You are on page 1of 3

Teori Manusia Menurut Agama

Di dalam Al-Qur’an, manusia pertama tidak diungkap secara gamblang (eksplisit). Namun yang
pasti, Adam bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia pertama yang diciptakan
Allah. Khalifah sebelum Adam adalah khalifah dari golongan manusia juga. Ada banyak “Adam-
Adam” lain yang sebelumnya diciptakan Allah dengan fungsi yang sama, tetapi dengan sifat
yang berbeda, yaitu perusak (destruktif). Allah mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan
hukum Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya yang
berlandaskan tatanan hukum Allah. Selanjutnya, proses pembelajaran untuk khalifah baru ini
segera dilakukan. Dengan apa? Dengan perangkat nalar (rasional). Dengan kata lain, Adam-lah
manusia rasional yang pertama.
Dalam teori evolusi dinyatakan bahwa manusia digolongkan ke dalam ordo primata, hominidae
(manusia kera; kera berjalan tegak). Para pendukung teori ini menyatakan bahwa yang dianggap
sebagai moyang manusia adalah yang termasuk ke dalam genus Australopithecus, yang lebih
cocok disebut “manusia kera” daripada “manusia” pada umumnya. Kemudian genus ini berturut-
turut mengalami evolusi pada Australopithecus Afarensis, dan berkembang menjadi
Australopithecus Africanus yang pada giliran selanjutnya berkembang menjadi Australopithecus
Robustus.
Transisi dari genus ini adalah Homo Habilis dan Homo Erectus yang menandai munculnya
“manusia sebenarnya” atau genus Homo. Menjelang munculnya manusia modern atau genus
Homo Sapiens, para ahli menemukan satu “makhluk” yang disebut Homo Neanderthalensis.
Diperkirakan mereka berkembang sekitar 110.000 tahun dari sekarang sampai munculnya
manusia modern atau manusia kontemporer yang disebut sebagai Homo Sapiens sekitar 35.000
tahun sebelum sekarang.
Di dalam Al-Qur’an manusia pertama memang tidak diungkap secara eksplisit. Tampaknya,
mengurai asal-usul manusia pertama bukanlah tema substantif al-Qur’an. Penulis sendiri tidak
hendak menguraikan proses penciptaan manusia dari sudut pandang biologis yang terdiri dari
rangkaian ekstrak atau saripati dan beragam unsur-unsurnya, tetapi dalam tulisan ini yang
dibahas adalah substansi penciptaan Adam sebagai seorang khalifah dan kaitannya dengan
peradaban manusia.
Adam sebagai Khalifah
Substansi dari dialog dengan malaikat (Q.s. al-Baqarah: 30-31 ) adalah penegasan bahwa
sesungguhnya Allah sebagai Pencipta atau Penjadi khalifah di muka bumi ini. Kata “jaa`ilun”
sebagai konstruksi isim fa`il yang berarti subyek pelaku dalam frasa Innii jaa’ilun fi al-ardhi
khaliifah tidak harus diartikan “hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Seandainya arti ini
yang dipahami, maka tidak ada khalifah sebelum Adam. Konseksuensi logisnya, Adam adalah
manusia pertama.
Seandainya frasa tersebut dikembalikan pada makna asalnya sebagai isim fa‘il, maka hal itu
mengisyaratkan bahwa Allah—sebelum atau sesudah terjadinya dialog dengan malaikat
sebagaimana yang termaktub dalam ayat tersebut—selalu menjadikan khalifah di muka bumi.
Dengan demikian, Adam bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia yang pertama
yang diciptakan Allah.
Adam dan Instalasi al-Asma’
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens,
tampaknya selaras dengan karakter “destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun,
bukankah karakter hominid memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur
fisik yang hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera). Mereka
tercipta dengan volume otak yang kecil yang dengan sendirinya perilakunya pun cenderung
tanpa tatanan manusiawi atau bersifat kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai
khalifah. Sementara itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah
untuk mengelola bumi ini.
Di sinilah letak diskontinuitas itu. Ternyata, kita tidak bisa mengorelasikan fakta sejarah manusia
(asal mula manusia menurut para penganut evolusionisme) dengan asal-usul Adam. Ada banyak
keterserakan, sebagaimana yang dideskripsikan Michel Foucault, diskontinuitas dipahami
sebagai terserak dan berkecambahnya sejarah ide-ide dan munculnya periode-periode yang
begitu panjang dalam sejarah itu sendiri. Dalam pengertian tradisional, sejarah semata-mata
selalu tertuju pada keinginan untuk menentukan relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular,
antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia
(The Archeology of Knowledge, hlm. 10).
Keterserakan ini yang menyangkut relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan
relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia. Celakanya, kita
menganggap bahwa data-data historis tentang bapak manusia itu dirasa cukup hanya dengan
ditafsirkan oleh data-data hadits yang sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah israiliyat (Bible).
Seandainya kita hendak meneliti sejarah penciptaan ini, meminimalisasi diskontinuitas dengan
“comot sana comot sini” dari data-data Biblikal bukanlah semangat Qur’anik. Bukankah sejak
awal al-Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Dengan meneliti ayat “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Q.s. al-
Baqarah: 37), suksesi khalifah yang tidak berdasarkan kalimah Allah ke yang berdasarkan
kalimah Allah barangkali yang paling mendekati untuk mereka-reka praduga ini. Allah hendak
mengganti khalifah yang berperilaku destruktif yang tidak berdasarkan pada hukum-hukum
Allah dengan khalifah berperadaban yang berdasarkan pada hukum-hukum Allah. Jadi, tegaslah
bahwa para hominid itu bukan khalifah.
Namun yang pasti, Adam bukanlah manusia pertama. Tampaknya Q.s. al-Baqarah: 30
menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah untuk mereformasi dan
merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata lain, Allah hendak mengganti khalifah
perusak yang tanpa tatanan hukum Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak
keturunannya kelak yang berlandaskan tatanan hukum Allah.
Selanjutnya, proses pembelajaran untuk khalifah baru ini segera dilakukan. Instalasi ini adalah
pembekalan pada diri Adam yang berupa persiapan diri untuk menerima seluruh identifikasi
nama-nama, al-asma’ kullaha. Kalimat kullaha adalah penguatan (taukid) bahwa pengajaran al-
asma meliputi seluruh nama-nama atau identitas (al-musammiyaat) benda-benda (Tafsir
Zamakhsyari, Juz I, hlm. 30).
Sementara itu, Imam al-Qurthuby menitikberatkan bahwa proses pengajaran al-asma’ adalah
pengajaran dalam bentuk dasar-dasar ilmu pengetahuan (Tafsir al-Qurthuby, Juz I, hlm. 279).
Hal ini mengandung makna yang lebih dalam, bahwa Adam sudah diperlengkapi dengan
perangkat nalar yang siap untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama. Pengajaran bukanlah
dengan mengajarkan penyebutan benda-benda satu-persatu belaka, namun lebih pada
pengidentifikasian yang selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Adam. Adam-lah manusia
rasional yang pertama.
Proses instalasi ini dijadikan bekal Adam untuk diwariskan kepada anak cucunya dalam rangka
mengelola dunianya kelak. Instalasi al-asma’ adalah instalasi sendi-sendi pengetahuan sehingga
Adam mampu mengidentifikasi nama-nama seluruhnya (al-asma’ kullaha). Faktor inilah yang
mendorong manusia untuk menjadi makhluk pembelajar—homo academicus. Adam mampu
mengidentifikasi dan mengembangkan daya nalarnya sampai pada tahap yang mengagumkan
malaikat. Sementara, malaikat tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun kecuali apa yang telah
diinformasikan Allah kepada mereka, subhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa. Inilah
yang membuat malaikat jatuh tersungkur karena ta’dzim kepada Adam akan pencapaian
kemajuan ilmiahnya.
Tampaknya, diskontinuitas sejarah penciptaan Adam memang demikian adanya. Al-Qur’an—
justru—hendak menggerakkan hikmah di balik penciptaan itu untuk selalu terus menerus
berpikir dan menggunakan daya nalar manusia di bawah bimbingan hukum Allah (kalimaatin)
sebagaimana Adam meletakkan dasar-dasar budaya dan peradaban di bawah bimbingan-Nya.
Sementara itu, membicarakan Adam sebagai tokoh sejarah (manusia pertama atau bukan)
tidaklah substansial dan tidak memberikan dampak apa-apa bagi peradaban itu sendiri.l

You might also like