You are on page 1of 7

ASKEP TROMBOSIT

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Trombosit atau platelet sangat penting untuk menjaga hemostasis tubuh. Adanya
abnormalitas pada vaskuler, trombosit, koagulasi, atau fibrinolisis akan menggangu
hemostasis sistem vaskuler yang mengakibatkan perdarahan abnormal/gangguan
perdarahan (Sheerwood,2001).
Penegakkan diagnosis tentang penyebab utama gangguan perdarahan amat penting
dan hal ini dibutuhkan ketelitian yang cermat, efektif, dan efisien dalam hal
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang semata-mata untuk
menghindari kesalahan diagnosis. Apapun penyebab gangguan perdarahan, ternyata
memberikan gambaran klinis yang hampir sama. Maka dari itu, hampir semua kasus
gangguan perdarahan membutuhkan pemeriksaan yang lanjut demi demi tegaknya
diagnosis penyakit tersebut (Candrasoma,2005).
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merasa perlu memaparkan etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan beserta prognosisnya
untuk penyakit gangguan perdarahan pada umumnya dan purpura trombositopeni
idiopatik pada khususnya.
KASUS SKENARIO
Nn. Cantisekali, seorang gadis berusia 20 tahun, belum kawin, datang ke dokter
dengan keluhan menorrhagia sudah berlangsung selama 2 minggu. Gejala ini baru
pertama kali terjadi. Sebelumnya Nn. Cantisekali tidak menderita sakit apapun, tidak
panas, tidak ada riwayat trauma, dan tidak minum obat. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan purpura pada paha kanan dan kiri. Sehari kemudian keluhan bertambah
yaitu perdarahan saat gosok gigi. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
hemoglobin 10.0 g/dL jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit dalam batas normal,
sedang jumlah trombosit 40.000/uL. Dokter memberikan obat hemostatik dan
memberi pengantar untuk pemeriksaan laboratorium lanjutan (Tim Blok
Hematologi,2009).

BAB II
FISIOLOGI TROMBOSIT

1. Trombopoiesis

Trombosit adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti berdiameter 2-4 mm yang


berasal dari megakariosit. Hitung trombosit normal di dalam darah tepi adalah
150.000 – 400.000/uL dengan proses pematangan selama 7-10 hari di dalam sumsum
tulang. Trombosit dihasilkan oleh sumsum tulang (stem sel) yang berdiferensiasi
menjadi megakariosit (Candrasoma,2005). Megakariosit ini melakukan replikasi inti
endomitotiknya kemudian volume sitoplasma membesar seiring dengan penambahan
lobus inti menjadi kelipatannya. Kemudian sitoplasma menjadi granular dan trombosit
dilepaskan dalam bentuk platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi
trombosit adalah trombopoietin yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-
MPL serta suatu reseptor lain, yaitu interleukin-11 (A.V Hoffbrand et al, 2005).
Trombosit berperan penting dalam hemostasis, penghentian perdarahan dari cedera
pembuluh darah (Guyton,1997; Sherwood,2001).
2. Struktur Trombosit

Trombosit memiliki zona luar yang jernih dan zona dalam yang berisi organel-
organel sitoplasmik. Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang digunakan
untuk reaksi adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan sumbat hemostasis.
Membran plasma dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami invaginasi membentuk
sistem kanalikuler. Membran plasma ini memberikan permukaan reaktif luas sehingga
protein koagulasi dapat diabsorpsi secara selektif. Area submembran, suatu
mikrofilamen pembentuk sistem skeleton, yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur
dan berubah bentuk. Sitoplasma mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa,
granula a, lisosome yang berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi granula
disekresikan melalui sistem kanalikuler. Energi yang diperoleh trombosit untuk
kelangsungan hidupnya berasal dari fosforilasi oksidatif (dalam mitokondria) dan
glikolisis anaerob (Aster,2007; A.V Hoffbrand et al, 2005; Candrasoma,2005).

3. Fungsi Trombosit

Trombosit memiliki banyak fungsi, khususnya dalam mekanisme hemostasis.


Berikut fungsi dari trombosit (A.V Hoffbrand et al, 2005):
Mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh darah kecil dengan cara adhesi,
sekresi, agregasi, dan fusi (hemostasis).
Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan jaringan.
Berperan dalam respon inflamasi.
Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut : Adanya
pembuluh darah yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel endotelnya
rusak dan terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh
darah yang mengalami trauma akan mengerut (vasokontriksi). Kemudian trombosit
melekat pada jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan faktor von
Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX (proses adhesi). Setelah itu terjadilah
pelepasan isi granula trombosit mencakup ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin,
fibrinogen, lisosom (degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat satu sama
lain atas bantuan ADP dan tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan
pembentukan kompleks protein pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini
terbentuklah hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan ini akan dilisiskan
jika jaringan yang rusak telah mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru.
(Candrasoma,2005; Guyton,1997; A.V Hoffbrand et al, 2005).
GANGGUAN PERDARAHAN
Ganguan pada setiap mekanisme hemostasis dapat menimbulkan perdarahan
abnormal atau trombosis abnormal (tabel 1). Terlepas dari mekanismenya, apapun
penyebabnya, manifestasi klinis gangguan perdarahan yang ditunjukkan hampir sama
adalah hampir sama (tabel 2). Oleh karena itu, uji laboratorium umumnya diperlukan
untuk mendapatkan diagnosis klinis yang sesuai setelah itu dipilih terapi yang sesuai
(Candrasoma,2005).
Tabel 1 : Gangguan perdarahan; Penyebab utama
No
Penyebab Utama
Gangguan Perdarahan
1.
Cacat Vaskular
a. Purpura sederhana dan senilis(peningkatan fragilitas kapiler, khususnya pada usia
lanjut)
b. Vaskulitis hipersensitivitas, banyak gangguan autoimun (peradangan)
c. Kekurangan vitamin C (skorbut, kolagen defektif)
d. Amiloidisis (pembuluh yang gagal berkontriksi)
e. Adenokortikosteroid berlebih (terapeutik atau penyakit Cushing)
f. Telanglektasia hemoragik herediter (sindrom osler-weber-rendut)
g. Penyakit Ehlers-dahlons (kolagen defektif)
h. Purpura Henoch-schonlein
i. Sindrom marfan (elastin defektif)
2.
Gangguan Trombosit
a. Menurun (trombositopenia)
b. Fungsi trombosit abnormal
3.
Gangguan Koagulasi
a. Defesiensi faktor koagulasi
b. Keberadaan faktor antikoagulan
4.
Fibrinolisis Berlebihan
a. Koagulasi intravaskular diseminata
b. Fibrinolisis primer

Tabel 2 : Manifestasi klinis umum gangguan perdarahan


Perdarahan ke dalam kulit
a. Petekie : perdarahan fokal berukuran sebesar pentul
b. Purpura : multipel, berbentuk tidak beraturan atau lesi ungu oval (2-5 mm atau
lebih besar)
c. Ekimosis (memar) : purpura konfluen; semuanya menunjukkan perubahan warna
berurutan-merah, ungu, coklat-ketika eritrosit yang terekstavasasi terurai dalam
jaringan.
d. Hematom : ekimosis meliputi daerah yang luas.
Perdarahan berlebihan atau memanjang
Pasca trauma, sering trauma minimal : pasca bedah (misalnya, pencabutan gigi),
perdarahan spontan(tanpa riwayat trauma) ke dalam otot rangka, sendi, dan otak.
Perdarahan dari permukaan mukosa
Epistaksis, perdarahan pada gusi, hemoptisis, hematuria, dan melena.
Perdarahan dari berbagai lokasi

PURPURA TROMBOSITOPENI IDIOPATIK


1. Batasan
Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) atau purpura trombositopeni autoimun adalah
sindrom yang ditandai dengan trombositopenia akibat dekstruksi trombosit yang
meningkat sebab proses imunologik (RS dr. Soetomo,2008).
2. Etiologi
Etiologi Purpura Trombositopeni Idiopatik (PTI) adalah adanya autoantibodi terhadap
trombosit. Autoantibodi ini adalah platelet associated immunoglobulin G (PAIgG)
yang disintesis di limpa. PTI dapat merupakan menifestasi awal suatu penyakit
misalnya SLE, leukemia, dan limfoma (RS dr. Soetomo,2008). Riwayat penyakit
purpura trombositopeni idiopatik atau autoimun ini terbagi dalam 2 bentuk yaitu akut
dan kronis (Supandiman,1997).
3. Gejala klinis
Gejala utama adalah petekie dan perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau
perdarahan di tempat lain. Bentuk Akut gejala perdarahan selaput lendir disertai
petekie berjalan singkat. Bentuk kronis gejalanya berupa petekie diekstremitas bawah,
jarang ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita menorhagia satu-satunya
gejala penyakit ini. Hendaknya disingkirkan trombositopenia sekunder/akibat obat
(aspirin, barbiturat, kina, laksansia), infeksi, anemia aplastik (Supandiman,1997).
4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menyingkirkan faktor-faktor sekunder yang dapat
mengakibatkan trombositopenia kriteria Difino (1998), yaitu :
Perdarahan/ purpura/ purpura lebih pada satu lokasi.
Tidak ada perbesaran limpa.
Trombositopenia kurang dari 150.000/uL.
Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat, eritropoesis, dan
mielopoesis normal.
Antiplatelet antibodi dapat positif.
Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat, sepsis,
koagulasi intravaskuler doseminata, SLE, leukemia, trombositopeni pasca transfusi.
Pada 75 % penderita terdapat peningkatan titer palsu yang terjadi karena antibodi
nonspesifik misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik autoimun. Negatif
palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi sangat rendah karena
antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik imunoflueresen : paling sensitif 92%,
tetapi kurang spesifik 30%. Kadar antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat
penyakit, hanya membantu diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah
trombosit sangat berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai dasar
diagnosis (RS dr. Soetomo,2008).
a. Anamnesis
1) Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan
kimia.
2) Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan.
3) Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.
4) Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status kehamilan, riwayat
transfusi, riwayat keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan, dan kelainan
autoimun).
5) Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan (kelainan gastrointestinal,
sistem saraf pusat, dan urologi).
6) Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik.
b. Pemeriksaan fisik
1) Perdarahan (lokasi, dan beratnya).
2) Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati kronis.
3) Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)
4) Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
c. Pemeriksaan penunjang
1) Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya, morfologi darah
tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar.
2) Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella).
3) Pemeriksaan ACA, Coom’s test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA.
4) Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang memanjang dan
komplikasi.
5) Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat.
6) Pemeriksan autoantibodi trombosit.
Diagnosis banding
Dengan trombositopenia sekunder misal pada hipersplenisme, dan kelainan infiltrasi
sumsum tulang oleh penyakit tertentu dapat diselesaikan dengan pemeriksaan
sumsum tulang. Waktu perdarahan memanjang pada kelainan vaskuler, seperti
purpura nontrombositopenia. Tes konsumsi protrombin abnormal dapat ditemui pada
penyakit defisiensi faktor pembekuan (faktor IX, faktorVIII/vWF dan lain-lain),
(Supandiman,1997).
Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding
dengan trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi. Endokarditis
bakteria subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI, tetapi endokarditis
ada febris dan kelainan jantung. Trombositopeni sekunder biasanya dilakukan atas
dasar kelainan fisik tidak ditemukan pada PTI hepatosplenomegali. Limfadenopati
pada leukemia (Supandiman,1997).
Tabel 3 : Diagnosis banding adanya adanya trombositopeni
Kelainan imunologi
Kelainan non imunologi
Pemeriksaan yang bermanfaat
a. True ITP
b. Terkait obat
c. SLE
d. Terkait HIV-1
e. Purpura pasca
transfusi
a. DIC
b. Septikemia bakterial
c. TTP
d. Terkait etanol
e. Perdarahan darah masif
f. Toksemin
g. Kelainan Herediter
Pemeriksaan darah
a. ANA
b. ELP serum
c. HIV-1 antibody
d. PTT
e. APTT
f. Biakan darah
Pemeriksaan lain
BMA dan biopsi hati, limpa, dan USG atau CT scan retroperitoneal.
(RS dr. Soetomo,2008)
5. Penatalaksanaan
Pilihan awal: kortikosteroid
Yang sering digunakan prednison, dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan. Bila
diperlukan parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari selama 3
hari (RS dr. Soetomo,2008).
Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka
kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif
dosis diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar
50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan.
Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak berespon dengan prednison, prednison
jangan diberikan lagi.
Hasil terapi :
Respon lengkap : ada perbaikan klinis + trombosis tercapai ≥100.000/mm3 dan tidak
terjadi trombositopeni berulang bila dosis steroid diturunkan.
Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan
terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan jangka waktu 6
bulan.
Respon minimal : perbaikan klinis + trombosis mencapai 50.000/mm3 dan
memerluka steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu > 6
bulan
Tidak ada respon : tidak ada perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak dapat
mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal (RS dr. Soetomo,2008).
b. Splenektomi
Bila terapi steroid dianggap gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka
keberhaslan 70-100%. Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi trombosit
yang telah diliputi antibodi dan menurunkan sintesis antibodi platelet (RS dr.
Soetomo,2008).
Indikasi Spelektomi : Gagal remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan, perlu
dosis maintance steroid yang tinggi, dan adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap
steroid (RS dr. Soetomo,2008)..
c. Imunosupresi lain
Bila terjadi refrakter tehadap terapi kortikoteroid dan splenektomi, maka akan
diberikan imunosupresi lain :

Tabel 4 : Jenis-jenis imunosupresi


Imunosupresi
Dosis
Gamma globulin i.v
0,4 mg/kg i.v /hari selama 5 hari
Vincristine
2 mg i.v /minggu sebanyak 3 dosis
Danazol(preparat androgen)
200mg/ p.o 4x /hari
Cyclophospamid
2mg/.kg/hari/ p.o
Kombinasi kemoterapi

Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil perlu penelitian lebih lanjut. Bila
terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak, dan persalinan) dapat diberikan
imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi trombosit, dan splenoktomi darurat (RS dr.
Soetomo,2008).
d. Terapi suporti PTI kronis
Membatasi aktivitas yang berisiko trauma.
Hindari obat yang ganggu fungsi trombosit.
Transfusi PRC sesuai kebutuhan.
Transfusi perdarahan bila : perdarahan masif, adanya ancaman perdarahan otak/SSP,
persiapan untuk operasi besar (RS dr. Soetomo,2008).
. e. Perawatan rumah sakit untuk pasien dengan:
Perdarahan berat yang mengancam jiwa.
Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna.
Trombosit >50.000/ul asimtomatik/dengan purpura minimal tidak diterapi.
Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan
bermakna, Kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa (RS
dr. Soetomo,2008).
6. Komplikasi
Peradarahan masif: saluran cerna, otak, DIC
Anemia
Berkembang ke arah keganasan atau penyakit autoimun lain (20%)
Menjadi leukemia dan limfoma (3,8 %)
Menjadi SLE (4 %)
Kasus fatal dengan sebab kematian :
1) Perdarahan intrakranial (11%)
2) Sepsis pasca splenoktomi atau pasca terapi imunosupresif (RS dr. Soetomo,2008
g. Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi, immunocompromised (RS dr.
Soetomo,2008).
7. Prognosis
Faktor yang berpengaruh
Umur : pada orang muda prognosis lebih baik
Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan
risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan intrakranial
meningkat, semakin tinggi pada usia lanjut.
Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan
splenektomi. Menurunnya kadar antibodi menunjukkan respon terapi yang baik
a. Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau
imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008).

You might also like