Professional Documents
Culture Documents
Gambar 1
WTO Agreement
WTO AGREEMENT
A. Definisi tariff
Tariff dapat difenisikan sebagai pajak atu cukai yang dikenakan pada suatu komoditi yanf
diperdagangkan dalam hal ini yang diimpor dan diekspor. Pembebanan pajak ini
diberlakukan terhadap produk-produk yang melewati batas-batas Negara.
Dari alasan di atas,dapat kita lihat betapa bagusnya tujuan dari pemberlakuan restriksi
tariff ini. Namun pada kenyataannya hal tersebut lebih bertolak pada kepentingan invidu atau
kelompok-kelompok tertentu. Hanya sekelompok oranglah yang mengalami kejumlah besar
keuntungan.
5
a. Secara ekonomis:
1). Memperbaiki nilai tukar.
2). Infant-industri, dalam hal ini merupakan perlindungan bagi industry-industri
terhadap persaingan luar negeri.
3).Diversivikasi, penitikberatan produksi Negara pada satu atau bebrapa barang saja.
4). Employment, pembebanan tariff akan menurunkan import dan menaikkan
produksi dalam negeri sehingga akan terbuka banyak lapangan kerja di dalam negeri.
5). Anti dumping atau penjualan produk keluar negeri dengan harga murah daripada
di dalam negeri.
2). Cita-cita membangun suatu perekonomin nasional yang tangguh dan mandiri.
3). Perlindungan terhadap kegiatan- kegiatan tertentu yang mempunyai nilai social
budaya yang ingin dilestarikan.
C . Penggolongan tariff
E. Efek tariff
Pembebanan tariff atas suatu barang dapat mempunyai efek terhadap perekonomian
suatu Negara. Khususnya di dalam pasar barang tersebut. Beberapa efek yang terjadi karena
diberlakukannya tariff dalam perdagangan.
1. Efek terhdap harga, dapat menyebabkan naik turunyya harga suatu barang di
dalam negeri.
2. Efffek terhadap konsumsi, dapat menyebabkan naik turunnya jumlah konsumsi
atas suatu barang di dalam negeri.
3. Efek terhadap produk, dapat menyebabkan naik turunnya jumlah produksi suatu
barang dalam negeri.
4. Efek terhadap distribusi pendapatan, dapat menyebabkan perubahan pola dalam
pendapatan masyarakat di dalam negeri.
7
Kasus 1
Sebagai salah satu komoditas strategis di Indonesia, Industri gula nasional kini
mendapat perlindungan dan dukungan yang cukup memadai dari pemerintah Indonesia.
Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain mencakup kebijakan tarif impor, kebijakan tataniaga
impor, dan dukungan terhadap program akselerasi pergulaan nasional. Untuk tarif impor,
8
pemerintah tetap mempertahankan kebijakan tarif impor gula sebesar Rp 700/kg. Kebijakan
tataniaga impor membatasi membatasi jumlah importir yaitu hanya importir produsen dan
importir terdaftar. Untuk program akselerasi, pemerintah menyediakan dana sekitar Rp 65
miliar untuk tahun 2003.
Dari tiga kebijakan tersebut, kebijakan tataniaga impor yang tertuang dalam
Kepmenperindag No. 43/MPP/Kep/9/2002, tertanggal 23 September 2002 merupakan
kebijakan yang paling mendapat sorotan. Esensi dari kebijakan ini, disamping membatasi
pelaku importir yaitu hanya importir produsen dan importir terdaftar impor dapat dilakukan
bila harga di tingkat petani adalah minimal Rp 3100/kg. Kebijakan yang pada dasarnya
membatasi penawaran gula impor diharapkan dapat memberi dorongan pertumbuhan industri
gula serta peningkatan dan sekaligus stabilitas pendapatan petani tebu.
Evaluasi sementara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut cukup efektif dalam
mencapai sasarannya. Kebijakan tersebut secara langsung telah meningkatkan harga gula di
tingkat petani. Kalau sebelum kebijakan tersebut diterapkan harga di tingkat petani jarang
diatas Rp 3100/kg; setelah kebijakan tersebut diterapkan harga di tingkat petani umumnya
diatas nilai tersebut, bahkan sering sudah mendekati Rp 3500/kg. Hasil analisis menunjukkan
bahwa dalam jangka panjang kebijakan tersebut akan mendorong perluasan areal tebu secara
nasional sekitar 8.21% lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa kebijakan tersebut. Hal
yang sama berlaku juga terhadap produksi yang diperkirakan akan menjadi sekitar 7.23%
lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut
diperkirakan menyebabkan impor menjadi lebih rendah sekitar 7.35%.
Di balik dampak positifnya, kebijakan tersebut mempunyai sisi-sisi kelemahan.
Seperti disebutkan oleh Erwidodo (2003), kebijakan tersebut dapat menciptakan strukur pasar
yang mengarah pada pasar monopolistik bila terbentuk sejenis kartel, mengingat jumlah
importir terdaftar sampai saat ini hanya empat importir. Oleh beberapa kalangan, situsi ini
dinilai telah melanggar UU Persaingan Usaha. Kedua, kebijakan ini akan menyuburkan
prilaku pemburu rente ekonomi. Lonjakan harga gula di dalam negeri yang pernah terjadi
pada periode Januari-April 2003, merupakan indiaktor dari kelemahan kebijakan tersebut.
Salah satu alterantif kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah mencari
alternatif kebijakan impor gula yang lebih tepat. Terkait dengan upaya ini, tariff-rate quota
(TRQ) dapat menjadi salah satu alternatif untuk di pertimbangkan. Kebijakan TRQ pada
dasarnya mengenakan tarif rendah sampai dengan volume impor tertentu. Di atas volume
impor tesebut, tarif impor yang dikenakan biasanya jauh lebih tinggi (tarif tinggi). Beberapa
negara telah menerapkan kebijakan tersebut sebagai bentuk kompromi untuk melindungi
9
industri gula dalam negeri dan konsemen, termasuk industri yang menggunakan gula sebagai
bahan baku (Tabel 1). Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang paling banyak
diterapkan oleh negara-negara yang berperan penting dalam perdagangan gula, seperti Eropa
Barat, Amerika, dan China. Di samping itu, kebijakan ini masih sejalan dengan komitmen
yang berkaitan dengan WTO.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat bagaimana Amerika menggunakan TRQ untuk
mengandalikan pasokan gula di pasar domestik. Untuk volume impor sampai dengan 1.3 juta
ton pada tahun 2003 (berubah-ubah tiap tahun), Amerika mengenakan tarif impor sebesar
US$c 0.625/pound. Di atas volume tersebut, tarif impor yang dikenakan adalah US$c
15.36/pound. Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa Amerika secara tidak langsung
membatasi impor hanya sampai dengan 1.3 juta ton untuk tahun 2003. Kebijakan ini terbukti
efektif untuk mengendalikan pasokan gula di pasar dalam negeri Amerika.
Salah satu kelebihan TRQ dibandingkan dengan kebijakan tata niaga impor adalah
bahwa TRQ tidak perlu membatasi pelaku impor, sehingga TRQ diharapkan dapat
menciptakan persiangan yang sehat dan tidak menyalahi UU Persaingan Usaha. Yang perlu
dibatasi atau dihitung secara cermat adalah adalah batas volume impor yang dikenakan tarif
rendah. Untuk Indonesia, volume TRQ dapat ditentukan dengan memperhatikan
kemampauan produksi gula secara nasional dan ditetapkan setiap tahun. Sebagai contoh,
Untuk 3-5 tahun mendatang, TRQ sekitar 1.5 jua ton dapat menjadi salah satu pilihan.
Tingkat tarif impor rendah dan tarif impor tinggi perlu mempertimbangkan beberapa
aspek/faktor pergulaan nasional, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi.
Untuk tarif rendah, beberapa faktor penting yang perlu dipetimbangkan antara lain target
harga yang wajar untuk petani dan konsumen dan kecendrungan perkembangan harga di
pasar internasional. Makin tinggi target harga di tingkat petani, makin tinggi tingkat tarif
rendah. Di sisi lain, tarif impor tinggi seyogyanya mampu melindungi pasar domestik dari
lonjakan impor sebagai akibat harga gula di pasar internasional yang sangat distortif. Untuk
Indonesia, tarif impor tngigi yang dapat diterapka adalah 95%, sesuai dengan komitmen yang
tertuang dalam Putaran Uruguay.
Sebagai pembahasannya dapat disimpulkan bahwa bebagai kebijakan pergulan
nasional yang diterapkan pemerintah sudah cukup memberi perlindungan dan kondisi yang
kondusif untuk perkembangan pergulaan nasional. Namun demikian, kebijakan tersebut
masih memiliki sisi-sisi kelemahan yag harus diperbaiki. Dalam hal ini, TRQ merupakan
salah satu alternatif kebijakan yang perlu dipertimbangkan. Untuk dapat diterapkan,
kebijakan TRQ tentu memerlukan pengkajian/analisis yang komprehensif baik pada sisi
10
teoritis, emperis, maupun praktis. Yang terpenting, upaya-upaya untuk mencari kebijakan
terbaik bagi perkembangan pergulaan nasional harus terus-menerus dilakukan, sehingga
Industri gula nasional dapat berkembang secara dinamis dan antisipatif bagi ksejahteraan
masyarakatan pergulaan dan mampu memeberi kontribusi dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional
Kasus 2
"Dispute Settlement Body WTO secara resmi telah menerbitkan laporan panel mengenai
sengketa dagang Indonesia-Korea menyangkut pengenaan bea masuk anti dumping atas
produk kertas di Korsel," katanya.
Menurut dia, dalam laporan tersebut, panel DSB mengabulkan dan menyetujui gugatan
Indonesia bahwa pemerintah Korsel melakukan berbagai pelanggaran terhadap ketentuan
agreement on anti dumping WTO dalam mengenakan tindakan anti dumping terhadap produk
kertas Indonesia.
"Korsel telah melakukan kesalahan dalam pembuktian dan menentukan kerugian yang
dialami industri domestik Korsel akibat praktek dumping produk kertas Indonesia," katanya.
Pada Mei 2003 Korsel memberlakukan BM (bea masuk) anti dumping atas produk kertas
Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti dumping terhadap
produk kertas Indonesia ke Korsel.
BM anti dumping pada November 2003 yang diberlakukan pada tiga eksportir produk kertas
yaitu PT Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli, PT Indah Kiat, PT April Pine. PT Pindo Deli, PT Tjiwi
Kimia dan PT Indah Kiat dikenakan BM dumping 8,22%, sedangkan PT April Pine dan
perusahaan lainnya 2,8%.
Sedangkan pada Mei 2003, BM dumping pada Tjiwi Kimia dan Pindo Deli masing-masing
sebelumnya sebesar 51,61% dan 11,56%.
Industri kertas Korsel melakukan petisi anti dumping terhadap produk kertas Indonesi pada
tanggal 30 September 2002.
Menurut dia, nilai ekspor produk kertas Indonesia ke Korsel pada 2002 mencapai US$139,1
juta.
"Kerugian atas BM anti dumping yang dikumpulkan oleh Pemerintah Korsel mencapai
US$500 ribu per bulan," katanya.
Pada kesempatan Managing Director Sinar Mas Group yang menangungi Indah Kiat, Pindo,
dan Tjiwi Kimia, Sulistiyanto menjelaskan sebelum adanya penerapan BM anti dumping
ekspor perusahaannya ke Korsel mencapai US$100 juta per tahun, namun kemudian turun
menjadi sekitar US$60 juta per tahun sejak ada penerapan BM anti dumping itu.
"Dengan kemenangan ini diharapkan ekspor kami bisa kembali meningkat hingga mencapai
US$120 juta per tahun," katanya.
Adapun produk Indonesia yang terkena BM dumping ada 16 jenis antara lain yang tergolong
dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose.
(*/lpk)
Pembahasan
Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara
pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri
barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang
harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri,
yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal,
pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.
Sebagai negara yang telah menjadi anggota WTO yaitu dengan meratifikasinya
Agreement Establishing the WTO melalui Undang – Undang Nomor. 7 Tahun 1994 tentang
Pembentukan WTO, maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip - prinsip pokok yang
dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum
12
mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah
dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay.
Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan
konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea Selatan
terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan
hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke
DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar
kewajibannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada
tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan
menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi
ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya
mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan
menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reason- able period
of time/RPT).
Penutup
Dengan keikutsertaan Indonesia pada WTO, maka siap atau tidak siap stakeholders
harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Dan pemerintahpun dituntut untuk dapat
menyusun dan menerapkan sistem perekonomian khususnya dalam hal perdagangan dengan
sebaik mungkin agar industri kecil dan UKM dapat terus bernafas dan tidak tersapu
gelombang pasar bebas yang telah memutuskan penerapan tariff 0%.
13
Sumber/Referensi
Rafianti, Laina, 2005. Unpad Journal of International Law : Tindakan Anti Dumping Dalam
………Kegiatan Perdagangan Internasional. Bandung.
Kartadjoemena, H.S. 1996. “GATT dan WTO” Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di
………Bidang Perdagangan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
… http://buletinbisnis.wordpress.com
… www.wikipedia.com
… www.kapanlagi.com
… www.kontan.co.id