You are on page 1of 11

TUGAS ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

(Koordinasi dan Birokrasi)


(ESP 212)

Oleh

Gesron Purba
0611021054

JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2009
Koordinasi dan Birokrasi

A. Koordinasi

Koordinasi didefinisikan sebagai suatu proses, upaya penyelarasan untuk mencapai berbagai
layanan kemanusiaan yang tepat, efektif, efisien, dan koheren.
Koordinasi melibatkan penggunaan berbagai instrumen kebijakan secara sistematis untuk hal-hal
berikut ini:
• Penyediaan kepemimpinan dan manajemen atas badan-badan perwakilan
• Negosiasi serta pemeliharaan kerangka kerja yang bisa berfungsi dengan baik bersama
berbagai elemen otoritas politik setempat
• Penyelarasan atas pembagian kerja fungsional (termasuk sipil – militer);
• Perencanaan strategis
• Mobilisasi segala jenis sumber daya bagi penyusunan program yang terintegrasi
• Pengumpulan data serta pengelolaan informasi
• Menjaga terjaminnya akuntabilitas (termasuk akuntabilitas kepada masyarakat penerima)
• Terciptanya suatu fokus bagi advokasi bersama, dan
• Identifikasi atas berbagai macam jurang perbedaan yang masih ada.

Koordinasi pada hakekatnya merupakan upaya memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan


dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap
gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama. (LAN,
1997)

Menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan
jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan
yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L.
Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi
kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu
dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan,
2007:85).

Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana
pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan
menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.

Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses


pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah
(departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
secara efisien.

Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan
komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam
satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi
dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga
mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu
sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.

Di dalam administrasi, koordinasi bersangkutpaut dengan penyerasian serta penyatuan tindakan


dari sekelompok orang (William H. Newman).

Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk
dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif. (James AF Stoner).

Koordinasi adalah bekerja bersama seerat-eratnya dibawah seorang pemimpin. (Penjelasan


UUD)

Koordinasi kegiatan vertikal di Daerah adalah: Upaya yang dilaksanakan oleh Kepala Wilayah
guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan
tugas serta kegiatan semua instansi vertikal, dan antara instansi vertikal dengan dinas daerah agar
tercapai hasil guna dan daya guna (PP. No. 6 th 1988).

Jenis-jenis Koordinasi :

a. Intern yaitu koordinasi yang langsung dilakukan oleh atasan kepada bawahannya dalam
suatu organisasi yang sama :

koordinasi vertikal yaitu koordinasi struktural, koordinasi horizontal, koordinasi


diagonal.

b. Ekstern yaitu koordinasi yang dilakukan oleh suatu organisasi dengan organisasi lainnya;
koordinasi vertikal. koordinasi diagonal.

Mekanisme Koordinasi.

Koordinasi hanya mungkin dilakukan apabila terdapat kesadaran dan kesediaan sukarela dari
individu-individu didalam unit organisasi yang memiliki pekerjaan yang saling bergantung.
Dengan demikian dalam koordinasi dilakukan hubungan 2 atau lebih individu atau unit
organisasi, sehingga dalam koornasi sangat dibutuhkan peran komunikasi. Dengan adanya
komunikasi yang efektif diharapkan tidak akan timbul kesalah- pahaman diantara pelaku-pelaku
koordinasi.
Dengan demikian, komunikasi sangat penting keberadaannya dalam suatu koordinasi, sebab
komunikasi merupakan jalinan yang dapat menimbulkan pengertian antar pihak yang satu
dengan yang lainnya (komunikator dan komunikan), sehingga apapun yang disampaikan baik
berupa perintah, saran maupun petunjuk dapat dipahami dan dilaksanakan.

Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti


diungkapkan oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu:

1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan


organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan
harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk
suatu hasil akhir.
2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan
organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat
bekerja.

3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan


memberi dan menerima antar satuan organisasi.

Lebih lanjut Handoko (2003:196) juga menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat
bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor
lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga
sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.

Masalah-Masalah dalam Koordinasi

Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar
derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko,
2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang
mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu:

1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu


Para anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang
bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Misalnya bagian penjualan
menganggap bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualtias produk.
Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi.

2. Perbedaan dalam orientasi waktu


Manajer produksi akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera
atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat
dengan masalah-masalah jangka panjang.
3. Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi
Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya
lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang
dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain.

4. Perbedaan dalam formalitas struktur


Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang
berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.

Tipe-Tipe Koordinasi

Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:

1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh


atasan terhadap kegiatan unit-unti, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang
dan tanggungjawabnya.

2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-


kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan,
pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat)
yang setingkat.

Sifat-Sifat Koordinasi

Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu:

1. Koordinasi adalah dinamis bukan statis.

2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer)


dalam rangka mencapai sasaran.

3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.

Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-
jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-
beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki ini bahwa setiap atasan (koordinator) harus
mengkoordinasikan bawahan langsungnya.

Syarat-Syarat Koordinasi

Menurut Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu:

a) Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian
per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang.

b) Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-


bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan.

c) Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai.

d) Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan
menambah kegiatan yang bersemangat.

Koordinasi adalah suatu istilah yang mengandung pengertian koperasi (cooperation), sebab
tanpa adanya koperasi tidak mungkin dapat dilakukan. Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:90)
mendefinisikan koperasi merupakan kehendak dari individu-individu untuk menolong satu sama
lain.
Namun antara koordinasi dan koperasi berbeda. Menurut Handayaningrat (1985:90) pada
koperasi terdapat unsur kesukarelaan atau sifat suka rela (voluntary attitude) dari orang-orang di
dalam organisasi. Sedangkan koordinasi tidak terdapat unsur kerjasama secara suka rela, tetapi
bersifat kewajiban (compulsory).

Ciri-Ciri Koordinasi

Menurut Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Oleh karena itu,
koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering dicampur-adukkan
dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Sekalipun
demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak
melakukan kerjasama. Oleh kaerna itu, maka kerjasama merupakan suatu syarat yang
sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi.

2. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang
bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai
dengan baik.

3. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Oleh karena koordinasi adalah konsep yang
ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, maka sejumlah individu
yang bekerjasama, di mana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang
sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi.
Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda
kurang sempurnanya koordinasi.

4. Konsep kesatuan tindakan. Hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan
usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu
sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil.

5. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian
kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok di mana
mereka bekerja.
B. BIROKRASI

Birokrasi adalah Keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas
membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu” (Yahya
Muhaimin, 1980:21).

Moerdiono menggunakan istilah birokrasi pemerintahan, yang didefinisikannya sebagai berikut


“Seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh pejabat pemerintah di bawah
tingkat menteri. Tugas pokoknya adalah secara profesional menindaklanjuti keputusan politik
yang telah diambil pemerintah” (1993:38).

Mencermati dua definisi birokrasi yang dikutip dari dua tokoh di atas, tampak sekali
perbedaannya. Yang pertama memasukkan unsur militer sebagai bagian dari birokrasi.
Sedangkan definisi kedua secara tegas hanya menyebut jajaran eksekutif sipil, sehingga unsur
militer tidak dimasukan sebagai bagian dari birokrasi. Hal itu sejalan dengan konsep pemikiran
Moerdiono dalam paparannya tersebut, yang antara lain menguraikan: “Istilah birokrasi lazimnya
kita pahami terbatas pada badan-badan eksekutif sipil. Tidaklah lazim, baik di negeri kita
maupun di negeri-negeri lainnya, bahwa satuan tempur atau satuan teritorial disebut sebagai
birokrasi, walaupun ukuran serta cakupannya juga bisa amat besar” (Moerdiono, 1993:39).

Dalam mengemukakan konsepsinya Weber tidak memakai istilah birokrasi, melainkan


menamakannya dengan model “ideal type” dari tata hubungan organisasi yang rasional (Miftah
Thoha, 1987:72)

Konsepsi Weber tentang “ideal type” itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-
tugas impersonal mereka;
2. Ada hirarki jabatan yang jelas;
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui suatu ujian;
6. Mereka memiliki gaji dan biasanya juga ada hak-hak pensiun. Gaji
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga
dapat diberhentikan;
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya;
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan
senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan
keunggulan (superioritas);
9. Jabatan mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut;
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam (Martin
Albrow, 1989: 42-43).

Terhadap ciri-ciri birokrasi Max Weber di atas, ada pula kalangan yang memberi interpretasi
lebih sederhana. Seperti halnya dilakukan Manuel Kasiepo yang memberi penafsiran atas
birokrasi Weber tersebut dengan cirri ciri yang lebih sederhana yaitu: (1) terikat konstitusi dan
aturan hukum, (2) netral, dan (3) a-politik (Manuel Kasiepo, 1987: 23).

Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi, Syukur
Abdullah (Akhmad Setiawan, 1998: 145), menguraikan tiga kategori Birokrasi, sebagai berikut:
Kesatu, Birokrasi Pemerintahan Umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang
menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan,
dari tingkat pusat sampai di daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Tugas-tugas
tersebut lebih bersifat mengatur.
Kedua, Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu
bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian,
kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi pokoknya adalah “development function” atau “adaptive
function.”
Ketiga, Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan bagian yang
langsung berhubungan dengan masyarakat. Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain:
Rumah Sakit, Sekolah (SDSLTA), Koperasi, Bank Rakyat Desa, Transmigrasi, dan berbagai unit
organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama
pemerintah. fungsi utamanya adalah “service”.

Di era otonomi daerah, birokrasi lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat
serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan pemerintah. Pelayanan yang diberikan
birokrasi di daerah identik dengan pelayanan pemerintah. Amanah otonomi daerah yang
mengutamakan peningkatan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan harus
menjadi acuan dan mendarah daging dalam diri birokrasi di daerah. Rasyid (1997) menyatakan
birokrasi di daerah mempunyai peran besar dalam pelaksanaan urusan-urusan publik. Tugas
dan fungsi birokrasi di daerah adalah:

1. Memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutin kepada masyarakat seperti
memberikan pelayanan perizinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan
fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi
penduduk.

2. Melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai


kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan,
pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan
pendidikan.

3. Menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat seperti


membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan, dan sebagainya

You might also like