin jama’ah shalat Idul Adha Rahimakumullah,

Sekedar merenungi kembali momentum Idul Qurban, Kesanggupan Nabi


Ibrahim menyembelih anak kandungnya sendiri Nabi Ismail, bukan semata-mata
didorong oleh perasaan taat setia yang membabi buta (taqlid), tetapi meyakini
bahwa perintah Allah s.w.t. itu harus dipatuhi. Bahkan, Allah Taala memberi
perintah seperti itu sebagai peringatan kepada umat yang akan datang bahwa
adakah mereka sanggup mengorbankan diri, keluarga dan harta benda yang
disayangi demi menegakkan perintah Allah. Dan adakah mereka juga sanggup
memikul amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi?

Hidup adalah satu perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan.


Tidak akan ada pengorbanan tanpa kesusahan. Justeru kesediaan seseorang
untuk melakukan pengorbanan termasuk uang satu rupiah, tenaga dan waktu,
akan benar-benar menguji keimanan seseorang.

Peristiwa berkorban Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail merupakan satu noktah
kejadian yang dapat direnungi oleh semua manusia dari semua level usia dan
latar belakang tingkat pendidikan. Dengan kata lain, semangat berkorban adalah
tuntutan paling besar yang ada dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun,
agama bangsa dan negara.

You might also like