You are on page 1of 18

Ekonomi

Islam
BAB I
PENGERTIAN DAN TEORI

Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.


Sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.
(QS.Luqman:19)

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah
diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh
mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah:”Jika kami
sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu”. Mereka
membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
(QS. At-Taubah:42)

Ada sebagian pakar melontarkan suatu pernyataan, bahwa ilmu ekonomi Islam
bukanlah cabang ilmu ekonomi karena pada dasarnya ilmu ekonomi hanya terdiri dari
dua kutub, yaitu Kapitalis (yang bersumber pada Adam Smith-1776) dan Sosialis (yang
bersumber pada Karl Mark-1883,1876). Pendapat ini adalah benar, namun ada
pendapat lain yang pernah diungkapkan oleh Prof. Suroso Imam Jazuli, yang
menyatakan dalam makalahnya bahwa sejak tahun 1984 muncul gagasan untuk
menampilkan sistem perekonomian lain sebagai suatu alternatif. Sistem tersebut tidak
lain adalah Sistem Perekonomian Islam (SPI).
Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin SPI muncul sebagai sistem
perekonomian alternatif? Jika melihat sejarah perekonomian dunia, perubahan dari
suatu sistem ke sistem yang lain sangat dimungkinkan. Hal ini paling tidak bisa
dijelaskan dengan menggunakan kerangka perubahan sosial yang disebut dengan
mythic/epic of social change. Sebagaimana yang digunakan teori ini, ada dua siklus
utama dalam perubahan social, yaitu mythic dan epic cycle. Mythic Cycle
berhubungan dengan upaya sebuah masyarakat atau komunitas untuk
mempertahankan shared value (nilai-nilai yang dimiliki) dan kelangsungan hidup
komunitas tersebut. Sebaliknya epic cycle berkaitan dengan perubahan-perubahan
radikal dalam suatu masyarakat sehingga terbentuk mythic cycle baru. Kedua siklus ini
akan terus tarik menarik sampai terjadi keseimbangan (equilibrium) baru.
Dalam konteks sistem perekonomian, misalnya, ini terjadi ketika Adam Smith
menawarkan laissez-fair economy dimana dia bertindak sebagai epic atau hero. Hal
yang sama juga terjadi pada sosialismenya Karl Mark. Bagaimana dengan Sistem
Perekonomian Islam?
Dengan dicanangkannya abad ke-15 hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam,
meyakinkan bahwa SPI akan menjadi sistem perekonomian alternatif. Hal semacam ini
sudah diantisipasi oleh Huntington yang membagi dunia secara kultural menjadi tiga
yang sangat berpengaruh, yaitu: dunia Barat (Kristen/Katolik), Confius dan Islam.
Tesis Huntington menunjukkan bahwa Islam akan menjadi kekuatan baru dalam
ekonomi dan politik internasional. Agar keinginan ini bisa terwujud, yang barangkali
diperlukan adalah seorang tokoh yang bisa menjadi hero dan wadah organisasi yang
dapat digunakan untuk menampung aspirasi masyarakat Islam. Maka kita perlu,
kelompok-kelompok: pemerhati, pemikir dan peneliti Ekonomi Islam.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah SPI berada di antara sistem kapitalis
dan sistem sosialis, cenderung ke salah satu dari kedua sistem tersebut ataukah
berdiri sendiri? Untuk menjawab ini kita perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1. Sistem kapitalis, khususnya terlanjur mendominasi sistem perekonomian dunia
bahkan banyak negara yang notabene berpenduduk Islam cenderung
menggunakan sistem kapitalis walaupun dalam penerapannya terdapat
modifikasi
2. Secara ekonomi dan politik, tidak ada negara Islam yang dipandang kuat
sehingga sulit untuk membuktikan bahwa SPI lebih unggul ketimbang kapitalis
dan sosialis
3. Seperti yang dinyatakan oleh Raquibuz Zaman (1986), di antara para ahli
sendiri masih terdapat silang pendapat tentang pengertian Sistem
Perekonomian Islam.
Situasi demikian ini, diperlukan pemikiran secara berkelanjutan. Dalam hal ini
dibutuhkan ilmunya, yaitu metodologi pengembangan ilmu dan sistem ekonomi Islam.

Istilah Ekonomi dalam Al-Qur’an

Istilah ekonomi berasal dari kata Latin “ ecos” dan “nomos”. Kata ini memang
tidak dijumpai. Akan tetapi, jika kita membuka kamus Modern Bahasa Arab yang
ditulis oleh Hans Wehr dijumpai kata dasar “qa shada”, yang melahirkan “qasd” (yang
berarti: endeavor, aspiration, intentions, intent; design, purpose, resolution, object,
goal, aim, end, frugality, thrift dan economy); qasadan (intentionally, purposely
‘advisedly, on purpose ’deliberately); “qasdii” (intentional, intended); qasid
(aspired, desired, aimed at, intended); maqsid atau maqaasid (destination) dan
iqtishaad (saving, economization, retrenchment, thriftiness, thrift, providence,
economy). Dari sini lahirlah istilah “ilm al iqtishaadi” (ilmu ekonomi);ilm al iqtishaad
as siyaasi (politik ekonomi) iqtishaadan fil waqt (in order to save time) dan
aliqtishaadiyah (ekonomi).
Dari istilah-istilah tersebut diperoleh akar kata “ qa sha da”, sehingga di dalam
Al-Qur‟an dijumpai kata yang berakar dari qa sha da, dalam surat dan ayat:
1. Kata qashid pada surat Luqman ayat 19 yang berarti sederhana
2. Kata qashdu pada surat An-Nahl ayat 9 dengan arti jalan lurus/stabil
3. Kata qaashidan pada surat At-Taubah, ayat 42 dengan arti keinginan atau
kebutuhan
4. Kata muktashidun pada surat At-Taubah, ayat 42 dengan arti jalan lurus dan
surat Faathir ayat 32 dengan arti pertengahan.
5. Kata muqtashidatun pada surat Al-Maidah ayat 66 dengan arti golongan
pertengahan.
Definisi Ekonomi Islam

Dengan mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah, kita akan
mendapatkan kedamaian dan syafa‟at dari Allah. Oleh karena itu, fungsi pokok
ekonomi Islam, seperti halnya dengan pengetahuan yang lainnya, akan dapat
merealisasikan pencapaian kesempurnaan manusia melalui aktualisasi maqasih
(tujuan). Dalam hal ini perspektif ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai cabang
ilmu pengetahuan yang dapat membantu mewujudkan human well being melalui
pengalokasian dan pendistribusian sumber daya alam yang langka sesuai dengan
ajaran Islam, tanpa mengabaikan kebebasan individual atau terus menciptakan kondisi
makro ekonomi yang semakin baik dan mengurangi terjadinya ketidakseimbangan
ekologi.
Definisi ekonomi Islam mengalami perbedaan definisi antara ahli satu dengan
ahli yang lain. Pada tulisan ini sengaja disajikan definisi beberapa ahli, sebagai
berikut:
Islamic economics is the knowledge and applications and rules of the Shari’ah that
prevent injustice in the requisition and disposal of material resources in order to
provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligations to
Allah and the society.
[Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan hukum syari‟ah untuk mencegah
terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumber-sumber material
dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia dan melakukannya sebagai
kewajiban kepada Allah dan masyarakat].

Menanyakan Ada Tidaknya Ekonomi Islam

Barangkali di dalam hati kita sampai saat ini mengalami perasaan yang sama
dengan perasaannya sahabat Syeikh Yusuf Qardhawi pada 30 tahun yang lalu. Suatu
ketika Syeikh Yusuf Qardhawi berdiskusi dengan sahabatnya. Dia seorang dosen di
beberapa perguruan tinggi di Barat. Sahabat Syeikh bertanya, “Apakah anda memiliki
keyakinan bahwa Islam memiliki sistem ekonomi atau politik yang berbeda dengan
sistem lainnya, baik dari segi sistem maupun aturannya?”
Syeikh menjawab,”Jika yang dimaksud dengan sistem atau aturan dalam bentuk
terurai yang mencakup cabang, rincian dan cara pengaplikasian yang beranekaragam,
maka saya menjawab tidak ada. Tetapi jika yang dimaksud adalah gambaran secara
global yang mencakup pokok-pokok petunjuk, kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan
prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang bersifat spesifik, maka saya
jawab ada”.
Salah satu ciri ajaran Islam adalah karena sistem Islam selalu menetapkan
secara global dalam masalah-masalah yang mengalami perubahan, karena perubahan
lingkungan dan zaman. Sebaliknya menguraikan secara terinci pada masalah-masalah
yang tidak banyak mengalami perubahan. Tidak diragukan lagi, bahwa ekonomi dan
politik termasuk masalah-masalah yang banyak mengalami perubahan. Oleh karena
itu, cukuplah dalam masalah ini, nash-nash yang menetapkan prinsip dan dasar yang
bersifat menyeluruh dan arahan yang bersifat prinsip.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada tiga dasar yang dapat dijadikan rujukan
yaitu:
1. Hadits yang berbunyi,”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
2. Keumuman dan kekekalan risalah Islamiyyah.
3. Perbedaan para ulama dan pemimpin.
Untuk menjawab keraguan atas ada tidaknya ekonomi Islam, dapat ditelusuri tiga
alasan tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Hadits yang berbunyi:Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian (HR.Muslim
dari Siti „Aisyah dan Anas). Hadits ini adalah hadits shahih. Hadits ini
disabdakan karena kasus tertentu, yaitu dalam pencangkokan pohon kurma dan
bagaimana Rasulullah mengemukakan satu pendapat yang sifatnya teknis pada
satu urusan duniawi yang beliau tidak mengetahuinya, karena beliau tinggal di
lembah yang tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Karena itu kita tidak boleh
melampaui batas hadits ini dan membatalkan semua nash Al-Qur‟an dan hadits
yang berkaitan dengan jual beli, pinjam meminjam, gadai, sewa menyewa,
kerjasama, perwakilan, penimbunan, permainan harga, riba dan lain
sebagainya.
2. Keumuman dan kekekalan risalah Islamiyyah. Bahwasanya ekonomi dalam Islam
mencakup dua macam ajaran dan hukum, yaitu:
a. Hal-hal yang bersifat tetap dan mengikat, tidak menerima ijtihad yang
akan mengalami perbedaan, sesuai dengan perbedaan masa, tempat,
lingkungan, keadaan dan faktor-faktor lainnya. Contoh dalam hal ini
adalah pemilikan pribadi, waris, perbedaan tingkat manusia dalam rizki,
kewajiban menyerahkan zakat kepada yang berhak menerimanya,
kewajiban infak di jalan Allah, haramnya kikir, mubadzir, haramnya
riba, penimbunan, mempermainkan harga, larangan memakan harta
anak yatim dengan batil, menghalalkan yang baik-baik, mengharamkan
yang buruk-buruk, dorongan untuk bekerja, larangan menyerahkan harta
kepada orang bodoh dan pemboros.
b. Suatu yang menerima perubahan dan tunduk pada perkembangan zaman.
Inilah hal, yang dalam Islam dijadikan medan ijtihad bagi para mujtahid.
Allah tidak menghendaki kesempatan dalam masalah ini kepada para
hamba-Nya dengan memberikan nash-nash tegas dan gamblang yang
mengikat mereka. Tetapi Allah membiarkannya tanpa memberikan nash
atau memberikan nash yang mengandung berbagai kemungkinan
penafsiran, untuk membuka peluang munculnya berbagai pandangan dan
pendapat yang menginginkan kebenaran dan mencari kemaslahatan.
3. Perbedaan para ulama dan pemimpin. Masalah ketiga yaitu perbedaan para
ulama dan pemimpin yang kadang tidak dapat ditemukan titik kesepakatan.
Sesungguhnya pernyataan ini tidak bisa diterima secara keseluruhan. Karena
ada hal-hal yang disepakati, yaitu sebagaimana diterangkan pada bagian
pertama. Dan ada pula yang diperselisihkan, sebagaimana yang diterangkan
pada bagian kedua. Perbedaan pendapat merupakan rahmat bagi umat, dan
bukan malapetaka. Bentuk rahmat, dari perbedaan pendapat adalah kita
mampu memilih di antara pendapat-pendapat tersebut, mana yang paling
sesuai bagi umat, paling maslahat bagi keadaan, paling layak bagi zamannya
dan paling bisa diharapkan untuk merealisasikan kebaikan bagi umat dan
menjauhkan keburukan bagi umat.

Ekonomi Islam adalah Hukum Syara’

Ekonomi Islam-dilihat dari segi aqidahnya-tergolong kelompok ilmu-ilmu syara‟.


Sisi hubungan antara manusia merupakan dasar bagi ilmu ini, dan hal ini membawa
pada hubungan yang mengaitkan ekonomi Islam dengan ilmu tauhid, ilmu ushul fiqh,
ilmu hadits, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ilmu syara‟ mempunyai peranan
penting dalam ekonomi Islam dalam mengkaji cara manusia dalam memenuhi
kebutuhan primer, sekunder dan lux. Kebutuhan primer diawali dengan menjaga
agama, jiwa, akal, keluarga dan harta. Unsur-unsur ekonomi banyak disandarkan pada
kemaslahatan ini.
Tidak diragukan bahwa ekonomi Islam termasuk ilmu syara‟ yang banyak
berhubungan dengan lingkungan, manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan
hidupnya berinteraksi dengan lingkungannya atau secara global berhubungan dengan
alam. Misalnya, pengeboran sumber-sumber mata air, eksplorasi kekayaan bumi dan
berhubungan dengan lahan pertanian dan ini membutuhkan aturan interaksi dalam
pendayagunaan hasil pabrik atau pertanian dan membutuhkan banyak peraturan yang
harus disepakati.
Telah dijelaskan bahwa watak dasar ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi
konvensional. Maka bukan berarti seorang pengkaji perekonomian Islam tidak peduli
akan berkembangnya konsep pemikiran ekonomi konvensional dalam berbagai bidang.
Tidak perlu diragukan, konsep pemikiran ekonomi konvensional-yang merupakan
produk manusia-telah melekat erat dalam lapangan pertanian dan industri,
menetapkan cara-cara dan perangkat analisa ekonomi. Semua ini sangat dimungkinkan
dapat membantu dalam perkembangan konsep ekonomi Islam.
BAB II
RUANG LINGKUP

Kita perlu mempelajari ilmu ekonomi Islam, menyusunnya dari sumber utama
Al-Qur‟an, as-Sunnah dan Khazanah Islam lainnya, tanpa mengabaikan ilmu ekonomi
yang sudah ada yang dapat digunakan sebaik-baiknya untuk penyempurnaan. Alasan-
alasan dimaksud dapat disajikan sebagai berikut:
1. Dalam Al-Qur‟an dan sunnah banyak informasi yang jelas mengemukakan
pokok-pokok perekonomian. Informasi ini kita jadikan postulat. Jadi jangan
menggunakan postulat, informasi dan bahan yang tersedia. Ilmu ekonomi Islam
perlu disusun, walaupun baru pada taraf asas-asas ekonomi Islam saja. Di
samping itu umat Islam memiliki tata nilai yang sangat mengatur tingkah laku
umat agar mereka tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang nista, dengan
menetapkan nilai haram atau halal, makruh atau mubah, wajib atau sunnat,
fardhu‟ain atau kifayah. Nilai ini berlaku terhadap barang dan jasa. Juga nilai
demikian berlaku pada tindakan dan pekerjaan kita sehari-hari. Di sinilah
diperlukan “akhlaqul karimah”.
2. Ilmu ekonomi umum tidak dapat menjelaskan mengapa riba dilarang, mengapa
warisan dan perkawinan itu diatur sedemikian rupa sehingga membantu
pemerataan pendapatan atau kekayaan di kalangan masyarakat Islam.
3. Sudah banyak sekali ilmu yang ditumbuhkan dari khazanah Islam sendiri
kemudian berkembang bersama zamannya. Akan tetapi karena masalah
keduniaan, nampaknya ilmu ekonomi Islam tidak menjadi sentral pemikiran
Islam. Oleh karena itu konsep ekonomi Islam menjadi ketinggalan zaman dan
tidak pernah tersentuh serta berkembang. Memang di dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah terdapat ayat dan dalil mengenai ekonomi, tetapi kebanyakan
berkaitan dengan pertanian dan perdagangan bukan industri.
4. Penyusunan, pengembangan dan penerapan ekonomi Islam dimaksud agar umat
Islam mendapat kepastian kesertaannya dalam pembangunan ekonomi. Umat
Islam juga berkepentingan adanya:
a. Pertumbuhan ekonomi
b. Kesempatan kerja penuh
c. Efisiensi ekonomi
d. Pemantapan tingkat harga
e. Kebebasan perekonomian
f. Distribusi pendapatan yang merata
g. Neraca perdagangan Internasional
Kecuali itu, perlu memperhatikan masalah-masalah antara lain:
a. Kemiskinan
b. Polusi
c. Pengangguran
d. Inflasi
e. Pengawasan harga
f. Perpajakan
g. Kesehatan
h. Energi
i. Besaran ukuran perusahaan
j. Proteksi
k. Perdagangan bebas
l. Hutang Negara
Aspek-aspek bidang ekonomi yang dijalankan dalam kehidupan umat manusia tersebut
di atas perlu dipelajari menurut pendekatan dan perspektif Islam.
BAB III
PERBEDAAN DENGAN YANG LAIN

Sampailah kita kepada analisis persoalan kedudukan ekonomi Islam dalam


sistem ekonomi lainnya (kapitalis dan sosialis). Sebelum sampai pada pokok
persoalannya, terlebih dahulu perlu ditelusuri: Mengapa Negara Islam lebih suka
mengimpor sistem Barat? Bagaimana pendekatan dalam pembangunan ekonomi?
Bagaimana cara membangitkan kembali pendekatan Islam dalam pembangunan
bangsa? Dengan jawaban sebagai berikut:

Importasi Praktik Pola Barat

Selama tiga dasawarsa terakhir di abad ke-19, kekuatan industri, keuangan dan
perdagangan,terpusat pada pihak perusahaan raksasa Barat. Rejim keuangan dibangun
hampir diseluruh Negara-negara kapitalis, yaitu dengan konsentrasinya pada pemilikan
swasta dan penguasaan atas kapital. Dengan demikian, ini ada dominasi rejim
kapitalis di belahan dunia luas. Negara-negara industri kapitalis pada umumnya secara
brutal dan kuat menguasai semua wilayah untuk mendapatkan keuntungan potensial
melalui perusahaan-perusahaan besar. Banyak Negara Muslim, yang mencapai
kemerdekaannya dari bangsa Barat setelah Perang Dunia II, namun ekonominya masih
dieksploitasi oleh Negara-negara Barat.
Lebih-lebih praktek Barat dalam kehidupan ekonomi semakin menjadi terhadap
mesyarakat Muslim sebagai akibatnya adalah tidak terjadinya perkembangan yang
berarti. Saat ini, lembaga-lembaga yang mulai dibangun oleh Barat masih
meninggalkan (karakter) masyarakat Muslim. Sebab masyarakat Muslim yang dididik di
Barat setelah kembali ke daerahnya masih menerapkan pola-pola Barat. Praktek
ekonomi pola Barat terkenal dengan sebutan yang kurang baik, yaitu menciptakan
kesalahan distribusi pendapatan dan eksploitasi kepada masyarakat miskin oleh orang-
orang kaya baik di tingkat lokal maupun internasional. Kedua faktor ini memicu
munculnya pandangan bahwa sistem kapitalis harus digantikan dengan sistem yang
lebih sesuai (baik).
Pendekatan Umum Dalam Pembangunan Ekonomi

Kegagalan pendekatan pembangunan ekonomi secara tradisional adalah


ditandai dengan adanya kemiskinan masyarakat, eksploitasi kaum miskin dari kaum
kaya dan berkuasa, meningkatnya disparitas pada tingkat regional dan internasional,
tidak seimbangnya produksi dan konsumsi terhadap kebutuhan lingkungan dan tidak
rasionalnya pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaiki. Oleh karena
itu, beberapa ahli ekonomi menekankan perlunya pertanggungjawaban sosial, kultural
dan agama dalam memilih jalur-jalur pembangunan, yang lebih baik daripada jalur
atau strategi pembangunan pola Barat.
Sebagai akibatnya adalah beberapa penyelidikan, yang secara mendasar dalam
masalah ekonomi, dilakukan secara bertahap dengan mendasarkan pada kebijakan
publik yang lebih sesuai, seperti hukum, pemerintah, diplomasi, ilmu pengetahuan
sosial dan agama. Hal ini diharapkan agar terjadi interaksi yang dapat mengarahkan
pada bentuk pemikiran baru dan lebih baik dalam pembangunan kebijakan publik.

Membangkitkan Kembali Pendekatan Pembangunan Secara Islami

Pada umumnya negara dunia ketiga, adalah didominasi oleh negara-negara


Muslim (Islam), yang dalam pembangunan negaranya masih menggunakan strategi
pembangunan dari Barat. Setelah tiga dasawarsa eksperimentasi, Negara Islam
mencoba melakukan pencangkokan model Barat dan gaya hidup Barat, yang dipadukan
untuk kepentingan pembangunan, namun hasilnya tidak memuaskan.
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan, bahwa kegagalan strategi
pembangunan pada masa lalu adalah:
1. Diarahkan pada keseluruhan masalah sosial-ekonomi yang bertentangan dengan
pembangunan Negara
2. Ada sesuatu yang terlibat dalam pergerakan pengelakan atas peningkatan
upaya pembangunan di Dunia Ketiga. Pergerakan ini merupakan suatu masalah
yang sahih jika dilakukan dengan memisahkan sosio-ekonomi dan budaya. Tidak
ada alasan yang dapat dijadikan pijakan dari ahli teori pembangunan bahwa
ada suatu ketidak-kompabilitas inherent antara agama tradisional tertentu,
disatu sisi, dan kemajuan sosial-ekonomi di sisi lain. Padahal masalah
pembangunan itu akan berakar dari sumber budaya tiap-tiap masyarakat.
Dengan demikian tidak dapat dipisahkan kebijakan sosial-ekonomi dari konteks
sosio-kultural yang diterapkan dan dari situlah semuanya itu akan dihasilkan.
Demikian juga, melalui hal tersebut kebudayaan, agama merupakan komponen
esensial bagi pembangunan.
Islam adalah agama yang memiliki kode etik kehidupan yang komplit, sehingga sangat
potensial untuk menyelesaikan problem kehidupan umat manusia, baik dari sisi sosial,
politik dan ekonomi. Pada kenyataannya, sampai saat ini ekonomi masyarakat Muslim
masih mengekor sistem kapitalis Barat dan beberapa Negara juga menganut sistem
sosialis dan nasionalis sejak mereka memperoleh kemerdekaannya dari kekuatan
asing. Jadi perlu adanya komitmen melakukan transisi dari paradigma lama ke
paradigma Islam. Sebab tidak satupun sistem yang dapat mengantarkan kebaikan bagi
masyarakat Muslim. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Negara Islam untuk keluar dari
problem cengkeraman bangsa Barat, dewasa ini telah diupayakan. Upaya inilah yang
disebut dengan proses Islamisasi.
Dominasi Barat menciptakan kesenjangan antara aksi manusia dengan jiwa
Islami bagi Negara-negara Islam. Ada upaya yang dilakukan secara terus menerus
untuk mempersempit kesenjangan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagai contoh,
dominasi Barat dalam bidang ekonomi, dimana Barat mengedepankan aspek bunga
dalam perilaku ekonominya, maka dalam Islam akan dicoba untuk mengubah pola
tersebut dengan sistem yang lebih sesuai dan menguntungkan bagi masyarakat
Muslim. Dengan demikian perlu Islamisasi sistem keuangan (ekonomi) dan sistem
makro-ekonomi. Dengan demikian, pendirian sistem keuangan Islami merupakan salah
satu usaha awal untuk mengubah dan memperbaiki semua lembaga ekonomi yang
sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.
Sebuah Perbandingan Paradigma Sistem Ekonomi

Agar memudahkan dalam perbandingan, maka dibatasi dua aliran besar sistem
perekonomian yang dikenal di dunia, yakni sistem ekonomi kapitalisme dan sistem
ekonomi sosialisme. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa aliran kapitalisme dapat
dikatakan mendominasi praktik ekonomi di berbagai belahan bumi ini, karena
“terbukti” bahwa aliran ini lebih menjanjikan kemakmuran masyarakat yang menjadi
tujuan semua sistem perekonomian. Sementara itu, aliran sosialisme tampak menjadi
semakin kurang popular, karena terbukti dari beberapa Negara yang menerapkannya,
tingkat kemakmuran yang dicapai, kalah jauh dari Negara-negara yang menerapkan
sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu, dapat disaksikan akhir-akhir ini semakin
banyak Negara yang mengorientasikan sistem ekonominya menjadii kapitalisme.
Kalau dicermati lebih jauh, ada sebuah sistem lain yang berbeda dari sistem
ekonomi kapitalisme maupun sistem ekonomi sosialis, yakni sistem ekonomi Islam.
Terlepas dari perbedaan pandangan diantara berbagai pihak-termasuk perbedaan
pendapat dikalangan para pakar Muslim sendiri-ternyata masih ada sebagian kalangan
yang mempertanyakan apakah perlu dipakai istilah “sistem ekonomi Islam” atau tidak.
Berdasarkan gambar berikut, terbukti bahwa sistem ekonomi Islam-dipandang dari
sudut pandang keilmuan-dapat disejajarkan dengan kapitalisme atau sosialisme
sebagai sebuah sistem. Hal ini didasarkan pada argumentasi, bahwa sistem ekonomi
Islam dapat memenuhi semua persyaratan yang dituntut agara sesuatu sah
diklasifikasikan sebagai sebuah sistem. Misalnya saja, kalau dalam kapitalisme dan
sosialisme ada paradigma, dasar fondasi mikro (basic of micro foundations), dan
landasan filosofis (philosophic foundations), sistem ekonomi Islam juga mempunyai
semua unsur tersebut. Oleh sebab itu sistem ekonomi Islam sah bila disejajarkan
dengan sistem kapitalisme dan sosialisme. Perbandingan ketiga sistem ini dapat
dilihat pada gambar berikut ini.
Perbandingan Sistem Ekonomi Sosialis, Islam dan Kapitalis

Economics

Economic System

Socialism Islamic Economic System Capitalism

Paradigm Marxian Paradigm Shari’ah Paradigm Market


Economic
Basic of the micro Basic of the micro
foundation: No private foundation: Basic of micro
ownership of the means of “Muslim man” foundations:
productions (Ahsan Taqwim) “Economic man”

Philosophic foundations: Philosophic foundations: Philosophic foundations:


Dialectical materialism Individualism in the role of Utilitarian individualism

vicegerent of the god on based on the laissez-faire

earth with an objective to philosophy

achieve “falah” ini this


world and in the hereafter,
accountable fo performance

Hal penting yang dapat ditarik dari gambar diatas adalah:


1. Sistem ekonomi Islam menurut pendekatan keilmuan sejajar keberadaannya
dengan kapitalisme dan sosialisme
2. Siapapun dapat melihat bahwa sistem ekonomi Islam tidak sama, baik dengan
kapitalisme maupun sosialisme.
3. Sistem ekonomi Islam tidak bisa dikatakan secara sederhana meskipun posisinya
berada di tengah atau di antara kedua sistem yang ada.
Gambar di atas secara gamblang menunjukkan adanya perbedaan sangat mendasar
dalam hal paradigma, dasar fondasi mikro, maupun landasannya filosofisnya.
Perbedaan-perbedaan ini tentu memberi akibat pada tataran lebih rendah. Sekedar
contoh yang paling mudah, bagi paham kapitalisme adalah sah saja bagi seseorang
untuk berdagang apa saja, sejauh hal tersebut memberikan keuntungan. Akan tetapi
sistem ekonomi Islam tidaklah demikian, ada ketentuan yang mengatur, misalnya
untuk tidak boleh memperdagangkan komoditi atau jasa tertentu yang melanggar
aturan syari‟ah, seperti babi, minuman keras, perjudian dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas, terbukti bahwa sistem kapitalisme tidak dapat disamakan
dengan sistem ekonomi Islam-baik dari aspek filosofinya, apalagi dalam tataran teknis
atau metodisnya-konsekuensinya adalah harus ada kejelian dan kehati-hatian dalam
pemakaian instrument atau alat.
Pembicaraan mengenai Sistem Ekonomi Islam, pada beberapa tahun terakhir ini
mulai mencuat ke permukaan. Namun pembicaraan acapkali membosankan, karena
pembahasannya cenderung dengan pendekatan fiqiyah atau masih bersifat normatif.
Pembicaraan semacam ini bukan dilakukan oleh para kiyai, ulama atau para santri,
tetapi juga oleh kebanyakan ekonom Muslim. Sementara bahasan yang berkenaan
dengan praktek ekonomi Islam belum banyak dilakukan. Firman Allah dinyatakan
dalam salah satu ayatnya, bahwa “Umat Islam harus menjalankan ajaran Islam secara
kaffah”. Perintah ini memacu umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam dapat
mencakup seluruh aspek kehidupan, baik politik, sosial, budaya dan juga aspek
ekonomi, disamping aspek keagamaan, serta mencakup seluruh teori dan prakteknya.
Disinilah letak agama Islam sebagai agama “Rahmatan lil „alamin”.
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sistem ekonomi Islam
merupakan sub sistem dari supra sistem ajaran Islam. Sebagai sebuah sub sistem,
sistem ekonomi Islam tegak dan ditegakkan dengan bertumpu pada pilar-pilar atau
landasan yang kokoh. Pilar-pilar atau landasan itu adalah:
1. Nilai dasar
2. Nilai instrumental
3. Nilai filosofis
4. Nilai normatif
5. Nilai praktis
Untuk dapat menjalankan suatu sub atau sistem baru dari kerangka sistem yang telah
ada harus mengkaji terhadap pilar-pilar tersebut sehingga apa yang direncanakan dan
akan dilaksanakan dapat diwujudkan, tanpa banyak menimbulkan dampak kurang baik
kepada masayarakat pemakai.

Keterbatasan Alat Ekonomi Sekuler dan Asumsi yang Diinginkan Dalam Ekonomi
Islam

Dalam kaitan ini dapat dibuat rekapitulasi apakah perbedaan (difference) yang
terjadi jika kita menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan (fulling needs) dengan
pemaksimalan kepuasan atas keinginan (maximizing, satisfaction of wants).
1. Hakekat Masalah, di dalam kerangka konvensional, munculnya masalah ekonomi
diasumsikan karena adanya kelangkaan sumberdaya. Seharusnya kelangkaan
sumberdaya dihilangkan. Akankah problem tersebut dipecahkan? Kemungkinan
besar tidak dapat. Inilah yang menyebabkan munculnya warisan
ketidakmampuan sumberdaya material tidak dapat memenuhi keinginan
manusia. Apakah keinginan manusia dapat dipenuhi sepenuhnya? Pada
kenyataannya, “keinginan” itu sendiri tidak memiliki batasan yang obyektif.
Keinginan itu sendiri merupakan sesuatu yang samar-samar (tidak jelas) dan
(jika) problem ekonomi itu dibatasi berdasarkan istilah ini, juga merupakan hal
yang masih samar-samar. Beberapa ahli ekonomi (seperti Galbraith)
menunjukkan ketidakpuasannya dalam menjelaskan sasaran ekonomik dalam
batasan keinginan. Menurut Galbraith: How can product be defended as want-
satisfying if that production itself creates wants? Pemuasan keinginan manusia
tidak hanya suatu asumsi teoritis untuk mendefinisikan problem ekonomi.
Ideologi kapitalistik itu sendiri secara praktis mengarahkan pada individu
mengejar tujuan yang tidak jelas ini. Di sisi lain, tujuan syari‟ah memberikan
dimensi yang berbeda terhadap problem ekonomi atas individu. Pertanyaannya
adalah mengapa pada saat memproduksi barang atau jasa atau mengapa pada
saat ingin menjelaskan aktivitas ekonomi pertama kali harus menempatkan
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungilah
http://mjkeuangan.blogspot.com
Anda bisa download isi lengkapnya,
GRATIS!!!
Terimakasih ya ^_^.

You might also like