You are on page 1of 16

Memperkuat “Competence Market”

Belajar menjadi Jurnalis Profesional melalui Pers Mahasiswa (?/!)♣


Copyleft © 2005 by Hasan Bachtiar

Bahkan di jaman pergerakan tempo hari, di sini maupun di Nederland,


penerbitan mahasiswa seperti sempat menjadi bentara kebangkitan
dan perjuangan nasional yang amat bermutu dan berpengaruh.
Jakob Oetama (1977)

P ara ahli studi bisnis mendefinisikan “pengelolaan sumber daya manusia (human resources
management, HRM)” sebagai “upaya pemanfaatan semua sumber daya manusia yang belum
terolah di dalam suatu organisasi, apakah itu potensi keahlian, pengetahuan,
komitmen/loyalitas, atau kompetensi”. Sekurang-kurangnya terdapat dua macam aliran utama
dalam studi dan kebijakan pengelolaan SDM dalam suatu organisasi/perusahaan. Pertama, hard
version of HRM, yaitu semua usaha untuk membuat para pekerja menyumbangkan segala apa yang
terbaik yang dimilikinya bagi perusahaannya. Kedua, soft version of HRM, yakni segenap upaya
pembinaan personalia yang selalu didasarkan pada penjagaan hak-hak pekerja. Kelihatannya, secara
sepintas, pada yang pertama tercium bau eksploitatif, sedangkan pada yang kedua mungkin
dimunculkan semangat emansipatif. Meski demikian, kedua-duanya, pada akhirnya, ingin
menciptakan suatu “sistem kerja yang bernilai tinggi” (a highly valued working system).1
Makalah ini akan mendiskusikan sejumlah alternatif strategi dalam pengelolaan sumber
daya manusia awak pers mahasiswa—selanjutnya disingkat: persma—yang, dalam salah satu teori
manajemen, disebut sebagai “competence market”. Namun, sebelum itu, dengan cara agak sedikit
memutar, akan diulas secara singkat perihal seluk-liku persma. (Sebabnya, hanya dengan mencapai
suatu tingkat kejelasan tertentu tentang isu inilah maka maksud utama makalah ini ditulis akan bisa
terpenuhi). Kesemua poin perbincangan dalam makalah ini akan sangat bergantung—dan akhirnya
juga berjangkar—pada pemaknaan terhadap persma itu sendiri. Apakah jati diri persma? Apa fungsi
dan peran yang dimainkan persma—secara “ideal” maupun “real”? Jenis manusia bagaimana
sajakah yang menghidupinya? Lantas, bagaimana itu semua berinteraksi di dalam pelbagai konteks
makro (sosial, ekonomis, politis, kultural, dll.)?

Kontestasi (Politik) Pemaknaan

J ika merefleksikan pengalaman berkecimpung dalam dunia persma selama empat tahun (1998—
2002) plus survai bibliografis, observasi singkat, dan diskusi dengan rekan-rekan yang masih
aktif di persma, dengan sedikit saja imajinasi serta tanpa perlu menerapkan kuantifikasi yang
presisi, saya berani mengajukan suatu simpulan bahwa, sekurang-kurangnya, terdapat empat cara
memaknai apa itu makhluk yang bernama persma ini. Bagi saya, ini semua menunjukkan bahwa
persma adalah suatu entitas yang multidimensional, kenyataan yang bergerak dalam dinamika tiada

Manuscript-in-progress, bahan diskusi untuk Pelatihan Jurnalistik Pers Mahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan
oleh Majalah Sektor, Lembaga Penerbitan Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, 24 Agustus
2005.

Penulis kini bekerja sebagai fellow researcher di INSIST (the Indonesian Society for Social Transformation),
Yogyakarta, redaktur Buletin Populi dan staf program IRCOS (Institute for Research and Community Development
Studies), Jakarta, serta staf Divisi Pengembangan Kapasitas di INS@N (Institut Studi dan Aksi Kemanusiaan),
Surabaya, di samping sedang menyelesaikan studi linguistik di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Gadjah Mada. Dulu, penulis pernah aktif sebagai redaktur Majalah/Jurnal Mahasiswa UGM BALAIRUNG (1998 s.d.
2002). E-mail: bachmana2004@yahoo.com.
1
Untuk ikhtisar singkat mengenai perkembangan kajian topik ini dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, lihat John Purcell,
“Human Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia)”, dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper,
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Penerjemah: Haris Munandar, dkk. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 [1996]), hlm.
463—464.

Page 1 of 16
henti—suatu proses yang belum dan barangkali tak akan pernah selesai dalam menemukan
bentuknya yang terbaik menurut zamannya. Pemerian berikut mencoba merinci secara ringkas, dan
dengan sengaja ditempuh risiko untuk sedikit melakukan simplifikasi, keempat jenis pemaknaan
terhadap persma tersebut.
KOMODITAS. Pertama, sebagian awak persma selama ini memaknai persma sebagai suatu
“komoditas”—produk dan sistem produksi. Kelompok pertama ini melihat kegiatan menerbitkan
persma sebagai proses “manajemen produksi”, yang digerakkan oleh satu jenis logika dasar dan
standar “input Æ process Æ output”. Kelompok ini menganggap bahwa orientasi akhir aktivitas
“ber-persma ria” adalah menghasilkan “barang/komoditas”, yang lantas bakal dilempar ke pasar
untuk dipertarungkan dengan komoditas-komoditas lainnya dalam suatu permainan market sharing,
segmentation and struggling. Maka, kepuasan tertinggi yang diakui kelompok ini adalah jika
produknya, yaitu persma (entah berupa majalah, tabloid, buletin, koran, situs internet, dll.) itu
“laku” di—atau bahkan mampu menguasai—pasar. Sejumlah ciri umum para proponen kelompok
ini, kira-kira, ialah selalu “mengagung-agungkan” suatu jenis etos “profesionalisme” modern-
industrial, rasionalisme-ekonomis, dan relasi interpersonal yang non-emosional, namun juga kreatif
dan inovatif—untuk selalu bekerja gigih dalam memenangkan pasar. Inilah kelompok yang
melakukan “komodifikasi” persma.
ORGANISASI. Kedua, sebagian awak persma yang lain melihat bahwa persma adalah
“organisasi” yang lazim saja, sebagaimana organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya. Orang-
orang di kubu ini memberi tekanan keseluruhan proses kolektif untuk menggerakkan, menjaga, dan
meningkatkan “sistem”, prosedur, atau mekanisme. Ukurannya ialah kualitas dan kuantitas kinerja
(work performance). Mereka menyukai disiplin fungsional, hierarki dan otoritas dalam hubungan
profesional, ketaatan pada konstitusi/aturan main, memiliki pelbagai standard operational
procedures (SOP), sehingga memaknai demokrasi secara formal-prosedural. Suatu macam
“ideologi” dianut di sini, yakni efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sumber-sumber daya
(human, material, financial dan informational resources), melalui cara-cara tertentu (strategies,
rules), demi mencapai arah final (goals, directions) yang berupa kelanggengan sistem itu sendiri.
KOMUNITAS. Ketiga, tidak sedikit pula awak persma yang menyatakan bahwa mereka
aktif di persma untuk ber-“komunitas”. Maksudnya, mereka amat butuh bersosialisasi, berteman,
menjalin percakapan yang hangat dengan peer group-nya. Yang selalu mereka cari biasanya
bersifat psikologis, antara lain diberi nama “kenyamanan proses dan kehangatan hubungan
antarpribadi”. Para penganut pandangan ini juga hobi ngobrol lama-lama, ngalor-ngidul, namun
bisa juga agak serius, terfokus-tematis, dan intelektual—dalam arti akademis maupun filosofis.
Indikator kesuksesan proses yang mereka maksud ialah “kehadiran tubuh” dalam setiap momen
percengkeramaan kolektif. Ada semacam bau kolektivisme-komunalisme tercium di sini. Inilah
kelompok yang menggemari romantisme dalam takaran yang lumayan banyak.
PERJUANGAN. Keempat, bila diperkatakan dalam konteks kekinian, abad ke-21, ketika
zaman ini sudah sangat global-neoliberal, kelompok ini adalah yang paling “herois” di antara ketiga
faksi lain tadi dalam persma. Inilah kelompok yang mengklaim bahwa aktivitas penerbitan
mahasiswa adalah suatu “perjuangan” politik, ikhtiar demokratisasi, dan transformasi sosial. Persma
mereka nyatakan memanggul tugas suci untuk mengubah sejarah, dan mereka anggap harus mampu
untuk itu. Suatu jenis idealisme merebak kuat di sini, sehingga mereka menyebut diri sebagai
“jurnalis-aktivis”, bahkan seringkali tak terhindar dari jebakan “aktivisme”—atau malahan ada yang
menjebakkan diri secara sadar. Kalau sedang berkumpul, orang-orang jenis ini cuma akan
berdiskusi secara sangat serius, tak jarang keterlaluan seriusnya, terfokus-tematis ataupun
transdisipliner, sehingga nuansa intelektual—dalam arti akademis, filosofis, dan ideologis—
mewarnai kuat. Mereka adalah orang-orang yang sangat obsesif, radikal, walau belum tentu
revolusioner.
Nah, di antara keempat macam pemaknaan terhadap persma di atas, yang selama ini
berkembang dan berbeda-beda kadarnya di masing-masing persma, sesungguhnya, bisa pula segera
dikatakan bahwa telah terjadi suatu persaingan (contestation), dan dengan sendirinya proses
pemaknaan ini berubah menjadi “politik pemaknaan”—yang satu sama lainnya saling

Page 2 of 16
memperebutkan dominasi, supremasi, atau hegemoni. Lebih jauh, persaingan ini mengarah pada
fragmentasi, perpecahan, konflik, dan bahkan permusuhan sehingga hasil akhirnya ialah kita
menyaksikan gejala involusi, berjalan atau berlari atau berputar-putar di tempat, tidak ke mana-
mana dan tidak menghasilkan apa-apa selain kepayahan itu sendiri, di mana-mana dalam tubuh
sosial persma, meretakkan bahkan memecahkannya hingga berkeping-keping. Figur 1 berikut
mencoba menggambarkan keruwetan proses ini.

Figur 1: Fragmentasi dan Involusi Persma

Komoditas

Perjuangan
PERS Organisasi
MAHASISWA

Komunitas

FRAGMENTASI INVOLUSI

Individu Ambigu, Institusi Disorientasi

A
pa yang saya paparkan di atas adalah gambaran masalah yang bersifat intersubyektif, yakni
bagaimana di dalam tubuh sosial persma terjadi tarik-ulur, persaingan, dan bentrokan
politik pemaknaan tentang apa itu persma dan mau ke mana arahnya, di antara sesama
penggiat persma. Di samping itu, masih ada jenis paradoks dan kontradiksi lainnya yang menjadi
patos idapan persma, yang satu sama lain bersifat saling mempengaruhi, sejenis interplay, dan
bahkan terus berulang sehingga yang terjadi ialah involusi belaka.
Identitas Profesional-Individual. Pertama, para penggiat persma sebenarnya menjalankan
suatu tipe “profesi” yang ambigu—dan karenanya mereka menderita semacam split personality. Di
satu sisi, awak persma merasa dirinya setara dengan jurnalis pers umum, dan di sisi lain awak
persma merasa menjadi bagian dari aktivisme mahasiswa, bergelut dan bergulat dengan kesibukan
akademis, serta masih menjalani proses pematangan diri dengan segenap kehendak masa mudanya.
Ketegangan subyektif ini memicu kerancuan identitas kelembagaan persma: antara
mengidentifikasikan diri persma sebagai bagian dari pers umum, yang kenyataannya di Indonesia
dan seluruh dunia berwatak industrial-kapitalistis, ataukah persma sebagai bagian dari gerakan
(politik) mahasiswa—antara memberi titik tekan pada kata “pers” ataukah “mahasiswa”-nya. Figur
2 di bawah ini mencoba memotret ketegangan tersebut.2

2
Saya membicarakan isu ini pertama kali dalam Hasan Bachtiar, “Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998: Menuntaskan
Romantisme Sejarah”, Makalah untuk Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa, 18—19 September 2000, di Gedung
Dewantara, Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Jakarta, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional.

Page 3 of 16
Figur 2: “Split Personality” Pers Mahasiswa

Situasi Idepolekososbudkam Global

Pers Umum ƒ Aktivisme Mahasiswa


PERS
ƒ Kesibukan Akademis
MAHASISWA
ƒ Kehendak masa Muda

Konteks dan Situasi. Kedua, para penggiat persma seringkali gamang dalam merumuskan
terlebih dahulu secara “tuntas” bagaimana zaman yang dihadapinya kini serta siasat-siasat macam
apa yang mesti diambil dalam menyikapinya. Perubahan konteks, zaman, situasi
idepoleksosbudkam dalam skala lokal, nasional, dan global bisa mempengaruhi persma, secara
langsung maupun tak langsung. Jika tidak cermat dan jeli, ditilik melalui peta proses dialektika
kebudayaan dari Ignas Kleden, persma kerap terjebak dalam situasi antitesis karena tesis lama
sudah memperoleh tantangan dan tanpa segera menemukan sintesis baru—lihat Figur 3 di bawah
ini. Situasi transisi yang kita alami di Indonesia pasca-21 Mei 1998, yaitu runtuhnya rejim Orde
Baru, dalam semua sektor, pada hemat saya, membuat persma gagap untuk menentukan jalan mana
yang hendak ditempuhnya dan terlambat melakukan reposisi.3

Figur 3: Proses Dialektika Kebudayaan4


Elemen Formasi
Tesis Æ Anti-Tesis Æ Sintesis (Æ Tesis)
♦ Sistem Nilai Integrasi Æ Dis-Integrasi Æ Re-Integrasi
♦ Sistem Pengetahuan Orientasi Æ Dis-Orientasi Æ Re-Orientasi
♦ Sistem Perilaku Sosialisasi Æ Dis-Sosialisasi Æ Re-Sosialisasi
♦ Pola Pelembagaan Interaksi Organisasi Æ Dis-Organisasi Æ Re-Organisasi

Paradigma Jurnalisme. Ketiga, para penggiat persma mengalami kebingungan dalam


merumuskan konsep jurnalisme/pemberitaan/isi medianya. Kebingungan ini adalah akibat logis dari
langgam umum para aktivis mahasiswa, yang memang gemar omong politik, mengobrolkan
Demokrasi dengan “D” kapital. Celakanya, “politik” di sini diartikan secara tradisional, yakni
proses kontestasi kekuasaan di aras negara. Hampir kesemua studi tentang persma yang pernah
dilakukan dan dipublikasikan, sebagaimana terinci dalam daftar pustaka makalah ini, membuktikan
bahwa isi/pemberitaan persma memberi porsi terbesar pada berita-berita politik yang state-centric.
Menurut Daniel Dhakidae, sifat, corak, karakter, langgam, atau ciri jurnalisme (paradigma
jurnalistik) pers mahasiswa adalah “advisory journalism” (baca: “jurnalisme menantang
kekuasaan”) dan “journal of opinion” (baca: “sarat opini ketimbang fakta”).5 Persma juga tidak

3
Untuk tinjauan soal ini yang paling mutakhir, periksa Hasan Bachtiar, “The Actor Behind the Scene: Sekelumit Cerita
Romantisme Sejarah Pers Mahasiswa”, dalam Jurnal Tradem, Edisi V/April 2003 (Yogyakarta: PMII Cabang Sleman),
khususnya soal periodisasi sejarah persma.
4
Matriks ini saya olah/sederhanakan dari Ignas Kleden, “Kebudayaan: Agenda buat Daya Cipta”, dalam Jurnal Prisma,
No. 1, Januari 1985, hlm. 80—81.
5
Dhakidae membuat riset kecil, analisis isi, terhadap Gelora Mahasiswa (UGM Yogyakarta), Derap Mahasiswa (IKIP
Yogyakarta), dan Salemba (UI Jakarta). Periksa laporannya dalam Daniel Dhakidae, “Penerbitan Kampus: Cagar Alam
Kebebasan Pers”, dalam Prisma, No. 10/Oktober 1977 (Jakarta: LP3ES). Sebenarnya, masih ada satu lagi ciri
jurnalisme pers mahasiswa yang disinyalir Dhakidae, yaitu “political-state oriented” (berorientasi politik-negara).
Simpulan ini juga paralel dengan hasil penelitian Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh
Hilang Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983), hlm. 69—100; Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa
Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974, Penerjemah: Nasir Tamara (Jakarta: Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial [LP3ES], 1985 [1984]); dan Didik Supriyanto, Perlawanan
Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal, 1998).

Page 4 of 16
banyak, sebenarnya, yang sungguh-sungguh menulis “fakta” dan peristiwa, bukan “isu”. Padahal,
inilah esensi mendasar praktik jurnalisme.
Kapasitas dan Kinerja. Keempat, harus jujur kita akui bahwa kapasitas dan kinerja real
yang dimiliki persma terlalu lemah jika dikomparasikan dengan kapasitas dan kinerja pers umum.
Individu-individu yang aktif di persma, dengan tekanan beban kuliah, sudah amat terbatas untuk
bisa meluangkan waktunya berkegiatan jurnalistik. Secara kelembagaan, rata-rata persma dikelola
dalam durasi/periode satu tahunan kepengurusan. Belum lagi soal modal finansial, jumlah orang,
dukungan sarana-prasarana yang pas-pasan, dan potensi pasar yang kian sempit. Semua itu
mempengaruhi kualitas physical outputs media mahasiswa, faktualitas dan akurasi isinya, serta
periodisitas terbitnya. Harus pula diakui secara jujur, di dalam “dunia kecil” pers mahasiswa sendiri
pun terjadi kompetisi, dan dalam skala makro pers mahasiswa juga berkompetisi dengan pers
umum. Persoalannya, mungkinkah pers mahasiswa menang dalam berkompetisi dengan pers
umum?
Secara teoretis-matematis di atas kertas, bukannya pesimistis par excellence, dengan
kesemua kelemahan yang diidap persma di atas, dan jika ditilik memakai kacamata komparatif
dengan pers umum, pers mahasiswa tak mungkin memenangkan kompetisi dengan pers umum
karena beberapa hal. Pertama, kadar faktualitas yang rendah. Kedua, jangkauan publisitas yang
sempit. Ketiga, periodisitas terbit yang inkonsisten. Keempat, taraf mutu isinya yang “melangit”.
Kelima, manajemen kelembagaan yang tak pernah mapan/“profesional”. Dan keenam, nafsu
kritisisme yang senantiasa melecehkan obyektivitas. Kesemua hal tersebut, saya simpulkan, adalah
karena pers mahasiswa hidup dalam split personality, yang membuatnya tiada pernah tuntas dalam
menjawab atau keluar dari jeratan masalah-masalah “tradisional” di dalam dirinya sendiri tersebut.
Pendek kata, sampai detik ini, saya mengamati, perdebatan tentang “moral dan/atau modal?”,
ternyata, masih mengiang-ngiang di dapur-dapur pers mahasiswa kita.
Tak heran, ada celetukan sinis merebak sejak lama: persma adalah media yang ditulis oleh
para jurnalis mahasiswa, dicetak oleh lembaga pers mahasiswa, dan dibaca oleh keluarga besar pers
mahasiswa itu saja! Dus, masihkah ada gunanya ber-“persma”-ria?

Menghimpun Serpih-Serpih Peluang

S
ebagai mantan awak persma yang juga mencintai “dunia kecil” persma, melalui makalah ini,
saya ingin urun rembug, mengajukan beberapa usul untuk, sekurang-kurangnya, mengurai
benang kusut persoalan dan patos yang diderita persma. Seolah-olah, saya merasa, persma
perlu kerja keras untuk menghimpun serpih-serpih peluang, keluar dari pelbagai perangkap
masalahnya, yang klasik maupun kontemporer.
Sinergi dan Reorientasi. Pertama, saya menawarkan suatu format strategi mendasar yang
akan mengerangkai keseluruhan pembahasan makalah ini tentang manajemen SDM persma.
Strategi itu ialah bahwa persma, dengan menimbang konteks zaman mutakhir, jika ingin melesat
maju melampaui zamannya, mesti segera menghentikan atau keluar dari lubang jerembab
fragementasi dan involusi di atas. Apa yang sebaiknya mulai dipikirkan persma ialah ikhtiar untuk
menyudahi pertarungan menciptakan sinergi dan reorientasi/reposisi, sebagaimana tampak dari
Figur 4 di bawah ini.

Page 5 of 16
Figur 4: Sinergi dan Reorientasi Persma
REORIENTASI

Komoditas

Perjuangan

Organisasi
PERSMA

Komunitas

SINERGI

Authorial Journalism atawa Jurnalisme-Makna. Kedua, secara isi (contentially), pers


mahasiswa sebaiknya benar-benar memperkuat dirinya sebagai “authorial journalism” (saya
maksudkan: “jurnalisme-projurnalis”), bukan “actual journalism” (saya maksudkan: “jurnalisme
propasar”).6 Jadi, dalam perkataan lain, model jurnalisme yang bisa dikembangkan oleh pers
mahasiswa ialah “jurnalisme-makna”,7 bukan “jurnalisme-fakta”. Ini bisa dijadikan sebagai
semacam “siasat” dalam kompetisi melawan dominasi pers umum.
Namun, apakah maksudnya “jurnalisme-makna” ini? Alih-alih cuma memberitakan fakta-
fakta yang berserakan dan secara permukaan/dangkal, sebagai sifat “jurnalisme-fakta”, sebaliknya,
“jurnalisme-makna” hendak—meminjam motto Jurnal Kebudayaan Basis—“menembus fakta”,
menyajikan informasi mendalam, makna, pelajaran, dan bahkan hikmah atas pelbagai fakta itu
dalam rangka menunaikan fungsi-fungsi pokok dan penting pers. Secara konkret, dengan
jurnalisme-fakta, wartawan hanya mendekati fakta-fakta tanpa pretensi dan misi. Sebaliknya,
dengan jurnalisme-makna, wartawan meliput, mengungkap, mengolah lebih jauh, dan
memberitakan fakta-fakta dengan kerangka teori dan preferensi/keberpihakan moral-kemanusiaan
yang jelas. Jadi, pembaca atau konsumen media akan menerima informasi yang bermanfaat,
mendidik, menghibur, dan kritis sekaligus karena sudah diseleksi oleh wartawan-wartawan yang
profesional, dedikatif, dan intelektual—namun tanpa bermaksud “menggurui”.
Lebih jauh dari itu, pada hemat saya, jurnalisme-makna bagi persma adalah semacam
“panggilan moral”. Yang saya maksudkan di sini, barangkali, ialah semacam “imbauan moral” agar
pers mahasiswa mengambil posisi dan peran untuk melakukan koreksi atas perilaku menyimpang
pers umum. Akibat didera industrialisme, pers umum telah mengingkari, atau melakukan
“penyelewengan” atas, “tugas-tugas suci dan fundamental” pers untuk: (1) menyiarkan informasi
yang benar, (2) melakukan pendidikan (penyadaran dan pemintaran), (3) menyajikan hiburan yang
sehat, dan (4) melakukan kontrol sosial—sebagai “the fourth estate” (pilar demokrasi keempat)—
kepada publik.8 Pers mahasiswa berkewajiban untuk menutupi lowong tanggung jawab sosial ini:
dalam konstelasi sosial-politik, pers seharusnya menjadi “anjing penjaga” (lihat Figur 5) yang
mengawasi kinerja institusi-institusi negara, mekanisme pasar, dan tata ketertiban-keadilan di dalam
masyarakat. Namun, dengan segera catatan harus dikedepankan, yaitu bahwa peran demokratisasi

6
Kedua frasa-konseptual ini saya pinjam dari Daniel Dhakidae (ed.), Perempuan, Politik, dan Media Massa (Jakarta:
Yayasan Padi dan Kapas, 1997), yang mengacu pada konsep-konsep semiotik tentang “authorial audience” dan “actual
audience”.
7
Tentang isu ini, lihat pembahasan yang menarik dari Jakob Oetama, “Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme
Makna”, Pidato Pengukuhan Gelar Doctor Honoris Causa di UGM-Yogyakarta, 17 April 2003, dimuat dalam Kompas,
rubrik Bentara, 2 Mei 2003.
8
Lihat Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm.
149—150.

Page 6 of 16
oleh persma cuma bisa dikerjakan dalam skup yang terbatas—demokrasi dalam “d” kecil. Untuk
itu, jurnalisme-makna menjadi penting bagi pers mahasiswa bukan saja secara strategis-kompetitif
dalam logika marketing, namun lebih dari itu dalam argumen filosofis-moral-intelektual.

Figur 5: Pers (Mahasiswa) sebagai “Watchdog”

Negara

PERS

Masyarakat Pasar

“Competence Market” sebagai “Optimum”

S
ama sekali tanpa bermaksud mengecilkan dunia persma, uraian ini sejak mula hanya mencoba
merumuskan plus-minus, kelebihan-kekurangan, kekuatan-kelemahan, defisit-surplus, dan
peluang-ancaman yang dimiliki dan dihadapi persma. Semakin lama merefleksi pengalaman,
semakin mendalami kembali pelbagai kepustakaan dan koleksi dokumen tentang persma, semakin
panjang berdiskusi dengan rekan-rekan yang masih bergiat di persma, maka semakin saya sadar
bahwa terlampau banyak keterbatasan yang dimiliki persma. Pada akhirnya, saya harus jujur untuk
mengatakan bahwa peran terbaik yang dimainkan oleh persma adalah—cuma—sebagai “wahana
pembelajaran”. Inilah, saya kira, minimum contribution persma. Dalam suatu obrolan santai pada
Januari 2001 di Jakarta, Amir Effendi Siregar berkata kepada saya: “Ya, pers mahasiswa tidak akan
mungkin dikelola secara profesional. Tapi, aktivis persma selalu harus ‘belajar profesional’.” Maka,
saya menyepakati simpulan Bang Amir ini.
Jika persma adalah minimum contribution, masih adakah kira-kira yang optimum—ikhtiar
moderat, untuk tidak over confident mengatakan ada banyak maximum?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan meminjam-ubah teori “3Cs Market”-nya
Hermawan Kartajaya, yang sudah kondang dijuluki sebagai “the marketing guru” itu. Menurut
Hermawan Kartajaya, kalau kita menjalankan suatu bisnis, kita segera berhadapan dengan tiga jenis
market. Pertama, capital market, yakni pasar sumber modal dari mana kita bisa membiayai bisnis
kita. Kedua, competence market, yaitu orang-orang/tenaga manusia berikut keterampilan-keahlian
yang dimilikinya yang mengoperasikan bisnis kita. Dan ketiga, commercial market, yaitu pasar
dalam artian yang paling umum, ranah kita menjual produk kita dan berkompetisi dengan
produk/komoditas lainnya.9
Berdasarkan pemetaan dan analisis di bagian awal uraian ini, dan jika teori Hermawan
Kartajaya itu kita terapkan di sini, dengan segera dan mudah saja bisa diambil suatu simpulan
bahwa persma, tampaknya, cuma bisa bermain di wilayah—dan, karenanya, harus “menggenjot”—
capital market (baca: pasar sumber modal, yaitu iklan sebagai sumber pembiayaan) dan competence
market (baca: pasar tenaga kerja dalam lembaga pers mahasiswa), bukan commercial market (baca:
pasar pembaca sebagai konsumen pers mahasiswa).
Sederhananya, persma tak mungkin bermain di ranah commercial market karena tak laku
jika dijual di pasar. Jadi, sukses-gagalnya suatu persma, dan dengan demikian juga suatu periode
kepengurusan persma, tidak fair jika diukur dengan angka penjualan persma sebagai produk—atau
yang biasa disebut oplag. Kita membutuhkan suatu studi yang lebih mendalam untuk
9
Periksa Hermawan Kartajaya, The Sustainable Marketing Enterprise: A Business Strategy Model (Jakarta:
MarkPlus&Co., 2000).

Page 7 of 16
mendeskripsikan dan mencari tahu sebab-sebab soal ini. Kalau toh ada persma yang beroplah
tinggi, biasanya itu karena dibagikan secara gratis kepada para mahasiswa di kampus masing-
masing, dengan kompensasi mereka sudah membayar media tersebut termasuk ke dalam SPP
semesterannya.
Sebaliknya, persma masih punya peluang yang cukup untuk menggenjot capital market,
melalui lobi yang lebih lihai dan terutama kepada para calon pengiklan yang memiliki hubungan
(emosional) dengan kampus-kampus tempat persma berada—misalnya, para alumninya yang telah
“sukses”, menjadi bos bisnis, dll. Lantas, persma punya pekerjaan rumah yang cukup banyak untuk
mengembangkan competence market-nya karena di sinilah optimum contribution-nya, yang di atas
sudah disebut sebagai “wahana pembelajaran”—untuk mencetak calon-calon jurnalis dan pebisnis
jurnalisme yang profesional di kemudian hari. Barangkali, ukuran paling tepat yang dapat dipakai
untuk menilai apakah suatu persma—dan juga suatu periode kepengurusan persma—sukses atau
gagal adalah sejauh mana tingkat pengetahuan dan keterampilan awaknya dalam bidang jurnalisme,
dari A sampai Z-nya. Apakah persma berhasil menjadi laboratorium pembelajaran? Sampai di sini,
salah satu bidang manajemen yang akrab disebut human resource management (pengelolaan
sumber daya manusia) memegang peran krusial.

“Capacity Building” dalam “Competence Market”

D emi mencapai fokus, kini saya akan memasuki inti pembahasan makalah ini, yaitu
bagaimana mengelola dan mengembangkan kapasitas10 sumber daya manusia persma.
Tidak semua isu dalam manajemen SDM yang akan saya bahas di sini untuk keperluan
persma, namun beberapa saja yang, saya kira, paling relevan: (1) sistem pendidikan
(skill/educational upgrading), (2) sistem penjenjangan posisi dan pengembangan karir (positional
hierarchy and carier development path), (3) penghargaan dan penghukuman (reward and penalty),
(5) pengelolaan konflik (conflict management), serta (6) kepemimpinan yang demokratis
(democratic leadership). (Tentu saja, pembahasan ini bakal banyak merujuk pengalaman saya dulu
tatkala aktif sebagai redaktur Majalah/Jurnal Mahasiswa UGM BALAIRUNG).
SISTEM PENDIDIKAN. Dua macam program pendidikan/pelatihan/pengaderan di dalam
persma bisa saya bahas di sini, yang kesemuanya bersifat formal—artinya, jelas ini menjadi agenda
yang mesti dikerjakan oleh manajemen. Untuk mudahnya, saya membagi dua macam program
pendidikan yang bisa dijalankan persma, yaitu (1) pendidikan internal (internal upgrading) dan (2)
pendidikan eksternal (external upgrading). Pada yang pertama, program-program peningkatan
kemampuan awak persma dilakukan secara internal, di dalam lembaga persma yang bersangkutan;
sedangkan pada yang kedua, lembaga persma mengirimkan awaknya untuk mengikuti program-
program pendidikan ke luar, entah ke sesama persma (di kampus lain), pers umum, dll. Saya
membagi lagi dua macam kegiatan dalam program pendidikan internal tersebut, ialah (a)
pendidikan dasar (basic training) dan (b) pendidikan lanjutan (advanced training); sedangkan
program pendidikan eksternal terdiri atas tiga macam kegiatan: (c) pelatihan/kursus (training), (d)
magang (on the job training), dan (e) studi banding (comparative study). Figur 6 berikut meringkas
tipologi program-program pendidikan dalam persma.

Figur 6: Tipologi Pendidikan dalam Persma


Program Kegiatan
Sistem 1. Internal a. Dasar
Pendidikan b. Lanjutan
Pers 2. Eksternal c. Pelatihan/Kursus
Mahasiswa d. Magang
e. Studi Banding

10
Untuk uraian pendek tentang capacity building, lihat Hasan Bachtiar, “Moral dan/atau Modal, Kamerad?:
Mengapresiasi Sumbangan Wacana Manajemen Nirlaba (Nonprofit Management) untuk Memperkuat Organisasi
Masyarakat Sipil”, kertas kerja untuk Institut Studi dan Aksi Kemanusiaan (INS@N), Surabaya, Januari 2005, tidak
diterbitkan.

Page 8 of 16
Pendidikan dasar (basic education) bersifat umum dan institusional. Kegiatan pendidikan
jenis ini wajib diikuti oleh seluruh awak persma dan diselenggarakan pada saat proses rekrutmen.
Setiap anggota persma dengan demikian pastilah pernah mengikutinya kala mereka dulu masuk
sebagai anggota baru. Bisa dibilang, karena bersifat dasar, sistem pendidikan ini memegang peran
penting. Artinya, masa depan lembaga dipertaruhkan oleh kualitas penyelenggaraan pendidikan
dasar khususnya, dan rekrutmen umumnya. Sebagai semacam referensi, dan untuk singkatnya,
Figur 8 dan 9 berikut menggambarkan bagaimana BALAIRUNG menyelenggarakan program
rekrutmen awak barunya, dalam bentuk penahapan dan desain programnya.

Figur 8: Bagan Alur Proses Rekrutmen Persma

1. PUBLIKASI 2. SELEKSI

MONITORIN
0. PERSIAPAN G 3. PELATIHAN
& EVALUASI

5. PELANTIKAN 4. PEMAGANGAN

Figur 9: Desain Program Rekrutmen Persma


WAKTU TAHAPAN KEGIATAN KETERANGAN
Bulan 1. Persiapan ♦ Pembentukan tim/panitia rekrutmen Difasilitasi oleh
Pertama ♦ Perumusan desain detail, kurikulum, dan Divisi Umum
jadwal kerja rekrutmen atau Litbang
2. Publikasi ♦ Melalui pelbagai taktik: poster yang dipasang Seksi Publikasi
di papan-papan pengumuman di fakultas-
fakultas, pemberitahuan di situs internet,
iklan dan talkshow di radio/TV kampus,
pembukaan stan di student expo, dll.
3. Seleksi ♦ Pendaftaran administratif: surat lamaran, Seksi Seleksi
formulir identitas, foto, dll.
♦ Tes tulis: sedikit tentang jurnalisme dan
opini terhadap isu-isu aktual
♦ Tes wawancara (jika dibutuhkan): mengukur
tingkat motivasi/kesungguhan, kemampuan,
kreativitas, dll.
Æ Seleksi awal yang bersifat administratif (data
identitas) dan kompetensial (pengetahuan awal
tentang jurnalisme dan cakrawala pikir)
diterapkan.

Page 9 of 16
WAKTU TAHAPAN KEGIATAN KETERANGAN
Bulan 4. Pelatihan ♦ Wawasan Umum: filsafat praktis, pendidikan Seksi Pelatihan
Kedua kritis, lingkungan, ekonomi-politik
globalisasi, sejarah, sosiologi-antropologi
masyarakat Indonesia, dll.
♦ Keterampilan Jurnalistik: reportase,
penulisan jurnalistik, manajemen pers, desain
media, dll.
Æ Pelatihan dalam format kursus-partisipatif,
dengan pemateri yang sebaiknya kompeten dan
penugasan secara perorangan maupun kelompok.
Æ Seleksi kedua diterapkan, misalnya soal
presensi, kontribusi/keaktifan dalam dinamika
forum, ketepatan pengerjaan tugas, dll.
Bulan 5. Magang ♦ Peserta dibagi ke dalam empat kelompok, Seksi Magang
Ketiga masing-masing magang dan mengerjakan
tugas-tugas di keempat divisi secara
bergiliran per minggu—total: 4 minggu, 4
kelompok, 4 divisi.
Æ Seleksi ketiga diterapkan, meliputi presensi
selama magang, perkembangan kemampuan,
pengerjaan tugas, dll.
6. Evaluasi dan ♦ Peserta dalam kelompok-kelompok Tim/Panitia
Pelantikan mempresentasikan tugas terpenting dan Rekrutmen dan
terakhir, yaitu membuat media mini, dan Divisi Umum
dievaluasi oleh tim/panitia rekrutmen. atau Litbang
♦ Pelantikan, penandatanganan kontrak aktif
sebagai awak persma.
Æ Seleksi keempat/terakhir dilakukan untuk
aspek-aspek: skor prestasi total peserta menjalani
rekrutmen selama tiga bulan, kualitas hasil dan
proses pengerjaan media mini, dll.
Sumber: Database Litbang BALAIRUNG, 2001, diolah.

Dalam kegiatan pendidikan lanjutan (advanced education), yang bersifat tematis dan
divisional, diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendalaman materi-materi dari
pendidikan dasar ataupun penguasaan pengetahuan dan keterampilan baru yang relevan, sehingga
arahnya ialah pengembangan spesialisasi kompetensi setiap awak persma. Wujud konkret sistem
pendidikan model kedua ini ialah kursus-kursus singkat tematis yang bisa diadakan oleh masing-
masing divisi dengan mengundang para praktisi ahli sesuai topik-topik tersebut dan memanfaatkan
metode pembelajaran partisipatif yang memberi porsi praktik lebih banyak ketimbang teori. Demi
ringkasnya, dalam Figur 10 berikut, saya mencoba merinci beberapa pilihan topik kursus tematis
tersebut untuk diacu.

Page 10 of 16
Figur 10: Topik-Topik Program Pendidikan Lanjutan Persma
DIVISI-DIVISI
REDAKSI PRODUKSI PERUSAHAAN LITBANG
♦ Outline ♦ Konsep Desain ♦ Manajemen ♦ Metodologi Riset
Reportase Media Keuangan
♦ Penulisan Berita ♦ Aplikasi Program ♦ Pemasaran Media ♦ Penulisan
Komputer dalam Laporan Riset
MATERI

Desain Grafis
♦ Jurnalisme ♦ Manajemen ♦ Strategi Promosi ♦ Manajemen Riset
Investigatif Percetakan Media
♦ Penyuntingan ♦ Website ♦ Periklanan ♦ Jurnalisme
Tulisan Programming Presisi
♦ Penulisan ♦ Fotografi ♦ SWOT Analysis, ♦ Database dan
Feature, dll. Investigatif, dll. dll. Dokumentasi, dll.

Aneka program pendidikan eksternal juga penting diagedakan dalam peningkatan kapasitas
awak persma. Kalau program pendidikan internal diselenggarakan di lembaga sendiri, sehingga
bersifat inward looking, maka program pendidikan eksternal dilakukan dengan mengirim awak
persma ke luar lembaganya, sehingga bersifat outward looking. Para awak persma mengikuti
kursus/pelatihan jurnalisme yang diadakan oleh persma lain, yang memang kerap mengadakan
kegiatan semacam ini, atau juga lembaga lain, misalnya ISAI (Institut Studi Arus Informasi) dan
LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan) di Jakarta. Kalau mau lebih mendalam, persma bisa
pula mengirim awaknya untuk melakukan magang di sesama persma lain atau di pers umum
selama masa waktu tertentu (mingguan atau bulanan). Dengan begitu, pengetahuan teoretis
jurnalisme akan diuji-lengkapi dengan praktik sehingga jadi lebih komprehensif. Wawasan
komparatif dan outward looking akan jauh diperkuat jika persma melakukan studi banding ke
persma lain, untuk saling berbagi pengalaman mengelola persma, atau ke pers umum, untuk
menimba pengetahuan konkret bagaimana media umum diterbitkan.
PENJENJANGAN POSISI DAN PENGEMBANGAN KARIR. Isu kedua dalam
capacity building persma ialah rotasi-sirkulasi jabatan. Hierarki posisi di dalam setiap organisasi
itu lumrah, bahkan hampir-hampir alamiah, karena merupakan konsekuensi dari pembagian tugas
(division of labour) yang berupa struktur organisasi yang jelas, yang menegaskan daftar dan
wilayah tugas serta wewenang (authority). Di samping itu, periode pengelolaan persma yang
tahunan menuntut persma melakukan pergiliran (rotation-circulation) tugas dan jabatan tersebut.
Upaya demikian penting dilakukan demi menjaga kesehatan organisasi. Yang perlu dicermati
adalah bagaimana agar pergantian generasi ini bisa mulus, stabil, meneruskan capaian positif
kepengurusan lama dan melakukan revisi-koreksi secara kontekstual terhadap desain dan kinerja
organisasi. Maka, masing-masing persma perlu merumuskan secara nyata konsep rotasi-sirkulasi
dalam kepengurusan lembaganya.
Figur 11 di bawah ini mencoba memetakan bagaimana BALAIRUNG mengatur
penjenjangan jabatan dan pengembangan karir para awaknya. Masa aktif sebagai awak
BALAIRUNG ialah empat tahun, sesuai ketentuan resmi lembaga. Sedangkan BALAIRUNG
membagi hierarki kepengurusannya ke dalam tiga tingkatan jabatan dengan enam divisi. Seiring
bertambah lamanya masa aktif di BALAIRUNG dari tahun ke tahun, atas kesepakatan seluruh awak
lembaga melalui forum Musyawarah besar (MUBES), jalur reguler ataupun non-reguler, serta
dengan pertimbangan tinggi kompetensi, awak BALAIRUNG bisa meniti karir dari bawah ke atas
dalam divisi masing-masing. Entah mengapa, pengalaman BALAIRUNG menunjukkan bahwa
pertimbangan politis, atau intervensi eksternal, selalu dapat dan harus ditangkal, dalam seluruh
mekanisme regenerasi kepengurusan ini.

Page 11 of 16
Figur 11: Penjenjangan Karir Pers Mahasiswa
Tingka Masa JABATAN/POSISI
Aktif Divisi Divisi Divisi Divisi Divisi Divisi
Tahun Umum Redaksi Perusahaan Litbang Produksi On-Line
Ke-
III 3, 4 Pemimpin Pemimpin Direktur Kepala Kepala Koordinator
Umum Redaksi Perusahaan Litbang Produksi Situs
II 2, 3, 4 Sekretaris Sekretaris Sekretaris Sekretaris Sekretaris Manajer
Umum Redaksi Perusahaan Litbang Produksi Content
Redaktur Kepala Peneliti Redaktur Teknisi/
Pelaksana Subdivisi Senior Artistik Programer
Keuangan Senior
Redaktur Kepala
Bahasa Subdivisi
Promosi
Redaktur Kepala
Senior Subdivisi
Iklan
Kepala
Subdivisi
Sirkulasi
I 1, 2, — Reporter Staf Iklan Asisten Desainer Reporter
3, 4 Peneliti Situs
Staf Promosi Ilustrator Teknisi/
Staf Sirkulasi Fotografer Programer
Yunior
Sumber: Database Sekretariat BALAIRUNG, 2001.

PENGHARGAAN DAN PENGHUKUMAN. Isu selanjutnya yang patut dicermati ialah


bagaimana menjaga (maintainance) awak yang ada agar tetap aktif berkiprah dalam persma, bahkan
semakin giat menunjukkan dedikasi dan meningkat kinerjanya. Maka, disiplin organisasi penting
untuk ditegakkan. Kehadiran, ketepatan waktu, serta intensitas partisipasi setiap awak dalam setiap
proses kerja mutlak ditekankan demi mencapai proses dan hasil yang optimal. Terhadap mereka
yang menunjukkan partisipasi, dedikasi, dan loyalitas tinggi kepada lembaga, pemimpin sebaiknya
memberi imbalan hadiah. Sebaliknya, kepada awak yang membangkang, abai terhadap tugas-
tugasnya, dan merosot terus kinerjanya, manajemen perlu memberi teguran, peringatan, bahkan—
jika terlalu payah—pemecatan. Secara teori isu ini mudah dibicarakan namun susah dijalankan
karena bercorak kasuistik.
Karena persma adalah lembaga nirlaba, dalam pengalaman BALAIRUNG, awak tidak
memperoleh imbalan gaji untuk aktivitasnya di lembaga ini. Namun, BALAIRUNG menutup
semua biaya kerja (operational expenditure) sehingga awak BALAIRUNG tak perlu mengeluarkan
sepeser rupiah pun untuk mengerjakan tugas-tugas dari BALAIRUNG. Kebijakan ini ditempuh
karena BALAIRUNG menganggap dirinya adalah “wahana belajar”. Inilah penghargaan dalam
bentuk yang paling mendasar. Selain itu, jika ada dana kas yang cukup sisa hasil usaha, manajemen
BALAIRUNG kerap membuat merchandise (kaos, jaket, tas, dll.) untuk dibagikan kepada seluruh
awaknya, biasanya di akhir sebuah masa kepengurusan. Kalau ada dana lebih besar lagi, misalnya
pada tahun 1999, BALAIRUNG mengadakan wisata ke luar kota Jogja. Tak jarang pula rapat-rapat
BALAIRUNG diadakan secara santai dengan acara makan bersama dan memutar film, misalnya di
sebuah warung makan, di Kaliurang, hingga menginap di rumah salah satu anggota di Jogja,
sehingga memunculkan suasana rileks dan rekreatif tanpa mengurangi keseriusan.
Meski disadari bahwa BALAIRUNG terlalu mungil dan tak mampu memberi imbalan
banyak kepada awaknya, bukan berarti hal itu mengendorkan mekanisme kontrol terhadap kinerja

Page 12 of 16
awak. Dewan Pimpinan, yang terdiri atas Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, Direktur
Perusahaan, Kepala Produksi, Kepala Litbang, dan Kepala Online, melakukan rapat periodik untuk
memantau intensitas partisipasi para “anak buah”-nya. Kalau ada anggota yang absen selama
sebulan penuh, tak tampak batang hidunynya sama sekali di kantor BALAIRUNG, tanpa alasan
yang jelas, maka segera dilayangkan surat teguran. Jika dalam tempo 3 minggu dan 3 kali surat tak
ada respon, maka surat pemberhentian langsung diajukan. Upaya ini ditempuh untuk menjaga
kesehatan perputaran roda sistem. Masih banyak contoh lain dari isu ini, yang akan menarik jika
menjadi bahan diskusi dan studi lebih lanjut.
PENGELOLAAN KONFLIK. Perselisihan adalah sesuatu yang lumrah, bahkan hampir-
hampir alamiah, terjadi dalam suatu komunitas. Sejak ada dua manusia atau lebih bertemu, tercipta
interaksi sosial, dan hasilnya ialah kooperasi jika positif—proses interaksi asosiatif—atau konflik
jika negatif—proses interaksi disosiatif. Maka, setiap konflik mesti disikapi secara rasional. Ada
aturan main yang berupa konstitusi (AD/ART) maupun konvensi yang bisa dirujuk untuk
mengusahakan konsensus. Konflik-konflik di dalam tubuh sosial persma beragam, kontekstual, dan
khas pada masing-masing lembaga. Pengalaman saya dulu memimpin BALAIRUNG menunjukkan
bahwa teori-teori dasar conflict resolution atau problem solving dalam khazanah sosiologi bisa kita
terapkan untuk mengatasinya.
Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi melihat bahwa suatu komunitas/masyarakat memiliki
dua segi: (1) segi—yang relatif—statis, yaitu struktur sosial, dan (2) segi—yang relatif—dinamis,
yakni proses sosial. Setiap masyarakat/komunitas, termasuk persma sebagai komunitas, memiliki
aspek-aspek struktural dan prosesual, yang penting dicermati oleh para penggiat persma. Dari sini
saja, jika menghadapi suatu konflik, saya akan memeriksanya terlebih dahulu (tahap identifikasi: di
titik manakah konflik itu terjadi, melibatkan siapa dan apa saja, bagaimana persisnya konflik itu
berproses, serta apa saja implikasi-implikasinya—positif/negatif?), lantas merumuskan
pemecahannya (tahap formulasi solusi: dalam aturan main, bagaimana soal ini bisa diatasi?; jika
tidak, bagaimana mekanisme akomodasi/stabilisasi bisa dilakukan—apakah koersi, kompromi,
arbitrasi, mediasi, konsiliasi, toleransi, stalemate, ataukah ajudikasi?), dan pada akhirnya
mengimplementasikan solusi tersebut.11 Kasus-kasus konfliktual dalam persma akan menarik jika
kita diskusikan lebih jauh.
KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS. Isu terakhir yang penting dalam manajemen SDM
persma ialah kepemimpinan. Seperti sudah dibahas di atas, sirkulasi kepengurusan persma yang
tahunan membuat manajemen tidak cukup melakukan akumulasi sistemik, dan karenanya juga
proses pemapanan/stabilisasi senantiasa buntu. Perubahan atau perbaikan macam apa yang bisa kita
harapkan dari kerja-kerja berdurasi saru tahun? Tidak banyak, ‘kan? Di samping kegiatan-kegiatan
dokumentatif terhadap setiap proses kerja persma untuk mengeliminasi disakumulasi dan
menemukan persambungan historis yang tepat, kepemimpinan menjadi faktor kunci—when you
have a weak car, just give and trust it to your driver!
Maka, penting bagi para manajer persma, pemimpin umum maupun manajer divisi, untuk
juga melengkapi diri dengan teori pengetahuan dan refleksi pengalaman kepemimpinan. Misalnya,
selain membaca-baca literatur manajemen12 yang bertemakan “leadership”, membaca sejarah,
sastra, filsafat, ilmu politik, dan biografi juga berguna. Seperti ujar Alexander
Solzhenitsyn,pujangga Rusia, “A man is himself, and the books s/he reads.” Bacaan-bacaan
semacam itu akan memperkaya wawasan dan praktik kepemiminan kita. Kepemimpinan dalam
persma adalah “kepemimpinan demokratis” karena persma adalah lembaga masyarakat sipil (civil
society organization), bukan lembaga korporatif murni atau apalagi militer.
Dahulu, saya menyebut stile kepemimpinan saya di BALAIRUNG pada tahun 2000—2001
sebagai “I’m just a moderator!”. Maksudnya, saya sadar diri untuk sekadar memfungsikan diri
sebagai “moderator-fasilitator” dari suatu workshop besar bernama BALAIRUNG. Saya
menyediakan diri untuk menemani, mewujudkan kehangatan percakapan, dan menjadi polisi lalu

11
Untuk informasi dasar tentang interaksi sosial, periksa Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002 [1982]), hlm. 59—112.
12
Salah satu yang terbagus, misalnya, Fred Luthans, Organizational Behaviour (Boston: Irwin/McGraw-Hill, 1998).

Page 13 of 16
lintas proses kreatif secara demokratis. Konkretnya, ketika kami menyelenggarakan Musyawarah
Kerja, semua divisi dalam BALAIRUNG saya beri kelapangan untuk menyusun program-proram
kerjanya sendiri, dan tugas saya ialah mengerangkakannya secara kritis ke dalam time table
program kerja institusional semata. Banyak kasus dalam kepemimpinan persma yang, saya yakin,
bakal menarik jika kita diksusikan lebih jauh.

Menuntaskan Romantisme

A
mir Effendi Siregar, salah seorang tokoh persma periode 1970-an, jauh-jauh hari sudah
memperingatkan: “Kini layaklah dibicarakan dan dirumuskan sesuatu dataran berpikir yang
baru yang berbeda dengan pers mahasiswa pada tahun-tahun sebelumnya.”13 Kiranya terang
sudah, setiap zaman melahirkan generasinya sendiri, dan setiap generasi menanggung masalahnya
sendiri, yang unik, khas, bahkan kerapkali diskontinu. Generasi yang merdeka, pada hemat saya,
ialah generasi yang cuma mau dan mampu memaknai zaman berikut tantangannya secara
proporsional. “Generasi seperti ini hanya dapat berpikir strategis tentang kebudayaannya,”
mengutip Ignas Kleden, “jika ia sadar bahwa keberadaannya bukan sekadar sebagai ‘resipien
kebudayaan’, namun lebih daripada itu sebagai ‘agen kebudayaan’”.14
Kalau persma mau bangkit dari keterpurukannya selama ini, kerja keras diperlukan. Banyak
agenda persoalan menanti. Persma perlu menuntaskan romantisme, bangun dari mimpi mabuk puja-
puji—seperti pernyataan Jakob Oetama yang saya kutip di awal makalah ini. Sejarah memang
penting dipelajari, tapi tidak boleh membuai. Memang, pernah pada suatu masa, persma mengalami
masa—kalau istilah ini bisa disepakati—“kejayaan”: beroplah puluhan ribu, punya magnitude dan
impact besar, dikelola penuh gairah oleh angkatan muda mahasiswa, dan diselimuti oleh semangat
besar zamannya (zeitgeist). Data kuantitatif dalam Figur 12a dan 12b di bawah ini, harus diakui,
membuktikan masa jaya persma itu.

Figur 12a: Oplah Puncak Pers Mahasiswa Indonesia 1966—1980


Oplah Puncak Pers Mahasiswa

80000 70000
70000
60000
48000
Eksemplar

50000
40000 30000 30000 30000
30000
20000 16000
12000

16000
3000

7000

2500

5000

10000
0
Mimbar Mahasiswa Harian KAMI Kampus Salemba Gelora
Demokrasi Indonesia Mahasiswa

Oplah Minimal (eksemplar) Oplah Maksimal (eksemplar)

Sumber: Amir Effendi Siregar (1983), hlm. 62 dan 101, diolah.

13
Amir Effendi Siregar (1983), loc. cit., hlm. 108.
14
Lihat Ignas Kleden, “Berpikir Strategis tentang Kebudayaan”, dalam Jurnal Prisma, No. 3, Maret 1987.

Page 14 of 16
Figur 12b: Oplah Puncak Pers Mahasiswa Indonesia 1966—1980
Oplah Oplah
Nama
Badan Penerbit Periode Terbit Minimal Tahun Maksimal Tahun
Penerbitan
(eksemplar) (eksemplar)
A. Periode 1966—1971/74
1. Mimbar Yayasan Sapta
Mingguan 3,000 1967 48,000 1968
Demokrasi Karya
Yayasan Penerbit
2. Mahasiswa
Mahasiswa Mingguan 7,000 1966 30,000 1974
Indonesia
Indonesia
3. Harian Yayasan Penerbitan 1966-
Harian 12,000 70,000
KAMI Mahasiswa 1967
B. Periode 1971/74—1980
Unit Aktivitas
4. Kampus Bulanan 2,500 30,000 1978
Mahasiswa ITB
Universitas
5. Salemba Dwi-mingguan 5,000 1976 30,000 1978
Indonesia
6. Gelora Penerbitan Dewan
Bulanan 16,000 16,000 1978
Mahasiswa Mahasiswa UGM
Sumber: Amir Effendi Siregar (1983), hlm. 62 dan 101, diolah.

Namun, masa keemasan persma itu sudah usai. Perubahan zaman15 membuat persma harus
mereposisi terus-menerus dirinya secara tepat. Bagi saya, untuk menuntaskan romantisme persma,
ada dua pilihan bagi persma. Pertama, back to campus, menjadi campus community newspaper; atau
kedua, menjadi the press of discourse dalam bentuk student scientific journal.16 Kalau persma tidak
segera mereposisi diri, jangan salahkan siapapun kalau zaman akan melindas persma. Ya,
perubahan tidak bisa dibendung. Ini soal waktu, dan kreativitas awak persmalah—the competence
market—yang akan menjawabnya.„

Daftar Kepustakaan
Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI)
dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia-Universitas Surabaya (PUSHAM-UBAYA).
Alamudi, Abdullah (ed.). 1997. Pers Tak Terbelenggu. Penerjemah: Budi Prayitno. Jakarta: Dinas
Penerangan Amerika Serikat (USIS).
Bachtiar, Hasan. 2000a. “Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998: Menuntaskan Romantisme Sejarah”,
Makalah untuk Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa, 18—19 September, di Gedung
Dewantara, Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Jakarta, diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
--------------------. 2000b. “Moral dan/atau Modal (?): Menuntaskan Romantisme Sejarah Pers
Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998”, Makalah untuk Studium Generale Pelatihan Jurnalistik
LPM IKIP PGRI Semarang, 7 Desember.
--------------------. 2001. “Bekerja dengan Detail: Mengapa Jurnal BALAIRUNG?”. Jurnal
BALAIRUNG, Edisi 34/Tahun XVI. Yogyakarta: BPPM-UGM.
--------------------. 2003. “The Actor Behind the Scene: Sekelumit Cerita Romantisme Sejarah Pers
Mahasiswa”. Jurnal Tradem, Edisi V/April. Yogyakarta: PMII Cabang Sleman.

15
Saya membuat periodisasi sejarah persma yang baru, dengan menggambarkan latar sosial serta mencoba
mengidentifikasi karakter persma pada setiap zaman, dalam Hasan Bachtiar, “Moral dan/atau Modal (?): Menuntaskan
Romantisme Sejarah Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998”, Makalah untuk Studium Generale Pelatihan Jurnalistik LPM
IKIP PGRI Semarang, 7 Desember 2000.
16
Pilihan reposisi BALAIRUNG saya paparkan dalam Hasan Bachtiar, “Bekerja dengan Detail: Mengapa Jurnal
BALAIRUNG?”, dalam Jurnal BALAIRUNG, Edisi 34/Tahun XVI/2001 (Yogyakarta: BPPM-UGM).

Page 15 of 16
--------------------. 2004a. “Riset Kepustakaan dalam Jurnalisme (Pers Mahasiswa)”, Makalah untuk
Pelatihan Jurnalistik bagi Awak Buletin Boulevard, Jamaah Shalahuddin, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 Juni.
--------------------. 2004b. “Pers adalah Oksigen Demokrasi, Kamerad!” Makalah tentang Pengantar
Jurnalisme untuk Pelatihan Jurnalistik Awak Baru BPPM-FH-UGM Mahkamah, di
Kaliurang, Yogyakarta, 2—3 Oktober.
--------------------. 2005. “Moral dan/atau Modal, Kamerad?: Mengapresiasi Sumbangan Wacana
Manajemen Nirlaba (Nonprofit Management) untuk Memperkuat Organisasi Masyarakat
Sipil”. Kertas Kerja untuk Institut Studi dan Aksi Kemanusiaan (INS@N), Surabaya,
Januari, tidak diterbitkan.
Dhakidae, Daniel. 1977. “Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers”. Prisma, No. 10,
Oktober. Jakarta: LP3ES.
----------------------. 1991. “The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism:
Political-Economy of Indonesian News Industry”. Disertasi Ph.D., Universitas Cornell, AS,
tidak diterbitkan.
----------------------, ed. 1997. Perempuan, Politik, dan Media Massa. Jakarta: Yayasan Padi dan
Kapas.
Effendy, Onong Uchjana. 1995. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Giddens, Anthony. 1993 [1989]. Sociology. Cambridge: Polity Press.
Hill, David T. 1995. The Press in New Order Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, University
of Western Australia Press (UWAP), dan Asia Research Centre on Social, Political and
Economic Change (ARC-SPEC).
Kartajaya, Hermawan. 2000. The Sustainable Marketing Enterprise: A Business Strategy Model.
Jakarta: MarkPlus&Co.
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000 [1996]. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Penerjemah: Haris
Munandar, dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Luthans, Fred. 1998. Organizational Behaviour. Boston: Irwin/McGraw-Hill.
Raillon, Francois. 1985 [1984]. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966—1974. Penerjemah: Nasir Tamara. Jakarta: Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Siregar, Amir Effendi. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta:
Karya Unipress.
Soekanto, Soerjono. 2002 [1982]. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supriyanto, Didik. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal.

JOGJA...KARTA...AUGUST...12TH...2005...when a night was so silent...

Page 16 of 16

You might also like