Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
GUSMAILINA
=========================================
Penulis adalah Peneliti Utama, pada Puslitbang Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu,
No.5. PO.Box 182. Bogor. Telp/Fax (0251) 8633378 – 8633413;
Email:gsmlina@gmail.com
1
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
2
I. PENDAHULUAN
Arang kompos bioaktif (ARKOBA) adalah gabungan antara arang dan kompos
yang dihasilkan melalui teknologi komposting dengan bantuan mikroba lignoselulotik
yang tetap bertahan di dalam kompos, mempunyai kemampuan agen hayati sebagai
biofungisida untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit akar, sehingga disebut
bioaktif. Keunggulan lain dari ARKOBA adalah karena keberadaan arang yang menyatu
dalam kompos, yang bila diberikan pada tanah ikut andil dan berperan sebagai agent
pembangun kesuburan tanah, sebab arang mampu meningkatkan pH tanah sekaligus
memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Oleh sebab itu ARKOBA cocok dan
tepat dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun
kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat
menurunnya kandungan bahan organik tanah yang tak bisa digantikan perannya oleh
pupuk kimia. Pengembangan produksi ARKOBA saat ini minimal dapat memenuhi
konsumsi lokal serta mendongkrak suksesnya program GERHAN yang berlangsung
hingga tahun 2009 dan Go Organik 2010, serta yang tidak kalah pentingnya yaitu solusi
tepat untuk mengatasi persoalan sampah kota.
Produk ini dibuat atas dasar pemikiran bahwa perlu ditingkatkan optimalisasi dan
pemanfaatan limbah di sektor kehutanan yang selama ini menjadi sumber polutan terutama
serbuk gergaji pada berbagai industri perkayuan, juga masih tingginya volume limbah
pada saat pemanenan hutan. Serbuk gergaji belum dapat digunakan langsung sebagai
sumber bahan organik terutama pada tanaman, karena butuh waktu untuk proses degradasi
dari bahan komplek menjadi sederhana. Oleh sebab itu sebelum serbuk gergaji digunakan
perlu perlakuan terlebih dahulu, antara lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang
selanjutnya dapat digunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau
sebagai bahan pembuat arang kompos atau arang kandang. Produk ini merupakan hasil
pengembangan dari Puslitbang Teknologi Hasil Hutan) Bogor yang dapat digunakan
sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT) atau soil conditioning. Dari beberapa hasil
penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dan
disosialisasikan.
3
II. MENGENAL ARANG DAN MANFAATNYA DI BIDANG PERTANIAN
Serbuk gergaji merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh industri
penggergajian dan pengolahan kayu, yang dapat ditemui pada lokasi perindustrian di
perkotaan maupun di lokasi penggergajian kayu di sekitar hutan. Limbah serbuk
gergaji ini dapat mencemari lingkungan jika dibiarkan menumpuk, karena serbuk
gergaji adalah limbah yang membutuhkan waktu lama untuk hancur secara alami, juga
akan membutuhkan tempat yang luas apalagi bagi industri skala besar. Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Sesuai dengan salah satu kebijakan Departemen Kehutanan yaitu memanfaatkan kayu
secara optimal, dengan volume limbah serendah mungkin atau bahkan tanpa limbah
(Zero waste). Kebijakan ini berarti bahwa semua industri pengolahan kayu baik besar
maupun kecil harus mengusahakan tidak menghasilkan limbah kayu. Namun kenyataan
di lapangan umumnya rendemen industri penggergajian kayu masih berkisar antara 50
– 60 %. Sebanyak 15 -20 % terdiri dari serbuk gergaji kayu. Sampai tahun 2001
Indonesia memiliki 300 unit industri penggergajian HPH (Hak Pengusahaan Hutan)
dan 2505 unit industri kecil yang membutuhkan log sebanyak 15,6 juta m 3. Dari jumlah
ini akan dihasilkan limbah sebanyak 7,8 juta m3 termasuk serbuk gergaji sebanyak
0,78 juta m3 (Pari, 200). Untuk industri besar dan terpadu, limbah serbuk gergaji sudah
dimanfaatkan menjadi briket arang dan arang aktif yang dijual secara komersial.
Namun untuk industri penggergajian kayu skala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan
unit dan tersebar di pedesaan, limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh
sebab itu potensi limbah yang besar ini perlu diberdayakan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan baku beberapa produk berguna dan mempunyai nilai ekonomis.
Dengan demikian pemanfaatan serbuk gergaji dapat ditujukan untuk : mencari peluang
strategis dalam peningkatan pengelolaan hasil hutan melalui pemanfaatan kembali
limbah serbuk gergaji.
Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon yang
berbentuk padat dan berpori. Sebahagian besar dari pori-porinya masih tertutup dengan
hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air,
nitrogen dan sulfur. Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap
kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994). Arang serbuk yang
dihasilkan dapat diolah lebih lanjut menjadi arang kompos, arang kandang, briket arang
4
dan arang aktif. Briket arang serbuk gergaji (BASG) dapat digunakan sebagai
sumber energi alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang harganya
semakin naik, sehingga dapat menghemat pengeluaran biaya bulanan. Penggunaan
briket arang serbuk gergaji dapat menekan penggunaan kayu bakar, sehingga
selanjutnya selain dapat mencegah kerusakan hutan secara fisik, juga pelepasan sebesar
3,5 juta ton CO2/bulan ke atmosfir dapat dicegah (Indonesia). Pada tahun 2000
kebutuhan kayu bakar dunia mencapai 1,70 x 10 9 m 3. Seandainya BASG digunakan
sebagai pengganti kayu bakar, maka sekitar 6,07 x 10 9 ton penambahan CO2/tahun ke
atmosfir dapat dicegah (Moreira, 1997; Turker and Ayaz, 1997). Briket arang ini pada
masa yang akan datang merupakan sumber energi alternatif karena sifatnya yang dapat
diperbaharui, mengingat sumber energi yang digunakan oleh hampir semua penduduk
saat ini menggunakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak
tanah, bensin dan solar.
B. Manfaat Arang
1. Untuk Pertanian :
• Memeperbaiki kondisi tanah (struktur, tekstur dan pH tanah), sehingga memacu
pertumbuhan akar tanaman;
• Meningkatkan perkembangan mikroorganisme tanah (arang sebagai rumah
mikroba);
• Meningkatkan kemampuan tanah menahan air/ menjaga kelembaban tanah;
• Menyerap residu pestisida serta kelebihan pupuk di dalam tanah;
• Meningkatkan rasa buah dan produksi.
2. Untuk peternakan:
• Bahan pembuat silase;
• Membantu proses penguraian serta membantu pencernaan ternak;
• Mengurangi dan menghilangkan bau kotoran ternak (dapat dipakai sebagai alas
lapisan tempat pembuangan kotoran ternak unggas);
• Mencegah diare;
• Meningkatkan produksi dan kualitas daging dan telur.
Arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan air dan unsur
hara tanah. Keuntungan pemberian arang pada tanah sebagai PKT karena arang
mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah,
meningkatkan pH tanah sehingga pada akhirnya dapat merangsang dan memudahkan
pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.
5
Arang selain dapat digunakan langsung sebagai agent pembangun kesuburan tanah,
juga digunakan sebagai campuran dalam proses pengomposan. Pembuatan arang
kompos merupakan salah satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh P3THH
dengan memanfaatkan arang pada proses pengomposan. Tujuan penambahan arang
pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut,
juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan dapat menambah jumlah dan
aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat
berlangsung lebih cepat. Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang kompos dapat
memacu perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah, sehingga cocok digunakan
untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan tanah dengan produktivitas
yang rendah.
Di sektor kehutanan kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk
hutan tanaman umumnya rendah. Pada pemanenan kayu telah terjadi proses
pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan alat pemanenan hutan. Selain
itu bahan organik pada lapisan permukaan tanah semakin terancam akibat penyiapan
lahan hutan tanaman secara mekanis. Rendahnya bahan organik akan menurunkan
produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan
lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha
yang masih harus dihutankan kembali.
Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi jenis IR 36 akibat pemberian
pupuk kimia/anorganik secara intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan
Suryanto, 2001). Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari
musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK, sehingga
kemampuan padi membentuk anakan menurun. Keadaan ini menunjukkan betapa
pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas
baik pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Bahan organik tanah bukan hanya
berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis
di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun kembali kesuburan lahan diperlukan
suatu teknologi, salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan
arang. Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat
dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan
kebutuhan tanaman (slow release). Selain itu arang bersifat higroskopis sehingga hara
dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan siap pakai.
6
Serbuk gergaji merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan arang. Dengan demikian pemanfaatan serbuk gergaji sebagai arang dapat
ditujukan untuk : mencari peluang strategis dalam peningkatan pengelolaan hasil hutan
melalui pemanfaatan kembali limbah serbuk gergaji. Arang serbuk gergaji (ASG)
selain dapat digunakan sebagai sumber energi juga dapat dimanfaatkan langsung
sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), untuk arang kompos, kompos arang
kandang, atau arang kandang.
7
Gambar 1. Arang berperan sebagi pembangun kesuburan tanah
7,86
8 6,67 6,48
7
6
4,51 4,43
5
4 3,13
3
2
1
0
k ab asg asp asr aj
8
Aplikasi arang pada tanah memberikan respon positif, baik terhadap tinggi tanaman
maupun diameter batang tanaman Acacia mangium sampai umur 1,5 bulan.
Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media yang dicampur
dengan arang serasah memberikan respon terbaik, kemudian diikuti oleh perlakuan
penambahan arang sekam padi. Demikian juga perlakuan penambahan 30 %,
menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan
arang serasah. Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman Eucalyptus urophylla di
lapangan sampai umur 15 bulan menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada
perlakuan penambahan arang bambu memberikan hasil yang lebih baik diabanding
ASG. Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa pemberian
arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan memiliki prospek untuk
dikembangkan. Pemberian arang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman
Acacia mangium dan Eucalyptus urophylla. Serbuk gergaji dan serasah merupakan
bahan baku yang potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan
sebagai arang untuk PKT
Umumnya arang dikenal sebagai sumber energi, baik itu arang batu bara, maupun
arang kayu. Ketika mendengar nama arang kayu, anggapan selalu tertuju pada sumber
energi yang erat kaitannya dengan pedesaan, atau arang untuk membakar sate, bakar
ayam, jagung dll. Pada hal arang yang berasal dari kayu ternyata juga sangat baik dan
mempunyai peranan yang cukup penting jika diberikan pada tanah, seperti:
meningkatkan pH tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, membangun kondisi
mikroorganisme tanah melalui efek kelembaban yang selalu terjaga, serta meningkatkan
nilai KTK tanah. Tentunya arang yang diperuntukkan dengan tujuan perbaikan lahan
adalah arang yang berasal dari limbah, karena sangat disayangkan jika menggunakan
arang yang berasal dari kayu yang masih mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dari
beberapa pengamatan ternyata penambahan arang dapat meningkatkan aktivitas
mikroba perombak bahan organik tanah, selain juga dapat meningkatkan populasi
bakteri pengikat N dalam tanah.
9
Informasi positif dari pengembangan pengunaan arang untuk soil conditioner yang
berdampak pada peningkatan aktivitas dan populasi mikroba tanah. Arang yang
digunakan terutama adalah arang yang dibuat dari limbah serbuk gergaji kayu, kulit
kayu atau potongan kayu yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Penggunaan arang sangat tergantung pada jenis dan kualitas arang. Secara fisik
(arang aktif) berguna untuk penyerap radiasi sinar matahari, isolator gelombang
elektromagnetik, electrode, filament karbon, air battery. Morfologi arang aktif
mempunyai porositas berguna untuk penjernihan air, purifikasi udara, penghisap gas,
penyuburan tanah, filter, anti embun, penumbuh mikroorganisme, dll. Secara kimia
arang bersifat reaktivitas meliputi penyalaan api, produksi karbon sulfat, gasifikasi,
bahan farmasi dan pembuatan baja. Sebagai sumber energi untuk rumah tangga,
memasak, dan power supply. Sebagai komponen non organic berguna sebagai pupuk,
glasir, mikroelement, serta penggunaan untuk keramik. Manfaat arang secara terpadu di
bidang pertanian antara lain: mem-perbaiki dan meningkatkan kondisii tanah,
meningkatkan aliran air tanah, mendorong pertumbuhan akar tanaman, menyerap residu
pestisida dan kelebihan pupuk dalam tanah, meningkatkan bakteri tanah serta sebagai
media mikro-organisme untuk simbiosis, mencegah penyakit tertentu, serta
meningkatkan rasa buah dan produksi (Anonimus, 2002).
Di bidang pertanian arang dapat digunakan untuk menaikkan pH tanah dari asam ke
tingkat netral biasanya dilakukan dengan menambahkan kapur pertanian yang
mengandung senyawa Ca dan Mg ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi dan
menetralkan sifat racun dari Al serta akibat buruk lainnya akibat kondisi tanah yang
asam
30
25
20
15
10
0
kontrol charcoal
SB NFB
10
Gambar 4. Jumlah bintil akar soybean meningkat setelah aplikasi arang
Ternak sapi atau kambing disamping penghasil produk utama daging dan susu juga
menghasilkan hasil samping berupa kotoran ternak faeses dan urine) yang dengan
sentuhan teknologi sederhana dapat diubah menjadi kompos yang sangat bermutu untuk
pemeliharaan lingkungan maupun untuk pertanian secara terpadu antara tanaman
dengan ternak yang berkelanjutan. Ada 2 aspek penting dalam penggunaan kotoran
ternak sebagai pupuk yaitu nilai penggunaannya dan sebagai sumber hara yang
dibutuhkan tanaman.
Berkurangnya kandungan bahan organik pada lahan pertanian di Indonesia saat ini
menunjukkan bahwa sebenarnya diperlukan 100% tambahan bahan organik untuk
mengembalikan pada keadaan kesehatan tanah yang normal. Hal ini berarti akan
diperlukan pupuk organik yang sangat besar untuk membuat keadaan kesehatan tanah
menjadi normal kembali.
Dilain pihak menurut Haryanto (2000), seekor sapi dapat menghasilkan kotoran
(faeses) sebanyak 8 - 10 kg setiap hari. Apabila kotoran sapi ini diproses menjadi
pupuk organik diharapkan dapat menghasilkan 4 - 5 kg per hari. Dengan demikian, satu
ekor ternak akan menghasilkan sekitar 7,3 - 11,0 ton pupuk organik per tahun.
Sementara itu, penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan adalah 2 ton per
hektar untuk setiap kali tanam, sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat
menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8 - 2,7 hektar dengan dua kali tanam
setahun. Kotoran ternak sebagai limbah dengan penggunaan mikroba dan cacing justru
muncul sebagai komoditas baru yang mempunyai keunggulan antara lain :
11
1) Proses pengomposan dipercepat.
2) Dapat diproduksi secara massal dan dijadikan kemasan ekonomis.
3) Peningkatan kualitas dan penghematan penggunaan.
4) Kompos dapat menjadi cabang usaha dan penyerapan tenaga kerja.
5) Memungkinkan perluasan penggunaan lahan-lahan marginal.
6) Memutus daur ulang kuman/hewan parasit dan kuman patogen yang sering ada di
kotoran ternak.
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah gabungan arang dan kompos yang
dihasilkan melalui teknologi pengomposan dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang
tetap hidup di dalam kompos. Apabila diberikan ke tanah mikroba tersebut berperan
secara hayati sebagai biofungisida untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit
akar, sehingga disebut bioaktif. Keunggulan lain Arkoba adalah keberadaan arang
yang menyatu dalam kompos, sehingga bila diberikan pada tanah ikut andil dan
berperan sebagai agent pembangun kesuburan tanah, sebab arang mampu
meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah.
Oleh sebab itu Arkoba cocok dan tepat dikembangkan secara luas di Indonesia
mengingat 2/3 (66,67%) dari lahan pertanian maupun kehutanan berada dalam kondisi
masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat menurunnya kandungan bahan organik
tanah dimana tidak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia. Pengembangan
produksi Arkoba saat ini minimal dapat memenuhi konsumsi lokal serta mendongkrak
suksesnya program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) yang berlangsung
hingga tahun 2009 dan Go Organik 2010, serta yang tidak kalah pentingnya adalah
solusi tepat mengatasi persoalan limbah dan sampah kota.
Produk Arkoba ini dibuat dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan
limbah di sektor kehutanan dimana selama ini sebagai sumber polutan terutama serbuk
gergaji dari industri perkayuan. Selain itu juga karena volume limbah pada saat
12
pemanenan hutan masih tinggi. Oleh sebab itu teknologi Arkoba merupakan salah satu
solusi alternatif untuk mengurangi limbah, menaikkan efisiensi dan menurunkan tingkat
pencemaran. Selain itu Inovasi produk Arkoba dilatar belakangi oleh perbandingan dari
beberapa hasil uji coba pengamatan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada beberapa
jenis media arang serbuk gergaji. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada media campuran arang serbuk
gergaji dan kompos, sehingga sejak tahun 1999 kelompok peneliti Pengolahan Kimia
dan Energi Hasil Hutan (PKEHH) pada Puslitbang Hasil Hutan (P3HH) mulai
mengembangkan produk arang kompos dengan bahan baku utama arang adalah serbuk
gergaji, sedangkan bahan baku sekunder kompos dapat berasal dari limbah organik
pertanian, serasah mangium, serasah tusam, dan serasah campuran dari beberapa jenis
pohon.
13
Tabel 1 : Analisis kandungan unsur hara makro dari beberapa jenis arang kompos
Pembuatan arang kompos cukup mudah dan murah untuk diterapkan, baik skala
kecil mupun di lapangan/di areal tegakan hutan. Hanya perlu motivasi dan kesadaran
yang tinggi bagi pengelola untuk menyadari pentingnya hal ini dilakukan, sehingga
produktivitas lahan menjadi lebih baik dan akhirnya produktivitas tanamanpun akan
meningkat.
Aplikasi arang kompos baik di lapangan maupun skala laboratorium memberikan
hasil yang baik sekali untuk dikembangkan dalam rangka menunjang system pertanian
organik. Karena akhir-akhir ini produk budidaya organik menjadi trend yang cukup
mengemuka serta menempati urutan tertinggi dalam permintaan maupun harga, karena
kecenderungan konsumen saat ini menginginkan pangan yang bebas dari bahan-bahan
kimiawi. Umumnya konsumen produk organik masih terbatas pada kalangan tertentu,
seperti pada hotel-hotel berbintang yang sering dikunjungi oleh turis luar negeri. Oleh
sebab itu keberadaan pupuk organik di pasaran perlu ditingkatkan, dan pembuatan
arang kompos mempunyai prospek yang besar dalam menunjang sistem pertanian dan
budidaya organik tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah lokasi pembuatan arang
kompos sebaiknya tidak jauh dari sumber bahan baku yang akan dibuat, karena hal ini
akan berpengaruh terhadap investasi biaya. Oleh sebab itu sebaiknya setiap industri
pengolahan kayu mempunyai satu unit peralatan untuk membuat arang kompos,
sehingga limbah yang sebelumnya dapat mencemari lingkungan, dapat dimanfaatkan
menjadi produk baru yang berguna. Selain itu, membuat arang kompos dari serasah di
bawah tegakan hutan tanaman sangat dianjurkan, sebagai salah satu upaya antisipasi
kebakaran hutan sekaligus meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman.
14
C. Manfaat Arang kompos bioaktif
Di desa Karyasari, Kabupaten Bogor, produksi arang kompos bio aktif difokuskan
untuk memacu produktivitas daun murbei untuk budidaya ulat sutera. Selain itu juga
diaplikasikan pada budidaya nilam, pepaya, dan tanaman Melaleuca bracteata. Hasil
yang diperoleh sangat meyakinkan, karena hanya dengan memberi arang kompos
15
bioaktif 0,5 kg/rumpun pada tanaman murbei yang berumur sekitar 10 bulan,
meningkatkan jumlah daun murbei sebesar lima kali lipat, selain meningkatkan kualitas
benang sutera yang dihasilkan.
Gambar 6. Aplikasi Arang Kompos Bioaktif pd tanaman Murbei, nilam, cabai dan pepaya
di kampung Cibogo, Desa. Karyasari, Kecamatan. Leuwiliang, Kabupaten.
Bogor.
Salah satu daerah yang menggunakan Arang Kompos untuk menunjang program
GERHAN 2003-2004 adalah Kabupaten Garut, yang telah mengembangkan arang
kompos sebanyak 360 ton sampai dengan bulan April 2004, dan hingga tahun 2008
kelompok ini telah melakukan produksi secara besar-besaran untuk memenuhi
kebutuhan GERHAN di Kabupaten Garut. Arang kompos yang dihasilkan juga
digunakan pada persemaian bibit, serta sebagian juga sudah diaplikasi di lapangan
dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu bagi daerah-daerah lain yang akan
menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang program gerakan nasional
rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) dapat mencontoh keberhasilan Kabupaten Garut.
Kegiatan tersebut langsung dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut bekerja
sama dengan Koperasi Lestari Dinas Kehutanan Kabupaten Garut (Gambar 6 dan 7).
Aplikasi arang kompos bioaktif sebagai campuran media tumbuh anakan jati di
KRPH Jembolo Utara (Jawa Tengah) selama 4 bulan menunjukkan bahwa pemberian
16
arang kompos bioaktif dari serbuk gergaji dapat meningkatkan tinggi dan jumlah anakan
yang hidup sebesar 100 %. Demikian juga pada percobaan penggunaan arang kompos
bioaktif pada anakan Gmelina, dimana hasil yang diperoleh dapat meningkatkan
pertambahan tinggi dan diamater batang tanaman masing-masing 2,2 dan 1,6 kali lebih
baik dibanding kontrol.
Penggunaan arang kompos bioaktif sebagai campuran media tanaman hias (bunga
ros/mawar dan algebra) sangat bagus. Efek yang ditunjukkan adalah selain warna bunga
dan daun lebih cerah dan tajam, juga lebih tahan (tidak mudah gugur), bahkan jika
dibiarkan kelopak bunga sama sekali tidak rontok sampai kering (Gambar 8).
17
Gambar 8. Aplikasi Arang kompos pada tanaman bunga
Pemanfaatan arang kompos bioaktif di lahan Gerhan di lokasi Ranca Salak, pada
tanaman Suren, tahun tanam 2004. Rata-rata tinggi tanaman yang ditanam pakai arang
kompos bioaktif sekitar 6 m dengan diameter kl 15-20 cm, sedangkan yang tidak pakai
arang kompos baru mencapai 3m.
Penggunaan arang kompos bioaktif pada tanaman tembakau hasilnya sangat bagus.
Tembakau yang ditanam dengan arang kompos bioaktif menghasilkan daun rajangan
seberat 7,5 ons, sedangkan yang tidak menggunakan arang kompos hanya mempunyai
berat 3 ons. Dengan demikian daun tembakau yang ditanam dengan arang kompos
bioaktif menhasilkan daun 2 kali lebih banyak dibanding daun tembakau yang tanpa
menggunakan arang kompos bioaktif. Pengeringan daun tembakau yang ditanam
dengan menggunakan arang kompos bioaktif juga lebih efisien, yaitu hanya perlu 3-4
hari pengeringan, sedangkan yang tidak menggunakan arang kompos bioaktif
memerlukan waktu lebih lama. Demikian juga aroma rajangan daun tembakau yang
18
ditanam dengan arang kompos bioaktif lebih tajam dibanding dengan aroma rajangan
daun yang tidak pakai arang kompos bioaktif.
Tabel 2. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos dan arang kompos
bioaktif dari gulma/tumbuhan pengganggu
No. Komponen hara Metode Analisis Lokasi 1/ Kadar (%) Lokasi 2/ Kadar (%)
Sebagai salah satu tolak ukur tingkat kematangan bahan organik yang
dikomposkan adalah nisbah C (karbon) dan N (nitrogen). Makin matang tingkat
dekomposisi bahan organik, makin rendah nilai C/N-nya. Inbar dkk. (1993)
mengemukakan bahwa nilai C/N yang dianggap tidak menggangu proses kimia tanah
adalah < 20. Atas dasar batasan ini, pada Tabel 1 terlihat bahwa tingkat kematangan
kompos (lokasi 1)dari bahan baku gulma atau tumbuhan pengganggu yang diproses
19
selama seminggu mampu memberikan nilai C/N 18.27% dan diharapkan kompos ini
tidak mengganggu berlangsungnya proses kimia yang ada di tanah. Demikian juga
dengan arang kompos bioaktif mempunyai nilai C/N sebesar 18,6 dan 18,27
Kandungan terbesar dari kompos adalah bahan organik (dapat mencapai 18%,
bahkan ada yang mencapai 59%). Selain bahan organik, kompos juga mengandung
unsur-unsur lain (Tabel 2) yang berada dalam jumlah relatif sedikit sekali, yaitu berkisar
antara 2-3%. Besarnya persentase dari unsur-unsur tersebut sangat tergantung dari
bahan dasar yang digunakan dan teknik pengomposannya.
Dari Tabel 2 terlihat pula bahwa pengaruh dekomposisi gulma atau tumbuhan
pengganggu terhadap kadar hara dalam kompos, memberikan nilai yang nyata
meskipun tidak dapat dinyatakan meningkat/menurun karena analisis terhadap gulma
yang masih segar tidak dilakukan. Meskipun demikian, hasil analisis kimia dari
kompos yang diperoleh menunjukkan bahwa gulma yang terdapat disekitar kebun
petani yang pada mulanya tidak mempunyai manfaat, apabila diproses lebih lanjut
menjadi kompos atau arang kompos dapat memberikan nilai tambah tersendiri dan
mempunyai arti penting bagi penggunaan tanaman tersebut dalam mengurangi
ketergantungan pupuk kimia dan penyediaan bahan organik untuk kesuburan dan
kelestarian tanah.
Meskipun teknologi pengomposan dari gulma atau tumbuhan pengganggu yang
sederhana, murah dan cepat telah diperoleh dari kegiatan ini, namun kompos dan arang
kompos tersebut belum mempunyai arti bagi kelestarian lingkungan terutama bagi
kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Oleh
karena itu, pada kegiatan berikutnya kompos yang telah ada akan diuji coba
penggunaannya terhadap tanaman kentang dan murbei.
Jika dibandingkan kompos dan arang kompos gulma yang dihasilkan dengan
kualitas kompos menurut beberapa standar yang berlaku (Tabel 2), maka kompos dan
arang kompos gulma cukup baik, bahkan jika dibanding dengan standar kualitas
kompos Perhutani (Perhutani, 1977 dalam Mindawati, 1998), kompos dan arang
kompos gulma lebih baik kualitasnya, kecuali untuk unsur CaO. Namun unsur ini jauh
kalah penting dibanding unsur hara N (nitrogen), P (fosfor), dan K (kalium). Walaupun
kualitas kompos sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, namun jika
dibanding dengan Standar kualitas kompos dari Pusri (Radiansyah, 2004), maka
kompos dan arang kompos gulma sedikit lebih rendah kualitasnya, terutama untuk
unsur hara N dan P, tetapi tidak untuk unsur K, karena kompos dan arang kompos
20
gulma mempunyai kandungan hara K yang lebih tinggi. Akan tetapi untuk
meningkatkan kandungan unsur hara N pada kompos dapat diatasi dengan penambahan
jerami sebagai bahan baku atau dedaunan dari tumbuhan leguminosae (kacang-
kacangan).
Tabel 3. Perbandingan kandungan unsur hara makro gulma dengan beberapa standar
yang berlaku
21
akibat kelebihan pemberian bahan-bahan kimia. Oleh sebab itu di negara maju kompos
menjadi pilihan utama bagi para petani.
Di Indonesia, sampah masih terasa sebagai beban, baik bagi RT/RW, kelurahan,
maupun dinas kebersihan, karena pembuangannya menimbulkan berbagai persoalan
antara lain, menyangkut biaya, lahan, sarana transportasi, maupun masalah SDM.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran
yang kurang terhadap persoalan sampah, sehingga dapat dilihat bahwa sampah menjadi
penyebab timbulnya banjir bila hujan, karena memenuhi selokan/got maupun
kali/sungai, sehingga air tidak dapat mengalir sebagaimana mestinya. Di wilayah
pedesaan, sampah pertanian dan peternakan lebih berdaya guna, namun pengelolaannya
belum optimal dan efisien sehingga manfaatnya belum terasa dibanding potensi yang
ada.
Masalah sampah juga masalah bagi seluruh umat manusia, bukan hanya
persoalan bagi Dinas Kebersihan, karena dampak pencemaran dari sampah yang tidak
dikelola akan menimpa seluruh manusia yang ada. Dengan demikian, selain dituntut
peran aktif dan kesadaran yang tinggi dari masyarakat, juga perlu teknologi inovatif
yang dapat membantu menyelesaikan masalah sampah, sehingga sampah yang
sebelumnya merupakan barang tak berharga, dijadikan sumberdaya hingga menjadi
produk yang berharga dan bernilai, baik bagi lingkungan maupun kesehatan.
Pengembangan produksi ARKOBA saat ini minimal dapat memenuhi konsumsi
lokal serta mendongkrak suksesnya program GERHAN yang berlangsung hingga tahun
2009 dan Go Organik 2010, sekaligus memberi solusi sistem pengelolaan sampah.
Dalam skala kecil cara ini telah diterapkan di TPA 1 kota Palembang dan TPA
Bangkonol, Pandeglang, Banten.
V. TPA SEBAGAI EMITTER GRK (Gas Rumah Kaca), SALAH SATU PEMICU
PEMANASAN GLOBAL
Untuk mengaitkan sampah dengan Gas Rumah Kaca (GRK), maka perlu
dijelaskan bahwa pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan Bumi akibat
meningkatnya konsentrasi GRK. Enam jenis GRK utama adalah gas karbon dioksida
(CO2), Methana (CH4), Nitrat oksida (N2O). Dalam laporan yang disusun oleh
International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, dilaporkan bahwa rata-rata
temperatur global telah meningkat 0,6.% serta dilaporkan bahwa tahun 1990-an adalah
22
dekade terpanas. Meningkatnya suhu bumi diperkirakan akan mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Menyadari besarnya
ancaman pemanasan global, disepakati Kyoto Protocol 1997. Negara-negara industri-
penyumbang GRK terbesar-berkomitmen menguranginya. Salah satu GRK yang
berpengaruh adalah CH4 (methana). Kekuatannya dalam efek pemanasan global 23 kali
lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas
methana perlu dikendalikan. Berbagai sumber gas methana antara lain adalah rawa,
TPA, penambangan gas alam, pembakaran biomassa. Dalam hubungannya dengan
persampahan, TPA menjadi sumber gas methana karena adanya proses penguraian
sampah oleh jasad renik.
Meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga akan
meningkat. Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020.
Kalau tahun 1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per
kapita per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per
kapita. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas
methana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah
organik 56 persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau
setara dengan CO2 486.500 ton. Masyarakat Eropa sepakat tahun 2005 tidak membuang
sampah organiknya langsung ke TPA. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas
tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa insinerasi,
pengomposan, dan produksi biogas. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh
Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk
mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan
sampah di Indonesia. Dengan demikian penerapan teknologi produksi ARKOBA
memberi dampak yang multi use, serta juga demi ”kemaslahatan bumi dan ummat
manusia”.
Penerapan teknologi arang kompos bioaktif untuk pengelolaan sampah, dapat
dilakukan oleh siapa saja, karena merupakan teknologi inovatif, tepat guna, serta mudah
dilakukan oleh masyarakat. Dapat dikelola oleh perorangan, kelompok, badan usaha,
atau bahkan skala pabrik. Hanya perlu kesadaran yang tinggi serta ketekunan agar
dapat berjalan lancar dan berkesinambungan.
Penerapan teknologi ini sudah diuji cobakan di TPA Bangkonol, Pandeglang,
Banten TPA Padang, dan TPA 1. Palembang (Sum-Sel) pada tahun 2004. hasil yang
diperoleh telah diaplikan di lahan areal GERHAN baik di Pandeglang, Banten, maupun
23
wilayah Palembang. Selain itu uji coba penggunaan aktivator khusus sampah organik
kota juga telah dilakukan di TPA, Btr Gebang.
Pembuatan arang kompos cukup mudah untuk terapkan pada masyarakat pedesaan
dan sekitar hutan, dengan menggunakan bahan baku yang terdapat di sekitarnya.
Sejalan dengan program pengembangan tersebut, Puslitbang Hasil Hutan, sejak tahun
2000 juga telah melaksanakan sosialisasi/diseminasi sekaligus peragaan pembuatan
arang kompos di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera yang dikemas dalam bentuk
acara Gelar Teknologi dan Temu Lapang antara lain di Kabupaten Serang; Ciamis;
Tasikmalaya; Garut; Pandeglang; Lw Liang; Ciloto (KPH Cianjur); KRPH Jembolo
Utara, Kota Semarang; dan Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi. Sebagian besar
dana yang diperoleh untuk menunjang kegiatan ini bersumber dari dana Kerjasama
P3THH dengan JIFPRO-Jepang. Kerjasama ini dimulai sejak tahun 2000 hingga tahun
2003/2004, sedang sebagai dana pendamping adalah dana DIK-S DPL. Pada bulan
April 2006 kegiatan ini juga dilakukan di desa Karyasari, Kabupaten Lw Liang, Bogor.
Produksi arang kompos bio aktif difokuskan untuk memacu produktivitas daun murbei
untuk budidaya ulat sutera. Selain itu juga diaplikasikan pada budidaya nilam, pepaya,
dan tanaman Melaleuca bracteata.
Salah satu daerah yang menggunakan Arang Kompos untuk menunjang program
GNRHL 2003-2004 adalah Kabupaten Garut, yang telah mengembangkan arang
kompos sebanyak 750 ton sampai dengan bulan April 2005. Arang kompos yang
dihasilkan langsung digunakan pada persemaian bibit, serta sebagian juga sudah
diaplikasi di lapangan dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu bagi daerah-daerah
lain yang akan menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang program
GNRHL dapat mencontoh keberhasilan Kabupaten Garut. Kegiatan tersebut langsung
dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut bekerja sama dengan Koperasi Lestari
DISHUT Kab. Garut.
24
Saat ini penanggulangan sludge di beberapa industri pulp dan kertas di Indonesia,
sebagian besar hanya dibenamkan ke dalam tanah atau dibakar. Penanggulangan
dengan cara ini mempunyai beberapa resiko, yaitu jika dibenamkan ke dalam tanah
membutuhkan areal yang luas, sedangkan jika dibakar memerlukan biaya yang cukup
besar dan dapat mencemari udara. Sludge masih mempunyai kandungan bahan organik
yang cukup tinggi, sehingga sludge dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Carter
1983 dan Alton 1991 dalam Rina et.al. 2002). Pengomposan dipandang sebagai
alternatif penanganan yang paling baik, karena di samping tidak mencemari
lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat dengan investasi yang relatif
murah. Karakteristik dari sludgeadalah bersifat menyerap air, sehingga jika
sludgeditumpuk pada saat proses pengomposan, rongga udara yang tercipta akan
sedikit. Kondisi ini mengganggu proses pengomposan sehingga perlu bahan lain untuk
menanggulanginya. Bahan lain sebagai campuran dapat digunakan serbuk gergaji dan
atau arang serbuk gergaji. Hasil penelitian Komarayati, dkk (2007) menyimpulkan
bahwa Sludge limbah industri pulp dan kertas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
arang kompos, penambahan arang ke dalam campuran kompos dapat mempercepat
proses dekomposisi selama pengomposan serta kualitas arang kompos terbaik adalah
arang kompos dengan penambahan arang 30 kg dan Arang kompos hasil penelitian,
telah memenuhi standar mutu SNI 19-7030- 2004, kecuali rasio C/N. Penelitian
Komarayati dan Gusmailina juga menyimpulkan bahwa pemanfaatan limbah padat
industri pulp Untuk pupuk organik menunjukkan kualitas pupuk organik yang
dihasilkan antara lain : unsur hara makro N, P dan K masih rendah yaitu 0,38 – 0,85%;
0,47 – 0,65% dan 0,09 – 0,22%. Nisbah C/N 9,00 – 14,00 dan KTK 25,22 – 35,89
meq/100 gr telah memenuhi standar. Logam berat Pb 0,01 – 0,06 ppm dan Cd 0,03
ppm termasuk rendah dan telah memenuhi persyaratan baku mutu. Peningkatan unsur
hara N,P dan K pupuk organik dengan mencampur berbagai bahan organik pada
perbandingan 10 bagian PO dan 1 bagian ZEOREA menunjukkan terjadi peningkatan
N 4,72%; P 2,90% dan K 4,09%. Kadar N,P,K ini telah melebihi standar pupuk organik
yang ditetapkan.
Hasil penelitian teknologi inovasi penanganan limbah industri pulp dan kertas
menjadi arang kompos bio aktif (Gusmailina & Komarayati, 2008) menyimpulkan
bahwa hasil uji coba pembuatan arang kompos bioaktif dari limbah sludge pabrik pulp
dan kertas yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas arang kompos
yang dihasilkan lebih baik dengan waktu yang lebih singkat, karena teknologi
25
pengomposan yang diterapkan secara anaerobik, menggunakan aktivator serta bernilai
plus apabila dilakukan penambahan bahan baku kotoran ternak. Selain itu kandungan
unsur logam yang berbahaya juga menurun tajam, jauh di bawah ambang batas yang
diperbolehkan baik skala internasional maupun skala nasional. Dengan demikian
limbah sludge pabrik pulp dan kertas layak dipakai dan dikembang luaskan untuk
konsumsi kalangan industri sendiri, maupun dijual ke pasar umum, bebas maupun
ekspor. Pada Tabel berikut dapat dilihat kualitas arang kompos yang dihasilkan dengan
menggunakan bahan baku sludge.
Tabel 4. Kualitas dan kandungan unsur hara Arang kompos hasil uji coba di
laboratorium (GA) dibandingkan dengan beberapa kualitas kompos lainnya
Nilai
PT. AA ARANG US Standar
No. Parameter SK KOMPOS EPA pasar
Lab. PT Lab. GA (1993) khusus
AA IPB **) ***)
11 Unsur logam
Zn (mg/kg) 34,60 40,50 23,76 7500 < 400
Cu mg/kg 76,90 21,10 19,92 4300 < 150
Co mg/kg 20,00 - * -
Mo mg/kg 7,19 - * 75 ≥ 0,10
Se mg/kg <0,003 - * 100
Pb mg/kg 16,25 4,81 0,01 3,01 840 < 150
Cr mg/kg 20,28 18,90 - 3000 < 45
26
Cd mg/kg 1,33 0,24 0,03 0,21 85 <3
Ni mg/kg 8,62 19,30 - 420 < 50
Hg mg/kg <0,01 - * 57 <1
As mg/kg 2,00 - * 75 < 10
Keterangan:
1. Batas maksimum konsentrasi unsur dalam sludge yang diizinkan untuk diaplikasikan ke
dalam tanah menurut US EPA (1993) dalam Alloway (1995) dalam Anonimus (2003)
2. SK : Analisis kompos Sludge yang dilakukan oleh Komarayati (2007 )
3. GA : Kompos sludge hasil uji coba di laboratorium
4. * : tidak terdeteksi
5. **) : Dianalisis di Lab Natural Products. Biotrop Bogor.
6. ***) : Sumber Radiansyah (2004)
27
menggunakan activator yang mengandung bahan aktif khusus mikroorganisme
pengurai lignoselulosa diantaranya yang mengandung mikroorganisme
Trichoderma dan Cytophaga sp.
d. Peralatan pengomposan : Proses pengomposan dapat berlangsung pada beberapa
macam tempat seperti : kotak kayu dengan ukuran 1m x 1m x 1m, bak semen
permanent, kombinasi bak semen dengan penutup kayu, dan kantong plastic jumbo.
Pembuatan arang kompos prinsipnya sama dengan pengomposan biasa yaitu melalui
proses fermentasi, langkah-langkah pembuatan arang kompos adalah sbb:
o Pada bahan baku yang sudah dicacah ditambah arang serbuk sebanyak 10-
30 % dari berat volume bahan yang akan dikomposkan;
o Tambahkan aktivator sebanyak 0,5-10 % tergantung jenis bahan yang akan
dikomposkan,
o Aduk campuran hingga rata; tambahkan air hingga kondisi kadar air
campuran bahan berkisar antara 20%-30 %;
o Masukkan ke dalam wadah pengomposan
o Khusus untuk bahan yang sulit hancur seperti limbah kehutanan, sebaiknya
pada minggu ke dua, ke tiga dan ke empat dibalik kemudian di aduk ulang,
tambahkan air bila kondisi agak kering;
o Pengukuran suhu dilakukan guna mengetahui apakah proses berjalan
dengan sempurna. Proses berjalan dengan sempurna apabila pada minggu
pertama dan ke dua suhu meningkat hingga mencapai 55 oC - 60 oC, lalu
menurun pada minggu-minggu berikutnya. Apabila kondisi suhu sudah
stabil berarti proses pengomposan sudah selesai dan kompos dapat
dibongkar;
o Proses pengomposan berlangsung antara 2 sampai 10 minggu tergantung
bahan baku yang digunakan, untuk limbah sayuran/dedaunan segar
pengomposan berlangsung selama 2 minggu, pengomposan serasah
dedaunan kering berlangsung selama 1 bulan, sedangkan serbuk gergaji
selama 2-3 bulan;
o Secara visual kompos yang sudah matang akan mengalami perubahan
warna, sedangkan indikator kompos yang siap pakai yaitu mempunyai
nisbah C/N di bawah atau sama dengan 20;
o Untuk menambah daya tarik penampilan, kompos digiling hingga halus
28
kemudian dikemas lalu disimpan ditempat yang kering dan teduh;
o Arang kompos siap digunakan atau dipasarkan.
Pembuatan arang kompos juga dapat dilakukan di areal tegakan hutan. Bahan baku
yang dapat digunakan berupa limbah pemanenan hutan. Ranting dan cabang yang
tertinggal dijadikan arang kemudian sebagai bahan untuk kompos adalah dedaunan
segar atau serasah. Proses pengomposan dapat dilakukan dengan jalan membuat
lobang persegi atau lobang sepanjang larikan sedalam 0,5 m. Lobang ini sebelumnya
dialas dengan plastik agar proses pengomposan tidak ada kontak langsung dengan
tanah, kemudian semua bahan yang akan dikomposkan dimasukkan ke dalam lobang
lalu ditutup lagi dengan plastik, kemudian biarkan sampai kompos terbentuk. Kompos
yang terbentuk kemudian dapat dibongkar lalu dipindahkan, atau dibiarkan sebagai
pengganti pupuk pada penanaman berikutnya.
Gambar 10.
Arang Kompos Bio Aktif produksi
Kelompok tani binaan Dishut Kab. Garut
29
SKEMA PEMBUATAN
PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIO AKTIF
LIMBAH KEHUTANAN
LIMBAH ORGANIK LIMBAH KEHUTANAN
(KULIT KAYU, SERBUK
(KULIT KAYU, SERBUK
GERGAJI)
GERGAJI)
CACAH (ukuran 1-3 cm) KILN/TUNGKU
KILN/TUNGKU
ARANG
5-30%
5-30%
BIOACTIVATOR (0,5-10%)
KOMPOSTING analisis
KOMPOSTING unsur hara makro
Termofilik
Termofilik
(55-65 o o
(55-65C)C) (C,N,P,K, Ca, Mg)
Aspek teknis yang terpenting pada pertanian maupun kehutanan yang berkelanjutan
diantaranya adalah peningkatan efisiensi pupuk. Maksudnya untuk mengurangi
volume pemakaian pupuk serta biaya produksi tanpa mempengaruhi produksi. Namun
kebutuhan bahan organik maupun pupuk organik untuk mendukung budidaya organik
jauh lebih besar dibanding jika menggunakan pupuk kimia, biasanya berkisar antara 2
– 20 ton per hektar. Sehingga menimbulkan masalah bagi petani karena biaya produksi
jadi meningkat. Oleh sebab itu pengolahan lanjutan dari bahan/pupuk organik perlu
dilakukan agar volume menjadi sedikit serta mudah dalam transportasi tetapi tetap
memiliki efek yang sama. Bahan organik seperti kompos, arang kompos, pupuk
30
kandang atau pupuk organik yang berbentuk serbuk, perlu dirobah bentuknya sehingga
menjadi lebih padat dengan cara cetak dan press. Pupuk terutama pupuk organik akan
lebih efisien jika bentuknya dipadatkan, karena akan lebih mengurangi resiko
tercuci/hilang dalam aplikasinya. Selain itu volume akan lebih sedikit jika
menggunakan pupuk yang telah dipadatkan, tetapi tidak mengurangi kualitas dari
pupuk tersebut, sehingga dalam aplikasi juga tetap akan memberikan respon yang
sama.
Tablet, maupun briket media yang dibuat dari arang kompos dan pupuk organik
diharapkan dapat menunjang kegiatan GERHAN yang pelaksanaannya hingga tahun
2009. Aplikasi tablet arang kompos dan pupuk organik, diharapkan lebih efisien dan
ekonomis jika dibandingkan apabila aplikasinya secara konvensional tanpa dicetak.
Aplikasi tablet dan briket media, akan memudahkan penanaman terutama untuk areal
target yang sulit dijangkau, sehingga operasionalnya dapat menggunakan alat sistem
kabel layang. Briket media yang berisi bibit tanaman dapat disebar secara otomatis
yang diatur penempatannya sesuai dengan jarak tanam yang diinginkan, selain
itu produk ini juga diperuntukkan untuk media tanaman anggrek.
31
Gambar 13. Briket Media Arang Kompos Bioaktif
X. PENUTUP
Target produksi arang kompos bioaktif yaitu : pertama, meningkatkan efisiensi
industri pengolahan kayu melalui pemanfaatan limbah. Ke dua, volume serasah daun di
areal hutan tanaman cukup tinggi. Serasah daun tusam (Pinus merkusii) dan mangium
(Acacia mangium) masing-masing mencapai 12,56 - 16,65 ton/hektar dan 8-9 ton/hektar.
Pada musim kemarau dan kering dapat menjadi pemicu kebakaran hutan. Ke tiga,
meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga meningkat.
Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020. Kalau tahun
1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita per hari,
tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Di Indonesia
terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas CH 4 (methana). Sebagai contoh,
sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik sekitar 56% akan
menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500
ton. Kekuatan efek CH4 dalam pemanasan global 23 kali lebih tinggi dari CO2.
International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, melaporkan bahwa rata-rata
temperatur global telah meningkat 0,6.%, dilaporkan bahwa tahun 1998 adalah dekade
terpanas. Meningkatnya suhu Bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya
perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut.Untuk mengejar target pengurangan
emisi GRK, maka produksi gas methana perlu dikendalikan. Komposting merupakan
proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk
diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu
perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Dengan demikian penerapan teknologi
32
produksi ARKOBA memberi dampak yang multi use, dan demi ”kemaslahatan bumi dan
ummat manusia”.
Anonim. 2003. Departemen kehutanan siap laksanakan GN RHL. Siaran Pers No.
1428/II/PIK-1/2003. www. dephut.go.id
Anonim. 2003. Study on utilization of economic instruments to encourage the suistanable use of
natural resources and internalize environmental impacts resulting from trade liberalization
and expose Growth in the Industrial sector. By prepared. Ministry for Environment
Republic of Indonesia. Jakarta. (Unpublished).
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota
di TPA Bantar Gebang. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.
Bogor
Away, Y., D.H. Goenadi, dan P. Faturarchim. 1997. Pemanfaatan sampah pangkasan
tanaman teh sebagai bahan baku kompos bioaktif. Warta Puslit. Biotek. Perkeb.,
1997, III(1):33-40. Bogor
Badan Standarisasi Nasional [BSN]. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004.
Dalzell, H.W.,A.J. Biddlestone, K. R. Gray and K. Thurairajan. 1987. Soil Management Compost
Production and Use In Tropical and Subtropical Environment. Soil Bulletin.Vol. 56. FAO,
Rome.
Gaur, A.C. 1982. A manual of Rural Composting. Food Agriculture Organization of United
Nations. Rome.
33
Gusmailina; G. Pari, and S. Komarayati. 1999. The utilization technology of charcoal
and activated charcoal as a soil conditioning on plants. Project Report. Forest
products Research Centre. Bogor.
Gusmailina ; G. Pari dan S. Komarayati. 2000. Teknik penggunaan arang sebagai “ Soil
Conditioning” pada tanaman. Laporan Proyek Pusat Penelitian Hasil Hutan. Badan
Litbang Kehutanan. Bogor (Tidak diterbitkan).
Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari dan M. Ali. 2005. Mengenal manfaat arang dan arang
kompos. Diskusi Intern BP2HT IBB. 17 Pebruari 2005. Palembang.
Gusmailina ; G. Pari dan S. Komarayati. 2002. Kajian Teknis dan Implementasi Produksi
POSG (Pupuk Organik Serbuk Gergaji). Laporan Kerjasama antara P3THH Bogor,
JIFPRO Jepang, Dinas Kehutanan Propinsi Tk I Jambi dan Koperasi Sawmill
Siginjai, Sengeti – Muaro Jambi, Jambi.
Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga sp., and Trichoderma sp. As activators for
composting. Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3 rd Conf. On
Forest Soils (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192.
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil
conditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (Tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Laporan kerjasama penelitian Pusat
Litbang Teknologi Hasil Hutan – JIPFRO (Jepang) Bogor (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Laporan kerjasama penelitian Pusat
Litbang Teknologi Hasil Hutan – JIPFRO (Jepang) Bogor
Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 2002. Implementation study of compos and
charcoal compost production. Laporan Kerjasama P3THH dengan JIFPRO, Jepang
.Tahun ke 3. Bogor (Tidak dipublikasi).
Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan Arang
Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. ISBN: 979-3132-27
Gusmailina dan S. Komarayati. Teknologi Inovasi Penanganan Limbah Industri Pulp Dan
Kertas Menjadi Arang Kompos Bio Aktif. Seminar Teknologi Pemanfaatan
34
Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24
November 2008.
Inbar, Y.Y., Chen and H.A.J. Hoitink. 1993. Properties for Establishing Standards for
Utulization of Composts in Container Media. In: Science and Engineering of
Composting: Design, Environmental, Microbiological and Utilization Aspects.
H.A.J. Hoitink & H.M.Keener (Eds.). p.: 668-694. Renaissance Pub. Columbus,
OH-USA.
Komarayati, S. ; Gusmailina dan G. Pari. 2001. Pemanfaatan limbah kulit kayu dan serasah
tusam untuk kompos dan arang kompos. Laporan Hasil Penelitian. Proyek DIK-S.
Sumber Dana Reboisasi. Tahun Anggaran 2001.
Komarayati, S. ; Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos dari
serasah dan kulit kayu tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 20 (3) : 231 – 242.
Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S. ; Gusmailina dan G. Pari. 2003. Aplikasi arang kompos pada anakan tusam
(Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan. 21 (1) : 15 – 21. Pusat Litbang
Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuh anakan mahoni.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (4) : 193 – 203. Pusat Litbang Teknologi Hasil
Hutan. Bogor.
35
Mindawati, N., N.H.L. Tata, Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam
limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan efektif
mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. No. 614 : 29-40.
Prihatini T. 2001. Menuju Quality Control Pupuk Organik. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Kompos. Makalah pada
stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup.
Jakarta.
Rao dkk., 1998 dalam Saad A., 2002. Pembangkitan criteria kesesuaian lahan untuk
tanaman duku spesifik lokasi Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Unpublished.
Reintjes, C., B. Haverkort., dan W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk
Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit Kanisius. Jakarta
Rina, S.S.; S. Purwati; H. Hardiani; A. Surahman. 2002. Pengaruh Kompos dari Limbah
Lumpur IPAL Industri Kertas terhadap Tanaman dan Tanah. Prosiding Seminar
Teknologi Selulosa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Selulosa, 22
Oktober 2002 di Bandung.
Saeni, S.M. dan D. Latifah. 1990. Panduan Praktikum Kimia Lingkungan. Jurusan
Kimia.FMIPA IPB. Bogor.
Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika (Terjemahan) PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
36