You are on page 1of 39

TUGAS BAHASA JEPANG

TENTANG:

BUDAYA JEPANG

OLEH:
PENDAHULUAN
Jepang merupakan Negara yang di juluki Negara matahari dan Negara bunga
sakura, mengapa demikian? Karena di Negara jepang mayoritas beragama Shinto yang
menyembah matahari sehingga disebut Negara matahari, sedangkan julukan Negara bunga
sakura di berikan karena banyak bunga sakura yang tumbuh si tanah jepang, bahkan untuk
menyambut musim semi sakura orang jepang mempunyai suatu tradisi, yaitu biasa disebut
perayaan hanami (perayaan melihat mekarnya bunga) sebagai symbol kebahagiaan karena
datangnya musim semi, di mana di saat itu bunga sakura mekar dengan cantiknya. Di setiap
budayanya mempunyai arti tersendiri. Dari zaman jomon sampai zaman hesei sekarang,
orang jepan mampu melestarikan kebudayaannya sendiri.

Dengan ini saya menyusun rangkuman tentang kebudayaan jepang yang terdiri dari:

1. Perayaan hanami

2. Samurai

3. Shogun (Sei-i Taishōgun)

4. Baju tradisional jepang

Perayaan hanami

Hanami (hana wo miru = melihat bunga) atau ohanami adalah tradisi Jepang dalam
menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan
lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik
dengan menggelar tikar untuk pesta makan-makan di bawah pohon sakura. Rombongan
demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah pepohonan sakura
untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang, dan lain-lain
layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, ada kelompok
perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.

Samurai

Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi


kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan
kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada
samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 侍侍 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”,
pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 侍 侍 侍 侍 ), pada bagian catatan itu tertulis
“secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah
samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).

Shogun (Sei-i Taishōgun)

Shogun ( 侍 侍 Shōgun) adalah istilah bahasa Jepang yang berarti jenderal. Dalam
konteks sejarah Jepang, bila disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan adalah Sei-i
Taishōgun ( 侍 侍 侍 侍 侍 ) yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi melawan Orang
Biadab (istilah "Taishōgun" berarti panglima angkatan bersenjata). Sei-i Taishōgun
merupakan salah satu jabatan jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō Ritsuryō. Jabatan
Sei-i Taishōgun dihapus sejak Restorasi Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang,
istilah shōgun yang berarti jenderal dalam kemiliteran tetap digunakan hingga sekarang.

Baju tradisional jepang

Baju tradisional jepang adalah kimono, kimono di bagi menjadi 2 macam yaitu kimono
wanita dan kimono pria. Kimono wanita ini masih di bagi menjadi beberapa macam di
antaranya adalah:

1. Kurotomesode: kimono paling formal dan biasanya di pakai wanita yang sudah
menikah.

2. Irotomesode: kimono yang di pakai oleh wanita dewasa yang sudah menikah/belum
menikah untuk menghadiri acara formal.

3. Furisode: adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah.

4. Homongi: adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah.

5. Iromuji: adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji
tersebut memiliki lambang keluarga (kamon).

6. Tsukesage: Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau
belum menikah.

7. Komon: Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah.

8. Tsumugi: adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita
yang sudah atau belum menikah.
9. Yukata: adalah kimono nonformal yang dipakai pria dan wanita pada kesempatan
santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang api, matsuri
(ennichi), atau menari pada perayaan obon.

Sedangkan kimono pria di bagi menjadi 2 yaitu: kimono formal dan kimono santai

1. Kimono formal: yaitu berupa setelan montsuki hitan dengan hakama dan haori

2. Kimono santai atau kinagashi: yaitu kimono yang di pakai sebagai pakean sehari-ahri
atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi.

KEBUDAYAAN JEPANG
Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik membuat Negara bunga sakura itu
banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia, kebudayaan jepang yang
sampai saat ini masih dilakukan dalam berbagai kesempatan misalkan perayaan hanami, di
karenakan masyarakat jepang mencintai kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya.
Orang jepang mau memakai pakean seberat dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri
upacara resepsi pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya warga jepang pada
kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa kebudayaan jepang
itu, mungkin dengan mengetahui beberapa kebudayaan jepang kita bisa sedikit meniru cara
melestarikan kebudayaannya, mungkin bisa saja kebudayaan kita tetap terjaga dan tetap di
lakukan seperti kebudayaan jepang, berikut beberapa contoh kebudayaan jepang:

- Perayaan hanami

- Samurai

- Shogun

- Baju tradisional jepang

PERAYAAN HANAMI

Perayaan : akhir Maret/awal April


Hanami (hana wo miru = melihat bunga) atau
ohanami adalah tradisi Jepang dalam
menikmati keindahan bunga, khususnya bunga
sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan
lambang kebahagiaan telah tibanya musim
semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik
dengan menggelar tikar untuk pesta makan-
makan di bawah pohon sakura.

Rombongan demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah


pepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang,
dan lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, ada
kelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.

Menurut kisah sejarah, kebiasaan hanami dipengaruhi oleh raja-raja Cina yang
gemar menanam pohon plum di sekitar istana mereka. Di Jepang para bangsawanpun
kemudian mulai menikmati bunga Ume (plum). Namun pada abad ke-8 atau awal periode
Heian, obyek bunga yang dinikmati bergeser ke bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa Raja
Saga di era Jepang dahulu gemar menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenen di
Kyoto. Para bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petani
masa itu melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi untuk
menikmati bunga sakura yang tumbuh disana sambil `tidak lupa membawa bekal untuk
makan siang. Hingga kini hanami menjadi kebiasaan yang mengakar di seluruh masyarakat
Jepang dan telah di terima sebagai salah satu kekhasan bangsanya. Khusus di daerah
Kansai dan Jepang Barat, tempat-tempat unggulan untuk ber-hanami adalah Arashiyama di
Kyoto, Yoshino di Nara, taman disekitar OsakaCastle dan Taman Shukugawa di
Nishinomiya, Prefektur Hyogo.

Waktu bunga sakura bermekaran di pohonnya berbeda-beda dari satu daerah ke


daerah lainnya, dimulai dari daerah paling selatan. Tapi rata-rata mekar dari akhir Maret
hingga awal April (kecuali di Okinawa dan Hokkaido). Dengan demikian pesta memandang
dan menikmati sakura juga berlainan waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya.
Prakiraan pergerakan mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura
(sakurazensen). Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan berbagai badan
yang berurusan dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu tempat adalah ketika
semua pohon sakura yang ada di tempat tersebut bunganya sudah mekar semua.

Namun akhir-akhir ini tradisi hanami membawa dampak negatif. Banyak orang
Jepang yang mabuk dan angka kecelakaan pun meningkat. Taman pun menjadi gunung
sampah. Di saat hanami kelihatannya kesadaran tertib buang sampah menjadi luntur.
Sayang sekali. Tapi di sisi lain, hanami seperti sebuah `rehat` singkat dari striknya hidup
orang-orang Jepang. Hanami juga merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentang
alam dan tradisi.

OSAKA

Osaka Castle di kota Osaka termasuk salah satu tempat favorit untuk ber-hanami.
Para peneliti memperkirakan bahwa wilayah yang kini dikenal dengan nama kota Osaka
telah dihuni manusia sejak sepuluh ribu tahun lalu. Sekitar abad ke-5, kebudayaan Timur
telah diperkenalkan ke wilayah Jepang melalui Peninsula Korea lalu Osaka yang dikemudian
hari menjadi pusat kebudayaan dan politik Jepang.

Pada abad ke-7, ibukota pertama Jepang didirikan di Osaka dan ia menjadi pintu
gerbang kebudayaan dan perdagangan utama Jepang. Kemudian suatu saat sekitar akhir
abad ke-12 kekuatan politik disana jatuh ketangan kelas pendekar perang dan Jepang mulai
memasuki masa perselisihan sipil dan intrik muncul dimana-mana hingga menumbuhkan
ketidakpastian masa depan rakyatnya.
Pada tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang penguasa dimasanya berhasil
menyatukan Jepang dari masa kelam ini dan kemudian memilih Osaka sebagai tempat
tinggalnya. Ia membangun Osaka menjadi pusat politik serta ekonomi Jepang. Puri Osaka
atau Osaka Castle merupakan salah satu saksi bisu kemegahan masa itu dan menjadi
bangunan terindah yang didirikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Puri ini dikelilingi taman yang
penuh pohon Cherry, Plum dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yang
menjadi kebanggaan masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para pengunjung
saat ber-hanami.

Di abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik telah bergeser ke Tokyo, Osaka terus
berlanjut memainkan peran yang penting dalam mengatur perekonomian dan distribusi
barang di Jepang. Di masa ini pula kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melalui
lahirnya sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang berbeda
dari yang dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu. Melalui cara ini, cara berpikir terbuka
dan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian hari menjadi
suatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga di Jepang.

Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi pusat perdagangan Jepang. Kini,
seiring dengan kemajuan jaman, sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaan
terkemuka memindahkan kantor pusat mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetap
mempertahankan tradisi berkantor pusat di Osaka.

SAMURAI
Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada
“seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada
zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau
dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula
istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi.
Istilah bushi ( 侍 侍 ) yang berarti “orang yang
dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam
Shoku Nihongi ( 侍侍侍侍 ), pada bagian catatan itu tertulis
“secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta
negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi
menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman
Kamakura).

Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah
saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang
mengabdi”.

Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak
terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin ( 侍侍 ). Rōnin
ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rōnin digunakan bagi samurai tak
bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang
berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang
rōnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang
samurai menjadi rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk
menjalani hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak
seorang rōnin secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah
jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya
kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya.

Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa
pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina
dengan memberlakukan wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam
peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani
maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi
peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri
secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut.
Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat
sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari
wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( 侍侍 ) yang secara harfiah berarti “pembela”,
namun pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman
berikutnya.

Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum
bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan
kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan
para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan
pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan
tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar.
Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi
baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi)
mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas
militer yang dikenal dengan samurai.

Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto
muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling
memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak
mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum
bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan
dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji.
Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas
politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi
politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei ( 侍侍 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah
(shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam
negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan
dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.

Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada
kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar
yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera
melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang
Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang
menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum
samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.
Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 侍 侍 - bangsawan kerajaan), sekaligus
memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan
dinobatkan sebagai bangsawan.

Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara
keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar
Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan
militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo
wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan
pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk
dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah
dan tuntunan hidup mereka.

Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang
tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi
serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang
kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai
pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh,
taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi
tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan
penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah
yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki
Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).

Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya
mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah
dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan
busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14,
pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman
Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni
Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit
antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).

Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani
dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di
pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah.
Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap
Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini
melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai
(1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau
kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan
tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu
pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan
Toyotomi Hideyoshi.
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli
strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah
Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan
dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan
pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.
Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama
untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi
keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam
hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan
dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak
asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat
menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah
dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga
membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan
Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati
bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi
Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji,
sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.

Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan


Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo
di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua
peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah)
dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini
secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para
petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan
Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat
menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman
internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas
kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut
untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan
Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.

Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan


istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa
Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo).
Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak
Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada
tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu
Edo pada tahun 1603.
KEMATIAN SAMURAI

Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada
tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang sangat penting
bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis
di dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai
berangkat ke medan peperangan, Hagakure - buku tersebut dikatakan telah membawa
semangat dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan,
wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah disalahtafsirkan
oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh
dipaparkan di sini terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai
ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang
pantas untuk kematian.”

Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam
kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang.
Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup.
Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi
sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang
pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido).
Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan
dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan
tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang
dihajatinya.”

Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa


dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap
sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah
diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika
Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan
seorang jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika
berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati
perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori
membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan
bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan
Seppuku.
CARA KEMATIAN

1. Mati di medan pertempuran

Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam


peperangan untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para
samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap
oleh musuh. Salah seorang samurai yang terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan
pesanan kepada para pengikutnya sebelum mati:

“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat
perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara
biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat
perlindungan Tuhan.”

Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan
perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah
Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji
Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada... sementara yang lain telah mengambil
keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman
Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16).
Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.

2. Seppuku

Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara membunuh


diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai,
membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai
itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja.
Di Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri dengan
membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai), tidak diketahui kapan
istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam sejarah, Seppuku
ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir kurun ke-
12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih mudah melakukan
dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala sendiri. Ada juga yang
mengatakan bahawa dengan melakukan seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah
merupakan cara yang paling jujur untuk mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai
kesakitan yang amat sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang.
Oleh karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan
kehormatan.

Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat
dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan, kemudian satu
bantal yang besar akan diletakkan di atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di
sebelah samurai tersebut (pelaku seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian
(sebagai satu nilai penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani
seppuku, memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal tersebut. Di
sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang kaishakunin, atau
`kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai
yang telah meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak
senonoh dan amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih
(berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.

Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang
terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut
akan menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan
mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan
sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi.
Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri
perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam
keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak
sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua)
akan memenggal kepala samurai tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang
terpapar pada wajahnya.

Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise),


sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka
seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga
mempunyai nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:

Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut meninggal.
Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia dan merugikan karena
negara akan banyak kehilangan perwira yang setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada
1912, Jeneral Nogi Maresue telah melakukan junshi.

Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi. Tidak begitu popular, melibatkan seseorang
yang melakukan seppuku sebagai tanda peringatan kepada seseorang raja apabila segala
bentuk musyawarah (persuasion) gagal. Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah
melakukan kanshi untuk mengubah prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.

Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus


kesalahannya. Ini merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan seppuku. Antara
samurai yang melakukan sokotsu-shi ini termasuklah Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke
Haruyuki (1501-1561), karena telah membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi
rajanya di dalam bahaya.
SHOGUN

Shogun ( 侍 侍 Shōgun) adalah istilah bahasa Jepang


yang berarti jenderal. Dalam konteks sejarah Jepang, bila
disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan adalah Sei-i
Taishōgun (侍侍侍侍侍) yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan
Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah "Taishōgun" berarti
panglima angkatan bersenjata). Sei-i Taishōgun merupakan
salah satu jabatan jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō
Ritsuryō. Jabatan Sei-i Taishōgun dihapus sejak Restorasi
Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang, istilah
shōgun yang berarti jenderal dalam kemiliteran tetap
digunakan hingga sekarang.

Sejak zaman Nara hingga zaman Heian, jenderal yang dikirim untuk menaklukkan
wilayah bagian timur Jepang disebut Sei-i Taishōgun, disingkat shogun. Jabatan yang lebih
rendah dari Sei-i Taishōgun disebut Seiteki Taishōgun ( 征 狄 大 将 軍 panglima penaklukan
orang barbar?) dan Seisei Taishōgun ( 征 西 大 将 軍 panglima penaklukan wilayah barat?).
Gelar Sei-i Taishōgun diberikan kepada panglima keshogunan (bakufu) sejak zaman
Kamakura hingga zaman Edo. Shogun adalah juga pejabat Tōryō (kepala klan samurai)
yang didapatkannya berdasarkan garis keturunan.

Pejabat shogun diangkat dengan perintah kaisar, dan dalam praktiknya berperan
sebagai kepala pemerintahan/penguasa Jepang. Negara asing mengganggap shogun
sebagai "raja Jepang", namun secara resmi shogun diperintah dari istana kaisar, dan bukan
penguasa yang sesungguhnya. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Kaisar Jepang.

Sejarah

Zaman Nara dan zaman Heian

Kata "Sei-i" dalam Sei-i Taishōgun berarti penaklukan suku Emishi yang tinggal di
wilayah timur Jepang. Suku Emishi dinyatakan sebagai orang barbar oleh orang Jepang
zaman dulu. Sei-i Taishōgun memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Samudra
Pasifik, dan di bawah komandonya terdapat Seiteki Taishōgun yang memimpin pasukan
penyerang dari arah pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishōgun yang
memimpin pasukan penakluk wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.

Dalam perkembangannya, istilah "Sei-i" (penaklukan suku Emishi) diganti pada


zaman Hōki menjadi "Sei-tō" (penaklukan wilayah Timur). Namun istilah "penaklukan suku
Emishi" (Sei-i) kembali digunakan sejak tahun 793. Istilah "Sei-i Shōgun" (jenderal
penaklukan suku Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun 720 (Yōrō tahun 4
bulan 9 hari 29) ketika Tajihi Agatamori diangkat sebagai Sei-i Shōgun. 侍 Istilah "Sei-tō
Shōgun" (jenderal penaklukan wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788 seperti catatan
sejarah yang ditulis Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta dalam ekspedisi ke wilayah
timur.

Pada tahun 790, Ōtomo no Otomaro ditugaskan sebagai Sei-tō Taishi (Duta Besar
Penaklukan Wilayah Timur). Dua tahun kemudian, nama jabatan tersebut diganti menjadi
Sei-i Shi ( 征 夷使 ?, Duta Penaklukan Wilayah Timur), atau bisa juga disebut Sei-i Shōgun
(Jenderal Penaklukan Wilayah Timur).

Sakanoue no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tahun 797 setelah
sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan Wilayah Timur sekaligus Wakil Duta
Penaklukan Suku Emishi di bawah komando Ōtomo no Otomaro. Pemimpin Emishi bernama
Aterei yang bertempur pantang menyerah akhirnya berhasil ditangkap oleh Tamuramaro dan
dibawa ke ibu kota, sedangkan selebihnya berhasil ditaklukkan. Pada praktiknya, Sakanoue
no Tamuramaro adalah Sei-i Taishōgun yang pertama atas jasanya menaklukkan suku
Emishi.

Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan Emishi, Funya no Watamaro


diangkat sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan Suku Emishi) pada tahun 811. Perang
dinyatakan berakhir pada tahun yang sama, dan wakil shogun bernama Mononobe no
Taritsugu naik pangkat sebagai Chinju Shōgun. Istilah "chinjufu" berarti pangkalan militer
yang terletak di Provinsi Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shōgun kembali dipulihkan sejak
tahun 814.

Zaman Kamakura

Minamoto no Yoritomo memulai karier militer sebagai Tōryō (kepala klan Minamoto)
di wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan jabatan resmi di bawah sistem
hukum Ritsuryō, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh berbeda dengan Taira no Masakado
atau pemimpin pemberontak lain di daerah.

Pada tahun 1190, Yoritomo diangkat sebagai jenderal pengawal kaisar (Ukone no
Taishō) yang merupakan posisi resmi dalam pemerintahan. Jabatan sebagai jenderal
pengawal kaisar mengharuskannya tinggal di ibu kota Kyoto. Jabatan ini tidak sesuai bagi
Yoritomo yang berambisi menguasai secara total wilayah Kanto. Yoritomo mengundurkan
diri dari jabatan jenderal pengawal kaisar, namun tetap mempertahankan hak istimewa
sebagai mantan jenderal tertinggi (Sakino-u Taishō).
Setelah mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat, Minamoto Yoritomo diangkat sebagai
Sei-i Taishōgun pada tanggal 21 Agustus 1192. Pemerintahan militer yang didirikan
Yoritomo di Kamakura dikenal sebagai Keshogunan Kamakura.
BAJU TRADISIONAL JEPANG

1. Kimono

Kimono (侍侍) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti


harfiah kimono adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki
berarti pakai, dan mono berarti barang).

Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti


huruf "T", mirip mantel berlengan panjang dan berkerah.
Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita
mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria
mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan
harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang
disebut obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di
bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono
adalah zōri atau geta.Kimono sekarang ini lebih sering
dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang
belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut
furisode.[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya
hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia
20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki.

Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara
formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan
mengenakan kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-
Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan
wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode
dan uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita
berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode
pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung
jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku
adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih
bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang
Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku ( 侍 侍 , pakaian Jepang).
Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut
kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku (侍侍). Istilah gofuku mulanya dipakai untuk
menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang
dari daratan Cina.

2. Kimono wanita

Terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat


formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna,
mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan
jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur
pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang
dihadiri.

Kurotomesode

Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita


yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini
disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam).
Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga
tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan
2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode
adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki)
depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri
resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.

Irotomesode
Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah:
tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih
jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk
acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum
menikah. Kimono jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak
memperbolehkan tamu untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana
kaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada
suso.

Furisode

Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita


muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah
dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas
furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan
menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu
menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi
pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsumode.
Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō
termasuk salah satu jenis furisode.

Homongi
Hōmon-gi ( 侍 侍 侍 , arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk
wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai
bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di
seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi
pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.

Iromuji

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa


dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki
lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas
kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat
(bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji
dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna
lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau
warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5
tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan.
Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji
dengan satu lambang keluarga.

Tsukesage

Tsukesage adalah kimono semiformal untuk


wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut
tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya
setingkat dibawah homongi. Kimono jenis ini tidak
memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk
menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi,
pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun
baru.

Komon

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum
menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-
kecil yang berulang.[3] Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan
malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.
Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari


di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun
demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah
seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai
adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau
benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini
tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

Yukata

Yukata (侍侍 , baju sesudah mandi) adalah jenis kimono yang dibuat dari bahan kain
katun tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilewati angin, yukata dipakai agar
badan menjadi sejuk di sore hari atau sesudah mandi malam berendam dengan air panas.

Menurut urutan tingkat formalitas, yukata adalah kimono nonformal yang dipakai pria
dan wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta
kembang api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaan obon. Yukata dapat dipakai
siapa saja tanpa mengenal status, wanita sudah menikah atau belum menikah.

Gerakan dasar yang harus dikuasai dalam nihon buyo selalu berkaitan dengan
kimono. Ketika berlatih tari, penari mengenakan yukata sebagai pengganti kimono agar
kimono berharga mahal tidak rusak karena keringat. Aktor kabuki mengenakan yukata ketika
berdandan atau memerankan tokoh yang memakai yukata. Pegulat sumo memakai yukata
sebelum dan sesudah bertanding.

Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika terlihat
orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang
api.
Warna dan corak yukata

Bahan yukata pria umumnya berwarna dasar gelap (hitam, biru tua,
ungu tua) dengan corak garis-garis warna gelap. Wanita biasanya
mengenakan yukata dari bahan berwarna dasar cerah atau warna
pastel dengan corak aneka warna yang terang.

Walaupun umumnya dibuat dari kain katun, yukata zaman sekarang juga dibuat dari
tekstil campuran, seperti katun bercampur poliester. Berbeda dengan kimono jadi yang
hampir-hampir tidak ada toko yang menjualnya, yukata siap pakai dalam berbagai ukuran
dijual toko dengan harga terjangkau.

Corak kain yang populer untuk yukata wanita, misalnya bunga sakura, seruni, poppy,
bunga-bunga musim panas. atau ikan mas koki. Karakter anime seperti Hamtaro, Pokemon,
dan Hello Kitty populer sebagai corak yukata untuk anak-anak.

Cara memakai

Hotel atau ryokan di Jepang menyediakan yukata untuk dipakai tamu sebagai
pakaian tidur. Sebagai pakaian tidur, yukata bisa dikenakan begitu saja tanpa mengenakan
pakaian dalam. Ketika dipakai pria untuk keluar rumah, yukata biasanya dikenakan tanpa
kaus dalam, dan cukup memakai celana dalam atau celana pendek. Berbeda dengan
kimono yang dikenakan dengan dua lapis pakaian dalam (hadajuban dan juban), sewaktu
mengenakan yukata, wanita hanya perlu hadajuban (pakaian dalam lapis pertama). Alas kaki
sewaktu memakai yukata adalah geta.

Yukata dikencangkan ke tubuh pemakai dengan obi yang lebarnya setengah dari
lebar obi untuk kimono jenis lain. Di antara berbagai jenis simpul obi untuk yukata, bentuk
simpul yang paling populer adalah simpul bunko yang berbentuk kupu-kupu. Bila tidak bisa
membuat simpul, toko kimono menjual simpul obi yang sudah jadi dan tinggal disisipkan
pada obi.

Wanita mengenakan yukata yang pas dengan ukuran tubuh pemakai agar terlihat
bagus sewaktu dipakai. Seperti halnya kimono, panjang yukata selalu melebihi tinggi badan
pemakai. Perlengkapan memakai yukata wanita:

• rok panjang (susoyoke) sebagai pakaian dalam, berwarna putih polos.

• pakaian dalam (hadajuban)


• tali pinggang (koshihimo) untuk mengencangkan kain berlebih di bagian pinggang
yang berasal dari kelebihan panjang kain pada bagian bawah

• kain sabuk pengikat (datejime) untuk mengencangkan kain yang longgar di bagian
perut

• Obi untuk mengencangkan yukata ke badan.

Sejarah

Istilah yukata berasal dari kata yukatabira (浴衣帷子). Mulanya katabira dipakai untuk
menyebut sehelai kimono dari kain rami. Walaupun tidak lagi dibuat dari kain rami, pakaian
seperti itu tetap disebut katabira. Kimono kain rami dipakai sebagai pakaian sewaktu mandi
berendam, namun akhirnya berubah fungsi sebagai pakaian sesudah mandi. Ketika rumah-
rumah di Jepang belum memiliki kamar mandi, yukata dipakai orang untuk pergi ke
pemandian umum.

Dalam kamus Wamyō Ruijushō dari pertengahan zaman Heian, yukatabira (湯帷子 )
dijelaskan sebagai pakaian yang dikenakan sewaktu mandi berendam. Ketika itu, orang
mandi sambil memakai yukatabira di pemandian umum, dan dipakai untuk mengelap
keringat, sekaligus menutupi ketelanjangan dari orang lain. Bahan yukatabira adalah kain
rami yang cepat kering kalau diperas.

Sejak sekitar zaman Azuchi-Momoyama, yukatabira dipakai orang sebagai pakaian


sesudah mandi, untuk menyerap basah seusai mandi. Kalangan rakyat zaman Edo sangat
menyenangi yukatabira hingga disingkat sebagai yukata. Ketika itu, yukata bukanlah pakaian
sopan yang dipakai untuk bertemu dengan orang lain, melainkan hanya pakaian tidur.

Berbeda dari kimono jenis lainnya, menjahit yukata sangat mudah. Yukata memiliki
pola yang sangat sederhana, dan dijahit tanpa kain pelapis di bagian pinggul atau pundak.
Hingga seusai Perang Dunia II, cara menjahit yukata diajarkan kepada murid perempuan
sekolah menengah umum di Jepang.
3. Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua,
coklat tua, biru tua, dan hitam.

• Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan


hakama dan haori

Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki


yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional.
Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi
pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.

• Kimono santai kinagashi

Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada
kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak
dihiasi dengan lambang keluarga.
4. Sejarah kimono

Zaman Jomon dan zaman Yayoi

Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs
arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang
dikenakan haniwa disebut kantoi (侍侍侍).

Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang
pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada
tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita
dinamakan kantoi. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali
digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku


(sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih".
Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat
mengenakan kain sutra.

Zaman Kofun

Pakaian zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua
potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti
mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di
pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti
hakama.

Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi dibuat
terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju
atas terdiri dari dua jenis kerah:
• Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)

• Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara

Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata
jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai). Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan
penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan tentang
busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pakaian formal
yang dikenakan pejabat sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer
mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya
bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang
masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tang ikut mempopulerkan baju berlengan
sempit yang disebut kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau
sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman
Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan
kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal
dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.

Zaman Heian

Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang


untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan
standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi.
Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman
Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe. Tidak hanya wanita zaman
Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.

Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:

• Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)

• I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)

• Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu ( 侍 侍 , arti
harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai
pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.
Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan
bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol
status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.

Zaman Kamakura dan zaman Muromachi

Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai


mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi
pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare merupakan pakaian resmi
samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō ( 侍 侍 ), yakni sejenis
hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga
dalam ukuran besar di delapan tempat.

Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo ( 侍 ) makin
pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum
diganti dengan kimono model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode.
Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki)
dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.

Awal zaman Edo

Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai


zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo ( 侍 ). Satu setel
kamishimo terdiri dari kataginu ( 侍 侍 ) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi
semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara
penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-e mendorong makin
banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian
orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.

Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari norma
konfusianisme ingin dibatasi oleh Keshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah
keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas.
Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa
dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei. Orang
menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata
berharga mahal.
Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak
zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan
kimono.

Akhir zaman Edo

Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai
dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis
crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo
pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota
dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal
dari furisode populer di kalangan wanita.

Zaman Meiji dan zaman Taisho

Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang
menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal
berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku.
Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan
sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan
industri pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa
berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.

Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya


teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen, yakni menggambar
dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.

Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif
garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono
dari model kain yang sudah populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu
menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan
benang berwarna-warni hasil pencelupan mulai disukai orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit lokal
mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan
pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian
Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari
toko persewaan pakaian Barat.

Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat
supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi
estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha
mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria
zaman Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana
formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih mengenakan
kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak
perempuan.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam
tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak
sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke
pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho,
pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti
dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku
(sailor fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.

Zaman Showa

Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki.


Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa
memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian
pergelangan kaki.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali
mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi.
Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai
pakaian sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang
sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah
diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai
kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam
strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan
mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan
tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya
untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata
tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun
pedagang kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet"
sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.
Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah.
Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga
terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di
rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.

5. Asesori dan pelengkap

a. Hakama

Hakama ( 侍 ) adalah pakaian luar tradisional Jepang yang dipakai untuk menutupi
pinggang sampai mata kaki.

Dipakai sebagai pakaian bagian bawah, hakama merupakan busana resmi pria untuk
menghadiri acara formal seperti upacara minum teh, pesta pernikahan, dan seijin shiki. Anak
laki-laki mengenakannya sewaktu merayakan Shichi-Go-San. Montsuki yang dikenakan
bersama hakama dan haori merupakan setelan baju pengantin pria tradisional.

Di kalangan olahraga bela diri tradisional seperti kendo, aikido, dan kyūdō, hakama
dipakai oleh pria dan wanita. Ketika tidak sedang bergulat, pesumo mengenakan kimono dan
hakama ketika tampil di muka umum. Di kalangan Shinto, setelan kimono dan hakama
adalah pakaian resmi kannushi dan miko.

Bentuk

Hakama dibuat dari dua lembar kain polos berbentuk trapesium. Bagian depan diploi,
3 dari sisi kiri, dan 3 dari sisi kanan. Bagian belakang tidak diploi, namun dibagi menjadi
bagian kiri dan kanan. Kain bagian depan dan kain bagian belakang, dari pinggang ke lutut
dibiarkan tidak dijahit, dan hanya dijahit dari bagian lutut ke bawah.

Pada kain bagian belakang terdapat koshi-ita yang berbentuk trapesium dari papan
atau kain keras yang dilapis kain. Di bawah koshi-ita dilengkapi sendok sepatu berukuran
kecil yang disebut hera. Kegunaannya untuk diselipkan ke obi agar hakama tidak melorot.
Hakama dikencangkan dengan empat buah tali, dua buah tali yang lebih panjang
terdapat di bagian depan, kiri dan kanan, sementara dua tali yang lebih pendek terdapat di
bagian belakang, kiri dan kanan.

Jenis

- Umanoribakama (侍侍侍)

Kedua belah tungkai dibungkus seperti halnya sewaktu mengenakan celana panjang
karena adanya jahitan mulai dari bagian selakangan hingga pergelangan kaki. Bagian bawah
melebar sehingga pemakainya mudah bergerak. Jenis inilah yang dikenakan orang di
kalangan bela diri tradisional.

- Andonbakama (侍侍侍)

Dikenakan seperti halnya rok, andonbakama tidak membungkus kedua belah tungkai
pemakainya. Dibandingkan umanoribakama, pemakainya kurang leluasa bergerak. Seperti
halnya umanoribakama, andonbakama dipakai sebagai pakaian resmi. Mahasiswi
mengenakan andonbakama bersama koburisode sewaktu diwisuda

- Machiaribakama (侍侍侍)

Seperti halnya kulot, kain dijahit di bagian selangkangan, mulai dari lutut ke bawah.
Nobakama ( 侍 侍 侍 ) Bagian pergelakangan kaki dibuat sempit agar pemakainya leluasa
bergerak, dan hanya dipakai sebagai celana sehari-hari.

Sejarah

Walaupun sekarang dikenakan oleh pria dan wanita, hakama hingga zaman Edo
hanya dipakai oleh pria. Laki-laki zaman zaman Yayoi mengenakan pakaian bagian bawah
seperti celana panjang. Dari situs arkeologi ditemukan haniwa yang mengenakan pakaian
seperti celana. Hakama yang dikenal orang sekarang, berasal dari celana yang dikenakan
samurai sekitar zaman Kamakura. Ketika itu ada berbagai model hakama, di antaranya
umanoribakana untuk menunggang kuda, nobakama, dan hakama untuk kendo.

Tradisi mahasiswi mengenakan koburisode dan hakama ketika diwisuda merupakan


peninggalan zaman Meiji. Ketika itu, perempuan mulai diizinkan bersekolah, dan mereka
mengenakan kimono sewaktu pergi ke sekolah. Ketika duduk di kursi, bagian bawah kimono
menjadi tidak rapi. Kementerian Pendidikan Jepang sewaktu mendirikan sekolah putri,
menetapkan setelan kimono dan hakama yang dulunya hanya dipakai pria, sebagai seragam
untuk murid perempuan dan guru wanita.

b. Geta

Geta ( 侍 侍 ) adalah alas kaki tradisional Jepang yang dibuat dari kayu. Pada bagian
alas (dai) terdapat tiga buah lubang untuk memasukkan tali berlapis kain yang disebut
hanao (侍侍). Dua buah hak yang disebut ha ("gigi") terdapat di bagian bawah alas (sol). Geta
dipakai di luar ruangan sewaktu mengenakan yukata atau kimono yang bukan kimono
formal. Hak tinggi pada geta memudahkan pemakainya berjalan melewati jalan becek ketika
hujan.

Geta dipakai dengan kaki telanjang (sewaktu mengenakan yukata) atau dengan
mengenakan kaus kaki yang disebut tabi. Cara memakai geta seperti cara memakai sandal
jepit, hanao dijepit di antara ibu jari dan telunjuk kaki. Sewaktu mengenakan yukata, geta
dipakai dengan kaki telanjang. Pemandian air panas (onsen) dan penginapan tradisional
(ryokan) biasanya menyediakan geta yang bisa dipinjam oleh tamu.

Menurut pendengaran orang Jepang, "karankoron" adalah bunyi geta ketika dipakai
berjalan. Dalam mitologi Jepang, Tengu mengenakan geta berhak satu seperti dikenakan
biksu yang sedang melatih diri di hutan dan gunung.

Sejarah geta

Berdasarkan hasil penggalian di situs arkeologi terungkap bahwa geta sudah dipakai
orang Jepang sejak zaman Yayoi. Geta diperkirakan dipakai sewaktu bekerja menanam padi
di sawah yang selalu berair agar kaki tetap bersih dan kering. Dalam esai klasik Makura no
Sōshi dari zaman Heian disebut tentang alas kaki yang disebut Kure no ashida (nama lain
untuk geta). Dalam lukisan dari akhir zaman Heian hingga zaman Sengoku juga sering
digambarkan orang yang sedang memakai geta sewaktu mencuci atau mengambil air.

Pengrajin geta banyak bermunculan sejak pertengahan zaman Edo. Mereka


menciptakan berbagai jenis geta yang membuat geta populer sebagai alas kaki rakyat.
Orang mulai menyebut semua alas kaki dari kayu seperti bokuri atau ashida sebagai geta.
Walaupun pakaian Barat mulai dikenal di Jepang sejak zaman Meiji, rakyat tetap
mengenakan kimono dengan alas kaki berupa geta.
c. Kanzashi

adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu
memakai kimono.

d. Obi

Obi (侍) adalah sabuk pinggang dari kain yang


dipakai sewaktu mengenakan kimono atau keikogi.

Obi untuk kimono umumnya dibuat dari kain


sutra. Kimono pria dikenakan bersama obi dari kain
kaku yang sempit, atau kain lentur yang panjang.
Kimono wanita dikenakan bersama obi berhiaskan
corak tenun atau bordir. Obi dililitkan seperti halnya
memakai setagen.

Jenis

Obi wanita

Menurut ukuran lebar kain, secara garis besar, paling tidak terdapat tiga jenis obi. Masing-
masing obi hanya cocok dipakai bersama jenis kimono tertentu.

• Fukuro obi (lebar 31 cm, panjang 4,2 m) untuk kimono formal (tomesode, furisode,
iromuji, tsukesage), dari kain bercorak yang mewah hasil tenunan.

• Nagoya obi (lebar 16 cm dan 31 cm, panjang 3,65 m) untuk komon dan tsumugi, dari
kain bercorak di dua tempat (depan dan belakang) hasil pencelupan atau tenun.

• Hanhaba obi (lebar 15,2 cm, panjang 3,65 m) untuk yukata dan tsumugi, dari kain
warna bercorak sepanjang kain hasil tenunan atau tanpa corak.

Obi pria

• Kaku obi (lebar 10 cm, panjang 4 m) untuk kimono formal.


• Heko obi dari kain lentur dan tipis untuk kimono pakaian santai di rumah, diikat di
belakang seperti ikatan kupu-kupu, juga sewaktu anak laki-laki dan perempuan
mengenakan yukata.

Model ikatan
Ikatan

Obi wanita

Fukuro obi

• Nijūdaiko (versi ikatan taiko yang terdiri dari dua lapis), untuk semua umur

• Fukura suzume untuk furisode

• Bunko untuk wanita muda

Nagoya obi

• Taiko untuk semua umur

Hanhaba obi

• Bunko untuk yukata

• Kai no kuchi (mulut kerang) untuk kimono santai (yukata)

Obi pria

• Kai no kuchi

• Shokunin

• Katabasami

Perlengkapan

Obi dikenakan bersama obiage dan obijime.

• Obi-age, kain berwarna yang dililitkan di bawah obi supaya obi tidak melorot.
• Obi-jime, tali kecil yang diikat di atas obi supaya letak obi tidak berubah, atau
membantu ikatan obi.

e. Tabi

Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk
memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. Tabi dipakai sewaktu memakai
sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.

f. Waraji

Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

g. Zōri
Zori wanita dari bahan
kulit

Zōri (侍侍) adalah alas kaki yang dipakai orang Jepang hingga dikenalnya sepatu pada
zaman Meiji. Di masa sekarang, orang Jepang hanya memakai zōri sewaktu mengenakan
kimono. Berbeda dari geta yang bukan alas kaki untuk kesempatan resmi, zōri dipakai untuk
segala kesempatan, termasuk sewaktu mengenakan kimono formal. Cara memakainya
seperti memakai sandal jepit.

Alas (sol) berbentuk lonjong seperti keping uang zaman dulu. Berbeda dari geta,
bagian alas zōri selalu datar dan tidak mempunyai hak (tumit). Pada zaman dulu, bahan
untuk alas adalah lembaran gabus, namun sekarang sudah digantikan dengan lembaran
plastik. Bahan pembungkus alas adalah kulit, kain, atau plastik. Pada bagian alas (dai)
terdapat tiga buah lubang untuk memasukkan tali tebal yang disebut hanao yang menahan
sandal agar tidak terlepas sewaktu dipakai berjalan.

Jenis

• Zōri wanita

Dibandingkan model santai, bagian alas zōri wanita untuk dipakai dalam kesempatan
formal dibuat lebih tebal dengan bagian belakang yang ditinggikan (dibuat ekstra
tebal). Agar dasar tidak cepat aus, plastik uretan ditempelkan di bagian dasar yang
bersentuhan dengan tanah.

• Setta (侍侍) (zōri laki-laki)

Bentuknya hampir persegi panjang, dengan bagian bawah yang dilapis kulit sapi atau
plastik uretan. Hingga saat ini, setta masih banyak penggemarnya.

• Zōri tatami

Bahan dari serat tanaman Igusa sehingga disebut tatami omote zōri (zōri permukaan
tatami). Pada zaman dulu merupakan alas kaki favorit bagi laki-laki. Sekarang sudah
langka dan hanya bertahan sebagai alas kaki aktor kabuki.

• Waraji (草鞋) (warazōri)

Disebut waraji karena dibuat dari anyaman jerami (wara), dan sering dibuat sendiri
oleh petani yang memerlukannya alas kaki. Pada zaman dulu, pria atau wanita
memakainya sewaktu bekerja atau bepergian jauh. Tali tambahan untuk diikatkan ke
pergelangan kaki merupakan ciri khas model yang dibuat untuk berjalan jauh.
DAFTAR PUSAKA
www.kazeyagami.blog

http://kazeyagami.blog.friendster.com/2009/02/hanami/

oleh: kazeyagamy

www.kaskus.com

http://images.google.com/imgres?
imgurl=http://i204.photobucket.com/albums/bb92/Ken_Bu/SaigoTakamori.jpg&imgrefurl=http:
//www.kaskus.us/showthread.php%3Ft
%3D1243847&usg=__4BAPJhoz6eZ4uBOS1F5_5PWBHrA=&h=500&w=387&sz=83&hl=en
&start=1&tbnid=XxoLDrbaKBzL0M:&tbnh=130&tbnw=101&prev=/images%3Fq
%3Dkebudayaan%2Bjepang-samurai%26gbv%3D2%26hl%3Den%26sa%3DG

oleh: zeth

www.wikipedia.com

Link: http://id.wikipedia.org/wiki/Shogun

Oleh: Tomio Takahashi. Sei-i Taishōgun mō hitotsu no kokkashuken. Chūkōshinso, 1987.


ISBN 978-4-12-100833-6

Link: http://id.wikipedia.org/wiki/Kimono

http://id.wikipedia.org/wiki/Hakama

http://id.wikipedia.org/wiki/Geta_(alas_kaki)

http://id.wikipedia.org/wiki/Obi_(sabuk)

http://id.wikipedia.org/wiki/Z%C5%8Dri

http://id.wikipedia.org/wiki/Yukata

www.google.com

You might also like