You are on page 1of 13

Hidung dan Sinus Paranasalis serta Kaitannya dengan Cairan Mengalir dari

Ujung Tenggorokan

Pendahuluan
Tulang tengkorak memiliki sejumlah ruang berisi udara yang disebut sinus. Ruang ini
membantu mengurangi berat tengkorak dan memberikan perlindungan daerah tengkorak dan
membantu dalam resonansi suara. Terdapat empat pasang sinus, yang dikenal sebagai sinus
paranasalis, yaitu sinus frontalis di daerah dahi, sinus maksilaris di belakang tulang pipi, sinus
etmoidalis diantara kedua mata dan sinus sphenoidalis di belakang bola mata. Sampai saat ini
sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh pada manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya bervariasi pada tiap individu. Terdapat membran yang melapisi sinus
tersebut yang mensekresikan mukus, yang mana akan mengalir ke rongga hidung melalui
sebuah saluran kecil pada setiap sinus tersebut. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung.Makalah ini bertujuan untuk mengetahui struktur - struktur
hidung dan sinus paranasalis secara makroskopik dan mikroskopik, sistem drainase sinus
paranasalis dan mekanisme pernapasan manusia.
Struktur Makroskopik Hidung dan Sinus Paranasal
Hidung
Dilihat dari bagian luar, hidung berbentuk pyramid di mana pangkalnya berhubungan
dengan dahi manakala ujung bebasnya pula disebut sebagai puncak hidung atau apex. Di
bagian inferior hidung terdapat dua nostril atau nares nasi, yaitu dua pintu masuk berbentuk
bulat panjang yang dipisahkan oleh septum nasi menjadi bagian kanan dan kiri. Permukaan
infero lateral hidung berakhir sebagai alae nasi yang bulat di mana ke arah medial,
permukaan lateral ini akan berlanjut pada dorsum nasi di tengah. 1-2, 4

Gambar 1. Hidung Bagian Luar 1


Penyangga hidung tersusun atas tulang yang terdiri daripada os nasale, processus
frontalis maxillae dan bagian nasal ossis frontalis dan tulang rawan yaitu cartilago septi nasi,
cartilago nasi lateralis dan cartilago ala nasi major dan minor.

Gambar 2. Tulang dan Tulang Rawan pada Hidung 1


Otot yang melapisi hidung adalah bagian daripada otot wajah, yaitu musculus nasalis
dan musculus depressor septi nasi. Bagian atas rongga hidung berasal dari a.ethmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah hujung
a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang hujung posterior konka media. Manakala bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan
a.palatina mayor yag disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus ini terletak superficial
dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak mempunyai katup sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.7
Bagian depan dan atas ringga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis
anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
2

mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas hujung posterior konka media. Untuk fungsi penghidu pula berasal
dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.8
Dinding lateral hidung memperlihatkan tiga elevasi, yaitu concha nasalis superior,
medius dan inferior. Inferolateral terhadap masing masing concha nasalis ini terdapat meatus
nasi yang sesuai; meatus nasi superior, medius dan inferior.
Di sebelah cranial dan dorsal terhadap concha nasalis superior terdapat recessus spheno
ethmoidalis yang mengandung muara sinus sphenoidalis. Pada recessus ini juga terdapat
concha nasalis suprema. Meatus nasi superior yang terletak inferior terhadap concha nasalis
superior ini memperlihatkan sebuah lubang sebagai muara sinus ethmoidalis posterior. 2
Meatus nasi medius berada inferolateral terhadap concha nasalis medius. Ke arah
anterior meatus nasi medius berkesinambungan dengan fossa dangkal di sebelah cranial
vestibulum dan limen nasi, yaitu agger nasi yang melandai ke arah bawah dan depan, mulai
dari ujung atas tepi bebas bagian anterior concha nasalis medius. 2
Setinggi meatus nasi medius ini dinding lateral rongga hidung memperlihatkan sebuah
elevasi bulat; bulla ethmoidalis. Bulla ethmoidalis dibentuk oleh pembengkakan sinus
ethmoidalis medius yang bermuara pada bulla ethmoidalis tersebut. Di sebelah bawah bulla
ethmoidalis terdapat celah berbentuk lengkung yang meluas ke atas sampai di sebelah depan
bulla, yaitu hiatus semilunaris.1 Hiatus semilunaris dibatasi oleh rigi konkaf yang dibentuk oleh
processus uncinatus ethmoidalis di sebelah inferior, dan ke arah depan dan atas hiatus ini
menjadi sebuah saluran lengkung, yaitu infundibulum ethmoidale yang bermuara dengan sinus
ethmoidalis anterior. Pada umumnya, infundibulum ethmoidale ini berkesinambungan dengan
ductus nasofrontalis. Ke sebelah ventral, infundibulum ethmoidale berakhir pada sinus
ethmoidalis anterior dan ductus nasofrontalis bermuara lewat infundibulum ini ke dalam ujung
anterior meatus nasi medius. Meatus sinus inferior, di caudal dan lateral terhadap concha
nasalis inferior, berisi muara ductus nasolakrimalis. 1 2

Gambar
Rongga

3.
Hidung

Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.

Gambar 4. Sinus Paranasal 11


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus
ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya iala dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveeolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Cabang dari arteri maxillaris internal
mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbital (yang berjalan dengan nervus infraorbital), cabang
lateral dari sphenopalatine, palatina mayor, vena axillaris dan vena jugularis sistem dural sinus.

Sinus maxilla disarafi oleh cabang dari V.2. yaitu nervus palatina mayor dan cabang dari
nervus infraorbital.3
Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
tergantung dari gerak silia, lagipula darinase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang dan
alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.4
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior
dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara media dan dinding
medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya sinus, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di posterior dari lamina basalis.3
Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
5

etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasn denga sinus
sfenoid.
Sinus ethmoid mendapat aliran darah dari arteri carotis eksterna dan interna . Arteri
sphenopalatina dan juga arteri opthalmica mendarahi sinus. Pembuluh vena mengikuti
arterinya dan dapat menyebabkan infeksi intracranial. Dipersarafi oleh nervus V.1 dan V.2,
nervus V.1 mensarafi bagian superior sedangkan sebelah inferior disarafi oleh nervus V.2.
Persarafan parasimpatis melalui nervus Vidian, sedangkan persarafan simpatis melalui
ganglion sympathetic cervical dan berjalan bersama pembuluh darah menuju mukosa sinus.4
Sinus frontal terletak di os frontal, mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada yang
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen merupakan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.5
Sinus frontalis mendapat perdarahan dari arteri opthalmica melalui arteri supraorbita
dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui vena opthalmica superior menuju sinus
cavernosus dan melalui vena-vena kecil didalam dinding posterior yang mengalir ke sinus
dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang nervus V.1. Secara khusus, nervus-nervus ini
meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.6
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
6

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior dan pons.
Arteri ethmoid posterior mendarahi atap sinus sphenoidalis. Bagian lain dari sinus
mendapat aliran darah dari arteri sphenopalatina. Aliran vena melalui vena maxillaris ke vena
jugularis dan pleksus pterigoid. Sinus sphenoidalis disarafi oleh cabang nervus V.1 dan V.2.
Nervus nasociliaris (cabang nervus V.1) berjalan menuju nervus ethmoid posterior dan
mensarafi atap sinus. Cabang-cabang nervus sphenopalatina (V.2) mensarafi dasar sinus.3
Struktur Mikroskopik Hidung dan Sinus Paranasal
Rongga hidung dan sinus paranasalis dilapisi oleh mukosa pernapasan atau mukosa
respiratorik yang fungsi utamanya adalah untuk menyaring benda benda renik dan untuk
menyesuaikan suhu serta kelembaban udara inspirasi. Mukosa ini tersusun atas epitel
bertingkat torak bersilia bersel goblet yang diperkuat oleh vaskular lamina propria. Silia yang
terdapat pada lapisan mukosa ini berfungsi untuk mendorong lendir ke arah belakang, yaitu ke
arah nasofaring sehingga kemudian lendir tertelan atau dibatukkan.6 Pada lamina propria
terdapat kelenjar mukosa dan serosa yang mensekresikan mukosa dan serosa. Fungsi sekret ini
adalah untuk melembabkan udara inspirasi dan menangkap partikel partikel debu yang halus
dalam udara inspirasi. Lamina propria ini menjadi satu dengan periosteum atau perikondrium;
membran mukosa di hidung sering disebut mukoperiosteum atau mukoperikondrium atau
membrana Schneider. Pada lapisan mukosa ini juga terdapat serat kolagen, serat elastin,
limfosit, sel plasma dan sel makrofag. 6- 7
Seterusnya, terdapat mukosa penghidu atau mukosa olfaktoris yang tersusun atas epitel
olfaktori dan lamina propria. Mukosa olfaktoris juga mempunyai epitel bertingkat kolumnar
bersilia, yang mensekresikan mukosa yang cukup banyak. Epitel ini dimodifikasi untuk
penghiduan. Epitel olfaktoris terdiri daripada empat jenis sel, yaitu sel olfaktoris, sel
sustentakular, sel basal dan sel sikat.

Gambar 5. Epitel Olfaktorius 6


Sel olfaktoris mempunyai silia yang snagat panjang, non motil yang mengandung
kemoreseptor. Kelenjar serosa atau kelenjar Bowman di mukosa ini yang terdapat pada lamina
propria melembabkan silia ini untuk melarutkan bauan dalam udara inspirasi. Interaksi reseptor
dengan molekul perangsang menyebabkan depolarisasi membran sel olfaktoris, diikuti
timbulnya potensial aksi.7 Sel olfaktoris adalah modifikasi neuron. Sel ini mempunyai dendron
dan bersinaps dengan neuron di bulbus olfaktorius. Sejumlah sel akan bergabung bersama
sama menjadi filia olfaktoria, yang membawa potensial aksi dari lamina kribriformis tulang
ethmoid ke lobus olfaktorius sistem saraf. 6
Sel sustentakular pula mempunyai mikrovili apical dan kompleks Golgi yang
berkembang baik, sehingga tampak seperti sel sekretoris. Sel basal adalah sel tidak
berdiferensiasi tetapi mempunyai kemampuan untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel
olfaktoris dan sel sustentakuler manakala sel ikat adalah sel dengan mikrovili di apikal.6
Sinus paranasal adalan rongga yang berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak
dan berhubungan dengan rongga hidung. Terdapat empat tempat sinus, yaitu sinus maxillaries,
sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Epeitel yang membatasi sinus sinus
paranasal ini adalah epitel bertingkat silindris bersilia dengan sedikit sel goblet. Epitel sinus
paranasalis ini merupakan kelanjutan epitel hidung dan epitel bertingkat silindris bersilia.
Lamina propria juga adalah lebih tipis dan mengandung sedikit kelenjar. Kelenjar kelenjar ini
memproduksi mucus yang akan dialirkan ke cavum nasi oleh gerakan silia.6 -7
Sinus-sinus

dilaisi

oleh

epitel

pseudostratified

ciliated

columnar

yang

berkesinambungan dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis dari epitel
8

hidung. Ada 4 tipe sel dasar, yaitu epitel ciliated columnar, non ciliated columnar, sel basal dan
sel goblet. Sel-sel

ciliated

memiliki 50 ? 200 silia per sel dengan struktur dari

9+2

mikrotubulus dengan dynein lengan. Data penelitian menunjukkan sel ini berdetak 700-800
kali per menit, pergerakan mucosa pada suatu tingkat 9 mm per menit. Sel yang nonciliated
ditandai oleh microvilli yang menutupi daerah apikal sel dan bertugas untuk meningkatkan area
permukaan ( mungkin memudahkan pembasahan dan kehangatan dari udara inspirasi ). Ini
penting untuk meningkatkan konsentrasi (sampai 50%) dari ostium sinus. Fungsi sel basal
belum diketahui, sangat bervariasi baik dalam bentuk dan jumlah.
Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak sebagai suatu stem cell
yang dapat membedakan jika dibutuhkan. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi
untuk viskositas dan elastisitas mukosa. Sel goblet ini disarafi oleh saraf simpatis dan
parasimpatis. Rangsangan saraf parasimpatis menghasilkan mucous yang lebih kental dan
dengan rangsangan saraf simpatis pengeluaran mucous lebih encer. Lapisan epitel disokong
oleh suatu basement membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum. Keduanya baik
kelenjar serous dan mucinous mengalir ke dalam lamina propia. Studi anatomi menunjukkan
tentang sel goblet dan kelenjar submucosal di sinus dibandingkan di mukosa hidung. Pada
studi tersebut, sinus maxillaris mempunyai sel goblet yang paling tinggi. Ostia dari rahang,
sphenoid dan sinus ethmoid anterior meningkat dalam jumlah submucosal yang mengandung
kelenjar serous dan mucinous.11
Mekanisme Pernapasan Inspirasi dan Ekspirasi
Paru dapat dikembang atau dikempiskan dengan adanya gerakan turun dan naik dari
diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan juga depresi dan elevasi
tulang iga.3 Pernafasan normal dan tenang hampir sempurna oleh adanya gerakan dari
diafragma. Selama inspirasi, kontraksi dari diafragma akan menarik permukaan bawah paru ke
bawah sedangkan selama ekspirasi diafragma relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru,
dinding dada dan isi perut menekan paru paru. Seterusnya, untuk mengembangkan paru juga
adalah untuk mengangkat rangka iga. Pengembangan paru ini adalah karena, pada posisi
istirahat, iga miring ke bawah, dengan demikian sternum turun ke belakang ke arah kolumna
spinalis. Bila rangka dielevasikan tulang iga secara langsung maju demikian juga sternum
bergerak menjauhi spinal. 3,8
Otot otot yang meninggikan rangka dada, yaitu otot sternokleidomastoideus yang
mengangkat sternum ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, otot
skaleneus yang mengangkat dua iga pertama dan otot interkostal externus diklasifikasikan
9

sebagai otot otot inspirasi. Otot otot yang menurunkan rangka dada pula diklasifikasikan
sebagai otot ekspirasi. Otot otot yang menarik iga ke bawah selama ekspirasi adalah otot
rektus abdominus yang mempunyai efek menarik ke bawah iga iga bagian bawah pada waktu
yang sama otot otot ini dan otot otot perut yang lainnya juga menekan isi perut ke arah
diafragma dan otot interkostal internus.3
Gambar 6 menunjukkan mekanisme kerja otot interkostalis internus dan eksternus yang
menyebabkan inspirasi dan ekspirasi. Pada gambar di sebalah kiri, selama ekspirasi tulang
tulang iga membentuk sudut ke bawah dan otot interkostalis eksternus memanjang ke depan
dan ke bawah. Bila otot otot ini berkontraksi, otot otot tersebut akan menarik tulang iga
yang lebih bawah. Sebaliknya, pada inspirasi otot interkostalis internus akan teregang, dan
kontraksi otot ini akan menarik tulang iga atas ke belakang dalam hubungannya dengan tulang
iga yang lebih bawah. 3,8

Gambar 6.

Inspirasi
dan
Ekspirasi 3
Transpor Gas Respirasi
Transport Oksigen
Sistem pengangkut O2 di tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskular. Pengangkutan O2 menuju jaringan tertentu bergantung
pada jumlah O2 yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas di paru
yang adekuat, aliran darah yang menuju jaringan, dan kapasitas darah
untuk

mengangkut

O2.

Aliran

darah

bergantung

pada

derajat

konstriktusijalinan vaskular di jaringan serta curah jantung. Jumlah O 2 di


10

dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut, jumlah hemoglobin


dalam darah, dan afinitas hemoglobin terhadap O2.
Terdapat tiga keadaan penting yang mempengaruhi kurva disosiasi
hemoglobin-oksigen yaitu pH suhu dan kadar 2,3 BPG. Peningkatan suhu
atau penurunan pH mengakibatkan PO2 yang lebih tinggi diperlukan agar
hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2. Sebaliknya, penurunan suhu atau
peningkatan pH dibutuhkan PO2 yang lebih rendah untuk mengikat
sejumlah O2. Suatu penurunan pH akan menurunkan afinitas emoglobin
terhadap O2, yang merupakan suatu pengaruh yang disebut pergeseran
Bohr. Karena CO2 berekasi dengan air untuk membentuk asam karbonat,
maka jaringan aktif akan menurunkan pH di sekelilingnya dan menginduksi
hemoglobin supaya melepaskan lebih banyak oksigennya, sehingga dapat
digunakan untuk respirasi selular.8
Transpor Karbon Dioksida
Selain perannya dalam transpor oksigen, hemoglobin juga membantu
darah

untuk

penyanggan

mengangku
pH

darah

karbon
yaitu,

dioksida
mencegah

dan

membantu

perubahan

pH

dalam
yang

membahayakan. Sekitar 7% dari karbon dioksida yang dibebeaskan oleh


sel-sel yang berespirasi diangkut sebagai CO2 yang terlarut dalam pllasma
darah. Sebanyak 23% karbon dioksida terikat dengan banyak gugus amino
hemoglobin. Sebagain besar karbon dioksida, sekitar 70%, diangkut dalam
darah dalam bentuk ion bikaronat. Karbon dioksida yang dilepaskan oleh
sel-sel yang berespirasi berdifusi masuk ke dalam plasma darah dan
kemudian masuk ke dalam sel darah merah, dimana CO2 tersebut diubah
menjadi bikarbonat. Karbon dioksida pertama bereaksi dengan air untuk
membentuk asam karbonat, yang kemudian berdisosiasi menjadi ion
hydrogen dan ion bikarbonat. Sebagian besar ion hydrogen berikatan di
berbagai tempat pada hemoglobin dan protein lain sehingga tidak
mengubah pH darah. Ion bikarbonat lalu berdifusi ke dalam plasma. Ketika
darah mengalir melalui paru-paru, proses tersebut dibalik. Difusi O2 keluar
dari darah akan menggeser kesetibangan kimiawi di dalam sel darah merah
kearah perubahan bikarbonat menjadi CO2.8,9
Kesimpulan
11

Sinus paranasalis merupakan rongga udara yang terdapat pada bagian padat dari tulang
tenggkorak di sekitar wajah, yang berfungsi untuk memperingan tulang tenggkorak. Rongga ini
berjumlah empat pasang kiri dan kanan. Sinus frontalis terletak di bagian dahi, sedangkan
sinus maksilaris terletak di belakang pipi. Sementara itu, sinus sphenoid dan sinus ethmoid
terletak agak lebih dalam di belakang rongga mata dan di belakang sinus maksilaris. Dinding
sinus terutama dibentuk oleh sel sel penghasil cairan mukus. Udara masuk ke dalam sinus
melalui sebuah lubang kecil yang menghubungkan antara rongga sinus dengan rongga hidung
yang disebut dengan ostia. Jika oleh karena suatu sebab lubang ini buntu maka udara tidak
akan bisa keluar masuk dan cairan mukus yang diproduksi di dalam sinus tidak akan bisa
dikeluarkan.
Daftar Pustaka
1. Snell RS. Clinical anatomy by regions. 9th ed. United States: Wolters Kluwer Health /
Lippincott Williams & Wilkins; 2012: 641 4.
2. Faiz O, Moffat D. Anatomy at a glance. 2nd ed. United States: Blackwell Science Ltd;
2002: 145 7.
3. Guyton AC, Hall JE. Guyton and hall textbook of medical physiology. 12 th ed. United
States: Saunders Elsevier; 2011: 465 6, 488 91, 495 500, 502.
4. Feneis H, Dauber W. Pocket atlas of human anatomy based on the international
nomenclature. 4th ed. New York: Thieme Stuttgart; 2000: 135 6.
5. Putz R, Pabst R. Sobotta atlas of human anatomy: head, neck and upper limb. 14 th ed.
Munich: Elsevier Urban & Fischer; 2006: 86 91.
6. Mescher AL. Junqueiras basic histology: text & atlas. 12th ed. United States: McGraw
Hill Companies; 2010: 292 5.
7. Wheater PR, Burkitt HG, Daniels VG. Wheaters functional histology: a text and colour
atlas. 3rd ed. UK: Longman Group Ltd; 2010: 295 8.
8. Sherwood L. Fundamentals of human physiology. United States: Brooks/Cole
CENGAGE Learning; 2012.
9. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2010.h.154-68
10. Marks, DB, dkk. Biokimia Kedokteran Dasar Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC,
2011, hal. 35-40.
11. Junqueira, Carlos L,Carneiro J. Histologi dasar, teks dan atlas. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; (10)2007.h.69-71.

12

13

You might also like