You are on page 1of 34

PENGARUH OTONOMI DAERAH

TERHADAP
PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DAERAH (APBD)

I. Latar belakang

Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun


1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang – Undang Nomor 32 dan
33 tahun 2004, tentang otonomi daerah, khususnya dibidang keuangan
daerah. Pemerintah pusat sibuk melengkapi perangkat hukum untuk
melaksanakan undang – undang tersebut.
Undang-Undang No.22 tahun 1999 atau UU No. 24 tahun 2004 tersebut
berisi perlunya otonomi daerah, sehingga undang-undang tersebut sering
disebut dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Otonomi daerah adalah
wewenang yang dimiliki daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertimbangan yang mendasari perlunnya diselenggarakan otonomi daerah
adalah pekembangan kondisi dilam dan diluar negeri. Untuk dapat
telaksananya otonomi daerah tesebut pelu dibuat peraturan peratuan
lanjutan dai undang-undang tesebut.
Beberapa rancangan Peraturan Pemerintah dibahas secara
intensif oleh masing –masing departemen terkait agar persyaratan paket
UU otonomi daerah segera terwujud. Bersamaan dengan itu, dalam sidang
tahunannya MPR telah mengeluarkan TAP No.4 tahun 2000 yang
mendorong pemerintah agar segera melaksanakan otonomi daerah secara
nyata.
Mulai tanggal 1 Januari 2001, bagi daerah – daerah yang
sudah merasa mampu dianjurkan untuk segera menerapkan otonomi
daerah secara penuh dan menyiapkan langkah – langkah kongkrit serta
menyiapkan peraturan –peraturan daerah, sedangkan bagi pemerintah
daerah yang belum mampu dapat memulainya dengan bertahap.
Seiring dengan perubahan pengelolaan negara tersebut, maka
terjadi pula perubahan dalam pengelolaan sektor keuangan negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja baik Negara maupun Daerah
sehingga akan terjadi perbedaan kemampuan daerah dalam melakukan
pembangunan daerahnya dimana daerah yang memiliki potensi
kekayaan lebih besar akan menempati posisi yang lebih baik dibanding
daerah yang kurang potensi daerahnya ( Max Well 1977) , selain itu terjadi
perubahan peran bendaharawan negara dan peran Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai badan pengawas keuangan Negara.
Hal-hal baru dan / atau perubahan mendasar dalam ketentuan
keuangan negara , meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan
negara , asas – asas umum pengelolaan keuangan negara , kedudukan
Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan lembaga,
susunan APBN dan APBD, pengaturan hubungan antara keuangan pusat
dan Bank sentral, pemerintah pusat dan daerah dengan perusahaan
negara, perusahaan dan dengan perusahaan swasta dan badan pengelola
dana masyarakat.
Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas otonomi daerah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta hubungan otonomi
daerah dengan pembangunan daerah

II. Analisis
II.1. Otonomi Daerah
II.1.1. Permasalahan Otonomi Daerah
Dengan menurunnya penerimaan negara dari
minyak pada tahun 1983/1984 dan berdampak pada
menurunnya anggaran pendapatan dan belanja negara, maka
timbullah kesadaran akan menurunnya kemampuan

2
pemerintah pusat dalam memberikan subsidi kepada
pemerintah di daerah. Untuk itu maka pemerintah pusat
bertekad untuk memberikan kebebasan kepada pemerintah
daerah dalam berusaha meningkatkan pendapatan asli
daerah agar melemahnya subsidi dari pemerintah puasat tidak
mengganggu perkembangan ekonomi maupun jalannya
pemerintahan di daerah. Dengan kata lain lahirnya otonomi
daerah disebabkan antara lain oleh :
1) penurunan penerimaan negara dari sektor
minyak bumi dan gas
2) meningkatnya permintaan daerah dalam
pemerataan dan transparansi pembagian
hasil dari daerah
3) menguatnya system demokrasi dalam
pemerintahan
Sedangkan permasalahan otonomi daerah sendiri , adalah :
1) Bagaimana bentuk desentralisasi
pemerintahan dan keuangan yang akan
diberlakukan sehingga efektif dan efesien.
2) Bagaimana bentuk pertanggung jawaban
keuangan antara pusat dan daerah.
3) Bagaimana bentuk pembagian sumber
keuangan antara pusat dan daerah
Semua permasalahan tersebut telah memperkuat desakan
untuk segera dilaksanakan otonomi daerah yang diikuti
dengan tuntutan adanya perubahan sistem pemerintahan dan
keuangan dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan hal ini
pun telah membuka masalah baru mengenai mekanisme
pemerintahan dan sistem keuangan antara pusat dan daerah
serta hubungannya dengan daerah lainnya.

3
II.1.2. Pengertian Otonomi Daerah

Terlebih dahulu perlu dicatat bahwa sejak awal tahun


1990-an telah berkembang wacana diantara
pemerhati pemerintah tentang sentralisasi pemerintahan di
Indonesia. Konsep otonomi yang tertuang dalam UU No.5
tahun 1974 mendapat sorotan dan kajian kritis ( Ryaas
Rasyid, 2004). Ada dua pendapat yang muncul dalam setiap
diskusi. Pertama , UU No.5 tahun 1974 masih relevan,
hanya belum dilaksanakan secara konsisten. Pendapat ini
kemudian mendorong lahirnya kebijakan pemerintah berupa
proyek percontohan di satu daerah tingkat II untuk masing-
masing propinsi. Kedua, UU No.5 tahun 1974 sudah harus
diganti seluruhnya. Sistem yang sarat dengan nuansa
sentralistik itu, yang selama puluhan tahun dipraktekan, telah
membawa berbagai akibat buuruk. Sistem ini dinilai telah
menghambat proses demokratisasi pemerintahan dan
terjadinya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat.
Nampaknya kedua pendapat tersebut, sama-sama
memiliki argumentasi yang objektf. Pendapat pertama bisa
berlindung dibalik alasan bahwa pemerintahan daerah yang
berlaku saat itu memang belum sepenuhnya mencerminkan
konsep UU No. 5 tahun 1974. Titik berat otonomi daerah
pada daerah tingkat II ( kabupaten dan kotamadya),
merupakan wujud amanah pasal 11 ayat (1) UU No.5/1974
belum terwujud. Keengganan pemerintah pusat untuk
mendelegasikan wewenang ke daerah memang berlebihan.
Keadaan ini semakin memperkuat argumentasi pendapat
kedua untuk sama sekali meninggalkan konsep otonomi yang
sedang berlaku dan menggantinya dengan sesuatu yang

4
baru. Maka, sebagai bangsa yang berupaya untuk cerdas,
kita harus berani mengubah pola hubungan pusat dan
daerah yang paternalistic dan sentralistik menjadi pola
hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Itulah
yang kemudian melahirkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999 sebagai mana telah diubah dengan UU
No.32 dan 33 tahun 2004, yang masing – masing mengatur
pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya Undang-undang
tersebut disebut dengan undang-undang otonomi daerah.
Otonomi daerah menurut undang-undang otonomi
daerah, adalah wewenang yang dimiliki daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut
kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Pertimbangan yang mendasari perlunya
diselenggarakan otonomi daerah (Abdul Halim,2002),
adalah perkembangan kondisi didalam dan diluar negeri.
Kondisi didalam negeri mengindikasikan bahwa rakyat
menghendaki keterbukaan dan kemandirian ( desentralisasi).
Dilain pihak, keadaan diluar negeri menunjukkan semakain
maraknnya globalisasi yang menuntut daya saing tiap – tiap
negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya. Daya
saing pemerintah daerah diharapkan akan tercapai melalui
peningkatan kemandirian pemerintah daerah, selanjutnya
kemandiarian pemerintah daerah dapat diperoleh melalui
otonomi daerah. Dengan adanya UU No. 22 tahun 1999
yang diubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah tersebut , maka dapat diduga bahwa
terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam pengelolaan

5
daerah , termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal
ini disebabkan pengelolaan keungan daerah merupakan alat
untuk mengurus dan mengatur rumah tangga pemerintah
daerah. Perdebatan tentang bentuk otonomi merupakan
sebuah persoalan yang muncul dari berbagai pilihan bentuk
negara dalam rangka otonomi daerah. Salah satu bentuk
yang popular yang diusulkan adalah bentuk negara federal
yang banyak diusulkan oleh penggagas otonomi daerah.
Pengertian federalisme dikemukakan oleh Seymour
Martin Lipset, (1995 ): federalisme adalah merupakan
bentuk asosiasi politikdan organisasi yang menyatukan
unit-unit politik yang terpisah kedalam suatu system
politik yang lebih komprehensif, dan mengijinkan masin-
masing unit politik untuk memiliki atau menjaga
integritas politiknya secara fundamental. Federalisme
dapat juga dipahami sebagai mekanisme berbagai
kekuasaan secara konstitusional dimana kombinasi dari
Berperintahan sendiri dan Berbagi kekuasaan. Beberapa
cirri yang menonjol dalam federalisme adalah :
1. Didalam sistem federalistik, unit-unit politik otonomi
secara utuh , baik menyangkut kewenangan eksekutif,
maupun legislative dan bahkan kekuasaan yudikatif.
2. Struktur pemerintahan dalam negara federalis tidaklah
bertingkat sebagai mana diamati dalam sejumlah
negara kesatuan, karena hakikat otonomi antara
negara bagian dengan pemerintah daerah pada
dasarnya sama, hal ini terlihat bahwa Gubernur
negara bagian bukanlah atasan langsung dari walikota
di city, County, Township atau apapun namanya.

6
3. Didalam system federalistik, kedaulatan diperoleh dari
unit-unit politik yang terpisah-pisah dan kemudian
sepakat membentuk sebuah pemerintahan bersama.
4. Federalisme akan menjamin rasa aman atas ancaman
dari luar serta pemberontakan dari dalam, sebagai
contoh yang terakhir adalah bergabungnya Malaya,
Singapura, Sabah dan serawak menjadi sebuah
negara federasi yang bernama Malaysia karena ada
kekhwatiran adanya ancaman dari Repulik Rakyat
Cina yang komunis di utara dan Indonesia dari
selatan.

Bentuk negara federal adalah sebagai berikut :


Gambar 1
Federal Government

State State State

Local Gov. Local Gov. Local Gov.

Catatan : Local Governement di Amerika Serikat


namanya bermacam – macam, antara lain City, County,
Municipality, Township, Burroughs, dll

Bedasarkan berbagai masukan yang diterima


pemerintah, nampaknya pemerintah Indonesia sudah

7
demikian mantap untuk mempertahankan format negara
kesatuan , sehingga alternatif bentuk negara yang lainnya
sudah sangat sulit dimunculkan . Disamping itu kekuatan
politik di Indonesia pada masa transisi juga tidak memberikan
dukungan positif terhadap kemungkinan untuk menciptakan
pemerintahan yang federalistik.

II.1.3. Visi dan Konsep Otonomi Daerah


Tujuan utama kebijakan desentralisasi tahun 1999
adalah , disatu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan
domestik , sehingga ia berkesempatan mempelajari,
memahami, merespon berbagai kecenderungan global danm
mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama ,
pemerintah puasat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi
pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis. Dilain pihak, dengan desentralisasi kewenangan
pemerintahan kedaerah, maka daerah akan mengalami proses
pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan
kreatifitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam
mengatasi berbagi masalah domestik akan semakin kuat
Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga
ruang lingkup interakasinya yang utama : (Ryaas Rasyid,
2004), Politik, Ekonomi, sosial serta budaya.
Dibidang poliitik, kerana otonomi daerah adlah buah dari
kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus
dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi
lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
langsung secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya

8
penyelenggaraan pemerintahan yang responsive terhadap
kepentingan masyarakat yang luas, dan memelihara suatu
mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggung jawaban publik. Artinya untuk setiap kebijakan
yang diambil, harus jelas siapa yang diuntungkan, apa
tujuannya, berapa ongkos yang harus dipikul, apa resiko yang
harus ditanggung dan siapa yang harus bertanggungjawab jika
kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga merupakan
kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai
dengan kebutuhan daerah, membangun system atau pola
karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta
mengembangkan sistem manajemen pemerintah yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah disatu pihak harus
menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional
didaerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi
pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan
local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
didaerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan
memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah
untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses
perizinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang
menunjang perputaran ekonomi didaerahnya. Dengan
demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat
ketingkat kesejateraan yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Dibidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola
sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni
sosial , dan pada saat yang sama , memelihara nilai-nilai local
yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan
masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi
daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No.22 dan 25

9
tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 32 dan 33 tahun
2004, merangkum hal-hal berikut :
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan
pemerintahan dalam hubungan domestik kepada
daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan
moneter, politik luar negeri, peradilan , pertahanan,
keagamaan serta beberapa bidang kebijakan
pemerintah yang bersifat strategis- nasional, maka
pada dasarnya semua bidang pemerintahan dapat
didesentralisasikan.
2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan
penetapan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai
dengan kultur setempat, demi tampilnya pimpinan
didaerah yang berkualifikasi tinggi.
4. Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan eksekutif
melalui pembenahan organisasi dan institusi.
5. Peningkatan efesiensi administrasi keuangan
daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fiscal melalui
pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah
pusat.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga
dan nilai-nilai local yang bersifat kondusif terhadap
upaya memelihara harmoni sosial sebagai suatu
bangsa.

II.1.3. Keuntungan Otonomi Daerah

Sekelompok orang percaya bahwa pemerintah daerah


akan bekerja lebih efisien dari pada pemerintah pusat,

10
sedangkan kelompok lainnya lagi percaya terhadap sebaliknya
yaitu bahwa pemerintah pusat akan bekerja lebih efisien
daripada pemerintah daerah dalam menyediakan barang-barang
publik. Namun sebenarnya akan lebih tepat bila dikatakan
bahwa ada sebagian kegiatan yang lebih efisien bila
dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan ada kegiatan lain yang
lebih efisien bila dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Oleh
karena itu kita harus hati-hati dalam menentukkan kegiatan
macam apa yang sebaiknya diserahkan kepada pemerintah
pusat atau daerah.
Dalam teori keuangan negara dan berbagai
pembicaraan mengenai peranan pemerintah dalam
perekonomian, telah sering disinggung bahwa barang publik dan
ekternalitas akan lebih baik dikelola oleh pemerintah. Tetapi
sekarang harus dilihat dimensi dari barang publik dan
ekternalitas iti dalam kaitannya dengan ruang geografi , sebagai
misal pemerintah menyediakan polisi lalu lintas dikabupaten
Banyumas ; maka usaha tersebut akan memberi manfaat
kepada penduduk kabupaten Banyumas lebih banyak daripada
kepada pendudukan lainnya. Jadi manfaat ini akan semakin
kurang jika semakin jauh jarak lokasi polisi tersebut dari suatu
daerah. Barang publik yang manfaatnya terpusat secara
geografis disebut sebagai barang publik local ( local public
goods), yang dibedakan dengan barang publik nasional
(national public goods) seperti dalam hal pertahanan.
Demikian pula terdapat eksternalitas yang sifatnya
local seperti pencemaran terhadap sumber daya air sungai
tertentu yang dampaknya lebih dirasakan oleh masyarakat atau
lingkungan disekitar sungai tersebut. Kebutuhan – kebutuhan
masyarakat akan kebersihan sungai , danau , sekolah ,
kesehatan, keamanan daerah dan lainnya, akan lebih baik dan

11
efisien jika dipenuhi oleh pemerintah daerah dan bukan oleh
pemerintah pusat. Pemerintah pusat akan lebih baik
menyediakan pertahanan dan keamanan nasional dengan
tentara yang kuat dan berwibawa, tetapi pemerintah pusat akan
tidak efisien dalam menyelenggarakan jasa kepolisian dan
pemeliharaan taman kota. Dengan kata lain system pemerintah
dengan otonomi daerah akan lebih mampu menyediakan jasa
pelayanan publik yang bervariasi sesuai preferensi masing-
masing masyarakat.
Proses politik dalam masyarakat yang lebih sempit
akan lebih cepat dan efisien daripada dalam masyarakat yang
luas. Dengan pemerintahan yang lebih dekat dengan
masyarakatnya akan lebih sedikit kekurangan atau kesalahan
yang akan dibuat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
Selanjutnya otonomi daerah akan lebih banyak
eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan
ekonomi yang akan dilakukan. Karena banyak pemerintah
daerah yang sifatnya otonom , akan banyak pula cara dan
system administrasi maupun ekonomi yang berbeda –beda
yang diterapkan pada daerah yang berbeda. Keberhasilan dan
kegagalan ekonomi didaerah merupakan eksperimen yang
melahirkan inovasi bagi masing-masing daerah.
Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa dengan
otonomi daerah, masyarakat dapat menyediakan jasa
pelayanan yang berbeda-beda dengan tingkatan yang berbeda
pula sesuai dengan preferensi masyarakat yang bersangkutan.
Juga proses politik akan lebih cepat, sederhana dan efisien
dengan pemerintah daerah serta eksperimen dan inovasi lebih
banyak dan bervariasi di setiap daerah.

12
II.1.4. Kerugian Otonomi Daerah
Dalam hal-hal tertentu pemerintah daerah akan kurang
efektif dan efisien dalam mengatasi masalah yang ada.
Sebagai misal bila pemerintah daerah diminta untuk
menyediakan barang publik nasional seperti pertahanan dan
keamanan nasional, masalah pemerataan penghasilan dan
pemecahan masalah ekonomi makro, tentu hasilnya kurang
memuaskan. Berikut ini penjelasan beberapa kerugian jika
otonomi daerah melahirkan kebijakan yang sepenuhnya
memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah:
a) Dalam hal pertahanan dan keamanan nasional apabila
diserahkan pada diserahkan kepada pemerintah
daerah , tentu saja daerah harus bertanggung jawab
terhadap daerahnya masing-masing dari serangan
dari luar. Apabila kita menjumlahkan semua usaha
pertahanan masing-masing daerah tersebut pasti akan
kurang memadai.
b) Dalam hal redistribusi pendapatan, pemerintah daerah
juga tidak akan efisien dalam mengusahakannya.
Redistribusi pendapatan biasanya ditempuh dengan
mengenakan pajak pada kelompok kaya dengan
pemberian subsidi kapada kelompok berpenghasilan
rendah. Apabila hal ini dilaksanakan oleh daerah maka
daerah tertentu yang kaya akan berpindah kepada
daerah yang pajaknya relatif lebih kecil atau
sebaliknya masyarakat yang miskin akan berpindah
kedaerah yang kaya untuk mendapatkan subsidi.
c) Dalam kaintannya dengan tujuan ekonomi makro,
jelas pemerintah daerah tidak akan dapat

13
melaksanakannya, khususnya yang berkaitan dengan
kebijakan moneter. Pemerintah daerah tidak dapat
menambah atau mengurangi jumlah uang beredar.
Demikian pula kebijakan pemerintah daerah dalam
bidang penyediaan kesempatan kerja dan harga tidak
akan banyak berpengaruh dalam suatu daerah.
Setiap kebijakan fiscal ( perpajakan dan pengeluaran )
tentu akan ditanggapi dengan kepindahan subyek
pajak kedaerah lain yang lebih menguntungkan. Jadi
pemerintah pusatlah yang harus bertanggung jawab
terhadap kebijakan stabilitas ekonomi.

II.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


II.2.1. Pengertian Anggaran Pendapatan Daerah (APBD)
Undang – Undang No. 25 tahun 1999 dalam Bab I
pasal 1 yang diubah dengan UU No. 33 tahun 2004,
menyebutkan bahwa anggaran merupakan suatu alat
perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan
dimasa yang akan datang, umumnya disusun untuk satu
tahun. Dari pengertian tersebut diketahui bahwa APBD
merupakan perencanaan kerja dalam kurun waktu satu
tahun.Disamping itu anggaran merupakan alat kontrol atau
pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan
dimasa yang akan datang. Sejak 1967 RAPBD di Indonesia
disusun dan diberlakukan mulai tanggal 1 April sampai dengan
tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Namun khusus tahun 2000
tahun anggaran akan dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir
31 Desember. Untuk tahun – tahun berikutnya tahub anggaran
akan dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31
Desember , seperti yang pernah dijalankan sebelum tahun
anggaran 1967/1968.

14
Dalam UU No. 22 tahun 1999 Bab VII, pasal 78 dinyatakan
bahwa penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dibiayai dari dan atas beban APBD
sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat didaerah
dibiayai dari dan atas beban APBN.
APBD harus disiapkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan
dengan peraturan daerah (PERDA) atas persetujuan DPRD,
selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkannya APBD.
Perubahan APBD dimungkinkan dan ditetapkan dengan perda
selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran
berakhir. Selanjutnya perhitungan APBD akan ditetapkan
dengan perda selambat-lambatnya tiga bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Akhirnya
APBD yang telah ditetapkan dengan perda disampaikan
kepada Gubernur bagi pemerintah Kabupaten/Kota dan
Kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi
pemerintah Propinsi untuk diketahui. Sebagai perbandingan
bagaimana struktur manajemen keuangan yang digunakan
oleh federal government Amerika Serikat, sebagai berikut :
Wilson (2004 :445)

15
The The
congress President

Director Controller Director Cabinet


Congressional General Office of Officers
Budget Office General Management & Secre. of the
(CBO) Acc.Office Budget Treasury other
Other

Federal Executive
Accounting Agencies
Standards
Advisory Board

Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa terdapat


pembagian kerja yang tegas antara pemerintah atau presiden
dengan kongres dalam membuat anggran penyelenggaraan
pemerintah sehingga terlihat dalam legislative maupun
eksekutif terdapat bagian pembuatan dan evaluasi anggaran
serta diantara legislative dan eksekutif terdapat kesepatakan
dalam penetepatan standar akuntansi sebagai alat pencatatan
dan pelaporan kegiatan pemerintahan. Kongres Manajemen
Keuangan menerbitkan Act 1996 (FFMIA)”
“ To rebuild the accounting and credibility of the federal, and
restore public confidence in the federal government, agencies
must incorporate accounting standards and reporting

16
objectives established for the federal government into their
financial management system so that all the assets and
liabilities, revenue and expenditures or expense and the full
costs of programs and accouratelly recorded, monitored, and
uniformily reported throught of federal government”.
Jika ditinjau dari prosedur dan aturan penyusunan anggaran di
pemerintahan federal Amerika dengan penyusunan
APBN/APBD di Indonesia memliki kesamaan, terlebih kini
Indonesia telah memilki Standar Akuntansi Pemerintahan
yang terbit pada tahun 2005 yang mengatur pencatatan dan
pelaporan penerimaan dan pengeluaran Negara serta bentuk
pertanggungjawaban keuangannya.

II.2.2. Sumber Pendapatan Daerah


Dalam era reformasi, masalah otonomi daerah
semakin mendapat perhatian, khususnya dengan dibentuknya
Kementrian Negara Urusan Otonomi Daerah. Seperti yang
disebutkan diatas bahwa sejak tahun 1980-an dengen
menurunnya penerimaan minyak dan gas bumi dalam APBN
telah menimbulkan kemauan untuk meningkatkan otonomi
daerah. Pemerintah daerah didorong untuk meningkatkan
kemampuannya dalam mengumpulkan pendapatan asli daerah
(PAD) dengan maksud agar subsidi dari pemerintah pusat
dapat dikurangi dan hal ini akan mengurangi beban APBN.
Pendapat daerah (Abdul halim,2002), adalah semua
penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau
penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode
tahun anggaran bersangkutan . Secara umum pendapatan
dalam APBD dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Pendapatan Asli Daerah
2. Dana Perimbangan

17
3. Lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan Asli Daerah, merpakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.
Kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi :
1. Pajak Daerah, terdiri dari Pajak Kendaraan
bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, Pajak Kendaraan diatas air, Pajak Air
Bawah Tanah dan Pajak Air Permukaan.
Sedangkan jenis pajak kabupaten /kota
menurut UU No.34 tahun 2000 tentang
perubahan UU No.18 tahun 1977 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah tersusun dari :
Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan
Pajak Parkir.
2. Retribusi Daerah, meliputi : Retribusi
pelayanan kesehatan, Retribusi pemakaian
kekayaan daerah, Retribusi pasar grosir dan
atau pertokoan,Retribusi penjualan produksi
usaha daerah, Retribusi izin trayek kendaraan
penumpang, Retribusi air, Retribusi Retribusi
jembatan timbangan, Retribusi kelebihan
muatan dan perizinan pelayanan dan
pengendalian.
3. Bagian Laba Usaha Daerah, merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari hasil
perusahaan milik daerah dan pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Penerimaan
ini antara lain berasal Perusahaan Daerah,

18
Deviden BPR-BKK, dan penyertaan modal
daerah kepada pihak ketiga.
4. Lain – lain PAD, merupakan penerimaan
daerah yang berasal dari lain-lain milik
pemerintah daerah. Penrimaan ini berasal dari :
Hasil penjualan barang milik daerah dan
penerimaan jasa giro.

Dana Perimbangan, merupakan dana yang bersumber dari


penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah. Dana perimbangan dipisahkan
menjadi lima jenis :
1. Bagi hasil pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dan Pajak Penghasilan pasal 21.
2. Bagi hasil Bukan Pajak , terdiri dari provisi
sumber daya hutan, pemberian hak atas tanah
negara, landrent dan penerimaan dari iuran
eksplorasi.
3. Dana Alokasi Umum, adalah dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
4. Dana Alokasi Khusus, adalah dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan kapada
daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
tertentu.
5. Dana Darurat, terdiri atas dana Kontingensi.

19
II.2.3. Belanja Daerah
Belanja ( Abdul Halim, 2002), adalah semua
pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode
anggaran. Secara umum belanja dalam APBD dikelompokkan
menjadi lima kelompok, yaitu :
1. Belanja administarsi umum, adalah semua
pengeluaran pemerintah daerah yang tidak
berhubungan secara langsung dengan aktivitas
atau pelayanan publik, terdiri dari : Belanja
pegawai, Belanja barang, Belanja perjalanan
dinas, dan Belanja pemeliharaan.
2. Belanja operasi dan pemeliharaan sarana
dan prasarana publik, merupakan
pengeluaran pemerintah daerah yang
berhubungan secara langsung dengan
pelayanan publik, pengeluaran ini terdiri dari :
Belanja pegawai, Belanja barang, Belanja
perjalanan dan Belanja pemeliharaan.
3. Belanja Modal, merupakan pengeluaran
pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi
satu tahun anggaran dan akan menambah
asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya
akan menambah belanja yang bersifat rutin
seperti biaya operasi dan pemeliharaan.
Belanja Modal dibagi menjadi : Belanja publik,
Belanja aparatur,
4. Belanja Transfer, merupakan pengalihan uang
dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga
tanpa adanya harapan untuk mendapatkan
pengembalian imbalan maupun keuntungan
dari pengalihan uang tersebut. Kelompok ini

20
terdiri atas : Angsuran pinjaman, Dana bantuan
dan Dana cadangan.
5. Belanja Tak Tersangka, adalah pengeluaran
yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan
kejadian – kejadian luar biasa.

II.2.4. Pengelolaan Keuangan Daerah

Untuk itu pengelola keuangan negara nampaknya dalam era


reformasi dan otonomi daerah dituntut pertanggung jawaban
keuangan secara profesional agar kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah dapat dipertahankan.
Secara garis besar perubahan manajemen keuangan negara
sehubungan dengan otonomi darah menyangkut :
1.Perubahan dari pengawasan Verikal menjadi horizontal
(Vertical Control >< Horizontal Control).
Perubahan pengawasan ini mulai terjadi sejak
Indonesia memasuki era reformasi, dimana
pengawasan dikehendaki dilakukan oleh rakyat sebagai
pemilik sah kedaulatan republik ini.Pelaksanaan
pengawasan ini secara
funsional dilakukan oleh DPR di tingkat pusat dan
DPRD ditingkat daerah sehingga pengawasan
fungsional adalah pengwasan oleh DPR dan DPRD.
Pengawasan horizontal yang dilakukan oleh raktyat
memliki kekauatan yang sangat besar dengan segala
kewajiban , sehingga jika pengawasan funsional
dilakukanoleh DPR atau DPRD tidak memuaskan
hasilnya maka pengawasan akan dilakukan oleh
lembaga sosial masyarakat (LSM) dengan membentuk
organisasi-organsasi, misalnya Indonesian Coruption

21
Watch (ICW), Government Watch (GOWA) dan lain
sebagainya.
Dasar hukum yang digunakan oleh DPR maupun DPRD
dalam era otonomi daerah adalah UU No.22 dan 25
tahun 1999 yang menyatakan bahwa DPR atau DPRD
antara lain mempunyai tugas dan wewenang
melaksanakan pengawasan terhadap :
a. pelakasanaan peraturan daerah dan peraturan –
peraturan lainnya.
b. pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah..
c. pelaksanaan kerja sama internasional di daerah.

2.Perubahan dari pengawasan preventif menjadi refresif


( prefensif control >< refresif control)
Otonomi daerah berdasarkan Undang-undang
No.22 tahun 1999 menganut sistem pengawasan
refresif, hal ini terlihat dari :
a. Kepala daerah menetapkan peraturan daerah
atas persetujuan DPRP.
b. Peraturan daerah yang ditetapkan daerah
otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih
dahulu oleh pejabat yang berwenang.
c. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum peraturan daerah
lainnya dan peraturan perundang – undangan
lainnya yang lebih tinggi (UU No.22 tahun 1999
pasal 70).
d. Pengawasan yang dianut dalam UU No.22 tahun
1999, lebih memberikan ruang gerak yang luwes

22
kepada pemerintah daerah di dalam
melaksanakan otonomi daerah.

3.Penegasan pengawasan ( control ) dan pemeriksaan


( audit ).
Dalam Undang-undang No.25 tahun
1999, telah dengan tegas dibedakan pengawasan dan
pemeriksaaan, hal ini terlihat dalam hal :
a. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan
dekonsentrasi sebagai mana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh instansi Pemeriksa Negara.
Berdasarkan pasal tersebut jelas akan
dilakukannya pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan daerah walaupun belum ditetapkan
secara tegas pelaksanaan pemeriksaan dimaksud.
b. Pengawasan pengelolaan keuangan daerah
dipercayakan kepada DPRD, sesuai pasal 24 ayat
1 dimana kepala daerah menyampaikan laporan
pertanggung jawaban kepada DPRD, mengenai :
1. pengelolaan keuangan daerah
2. kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi
dan efektivitas keuangan .
Dalam upaya memperjelas dan mempermudah
pengawasan dan pemeriksan keuangan daerah
maupun pusat pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan melalui Komite
Standar Akuntansi Pemerintahan.

23
III. Hubungan Otonomi Daerah dengan Anggran PendapatanBelanja
Daerah (APBD)

Otonomi daerah yang dicanangkan seperti sekarang


diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan penbangunan
daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan
antar daerah di Indonesia. Kebijakan pembangunan yang
sentralistik dampaknya sudah kita ketahui, yaitu ketimpangan
antar daerah, terutama antara jawa dan luar jawa dan antara
Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Otonomi
daerah memiliki sejumlah kewenangan/kewenangan wajib,
sebagaimana ditentukan dalam UU No.22 tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU No.32 tahun 2004. kewenangan- kewenangan
tersebut merupakan modal dasar yang sangat penting untuk
pembangunan daerah. Kewenangan tersebut adalah :
1. Fasilitas
2. Pemerintah daerah harus kreatif
3. Politik local yang stabil
4. Pemerintah daerah harus menjamin
kesinambungan berusaha.
5. Pemerintah daerah harus komunikatif
dengan LSM, terutama dalam bidang
perburuhan dan lingkungan hidup.

Kelima kewenangan diatas merupakan pra kondisi


bagi terselenggaranya pembangunan daerah. Dengan kebijakan
otonomi yang luas maka peluang bagi daerah menjadi sangat luas
pula, dan semuanya sangat bergantung pada daerah itu sendiri.
Yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan
lapangan kerja. Ukurang yang paling fundamental bagi
keberhasilan sebuah pemerintahan dalam sebuah negara modern

24
adalah seberapa jauhkah pemerintahan tersebut berhasil
menciptakan lapangan kerja bagi kalangan warga masyarakat,
kemudian disusul dengan kemampuan untuk menghadapi laju
inflasi, serta keseimbangan neraca perdagangan internasional.
Hubungan antara otonomi daerah dengan
pembangunan daerah dapat diungkapkan dalam diagram berikut :
(Syaukani,HR,2004)

25
Otonomi
Daerah

Kewenangan :
Mencari, Menciptakan, Mengelola, dan
Mempetanggungjawabkan sumber dan penggunaan
keuangan di daerah kepada legislatif

APBD
Pemerintah daerah harus :
Memfasilitasi, Kreatif , Memelihara politik local,
Menjamin kesinambungan berusaha, Sensitif terhadap
buruh dan lingkungan, Mengembangkan dunia usaha

Dunia Usaha Berkembang


Multiflier effect : lapangan kerja dan daya beli meningkat

Taxes berubah
PAD/APBD meningkat

Pembangunan
Daerah

Hubungan Otonomi Daerah dengan APBD dan Pembangunan Daerah


(Syaukani ,HR,2004)

IV.Kesimpulan

26
Berdasarkan paparan diatas kami mengambil kesimpulan
bahwa Otonomi daerah sangat erat hubungannya dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, hal tersebut didasarkan pada :

1. Lahirnya UU No 22 tahun 1999 sebagaimana diubah


terakhir oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi
daerah mendorong daerah melaksanakan tugasnya
secara mandiri dengan tetap mempertahankan kesatuan
negara Indonesia.

2. Pelaksanaan UU Otonomi daerah merupakan wujud


kepercayaan pemerintah pusat atas kinerja pemerintah
daerah dalam upaya melakukan pemerataan tingkat
pembangunan dan kemakmuran.

3. Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan UU No.25


tahun 1999, sebagaimana diubah terakhir dengan UU
No. 33 tahun 2004 memberikan kewenangan untuk
menggali potensi daerah yang kemudian dimanfaatkan
dalam melakukan pembangunan.

4. Otonomi daerah merupakan suatu kebijakan yang


dilakukan dalam mempercepat proses pembangunan
didaerah sesuai dengan kebutuhan daerah.

5. Pertanggung jawaban keuangan serta pencatatannya


sejak 2005 telah diatur dengan terbitnya Standar
Keuangan Sektor Publik, sehingga memperjelas
pengguna laporan , fihak yang terlibat dalam pembuatan
anggaran serta penilaian atas kekayaan dan kewajiban
pemerintah.

27
OTONOMI DAERAH
DAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAERAH (APBD)
Dosen Pembina : Prof. DR. Drs Muhamad Zain, Ak

Disusun oleh : Kelompok IV

Adli (L3E05154)
Asep Effendi R. (L3E05114)
Siti Hamidah Rustiana (L3E05081)

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJAJARAN

TAHUN 2005

28
29
IV. KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan dari makalah ini adalah :


1. Era reformasi dan otonomi daerah menuntut penanganan
yang profesional tentang pengelolaan keuangan negara
dalam rangka akuntabilitas keuangan negara, sehingga

30
dibutuhkan akuntansi sektor publik yang secara
transparan sesuai UU No.25 tahun 1999.
2. Proses perubahan dalam otonomi daerah memerlukan
perencanaan dan pengendalian agar arah perubahan
yang terjadi mendukung pencapaian tujuan yang
dicangkan sebagai landasan otonomi daerah.
3. Pembetukan infrastruktur akuntansi sektor publik harus
segera dilakukan oleh instansi yang diberikan
kewenangan untuk membangun standar sehingga
akuntansi sektor publik memiliki standar akuntansi
keuangan sebagai pedoman yang baku, baik dalam
proses penyelesaian laporan maupun bentuk laporan
keuangan sektor publik.
4. Pengembangan sumber daya manusia harus menjadi
prioritas karena tingkat pendidikan tenaga kerja di daerah
masih berada pada tingkat menengah dan bawah.

Daftar pustaka
1. Hanjari, Kebutuhan Pemakai ditinjau dari persefektif Pemerintah
(BPK), seminar sehari, Yogyakarta 18 mei 2002.
2. Ismail Muhamad, Akuntabilitas dan transparansi , seminar dan
pembetukan kompetensi akuntansi sektor publik, 7 Desember
1999.
3. WR.Scot, Financial Accounting Theory, Practice 1997.
4. Media Akuntansi, Edisi 06 Februari 2000/Vol. VII.
5. ……………., Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi
daerah.
6. ……..………,Undang-undang No.25 tahun 1999, tentang
pembagian keuangan negara dan daerah

31
II.1.2. Otonomi daerah dan pembangunan daerah

Otonomi daerah yang dicanangkan


seperti sekarang diharapkan akan mempercepat
pertumbuhan dan penbangunan daerah, disamping
menciptakan keseimbangan pembangunan antar
daerah di Indonesia. Kebijakan pembangunan yang
sentralistik dampaknya sudah kita ketahui, yaitu
ketimpangan antar daerah, terutama antara jawa dan
luar jawa dan antara Indonesia bagian barat dan
Indonesia bagian timur. Otonomi daerah memiliki
sejumlah kewenangan/kewenangan wajib,
sebagaimana ditentukan dalam UU No.22 tahun 1999.
kewenangan- kewenangan tersebut merupakan modal
dasar yang sangat penting untuk pembangunan
daerah. Kewenangan tersebut adalah :
6. Fasilitas
7. Pemerintah daerah harus kreatif
8. Politik lokal yang stabil
9. Pemerintah daerah harus menjamin
kesinambungan berusaha.
10. Pemerintah daerah harus komunikatif dengan
LSM, terutama dalam bidang perburuhan dan
lingkungan hidup.

Kelima kewenangan diatas merupakan


pra kondisi bagi terselenggaranya pembangunan
daerah. Dengan kebijakan otonomi yang luas maka
peluang bagi daerah menjadi sangat luas pula, dan
semuanya sangat bergantung pada daerah itu sendiri.
Yang paling utama bagi daerah adalah
penciptaan lapangan kerja. Ukurang yang paling
fundamental bagi keberhasilan sebuah pemerintahan
dalam sebuah negara modern adalah seberapa

32
jauhkah pemerintahan tersebut berhasil menciptakan
lapangan kerja bagi kalangan warga masyarakat,
kemudian disusul dengan kemampuan untuk
menghadapi laju inflasi, serta keseimbangan neraca
perdagangan internasional.
Hubungan antara otonomi daerah
dengan pembangunan daerah dapat diungkapkan
dalam diagram berikut : (Syaukani,HR,2004)

Kewenangan :
Otonomi Daerah Mencari,menciptakan ,mengelola ,
dan mempertanggungjawabkan sumber dan penggunaan
keuangan di daerah kepada legislatif

APBD

Pemerintah daerah harus :


- Memfasilitasi
- Kreatif
- Memelihara politik local
- Menjamin kesinambungan
berusaha
- Sensitif terhadap buruh dan
lingkungan
Dunia usaha berkembang
Multiplier Effect: lapangan pekerjaan, daya beli,
Kecenderungan menabung, dll.

Taxes bases berubah PAD/APBD


meningkat

33
Pembangunan Daerah

34

You might also like