You are on page 1of 25

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---------------------------------------------- 2

DAFTAR ISI ---------------------------------------------- 3

BAB I PENDAHULUAN ---------------------------------------------- 4

 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN - --------------------------------------------- 5

BAB III PENUTUP ---------------------------------------------- 24

 KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------- 25


BAB I
PENDAHULUAN

Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat


diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada
pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada
20 % wanita dan 8 % pria.1

Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,


karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu
tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto
polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain.

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG


maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara
dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin
canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan
pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas.

Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan


bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena
itu gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang
berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa
gejala (silent stone).

Tujuan

1. Untuk memahami definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,


gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan Asuhan
keperawatan pada Kolelitiasis.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan asuhan keperawan
3. Memenuhi salah satu tugas perkuliahan Patologi di Akademi

2
Perawatan Pemda Cianjur

BAB II
PEMBAHASAN
—-

A. Defenisi

Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah


kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung
empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur
yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu.

Gambar 1. Batu dalam kandung empedu

—-

B. Klasifikasi

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu


empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan.

1. Batu kolesterol

3
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol

2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan


mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.

3. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti


bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

—-

C. Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak


menyerang orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di
Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain
di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat
dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

—-D. Faktor Resiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah


ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena


kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon
esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung

4
untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang
lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi,
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan
dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu
pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan
penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat
keluarga.
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan
resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung
empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan
kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma,
dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama
mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

E. ANATOMI
Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear
yang terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya
menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan.
Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum
mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan
corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara
hati dan kandung empedu.

5
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.

F. FISIOLOGI SALURAN EMPEDU


Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan
untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan
permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga
permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang
membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.5
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris
komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang
ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

6
PENGOSONGAN KANDUNG EMPEDU
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran
hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian
masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi.
Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal
duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam
empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

 Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan
terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi
kandung empedu.

 Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase
Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks
intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung
empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk
sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga
pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu
akan tetap keluar walaupun sedikit.

7
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan
inti batu.

B. KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU


Komposisi Cairan Empedu

Dari Kandung
Komponen Dari Hati
Empedu

Air 97,5gm % 95gm %


Garam Empedu 1,1gm % 6gm %
Bilirubin 0,04gm % 0,3gm %
Kolesterol 0,1gm % 0,3 – 0,9gm %
Asam Lemak 0,12gm % 0,3 – 1,2gm %
Lecithin 0,04gm % 0,3gm %
Elektrolit - -

1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati
ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel
lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel
lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel
kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid,
kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja
kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen
usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk
lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen
distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka
absorbsi garam empedu akan terganggu.

8
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi
heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan
empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah
menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh
albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)
yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah
merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak.

G. PATOGENESIS BENTUKAN BATU EMPEDU


Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang
terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian
dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai berikut :
1. Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa
berupa sebagai :

 Batu Kolesterol Murni

 Batu Kombinasi

 Batu Campuran (Mixed Stone)


2. Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar
kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai :

 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calsium

 Batu pigmen murni


3. Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi :

 Batu Kolesterol

 Batu Campuran (Mixed Stone)

 Batu Pigmen.3

Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase :
a. Fase Supersaturasi

9
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu
ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin
dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 :
30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi
rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan
mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)

o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol


jaringan tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya
pada gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi
(gangguan sirkulasi enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat
efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi
kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB
pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti
batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat
atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen
berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena
perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana
kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal,
inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus
halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang
terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.

Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,


pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi

10
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung
empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa
kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa
keluar.

Batu bilirubin/Batu pigmen


Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok :
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi)
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi)

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :


a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit
Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena
konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut.
Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan
oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu
mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa
juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki
melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian
badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.

H. MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik),
ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang
disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-
kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus
dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung
empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus
dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0

11
mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri
viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus
sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa
mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama
antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah
epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak,
punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris.
Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan
gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu
antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis,
pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses
hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi
tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan
telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut.
Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan
pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui
duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga
terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan
penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu
mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan
tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di
ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke
duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan
tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran
klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis.

12
I. Patofisiologi

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di


klasifikasikanberdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu
kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengan dung > 50%
kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%
kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang
mana mengandung <20 kolesterol. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung
empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu


yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal,
asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga
solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium,
bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam
kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut
bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu.
Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan
empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu
empedu.

J. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier

13
4. Kolesistitis akut

 Empiema

 Perikolesistitis

 Perforasi

5. Kolesistitis kronis

 Hidrop kandung empedu

 Empiema kandung empedu

 Fistel kolesistoenterik

 Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya


makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung
empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu
terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap
ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus
secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila
terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat
perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga
berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus


sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat
terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

14
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna
melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu
cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna
(ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.—-

K. Diagnosis

1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah


asintomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia
yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%
kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula,


atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang
seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

2. Pemeriksaan Fisik

2.1. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan


dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan
peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

2.2. Batu saluran empedu

15
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase
tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui
bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal
ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium.
Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.

2. Pemeriksaan radiologis

o Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran


yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung
empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

16
Gambar 2. Foto rongent pada kolelitiasis.

o Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi
mempunyai
derajat
spesifisitas dan
sensitifitas
yang tinggi
untuk
mendeteksi
batu kandung
empedu dan
pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik.
Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena
terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

o Kolesistografi

17
Untuk
penderita
tertentu,
kolesistografi
dengan kontras
cukup baik
karena relatif
murah,
sederhana, dan
cukup akurat
untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada
keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.

L. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan


pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Pilihan
penatalaksanaak antara lain :

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien


denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi
pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.

2. Kolesistektomi laparaskopi

18
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan
dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih
sering selama kolesistektomi laparaskopi.

3. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah


digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya
yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan
manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara
lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.

4. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol


yang poten (metil-ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung
empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien
tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

19
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis


biaya-manfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini
hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

6. Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal


bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai
prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis.

J. Terapi

1. Ranitidin

Komposisi : Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50


mg/ml injeksi.
Indikasi : ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap
simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung ( Dalam kasus
kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik).
Perhatian : pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala
karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.

2. Buscopan (analgetik /anti nyeri)

Komposisi : Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi


Indikasi : Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih
wanita.
Kontraindikasi : Glaukoma hipertrofiprostat.

3. Buscopan Plus

Komposisi : Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg,.


Indikasi : Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik
pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.

4. NaCl

4.1. NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana
kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam
plasma tubuh.

20
4.2. NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma
tubuh.

K. Penatalaksanaan Diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh
jumlah lemak yang dimakan karena sel –sel hepatik mensintesis kolesterol dari
metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/ dibatasi dengan makanan cair
rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari
lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke
dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti : buah yang dimasak,
nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi /
teh.

J. Asuhan Keperawatan

Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy


1. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi.
2. Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis
3. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang akan
dilakukan pada post operasi.

Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy


1. Posisi semi Fowler
2. Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
3. Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri :
4. Teknik Relaksasi
5. Distraksi

J.1. Asuhan Keperawatan yang muncul

1. Nyeri akut berhubungan dengan proses biologis yang ditandai dengan


obstruksi kandung empedu

A. Tujuan :
* Nyeri akan berkurang dengan kriteria :
Tingkat kenyamanan terpenuhi : perasaan senang secara fisik
dan psikologis (Comfort Level ).
* Tingkat nyeri berkurang atau menurun (Pain Level)

B. Intervensi :

21
B.1. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif, meliputi :
lokasi, karakteristik, awitan / durasi, Frekuensi, Kualitas,
Intesitas dan keparahan nyeri.
B.2. Berikan Informasi tentang nyeri, seperti : Penyebab nyeri,
seberapa akan berlangsung dan antisipasinya serta
ketidaknyamanan dari prosedur.
B.3. Ajarkan penggunaan teknik Non-farmakologis, seperti :
Relaksasi, Distraksi, Kompres Hangat / dingin, Masase )
B.4. Mempertahankan Tirah Baring
B.5. Pemberian Analgetik

C. Rasional :
C.1. Agar kita mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan
klien
C.2. Agar klien mengetahui tenyang nyeri yang bdirasakan klien
C.3. Agar klien dapat mengalihkan rasa nyeri
C.4. Dengan tirah baring akan mengurangi nyeri tekanan pada
intra abdomen terutama posisi fowler rendah
C.5. Untuk mengurangi nyeri

2. Mual berhubungan dengan iritasi pada sistem gastrointestinal.


A. Tujuan :
A1. Status Nutrisi : Asupan makanan dan cairan dalam 24 jam
terpenuhi / adekuat
A.2. Pasien terbebas dari mual
A.3. Tingkat kenyamanan terpenuhi : Perasaan lega secara fisik
dan psikologis
B. Intervensi :
B.1. Penatalaksanaan Cairan : peningkatan keseimbangan cairan
B.2. Pemantauan Cairan : Pengumpulan dan Analisis data klien
B.3. Pemantauan Nutrisi : Pengumpulan dan Analisa data klien
B.4. Berikan therapi IV sesuai dengan anjuran

C. Rasional :

22
C.1. Untuk pencegahan komplikasi yang disebabakan oleh kadar
cairan yang tidak normal
C.2. Untuk mengatur keseimbangan cairan
C.3. Untuk mencegah atau meminimalkan malnutrisi
C.4. Untuk meminimalkan rasa mual dan membantu intake nutrisi

3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan salah dalam memahami


informasi yang ada.

A. Tujuan :
Terpenuhinya pengetahuan klien dan keluarga tentang perawatan
diri dan keluarga

B. Intervensi :
B.1. Panduan Sistem Kesehatan
B.2. Pengajaran Proses Penyakit
B.3. Pengajaran diet yang dianjurkan
B.4. Pengajaran Prosedur atau penanganan
B.5. Pengajaran aktivitas/ latihan yang harus dilakukan

C. Rasional :
C.1. Untuk memfasilitasi daerah klien dan penggunaan layanan
kesehatan yang tepat
C.2. Membantu klien dalam memahami informasi yang
berhubungan dengan proses timbulnya penyakit secara
khusus
C.3. Agar klien mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan
C.4. Agar klien memahami terhadap penanganan yang dilakukan /
dianjurkan
C.5. Agar klien mengalami aktiv itas apa yang harus dilakukan

23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

kolelitiasis adalah pembentukan batu di dalam kandung empedu.


Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu.

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikanberdasarkan


bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih
dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengan dung > 50% kolesterol) atau
batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah
batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20 kolesterol. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan
kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu..

-Saran

1. Berikan penjelasan yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan untuk
mencegah terjangkitnya penyakit kolelitiasis dan mempercepat penyembuhan.

24
2. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-
384.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.
4. Maryan Lee F, Chiang W. Cholelithiasis. Avaliable from
5. Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC,
Jakarta, 1999.

25

You might also like