You are on page 1of 26

MATERI KULIAH:

AGAMA
(MPK.1201)

AGAMA HINDU SEBAGAI LATAR


BELAKANG ARSITEKTUR TRADISIONAL
BALI

TAHUN 2009
Dosen Penyusun:
Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg.

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DWIJENDRA DENPASAR
(status terakreditasi nomor: 005/BAN-PT/Ak-X/S1/II/2007)
website: http://www.arsitekturdwijendra.blogspot.com, email:
arstundwi@yahoo.co.id
Jl. Kamboja 17 Denpasar Telp.(0361) 224383, 233974

1
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN AGAMA HINDU

1. Pengantar

Modul Ruang Lingkup dan Tujuan Agama Hindu ini berisi pembahasan
tentang isi pokok kepercayaan Agama Hindu dalam rumus pengertian yang akan
dijadikan titik tolak pemecahan persoalan yang dihadapi dalam kehidupan
beragama serta tujuan yang hendak dicapai manusia dan cara mencapainya
menurut Agama Hindu.

Dalam kehidupan beragama Hindu banyak kita temui hal yang unik dan
tidak segera mudah dimengerti kalau kita hanya melihat secara aepintas terhadap
praktek kehidupan beragama yang dilakukan umatnya sehari-hari, lebih-lebih bila
yang dilihat hanya upakara-upakaranya saja, maka yang tampak menonjol hanya
bentuk-bentuk sesajen (upakara) dan upacara-upacara yang disertai iringan doa
pujaan pandita, seni gamelan, seni tari, kidung pujaan, dan sebagainya sehingga
dapat menimbulkak kesan seakan-akan Agama Hindu itu merupakan ajaran ritual
dan bercorak tradisional, tanpa tujuan yang jelas yang berkaitan dengan konsepsi
Ketuhanan Yang Maha Esa (keimanan dalam agama Hindu).

Untuk menjernihkan kesan itu maka dengan mempelajari modul ini anda
akan dapat mengerti dan memahami isi sesungguhnya atau Ruang Lingkup
Agama Hindu serta tujuan hidup beragama berdasarkan kebenaran yang diajarkan
oleh Hindu Dharma.

Pembahasan mengenai Ruang Lingkup dan Tujuan Agama Hindu ini dapat
memberi kejelasan pengertian dalam memahami tentang konsepsi
filosifis/Darsana/Tattwa Hindu Dharma baik yang bersifat spiritual maupun
pragmatis “duniawi”, yang akan dibahas di dalam modul 3, dan merupakan
pangkal tolak di dalam pembahasan modul-modul berikutnya.

Dalam pada itu maka anda harus mengerti dan memahami isi Ruang
Lingkup dan Tujuan Agama Hindu ini dengan jelas.

2
2. Tujuan Instruksional Umum

Dengan mempelajari modul ini, anda memperoleh pengertian dan mampu


memahami Ruang Lingkup dan Tujuan Agama Hindu.

3. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah menyelesaikan modul ini, anda diharapkan mampu :

a. Menyebutkan Ruang Lingkup Agama Hindu;

b. Menjelaskan secara singkat masing-masing Lingkup Agama


Hindu;

c. Menyebutkan tujuan agama Hindu;

d. Menyebutkan dasar dan tujuan hidup manusia menurut Agama


Hindu;

e. Menjelaskan tentang Dharma, Artha, dan Moksa;

f. Menjelaskan tentang Dharma Siddhyartha.

4. Kegiatan Belajar

4.1 Kegiatan Belajar 1

RUANG LINGKUP AGAMA HINDU

4.1.1 Uraian dan Contoh

Di dalam modul 1 anda telah mempelajari mengenai sumber ajaran Agama


Hindu. Untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang Agama Hindu
maka anda pun harus mempelajari isi atau ruang lingkup Agama Hindu agar dapat
memahaminya secara benar menurut Weda. Ruang Lingkup ini meliputi/memuat
dasar-dasar yang menjadi ciri khas dari Agama Hindu dan merupakan ajaran yang
harus diyakini (diimani) oleh umat Hindu itu sendiri. Dasar keimanan itu disebut

3
“Sraddha”. Sraddha sebagai dasar keimanan dirumuskan di dalam Atharwa Weda
XII.1.1 sebagai berikut :

“Satyam brhad rtam ugram diksa,

tapo brahma yajna prthiwim dharayanti”

Artinya :

Sesungguhnya satya, rita, diksa,

tapa, brahama dan yadnya ialah yang menyangga dunia.

Dengan ayat itu dijelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya, Rita, Diksa,
Tapa, Brahma dan Yadnya.

Keenam unsur keimanan itu merupakan Dharma yang memelihara


harmonisasi alam dan kehidupan ini. Jadi keenam unsur itu adalah merupakan
kerangka isi Dharma (Agama Hindu), yang diimani dan bersifat mengikat karena
menegaskan kebenaran dan hukum yang mengandung nilai-nilai spiritual. Di
dalam pengulasan ajaran kepercayaan kepada Tuhan menurut pokok-pokok ajaran
kefilsafatan Hindu, maka untuk menjelaskan sistem kepercayaan kepada Tuhan,
dikembangkan pula ajaran Panca Sraddha yang mencakup lima pokok masalah
yang menjadi inti ajaran kepercayaan Hindu, yaitu :

a. Brahman (Widhi) Tattwa yaitu ajaran filsafat tentang hakikat


Ketuhanan.

b. Atma Tattwa yaitu ajaran tentang filsafat Roh yang menjadi inti
kehidupan.

c. Karmaphala Tattwa yaitu ajaran tentang Hukum karma


(kausalitas).

d. Punarbhawa Tatta yaitu ajaran tentang Rinkarnasi, penjelmaan


kembali setelah mati, penciptaan kembali setelah kemusnahan.

e. Moksa Tattwa yaitu ajaran tentang filsafat kembalinya Roh kepada


Pencipta (Manunggal).

4
Kelima unsur tersebut, juga dinamakan Sraddha yaitu kepercayaan atau keimanan
Agama Hindu yang pada dasarnya merupakan pokok-pokok kepercayaan yang
harus diyakini sebagai jalan menuju keselamatan, kebahagiaan lahir dan batin.

Sradha sebagai dasar keimanan mempunyai fungsi dan kedudukan yang khas
dalam sistem ajaran keagamaan Hindu. Beberapa fungsi Sraddha yang perlu
diketahui antara lain :

a. Sraddha sebagai kerangka Dharma merupakan kerangka bentuk isi Agama


Hindu Laksana melihat sebuah perumahan (Agama Hindu) maka kerangkanya
adalah Sraddha itu, yang mewujudkan bentuk lahir dan sebagai penyangga
bangunan rumah (Agama Hindu) itu sendiri.

b. Sraddha sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju Tuhan.
Pengertian ini dapat dilihat melalui ayat Yayur Weda XIX.30 dan 77
menyatakan :

“Sraddhaya satyam apooti”

(Dengan Sraddha manusia akan mencapai Tuhan)

“Sraddham satye prajapatih”

(Tuhan menetapkan dengan Sraddha menuju Satya).

Dengan uraian itu menjelaskan bahwa Sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi
tertentu dalam Agama Hindu. Dengan berpedoman pada Sraddha itulah berbagai
dasar pengertian keagamaan Hindu dapat dijelaskan, sehingga merupakan
kerangka dasar yang membentuk berbagai ajaran di dalam Agama Hindu yang
harus diyakini dan dihayati oleh umatnya.

4.1.1.1 Satya

Satya adalah merupakan unsur keimanan yang pertama dalam agama Hindu
menurut kitab suci Atharwa Weda XII.1.1. Kata “satya” berasal dari bahasa

5
Sansekerta, dari urat kata “Sat” yang berarti Kebenaran, kejujuran, Tuhan
(ketuhanan). Dengan demikian kata Satya mengandung arti sebagai berikut :

a. Satya berarti kebenaran yaitu merupakan sifat hakikat dari Tuhan Yang Maha
Esa, maka kata itu diartikan sama dengan kata “dewa” yaitu aspek sifat Tuhan
atau wujud kekuasaan Tuhan yang bersifat khusus (atau sama dengan
Malaikat).

b. Satya berarti kesetiaan atau kejujuran

Kata ini biasanya dirangkaikan dengan kata “Wak” atau “Wac” yang berarti
kata-kata, ucapan. Misalnya Satya Wacana berarti setia pada kata-kata atau
ucapan, maka segala apa yang dikatakan akan dilakukan sesuai menurut janji
itu. Dari sinilah kemudian berkembang ajaran Panca Satya yaitu Lima macam
kesetiaan ialah :

1) Satya Hridaya berarti setia akan keimanan atau kata hati.

2) Satya Wacana berarti setia akan kata-kata atau ucapan.

3) Satya Samaya berarti setia akan janji.

4) Satya Mitra berarti setia dalam persahabatan.

5) Satya Laksana berarti setia dalam perbuatan.

c. Satya berarti kebenaran dalam arti relatif

Misalnya : setiap warga negara harus setia kepada Negaranya, seseorang istri
setia kepada suaminya dan sebaliknya, setiap karyawan harus setia
menjalankan kewajibannya, dan sebagainya.

Di depan telah diuraikan bahwa Satya berarti kebenaran (Truth) yang


diartikan sama dengan ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena Kebenaran merupakan sifat hakikat dari Tuhan. Kata Satya dalam arti
Ketuhanan dipergunakan sebagai sifat yang lazim dipakai dengan kata Sat yang
berarti benih absolut (Yang Maha Ada) sebagai hakikat sifat benar dari Tuhan
(dapat diartikan sama dengan Dzat yang bersifat mutlak), Esa sifatnya. Namun
demikian manusia sebagai ciptaan yang mempunyai kemampuan berpikir dan
akal, suatu kelebihan yang diberika oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang

6
Widhi Wasa), selalu ingin dan berusaha menemukan serta memcahkan misteri
yang hakiki itu, begitu pula terhadap fenomena alam ini. Demikianlah orang-
orang suci yaitu para Maharesi memberikan gelar kepada Yang Maha Ada itu
yang sebenarnya merupakan gelar terhadap sifat kemahakuasaan-Nya.

Di dalam kitab suci Rig Weda I, 164.46 dinyatakan :

“Ekam Sat wipra bahuda wdanti,

agnim yamam matariswanam ahuh”.

Artinya :

“Sesungguhnya Tuhan (Sat) itu satu, orang arif bijaksana menyebut dengan
berbagai nama : Agni, Yama, Matariswan, dan sebagainya.

Kata Ekam Sat berarti Tuhan itu Satu. Jadi kata Sat atau Satya mengandung
pengertian ketuhanan yaitu satu pengganti nama yang menunjuk pada sifat
kemahakuasaan Tuhan. Dengan pengertian ini maka ajaran Satya (Satya Tattwa)
merupakan pokok pertama dari ajaran Sraddha yang harus diartikan sama dengan
Brahma Tattwa atau Widhi Tattwa di dalam Panca Sraddha, demikian juga ajaran
Atma Tattwa (filsafat tentang Atma/Jiwa/Roh), adalah merupakan pengembangan
dari ajaran Satya (unsur keimanan yang pertama dalam agama Hindu) ini,
sehingga bagi umat Hindu setiap perbuatan, ucapan dan pikirannya harus
dilandasi dengan/atas dasar Satya atau berdasarkan iman kepada Tuhan.

4.1.1.2 Rita (Rta)

Rita atau Rta adalah unsur keimanan yang kedua dalam ajaran Hindu
(menurut Weda). Rita aalah hukum abadi yang ditentukan oleh Tuhan yaitu
semacam sifat kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat
dilihat oleh manusia. Jadi Rita merupakan hukum murni yang bersifat absolut
transendental, kekal dan tidak pernah berubah. Di dalam kitab suci Weda
dinyatakan bahwa mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini,
kemudian ia ciptakan hukumannya yang mengatur hubungan antar partikel yang

7
diciptakannya itu dan untuk selanjutnya dan demikianlah jalnnya hukum itu
selama-lamanya. Sebagai contoh dari Rita yang dapat dilihat oleh manusia bahkan
diteliti dan hendak dipecahkan misterinya adalah hukum dari sistem tata surya
yaitu peredaran planet, bulan dan bumi, bahkan juga ekosistem, berjalan menurut
hukumnya yang abadi, karena sesungguhnya Tuhan sebagai pencipta hukum itu
dan Tuhan juga sebagai pengendalinya, maka dalam hubunganini Tuhan juga
disebut atau diberi gelar ritawan. Dalam perkembangan sastra Sansekerta istilah
Rita diartikan sama dengan Widhi yang berarti aturan yang ditetapkan oleh
Tuhan. Dari kata itulah kemudian lahir istilah Sang Hyang Widhi Wasa yang
berarti penakdir, Penguasa atas hukumnya (Lord of law atau Guardian of Law).
Dalam sejarah pertumbuhan agama Hindu hukum abadi atau Rita itu berkembang
sebagai landasan idiil mengenai bentuk hukum yang ingin diterapkan dalam
pengaturan kehidupan di dunia ini, yang kemudian dikenal ajaran Dharma.

Dharma adalah merupakan bentuk hukum (Rita) yang dijabarkan ke dalam


amalan manusiawi. Hukum agama yang disebut Dharma ini bersifat relatif karena
selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia, sehingga bersifat mengatur tingkah
laku manusia untuk mencapai kebahagiaan di dalam hidupnya. Jadi Dharma itu
bersumber pada kekuasaan Tuhan yang menciptakan hukum abadi yang disebut
Rita itu, sehingga Dharma disebut juga sebagai yang mengatur kehidupan makluk
di dunia ini, maka dengan Dharma pula kesentosaan dan kesejahteraan hidup
dapat diperoleh. Di dalam kitab Mahabharata terdapat sloka yang menerangkan
makna kata Dharma itu sebagi berikut :

“Dharanad dharma ityahur dharmena widhrtah prajah”

(Santi Parwa 109.11).

“Dharmena dharyante jagat Sthawara janggama”

(Mahabharata 2.28).

Artinya :

Dharma dikatakan datang dari kata dharana dari urat kata “dhr” (baca “dri”)
yang berarti memangku, mengatur, menuntun. Dengan Dharma semua
makhluk diatur/dipelihara.

8
Semua alam, tumbuh-tumbuhan dan binatang diatur oleh Dharma.

Kemudian di dalam kitab Santi Parwa 259,26 dinyatakan pula melalui slokanya
yang berbunyi sebagai berikut :

“Loka sangraham samyuktam

widatra wihitam pura,

suksma dharmartha niyatam

satam caritam uttamam”

Artinya :

Kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari


Dharma. Laksana dan budi pekerti yang luhur untuk kesejahteraan makhluk
hidup adalah Dharma yang utama.

Dengan penjelasan itu maka dapat ditarik pengertian bahwa Dharma itu
bersumber dari Rita, karena itu maka Dharma mengandung pengertian yang
sangat luas. Dharma berarti tata tertib kehidupan, kesusilaan, disiplin, peraturan,
undang-undang yang dibuat penguasa (statuta Law), yang semuanya mengatur
tertib kehidupan manusia dan lingkungannya manuju kebahagiaan baik di dunia
ini (Sakala) yang disebut Jagadhita, maupun di alam Niskala/akhirat, sampai
kepada Moksa (Kebahagiaan abadi).

4.1.1.3 Diksa

Unsur keimanan yang ketiga dalam gama Hindu disebut Diksa. Diksa berarti
penyucian, penstabilan atau inisiasi, juga disebut abhiseka. Diksa adalah cara
untuk melewati suatu fase kehidupan menuju fase kehidupan yang baru dalam arti
spiritual, dari dari fase kehidupan atau dunia yang lebih sempurna. Diksa bukan
sekedar merupakan lembaga inisiasi formal melainkan mengandung ajaran
mendalam mengenai sifat hubungan antara guru dengan sisya pada waktu hendak
menerima jaran Weda dan selanjutnya untuk melakukan tugas sebagai pemimpin

9
keagamaan serta mengajarkan Weda. Umat Hindu meyakini kebenaran Diksa itu
untuk mulai mempelajari Weda dan selanjutnya mengajarkan umat manusia.
Sebagai lembaga inisiasi yang bersifat formal maka setiap orang yang akan
mempelajari Weda harus melalui Diksa. Adapun pelaksanaan Diksa itu minimal
dalam bentuk pawintenan yang bertujuan menyucikan seseorang secara spiritual
(lahir batin) guna dapat mempelajari, mengamalkan, maupun mengadakan Weda
dengan baik. Orang yang telah didiksa harus menaati peraturan-peraturan
(sasana). Dharma atau kewajiban-kewajiban yang berlaku baginya. Sebagai
contoh, seseorang yang akan menjadi siswa kerohanian (brahmacarya) harus
melalui inisiasi yang disebut Upayana, seseorang calon Pemangku terlebih dahulu
harus diwinten, seorang calon Pendeta harus melalui Upacara Diksa ini.
Keimanan Diksa ini mempunyai kaitan atau rangkaian dengan unsur keimanan
berikutnya yaitu Tapa, Brahma dan Yadnya.

4.1.1.4 Tapa

Tapa adalah merupakan unsur keimanan yang keempat. Kata tapa berasal
dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Tap” yang berarti mengekang, menguasai,
membakar. Dalam hubungan itu Tapa mempunyai arti penguasaan terhadap nafsu
atau melakukan hidup suci. Untuk dapat hidup baik dan suci maka seseorang
harus dapat menguasai dirinya sendiri yaitu penguasaan atas panca indra dan
pikiran (indria dan manah) melalui pengendalian atau pengekangan, serta pada
fase terakhir nafsu itu harus dibakar, sehingga jiwa itu tidak terjerat oleh ikatan
maya (duniawi), dimana akhirnya Atman dapat kembali menunggal dengan
Parama Atman (moksa).

Menurut Weda dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai


kesadaran akan dosa, jadi hidup manusia itu tidak luput dari dosa, baik yang
timbul dari pikiran, ucapan atau kata-kata maupun perbuatannya, yang dapat
menimbulkan penderitaan yang menyiksa lahir dan batin manusia. Dosa itulah
yang mengakibatkan manusia makin sulit menyatukan diri pada hakikat Tuhan,
karena orang yang berdosa adalah orang pikirannya terjerat oleh ilusi duniawi

10
yang kemudian menekan jiwa sehingga mengakibatkan kegelisahan dalam
hidupnya. Kegelisahan itu berakhir apabila jiwanya telah bersih dari pengaruh
nafsu keduniawian (Maya), begitu pula rasa ketuhanan akan bersemi di hatinya
dan raganya menjadi suci. Dengan menyucikan diri itulah Tapa yang dilakukan
dengan berbagai cara tergantung dari maksud Tapa itu, besar kecilnya dosa yang
akan disucikan. Ada yang melakukan Tapa dengan berpuasa tidak makan/minum
pada hari-hari tertentu (Upawasa) tidur selama waktu tertentu (Jagra), tidak
berbicara selama tertentu (Mona), penyiksaan diri (Bratha) serta berbagai cara
lain. Dalam hubungan itu yang terpenting adalah niat dan ketetapan untuk dapat
memperbaiki dirinya.

Dalam hal seseorang melakukan kesalahan besar maka Tapa yang sifatnya
menjadi hukuman yang menghukum dirinya, penghukuman itu dapat dilakukan
karena kesadaran sendiri dan dapat pula dipakai oleh penguasa (hukuman denda,
hukuman kurungan, hukuman seumur hidup, hukuman mati dan lain sebagainya).
Namun apapun bentuk hukuman itu harus dilakukan dengan kesadaran, maka dari
pengertian itu dapat disimpulkan bahwa Tapa mempunyai arti yang amat penting
dalam pembentukan watak moral manusia yang harus diyakini kebenarannya.
Karena itu Tapa sebagai Sraddha/keimanan harus dipedomani dalam kehidupan
sehari-hari.

4.1.1.5 Brahma

Dalam kehidupan beragama Hindu, unsur kepercayaan pada merupakan


bagian yang sangat penting. Doa itu adalah mantra dan berada dalam setiap
kejadian. Doa selalu disampaikan untuk tujuan tertentu. Ini merupakan ciri khas
dari tata kehidupan beragama. Tanpa pertimbangan kepada kedudukan dan
kegunaan doa itu maka tidak akan ada artinya (tanpa makna), karena itu, doa
adalah merupakan bagian dari keimanan dalam kehidupan beragama menurut
ajaran Hindu.

Pada mulanya istilah “brahma” berarti pujian atau pemujaan, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya istilah Brahma itu berubah artinya, semula

11
dimaksudkan adalah “Mantra” (Doa) yang digunakan tetapi kemudian sebagai
gelar yang diberikan kepada yang dipuja. Tuhan yang disebut Brahman yang
artinya “Lord of prayer”, Ia berkuasa atas pujian (Sabda).

Di samping sebagai unsur keimanan, fungsi Doa bergantung pada tujuan


penggunaannyaitu. Misalnya, bagi orang yang sedang tertimpa kesedihan maka
doa berfungsi sebagai permohonan kepada Tuhan agar deritanya dapat
diringankan. Bagi orang yang sedang melakukan Upacara maka Doa berfungsi
untuk menyucikan Upakara/Upacara, termasuk penyucian bagi orang yang
melaksanakan Upacara itu. Demikian pula orang yang memperoleh rejeki atau
kebahagiaan (mendapat apa yang diharapkan) maka Doa mereka berfungsi
sebagai tanda terima kasih atau rasa syukur atas kebahagiaan yang diperolehnya,
dan seterusnya. hal ini memang telah menjadi kebiasaan bahwa dalam setiap Doa
selalu dinyatakan sebagai pengharapan agar Tuhan memberikan rahmat-Nya. Jadi
kedudukan Doa itu sangat luas, fungsi dan tujuannya tidak selalu sama tergantung
dari mana kita melihatnya dan yang penting bahwa apapun fungsi serta tujuannya
Doa itu mempunyai makna dalam kehidupan mereka yang iman. Karena itu
dasarnya adalah keimanan atau percaya atau kebenaran isi doa itu. Dengan adanya
doa itu akan tampak bagaimana hubungan antara manusia dengan disembahnya.
Pentingnya unsur doa (Brahma) dalam agama Hindu karena didasarkan atas
kepercayaan yang bersumber pada Weda, yang isinya antara lain :

a. Tuhan adalah juru selamat umat manusia (dinyatakan dalam Rig Weda VI,
47.11) sehingga layaknya kalau manusia memohon kepada Tuhan agar
memberikan perlindungan dan menyelamatkan diri mereka dari segala mara
bahaya.

b. Tuhan harus didekati dengan kesucian karena Ia bersifat Maha Suci


(dinyatakan dalam Rig Weda IX, 73.6), sehingga setiap akan melakukan
pemujaan mereka memohon kesucian, dan dijauhkan dari godaan setan
(Bhuta, Kala, dan sebagainya) yang menyebabkan kesesatan dan kekotoran.

12
c. Manusia itu tidak sempurna dan sadar bahwa mereka berdosa (dinyatakan
dalam Yajur Weda 8.12) sehingga manusia selalu memohon kepada Tuhan
agar merekan disempurnakan dan dibersihkan dari segala dosa.

Cara Pemujaan

Doa atau pemujaan dapat dilakukan oleh setiap orang, dimana saja dan
kapan saja, sendiri atau secara bersama-sama. Di dalam Weda dikemukakan pula
bahwa pemujaan atau doa dapat dilakukan baik dengan kata-kata atau ucapan
maupun dengan bahasa lain misalnya dengan menggunakan simbol atau alat
sebagai pengganti bahasa itu.

Dengan demikian dapat dibedakan antara lain :

a. Doa yang dilakukan dengan cara mengucapkan kata-kata, misalnya dengan


pengucapan mantra-mantra baik menurut bahasa Weda maupun dengan
bahasa yang kalimatnya disusun menurut tujuannya.

b. Dengan mempergunakan sesajen atau sarana yang merupakan bahasa


simbolik.

c. Dengan mempergunakan doa mantra dan simbol, misalnya Upacara


Persembahyangan di Pura.

Demikianlah peranan doa atau mantra yang disebut Brahma dalam kepercayaan
agama Hindu sehingga harus dipedomani atau diimani oleh umatnya.

4.1.1.6 Yadnya

Dalam istilah yang populer Yadnya dipersamakan pengertiannya dengan


ritual, namun kalau ditinjau secara lebih mendalam istilah Yadnya mengandung
arti yang sangat luas. Ditinjau secara etimologi kata Yadnya berasal dari bahasa
Sansekerta dari urat kata “Yaj” yang berarti memuja memberi pengorbanan atau
menjadikan suci. Di dalm Rig Weda VIII, 40.4 kata Yadnya berarti korban atau
pemujaan. Disamping itu kata Yadnya dihubungkan juga dengan konsepsi

13
penciptaan alam semesta, jadi semacam simbol bahasa yang mengandung
pengertian sebagai suatu proses kejadian. Baik di dalam Rig Weda X, 92
(Nasadya Sukta) maupun di dalam kitab suci Bhagawad Gita III, 9 dan 10
dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta ini melalui
Yadnya, karena itu dunia ini pun terikat oleh Yadnya. Jadi Yadnya adalah
merupakan salah satu esensi yang terpenting dalam pemujaan kepada Tuhan (dan
kemahakuasaan-Nya) oleh karena Yadnya merupakan suatu contoh
karma/perbuatan suci-Nya dan Yadnya adalah perbuatan spiritual yang dapat
dilakukan manusia secara riil. Bentuk riil Yadnya yang dilakukan oleh manusia
dapat berwujud material dan nonmaterial. Dalam bentuk material Yadnya itu
direalisasikan berupa korban suci seperti Upakara (sesajen), donor darah, donor
mata, dan punia/derma berupa uang atau barang, dan sebagainya. Sedangkan yang
berwujud nonmaterial Yadnya dilakukan melalui pengucapan mantra-mantra/doa,
menyanyikan lagu-lagu pemujaan (stotra), maupun melalui persembahan ilmu
pengetahuan (jnan). Ajaran tentang Yadnya kemudian dikelompokkan ke dalam
lima jenis atau macam Yadnya yang disebut Panca Maha Yadnya, masing-masing
ialah :

a. Dewa yadnya atau Brahma yadnya adalah korban suci kepada Tuhan dan
kemahakuasaan-Nya.

b. Resi yadnya adalah korban suci kepada para Maha Resi atau Nabi (dan
para suci).

c. Pitra yadnya adalah korban suci kepada para leluhur.

d. Manusa yadnya adalah korban suci kepada sesama manusia, termasuk


dirinya sendiri.

e. Bhuta yadnya adalah korban suci kepada para Bhuta atau makhluk yang
lebih rendah dari pada manusia.

Demikianlah yadnya itu sebagai ajaran keimanan dan merupakan bagian dari
penghidupan beragama menurut ajaran Hindu Dharma yang wajib hukumnya.

14
Anda telah mempelajari apa isi atau ruang lingkup agama Hindu itu yang
juga merupakan dasar keimanan bagi umatnya yang disebut Sraddha. Dengan
mempelajri uraian di depan dan anda hubungkan dengan kegiatan keagamaan
yang dilakukan umat Hindu sehari-hari maka anda akan mengerti dan memai
bahwa semua aktivitas keagamaan Hindu itu bermuara pada Sraddha.

4.1.2 Rangkuman

1) Sraddha adalah merupakan dasar keimanan dalam ajaran agama Hindu


seperti dinyatakan di dalam Atharwa Weda XII, 1.1. Dinyatakan pula bahwa
dengan Sraddha orang akan mencapai kesejahteraan di dunia lahir batin dan
kedamaian abadi di akhirat kelak.

2) Ajaran Sraddha memuat enam unsur yang merupakan pokok-pokok


keimanan, terdiri dari Satya, Rita, Diksa, Tapa, Brahma dan Yadnya. Keenam
unsur itu merupakan kerangka isi Dharma (agama Hindu) yang diimani dan
bersifat mengikat karena menegaskan kebenaran dan hukum yang
mengandung nilai-nilai spiritual.

3) Di dalam pengulasan ajaran kepercayaan kepada Tuhan menurut pokok-


pokok ajaran kefilsafatan Hindu maka untuk menjelaskan sistem kepercayaan
kepada Tuhan dikembangkan pula ajaran Panca Sraddha yang mencakup lima
pokok masalah yang menjadi inti dasar keyakinan agama Hindu, yaitu :

a. Yakin akan kebenaran adanya Sang Hyang widhi Wasa (Tuhan Yang
Maha Kuasa).

b. Yakin akan adanya Atman yaitu Roh yang menjadi inti kehidupan.

c. Yakin akan kebenaran hukum Karmaphala.

d. Yakin akan adanya Rinkarnasi.

e. Yakin akan kebenaran Moksa.

4) Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isinya melalui Yadnya


(pengorbanan suci), kemudian menciptakan hukumnya yang abadi disebut

15
Rita dan merupakan hukum murni yang bersifat absolut transedental, kekal
dan tidak pernah berubah, kemudian berkembang sebagai Landasan idiil
mengenai bentuk hukum yang diterapkan dalam pengaturan masyarakat
(kehidupan) di dunia ini yang kemudian dikenal dengan ajaran Dharma.

5) Untuk mencapai Dharma orang harus hidup sadar dan suci sehingga Diksa
(inisiasi) menjadi Landasan keimanan yang harus dipedomani.

6) Diksa (inisiasi), Tapa (pengendalian diri), Brahma (doa suci) dan Yadnya
(korban suci atau malam suci) adalah merupakan rangkaian yang berkaitan
erat dalam memenuhi Dharma untuk menemukan Satya (kebenaran, sifat
hakikat Tuhan).

7) Keenam Sraddha atau dasar keimanan tersebut harus dipedomani oleh


umatnya di dalam pengamalan ajaran agama Hindu.

4.2 Kegiatan Belajar 2

DASAR DAN TUJUAN HIDUP MENURUT AGAMA HINDU

4.2.1 Uraian dan Contoh

Agama diwahyukan ke dunia bertujuan untuk menuntun umat manusia guna


mencapai kesempurnaan hidup berupa kesucian batin. Juga menuntun umat
manusia agar berlaksana (bertingkah laku/ibadat), berbicara dan berpikir yang
benar, memiliki budi pekerti luhur. Laksana dan budi pekerti yang luhur itu akan
memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan material bagi umat manusia dan
lingkungannya, yang disebut “Jagadhita” serta memberikan ketentraman batin
sebagai sumber kebahagiaan abadi, bebasnya Roh/Atman dari penjelmaan dan
menunggal dengan Tuhan, yang disebut “Moksa”. Itulah tujuan agama Hindu
yang dinyatakan dengan sloka “Moksartam Jagadhitaya ca iti Dharmah”.

Anda mungkin juga menyadari bahkan turut merasakan bahwa setiap orang
tentu ingin bahagia dan sejahtera dalam hidupnya, bebas dari ancaman dan
kekhawatiran serta terlindung dari bahaya. Selain itu sebagai manusia beragama
tentu ingin merasakan dirinya selalu dilindungi Tuhan bahkan merasakan Tuhan

16
itu sebagai Yang Serba Maha. Manusia ingin merasa dekat dengan dia, merasa
menunggal dalam Ketuhanan, sehingga kebahagiaan sejati dapat dialaminya.
Sehubungan itu agama Hindu mengajarkan dasar dan tujuan hidup manusia yang
dikenal dengan “Catur Purusaartha” atau “Catur Marga”.

Secara etimologis kata Catur berarti empat, Purusa berarti jiwa, dan Artha
berarti tujuan, sedangkan kata Warga berarti terjalin erat. Dari arti kata itu kita
dapat menerjemahkan Catur Purusaartha atau Catur Marga itu berarti empat
tujuan hidup manusia yang terjalin erat satu sama lainnya, atau dapat pula
diartikan empat tujuan hidup manusia yang mewujudkan suatu perpaduan yang
utuh. Keempat dasar dan tujuan hidup itu adalah : Dharma, Artha, Kama, Moksa.

Agama Hindu menyatakan bahwa tubuh inilah yang merupakan alat untuk
mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Demikian dinyatakan dalam
kitab Brahma Purana 228,45 yang berbunyi “Dharmartha kama moksanam
sariram sadhanam”. Dharma berarti ajaran suci atau hukum kebenaran, dapat pula
berarti sila dan budi pekerti luhur karena berdasarkan atas ajaran suci itu. Artha
berarti harta benda yang dapat memberi kepuasan kepada keinginan manusia.
Kama berarti naluri hidup, nafsu atau keinginanyang dapat memberi kepuasan
atau kesejahteraan hidup.

Dengan demikian manusia harus menyadari apa yang menjadi dasar dan
tujuan hidupnya. Dengan badan yang dimilikinya itulah ia mencari tujuan hidup
itu berupa Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

4.2.1.1 Dharma

Kata “Dharma” berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata “dhr” (dibaca
dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur atau menuntun.
Jadi kata dharma dapat berarti suatu yang mengatur atau memlihara dunia beserta
semua makhluk, alam semesta beserta semua isinya. Dalam hubungan dengan
peredaran alam semesta ini, dharma dapat pula berarti kodrat, hukum abadi
(bersumber dari Rita), sedangkan dalam kehidupan manusia dharma dapat berarti
ajaran suci, kewajiban atau peraturan-peraturan suci yang memelihara dan

17
menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu sila atau tingkah
laku dan budi pekerti yang luhur. Di dalam sastra suci Hindu disebutkan beberapa
sloka yang mendukung uraian di atas, yaitu :

a. Di dalam kitab Mahabhrata 2,28 disebutkan :

“Dharmena dharyate sarwam

jagat sthawara janggama”.

Artinya :

Dunia ini dan seluruh kehidupan, binatang dan tumbuh-tumbuhan mengikuti


kodrat (diatur oleh Dharma).

b. Kitab Santi Parwab109.11 dan 259.26 menyebutkan :

“Dharanad dharma ityahur

dhamena widhrtah prajah”

“Loka samgraham samyuktam

widatra wihitam pura

suksma dharmartha niyatra

satam caritam uttamam”.

Artinya :

Dharma datang dari kata dharana yang berarti memangku atau mengatur.

Dengan Dharma semua makhluk diatur (dipelihara).

Kesentosaan dan kesejahteraan umat manusia datang dari Dharma.

Laksana dan budi pekerti luhur untuk kesejahteraan manusia ditentukan


sebagai Dharma yang utama.

c. Kitab Manu Samhita 1 menyebutkan :

“Weda pramanakah sreyah sadhanam dharmah”.

18
Artinya :

Menurut ajaran kitab suci Weda, Dharma dikatakan sebagai alat untuk
mencapai kesempurnaan.

Demikianlah arti Dharma itu, mempunyai pengertian yang amat luas dan
mendalam. Jadi seluruh alam semesta ini beserta segala isinya diatur dan
dipelihara oleh dharma, semuanya tunduk pada hukum abadi (Dharma) itu. Maka
begitulah manusia dalam kehidupannya harus taat melaksanakan Dharma yaitu
kewajiban, peraturan-peraturan suci dengan bertingkah laku dan berbudi pekerti
luhur guna mengatur dan memelihara untuk mencapai kesejahteraan rohani dari
kedamaian abadi. Di dalam kitab Sarasamuscaya 14, Dharma itu diumpamakan
sebagai perahu yang digunakan para pedagang mengarungi samudra. Lengkapnya
berbunyi sebagai berikut :

“Ikang dharma ngaranya henuning mara ring swarga ika,

kadi gatining perahu

an henuing banyaga nentasing tasik”

Artinya :

Dharma dikatakan merupakan jalan menuju sorga,

bagaikan perahu

dipakai para pedagang mengarungi samudra.

Demikianlah kedudukan dan makna Dharma itu dalam kehidupan di dunia


ini.

4.2.1.2 Artha

Kata “Artha” mempunyai banyak arti. Artha dapat berarti tujuan


(paramartha = tujuan tertinggi), dapat berarti kepentingan (parartha = kepentingan
orang lain), namun dalam hubungannya dengan Catur Warga maka Artha berarti

19
kekayaan, milik, harta benda yang dapat memenuhi dan memberi kepuasan
kepada Kama.

Dalam kehidupan ini Artha itu diperlukan. Agama Hindu tidak melarang
umatnya mencari dan memiliki Artha, melainkan sebaliknya setiap umatnya
dianjurkan untuk mencari dan memiliki Artha dengan catatan bahwa harta benda
atau kekayaan itu harus diperoleh berdasarkan Dharma dan digunakan untuk
kepentingan Dharma. Artha menduduki tempat yang sangat penting setelah
Dharma. Kitab Sarasamuscaya sloka 267 menyebutkan :

“Apan ikang artha, yan dharma iwirning

karjanaya, ya ika laba ngaranya,

paramarthaning amanggih sukha sang

tumenwaken ika kuneng

yan adharma iwirning karjanaya,

kasmala ika, matangnyan haywa anasar

sangkeng dharma yan tangarjana”

Artinya :

Sebab harta itu, jika Dharma landasan memperolehnya,

laba namanya, sungguh mengalami kesenangan

orang yang memperoleh harta itu, tetapi apabila

diperoleh berdasarkan Adharma maka nodalah itu,

(hal ini) dihindari oleh orang yang berbudi utama;

Karena itu janganlah kesasar (berpaling) dari Dharma,

jika hendak menuntut sesuatu.

Demikianlah pentingnya harta itu dalam kehidupan ini namun harus


diperoleh berdasarkan Dharma, sedangkan harta yang diperoleh berdasarkan
Adharma dihindari karena mengakibatkan noda. Agam Hindu juga menetapkan

20
beberapa halangan cara memperoleh harta dengan kejahatan seperti memaksa,
merampas, mencuri, menipu, dan sebagainya. Di samping itu agama Hindu
menerapkan pula tentang hak dan cara penggunaan harta. Kitab Sarasamuscaya
sloka 261 dan 262 menetapkan bahwa harta yang diperoleh dan menjadi miliknya,
penggunaannya harus dibagi tiga yaitu :

a. Sadhana ri kasiddhaning Dharma.

Artinya :

Satu bagian harta milik dipakai untuk kepentingan Dharma.

Misalnya untuk melakukan Panca Yadnya (kepentingan keagamaan).

b. Sadhana ri kasiddhaning Kama.

Artinya :

Satu bagian milik dipakai untuk memnuhi Kama.

Misalnya untuk makan minum, olahraga, kesenian, rekreasi, memenuhi rasa


estetika dan sebagainya.

c. Sadhana ri kasiddhaning Artha.

Artinya :

Satu bagian harta milik dipakai untuk melipat gandakan atau mendapatkan
harta kembali.

Misalnya untuk berusaha atau berekonomi sehingga kekayaan bertambah.

Selain ketentuan itu agama Hindu juga mengajarkan bahwa harta benda itu
sebenarnya kegunaannya untuk didermakan (dana punya), dipakai untuk
kepentingan amal agama, karena harta itu tak kekal sifatnya. Harta itu tidak akan

21
dibawa mati, tetapi penting dicari karena tanpa harta menusia tidak dapat berbuat
sesuatu. Jadi sebenarnya harta (Artha) itu bukanlah merupakan tujuan utama,
melainkan sebagai saran untuk mencapai tujuan, karena tujuan agama Hindu
adalah mencapai kesejahteraan jasmani rohani di dunia dan terakhir bertujuan
mencapai Moksa, yaitu suatu kondisi kebahagiaan abadi, kebebasan sejati dan
kemanunggalan Atman dengan Paramatman.

4.2.1.3 Kama

Kama berarti neluri hidup, nafsu duniawi atau keinginan yang dapat
memberikan kepuasan hidup. Kepuasan atau kenikmatan adalah merupakan
kebutuhan hidup manusia. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki indra
(Indriya), jumlahnya sepuluh sehingga disebut “Dasa Indriya” yaitu :

a. Srota indriya adalah keinginan untuk mendengar;

b. Caksu indriya adalah keinginan untuk melihat;

c. Ghrana indriya adalah keinginan untuk mencium;

d. Jihwa indriya adalah keinginan untuk mengecap;

e. Twak indriya adalah keinginan untuk merasakan sentuhan;

f. Wak indriya adalah keinginan untuk berkata;

g. Pani indriya adalah keinginan untuk meraba, mengambil, memegang;

h. Pada indriya adalah keinginan untuk bergerak, berjalan;

i. Payu indriya adalah keinginan untuk membuang kotoran;

j. Upastha indriya adalah keinginan untuk berhubungan kelamin;


merasakan kenikmatan dengan kelamin.

Kesepuluh indriya itulah manusia berbuat sesuatu. Karenanya indriya itu penting
sekali dalam hidup ini. Indriya itulah yang menyebabkan manusia memiliki
pengetahuan dan dapat merasakan kebahagiaan atau kesejahteraan dalam hidup
ini, namun sebaliknya indriya itu pula yang membuat menusia menderita. Oleh

22
karena maka indriya harus dikendalikan. Bagai kuda liar, bila tak dikendalikan
akan membawa mala petaka dan derita, tapi bila dikendalikan dengan baik maka
akan merupakan kekuatan yang luar biasa guna mencapai kebahagiaan abadi. Alat
kendalinya ialah Dharma yaitu kebenaran, ajaran atau peraturan –peraturan suci,
sila dan budi pekerti luhur, yang mengantarkan manusia menuju kesejahteraan
dan kebahagiaan serta kebebasan yang sejati.

Kitab Sarasamucaya sloka 12 menyatakan :

“Yan paramarthanya, yan Artha Kama

sadhyan Dharma juga leka sakena rumuhun,

nyata katemwaning Arthakama mene tan

paramartha wi katewaming arthkama

dening anasar sakeng Dharma”.

Artinya :

Pada hakikatnya jika Artha dan Kama dituntut,

maka dharma jugalah yang dilakukan terlebih dahulu,

maka pastilah akan diperoleh Artha dan Kama itu

tak akan ada artinya memperoleh Artha dan Kama jika menyimpang dari
Dharma.

Jadi secara tegas telah dinyatakan dalam agama Hindu bahwa untuk
memenuhi Kama, mamperoleh kenikmayan dan kepuasan dalam hidup ini harus
didasarkan atas kebenaran, kebajikan dan keluhuran budi yang disebut Dharma
itu. Apabila dijabarkan lebih lanjut arti Kama dalam kehidupan bukanlah semata-
mata untuk memnuhi nafsu duniawi tetapi suatu kesenangan yang dinikmati
dengan menyenangkan orang lain, menyenangkan lingkungan hidup sehingga
kenikmatan atau kepuasan itu dirasakan bersama serta menumbuhkan suatu
kondisi kehidupan yang harmonis (Jagadhita).

23
4.2.1.4 Moksa

Menurut ajaran agama Hindu. Moksa adalah merupakan tujuan terakhir dan
tertinggi. Kata “Moksa” artinya bebas, lepas. Jadi Moksa berarti kelepasan diri
dari keduniawian kebebasan jiwa dari ikatan maya sehingga Atman/Roh dapat
kembali ke asalnya, menunggal dengan Paramatman, mencapai kebahagiaan abadi
yang sejati.

Demikianlah sebenarnya setiap manusia mendambakan kebahagiaan yang


kekal dan sejati itu, namun kebahagiaan itu sulit dicapai selama badan ini masih
terikat oleh keinginan-keinginan duniawi. Selama pikiran masih terjerat oleh
pengaruh maya maka jiwa tetap tertekan dan ia menjadi gelisah, makin jauh dari
hakikat kebahagiaan. Apabila jiwa/ Atman sebagai hakikat yang ada yang menjadi
inti hidup badan ini dari ikatan/pengaruh maya (nafsu duniawi) maka barulah jiwa
itu lepas dari bungkusnya dan mencapai kebebasan sejati, manunggal dengan
hakikat ada itu (Yang Maha Ada, Paramatman, Sang Hyang Widhi Wasa),
menikmati kebahagiaan abadi yang disebut Moksa.

Kitab Suci Bhagawad Gita adhyaya V sloka 21 menyatakan :

“Bahya sparsesu asaktatma

Windaty atmani yat sukham

Sa brahma yoga yuktatma

sukham aksayam asnute

Artinya :

Orang yang jiwanya tak lagi terikat sentuhan

duniawi, menemui kebahagiaan dalam Atman

(kebahagiaan batin), sukmanya manunggal dengan

Barhman, menikmati kebahagiaan abadi.

24
Demikianlah Moksa itu sebagai tujuan tertinggi dalam agama Hindu,
merupakan hakikat yang paling tertinggi dan mulia. Kalau kita hubungkan dengan
kehidupan manusia di dunia yang selalu bergelut dengan serbaneka sentuhan
materi maka tentu kita tidak mudah memahami konsepsi Moksa itu. Dalam hal ini
Moksa merupakan summum bonum dalam tat filsafat Hindu. Berhasil tercapai
atau tidak tergantung dari pengamalan Dharma yang tepat.

Dalam uraian terdahulu telah ditentukan suatu perumpamaan Dharma itu


sebagai perahu layar yang digunakan menyebrangi samudra. Samudra
diumpamakan sebagai maya (nafsu duniawi) dengan beribu-ribu pasukan yang
ganas dan kejam (bagaikan ganasnya gelombang badai samudra itu, siap
menyerang pikiran manusia dan menjerumuskannya ke jurang neraka dan lembah
derita, di mana jiwa selalu tertekan, diselimuti kegelapan dan menjauhkannya dari
kebebasan. Sekarang timbul pertanyaan, mampukah manusia menggunakan
perahu itu, mengendalikan kemudinya, mengayuhnya dan mengatasi rintangan
serta menghindari amukan gelombang badainya yang ganas itu. Apabila manusia
itu mampu maka selamatlah ia sampai di pantai tujuan. Jadi tegasnya, Dharma
itulah yang merupakan dasar utama di dalam mencapai tujuan hidup ini. Dharma
itu pula dipakai sebagai pengendali Artha dan Kama guna mencapai kebahagiaan
dan kebebasan yang hakiki, menunggal dengan Sang Hyang Widhi atau mencapai
Moksa.

4.2.2 Rangkuman

1) Tujuan agama Hindu ialah tercapainya Jgadhita dan Moksa. Jagadhita


ialah kesejahteraan jasmani rohani di dunia atau ketentraman hidup
masyarakat. Moksa ialah kebebasan kebebasan sejati, kebahagiaan abadi,
mencapai penunggalan dengan Sang Hyang Widhi Wasa.

2) Tujuan hidup manusia adalah Catur Purusartha yang terdiri dari Dharma,
Artha, Kama dan Moksa. Dharma, Artha dan Kama merupakan tujuan
hidup yang paling hakiki di dalam masyarakat dan merupakan hakikat sine
qua non bagi setiap manusia, sedangkan Moksa merupakan hakikat

25
spiritual dan summum bonum dalam kehidupan manusia menurut tata
filsafat Hindu.

3) Untuk mencapai tujuan agama Hindu ataupun tujuan hidup manusia


diperlukan adanya kepastian dan tertib hukum, karena itu Dharma
menduduki tempat yang utama sebagai dasar bagi karma (berbuat untuk
mencapai tujuan), artinya suatu karma akan mempunyai nilai baik apabila
karma itu dilaksanakan berdasarka Dharma. Tanpa Dharma hidup manusia
akan selalu bertentangan antar satu dengan yang lain sehingga masyarakat
menjadi kacau, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah sebagai
satu hukum rimba atau hukum yang berlaku bagi ikan-ikan yang dalam
agama Hindu disebut “Matsya Nyaya”.

4) Moksa adalah merupakan tujuan akhir yang paling mulia. Moksa dicapai
apabila jiwa tidak lagi terbelenggu oleh ikatan keduniawian, bebas dari
rasa suka duka, mencapai kebebasan sejati dan kebahagiaan abadi,
menunggal dengan Paramatman (Sang Hyang Widhi Wasa).

26

You might also like