You are on page 1of 29

BAB 11

KIMIA PELAPUKAN DAN PERLINDUNGAN


William C. Feist & David N.S. Hon

Kayu yang berada di ruangan terbuka mengalami fotodegradasi dan


degradasi fotooksidatif pada proses pelapukan secara alami. Sinar ultra
violet berinteraksi dengan lignin sehingga menimbulkan diskolorasi dan
deteriorasi. Deteriorasi kayu dalam proses pelapukan alami melibatkan
serangkaian reaksi radikal bebas yang sangat kompleks. Cahaya tidak
dapat menembus kayu lebih dari 200 μm, sehingga reaksi degradasi
hanya terjadi di permukaan. Radikal bebas terbentuk di alam kayu oleh
sinar yang secara cepat berinteraksi dengan oksigen sehingga
menghasilkan peroksida air yang mudah terdekomposisi menghasilkan
kelompok kromoporik. Pengaruh pelapukan pada ruangan terbuka
terhadap sifat kayu dan benda berbahan dasar kayu dibahas secara rinci
di dalam bab ini. Di samping itu dijelaskan pula perubahan-perubahan
makroskopis, mikroskopis, kimia, dan fisik. Diberikan pula ulasan
tentang mekanisme pelapukan dan metode perlindungan permukaan
kayu yang dibiarkan terbuka.

Kayu secara alami merupakan bahan yang tahan lama yang telah dikenal selama
berabad-abad di seluruh dunia karena fungsinya yang bermacam-macam dan sifat
struktur serta bahan bangunan yang menarik. Namun demikian, seperti bahan-bahan
biologi lainnya, kayu sangat rentan terhadap degradasi lingkungan. Jika kayu
dibiarkan berada di ruangan terbuka, maka sebuah kombinasi yang kompleks dari
faktor-faktor kimia, mekanik, dan energi cahaya berperan dalam apa yang disebut
dengan pelapukan (1). Pelapukan di sini tidak sama dengan dekomposisi yang
disebabkan oleh kegiatan organisme (cendawan) pada kondisi air dan gas yang
berlebih dalam jangka waktu yang lama (2). Pada kondisi yang sesuai untuk
terjadinya dekomposisi, kayu dapat mengalami deteriorasi dengan cepat dan hasilnya
sangat berbeda dengan apa yang terlihat pada pelapukan di ruangan terbuka secara
alami.
Degradasi kayu oleh berbagai agen biologi dan fisik memodifikasi beberapa
komponen organiknya. Komponen organik di dalam kayu terutama adalah
polisakarida dan polifenolik: sellulosa, hemisellulosa, dan lignin. Selain itu juga
terdapat extractive dalam jumlah yang relatif sedikit dan konsentrasinya dapat
menentukan warna, bau, dan sifat non mekanik lainnya dari sebuah spesies kayu.
Stalker (3) membagi agen lingkungan yang menyebabkan degradasi kayu ke dalam
beberapa kategori. Bentuk fisik energi digunakan untuk menggambarkan seluruh
faktor selain cendawan, serangga, atau hewan. Pentingnya berbagai agen perusak
fisik pada kayu dapat ditunjukkan dengan membandingkan dua keadaan, yaitu di
dalam dan di luar struktur kayu (Tabel 1). Resiko yang paling serius bagi kayu dalam
ruangan tertutup adalah kebakaran. Sedangkan faktor yang paling penting di ruangan
terbuka adalah pelapukan.
Bab ini memperbaharui dan merangkum berbagai pustaka yang telah ada tentang
pelapukan dan perlindungan kayu, dan menekankan penelitian terbaru di bidang ini.
Tabel 1. Dampak relatif dari berbagai bentuk energi pada kayu
Latar Belakang
Marah adalah sebuah daerah gurun pasir di sekitar Laut Merah di semenanjung Sinai.
Air gurun tersebut rasanya pahit karena tingkat basa yang tinggi. Pelapukan kayu di
gurun pasir oleh matahari menyebabkan gugus alkohol dari sellulosa dan
hemisellulosa teroksidasi menjadi gugus karboksil. Dengan memasukkan kayu yang
terlapuk ke dalam air basa, maka terjadi reaksi asam–basa sehingga tingkat kebasaan
air turun. Oleh karena itu air tersebut menjadi manis.
Sebagai tambahan dari peristiwa ini, manusia tertarik dengan pengaruh degradasi oleh
lingkungan terhadap kayu sejak pertama kali menggunakan bahan tersebut. Namun,
tidak demikian sampai pada tahun 1827 ketika fenomena kimia dari pelapukan kayu
dilaporkan oleh Berzelius (4), diikuti oleh Wiesner (5) pada tahun 1846, dan
Scharmm tahun 1906. Namun demikian, penelitian secara sistematis tentang reaksi
pelapukan di dalam kayu belum dimulai hingga tahun 1950-an (1).
Aspek Umum dari Pelapukan Kayu
Pada pelapukan kayu lunak di ruangan terbuka, permukaan menjadi kasar dengan
meningkatnya butiran, kayu menjadi retak, dan retakan tersebut berkembang menjadi
retakan besar; butiran terlepas, dan papan melengkung dan bengkok dan terlepas dari
ikatannya. Permukaan yang kasar berubah warna, bercampur dengan kotoran dan
lumut, dan menjadi suram kayu tersebut kehilangan ikatan permukaannya dan
menjadi rapuh sehingga menimbulkan serpihan-serpihan. Seluruh dampak ini,
disebabkan oleh kombinasi cahaya, air, dan panas dapat dirangkum dalam satu kata:
pelapukan.
Dampak perusakan dari pelapukan kayu diduga disebabkan suatu reaksi yang
kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor pelapukan yang berperan
pada perubahan yang terjadi di permukaan kayu adalah radiasi sinar matahari (ultra
violet, sinar tampak, dan infra merah), air (embun, hujan, salju, dan kelembaban),
suhu, dan oksigen. Dari berbagai faktor ini, energi foton dari radiasi sinar matahari
merupakan komponen lingkungan di ruangan terbuka yang paling merusak dan
menyebabkan berbagai perubahan kimia pada permukaan kayu. Selanjutnya, faktor
pelapukan lainnya muncul dengan adanya bahan pencemar pada atmosfer seperti
sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan ozon dengan ada atau tidaknya sinar ultra
violet.Struktur anatomi kayu dan kerentanannya terhadap pelapukan. Dinding sel
kayu memiliki lapisan ganda. Mereka terdiri dari lamella tengah, dinding utama (P),
dan lapisan dinding sekunder bagian luar (S1), tengah (S2), dan dalam (S3). Lapisan-
lapisan ini berbeda satu sama lain menurut struktur, orientasi dan jumlah fibril pada
serat, demikian juga dengan komposisi kimianya. Distribusi dari unsur-unsur kimia
di dalam dinding sel pada permukaan memiliki pengaruh yang kuat terhadap stabilitas
pelapukan kayu. Unsur kimia pada dinding sel digambarkan dalam Gambar 1.
Sellulosa, sebuah polimer kristal linier dari (1,4)-β-D-glucopyranose, merupakan
komponen utama dinding sel (~45% dari total berat kering), dan sebagian besar
terletak pada dinding sekunder. Hemisellulosa (~20%) adalah karbohidrat polimer
amorf yang memiliki sedikit struktur bercabang. Lignin, sebuah jaringan polyphenol
tiga dimensi (~20—30%) tersebar di seluruh dinding sel tetapi sebagian besar
terkonsentrasi di daerah lamella tengah. Bahan-bahan polimer ini sangat beragam
dalam kerentanannya terhadap pelapukan. Keragaman stabilitas tersebut terutama
disebabkan oleh perbedaan struktur kimia, khususnya pada gugus fungsional
kromoforik. Ion logam dan kontaminan lainnya juga dapat mendorong deteriorasi
oleh cahaya (1, 7, 8).
Faktor Pelapukan. AIR. Salah satu penyebab utama pelapukan adalah seringnya
singgungan permukaan kayu dengan kandungan air yang berubah dengan cepat (1).
Turunnya hujan atau embun pada kayu yang tidak terlindungi secara cepat diserap
oleh gaya kapiler pada lapisan permukaan kayu, diikuti dengan penjerapan di dalam
dinding sel kayu. Uap air diambil secara langsung melalui adsorpsi pada kondisi
kelembaban relatif yang tinggi; sehingga kayu mengembang. Tekanan (stress) terjadi
di dalam kayu dengan pengembangan dan pengerutan yang disebabkan oleh gradien
air antara permukaan dan bagian dalam. Stress tersebut lebih besar pada gradien air
yang lebih mendadak dan biasanya paling besar di sekitar permukaan kayu. Stress
yang tidak seimbang dapat menyebabkan lengkungan dan retakan permukaan (9–16).
Gambar 1. Komponen kimia pada dinding sel kayu
CAHAYA. Degradasi fotokimia kayu yang disebabkan oleh sinar matahari berlangsung
dengan sangat cepat pada permukaan kayu yang terbuka (1, 8, 17). Permulaan
perubahan warna kayu yang terkena sinar matahari adalah menguning atau coklat
yang akhirnya menjadi kelabu. Perubahan warna ini dapat dihubungkan dengan
dekomposisi lignin pada permukaan sel kayu dan hanya terjadi pada permukaan (17
—20). Perubahan ini hanya terjadi pada kedalaman 0,05—2,5 mm (lihat bagian yang
bertajuk “Penetrasi Sinar dan Deteriorasi Permukaan Kayu”) dan disebabkan oleh
sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, yang menyebabkan fotodegradasi.
Fotodegradasi oleh sinar ultra violet menyebabkan perubahan komposisi kimia,
khususnya lignin, dan selanjutnya perubahan warna (7, 8, 21—26).
Dua unsur yang paling penting dari pelapukan, yaitu sinar matahari dan air,
cenderung terjadi pada waktu yang berbeda. Kayu dapat tersinari setelah dibasahi
oleh air hujan atau ketika kadar air permukaan tinggi setelah semalaman terkena
embun atau kelembaban yang tinggi. Oleh karena itu, waktu pembasahan sangat
penting dalam hubungannya dengan kondisi iklim terhadap degradasi bagian luar.
Kombinasi dari berbagai unsur tersebut dapat menghasilkan jalur degradasi yang
berbeda, dengan penyinaran yang mempercepat pengaruh air atau sebaliknya.
FAKTOR LAIN. Panas bukan merupakan faktor yang penting seperti sinar matahari dan
air, tetapi dengan meningkatnya suhu, maka tingkat reaksi fotokimia dan oksidatif
juga meningkat (1). Cahaya tampak juga berperan dalam penguraian kayu selama
pelapukan (27, 28). Hilangnya kekuatan berhubungan dengan depolimerisasi lignin
dan unsur dinding sel yang disebabkan oleh cahaya dan juga berhubungan dengan
penguraian struktur mikro kayu berikutnya. Faktor penting dalam pelapukan kayu
pada musim panas adalah intensitas radiasi matahari, dan pada musim dingin,
tingginya kandungan SO2 di udara sekitar merupakan faktor pelapukan utama (central
Europe exposure) (29).
Pembekuan dan pencairan air yang terserap juga dapat berperan terhadap retakan
kayu. Abrasi atau tindakan mekanik, seperti angin, pasir, dan kotoran, dapat menjadi
sebuah faktor penting terhadap tingkat degradasi permukaan dan hilangnya kayu.
Partikel kecil seperti pasir dapat mengisi retakan permukaan dan melalui
pengembangan dan pengempisan, dapat memperlemah serat yang bersentuhan dengan
partikel tersebut. Partikel padat yang dikombinasikan dengan angin dapat memiliki
dampak sandblasting (1, 8).
Penetrasi Sinar dan Deteriorasi Permukaan Kayu. Meskipun pelapukan bahan
kayu bergantung pada banyak faktor lingkungan, terdapat banyak bukti bahwa hanya
spektrum elektromagnetik yang relatif sempit saja yaitu bagian ultra violet dari sinar
matahari, yang menjadi penyebab utama degradasi fotooksidatif kayu.
Aturan fotokimia pertama [prinsip-prinsip Grotthus–Drapper (30)] menyatakan
bahwa sebelum terjadi reaksi fotokimia, pertama-tama komponen sistem harus
menyerap cahaya. Aturan fotokimia yang kedua [Prinsip Stalk–Einstein (31)]
menyatakan bahwa sebuah molekul hanya dapat menyerap satu quantum radiasi.
Energi yang terserap menyebabkan pelepasan ikatan molekul penyusun kayu. Proses
homolitik ini menghasilkan radikal bebas sebagai produk primer reaksi fotokimia.
Reaksi ini dengan atau tanpa adanya oksigen dan air, dapat menyebabkan
depolimerisasi dan membentuk kelompok kromoforik seperti karbonil, karboksil,
quinon, peroksida, peroksida air, dan ikatan ganda terkonjugasi.
Karena cahaya harus diserap dahulu sebelum terjadi reaksi fotokimia, maka
konsentrasi, lokasi, dan karakter kromofor sangat penting dalam penentuan tingkat
fotooksidasi kayu. Pada dasarnya, kayu adalah bahan yang mampu menyerap sinar
dengan sangat baik. Meskipun sellulosa tidak demikian, namun mampu menyerap
sinar di bawah 200 nm dengan indikasi penyerapan di antara 200 dan 300 nm, dan
ujung dari penyerapan hingga 400 nm (32, 33). Karena memiliki struktur yang
serupa, maka karakteristik penyerapan sinar ultra violet hemisellulosa sama seperti
sellulosa. Lignin dan polifenol sangat kuat menyerap sinar di bawah 200 nm, dan
memiliki puncak pada 280 nm dengan penyerapan yang semakin menurun mendekati
kisaran sinar tampak (33). Extractive biasanya memiliki kemampuan menyerap sinar
antara 300 dan 400 nm (33, 34). Sehingga, kebanyakan komponen kayu mampu
untuk menyerap sinar tampak dan ultra violet dengan tingkat yang cukup untuk
memungkinkan terjadinya reaksi fotokimia yang menyebabkan pemudaran warna dan
degradasi.
Karena lebarnya kisaran kelompok kromoforik yang berhubungan dengan komponen
permukaannya, kayu tidak dapat dengan mudah ditembus oleh sinar. Pada dasarnya,
pemudaran warna kayu oleh cahaya hanya terjadi pada permukaan. Sinar hanya
mampu mempengaruhi lapisan permukaan pinus ponderosa dan kayu merah yang
berwarna coklat gelap sampai ketebalan kayu 0,5—2,5 mm (1, 17, 35). Dengan
berlangsungnya pelapukan, sebagian besar kayu berubah warna menjadi kelabu,
tetapi hanya sampai ketebalan sekitar 0,10—0,25 mm. Cahaya tampak (400—750
nm) dapat menembus kayu hingga ketebalan 2540 µ m (35). Lapisan permukaan
kayu yang berwarna kelabu dilaporkan memiliki ketebalan 125 µ m; di bawah
lapisan kelabu adalah lapisan coklat dari ketebalan 508—2540 µ m. Perubahan
warna ini merupakan hasil dari reaksi fotokimia yang selalu melibatkan radikal bebas.
Telah dilaporkan penggunaan teknik transmisi sinar ultra violet untuk mengukur
penetrasi sinar melalui permukaan radial dan tangensial dari berbagai kayu yang
berbeda sebagai fungsi dari ketebalan (36). Teknik electron spin resonance (ESR)
digunakan untuk memonitor radikal bebas yang dihasilkan pada berbagai lapisan
kayu yang berbeda. Diketahui bahwa sinar ultra violet tidak dapat menembus lebih
dari 75 µ m; sebaliknya cahaya tampak mampu menembus sampai kedalaman 200
µ m dari permukaan kayu. Cahaya tampak dengan panjang gelombang 400—700 nm
tidak cukup untuk memutuskan ikatan kimia penyusun kayu (36) karena energinya
kurang dari 70 kkal/mol (33, 37). Warna coklat yang terbentuk pada kedalaman 508
—2540 µ m sebenarnya tidak disebabkan oleh cahaya, seperti yang dinyatakan oleh
Browne dan Simonsen (35). Mereka menduga bahwa senyawa aromatik komponen
kayu pada permukaan kayu pertama-tama menyerap sinar ultra violet, sebuah proses
transfer energi dari molekul ke molekul menyebarkan kelebihan energi.
Proses transfer energi yang terjadi di antara kelompok yang tereksitasi secara
elektronik pada lapisan luar permukaan kayu dan kelompok lainnya di bawah
permukaan kayu berperan dalam diskolorasi yang terjadi di bawah permukaan kayu,
yang secara praktis tidak menyerap sinar ultra violet. Selanjutnya, radikal bebas yang
ditimbulkan oleh cahaya memiliki energi tinggi dan cenderung mengalami reaksi
berrantai untuk menstabilkan radikal induk. Sehingga, radikal bebas yang terbentuk
dengan cara ini dapat bergerak lebih dalam pada kayu untuk menyebabkan reaksi
diskolorasi.
Perubahan sifat selama pelapukan
Perubahan Kimia. Sekitar satu abad yang lalu, Wiesner (5) melaporkan bahwa zat
di dalam sel kayu hilang karena pelapukan dan menyimpulkan bahwa lapisan kelabu
terdiri dari “sel yang, tercuci oleh hujan, telah kehilangan seluruh atau sebagian besar
produk infiltrasi mereka sehingga membran yang tersisa hampir atau hanya terdiri
dari sellulosa murni.” Hasil pengamatan yang serupa dilaporkan oleh peneliti lainnya
(6, 38, 39).
Telah dilaporkan adanya peningkatan kandungan sellulosa pada permukaan kayu
yang terlapuk (40, 19). Data analitik tentang kayu pinus putih yang telah dilapukkan
di ruangan terbuka selama 20 tahun menunjukkan bahwa pelapukan tersebut
menyebabkan degradasi dan melarutkan lignin. Sellulosa tampaknya hanya sedikit
terpengaruh, kecuali untuk lapisan permukaan kayu bagian luar. Hasil yang sama
diperoleh dengan berbagai jenis kayu yang dibuat pagar selama 30 tahun. Lapisan
kelabu bagian atas memiliki kandungan lignin yang sangat rendah. lapisan coklat di
bawah lapisan kelabu memiliki kandungan lignin bervariasi sekitar 40—60% dari
kandungan lignin yang secara normal terdapat dalam kayu segar. Lapisan kayu
bagian dalam hanya beberapa milimeter di bawah permukaan kelabu memiliki
komposisi yang sama dengan kayu normal, kayu yang tidak terlapuk. Analisis gula
kayu dari hidrolisis ekstrak air dari kayu yang terlapuk menunjukkan bahwa xylan
dan araban terlarut lebih cepat dari pada glukosan. Glukosa tidak banyak terdapat
dalam ekstrak air yang terhidrolisis selama analisis, meskipun unit glukosa sangat
banyak terdapat pada polisakarida kayu normal.
Proses degradasi yang disebabkan sinar ultra violet dimulai dengan pembentukan
radikal bebas dan kemungkinan dimulai dengan oksidasi fenolik hidroksil (7, 8, 19,
24, 41). Proses degradasi ini menghasilkan penurunan kandungan metoksil dan
lignin dan peningkatan derajat keasaman dan konsentrasi karboksil pada kayu (lihat
juga pustaka 24 dan 25). Perubahan fotokimia ini lebih banyak dipengaruhi oleh
kadar air dari pada panas (41). Hasil dekomposisi dari kayu yang terlapuk, di
samping gas dan air, terutama adalah asam organik, vanillin, syringaldehyde, dan
senyawa dengan berat molekul yang lebih tinggi, yang seluruhnya dapat tercuci (19,
41). Perubahan kimia yang menyertai radiasi sinar pada kayu juga telah dilaporkan
oleh beberapa penulis (19, 21–23, 25, 26, 42–45).
Kesimpulan kami adalah penyerapan sinar ultra violet oleh lignin pada permukaan
kayu menyebabkan degradasi lignin. Sebagian besar hasil degradasi lignin tercuci
oleh air hujan. Serat yang memiliki kandungan sellulosa tinggi dan berwarna
keputihan hingga kelabu tetap berada pada permukaan kayu dan tahan terhadap
degradasi sinar ultra violet.
Percobaan infra merah menunjukkan bahwa selama radiasi sinar ultra violet pada
kayu, penyerapan oleh gugus karbonil pada 1720 cm–1 dan 1735 cm–1 meningkat,
sementara penyerapan untuk lignin pada 1265 cm–1 dan 1510 cm–1 secara bertahap
menurun (Gambar 2). Peningkatan gugus karbonil merupakan hasil dari oksidasi
sellulosa dan lignin. Penurunan jumlah lignin disebabkan oleh degradasi lignin oleh
cahaya.
Gambar 2. Perubahan spektra infra merah pada kayu yang disinari dengan sinar ultra
violet
Tabel II. Absorbance infra merah dari kayu yang disinari dengan sinar ultra
violet
Ukuran yang sesuai untuk perubahan gugus karbonil dan lignin diberikan dengan
rasio absorbance infra merah dari gugus karbonil dan lignin terhadap penyerapan
band pada 895 cm–1—sebuah penyerapan yang disebabkan oleh adanya hidrogen pada
C-1, yang secara normal tidak berubah selama fotoradiasi. Hasilnya ditunjukkan
dalam Tabel II. Perubahan kandungan lignin juga dapat ditentukan berdasarkan
kurva kaliberasi lignin vs. penyerapan pada 1510 cm–1. Hasil dari perubahan
kandungan lignin pada permukaan kayu yang mengalami fotoradiasi tersebut
ditunjukkan dalam Tabel III. Hasil ini menunjukkan bahwa terbentuk gugus
karbonil, sementara kandungan lignin menurun, pada permukaan kayu yang terbuka.
Selanjutnya, permukaan kayu yang mengalami pencucian menunjukkan adanya
peningkatan konsentrasi produk oksidasi yang terlarut dalam air, yang dapat dideteksi
menggunakan spektroskopi ultra violet (Gambar 3).
Kayu yang berada di ruangan terbuka sepenuhnya kehilangan penyerapannya pada
1265 cm–1 dan 1510 cm–1, karena terjadinya pencucian lignin yang terdegradasi,
setelah 30 hari mengalami pelapukan di ruangan terbuka (Gambar 4). Penyerapan
gugus karbonil pada 1720 cm-1 dan 1735 cm–1 juga menurun. Pengamatan ini
menunjukkan bahwa penyusun kimia yang teroksidasi pada permukaan kayu,
khususnya komponen lignin, tercuci dari permukaan kayu oleh air. Sebuah penelitian
tentang kurva perbedaan ionisasi lignin pada kondisi basa menunjukkan bahwa fraksi
terlarut dalam air dari kayu yang terlapuk menunjukkan karakteristik penyerapan
fenolik. Percobaan menggunakan spektroskop elektron untuk analisis kimia
(ESCA=electron spectroscopy for chemical analysis) menunjukkan bahwa
permukaan yang teroksidasi memiliki kandungan oksigen lebih tinggi dari pada
kandungan karbon, sehingga menunjukkan bahwa permukaan kayu yang terlapuk
kaya akan sellulosa dengan gugus karbonil, sementara lignin terdegradasi dan tercuci
oleh air (46).
Tabel III. Perubahan Absorbance infra merah dan kandungan lignin dari kayu
yang disinari dengan ultra violet
Gambar 3. Spektra penyerapan sinar ultra violet pada fraksi kayu terlarut dari kayu
yang disinari dengan ultra violet
Gambar 4. Perubahan spectra infra merah dari kayu yang berada di ruangan
terbuka
Perubahan warna. Warna kayu yang berada di ruangan terbuka berubah secara
cepat. Pada umumnya, seluruh kayu berubah kuning hingga coklat yang disebabkan
oleh penghancuran kimia lignin dan extractive kayu (1, 5, 7, 17, 47a). Perubahan
warna ini terjadi hanya beberapa bulan penyinaran matahari, dan iklim panas
(Gambar 5). Kayu yang kaya akan extractive akan memutih sebelum terlihat menjadi
coklat.
Jika kayu dibiarkan di ruangan terbuka atau disinari dengan ultra violet dalam jangka
waktu yang relatif pendek, maka akan segera terlihat terjadi perubahan kecerahan dan
warna. Penurunan kecerahan dan warna selama 480 hari pelapukan di ruangan
terbuka ditunjukkan masing-masing dalam Gambar 6 dan 7. Perubahan warna, ∆ E,
didasarkan pada unit CIELAB (47b). Beberapa spesies kayu, seperti kayu merah,
pinus kuning, dan Douglas-fir, kehilangan kecerahannya secara nyata pada bulan
pertama. Namun spesies kayu ini akan kembali menjadi cerah setelah 180 hari
berada di ruangan terbuka. Setelah periode pelapukan ini, tingkat kecerahan akan
turun kembali. Redcedar bagian barat kembali cerah pada 180 hari pertama berada di
ruangan terbuka, diikuti dengan penurunan kecerahan setelah 180 hari.
Di samping perubahan kecerahan, seluruh spesies kayu yang berada di ruangan
terbuka mengalami perubahan warna dari kuning pucat menjadi coklat dan kelabu
setelah 180 hari. Seperti yang terlihat pada Gambar 7, diskolorasi secara nyata terjadi
antara 90 dan 120 hari.
Gambar 5. Rendering warna dengan Artist, perubahan dan perubahan permukaan
kayu selama proses pelapukan di ruangan terbuka dari kayu lunak.
Gambar 6. Penurunan kecerahan kayu yang terlapuk di ruangan terbuka.
Keterangan: , western red cedar; , redwood; , pinus kuning; dan ,
Douglas-fir.
Gambar 7. Perubahan warna kayu yang mengalami pelapukan ruangan terbuka.
Keterangan: , pinus kuning; , redwood; , Douglas-fir; dan ,
western red cedar.
Perubahan warna kayu menunjukkan terjadinya perubahan kimia di dalam kayu
selama pelapukan. Hanya bagian di sekitar Hanya bagian di sekitar permukaan kayu
yang terbuka saja yang terpengaruh (lihat bagian bertajuk “Penetrasi cahaya dan
deteriorasi permukaan kayu”). Air hujan mencuci hasil dekomposisi berwarna coklat
tersebut, sehingga lapisan perak kelabu terdiri dari susunan serat yang tidak teratur
terbentuk pada lapisan berwarna coklat (lihat Bab 5, Gambar 18). Lapisan kelabu
tersusun atas bagian sellulosa kayu yang tahan pencucian. Warna permukaan ini
terlihat berubah menjadi kelabu jika kayu dibiarkan terkena terik matahari dengan
curah hujan rendah. Namun, biasanya didominasi oleh mekanisme perubahan warna
kelabu lainnya yaitu aktivitas cendawan, khususnya jika kelembabannya tinggi.
Diskolorasi (perubahan warna kelabu) pada kayu dengan kelembaban tinggi pada
umumnya disebabkan oleh pertumbuhan cendawan di permukaan kayu (1, 41, 48–
52). Spesies cendawan yang sering kali ditemukan adalah Aureobasidium pullulans
(Pullularia pullulans), di mana pada kondisi yang sesuai tidak hanya tumbuh pada
permukaan kayu, tetapi juga pada lapisan selimut dan berbagai bahan organik dan
anorganik. Pada umumnya cendawan ini dianggap sebagai pembusuk (53).
Persyaratan ekologi dari cendawan ini dan cendawan lainnya bersifat umum, kondisi
yang paling penting untuk pertumbuhannya adalah ketersediaan air. Sebaliknya
cendawan relatif tahan dan mampu beradaptasi.

A. pullulans dapat tumbuh pada kayu jadi sama baiknya seperti pada permukaan kayu
lunak atau keras yang belum jadi atau tidak diberi perlakuan (11). Diskolorasi kayu
oleh lumut lebih umum dari pada yang selama ini diyakini. Infeksi cendawan
merupakan hasil dari pembasahan permukaan kayu oleh air. Dua puluh spesies kayu
lunak dan keras Eropa dan non-Eropa dengan berbagai tingkat kepadatan dan
kekuatan mekanik dibiarkan mengalami pelapukan ruangan terbuka di Swiss
menghadap ke selatan dengan kemiringan 45o (41). Meskipun perilaku di antara
berbagai spesies pada awalnya berbeda nyata, namun secara bertahap berubah, dan
terjadi deteriorasi fotokimia dan mekanik begitu juga dengan intensitas serangan
cendawan biru. Setelah satu tahun pelapukan, seluruh permukaan kayu memiliki
kenampakan kelabu yang seragam.
Perubahan fisik. Pelapukan permukaan kayu oleh kombinasi cahaya dan air
menyebabkan perubahan warna permukaan menjadi gelap dan menghasilkan
pembentukan retakan makroskopis hingga mikroskopis interselluler dan intrasellluler.
Ikatan dinding sel di sekitar permukaan kayu lenyap. Jika proses pelapukan
berlanjut, air hujan mencuci bagian yang terdegradasi dan terjadi erosi lebih lanjut
(Gambar 8). Karena perbedaan type jaringan kayu pada permukaan, maka terdapat
perbedaan intensitas retakan dan erosi, dan permukaan kayu menjadi semakin tidak
rata. Erosi pada kayu keras berlangsung lebih lambat dari pada kayu lunak.
Gambar 8. Permukaan kayu lunak yang terlapuk setelah 15 tahun (di Madison,
Wisconsin).
Browne (54) melaporkan bahwa proses pelapukan berlangsung sangat lambat yaitu
“hanya mencapai ketebalan ¼ inci (6,4 mm) dalam satu abad”. Namun, nilai 1
mm/abad telah dilaporkan untuk kayu di iklim bagian utara dan 13 mm/abad untuk
redcedar bagian barat (51). Nilai ini didasarkan pada data pelapukan ruangan terbuka
selama 8 tahun dengan sudut 90o menghadap ke selatan (55). Data erosi yang
diperoleh dari pelapukan kayu merah, Douglas-fir, Engelmann spruce, dan pinus
ponderosa digunakan untuk menduga pelapukan ruangan terbuka. Data ini
menunjukkan bahwa spesies ini akan tererosi sekitar 6 mm/100 tahun (nilai yang
serupa dengan yang disebutkan oleh Browne) (54). Borgin (56) melaporkan erosi
dinding pelindung pada tong kayu di Norwegia dan menduga bahwa pelindung
setebal 10 mm telah berkurang 50% setelah beberapa ratus tahun pelapukan. Jemison
(57), menemukan bahwa pasak pinus ponderosa berdiameter 5 mm kehilangan 7,8%
beratnya setelah 10 tahun terkena sinar matahari; pasak dengan diameter 13 mm
kehilangan berat 16,4%. Kehilangan berat hingga 10% (58) ditemukan setelah
sampel heartwood redcedar barat, kayu merah, iroko, dan teak dilapukkan selama 3
tahun. Profil permukaan diketahui secara tidak nyata mempengaruhi erosi kayu (59).
Tingkat erosi kayu yang berada di ruangan terbuka juga dapat diduga dari data yang
diperoleh dari pelapukan terkendali dari beberapa kayu (Tabel IV) (55). Spesimen
diberikan penyinaran xenon dengan kerapatan tinggi pada ruangan pelapukan.
Penyinaran dilakukan dalam siklus 20 jam yang dilanjutkan dengan 4 jam
penyemprotan dengan air destilata. Pengukuran erosi dilakukan menggunakan
mikroskop (1, 55). Hasilnya menunjukkan bahwa kayu keras yang padat tererosi
pada tingkat yang sama dengan yang terlihat pada latewood spesies kayu lunak
(diduga pada 3 mm/abad dibandingkan dengan 6 mm/abad untuk earlywood kayu
lunak). Secara umum, semakin tinggi tingkat kepadatan, semakin rendah tingkat
erosinya. Kayu dengan tingkat kepadatan lebih rendah, seperti basswood, memiliki
tingkat erosi yang lebih tinggi daripada kayu oak, tetapi lebih rendah dibandingkan
dengan earlywood kayu lunak.
Tabel 4.Erosi pada permukaan kayu setelah pelapukan yang dipercepat
Perubahan Mikroskopis. Perubahan mikroskopis menyertai perubahan fisik kayu
selama pelapukan. Tanda deteriorasi yang pertama kali muncul pada permukaan
kayu lunak adalah membesarnya celah lubang pada dinding radial dari trakheid
earlywood (60—62). Selanjutnya, retakan kecil ini membesar karena adanya
kontraksi dinding sel. Selama pelapukan, dampak pencucian dan plastisisasi air
mendorong perbesaran retakan. Perubahan tersebut lebih cepat lagi terjadi pada kayu
merah dari pada Douglas-fir.
Mikroskop elektron digunakan untuk mempelajari perusakan struktur kayu yang
disebabkan oleh pelapukan (56, 63–65). Dilakukan pengamatan terhadap permukaan
kayu tua, baik yang diproteksi maupun dibiarkan terlapuk. Penelitian ini
menunjukkan deteriorasi lambat dan kerusakan tetap pada lamella tengah, berbagai
lapisan dinding sel, dan kekuatan kohesif jaringan kayu. Serat tunggal lebih stabil
dan tahan lama. Bagian yang paling stabil dari serat kayu adalah mikrofibril.
Berbagai lapisan dinding sel mengalami kerusakan karena kehilangan struktur kohesif
di antara mikrofibril dan kehilangan adesi antara lapisan. Seluruh rongga membesar
sehingga menyebabkan deteriorasi struktur serat. Proses pelapukan hanya terbatas
pada sebuah lapisan permukaan tipis 2—3 mm. Pada kayu sangat tua yang diproteksi
hanya sedikit terjadi kerusakan dari elemen tertentu pada level ultrastruktural, dan
sampel tersebut tetap memiliki sifat dan kenampakan makroskopis normal (65).
Selama kekuatan elemen utama (mikrofibril) tetap padu, sifat utama kayu tidak
mengalami perubahan yang mencolok.
Beberapa publikasi menunjukkan pengamatan yang saling berhubungan tentang
perubahan mikroskopis pada pelapukan buatan (radiasi ultra violet) permukaan kayu
(45, 60, 62). Perubahan permukaan kayu setelah mengalami pelapukan buatan yang
dipercepat terlihat sangat mirip dengan yang ditemukan pada pelapukan ruangan
terbuka secara alami (9). Perubahan ini meliputi pembentukan retakan membujur
antara dinding elemen yang berdekatan yang terlihat terjadi pada atau di dekat
lamella tengah, retakan membujur pada dinding elemen, dan retakan diagonal melalui
rongga yang kemungkinan diikuti dengan sudut fibril dari permukaan S2.
Pola kerusakan sel permukaan kayu dan sel yang berdekatan dengan permukaan kayu
diteliti pada sapwood pinus radiata yang diletakkan di ruangan terbuka untuk
pelapukan selama 4 ½ tahun (66, 67). Pola kerusakan dicirikan dengan terjadinya
deteriorasi dua kali lipat; permulaan kehilangan sifat pewarnaan histokimia dari
lignin yang diikuti dengan meningkatnya penipisan dinding sel. Penipisan dinding
trakheid terjadi secara sentrifugal, dinding sekunder bagian dalam terlihat lebih dulu
menghilang.
Deteriorasi permukaan kayu setelah mendapatkan sinar ultra violet buatan terlihat
setelah penyinaran kayu selama 500 jam (68). Dampak fotodegradatif terhadap
permukaan secara melintang, radial, tangensial dari specimen pinus kuning dijelaskan
dalam bagian berikutnya.
IRISAN MELINTANG. Irisan melintang dari pinus kuning secara normal agak sederhana
dan homogen. Sistem sumbunya pada dasarnya tersusun atas trakheid kayu dengan
sel parenkim yang relatif sedikit. Sebuah mikrograf SEM dari irisan melintang
permukaan pinus sebelum mengalami pelapukan terlihat dalam Gambar 9.
Irisan melintang kayu disinari dengan ultra violet selama 500 jam. Deteriorasi
permukaan kayu segera terlihat dari mikrograf SEM (Gambar 10). Dinding sel pada
zone lamella tengah terpisah. Dalam kondisi yang lebih ekstrim, dinding sekunder
hampir terpecah. Kasarnya permukaan dapat diamati secara visual. Deteriorasi
permukaan terbentuk lebih lanjut jika specimen tersebut disinari sampai 1000 jam
(Gambar 11). Rongga bertepi pada dinding trakheid rusak total. Warna kayu
berubah dari kuning pucat menjadi coklat terang dan kemudian menjadi coklat gelap
masing-masing setelah 500 dan 1000 jam penyinaran ultra violet.
Gambar 9. Irisan melintang pinus kuning (700 × )
Gambar 10. Irisan melintang pinus kuning yang disinari dengan ultra violet selama
500 jam (700 × ).
Gambar 11. Irisan melintang pinus kuning yang disinari dengan ultra violet selama
1000 jam (700 × ).
IRISAN RADIAL. Rongga bertepi pada pinus kuning dapat diamati pada dinding radial
baik pada earlywood maupun latewood. Pada umumnya, rongga bertepi yang terletak
pada earlywood lebih besar dan lebih banyak daripada latewood. Mikrograf SEM
untuk rongga semi bertepi dan rongga bertepi pada dinding radial sebelum
mendapatkan penyinaran ultra violet ditunjukkan dalam Gambar 12 dan 13.
Perubahan yang pertama kali terlihat dalam struktur anatomi dari irisan radial pinus
kuning yang mendapatkan penyinaran terjadi pada rongga (pit). Setelah 500 jam
penyinaran ultra violet, rongga semi bertepi mengalami kerusakan. Rongga bertepi
juga berinteraksi dengan sinar, namun lebih kecil (Gambar 14). Rongga bertepi
masih tetap bertahan. Retakan dan pembentukan ruang kosong kadang-kadang dapat
terlihat dari specimen yang disinari. Namun, setelah 1000 jam penyinaran, terlihat
deteriorasi berat pada rongga bertepi. Mikrograf SEM tersebut (Gambar 15)
menunjukkan bahwa lubang pada rongga bertepi membesar hingga batas chamber.
Kubah pit (rongga) mengalami kerusakan total. Lebih ekstrim, deteriorasi juga
menyebar pada permukaan radial dari dinding trakheid. Degradasi seluruh dinding
sel kemungkinan terjadi pada masa penyinaran yang lebih lama. Menghilangnya
rongga bertepi juga dapat terlihat pada kayu merah yang disinari ultra violet (60, 62).
Gambar 12. Struktur pit setengah bertepi pinus kuning pada irisan radial (700 × )
Gambar 13. Struktur pit bertepi dari pinus kuning pada irisan radial (700 × )
Gambar 14. Deteriorasi pit setengah bertepi dan dinding sel pinus kuning pada
irisan radial setelah penyinaran ultra violet selama 500 jam (700 × ).
Gambar 15. Deterirasi pit bertepi dan dinding sel pinus kuning pada irisan radial
setelah penyinaran ultra violet selama 1000 jam (700 × )
IRISAN TANGENSIAL. Rongga bertepi jarang sekali dijumpai pada permukaan tangensial.
Studi SEM menunjukkan bahwa retakan kecil secara diagonal melalui rongga bertepi
dalam dinding trakheid merupakan perubahan anatomi yang paling nyata pada irisan
tangensial dengan penyinaran ultra violet. Retakan sempit secara diagonal terhadap
sumbu dinding sel, sehingga menunjukkan bahwa retakan kecil tersebut terjadi pada
sudut fibril dari lapisan S2 dinding sel (Gambar 16 dan 17). Pengamatan yang serupa
juga telah dilaporkan (60). Kenampakan yang umum retakan kecil diagonal selama
penyinaran ultra violet diduga disebabkan oleh konsentrasi lokal dari tensile stress
pada sisi sebelah kanan terhadap arah fibril dari lapisan S2. Retakan diagonal yang
lebih besar lagi dapat dilihat pada irisan tangensial dari dinding trakheid latewood
(Gambar 17).
Gambar 16. Microcheck dinding sel pinus kuning pada irisan tangensial
(earlywood) setelah penyinaran ultra violet selama 500 jam (700 × )
Gambar 17. Microcheck dinding sel pinus kuning pada irisan tangensial (latewood)
setelah penyinaran ultra violet selama 500jam (700 × )
Gambar 18. Pandangan irisan melintang kayu lapis mengilustrasikan dampak
pelapukan pada permukaan lapisan dengan pola grain tertentu.

Pelapukan material berbahan dasar kayu


Proses pelapukan telah dijelaskan lebih lanjut untuk kayu utuh. Pengenalan variabel
lainnya, yaitu adesif, dalam pelapukan material berbahan dasar kayu seperti kayu
lapis, dan papan partikel memberikan komplikasi tambahan. Zat kayu masih terdapat
di dalam elemen produk ini dan mengalami deteriorasi dengan cara yang serupa
dengan kayu utuh. Ikatan kayu–adhesive merupakan unsur baru dalam pelapukan (1,
69, 70).
Kayu lapis. Pelapukan kayu lapis berhubungan secara langsung dengan kualitas
lapisan yang terbuka dan bahan pengikat yang digunakan. Karena terdapat
kecenderungan terjadinya retakan, sebagian besar kayu lapis eksterior dilapisi dengan
vernis atau bahan pelapis permukaan. Kayu lapis tersebut mengalami pelapukan
yang serupa dengan kayu utuh (1, 2, 71).
Pengembangan dan pengkerutan yang disebabkan oleh pembasahan dan pengeringan
secara berkala memainkan peranan penting dalam pelapukan dengan pembentukan
retakan dengan luas permukaan yang lebih besar pada pelapukan. Pada kayu lapis,
retakan dapat menunjukkan glueline pada pelapukan, khususnya jika diperbesar oleh
proses pelapukan (72).
Kayu lapis banyak mengalami perubahan yang dapat dilihat selama proses pelapukan.
Perubahan ini dapat dijelaskan sesuai dengan urutan berikut (72):
(1) Pertama-tama terbentuk retakan besar yang biasanya berasal dari retakan
kecil. Retakan ini melebar hingga mencapai batasnya.
(2) Retakan kecil terbentuk di permukaan selama tahap permulaan pelapukan.
(3) Retakan kecil tersebut semakin dalam, lebar, dan semakin bertambah banyak
hingga sepenuhnya memisahkan sel individu dan bundel sel.
(4) Partikel kayu yang terdegradasi yaitu, sel, bundel sel, dan material
terdegradasi, hilang melalui pencucian , volatilisasi, dan tindakan mekanik;
permukaan kayu menjadi kasar dan berlubang dengan kenampakan yang
berlubang-lubang.
(5) Bagian dengan kerapatan yang lebih rendah (earlywood) biasanya tererosi
lebih cepat daripada bagian berkerapatan tinggi (latewood), sehingga
memberikan kenampakan grain yang meningkat yang menjadi semakin jelas
seiring berlangsungnya pelapukan (serupa dengan kayu utuh).
Karena earlywood dari spesies kayu lunak biasanya mengalami pelapukan dengan
lebih cepat dari pada latewood dari spesies yang sama, maka pola grain dari
permukaan lapisan menjadi sangat penting dalam penentuan tingkat pelapukan pada
glueline. Gambar 18 mengilustrasikan irisan melintang dari pelapukan kayu lapis
pada tahapan yang menunjukkan, earlywood yang mudah terlapuk pada permukaan
lapisan telah tererosi meninggalkan lapisan latewood yang lebih padat. Diberikan
empat pola grain yang mengilustrasikan dampaknya terhadap tingkat erosi.
Tampaknya, glueline akan terlihat lebih cepat jika permukaan lapisan diambil dari
pohon cepat tumbuh (Gambar 18C) atau jika mereka memiliki pola vertical-grain
(Gambar 18D). Jika kondisi ini terjadi, pelapukan dapat berlangsung secara langsung
pada glueline melalui sebuah jalur earlywood yang mudah terlapuk. Semakin tipis
lapisan permukaan, semakin tinggi kemungkinan terjadinya situasi yang digambarkan
dalam Gambar 18C.
Latewood juga tererosi melalui pelapukan. Tingkat erosinya lambat untuk sebagian
besar spesies kayu lunak (Tabel IV). Namun, pada akhirnya lapisan permukaan kayu
lapis yang tidak dilindungi akan tererosi, dengan tanpa menghiraukan pola grain
spesies kayu.
Panel Produk yang Disusun Ulang. Sama seperti kayu lapis, tingkat keawetan dari
panel produk seperti hardboard dan papan partikel (waferboard, flakeboard,
chipboard, oriented strand board) terhadap pelapukan ruangan terbuka sangat
bergantung pada spesies kayu dan jumlah serta karakteristik resin (pengikat,
adhesive) yang digunakan dalam pembuatan papan (1, 73). Hardboard pada
umumnya tidak pernah terbuka secara langsung terhadap pelapukan. Namun,
sangatlah tidak umum bagi papan partikel untuk penggunaan di ruangan terbuka di
mana lapisan luarnya mengalami pelapukan yang sangat besar dibandingkan dengan
lapisan dalam. Sepanjang lapisan penutup bagian luarnya tetap menyatu, lapisan
dalam tetap terlindungi dari unsur-unsur pelapukan. Jika lapisan luar dari papan yang
terbuka mengalami deteriorasi dan terlepas, maka pengkerutan dan pengembangan
lapisan bagian dalam akan dihasilkan dari perubahan kandungan air. Deteriorasi
lapisan dalam yang dipercepat pada umumnya menghasilkan kehilangan kohesi, dan
kerusakan papan pada pembebanan mekanik (1). Hanya dengan satu atau dua tahun
pelapukan dapat menyebabkan kehilangan kekuatan dan peningkatan pengembangan
secara nyata (74). Deteriorasi papan partikel selama pelapukan di ruangan terbuka
terjadi karena kombinasi dampak dari umpan balik kompresi, deteriorasi resin, dan
perbedaan pengkerutan dari partikel papan yang berdekatan selama terjadi perubahan
kadar air. Resin fenolik sepertinya memberikan penampilan yang terbaik. Penelitian
tambahan telah dilaporkan tentang dampak pelapukan ruangan terbuka secara alami
dan pelapukan buatan terhadap keawetan dan kekuatan papan partikel dan material
yang bersangkutan (1).
Pelapukan kayu yang dimodifikasi secara kimia
Modifikasi kimia kayu dapat memainkan peranan penting dalam pengendalian proses
pelapukan alami. Beberapa penelitian tentang dampak modifikasi kimia kayu
terhadap tingkat pelapukan dan penjelasan dari mekanisme degradasi ultra violet
terhadap kayu yang telah dimodifikasi telah dilakukan (75, 76). Dilakukan
perbandingan antara modifikasi kimia terhadap dinding sel kayu dengan butyl
isocyanate atau butylene oxide, modifikasi pengisian lumen dengan metyl
methacrylate, dan kombinasi modifikasi dinding sel dan modifikasi pengisian lumen
dengan pinus selatan yang tidak dimodifikasi. Perubahan fisik, mikroskopis, dan
kimia yang terjadi pada permukaan kayu setelah penyinaran ultra violet dalam
lingkungan pelapukan yang dipercepat, dievaluasi untuk earlywood dan latewood.
Dalam penelitian ini disertakan penyinaran ultra violet maupun kombinasi sinar ultra
violet dan air.
Earlywood dan latewood pinus yang dimodifikasi secara kimia dengan butyl
isocynate atau butylenes oxide tidak tahan terhadap dampak degradasi oleh sinar ultra
violet. Terjadi deteriorasi permukaan, perubahan warna, dan sedikit kehilangan berat
selama berlangsungnya pelapukan yang dipercepat (sinar ultra violet dan semprotan
air). Pelapukan yang dipercepat menghasilkan sedikit erosi permukaan hingga air
mencuci elemen kayu yang terdegradasi. Degradasi dan kehilangan latewood selama
pelapukan yang dipercepat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan earlywood. Hal
ini dicirikan pula pada kayu yang tidak dimodifikasi. Erosi latewood lebih besar
untuk kayu yang dimodifikasi dengan butylene oxide dibandingkan dengan
modifikasi lainnya. Kehilangan berat meningkat secara nyata ketika produk
degradasi lignin tercuci oleh air, dan modifikasi kimia tidak menurunkan kehilangan
berat ini. Peningkatan stabilitas dimensional kayu dan penahanan gugus fenolic
hydroxyl lignin tampaknya tidak cukup untuk menghentikan dampak degradasi sinar
ultra violet yang ekstrim dalam proses pelapukan. Penyerap ultra violet atau panel
yang terikat secara kimia mungkin diperlukan untuk melindungi permukaan kayu
yang terbuka.
Modifikasi pengisian lumen dengan polimer methyl methacrylate mengurangi
perluasan erosi. Tingkat erosi earlywood dan latewood dan kehilangan zat kayu
selama pelapukan yang dipercepat menurun secara nyata jika dibandingkan dengan
kayu yang dimodifikasi secara kimia maupun yang tidak dimodifikasi. Pada
penyinaran ultra violet, meskipun dengan penyemprotan air, namun tingkat degradasi
minimal. Polimer methyl methacrylate, polimer in situ dalam struktur kayu, dapat
menurunkan penyerapan air dan menghambat pencucian produk degradasi kayu.
Polimer tersebut merupakan material yang menyerupai perekat yang menahan serat
kayu permukaan pada tempatnya meskipun perekat alami (lignin asli) pada
permukaan kayu telah terdegradasi karena radiasi sinar ultra violet. Karena polimer
methacrylate menahan serat yang kaya akan sellulosa pada permukaan kayu, maka
serat tersebut dapat berfungsi untuk melindungi zat kayu di bawahnya.
Meskipun modifikasi kimia dengan butyl isocyanate atau butylene oxide tidak
berhasil mengendalikan degradasi kayu karena radiasi sinar ultra violet, namun
kombinasi modifikasi kimia ini dengan modifikasi pengisian lumen dengan methyl
methacrylate menghasilkan modifikasi kayu yang memiliki ketahanan yang bagus
terhadap pelapukan yang dipercepat. Kombinasi pengisian lumen polimer dan
perlakuan modifikasi dinding sel secara kimia memberikan stabilisasi dimensional
yang secara nyata meningkatkan tingkat pelapukan. Kehilangan berat untuk
kombinasi perlakuan secara kimia ini sekurangnya 50% lebih kecil dibandingkan
dengan specimen yang dimodifikasi secara kimia, dan erosi kayu dan tingkat erosinya
sangat rendah.
Aspek Kimia Reaksi Pelapukan
Sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, merupakan faktor utama dari reaksi
pelapukan. Dampak langsung dari interaksi kayu dengan sinar tersebut adalah
terbentuknya radikal bebas pada permukaan yang terbuka (7, 19). Dengan
berakhirnya dan distabilkannya radikal bebas yang bersifat labil, maka terbentuk
gugus khromoforik dan auxochromic dan terjadi diskolorasi dan deteriorasi.
Kayu tidak mengandung radikal bebas intrinsik (77). Namun, kayu merupakan bahan
penyerap cahaya yang bagus. Bahan ini segera berinteraksi dengan radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang sama dengan atau lebih pendek dari
cahaya tampak dan terbentuklah berbagai type radikal bebas. Radikal bebas ini
dapat dideteksi dengan spektroskop electron spin resonance (ESR) (77b). Sinyal
ESR dari radikal bebas yang berasal dari kayu yang disinari dengan berbagai sumber
cahaya yang berbeda, yaitu, cahaya fluorescent, sinar matahari, dan sinar ultra violet
ditunjukkan dalam Gambar 19. Semakin pendek panjang gelombang dan semakin
besar energi cahaya dari sinar ultra violet maka semakin banyak menghasilkan
konsentrasi radikal bebas pada permukaan kayu. Nilai ini diikuti oleh sinar matahari
dan cahaya fluorescent jika kayu disinari pada kondisi yang sama. Dengan
mengabaikan sumber cahaya, radikal bebas yang terbentuk secara cepat berinteraksi
dengan molekul oksigen untuk membentuk peroksida air yang sensitif terhadap panas
dan cahaya melalui intermediate radikal peroksida air. Hal ini memiliki dampak yang
buruk terhadap stabilitas kayu dalam menahan pelapukan (78). Peroksida air tidak
murni yang terbentuk pada permukaan kayu dapat ditentukan dengan teknik
spektrofotometri menggunakan metode iodometri dan triphenylphosphine (79, 80).
Gambar 19. Sinyal ESR radikal bebas kayu yang berasal dari kayu yang telah
disinari dengan berbagai sumber cahaya pada 77 K selama 60 menit.
Keterangan: a, sinar fluorescence; b, sinar matahari; dan c, sinar ultra
violet
Reaksi radikal bebas dalam sellulosa dan hemisellulosa. Sensitifitas sellulosa
terhadap cahaya telah dikenal selama hampir satu abad. Pada tahun 1883, Witz
menunjukkan bahwa fotodegradasi sellulosa berlangsung secara kimiawi (81).
Intermediate radikal bebas dihasilkan dalam sellulosa selama reaksi fotodegradasi,
dan sebagian besar telah teridentifikasi (7). Tingkat fotodegradasi sellulosa dan
hemisellulosa sangat tergantung pada intensitas dan distribusi energi cahaya.
Pembentukan radikal bebas merupakan tanda dari permulaan degradasi polimer.
Sellulosa murni di dalam vakuola tidak dipengaruhi oleh radiasi cahaya dengan
panjang gelombang lebih dari 340 nm, dan degradasi sellulosa oleh cahaya terbatas
pada spektrum elektromagnetik yang sempit. Namun, dengan adanya udara (terutama
oksigen), degradasi sellulosa dapat terjadi secara lambat ketika disinari cahaya
dengan panjang gelombang lebih dari 340 nm. Jika sellulosa terkena sinar matahari,
ikatan glycosidic terputus sehingga menyebabkan kehilangan kekuatan dan derajat
polimerisasi. Pembentukan radikal bebas yang disebabkan oleh terputusnya rantai
pada posisi C-1 dan C-4 dapat dideteksi menggunakan spektrofotometri ESR.
Diskolorasi dan pembentukan peroksida air pada permukaan yang terbuka dapat
dilihat dengan mudah.
Ketika sellulosa disinari dengan panjang gelombang lebih dari 280 nm, di samping
pemutusan rantai, juga terjadi dehidrogenasi terutama pada posisi C-1 dan C-5.
Dehidroksimetilasi yang disebabkan oleh pemutusan rantai sisi C-5 dan C-6 dari
sellulosa dapat diamati ketika sellulosa disinari dengan panjang gelombang lebih dari
254 nm (82). Pembentukan radikal karbon , radikal alkoxy, radikal formyl, dan atom
hidrogen pada sellulosa yang disinari dengan berbagai sumber cahaya yang berbeda
dapat dideteksi menggunakan ESR. Tingkat degradasi dengan sumber cahaya yang
berbeda dapat dievaluasi dengan perubahan viskositas, kehilangan derajat
polimerisasi, dan kehilangan berat.
Pada umumnya, radikal alkoxy yang terbentuk pada sellulosa bersifat stabil jika
dibandingkan dengan radikal karbon. Radikal karbon segera mengalami reaksi
sekunder. Radikal karbon di dalam vakuola memiliki affinitas untuk rekombinasi dan
pelepasan hidrogen sehingga menjadi lebih stabil dengan adanya oksigen, dan secara
cepat berubah bentuk menjadi radikal peroksida air untuk menyusun peroksida air.
Reaksi oksigenasi yang cepat ini lebih dipercepat lagi dengan adanya oksigen
tereksitasi (83).
Meskipun sellulosa tidak sensitif terhadap sinar ultra violet dengan panjang
gelombang lebih dari 340 nm, namun dengan adanya ion logam, khususnya ion besi,
pewarna, dan bahan sensitif lainnya, dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas
meskipun sellulosa disinari dengan panjang gelombang lebih dari 340 nm (84).
Selain panjang gelombang, faktor lainnya yang memiliki dampak nyata terhadap
pembentukan radikal bebas dan tingkat degradasi adalah oksigen dan bahan sensitif,
kelembaban dan tingkat kebasahan (85), dan morfologi (86a).
Reaksi Radikal Bebas pada Lignin. Model lignin konvensional memberikan
gambaran yang luas dari gugus reaktif yang terdapat dalam lignin asli yang
menjadikannya sebagai penyerap cahaya yang sangat bagus. Lignin memiliki puncak
penyerapan pada 280 nm dengan ujungnya yang mencapai 400 nm lebih (Gambar
20). Gugus reaktif yang terdapat di dalam lignin terdiri dari eter dengan berbagai
type, gugus hidroksil primer dan sekunder, gugus karbonil, dan gugus karboksil. Di
samping itu juga terdapat sejumlah posisi aromatik dan fenolik lokasi teraktifasi yang
mampu berinteraksi dengan cahaya untuk memulai reaksi berrantai radikal bebas.
Karena rumitnya struktur lignin, maka sangat sulit untuk melakukan identifikasi
lokasi radikal bebas yang terbentuk. Namun, dengan pemilihan model senyawa
secara hati-hati, dimungkinkan untuk melakukan penelitian rinci dari radikal bebas
yang dipengaruhi oleh cahaya (7).
Gambar 20. Kurva penyerapan ultra violet untuk lignin
Beberapa fakta tentang reaksi fotokimia yang telah diperoleh dirangkum dalam uraian
sebagai berikut:
(1) Lignin dengan mudah terdegradasi oleh cahaya dengan panjang gelombang
lebih pendek dari 350 nm. Terlihat jelas terjadi pembentukan warna dari
gugus kromoforik.
(2) Lignin tidak terdegradasi oleh cahaya yang lebih panjang dari 350 nm,
namun terjadi pemudaran atau pemucatan lignin oleh cahaya yang dapat
dilihat jika disinari dengan panjang gelombang lebih dari 400 nm.
(3) Terjadi penurunan kandungan methoxy lignin.
(4) Radikal phenoxy dihasilkan dengan cepat dari gugus hidroksi fenolik.
(5) Ikatan karbon–karbon yang berdekatan dengan gugus - carbonyl
mengalami fotodissosiasi melalui reaksi Norrish Type I (86b).
(6) Reaksi Norrish Type I tidak berlangsung secara efisien pada senyawa
tersebut dengan ikatan eter yang berdekatan dengan gugus -carbonyl.
Fotodissosiasi terjadi pada ikatan eter.
(7) Senyawa dengan gugus benzoyl alcohol tidak peka terhadap fotodissosiasi
kecuali jika terdapat fotosensitizer.
(8) Gugus -carbonyl berfungsi sebagai fotosensitizer dalam fotodegradasi
lignin (7).
Karena adanya gugus hidroksi fenolik dan ikatan eter di dalam lignin, maka radikal
phenoxy merupakan intermediate utama yang terbentuk dalam fotoradiasi lignin.
Meskipun radikal phenoxy adalah intermediate yang agak stabil, tetapi radikal ini
dapat tereksitasi oleh cahaya, atau berreaksi dengan oksigen sehingga menyebabkan
demethylasi unit guaiacyl lignin untuk menghasilkan struktur o-quinonoid. Leary
menduga bahwa o-qionone merupakan hasil akhir dari reaksi tersebut (87). Oleh
karena itu, quinonoid yang terbentuk di dalam lignin sepertinya merupakan gugus
kromoforik utama yang memberikan sumbangan terhadap diskolorasi lignin dan
material kayu.
Karakteristik dan Reaksi Radikal Bebas dalam Kayu yang Terlapuk. Kayu,
komponen serat kayu, dan lignin terisolasi mengandung radikal bebas yang dapat
dideteksi menggunakan spektroskopi ESR (88, 89). Kayu hijau yang tidak disinari
dengan kadar air 69% (di dalam ruangan hampa dan gelap) tidak memiliki kandungan
radikal bebas. Radikal bebas dalam jumlah kecil kemungkinan dihasilkan dengan
adanya oksigen, dan kebanyakan radikal bebas ini terbentuk di dalam kayu selama
preparasi mekanik seperti halnya pada kayu yang mendapatkan radiasi
elektromagnetik. Studi ESR menunjukkan bahwa kayu dengan cepat berreaksi
dengan sinar matahari, cahaya fluorescent, dan sinar ultra violet buatan untuk
menghasilkan radikal bebas, baik dengan adanya udara maupun hampa (Gambar 21
dan 22). Radikal bebas yang lebih banyak terbentuk dalam ruang hampa daripada
udara untuk seluruh sumber cahaya pada 77K. oksigen merupakan unsur obligator
untuk mengaktifkan permukaan kayu untuk meningkatkan pembentukan radikal
bebas ketika digunakan cahaya fluorescent pada suhu tetap. Pada seluruh sistem,
radikal bebas yang terbentuk dalam ruang hampa memiliki masa tinggal yang lebih
lama dibandingkan dengan radikal bebas yang terbentuk dengan adanya udara.
Penambahan oksigen pada kayu yang diperlakukan dalam ruang hampa
meningkatkan pembentukan radikal bebas; radikal peroxy segera terbentuk pada
permukaan kayu. Radikal peroxy juga segera berreaksi untuk melengkapi valensinya
yang kosong, yang dapat dilakukan dengan melepaskan sebuah proton dari molekul
yang berdekatan untuk membentuk peroksida air. Peroksida air relatif tidak stabil
terhadap panas dan cahaya, dan biasanya berubah bentuk menjadi gugus kromoforik
baru, seperti gugus karbonil atau karboksil.
Gambar 21. Intensitas sinyal ESR (dicatat pada 77 K) dari kayu sebagai sebuah
fungsi waktu penyinaran dan waktu penyimpanan pada temperatur
tetap. Keterangan: 1, vac, kontrol; 2, vac, lampu fluorescent; 3, udara,
kontrol; 4, udara, lampu fluorescent; 5, vac, sinar matahari; dan 6,
udara, sinar matahari
Gambar 22. Intensitas sinyal ESR (dicatat pada 77 K) dari kayu sebagai fungsi dari
waktu penyinaran ultra violet dan waktu penyimpanan pada temperatur
tetap. Keterangan: 1, vac, UV, 77 K; 2, udara, UV, 77 K; 3, udara,
UV, suhu ruang; dan 4, vac, UV, suhu ruang.
Dampak Air dan Kelembaban terhadap pembentukan dan Stabilitas Radikal
Bebas. Air merupakan sebuah unsur penting dalam tingkat pelapukan kayu. Karena
air merupakan cairan polar maka akan segera menembus dan mengembangkan
dinding sel kayu. Molekul air dapat berinteraksi dengan radikal bebas yang dibentuk
oleh cahaya. Untuk mempelajari pengaruh air pada reaktifitas radikal bebas, maka
dipersiapkan beberapa kayu dengan kadar air yang berbeda dan disinari dengan
cahaya fluorescent. Beberapa tingkat intensitas ESR, yang secara langsung
bersesuaian dengan konsentrasi radikal bebas dapat diperoleh dari kayu tersebut.
Intensitas ESR (baik dalam ruang hampa maupun udara) pada awalnya meningkat
dengan meningkatnya kadar air dari 0—3,2%, dan mencapai puncak pada 6,3%.
Pada kadar air 15,9%, terjadi penurunan intensitas secara nyata. Pada kadar air
31,4%, hanya sedikit sinyal yang dapat terdeteksi (Gambar 23). Dari sudut pandang
stereotopokimia, peranan utama air adalah untuk membantu penetrasi cahaya ke
dalam daerah yang dapat dijangkau dan untuk membuka daerah yang tidak terjangkau
untuk penetrasi cahaya. Sehingga, lebih banyak radikal bebas yang terbentuk dalam
daerah ini. Kelebihan molekul air kemungkinan menjebak radikal bebas untuk
membentuk kompleks radikal bebas kayu–air.
Gambar 23. Perbandingan intensitas sinyal ESR (dilaksanakan di ruang hampa udara)
radikal bebas dalam earlywood dengan kadar air yang berbeda.
Keterangan: SYP, southern yellow pine; WRC, western red cedar; DF,
Douglas-fir; dan RW, redwood.
Partisipasi Singlet Oksigen dalam Proses Pelapukan. Di samping sinar matahari
dan air, molekul oksigen merupakan salah satu elemen yang selalu ada di alam.
Molekul oksigen ini memainkan peranan penting dalam berbagai proses fotofisika
dan fotokimia. Kami telah menjelaskan bahwa oksigen merupakan unsur penting
untuk mendorong pembentukan radikal bebas, dan kemungkinan bahwa peroksida
tidak murni terbentuk karena interaksi radikal bebas dan molekul oksigen. Namun,
tingkat oksidasi dari sebagian besar polimer biasanya sangat kecil tanpa adanya
radiasi pada suhu yang sesuai. Percepatan tingkat reaksi dengan energi
elektromagnetik kemungkinan disebabkan oleh pembentukan spesies oksigen yang
tereksitasi. Bukti nyata yang ada menunjukkan bahwa reaksi fotooksidasi melibatkan
oksigen singlet (1g dan 1g +) sebagai intermediate.
Kayu merupakan campuran polimer yang mengandung sellulosa, hemisellulosa,
lignin, dan extractive. Komponen kayu ini mengandung unit kimia internal seperti
karbonil, karboksil, aldehid, hidroksil fenolik, dan ikatan ganda tidak jenuh, dan unit
eksternal seperti lilin, lemak, dan ion logam. Penyerapan energi cahaya oleh
komponen-komponen ini dapat membawa mereka dalam kondisi triplet yang
tereksitasi yang mentrasfer energi molekul oksigen triplet untuk membentuk oksigen
singlet. Partisipasi oksigen singlet dalam fotooksidasi kayu terbukti dengan
menggunakan generator oksigen singlet dan quencher oksigen singlet selama
penyinaran. Studi iodometri menunjukkan bahwa peroksida air terbentuk dalam
fotoradiasi kayu dengan adanya oksigen. Tingkat pembentukan peroksida air pada
permukaan kayu meningkat jika ditambahkan larutan metilene blue dan rose bengal
pada kayu sebelum penyinaran (Gambar 24). Radikal peroksida yang terlibat dalam
interim dapat dideteksi menggunakan spektrofotometer ESR, yaitu, sebuah sinyal
singlet asimetri yang terdeteksi dari radikal peroksida dengan rata-rata nilai-g 2,021
(g⊥ = 2,034; g|| = 2,007). Sebaliknya, jika digunakan quencher singlet seperti
triethylamine dan 1,4-diazabicyclo[2.2.2]octane (DABCO) dengan kondisi percobaan
yang sama, maka kandungan peroksida air menurun, meskipun terdapat rose bengal
(gambar 25). Bukti ini mendukung teori bahwa oksigen singlet terbentuk selama
fotoradiasi dan berinteraksi secara cepat dengan radikal bebas kayu untuk membentuk
peroksida air. Karena ketidakstabilannya terhadap panas dan cahaya, peroksida air
tersebut terurai secara cepat pada kondisi yang sesuai untuk menghasilkan gugus
kromoforik, seperti gugus karbonil dan karboksil. Kelompok ini berperan dalam
diskolorasi permukaan kayu.
Ringkasan dari Aspek Kimia Pelapukan. Deteriorasi material kayu pada
pelapukan melibatkan reaksi yang kompleks. Penetrasi sinar ultra violet ke dalam
kayu tidak lebih dalam dari 75 m. Namun, reaksi permukaan kayu yang
disebabkan atau dipercepat oleh cahaya dapat diamati dengan diskolorasi, kehilangan
kecerahan, dan perubahan tekstur permukaan setelah penyinaran ultra violet atau
penyinaran matahari dalam waktu yang lama.
Spesies radikal bebas terbentuk pada kayu oleh cahaya. Radikal ini secara cepat
berinteraksi dengan oksigen untuk membentuk peroksida air tidak murni yang mudah
terurai sehingga menghasilkan gugus kromoforik seperti karbonil dan karboksil.
Penggunaan generator oksigen singlet, seperti rose Bengal dan metilene blue, begitu
juga dengan quencher oksigen singlet seperti 1,4-diazabicyclo[2.2.2]octane dan
triethylamine, menunjukkan partisipasi oksigen singlet sebagai intermediate yang
effektif dalam reaksi fotooksidasi pada permukaan kayu. Keberadaan air pada kayu
juga mempengaruhi tingkat pembentukan radikal bebas. Jika kadar air kayu
meningkat dari 0—6,3%, maka terbentuk lebih banyak radikal bebas; di luar tahapan
ini, tingkat penguraian radikal meningkat. Studi infra merah menunjukkan bahwa
gugus karbonil terbentuk di dalam sellulosa dan lignin. Fraksi terlarut dalam air dari
kayu yang terdegradasi menunjukkan karakteristik penyerapan fenolik yang
disebabkan oleh kehilangan lignin. Studi ESCA menunjukkan bahwa permukaan
kayu yang teroksidasi memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi dari pada permukaan
kayu yang tidak terbuka. Sebuah bagan mekanisme umum, yang mampu untuk
memperhitungkan pelapukan, atau fotooksidasi yang lebih umum, dari permukaan
kayu, diilustrasikan dalam Gambar 26. Reaksi berrantai radikal bebas dengan adanya
oksigen dan cahaya menyebabkan diskolorasi dan deteriorasi permukaan kayu.
Gambar 26. Mekanisme fotodegradasi kayu
Perlindungan Terhadap Pelapukan
Cat atau pelapis kayu lainnya pada kayu (vernis) yang digunakan dalam ruangan
dapat melindungi dan bertahan hingga beberapa dasawarsa tanpa pengecatan ulang.
Pelapisan dalam ruangan relatif tidak mempengaruhi sifat kayu. Namun, ketahanan
pelapisan (cat) pada kayu yang diletakkan di luar ruangan terhadap proses pelapukan
alami pertama-tama tergantung pada kayu itu sendiri. Sifat kayu yang penting dalam
pelapisan adalah kadar air; kerapatan dan tekstur; kadar resin dan minyak; lebar dan
arah lingkaran pertumbuhan; dan cacat seperti simpul, kayu reaksi, dan kayu yang
terinfeksi cendawan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah sifat dan kualitas
pelapis yang digunakan, teknik aplikasi, pra-perlakuan, waktu antara pelapisan ulang,
luas permukaan yang dilindungi dari pelapukan, dan kondisi iklim dan cuaca lokal.
Fungsi utama dari pelapisan kayu adalah untuk melindungi permukaan kayu dari
unsur pelapukan alami (sinar matahari dan air) dan membantu mempertahankan
kenampakannya. Jika kenampakan bukan menjadi masalah, kayu dapat dibiarkan
tidak dilapisi untuk terlapuk secara alami, dan kayu tersebut akan mempertahankan
strukturnya dalam jangka waktu yang lama (1, 2, 54). Berbagai pelapis yang berbeda
memberikan tingkat perlindungan yang berbeda terhadap pelapukan (96, 97).
Perlakuan permukaan memberikan perlindungan terhadap cahaya dan air dan akan
dipengaruhi oleh ketahanan agen pengikat pada pelapis (minyak kering, resin sintetis,
lateks, dsb.) terhadap cuaca. Agen pengikat ini mendapatkan fotodegradasi dengan
berbagai tingkatan yang berbeda. Mekanisme kerusakan cat dan pelapis lainnya telah
dijelaskan (93, 100) dan tidak akan dibahas lebih lanjut. Kayu yang berada di
ruangan terbuka terlindungi dari dampak pelapukan dengan berbagai pelapis,
kegiatan konstruksi, dan faktor rancangan (2, 11, 96, 97, 101, 102).
Dua type dasar pelapis (atau perlakuan) digunakan untuk melindungi permukaan
kayu selama pelapukan ruangan terbuka; yaitu pelapis yang membentuk sebuah film,
lapisan, atau mantel pada permukaan kayu, dan pelapis yang menembus permukaan
kayu sehingga tidak meninggalkan lapisan atau mantel yang berbeda. Material yang
membentuk film meliputi cat dengan seluruh bentuknya, vernis, lacquer, dan juga
penutup yang terikat pada permukaan kayu. Pelapis type penetrasi meliputi
preservative, water repellent, pigmen pewarna semitransparan, dan perlakuan kimia.
Pelapis yang membentuk film. CAT. Dari semua pelapis, cat paling bagus
melindungi kayu dari erosi oleh pelapukan dan menawarkan banyak pilihan warna.
Sebuah cat film tidak berpori dapat menghambat penetrasi air, sehingga mengurangi
masalah diskolorasi cat oleh ekstraktif kayu, pengelupasan dan retakan cat, dan
perubahan bentuk kayu (98, 99). Pigmen yang tepat secara effektif dapat
menurunkan fotodegradasi permukaan kayu. Namun, cat, bukan merupakan
preservative (bahan pengawet); bahan ini tidak mampu menghambat pembusukan jika
kondisinya sesuai untuk pertumbuhan cendawan. Ketahanan pelapisan cat terhadap
kayu eksterior dipengaruhi oleh beberapa variabel pada permukaan kayu, air, dan
jenis cat.
Cat pada umumnya dikelompokkan ke dalam cat berbasis minyak atau sistem solvent,
dan lateks atau sistem pendukung air (waterborne) (93, 103). Cat yang berbasis
minyak (atau alkyd) pada dasarnya merupakan suspensi dari pigmen anorganik dalam
sebuah medium oleoresin yang mengikat partikel pigmen dan merupakan agen
pengikat pada permukaan kayu. Cat lateks merupakan suspensi pigmen anorganik
dan berbagai resin lateks di dalam air. Resin lateks acrylic merupakan bahan yang
tahan lama, dan multiguna untuk pelapisan kayu dan material yang berhubungan
dengan kayu.
VERNIS. Kenampakan alami kayu dapat diperoleh dengan menggunakan vernis atau
lacquer yang jernih. Perlakuan lainnya mengubah warna atau menutupi seluruh kayu.
Sayangnya, vernis jernih yang digunakan pada kayu yang terkena sinar matahari dan
hujan memerlukan pemeliharaan rutin untuk mempertahankan kenampakannya secara
memuaskan. Ketahanan vernis pada kayu terbuka sangat terbatas dan diperlukan
lapisan tambahan untuk mendapatkan kenampakan yang memuaskan. Pemeliharaan
permukaan vernis harus segera dilaksanakan begitu muncul tanda-tanda kerusakan.
Kemungkinan selama satu tahun pada tingkat penyinaran tinggi. Lacquer dan shellac
biasanya tidak sesuai sebagai vernis kayu eksterior karena film mereka yang agak
rapuh dan memiliki sensitifitas terhadap air dan mudah retak atau pecah.
Penambahan bahan penyerap sinar ultra violet yang tidak berwarna pada pelapis
hanya sedikit membantu mempertahankan warna alami dan struktur permukaan kayu
asli (1, 18, 104—108). Pigmen buram yang terdapat di dalam cat dan pewarna pada
umumnya memberikan perlindungan yang paling effektif dan tahan lama terhadap
cahaya (1, 42, 109—111). Meskipun menggunakan vernis resin sintetis yang relatif
lebih tahan lama dan jelas, namun kualitas ketahanan terhadap pelapukan pada sistem
kayu—vernis masih sangat terbatas karena sinar ultra violet mampu menembus film
vernis transparan dan secara bertahap terjadi degradasi kayu di bawahnya (21, 112,
113). Cepat atau lambat, vernis tersebut mulai mengelupas dan pecah, dengan
membawa serat kayu yang telah terdegradasi secara fotokimia (51, 60, 114).
Telah dilakukan penelitian untuk menduga tingkat keawetan pelapis bening pada
kayu dari sifat dasar (115, 116) dan diberikan ulasan tentang hubungan antara
komposisi, penyerapan air, permeabilitas uap air, tensile strength, dan pemuaian.
Regresi tunggal dan berganda digunakan untuk menentukan hubungan nyata dari sifat
yang berbeda dalam penentuan tingkat keawetan jika dibiarkan di ruangan terbuka.
Keawetan fenolik dan alkyd bening dapat diduga dari sifat penyerapan air dan
permeabilitas. Tensile strength dan sifat mekanik kurang begitu penting.
Pelapis dengan penetrasi. WATER REPELLENT. Sebagian besar kerusakan yang terjadi
pada pengerjaan kayu eksterior (pengelupasan cat, deformasi, penguraian, kebocoran,
dsb.) merupakan akibat langsung dari perubahan kadar air di dalam kayu dan
ketidakstabilan dimensional (1, 11, 117—123). Hal ini dibahas secara rinci pada
bagian dampak air. Biasanya air masuk ke dalam kayu melalui rongga atau retakan
yang terbuka, permukaan ujung grain yang tidak tertutup, dan pengelupasan pada
perlakuan permukaan. Meskipun dampak negatif tersebut dapat di tahan, atau
setidaknya dikurangi, melalui rancangan yang sesuai atau pemilihan material yang
tepat, namun masih sangat sulit untuk menghentikan munculnya pengelupasan atau
retakan di mana kayu dibiarkan terbuka dalam waktu yang lama. Bahkan kualitas
pelapisan sering kali kehilangan kualitas perlindungannya karena tidak dapat
mentolerir stress dan strain dari pengkerutan dan pengembangan, khususnya di sekitar
sambungan. Cepat atau lambat pelapisan tersebut akan terlepas.
Karena masalah-masalah ini, kayu yang diletakkan di ruangan terbuka harus
diberikan perlakuan perlindungan yang bersifat kedap air dan tahan air terhadap
pembusukan cendawan. Perlakuan tersebut dapat digunakan sebagai pelapis itu
sendiri atau sebelum dilakukan pelapisan akhir. Material yang dibentuk untuk tujuan
tersebut dikenal dengan water repellent preservative (WRP). Pada umumnya,
material ini terdiri dari resin (10—20%), solvent, lilin (bahan kedap air), dan
preservative [biasanya pentachlorophenol, tetapi yang lainnya seperti bis(tri-n-
butyltin) oxide, cooper naphthenate, zinc naphthenate, dan cooper 8-quinolinolate
juga dapat digunakan] (1, 11, 118—120).
Banyak informasi yang telah dikumpulkan tentang efektifitas WRP dalam melindungi
kayu eksterior (1, 117—119, 121, 122, 124—129). Perlakuan tersebut dapat
diterapkan dengan peresapan vakum, pencelupan (banyak digunakan), dengan sikat,
atau melalui penyemprotan. Perlakuan ini mampu meningkatkan mutu dari berbagai
pelapisan yang digunakan setelahnya dan sangat meningkatkan keawetan kayu.
Bahkan papan chip atau papan partikel, yang sangat peka terhadap air, dapat
terlindungi dengan lebih effektif terhadap pelapukan ruangan terbuka dengan
menggunakan pra perlakuan WRP yang dilanjutkan dengan pelapisan yang tahan
diffusi (126, 130—133).
Perlakuan WRP memberikan kemampuan pada kayu untuk menahan air, sehingga
menghambat air yang dibutuhkan oleh cendawan dan lumut untuk kehidupannya.
Permukaan kayu yang terbebas dari cendawan tetap menunjukkan kenampakan
alaminya yang menarik. WRP menurunkan kerusakan kayu akibat air dan membantu
melindungi cat yang digunakan dari panas terik, pengelupasan, dan pecah-pecah,
yang sering kali terjadi jika banyak air yang memasuki kayu.
WRP biasanya mengandung fungisida sebagai bahan pengawet yang mampu
mematikan jamur permukaan yang tumbuh pada kayu. Pada berbagai medium
dengan tingkat bahaya pembusukan yang rendah, bahan pengawet tidak dibutuhkan
bagi keberhasilan karakteristik kedap air (122). Oleh karena itu, pembatasan air dari
kayu merupakan hal yang sangat penting dalam peningkatan keawetan kayu (117).
BAHAN PEWARNA. Jika pigmen ditambahkan pada bahan kedap air atau larutan WRP
atau serupa dengan penetrasi pelapis kayu transparan, maka campuran tersebut
dikelompokkan sebagai pigmented penetrating stain (1, 2, 124, 134). Penambahan
pigmen memberikan warna dan sangat meningkatkan keawetan pelapis tersebut
karena sinar ultra violet dapat ditahan. Bahan pewarna semitransparan ini
memungkinkan terlihatnya urat kayu; bahan ini menembus kayu hingga beberapa
derajat tanpa membentuk pemutusan, lapisan yang bersinambungan. Sehingga, tidak
akan melepuh atau mengelupas meskipun banyak air yang memasuki kayu.
Keawetan beberapa sistem pewarna merupakan fungsi dari kadar pigmen, resin,
preservative, penahan air, dan kualitas bahan yang digunakan pada permukaan kayu.
Kenampakannya selama berada di ruangan terbuka telah banyak menarik perhatian
(1, 69, 71, 124, 134—137).
Penetrasi pewarna cocok digunakan baik pada permukaan halus maupun kasar;
namun, kenampakannya meningkat tajam jika diterapkan pada kayu gergajian,
terlapuk dan bertekstur kasar (1, 69, 99, 124, 134, 138) karena lebih banyak bahan
yang dapat digunakan pada permukaan tersebut. Bahan ini khususnya effektif pada
lumber dan kayu lapis yang tidak mampu mengikat cat dengan baik, seperti
permukaan dengan grain rata dan terlapuk, atau spesies padat. Penetrasi pewarna
dapat digunakan secara effektif pada pelapis permukaan eksterior seperti siding, trim,
deck terbuka, dan pagar. Pewarna dapat dipersiapkan dari sistem resin berbasis
solvent maupun dari sistem lateks; namun, sistem lateks tidak mampu menembus
permukaan kayu. Pelapis komersial yang dikenal dengan heavy-bodied, solid-color,
atau pewarna buram juga tersedia, namun produk ini pada dasarnya serupa dengan cat
karena karakteristiknya yang membentuk film. Pewarna tersebut menunjukkan
tingkat keberhasilan yang tinggi jika diterapkan pada produk panel dan permukaan
bertekstur seperti hardboard. Bahan ini dapat berbasis minyak atau berbasis lateks
(lihat juga “Pelapis Kayu Alami”).
PRESERVATIVE. Meskipun secara umum tidak dikelompokkan sebagai pelapis kayu,
namun preservative pada kayu memberikan perlindungan terhadap pelapukan dan
pembusukan, dan banyak sekali kayu yang diberi perlakuan dengan preservative
dibiarkan tanpa diberi tambahan pelapis. Terdapat tiga type preservative utama: (1)
preservative minyak (misalnya, coal-tar creosote), (2) larutan solvent organik
(misalnya, pentachlorophenol), dan (3) garam waterborne (misalnya, chromated
cooper arsenate) (2). Preservative ini dapat diterapkan dengan berbagai cara, tetapi
perlakuan dengan tekanan memberikan perlindungan terbesar terhadap pembusukan.
Kadar preservative yang lebih tinggi dari kayu yang diberi perlakuan tekanan
biasanya memberikan ketahanan yang lebih besar terhadap pelapukan dan
meningkatkan keawetan permukaan. Preservative yang mengandung chromium juga
melindungi terhadap degradasi sinar ultra violet (1, 138, 139).
PERLAKUAN PERMUKAAN. Bahan kimia anorganik tertentu (khususnya senyawa
chromium hexavalent), jika diterapkan sebagai larutan air pada permukaan kayu,
akan memberikan keuntungan sebagai berikut (70, 135, 139—141): (1) menghambat
degradasi permukaan kayu oleh radiasi sinar ultra violet; (2) meningkatkan keawetan
pelapis polimer transparan; (3) meningkatkan keawetan cat dan pewarna; (4)
meningkatkan stabilitas dimensional permukaan kayu; (6) berfungsi tanpa perlakuan
tambahan sebagai pelapis alami kayu; dan (7) mengatur extractive terlarut dalam air
pada kayu seperti kayu merah dan cedar, dengan cara meminimalkan pewarnaan dari
cat lateks yang digunakan.
Perlakuan yang paling berhasil adalah yang menggunakan bahan kimia yang
mengandung chromium trioxide (chromic acid, chromic anhydride), cooper chromate
(campuran garam tembaga terlarut dan khromat terlarut), atau larutan ammoniacal.
Hasil yang memuaskan diperoleh dengan menggunakan senyawa yang mengandung
seng (142). Sell et al. (143) menjelaskan perlakuan permukaan dengan garam
chromium – tembaga – boron. Uji pelapukan lapang, uji pencucian, dan
mikroanalisis electron–probe menunjukkan bahwa perlakuan ini tahan terhadap
pencucian dan pelapukan.
Telah dilaporkan tingkat keawetan pelapisan dari kayu pinus dengan perlakuan
organolead yang dibiarkan berada di ruangan terbuka (144). Terlihat adanya
peningkatan keawetan secara nyata pada cat vinyl–acrylic lateks dan alkyd pada
kayu. Peningkatan keawetan tampaknya tidak dipengaruhi oleh type atau konsentrasi
senyawa organolead.
Peranan chromium dalam perlakuan kayu telah dijelaskan secara rinci (145—148).
Telah dilakukan penelitian terhadap tingkat ketahanan kayu terhadap air, hubungan
silang lignin, kinetika reaksi, dan perilaku kinetic kayu.
Williams dan Feist (149) menjelaskan penggunaan teknik elektron ESCA untuk
mengevaluasi permukaan kayu dan sellulosa yang telah dimodifikasi dengan
perlakuan larutan chromium trioxide. Data ESCA menunjukkan setidaknya 80%
reduksi Cr(IV) menjadi Cr(III) pada seluruh substrat. Percobaan pencucian
menunjukkan reduksi ini pada kompleks chromium yang sangat tidak terlarut dalam
air baik pada kayu maupun kertas saring (sellulosa). Hasil oksidasi yang serupa
terlihat pada kayu dan kertas saring. Percobaan ini menunjukkan bahwa interaksi
chromium—sellulosa dan chromium—lignin terlibat di dalam mekanisme stabilisasi
chromium(IV) permukaan pada permukaan kayu.
Jika kayu diberi perlakuan dengan larutan chromic acid 0,1%, maka akan diperoleh
dampak perlindungan pada permukaan transversal setelah 500 jam penyinaran ultra
violet (Gambar 27) (68). Meskipun terlihat adanya microditch longitudinal pada zone
lamella tengah dari kayu yang diberi perlakuan chromic acid, namun sangat kecil
terjadi deteriorasi dinding sel, dan microditch tersebut lebih sempit dibandingkan
dengan kayu yang tidak diberi perlakuan. Tingkat perlindungan secara langsung
proporsional terhadap konsentrasi chromic acid yang digunakan dalam perlakuan.
Jika kayu diberi perlakuan dengan larutan chromic acid 5 dan 10%, sebagian besar
dinding sel dapat terlindungi dengan baik (Gambar 28 dan 29). Dinding sel terlihat
sangat tahan terhadap fotodeteriorasi; hanya sedikit rongga yang timbul pada sudut
sel setelah penyinaran selama 1000 jam. Untuk sebagian besar daerah, daerah
lamella tengah tetap terjaga.
Gambar 27. Irisan melintang pinus kuning dengan perlakuan 0,1 % larutan chromic
acid setelah penyinaran ultra violet selama 500 jam (700 × ).
Gambar 28. Irisan melintang pinus kuning dengan perlakuan 5 % larutan chromic
acid setelah penyinaran ultra violet selama 500 jam (700 × ).
Gambar 29. Irisan melintang pinus kuning dengan perlakuan 10 % larutan chromic
acid setelah penyinaran ultra violet selama 500 jam (700 × ).
Gambar 30. Microchek dinding sel pinus kuning dengan perlakuan 10 % larutan
chromic acid setelah penyinaran ultra violet selama 1000 jam (700 × ).
Secara normal, ferric chloride adalah agen oksidatif yang sangat kuat untuk tekstil
sellulosa (150); namun, dampak perlindungan terhadap cahaya dapat terlihat pada
kayu yang diberi perlakuan dengan larutan ferric chloride serupa dengan perlakuan
chromic acid. Dampak perlindungan terhadap cahaya dari ferric chloride juga terlihat
pada serat pulp thermomekanik (151).
Dampak perlindungan dari perlakuan chromic acid dan ferric chloride terhadap
degradasi permukaan juga terlihat pada permukaan radial. Terlihat adanya
pengawetan pit sederhana maupun bertepi pada kayu yang diberi perlakuan dengan
garam anorganik ini. Pada perlakuan chromic acid dengan konsentrasi 10%, struktur
pit mampu mempertahankan sebagian besar bentuk aslinya setelah penyinaran ultra
violet selama 1000 jam. Terlihat munculnya microcheck diagonal melintasi pit
bertepi dalam dinding radial tracheid (Gambar 30).
Permukaan tangensial kayu yang diberi maupun tidak diberi perlakuan lebih tahan
terhadap fotodegradasi. Sangat sedikit microcheck yang terlihat
Pelapis Kayu Alami
Beberapa pelapis kayu yang sering kali digunakan disebut dengan pelapis kayu untuk
kayu. Setiap sistem pelapisan menawarkan berbagai keuntungan dan kerugian.
Sistem ini dapat dikelompokkan sebagai pelapis yang membentuk film atau penetrasi.
Pelapis dengan penetrasi dapat dibagi lagi menjadi pelapis transparan,
semitransparan, dan garam dalam air seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pelapis alami yang paling sederhana, yang disediakan oleh alam, adalah proses
pelapukan.
Pembentuk film. Vernis merupakan bahan pembentuk film transparan utama yang
digunakan untuk pelapis kayu secara alami, dan sangat meningkatkan kecantikan
alami kayu. Varnish akan kehilangan ketahanan eksteriornya jika tidak dilindungi
dari sinar matahari secara langsung. Pelapisan vernis pada kayu yang diletakkan di
ruangan terbuka tanpa perlindungan biasanya akan memerlukan pelapisan ulang
setiap 1—2 tahun.
Penetrasi. Pelapis dengan penetrasi merupakan klasifikasi kedua dari pelapis kayu
alami. Pelapis ini tidak membentuk film pada permukaan kayu.
TRANSPARAN. Water-repellent Preservative (WRP) merupakan sistem pelapis alami
dengan penetrasi transparan yang sangat penting. Perlakuan permukaan kayu dengan
WRP akan melindungi kayu yang berada di ruangan terbuka dengan sedikit
perubahan dalam penampilannya. Pada kebanyakan spesies kayu dapat diperoleh
warna keemasan yang jernih. Perlakuan ini mengurangi pengelupasan dan retakan,
mencegah penodaan air pada batas dan ujung sisi kayu, dan membantu
mengendalikan pertumbuhan jamur. Aplikasi pertama dengan WRP dapat
melindungi permukaan kayu yang terbuka hanya selama 1—2 tahun, tetapi
pengulangan berikutnya dapat bertahan sampai 2—4 tahun karena papan yang
terlapuk menyerap pelapis lebih banyak.
SEMITRANSPARAN. Pewarna semitransaparan berbasis minyak ini merupakan pelapis
kayu alami (penetrasi) yang kedua. Pelapis warna ini memberikan penampilan yang
kurang alami karena mengandung pigmen yang sebagian menyembunyikan grain dan
warna kayu aslinya. Bahan ini jauh lebih tahan lama daripada vernis atau WRP, dan
memberikan lebih banyak perlindungan terhadap pelapukan. Dengan sistem pewarna
ini, pelapukan diperlambat dengan menghambat pergantian pembasahan dan
pengeringan kayu dan dengan adanya pigmen pada permukaan kayu mampu
meminimalkan dampak degradasi sinar matahari. Jumlah pigmen pada pewarna
semitransparan sangat bervariasi, dan memiliki tingkat perlindungan yang berbeda
terhadap sinar matahari, dan diperoleh penutupan penampilan asli permukaan kayu.
Pewarna lateks juga dideskripsikan sebagai semitransparan. Pelapis berpigmen ini
pada umumnya tidak melakukan penetrasi dan mempertahankan tekstur permukaan
kayu tetapi sering kali merusak warna kayu yang alami.
GARAM DALAM AIR. Garam anorganik yang terlarut dalam air merupakan kelompok
khusus dari pelapis dengan penetrasi. Perlakuan permukaan ini menghasilkan
pelapisan yang serupa dengan pelapis semitransparan karena mengubah warna kayu
dan meninggalkan deposit permukaan dari material yang sama dengan pigmen yang
ditemukan dalam pewarna semitransparan.
Pewarna buram. Pewarna buram adalah kelompok lain dari pelapis yang kadang-
kadang secara tidak tepat dideskripsikan sebagai pelapis kayu alami. Pelapis ini
memiliki kandungan pigmen yang tinggi dan sepenuhnya menutupi warna dan sosok
kayu. Tekstur permukaan tetap terpelihara dan pelapisan ini menghasilkan
penampilan yang datar. Bahan ini sangat melindungi kayu terhadap degradasi sinar
ultra violet, tetapi lebih cenderung menyerupai cat karena tidak menembus
permukaan kayu.
Perlindungan Material Berbahan Dasar Kayu
Produk panel berbahan dasar kayu untuk aplikasi eksterior sering kali memerlukan
pelapis khusus dan pengerjaan yang khusus pula (1, 69, 71, 74, 96). Sering kali
diperlukan pra-perlakuan dan perlakuan tambahan.
Perlindungan panel produk eksterior (khususnya papan partikel) dengan pelapisan
permukaan, perlakuan dan penutupan, dan kenampakan pelapukan berikutnya, telah
banyak mendapatkan perhatian khusus (1, 11, 74, 133, 153—155, 157—159). Papan
yang dicat atau ditutup jauh lebih tahan lama dibandingkan dengan papan tanpa
perlakuan. Penambahan lilin sebagai penahan air memberikan penampilan papan
yang lebih bagus, tetapi tidak melindungi terhadap uap air (1, 11, 74).
Percobaan pelapukan ruangan terbuka dengan perlakuan permukaan yang berbeda
menunjukkan bahwa persyaratan yang paling penting untuk perlindungan jangka
panjang adalah kualitas pelapis dan perlindungan tepi papan terhadap air (1, 11).
Ukuran konstruksi komplementer diperlukan untuk penampilan yang baik, dan pada
umumnya, penahanan air dan penyegelan permukaan kayu sangat penting. Di atas
nilai minimum, gradien diffusi uap air dari pelapisan hanya berada pada tingkat
kepentingan yang kedua. Kondisi visual papan dan ketebalan pengembangan
merupakan kriteria terbaik untuk mengevaluasi dampak perlindungan perlakuan
permukaan. Stabilitas permukaan merupakan salah satu dari kriteria yang paling
penting dalam pemeliharaan pelapisan dan mempertahankan perlindungan dan
penampilan yang memuaskan.
Penelitian tentang pelapisan eksterior pada kayu lapis dan panel komposit kayu lapis
meliputi formulasi pelapisan dan pengujian yang dipercepat (1, 69, 71, 136, 158—
162).
Interaksi Kayu—Pelapisan
Banyak penelitian yang memberikan kontribusi terhadap pemahaman menyeluruh
tentang interaksi kayu—pelapisan (1, 13—15, 19, 60, 106). Beberapa penelitian
menggunakan adhesive yang memiliki interaksi yang serupa dengan pelapisan.
Schneider (163) mengulas berbagai penelitian awal (sebelum tahun 1970) yang
berhubungan dengan interaksi kayu—pelapisan. Dia menyimpulkan bahwa meskipun
terdapat beberapa bukti nyata tentang karakteristik interaksi kayu-pelapisan, namun
banyak yang masih merupakan spekulasi dan teori yang belum dicoba. Penelitian
selanjutnya oleh Schneider (1964—1968) menggunakan mikroskop elektron,
mikroskop fluorescence, teknik kromatografi pyrolysis gas-liquid yang sesuai dengan
penetrasi pelapisan dalam kayu.
Mikroskop elektron dan teknik analisis penyebaran energi sinar X digunakan untuk
menguji distribusi dan lokasi dari komponen bahan pengawet berbasis air yang
digunakan pada kayu. Selanjutnya, terlihat adanya penetrasi anion tertentu ke dalam
dinding sel dengan kation yang tersisa dalam lumen sel; pigmen besi oksida
sepenuhnya mengendap pada permukaan kayu.
Rangkuman dan Pertimbangan Masa Depan
Semua material kayu sensitif terhadap pelapukan ruangan terbuka. Kayu yang berada
di ruangan terbuka tanpa diberikan perlindungan akan mengalami; fotodegradasi oleh
sinar ultra violet; pencucian, hidrolisis, dan pengembangan oleh air; dan diskolorasi
serta degradasi oleh mikroorganisme pengurai. Permukaan kayu tanpa pelapisan
yang mendapatkan pelapukan mengalami perubahan warna, diperkasar lagi oleh
fotosegradasi dan peretakan permukaan, dan kemudian tererosi. Meskipun perubahan
fisik demikian juga dengan perubahan kimia yang terjadi disebabkan oleh pelapukan,
namun perubahan ini hanya mempengaruhi permukaan kayu yang terbuka.
Sinar ultra violet tidak mampu menembus kayu lebih dalam dari 75 m, dan cahaya
tampak tidak lebih dari 200 m. Terjadi kehilangan kecerahan dan warna secara
cepat jika kayu disinari dengan ultra violet atau sinar matahari di ruangan terbuka.
Penelitian SEM menunjukkan bahwa sebagian besar dinding sel pada permukaan
melintang yang terbuka terpisah pada daerah lamella tengah. Pit bertepi dan setengah
bertepi pada permukaan radial yang terbuka sangat terdegradasi oleh sinar ultra
violet.
Radikal bebas terbentuk pada permukaan kayu selama penyinaran. Tingkat
pembentukan radikal bebas semakin tinggi jika kadar air meningkat dari 0 menjadi
6,3%. Penelitian dengan electron spin resonance (resonansi putaran elektron) dan
ultra violet tentang perilaku radikal bebas yang terbentuk dan interaksinya dengan
molekul oksigen untuk membentuk peroksida air menunjukkan bahwa radikal bebas
oksigen singlet memainkan peranan penting dalam reaksi diskolorasi dan deteriorasi
permukaan kayu.
Kayu yang mengalami pelapukan dapat dilindungi dengan cat, pewarna, dan material
yang serupa. Cat memberikan lebih banyak perlindungan permukaan kayu yang
terbuka karena cat pada umumnya tahan terhadap dampak degradatif dari sinar ultra
violet dan melindungi kayu pada berbagai tingkatan terhadap air. Penampilan cat
sangat bervariasi pada berbagai kayu yang berbeda. Pewarna berpigmen juga
memberikan pelapisan yang tahan lama untuk kayu yang diletakkan di ruangan
terbuka. Pra-perlakuan seperti WRP atau bahan kimia anorganik tertentu (senyawa
chromium) dapat meningkatkan penampilan pelapisan secara nyata jika diaplikasikan
pada kayu yang sudah diberi perlakuan.
Beberapa aspek pelapukan kayu tidak sepenuhnya dipahami. Sebuah pemahaman
yang menyeluruh tentang mekanisme yang terlibat dalam pelapukan ruangan terbuka
akan memungkinkan pengembangan pelapisan dan pra-perlakuan baru yang akan
sangat meningkatkan keawetan. Pertukaran substrat kayu dengan spesies yang
sebelumnya belum digunakan dan kombinasi adhesive—kayu yang baru
menunjukkan peningkatan frekuensi, memberikan tantangan yang menarik terhadap
pelapis kayu modern. Diperlukan sebuah penelitian rinci dari berbagai interaksi yang
mempengaruhi penampilan material yang berasal dari kayu untuk memberikan
perlindungan yang sesuai bagi produk ini jika digunakan di ruangan terbuka.
Teknik dan peralatan terbaru untuk penelitian permukaan kayu seperti Fourier
transform IR spectroscopy, spektroskop elektron untuk analisis kimia, dan elektron
spin resonance spectroscopy, dapat memberikan sebuah pendekatan yang tepat
terhadap proses pelapukan baik pada substrat kayu berpelapis maupun tidak
berpelapis. Penggunaan teknik ini akan memberikan kajian yang mendalam dari
interaksi perlakuan permukaan kayu dan nilai dari interaksi ini terhadap penampilan
akhir.
Pemahaman tentang peranan modifikasi kimia pada kayu dan permukaan kayu dalam
pengendalian proses pelapukan ruangan terbuka sangat penting untuk penggunaan
kayu di ruangan terbuka pada masa yang akan datang. Peranan modifikasi akan
semakin besar seiring dengan meningkatnya permintaan produk berbahan dasar kayu
yang terbaru. Masa depan dari modifikasi tersebut tergantung pada peningkatan mutu
produk akhir. Bahan kimia yang terikat secara permanen yang memberikan
stabilisasi ultra violet, pengendalian warna, ketahanan air, dan stabilitas dimensional
dapat meningkatkan penampilan di ruangan terbuka secara nyata.

You might also like