Professional Documents
Culture Documents
GLOBALISASI
Jumat, 15/12/2006 - 10:45 - dikirim oleh: zoelveri.
Judul Artikel
Bahasa
Indonesia
Penulis
Mubyarto
Judul Jurnal
Nomor
Bidang Ilmu
Ekonomi
Kata Kunci
Ekonomi, globalisasi
Abstrak
Pada waktu itu (1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut Ekonomi
Pancasila. Mengapa tidak dipakai konsep Ekonomi Pancasila? Ringkasan dan Implikasi
Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”,
pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta
merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang
menurut mereka juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa
Indonesia.
Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya
Amerika merupakan kemewahan yang tak dapat lagi ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek
perilaku yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya
berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa
Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus
dibayar mahal oleh Indonesia. UGM telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi
Pancasila (PUSTEP) untuk menghidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi
Pancasila yang berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM mencuatkan dan
menggerakkan pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral dan sistem ekonomi Indonesia.
Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan
sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi
nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang
ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial
mencakup:
penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan
kebijakan ekonomi;
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.
pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-
sekolah dan perguruan tinggi.
Keterangan
Sumber
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_1.htm
Ekonomi kerakyatan
Rabu, 22/11/2006 - 13:06 - dikirim oleh: zoelveri.
Judul Artikel
Bahasa
Indonesia
Penulis
Fredrik Benu
Judul Jurnal
Nomor
Bidang Ilmu
Ekonomi
Kata Kunci
Abstrak
Keterangan
Sumber
www.ekonomirakyat.org
Term of Reference
DISKUSI BERSERI COMMUNITY CURRENCY SYSTEM (CCS)
Sebagai
Latar Belakang
Secara umum beberapa perbandingan antara penerapan sistem CCS yang telah
dilakukan di 35 negara ( 3200 jenis mata uang masyarakat) dengan Sistem
ekonomi Neo-Liberal yaitu :
Neo-Liberal CCS
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Community Based Social Economic
Development-Yappika. Dan merupakan salah satu upaya membangun trobosan baru
dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan. Sedangkan upaya-paya lain yang
menunjang program ini diantaranya riset ekonomi rakyat di desa Giri Sekar Kabupaten
Gunung Kidul - Yogyakarta, serta pengembangan Skema kredit di 5 wilayah Kerja Yappika
(Aceh, Papua, NTT, Makasar serta Yogyakarta)
"Negara komunis seperti Uni Sovyet, Yugoslavia, Jerman Timur, dan RRC telah mencoba
melakukan pemaksaan selera penguasa dalam hal penentuan barang dan jasa yang
diproduksi, alokasi sumber daya ekonomi, dan distribusi barang dan jasa kepada rakyat,
namun hasilnya justru rakyat miskin dan elit politik yang makmur," tegasnya.
Menurut mantan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya di era mantan Presiden BJ Habibie itu,
negara liberalis menyerahkan sepenuhnya proses memakmurkan rakyat kepada
mekanisme pasar, namun hasilnya menimbulkan kesenjangan yang besar antara miskin-
kaya.
"Dari pengalaman itu, peranan pemerintah sebenarnya mutlak diperlukan, namun sifatnya
harus terbatas, limited government, atau small government, kemudian wakil rakyat
melalui proses demokrasi memberi janji untuk memakmurkan rakyat," paparnya.
Di Amerika Serikat (AS) yang merupakan dedengkot negara kapitalis dan persaingan
bebas saja, katanya, ada program yang nyata-nyata berpihak kepada sistem ekonomi
kerakyatan, seperti bantuan subsidi kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan juga
kepada koperasi.
Mantan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) di era mantan Presiden Megawati itu mengatakan di Taiwan juga disediakan kredit
sebesar Rp1,3 miliar kepada setiap petani dengan bunga cuma tiga persen per-tahun.
"Finlandia menyediakan kredit murah jangka panjang 100 tahun kepada petani yang
menanam pohon hutan. Jadi, sistem ekonomi kerakyatan itu tidak mungkin dapat dicapai
kalau sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, namun perlu ada keberpihakan
pemerintah dan legislatif," ungkapnya.
Namun, kata mantan Menteri Kehutanan di era mantan Presiden Gus Dur itu, ekonomi
kerakyatan di Indonesia masih sebatas bibir, karena bantuan kredit kepada petani
diberikan, tapi tidak semurah dan semudah di Taiwan.
Deputy Chairman PT Lippo E-Net Tbk itu merinci bantuan yang diberikan kepada rakyat
adalah Bimas, Inmas, Insus, KUT, Kredit Candak Kulak, Kredit Investasi Kecil, Kredit
Modal kerja Kecil, kredit-kredit melalui koperasi (PIR, PIR koperasi, dan sebagainya),
subsidi benih, dan subsidi pupuk.
Selain itu, operasi pasar khusus untuk beras, penjaminan kredit melalui Askrindo dan
Perum PKK, kredit murah untuk RSS, perbaikan kampung, pembuatan dan perbaikan
saluran irigasi, jalan, dan jembatan, Inpres Desa, Inpres Kesehatan, Inpres Pasar, Inpres
Penghijauan, Puskesmas, Posyandu, dan sebagainya.
"Tapi, keberpihakan kepada golongan mampu (kaya) lebih mencolok seperti pada kasus
Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang cuma dikenakan bunga 12 persen
setahun dengan plafon tanpa batas," ucapnya.
Jadi, proses pemberian kredit akhirnya hanya dinikmati segolongan konglomerat dan bukan
berpihak kepada usaha-usaha untuk menyejahterakan rakyat. Usaha untuk memakmurkan rakyat
selama ini masih terbatas kepada pangan dan papan saja.
"Untuk petani di Jawa yang memiliki lahan harus ada keberpihakan Pemerintah pusat dan daerah
untuk memakmurkan mereka melalui bantuan teknologi dan pembiayaan yang murah serta
pemasaran hasil produksi petani itu ke dunia," katanya.
Untuk petani di Jawa yang tidak memiliki lahan, katanya, perlu disediakan lahan garapan milik
pemerintah pusat dan daerah dengan sistem bagi hasil yang memihak kepada pemakmuran
petani.
"Untuk petani di luar Jawa, lahan bukanlah merupakan masalah, namun perlu budaya kerja keras
haruslah ditanam secara rajin, karena itu Balai Latihan Kerja yang telah tersebar di seluruh perlu
dimaksimalkan pemanfaatannya," kilahnya.
Untuk nelayan Pantura, katanya, perlu dibantu penyediaan sarana untuk penangkapan ikan,
pengolahan hasil, dan pemasaran ke dunia, sedangkan untuk para penyedia jasa-jasa di bidang
pariwisata, seni dan budaya, agar jelas-jelas dibantu sehingga jasa-jasa mereka dapat dipasarkan
ke dunia.
Dalam renungan akhir tahun 2003 sekaligus memperingati Setahun Pusat Studi Ekonomi
Pancasila (Pustep) UGM (9/12/03), almarhum Prof Dr Mubyarto yang dikenal pejuang ekonomi
kerakyatan menegaskan bahwa semangat nasionalisme bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir
sudah sangat mengendur.
"Kendurnya nasionalisme itu karena dibekukan dengan prestasi `keajaiban ekonomi` selama 32
tahun yang konon tumbuh rata-rata 7 persen/tahun, padahal yang terjadi adalah penghisapan oleh
pemerintah pusat dan investor asing, sehingga terjadi ketimpangan akibat keajaiban yang
menipu," ujarnya.
Pakar ekonomi kerakyatan yang meninggal dunia pada 24 Mei 2005 itu mencontokan
penghisapan pada 1996 yakni Provinsi Kaltim, Riau dan Irian Jaya (Papua) dengan derajat
penghisapannya masing-masing 87 persen, 80 persen dan 78 persen, sehingga ekonomi
Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing.
Walhasil, kalau orang-orang kecil di Taiwan, RRC, Spanyol, Swiss, dan Thailand bisa hidup
makmur, maka orang-orang kecil di Indonesia juga harus bisa makmur dengan Sistem Ekonomi
Kerakyatan yang benar secara realitas dan bukan hanya mimpi atau "lips service."(*)
EKONOMI KERAKYATAN
BUTUH DEMOKRATISASI MODAL
REVRISOND BASWIR
Titik tolak yang paling mudah untuk memahami ekonomi kerakyatan adalah
dengan menguraikan makna penggalan kalimat pertama dalam penjelasan
Pasal 33 UUD 1945.
Berdasarkan bunyi penggalan kalimat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu,
dapat diketahui secara substansial ekonomi kerakyatan sesungguhnya
mencakup tiga hal berikut:
PARTISIPASI MASYARAKAT
Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu saya kira perlu digarisbawahi.
Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam kepemilikan modal atau faktor
produksi nasional, baik dalam bentuk kepemilikan modal material (material
capital), modal intelektual (intelectual capital), maupun modal institusional
(institusional capital).
Sebagai konsekuensi dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara
harus mengupayakan agar kepemilikan ketiga jenis modal tersebut
terdistribusi secara relatif merata di tengah masyarakat. Sehubungan dengan
modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi
hak kepemilikan setiap anggota masyarakat, tetapi juga wajib memastikan
bahwa semua anggota masyarakat turut serta memiliki modal material.
Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan
cuma-cuma bagi seluruh anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi
kerakyatan, pendidikan bukanlah sebuah kegiatan yang dapat dikomersialkan.
Negara tidak mungkin melarang komersialisasi pendidikan oleh pihak swasta, tetapi
hal itu harus dilakukan bersamaan dengan disediakannya fasilitas pendidikan bebas
biaya oleh sektor negara.
Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa negara memang wajib melindungi hak setiap anggota masyarakat
untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Hal itu tentu tidak hanya
berlaku sehubungan dengan pembentukan serikat-serikat sosial dan politik, tetapi
mencakup pula pembentukan serikat-serikat ekonomi. Secara khusus hal itu diatur
dalam Pasal 28 UUD 1945.
Bertolak dari uraian tersebut, secara keseluruhan dapat disaksikan bahwa tujuan
utama ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian.
Bila tujuan ekonomi kerakyatan itu diuraikan lebih lanjut, maka sasaran pokok
ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
Pertama, tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh
anggota masyarakat.
MENDAPATKAN PERLAWANAN
Sehubungan dengan itu, mungkin ada baiknya bila di sini dikemukakan secara
singkat argumentasi yang melatarbelakangi pentingnya penyelenggaraan
demokratisasi modal dalam ekonomi kerakyatan. Selain didasarkan pada
motivasi untuk menciptakan keadilan ekonomi, demokratisasi modal
merupakan tonggak yang sangat penting bagi ekonomi kerakyatan untuk
menjamin terselenggaranya proses demokrasi dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam pandangan ekonomi kerakyatan, demokrasi politik saja tidak mencukupi bagi
rakyat kebanyakan untuk mengendalikan jalannya roda perekonomian. Sebab,
sebagaimana berbagai bidang kehidupan lainnya, persaingan politik yang sangat
demokratis sekali pun, faktor modal akan tetap memainkan peranan penting dalam
mempengaruhi pilihan-pilihan politik masyarakat.
Melalui kekuatan modal yang mereka miliki, mereka juga cenderung memakai
demokrasi sebagai sarana untuk melestarikan posisi dominan yang dimilikinya.
Untuk menghadapi kelicikan para pemodal besar tersebut, maka tidak ada pilihan
lain bagi rakyat kebanyakan, kecuali dengan mempersenjatai diri mereka dengan
modal material yang cukup, modal institusional yang kuat, dan kemampuan
intelektual yang memadai.
Upaya untuk mempersenjatai diri dengan ketiga jenis modal tersebut tentu diperoleh
secara cuma-cuma. Ia memerlukan perjuangan.
Ketiga, jika dilihat dari musuh strategisnya, musuh utama ekonomi kerakyatan
terdiri dari para penguasa negara yang membela kepentingan para pemodal
besar, para pemodal besar domestik, perusahaan-perusahaan transnasional,
pemerintah negara-negara industri pemberi utang, dan lembaga-lembaga
keuangan dan perdagangan multilateral yang menjadi kepanjangan tangan
neoliberal.
Orientasi ekonomi kerakyatan pada penciptaan kondisi ekonomi dan politik yang
demokratis tersebut tentu sangat bertentangan dengan kepentingan kelompok-
kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh sistem ekonomi neoliberal.
*Drs. Revrisond Baswir, MBA adalah pemerhati ekonomi-politik UGM dan direktur
IDEA, Yogyakarta
EENET Asia
Newsletter -
Edisi
Keempat-
Juni 2007
Tags: spasial
Prev: Kilas Balik Perang Salib
Next: Kapan Matahari terbit dari Barat?
Pengertian
Menurut Mubyarto (2001) sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang
memihak pada kepentingan ekonomi rakyat, dan ekonomi rakyat adalah sektor ekonomi
yang mencakup usaha-usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional.
Pertanian Berkelanjutan
Dari pengertian ekonomi kerakyatan menurut TAP VI/ 1999 dinyatakan antara lain bahwa:
“sistem ekonomi kerakyatan…… yang berbasis pada sumber daya manusia yang produktif,
mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan“. SDM yang
berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan berarti bahwa SDM yang memahami
dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Demikian juga pada
sektor pertanian SDM yang akan menjadi pelaksana pertanian kerakyatan harus memahami
prinsip, falsafah dan praktek pertanian berkelanjutan. Pada konsideran UU No. 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman butir (b) dinyatakan bahwa:“sistem pembangunan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan
pertanian secara menyeluruh dan terpadu “
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam dan orientasi perubahan
teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan sedemikian rupa dapat menjamin pemenuhan dan
pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO,
1989). Pembangunan di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu
mengkonservasi tanah, air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan,
secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.
1. Peningkatan produksi
3. Pengentasan kemiskinan
6. Penggunaan sumber daya alam setempat secara efisien yang meliputi sumber daya hayati,
sumber daya manusia, kearifan dan pengetahuan tradisional
8. Peningkatan peran petani sebagai pengelola dan pelaksana utama pembangunan pertanian
9. Pemberdayaan kelompok tani dalam unit-unit usaha tani berskala kecil, menengah dan
koperasi
Dari pengertian-pengertian dasar tersebut dapat disimpulkan di sini bahwa pertanian kerakyatan
merupakan implementasi dari pertanian berkelanjutan pada kondisi ekologi, ekonomi, sosial
budaya dan politik di Indonesia.
· Petani selalu memerlukan saprodi (sarana produksi) yang semakin lama semakin meningkat
sehingga semakin mahal
· Menurunkan daya dukung lingkungan karena peningkatan erosi, pemiskinan unsur hara
tanah, kerusakan struktur tanah, peningkatan residu bahan kimia berbahaya, membunuh
organisme penyubur tanah
· Penggunaan saprodi semakin tidak efisien, untuk peningkatan satu unit produksi yang sama
diperlukan lebih banyak sapordi daripada sebelumnya
· Ketergantungan petani pada penggunaan saprodi dan pihak industri saprodi semakin
meningkat
Pembangunan Pertanian yang dilaksanakan selama ini lebih didominansi oleh Pemerintah
dengan para pejabat dan petugas baik di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa
maupun di tingkat lapangan. Petani dan kelompok tani lebih dalam posisi sebagai pelaksana
kebijaksanaan Pemerintah. Petani lebih diperankan sebagai obyek pembangunan dan bukan
sebagai subyek pembangunan. Pembangunan pertanian konvensional yang didominansi oleh
Pemerintah tidak menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian serta tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip pertanian kerakyatan yang lebih bertumpu pada kemampuan dan
kemandirian petani.
Setelah kita lebih dari 30 tahun menerapkan pembangunan pertanian nasional kita hadapi
beberapa indikator keberhasilan pembangunan yang memprihatinkan:
Sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi Fakultas Pertanian UGM pada khususnya dan UGM
pada umumnya perlu menempatkan dan mewarnakan jati dirinya sebagai pendorong pelaksanaan
pertanian kerakyatan dari tataran kebijakan nasional sampai ke pelaksanaan di lapangan. Hal ini
berarti bahwa semua kegiatan Tri Dharma pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat
yang dilaksanakan sivitas akademika Fakultas Pertanian UGM harus diarahkan pada
pengembangan dan penerapan pertanian kerakyatan dalam kerangka sistem ekonomi kerakyatan.
Berbagai paradigma dan praktek pembangunan pertanian konvensional yang berorientasi pada
produksi, pertumbuhan ekonomi perlu disesuaikan menjadi paradigma ekonomi kerakyatan.
Dalam hal itu diusulkan agar Pertanian Berkelanjutan Berwawasan Kerakyatan atau Pertanian
Kerakyatan yang Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan dijadikan visi pembangunan Fakultas
Pertanian UGM.
Salah satu implikasi visi tersebut adalah dalam pengembangan dan penyediaan teknologi
pertanian yang sesuai. Berikut disampaikan beberapa prinsip dan strategi teknologi pertanian
berkelanjutan yang perlu kita kembangkan melalui kegiatan Tridharma Fakultas.
1. Teknologi yang dapat memanfaatkan semaksimal mungkin berbagai proses alami ke dalam
proses produksi pertanian/budidaya pertanian seperti daur unsur dan daur ulang, fiksasi nitrogen,
interaksi antar komponen ekosistem, hubungan predator dan mangsa, dan yang lain.
2. Teknologi yang dapat meminimalkan penggunaan masukan produksi yang memiliki potensi
besar membahayakan lingkungan dan kesehatan bagi masyarakat, petani, dan konsumen.
Penggunaan pestisida, pupuk buatan, dan kimia pertanian lainnya perlu dibatasi sampai pada
tingkat ketetapan baku minimal yang diijinkan.
3. Teknologi yang memanfaatkan secara lebih produktif, efektif dan efisien potensi hayati dan
genetik spesies tanaman dan binatang seperti ilmu pemuliaan tanaman dan bioteknologi. Perlu
diingat kepentingan dan hak petani agar mereka secara bebas melakukan akses terhadap suber
daya genetik yang mereka telah kuasai selama ini, serta mereka memperoleh pembagian yang
adil terhadap keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan SDG yang telah dikembangkan oleh
petani.
4. P enyesuaian yang lebih baik antara pola tanam, potensi produksi serta keterbatasan fisik lahan
pertanian agar dapat dijamin keberlanjutan tingkat produksi untuk masa sekarang dan
mendatang. Sistem budidaya pertanian seperti pergiliran tanaman, tanaman tumpang sari,
tanaman lorong, penanaman pupuk hijau dan penutup tanah, dan yang lain merupakan teknik
budidaya yang dianjurkan.
5. Peningkatan efisiensi produksi dengan cara memberikan penekanan pada perbaikan kualitas
pengelolaan usaha tani, serta konservasi tanah, air, energi, dan sumber daya hayati.
6. Teknologi yang digunakan adalah khas ekosistem, tidak statis dan seragam, serta sesuai
dengan keadaan dan kemandirian masyarakat setempat.
7. Untuk itu perlu dikembangkan suasana kemitraan kerja yang dialogis antara peneliti, petugas
lapangan, dan petani yang dapat mendorong kreatifitas, aktifitas, dan kemandirian pada petani
setempat.
8. Teknologi yang digunakan merupakan perpaduan yang optimal antara teknologi atas dasar
pengetahuan modern dengan pengetahuan dan kearifan masyarakat tradisional. Pengetahuan
tradisional mempunyai keunggulan karena kekhasannya dengan ekosistem dan budaya setempat
sehingga dapat dijamin keberlanjutannya, namun untuk meningkatkan produktifitasnya perlu
didukung dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang relevan.
9. Teknologi pertanian tidak hanya berorientasi pada pencapaian sasaran produksi, tetapi juga
pada pemasaran produk di pasar domestik dan global serta pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Apabila petani dapat bekerja bersama dalam kelompok usaha kecil atau menengah, mereka dapat
mengelola usaha tani mereka secara profesional dalam bentuk usaha agroindustri yang
berorientasi pada pasar nasional dan global.
Untuk membuat petani dan kelompok tani menjadi pelaku pertanian kerakyatan dan sumberdaya
manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan
berkelanjutan diperlukan program pemberdayaan petani di tingkat lapangan yang terpadu, lintas
disiplin dan berencana jangka panjang. Metode pelatihan dan pendidikan petani yang sesuai
perlu dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan kondisi khas petani di lokasi lahan dan
ekosistem. Metode pendidikan orang dewasa seperti yang diterapkan di Sekolah Lapangan
Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) Tanaman Pangan (1989-1998) dan Perkebunan (1997-
2005) merupakan pendekatan yang tepat untuk mendukung pertanian kerakyatan yang
berkelanjutan.
Acuan:
Food and Agricultural Organization of the United Nations. 1989. The State of Food and
Agriculture 1989. FAO. Rome, Italy.
Mubyarto, 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-Ilmu Sosial.
Yogyakarta . 83 hal.
#1
07-02-07, 16:07
Join Date: Jan 2007
nurcahyo Posts: 3,516
Rakyat Senior
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof.
Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba
untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada
pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara
visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep
yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru
bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata
‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu
adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang
(tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk
visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu
ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia
semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor
pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor
tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing
dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam
perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas
mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan
Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan
terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang
ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis
manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah
kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001)
membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.
Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian
rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan
(kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia,
maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar
individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana
teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk
kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah
yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.
Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya
mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta
peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor
ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh
sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang
luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha
modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya
hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang
sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap
totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih
banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga
memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir
dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran
negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim
insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang
besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan
menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh
terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam
sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right)
untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut
mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah
implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar,
bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi
empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma
baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia
“pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat
sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep
“pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada.
Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini
harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang
dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya,
minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk
mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud
intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar
“ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih
mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan
ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan
baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan
berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi
pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh
eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai
Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap
usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak
baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang
mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen
pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku
ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat
dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang
berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target
pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi
nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha
besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun
usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar
ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali
lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih
kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan
keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar?
Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan
koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang
selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah
pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk
meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya
kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem
ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-
negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu
mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup
berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum
berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP
MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan
dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta
besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk
mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan
disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan
ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja
secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk
menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi
nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada
pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim.
Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri
tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “
yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan
inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif).
Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan
skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat
dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan
“bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi
sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut.
Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik,
mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah
menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara
berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang
berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam
kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong
bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam
pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial
temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena
kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta
lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah
melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem
perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam
mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas
oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action
seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya
pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk
mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi
nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya
dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita
mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama
menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang
dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan
ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan
seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya
mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses
pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran
sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi
kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy
pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP
MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah
kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya
kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat,
keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi
Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang
kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di
bawah ini.
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk
merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha
besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar
memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata
dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa
kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan
adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek
membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS),
adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek
membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk
rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini
jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi
uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak
berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi
dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan
untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.
Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang
salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity)
dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action
policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena
asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi
kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi
disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan
kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya
ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan
dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya
pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk
mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya
kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi
bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi
rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di
luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-
rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi
mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi
kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan
pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan
lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula
dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti
apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui
program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang
perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris
menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah:
keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan
penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan
pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi
kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas.
Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di
tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal
ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada
suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu
ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk
mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model
pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan
dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan
kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa
pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam
perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di
dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-
menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk
melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi
yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh
lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk
mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak
diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan
hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan
dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan
tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah
disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah
tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan
kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang
diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang
demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di
Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 %
selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah
mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang
banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang
tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra
dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang
mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai
dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan
mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini
adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).
Koran » Analisis
Sehubungan dengan itu, tidak dapat tidak, perekonomian harus disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, dalam perekonomian
Indonesia yang bersifat kerakyatan atau demokratis, persaingan usaha harus
berlangsung secara sehat. Persaingan usaha yang bersifat saling mematikan ala
ekonomi neoliberal, harus segera dicegah.
Sebab itu pula, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Demikian halnya
dengan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, harus dikuasai
oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jika rakyat menghendaki agar pemerintah mengusahakan suatu cabang produksi tertentu,
maka saya kira tidak seorang pun dapat menghalangi hal tersebut. Demikian halnya jika
rakyat tidak menghendaki diselenggarakannya suatu cabang produksi tertentu oleh usaha
perseorangan. Pendek kata, dalam rangka ekonomi kerakyatan, tidak ada larangan untuk
melakukan privatisasi, dan tidak ada pula kewajiban untuk melakukannya.
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=41871&kat_id=15&kat_id1=&kat_id2=