Professional Documents
Culture Documents
AN
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
batuan lempung yang berongga atau retak-retak. Air rembesan ini berkumpul
antara tanah penutup dan batuan asal yang segar pada lapisan alas yang kedap air.
Tempat air rembesan ini berkumpul dapat berfungsi sebagai bidang luncur.
Meningkatnya kadar air dalam lapisan tanah atau batuan, terutama pada lereng-
lereng bukit akan mempermudah gerakan bergeser atau tanah longsor.
Seiring perkembangan zaman, aktivitas manusia semakin mengarah pada
eksploitasi alam secara berlebihan, baik diperuntukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam DAS secara sewenang-
wenang seperti penggundulan hutan, pembukaan lahan-lahan baru di
lereng-lereng bukit, tata kota yang tidak sesuai peruntukkannya, dan pemanfaatan
lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi telah menyebabkan beban
pada lereng semakin berat. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan memicu
terjadinya bencana akibat degradasi lingkungan, misalnya tanah longsor. Menurut
Dinas Pekerjaan Umum (2009), bencana diartikan sebagai suatu peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh perang, alam, perbuatan manusia, dan
penyebab lain yang dapat mengakibatkan korban dan penderitaan manusia,
kerugian, kerusakan serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat. Jadi, peristiwa longsor maupun fenomena alam lainnya
tidak selalu disebut sebagai bencana, jika tidak mengakibatkan korban jiwa atau
gangguan terhadap penduduk sekitar. Namun, saat ini keadaan tersebut sulit
berlaku di DAS-DAS hulu, termasuk di Kabupaten Karanganyar.
DAS Jlantah adalah salah satu DAS yang terletak di Kabupaten
Karanganyar. Di bagian hulu, DAS tersebut memiliki ketinggian yang berkisar
antara 500 – 1000 m dpal dengan kemiringan lereng landai – sangat curam (8 –
>45%), sehingga mengisyaratkan bahwa sebagian daerahnya adalah terjal yang
berpotensi longsor. Berdasarkan kaidah konservasi, daerah dengan kemiringan
>45% seharusnya hanya diperuntukkan menjadi kawasan lindung dimana
permukiman dan tanaman budidaya tidak diperbolehkan. Namun, kawasan
lindung dan penyangga di beberapa DAS hulu Kabupaten Karanganyar telah
berubah menjadi area penanaman sayuran dan tanaman tahunan, serta
berkembang permukiman di antara bukit-bukit terjal.
3
Longsor dalam skala kecil maupun besar, selalu terjadi dari waktu ke
waktu dan bahkan akhir-akhir ini semakin tinggi intensitasnya. Di Kabupaten
Karanganyar terdapat beberapa kecamatan yang rawan longsor, yaitu Kecamatan
Jenawi, Ngargoyoso, Tawangmangu, Jatiyoso, Matesih, dan Karangpandan.
Setiap daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan longsor yang berbeda-beda.
Hal tersebut ditentukan oleh perbedaan karakteristik lahan yang sekaligus sebagai
parameter penyebab longsor, seperti kemiringan lereng, jenis tanah, kondisi
batuan, hidrologi, iklim, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi.
Analisis tingkat bahaya longsor tanah di masing-masing DAS hulu di
Kabupaten Karangayar sangat diperlukan. Analisis tersebut dapat digunakan
untuk penyusunan informasi penanggulangan bencana yang digunakan sebagai
masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan
tataruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan
memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor
tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus
dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan
prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang
harus dilakukan pada saat bencana datang.
Desa Tlobo merupakan salah satu desa yang ada di DAS Jlantah Bagian
Hulu. Desa ini merupakan desa yang aksesbilitasnya cukup tinggi dibandingkan
dengan desa lain. Satuan lahan yang masuk desa ini cukup bervariasi sehingga
dapat dijadikan populasi dalam penelitian ini. Melalui hasil survei dan
pengamatan peta tentatif, diketahui bahwa Desa Tlobo memiliki kemiringan
lereng yang cukup kompleks dan penduduk yang relatif padat. Sebagian
permukiman penduduk menempati daerah berlereng curam yang rawan bencana
tanah longsor. Penggunaan lahan yang tidak tepat dan kurangnya pemahaman
masyarakat pada karakteristik lahan tempat mereka tinggal turut serta
memberikan pengaruh pada tingkat bahaya longsor di Desa Tlobo. Untuk itu perlu
kiranya dilakukan penelitian dan analisis tingkat bahaya longsor, yang hasilnya
dapat disosialisasikan kepada masyarakat agar lebih peduli dan tidak melakukan
eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang dapat membahayakan diri
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa masalah yang ada di daerah
penelitian. Masalah tersebut antara lain:
1. DAS Jlantah Bagian Hulu memiliki kemiringan lereng terjal
sehingga berpotensi terjadinya longsor.
2. Pemanfaatan lahan yang kurang tepat pada suata lahan, seperti
penanaman vegetasi sayur di kemiringan terjal, pembukaan lahan untuk
permukiman di antara bukit-bukit terjal dapat mempercepat terjadinya
longsor di kawasan tersebut.
3. Heterogenitas karakteristik lahan seperti kemiringan lereng, jenis
tanah, kondisi batuan, hidrologi, iklim, dan penggunaan lahan akan
mempengaruhi perbedaan tingkat bahaya longsor di setiap daerah.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah ”Bagaimana Tingkat Bahaya Longsor (TBL) Sebagian Desa
Tlobo di DAS Jlantah Bagian Hulu?”
D. Tujuan Penelitian
Beradasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) Sebagian Desa Tlobo di
DAS Jlantah Bagian Hulu.
5
E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang
geomorfologi serta bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau arahan
bagi pemerintah daerah setempat dalam usahanya untuk memanfaatkan
dan melestarikan sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian Hulu.
b. Dapat digunakan untuk sosialisasi adanya potensi
terjadinya longsoran sehingga segenap masyarakat dapat mengenali
tipologi lereng yang rawan tanah longsor, gejala awal lereng akan
bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan.
c. Sebagai bahan acuan masyarakat dalam ikut serta
meningkatkan kelestarian sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian
Hulu.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tanah dan Lahan
“Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar
permukaan planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan
memiliki sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak
terhadap bahan induk terhadap relief tertentu selama jangka waktu tertentu
pula” (Darmawijaya, 1990:9).
6
7
kadar Ca yang dikandung bahan induk dan jenis mineral yang menyusun
batuan (Darmawijaya, 1990:87).
d. Topografi (t)
Pada tanah datar kecepatan pengaliran air lebih kecil daripada tanah
berombak (undulating). Topografi miring mempergiat proses erosi,
sehingga membatasi dalamnya solum (Darmawijaya, 1990:98).
e. Waktu (w)
Lamanya bahan induk mengalami pelapukan dan perkembangan tanah
memainkan peranan dalam menentukan jenis tanah yang terbentuk.
Tanah terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu (Darmawijaya, 1990:156)
a. Tubuh tanah (solum), lapisan tanah mineral
dari atas sampai sedikit di bawah batas horizon C
b. Tanah atasan (topsoil), lapisan tanah yang
subur biasanya mengandung bahan organik (horizon Ap, A1 atau horizon
A seluruhnya)
c. Tanah permukaan (surface soil), lapisan tanah
permukaan setebal 12 – 20 cm (5 – 8 inches) yang biasanya terpindahkan
saat penggarapan tanah.
d. Tanah bawah permukaan (subsurface soil),
horizon A yang terdapat di bawah surface soil
e. Tanah bawahan (subsoil), horizon B bagi
tanah-tanah yang profilnya jelas.
f. Lapisan bawah tanah (substratum), tiap
lapisan dibawah solum baik horizon C atau R
Lahan merupakan bagian dari bentangalam (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan
bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, dalam Djaenudin
dkk, 2003:3).
Menurut FAO dalam Asdak (1989 :207), lahan didefinisikan sebagai
berikut:
9
“Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah,
air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada
pengaruhnya terhadap perubahan penggunaan lahan. Termasuk di
dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti
hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dan juga hasil yang merugikan
seperti tanah yang tersalinasi. Dalam hal ini lahan juga mengandung
pengertian ruang atau tempat.”
Dalam identifikasi morfologi lahan yang perlu diamati adalah sebagai
berikut : (Darmawijaya, 1990:184)
a. Relief
Relief digunakan untuk menunjukkan secara sederhana perbedaan elevasi
(tinggi tempat) suatu bidang lahan
b. Miring tanah atau lereng (slope)
Miring tanah biasanya diukur dengan alat penyipat datar antara lain abney
level, kompas geologi dan klinometer yang dinyatakan dengan derajat atau
persen
c. Drainase
Drainase tanah adalah kecepatan perpindahan air dari suatu bidang lahan,
baik berupa run-off maupun peresapan air kedalam tanah (Darmawijaya,
1990:187)
d. Vegetasi
Pengamatan vegetasi lebih ditekankan pada penentuan perakaran dalam
profil tanah
e. Erosi
Pengikisan tanah, batuan dipermukaan bumi oleh kerja air, angin, es, dan
gravitasi. Dalam hal ini ditekankan pada air.
Karakteristik lahan adalah suatu parameter lahan yang dapat diukur atau
diestimasi, misalnya kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah dan sebagainya
(Yunianto, 1991:3). Sitorus (1995:5) mendefinisikan karakteristik lahan sebagai
suatu proses yang meliputi penentuan ciri lahan (land properties) yang ada
hubungannya dan dapat diukur atau dianalisis tanpa memerlukan usaha-usaha
yang besar.
10
2. Longsor
Longsoran menurut Sharpe (1938) dalam Thornbury (1969:46) adalah tipe
gerakan masa batuan yang diamati dan melibatkan masa kering bahan rombakan
bumi (earth debris). Sharpe membagi tiga gerakan yang termasuk longsoran
menjadi lima kategori, yaitu:
a. Nendatan (slump)
Nendatan adalah longsoran yang bergerak secara rotasi pada bidang
gelincir yang diakibatkan oleh berkurangnya tahanan geser pada masa
yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Ciri jenis longsoran ini adalah masa
gelinciran bergerak secara rotasi dan cenderung ke arah dalam lereng
dengan bagian atas gelinciran membentuk cekungan.
b. Gelinciran bahan rombakan (debris slide)
Gelinciran bahan rombakan merupakan tipe longsoran yang terjadi pada
zona bagian terlapuk. Pada batuan terlapuk terbentuk masa rombakan yang
berupa pecahan-pecahan (ductile) batuan yang terakumulasi pada lereng
bukit dan memiliki potensi yang besar untuk bergerak terutama pada
waktu hujan turun. Jika hujan turun akan terjadi aliran permukaan pada
11
lereng bukit maka masa rombakan tersebut akan ikut bergerak meluncur
menuruni lereng bukit sebagai gelinciran.
c. Jatuhan bahan rombakan (debris fall)
Debris fall merupakan material kasar dan halus yang saling bercampur
(mixed) yang bergerak jatuh bebas pada lereng yang vertikal akibat
pengaruh gaya gravitasi.
d. Gelinciran batuan (rock slide)
Gelinciran batuan merupakan tipe longsoran yang masa batuannya
menuruni lereng bukit akibat pengaruh dari struktur geologinya.
e. Jatuhan batu (rock fall)
Jatuhan batu prosesnya sama dengan debris fall tetapi masa yang bergerak
adalah masa batuan yang ukuran masanya lebih besar daripada masa
rombakan batuan.
Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini terdiri dari peregangan
secara geser dan peralihan sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir
yang dapat nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progresif yang berarti
bahwa keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir
melainkan merambat dari suatu titik. Masa yang bergerak menggelincir di atas
lapisan batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula. Sifat
gerakan biasanya lambat hingga amat lambat.
Longsoran berdasarkan bentuk bidang gelincirnya dapat dibagi menjadi :
(Schutcer dan Raimond, 1978:13)
a. Longsoran Rotasi (rotasional slides)
Longsoran rotasi adalah yang paling sering dijumpai oleh para
rekayasawan sipil. Longsoran jenis ini dapat terjadi pada batuan maupun
tanah. Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi dapat berupa busur
lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh diskontinuitas
oleh adanya sesar, lapisan lembek dan lain-lain.
b. Longsoran Translasi (translational slides)
Dalam longsoran translasi, longsoran bergerak sepanjang bidang gelincir
berbentuk bidang rata. Perbedaan terhadap longsoran rotasi dan translasi
12
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng
lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi
oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan
batuan.
Faktor-faktor penyebab gerakan tanah antara lain:
a. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena
meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan
menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah
besar. Hal itu mengakibatkan munculnya poripori atau rongga tanah
hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air
akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat
mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang
tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi
jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat
menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk
dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan
lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah
karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan
berfungsi mengikat tanah.
b. Lereng terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng
yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan
15
i. Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai relative tebing. Selain itu
akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi
terjal.
j. Adanya material timbunan pada tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya
dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan
pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang
berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah
yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.ikirs
k. Bekas longsoran lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadipengendapan
material gunung api pada lereng yang relatif terjal ataupada saat atau
sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri-
cirisebagai berikut:
1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuktapal
kuda
2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebalkarena
tanahnya gembur dan subur
3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai
4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah
5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas
longsoran kecil pada longsoran lama
6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan
danlongsoran kecil
17
1) Daerah hulu
Derah hulu mempunyai ciri-ciri :
a). Proses pendalaman lembah sepanjang aliran sungai
21
2) Daerah tengah
Bagian tengah DAS merupakan daerah peralihan antara bagian hulu
dengan bagian hilir dimana masih terdapat sedikit proses erosi dan mulai
terjadi pengendapan. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar.
3) Daerah hilir
Bagian hilir dicirikan dengan :
a). Merupakan daerah deposisional
b). Kerapatan drainase kecil.
c). Merupakan daerah dari kemiringan lereng landai.
d). Potensi bahan galian golongan C
e). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “U”
f). Pengaturan air sebagian besar ditentukan oleh bangunan irigasi
g). Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan) dan
mulai terbentuk delta serta meander.
Kondisi topografi suatu daerah akan mempengaruhi pola dan bentuk DAS
sebagai contoh pada daerah dengan topografi pegunungan akan menjadikan
bentuk DAS berpola radial, berbeda dengan dengan pola DAS pada daerah
topografi perbukitan karst. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai bagian hulu akan
berpengaruh pada ekosistem pada bagian hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu
merupakan daerah yang sangat penting karena mempunyai fungsi perlindungan
terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolaan yang tidak benar
terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada
22
bagian hilir. Dalam pengelolaan DAS digunakan tiga pendekatan analisis yaitu :
(Asdak,1995 : 537 )
a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah
perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan.
b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat
implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan
dan terkait.
c. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan
memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.
4. Satuan Lahan
Satuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan persamaan
karakteristiknya. Dalam penelitian ini satuan lahan berperan sebagai satuan
analisis. Satuan lahan diperoleh dengan menumpangsusunkan (overlay) Peta
Tanah, Peta Geologi, Peta Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan. Setiap satuan
lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan karakteristik lingkungan
fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data-data tersebut
meliputi jenis tanah, formasi batuan, kelerengan, kedalaman efektif, solum tanah,
singkapan batuan, banyaknya kerikil dan batuan, dinding terjal, kenampakan
erosi, banjir, struktur tanah, drainase, konservasi, jenis dan kerapatan vegetasi,
permeabilitas karakteristik kimia tanah, serta luas daerah pada setiap satuan lahan.
Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006”. Penelitian tersebut bertujuan untuk (1)
mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan
fisik, (2) mengetahui tingkat bahaya erosi, (3) mengetahui tingkat bahaya longsor,
(4) mengetahui kemampuan lahan, (5) mengetahui kesesuaian lahan, (6)
menentukan prioritas penanganan konservasi tanah, dan (7) menentukan cara
penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin.
Penelitian tersebut menggunakan metode survei yang disertai analisis data
sekunder. Populasi dalam penelitian adalah seluruh satuan lahan di DAS Samin
yang berjumlah 152 satuan. Sampel yang diamati sebanyak 45 titik dengan
menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data satuan lahan dengan
menggunakan analisi dokumentasi. Data untuk menghitung tingkat bahaya erosi,
tingkat bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, menentukan
prioritas penanganan, dan menentukan arahan konservasi diperoleh dengan
wawancara, observasi lapangan, analisis laboratorium, dan analisis dokumentasi
dengan instrumen lembar pertanyaan dan checklist. Teknik analisis data yang
digunakan adalah teknik analisis kualitatif dari faktor-faktor penyebab erosi, besar
erosi, tingkat bahaya erosi, sedangkan teknik analisis data untuk penentuan tingkat
bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, dan prioritas penanganan
dilakukan adengan teknik skoring. Untuk menentukan arahan konservasi lahan
dilakukan dengan membandingkan indeks C P dengan indeks alternatifnya
sehingga diketahui besar erosi yang melebihi erosi wajar dan lahan yang tidak
sesuai denagn kemapuannya. Analisis peta menggunakan aplikasi SIG.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) DAS Samin tersusun dari 15 jenis
tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan
lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan, (2) Tingkat Bahaya Erosi di
DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R),
Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) dengan luas secara berurutan
22163,786 ha (68,487%), 3719,420 ha (11,493%), 2330,879 ha (7,202%),
2639,904 ha (8,157%), dan 1508,143 ha (4,660%), (3) Tingkat Bahaya Longsor
dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat
(B), dan Sangat Berat (SB) yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha
24
C. Kerangka Pemikiran
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan masa tanah, batuan,
atau kombinasinya sering terjadi pada lereng-lereng dan sebenarnya merupakan
proses alami. Longsor berkaitan erat dengan kemampuan daya dukung lahan dan
besaran gangguan pada lahan. Semakin tinggi kemampuan daya dukung lahan dan
semakin kecil besaran gangguan maka tingkat bahaya longsornya semakin kecil
dan sebaliknya.
Penelitian ini menggunakan satuan lahan sebagai satuan analisisnya.
Satuan lahan diperoleh dari menumpangsusunkan (overlay) peta tanah, peta
geologi, peta lereng, dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan program
SIG. Peta satuan lahan tersebut digunakan dalam mengambil sampel di lapangan
yang diambil dengan teknik random sampling.
Besarnya Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dilakukan dengan memberikan
pengharkatan terhadap parameter penentu longsor. Tingkat Bahaya Longsor
kemudian diklasifikasikan berdasarkan total skor dari parameter di setiap satuan
lahan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam
diagram alur sebagai berikut:
Peta Geologi
Peta Tanah
Peta Satuan Lahan
sebagai Satuan
Analisis
26
OVERLAY
Peta Lereng
Peta Penggunaan
Lahan
SKORING
D. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan,
yaitu diperoleh dari hasil wawancara, pengukuran dan pengujian di lapangan,
sedangkan data sekunder adalah data penunjang yang diperoleh dari instansi-
instansi terkait dan dari hasil penelitian terdahulu. Adapun data yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini :
1. Data Primer
Data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Kemiringan
lereng
b. Penggunaan
lahan
c. Solum tanah
d. Tekstur tanah
28
e. Permeabilitas
f. Kedalaman
pelapukan
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan meliputi :
a. Data letak, luas, batas dan ketinggian tempat daerah
penelitian yang diperoleh dari Peta Rupabumi Indonesia lembar 1508 – 131
TAWANGMANGU dan 1508 – 132 PONCOL.
b. Data kemiringan lereng dari Peta Rupabumi Indonesia
lembar 1508 – 131 TAWANGMANGU dan 1508 – 132 PONCOL.
c. Data jenis batuan diperoleh dari Peta Geologi lembar
Ponorogo.
d. Data macam tanah diperoleh dari Peta Tanah dari
BAPPEDA Kabupaten Karanganyar.
e. Data iklim, yang meliputi curah hujan, iklim dan suhu
yang diperoleh dari Balai Sungai Surakarta.
f. Data penggunaan lahan dari Peta Rupabumi Indonesia
lembar 1508 – 131 TAWANGMANGU dan 1508 – 132 PONCOL.
yang dikumpulkan berupa data sekunder, seperti data data jenis tanah dari Peta
Tanah dari BAPPEDA Kabupaten Karanganyar, data penggunaan lahan dari Peta
Rupabumi Indonesia, data jenis batuan dari Peta Geologi lembar Ponorogo –
Ngawi dan Surakarta – Giritontro, dan data curah hujan dari Balai Sungai
Surakarta.
0 – 25 Sangat dangkal 1
25 – 50 Dangkal 2
50 – 90 Sedang 3
90 – 120 Dalam 4
>120 Sangat dalam 5
6. Permeabilitas tanah (cm/jam)
>12,5 Cepat 1
6,25 – 12,5 Agak cepat 2
2,0 – 6,25 Sedang 3
0,5 – 2,0 Agak lambat 4
< 0,5 Sangat lambat 5
7. Tekstur tanah
Geluh - 1
Pasir - 2
geluh lempungan, geluh lempung pasiran, -
3
geluh lempung debuan
geluh debuan, debu, pasir geluhan - 4
lempung, lempung pasiran - 5
Sumber: Sunarto Goenadi, dkk (2003), Kuswaji (2006), dengan modifikasi
Tabel 3. Pengharkatan dan Pembobotan Parameter Penentu Longsor
No Jenis Parameter B K BxK Harkat Harkat x
Faktor Bobot x
Konstanta
Min Maks Min Maks
1. Penyebab Kemiringan 10 1 10 1 5 10 50
lereng
2. Pemicu Curah hujan 8 0,7 5,6 1 5 5,6 28
3. (Dinamik) Penggunaan 8 0,3 2,4 1 5 2,4 12
lahan
4. Pemicu Kedalaman 6 0,7 4,2 1 5 4,2 21
(Statis) pelapukan
5. Solum tanah 6 0,1 0,9 1 5 0,9 4,5
5
6. Permeabilitas 6 0,0 0,54 1 5 0,54 2,7
9
7. Tekstur 6 0,0 0,36 1 5 0,36 1,8
tanah 6
Jumlah 24 120
Sumber: Sunarto Goenadi, dkk (2003) dan Kuswaji (2006) dengan modifikasi
G. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan dan Pengajuan Proposal
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Jatiyoso bagian timur meliputi Desa Beruk, ke arah barat meliputi Desa
Wonorejo, Desa Tlobo dan Desa Wonosari di wilayah Kecamatan Jatiyoso.
2. Iklim
Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur
cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu
tempat atau pada suatu wilayah (Handoko, 1995:3), sedangkan cuaca adalah suhu
rata-rata udara di suatu daerah dalam waktu yang singkat dan di daerah yang
sempit. Sintesis tersebut dapat diartikan sebagai nilai statistik yang meliputi rata-
rata, maksimum, minimum, frekuensi kejadian, atau peluang kejadian dan
sebagainya. Maka iklim dapat dikatakan sebagai nilai statistik cuaca jangka
panjang di suatu tempat atau suatu wilayah.
Iklim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu radiasi matahari,
evapotranspirasi, curah hujan, temperatur, kelembaban, angin dan sebagainya.
Jumlah curah hujan merupakan faktor iklim yang berperan dalam terbentuknya air
di suatu tempat. Sebagian curah hujan yang jatuh mengalami evaporasi, sebagian
menjadi aliran permukaan dan sebagian lagi mengalami infiltrasi. Berkaitan
dengan penelitian ini hanya akan dikemukakan data temperatur dan curah hujan
yang terjadi di DAS Jlantah Bagian Hulu dan sekitarnya.
a. Temperatur
Temperatur udara rata-rata di DAS Jlantah Bagian Hulu dan sekitarnya
dihitung dengan menggunakan Rumus Braack, pendekatan ini dilakukan karena
keterbatasan data sekunder maupun data lapangan mengenai temperatur udara
yang diperoleh.
T = 26,3 ºC – 0,61 h
Keterangan :
• T = Suhu udara rata-rata (0C)
• 26,3 ºC = Temperatur rata-rata di permukaan air laut tropis.
• h = Ketinggian tempat dari permukaan air laut (dalam 100
meter).
Berdasarkan Peta RBI lokasi DAS Jlantah Bagian Hulu paling tinggi 3.150
m dpl yang merupakan Puncak Gunung Lawu dan paling rendah 100 m dpl yang
36
Tabel 5. Rerata Curah Hujan, Jumlah Hari Hujan dan Intensitas Hujan
Tahun 1995-2004
Curah Intensitas Curah
Hari Hujan
No. Stasiun Hujan Hujan
(hari / tahun)
(mm / th) (mm / hari)
1. Tawangmangu 2.786,60 137,3 20,3
2. Matesih 2.690,00 110,0 24,5
3. Jatiyoso 2.186,43 99,6 22,0
4. Jumantono 2.189,44 88,1 24,9
5. Jumapolo 2.112,70 92,0 23,0
6. Waduk Mulur 1.849,81 85,2 21,7
7. Bekonang 1.794,91 89,3 20,1
8. Trani 2.077,66 94,6 22,0
9. Lalung 1.850,87 86,6 21,4
10
Giriwondo 2.216,93 103,0 21,5
.
11 Polokarto 1.800,02 79,1 23,0
37
.
12
Jetu 1.749,83 83,8 20,9
.
13
Delingan 1.523,25 76,7 19,9
.
14
Tawangsari 1.730,78 83,2 20,8
.
15
Sukoharjo 1.796,08 85,8 20,9
.
16
Nguter 1.661,79 86,4 19,2
.
17
Ngegoh 1.933,43 96,8 20,0
.
18
Silamat 1.311,80 78,8 16,6
.
Sumber : Hasil Perhitungan Tabel Curah Hujan Tahun 1995-2004
Tipe iklim DAS Jlantah Bagian Hulu berdasarkan hasil perhitungan data
curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun dari beberapa stasiun di daerah
penelitian, didapat hasil bahwa di DAS Jlantah Bagian Hulu memiliki tipe iklim
C-D yang berarti agak basah sampai sedang. Tipe iklim C meliputi daerah
Tawangmangu dan Matesih. Tipe iklim D meliputi daerah Jatiyoso, Jumantono,
Jumapolo, Karangpandan, Karanganyar, Polokarto, Bendosari, Mojolaban, Grogol
dan Sukoharjo.
Tabel 7 . Perhitungan Tipe Iklim Menurut Schmitdt dan Ferguson Dari Tiap-
Tiap Stasiun Pengamatan
Stasiun Q = (Bln Kering / Bln Basah) x Tipe
No.
Pengamatan 100 % Iklim
39
12
11
700 %
10
300%
9
Nilai Q ( % )
8
H 167 %
7
G
6 100 %
F (6,4 ; 4,6)
5
E 60 %
4 (6,4 ; 4,6)
D
3 33,3 %
C
2
B 14,3 %
1
A
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah rata-rata bulan basah
40
3. Geologi
Geologi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi karakter suatu
daerah. Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri berdasarkan struktur geologi yang
menyusun daerah tersebut. Keadaan geologi suatu daerah secara langsung
berpengaruh terhadap keberadaan dan sifat sumberdaya air yang selanjutnya
berpengaruh terhadap sumberdaya alam. Secara garis besar keadaan geologi di
daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Geologi Regional dan Geologi
Daerah Penelitian.
a. Geologi Regional
Menurut Van Bemmelen (1968:80), wilayah DAS Jlantah secara geologi
regional masuk dalam fisiografi Zona Cekungan Solo (Solo Depresion Zone).
Zone ini menempati bagian selatan dan tengah daerah penelitian. Depresi ini
bagian utara dibatasi oleh Pegunungan Kendeng dan bagian selatan dibatasi oleh
Pegunungan Selatan. Depresi ini di daerah penelitian telah terisi oleh endapan
41
vulkanik Gunung Lawu, sehingga secara umum daerah ini mempunyai ketebalan
tanah yang dalam dan subur.
Diantara Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Selatan di Jawa Timur
yang terjadi zone depresi, terbentuk percabangan di Jawa Tengah menjadi zone
Serayu dan Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah yang berdampingan dengan
Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan. Di lembah Progo dekat Yogyakarta kedua
cabang tersebut bertemu membentuk Zone Solo yang lebar di Jawa Timur.
Depresi yang memanjang di Jawa Timur ini sebagian terisi dan tertutup oleh
sederetan gunungapi muda dan dapat dibagi lagi menjadi tiga jalur yang sejajar
Subzone Ngawi, Zone Solo (Solo Zone Sensu Stricto) dan Subzone Blitar.
Zone Solo (Sensu Stricto) dibentuk oleh sederetan besar vulkan Kuarter
dengan dataran antar pegunungan dimana daerah penelitian berada pada
Gunungapi Lawu.
Andjasmoro 2.282 m
Wedrang 3.156 m
Arjuna 3.339 m
Dataran Malang 445 m
Sumber : Van Bemmelen, 1968:80-81
struktur geologis pada material batuan dalam ruang dan waktu dalam urutan
tertentu.
Bentuklahan (landform) adalah bentukan pada permukaan bumi sebagai
hasil dari perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologis
yang beroperasi di permukaan bumi (Sunardi, 1985:9). Informasi geomorfologis
memuat tentang morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoaransemen.
Dalam penelitian ini akan dijelaskan kondisi geomorfologi yang meliputi
morfologi dan proses geomorfologi untuk mengetahui asal pembentukannya dan
sebagai informasi bagaimana lahan di daerah penelitian terbentuk.
Menurut Pannekoek (1989:2) secara umum Pulau jawa terbagi atas tiga
zone:
a. Zone Selatan: kurang lebih berupa plato, berlereng (miring) kearah
selatan menuju Laut Hindia dan di sebelah utara berbentuk tebing patahan.
Kadang-kadang zona ini begitu terkikis–kikis sehingga kehilangan bentuk
platonya. Di Jawa Tengah sebagian dari zone ini telah diganti (ditempati) oleh
dataran aluvial.
b. Zona Tengah: merupakan zone depresi. Di tempat-tempat tersebut
muncul kelompok gunung berapi besar. Proses geomorfologi yang terjadi
adalah vulkanisme.
c. Zona Utara: terdiri dari rangkaian gunung lipatan berupa bukit
rendah atau pegunungan dan diselingi oleh beberapa gunung-gunung api dan
biasa berbatasan dengan dataran aluvial.
DAS Jlantah Bagian Hulu merupakan bagian dari Zone Tengah yang
merupakan jalur vulkan dan depresi yang diisi oleh material vulkan. Hal ini lebih
lanjut dijelaskan dengan teori tektonik lempeng, bahwa akibat gerakan lempeng
Eurasia yang menumbuk lempeng Pasifik yang terdiri dari Kepulauan Indonesia
yang salah satunya adalah Pulau Jawa, maka menghasilkan deretan gunungapi di
bagian tengah pulau tersebut.
Bentuklahan yang ada di DAS Jlantah Bagian Hulu sangat menentukan
proses geomorfologi yang terjadi. Pada bentuklahan lereng atas vulkanbukit
terdenudasi dan bukit gamping terisolasi proses geomorfologi yang terjadi adalah
44
erosi dan longsor lahan. Proses erosi yang terjadi disamping dipengaruhi oleh
kemiringan lereng juga disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan fungsi kawasannya. Misalnya yang terjadi di lereng atas dan tengah
Gunungapi Lawu di wilayah Kecamatan Tawangmangu yaitu pada lahan yang
mempunyai kemiringan > 30 % digunakan untuk tanaman semusim (sayuran).
Disamping itu erosi juga diperbesar oleh adanya penebangan hutan di kawasan
lindung.
5. Tanah
Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri atas
komponen-komponen padat, cair dan gas dan mempunyai sifat serta perilaku yang
dinamik, yang terbentuk sebagai hasil kerja interaksi antara iklim, jasad hidup,
terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan
waktu. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa faktor-
faktor pembentuk tanah terdiri dari: iklim, bahan induk, relief, organisme dan
waktu. Dalam mempengaruhi pembentukan dan perkembangan tanah, faktor-
faktor tersebut tidak mempunyai intensitas yang sama, sehingga berakibat bahwa
pada setiap tempat di permukaan bumi mempunyai sifat dan karakteristik tanah
yang tidak homogen atau sama. Dari perbedaan tersebut dimungkinkan terjadi
perbedaan penamaan dalam setiap kategorinya. Disamping itu lahan pada
berbagai tempat dimungkinkan pula mempunyai perbedaan dalam kemampuan
dan kesesuaian tanah dalam kaitannya dengan penggunaannya.
Pembentukan tanah di DAS Jlantah Bagian Hulu sangat dipengaruhi oleh
bahan induk dan relief. Menurut klasifikasi tanah Departemen Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Tahun 1979, di DAS Jlantah Bagian
Hulu terdapat 2 (dua) satuan macam tanah, yaitu:
a. Komplek Andosol Coklat, Andosol Coklat Kekuningan dan
Litosol
Macam tanah ini menempati proporsi paling luas di DAS Jlantah Bagian Hulu
yaitu 144,66 Ha. Tanah Andosol merupakan tanah yang sangat porous,
mengandung bahan organik dan lempung. Sedangkan Tanah Litosol tergolong
ke dalam tanpa diferensiasi horison. Tanah Litosol merupakan tanah yang
45
dianggap paling muda sehingga bahan induknya seringkali dangkal (<45 cm)
atau tampak tanah sebagai batuan yang kompak dan padu. Tanah ini belum
mengalami perkembangan tanah sebagai akibat pengaruh iklim yang lemah,
letusan vulkan, atau topografi yang terlalu miring atau bergelombang
(Darmawijaya, 1990:287).
b. Latosol Coklat Kemerahan
Tanah latosol memiliki fraksi lempung rendah, kadar mineral rendah,
stabilitas agregat tinggi, dan berwarna coklat kemerahan. Tanah ini
mengalami pelapukan intensif dan perkembangan tanah lanjut. Di DAS
Jlantah Bagian Hulu, macam Tanah Latosol Coklat Kemerahan menempati
daerah seluas 749,974 Ha.
6. Hidrologi
Deskripsi hidrologi DAS Jlantah Bagian Hulu dapat dicerminkan melalui
kondisi air permukaan dan kondisi air tanah. Kondisi air permukaan dapat
menunjukan bagaimana perlakuan konservasi tanah pada suatu daerah, apabila air
permukaan tampak keruh menandakan bahwa konservasi belum maksimal karena
masih terjadi erosi. Penggunaan lahan berupa hutan dapat berfungsi untuk
menyimpan air hujan sebagai cadangan air di musim kemarau. Daerah hulu sungai
memiliki penggunaan lahan hutan yang dapat mengalirkan air sepanjang tahun
dipengaruhi oleh musim, lain halnya denga daerah yang mempunyai konservasi
buruk, maka saat hujan hanya sebagian kecil yang mengalami infiltrasi dan
sebagian besar yang lain akan menjadi aliran permukaan. Daerah degan
karakteristik tersebut yang menyebabkan daerah penelitian (DAS Jlantah Bagian
Hulu) rawan longsor saat musim penghujan dan kekurangan debit air saat musim
kemarau.
Kabupaten Karangayar merupakan bagian dari Cekungan Air Tanah
Surakarta yang mempunyai luas 144.300 Ha. Menurut Direktorat Geologi Tata
Lingkungan dan Kawasan Pertambangan dalam Nugraha, dkk (2006 : 29),
dijelaskan bahwa Cekungan Surakarta di bagian selatan dibatasi oleh batuan padu
berumur tersier, bagian utara dibatasi oleh Sungai Cemoro dan Batuan Tufaan dari
Formasi Notopuro, bagian timur dibatasi oleh Sungai Wotgalih dan Sungai Mider
46
yang mengalir kea rah utara, di bagian selatan dibatasi oleh Batuan Breksi dan
Batu Gamping tersier, sedangkan bagian barat dibatasi Oleh Sungai Opak.
Secara keruangan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo merupakan satu
cekungan dengan Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten dan
Kota Surakarta. Cekungan Surakarta membentang dari puncak Merapi- Merbabu
di bagian barat sampai dengan puncak Gunung Lawu di bagian timur. Sedangkan
di bagian utara mulai dari Pendem sampai Bukit Watu Kelir di bagian selatan.
Bentuk DAS Jlantah Bagian Hulu memanjang dari timur ke barat dengan
tipe aliran sungai paralel. Muara DAS Jlantah Bagian Hulu mempunyai orde
sungai 4 (empat) yang menandakan bahwa Sungai Jlantah memiliki banyak
percabangan dan berkelok membentuk sudut-sudut. Tipe Sungai Jlantah sebagai
sungai utama adalah Perenial dengan iar mengalir setiap tahun.
Hal tersebut dikarenakan keberadaan air tanah yang berada di atas rata-rata
air sungai, tetapi cabang-cabang Sungai Jlantah pada orde 1 (satu) banyak bertipe
intermitten yaitu air hanya mengalir apabila musim penghujan. Kondisi ini
menandakan bahwa keberadaan muka air tanah berada di bawah rata-rata dasar
percabangan Sungai Jlantah pada Orde 1 (satu). Sungai-sungai yang terdapat di
DAS Jlantah Bagian Hulu mempunyai bentuk lembah “V”, gambaran ini
mengindikasikan bahwa erosi secara vertikal lebih intensif dibandingkan erosi
secara horizontal. Tipe lebah sungai seperti di atas menunjukan bahwa sungai
tersebut masih berumur muda.
7. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan bentuk setiap campur tangan manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
maupun spiritual. Pembagian penggunaan lahan dibedakan menjadi 2 yaitu untuk
pertanian dan non pertanian. Pertanian meliputi: ladang (perladangan), tegalan
dan sawah, sedangkan penggunaan lahan non pertanian adalah untuk hutan,
perkebunan, permukiman (pekarangan) dan lahan kosong.
Penggunaan lahan yang terdapat di DAS Jlantah Bagian Hulu dipengaruhi
oleh kualitas dan karakteristik lahan. Disamping itu bentuk penggunaan lahan
saling berpengaruh dengan perekonomian masyarakat di DAS Jlantah Bagian
47
Hulu Bentuk penggunaan lahan yang terdapat di DAS Jlantah Bagian Hulu
meliputi: sawah, permukiman, tegalan, perkebunan, dan semak belukar. Luas
masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 . Penggunaan Lahan di DAS Jlantah Bagian Hulu
No. Bentuk Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1. Permukiman 142,716
2. Kebun/Perkebunan 965,568
3. Sawah 61,687
4. Tegalan/Ladang 526,136
5. Semak belukar 498,567
Sumber : Hasil Analisis SIG Peta Penggunaan Lahan DAS Jlantah Bagian Hulu
Kabupaten Karanganyar Tahun 2009
8. Kondisi Kependudukan
Penduduk mempunyai peranan penting dalam kegiatan pengelolaan lahan.
Jumlah dan komposisi penduduk di DAS Jlantah Bagian Hulu dapat menjadi
faktor tekanan penduduk terhadap lingkungan terutama fungsi DAS Jlantah
Bagian Hulu. Tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas kondisi kependudukan di
seluruh kawasan DAS, melainkan hanya di Desa Tlobo yang merupakan salah
satu desa di DAS Jlantah Bagian Hulu sebagai sampel dari kondisi kependudukan
di keseluruhan DAS. Komposisi penduduk di Desa Tlobo dapat disajikan dalam
table 10 berikut:
Tabel 10. Komposisi Penduduk Desa Tlobo Kecamatan Jatiyoso
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Luas Kepadatan
Desa Prempua
Laki-Laki Jumlah (Km2) (Jiwa / Km2)
n
Tlobo 49.865,
1623 1.608 3.231 7 15
Sumber: Data Monografi Desa/Kelurahan Tlobo Kecamatan Jatiyoso Kabupaten
Karanganyar Bulan Desember Tahun 2008
48
Berdasarkan tumpang susun (overlay) dari peta geologi, peta tanah, peta
lereng, dan peta penggunaan lahan, satuan lahan di daerah penelitian (Desa Tlobo)
dapat dikelompokkan menjadi 21 satuan lahan. Pemberian nama untuk masing-
masing satuan lahan adalah dengan menggunakan simbol dari setiap unsur yang
menyusun satuan lahan secara berurutan mulai dari jenis batuan, macam tanah,
kemiringan lereng dan penggunaan lahan.
(R), Sedang (S), dan Tinggi (T). Selanjutnya penjelasan dari masing-masing
Tingkat Bahaya Longsor adalah sebagai berikut:
a. Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah (SR)
Daerah dengan Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah adalah daerah
yang mempunyai potensi sangat rendah untuk terjadi gerakan massa. Pada kelas
ini sangat jarang atau hampir tidak pernah terjadi gerakan massa. Kelas ini
merupakan daerah yang bertopografi landai, dengan kemiringan lereng sebesar
14,07 %. Tanah pada daerah ini terbentuk dari pelapukan batuan dasar dari
Formasi Endapan Lahar Lawu. Tingkat Bahaya Longsor Sangat Rendah terdapat
pada satuan lahan Qlla-Lack-II-Pmk.
ukuran kecil terutama terjadi pada tebing sungai (alur sungai). Pada kelas ini
daerahnya bertopografi bergelombang sampai perbukitan dengan kemiringan
lereng 13,5 – 35,93%. Tingkat Bahaya Longsor Rendah terdapat pada satuan
lahan Qlla-Lack-II-Sw, Qlla-Lack-II-Kb, Qlla-Lack-III-Tg, Qlla-Lack-III-Kb,
Qvjb-Lack-III-Tg, Qvjb-Lack-IV-Tg, Qlla-Lack-IV-Tg.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan yang
dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Di daerah penelitian terdapat 21 satuan lahan dengan 4
Tingkat Bahaya Longsor yaitu :
a. Sangat Rendah (SR), meliputi satu satuan lahan yaitu Qlla-Lack-II-Pmk
b. Rendah (R), meliputi satuan lahan Qlla-Lack-II-Sw, Qlla-Lack-II-Kb,
Qlla-Lack-III-Tg, Qlla-Lack-III-Kb, Qvjb-Lack-III-Tg, Qvjb-Lack-IV-Tg,
Qlla-Lack-IV-Tg
c. Sedang (S), meliputi satuan lahan Qlla-Lack-III-Sw, Qlla-Lack-IV-Pmk,
Qlla-Lack-IV-Sb, Qlla-Lack-V-Sw, Qlla-Lack-V-Tg, Qlla-Lack-V-Sb,
Qlla-Lack-V-Kb, Qvjl-Lack-IV-Pmk,Qlla-Lack-IV-Sw,Qvjl-Lack-V-Pmk,
Qvjl-Lack-V-Tg
d. Tinggi (T), meliputi satuan lahan Qlla-Lack-V-Pmk, Qvjl-Lack-V-Sb
2. Dari analisis hasil skoring terhadap parameter pemicu
terjadinya longsoran menunjukkan bahwa pada curah hujan dan macam tanah
yang sama, semakin besar skor kemiringan lereng, kedalaman pelapukan
batuan, dan solum tanah menunjukkan tingkat bahaya longsor tanah yang
semakin tinggi pula. Sementara, penggunaan lahan, tekstur tanah, dan
permeabilitas dengan skor lebih besar belum tentu menyebabkan tingkat
bahaya longsor tanah yang tinggi.
B. Implikasi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau
arahan bagi pemerintah daerah setempat dalam usahanya untuk memanfaatkan
dan melestarikan sumberdaya alam di DAS Jlantah Bagian Hulu. Serta dapat
digunakan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya potensi
terjadinya longsor agar dapat mengantisipasi bahaya longsor yang mengancam,
sehingga masyarakat setempat dapat ikut serta meningkatkan kelestarian
55
C. Saran
Agar bahaya longsor dapat diminimalkan perlu adanya analisis tingkat
bahaya longsor tanah di masing-masing DAS hulu di Kabupaten Karanganya.
rAnalisis tersebut dapat digunakan untuk penyusunan informasi penanggulangan
bencana yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan
wilayah maupun penyempurnaan tataruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran
ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali
tipologi lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta
upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif
sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi
juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang.
56
DAFTAR PUSTAKA
56