Professional Documents
Culture Documents
3 Kegiatan Belajar 3
PANCA – SRADHA
A. Brahman
Keyakinan terhadap adanya Tuhan (Widhi Sraddha). Widhi Berarti Yang
Menakdirkan dan Tattwa berarti filsafat. Widhi Tattwa berarti filsafat yang
menakdirkan atau filsafat Tuhan. Untuk mencapai kesempurnaan, kebersihan hati,
keluruhan hati, Bhaktimarga, yaitu sujud bakti kepada Tuhan adalah jalan yang
termudah. Bhaktimarga tidak memerlukan kebijaksanaan (Jnana), oleh karena itu
sebagian besar umat manusia dapat melakukannya. Dengan menyembah Icawara
sebagai Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, Pelindung keadilan dengan hati
yang tulus, hati kita akan dibersihkan. Kebersihan hati adalah sumber budi dan
sila yang luhur (Dharma), kebahagiaan hati dan kebebasan roh dari penjelmaan
(Moksa). Innamarga agak berat dan abstrak hingga sukar diterima oleh umat
biasa. Dengan mendoa dan memuja Tuhan untuk mohon restu hendaknya Ia
menuntut kita untuk mencapai kesempurnaan dan berterima kasih atas
perlindungan-Nya, maka Icawara Mahadewa, pelindung sekalian makhluk akan
membimbing kita untuk menjadi manusia ber-Dharma (bersila dan berbudi
luhur). Untuk menimbulkan rasa sujud bakti kepada Tuhan yang berwujud
Suksma (abstrak), perlu yakin dulu dengan ada-Nya. Andaikata kita tiada percaya
dengan adanya Tuhan bagaimana kita dapat sujud bakti kepada Dia. Oleh karena
itu perlu Craddha (keyakinan) dulu. Banyak fakta-fakta yang menyebabkan
keyakinan terhadap Tuhan itu timbul di dalam diri manusia. Bagi umat
kebanyakan keyakinan itu timbul berdasarkan Agama dan berdasarkan ajaran
Castra (dogma). Tetapi terdapat juga beberapa orang yang yakin adanya Tuhan
karena Anumana. Misalnya sering kita kagum mengenangkan betapakah besar
1
angkasa, andaikata terdapat ribuan matahari dan planit yang lebih besar dari dunia
kita sebagai yang diterangkan oleh sarjana ilmu falak. Siapakah yang mengadakan
benda-benda angkasa yang demikian besarnya itu ? Ahli tumbuh-tumbuhan
mengatakan bahwa maksud bunga berwarna indah tidak lain daripada untuk
menarik kumbang, hendaknya kumbang, hendaknya kumbang datang bertengger
di atas bunga untuk menghisap madu. Madu adalah upah bagi kumbang karena
jasanya dalam memindahkan tepung sari bunga jantan yang melekat pada bulu
kaki kumbang jantan itu ke dalam putik bunga betina, sehingga timbul
perkawinan bunga, pembuahan dan pembiakan. Konon di Himalaya terdapat
tumbuh-tumbuhan yang amat berbisa. Andaikata bisa daun tumbuh-tumbuhan itu
mengenai kulit manusia atau binatang mungkin manusia atau binatang itu akan
pingsan karena gatal bisanya. Tetapi aneh du mana tumbuh pohon berdaun
berbisa itu di sebelahnya tentu tumbuh pohon yang daunnya menjadi obat
penawar bisanya, hingga bila manusia atau binatang tersentuh oleh pohon itu
segera ia makan atau menggosokkan daun obat yang tumbuh di sebelahnya itu
maka gatal bisa itu tidak akan menjadi. Andaikata kita mengenangkan keanehan-
keanehan alam, maka timbullah keheranan di dalam hati, seolah-olah ada
kekuatan yang bijaksana dan cerdas yang mengadakan dan mengatur alam
semesta. Apa gerangan kekuatan itu ? Ada yang menyebut hukum alam, tetapi ada
yang mengatakan hukum kebijaksanaan Tuhan.
Dengan Anumana atau menarik kesimpulan berdasarkan gejala-gejala
keanehan alam kita percata akan adanya Tuhan. Makin banyak kita menemui dan
mengalami keanehan alam, berdasarkan pengalaman biasa maupun berdasarkan
keanehan-keanehan yang timbul karena penyelidikan ilmu pengetahuan, makin
kuat keyakinan kita akan adanya Tuhan Maha Kuasa. Selain daripada itu di antara
ribuan juta umat manusia terdapat beberapa orang yang dapat mengenal Tuhan
dengan Pratyaksa langsung merasakan atau mengalami ada-Nya, bagaikan
menjumpai manusia gaib yang tiada berbadan, tetapi dirasakan ada-Nya dengan
pengalam-pengalam gaib yang mengherankan. Kepada mereka itu, Tuhan
melimpahkan ajaran suci untuk membimbing umat manusia mencapai
kesempurnaan hidup lahir batin. Hanya orang beriman yang alat wahyu
2
(intuisinya) tajam karena amal kebajikan dan kesucian rohaninya dapat bermuka-
muka (Fratyaksa) dengan Tuhan dengan pengalaman gaib. Para Rsi dan Nabi
adalah orang suci yang dapat mengalami dan merasakan adanya Tuhan. Tuhan
membuka tabir kebesaran dan keagungan-Nya di hadapan mereka. Bagi para
Mahpurusa atau orang suci yang mendapatkan rahmat itu, Tuhan tidak menjadi
objek keyakinan lagi, melainkan pengalaman. Ia tidak menjadi objek agama atau
Anumana, Tetapi Pratyaksa. Andaikata para Rsi dan Nabi tidak mengalami dan
bermuka-muka dengan Tuhan bagaimanakah dapat dikatakan mereka itu
menerima wahyu, semua orang dapat mengatakan diri menerima wahyu dan
dapat menyusun kitab suci dan menyebut diri pesuruh Tuhan.
3
(Karena Dikau), yang bersifat Maha Mulia (Siwatwa) dan tak terbayangkan
(Nirawarana), dijadikan tujuan yang tertinggi (Paramartha).
Dengan memperhatikan sajak di atas dapat kiranya kita menginsafi bahwa
ajaran kerohanian adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui bukan sebagai
Karma Phala, Swarga-neraka, Moksa dan sebagainya, tetapi penciptanya, dan alat
untuk mengetahuinya bukan kecerdasan akal tetapi budi luhur yang memekarkan
alat wahyu (intuisi), yaitu salah satu bagian dari alam pikiran (psycho) yang
terdapat dalam diri manusia.
1) Wujud dan Sifat Agung Hyang Widhi Wasa sebagai Hyang Tunggal
(Tuhan Yang Maha Esa)
Dengan memperhatikan keanehan-keanehan dan luas semesta berjuta-
juta jenis isinya serta seimbang (harmony) jalinan antara yang satu dengan
yang lain, maka timbullah kekaguman di dalam hati bagaimana besarnya
kekuasaan Pencipta dan pengaturnya, bagaimana agung sifat Pencipta dan
Pengatur Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan, Hyang Widhi Wasa, Ciwa
atau Brahma. Di dalam kitab filsafat kerohanian Hindu sebagai Upanisad dan
Tattwa-Tattwa ajaran Ciwa banyaklah tercantum renungan-renungan
mengenai wujud dan sifat agung Tuhan Hyang Widhi Wasa (Siwa atau
Brahma itu). Di dalam Rg. Weda Samhita tercantum suatu sloka yang
berbunyi sebagai berikut :
Demikian juga Upanishad bagian Weda yang terakhir menyebut suatu rumus :
4
Hanya ada satu Tuhan (Brahman) tidak ada yang kedua.
5
kekuatan hukum alam dan sumber hidup segala makhluk Ia disebut Parama
Siwa (Nirguna Brahma). Parama Siwa (Nirguna Brahma) adalah Roh
(Paramatma) Bhuwana Agung (Cosmos) dan Jitwatma atau Atma (Siwaatma)
adalah baginya yang menjadi roh tiap-tiap makhluk. Parama Siwa (Nirguna
Brahma) bersenyawa dengan kekuatan hukum kodratnya (Cakti) yang juga
disebut Maya Tattwa atau Acetana, hingga menjadi maha kuasa dan bergelar
Sada Siwa (Saguna, Brahma) atau Icawara yang mengadakan, memelihara
pada alam tercipta (Srsti) dan melenyapkan alam semesta ke dalam
kekosongan pada waktu kiamat (Pralaya).
6
Petikan : Utpadaka na sadhakah
wirocanakaro nityah
sarmajana sarwakrdwibhuh
Sakti (Maha Karya), demikianlah Cadu Sakti (Empat Maha Kuasa) itu.
7
Selain dari keempat Sakti itu, Sada Siwa (Saguna Brahma) mempunyai
delapan sifat maha kuasa yang disebut Astaiswarya (Asta berarti delapan :
aiswarya berarti Maha Kuasa). Adapun Astaiswarya itu ialah :
8
tidak ada tempat yang kosong (vacuum) bagi Tuhan. Semua ruang angkara
dipenuhi-Nya. Prapti berasal dari Prapta yang artinya tercapai. Prapti berarti
segala tempat tercapai oleh-Nya, ke mana Ia hendak perti di sana Dia telah
ada. Prakamya (Pra Kama) berarti segala kehendak-Nya selalu terlaksana atau
terjadi. Isitwa (Isi Raja) merajai segala-galanya dalam segala hal paling utama.
Wisitwa artinya paling berkuasa dan Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada
yang dapat menentang kehendak dan kodrat-Nya.
Kedelapan sifat keagungan Sada Siwa, Tuhan Yang Maha Kuasa,
Saguna Brahma (Hyang Widhi Wasa) ini, disimpulkan dengan singgasana
teratai (Padmasana) yang berdaun bunga delapan (Astadala). Singgasana
teratai (Padmasana) Hyang Widhi Wasa, Sada Siwa adalah lambang simbol
kemahakuasaan-Nya dan daun bunga teratai berjumlah delapan helai
(Astadala) itu adalah lambang sifat agung kemahakuasaan (Ataicwarya) Sada
Siwa, Raja yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.
9
3) Kegaiban dan keajaiban sifat Tuhan (Widhi Suksma)
Hyang Widhi Wasa (Brahma) Tuhan seru sekalian alam, walaupun ada
dan Mahakuasa, dapat mencipta, mengatur alam beserta isinya dengan kodrat
kekuasaan-Nya sukar dibayangkan karena gaib (abstrak) dan ajaib wujud-Nya.
Sedangkan alam pikiran kita sebagai perasaan cinta, sedih, gembira yang kita
rasakan sehari-hari sukar dibayangkan apalagi wujud Tuhan yang amat
abstrak itu. Bila kita bayangkan wujud perasaan cinta, marah, gembira,
dengki, yang kita rasakan dalam hidup sehari-hari sungguh mengherankan.
Walaupun unsu-unsur pikiran itu ada namun seolah-olah tidak ada, dan sukar
dibayangkan karena suksma wujudnya. Demikian juga wujud Tuhan Hyang
Widhi Wasa, Siswa (Brahma) Dia sering disebut wujud “hana tan hana” yaitu
wujud yang ada tetapi tidak ada, karena gaibnya sering di dalam sastra-sastra
atau tattwa-tattwa, wujud-Nya itu dipersoalkan sebagai teka-teki belaka.
Walaupun tidak bertubuh, tidak berdarah, tidak pernah makan, tidak pernah
bernafas namun Tuhan hidup. Tuhan Siwa (Brahma) tidak berotak tetapi
dapat berpikirm tidak beralat perasaan atau berurat saraf namun dapat
merasakan, tidak bertangan tetapi dapat melakukan pekerjaan, tidak bermata
dapat melihat, tidak berhidung dapat mencium, tidak bertelinga dapat
mendengar walaupun kata hati segala makhluk sekalipun dapat didengarnya Ia
bermata, bertelinga, berhidung, beralat perasaan gaib di segala tempat.
bhutanan antarikswat
10
tan kagrahita dening manah mwang indriya
(Bhuwanokosa)
11
Arti : Bhatara Siwa, Dia ada di mana-mana
12
luputing bayu, apan bayunira ikang bayu,
13
hidupnya semua makhluk. Atau dapat diumpamakan Widhi atau Brahma itu
sebagai sumber tenaga listrik yang dapat menghidupkan setiap bola lampu besar
atau kecil di mana pun ia berada. Dalam hal ini bola lampu dapat diumpamakan
sebagai tubuh setiap makhluk dan aliran listriknya adalah atman. Jika bola
lampunya rusak, lampu tidak akan menyala (mati) walaupun aliran listriknya
maish tetap.
Adapun sifat-sifat Atman itu, antara lain menurut Bhagawadgita
(II.24.25)
- Achodya (tak terlukai oleh senjata)
- Adahya (tak terbakar oleh api)
- Akeldya (tak terkeringkan oleh angin)
- Acesyah (tak terbasahkan oleh air)
- Nitya (abadi)
- Sarwagatah (di mana-mana ada)
- Sthanu (tak berpindah-pindah)
- Acala (tak bergerak)
- Sanatana (selalu sama)
- Awyakta (tak dilahirkan)
- Achintya (tak terpikirkan)
- Awikara (tak berubah dan sempurna tidak laki-laki dan perempuan)
Memang Atma itu sempurna tetapi manusia itu tidaklah sempurna,
walaupun yang menghidupi Atma. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan
persatuan atma dengan badan jasmani menimbulkan awidya (kegelapan). Jadi
manusia lahir dalam keadaan awidya yang menyebabkan ketidaksempurnaannya.
Atman tetap sempurna tetapi manusia tidaklah sempurna, bahkan bisa mati.
Walaupun manusia mati, atma tetap tidak bisa mati, hanya badan yang mati dan
hancur sedangkan atman kekal. Badan berpisah dengan atmannya waktu mati,
sedangkan atma yang tidak mati itu mengalami surga atau neraka sesuai dengan
perbuatan baik atau buruknya. Tetapi atma (Jiwatma) itu tidak menetap di sana
untuk selama-lamanya, ia akan punarbhawa atau lahir kembali mengambil wujud
14
baru sesuai dengan karma phalanya. Dan bukan sekali saja, tetapi lahir berulang
kali. Penjelmaan terus lanjut sampai manunggal dengan Sanghyang Widhi.
15
yang baik yang berbuat jahat akan mendapat hukuman. Apa saja yang dibuatnya,
begitulah hasilnya. Bagaimana dicetak begitulah hasilnya. Apa yang ditanam
begitulah tumbuhnya, menanam jagung tentu tumbuh jagung, menanam ketela
tumbuhlah ketela dan sebagainya.
16
selalu menderita tekanan batin. Ini adalah disebabkan oleh pengaruh karma dari
leluhurnya yang langsung dapat mempengaruhi keturunannya.
Jadi dengan demikian hukum karma itu tidak saja memberi pengaruh pada
orang yang bersangkutan baik dalam hidup di dunia ini, di akhirat maupun dalam
penjelmaannya yang akan datang, namun juga berpengaruh besar terhadap
keturunan. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa seseorang harus tinggal diam
atau tidak berbuat atau berkarma. Karma Bhagawad Gita menegaskan bahwa
orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja juga ia tidak
mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja.
Oleh karena itu ajaran agama menekankan benar hendaknya manusia
berlaku tidak menyimpang dari petunjuk kerohanian atau Dharma. Karena akibat
perbuatan jahat atau dosa itu sangat berat hukumannya dan hukum itu akan
dijatuhkan dari pengadilan yang tidak tampak oleh manusia yang dapat
menjerumuskan orang jahat itu ke dalam api nereka di akhirat. Demikianlah juga
penderitaan batin atau tekanan hidup yang datangnya tidak disadari dan datangnya
17
perlahan-lahan, kalau tidak pada waktu hidup ini, mungkin di akirat dan dalam
perjalanan yang datang atau akan diterima oleh anak cucunya. Namun orang yang
mempergunakan dharma sebagai tujuan hidupnya yang utama, dan mengabdi
terhadap sesama makhluk dan beramal saleh untuk kesejahteraan sesama makhluk
serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka orang itu akan mendapat
berkah dari, Ida Sanghyang Widhi yakni kebahagiaan akhirat (surga). Jika roh
(atma) itu akan menjelma kembali maka ia akan dapat mengenyam kebahagiaan
hidup di dunia.
Banyak terdapat orang yang walaupun hidupnya nampaknya sederhana
tetapi ia mempunyai jiwa yang tenang dan bahagia. Di samping itu banyak pula
orang yang nampaknya dari pandangan luar sangat bahagia karena Ia memiliki
timbunan harta kekayaan yang banyak serta menghambur-hamburkan nafsu
duniawi, namun hatinya penuh dengan penderitaan dan kedukaan yang berjenis-
jenis misalnya pikiran tidak tenang, selalu merasa was-was lantaran berbuat
kurang baik dalam mencari kepuasan duniawi itu dan sebagainya. Karena hal
tersebut itu adalah disebabkan oleh buruk perbuatannya masing-masing.
18
dinikmati dalam hidupnya yang akan datang serta ada halnya juga akan dinikmati
kelak. Berdasarkan atas cepat lambatnya untuk menikmati hasil dari karma itu
maka karma phala itu dibedakan atas tiga macam yaitu :
1) Sancita Karma Phala : adalah pahala perbuatan yang terdahuli yang belum
habis dinikmati dan masih merupakan benih untuk menentukan keadaan
kehidupan sekarang. Jadi orang lahir ke dunia ini membawa pahala dari
karmanya yang lampau.
2) Prarabda Karma Phala : karma yang dilakikan pada saat hidup sekarang ini
dan hasilnya pun telah pula dapat dinikmati dalam masa penjelmaan hidup ini
juga.
3) Kriyamana Karma Phala : yaitu perbuatan yang hasilnya belum sempat
dinikmati dalam waktu berbuat dan akan dinikmati kelak pada masa hidul
Dengan adanya tiga macam karma phala tersebut maka jelaslah bahwa
orang yang dalam hidupnya itu berbuat baik, berpedoman pada dharma atau
kebajikan akan tetapi hidupnya menderita atau sengsara mungkin akibat dari
Sancita karma yang buruk, yang mau tak mau ia harus merasakan buahnya
sekarang. Dan karma baik yang ia lakukan itu merupakan simpanan untuk dapat
dinikmati kelak. Sedangkan orang yang selalu berbuat buruk namun tampaknya
bahagia berarti hasil dari karma baiknya terdulu namun kelak pastilah mendapat
hukuman.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan kini atau kemudian segala
pahala dari suatu perbuatan pasti akan diterima karena hal ini sudah merupakan
hukum. Patut diingat di dalam hidup kita ini bahwa disamping kita menikmati
karma yang bersifat Sancita juga sebagian ada yang Prarabda dan sebagian lagi
Jadi dengan demikian maka karma dan karma phala yang disebut
hukum karma itu tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga oleh makhluk apa
19
pun juga. Karena makhluk yang hidup pasti akan berbuat atau
malangnya nasib setiap makhluk itu masing-masing. Seseorang yang telah yakin
hidupnya menderita di dunia ini, maka ia pun tidak menyesal. Karena hal itu
pun tidak sudi lagi akan berbuat jahat dalam mengulangi penderitaan hidup
yang sedang dialaminya. Justru karena itu maka ia ia pun malah anak lebih bergiat
lagi berusaha melakukan karma yang baik, demi kebaikan daripada Prarabda dan
Kriyamana Karmaphala kelak. Sebab meyakin bahwa hidup ini adalah
merupakan suatu perbuatan yang (suci) (subha karma) dan dengan subha karma
itu sajalah orang
Suhha asubha karma artinya perbuatan baik atau buruk atau amal dosa
perbuatan. Jika ditinjau dari segi nilainya, maka segala perbuatan karma dan tiap-
tiap makhluk itu ada baik dan buruknya. Tidak yang seluruhnya baik atau tidak
ada pula yang buruk semuanya. ‘Tan hana wang wasta mulus” dada gading yang
retak. Kendatipur dernikian kita sebagai umat beragama. sebagai makhluk
termulia yang berbudi berakal dan sebagainya, hendaknya selalu berusaha dapat
berbuah baik serta mengurangi bahkan melenyapkan segala perbuatan yang tidak
20
baik atau subha karma. Kita perlu berbuat baik, sebenarnya adalah untuk
menolong diri kita sendiri, sebab perbuatan baik dan perbuatan atau subba asub
karma itulah yang menjadi penentuan dan buruk atau kemalangan nasib kita lahir
batin, Subha dan asubha karma itu yang merupakan tema hidup yang tersedia dan
yang erat serta pernah berpissah. Hal ini dengan jelas diuraikan dalam Sarasamuci
sebagai berikut:
(Sarasamccaya 32)
(Sarasamuccaya 18).
21
Maksudnya :
Karma Wasana
22
Dengan Sadirinya pula segala bekas-bekas dan gerak atau perbuatan-perbuatan
yang melekat pada alan pikiran semasih manusia ini hidup, turut menjadi
Suksama samranya bila manusia meninggal.
kawekas ta ya ambonya
Maksudnya :
23
Di atas telah dikatakan bahwa segala gerak dan perbuatas bersumber pada
dalan, pikiran (cita) dan segala bakas gerak-gerak atau segala catatan – catatan di
alam pikiran di dalam alam pikiran itu. Maka roh itu akan mendapat neraka dan
kesengsaraan. Tetapi jika catatan – catatan yang terdapat di dalam alam pikiran itu
penuh dengan buha karma roh itu pikirannya mendapatkan kebahagiaan akhirat
atau kebahagiaan dalam penjelmaannya yang akan dating. Akan tetapi bila alam
pikiran itu dapat terlepas dari ikatan keduniawian serta penuh dengan sifat – sifat
kebajikan atau dharma maka alam pikiran dan panca tanmtra itu tidak lagi
membalut atma sehingga atma bebas kembali ke asalnya yaitu paramat,a inilah
yang dinamakan moksa.
Setelah selesai batas waktu mengalami sorga ataupun neraka sesuai degan
ketentuan jenis karma phala yang patut dinikmati di akhirat maka atma akan
menjelma kembali ke dunia. Proses kelahiran bentuk kehidupan berikutnya dalam
ajaran filsafat Hindu di sebut “punaribhan”. Dan rangkaian dari semua
Punarbhawa itu disebut “samsara”. Dalam bhagawad Gita disebutkan sebagai
berikut:
24
a. Bahuni me wyatini
Jarmanitawa ca arjuna
Artinya :
Banyak kehidupan yang ku-telah jalani dan demikian pula engkau arjuna.
Semua kelahiran itu aku ketahui tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya
arjuna.
b. Ajo pi sannawyayatma
Sambhawany atmamayaya
Artiya :
Meskipun aku tidak terlahir dan sikap-ku kekal serta menjadi iswara dari
segala mahluk akan tetapi aku, dengan memegang teguh pada sifat-ku sendiri.
Ak dating menjelma dengan jalan maya-ku
25
pertentangan sifat-sifat atma itu dengan teori kelahiran kembali atau penjelmaan
kembali yang disebut punarbhawa itu.
Dalam hubungan ini patut diingat bahwa yang dimaksud dengan kelahiran
atau npenjelmaan kembali dalam pengertian punarbhawa adalah suatu peristiwa
atau keadaan di mana jiwatma yang kekal itu bertemu kembali dengan badan baru
setelah meninggalkan badan yang lama sebagaimana seorang melepaskan bajunya
yang sudah robek dan memakai yang baru demikian juga keadaan yang sejati,
jiwatma, membuang yang telah hancur dan engambil yang lainnya adalah
pengalanan karma itu sendiri yang langka dapat dialihya oleh jiwatma.
Sentara yang lainnya lahir di dalam kemiskinan panuh derita kurang berbakat
dalam berbagai pentuk Kejahatan, sakit-sakitan, berhati kolot dan bercacat tubuh.
Ada orang yang mempunyai kemampuan batin luar biasa sedangkan yang lainnya
bodoh dan idiot. Ada orang berbakat untuk menjadi orang suci atau Yogi,
sedangkan yang lainnya berbakat dalam bidang judi, pemabuk, perampok, dan
sejenisnya. Ada pula orang yang sejak kanak-kanak sudah tampak mempunyai
baka-bakat seperti kesenian, bahasa, ilmu pasti, kesusastraan, musik, pertukangan.
lain-lain. Berdasarkan adanya kenyataan kehidupan tersebut timbullah pertanyaan.
Faktor apakah yang menyebabkan perbedaan itu mungkin dapat timbul
bermacam-macam jawaban antara Lain.
26
1. Perbedann keadann kehidupan tersebut terjadi karena suatu kebetulan saja.
Tentu jawaban ini tidak dapat diterima kebenarannya, sebab menurut hukum
karma ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tampa sebab.
27
atau sekarang ini akan menjadi lampau di masa ujian. Dengan kata lain hal itu
berarti jelas ada Punarbhawa.
Setiap karma yang dilakukan atas dasa hanya untuk pemuas dorongan
kenafsuan/indera belaka, adalah bersifat asubha karma, yang akibatnya
menimbulkan dosa, serta atma itu akan menjadi neraka dan selanjutnya akan
megalami Punarbhawa dalan tingkatan yang lebih rendah. demikian pula
sebaliknya, bahwa karma yang dilakukan atas dosa budhi satwam adalah besifat
subba karma, yang mengakibatkan akan dapat mencapai Sorga pun jika menjelma
kembali maka akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna.
Atma yang menjelma dari surga akan menjadi manusia hidupnya berbahagia
lahir di dunia. Kebahagiaan yang dialami dalam penjelmaan ini disebut “Swarga
cyuta’. sedangkan atma yang menjelma dari neraka akan menjadi makhluk yang
maha kuasa dan akan mengalami bermacam-macam penderitaan hidup ini disebut
neraka “Cuta”.
Dengan demikian maka jelaslah bagi kita bahwa keadaan serta macam-macam
tingkatnya penjelmaan itu adalah berleda-beda tergantung daripada jenisnya
penilaian subha karma phala yang patut diterima oleh atma bersangkutan sesuai
dengan takdir yang ditentukan oleh Tuhan yang maha Kuasa. Dalam hubungan ini
Slokantara menyebutkan sebagai berikut,
28
Paskinam narakam wyalo wyamlam nerakah damstri
(Slokantara 13.14).
Artinya:
Jika direnungkan alangkah niscanya dan betapa pula berati pendenitaan, yang
dalami dalam. situasi penjelmaan yang diakibatkan asubha karma tersebut. Kita
yang telah dapat menjadi manusia dalam penjelmaan ini patutlah merasa bersukur
karna tingkat penjelmaan yang kita alami ini adalah tingkat penjelmaan yang
tentinggi demikian jalan yang kita tempuh untuk mencapai tingkatan berakhirnya
penjelmaan itu adalah lebih pendek, jika dibandingkan dengan tingkat penjelmaan
daripada menjadi makhluk yang lebih rendah lainnya.
29
nimittaning mangkana, wenang yang tumulung
(Sarasanuacaya 10).
Arttnya:
E. Moksa, keyakinan anak kebahagiaan yang abadi bebas dari kelahiran kembali
Tujuan hidup umat Hindu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir batin
moksartham jagathita. Kebahagiaan batin yang terdalam ialah bersatunya atman
dangan Brahman, yang disebut Moksa. Moksa inilah juan terakhir dan tertinggi
dari umat Itindu. Moksa berarti kebebasan atau kelepasan. Moksa dalam istilah
lainnya sering pula disebut Mukti atau Nirwana. adapun yang dimaksud dengan
“Kebebasan atau Kelepasan” dalam arti kata Moksa itu adalah bebasnya atau
terlepasnya Atma dari segala ikatan, bebas atau terlepas dari belenggu ikatan
maya, bebas dari ikatan hukum karma dan Samsara atau Punarbhawa, sehingga
atma dapat kembali degan asalnya yaitu Ida Sanghyang Widli Wasa serta dapat
pula mencapai kebenaran tertinggi, mergalami keteneraman dan kebahagiaan yang
kekal dan abadi yang disebut Sat= kebenaran Cit= kesadaran (Sat= kthenaraman,
Cit= kesadaran, ananda=kebahagiaan). Kebahagiaan dalam Moksa adalah sukha
tari pawali dukha yaitu suatu keadaan kebahagtaan yang tiada disusul oleh
30
kedukaan. dalam hidup kita sehari-hari maka setiap kebahagiaan atau kegenbiraan
senantiasa diikuti oleh kedukaan atau suka duka itu selalu bergan dengan tangan.
Hal inilah yang perlu
Seperti kita ketahui bahwa pada hakikatnya semua makhluk ingin untuk
membebaskan dirinya dari kurugan untuk bersatu kembali dengan asalnya. Seekor
burung yang dikurung dalam sangkar senantiasa ia mengais-ngaiskan cakarhya
pada dinding sangkar karena ingin lepas dari kurungan itu. Seekor kera yang
diikat sebagai kegemaran senantiasa pula ingin bebas dari ikantan itu. Bahkan
beda sekalipun juga rupa-rupanya ingin bebas dari bentuk kurungan. Misalnya api
yang dikurung dengan Lapisan gunung berapi ia mendesak-desak atau menekan
lapisan tanah tersebut dan suatu saat dalam bentuk letusan. Air yang dikurung
dangan gelas senantiasa ia mendesak dinding gelas itu karena ingin bebas dan
kembali bersatu dengan asalnya yaitu:
1) Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai terutana oleh para Maha
Rsi. Pada waktu sedang melakukan samdh,. segala unsure-unsur maya sperti,
emosi, pikiran jasmani itu telah dapat dikendalikannya dan disertai kemekaran
intuisinya, sehingga beliau dapat langsung kembali keadaan demkian itu Atma
dapat berdek intimacy dengan Tuhan. Sedangkan setelah selesai renungan
spiritual atau samadhi itu maka keadaan beliau lagu. sebagai biasa di mana
emosi, pikiran dan organ jasmani aktif kembali. Jadi kebebasan yang dapat
dicapat bersifat mementara
31
3) Salokya dalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atma di atma itu
sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang dengan Tuhan, akan
tetapi belum dapat bersatu padu dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu
dapat dikatakan bahwa atma itu mencapai tingkatan yang merupakan
manifestasi dari sinarNya Tuhan
4) Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, di mana telah dapat
bersatu padu atau bersemayam dengan secara ide dengan Tuhan dan tidak
terbebaskan ole siapa pun juga, sehingga benar-benar telah mencapai
“Braknna Atma aikyam” yakni Atma dengan Tuhan betul-betul telah menjadi
tunggal.
Lain daripada yang telah tersebut di atas maka ada lagi istilah lain yang untuk
membedakan tingkat kebebasan atau moksa yang dibedakan atas tiga tingkatan
yaitu
1) Jiwa mukti ialah satu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidup, di mana
atma terengaruh oleh indriya dan unsur-unsur maya lainnya. Dengan demikian
maka jiwa mukti sifatnya sama dengan samapya dan sarupya/ sadharnya.
32
Demikian tingkatan-tingkatan kebebasan atau moksa yang dialami oleh atma
dari tahap permulaan sampai dengan tahap terakhir/tertinggi sesuai dengan
keadaan dan posisi. atma itu sendiri.
CATUR MARGA
Catur marga yog adalah empat jalan atau cara untuk mencapai kebebasan atau
untuk menuju bersatunya atman dengan Paramata. Catur Marga yang meliputi
1. Bhakti yoga
2. Karma yoga
3. Jnana Yoga
4. Raja yoga
33
penjelmaan yang akan datang (swarga cyuta). Karena rakhmat Tuhan yang
dicintainya seorang Bhakta akan merasakan hidup tenang dan tenteram dan bila
atmanya meninggalkan jasmaninya atmanya itu akan mencapai brahmaloka atau
Sila Loka dan menunggal dengan Brahma atau Siwa. Dengan menyerahkan diri
atau sujud terhadap Tuhan, Tuhan akan menuntun dia ke jalan yang lurus hingga
sempurna sila dan budinya. Orang yang betul-betul cinta dan menyerahkan diri
kepada Tuhan Mahadewa (Tuhan Raja Alam yang Pengasih dan Penyayang) tiada
akan berpaling dari kebenaran kelurusan laksana dan kesucian batin dan tiada
akan jatuh ke lembah dosa dan malapetaka. Iswara akan memelihara dan
melindungi orang yang beriman itu supaya hidupnya tetap tenang dan tenteram.
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah
Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas. Bila perasaan bakti melekat dan mendalam,
Tuahn akan dijumpai berhadap-hadapan, bagai sahabat Agung yang Maha Murah,
yang menolong di waktu kesusahan. Dia dalam bakti Marga iswara akan dijumpai
tidak sebagai sumber alam yang abstrak tetapi sebagai wujud hidup yang tiada
berbadan kasar tetapi terasa adanya. Alangkah bahagia seseorang dapat berhadap-
hadapan dengan pencipta alam Yang Maha Besar tiu sedangkan dapat berjumpa
dengan tokoh besar saja orang telah merasa bangga. Tetapi seberapakah gerangan
orang yang dapat bertemu dan mengalami (pratyaksa) wujudnya yang suksma dan
amat sukar dialami dan dijumpai itu. Di antara ratusan juta manusia, mungkin
hanya satu dua yang dapat bertemu dengan Dia. Beberapa Rsi-Risi dan nabi-nabi
yang alat wahyu atau instuisinya mekar karena kemuliaan pribadinya dan karena
rahmat Tuhan, dapat mengalami wujud-Nya. Dengan jalan sujud bakti Iswara
akan membuka pintu-Nya, maka umat yang cinta kepada-Nya dapat berjumpa
dengan Dia.
34
Artinya : tiada karna Weda, tiada karena tapa, tidak sedekah pun tidak karena
pemujaan berupa kurban aku dijumpai berujud sebagai yang kau lihat
itu.
Artinya : Hanya dengan sujud bakti, Arjuna, Aku dapat dijumpai berwujud
sebagai ini. Setelah benar-benar mengenal dan melihat wujud-ku akan
kembali bersatu dengan Aku, Parantapa.
Petikan 3 : Sat Kamakrn mat parama, mat bhaktah sanggawarjitah, nir wairah
sarwahutesu, yah sa mameti Pandawa. (Bg. 11. 55)
Artinya : Orang yang bekerja untuk-Ku, memakai Aku sebagai tujuan, dan
sujud bakti kepada-Ku, terlepas dari ikatan duniawi, dan tiada pernah
membeci makhluk apa pun, dia akan mencapai Aku, wakau Pandawa.
35
Petikan : OM sembahning anatha, tinghalana de tri loka sarana, wahya dhya
tmika sembahning hulun, I Jengta tan hana waneh, sang iwit Agni
sangken tahen, kadi mihak saking dadhi kita, sakast metu yan hana
wang, amutur tutur pina hayu.
Artinya: OM Tuhan mohon disaksikan sujudku, 0 pelindung tri buana, lahir batin
sembahku kepada Mu, Tiada lain yang bagaikan api di dalam kayu,
bagaikan minyak dalam susu, yang nyata-nyata Muncul (manifest) pada
orang yang beriman yang mengamalkan ajaran suci.
Karma Yoga
Karma yoga atau karma marga adalah jalan untuk mencapai kesempurnaan
(moksa) dengan kelakuan berbuat kebajikan ; namun tidak terikat oleh nafsu
hendak mendapat hasilnya terutama yang berupa kemasyuran, kewibawaan,
keberuntungan dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk
mengabdi, berbuat amal dan kebajikan, untuk kesejahteraan umat manusia dan
makkluk lainnya. Selain daripada itu karma marga berhampiran inti ajarannya
dengan bhakti marga, yang manyerahkan segala usaha di tangan Tuhan, dan
memandang segala usaha pengabdian kebajikan, amal dan pengorbanan itu bukan
dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan. Dengan memandang segala usaha
untuk kesejahteraan bersama manusia dan makhluk adalah semua dari Tuhan dan
bukan dari dirinya sendiri dan melakukan kewajiban tanpa ikatan, maka jiwa
karma yogi, orang yang beriman yang menempuh karma marga sebagai jalan akan
dapat menunggal dengan Parama Siwa atau (Brahma). Di dalam kekawin
Ramayana, Rama bernasihat kepada Wibisana bagaimana seharusnya menjadi
abdi, giat melakukan kewajiban untuk melakukan kesejahteraan rakyat tanpa
ikatan nafsu untuk mendapatkan kekayaan, kenikmatan hidup dan kemasyuran,
atau untuk mendapatkan kewibawaan, nasihatnya sebagai berikut:
36
Petikan 1: Prihen temen dharma dumaranang sarat, saraga sang sadhu sireke
tutana, tan artha tan kamaPidonya tan yasa, ya sakti sang sajana dharma
raksaka. (Ramayana 24081)
Artinya : utamakan benar hukum keadilan dan kebajikan yang melindungi dunia,
hendaknya cita-cita orang budiman itu di turuti, yang tidak hendak
(gelisah ) mendapat harta, nafsu dan kemasyuran, adpun kemuliaan
orang budiman adalah sebagai pelindung dharma ( beramal dan
mengabdi, mempertahankan keadilan )
Petikan 2 : sakan ikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatan
rumaksa ya, ksayan ikang papa nahan prayojana, jana nuraga di tiwin
kapangguha. (Ramayana 24.28)
Tidak hanya rakyat yang yang cinta tetapi Tuhan pelindung dharma pun
akan merahmati orang yang berbudi mulia, yang melakukan kewajiban dengan
berpedoman sepi ing pamrih rame ing gawe (pengabdian) untuk masyarakat, dan
umat manusia. Selain daripada itu Tuhan akan membuka pintunya, sehingga
penganit Karma Yoga dapat berhadapan dan menyatu dengan-Nya.
37
menghalang dan tiada akan gentar menghadapi pahit getirnya perjuangan hidup
untuk kebenaran, keadilan, dan kesucian.
Artinya: tetap tenang dengan apa yang menimpa, dapat mengatasi pasang surut
perasaan, tiada mementingkan diri dan memandang, dengan perasaan
yang sama, menghasilkan atau tidak usahanya, seseorang tidak akan
terbelenggu oleh Karma.
Artinya: orang terlepas dari ikatan nafsu, bebas, yang di jiwanya tegak dalam
kebijaksanaan, dan melakukan kewajiban demi untuk pengorbanan,
segala karmanya akan mendidih.
Artinya: Hanya dengan melakukan Karma Marga, raja Janaka dan lain – lain
(orang yang berjiwa besar) mendapat kesempurnaan, hanya araahkanlah
perhatianterhadap kesejahteraan rakyat (umat manusia) kamu harus
melakukan kewajiban.
38
Demikianlah untuk mencapai kesempurnaanatau moksa dapat dicapai
dengan kewajiban yang dilaksanakan dengan tanpa ikatan nafsu duniawi.
Jnana Yoga
Jnana Yoga atau Jnana Marga adalah suatu jalan atau usaha untuk
mencapai kesempurnaan (Moksa) dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat.
Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, terdapat
para arif bijaksana (jnanin) yang berusaha mencapainya dengan keinsyapan,
bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu
sumber alam yang di dalam kitab suci weda disebut purusa atau brahma, dan
didalam ajaran suci siwapaksa disebut siwa. “sarwam idam khalu Brahman”
segala yang ada di alam tidak lain daripada Brahman. Demikianlah disebut
didalam upanisad, bagian weda yang menerangkan Brahman atau purusa, sebagai
sumber unsur-unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala
benda yang ada di alam. Brahma (siwa) sebagai sumber segala, mempunyai
kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat atau sifatnya, yang menyebabkan
brahma (siwa) berubah menjadi serba segala rohaniah maupun jasmaniah (skala
niskala). Kekuatan hukum kodrat atau sifat bharma itu disebut maya atau Prakerti
dan untuk siwa disebut sakti, maya tatwa atau juga acetana. Bila Brahma tidak
dipengaruhi oleh hukum kodrat (sifat )-Nya yang disebut maya atau Prakerti
(Sakti), Maya Tatwa atau Acetana itu, ia disebut nirguna (Parama) dan Brahma
(siwa) dipengaruhi oleh hukum kodrat (sifat)-Nya itu disebut Saguna (Sada).
Nirguna Bharma (Parama Siwa) adalah roh (Paramatma) alam semesta yang
menjadi inti penggerak hukum peredaran alam, dan seguna Brahma (Sada Siwa)
ialah perwujudan Brahma (Siwa) yang disebut Iswara (Raja alam), Sang Hyang
Widhi Wasa penggerak peredaran alam maha kuasa sehingga dapat mencipta
(Utpatti), mengatur (Stiti), dan melebur mengembalikan pada asalnya (Pralina).
39
Denan menginsyafi bahwa segala yang baik jasmani maupun rohani benda
yang berwujud (Sthula) maupun absrak (Sukma) bersumber pada Brahma atau
Siwa, maka bijaksanawan (Jnanin), memandang bahwa benda jasad dan wujud
rohani (alam pikiran dan sebagainya), yang timbul dari Brahman (sanifes) adalah
benda dan wujud sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahma (Siwa) yang
Maha Agung yang sungguh-sungguh ada dan mutlak (absolut). Apalah artinya
serba benda yang terdapat di alam bagi orang yang bijaksana yang mengenal
keabadian, kemutlakan dan keagungan Bharma itu, bagaikan tetesan embun
dengan samudera, demikianlah kecilnya serba benda kalau dibandingkan dengan
Brahma (Siwa). Apalah manfaat dunia yang serba nisbi (relatif) itu bagi orang
bijaksana (Jnanin) yang insyaf dengan keagungan wujud Brahma (Siwa). Hanya
awidya (kurang bijaksana) menyebabkan manusia terikat oleh benda-benda
keduniawian itu. Sedangkan kalau direnungkan justru manusia sering diombang-
ambingkan oleh pasang surut gelombang benda uniawi yang menimbulkan
perasaan duka (Dukna), dengki (Irsya) marah (Krodha, dwesa), gelap (Moha) dan
lain-lainnya. Bagi orang bijaksana (Jnanin) kenikmatan duniawi hanya memberi
kenikmatan dan kebahagiaan sementara, yang sering menimbulkan perasaan duka,
marah, dengki dan sebagainya, andai kata kenikmatan yang berdasar serba benda
itu tiada menjelang lagi. Bagi para Jnanindunia beserta isinya adalah maya,
bayangkan sementara dari yang mutlak dan Yang Maha Agung yaitu Brahma
(Siwa). Oleh karena itu sungguh sia-sia andai kata manusia terikat oleh benda
kenikmatan duniawi yang sering menggoncangkan hidup dan ketentraman
sukmanya.
Selain daripada itu kitab suci Weda mengatakan bahwa atma atau
jiwatman bahwa roh tiap-tiap makhluk sama wujud dan sifatnya dengan Nirguna
Brahma (Paramatma) atau (Parama Siwa). Brahma atma akyam, Brahma dan atma
tunggal. Tunggalnya atma dan Nirguna Brahma bagaikan udara dalam ruangan
dengan udara di angkasa, sedangkan ikatan perasaan dengan benda duniawi
adalah penghalang untuk menunggalkan atama (Siwatma) dengan Nirguna
Brahma (Paramatma atau Parama Siwa) itu. Oleh karena itu, para Jnanin
(bijaksanawan) berusaha menghindarkan diri dari ikatan nafsu (Indriya) terhadap
40
objek keduniawian (Wisaya) yang bersifat nisti (ksanika) itu. Mereka berusaha
mengarahkan pikiran dan perasaannya terhadap Yang Maha Agung dan mutlak
yakni Brahma (Siwa), hingga mereka dapat kebahagiaan abadi dan ketentraman
yang cerah gemilang disebut ananda dan akhirnya Jiwatmanya (roh) manunggal
dengan Nirguna Brahma (Paramatma, Paramasiwa). Para Jnanin (bijaksana)
berdikit dikit dapat melepaskan diri dari belenggu nafsu duniawi hingga jiwanya
murni bagaikan teratai, waalupun tumbuh dalam lumpur tetapi tidak terkena
kotornya. Dengan Jnana (kebijaksanaan) mereka dapat mencapai dharma dan
member kebahgiaan lahir bathin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (swarga)
dan dalam penjelmaan yang akan datang. Dalam putaran hidup selanjutnya, pada
akhirnya tentu mereka dapat menginjak alam moksa yaitu kebahagiaanyang kekal
yang menyebabkan roh (atma) bebas dari penjelmaan kembali.
Artinya: Orang yang jiwanya tidak terikat oleh sentuhan duniawi, mendapat
kebahagiaan batin, orang yang sukmanya selalu menunggal dengan
Brahma itu, dapat mengenyam kebahagiaan yang abadi.
Petikan 3: Yo’ntah suklo, ntaramas, tat hi antar jyotir ewa yah, sa yogi brahma
nirwanam, Brahmabhuto’dhigacchati.
41
(Bhagawad gita 5.24)
Dia dalam batin yang cerah tenteram yang disebut ananda itu, Brahma
sumber segala, yang juga disebut sat (kebenaran yang Maha Agung) dapat dialami
dan diketahui langsung (Pratyaksa Pramana). Selain daripada itu, terdapat juga
orang bujaksana (Jnanin) yang tidak memikirkan keagungan Brahma (Siwa)
melainkan menempuh jalan pendek, yaitu dengan memandang bahwa nafsu
adalah musuh yang paling buas, yang menggoncangkan ketentraman batin. Nafsu
memperbudak manusia sehingga terjerumus ke lembah dosa dan malapetaka.
Nafsu timbul karena awidya (kurang bijaksana). Dari nafsu yang disebut raga,
muncullah marah (dwesa) iri hati (matsarya) mabuk atau angkuh (mada) dan
kegelapan pikiran maupun kesusahan (moha). Orang bijaksana (Jnanin)
memandang nafsu, kemarahan, iri hati, angkuh, kegelapan pikiran dan susah itu
sebagai enam musuh di dalam diri yang perlu dibasmi yang disebut sda ripu.
Petikan 4: Ragadi musuh maparo, rihatya tonggwanya, tan madoh ring awak.
Andaikata dapat membasmi keenam musuh dalam diri itu, jiwa (roh) tentu
akan murni (suci) dan dapat mencapai dharma (sila dan budi luhur) dan akhirnya
kebahagiaan abadi dan kebebasan roh dari penjelmaan akan dicapai.
Raja Yoga
42
Raja yogi adalah cara atau jalan untuk dapat mengetahui kerahasiaan dan
berhubungan dengan Sanghyang Widdhi dengan melalui tapa, brata, yoga dan
semadhi. Tapa dan brata dapat dirtikan suatu latihan yang tidak henti-hentinya
untuk mengendlikan indria. Yoga dan Semadhi merupakan latihan untuk
menghubungkan dan menyatukan atma dengan Paramatma.
Dalam Bhagawad gita Kresna menjelaskan tentang raja rahasia dari ilmu
pengetahuan. Kerahasiaan kebenaran brahmaitu tidak dapat dimengerti hanya
dengan berteori atau berargumentasi saja. Hal itu hanya dapat dimengerti hanya
dengan pengalaman atau pengamatan langsung (pratyaksa pramana). Orang yang
dapat menumbuhkan kesadaran diri serta mengabdikan dirinya sepenuhnya
kepada Sanghyang Widdhi akan dapat mengetahui hakikat kebenaran Brahma.
Orang seperti itulah disebut seorang raja yogin.
Petikan: Maya tatam idam sarwam jagad awyakta murtina, matsthani sarwa
bhutani na cha’ham tesw awasthitah.
Artinya: Aku berada dimana-mana dalam alam semesta ini dengan bentuk Ku
yang tidak terwujud, semua makhluk berada dalam Ku, tetapi Aku
tidak berada di dalam mereka.
Pengetahuan tentang sarwam idam kalu Brahman atau segala yang ada di
alam tidak lain dari Brahman, atau Brahman atman aikyam artinya Brahman dan
atman itu tunggal adalah suatu pengetahuan yang di dapat secara langsung oleh
seorang raja yogin. Pengetahuan itu didapatnya antara lain melalui yoga dan
43
sanadhinya. Dengan demikian orang yang menempuh jalan raja yoga untuk
mendapatkan kebahagiaan yang abadi dalam penunggalan dengan Ida Sanghyang
Widdhi akan melalui suatu disiplin yang keras, baik beberapa tapa brata yoga
ataupun Samadhi.
Setiap orang dapat memilih salah satu jalan yang disediakan dengan
terlebih dahulu menyesuaikan dengan tingkat kemampuan diri sendiri. Perlu pula
diingat bahwa tujuan yang dicari dan akan dicapai adalah sama dan satu yaitu
berupa kebahagiaan abadi diri penunggalan dengan Sanghyang Widdhi.
Pemgetahuan filsafat sebenarnya dapat memberikan kejelasan bagi setiap orang
tentang akekat hidup. Bagi orang-orang yang telah memahami dan menghayati
ajaran-ajaran filsafat kerohanian akan mengerti apa yang mesti dikerjakannya, apa
yang tidak patut dikerjakannya. Selanjutnya ia akan menyadari bahwa tujuan
hidupnya adalah untuyk melepaskan atmanya dari ikatan maya lalu dapat bersatu
kembali kepada sangkan paramnya yaitu Sanghyang Widdhi . Untuk dapat
mencapai kesadaran tentang hakikat ilmu pengetahuan dan filsafat itu tentu mesti
ada usaha belajar yang terus menerus. Dimana dengan ketekunan dan usaha yang
tidak kenal henti pada saatnya tentu akan tercapai tujuan yaitu kebebasan yang
abadi, bebas dari penjelmaan kembali menunggal dengan Brahman, mencapai
moksa.
4.4.3 Rangkuman
44
BUKU MATERI POKOK 4
KEMASYARAKATAN HINDU
MKDU4204/2SKS/04
OLEH:
45
KEMASYARAKATAN HINDU
1. Pengantar
Karena itu di dalam modul ini akan diuraikan berbagai masalah kehidupan
masyarakat Hindu sesuai dengan ajaran yang benar menurut Dharma.
46
kemasyarakatan sesuai ajaran agam Hindu, sehingga mantap di daloam
melaksanakan tugas dan kewajiban.
CATUR ASRAMA
47
Purusartha, yang mengikat menjadi satu jalinan sebagai dasar hubungan harmonis
di dalam kehidupan ini, yaitu Dharma Artha, Kama, dan Moksa.
Dasar dan tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusartha itu
didasarkan atas tujuan dan segi metafisikanya yaitu di dalam hubungan adanya
manusia dengan adanya yang umum universal. Atma (jiwa) itu kekal sifatnya
sedangkan badan wadag bersifat sementara. Karena itu jiwa yang kekal sifatnya
diharapkan dapat bersatu dengan hakikat kekal yang universal (Paramatha
mencapai Moksa).
a) Brahmacari asrama;
b) Grihastha asrama;
c) Wanaprastha asrama;
Brahmacari Asrama
Kata Brahmacari berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Brahma “ dan
cari “ atau “ carya “, Brahma berarti ilmu pengetahuan tentang Ketuhanan atau
ilmu pengetahuan kerohanian, sedangkan caria artinya gerak atau tingkah laku.
Kata “asrama” berasal dari kata “srama” yang berarti usaha seseorang. Jadi
brahmacari asrama berarti gerak atau tingkah laku dalam mengejar ilmu
pengetahuan kerohanian atau Ketuhanan. Secara umum brahmacari asrama berarti
hidup berguru aguron-guron yaitu masa kehidupan menuntut ilmu pengetahuan
suci keagamaan/kerohanian.
48
Yang di maksud dengan ilmu pengetahuan suci keagamaan adalah weda
dalam arti luas. Di samping Catur Weda, juga diajarkan enem cabang
pengetahuan Weda yang disebut Sadangga Weda terdiri dari:
a) Siksha (fonetika)
a) Itihasa (sejarah)
49
l) Mantra Wijaya (ilmu mantra – mantra)
Nilai – nilai luhur dan mendasar yang dianut dalam Brahmacari Asrama
adalah nilai moral dan spiritualnya berupa disiplin berguru dengan peraturan-
peraturan yang dilakukan secara ketat.
Menurut kitab Grihya Sutra dan Manu Smerti dikatakan bahwa setelah
upacara upanayana para sisya diberikan Mekhala yaitu semacam ikat pinggang.
Di Bali tradisi seperti itu kita jumpai juga di mana seorang Guru (Nabe)
memberikan Yadnyapawitra (pepetan) kepada sisyanya.
Selanjutnya setelah upacara itu selesai maka para sisya mengucapkan janji
untuk menaati peraturan-peraturan Brahmacari asrama. Kemudian barulah mereka
resmi menjadi Dwijati.
Dwijati berarti lahir yang kedua kali. Lahir yang pertama kali dari perut
Ibu, sedangkan lahir yang kedua lahir dari Dharma (ilmu pengetahuan suci) atau
lahir sevara rohaniah.
50
a) Kewajiban yang dilakukan sisya terhadap gurunya
Artinya:
Beginilah tata tertib berguru, jangan tidak hormat terhadap guru, jangan
mencaci maki, jangan segan kepada guru, jangan tidak percaya dan tulus,
jangan menentang perintah guru, jngan menginjak bayangan guru, jangna
mendudukintempat duduk guru.
51
Selain peraturan dan kewajiban tersebut masih adfa lagi aturan yang harus
dilakukan/ditaati sisya, antara lain:
1) Hidup sederhana;
4) Tidak mau mendengar bila ada orang yang menghina gurunya (pariwada
ninda wadi);
6) Dan sebagainya.
“Acaryam ca prawaktaram,
Na himsyad brahmananggasca,
Sarwamscaiwa tapaswinah”.
Artinya:
52
“Ahimsa brahmacaryanaca,
Satyam awyawaharikam,
Sancam aharalaghawan,
Apramadasca pancaite,
Niyamah parikirtitah”.
Artinya:
3) Satya artinya tidak dusta, baik dalam pikiran, kata-kata maupun perbuatan.
4) Awyawahara artinya tidak suka bertengkar, tidak berjual beli, dan tidak
sombong.
53
5) Astainya artinya tidak mengambil milik orang lain tanpa persetujuan
kedua pihak (tidak mencuri), tidak berhasrat jahat kepada orang lain dan
terhadap binatang sekalipun.
1) Akrodha artinya tidak suka marah karena pemarah itu merupakan sumber
derita.
2) Guru susrusa artinya hormat dan dekat dengan guru guna dapat menerima
ilmu pengetahuan dengan sempurna, sebagai jalan utama menuju
kebahagian (Adhaya) ataupun kebebasan abadi (Nisaya).
3) Sauca artinya bersih lahir batin seorang sisya setiap hari harus
membersihkan dirinya secara fisik dan tubuh dibersihkan dengan air,
dibersihkan dengan kejujuran, juga dibersihkan dengan ilmu pengetahuan
pengendalian nafsu, sedangkan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
54
Setelah para sisya lulus mengikuti pelajaran maka dilakukanlah upacara
wisudha yang disebut Samawartana, kemudian kepada mereka masing-masing
diberi gelar Snataka.
Grihastha Asrama
Kata “grihastha” berasal dari bahasa Sanskerta dari kata griha dan stha.
“Griha berarti rumah tempat tinggal atau griyo bahasa Jawa, griya bahasa Bali,
graha bahasa kawi/Jawa Kuno. “Stha” berarti berdiri, mendirikan. Jadi kata
grihastha berarti mendirikn tempat tinggal atau rumah.
Menurut Hindu Dharma setiap orang yang berkeluarga harus berpisah dari
orang tuanya, bertanggung jawab sendiri. Oleh karena itu pengertian mendirikan
tempat tinggal berkaitan dengan membentuk rumah tangga baru. Maka dengan
demikian grihastha asrama berarti mengalami masa hidup berumah tangga, dan
mulai mengadakan sanggama karma atau hubungan seksual, guna melanjutkan
keturunan.
55
Melalui kehidupan grihasta setiap keluarga dapat melaksanakan Tri Rnam
secara lengkap. Tri Rnam adalah tiga hutang manusia yang harus dibayar/ditebus
dalam tiga kehidupan ini, yaitu :
a. Dewa Rnam adalah hutang jiwa (hidup kepada Sanghyang Widhi Wasa).
c. Pitra Rnam adalah hutang jasa kepada para leluhur dan orang tua.
Ketiga hutang itu dapat ditebus melalui pelaksanaan atau amalan Panca
Yadnya, yang telah anda pelajari pada modul dua, dan akan diuraikan secara
mendalam pada modul....
Bhutani atithayastatha,
Acasate kutumbibhi
Artinya :
56
Para Rsi, leluhur, dewa, butha, dan para tamu menerima persembahan dari
kepala rumah tangga, karena itu ia yang tahu hukumnya akan memberikan
persembahan yang sesuai kepadanya.
Wanaprastha Asrama
Kata “Wana” berarti hutan dan kata “prastha” berarti menetap, tinggal.
Wanaprastha berarti hidup di hutan, hidup di tempat sunyi. Hal ini dimaksudkan
hidup mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan duniawi menyepi diri, guna
mencari hikmah hidup yang paling dalam atau bertapa, melakukan pengekangan
dan pengendalian nafsu, mencari hakikat kebenaran, serta melakukan hidup suci.
57
Di dalam masa Wanaprastha asrama ini peranan Dharma sebagai bagian
dari Catur Purusartha sangat dominan, sedangkan Artha dan Kama mulai
dikesampingkan. Walaupun demikian seorang wanaprasthin masih tetap
berkewajiban melakukan Panca Maha Yadnya (Panca Karma) secara spiritual.
Artinya :
Sancam indriyanigrahah,
58
Artinya :
Selanjutnya di dalam kitab Manu Smerti ini pula (pada bab VI sloka 94)
dinyatakan bahwa setelah memenuhi sepuluh kewajiban suci yang bersifat
rohaniah seorang wanaprasthin dapat melanjutkan kehidupannya sebagai pertapa
pengembara yang disebut Sanyasa asrama.
59
Sanyasa Asrama
Rangkuman
60
hidupnya yang disebut Catur Purusartha yaitu dharma, artha, kama, dan moksa,
atau untuk mencapai tujuan agama “moksartham jagadhirtyaca iti dharmah”
(tercapainya kesejahteraan hidup bermasyarakat dan kebahagiaan yang hakiki dan
sejati atau moksa).
c. Wanaprastha asrama ialah masa hidup menjauhkan diri dari hiruk pikuk
keduniawian menyepi diri, bertapa dan melakukan hidup suci.
CATUR WARNA
Menurut Bahasa Sansekerta (bahasa yang dipakai dalam kitab suci weda)
kata “kasta” (kasta) berarti “kayu”, jadi bukan berarti pembedaan golongan status
61
sosial berdasarkan keturunan seperti pengertian kata “caste” dalam bahasa
Portugis (caste = pemisah, tembok atau batas).
Dalam ajaran agama Hindu yang dapat kita jumpai adalah penjelasan
mengenai warnai, yaitu “catur warna”. Kata “warna” berasal dari bahasa
Sansekerta dari urat kata “wri” yang artinya “memilih” (lapangan kerja) sesuai
dengan bakat dan kualitas yang dimiliki. Kempat warna itu ialah Brahmana,
Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Masing-masing warna itu mempunyai tugas
kewajiban yang berbeda sesuai dengan guna (bahasa dan sifat) serta karmanya
(amal perbuatannya), jadi bukanlah didasarkan atas keturunan semata-mata.
Kitab Suci Bhagawad Gita Adhyaya XVIII sloka 41 sampai dengan sloka
44 menjelaskan mengenai catur warna dan fungsinya, yang berbunyi sebagai
berikut :
Sudranam ca paramtapa
Karmani prawibhaktani
Danam iswarabhawasca
62
Krisi gauraksya wanijyam
Paricaryatmakam karma
Saudrays’pi swabhawajam”
Artinya :
63
kemudian timbul istilah brahmana wangsa dengan predikat nama tertentu sebagai
identitas keluarganya. Demikian pula bagi ksatriya terdapat ksatriya wangsa dan
pada waisya ada waisya wangsa.
Artinya :
64
Seorang sudra menjadi brahmana
Maupun sudra.
2. Resi Kawasa dan Resi Aitareya adalah pengarang kitab Brahmana dan
Upanisa berasal dari ibu sudra.
Kemudian secara lebih tegas dan jelas kitab Maha Bharata III. XL.
XXX.21, 25, 26 menyebutkan :
65
Dwiji tasya na widyate
Brahmana na ca brahmana”
Artinya :
Dari seluruh uraian yang terdapat pada kitab-kitab atau sastra suci agama
Hindu yang telah dikemukakan itu, maka jelaslah bahwa Catur warna merupakan
66
pembagian tugas dalam hidup bermasyarakat sesuai dengan bakat dan sifat serta
watak seseorang yang ditunjukkan dalam sikap perbuatannya.
Maka di dalam kitab Upadesa kita jumpa pada uraian tentang catur warna
itu sebagai berikut :
c. Waisya ialah golongan karya yang setiap orang memiliki watak tekun,
terampil, hemat, cermat, memiliki keahlian dan bakat kelahiran untuk
menyelenggarakan kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan.
Contoh : Usahawan, ekonom dan sebagainya.
67
“Yadyapi brahmana tuha tuwi, yan
Artinya :
sastra suci
RANGKUMAN
68
karma (amal perbuatannya) menjadi empat golongan karya, yaitu Brahmana,
Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Waisya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak tekun,
terampil, hemat, dan cermat memiliki keahlian dan bakat kelahiran untuk
menyelenggarakan kemkmuran masyarakat negara, dan kemanusiaan.
LEMBAGA SOSIAL
69
manusiawi di tengah masyarakat, atau dengan kata lain untuk megatur dan
menjagab tertib kehidupan masyarakat dalam pengamalan ajaran agama Hindu.
Sehubungan dengan itu maka di dalam Kitab Manu Smerti XII. 111 dan
112 disebutkan mengenai keanggotaan dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
bisa menjadi anggota Parisada. Keanggotaan Parisada minimal sepuluh orang
70
yang terdiri dari para ahli Weda yang tidak diragukan kemampuannya baik dari
segi pengetahuan maupun psiko-spiritualnya.
RANGKUMAN
71
Lembaga Pendidikan Hindu menganut sistem asrama.
KULA DHARMA
Anda tentu sering mendengar istilah atau kata kula maupun kata dharma
dalam buku-buku agama Hindu. Kata kula dapat diterjemahkan keluarga atau
family, walaupun istilah family yang digunakan oleh orang-orang Barat berbeda
pengertian dengan keluarga/kula dalam masyarakat Hindu kalau ditinjau dari segi
tujuannya. Misalnya E.W. Burgers dan H.J. Locke dalam bukunya “The Family”
mengatakan bahwa famili adalah kelompok orang-orang yang mempunyai
hubungan perkawinan, darah keturunan, adopsi, dan lain-lain untuk kebudayaan
mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa tujuan famili itu adalah untuk
mengesahkan atau membenarkan adanya hubungan seks berdasarkan hukum.
Itulah pengertian dan tujuan kula atau famili dalam masyarakat Hindu.
Kemudian kata “dharma” adalah seperti anda terpelajari pada modul 2, yang
berarti kewajiban. Jadi kula dharma berarti kewajiban famili dalam kehidupan
berkeluarga berdasarkan ajaran agama Hindu.
72
Sehubungan dengan itu berikut ini anda dapat ikuti uraian mengenai
perkawinan Hindu (wiwaha), kedudukan/kewajiban wanita, suami, istri, anak dan
orang tua dalam famili.
Perkawinan
Menurut ajaran agama Hindu perkawinan itu suci sifatnya karena hal itu
merupakan dharma atau kewajiban suci yang dinyatakan di dalam Weda. Kawin
dan mempunyai anak adalah merupakan perintah agama yang dimuliakan,
sehingga setiap perkawinan harus dilaksanakan dengan keyakinan sebagai bagian
dari pengabdian kepada Sanghyang Widhi Wasa. Setiap perkawinan harus melalui
upacara keagamaan yang disebut ‘wiwaha samskara” dan barulah mereka diakui
sebagai seorang Grihastin (Grihastha Asrama).
Prajapatyastathasurah
Gandharwo raksascaiwa
Artinya :
Kedelapan cara itu digolongkan lagi ke dalam dua golongan yaitu yang
dibenarkan dan yang disalahkan atau tidak boleh dilakukan. Golongan yang
73
dibenarkan ialah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha, Prajapatya
Wiwaha, dan Gandharwa Wiwaha, dan Asura Wiwaha. Sedangkan yang
disalahkan adalah Raksasa Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha.
1. Brahma wiwaha ialah suatu cara terhormat yang dilakukan oleh pihak
keluarga wanita dengan mengawinkan anaknya kepada seorang pria yang
berpendidikan dan berbudi luhur.
2. Daiwa wiwaha ialah memperoleh istri dengan jalan menerima seorang gadis
dari suatu keluarga yang menyerahkan anaknya sebagai pemberian karena jasa
yang dilakukan oleh pemuda itu. Biasanya pemberian ini dilakukan kepada
pendeta yang berjasa menyelesaikan upacara di rumah keluarga wanita.
Pemberian ini disebut “kanya dana”.
3. Arsa wiwaha ialah suatu perkawinan yang terjadi atas kehendak timbal-balik
kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak pria.
4. Prajapatya wiwaha ialah suatu perkawinan yang dilakukan dengan cara pihak
wanita melepaskan anak gadisnya untuk dikawinkan dengan pemuda yang
disetujuinya, dengan diiringi doa restu.
6. Asura wiwaha ialaha suatu perkawinan dengan syarat pihak pria harus
memberikan sejumlah uang yang diminta oleh pihak wanita.
7. Raksasa wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan secara paksa
oleh pria terhadap wanita. Di Bali perkawinan semacam ini disebut
melegandang dan dianggap tidak terpuji sehingga dilarang oleh adat.
74
yang memabukkan atau dengan kelicikan sehingga wanita itu dapat
diperdayakan. Perkawinan semacam ini sangat dilarang dan dinyatakan
sebagai dosa besar.
Di dalam agama Hindu ditentukan pula mengenai wanita yang tidak boleh
dikawini, yaitu antara lain :
10. Wanita dari hubungan genealogis secara vertikal (ibu kandung, ibu tiri,
saudara perempuan dari ayah atau ibu, anak, dan sebagainya).
11. Wanita dari hubungan genealogis secara horisontal (kakak kandung, kakak
riti, dan sebagainya).
Untuk itu baik pemerintah India maupun Parisada Hindu Dharma pusat
telah mengeluarkan keputusan yang membenarkan dan membolehkam
perkawinan antar waysa atau warna.
75
Suatu perkawinan dinyatakan sah apabila telah diresmikan melalui
Sakramen (pembersihan) yang disebut “wiwaha samskara”. Upacara perkawinan
atau wiwaha samskara ini pelaksanaannya tidak sama untuk semua daerah.
Perbedaan itu diakui sah sesuai prinsip desa-kala-patra dan desa-mawa-cara
(disesuaikan dengan tempat, waktu, keadaan dan tradisi tiap-tiap daerah). Namun
demikian ada hal-hal yang umum yang menjadikan ikatan perkawinan itu abadi,
yaitu :
2. Dana (maskawin)
Kedudukan Wanita
Sejak zaman Weda kedudukan wanita dan pria itu sejajar hal itu dapat kita
lihat dalam kitab suci Reg Weda yang menyatakan bahwa istri menempati atau
menduduki tempat yang sama dalam setiap Yadnya begitu pula dalam rumah
tangga maka mereka disebut dampati. Disebut pula bahwa Wiswawaca wanita
dari keluarga Atri sangat terkenal sebagai filsuf (brahma wadini), mahir dalam
mantra-mantra dan merupakan salah seorang penggubah lagu pujaan yang
terdapat dalam kitab Reg Weda. Namun demikian diakui pula dalam Kitab
Satapata Brahmana bahwa wanita memiliki sifat yang lemah-lembut dan lebih
emosional dari kaum pada umumnya.
76
Begitu pula dalam ktab Anuasana Parwa dikatakan Bhisma telah menjelaskan
kepada Yudhistira agar terhadap wanita diberikan pujian dengan penuh kecintaan.
Lebih tegas lagi dinyatakan dalam kitab Santi Parwa bahwa apabila
seseorang raja gugur di medan prang maka anak perempuannya dapat dinobatkan
sebagai Ratu (Raja Putri) apaila raja itu tidak mempunyai anak laki-laki, dan
wanita tidak boleh dipaksa kawin dengan pria bukan pilihannya.
1. Istri tidak bisa punya anak sedangkan suami istri menghendaki adanya
keturunan.
4. Suami cacat yang sebelumnya tidak diketahui oleh istri, misalnya impoten.
5. Cacat istri yang baru diketahui setelah kawin dan sebelumnya dirahasiakan,
misalnya berpenyakit menular.
7. Salah satu meninggalkan dharmanya sebagai istri atau suami dan tidak dapat
diluruskan kembali.
77
dalam kitab Weda Smerti III, 55-57 dapat dijumpai tentang kedudukan wanita,
sebagai berikut :
“Pitribhir bhratribiscaitah
patibhir dewaraistatha
yatraitastu na pujyante
na sosanti tu yatraita
Artinya :
Tetapi bila mereka tidak dihormati maka tiada kerja yang mendatangkan
pahala.
78
Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan
hancur. Tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu
bahagia.
Menurut kitab Weda Smerti dan Mahabharata bahwa suami istri dalam
rumah tangga harus hidup untuk dharma. Segala yadnya yang harus dilakukan
sebagai kewajiban harus dikerjakan bersama-sama dan dengan istrinya. Ini
menunjukkan bahwa kedudukan suami sederajat dengan istrinya. Namun
demikian dalam swadharmanya (secara krodati) peranan suami dalam hal tertentu
lebih menonjol. Suami adalah sebagai bapak dan sebagai raja karena itu ia
berkedudukan sebagai kepala keluarga yang harus dihormati.
3. Menjamin hidup dengan memberi nafkah istrinya bila karena sesuatu urusan
penting (tugas) harus meninggalkan istri keluar daerah.
79
4. Memelihara hubungan kesuciannya dengan istri saling mempercayai sehingga
terjamin keharmonisan rumah tangga.
5. Menggauli istri, dan berusaha menjaga kelestarian rumah tangga dengan jalan
tidak melanggar kesuciannya masing-masing.
3. Ia harus setia kepada suami dengan berusaha tidak melanggar hukum suci.
80
dan mengingat suaminya. Istri yang demikian kelak setelah mati ia akan
mencapai sorga.
5. Seorang istri wajib menegur atau menasihati suaminya bila ia berbuat keliru
yang mengakibatkan dosa dan kehancuran rumah tangga.
Anak laki-laki disebut putra dan dipandang sebagai juru selamat nenek
moyangnya yang telah meningga, menyelamatkannya dari neraka. Demikian
dijelaskan dalam kitab Adiparwa.
81
Kedudukan Anak Perempuan
Apabila dalam satu keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka orang
tuanya berhak menunjuk anak perempuannya untuk melakukan upacara sraddha,
dan selanjutnya bertindak sebagai ahli waris yang berhak mewarisi semua harta
peninggalan orang tuanya. Sedangkan bila mempunyai saudara laki-laki maka ia
berhak pula mewarisi setengah dari yang diterima oleh laki-laki.
Di dalam agama Hindu dikenal ajaran Catur Guru yang harus dihormati
dan ditaati segala perintahnya, yaitu :
1. Guru Swadhyaya adalah guru yang memberi kehidupan dan mengatur alam
semesta, yaitu Sanghyang Widhi Wasa.
82
3. Guru Pengajian adalah guru yang mengajar ilmu pengetahuan, yaitu
Nabe/guru spiritual.
Bagi keluarga Hindu rasa bakti kepada orang tua dilakukan dengan penuh
kesadaran tanpa memandang status sosial orang tuanya, karena orang tua itu
sesungguhnya adalah guru dan mediator penciptaan manusia.
Dengan demikian maka jalan menuju moksa akan terbuka bagi setiap
keluarga Hindu, apabila kula dharma atau kewajiban keluarga telah dapat
dilaksanakan dengan penuh disiplin.
83