Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kompas, 8 Desember 2005, hlm. 12.
2
Kompas, 9 Desember 2005, hlm. 12.
3
Faisal Basri, “Bertahan di Tengah Nestapa Tak Berujung”, Kompas, 7 April 2003,
hlm. 1.
4
Menurut Tri Ratnawati, reformasi birokrasi dapat dilihat sebagai proses maupun
alat. Sebagai proses, reformasi birokrasi merupakan berubahnya praktik-praktik, tingkah
laku, dan struktur birokrasi yang telah mapan. Sebagai alat, merupakan suatu sarana
untuk membentuk pemerintahan yang lebih efektif dalam menghadapi perubahan sosial
dan sarana yang lebih baik untuk menuju kesetaraan politik, keadilan sosial, dan
pertumbuhan ekonomi. Periksa: Tri Ratnawati, “Masalah Kinerja dan Akuntabilitas Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Era Otonomi Daerah” dalam Syansuddin
Haris, 2005, Desentralisasi & Otonomi DaeraH: Desentralisasi, Demokratisasi, dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press, hlm. 95.
2
BAB II
BIROKRASI: ASAL-USUL PENGERTIAN DAN PERTUMBUHAN PERAN
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 120.
6
Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern,
Jakarta: UI, hlm. 4.
7
Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta:
LP3ES, hlm. 65.
8
Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi Prima Ilmu
Administrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali, hlm. 144.
9
Eddhi Sutarto, op.cit., hlm. 139-140.
4
10
Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur
Negara, Jakarta: Belantika, hlm. 173.
11
Ibid., hlm. 64-65.
5
12
Ibid., 64.
13
Penegasan ini menunjukkan bahwa dalam sistem ekonomi yang kompleks, para
pelaku ekonomi tidak terbatas swasta saja, melainkan pemerintah yang berperan dalam
mengatur agar sistem ekonomi berjalan dengan baik. Konsekuensi demikian muncul
karena dalam statusnya sebagai aparatur perekonomian negara atau organisasi ekonomi
negara, negara mempunyai kekuasaan untuk mencapai tujuan dari kegiatan yang
dilakukannya, melakukan monopoli, dan menentukan bentuk sistem dan produk pasar
yang berlaku. Periksa: Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No. 17
Tahun 1, 11 Maret 1995, hlm. 5.
6
14
Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm. 74.
15
Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha pemerintah
mengontrol oposisi serta mengembangkan strategi untuk mengaitkan kepentingan-
kepentingan masyarakat sipil yang diorganisir menurut persekutuannya dengan struktur
yang menentukan dari rezim. Strategi semacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu
suatu strategi yang lebih berkaitan dengan penyelenggaraan perwakilan kepentingan
rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakan kelompok-kelompok kepentingan
dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-ciri: (1) jumlahnya terbatas;
(2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat wajib; (4) tidak saling bersaing; (5)
diorganisasikan secara hierarkis; (6) masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan
fungsinya; (7) memiliki monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori
masing-masing; (8) memperoleh pengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh
pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dan cara mengajukan tuntutan
dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi Orde Baru,
kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri (PNS), PWI
(wartawan), dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar Mas’oed, “Hak-hak Politik
dalam Negara Hegemonik: Pokok-pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta,
23 September 1984,.
16
Ketika melantik menteri Kabinet Indonesia Bersatu hasil reshuffle terbatas pada
tanggal 7 Desember 2005 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan
agar dalam bidang perekonomian dapat direncanakan dan disusun kebijakan yang
menyangkut: (1) mempertahankan dan memperbaiki makro-ekonomi yang sehat dengan
mengendalikan inflasi; (2) mempertahankan kebijakan fiskal dan moneter; (3) arus
barang berjalan baik; (4) mengupayakan lapangan kerja baru; (5) meingkatkan
pertumbuhan ekonomi; dan (6) meningkatkan neraca transaksi berjalan dan neraca
modal. Periksa: Kompas, 8 Desember 2005, hlm. 1. Penegasan ini mengkonfirmasi peran
birokrasi sebagaimana diuraikan di atas.
7
19
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hlm. 2.
20
Ibid.
21
Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi, Yogyakarta: Liberty, hlm.
131.
9
negarta itu menjadi sehat. Tetapi keadaan ini berubah dengan munculnya
paham demokrasi konstitusional pada abad ke-20 yang merupakan reaksi
terhadap paham negara hukum formal. Bersamaan dengan
berkembangnya konsep negara “jaga malam” itu muncul juga gejala
kapitalisme di lapangan perekonomian yang secara perlahan-lahan
menyebabkan terjadinya kepincangan dalam pembagian sumber-sumber
kemakmuran bersama. Akibatnya, timbul jurang kemiskinan yang kian
menunjukkan kecenderungan yang semakin tajam dan sulit dipecahkan
oleh negara yang difungsikan secara minimal itu. Kenyataan itu,
mendorong munculnya kesadaran baru mengenai pentingnya keterlibatan
negara dalam menangani dan mengatasi masalah ketimpangan ini.
Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu turut campur
dalam mengatur sumber-sumber kemakmuran agar tidak dikuasai oleh
segelintir orang. Bersamaan dengan itu muncul juga aliran sosialisme
yang sangat menentang individualisme dan liberalisme yang dianggap
menyebabkan munculnya kapitalisme dan melahirkan penindasan
terhadap rakyat miskin serta bahkan menciptakan kemiskinan itu sendiri.
Karena itu, atas pengaruh sosialisme ini, muncul konsepsi baru mengenai
demokrasi dan negara sejak permulaan abad ke-20 yang dikenal juga
sebagai “negara hukum material” atau negara kesejahteraan (Welfare
state).
Peran yang demikian besar mendorong pertumbuhan birokrasi
pemerintah. Dikaitkan dengan welfare state, birokrasi ialah yang
mengatur cara mencari nafkah, mengolah sumber-sumber ekonomi, dan
sekaligus menjamin tingkat kemakmuran semua warga. 22Dengan kata
lain, fungsi “zorgen” membawa akibat kekuasaan pemerintah seolah-olah
tidak terbatas asalkan kekuasaan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataannya, pengertian dan makna
kesejahteraan masyarakat ini diidentikkan dengan kepentingan umum.
Demi kepentingan umum, pemerintah dapat berbuat apa saja.
22
Ong Hok Ham, op.cit., hlm. 19.
10
BAB III
PEMERINTAHAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
23
Muchsan, 1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara Kesejahteraan”, dalam
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII,
hlm. 106.
24
Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi
Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD, hlm. 2.
25
Dalam pembicaraan negara hukum di Indonesia di kalangan ahli muncul 2 sikap.
Pertama, ahli yang tidak mempersoalkan padanan kata istilah negara hukum, seperti
Ismail Sunny dan Sunaryati Hartono yang menyamakan istilah “negara hukum” dengan
the rule of law. Periksa dalam: Ismail Sunny, 1982, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 123; Sunaryati Hartono, 1976, Apakah the Rule of Law, Bandung: Alumni,
hlm. 35. Kedua, ahli yang mempermasalahkan penggunaan istilah “negara hukum” dan
istilah asing tersebut, yaitu Phillipus M. Hadjon, yang menyebut “negara hukum”
merupakan konsep dan tidak terjemahan dari Rechsstaat dan the Rule of Law. Periksa:
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, hlm. 71-74.
11
26
Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies Accountable, USA:
Praeger Publsher Westport, hlm. 1.
27
Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, hlm. 207.
28
Loc.cit.
29
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Bandung: Mandar Maju, hlm. 6.
30
Ibid.
12
31
Ibid., hlm. 7.
32
Paimin Napitupulu, 2004, Peran dan Pertanggungjawaban DPRD, Bandung:
Alumni, hlm. 59-61.
13
transparan dan rasional menurut tolok ukur yang diatur oleh konstitusi.
Jika perselisihan politik masih diselesaikan di luar kerangka konstitusi dan
hukum yang tersedia, maka konstitusi dan keseluruhan kompleks hukum
yang bersandar kepadanya itu bukan saja tidak berlaku, negara yang
bersangkutan malahan harus dianggap sebagai masih berada dalam
tahapan pra negara hukum.
Sejauh mana hukum mampu menjalankan fungsinya secara normal
untuk melakukan pembatasan kekuasaan berhubungan dengan
konsekuensi dan efektivitas keberlakuan hukum (rechtsgelding)35. Menurut
Bruggink36 ada 3 (tiga) macam keberlakuan hukum, yaitu:
1. Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal kaidah hukum, yaitu jika
suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum
tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling
menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah
hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah
khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang
lebih tinggi;
2. Keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris kaidah hukum, yaitu
keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat,
untuk setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum
tersebut. Keadaan itu dapat dinilai dari penelitian empiris; dan
3. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu jika kaidah hukum itu
berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan
keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.
Soerjono Soekanto mengemukakan konsep pengaruh hukum
sebagai sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah
hukum yang isinya, berupa larangan, suruhan, atau kebolehan.
Keberhasilan atau kegagalan hukum diukur dari keberhasilannya
35
Dalam efektivitasi hukum akan terdapat 2 (dua) pihak yang saling bekerja
sama, yaitu peranan hukum dan peranan subyek hukum. Hukum menentukan peranan
apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh para subyek hukum, dan hukum semakin efektif
apabila peranan yang dijelaskan oleh para subyek hukum semakin mendekati apa yang
telah ditentukan dalam hukum. Periksa: Bambang Poernomo, 1982, Hukum Pidana:
Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 65.
36
Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum (Penerjemah Arif Sidharta), Bandung:
Citra Aditya Bakti, hlm. 149-152,
15
44
Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.
45
Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan Saleh Adiwinata,
dkk), Bandung: Bina Cipta, hlm. 145 dan 98.
46
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 85.
47
Menurut Bambang Poernomo, asas legalitas merupakan salah satu ciri atau asas
negara hukum yang mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu dilihat dari aspek formal dan
aspek material. Aspek formal menunjuk kepada jaminan hak asasi manusia dan
pengaturan kepentingan rakyat harus diatur di dalam undang-undang. Sementara itu,
aspek material merupakan perkembangan berikutnya, di mana jaminan hak asasi
manusia dan kepentingan rakyat itu tidak hanya diatur dalam undang-undang, akan
tetapi berdasarkan juga hukum tidak tertulis, kepatutan, dan keadilan hukum bagi semua
kewenangan atau tindakan penguasa maupun dalam menentukan adanya pelanggaran
hukum. Periksa: Bambang Poernomo, op.cit., hlm. 28-31.
48
Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 151.
18
49
Op.cit., hlm. 139.
50
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2002, Pedoman Pengembangan
Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta: Kementerian PAN, hlm. 16-60.
19
51
Mochtar Mas’oed, op.cit., hlm. 53-54.
52
Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Eanglewood Cliffs: Prentice
Hall Inc., hlm. 3.
53
Mifthah Toha, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press, hlm.
60.
20
54
M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
Jakarta: Bina Aksara, hlm. 26.
55
Ibid., hlm. 26-27.
56
Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration, California:
Brooks/Cole Publishing Co., hlm. 60.
21
62
Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat Upaya
Peningkatan Daya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIP UI,
Jakarta, 1998, hlm. 19-20.
63
Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 121.
64
Kompas, 2 Juli 2005.
24
73
Ibid., hlm. 218-219.
74
Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia Baru: Evaluasi
Perkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 81.
75
Ibid., hlm. 82.
76
Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan
Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 34.
27
pegawai negeri, mengkoordinasikan pelatihan etika bagi PNS, memeriksa kinerja PNS,
menyusun dan menyempurnakan aturan dan sanksi terhadap dugaan pelanggaran atura
dan etika, dan memberikan petunjuk dan usulan kepada setiap departemen dalam
menyelenggarakan disiplin dan etika masing-masing.
83
Di Indonesia, dewasa ini berkembang isu dwifungsi politisi, sebuah istilah yang
digelorakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunjuk adanya fenomena
banyaknya pejabat yang berasal dari pengusaha. Untuk mencegah konflik kepentingan,
maka Presiden akan mengeluarkan Inpres yang mengatur praktik bisnis pejabat. Ada 2
(dua) hal yang akan diatur yaitu (1) keikutsertaan pejabat negara secara langsung atau
tidak langsung dalam proyek pemerintah yang dibiayai oleh anggaran negara; dan (2)
aturan-aturan untuk memastikan agar tidak ada pejabat atau anggota keluarga pejabat
yang memetik keuntungan dari informasi yang mereka ketahui. Menurut Romli
Atmasasmita, sebenarnya produk hukum itu tidak perlu mengingat untuk hal sejenis
sudah ada sederet aturan, namun “mati” dalam pelaksanaan. Misalnya PP No. 6 Tahun
1974. Peraturan ini jelas-jelas melarang PNS Gol. IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat
Letnan Dua keatas, pejabat, serta isteri pejabat eselon I dan perwira tinggi ABRI untuk
berbisnis dan memiliki atau mengawasi perusahaan swasta. Selain itu ada aturan
pelaporan kekayaan pejabat negara (UU No. 28 Tahun 1999), larangan penyelnggara
negara menerima hadiah/gratifikasi (UU No. 20 Tahun 2001), dan sumpah jabatan yang
membatasi ruang gerak pejabat dalam berbinis. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm.
8.
84
Mohtar Mas’oed, op.cit., hlm. 174.
85
Korupsi, terutama di lingkungan birokrasi, merupakan “musuh” umat manusia,
jadi tidak tergantung ideologi atau sistem politik. Bahkan di negara yang libnertarian pun,
korupsi menjadi sesuatu yang amat dibenci. Sebagai contoh, di Kanada dewasa ini, di
mana partai oposisi (Konservatif, Demokratik Baru, dan Block Quebecois),
menumbangkan pemerintahan Perdana Menteri Paul Martin dari Partai Liberal (yang
sudah berjaya selama 12 tahun) melalui mosi tidak percaya karena korupsi sebesar Can$
250 juta (setara Rp 2,1 trilyun) dan dilakukan oleh Perdana Menteri sebelumnya, Jean
Chretien pada 1997-2001. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 135.
30
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1. Birokrasi merupakan suatu struktur otoritas atau organisasi yang
didasarkan atas peraturan-peraturan yang jelas dan rasional serta
posisi-posisi yang dipisahkan dari orang yang mendudukinya. Konsep
birokrasi modern muncul untuk tugas penyelenggaraan kesejahteraan
umum (bestuurzorg). Dalam menjalankan tugas tersebut, birokrasi
diberikan Freies Ermessen atau discretionary power yaitu kewenangan
yang saha untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat,
termasuk di dalamnya membuat peraturan tentang hal-hal yang belum
da pengaturannya secara mandiri;
2. Cakupan tugas birokrasi yang sedemikian besar, khususnya di dalam
negara berkembang, menyebabkan birokrasi berposisi sangat sentral
karena dalam proses itu ia bukan bertanggung jawab merencanakan
pembangunan saja, tetapi juga dalam mencari dana invetsasi,
menetapkan arah investasi, bahkan ia sendiri menjadi investor atau
entrpreneru dengan mendirikan perusahaan negara. Atas dasar yang
demikian, di dalam praktik tak dapat dihindarkan munculnya sikap
tindak birokrasi yang korup dan otoriter karena meminggirkan
partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik; dan
3. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab, birokrasi
yang kuat dan profesional tetap diperlukan guna mengawal kebijakan
yang berpihak kepada publik melalui penciptaan efektivitas hukum,
diskresi administrasi yang adil, perubahan dalam program dan
kebijakan, serta penumbuhan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Dengan demikian, maka akan melahirkan kondisi-kondisi
yang mendorong peran birokrasi secara positif untuk mewujudkan
pemerintahan yang bertanggung jawab.
32
DAFTAR PUSTAKA
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York:
Russels & Russels.
Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi
Historis Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.