Professional Documents
Culture Documents
Tujuan
Tujuan
2
Perawatan Pemda Cianjur
BAB II
PEMBAHASAN
—-
A. Defenisi
—-
B. Klasifikasi
1. Batu kolesterol
3
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol
—-
C. Epidemiologi
4
untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang
lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi,
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan
dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu
pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan
penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat
keluarga.
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan
resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung
empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan
kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma,
dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama
mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
E. ANATOMI
Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear
yang terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya
menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan.
Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum
mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan
corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara
hati dan kandung empedu.
5
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.
6
PENGOSONGAN KANDUNG EMPEDU
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran
hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian
masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi.
Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal
duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam
empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan
terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi
kandung empedu.
Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase
Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks
intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung
empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk
sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga
pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu
akan tetap keluar walaupun sedikit.
7
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan
inti batu.
Dari Kandung
Komponen Dari Hati
Empedu
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati
ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel
lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel
lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel
kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid,
kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja
kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen
usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk
lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen
distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka
absorbsi garam empedu akan terganggu.
8
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi
heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan
empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah
menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh
albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi)
yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah
merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak.
Batu Kombinasi
Batu Kolesterol
Batu Pigmen.3
Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase :
a. Fase Supersaturasi
9
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu
ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin
dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 :
30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi
rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan
mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
10
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung
empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa
kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa
keluar.
H. MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik),
ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang
disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-
kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus
dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung
empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus
dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
11
mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri
viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus
sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa
mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama
antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah
epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak,
punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris.
Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan
gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu
antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis,
pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses
hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi
tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan
telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut.
Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan
pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui
duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga
terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan
penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu
mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan
tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di
ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke
duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan
tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran
klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis.
12
I. Patofisiologi
J. Komplikasi
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
13
4. Kolesistitis akut
Empiema
Perikolesistitis
Perforasi
5. Kolesistitis kronis
Fistel kolesistoenterik
14
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna
melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu
cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna
(ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.—-
K. Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
15
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase
tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui
bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal
ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan radiologis
16
Gambar 2. Foto rongent pada kolelitiasis.
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi
mempunyai
derajat
spesifisitas dan
sensitifitas
yang tinggi
untuk
mendeteksi
batu kandung
empedu dan
pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik.
Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena
terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
o Kolesistografi
17
Untuk
penderita
tertentu,
kolesistografi
dengan kontras
cukup baik
karena relatif
murah,
sederhana, dan
cukup akurat
untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada
keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.
L. Penatalaksanaan
1. Kolesistektomi terbuka
2. Kolesistektomi laparaskopi
18
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan
dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih
sering selama kolesistektomi laparaskopi.
3. Disolusi medis
4. Disolusi kontak
19
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
6. Kolesistotomi
J. Terapi
1. Ranitidin
3. Buscopan Plus
4. NaCl
4.1. NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana
kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam
plasma tubuh.
20
4.2. NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma
tubuh.
K. Penatalaksanaan Diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh
jumlah lemak yang dimakan karena sel –sel hepatik mensintesis kolesterol dari
metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/ dibatasi dengan makanan cair
rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari
lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke
dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti : buah yang dimasak,
nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi /
teh.
J. Asuhan Keperawatan
A. Tujuan :
* Nyeri akan berkurang dengan kriteria :
Tingkat kenyamanan terpenuhi : perasaan senang secara fisik
dan psikologis (Comfort Level ).
* Tingkat nyeri berkurang atau menurun (Pain Level)
B. Intervensi :
21
B.1. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif, meliputi :
lokasi, karakteristik, awitan / durasi, Frekuensi, Kualitas,
Intesitas dan keparahan nyeri.
B.2. Berikan Informasi tentang nyeri, seperti : Penyebab nyeri,
seberapa akan berlangsung dan antisipasinya serta
ketidaknyamanan dari prosedur.
B.3. Ajarkan penggunaan teknik Non-farmakologis, seperti :
Relaksasi, Distraksi, Kompres Hangat / dingin, Masase )
B.4. Mempertahankan Tirah Baring
B.5. Pemberian Analgetik
C. Rasional :
C.1. Agar kita mengetahui seberapa parah nyeri yang dirasakan
klien
C.2. Agar klien mengetahui tenyang nyeri yang bdirasakan klien
C.3. Agar klien dapat mengalihkan rasa nyeri
C.4. Dengan tirah baring akan mengurangi nyeri tekanan pada
intra abdomen terutama posisi fowler rendah
C.5. Untuk mengurangi nyeri
C. Rasional :
22
C.1. Untuk pencegahan komplikasi yang disebabakan oleh kadar
cairan yang tidak normal
C.2. Untuk mengatur keseimbangan cairan
C.3. Untuk mencegah atau meminimalkan malnutrisi
C.4. Untuk meminimalkan rasa mual dan membantu intake nutrisi
A. Tujuan :
Terpenuhinya pengetahuan klien dan keluarga tentang perawatan
diri dan keluarga
B. Intervensi :
B.1. Panduan Sistem Kesehatan
B.2. Pengajaran Proses Penyakit
B.3. Pengajaran diet yang dianjurkan
B.4. Pengajaran Prosedur atau penanganan
B.5. Pengajaran aktivitas/ latihan yang harus dilakukan
C. Rasional :
C.1. Untuk memfasilitasi daerah klien dan penggunaan layanan
kesehatan yang tepat
C.2. Membantu klien dalam memahami informasi yang
berhubungan dengan proses timbulnya penyakit secara
khusus
C.3. Agar klien mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan
C.4. Agar klien memahami terhadap penanganan yang dilakukan /
dianjurkan
C.5. Agar klien mengalami aktiv itas apa yang harus dilakukan
23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
-Saran
1. Berikan penjelasan yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan untuk
mencegah terjangkitnya penyakit kolelitiasis dan mempercepat penyembuhan.
24
2. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-
384.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.
4. Maryan Lee F, Chiang W. Cholelithiasis. Avaliable from
5. Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC,
Jakarta, 1999.
25