You are on page 1of 31

TUGAS INDIVIDU

ASUHAN KEPERAWATN GANGGUAN SISTEM


HEMATOLOGY

“PROSEDUR TINDAKAN KHUSUS PADA GANGGUAN


HEMATOLOGY”
DOSEN: N G Susantie Makabori, S.Kep, Ns. M.Kes

Oleh

Nama : Ni Putu Dettyasari Dewi

NIM : PO.71.21.1.3.08.52

Tingkat : IIB

DAPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN JAYA PURA
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN MANOKWARI
TAHUN AKADEMIK 2009

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yaitu tentang
Prosedur Tindakan Khusus Pada Gangguan Hematology sehingga dapat berguna bagi
mahasiswa/i Program Studi DIII Keperawatan Manokwari angkatan ke-4 Tahun Akademik
2009/2010.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis ucapkan kepada Dosen mata kuliah Asuhan
Keperawatan pasa Sistem Hematology Ibu N G Susantie Makabori, S.Kep, Ns.
M.Kes yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis, sehingga makalah yang
membahas tentang “ Prosedur Tindakan Khusus Pada Gangguan Hematology” dapat
terselesaikan dengan baik.

Penulisan makalah ini membahas tentang Prosedur Umum Tindakan pad a


Gangguan hematologi. Kemudian menyertakan suatu penyakit perdarahan yang terjadi
pada otak sebagai acuanagar penulis dapat membahas tentnag tindakan khusus
penanganannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang
membangun dari pembaca, untuk menyempurnakan isi makalah ini.

Akhirnya semoga materi ini dapat bermanfaat bagi upaya peningkatan Sumber
Daya Kesehatan di Lingkungan Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat khususnya
bagi Para mahasiswa/i Program Studi D III Keperawatan Manokwari.

Manokwari, November 2009

Penulis

2
Daftar isi
Halaman

Halaman
judul......................................................................................................
1
Kata
pengantar..................................................................................................
.. 2
Daftar
isi..............................................................................................................
3

Bab I
Pendahuluan..............................................................................................
5
1.1. Latar
Belakang.....................................................................................
5
1.2. Rumusan
Masalah...............................................................................
6
1.3. Tujuan
Penulisan.................................................................................
6
1.4. Metode
Penulisan...............................................................................
7
1.5. Sistematika
Penulisan.......................................................................... 7

3
Bab II
Pembahasan..............................................................................................
. 8
2.1 Produser tindakan umum pada sistem
hemetologi..................... 8
2.1.1 Biopsi sum-sum
tulang....................................................... 8
2.1.2 Pungsi sum-sum
tulang....................................................... 9
2.1.3 Pungsi
vena......................................................................... 12
2.1.4
Flebotomi............................................................................ 12
2.2 Pendarahan Intra selebral
Nontraumatik.................................... 15
2.2.1 Pengelolahan secara
medik ............................................... 17
Penilaian dan pengelolaan
inisial.................................... 17
Pencegahan perdarahan
ulang....................................... 18
Mengurangi efek
massa.................................................. 19
Perawatan
umum........................................................... 20
Pemeriksaan
lain............................................................ 21
2.2.2 Pengelolaan secara
bedah................................................. 21
Indikasi
operasi............................................................... 21
Etiologi
perdarahan........................................................ 21

4
Lokasi dan ukuran perdarahan hipertensif....................
23
Status
klinis.................................................................... 25
Saat melakukan
operasi................................................. 25
Bab III
Penutup.................................................................................................
26
3.1 Kesimpulan.............................................................................
.. 26
3.2 Saran.......................................................................................
. 26

Daftar
pustaka.................................................................................................
27

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kelainan Perdarahan ditandai dengan kecenderungan untuk mudah mengalami
perdarahan, yang bisa terjadi akibat kelainan pada pembuluh darah maupun kelainan pada
darah. Kelainan yang terjadi bisa ditemukan pada faktor pembekuan darah< atau trombosit.
Dalam keadaan normal, darah terdapat di dalam pembuluh darah (arteri, kapiler dan
vena). Jika terjadi perdarahan, darah keluar dari pembuluh darah tersebut, baik ke dalam
maupun ke luar tubuh. Tubuh mencegah atau mengendalikan perdarahan melalui beberapa
cara.
Homeostatis adalah cara tubuh untuk mengentikan perdarahan pada pembuluh
darah yang mengalami cedera.
Hal ini melibatkan 3 proses utama:
1. Konstriksi (pengkerutan) pembuluh darah
2. Aktivitas trombosit (partikel berbentuk seperti sel yang tidak teratur, yang terdapat
di dalam darah dan ikut serta dalam proses pembekuan)
3. Aktivitas faktor-faktor pembekuan darah (protein yang terlarut dalam plasma).
Kelainan pada proses ini bisa menyebabkan perdarahan ataupun pembekuan yang
berlebihan, dan keduanya bisa berakibat fatal.

Peninggian tekanan intrakranial (TIK) tetap merupakan penyebab


kematian tertinggi pada kasus bedah saraf. Beberapa proses patologi

6
otak dapat menimbulkan pennggian TIK. Dilain fihak peninggian TIK
mempunyai konsekuensi yang buruk terhadap outcome pasien. Jadi
peninggian TIK tidak hanya menunjukkan adanya masalah, namun
sering bertanggung-jawab terhadapnya. Massa bersama edema
sekitarnya, serta hidrosefalus obstruktif yang diakibatkannya, akan
meninggikan TIK dan juga akan mendistorsikan jaringan otak.

Pada saat sutura tengkorak telah berfusi, volume intra kranial


konstan. Isi intrakranial utama adalah otak, darah, serta cairan
serebrospinal yang masing-masing tidak dapat diperas. Karenanya bila
volume salah satu berubah, akan terjadi peninggian TIK kecuali biala
terjadi reduksi yang bersamaan dan ekual dari volume lainnya. Selama
fase kompensasi, terjadi penggantian volume yang hampir ekual
sehingga sedikit saja perubahan pada TIK. Pada titik dekompensasi,
peninggian volume selanjutnya akan menyebabkan penambahan
tekanan yang makin makin besar.

Perubahan volume sendiri bersifat penjumlahan. Efek massa


patologis akan sangat membesar oleh adanya edema sekitarnya. Pada
kasus yang lebih kompleks juga karena gangguan absorbsi CSS akibat
perdarahan subarakhnoid atau perdarahan intra ventrikuler. Mungkin
juga dapat juga ditambahkan vasodilatasi akibat hilangnya autoregulasi
atau hiperkarbia.

Efek klinis tingkat peninggian tertentu TIK sangat bervariasi.


Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Karenanya untuk
mengerti hubungan antara TIK dan kegagalan otak perlu memahami
hubungan antara TIK, aliran darah otak dan metabolisme otak, serta
antara TIK dan pergeseran otak.

Peninggian TIK mempengaruhi aliran darah otak melalui


kompressi arteria serebral, peregangan serta perobekan arteria dan
vena batang otak, serta berpengaruh atas perfusi serebral. Aliran darah
otak regional berubah sesuai kebutuhan metabolisme lokal melalui
autoregulasi. Jadi aliran darah otak dipengaruhi oleh tekanan darah

7
arterial, TIK, autoregulasi, stimulasi metabolik, serta distorsi atau
kompressi pembuluh darah oleh massa intrakranial atau oleh herniasi
yang langsung merusak kapasitas autoregulasi, menyebabkan
bendungan vena atau iskemia akibat kompressi arteria.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu
1. Bagaimana prosedur tidakan pada gangguan siste,m hematology itu?
2. Penanganan apa saja yang si perlukan saat terjadi tekanan intrakranial pada otak
yang dimana dalam makalah ini penulis mengambil kasus Perdarahan Intraserebral
Nontraumatik?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan makalah ini agar Mahasiswa Akper dapat mengetahui
prosedur tindakan apa saja yang dapat dan biasanya dilakukan pada pasien dengan
gangguan Sistem Hematology.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan adalah mengambil sumber dari
buku dan internet.

1.5 Sistematika Penulisan


Untuk memudahkan pebaca dalam memahami isi makalah ini maka penulis membuat
suatu sistematika penulisan yaitu sebagai berikut
Bab I Pendahuluan, terdiri dari Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan
penulisan, Metode penulisan, dan Sitematika penulisan

Bab II Pembahasan, terdiri dari Prosedur tindakan pada gangguan sistem


Hematology dan Perdarahan intraserebral Nontraumatik.

Bab III Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PROSEDUR TINDAKAN UMUM / PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA


SISTEM HEMATOLOGI

2.1.1 Biopsi Sumsum Tulang


Biopsi sumsum tulang merupakan metode pemeriksaan sistem
hematology dengan cara mengambil sedikit jaringan yang berada pada
sum-sum tulang.
♣ TUJUAN
Tujuan dari Biopsi tulang adalah sebagai berikut:
1. Menilai selulerits sum-sum tulang
2. menentukan adanya keganasan hematology dan non hematologi
(metatastik)
3. menentukan adanya fibrosis sum-sum tulang.
♣ INDIKASI

9
Kecurigaan adanya gangguan sel darah dan menentukan stadium
keganasan non-hematology.
♣ KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi dari prosedur ini adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada kontraindikasi mutlak
2. Pada Trombositopenia berat (<20.000) pemberian tranfusi
trombosit sebelumtindakan akan lebih baik
3. Melakukan biopsi sum-sum tulang pada sternum
♣ PERSIAPAN
Persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut
Bahan dan Alat
1. Jarum biopsi
2. Perlengkapan standar minor set sederhana, yaitu: antiseptik,
alkohol 70%, kapas lidi, duk berlubang, spuit 5 cc, lidokain, sarung
tangan steril, kasa steril, plester, botol kaca dan formalin 10%.

♣ PROSEDUR TINDAKAN
Cara melakukan tindakan biopsi sum-sum tulang adalah sebagai
berikut.
1. Klien diminta untuk buang air besar/kecil sebelum tindakan
dimulai
2. Posisikan klien pada posisi tengkurap
3. Cuci tangan
4. Gunakan sarung tangan steril
5. Aseptik dan antiseptik pada daerah sekitar lokasi, yaitu krista
iliaka superior dan posterior
6. Lakukan setiap tindakan secara steril
7. Pasang duk bolong
8. Anestesi dengan lidokain 2% pada krista illiaka posterior3-6 cc
samai mencapai periostinum

10
9. Suntikan jarum biopsi dengn cara twisting morion sambil
melakukan penekanan sampai terasa menembus tulang dan
dilanjutkan sepanjang 1-2 cm
10. Melakukan gerakan empat arah (atas, bawah, kiri, dan
kanan), setelah itu angkat jarumnya
11. Luka biopsi ditutup kasa steril yang dibasahi povidone
iodine dan di tutup dengan kasa kering kemudian di plaster dan
tidak boleh dibasahi selama 3 hari
12. Rapikan klien
13. Cuci tangan
♣ KOMPLIKASI
Posedur ini dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan infeksi.

2.1.2 PUNGSI SUM-SUM TULANG


Pungsi sum-sum tulang merupakan tindakan pengambilan sedikit
cairan sum-sum tulang.
♣ TUJUAN
Tujuan dari pungsi sum-sum tulang adalah sebagai berikut
1. Penilainan terhadap simpanan zat besi
2. Mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan Bakteriovirologis
(biakan mikrobiologi)
3. Diagnosis sitomorfology/evaluasi produk pematangan sel asal
darah
♣ INDIKASI
Tindakan ini dilakukan jika terdapat indikasi sebagai berikut
1. Anemia dan Citopenia lainnya yang tidak dapat dijelaskan awal
terjadinya
2. Leukositosis atau trombosis yang tidak dapat dijelaskan
3. Dugaan leukimia atau mielopstisis
♣ KONTRAINDIKASI
Keadaan umum yang buruk
♣ PERSIAPAN
Bahan dan Alat

11
1. Bahan tindakan antiseptik
2. Povidone Iodine
3. Kapas lidi steril dan kapas steril
4. Prokain/lidokain 3% dan spuit 5 cc, spuit 20 cc, serta jarum
hipodermik 23-25 gaus.
5. Sarung tangan steril dan duk berlubang yang steril
6. Zar jarum ampirasi sum-sum tulang (14-16) yang sesuai dengan
tempat yang akan dilakukan dan spuit yang sesuai dengan jarum
aspirasi sumsum tulang
7. Botol bersih untuk koleksi aspirat sebagai gelas objek untuk
preparat
8. Antikoagulan (heparin atau EDTA)
9. Perlengkapan untuk mengatasi renjatan neurogenis dan
anavilaksis (adrenalin, atropin, sulfat, dan cauran set infus)
♣ TEMPAT ASPIRASI
Tempat yang biasa digunakan aspirasi untuk pungsi sumsum tulang
adalah sebagai berikut
1. Spina illiaka posterior superior (SIPS)
2. Krista illiaka
3. Spina illiaka anterior superior (SIAS)
4. Sternum diantara iga ke-2 dan ke-3 mid sternal atau sedikit di
kanannya (jangan lebih dari 1 cm)
5. spina dorsalis/prosesus spinosus vertebra lumbalis

♣ PROSEDUR TINDAKAN
Cara melakukan prosedur pungsi sumsum tulang adalah sebagai berikut
1. Klien diminta untuk membuang air kecil/besar sebelum tindakan
2. Periksa kelengkapan serta kelayakan bahan dan alat tindakan
3. Cuci tangan yang bersih kemudian keringkan
4. Gunakan sarung tangan steril
5. Periksa kelengkapan serta kesesuaian jarum aspirasi dan spuit
untuk aspirasi tersebut dengan sedikit antikoagulan

12
6. Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik daerah tindakan serta
prosedurterjaga aseptik
7. Tentukan titik tindakan
8. Lakukan anastesi lokal tegak lurus permukaan, mulai dari subkutis
sampai periosteal
9. Lakukan penetrasi jarum aspirasi tegak lurus dengan di putar dari
kiri ke kanan becara lembut menembus kulit hingga membentur
tulang/periosteum, kemudian perhatikan tingginya jarum
selanjutnya cabut mandrein dan pasang spuit 20 cc yang sudah
dibilas antikoagulan kemudian lakukan aspirasi perlahan tapi
mantap, cabut souit, biarkan saja jarumnya
10. Teteskan aspirat secukupnya kegelas objek, diratakan
diatas kaca objek, kemudian akan terlihat partikel-pertikel
sumsum tulang
11. Sisanya masukkan kedalam botol
12. Setelah selesai, jaru aspirasi di cabut pelan-pelan tetapi
mantap dengan cara diputar seperti ketika memasukkan tadi
13. Pada daerah perlukaan dilakukan penutupanluka dengan
kasa yang telah diberikan antiseptik.
14. Daerah perlukaan jangan dibasahi selama 3 hari dan
penutup luka dibuka setelah 3 hari
♣ KOMPLIKASI
Pneumomediastinum jika dilakukan pada sternum akan mengakibatkan
terjadinya perdarahan.

2.1.3 PUNGSI VENA


Pungsi vena merupakan uji hematokogis yang sering diakukan
pada daerah vena yang biasanya diperoleh dari vena antekubital.
Prosedur ini sama dengan mengambil spesimen darah.
♣ TUJUAN

13
Mengumpulkan darah, memasukan obat, memulai infus IV, atau
menginjeksikan bahan kontras untuk pemeriksaan sinar X dari bagian
atau sistem tubuh atau menginjeksikan substansi untuk uji nuklir.
♣ PERSIAPAN
Bahan dan Alat
1. Alkohol swab atau antiseptik
2. Jarum tangan steril sekali pakai
3. Bantal kecil atau lipatan handuk
4. Bantalan kas steril
5. Torniquet karet
6. Plester
7. Tabung darah yang ukurannya sesuai
8. Label Identifikasi lengkap
9. Permintaan laboratorium lengkap
10. Kantong plastik untuk mengirimkan spesimen
11. jarum, adapun jarum yang biasanya digunakan adalah
sebagai berikut
o Metode spuit
Jarum steril 20-21 gaus untuk dewasa, 23-25 gaus untuk
anak-anak
o Metode butterfly
o Jarum butterfly 20-21 gaus untuk dewasa. 23-25 gaus
untuk anak-anak dan lansia
o Metode vacutainer
Tabung vacutainer dengan pemegang jarum
Jarum berujung ganda steril 20-21 gaus untuk dewasa,
23-25 gaus untuk anak-anak

♣ PROSEDUR TINDAKAN
Prosedur tidakan pada klien yang akan dilakukan pungsi vena adalah
sebagai berikut

14
1. Bantu klien pada posisi terlentang atau semi fowler dengan
lengan lurus
2. Tempatkan handuk kecil dibawah lengan atas
3. Buka kemasan steril menggunakan teknik steril
4. Pilih sisi distal pada vena yang akan digunakan
5. Bila memungkinkan, tempatkan lengan klien pada posisi
dependen
6. Pasang torniquet 5-15 cm diatas tempat pungsi vena. Lingkarkan
torniquet dan kencangkan pada lengan klien, ikatkan satu sama
lain, jangan menggunakan ikatan mati.
7. Kenakan sarung tangan
8. Palpasi nadi distal dibawah torniquet, bila tidak dapat memalpasi,
lepaskan tornikuet dan berikan tekanan yang lebih ringan
9. Pilih vena yang terdilatasi dengan baik
10. Bersihkan sisi punsi vena povidone iodin kemudian alkohol
11. Gerakan dalam gerakan melingkar dari tempat tusukan kira-
kira 5 cm
12. Lepaskan penutup jarum dari spuit atau vacutainer dan
informasikan klien bahwa ia akan merasakan sakit
13. Tempatkan ibu jari atau telunjuk tangan nondominan 2,5 cm
di bawah tempat injeksi dan tarik kulit pasien ke arah Anda
14. Pegang spuit, butterfly atau vacutainer, dan jarum pada
sudut 15-30 derajat dari lengan klien dengan pangkal jarum spuit
ke atas
15. Masukan jarum kedalam vena dengan perlahan
16. Dengan menggunakan spuit, tarik gagang penghisap
(plunger) secara perlahan smbil memegang tabung spuit
17. Perhatikan aliran darah ke dalam spuit, tabung buterfly,
atau jarum vacutainer
18. Ambil jumlah yang diharapkan dari darah
19. Bila spesimen telah didapatkan, lepaskan tornikuet
20. Lepaskan jarum dari vena: tempatkan kasa 2 x 2 atau
bantalan alkohol di atas sis pungsi vena tanpa memberikan

15
tekanan. Gunakan tangan yang lain untuk menarik jarum dengan
menari ke belakang dari sis pungsi vena
21. Berika tekanan padatempat injeksi
22. Untuk darah yang di dapatkan melalui spuit, pindahkan
spesimen pada tabung, masukan jarum melalui penghenti tabung
darah dan biarkan vacum mengisi tabung. Jangan di paksakan
23. Untuk tabung darah mengandung tambahan, rotasi
kebelakang dan ke depan delapan sampai sepuluh kali dengan
perlahan
24. perhatikan sisi pungsi untuk perdarahan dan berikan plester
(bandaid)
25. Tempelkan label identifikasi lengkap pada setiap tabung,
lekatkan daftar permintaan, dan kirim ke laboratorium
♣ KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pungsi vena adalah terjadinya
infeksi.

2.1.4 FLEBOTOMI
Flebotomi merupakan suatu tindakan menurunkan volume darah
dengan cara mengeluarkannya melalui pembuluh vena secara bertahap
dan cepat.
♣ TUJUAN
Menghilangkan gejala-gejala distres.
♣ INDIKASI
Tindakan ini diindikasikan pada klien dengan masalah polisitemia vena,
eritrositosis, dan hemokromatis.
♣ KONTRAINDIKASI
Klien dengan masalah gagaljantung tidak dianjurkan untuk melakukan
prosedur ini.
♣ PERSIAPAN
Bahan dan Alat

16
1. Tensimeter dan stetoskop untuk memantau status hemodinamik
sebelum, selama, dan sesudah tindakan serta untuk membendung
aliran vena pada potongan vena
2. Tempat tidur untuk berbaring klien
3. Set donor
4. Botol (plaboof) atau kantong penampung darah dengan skala
volume
5. Set infus atau kateter vena dan cairan plasma atau dekstran
6. Perangkat standar antiseptik antar lain: pengukur (gauge) steril,
povidone iodine, alkohol, dan plaster.
♣ PROSEDUR TINDAKAN
Adapun langkah-langkah dalam melakukan indikasi ini adalah sebagai
berikut
1. Klien diminta untuk membuang air besar/kecil sebelum dilakukan
tindakan
2. Klien dalam posisi berbaring dilakukan evaluasi status
hemodinamik
3. Bila status hemodinamik stabil, klien berbaring diatas tempat tidur
4. Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lengan daerah
potongan yang dilanjutkan dengan pembendungan vena dengan
tensimeter tekana 60 mmHg
5. Kebanyakan klien dapat menerima pengeluaran darah sebanyak
tuga unit (sekitar 450-600 cc) per minggu
6. Setelah tercapai target pengobatannya, yaitu hemotokrit antara
40-45 %, maka tindakan flebotomi dikurangi.
♣ KOMPLIKASI
Komplikasi yang biasanya muncul pada tindakan ini adalah perdarahan,
hematom, dan gangguan hemodinamik.

2.2 PERDARAHAN INTRASEREBRAL NONTRAUMATIKA.

Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung


terhadap pengendalian TIK (Tekanan Intrakranial) serta mencegah
perburukan neurologist berikutnya. Tindakan medis seperti

17
hiperventilasi, diuretik osmotic dan steroid (bila perdarahan tumoral)
digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan
oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi
perdarahan yang luas meninggikan survival pada pasien dengan
koma, terutama yang bila dilakukan segera setelah onset
perdarahan.

Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan


adanya kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera
sebagai tindakan terpilih. Beratnya perdarahan inisial
menggolongkan pasien kedalam tiga kelompok:

1 Perdarahan progresif fatal. Kebanyakan pasien berada pada keadaan


medis buruk. Perubahan hebat tekanan darah mempengaruhi
kemampuan otak untuk mengatur catu darahnya, gangguan elektrolit
umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral
dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan.
Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan
dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan
gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah
medikal dengan mengontrol tekanan darah ketingkat yang tepat,
memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan
tekanan intrakranial dengan manitol, steroid (bila penyebabnya
perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang
dari 6.
2 Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
3 Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk
menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak
cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan hidup (GCS 6-
12). Tindakan medikal diatas diberikan hingga ia keluar dari keadaan
berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara
bedah.

18
Bila tanpa disertai efek massa jelas, tidak terbukti bahwa operasi
terhadap PIS kecil, terutama bila terletak superfisial pada substansi
putih subkortikal, akan memperbaiki outcome.

Dalam mempertimbangkan tindakan operasi tersangka PIS


hipertensif, angiogram penting bila dicurigai ada penyebab potensial lain
seperti aneurisma, AVM atau tumor. Sayangnya kemungkinan amiloid
tidak begitu dapat diprediksi dan bila ditemukan mungkin agak
menimbulkan kesulitan saat operasi dalam hal mengatasi perdarahan.
Sangat penting mencari kelainan perdarahan sebelum operasi dan
mengoreksinya bila mungkin.

Perdarahan primer fossa posterior mempunyai keistimewaan


dimana evakuasi dini dari hematoma pada pasien yang hidup setelah
perdarahan inisial merupakan urgensi yang sangat. Obstruksi jalur CSS
baik pada akuaduk atau ventrikel keempat menyebabkan hidrosefalus
segera yang memperburuk keadaan pada pasien yang
perdarahannya sendiri belum tentu mengancam jiwa. Perdarahan
serebeler biasanya timbul tanpa disertai kehilangan kesadaran, ataupun
defisit motorik atau sensorik. Namun nyeri kepala, pusing,
serta kesulitan berjalan, dan gerak mata abnormal sering terjadi. Karena
perburukan klinis sering terjadi sangat cepat dan tindakan evakuasi
secara bedah telah diperlihatkan sangat bermanfaat, penting sekali
menemukan kelainan klinisnya sesegera mungkin.

2.2.1 PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL

• Penilaian dan Pengelolaan Inisial

Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien


serta etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah
tindakan konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan
tindakan medikal inisial terhadap pasien adalah sama.

19
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan
awal harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu.
Pemeriksaan neurologis inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus
menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan prognosis, juga untuk
membuat rencanatindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial
harus dilakukan.

Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas,


pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk
mencegah cedera serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat
dan pengaturan tekanan darah penting baik pada pasien hipertensif
maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang
sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah
hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara
berlebihan pada pasien dengan lesi massa intrakranial dan
peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan tekanan
perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan
tekanan arah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan
sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan
hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 180 mmHg, namun
biasanya dibawah 210 mmHg, untuk mencegah meluasnya
perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal hipertensinya,
lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.

Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan


status asam-basa. Bila jalan nafas tak dapat dijamin, atau diduga
suatu lesi massa intra-kranial pada pasien koma atau obtundan,
dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang
akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek
lebih disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi
untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30mmHg, dan setelah kateter

20
Foley terpasang, diberikan mannitol 1.5 g/kg IV. Tindakan ini juga
dilakukan pada pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti
perburukan hemiparesis, anisokoria progresif, atau penurunan tingkat
kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.

Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah


lengkap, hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin
serum, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes
fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.

Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT


scan kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien
dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang
diperlukan, keunit perawatan intensif, kamar operasi atau kebangsal,
tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan,
serta etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah
pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang
tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum serta
pencegahan komplikasi.

• Pencegahan atas Perdarahan Ulang

Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien


sampai didokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko
perdarahan ulang dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang
dilakukan adalah mengontrol tekanan darah seperti dijelaskan diatas.
Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko perdarahan
ulang lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % diatas tingkat
normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup rendah
untuk menekan risiko perdarahan. Beberapa menganjurkan asam
aminokaproat, suatu agen antifibrinolitik. Namun manfaat serta
indikasinya tetap belum jelas.

Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau


perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati

21
dikoreksi. Pasien dengan kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai
dengan penyakitnya.

• Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun


bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan/atau dengan area yang
lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek
massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan
kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk
mengurangi peninggian TIK antaranya :

1 elevasi kepala hingga 30o untuk mengurangi volume vena


intracranial serta memperbaiki drainase vena;
2 mannitol intravena (mula-mula 1.5 g/kg bolus, lalu 0.5 g/kg tiap 4-6
jam untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L);
3 restriksi cairan ringan (67-75 % dari pemeliharaan) dengan
penambahan bolus cairan koloid bila perlu;
4 ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainasi CSS
untuk mempertahankan TIK kurang dari 20mmHg; dan
5 intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2
25-30 mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS,


peninggian kepala, restriksi cairan, dan mannitol biasanya memadai.
Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan
mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan
perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-
rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik
harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit
lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral
setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin
intravena atau fenilefrin.

22
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial,
pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak
sekarat (moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi
karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah
mengontrol TIK. Perdarahan intra-ventrikuler menjadi esensial karena
sering terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih
disukai pengaliran CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi
untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan TIK membantu
menilai manfaat tindakan medikal dan membantu memutuskan apakah
intervensi bedah diperlukan.

Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral


akibat PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus
anekdotal. Namun penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak
menunjukkan manfaat, disamping jelas meningkatkan komplikasi
(infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada
perdarahan parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT scan
memperlihatkan edema serebral yang berat.

• Perawatan Umum

Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan


perdarahan sub-arakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya
aneurisma nimodipin diberikan. Belum ada bukti pemberian intravena
lebih baik. Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum
pasti.

Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial


ditegakkan, kecuali bila perdarahan terbatas pada talamus atau ganglia
basal. Secara inisial disukai fenitoin. Antikonvulsan lain seperti
fenobarbital dan karbamazepin. Kejang bisa bersamaan dengan
peninggian dramatik TIK dan tekanan darah sistemik, yang dapat
menyebabkan perdarahan, karenanya harus dicegah. Selain itu

23
hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang,
potensial untuk menambah cedera otak sekunder.

Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan


PIS. Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir
berulang, terutama pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat
mannitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi memadai
adalah esensial.

Perawatan pulmoner agresif dilakukan untuk mencegah sumbatan


mukus, aspirasi, dan pneumonia. Stoking kompresi pneumatik dan
tabung anti embolik dipasang untuk mencegah trombosis vena dalam.
Terapi fisik dimulai dini, memperbaiki jangkauan gerak. Bidai
pergelangan tangan dan kaki dipasang untuk mencegah kontraktur
fleksi.

• Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan dengan pencitraan lain dilakukan bila etiologi


perdarahan tidak jelas. Bisa berupa sidik MRI berulang dengan atau
tanpa gadolinium IV dan/atau angiogram serebral. CT scan kepala
ulang dilakukan paling tidak sekali perminggu selama beberapa
minggu sejak perdarahan guna menaksir resolusi hematoma dan juga
memeriksa terjadinya hidrosefalus komunikating, terutama pada kasus
perdarahan intraventrikuler. Hidrosefalus tunda mungkin bertanggung-
jawab atas tidak adanya perbaikan klinis atau perburukan pasien. CT
scan harus lebih sering bila pasien menunjukkan tanda perdarahan
ulang / perburukan neurologis.

2.2.2 PENGELOLAAN SECARA BEDAH

• Indikasi Operasi

Indikasi tindakan bedah terhadap pasien PIS tergantung pada


etiologi, lokasi dan ukuran perdarahan, serta status klinis pasien.

24
Evakuasi stereotaktik atau pembedahan secara neuroendoskopi
dilakukan pada perdarahan intraparenkhimal PIS yang terletak dalam
dan sulit dijangkau.

• Etiologi Perdarahan

Tindakan bedah pada PIS hipertensif biasanya dilakukan bila lesi


berukuran lebih dari 3 cm dengan GCS antara 6-12, kecuali pada
keadaan tertentu perdarahan yang lebih kecil seperti perdarahan
serebeler dan kadang-kadang perdarahan lober atau putaminal
dengan perburukan neurologis progresif, operasi segera dilakukan.
Perdarahan talamus ditindak secara bedah bila perdarahan keventrikel
dengan melakukan ventrikulostomi. Perdarahan batang otak saat ini
masih dirawat konseravatif, namun sedang diteliti manfaat operasi
secara endoskopi untuk perdarahan dilokasi tertentu.

Tindakan bedah atas PIS spontan karena angiopati amiloid harus


dicegah. Operasi akan mengakibatkan perdarahan selama dan sesudah
bedah. Dianjurkan bahwa tindakan terhadap perdarahan masif serebral
akibat angiopati amiloid yang khas pada tampilan CT scan dibatasi pada
tindakan suportif.

Malformasi arteriovenosa yang berdarah pada kasus dengan


peninggian TIK atau ancaman kompresi batang otak oleh hematoma
yang mengancam jiwa atau GCS menurun hingga 12 atau kurang harus
segera dilakukan operasi pengangkatan hematoma. Bila hal tsb. tidak
terjadi, karena risiko perdarahan ulang rendah, disukai untuk
menunggu paling tidak satu minggu sebelum melakukan tindakan
bedah terhadap AVM nya. Ini memberi waktu agar edema serebral
berkurang dan pasien membaik, serta memungkinkan melakukan
angiografi dengan lebih sedikit distorsi oleh efek massa hingga rencana
operasi lebih tepat. Pendekatan endovaskuler atau operasi terbuka
dilakukan secara sendiri-sendiri ataupun kombinasi.

25
Waktu operasi atas aneurisma serebral yang ruptur tidak
ditentukan oleh PIS yang terjadi kecuali pasien memburuk karena efek
massa. Bila diperlukan evakuasi hematoma, harus dilakukan tindakan
atas aneurismanya pada saat operasi yang sama.

PIS spontan pada tumor otak mengharuskan eksplorasi bedah


serta biopsi rongga hematomanya. Tidak perlu dilakukan secara gawat
darurat kecuali terjadi peninggian TIK yang mengancam jiwa atau
adanya defisit neurologis progresif. MRI prabedah harus dilakukan, dan
bila perlu angiografi.

Pengangakatan secara bedah atas PIS spontan pada pasien


dengan koagulopati tergantung kondisi klinis pasien serta
kesanggupan untuk memperbaiki kelainan perdarahannya. Pada
pasien dengan defisit neurologis progresif, kelainan koagulasi yang
dapat dikoreksi, dan lesi yang mungkin dijangkau, adalah kandidat
untuk tindakan bedah. Diatesis perdarahan yang tak dapat dikoreksi
tidak dipertimbangkan untuk operasi. Bila PIS karena terapi
antikoagulan, antikoagulan tidak boleh diberikan lagi paling tidak
seminggu sejak operasi. PIS karena suatu trombositopenia, hitung
platelet harus dipertahankan diatas 100.000/mm3 untuk seminggu pasca
bedah. Pasien dengan hemofilia atau kelainan von Willebrand, kadar
darah faktor pembekuan harus dipertahankan pada 50-100 % normal
untuk 7-10 hari pasca bedah.

Tindakan bedah pada PIS yang berkaitan dengan agen


simpatomimetik (Amfetamin, fenilpropanolamin, kokain) pada pasien
yang tanpa kelainan vaskuler adalah serupa dengan perdarahan
hipertensif. Pasien dengan ruptur aneurisma serebral atau AVM yang
diinduksi obat-obatan dipertimbangkan untuk operasi.

• Lokasi dan Ukuran Perdarahan Hipertensif

Perdarahan putaminal yang diameternya kurang dari 3 cm atau


perdarahan yang lebih besar dari 6 cm dan yang meluas ke otak

26
tengah atau yang berkaitan dengan tanda-tanda kompresi batang otak
tidak akan bermanfaat dengan evakuasi bedah, kecuali pada kelompok
terakhir ini tindakan bedah adalah penyelamat jiwa, namun
perbaikan jarang akan melebihi keadaan vegetatif atau cacad berat.

Pengelolaan pasien dengan perdarahan berdiameter 3-6 cm hasil


akhir terbaik bila operasi dilakukan didalam 6 jam sejak perdarahan,
atau apabila pasien mengalami perburukan neurologist yang cepat.
Fujitsu menyimpulkan bahwa pasien dengan perburukan neurologis
progresif yang cepat memperlihatkan manfaat fungsional atas bedah.
Pasien dengan perjalanan fulminan tidak memperlihatkan manfaat
fungsional dengan bedah. Jadi tindakan bedah dilakukan hanya pada
pasien dengan hematoma ukuran sedang (3-6 cm) dan yang
neurologis memburuk namun tanpa tanda kompresi batang otak.

Perdarahan talamik hipertensif dirawat nonbedah atau


pembedahan stereotaktik. Ventrikulostomi segera dilakukan apabila
terjadi ekstensi perdarahan keventrikuler atau adanya tanda-tanda
hidrosefalus obstruktif. Pasien dengan perdarahan berdiameter kurang
dari 1 cm jarang disertai ruptur ventrikuler dan sembuh dengan baik.
Bila perdarahan berdiameter 1-3 cm, juga membaik, namun dengan
beberapa kecacadan. Perbaikan dari perdarahan berdiameter 3 cm atau
lebih jarang terjadi. Pasien dengan perdarahan lebih dari 3.3 cm
umumnya mati. Kwak mendapatkan bahwa perdarahan berdiameter 3
cm atau lebih akan memberi hasil akhir nonfungsional. Saat ini diteliti
manfaat tindakan bedah endoskopi

Perdarahan serebeler spontan adalah kelainan yang ditindak


bedah. Ojemann dan Heros telah menegaskan keharusan tindakan
sebelum efek massa menyebabkan perubahan tingkat kesadaran dan
keadaan klinis yang tak stabil, karena perburukan neurologis oleh
kompresi batang otak sering tidak dapat diduga dan irreversibel bila
telah terjadi. Ott melaporkan angka kematian 17 % pada pasien yang
sadar atau letargi pra bedah dibanding angka kematian 75 % pada

27
pasien yang stupor atau koma prabedah. Penting diingat bahwa
evakuasi bedah pada hematoma serebeler adalah diindikasikan, bahkan
pada pasien koma dengan bukti-bukti adanya kompresi batang otak.

Little menemukan bahwa 60 % pasien perdarahan serebeler


berdiameter lebih dari 3 cm pada CT scan berada dalam koma atau
cepat menjadi koma, sedang yang berdiameter kurang dari 3 cm
adalah bangun dan sadar serta mempunyai perjalanan yang jinak,

Diindikasikan evakusi bedah pada hematoma serebeler besar


(diameter  3 cm) bahkan pada pasien yang sadar karena morbiditas
operasi adalah minimal. Lesi ini cenderung menggeser ventrikel
keempat dan sering menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau kompresi
batang otak. Lesi dengan diameter kurang dari 3 cm jarang menggeser
ventrikel keempat atau menyebabkan kompresi batang otak dan
biasanya berhasil dirawat secara medikal intensif. Evakuasi bedah
terhadap hematoma kecil (< 3 cm) tidak boleh ditunda bila ada
tanda-tanda perburukan neurologis.

Ventrikulostomi secara rutin dilakukan saat operasi dan


dimanfaatkan untuk pemantauan TIK pasca bedah. Namun bila pada
perdarahan serebeler spontan dilakukan ventrikulostomi hanya sebagai
suatu tindakan tunggal, mungkin terjadi herniasi keatas yang fatal.

Perdarahan lober etiologinya terutama non hipertensif. Namun


karena sifatnya serupa hipertensi, ditindak bila diameter 3-6 cm atau
terjadi perburukan neurologis progresif.

Hanya sedikit peran bedah pada perdarahan pontin hipertensif.


Lesi yang pada CT scan lebih dari 1 cm hampir selalu fatal, sedang
bila kurang dari 1 cm menyebabkan cacad berat pada pasien yang
hidup setelahapapun bentuk tindakannya. O'Laorie melaporkan
perbaikan pasien dengan evakuasi perdarahan pontin, namun

28
etiologinya tak diketahui. Evakuasi endoskopik diindikasikan pada
beberapa keadaan.

Perdarahan intraventrikuler yang berkaitan dengan PIS hipertensif


ditindak dengan ventrikulostomi. Ini akan jadi tindakan penyelamat
jiwa pada keadaan hidrosefalus obstruktif.

• Status Klinis

Tingkat kesadaran saat datang adalah indikator prognostik


penting pada PIS spontan. Dengan kekecualian perdarahan serebeler
hipertensif, pasien yang datang dengan koma dalam dan tanda-tanda
kompresi batang otak jarang diuntungkan oleh dekompresi bedah.
Pasien yang sadar dan bangun tidak dipertimbangkan sebagai
kandidat bedah, kecuali pada perdarahan berdiameter lebih dari 3 cm.
Pasien dengan perburukan neurologis progresif akan diuntungkan
oleh tindakan evakuasi bedah atas hematomanya. Pada perdarahan
nonhipertensif, tindakan bedah sangat tergantung etiologi perdarahan.

• Saat Melakukan Operasi

Saat intervensi bedah akan mempengaruhi hasil akhir. Beberapa


menganjurkan segera (< 24 jam) atau sangat segera (< 6 jam). Karena
indikasi untuk operasi dan pola pemikiran bervariasi, tidak ada
kesimpulan yang telah didapat tentang waktu yang ideal untuk operasi.
Umumnya disetujui, operasi segera pada pasien sadar (GCS 13-14-15)
dengan perburukan neurologis.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

29
1. Prosedur tindakan khusus pada gangguan hematologi dapat
dilakukan dengan cara Biopsi sumsum tulang, Pungsi
sumsum tulang, Pungsi vena, dan Flebotomi
2. Perdarahan intraserebral nontraumatik terjadi akibat adanya
tekanan intracranial pada otak dan penanganan medikalnya
yaitu mencegah terjadinya perdarahan ulang dan
mengurangi tekanan yang diakibatkan oleh adanya massa
di otak dan tindakan lebih lanjut yaitu dilakukan
pembedahan sesuai prosedur operasional yang harus
dilakukan dengan sangat hati-hati karena langsung
berhubungan dengan saraf.
3.2 Saran
Bagi rekan-rekan mahasiswa nanti dalam melakukan tindakan
pada pasien dengan gangguan haematology agar tetap
melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang ada untuk
mencegah kemungkinan yang tidak kita inginkan dan agar kita
juga melakukan tindakan asuhan keperawatan yang sesuai dan
secara profesional.

30
Daftar Pustaka

Handayani, wiwik dan Haribowo A S.2008. Asuhan Keperawatan pada


Klien dengan Gangguan Sitem Hematology. Jakarta : Salemba Medika.

www.angelfire.com

31

You might also like