You are on page 1of 9

HUBUNGAN KEKUASAAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DENGAN

PEMERINTAH DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

By : Edy Santosa, Bidang Study Ketahanan Nasional

INTISARI

Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang


disebabkan oleh perbedaan persepsi para pelaku pembangunan
terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Undang-undang
(UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengatur
pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan secara jelas
antara Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa.

Hubungan kekuasaan (gezagsverbaounding) antara pemerintah


pusat dengan pemerintah daerah menunjukkan sifat yang vertikal.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah berdasarkan atas tiga asas, yaitu: asas
desentralisasi; asas dekonsentrasi; dan asas tugas pembantuan.

Kewenangan dekonsentrasi yang seharusnya hanya merumuskan


kebijakan, perencanaan, dan biaya yang harus dilaksanakan
pemerintah daerah dan mengawasi pelaksanaannya saja, pada
kenyataannya sering tumpang tindih dalam melaksanakan
kewenangannya, hal ini disebabkan kewenangan dekonsentrasi sering
memasuki ranah teknis dari kewenangan desentralisasi, sehingga sering
menimbulkan benturan. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi agar
fungsi dekonsentrasi (pembinaan dan pengawasan) dapat berjalan
secara optimal, maka pemerintah pusat dapat menerapkan sanksi
kepada penyelenggara pemerintahan daerah jika ditemukan
pelanggaran dan penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan oleh
kewenangan dekonsentrasi.

1. PENDAHULUAN
Pasal 18A UUD 1945 menyebutkan bahwa Hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
2

daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang. Ini merupakan kesadaran para pendiri
negara (the founding father) dari sejak awal kemerdekaan bahwa
Indonesia dengan wilayahnya yang terdiri dari ribuan pulau dan
kepulauan serta penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa, sulit
untuk dikelola secara sentralistik.
Wasistiono, (2003: 1). menjelaskan, “bahwa otonomi bagi kesatuan
masyarakat hukum yang sudah ada sebelum negara Indonesia
terbentuk merupakan conditio sine quanon (syarat mutlak). Prinsip
dasar tersebut kemudian dituangkan ke dalam konstitusi yang menjadi
pedoman dasar dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan berpemerintahan”. Manan, (1994: 1). menyebutkan:
“Sampai saat ini sekurang-kurangnya sudah ada 7 (tujuh) undang-
undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, yaitu: (a) UU
No. 1 Tahun 1945; (b) UU No. 22 Tahun 1948; (c) UU No. 1 Tahun 1957;
(d) UU No. 18 Tahun 1965; (e) UU No. 5 Tahun 1974; (f) UU No. 22
Tahun 1999; dan (g) UU No. 32 Tahun 2004. Akan tetapi, permasalahan
yang berkaitan dengan otonomi daerah nampaknya tidak pernah
selesai.”

Dalam tataran teoritis, bagaimana otonomi diberikan dan


bagaimana batas cakupannya, Musa’ad (2002 : 281)
mengidentifikasikannya ke dalam 4 (empat) ajaran yaitu: sistem residu,
formil, materiil, dan nyata (riil). Keseluruhan ajaran itu menyangkut
tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan
tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Perubahannya bergerak secara dinamis seiring dengan


perkembangan globalisasi telah mampu merubah padangan
pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik ke arah yang
bersifat desentralistik. Mahfud, (1998: 7). menyebutkan: “salah satu
persoalan yang muncul mewarnai hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah adalah mengenai pembagian kekuasaan.
Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi dan kondisi
politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang
demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah
produk politik”.
3

Pada penulisan naskah ini pembahasan akan difokuskan pada


masalah Hubungan Kekuasaan Antara Pemerintah Pusat Dengan
Pemerintah Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah.

2. PEMBAHASAN

Yamin, (1982: 145), bahwa otonomi daerah dan desentralisasi


merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi. Jadi,
otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang
demokratis. Artinya, di negara demokrasi dituntut adanya pemerintahan
daerah yang mempunyai hak otonomi.

Menurut Mahfud, (1998: 92), hubungan kekuasaan


(gezagsverbaounding) antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah menunjukkan sifat yang vertikal. Suatu kekuasaan sama dengan
hak untuk mengambil tindakan yang wajib ditaati. Pemahaman
kekuasaan dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu aspek formil dan
aspek materiil (Syafruddin, 1985: 22-23). Dari aspek formil, kekuasaan
adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa dan organ mana yang
berhak mengambil tindakan serta syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi agar kekuasaan itu sah. Jika dilihat dari aspek materiil, maka
tindakan kekuasaan merupakan jawaban pertanyaan tentang
bagaimana sifat-sifat tindakan itu, apakah mengatur, mengurus, atau
mengadili. Dari sudut ini dapat dipahami bahwa urusan merupakan
bentuk tindakan kekuasaan dari aspek materiil, sedangkan untuk
menjalankan urusan ini, pelaku harus mempunyai kewenangan untuk
bertindak.

Menurut Musa’ad, (2002)i, ada beberapa sistem pembagian


kewenangan yaitu: (a) Sistem Residu. Dalam sistem ini, secara umum
telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang
Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga
Daerah; (b) Sistem Material. Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah
ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Selain dari tugas
yang telah ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat; (c) Sistem
Formal. Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah
tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan
Undang-Undang; dan (d) Sistem Riil. Dalam sistem ini, penyerahan
urusan atau tugas dan kewenangan kepada Daerah didasarkan pada

i
Muhammad Abud Musa’ad, Penguatan Otonomi Daerah Di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi,
Penerbit ITB, 2002, h.281
4

faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
yang riil dari Daerah maupun pemerintah Pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi.

Dari hasil seminar nasional Menata Ulang Desentralisasi Indonesia


dari Perspektif Daerahii, menyebutkan : “Desain desentralisasi dan
otonomi daerah secara riil telah memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
Indonesia, fakta di berbagai daerah memperlihatkan betapa
desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan ruang bagi daerah
untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih
baik bagi masyarakat”. Namun demikian, sistem ini masih menyisakan
berbagai persoalan,akibatnya, para pelaku kepentingan memberikan
interpretasi berbeda tentang hal mana yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketidakjelasan
pembagian ini sering melahirkan tumpang-tindih dan tarik-menarik
kewenangan antarlevel pemerintahan (pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah provinsi dengan kabupaten/kota).

Drs. Cornelis Lay, M.A. sebagai salah satu pembicara dalam seminar
tersebut dalam makalahnyaiii, menyimpulkan : “pengalaman berbagai
negara memastikan rancang bangun kelembagaan di tingkat lokal tidak
lagi dapat bertumpu pada ‘kebiasaan tradisional’ yang bersifat ‘tunggal’
dengan batas administrasi pemerintah sebagai satu-satunya batasan,
tetapi mengalami pergeseran ke arah pengaturan yang bersifat
‘kewilayahan’ dengan mengikuti logika kerja sistem beserta berbagai
variasi basisnya”.

Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan


pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas
desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan.

P. Rosodjatmiko, (1982: 22-23). menjelaskan: (a) Dalam asas


desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga
pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik
menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan;
(b) Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang
kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan,

ii
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2477
iii
Cornelis Lay, "Desentralisasi Asimetris bagi Indonesia".
5

perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,


sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas
melaksanakan; dan (c) Asas pembantuan berarti keikutsertaan
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di
daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh
tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan
pemerintah pusat.

Ditinjau dari aspek organisasi pemerintahan, maka pelaksanaan


hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
terdapat 2 (dua) macam pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah
daerah dan pemerintah wilayah. Pemerintah daerah adalah
pemerintahan otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
dalam rangka desentralisasi, yang dalam konteks Indonesia adalah
kabupeten/kota. Sedangkan pemerintah wilayah adalah pusat di
wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi
(provinsi).

Model pembagian kewenangan dalam kerangka desentralisasi dan


otonomi daerah menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia,
dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Pada UU No. 5 Tahun 1974, kewenangan Daerah Tingkat I dan


Daerah Tingkat II ditetapkan secara limitatif di dalam undang-
undang pembentukannya dan peraturan pemerintah mengenai
penyerahan urusan yang diberikan kemudian. Selebihnya
kewenangan pemerintah pusat dengan batas yang jelas, dengan
catatan pemerintah masih memiliki kewenangan untuk
mencampuri urusan atau kewenangan yang telah diberikan
kepada daerah dengan alasan kepentingan nasional.

Desentralisasi dalam UU ini adalah desentralisasi semu karena


pada dasarnya yang memainkan peranan utama dalam bidang
politik, administrasi, fiskal, dan ekonomi masih tetap pemerintah
pusat atau aparaturnya yang ada di daerah. Untuk mengikat
loyalitas daerah otonom, pemerintah pusat menguasai secara
penuh sumber daya nasional, sumber keuangan, sumber daya
aparatur, dan sumber daya informasi dan keputusan. Dengan
penguasaan berbagai sumber daya tersebut, pemerintah daerah
menjadi sangat tergantung kepada pemerintah pusat.

b. Ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 menggunakan model yang


berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974. Pada undang-undang ini,
6

dilakukan pengakuan, bukan pengaturan, terhadap kewenangan


daerah otonom. Isi kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom justru dibatasi
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2000
Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Otonom, kewenangan selebihnya menjadi kewenangan
Kabupeten/Kota. Model pembagian kewenangan ini menegaskan
bahwa peranan pemerintah pusat dalam keempat bidang
kewenangan mengalami penurunan.

Pengurangan kewenangan pemerintah propinsi dalam


menjalankan asas desentralisasi diimbangi dengan pengaturan
kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
dalam rangka dekonsentrasi. Kewenangan tersebut terutama
dalam hal membina dan mengawasi jalannya pemerintah daerah
kabupaten/kota sebagaimana diatur di dalam PP No. 39 Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi.

c. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau


urusan pemerintahan dilakukan lebih jelas antara pemerintah
pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan
pemerintahan. Di dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa
urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu
urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar
seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan
hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan
pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi
keuanggulan dan kekhasan daerah.

Pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi


politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan
agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang
menjadi urusan pusat. Sementara itu, bidang pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh
pemerintah pusat dan atau gubernur sebagai wakil pusat di
daerah. Pengawasan dilaksanakan oleh pusat terkait dengan
urusan pemerintahan dan terutama terhadap peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah.
7

3. KESIMPULAN

a. Dari beberapa teori sistem pembagian kewenangan, Penulis


berkesimpulan bahwa dalam konteks Ketahanan Nasional Bangsa
Indonesia dan Keutuhan NKRI, perpaduan antara Sistem Formal
dan Sistem Riil cocok untuk diterapkan di Indonesia. Namun
demikian kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan sebagai berikut:

1) Sitem Formal, kelebihan dari sistem ini yaitu Daerah boleh


mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap
penting bagi Daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang
telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Sedangkan
kekurangannya, urusan yang telah diatur dan diurus oleh
Pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya, tidak boleh diatur dan
diurus lagi oleh Daerah (urusan rumah tangga daerah dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatnya), disini terlihat adanya sistem hiharki yang harus
dipatuhi.

2) Sistem Riil, kelebihan sistem ini terletak pada pemberian tugas


dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan
yang riil didalam masyarakat, dengan melihat kepada
kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri,
sedangkan kekurangannya tugas/urusan yang selama ini
menjadi wewenang pemerintah Pusat harus diserahkan kepada
Daerah. Namun demikian, pemerintah Pusat masih dimungkin
untuk menarik kembali kewenangan yang telah diberikan
tersebut apabila Daerah dipandang tidak mampu
melaksanakannya.

b. Dari model hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan


pemerintah daerah Penulis berkesimpulan bahwa:

1) Asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas pembantuan


sangat baik untuk diterapkan.

2) Pada implementasinya, asas dekonsentrasi sering tumpang


tindih dalam melaksanakan kewenangannya, hal ini disebabkan
kewenangan dekonsentrasi sering memasuki ranah teknis dari
kewenangan desentralisasi (campur tangan dalam berbagai
8

hal). Seharusnya kewenangan dekonsentrasi hanya


merumuskan kebijakan, perencanaan, dan biaya yang harus
dilaksanakan pemerintah daerah dan mengawasinya.

c. Dari model pembagian kewenangan dalam kerangka


desentralisasi dan otonomi daerah Penulis berkesimpulan bahwa:

1) UU No. 32 Tahun 2004, yang memiliki kriteria eksternalitas,


akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan
pemerintahan cukup memadai untuk saat ini.

2) Ada beberapa hal yang perlu dibenahi agar fungsi pembinaan


dan pengawasan dapat berjalan secara optimal, maka
pemerintah pusat dapat menerapkan sanksi kepada
penyelenggara pemerintahan daerah jika ditemukan
pelanggaran dan penyimpangan seperti: (a) penataan kembali
suatu daerah otonom; (b) pembatalan pengangkatan pejabat;
(c) pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah; dan (d)
sanksi lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
9

DAFTAR BACAAN

Ateng Syafruddin, 1984, Pasang Surut Otonomi Daerah, Jakarta:


Binacipta.

Bagir Manan, 1990, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Jakarta; Sinar Harapan.

Bhenyamin Hoessein, 2001, Pembagian Kewenangan antara Pusat dan


Daerah, Arena Hukum: Nomor 13, Tahun. 4, Februari 2001.

Cornelis Lay, 2010 "Desentralisasi Asimetris bagi Indonesia", seminar


nasional Menata Ulang Desentralisasi Indonesia dari Perspektif
Daerah, Yogjakarta : UGM

Moh. Mahfud M.D., 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Muhammad Abud Musa’ad, 2002, Penguatan Otonomi Daerah Di Balik


Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi, Penerbit ITB, Bandung.

Purwo Santoso, 2009, Materi Kuliah Politik Indonesia dan Otonomi


Daerah, Program S2 UGM, Yogjakarta : UGM.

R. Tresna, t.t., Bertamasya Ke Alam Ketatanegaraan, Bandung: Dibya.

Sadu Wasistiono, 2003, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan


Daerah, Bandung: Fokus Media.

Sujamto, 1990, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab,


Jakarta: Ghalia Indonesia.

You might also like