You are on page 1of 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan gagasan dari Direktorat Pembinaan


TK/SD Depdiknas untuk memberikan penghargaan dan sanksi kepada
bupati/walikota yang peduli dan abai terhadap pendidikan. Hal ini
bertujuan untuk memacu sinergi antara pemerintah pusat dan daerah
dalam bidang pendidikan.1 Menurut Angelina Sondakh, anggota Komisi X
Dewan Perwakilan Rakyat RI dari Partai Demokrat, gagasan tersebut perlu
didukung karena kompetisi untuk meraih predikat terbaik serta
menghindari predikat terburuk adalah wahana efektif bagi daerah untuk
membuat terobosan berarti dalam urusan pendidikan.2
Jauh, sebelum itu, tuntutan birokrasi agar mengemuka dalam
peranannya untuk perbaikan ekonomi disuarakan oleh Faisal Basri. 3
Dikatakan bahwa untuk memelihara hasil-hasil yang telah dicapai dalam
bentuk kestabilan makro ekonomi, pemerintah dituntut untuk melakukan
langkah awal nyata dan terukur sebagai bagian dari langkah-langkah
komprehensif untuk memperkuat landasan perekonomian. Pemerintah
dituntut untuk mengenyahkan segala rintangan yang berasal dari faktor
eksternal, melindungi hak-hak dasar perusahaan dari persaingan tidak
sehat, dan arus barang impor. Dengan begitu, pasar dalam negeri bisa
menjadi katup pengaman yang ampuh untuk meredam gelombang
kebangkrutan usaha dan pemutusan hubungan kerja.
Contoh di atas adalah sebuah cuplikan upaya untuk melakukan
reformasi birokrasi.4 Dengan mengambil contoh urusan pemerintahan di
bidang pendidikan dan ekonomi, maka ada semacam wacana untuk

1
Kompas, 8 Desember 2005, hlm. 12.
2
Kompas, 9 Desember 2005, hlm. 12.
3
Faisal Basri, “Bertahan di Tengah Nestapa Tak Berujung”, Kompas, 7 April 2003,
hlm. 1.
4
Menurut Tri Ratnawati, reformasi birokrasi dapat dilihat sebagai proses maupun
alat. Sebagai proses, reformasi birokrasi merupakan berubahnya praktik-praktik, tingkah
laku, dan struktur birokrasi yang telah mapan. Sebagai alat, merupakan suatu sarana
untuk membentuk pemerintahan yang lebih efektif dalam menghadapi perubahan sosial
dan sarana yang lebih baik untuk menuju kesetaraan politik, keadilan sosial, dan
pertumbuhan ekonomi. Periksa: Tri Ratnawati, “Masalah Kinerja dan Akuntabilitas Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Era Otonomi Daerah” dalam Syansuddin
Haris, 2005, Desentralisasi & Otonomi DaeraH: Desentralisasi, Demokratisasi, dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press, hlm. 95.
2

menematkan kembali fungsi utama birokrasi, yaitu pelayanan publik. Ada


semangat untuk memberikan carriot and stick, penghargaan dan
hukuman. Pada intinya, persoalan ini—yang dapat dikembangkan lagi ke
dalam persoalan-persoalan lain yang lebih luas—menggambarkan betapa
besar peran birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bertanggung
jawab. Tulisan di bawah ini hendak menggambarkan konsep birokrasi dan
peranannya dalam membentuk pemerintahan yang bertanggung jawab.
3

BAB II
BIROKRASI: ASAL-USUL PENGERTIAN DAN PERTUMBUHAN PERAN

A. BIROKRASI: ORIGINALITAS KONSEP


Kata “birokrasi” secara leksikal mengandung pengertian: (a) Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah
berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau
pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang
banyak liku-likunya, dan sebagainya.5 Menurut Blau dan Meyer, birokrasi
adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas
administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang
banyak secara sistematis.6 Sementara itu, Bintoro Tjokroamidjojo
mengatakan bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir
secara rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi diitegrasikan
ke dalam keseluruhan struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi
disusun sebagai hirarki otoritas yang terelaborasi yang mengutamakan
pembagian kerja secara terperinci yang dilakukan sistem administrasi,
khususnya oleh aparatur pemerintah.7 Sehubungan dengan hal ini, Miftah
Thoha mengatakan bahwa birokrasi merupakan kepemimpinan yang
diangkat oleh suatu jabatan yang berwenang, dia menjadi pemimpin
karena mengepalai suatu unit organisasi tertentu. Kepemimpinan birokrasi
selalu dimulai dari peran yang formal, yang diwujudkan dalam hirarki
kewenangan. Dalam hal ini, kewenangan birokrasi merupakan kekuasaan
legitimasi jika pimpinan mempunyai otoritas berarti efektif
kepeimpinannya.8
Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber9,memberikan ciri-ciri birokrasi
sebagai berikut:

5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 120.
6
Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern,
Jakarta: UI, hlm. 4.
7
Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta:
LP3ES, hlm. 65.
8
Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi Prima Ilmu
Administrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali, hlm. 144.
9
Eddhi Sutarto, op.cit., hlm. 139-140.
4

1. Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan


organisasi didistribusikan melalui cara yang telah ditentukan, dan
dianggap sebagai tugas resmi;
2. Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis yaitu bahwa unit
yang lebih rendah dalam sebuah kantor berada di bawah pengawasan
dan pembinaan yang lebih tinggi;
3. Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang
konsisten dan mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus
tertentu;
4. Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa
perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu, tanpa
persaan-perasaan kasih sayang atau auntianisme;
5. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan kepada
kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara
sepihak; dan
6. Pengalaman secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe
organisasi administratif murni yang berciri birokratis dilihat dari sudut
pandangan yang semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai
tingkat efisiensi yang tinggi.
Pencirian di atas dirangkum oleh Feisal Tamin, ketika mengatakan
bahwa birokrasi merupakan suatu struktur otoritas atau organisasi yang
didasarkan atas peraturan-peraturan yang jelas dan rasional serta posisi-
posisi yang dipisahkan dari orang yang mendudukinya. 10 Selanjutnya,
dengan mengutip pendapat Denhard, Feisal Tamin11 mengemukakan
bahwa birokrasi ditandai dengan kinerja yang sarat dengan acuan sebagai
berikut:
1. Komitmen terhadap nilai-nilai sosial politik yang telah disepakati
bersama (publicly defined societal values) dan tujuan politik (public
purpose);

10
Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur
Negara, Jakarta: Belantika, hlm. 173.
11
Ibid., hlm. 64-65.
5

2. Implementasi nilai-nilai sosial politik yang berdasarkan etika dalam


tatanan manajemen publik (provide an ethical basis for public
management);
3. Realisasi nilai-nilai sosial politik (exercising social political values);
4. Penekanan pada pekerjaan kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan
mandat pemerintah (emphasis on public policy in carrying out mandate
of government);
5. Keterlibatan dalam pelayanan publik (involvement overall quality of
public services); dan
6. Bekerja dalam rangka penanganan kepentingan umum (operate in
public interest).
Konsep birokrasi di atas dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi
yang diemban sebuah birokrasi negara, yaitu:12
1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan
kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk
memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi
tertentu;
2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan
profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan publik dan mengintegrasikan atau
menginkorporasiklannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan
pemerintah; dan
4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan
inovatif dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle,
dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.13

12
Ibid., 64.
13
Penegasan ini menunjukkan bahwa dalam sistem ekonomi yang kompleks, para
pelaku ekonomi tidak terbatas swasta saja, melainkan pemerintah yang berperan dalam
mengatur agar sistem ekonomi berjalan dengan baik. Konsekuensi demikian muncul
karena dalam statusnya sebagai aparatur perekonomian negara atau organisasi ekonomi
negara, negara mempunyai kekuasaan untuk mencapai tujuan dari kegiatan yang
dilakukannya, melakukan monopoli, dan menentukan bentuk sistem dan produk pasar
yang berlaku. Periksa: Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No. 17
Tahun 1, 11 Maret 1995, hlm. 5.
6

Menurut Mochtar Mas’oed14, birokrasi sebagai aparat negara


mempunyai 5 (lima) kelompok fungsi dengan derajat keaktifan yang
berbeda. Fungsi paling sederhana dengan tingkat keaktifan paling rendah
adalah sekedar melakukan administrasi. Ini adalah gambaran kaum
liberal abad ke-18 mengenai pemerintah yang pasif dan netral. Ia hanya
melaksanakan pekerjaan secara administratif, mencatat statistik, dan
menyimpan arsip. Kadang-kadang ia digambarkan seperti “tukang jaga
malam.” Kalau masyarakat sibur bekerja, negara tidak boleh ikut campur,
tetapi kalau masyarakat tidur, negara harus menjaga keamanan mereka.
Ketika negara sedemikian aktifnya, ia melakukan fungsi arbitrasi dan
regulasi. Di sini, ia aktif menerapkan kekuasaan sebagai polisi dan
menyelesaikan sengketa antarberbagai kelompok masyarakat dan
mencoba mengendalikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat itu
sehingga tidak menimbulkan konflik yang terbuka.15
Dalam tahap perkembangan berikut, negara menjadi lebih aktif
dalam kehidupan ekonomi dengen menerapkan pengendalian finansial,
moneter, dan fiskal.16 Pemerintah lebih aktif mempengaruhi pasar

14
Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm. 74.
15
Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha pemerintah
mengontrol oposisi serta mengembangkan strategi untuk mengaitkan kepentingan-
kepentingan masyarakat sipil yang diorganisir menurut persekutuannya dengan struktur
yang menentukan dari rezim. Strategi semacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu
suatu strategi yang lebih berkaitan dengan penyelenggaraan perwakilan kepentingan
rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakan kelompok-kelompok kepentingan
dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-ciri: (1) jumlahnya terbatas;
(2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat wajib; (4) tidak saling bersaing; (5)
diorganisasikan secara hierarkis; (6) masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan
fungsinya; (7) memiliki monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori
masing-masing; (8) memperoleh pengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh
pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dan cara mengajukan tuntutan
dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi Orde Baru,
kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri (PNS), PWI
(wartawan), dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar Mas’oed, “Hak-hak Politik
dalam Negara Hegemonik: Pokok-pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta,
23 September 1984,.
16
Ketika melantik menteri Kabinet Indonesia Bersatu hasil reshuffle terbatas pada
tanggal 7 Desember 2005 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan
agar dalam bidang perekonomian dapat direncanakan dan disusun kebijakan yang
menyangkut: (1) mempertahankan dan memperbaiki makro-ekonomi yang sehat dengan
mengendalikan inflasi; (2) mempertahankan kebijakan fiskal dan moneter; (3) arus
barang berjalan baik; (4) mengupayakan lapangan kerja baru; (5) meingkatkan
pertumbuhan ekonomi; dan (6) meningkatkan neraca transaksi berjalan dan neraca
modal. Periksa: Kompas, 8 Desember 2005, hlm. 1. Penegasan ini mengkonfirmasi peran
birokrasi sebagaimana diuraikan di atas.
7

konsumen, volume uang yang beredar dalam masyarakat, dan pasok


kapital. Misalnya, memberi subsidi suku bunga uang rendah agar investor
tertarik melakukan investasi, menetapkan anggaran belanja negara
dengan tujuan merangsang produksi barang dalam negeri, menetapkan
pajak progresif demi pemerataan, dan sebagainya. Tindakan birokrasi
yang paling aktif adalah melakukan tindakan langsung. Dalam hal ini
negara menggunakan sumberdayanya untuk langsung menangani
kegiatan ekonomi maupun militer. Kalau suatu komiditi dinilai strategis
bagi kepentingan nasional, negara turun tangan langsung dalam bisnis
komoditi itu.17 Kelima fungsi ini berkembang menjadi instrumen kekuasaan
pemerintah untuk mengintervensi kegiatan masyarakat.
Konsep dan organisasi birokrasi modern muncul pertama kali di
Etopa pada akhir abad ke-18, yaitu pada masa Revolusi Industri dan
Revolusi Prancis. Sejarawan melihat bahwa birokrasi di Inggris tumbuh
dari peristiwa sejarah yang kebetulan. Karena faktor keturunan, raja-raja
dari Hannover di Jerman waktu itu menjadi Raja Inggris. Kerajaan yang
mereka tinggalkan kemudian diperintah oleh para birokrat. Kendati
demikian, ada beberapa sejarawan yang berpendapat bahwa birokrasi
modern Eropa terinspirasi oleh Kekaisaran Chi’ing dengan mandarin-
mandarinnya, yang melakukan tugas atas dasar filsafat Konfusius.
Kekaisaran ini memang memiliki sistem ujian yang ketat bagi calon
pegawainya, hal yang juga diterapkan di dalam birokrasi modern.
Konsep negara dan birokrasi modern di Indonesia dibawa oleh
Marsekal Herman William Daendels, yang melihat dirinya sebagai
Napoleon kecil yang harus menciptakan negara model Napoleon di koloni
Hindia Belanda. Secara tegas di amenciptakan pembagian fungsi, daerah,
dan hirarki kekuasaan baik di kalangan penguasa Belanda (Eropa) maupun
bumiputera. Kendati demikian pada masa pemerintahan Deandels banyak
peraturan yang hanya di atas kertas, karena pertimbangan politik antara
penguasa bumi putera dan Belanda belum banyak berubah.18
17
Hal ini menjadi latar belakang pragmatis kemunculan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Atas dasar keamanan nasional, sejumlah badan usaha yang terkait dengan
pelayanan militer diserahkan sepenuhnya kepada negara. Periksa: Erma Wahyuni dkk,
2003, Kebijakan dan Manajemen Privatisasi BUMN/BUMD, Yogyakarta: YPAP, hlm. 4.
18
Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis
Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 19-20.
8

B. Negara Kesejahteraan dan Peran Birokrasi


Menurut Kranenburg, sebagaimana dikutip oleh Muchsan 19, negara
pada hakekatnya merupakan suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan
oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Dalam pandangan ini,
causa prima terjadinya negara adalah sekelompok manusia yang disebut
bangsa yang berkesadaran untuk mendirikan suatu organisasi. Pendirian
organisasi tersebut dengan tujuan pokok memelihara kepentingan dari
sekelompok manusia tersebut. Nampak dengan jelas, bahwa fungsi
negara adalah menyelenggarakan kepentingan bersama dari anggota
kelompok yang disebut bangsa.20
Upaya memahami perkembangan peranan negara dapat ditelaah
dari perspektif negara hukum atau teori demokrasi konstitusional. Menurut
Moh. Mahfud M.D., pemunculan kembali prinsip demokrasi sebagai prinsip
fundamental kehidupan bernegara telah mengantarkan timbulnya
demokrasi konstitusional yang memberikan lingkup peranan negara
secara berlainan.21
Demokrasi konstitusional yang hidup pada abad ke-19 dan dikenal
dengan “negara hukum formal” telah memberikan batasan yang sempit
bagi negara untuk memainkan perannya. Dalam demokrasi dengan
negara hukum formal ini, pemerintah bersikap pasif, hanya menjadi
panitia kecil pelaksana keinginan masyarakat yang diperjuangkan secara
liberal sehingga negara atau pemerintah lebih diberi sifat sebagai penjaga
malam (nachtmachterstaat) karena penan yang kecil dan kedudukannya
yang berada di bawah pengaruh rakyat (pluralisme liberal). Pembatasan
terhadap fungsi negara “penjaga malam” itu pada akhirnya berkembang
tidak hanya meliputi bidang politik tetapi juga bidan ekonomi. Dalam
bidang yang terakhir ini, paham serupa juga berkembang secara
bersamaan, yaitu paham laizzes faires yang mendalilkan bahwa negara
harus membiarkan atau membebaskan warganya untuk mengurus
kepentingan ekonomi masing-masing agar keadaan ekonomi dalam

19
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hlm. 2.
20
Ibid.
21
Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi, Yogyakarta: Liberty, hlm.
131.
9

negarta itu menjadi sehat. Tetapi keadaan ini berubah dengan munculnya
paham demokrasi konstitusional pada abad ke-20 yang merupakan reaksi
terhadap paham negara hukum formal. Bersamaan dengan
berkembangnya konsep negara “jaga malam” itu muncul juga gejala
kapitalisme di lapangan perekonomian yang secara perlahan-lahan
menyebabkan terjadinya kepincangan dalam pembagian sumber-sumber
kemakmuran bersama. Akibatnya, timbul jurang kemiskinan yang kian
menunjukkan kecenderungan yang semakin tajam dan sulit dipecahkan
oleh negara yang difungsikan secara minimal itu. Kenyataan itu,
mendorong munculnya kesadaran baru mengenai pentingnya keterlibatan
negara dalam menangani dan mengatasi masalah ketimpangan ini.
Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu turut campur
dalam mengatur sumber-sumber kemakmuran agar tidak dikuasai oleh
segelintir orang. Bersamaan dengan itu muncul juga aliran sosialisme
yang sangat menentang individualisme dan liberalisme yang dianggap
menyebabkan munculnya kapitalisme dan melahirkan penindasan
terhadap rakyat miskin serta bahkan menciptakan kemiskinan itu sendiri.
Karena itu, atas pengaruh sosialisme ini, muncul konsepsi baru mengenai
demokrasi dan negara sejak permulaan abad ke-20 yang dikenal juga
sebagai “negara hukum material” atau negara kesejahteraan (Welfare
state).
Peran yang demikian besar mendorong pertumbuhan birokrasi
pemerintah. Dikaitkan dengan welfare state, birokrasi ialah yang
mengatur cara mencari nafkah, mengolah sumber-sumber ekonomi, dan
sekaligus menjamin tingkat kemakmuran semua warga. 22Dengan kata
lain, fungsi “zorgen” membawa akibat kekuasaan pemerintah seolah-olah
tidak terbatas asalkan kekuasaan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataannya, pengertian dan makna
kesejahteraan masyarakat ini diidentikkan dengan kepentingan umum.
Demi kepentingan umum, pemerintah dapat berbuat apa saja.

22
Ong Hok Ham, op.cit., hlm. 19.
10

Kepentingan umum menghalalkan segala cara. 23 Hal inilah yang menjadi


pertimbangan perlunya pembentukan pemerintahan yang bertanggung
jawab.

BAB III
PEMERINTAHAN YANG BERTANGGUNG JAWAB

Sejak dulu kursi kekuasaan bukanlah sesuatu yang bersih. Mereka


yang duduk di sana selalu berlomba dengan melakukan persekongkolan
dan kelicikan, agar tumbuh cepat menjadi kelompok istimewa. Hal ini
sejalan dengan pendapat Lord Acton, sebagaimana dikutip oleh Sjachran
Basah24, bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk
disalahgunakan. Dalam melaksanakan tindakannya pemerintah
memerlukan keleluasaan dan kekuasaan dalam menentukan kebijakan-
kebijakannya. Akan tetapi, dalam suatu negara hukum 25, merupakan suatu

23
Muchsan, 1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara Kesejahteraan”, dalam
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII,
hlm. 106.
24
Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi
Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD, hlm. 2.
25
Dalam pembicaraan negara hukum di Indonesia di kalangan ahli muncul 2 sikap.
Pertama, ahli yang tidak mempersoalkan padanan kata istilah negara hukum, seperti
Ismail Sunny dan Sunaryati Hartono yang menyamakan istilah “negara hukum” dengan
the rule of law. Periksa dalam: Ismail Sunny, 1982, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 123; Sunaryati Hartono, 1976, Apakah the Rule of Law, Bandung: Alumni,
hlm. 35. Kedua, ahli yang mempermasalahkan penggunaan istilah “negara hukum” dan
istilah asing tersebut, yaitu Phillipus M. Hadjon, yang menyebut “negara hukum”
merupakan konsep dan tidak terjemahan dari Rechsstaat dan the Rule of Law. Periksa:
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, hlm. 71-74.
11

syarat bahwa setiap tindakan pemerintah itu haruslah dapat


dipertanggungjawabkan.26
Kerangka rasional utama pemerintahan dewasa ini adalah
demokrasi. Menurut Deliar Noer27 demokrasi sebagai dasar hidup
bernegara pada umumnya memberikan pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan
pemerintahan negara oleh karena kebijaksanaan itu menentukan
kehidupan rakyat. Dalam suatu pemerintahan yang demokratis, inti
persoalan utama adalah membuat pemerintah tunduk kepada masyarakat
yang diperintah. Menurut Rosen28 ada 4 (empat) hal yang harus dilakukan
untuk membentuk pemerintahan yang bertanggung jawab, yaitu
menciptakan efektivitas hukum, melaksanakan diskresi administratif yang
adil, melakukan perubahan dalam kebijakan dan program, dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
A. MENCIPTAKAN EFEKTIVITAS HUKUM
Kekuasaan negara berhubungan erat dengan konstitusi. Menurut
Bagir Manan, tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki
konstitusi apapun wujud dan ruang lingkupnya. 29 Konstitusi mengatur
organisasi negara dan susunan pemerintahan. Di mana ada organisasi
negara dan kebutuhan menyusun suatu pemerintahan negara, akan selalu
diperlukan konstitusi. Bagir Manan menunjuk hakikat konstitusi sebagai
perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme yaitu
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu pihak dan jaminan
terhadap hak-hak warganegara maupun setiap penduduk di pihak lain. 30
Tetapi, Bagir Manan juga mengingatkan bahwa adanya rangkaian kaidah
atau ketentuan yang membatasi kekuasaan pemerintah disertai jaminan
hak-hak dasar belum berarti hakikat konstitusi telah diwujudkan.
Kesemuanya harus dilihat dalam kehidupan sehari-hari negara yang

26
Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies Accountable, USA:
Praeger Publsher Westport, hlm. 1.
27
Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, hlm. 207.
28
Loc.cit.
29
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Bandung: Mandar Maju, hlm. 6.
30
Ibid.
12

bersangkutan. Suatu negara mungkin memilih rangkaian kaidah konstitusi


yang lengkap, tetapi bukan negara konstitusional. Sebab dalam kenyataan
pemerintah negara tersebut menjalankan kekuasaan tanpa batas dan hak-
hak rakyat sama sekali ditelantarkan.31
Dalam hal ini konstitusi sebenarnya membawa pesan tentang
bagaimana kekuasaan pemerintah distrukturkan. Isi dari konstitusi
memang berbeda-beda antarnegara, namun pada intinya sering memuat
4 fungsi sebagai berikut. Pertama, konstitusi memberikan rancangan bagi
terbentuknya struktur pemerintahan. Kedua, konstitusi memberikan
kekuasaan bagi unit-unit pemerintahan. Ketiga, konstitusi menyatakan
konsensus tentang tujuan apa yang akan dicapai oleh suatu pemerintah.
Asumsi dasarnya adalah bahwa tidak ada masyarakat yang tidak
majemuk, baik secara kultural, profesi, maupun etnik. Mengingat hukum
berisi kemajemukan semacam ini, kepentingan yang sangat beragam
selalu hadir dalam masyarakat. Kehadiran konstitusi dalam konteks
kemajemukan semacam ini dapat juga disebutkan sebagai refleks adanya
konsensus tersebut. Keempat, konstitusi menciptakan suatu pemerintahan
yang stabil untuk perubahan pemerintah. Biasanya ada 2 rumusan dasar
yang implisit terkandung di dalam konstitusi yaitu formula untuk
mewujudkan “stabilitas” dan formula untuk mengijinkan adanya
perubahan.32
Singkat kata, suatu konstitusi merupakan buatan manusia dan
dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para sarjana serta
praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini merupakan fenomena sosial dan
mencerminkan adanya nilai-nilai, ide-ide, kepentingan-kepentingan
golongan, dan juga kepentingan perumusnya. Suatu konstitusi dengan
demikian dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang
seharusnya secara demokratis menampung dan menyalurkan aspirasi-
aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya mencerminkan pandangan
rakyat tentang tata norma etis sosial, ketertiban umum, keadilan, tata
nilai sosial, dan budaya, peranan serta hubungan antar lembaga-lembaga

31
Ibid., hlm. 7.
32
Paimin Napitupulu, 2004, Peran dan Pertanggungjawaban DPRD, Bandung:
Alumni, hlm. 59-61.
13

sosial.33 Di samping itu, melalui konstitusi rakyat juga menyatakan


keinginan tentang bagaimana persoalan peralihan kekuasaan negara
harus dilakukan dan bagaimana kekuasaan itu harus diselenggarakan oleh
pemerintah. Dengan cara demikian, konstitusi sebenarnya merupakan
instrumen untuk merakyatkan pemerintah sebagai penyelenggara
kekuasaan negara dan menjauhkannya dari kemungkinan untuk menjadi
kekuasaan absolut itu sendiri. Namun karena konstitusi dibuat bukan
hanya untuk dijalankan oleh pemerintah belaka, melainkan juga seluruh
rakyat, pada akhirnya dia merupakan seperangkat aturan permainan yang
mengikat bagi pihak yang mengemban mandat untuk memerintah
maupun bagi mereka yang memberikan mandat tersebut.
Tetapi kadang-kadang konstitusi, entah disengaja atau karena
substansinya yang tidak memuaskan, sering dimanfaatkan oleh segelintir
penguasa guna mengintepretasikannya sendiri atau dengan mengubah
konstitusi sesuai dengan kehendaknya. Keadaan demikian sudah barang
tentu akan mengurangi kadar keseimbangan politik yang diatur oleh
konstitusi. Dimaksudkan dengan keseimbangan politik di sini bukanlah
sekadar keseimbangan diantara kepentingan atau aspirasi politik yang
hidup di tengah masyarakat. Keseimbangan politik semacam itu malahan
tidak pernah ada, jika berdasarkan prinsip demokrasi hanya aspirasi politik
yang mewakili kaum mayoritas yang bisa mengirimkan kaum mayoritas
itu ke kursi pemerintahan.34 Konstitusi modern dengan demikian
menghendaki keseimbangan proporsional ketimbang mengagungkan
kepentingan mayoritas semata. Artinya, mayoritas politik yang berkuasa
semestinya akan menampung aspirasi politik yang menjadi
kepentingannya seandainya ia berposisi sebagai minoritas politik.
Konsekuensi lebih jauh adalah keseimbangan politik merupakan keadaan
di mana perselisihan politik dan masyarakat diselesaikan secara
33
Budiono Kusumohamidjojo, 2004, op.cit, Jakarta: Grasindo, hlm. 218. Dalam
substansi yang mirip, Dario Castiglione menyatakan bahwa “The constitution in its
functional sense, is therefore the general pattern according to which a society is ordered.
Periksa dalam Richard Bellamy dan Dario Castiglione, 1996, The Polical Theory of the
Constitution, Oxford: Blackwell, hlm. 9.
34
Hal ini sejajar dengan pandangan Tocqueville bahwa suatu kondisi nyata jika “a
law of justice that applies to society in general, where soverignty belongs to mankind as
a whole” yang berlaku sebagai superior law terhadap “democratic majoriyariansm.”
Periksa: Ibid., hlm. 20.
14

transparan dan rasional menurut tolok ukur yang diatur oleh konstitusi.
Jika perselisihan politik masih diselesaikan di luar kerangka konstitusi dan
hukum yang tersedia, maka konstitusi dan keseluruhan kompleks hukum
yang bersandar kepadanya itu bukan saja tidak berlaku, negara yang
bersangkutan malahan harus dianggap sebagai masih berada dalam
tahapan pra negara hukum.
Sejauh mana hukum mampu menjalankan fungsinya secara normal
untuk melakukan pembatasan kekuasaan berhubungan dengan
konsekuensi dan efektivitas keberlakuan hukum (rechtsgelding)35. Menurut
Bruggink36 ada 3 (tiga) macam keberlakuan hukum, yaitu:
1. Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal kaidah hukum, yaitu jika
suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum
tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling
menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah
hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah
khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang
lebih tinggi;
2. Keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris kaidah hukum, yaitu
keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat,
untuk setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum
tersebut. Keadaan itu dapat dinilai dari penelitian empiris; dan
3. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu jika kaidah hukum itu
berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan
keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.
Soerjono Soekanto mengemukakan konsep pengaruh hukum
sebagai sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah
hukum yang isinya, berupa larangan, suruhan, atau kebolehan.
Keberhasilan atau kegagalan hukum diukur dari keberhasilannya

35
Dalam efektivitasi hukum akan terdapat 2 (dua) pihak yang saling bekerja
sama, yaitu peranan hukum dan peranan subyek hukum. Hukum menentukan peranan
apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh para subyek hukum, dan hukum semakin efektif
apabila peranan yang dijelaskan oleh para subyek hukum semakin mendekati apa yang
telah ditentukan dalam hukum. Periksa: Bambang Poernomo, 1982, Hukum Pidana:
Kumpulan Karangan Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 65.
36
Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum (Penerjemah Arif Sidharta), Bandung:
Citra Aditya Bakti, hlm. 149-152,
15

mengatur sikap tindak atauperilaku tetrentu sehingga sesuai dengan


tujuan tertentu. Sikap tindak atau perilaku yang sesuai dengan tujuan
tersebut disebut ‘positif’ aatau ‘efektif’, sedangkan sikap tindak yang tidak
sesuai dengan tujuan atau perilaku yang menjauhi tujuan dinamakan
‘negatif’ atau ‘tidak efektif’.37 Dalam hal ini, Soerjono Soekanto
menganggap efektivitas hukum merupakan salah satu konsekuensi hukum
yang dapat dipertentangkan dengan konsekuensi hukum lain, yaitu
kegagalan hukum. Namun, keadaan tidak selalu dapat digolongkan
kepada salah satu diantara keduanya.38 Adakalanya hukum dipatuhi,
tetapi tujuannya tidak sepenuhnya tercapai. Hal itu disebabkan kadang-
kadang tidak sama antara semangat kaidah hukum dengan tulisan kaidah
hukum itu sendiri.
Dalam perspektif yang hampir sama, Hans Kelsen menyatakan
bahwa suatu hukum ‘efektif’ jika keadaan orang berbuat sesuai dengan
norma hukum yang mengharuskan mereka berbuat atau tidak berbuat,
dengan kata lain, norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi
sesuai dengan perintah norma hukum.39 Dalam kasus ini, Antonny Allot
berpendapat bahwa suatu norma akan efektif jika terdapat kriteria:
1. Jika tujuannya preventif ukuran keberhasilan ditentukan oleh eksistensi
dan penerapan yang dapat mencegah sifat yang tidak disetujuinya; dan
2. Jika tujuannya kuratif, yaitu untuk memperbaiki suatu kekurangan atau
kerusakan, maka keberhasilannya diukur dari sejauh mana kekurangan
atau kerusakan dapat dihilangkan.
Di dalam praktik, agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka
diperlukan penegakan hukum. Menurut Hart, dimaksudkan sebagai
penegakan hukum adalah upaya untuk menerapkan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum atau penyimpangan dan pelanggaran terhadap
hukum yang berlaku dalam masyarakat.40 Penegakan hukum harus
mewujudkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang
berkonflik. Bagir Manan mengingatkan bahwa salah satu aspek yang perlu
37
Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung:
Remaja Rosdakarya, hlm. 7.
38
Ibid., hlm. 8.
39
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York: Russels &
Russels, hlm. 39.
40
Hart, 1983, Concept of Law, London: Oxford University Press, hlm. 7.
16

diperhatikan sehubungan dengan penegakan hukum adalah keadaan


hukum yang ditegakkan.41 Keadaan hukum tidak dimaksudkan sebagai
penjelasan mengenai kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku yang
biasanya dikaitkan dengan hukum-hukum peninggalan kolonial atau
hukum lain yang telah mati tertinggal oleh zaman. Keadaan hukum yang
dimaksudkan adalah berkenaan dengan proses pembentukan hukum
dalam kaitan dengan susunan kekuasaan yang berlaku.42
Menurut Paimin Napitupulu43, agar penegakan hukum itu dapat
berjalan dengan efektif diperlukan prasyarat-prasyarat sebagai berikut:
1. Penetapan suatu aturan hukum seharusnya diselaraskan dengan
kebutuhan di bidang lain sehingga tidak mengorbankan kepentingan
lain;
2. Penetapan suatu aturan hukum seharusnya mempertimbangkan aspek
biaya, misalnya mengeluarkan biaya besar demi suatu aturan yang
tidak ada gunanya dalam masyarakat; dan
3. Penetapan aturan hukum juga harus mempertimbangkan persoalan
waktu (the matter of timing) sehingga pelaksanaannya dapat berjalan
secara efektif.

B. MELAKSANAKAN DISKRESI ADMINISTRASI YANG ADIL


Pertumbuhan dan perkembangan peran pemerintah di atas harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa karena sedemikian luas aspek
kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka
sudah barang tentu tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan
tindakan yang akan diambil oleh birokrasi telah tersedia aturannya. Dalam
keadaan seperti ini membawa birokrasi kepada suatu konsekuensi khusus
yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan
kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting
yang timbul mendadak dan peraturan penyelesaiannya belum ada.
Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini dalam
hukum administrasi negara disebut sebagai freies Ermessen.
41
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa: Suatu Pencarian, Yogyakarta:
UII Press, hlm. 2.
42
Ibid., hlm. 3.
43
Paimin Napitupulu, 2004, op.cit., hlm. 138.
17

Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies


diturunkan dari kata frei dan freise yang artinya bebas, merdeka, tidak
terikat, lepas, dan orang bebas. Kata Ermessen mengandung arti
mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan
keputusan. Jadi, secara etimologis, freies Ermessen dapat diartikan
sebagai “orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas
menduga, dan bebas mengambil keputusan.”44
Selain itu, freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair,
yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti
menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seharusnya
terikat pada undang-undang.45 Menurut Prajudi Atmosudirjo46, asas
diskresi (discretie; freis Ermessen) artinya, pejabat penguasa tidak boleh
menolak mengambil keputusan dengan alasan ‘tidak ada peraturannya’
dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan
menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yurisdiktas dan
asas legalitas47. Senada dengan pendapat itu, Sjacran Basah, 48
mengatakan bahwa diperlukannya freies Ermessen oleh birokrasi itu
dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri,
terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang
timbul secara tiba-tiba. Dengan demikian, pemerintah terpaksa bertindak
cepat membuat penyelesaian. Namun, keputusan-keputusan yang diambil
untuk menyelesaiakan masalah itu harus dapat dipertanggungjawabkan.

44
Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.
45
Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan Saleh Adiwinata,
dkk), Bandung: Bina Cipta, hlm. 145 dan 98.
46
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 85.
47
Menurut Bambang Poernomo, asas legalitas merupakan salah satu ciri atau asas
negara hukum yang mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu dilihat dari aspek formal dan
aspek material. Aspek formal menunjuk kepada jaminan hak asasi manusia dan
pengaturan kepentingan rakyat harus diatur di dalam undang-undang. Sementara itu,
aspek material merupakan perkembangan berikutnya, di mana jaminan hak asasi
manusia dan kepentingan rakyat itu tidak hanya diatur dalam undang-undang, akan
tetapi berdasarkan juga hukum tidak tertulis, kepatutan, dan keadilan hukum bagi semua
kewenangan atau tindakan penguasa maupun dalam menentukan adanya pelanggaran
hukum. Periksa: Bambang Poernomo, op.cit., hlm. 28-31.
48
Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 151.
18

Donald Warwick, sebagaimana dikutip oleh Paimin Napitupulu 49,


mengajukan prinsip-prinsip etika yang dapat memberikan arahan dalam
pelaksanaan diskresi oleh birokrasi, yaitu:
1. Diskresi seharusnya dilaksanakan dalam koridor kepentingan
masyarakat, lepas dari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu;
2. Proses pelaksanaan diskresi seharusnya mencakup pilihan reflektif;
3. Pelaksanaan diskresi harus didasarkan kepada kejujuran;
4. Pelaksanaan diskresi seharusnya memasukkan penghargaan yang
mendasar kepada prosedur mapan karena mungkin mereka satu-
satunya faktor terpenting (the single most important factor) dalam
meningkatkan keadilan dan akuntabilitas; dan
5. Pelaksanaan diskresi seharusnya memasukkan penetapan batasan-
batasan pada alat-alat yang dipilih untuk mencapai tujuan organisasi.
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa persoalan utama dalam diskresi
pemerintahan yang etis adalah tanggung jawab terhadap generasi dan
penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak harus korup dan mengganggu
kepentingan publik. Untuk maksud ini, maka Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara50 memunculkan 17 belas pasang nilai-
nilai dasar budaya kerja atau mengandung 34 unsur nilai yang perlu
dikembangkan, yaitu:
1. Komitmen dan konsisten terhadap visi dan misi guna tercapainya tujuan
organisasi dalam pelaksanaan kebijakan negara serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Wewenang dan tanggung jawab;
3. Keikhlasan dan kejujuran;
4. Integritas dan Profesionalisme;
5. Kreativitas dan kepekaan;
6. Kepemimpinan dan keteladanan;
7. Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja;
8. Ketepatan/keakurasian dan kecepatan;
9. Rasionalitas dan kecerdasan emosi;

49
Op.cit., hlm. 139.
50
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2002, Pedoman Pengembangan
Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta: Kementerian PAN, hlm. 16-60.
19

10. Keteguhan dan ketegasan;


11. Disiplin dan keteraturan kerja;
12. Keberanian dan kearifan;
13. Dedikasi dan loyalitas;
14. Semangat dan motivasi;
15. Ketekunan dan kesabaran;
16. Keadilan dan keterbukaan; dan
17. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (yang diperlukan untuk
pelaksanaan tugas pekerjaan, terutama metode analisa dan
pengambilan keputusan).
C. MELAKUKAN PERUBAHAN DALAM PERUBAHAN DALAM
KEBIJAKAN DAN PROGRAM

Paling tidak sejak awal 1980-an, di kalangan pelajar dan ilmuwan


politik berkembang 2 (dua) asumsi. Pertama, bahwa kebijakan berperan
penting. Artinya, pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah
menentukan keberhasilan atau kegagalan pembangunan. Kedua,
keberhasilan atau kegagalan pembangunan disebabkan oleh kegagalan
pemerintah (atau lembaga non-pasar) untuk menyesuaian mekanisme
kerjanya terhadap dinamika pasar. Argumen terakhir inilah yang
kemudian mendorong terjadinya reformasi birokrasi.51
Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan publik,
yaitu pilihan yang dilakukan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Dye menyebutkan bahwa hal-hal yang ditetapkan untuk tidak
dilakukan oleh pemerintah adalah termasuk juga kebijakan publik karena
sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah itu akan mempunyai
pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang
dilakukannya.52 Menurut Mifthah Thoha53, kebijakan pemerintah
merupakan alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua

51
Mochtar Mas’oed, op.cit., hlm. 53-54.
52
Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Eanglewood Cliffs: Prentice
Hall Inc., hlm. 3.
53
Mifthah Toha, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press, hlm.
60.
20

yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah


hasil alokasi nilai-nilai. Jika diuraiakan secara rinci, kebijakan itu meliputi 54:
1. Rancangan tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program pemerintah
yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi
oleh masyarakat;
2. Apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan;
dan
3. Masalah-masalah kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh
pemerintah.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, kebijakan publik
mempunyai implikasi sebagai berikut:55
1. Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya merupakan penetapan
tindakan-tindakan pemerintah;
2. Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan
dalam bentuk yang nyata;
3. Kebijakan publik itu baik yang untuk melakukan sesuatu maupun untuk
tidak melakukan sesuatu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu;
dan
4. Kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan
seluruh anggota masyarakat.
Menurut Shafritz dan Hyde56kewenangan dalam pengambilan suatu
kebijakan terkait dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat
peraturan publik dan sekaligus sebagai agen pendorong hubungan sosial.
Pemerintah sebagai agen pembuat peraturan publik mempunyai
kewenangan untuk membuat suatu kebijakan yang dituangkan dalam
perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah sebagai agen pendorong
hubungan sosial adalah menyerap dinamika sosial dalam masyarakat
yang akan dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar terdapat

54
M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
Jakarta: Bina Aksara, hlm. 26.
55
Ibid., hlm. 26-27.
56
Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration, California:
Brooks/Cole Publishing Co., hlm. 60.
21

tata hubungan sosial yang harmonis. Menurut Bambang Sunggono 57,


terdapat 10 (sepuluh) pengertian kebijakan publik, yaitu:
1. Kebijakan sebagai merek suatu bidang kegiatan tertentu;
2. Kebijakan sebagai pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan
tertentu yang dikehendaki;
3. Kebijakan sebagai suatu usulan-usulan khusus;
4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah;
5. Kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal;
6. Kebijakan sebagai program;
7. Kebijakan sebagai keluaran;
8. Kebijakan sebagai hasil akhir;
9. Kebijakan sebagai teori atau model; dan
10. Kebijakan sebagai proses.
Dari sepuluh pengertian tersebut, maka kebijakan publik lebih
mengacu kepada pengertian keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan
publik merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah
program. Dengan demikian, kebijakan publik merupakan keputusan
(formal) pemerintah yang berisi program-program pembangunan sebagai
realisasi dari fungsi atau tugas negara serta dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan nasional.
Menurut Mackenzie58 kebijakan publik tidak selalu identik dengan
hukum. Hukum merupakan petunjuk bagi kebijakan publik atau suatu
pernyataan yang diharapkan oleh pembentuk hukum menjadi kebijakan.
Di samping itu, peranan pelaksana dalam perumusan hukum tidak sebesar
peranan pelaksana dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini
dimungkinkan karena perbedaan filosofi dalam penyusunan aturan hukum
dan kebijakan publik. Aturan hukum lebih banyak didasarkan kepada nilai-
nilai normatif yang relatif universal, seperti baik-buruk, benar-salah, boleh-
tidak boleh, dan sebagainya, sementara kebijakan publik lebih bersifat
politik, di mana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-
beda, bahkan ada yang saling bertentangan.
57
Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: Sinar Grafika,
hlm. 15-20.
58
G. Calvin Mackenzie, 1986, American Government: Politicsa and Public Policy,
New York: Random House, hlm. 3-4.
22

Salah satu persoalan yang dihadapi oleh birokrasi sekarang ini


adalah bahwa birokrasi pemerintahan tidak berprakarsa dan tidak inovatif
dan terlalu sering menggunakan kemampuan mereka untuk
menghancurkan gagasan-gagasan baru, termasuk perubahan. 59 Kesulitan
utama dalam membuat perubahan karena ada gap yang besar diantara
harapan warganegara, persepsi, dan realitas. Dalam konteks ini, kebijakan
baru dan perubahan organisasi perlu untuk membangun akuntabilitas
yang lebih jelas, memberikan visibilitas terhadap suatu program baru,
mengurangi duplikasi, atau mengkonsolidasikan semuanya untuk
memperbaiki pelaksanaan pemerintahan. Untuk menilai sejauh mana
daya tanggap birokrasi terhadap perubahan dan kebutuhan, maka dewasa
ini diperkenalkan konsep “kinerja sektor publik.”
Menurut Rue dan Byars, sebagaimana dikutip oleh Chaizi Nasucha 60
menyatakan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan
organisasi. Diuraiakan lebih lanjut, bahwa kinerja bagi setiap organisasi
merupakan kegiatan yang sangat penting terutama penilaian ukuran
keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Singkatnya,
kinerja berhubungan dengan prestasi kerja.61 Sementara itu, konsep
produktivitas sektor publik didasarkan kepada asumsi-asumsi normatif
yang menyatakanbahwa organisasi publik tidak sepenuhnya otonom, akan
tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksternal. Organisasi publik secara
hukum diadakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan
tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan organisasi publik lainnya.
Kesehatan suatu organisasi publik diukur berdasarkan konstribusinya
terhadap tujuan politik dan kemampuannya mencapai hasil yang
maksimal dengan sumber daya yang tersedia. Produktivitas organisasi
dalam sektor publik diukur dari segi kualitas pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat, terutama sejauh mana hasil tersebut dapat dicapai
dengan standar yang diinginkan.62 Berkaitan dengan hal ini, kinerja sektor
publik memerlukan pengukuran, bertujuan untuk membantu manajer
59
Paimin Napitupulu, op.cit., hlm. 140.
60
Chaizi Nasucha, 2004, Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik, Jakarta:
Grasindo, hlm. 24.
61
Prajudi Atmosudirjo, “Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja Aparatur Daerah,
Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”, Manajemen Pembangunan, No. 19
Tahun V, April, Jakarta: Bappenas, hlm. 11.
23

publik dalam menilai suatu pencapaian strategi melalui instrumen


finansial dan nonfinansial. Menurut Mardiasmo 63, pengukuran kinerja
sektor publik mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Membantu memperbaiki kinerja pemerintahan agar kegiatan
pemerintah terfokus kepada tujuan dan sasaran program unit kerja;
2. Pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; dan
3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan.
Berkaitan dengan kinerja birokrasi, di Indonesia ternyata kualitasnya
masih buruk. Dengan mengambil fokus kepada birokrasi investasi, survei
The Political and Economic Risk Consultancy Ltd yang mengambil 1.000
responden ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat kedua
terburuk. Dalam survei tersebut, digunakan skala penilaian 0 sampai
dengan 10. Semakin mendekati angka 10, maka sistem birokrasi negara
tersebut semakin buruk.64 Dalam laporan itu, antara lain dikatakan bahwa
birokrasi “hidup” sangat baik di Asia, tidak peduli dengan apa pun bentuk
sistem politik di negara tersebut. Pemerintah yang seharusnya
memberikan pelayanan publik sepertinya lebih bertindak sebagai
penguasa dan bukan pelayan. Kebijakan yang dikeluarkan sepertinya
bukan mempermudah, melainkan mempersulit investor. Dengan tingginya
biaya formal yang harus dikeluarkan, para pengusaha akhirnya lebih
memilih jalur formal. Tidak heran, jika negara yang buruk birokrasinya
memiliki korelasi yang besar dalam hal tingkat korupsi tinggi.
Survei sejenis pernah dilakukan oleh Bank Dunia yang menunjukkan
bahwa untuk mulai investasi di Indonesia pengusaha harus melewati 12
prosedur yang memerlukan waktu 151 hari. Dalam hal biaya, prosedur
panjang ini setara dengan 130,7% dari pendapatan per kapita penduduk
Indonesia. Para investor juga menaruh uangnya minimal 125,7% dari
pendapatan per kapita di bank untuk memperoleh ijin berusaha. Untuk
menutup usaha membutuhkan waktu 6 (enam) tahun dan melewati

62
Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat Upaya
Peningkatan Daya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIP UI,
Jakarta, 1998, hlm. 19-20.
63
Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 121.
64
Kompas, 2 Juli 2005.
24

sebanyak 34 prosedur. Berikut ini disajikan tabel kinerja prosedur dan


birokrasi di Indonesia:
Tabel 1
Perbandingan Pendirian Usaha
Fokus Indonesia Rata-rata regional
Jumlah prosedur 12 8
Waktu (hari) 151 51
Rasio biaya terhadap 130,7 48,3
pendapatan per
kapita (%)
Sumber: Kompas, 2 Juli 2005
Tabel 2
Penilaian Birokrasi di Asia
Negara Nilai
Singapura 2,2
Hongkong 1,1
Jepang 4,6
Korea Selatan 4,9
Taiwan 5,5
Thailand 5,6
Filipina 6,2
Malaysia 6,45
China 7,3
Vietnam 7,63
Indonesia 8,2
India 8,92
Sumber: Kompas, 2 Juli 2005
Sehubungan dengan masalah tersebut, maka Siti Zahro dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 65 menyatakan bahwa untuk
memperbaiki kinerja birokrasi perlu dilakukan reformasi seluruh sistem
birokrasi melalui reformasi hukum yang mendukungnya. Hal itu dilakukan
dengan 3 (tiga) cara, pertama, pola pikir abdi negara yang mengabdi
kepada penguasa atau partai politik yang berkuasa harus diubah menjadi
mengabdi kepada rakyat66. Kedua, bagaimana menjadikan birokrat
profesional67 dengan orientasi kerja yang optimal dan tidak bekerja suatu
65
“Saatnya Birokrasi direformasi”, Kompas, 10 Desember 2005, hlm. 4.
66
Sebagai contoh dewasa ini adalah kebijakan impor beras. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa negara harus melindungi petani. Mereka tidak
boleh menderita karena sebuah kebijakan. Lihat: “Impor Beras: Petani Jangan Jadi Korban
Kebijakan”, Kompas, 10 Desember 2005, hlm. 1.
67
Arah kebijakan penataan menuju birokrasi yang profesional ditegaskan dalam
Butir ke-8 Penjelasan Umum UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian,
25

kewajiban linear68. Ketiga, mendekatkan birokrasi dengan rakyat 69.


Dengan reformasi tersebut, maka diharapkan peran birokrasi akan selalu
inovatif dan bisa “menembus ortodoksi kebijakan publik.”70
D. MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT KEPADA
PEMERINTAH

Kepercayaan merupakan kekuatan paling dahsyat di muka bumi. 71


Menurut Moh. Mahfud M.D.,72 kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
diwujudkan antara lain dalam bentuk respon masyarakat terhadap
kebijakan publik. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa operasionalisasi
kewenangan birokrasi selalu berbentuk tindakan hukum berupa kebijakan
publik. Dalam hal ini, kebijakan publik mewrupakan isi atau materi dsari
keputusan-keputusan publik yang dibuat dan diimplementasikan oleh
pemerintah, baik untuk berbuat sesuatu maupun untuk tidak berbuat
sesuatu. Berbicara tentang respons masyarakat terhadap kebijakan publik
berarti berbicara partisipasi masyarakat dalam proses politik karena
respon merupakan wujud dari bentuk partisipasi politik di dalam

yaitu,”Undnag-Undang ini menegaskan bahwa untuk menjamin manajemen dan


pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka jabatan yang ada dalam organisasi
pemerintahan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional, merupakan jabatan
karier yang hanya dapat diisi atau diduki oleh PNS dan/atau Pegawi Negeri yang telah
beralih status sebagai PNS.”
68
Atas hal ini dapat memunculkan netralitas birokrasi sehingga birokrasi dapat
beridiri di atas semua golongan dan politik. Meskipun demikian, sebagai warganegara,
aparatur birokrasi tetap mempunyai hak memilih dan hak dipilih, tidak buta politik, dan
senatiasa mengikuti perkembangan politik supaya tidak mudah dipermainkan oleh tarik
menarik kepentingan politik yang ada. Periksa: Feisal Tamin, op.cit., hlm. 155.
69
Sehubungan dengan hal ini adalah bagaimana mendekatkan birokrasi dengan
rakyat melalui komunikasi yang baik sehingga program pembangunan dapat diterima
oleh masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi D.I. Jogjakarta
untuk membangun lahan parkir bawah tanah di Alun-Alun Utara Yogyakarta ternyata
menimbulkan kontroversi antara mempertahankan kebudayaan dengan realitas
kebutuhan penataan kota. Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur sekaligus
raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, para pihak yang mengkritiknya “…terkesan
melupakan realita yang kita hadapi sehari-hari tentang parkir ‘di atas’ Alun-alun yang
kumuh dan kotor…Bahwa pembangunan ‘parkir bawah tanah’ akan mengurangi bahkan
menghilangkan makna kesakralan poros filosofi imajiner Kraton-Tugu. Sebaliknya,
terhadap keberadaan Alun-alun Utara yang kumuh dan kotor sekarang ini, mereka lupa
melihatnya sebagai hal yang mengganggu kesakralan itu. Selengkapnya, lihat Sultan
Hamengkubuwonoo X, “Alun-Alun Utara Yogyakarta: Antara Wacana dan Realita”,
Kompas, 9 Desember 2005, hlm. 68.
70
Purwo Santoso (Ed.), 2005, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik,
Yogyakarta: FISIP UGM.
71
Feisal Tamin, op.cit., hlm. xiii.
72
Moh. Mahfud M.D., 1999, Pergumulan Hukum dan Politik di Indonesia,
Yogyakarta: Gama Media, hlm. 217-218.
26

kehidupan bernegara. Partisipasi politik mempunyai arti sangat penting di


negara-negara demokrasi, karena tingkat partisipasi politik masyarakat
dapat menunjukkan tingkat dukungan masyarakat terhadap
kebijaksanaan pemerintah. Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat
partisipasi politik akan menentukan apakah suatu pemerintah legitimated
atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat ini akan sangat dipengaruhi
oleh tingkat kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat dalam
suatu negara.73
Menurut Graham K.A. dan S.D. Philips, sebagaimana dikutip oleh Leo
Sutanto74 partisipasi masyarakat dapat dikatakan sebagai the continued
active involvement if citizens in making the policies which effect them.
Pada dasarnya tujuan partisipasi masyarakat sangatlah beragam, meliputi
berbagi informasi, akuntabilitas, legitimasi, pendidikan, pemberdayaan
masyarakat, hingga berbagi kekuasaan secara nyata. Partisipasi ini dapat
berlangsung di beberapa arena, yaitu pertama, praktik operasional yang
menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi publik,
keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna jasa
dengan kebutuhan tertentu, dan lain sebagainya. Kedua, keputusan
pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang didelegasikan.
Ketiga, pembuatan kebijaksanaan yang menyangkut tujuan-tujuan
strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu serta prioritas
pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya.75
Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders yaitu
mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu
kebijakan. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara,
lembaga pemerintah, maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah)
seperti partai politik, kelompok kepentingan, pengusaha, dan sebagainya.
Proses untuk mempengaruhi kebijakan publik inilah yang pada hakikatnya
merupakan proses politik.76

73
Ibid., hlm. 218-219.
74
Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia Baru: Evaluasi
Perkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 81.
75
Ibid., hlm. 82.
76
Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan
Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 34.
27

Menurut James E. Anderson77 menyebut adanya 6 (enam) faktor


yang mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan negara, yaitu:
1. Adanya respek terhadap otoritas dan keputusan badan pemerintah. Jika
pemerintah telah terdidik untuk mengakui otoritas tersebut, mereka
akan malu untuk melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap
keputusan-keputusan pemerintah;
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijaksanaan yaitu penerimaan
secara logis bahwa kebijaksanaan tersebut memang diperlukan oleh
pemerintah untuk kepentingan warganya;
3. Adanya keyakinan bahwa kebijaksanaan itu dibuat secara sah dan
konstitusional oleh organ yang berwenang sehingga masyarakat
bersedia untuk mematuhinya;
4. Adanya kepentingan pribadi yaitu kesesuaian antara kebijaksanaan
publik dengan kenginan pribadi-pribadi anggota masyarakat;
5. Adanya ancaman sanksi bagi yang tidak mematuhi kebijaksanaan
publik tersebut serta adanya keinginan untuk tidak dicap sebagai
tukang melanggar hukum; dan
6. Karena lampaunya waktu sehingga masalah yang dulu ditolak atau
kontroversial pada saatnya, setelah lampau waktu tertentu, dapat
diterima secara wajar dan ditaati.
Sementara itu, Anderson78 juga mencatat adanya 5 (lima) faktor
yang menyebabkan masyarakat tidak mentaati suatu kebijaksanaan
negara, yaitu:
1. Karena bertentangan dengan sistem nilai masyarakat seperti
bertentangan dengan ajaran agama yang diakui oleh masyarakat yang
bersangkutan79;
77
James E. Anderson, 1966, Cases in Public Policy Making, New York: Praeger
Publisher, hlm. 114-117.
78
Ibid., hlm. 117-119.
79
Dalam hal ini, salah satu faktor yang menentukan adalah relasi agama-negara.
Penulis ingin memberikan contoh bagaimana hubungan antara negara dan agama Islam.
Menurut Abdurrahman Wahid, ada 4 (empat) pola hubungan antara Islam dan negara.
Pola pertama adalah tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil.
Artinya kampung kecil yang penduduknya muslim lambat laun berkembang menjadi kota
dan akhirnya pusat-pusat kerjaan, seperti Parelak, Samuderai Pasai di Aceh, di mana
hukum negara adalah hukum agama. Tidak ada konflik antara hukum agama dan hukum
adat karena memang tidak dikenal atau tidak ada hukum adat. Pola yang kedua adalah
sebagaimana terjadi di Sumatera Barat, di mana agama Islam menghadapi hukum adat
karena tidak ada pusat kekuasaan atau kerajaan besar yang bisa memenangkan adat
28

2. Karena ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, yaitu patuh secara


ketat terhadap bidang hukum tertentu, tetapi tidak patuh terhadap
bidang hukum yang lain.80 Misalnya, kepatuhan terhadap hukum pidana
lebih ketat dibandingkan kepatuhan terhadap hukum agama;
3. Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok yang ide-idenya
kadang-kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum atau
keinginan pemerintah81;
4. Karena ada kecenderungan untuk mencari untung dengan cepat
sehingga menimbulkan tingkah laku suka menerobos atau melanggar
hukum dan ketentuan-ketentuan yang dilakukan oleh pemerintah 82; dan
atau syariah. Akhirnya, yang menyelesaikan adalah Belanda pada tahun 1836, sekaligus
menyudahi Perang Paderi, di mana secara formal keduanya diakui yaitu dalam kata-kata
adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah. Itu artinya, eksistensi hukum adat
diakakui asal tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pola yang ketiga adalah pola
kerajaan Gowa yang sekarang diteruskan oleh kerajaan Semenanjung Malaysia. Pada
awalnya ada kerajaan kuat yang menganut adat istiadat pra- Islam. Kemudian, lewat
perdagangan, perkawinan, dan aliansi-aliansi ekonomi antara kalangan istana dan orang
Islam. Berangsung-angsur memunculkan kerajaan yang di satu sisi menganut ajaran
Islam, tetapi adat istiadat sebelumnya tidak ditolak. Selanjutnya, pola keempat adalah
sebagaimana terjadi di Jawa, terutama semenjak berdirinya Kerajaan Mataram (Islam) di
bawah Panembahan Senopati. Ada agama bayangan (tradisi pra-Islam dan Hindu) dan
agama formal (Islam) yang melahirkan budaya Kraton. Ada kebebasan bagi rakyat,
asalkan ada kepatuhan mutlak terhadap raja. Periksa: Abdurrahman Wahid, 1999,
Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo, hlm. 107-108.
80
Sebagai contoh penolakan masyarakat, antara lain pemogokan oleh guru
negeri, terhadap Perda Kabupaten Lombok Timur No. 9 Tahun 2002 tentang Pengelolaan
Zakat. Perda itu ditindaklanjuti oleh Bupati Ali bin Dahlan yang menetapkan kewajiban
PNS untuk menyetor 2,5% dari gajinya sebagai zakat profesi. Inti persoalan dimulai dari
syariah Islam, di mana mengenai penetapan golongan yang layak dan mampu membayar
zakat (muzakki). Di dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dikatakan
bahwa setiap warganegara yang mampu wajib mengeluarkan zakat, termasuk
penghasilan tiap bulan yang diterima PNS. Masalahnya, nishab (batas minimum) gaji
yang harus dizakati tidak diatur jelas. Jika menggunakan nishab emas, maka beratnya
adalah 92 gram atau setara 815 kg beras. Dengan patokan ini, maka gaji PNS yang
terkena nishab adalah gaji minimal Rp 1 juta. Sementara itu, Pemda Kabupaten Lombok
Timur menggunakan ukuran gaji kotor, padahal dalam praktik, banyak PNS yang hanya
menikmati gaji ratusan ribu saja karena dipotong gajinya atas berbagai pengeluaran.
Reportase masalah ini, periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 52-53.
81
Sebagai contoh dapat dilihat pada Gerakan Intifadah di Palestina sejak tahun
1987, yang terlihat semakin radikal dalam peningkatan konflik dan kekerasan melawan
Israel. Gerakan ini sering diasosiakan dengan kelompok Hamas (Harakat al-Muqawamah
al-Islamiyyah, atau gerakan perlawanan Islam), Jihad Islam, dan kelompok-kelompok
Islam lain. Periksa: Azyumardi Arza, “Dilema Negara Yahudi”, Kata Pengantar dalam
Musthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan Perdamaian,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xxii-xxiii.
82
Di Jepang, untuk mengendalikan birokrasi agar tidak berperilaku menerabas,
misalnya menerima suap, maka pada tahun 2000 telah ditetapkan UU tentang Dewan
Etika Pegawai Negeri Nasional. Dewan ini terdiri atas 5 (lima) orang, termasuk seorang
ketua yang diangkat dari pensiunan hakim. Unsur keanggotaan yang lain, yaitu
akademisi, buruh, pengusaha, dan wartawan. Dewan dilengkapi dengan sekretariat dan
hampir 80 orang staf, termasuk penyelidik. Tugas utama dewan adalah menyusun kode
etik PNS, melakukan riset dan penelitian untuk memelihara perilaku beretika tinggi
29

5. Karena adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan ukuran


kebijaksanaan yang satu dan lainnya saling bertentangan. Di samping
itu, ada perbedaan pandangan dan kepentingan sering pula menjadi
faktor penyebab tidak ditaatinya suatu kebijaksanaan publik karena
timbulnya penafsiran yang berbeda-beda.83
Partisipasi masyarakat, yang dalam aspek yang lain adalah
pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mempengaruhi proses
pembuatan keputusan pemerintah, merupakan salah satu faktor struktural
yang bersifat pelembagaan politik agar birokrasi tidak berlaku korup. 84 Di
sebagian besar negara, birokrasi cenderung lebih kuat dibandingkan
lembaga-lembaga yang lain sehingga seringkali ia lepas dari kontrol
masyarakat.85 Lebih dari itu, terutama di negara yang sedang
membangun, birokrasi berposisi sangat sentral karena dalam proses itu ia
bukan bertanggung jawab merencanakan pembangunan saja, tetapi juga
dalam mencari dana invetsasi, menetapkan arah investasi, bahkan ia
sendiri menjadi investor atau entrpreneru dengan mendirikan perusahaan

pegawai negeri, mengkoordinasikan pelatihan etika bagi PNS, memeriksa kinerja PNS,
menyusun dan menyempurnakan aturan dan sanksi terhadap dugaan pelanggaran atura
dan etika, dan memberikan petunjuk dan usulan kepada setiap departemen dalam
menyelenggarakan disiplin dan etika masing-masing.
83
Di Indonesia, dewasa ini berkembang isu dwifungsi politisi, sebuah istilah yang
digelorakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunjuk adanya fenomena
banyaknya pejabat yang berasal dari pengusaha. Untuk mencegah konflik kepentingan,
maka Presiden akan mengeluarkan Inpres yang mengatur praktik bisnis pejabat. Ada 2
(dua) hal yang akan diatur yaitu (1) keikutsertaan pejabat negara secara langsung atau
tidak langsung dalam proyek pemerintah yang dibiayai oleh anggaran negara; dan (2)
aturan-aturan untuk memastikan agar tidak ada pejabat atau anggota keluarga pejabat
yang memetik keuntungan dari informasi yang mereka ketahui. Menurut Romli
Atmasasmita, sebenarnya produk hukum itu tidak perlu mengingat untuk hal sejenis
sudah ada sederet aturan, namun “mati” dalam pelaksanaan. Misalnya PP No. 6 Tahun
1974. Peraturan ini jelas-jelas melarang PNS Gol. IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat
Letnan Dua keatas, pejabat, serta isteri pejabat eselon I dan perwira tinggi ABRI untuk
berbisnis dan memiliki atau mengawasi perusahaan swasta. Selain itu ada aturan
pelaporan kekayaan pejabat negara (UU No. 28 Tahun 1999), larangan penyelnggara
negara menerima hadiah/gratifikasi (UU No. 20 Tahun 2001), dan sumpah jabatan yang
membatasi ruang gerak pejabat dalam berbinis. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm.
8.
84
Mohtar Mas’oed, op.cit., hlm. 174.
85
Korupsi, terutama di lingkungan birokrasi, merupakan “musuh” umat manusia,
jadi tidak tergantung ideologi atau sistem politik. Bahkan di negara yang libnertarian pun,
korupsi menjadi sesuatu yang amat dibenci. Sebagai contoh, di Kanada dewasa ini, di
mana partai oposisi (Konservatif, Demokratik Baru, dan Block Quebecois),
menumbangkan pemerintahan Perdana Menteri Paul Martin dari Partai Liberal (yang
sudah berjaya selama 12 tahun) melalui mosi tidak percaya karena korupsi sebesar Can$
250 juta (setara Rp 2,1 trilyun) dan dilakukan oleh Perdana Menteri sebelumnya, Jean
Chretien pada 1997-2001. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 135.
30

negara. Dalam kaitan ini, pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan


bagi banyak perusahaan yang menggantungkan kepada kontrak
pemerintah, selain juga memberi lapangan kerja bagi mereka yang ingin
menjadi pegawai negeri.
Untuk membuka partisipasi masyarakat tersebut, maka diperlukan
prasyarat yang terbuka, antara lain lewat proteksi hukum terhadap hak
masyarakat untuk aktif dalam berekspresi, mengakses informasi, dan
mendistribusikannya. Kebebasan mengakses informasim erupakan modal
sosial untuk mewujudkan transparansi kebijakan, akuntabilitas
pemerintahan, peraturan hukum yang kuat, suara rakyat, dan kesampatan
yang setara untuk beraktualisasi.
Di Indonesia, hak masyarakat atas informasi telah mendapatkan
pengakuan di dalam Pasal 28F UUD 1945. Beberapa undang-undang
sektoral juga mengakui hak publik atas informasi. Misalnya, UU No. 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih KKN. Ada sekitar 17 undang-undang sektoral yang telah
menegaskan ha masyarakat atas informasi. Meski demikian, berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut tak cukup kuat sebagai landasan
hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dikelola
lembaga publik. Klausul tentang kebebasan informasi dalam peraturan
perundang-undangan sektoral tersebut bersifat umum dan sebatas
mengakui hak masyarakat. Peraturan perundang-undangan itu tidak
berbicara tentang mekanisme yang baku dan jelas tentang informasi yang
dapat diperoleh oleh masyarakat, bagaimana prosedur untuk
memperolehnya, lembaga mana yang dapat memberi informasi, dan
apakah sanksinya jika lembaga atau pejabat publik tidak melayani
permintaan informasi dari masyarakat. Bagaimana mekanisme hukum dari
masyarakat yang tidak mendapatkan informasi secara baik.
31

BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1. Birokrasi merupakan suatu struktur otoritas atau organisasi yang
didasarkan atas peraturan-peraturan yang jelas dan rasional serta
posisi-posisi yang dipisahkan dari orang yang mendudukinya. Konsep
birokrasi modern muncul untuk tugas penyelenggaraan kesejahteraan
umum (bestuurzorg). Dalam menjalankan tugas tersebut, birokrasi
diberikan Freies Ermessen atau discretionary power yaitu kewenangan
yang saha untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat,
termasuk di dalamnya membuat peraturan tentang hal-hal yang belum
da pengaturannya secara mandiri;
2. Cakupan tugas birokrasi yang sedemikian besar, khususnya di dalam
negara berkembang, menyebabkan birokrasi berposisi sangat sentral
karena dalam proses itu ia bukan bertanggung jawab merencanakan
pembangunan saja, tetapi juga dalam mencari dana invetsasi,
menetapkan arah investasi, bahkan ia sendiri menjadi investor atau
entrpreneru dengan mendirikan perusahaan negara. Atas dasar yang
demikian, di dalam praktik tak dapat dihindarkan munculnya sikap
tindak birokrasi yang korup dan otoriter karena meminggirkan
partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik; dan
3. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab, birokrasi
yang kuat dan profesional tetap diperlukan guna mengawal kebijakan
yang berpihak kepada publik melalui penciptaan efektivitas hukum,
diskresi administrasi yang adil, perubahan dalam program dan
kebijakan, serta penumbuhan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Dengan demikian, maka akan melahirkan kondisi-kondisi
yang mendorong peran birokrasi secara positif untuk mewujudkan
pemerintahan yang bertanggung jawab.
32

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, 1999, Mengurai Hubungan Agama dan Negara,


Jakarta: Grasindo.

Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat


Upaya Peningkatan Daya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar FISIP UI, Jakarta, 1998.

Azyumardi Arza, “Dilema Negara Yahudi”, Kata Pengantar dalam


Musthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan
Perdamaian, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi


Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju.

Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta:


Sinar Grafika.

Bambang Poernomo, 1982, Hukum Pidana: Kumpulan Karangan


Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara.

Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies


Accountable, USA: Praeger Publsher Westport.

Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan,


Jakarta: LP3ES.

Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum (Penerjemah Arif Sidharta),


Bandung: Citra Aditya Bakti.

Chaizi Nasucha, 2004, Reformasi Administrasi Publik: Teori dan


Praktik, Jakarta: Grasindo.

Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar


Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No. 17


Tahun 1, 11 Maret 1995.
33

Erma Wahyuni dkk, 2003, Kebijakan dan Manajemen Privatisasi


BUMN/BUMD, Yogyakarta: YPAP.

Faisal Basri, “Bertahan di Tengah Nestapa Tak Berujung”, Kompas, 7


April 2003.

Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan


Aparatur Negara, Jakarta: Belantika.

Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan Saleh


Adiwinata, dkk), Bandung: Bina Cipta.

G. Calvin Mackenzie, 1986, American Government: Politicsa and


Public Policy, New York: Random House.

Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York:
Russels & Russels.

Hart, 1983, Concept of Law, London: Oxford University Press.

Ismail Sunny, 1982, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit


Andi.

Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi


Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali.

M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan


Negara, Jakarta: Bina Aksara.

_______________________, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta:


Rajawali Press

Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi, Yogyakarta:


Liberty.

_______________________,1999, Pergumulan Hukum dan Politik di


Indonesia, Yogyakarta: Gama Media.

Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________________________,“Hak-hak Politik dalam Negara Hegemonik:


Pokok-pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23
September 1984.

Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat


Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta:
Liberty.
34

_______________________,1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara


Kesejahteraan”, dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum
dan Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2002, Pedoman


Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, Jakarta: Kementerian PAN.

Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia


Baru: Evaluasi Perkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005.

Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi
Historis Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Paimin Napitupulu, 2004, Peran dan Pertanggungjawaban DPRD,


Bandung: Alumni.

Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat


Modern, Jakarta: UI.

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di


Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu.

Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:


Ghalia Indonesia.

_________________________,“Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja


Aparatur Daerah, Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”,
Manajemen Pembangunan, No. 19 Tahun V, April, Jakarta: Bappenas.

Purwo Santoso (Ed.), 2005, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan


Publik, Yogyakarta: FISIP UGM.

Richard Bellamy dan Dario Castiglione, 1996, The Polical Theory of


the Constitution, Oxford: Blackwell.

Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak


Administrasi Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD.

______________________, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan


Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.

Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration,


California: Brooks/Cole Publishing Co.

Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi,


Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sultan Hamengkubuwonoo X, “Alun-Alun Utara Yogyakarta: Antara
Wacana dan Realita”, Kompas, 9 Desember 2005.
35

Sunaryati Hartono, 1976, Apakah the Rule of Law, Bandung: Alumni.

Tri Ratnawati, “Masalah Kinerja dan Akuntabilitas Kepala Daerah dan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Era Otonomi Daerah” dalam
Syansuddin Haris, 2005, Desentralisasi & Otonomi DaeraH: Desentralisasi,
Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press.

Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan


Kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No.
55/XXVIII/I/2005.

You might also like