Professional Documents
Culture Documents
Islam
BAB I
PENGERTIAN DAN TEORI
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah
diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh
mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah:”Jika kami
sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu”. Mereka
membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
(QS. At-Taubah:42)
Ada sebagian pakar melontarkan suatu pernyataan, bahwa ilmu ekonomi Islam
bukanlah cabang ilmu ekonomi karena pada dasarnya ilmu ekonomi hanya terdiri dari
dua kutub, yaitu Kapitalis (yang bersumber pada Adam Smith-1776) dan Sosialis (yang
bersumber pada Karl Mark-1883,1876). Pendapat ini adalah benar, namun ada
pendapat lain yang pernah diungkapkan oleh Prof. Suroso Imam Jazuli, yang
menyatakan dalam makalahnya bahwa sejak tahun 1984 muncul gagasan untuk
menampilkan sistem perekonomian lain sebagai suatu alternatif. Sistem tersebut tidak
lain adalah Sistem Perekonomian Islam (SPI).
Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin SPI muncul sebagai sistem
perekonomian alternatif? Jika melihat sejarah perekonomian dunia, perubahan dari
suatu sistem ke sistem yang lain sangat dimungkinkan. Hal ini paling tidak bisa
dijelaskan dengan menggunakan kerangka perubahan sosial yang disebut dengan
mythic/epic of social change. Sebagaimana yang digunakan teori ini, ada dua siklus
utama dalam perubahan social, yaitu mythic dan epic cycle. Mythic Cycle
berhubungan dengan upaya sebuah masyarakat atau komunitas untuk
mempertahankan shared value (nilai-nilai yang dimiliki) dan kelangsungan hidup
komunitas tersebut. Sebaliknya epic cycle berkaitan dengan perubahan-perubahan
radikal dalam suatu masyarakat sehingga terbentuk mythic cycle baru. Kedua siklus ini
akan terus tarik menarik sampai terjadi keseimbangan (equilibrium) baru.
Dalam konteks sistem perekonomian, misalnya, ini terjadi ketika Adam Smith
menawarkan laissez-fair economy dimana dia bertindak sebagai epic atau hero. Hal
yang sama juga terjadi pada sosialismenya Karl Mark. Bagaimana dengan Sistem
Perekonomian Islam?
Dengan dicanangkannya abad ke-15 hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam,
meyakinkan bahwa SPI akan menjadi sistem perekonomian alternatif. Hal semacam ini
sudah diantisipasi oleh Huntington yang membagi dunia secara kultural menjadi tiga
yang sangat berpengaruh, yaitu: dunia Barat (Kristen/Katolik), Confius dan Islam.
Tesis Huntington menunjukkan bahwa Islam akan menjadi kekuatan baru dalam
ekonomi dan politik internasional. Agar keinginan ini bisa terwujud, yang barangkali
diperlukan adalah seorang tokoh yang bisa menjadi hero dan wadah organisasi yang
dapat digunakan untuk menampung aspirasi masyarakat Islam. Maka kita perlu,
kelompok-kelompok: pemerhati, pemikir dan peneliti Ekonomi Islam.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah SPI berada di antara sistem kapitalis
dan sistem sosialis, cenderung ke salah satu dari kedua sistem tersebut ataukah
berdiri sendiri? Untuk menjawab ini kita perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Sistem kapitalis, khususnya terlanjur mendominasi sistem perekonomian dunia
bahkan banyak negara yang notabene berpenduduk Islam cenderung
menggunakan sistem kapitalis walaupun dalam penerapannya terdapat
modifikasi
2. Secara ekonomi dan politik, tidak ada negara Islam yang dipandang kuat
sehingga sulit untuk membuktikan bahwa SPI lebih unggul ketimbang kapitalis
dan sosialis
3. Seperti yang dinyatakan oleh Raquibuz Zaman (1986), di antara para ahli
sendiri masih terdapat silang pendapat tentang pengertian Sistem
Perekonomian Islam.
Situasi demikian ini, diperlukan pemikiran secara berkelanjutan. Dalam hal ini
dibutuhkan ilmunya, yaitu metodologi pengembangan ilmu dan sistem ekonomi Islam.
Istilah ekonomi berasal dari kata Latin “ ecos” dan “nomos”. Kata ini memang
tidak dijumpai. Akan tetapi, jika kita membuka kamus Modern Bahasa Arab yang
ditulis oleh Hans Wehr dijumpai kata dasar “qa shada”, yang melahirkan “qasd” (yang
berarti: endeavor, aspiration, intentions, intent; design, purpose, resolution, object,
goal, aim, end, frugality, thrift dan economy); qasadan (intentionally, purposely
‘advisedly, on purpose ’deliberately); “qasdii” (intentional, intended); qasid
(aspired, desired, aimed at, intended); maqsid atau maqaasid (destination) dan
iqtishaad (saving, economization, retrenchment, thriftiness, thrift, providence,
economy). Dari sini lahirlah istilah “ilm al iqtishaadi” (ilmu ekonomi);ilm al iqtishaad
as siyaasi (politik ekonomi) iqtishaadan fil waqt (in order to save time) dan
aliqtishaadiyah (ekonomi).
Dari istilah-istilah tersebut diperoleh akar kata “ qa sha da”, sehingga di dalam
Al-Qur‟an dijumpai kata yang berakar dari qa sha da, dalam surat dan ayat:
1. Kata qashid pada surat Luqman ayat 19 yang berarti sederhana
2. Kata qashdu pada surat An-Nahl ayat 9 dengan arti jalan lurus/stabil
3. Kata qaashidan pada surat At-Taubah, ayat 42 dengan arti keinginan atau
kebutuhan
4. Kata muktashidun pada surat At-Taubah, ayat 42 dengan arti jalan lurus dan
surat Faathir ayat 32 dengan arti pertengahan.
5. Kata muqtashidatun pada surat Al-Maidah ayat 66 dengan arti golongan
pertengahan.
Definisi Ekonomi Islam
Dengan mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah, kita akan
mendapatkan kedamaian dan syafa‟at dari Allah. Oleh karena itu, fungsi pokok
ekonomi Islam, seperti halnya dengan pengetahuan yang lainnya, akan dapat
merealisasikan pencapaian kesempurnaan manusia melalui aktualisasi maqasih
(tujuan). Dalam hal ini perspektif ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai cabang
ilmu pengetahuan yang dapat membantu mewujudkan human well being melalui
pengalokasian dan pendistribusian sumber daya alam yang langka sesuai dengan
ajaran Islam, tanpa mengabaikan kebebasan individual atau terus menciptakan kondisi
makro ekonomi yang semakin baik dan mengurangi terjadinya ketidakseimbangan
ekologi.
Definisi ekonomi Islam mengalami perbedaan definisi antara ahli satu dengan
ahli yang lain. Pada tulisan ini sengaja disajikan definisi beberapa ahli, sebagai
berikut:
Islamic economics is the knowledge and applications and rules of the Shari’ah that
prevent injustice in the requisition and disposal of material resources in order to
provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligations to
Allah and the society.
[Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan hukum syari‟ah untuk mencegah
terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumber-sumber material
dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia dan melakukannya sebagai
kewajiban kepada Allah dan masyarakat].
Barangkali di dalam hati kita sampai saat ini mengalami perasaan yang sama
dengan perasaannya sahabat Syeikh Yusuf Qardhawi pada 30 tahun yang lalu. Suatu
ketika Syeikh Yusuf Qardhawi berdiskusi dengan sahabatnya. Dia seorang dosen di
beberapa perguruan tinggi di Barat. Sahabat Syeikh bertanya, “Apakah anda memiliki
keyakinan bahwa Islam memiliki sistem ekonomi atau politik yang berbeda dengan
sistem lainnya, baik dari segi sistem maupun aturannya?”
Syeikh menjawab,”Jika yang dimaksud dengan sistem atau aturan dalam bentuk
terurai yang mencakup cabang, rincian dan cara pengaplikasian yang beranekaragam,
maka saya menjawab tidak ada. Tetapi jika yang dimaksud adalah gambaran secara
global yang mencakup pokok-pokok petunjuk, kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan
prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang bersifat spesifik, maka saya
jawab ada”.
Salah satu ciri ajaran Islam adalah karena sistem Islam selalu menetapkan
secara global dalam masalah-masalah yang mengalami perubahan, karena perubahan
lingkungan dan zaman. Sebaliknya menguraikan secara terinci pada masalah-masalah
yang tidak banyak mengalami perubahan. Tidak diragukan lagi, bahwa ekonomi dan
politik termasuk masalah-masalah yang banyak mengalami perubahan. Oleh karena
itu, cukuplah dalam masalah ini, nash-nash yang menetapkan prinsip dan dasar yang
bersifat menyeluruh dan arahan yang bersifat prinsip.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada tiga dasar yang dapat dijadikan rujukan
yaitu:
1. Hadits yang berbunyi,”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
2. Keumuman dan kekekalan risalah Islamiyyah.
3. Perbedaan para ulama dan pemimpin.
Untuk menjawab keraguan atas ada tidaknya ekonomi Islam, dapat ditelusuri tiga
alasan tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Hadits yang berbunyi:Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian (HR.Muslim
dari Siti „Aisyah dan Anas). Hadits ini adalah hadits shahih. Hadits ini
disabdakan karena kasus tertentu, yaitu dalam pencangkokan pohon kurma dan
bagaimana Rasulullah mengemukakan satu pendapat yang sifatnya teknis pada
satu urusan duniawi yang beliau tidak mengetahuinya, karena beliau tinggal di
lembah yang tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Karena itu kita tidak boleh
melampaui batas hadits ini dan membatalkan semua nash Al-Qur‟an dan hadits
yang berkaitan dengan jual beli, pinjam meminjam, gadai, sewa menyewa,
kerjasama, perwakilan, penimbunan, permainan harga, riba dan lain
sebagainya.
2. Keumuman dan kekekalan risalah Islamiyyah. Bahwasanya ekonomi dalam Islam
mencakup dua macam ajaran dan hukum, yaitu:
a. Hal-hal yang bersifat tetap dan mengikat, tidak menerima ijtihad yang
akan mengalami perbedaan, sesuai dengan perbedaan masa, tempat,
lingkungan, keadaan dan faktor-faktor lainnya. Contoh dalam hal ini
adalah pemilikan pribadi, waris, perbedaan tingkat manusia dalam rizki,
kewajiban menyerahkan zakat kepada yang berhak menerimanya,
kewajiban infak di jalan Allah, haramnya kikir, mubadzir, haramnya
riba, penimbunan, mempermainkan harga, larangan memakan harta
anak yatim dengan batil, menghalalkan yang baik-baik, mengharamkan
yang buruk-buruk, dorongan untuk bekerja, larangan menyerahkan harta
kepada orang bodoh dan pemboros.
b. Suatu yang menerima perubahan dan tunduk pada perkembangan zaman.
Inilah hal, yang dalam Islam dijadikan medan ijtihad bagi para mujtahid.
Allah tidak menghendaki kesempatan dalam masalah ini kepada para
hamba-Nya dengan memberikan nash-nash tegas dan gamblang yang
mengikat mereka. Tetapi Allah membiarkannya tanpa memberikan nash
atau memberikan nash yang mengandung berbagai kemungkinan
penafsiran, untuk membuka peluang munculnya berbagai pandangan dan
pendapat yang menginginkan kebenaran dan mencari kemaslahatan.
3. Perbedaan para ulama dan pemimpin. Masalah ketiga yaitu perbedaan para
ulama dan pemimpin yang kadang tidak dapat ditemukan titik kesepakatan.
Sesungguhnya pernyataan ini tidak bisa diterima secara keseluruhan. Karena
ada hal-hal yang disepakati, yaitu sebagaimana diterangkan pada bagian
pertama. Dan ada pula yang diperselisihkan, sebagaimana yang diterangkan
pada bagian kedua. Perbedaan pendapat merupakan rahmat bagi umat, dan
bukan malapetaka. Bentuk rahmat, dari perbedaan pendapat adalah kita
mampu memilih di antara pendapat-pendapat tersebut, mana yang paling
sesuai bagi umat, paling maslahat bagi keadaan, paling layak bagi zamannya
dan paling bisa diharapkan untuk merealisasikan kebaikan bagi umat dan
menjauhkan keburukan bagi umat.
Kita perlu mempelajari ilmu ekonomi Islam, menyusunnya dari sumber utama
Al-Qur‟an, as-Sunnah dan Khazanah Islam lainnya, tanpa mengabaikan ilmu ekonomi
yang sudah ada yang dapat digunakan sebaik-baiknya untuk penyempurnaan. Alasan-
alasan dimaksud dapat disajikan sebagai berikut:
1. Dalam Al-Qur‟an dan sunnah banyak informasi yang jelas mengemukakan
pokok-pokok perekonomian. Informasi ini kita jadikan postulat. Jadi jangan
menggunakan postulat, informasi dan bahan yang tersedia. Ilmu ekonomi Islam
perlu disusun, walaupun baru pada taraf asas-asas ekonomi Islam saja. Di
samping itu umat Islam memiliki tata nilai yang sangat mengatur tingkah laku
umat agar mereka tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang nista, dengan
menetapkan nilai haram atau halal, makruh atau mubah, wajib atau sunnat,
fardhu‟ain atau kifayah. Nilai ini berlaku terhadap barang dan jasa. Juga nilai
demikian berlaku pada tindakan dan pekerjaan kita sehari-hari. Di sinilah
diperlukan “akhlaqul karimah”.
2. Ilmu ekonomi umum tidak dapat menjelaskan mengapa riba dilarang, mengapa
warisan dan perkawinan itu diatur sedemikian rupa sehingga membantu
pemerataan pendapatan atau kekayaan di kalangan masyarakat Islam.
3. Sudah banyak sekali ilmu yang ditumbuhkan dari khazanah Islam sendiri
kemudian berkembang bersama zamannya. Akan tetapi karena masalah
keduniaan, nampaknya ilmu ekonomi Islam tidak menjadi sentral pemikiran
Islam. Oleh karena itu konsep ekonomi Islam menjadi ketinggalan zaman dan
tidak pernah tersentuh serta berkembang. Memang di dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah terdapat ayat dan dalil mengenai ekonomi, tetapi kebanyakan
berkaitan dengan pertanian dan perdagangan bukan industri.
4. Penyusunan, pengembangan dan penerapan ekonomi Islam dimaksud agar umat
Islam mendapat kepastian kesertaannya dalam pembangunan ekonomi. Umat
Islam juga berkepentingan adanya:
a. Pertumbuhan ekonomi
b. Kesempatan kerja penuh
c. Efisiensi ekonomi
d. Pemantapan tingkat harga
e. Kebebasan perekonomian
f. Distribusi pendapatan yang merata
g. Neraca perdagangan Internasional
Kecuali itu, perlu memperhatikan masalah-masalah antara lain:
a. Kemiskinan
b. Polusi
c. Pengangguran
d. Inflasi
e. Pengawasan harga
f. Perpajakan
g. Kesehatan
h. Energi
i. Besaran ukuran perusahaan
j. Proteksi
k. Perdagangan bebas
l. Hutang Negara
Aspek-aspek bidang ekonomi yang dijalankan dalam kehidupan umat manusia tersebut
di atas perlu dipelajari menurut pendekatan dan perspektif Islam.
BAB III
PERBEDAAN DENGAN YANG LAIN
Selama tiga dasawarsa terakhir di abad ke-19, kekuatan industri, keuangan dan
perdagangan,terpusat pada pihak perusahaan raksasa Barat. Rejim keuangan dibangun
hampir diseluruh Negara-negara kapitalis, yaitu dengan konsentrasinya pada pemilikan
swasta dan penguasaan atas kapital. Dengan demikian, ini ada dominasi rejim
kapitalis di belahan dunia luas. Negara-negara industri kapitalis pada umumnya secara
brutal dan kuat menguasai semua wilayah untuk mendapatkan keuntungan potensial
melalui perusahaan-perusahaan besar. Banyak Negara Muslim, yang mencapai
kemerdekaannya dari bangsa Barat setelah Perang Dunia II, namun ekonominya masih
dieksploitasi oleh Negara-negara Barat.
Lebih-lebih praktek Barat dalam kehidupan ekonomi semakin menjadi terhadap
mesyarakat Muslim sebagai akibatnya adalah tidak terjadinya perkembangan yang
berarti. Saat ini, lembaga-lembaga yang mulai dibangun oleh Barat masih
meninggalkan (karakter) masyarakat Muslim. Sebab masyarakat Muslim yang dididik di
Barat setelah kembali ke daerahnya masih menerapkan pola-pola Barat. Praktek
ekonomi pola Barat terkenal dengan sebutan yang kurang baik, yaitu menciptakan
kesalahan distribusi pendapatan dan eksploitasi kepada masyarakat miskin oleh orang-
orang kaya baik di tingkat lokal maupun internasional. Kedua faktor ini memicu
munculnya pandangan bahwa sistem kapitalis harus digantikan dengan sistem yang
lebih sesuai (baik).
Pendekatan Umum Dalam Pembangunan Ekonomi
Agar memudahkan dalam perbandingan, maka dibatasi dua aliran besar sistem
perekonomian yang dikenal di dunia, yakni sistem ekonomi kapitalisme dan sistem
ekonomi sosialisme. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aliran kapitalisme dapat
dikatakan mendominasi praktik ekonomi di berbagai belahan bumi ini, karena
“terbukti” bahwa aliran ini lebih menjanjikan kemakmuran masyarakat yang menjadi
tujuan semua sistem perekonomian. Sementara itu, aliran sosialisme tampak menjadi
semakin kurang popular, karena terbukti dari beberapa Negara yang menerapkannya,
tingkat kemakmuran yang dicapai, kalah jauh dari Negara-negara yang menerapkan
sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu, dapat disaksikan akhir-akhir ini semakin
banyak Negara yang mengorientasikan sistem ekonominya menjadii kapitalisme.
Kalau dicermati lebih jauh, ada sebuah sistem lain yang berbeda dari sistem
ekonomi kapitalisme maupun sistem ekonomi sosialis, yakni sistem ekonomi Islam.
Terlepas dari perbedaan pandangan diantara berbagai pihak-termasuk perbedaan
pendapat dikalangan para pakar Muslim sendiri-ternyata masih ada sebagian kalangan
yang mempertanyakan apakah perlu dipakai istilah “sistem ekonomi Islam” atau tidak.
Berdasarkan gambar berikut, terbukti bahwa sistem ekonomi Islam-dipandang dari
sudut pandang keilmuan-dapat disejajarkan dengan kapitalisme atau sosialisme
sebagai sebuah sistem. Hal ini didasarkan pada argumentasi, bahwa sistem ekonomi
Islam dapat memenuhi semua persyaratan yang dituntut agara sesuatu sah
diklasifikasikan sebagai sebuah sistem. Misalnya saja, kalau dalam kapitalisme dan
sosialisme ada paradigma, dasar fondasi mikro (basic of micro foundations), dan
landasan filosofis (philosophic foundations), sistem ekonomi Islam juga mempunyai
semua unsur tersebut. Oleh sebab itu sistem ekonomi Islam sah bila disejajarkan
dengan sistem kapitalisme dan sosialisme. Perbandingan ketiga sistem ini dapat
dilihat pada gambar berikut ini.
Perbandingan Sistem Ekonomi Sosialis, Islam dan Kapitalis
Economics
Economic System
Keterbatasan Alat Ekonomi Sekuler dan Asumsi yang Diinginkan Dalam Ekonomi
Islam
Dalam kaitan ini dapat dibuat rekapitulasi apakah perbedaan (difference) yang
terjadi jika kita menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan (fulling needs) dengan
pemaksimalan kepuasan atas keinginan (maximizing, satisfaction of wants).
1. Hakekat Masalah, di dalam kerangka konvensional, munculnya masalah ekonomi
diasumsikan karena adanya kelangkaan sumberdaya. Seharusnya kelangkaan
sumberdaya dihilangkan. Akankah problem tersebut dipecahkan? Kemungkinan
besar tidak dapat. Inilah yang menyebabkan munculnya warisan
ketidakmampuan sumberdaya material tidak dapat memenuhi keinginan
manusia. Apakah keinginan manusia dapat dipenuhi sepenuhnya? Pada
kenyataannya, “keinginan” itu sendiri tidak memiliki batasan yang obyektif.
Keinginan itu sendiri merupakan sesuatu yang samar-samar (tidak jelas) dan
(jika) problem ekonomi itu dibatasi berdasarkan istilah ini, juga merupakan hal
yang masih samar-samar. Beberapa ahli ekonomi (seperti Galbraith)
menunjukkan ketidakpuasannya dalam menjelaskan sasaran ekonomik dalam
batasan keinginan. Menurut Galbraith: How can product be defended as want-
satisfying if that production itself creates wants? Pemuasan keinginan manusia
tidak hanya suatu asumsi teoritis untuk mendefinisikan problem ekonomi.
Ideologi kapitalistik itu sendiri secara praktis mengarahkan pada individu
mengejar tujuan yang tidak jelas ini. Di sisi lain, tujuan syari‟ah memberikan
dimensi yang berbeda terhadap problem ekonomi atas individu. Pertanyaannya
adalah mengapa pada saat memproduksi barang atau jasa atau mengapa pada
saat ingin menjelaskan aktivitas ekonomi pertama kali harus menempatkan
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungilah
http://mjkeuangan.blogspot.com
Anda bisa download isi lengkapnya,
GRATIS!!!
Terimakasih ya ^_^.