You are on page 1of 212

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA

DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Mataram

ASTAN WIRYA
NIM. I2B 013 009

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2015

Halaman Pengesahan

TESIS INI TELAH DI UJI


Pada tanggal,

01 Juni 2015

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Amiruddin, SH., M.Hum.

Dr. Lalu Parman, SH., MH.

NIP.19670710 198503 1 001

NIP.19580408 198602 1 001

Mataram, 01 Juni 2015


Mengetahui ;
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Uniersitas Mataram

Program Studi Pascasarjana


Uniersitas Mataram

Ketua,

Direktur,

Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU.


NIP. 19550815 198103 1 035

I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D


NIP. 19550815 198103 1 035

TESIS INI TELAH DI UJI


PADA TANGGAL,

01

JUNI TAHUN 2015

MAJELIS PENGUJI TESIS BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN


DIREKTUR PRGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM
NOMOR :

/H18.4/HK/2015

Ketua

: Dr. H. Muhammad Natsir, SH., M.Hum

: ..............................

Anggota

: Dr. Amiruddin, SH., MH.

: ..............................

Anggota

: Dr. Lalu Parman, SH., M.Hum

: ..............................

Anggota

: Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH.

: ..............................

Anggota

: Dr. Muhammad Sood, SH., MH.

: ..............................

CURRICULUM VITAE

Nama

: ASTAN WIRYA

Tempat/tanggal lahir

: Sukarara/LOTIM, 10 Februari 1983

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama Islam

: Islam

Pekerjaan

: Polisi Kehutanan

Data Keluarga :
Istri

: Dewi Karmila, ST.

Anak

:-

Riwayat Pendidikan

Perguruan Tinggi

: 1. Strata Satu (S-1) Konsentarasi Sistem


Peradilan dan Penegakan Hukum Fakultas
Hukum

Universitan Mataram

2. Strata Dua (S-2) Konsentrasi Hukum


Pidana Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Hukum Unversitas Mataram.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang Maha Agung, yang
Maha Suci, Yang Maha Menguasai Samudera Ilmu yang telah melimpahkan berkah,
rahmat serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini dengan lancar. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW.,
beserta keluarga dan sahabat-Nya yang senantiasa menjadi teladan bagi umat
manusia. Adapun kajian penelitian tesis ini adalah Kebijakan Formulasi Hukum

Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan. Penyelesaian tesis ini,


tidak akan rampung tanpa bantuan, saran, arahan dan petunjuk yang diberikan
kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul
sampai penyusunan tesis.
Perjalanan panjang dalam studi di Program Pascasarjana Universitas Mataram
Program Studi Magister Ilmu Hukum,

hingga penulisan tesis ini tidak lepas dari

bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mataram dan sebagai dosen pengajar.
2. Bapak Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan dalam setiap
kesempatan berdiskusi.
3. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. Selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum dan sebagai dosen pengajar.

4. Bapak I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D., selaku Ketua Studi Program Pascasarjana
Hukum Universitas Mataram.
6. Bapak Dr. Lalu Parman, SH, M.Hum., yang telah meluangkan waktu di tengahtengah kesibukan beliau selalu meluangkan waktu dalam membimbing,
mentransfer ilmu penegetahuan kepada penulis khususnya dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
7. Bapak Dr. Amiruddin, SH., MH., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah
kesibukan beliau selalu meluangkan dalam membimbing penulis menyelesaikan
penulisan tesis ini dan telah memberikan ilmu dalam penulisan tesis ini.
8.

Bapak Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH., selaku Dosen pengajar dan Ketua
Dewan Penguji tesis ini.

9.

Ibu Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH., dan Dr. Muhammad Sood, SH., M.Hum.,
selaku Dewan Penguji dan sebagai dosen pengajar.

10. Semua Guru Besar, Dosen dan seluruh civitas akademik pada Program
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram yang semoga
dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu pengetahuan, membuka
wawasan dan mempasilitasi penulis untuk mengenal luasnya samudera ilmu
pengetahuan yang indah untuk diselami.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapakan terima kasih, khususnya
kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Keluaga Besar Korps Polisi
Kehutanan dan seluruh Rimbawan dimanapun berada yang telah memberikan
dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi. Ucapan terima kasih dan doa penulis
untuk kedua orang tuaku Menggep dan Rahmin, mertua H. Abdul Karim dan Hj.
Maoizah dan istri tercinta Dewi Karmila, ST., semoga Allah SWT., membalas semua
kebaikan-kebaikanya. Doa-doanya selalu mengiringi penulis, sehingga mampu
menghadapi cobaan hidup dan menjadi berkah yang memberikan semangat dari
segala rintangan. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan mendoakan, penulis
ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.

Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa dalam
penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Penulis
mengkharapkan semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan semua pihak yang telah membacanya.

Mataram,
Hormat Penulis,

Astan Wirya

Juni 2015

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................


HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
HALAMAN MAJELIS PENGUJI ..............................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................
DAFTAR SINGKATAN ...........................................................................
RINGKASAN .........................................................................................
ABSTRAK ..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Rumusan Permasalahan .........................................................................
c. Tujuan Penelitian ....................................................................................
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................
E. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................
F. Kerangka Teoritik ....................................................................................

G.
H.

i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xi

1
12
13
13
14

1. Teori Perlindungan Hukum .......................................................................

18
18

2. Teori Keadilan .........................................................................................

20

3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory) ......................................

22

4. Teori Kebijakan Penal (Penal Policy Theory) ..............................................

28

5. Teori Kewenangan (Authority Theory) .......................................................

38

Kerangka Konseptual ..............................................................................


Metode Penelitian ...................................................................................

40
48

1. Jenis Penelitian .......................................................................................

48

2. Pendekatan Masalah ................................................................................

49

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ..............................................................

50

4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum ............................................................

51

5. Analisis Bahan Hukum .............................................................................

53

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI


INDONESIA DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM
PIDANA DALAM PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA
KEHUTANAN
A. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA ... 54
1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan ...........................

54

2. Jenis-jenis hutan ..................................................................................

57

2.1. Status Hutan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI ..................

58

2.2. Fungsi Hutan ....................................................................................

61

2.3. Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) ........................ 63


2.4. Hutan berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro dan Resapan

Air ..................................................................................................

3. Perlindungan Hutan .............................................................................


4. Legalitas Hasil Hutan ...........................................................................
5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar ..................................
6. Perbuatan Perusakan Hutan ................................................................

64
64
66
73
79

B. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA ...............................................

80

1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana ....................................................


85

a. Ketentuan Pidana umum dalam KUHP yang terkait dengan


Tindak Pidana Kehutanan ................................................................. 86
1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP) ..................

87

2. Pencurian (Pasal 362-363 KUHP) ........................................................

88

3. Penyelundupan (Pasal 121 KUHP) ......................................................

89

4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) ......................................................


5. Penggelapan (Pasal 372-377 KUHP) ...................................................
6. Penadahan (Pasal 480 KUHP) ............................................................

89
91
92

b. Ketentuan Tindak Pidana dalam Undang-Undang di Bidang


Kehutanan .......................................................................................
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ................................................
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ...............
3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan ............................................................................
2. Kebijakan Formulasi Pertanggung Jawaban Pidana .........................

2.1. Asas Pertanggungjawaban pidana terbatas atau ketat (stric liability) .....
2.2. Asas Pertanggungjawaban atas Kesalahan (genn straf zonder schuld) ...
2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability ........................................
3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punisment Syistem)

a. Jenis-jenis pidana .................................................................................


b. Syarat pemidanaan ...............................................................................
c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan .............................

93
94
95

97
120
121
122
124
126
131
133

134
4. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan
KUHAP Nasional ................................................................................... 135
a. Formulasi hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang

Hukum Pidana (KUHP) Nasional ........................................................... 135


b. Formulasi hukum acara pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional ...............................................
142

c. Lembaga atau Instansi

lain yang dapat menangani Tindak Pidana


Kehutanan ........................................................................................

147

BAB III. KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN


PERUSAKAN HUTAN (P3H) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KEHUTANAN
1. Kedudukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan ...........................................
a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

155

(LP3H) ...................................................................................................
b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum ................................................

155

2. Struktur Kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan 157


Perusakan Hutan (LP3H) ........................................................................
a. Struktur dan Kelembagaan Lembaga P3H ................................................. 159
b. Unsur-unsur dalam

Lembaga P3H ........................................................

159

3. Kewenangan,
Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan 161
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ............................................
1. Ruang Lingkup Tugas dan Fungsi ...................................................... 162

1.1. Pencegahan .................................................................................... 164


1.2 Penindakan atau Penegakan Hukum ..................................................

164

2. Penyelidikan dan Penyidikan .............................................................. 166

2.1. Penyelidikan .................................................................................... 167


2.2. Penyidikan ......................................................................................

167

3. Penuntutan ..........................................................................................

168

4. Persidangan di sidang pengadilan .....................................................

172

4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional ...........................

176

BAB IV. PENUTUP

183

A. KESIMPULAN ................................................................................

186

B. S A R A N .......................................................................................

187

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................


LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................

189
200

DAFTAR SINGKATAN

1. DHH

= Daftar Hasil Hutan

2. DR

= Dana Reboisasi

3. HPH

= Hak Pengusahaan Hutan

4. IPK

= Izin Pemanfaatan Kayu

5. IPHHK

= Izin Pengusahaan Hasil Hutan Kayu

6. IPKTM

= Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik

7. IUPHHK

= Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

8. IUPHHA

= Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam

9. KB

= Kayu Bulat

10. LHP

= Laporan Hasil Penebangan

11. LHPKB

= Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat

12. PSDH

= Provisi Sumber Daya Hutan

13. RKL

= Rencana Kerja Lima Tahunan

14. P2SKSHH

= Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

15. P3KB

= Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat

16. P3KG

= Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Gergajian

17. RKT

= Rencana Kerja Tahunan

18. SATS

= Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar

19. SAT-DN

= Surat Angkut Tumbuhan Dalam Negeri

20. SAT-LN

= Surat Angkut Tumbuhan Luar Negeri

21. SKAU

= Surat Keterangan Asal Usul

22. SKSHH

= Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

23. TPKT

= Tempat Penampungan Kayu Terdatar

24. TPI

= Tebang Pilih Indonesia

25. P3H

= Pencegahan dan Pembarantasan Perusakan


Hutan

26. KUHP

= Kitab Undang Undang Hukum Pidana

27. KUHAP

= Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT


PENAL FORESTRY
ABSTRACT
The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this
thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry
criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction
institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention,
and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal
law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law.
Approach system in this thesis using statue approach, conceptual approach,
historical approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with
deductive and
inductive concept as the explanation, logic interpretation and
systematic.
The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been
direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990
regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999
regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and
elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy on the
ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal
responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum
which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around
forestry, corporate, and government authorities
An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare
tackling a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry
destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise, institution
element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others,
institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention
deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community
complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction
prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource,
campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to
court interrogation. Institution P3H also has right and function to coordinate
supervise a criminal forest lawsuit act.
Key word : Criminal policy, formulation law and penal forestry.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir
dari

proklamasi

kemerdekaan

Indonesia

merupakan

tonggak

sejarah

kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Negara


Republik Indonesia 17 Agustus 1945, termaktub di dalam batang tubuhnya bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum1. Tujuan politik hukum negara Indonesia
juga dinyatakan jelas dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun
1945 terdapat cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :
1. Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Untuk memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Ikut memelihara ketertiban dunia.
Berlandaskan pada hal itu,
membentuk

pemerintahan

dengan

negara kesatuan Republik Indonesia


menyelenggarakan

pembangunan.

Pembangunan pada dasarnya merupakan perubahan positif, perubahan ini


direncanakan dan digerakkan oleh suatu pandangan yang optimis berorientasi ke
masa depan yang mempunyai tujuan ke arah kemajuan serta meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain hakikat
1

Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang

Kedaulatan Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum.

pembangunan

merupakan

suatu

proses

perubahan

terus-menerus

dan

berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan


atau perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan.
Pada

hakekatnya

pembangunan

nasional

adalah

bertujuan

untuk

mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya


untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Salah
bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang

satu

hukum,

yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan


hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata
maupun hukum administrasi negara dan meliputi pula hukum formil maupun
hukum materiilnya.
Pengelolaan hutan dalam pelaksanaannya senantiasa harus memperhatikan
fungsi dan peruntukannya, sehingga pengelolaan hutan yang mengabaikan fungsi
dan peruntukannya sangat berpotensi mengakibatkan kerusakan hutan. Kekayaan
sumber daya alam Indonesia termasuk flora dan fauna harus dikelola seoptimal
mungkin tanpa harus merusak ekosistemnya,2 antara lain dengan menerapkan
prinsip konservasi3, sehingga hutan tetap terjaga kelestariannya, sebagaimana

Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur-unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Lihat Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, Rineka Cipta,
Jakarta, 1998, hlm. 47.
3
Konservasi adalah kegiatan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya hutan, tanah dan air yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
2

yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan
transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang khususnya
juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang
terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal

logging), perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan hutan non prosedural,


pertambangan tanpa izin (illegal mining),

perkebunan dalam kawasan hutan

tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan
melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya
mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan,
pemodal (cukong), perusahaaan berbadan hukum atau korporasi, broker,
penyedia angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha
adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi4.

Dalam

upaya untuk mengatasi tindakan perusakan hutan, jajaran aparat penegak hukum
penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab
terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan dan Hakim telah mempergunakan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

persediaannya dengan tetap menjamin dan meningkatkan kuwalitas keanekaragaman nilainya. Lihat
Alam Setia Zein, Ibid, hlm. 93-94.
4
Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan
Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm. 9499.

Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan sebagai instrumen hukum untuk penanggulangan tindak pidana
kehutanan.
Kebijakan baru atau reformulasi dari suatu kebijakan tidak hanya
berangkat dari fakta-fakta kerusakan hutan (degradation)5 dan menurunnya
fungsi-fungsi hutan (deforestration),6

sebagai akibat dari kebebasan individu-

individu atau korporasi, bahkan potensi keikutsertaan dari komponen personal


pemangku kebijakan dari pemerintah atau negara ikut serta dalam pelanggaran
hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap jika dari
pemangku kebijakan sampai pelaksana kebijakan dari suatu peraturan perudangundangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang efektifnya
sumber hukum matriel. Dalam pengkualifikasian dari delik-delik pidana yang
terdapat dalam peraturan perundangan-undangan sebelumnya bagi seseorang,
sehingga mereformulasikan kebijakan hukum pidana tidak hanya melihat
peraturan sebelumnya saja, akan tetapi lebih dari itu seperti bagaimana kebijakan
politik dari orang-orang yang berkepentingan terhadap sumber daya hutan,
apakah kepentingan pribadi atau orang lain bahkan keuntungan bagi korporasi.
Dengan kata lain kebijakan hukum pidana sebelumnya tidak mampu menampung
atau mengakomodir tindakan-tindakan kebaruan tindak pidana perusakan hutan,
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang

Degradation adalah penyusustan luas produktivitas dan fungsi hutan atau daya dukung
lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan jenis pengelolaan hutan yang
ditetapkan, lihat Alam Setia Zein, ibid., hlm. 40
6
Deforestation adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga
menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagai salah satu tindakan


preventif berupa pencegahan terhadap perusakan hutan dan tindakan represif
yakni penegakan hukum dengan konsekuensi pidana yang lebih tegas.
Selain dari itu reformulasi dari kebijakan hukum pidana sebagai salah satu
dari bagian pembangunan nasional adalah pembaharuan dibidang hukum yang
secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun
hukum administrasi negara yang meliputi juga hukum formil maupun hukum
materielnya. Dalam hal ini akan dibahas kebijakan hukum pidana dibidang
kehutanan, meskipun pada dasarnya kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari
kebijakan dari pembidangan hukum-hukum yang lainya. Seperti bagaimana
norma-norma hukum yang hidup dimasyarakat yang terkena efek dari
pengerusakan hutan itu, sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum oleh
pemerintah dalam menjaga perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana
masyarakat sangat bergantung pada hasil hutan dengan cara-cara yang
sederhana dan menjaga dari sumber hasil pendapatan mereka.
Hukum berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi
sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat7. Dikemukakan
oleh Barda Nawawi Arief pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut
masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang
ada, untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa :
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 189.

Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan


penegakan hukum di Indonesia. 8
Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman
Sarikat

Putra

Jaya9

mengatakan

bahwa;

proses

penegakan

hukum

itu

menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum atau perundangundangan. Perumusan pikiran pembuat Undang-undang yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu nanti dijalankan.
Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda
Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana,
maksudnya hukum pidana materiel terletak pada masalah mengenai yang saling
berkait yaitu10 :
1.
2.
3.

Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana


Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk
mempersalahkan/mempertanggung-jawabkan seseorang melakukan
perbuatan itu; dan
Sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut.

Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung politik hukum


negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat
pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau
kewenangan penguasa atau aparat penegak hukum dalam menjalankan
tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan hukum

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 28.
9
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 2000, hlm. 23.
10
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 136.

yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses


yang terdiri atas tiga tahapan yakni :
a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif
b. Tahap kebijakan yudikatif/aflikatif; dan
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif
Berdasarkan tiga uraian tahapan penegakan hukum pidana tersebut
terterkandung di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu
kekuasaan legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok
dalam hukum pidana meliputi, perbuatan yang bersifat melawan hukum,
kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan oleh pembuat undang-undang. Kekuasaan yudikatif merupakan
kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum
atau pengadilan.

Kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan hukum pidana oleh

aparat pelaksana/eksekusi pidana. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan

G. Peter Hoefnagels dikutif oleh Hj. Rodliyah11 disebutkan merupakan usaha


rasional dan terorganisasi dari suatu kemasyarakatan untuk menaggulangi
kejahatan, kebijakan kriminal merupakan pengaturan rasional dari reaksi sosial
terhadap kejahatan (criminal policy is the rational organization of the social re-

actions to crime).
Mencakup beberapa bagian mengenai kriminal antara lain :
11

Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-pokok
Pikiran Revisi Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarata, 2011, hlm. 37.

1. Criminal policy is the science of response (kebijakan hukum pidana


sebagai ilmu pertanggungjawaban)
2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan hukum pidana
sebagai sebagai ilmu pencegahan)
3.

Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime

(kebijakan hukum pidana adalah sebagai kebijakan yang mempelajari


perilaku kejahatan manusia).
4. Criminal policy is a rational total of response to crime (Kebijakan hukum
pidana sebagai keseluruhan pertanggungjawaban pidana).12
Sebagaimana diutarakan oleh Barda Nawawi Arief13 bahwa kebijakan
atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Seiring dengan
perkembangan kehidupan masyarakat modern, dalam menghadapi globalisasi
serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan
perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi
dan modernisasi, terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada
kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk di dunia.
Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting dan strategis tidak hanya
sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan
hidup14.
Pembangunan hutan berkelanjutan (sustainable forest) memerlukan
upaya

yang

sungguh-sungguh

dalam

penanggulangan

dan

pencegahan

kerusakan hutan, sebagai akibat dari tindak pidana kehutanan atau perusakan

12
13

Ibid. hlm. 42

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan


Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Cet. Ke-2, hlm. 73.
14
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6.

hutan tersebut, telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial


budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar, serta telah meningkatkan
pemanasan global (global warming), perubahan iklim (anomali iklim) yang telah
menjadi permasalahan dan isu, baik nasional, regional, dan internasional.
Dewasa ini tindakan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang
kehutanan semakin meluas dan mengalami permasalahan yang kompleks.
Perbuatan perusakan hutan terjadi tidak hanya pada hutan dengan fungsi
produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi.
Perusakan hutan demikian, telah berkembang menjadi suatu

perbuatan

kejahatan yang berdampak luar biasa (exstra ordinary crimes) dan sebagai
kejahatan yang terorganisir (orgenaized crimes), melibatkan multi pihak, baik
nasional, regional maupun internasional.
Dalam melakukan pencegahan perusakan hutan, sunggu telah lama
dilakukan, namun terdapat kendala yang disebabkan antara lain, oleh peraturan
perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana
perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi dan kompleksitas kehidupan
sosial ekonomi, budaya dan politik. Oleh karena itu diperlukan landasan hukum
yang konprehensif dan tegas dalam bentuk Undang-undang agar perusakan
hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta memberikan
efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut,
telah

mencapai

pada

tingkat

yang

sangat

mengkhawatirkan

bagi

keberlangsungan kehidupan berbangsa dan negara. Oleh karena itu, upaya

penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan, juga harus
dilakukan secara luar biasa (esxtra ordinary).
Kebijakan formulasi hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, lahir sebagai jawaban terhapap adanya kelemahan-kelemahan pengaturan
hukum tindak pidana kehutanan atau ketidak epektifan dari Undang-undang
sebelumnya untuk mengatasi permasalahan tindak pidana kehutanan atau
perbuatan perusakan hutan.
Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dikharapkan dapat dilakukan upaya
penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan tentu dengan
mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta
keberlanjutan, tanggungjawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung gugat,
prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi.
Dalam pembentukan Undang-undang ini, memiliki aspek pencegahan dan
pemberantasan atau aspek represif, juga mempertimbangkan aspek restoratif,
yang bertujuan untuk15 :
a. Memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan
sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya.
b. Meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan

15

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan


Hutan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5432.

pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan


perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.
c. Meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan
terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan
perusakan hutan
d. Mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka
pemberantasan perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun
multilateral
e. Menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap
menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem
sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera.
Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang
optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary), salah
satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, didalamnya mengamanatkan pembentukan
Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), lembaga
khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini,
selain

melakukan

upaya pencegahan,

memiliki

kewenangan

juga dalam

melakukan pemberantasan atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan


hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung,
tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan.
Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan
kewenangan tugas dan fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang
konprehensif melalui penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses
peradilan yang cepat dan terintegrasi, kewenangan

LP3H ini juga

adalah

memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani
tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan.

Berdasarkan

pada

uraian

latar

belakang

di

atas,

penelitian

ini

menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi


hukum

pidana

dalam

penanggulangan

tindak

pidana

kehutanan

dan

permasalahan mengenai Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan


Perusakan Hutan (LP3H)

berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan


untuk dapat memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum
yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan.

B. Rumusan Permasalahan
Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar
lebih memahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum
khususnya dibidang kehutanan yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan pada latar
belakang di atas, dirumuskan kajian permasalahan berkaitan dengan penelitian
tesis sebagai berikut :
1. Bagaimanakah

Kebijakan

Formulasi

Hukum

Pidana

dalam

penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Undangundang

Nomor

18

Tahun

2013

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Perusakan Hutan.?


2. Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk secara kritis menelaah dan
mengkaji dengan memaparkan landasan konseptual dan teoritis sehingga
dapat memperoleh jawaban dengan permasalahan tindak pidana kehutanan
atau perusakan hutan di Indonesia. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah :

a. Menganalisis berkaitan Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tindak


Pidana Kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
b. Mengkaji Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H) dalam penanggulangan

tindak pidana

kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013


tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan tesis ini, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berguna dan memberikan
kontribusi positif bagi banyak pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis
maupun praktis antara lain manfaat tesebut adalah :
1.

Secara teoritis
Manfaat penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pidana dan
hukum lainya khususnya mengenai ikhwal kebijakan hukum pidana
dalam

penanggulangan

tindak

pidana

kehutanan,

pemberantasan

perusakan hutan atau penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana


indonesia, selain itu berguna untuk membangun pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pidana

pada khususnya, terutama berkaitan dengan penanggulangan

tindak

pidana kehutanan.

2.

Secara praktis
Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai
bahan masukan bagi lembaga atau instansi, atau pihak-pihak yang
berkepentingan, aparat penegak hukum khususnya (Penyidik, Jaksa dan
Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), dalam
upaya

penanganan,

mengambil

atau

menerapkan

hukum

dalam

penanggulangan tindak pidana kehutanan, atau perbutan perusakan


hutan. Bagi aparat penegak hukum dan seluruh elemen terkait (stake

holders) dapat menjadi masukan, baik secara langsung maupun tidak


langsung.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Pembatasan ruang lingkup dalam penelitian ini untuk menjaga agar
penelitian

ini

tidak

membias

dari

isu hukum normatif, atau

pokok

permasalahan yang diangkat, yaitu berkaitan dengan kebijakan hukum dalam


penanggulangan tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.

Permasalahan hukum dalam penanggulahan tindak pidana kehutanan


atau perusakan hutan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terdapat 2 (dua) pokok
pemasalahan yaitu :
1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Kehutanan dan,
2. Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H) dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan.

Berdasarkan dari fokus permasalahan dan tujuan dari penelitian ini,


tampak secara jelas bahwa penelitian ini bergerak pada upaya penggalian
serta pemahaman akan arti tujuan hukum yakni :

1. Keadilan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian
besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls,
menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" .
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai : "Kita
tidak hidup di dunia yang adil"16

Kebanyakan orang percaya bahwa

ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan
16

http://id.wikepedia.org/wiki/ keadilan, John Rawls, A Theory of Justice (revised edn,


Oxford: OUP), 1999, diposting pada 20 Nopember 2014.

politis diseluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Adalah wujud


kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus, untuk memberikan apa
yang menjadi hak setip orang17.

Keadilan intinya adalah meletakkan

segala sesuatunya pada tempatnya.

2. Kemanfaatan
Pada prinsipnya tujuan hukum hanyalah untuk menciptakan
kemanfaatan

atau

kebahagiaan

memasukkan ajaran moral

praktis

untuk

masyarakat.

Aliran

utilitis

yang menurut penganutnya adalah

semata-mata untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang


sebesar-besarnya warga masyarakat. Bahwa negara dan hukum sematamata ada untuk memberikan manfaat sejati. Jeremy Bentham kemudian
terkenal dengan motonya the greatest happinnes of the greetest

numbers (kebahagiaan yang terbesar, untuk kebahagiaan semua


orang).18

3. Kepastian
Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis
dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
17

Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), edisi pertama, Cet. Kedua, Kharisma Putra
Utama, Jakarta, 2009, hlm. 221.
18
Ibid., hlm. 272 273.

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma


ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma,
reduksi norma atau distorsi norma.
Kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia,
baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam
koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan
seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh
Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya

(homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang


merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman
untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini
adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari
perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan Adalah Scerkeit

des Recht Selbst (kepastian tetang hukum itu sendiri)19

F. KERANGKA TEORITIK
Teori hukum normatif yang merupakan orientasi dalam studi ini
menggunakan beberapa pemikiran atau konstruksi, kritik dan sistematik
sebagai kerangka teori dalam mengembangkan permasalahan penelitian dan
menjawab setiap permasalahan hukum yang menjadi pokok bahasan dalam
kajian penelitian tesis ini, adapun teori-teori yang digunakan adalah sebagai
berikut :
19

Ibid., hlm. 292.

1. Teori Perlindungan Hukum


Kehadiran hukum dalam suatu kekuasaan negara diorientasikan
untuk menjaga tertib kehidupan masyarakat dan melindungi berbagai hak
dan kewajiban yang tumbuh dan berlaku disuatu negara. Dalam
pandangan

Jhon

Locke

bahwa

kekuasaan

tersebut

justru

untuk

melindungi hak-hak kodrat, dari bahaya yang mengancam, baik yang


datang dari dalam maupun dari luar.20
Sebagai pemegang kedaulatan, maka negara harus mampu
memberikan perlindungan bagi kehidupan warga negaranya, baik dalam
hukum publik maupun hukum privat. Bukan sebaliknya, negara bardaulat
dapat bertindak sewenang-wenang atas warga negaranya. Sehingga
kedaulatan negara dengan hukumnya dapat mewujudkan keadilan

(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutilitiet) dan kepastian hukum


(rechtszekerheid).
Menurut muchsin21, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan
adanya ketertiban dalam pergaulan hidup manusia. Atas dasar itu, maka
perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek

20

Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 72.
21
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Uniersitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.

hukum

melalui

peraturan

perundang-undangan

yang

berlaku

dan

dipaksakan pelaksanaanya melalui sanksi.


Konsep teori perlindungan hukum sangat terkait dengan pemerintah
atau negara, karena pemerintah atau negara sebagai titik sentralnya. Oleh
karena itu, terbentuklah 2 (dua) bentuk perlindungan hukum, yaitu :
a. Perlindungan hukum preventif
perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan
untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan ramburambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan hukum reresif
perlindungan hukum refresif merupakan perlindungan hukum
akhir yang berupa sanksi, seperti denda penjara dan hukuman
tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau
telah dilakukan suatu pelanggaran.22
Berdasarkan itu, perlindungan hukum preventif bertujuan untuk
mencegah

terjadinya

sengketa

atau

permasalahan.

Sementara

perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.


Seperti halnya perlindungan hukum dalam peradilan umum dan peradilan
administrasi ke dalam perlindungan hukum represif.
Konsep perlindungan hukum pun sangat terkait erat dengan fungsi
hukum sendiri. Mochtar Kusuma Atmaja menguraikan fungsi hukum
sebagai berikut :
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasanya adalah
konservatif,
artinya
hukum
bersifat
memelihara
dan
memepertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan
dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang yang
22

Ibid, hlm. 20.

membangaun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang


sedang berubah cepat, hukum tidak memiliki fungsi demikian saja. Ia
juga harus membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan
yang konservatif tentang hukum yang menitikberatkan pada fungsi
pemeliharaan ketertibaan dalam arti statis, dan sifat konservatif
hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu
peranan yang berarti dalam proses pembaruan.23
Pandangan atau konsepsi yang lebih luas di atas menunjukkan
kekuatan hukum yang dinamis dalam mengatur tertib hukum bagi suatu
masyarakat. Hukum tidak saja mengedepankan aspek-aspek represif
dalam penegakannya, tetapi peka dan sensitif atas perkembangan yang
sedang berlaku dalam masyarakat sehingga tindakan preventifnya dapat
dirumuskan

dalam

peraturan

perundang-undangan,

sehingga

pada

akhirnya, hukum dapat menjadi penyangga kehidupan manusia.

2. Teori Keadilan
Keadilan

menurut

Plato,

mengemban fungsi menyelaraskan

Herman

Bakir24,

dan menyeimbangkan

hal itu

seperti

dikutif

berbunyi sebagai berikut :


Keadilan merupakan besaran-besaran atau aset-aset (virtues)
tertentu yang akan membuat kondisi kemasyarakatan menjadi
selaras (mengharmonikan) dan seimbang. Keadilan yang
dimaksudkan adalah besaran yang bersumber dari dalam jiwa tiaptiap masyarakat manusia itu sendiri, yang pada dirinya tidak dapat
di pahami, dikreteriakan atau tidak dapat diekspesitkan
(dijabarkan) melalui argumentasi-argumentasi (dirasionalkan). Kita
tidak dapat berkharap banyak dengan tercapainya keadilan bila
hanya mengandalkan kebijaksanaan dari para pilsuf dan doktrindoktrin mereka, sebab dalam memahami keadilan mereka kerapkali
23

Hasan Basri, Op.cit., hlm. 83


Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, Cet.
Pertama, Bandung, 2007, hlm. 177.
24

terjebak dalam keadaan dimana mereka memandang hukum


hanyalah sekedar materi bertempramen spritual (mistik).
Bahwa untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya
keadilan dalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat
manusia dalam konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dengan
sebuah Negara Kota 25 disebutkan :
1. Di dalam suatu masyarakat yang adil, tiap warganya harus dapat
memainkan perannya (fungsi kemasyarakatannya) yang paling
sesuai dengan dirinya demikian juga halnya, dalam aset-aset
ekonomi perorangan.
2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang ketika akal (naluri) juga
menang dan selera serta nafsu binatang semestinya diletakkan
(dikendalikan) sedemikian rupa pada tempat sesuai tatanan
masyarakat yang berkeadilan hanya akan dapat tercapai
sepanjang akal manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsip
rasional lainnya dapat memandu penyelenggaraan dari elemenelemen masyarakat, selain itu yang tidak kalah penting.
Masih dalam kaitanya dengan keadilan, dalam teori keadilan
yang dikemukakan oleh Aristoteles26.
Keadilan akan terjadi apabila kepada seseorang diberikan apa
yang menjadi miliknya. Seseorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang yang mengambil lebih dari bagian semestinya.
Orang yang tidak menghiraukan hukum juga adalah orang yang
tidak adil, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat
dianggap adil. Jadi keadilan adalah penilaian dengan
memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi
haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak
melanggar hukum.

25

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Cet. Kelima, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 167.
26

Ibid, hlm 178.

Dari orientasi ide keadilan tersebut, justru mengimplikasikan pada


setiap permasalahan apapun yang timbul harus diselesaikan dengan
berorientasi pada ide keadilan bukan paksaan. Permasalahan tindak pidana
kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan merupakan permasalahan
keadilan yang harus diselesaikan berdasarkan ide keadilan yang bertumpu
kepada tujuan hukum yaitu; keadilan hukum, kepastian hukum dan
kemanfaatan yang akan mencapai tujuan pada perlindungan masyarakat

(soscial deffence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare).


Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral
dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
"kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana".

3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory)


Kebijakan yang merupakan terjemahan dari kata policy atau beleid
adalah merupakan sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti

government

yang

hanya

menyangkut

aparatur

negara,

melainkan

governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan


pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan
yang secara langsung

mengatur

pengelolaan

dan

tindakan

pendistribusian

sumberdaya alam, keuangan dan sumberdaya manusia untuk kepentingan


publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.

Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi bahkan kompetisi


antara berbagai gagasan, teori, idiologi dan kepentingan-kepentingan yang
mewakili sistem politik suatu Negara27.
Kata kebijakan seringkali digunakan dalam istilah kebijakan publik dan
kebijakan sosial. Kedua istilah tersebut sering diartikan sama, namun
sebenarnya kebijakan publik dan kebijakan sosial secara kontekstual adalah
berbeda.

Kebijakan

publik

berorientasi

pada

penyusunan

kebijakan,

sedangkan kebijakan sosial berorientasi pada bidang telaah kebijakan. Secara


maknawi kebijakan sosial dapat merupakan bagian dari kebijakan publik dan
sebaliknya kebijakan publik merupakan bagian dari kebijakan sosial.
Terkait dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik
secara generik pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor
pembangunan yang mencakup aspek manusia dalam kontek masyarakat atau
kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang
pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian.

Dalam arti

spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial


sebagai

suatu

bidang

atau

bagian

dari

pembangunan

sosial

atau

kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan


manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak
beruntung

(disad pantaged group) dan kelompok rentan (fuel merable

group).

27

hlm. 3

Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfa Beta, Bandung, 2007,

Beberapa ahli seperti Magil, Marshal, Rein, Huttma, Specker dan Hill

yang dikutif dari desertasi Lalu Parman mengartikan kebijakan sosial dalam
kaitannya dengan kesejahteraan sosial yakni

28

1. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public


policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari
pemerintah
seperti
kebijakan
ekonomi,
transportasi,
komunikasi, dan pertahanan keamanan (militer), serta fasilitasfasilitas umum lainnya serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (magil
1986).
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap
kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial
atau bantuan keuangan (Marshal, 1965)
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya
sosial, peningkatan pemerataan dan pendistribusian pelayanan dan
bantuan sosial (Rein, 1970)
4. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan atau,
5. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan
kesejahteraan (welfare) baik dalam arti luas yang menyangkut
kualitas hidup manusia, maupun dalam dalam arti sempit yang
menunjuk pada beberapa jenias pemberian pelayanan kolektif
tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (specker, 1995)
6. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam
kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996)

Berkenaan dengan upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan


masalah sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial, maka istilah
kebijakan digunakan sebagai suatu istilah yang bermakna dan berorientasi
secara khusus dalam mengatasi salah satu masalah sosial yaitu kejahatan.
Kejahatan sebagai problem sosial dapat merintangi kemajuan untuk
mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, untuk itu

28

Lalu Parman, Op.cit, hlm. 71

pencegahan kejahatan harus didasarkan pada sebab-sebab dan kondisikondisi yang menimbulkan kejahatan.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau dikenal
dengan istilah politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral
dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu,
dapat dikatakan tujuan akhir dari atau tujuan utama politik kriminal ialah
perlindungan

masyarakat

untuk

mencapai

kebahagiaan

masyarakat

(happines of the citizen), kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan


(a whole some and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social

welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality).29


Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief30
adalah menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah
sentral yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam klasifikasi
masalah yang demikian antara lain masalah kebijakan dalam menetapkan
atau merumuskan suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana dan
sanksi yang dapat dikenakan.
Kebijakan kriminal menurut Marc Ancel31 adalah sebagai The

rational organization of the control of crime by society, sedangkan G.


Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa, Criminal policy is the rational
29

Ibid, hlm. 81
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Balai Penerbitan Undip, Semarang, 1996, hlm. 3.
30

31

Barda Nawawi Arief., Op.cit,. hlm. 27

organization of the social reactions to crime . terdapat tiga arti kebijakan


kriminal dengan mengatakan bahwa Politik kriminal ini dapat diberi arti
sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminal itu
digamabarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, dalam artian
yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan, jaksa dan
penyidik, dalam artian yang paling luas ia merupakan keseluruhan
kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat. Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari
masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap
kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuwensi logis, sebagai
masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum
pidana sebenarnya tidak

merupakan

suatu

keharusan. Tidak

ada

kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam


masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian
dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.

Kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian


integral dari politik sosial. Usaha penanggulangan kejahatan, dapat
dijabarkan

32

1. Pencegahan penanggulangan kejahatan, harus menunjang


tujuan (goal), social welfare, dan social defence. Dimana
aspek social welfare dan social defence yang sangat
penting adalah aspek kesejahteraan dan perlindungan
masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai
kepercayaan, kebenaran, kejujuran/keadilan.
2. Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan
pendekatan integral ada keseimbangan sarana penal
dan non penal.
3. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana
penal atau penal law enforcement policy yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap
: (1) Formulasi (kebijakan legislatif). (2) Aplikasi (kebijakan
yudikatif). (3) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Melaksanakan

politik

kriminal

antara

lain

berarti

membuat

perencanaan untuk masa yang akan datang dalam menghadapi atau


menanggulangi masalah yang berhubungan dengan kejahatan. Termasuk
dalam perencanaan itu ialah di samping merumuskan perbuatan-perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, juga menetapkan sanksisanksi apa yang diterapkan terhadap si pelanggar atau pelaku yang
melekukan perbuatan pidana.
Kebijakan integral penanggulangan kejahatan terlihat bahwa untuk
mencapai tujuan akhir tersebut ditempuh dengan dua kebijakan yaitu;
kebijakan sosial (social policy)
32

dan kebijakan kriminal (criminal policy)

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, Undip, Semarang, 2000.

yang merupakan bagian dari kebijakan sosial itu sendiri. Dalam hal
penaggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan pula dua
kebijakan,

yaitu

dengan

menggunakan

kebijakan

menggunakan sanksi pidana dan kebijakan non penal

33

penal,

dengan

. Apabila berbagai

cara tidak mampu mengendalikan perbuatan negatif masyarakat, baru

penal

sarana

difungsikan

menjadi

ultimum

remidium

untuk

menanggulangi kejahatan, melalui kriminalisasi dan dekriminalisasi.

4. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy Theory)


Istilah kebijakan hukum pidana disebut juga dengan istilah politik
hukum pidana. Dalam kepustakaan asing juga digunakan istilah penal

policy, criminal law policy atau strafrechtpolitiek. Untuk mengartikan


istilah kebijakan hukum

pidana

atau

politik

hukum

pidana

dilihat dari sudut pandang politik hukum atau dari sudut pandang

dapat
politik

kriminal.
Menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktifitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat. Dalam studi politik hukum ada beberapa
pertanyaan mendasar yaitu :
1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;

33

Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1996, hlm. 8.

2. Cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut;
3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah; dan
4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik34.

Mahfud M.D., mengartikan politik hukum sebagai arahan atau


garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan
melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.
Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan
hukum sebagai proses pencapaian tujuan

negara.

Selain

itu

politik

hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan


hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan
negara. Dalam pengertian ini, pijakan utama politik hukum nasional adalah
tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang
harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu.35 Lebih lanjut
Mahfud MD., menjelaskan bahwa politik hukum mengandung dua sisi yang
tak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy
lembaga-lembaga

negara

dalam

pembuatan

hukum

dan

sekaligus

34

Satjipto Rahardjo, Op Cit, hlm. 352.


Mahfud M. D., Membangun Politk Hukum Menegakkan Konstitusi,
Jakarta, 2010, hlm. 15-16.
35

Rajawali Pers,

sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum


yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy
tersebut untuk mencapai tujuan negara.
Berdasarkan pengertian-pengertian politik hukum tersebut, maka
sebagai bagian dari politik hukum, kebijakan hukum pidana adalah
bagaimana mengusahakan

atau

membuat dan

merumuskan suatu

peraturan perundang-undangan hukum pidana yang baik yang sesuai


dengan kebutuhan dan keadaan di masa yang akan datang.
Secara substansi penyusunan kebijakan hukum pidana dimulai
dengan proses kriminalisasi dan/atau proses dekriminalisasi. Dilihat dari
perspektif kebijakan hukum pidana, kriminalisasi hakikatnya adalah
merupakan kebijakan untuk

mengangkat/menetapkan/menunjuk suatu

perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu


tindak pidana. Peter G. Hoefnagels menyatakan bahwa criminal policy is a

policy of designating human behavior as crime kebijakan dalam


menetapkan perilaku manusia sebagai suatu kejahatan atau tindak
pidana.
Untuk

melakukan

kriminalisasi

haruslah

didahului

oleh

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :


a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional;
b. Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

c. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulagi harus


merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan
tersebut mendatangkan kerugian bagi masyarakat;
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil (cost and benefid principale).36
Kebijakan
dirumuskan

formulasi

dalam

perbuatan

rumusan

yang

hendak

undang-undang

dilarang
pidana

dapat
dengan

menjadikannya suatu perbuatan pidana. Konsep perbuatan pidana


atau tindak pidana yang diparalelkan dengan pengertian criminal act,
mengalami pergeseran baik secara
penetapannya.
mewujudkan

Kebijakan
peraturan

substansi

hukum

pidana

maupun
merupakan

perundang-undangan

pidana

prosedur
usaha

untuk

yang

sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang
akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung
makna baik dalam memenuhi syarat keadilan dan dayaguna37.
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait
antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang
rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang
berorientasi pada nilai.38
Kebijakan penegakan hukum

pidana

merupakan

serangkaian

proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :

36

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. cit, hlm. 18.


Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hlm. 11.
38
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994, hlm. 61.
37

a. Tahap kebijakan legislatif yaitu menetapkan atau merumuskan


perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif yaitu melaksanakan hukum pidana secara
kongkrit, oleh aparat pelaksana pidana.39

Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan,


maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem
kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya
dapat dilihat dalam arti sempit atau formal, tetapi juga dapat dilihat dalam
arti luas atau material. Dalam arti sempit atau formal, penjatuhan pidana
berarti kewenangan menjatuhkan atau mengenakan sanksi pidana
menurut Undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).
Sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana
merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang
berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada
putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat
pelaksana pidana.
hukum

pidana

Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan


yang

sistem/proses/kewenangan

integral.

Oleh

penegakan

karena

hukum

itu

pidana

keseluruhan
itupun

harus

terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.


Mengingat

pentingnya

pemidanaan

sebagai

sarana

untuk

mencapai tujuan yang lebih besar yaitu perlindungan masyarakat (social


39

Barda Nawawi Arief, Op.,Cit, hlm. 18-19.

defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), perlu diperhatikan


juga

berkaitan

denngan

teori-teori

penjatuhan

pidana

atau

teori

pemidanaan, yakni :
1. Teori absolut atau vergeldings theorie adalah teori yang mempunyai
ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pidana ialah sifat
pembalasan (vergelding or vergeltung). Diantara penganut teori ini

Immanuel

adalah

Kant

yang

memandang

pidana

sebagai

kattegorische imperatief yakni; seseorang harus dipidana oleh hakim


karena ia telah melakukan kejahatan, sedangkan Hegel berpendapat
bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi adanya
kejahatan.
Menurut Andeanes bahwa tujuan utama (primair) menurut
teori ini adalah untuk memuaskan tuntunan keaslian (to satisfy the

clims

of

justice)

sedangkan

menguntungkan adalah sekunder.40

pengaruh-pengaruhnya

yang

Aliran ini berpendapat bahwa

pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan,


karena telah menjadi suatu kehajahatan yang telah menggoncangkan
masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang telah menimbulkan
penderitaan

anggota

masyarakat

lainnya,

sehingga

untuk

mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu harus


dibalas dengan penderitaan pula yaitu pidana (nestapa) terhadap
pelaku.

40

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 11.

2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)


Menurut teori ini bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang
membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan
kejahatan. Penjatuhan pidana dimaksudkan tidak untuk memuaskan
tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu
disebut :
a. Teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence)
b. Teori reduktif ( untuk mengurangi frekuensi kejahatan); atau
c. Teori tujuan (utilitarian theory), pengimbalan mempunyai
tujuan tertentu yang bermanfaat.41
Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari
pemidanaan, adalah untuk :
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de

maatshappelijke orde).
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai
akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad

onstance maatshappelijke nadeed).


3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader).
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijke maken van de

misdadinger).
5. Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoMing van de misdaad).42
.
41
42

Ibid, hlm. 12.


Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.

3. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif.


Teori ini menggunakan kedua teori di atas atau gabungan dari
teori

absolut

pertimbangan

dan

relatif

bahwa kedua

sebagai
teori

dasar
tersebut

pemidanaan,
memiliki

dengan

kelemahan-

kelemahan :
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus yang segera
melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan
karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat,
kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki
masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit
dilaksanakan43. Dalam teori ini diperhitungkan adanya pembalasan,
prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana.

Dalam penelitian ini akan lebih ditekankan mengenai teori relatif


atau teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Pokok aliran utilitarian ini
mangatakan bahwa suatu tindakan mempunyai nilai moral apabila
tindakan tersebut memberikan konsekuensi yang baik pada orang-orang
lain sebanyak banyaknya.44

43
44

Ibid. hlm. 2

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 155.

Jeremy Bentham mengungkapkan esensi dari teori aliran


utilitarianisme ini dengan semboyan : the greatest happiness for the

greatest number.45 Pemikiran yang mendasari aliran ini adalah bahwa


pada akhirnya setiap perbuatan manusia itu haruslah dievaluasi guna
meningkatkan

kesejahteraan

umum

atau

taraf

sosial

(sebagai

konsekuensi dari kebahagiaan/kemapanan/kepuasan yang telah dicapai


oleh masyarakat mayoritas). Look to the future and promote human

welfare (melihat ke masa depan dan meraih kesejahteraan masyarakat),


merupakan ajaran dari aliran utilitarianisme yang berhubungan dengan
etika, namun secara formal ajaran ini dapat dilihat dari prinsip utilitas,
yaitu : of all the possible action open to you, perform that action with

the greatest tendency to bring about the balance of happiness over


misery for mankind as a whole (dari segala kemungkinan perbuatan
yang

akan

dilakukan,

mengutamakan

lakukanlah

keseimbangan

mengesampingkan

penderitaan

perbuatan
dari

bagi

tersebut

kebahagiaan
umat

manusia

dengan
dengan
secara

menyeluruh).46
Ajaran utilitarianisme terkadang disebut dengan teori kebahagiaan
terbesar yang

mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan

(kenikmatan) terbesar untuk orang banyak, karena kenikmatan adalah


satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan adalah satu-satunya
45

Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The phylosophy of law: An Introduction To


Jurisprudence, Totowa NJ, Rowman & Allenheld, 1984, hlm. 74.
46
Ibid.

kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan


menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan
abstrak, melainkan adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin
kebahagiaan di dunia. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan
prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan asas kegunaan atau
manfaat (the principle of utility). Salah satu penganut teori ini adalah

Seneca yang terkenal dengan ucapannya ;


nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne pecceter (artinya :
no reasonable man punishes because there has been a wrong
doing, but in order that there should be no wrong doing = tidak
seorang normal pun dipidana karena telah melakukan suatu
perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat).
Johanes Andenaes menyebut teori ini juga sebagai teori pelindung
masyarakat.47
Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari
pemidanaan, yaitu :
1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat;
2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai
akibat dari terjadinya kejahatan;
3) Untuk memperbaiki si penjahat;
4) Untuk membinasakan si penjahat;
5) Untuk mencegah kejahatan.48
Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana kehutanan atau tindakan perusakan hutan sebagaimana dalam

47
48

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 1.


Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan

Perusakan

adalah

untuk

menanggulangi

kejahatan

kehutanan dan mencapai tujuan pemidanaan atau politik kriminal pada


masa-masa yang akan datang.

5. Teori Kewenangan (Authority Theory)


Wewenang merupakan bagian penting dari aspek hukum, terutama
segi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, karena objek dari
Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah
berkaitan erat dengan wewenang atau kewenangan pemerintah dalam
mengelola dan melaksanakan kekuasaan negara sehingga ruang lingkup
wewenang pemerintah meliputi wewenang keputusan (beschikking) dan
juga wewenang dalam rangka melaksanakan tugas serta pengaturan

(rechtgelling).
Kewenangan (authority) berbeda dengan wewenang (competence)
kewenangan merupakan kekuasaan formal, yang berasal dari kekuasaan
legislatif atau dari kekuasaan eksekutif. Dalam hal kewenangan terdapat
wewenang untuk melakukan kewenangan publik.
Prajudi Admosudirjo49 memberikan pengertian wewenang

adalah

kekuasaan terhadap golongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap

49

hlm. 78.

Pramuji Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994,

suatu bidang pemerintah dibidang urusan tertentu. Secara teoritik


kewenangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yakni sebagai berikut :
1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah
pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah.

oleh

2. Delegasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu


pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan dari satu
pemerintahan mengizinkan kewenangannya di jalankan oleh
organ lain atas namanya.
Kewenangan atributif dalam arti yuridis wewenang kamampuan
bertindak

yang

diberikan

oleh

Undang-undang

untuk

melakukan

hubungan-hubungan hukum, yakni hubungan yang dapat menimbulkan


akibat hukum.
Kewenangan delegasi adalah wewenang yang merupakan hak dan
kekuasaan untuk pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan kewenangan mandat (mandate) adalah suatu kekuasaan
untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan adanya
hubungan

atasan

dan

bawahan

dalam

rangka

penyelenggaraan

pemerintahan.

G. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan landasan konsep yang akan
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang di gunakan oleh

peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian penting dari


rumusan teori. Kegunaan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah
menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.
Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan
abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang yang khusus yang
lazim disebut dengan definisi opersional. Pentingnya definisi operasional
adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua atau ganda dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga
dipergunakan untuk memeberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam
penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel pokok yaitu; Kebijakan Formulasi
Hukum Pidana dan Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan.

1. Kebijakan Hukum Pidana


1.1. Kebijakan
Dalam bukunya Barda Nawawi Arief istilah kebijakan yang
dalam bahasa Inggris policy

atau politiek

Belanda sering disebut sebagai politik

dalam bahasa

yang berarti kebijakan.

Secara umum politik atau kebijakan dapat diartikan sebagai prinsipprinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah
(dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam
mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik,
masalah-masalah

masyarakat

atau

bidang-bidang

penyusunan

peraturan perunndang-undangan dan pengaplikasian hukum atau

peraturan, dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya


mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga
negara).50
1.2.

Kebijakan Hukum
Terdapat banyak definisi menegenai kebijakan hukum atau
politik hukum. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum
adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi
hukum yang akan dibentuk51. Sedangkan Teuku Mohammad
Radhie52 mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan menegenai arah perkembangan hukum yang akan
dibangun.
Menurut ahli lain berpendapat Satjipto Raharjo53 yang di kutif
dari tesis

Muhammad Aziz Hakim medefinisikan politik hukum

sebagai aktifitas memilih cara yang hendak dipakai untuk memilih


dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial
dengan hukum tertentu yang cakupannya meliputi jawaban atas
beberapa pertanyaan dasar, yaitu ; 1) tujuan apa yang hendak di
capai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana
50

1986.

51

Barda Nawawi Arif, Op-Cit, hlm. 23-24.


Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalilia Indonesia, Jakarta,

52

Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan

Nasional, Jakarta, 1973.


53

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991.

yang dirasa paling baik yang dipakai dalam mencapai tujuan


tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu
perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan
dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan
tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

1.3.

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana


Kebijakan formulasi hukum pidana merupakan istilah yang
berasal dari politiek

dari Belanda dan policy

dari Inggris,

dari

istilah asing tersebut, maka istilah politik hukum pidana atau


sering juga disebut dengan istilah kebijakan hukum pidana dalam
kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal
dengan berbagai istilah, antara lain; penal policy atau criminal

law policy atau strafrechtspolitiek.54 Sedangakan istilah formulasi


atau

formula

merupakan

pembentukan,

penyusunan

atau

perumusan yang berkaitan erat dengan pengaturan atau disebut


sebagai kebijakan legislatif atau formulatif.

2. Penanggulangan tindak pidana


Penanggulangan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana penal maupun non penal atau dikenal istilah upaya

54

Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Penyalahgunaan


Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1999, hlm. 10

hukum litigasi dan upaya hukum non litigasi55. Kegiatan non penal dengan
melakukan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan
kejahatan (criminal policy) atau penanggulangan tindak pidana dengan
penggunaan sarana penal dilakukan dengan menggunakan sarana hukum
pidana melalui penegakan hukum (law enforcement). istilah penegakan
hukum dapat dipergunakan terjemahan dari echtshandhaving, yang
dimaksud disini adalah hukum yang berkuasa dan ditaati melalui sistem
peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan56. Koesnadi Hardjosoemantri mengemukakan
bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai
kalangan,

yaitu

bahwa

penegakan

hukum

hanya

melalui

proses

pengadilan. Adapula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum


adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. penegakan
hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk itu
pemahaman

tentang

hak

dan

kewajiban

menjadi

syarat

mutlak.

Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi


masyarakat

berperan

dalam

penegakan

hukum57.

Andi

Hamzah

menyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalan Bahasa Indonesia,


selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa

55

Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang
Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project Forest Law Enforcement, (Goverment Ang Trade)
Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010, hlm. 9.
56
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta,
1999, hlm. 78-79.
57
Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran


seperti ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan
menyebut penegak hukum itu adalah polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut
pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup yang
lebih luas58.

3. Tindak Pidana Kehutanan (TIPIHUT)


Dalam hukum kehutanan terdapat berapa peggunaan istilah-istilah
yang berkaitan dengan hukum pidana, hal ini ditemukan dalam perundangundangan maupun dalam berbagai literatur hukum atau sumber hukum.
istilah hukum pidana itu adalah dikenal tindak pidana, delik, perbuatan

pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan


yang dapat dihukum,

peristiwa pidana

atau dalam bahasa asalnya

dikenal dengan strafbaar feit yang merupakan istilah dari bahasa Belanda
yang

terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands Indie

(WvSNI).

Terjemahan dari istilah strafbaar feit merupakan istilah yang

berarti suatu perbuatan dan atau peristiwa yang diancam hukuman


sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut atau diatur dalam

58

hlm. 61.

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, PT. Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995,

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam peraturan


perundang-undangan lainnya59.
Hukum pidana atau perbuatan pidana dibidang kehutanan dalam
peraturan

perundang-undangan

dan

buku-buku

literatur

ditemukan

beberapa istilah diantarannya, penebangan liar atau pembalakan liar

(illegal logging), perusakan hutan adalah perbuatan pidana yang dalam


peraturan perundangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya. Jenis-jenis perbuatan pidana ini ditemukan
seperti; pembalakan liar atau penebangan tanpa izin (illegal Logging),
pertambangan tanpa izin (illegal mining),

perkebunan dalam kawasan

hutan tanpa izin, perambahan (ocuvasi) kawasan hutan, pendudukan,


penguasaan hutan tanpa izin, penggunaan kawasan hutan non prosedural
dan perbuatan lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
Perbuatan pidana berupa perusakan hutan menimbulkan kerugian
negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang
sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global (global

warming), perubahan iklim (climeted iklim), banjir, tanah longsor dan


sebagainya, hal ini telah menjadi kekawatiran dan menjadi permasalahan
ditingkat nasional, regional, dan internasional.

59

Anonim, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan
Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan,
EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade ), 2008.

Perbuatan pidana atau tindak pidana tersebut di kriminalisasi atau


diformulasikan dalam ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor
18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan. Berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan tersebut dan


literatur lainya ditemukan istilah Tindak Pidana Kehutanan

yang lazim

disebut (TIPIHUT) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana


sebagai kejahatan atau pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undangundang dibidang Kehutanan

dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya60.
Dalam buku hukum kehutanan yang dikemukakan oleh M.
Hariyanto61 mendefinisikan Tindak Pidana Kehutanan sebagai Suatu
peristiwa yang telah/sedang/akan terjadi berupa perbuatan melanggar
larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam peraturan
perundang-undangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya bagi barang siapa yang secara melawan
hukum melanggarnya".
Dari berbagai ketentuan dan pendapat ahli tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa, perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan
pidana seperti perusakan hutan, pembalakan liar atau illegal logging
merupakan merupakan tindak pidana dibidang kehutanan dan konservasi
60

Anonim, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan , kerjasama antara
Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam
Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian
Office, Jakarta, 2013.
61
M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, hhtp//blogmhariyanto. blogspot.com, diposting
pada tanggal, juni 2009, jam 09.00 wita.

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diistilahkan dalam hukum
pidana atau sering disebut sebagai tindak pidana kehutanan (TIPIHUT).

H.

METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum dalam studi ini adalah penelitian hukum
normatif atau doktrinal. Jenis penelitian hukum ini memfokuskan untuk
menelaah dan menganalisis norma-norma hukum, asas-asas hukum,
falsafah (dogma atau doktrin) hukum. Penelitian hukum doktrinal juga
dapat berupa usaha untuk menemukan hukum in concerto yang dapat
diterapkan untuk menyelesaikan perkara hukum tertentu.62
Dalam

penelitian

hukum

normatif

atau

doktrinal

juga

menggunakan buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih


dahulu, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah
sebagai bahan perbandingan, maupun sebagai petunjuk dalam
menguraikan bahasan yang selanjutnya, peneliti mengumpulkan dan
mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Sebagimana dikemukakan oleh Rinal Dwokin penelitian hukum
normatif sering disebut juga dengan istilah penelitian doktrinal

(doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik


yang tertulis dalam buku (law is writen in the book) maupun yang
62

Soetandyo

Wingyosoebroto,

Masalahnya, HUMA, 2002, Jakarta, hlm. 17.

Hukum,

Paradigma,

Methode

dan

Dinamika

diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is by the

judge thorough judicial process ).

2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan

perundang-undangan

(statute

approach),

yaitu

pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah hkum kehutanan atau
tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang-undangan lain
yang terkait. Dalam hal ini peneliti melihat hukum sebagai sistem
tertutup yang mempunyai sifat komprehensif, norma-norma hukum
yang terdapat di dalamnya berkaitan antara satu dengan yang
lainnya secara logis dan sistematik. Bahwa di samping bertautan
antara satu dengan lainnya, norma hukum juga tersusun secara
hirarkis.63
b. Pendekatan konsep (conseptual approach),

yaitu pendekatan ini

digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat


dalam

pikiran.

Menurut

Ayn Rand secara pilsafat konsep

merupakan integrasi mental atas dua unit atau lebih yang


diisolasikan menurut ciri khas dan yang disatukan dengan definisi

63

Haryono dalam Jonny Ibrahim, Op.Cit. hlm. 249

yang khas. Dalam pendekatan konsep (conseptual approach)


penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep yang berkaitan
dengan konsep pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
atau tindak pidana kehutanan serta konsep yang terkait dengan
masalah itu.
c. Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu suatu pendekatan
yang digunakan untuk mengetahui, memahami dan mengkaji
bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu
perundang-undangan.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum


Jenis dan sumber bahan hukum dalam penelitian hukum ini
adalah

bahan

hukum

sekunder

yang diperoleh

dari

penelitian

kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer,


sekunder dan tersier. Bahan hukum dimaksud adalah sesuai dengan
penelitian hukum, mencakup :
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terkait dengan
peraturan perundang-undangan, yang berkaitan penanggulangan
tindak

pidana

kehutanan

atau

perbuatan

perusakan

hutan.

Khususnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun


1990

tentang

Konservasi

Sumber

Daya

Alam

Hayati

dan

Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

kehutanan sebagaimanan diubah dengan Undang-undang 19 Tahun


2004 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
serta peraturan hukum yang terkait lainnya.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang meberikan
penjelasan

mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil

penelitian, rancangan undang-undang, bahan-bahan lain yang


berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana kehutanan.
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang

memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,


kamus hukum kehutanan, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar
serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat
dipergunakan untuk melengkapi bahan hukum yang diperlukan
dalam penelitian.64
4. Teknik dan Penelusuran Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, untuk

memperoleh bahan hukum dan

bahan terkait lainnya yang diperlukan, maka digunakan teknik dan


penelusuran bahan hukum sebagai berikut :

64

Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm . 19

a. Teknik pengumpulan hahan hukum; dilakukan dengan studi pustaka


dan

dokumentasi

dalam

studi

ini

dilakukan

pengumpulan,

menginventarisir dan mempelajari bahan hukum, baik bahan hukum


primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier atau
bahan-bahan non hukum atau bahan-bahan dokumen penting yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Penelusuran bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan
yaitu dengan cara menginventarisir dan mengkaji peraturan asasasas hukum dalam perundang-undangan, serta berbagai dokumen,
maupun jurnal hukum serta hasil penelitian-penelitian terdahulu
yang terkait dengan permasalahan yang di teliti.
Penelusuran
menggambarkan

bahan

ketentuan

hukum
dari

secara

pendekatan

normatif
penelitian

ini
yang

digunakan. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian hukum


normatif sepenuhnya menggunakan bahan hukum sekunder, dari
bahan

kepustakaan

sehingga

penyusunan

kerangka

konsepsionalnya mutlak diperlukan.65 Hal ini dilakukan untuk


menemukan asas-asas yang tersirat dan termaktub dalam pasal
perundang-undangan yang terdapat dalam ragam dan kepustakaan
yang tersedia.

65

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm. 199

5. Analisis Bahan Hukum


Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dilakukan
dengan analisis penelitian hukum normatif, analisis penelitian hukum
normatif dilakukan dengan cara penafsiran berkaitan dengan asas-asas
hukum yang terkait dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam
penanggulangan tindak pidana kehutanan. Dengan tujuan untuk
memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Dalam melakukan analisis bahan hukum sekunder terhadap
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa penafsiran yakni,
penafsiran historis, penafsiran ekstensif atau penafsiran memperluas,
dan penafsiran yang mempertentangkan66. Semua tipe penafsiran di
atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka berfikir
deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara
logis dan sistematis. Penjelasan secara logis sintesis menunjukkan cara
berfikir deduktif-induktif, yaitu cara berfikir deduktif adalah berangkat
dari umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan cara berfikir
induktif merupakan cara berfikir yang berangkat dari hal-hal khusus
kemudian dicari generalisnya yang bersifat umum. Setelah

analisis

bahan hukum selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif


yaitu

dengan

cara

menuturkan

permasalahan yang diteliti.

66

Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165

dan

menggambarkan

sesuai

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

A. Tinjauan Umum Mengenai Pengelolaan Hutan Indonesia


1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan hutan, misalnya
hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam
bahasa Inggris disebut dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut
dengan jungle. Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan
adalah penuh dengan pohon-pohonan yang tumbuh tidak beraturan.67
Dalam Black Laws Dictionary hutan di definisikan Forrest is a tract of

land, not

necessarily

hunting deer and

wooded, reserved to the king or a grantee, for

other game

68

Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon

yang

dipesan

oleh raja untuk berburu rusa dan permainan lain.


Menurut pendapat dari salah satu ahli kehutanan Herman Haeruman

J.S.69 menyatakan bahwa :


Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya

67

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa , Cet. I, Erlangga,
Jakarta, 1995, hlm. 11.
68
Garner, Black Laws Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.
69
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, 1980, hlm. 6.

melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir


maupun erosi dan sebagainya, serta ekosistem peyangga dan
pendukung kehidupan bagi banyak makhluk.
Sementara itu Mochtar Lubis70

mengemukakan pengertian hutan sebagai

berikut :
Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbuh-tumbuhan
berkayu seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet,
kelapa sawit ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai
hutan.
Adapun pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh
Sukardi71 adalah sebagai berikut :
Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,
sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi
menentukan lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuhtumbuhan pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup
luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).
Sedangkan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1
Udang-undang

Nomor

18

Tahun

2013

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, bahwa Hutan didefinisikan adalah sebagai


berikut :
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara
yang satu dan yang lainnya .

70

hlm. 196.

71

Mochtar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988,

Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 12.

Selanjutnya diketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1


Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan, Kehutanan adalah sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu.
Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang

Kehutanan

meliputi;

kegiatan

penyelenggaraan,

perencanaan

kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan


latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan hutan. Perencanaan
kehutanan

menurut ketentuan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi; inventarisasi hutan, pengukuhan


kawasan hutan, penatagunaan

kawasan hutan, pembentukan wilayah

pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan.


Dalam pengelolaan hutan, konsep hutan dengan kawasan hutan dapat
dibedakan, perbedaan antara hutan dan kawasan hutan dapat dilihat dari
pengertian terhadap kawasan hutan sebagai mana terdapat dalam ketentuan
Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap. Dalam perkembangannya bahwa definisi kawasan hutan tersebut
menimbulkan

polemik

dan

multitafsir

sehingga

dilakukan

permohnan

pengujian atau uji materiil terhadap Undang Undang Dasar 1945 atau

dilakukan

judicial review yang dilakukan kepada Mahkamah Konstitusi dan

hasil pemeriksaan tersebut

telah diputuskan dengan

putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor : 45/PUU-IX/2011, dalam putusan mahkamah tersebut


mengabulkan permohonan pemohon terhadap prase kata ditunjuk

tidak

relevan dan tidak memenuhi rasa keadilan72, sehinga definisi kawasan hutan
tersebut untuk menjamin kepastian hukum, sebagaimana terdapat dalam
Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013

tentang

Pencegahan

dan

Kawasan Hutan sebagaimana terdapat

Pemberantasan Perusakan Hutan.

dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor

18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan kawasan hutan adalah


wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
Dengan

adanya

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

tersebut,

maka

penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai
kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan
hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses
penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata
batas kawasan hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan.

2. Jenis-jenis Hutan
Berdasarkan jenis-jenis hutan, dilakukan pengelompokan jenis-jenis
hutan
72

berdasarkan

Undang-undang

Nomor

41

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU-IX/2011,

Tahun

1999

tentang

tanggal 21 Februari 2012

Kehutanan, di dalamnya ditentukan terdapat 4 (empat) jenis hutan yaitu,


hutan berdasarkan pada,

Status Hutan,

Fungsi Hutan, Kawasan Hutan

denganTujuan Khusus dan Pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.

Berdasarkan pada pengelompokan dari jenis hutan tersebut

dapat

dijabarkan sebagai berikut :

2.1. Status Hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI


Pembagian

hutan

hutan

menurut

statusnya

adalah

suatu

pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara


orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan,
pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut73. Hutan
menurut statusnya pasca putusan judicial review Mahkamah Kontitusi
terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor :
35/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan
negara,

sehingga Hutan Adat yang sebelumnya menjadi bagian dari

Hutan Negara74, harus dimaknai sebagai Hutan Hak.


Berdasarkan pada status hutan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis,
yakni sebagai berikut :

1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang pengelolaannya
73

2003, hlm. 43
74

Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta,
http://ugm.ac.id,
Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi
tanggal 21 Februari 2014.

Tentang Hutan Adat,

dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri


(HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pengelolaan lainnya
diberikan

pemerintah

yang

diserahkan

pengelolaannya

kepada

masyarakat baik dalam bentuk perorangan (naturlijke person),


koperasi dan perusahaan berbadan hukum (rechtsperson).
Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat desa disekitar kawasan hutan disebut
hutan desa. Dengan demikian, hutan negara dapat berbentuk :
a. Hutan Taman Industri (HTI), ialah

hutan negara yang dikelola

oleh badan usaha milik negara maupun swasta untuk memenuhi


kebutuhan suatu industri dan masyarakat.
b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan negara yang dikelola
oleh masyarakat baik perorangan maupun badan usaha.
c. Hutan Desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa
d. Hutan

Kemasyarakatan

pemanfaatan

utamanya

(HKm),

ialah

ditujukan

hutan

untuk

negara

yang

memberdayakan

masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan.

Berbagai bentuk pengelolaan hutan negara yang dilakukan


dengan berbagai program pengelolaan ataupun pemanaatan dengan
tujuan

adalah

untuk

meningkatkan

kualitas

mutu

kehidupan,

kesejahteraan masyarakat, memaksimalkan potensi sumber daya

alam, dengan partisipasi, pengelolaan, pemanfaatan demi kelestarian


hutan dan kesejahteran masyarakat.

2. Hutan Hak/hutan hak milik adalah hutan yang dibebani alas


hak/kepemilikan. Hutan ini dapat dimilliki secara komunal/penguasaan
bersama masyarakat hukum adat dan kepemilikan secara personal
dapat dibedakan sebagai berikut ;

1. Hutan Adat adalah kawasan hutan yang berada dalam wilayah


masyarakat

hukum

adat

(rechtsgemeenschap).

Pembedaan

perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat dibutuhkan


pengaturan hubungan antara hak menguasai negara pada hutan
negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat.
Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh
untuk

mengatur

peruntukan,

pemanfaatan

dan

hubungan-

hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara, terhadap


hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang
yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam
cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan
wilayah) masyarakat hukum adat.
Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak
membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan
tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya.

Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu


ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam
cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti
dimaksud pasal 18B ayat (2) UUD 1945,
Konstitusi

M.

Alim

pada

saat

Hakim Mahkamah

membacakan

pertimbangan

hukumnya (putusan sidang Mahkamah Konstitusi RI Nomor :


35/PUU-X/2012).

2. Hutan hak/hutan milik

adalah hutan yang berada pada tanah

yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 Angka 5 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ). Hutan yang berada


pada hak/milik masyarakat baik yang ditanami maupun yang
tumbuh alami pada lahan hak/milik.
Berkaitan dengan hasil hutan yang bersal dari hutan
hak/milik,

pengaturan

pengusahaan

hasil

hutan

atau

penatausahaan hasil hutan dari hutan hak diatur dalam ketentuan


tersendiri

didalam

Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan


Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Pembedaan pengaturan
atau penatausahaan hasil hutan tersebut bertujuan

untuk

menjamin kepastian hukun antara hak masyarakat/milik (private)


dengan hak negara.

2.2. Fungsi Hutan

Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang


didasarkan pada kegunaanya yaitu; (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan
Lindung dan, (3) Hutan Produksi.
1.

Hutan Konservasi

Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang
mempunyai pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya75. Hutan konservasi ini terdiri atas :
1.1.

Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas


tertentu, mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi
sebagai wilayah penyangga76. Kawasan hutan suaka alam terdiri
dari hutan cagar alam dan suaka margasatwa77.

1.2.

Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas


tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem
penyangga

kehidupan,

pengawetan

keanekaragaman

jenis

tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam ketentuan Pasal 1
ayat

11

Undang-undang

Nomor

41

tentang

Kehutanan,

dinyatakan kawasan pelestarian alam ini terdiri dari Taman


Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dalam
pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
75
76
77

Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.

1.3.

Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang


ditetapkan sebagai tempat wisata berburu dalam Pasal 1 ayat 12
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2. Hutan Lindung
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah

instrusi

air

laut

dan

memelihara

kesuburan

tanah

sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun


1999 tentang Kehutanan.

3. Hutan Produksi
Hutan produksi adalah hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang mempunyai
fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan
menjadi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.

2.3. Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)


Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menyatakan, Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan
Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan

umum seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,


religi dan budaya.

2.4. Hutan Berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro, Estetika dan


Resapan Air
Hutan jenis ini,

disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu

sebagai hutan kota untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika


dan resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.

3. Perlindungan Hutan
Kegiatan

perlindunggan

hutan

atau

usaha

perlindungan

hutan

merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan agar


kelestarian

hutan

dapat

tetap

terjaga.

Dalam

melakukan

kegiatan

perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global

(global

ecosystem). Rumusan perlindungan hutan menurut Pasal 47 Undang-undang


Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa perlidungan
hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta
penyakit.

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan


perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi
serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Sedangkan dalam Deklarasi Rio de Jenairo Tahun 1992 telah ditetapkan


prinsip perlindungan lingkungan dalam skala global diantaranya :

In order to archeve sustainable develoement, enviromental proptection


shall constitue an integral part of the developement proses and cannot
be concidered in issolation prom it (article 4).
States shall coperate in a spirit of global patnership to conserve, protect
and restore the health and integrity of the earth ecosystem... (article 7)
States shall enacts

efektife envioromental legislation, envioromental

standards, management objektifes and priorities should reflect the


envioromental and developmental context to which they apply... (article
11).
Artikel (prinsip) 4 merumuskan bahwa perlindungan lingkungan harus
diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan tidak
dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah. Dalam artikel 7 dirumuskan
tiap negara mempunyai tanggungjawab global untuk memelihara, melindungi
dan memugar kembali integritas dan kesehatan ekosistem bumi, dan dalam
artikel 11 dijelaskan bahwa tiap negara menetapkan pemberlakuan ketentuan
lingkungan

secara

efektif,

standar

(baku

mutu)

lingkungan,

sasaran

manajemen dan standar lainnya yang mencerminkan konteks keseimbangan


antara pembangunan dan lingkunagan sesuai dengan kondisi setempat.

Perlindungan hutan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, pada ketentuan yang
terdapat dalam pasal 1 ayat 1 bahwa, Perlindungan Hutan adalah usaha untuk
mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya
alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak negara,
masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi
serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Menurut pendapat peneliti, pada intinya perlidungan hutan terdapat 3

(tiga) aspek bentuk dari perlindungan hutan sebagai berikut; 1). Perlindungan
atas hutan, 2). Perlindungan kawasan hutan, dan 3). Perlindungan terhadap
hasil hutan. Dari ketiga aspek pokok dalam perlindungan hutan tersebut
merupakan inti dari kegiatan atau upaya dalam penanggulangan pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan. Kegiatan perlindungan tersebut
dilakukan melalui; upaya persuasif dengan melakukan kegiatan pencegahan
dan kegiatan dilakukan dengan melakukann tindakan represif atau penindakan
dengan proses penegakan hukum (law enforcement proces).

4. Legalitas Hasil Hutan Kayu


Pada umumnya keabsahan hasil hutan kayu atau disebut dengan
legalitas hasil hutan mencakup permasalahan yang sangat luas, hal ini dapat
ditinjau dari dimulai proses perizinan, persiapan operasi areal, kegiatan
produksi,

pengangkutan,

penatausahaan,

pengolahan,

hingga

pada

pemasaran. Legalitas hasil hutan kayu dapat dilihat dari keabsahan asal-usul
atau sumber dari hasil hutan kayu, kemudian dilihat dari tatacara atau
prosedur

dari

izin

penebangan,

sistem

dan

prosedur

penebangan,

dokumentasi pengangkutan dan administrasi. Proses pemasaran, perdagangan


atau pengangkutannya telah teruji memenuhi persyaratan dan telah terpenuhi
semua persyaratan baik dari unsur material dan formil dari dokumennya.
Sistem penatausahaan hasil hutan kayu dalam ketentuan Pasal 16
Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013

tentang

pencegahan

dan

pemberantasan perusakan hutan disebutkan bahwa "Setiap orang yang


melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang
merupakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)78, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan", pada ketentuan ini terdapat
sanksi, jika larangan tesebut dilanggar dengan sanksi pidana berupa pidana
penjara paling singkat 1 tahun sampai dengan paling lama 5 tahun, serta
dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliyar lima ratus juta
rupiah), apabila perbuatan tersebut, yang melakukan kejahatan adalah badan
hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi pidana berbeda dan lebih berat
dengan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar)
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar).

78

Ketentuan

Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen-dokumen yang merupakan
bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. (Pasal 1
angka 12 dan Pasal 1 angka 29 PP Nomor 6 tahun 2007).

sanksi pidana tersebut dapat juga dikenakan terhadap barang siapa atau
orang yang memalsukan atau menggunakan SKSHH palsu79.
Penggunaan istilah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 atau
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, bukan merupakan nama dokumen
tetapi merupakan terminologi umum (general term) yang di dalamnya terdiri
dari beberapa bagian atau nama dokumen surat keterangan sahnya hasil
hutan. Dokumen legalitas atau dokumen keabsahan hasil hutan yang
digunakan dalam penguasaan ataupun pengangkutan hasil hutan baik yang
berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dari hutan produksi pada hutan
negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia80.
Dokumen yang termasuk Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
adalah sebagai berikut:
a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB
401
b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA. 301
c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko
model DKA. 302
d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA. 303
e. Surat Angkutan Lelang (SAL) adalah blanko model DKB. 402
f. Nota atau faktur Perusahaan pemilik kayu olahan.81

79

Pasal 88 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
80
Permenhut RI Nomor : P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Alam dan Permenhut RI Nomor : P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Tanaman pada Hutan Produksi.
81
M. Hariyanto, Hukum Kehutanan, http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/dokumen
legalitas pengangkutan hasil hutan kayu.html/2013/html, diakses pada tanggal 22 Februari 2015, jam
20. 30 wita.

Dengan

demikian,

SKSHH

merupakan

dokumen

milik

negara

(Kementerian Kehutanan) yang berfungsi sebagai :


1. Sebagai bukti legalitas, pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil
hutan kayu.
2. Dapat digunakan untuk pengangkutan, penguasaan atau pemilikan selain
hasil hutan.
3. Menjadi dasar perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 82 dan Dana
Reboisasi (DR)83.

Sedangkan dokumen legalitas dalam penguasaan ataupun untuk


mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang
Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak. Pada umumnya ketentuan yang
berkaitan dengan penguasaan atau keabsahan dari hak atau kepemilikan
berupa, sertifikat, girik, leter c dan dokumen kepemilikan lain yang sah. Hasil
hutan dari hutan hak dalam pengusaan atau pengangkutannya digunakan
dokumen legalitas yang disebut

Surat Keterangan Asal Usul (SKAU)84,

pengangkutan dengan dokumennya untuk hasil hutan yang berasal dari hutan
82

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti
nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
83
Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Lihat
penjelasan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dana untuk
reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Jadi disini jelas pengenaan Dana
Reboisasi (DR) hanya berlaku untuk hasil hutan berupa kayu dari hutan alam. Pengenaan Dana
Reboisasi (DR) tidak berlaku untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman dan hasil hutan bukan kayu,
seperti; rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, daun, tanaman obat-obatan, dan lain-lain.
84
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah dokumen legalitas pengangkutan hasil hutan
yang berasal dari hutan hak/rakyat atau dari tanah milik yang telah di bebani alas hak sesuai
P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak.

hak dengan SKAU beserta turunannya dalam bentuk dokumen NOTA


Angkutan, khusus untuk 23 jenis kayu diantaranya85 dan NOTA angkutan
penggunaan sendiri tidak diperdagangkan hanya dipakai sendiri.
Menurut pendapat peneliti, penatausahaan hasil hutan kayu maupun
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada hutan negara dan penatausahaan kayu
pada hutan hak/milik, keabsahan atau legalitasnya dalam penguasaan
maupun dalam pengangkutan harus sesuai dengan ketentuan dan tatacara
sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen
keabsahan atau legalitas hasil hutan tersebut merupakan
sarana

pengaturan atau

atau control berupa pengawasan dan pengendalian dalam upaya

pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan, kerugian negara serta


untuk membedakan hak negara dan masyarakat terhadap hasil hutan.
Selain itu juga, dokumen perijinan dan legalitas hasil hutan yang ada
juga tentu memiliki potensi untuk disalahgunakan ataupun dijadikan sebagai
modus operandi timbulnya kejahatan baru.

Penggunaan dokumen atau

adanya legalitas hasil hutan, perijinan penggunaan kawasan hutan dan


pemanfaatan hasil hutan sebagai pengawasan, namun hal demikaian tidak
terlepas dari bagaimana integritas dan moral serta budaya (culture) dari
aparatur pemerintah, para pelaku usaha dan masyarakat dalam pengusahaan
hasil hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

85

Dokumen NOTA Angkutan untuk 23 jenis diantaranya ; Rambutan, randu, sawit, sawo,
sukun, trembesi, waru, karet, jabon, sengon, petai, cempedak, dadap, duku, jambu, jengkol, kelapa,
kecapai, kenari, mangga, manggis, melinjo dan nangka.

Sedangkan sumber daya hutan atau hasil hutan berupa flora dan fauna
yang terdapat dalam hutan, karena keunikan dan kelangkaannya dilakukan
upaya konservasi untuk mempertahankan jenis dilakukan perlindungan
terhadap tumbuhan dan satwa liar.

Berkaitan dengan dokumen perizinan

legalitas atau keabsahan dan upaya perlindungannya, dalam hal pemindahan


atau pengangkutannya terdapat dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa
Liar (SATS) yang dilindungi, Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan
dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di
Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan
dokumen

pengiriman

atau

pengangkutan86,

baik

dokumen

perizinan

penangkararan dan pengangkutan tumbuhan dan atau satwa liar.


Dokumen pengiriman atau pengangkutan, tumbuhan dan satwa untuk
dalam negeri menggunakan Surat Angkut Dalam Negeri (SAT-DN), sedangkan
untuk pengangkutan tumbuhan dan satwa keluar negeri menggunakan Surat
Angkut Luar Negeri (SAT-LN), karena tanpa menggunakan perijinan tersebut
dikatakan

sebagai perbutan penyelundupan dan atau pencurian dan atau

percobaan melakukan perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan


Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.

86

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan


Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

Berkaitan dengan ketentuan perijinan terhadap tumbuhan dan satwa


liar

yang dilindungi baik oleh center of international trade on endanger

species for flora and fauna (CITES), maupun yang tidak dilindungi dalam
ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsenvasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2008 tentang Pengankutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.
Ketentuan terkait legalitas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tidak
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut: a) Pasal 42 ayat (1) Pengiriman atau pengangkutan jenis
tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya
di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan
dokumen pengiriman atau pengangkutan berikut Pasal 63 ayat (2)
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat
dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 250.000.000,- (dua

ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang
bersangkutan; b) Pasal 64 ayat (2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63,
sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi maupun
yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan
sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara.
Berdasarkan

pada ketentuan

peraturan

yang berkaitan

dengan

konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, menurut pendapat peneliti


dalam pengusaaan terhadap tumbuhan dan satwa liar harus pada kaedah-

kaedah konservasi, perlindungan dan perizinan. Perlindungan terhadap


tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi guna
menjaga keutuhan habitat dan ekosistemnya.

5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar


Berbagai macam perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan
perusakan huatan atau tindak pidana kehutanan, dilakukan dengan cara atau
modus operandi diantaranya adalah penebangan pohon tanpa izin atau
pembalakan liar, sering disebut dalam istilah asing sebagai (illegal logging),
perambahan dan kegiatan perusakan hutan lainya. Dalam ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, istilah pembalakan liar didefinisikan dalam
ketentuan pasal 1 ayat 4 bahwa

pembalakan liar adalah semua kegiatan

pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.


Sementara itu, istilah perambahan hutan terdapat dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, sebagian ketentuan pidana dan saksi
dicabut, termasuk ketentuan sanksi pidana perambahan hutan berupa
mengerjakan

atau

menggunakan

kawasan

hutan

secara

tidak

sah

sebagaimana diatur pasal 50 ayat 3 huruf a Undang-undang nomor 41 tahun


1999 tentang Kehutanan di nyatakan tidak berlaku dan di cabut sesuai
ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang nomor 18 Tahun 2013, sehinga
penerapannya menjadi bertentangan dengan asas hukum pidana yang
menyatakan tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada sanksi

pidananya nullum dillectum nullapoena legge ponalli

atau adanya

kesalahan, asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder

schuld).
Permaslahan norma tesebut di atas, tentu saja menimbulkan
kekosongan norma hukum dan ketidakpastian hukum terhadap penanganan
penggunaan

dan/atau

pengerjaan/perambahan

dan/atau

pendudukan

kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat


pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Perambahan hutan dalam rumusan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tetang P3H tidak ditemukan, rumusan perambahan yang kulifikasikan
dalam perbuatan terorganisasi.87

Penggunaan kawasan hutan secara tidak

sah yang dimaksudkan sebagai kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam


kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin
Menteri88.

Sedangkan istilah perusakan hutan dijelaskan dalam ketentuan

yang terdapat dalam pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa perusakan hutan


adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan
pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin
yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam

Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang
terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu
87

dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di
dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. (Penjelasan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013).
88
Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H.

kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang
sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.
Dalam

perbuatan

perusakan

hutan,

terdapat

tipologi

dalam

pembalakan liar, dimulai dari penyandang dana atau sering dikenal dengan
istilah cukong (penyokong dana) memiliki peranan penting dibalik kejahatan
pembalakan liar tersebut. Kegiatan pembalakan liar dilakukan dengan
merencanakan semua langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kayu
hutan secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara sah
atau legal. Untuk menyembunyikan harta hasil dari pembalakan liar dan
mencucinya, penyokong dana pertama-tama membayar sejumlah uang untuk
para pembalak dan pemimpin masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa
uang tunai infrastruktur seperti; jalan dan fasilitas umum lainnya ataupun
jasa lainya. Sebagai balasannya, penyokong dana memperoleh akses kepada
hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu. Mereka juga menyuap
oknum disektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat yang sah. Proses ini
pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Setelah melakukan
semua hal ini, penyokong dana kemudian harus membayar suap kepada
oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan pada beberapa titik
pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi

kayu

illegal

kepada

pembeli kayu. Pembeli-pembeli tersebut dapat berupa industri kayu lokal atau
pedagang kayu asing.
Dana tunai yang diterima oleh para pemimpin masyarakat lokal, oknum
pejabat pemerintah dan penegak hukum digunakan untuk membeli barang-

barang konsumsi seperti televisi, sepeda motor dan mobil. Barang-barang


ini dikemudian hari dapat dijual untuk benar-benar mencuci harta hasil tindak
kejahatan di hutan. Sebagian uang korupsi akan digunakan untuk investasi
pada bisnis yang leggal, seperti transportasi, perumahan dan perdagangan,
sementara sebagian lainnya akan diinvestasikan

kembali

pada

bisnis

pembalakan liar, seperti membangun pabrik industri pengolahan kayu illegal.


Sebagian harta hasil kejahatan juga akan dimasukkan ke Bank di kabupaten
ataupun Bank di luar negeri.
Setelah menerima kayu bulat yang sudah dicuci, pembeli kayu
memerintahkan Bank mereka untuk mengkredit rekening cukong di Bank
yang

sama

atau

mentransfer

uang ke-rekening cukong di Bank lain.

Rekening-rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri; sehingga


Bank asing dapat terlibat dalam transaksi pembayaran pembelian kayu illegal.
Untuk benar-benar menyembunyikan jejak bisnis kayu illegal, cukong dapat
mengintegrasikan dana dari bisnis nonkayu legal ke dalam rekening bisnis
kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan, hotel dan bisnis
hiburan. Pada beberapa situasi, cukong menggunakan keuntungan dari
kegiatan-kegiatan illegal, seperti penipuan dan obat terlarang,

untuk

berinvestasi dibisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil
kejahatan non kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan
pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu.
Pemodal atau penyandang dana juga menjaga hubungan baik dengan
oknum pengambil keputusan dalam pemerintahan atau instansi terkait yang

menangani urusan kehutanan, termasuk aparat penegak hukum, militer dan


legislatif89. Pemodal atau cukong ini, biasanya melakukan transfer uang
pertemanan (goodwill) ke rekening Bank yang dimiliki oleh oknum pengambil
keputusan tersebut atau perwakilannya di Indonesia atau di luar negeri.
Kegiatan seperti ini juga dilakukan dengan Bank lokal juga menerima simpanan
dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap
dari penyokong dana atau penyandang dana dari usaha bisnis kayu illegal.
Dibawah ini terdapat tabel skema modus operandi pembalakan liar atau
illegal logging yang dilakukan oleh penyandang dana atau cukong sebagai
berikut :
Gambar : Skema modus operandi pembalakan liar atau illegal logging
dilakukan oleh cukong atau penyandang dana90.

Pembeli kayu
Penebang
liar

USS

Rp, barang,
jasa

Pembeli non kayu


Cukong

Pemimpin
masyarakat

Rp
USS
Rp

Pejabat
pemerintah

Pejabat penegak
hukum

Pengambil
kebijakan

Rp

Barang konsumen, bisnis legal


dan illegal,bank
Transaksi bank (non tunai)
Transaksi tunai (tunai)

B
a
r
a
n
g

k
o Kejahatan Kehutanan dan Mendorong
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi
n
Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan
Hutan yang Berkelanjutan
s
Pendekatan Anti Pencucian Uang, Center for International Forestry
Research, Jakarta, 2005, hlm. 11.
90
u 12
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Op, cit., hlm.
m
e
n
,
89

b
i
s

Pada seminar dan rapat

koodinasi

(RAKOR) Perlindungan dan

Pengamanan Hutan, di identifikasi/ditemukan dan dikemukakan berbagai


permasalahan dan berbagai macam cara atau modus operandi dan tiplogi
pembalakan liar dari tindak pidana kehutanan. Kegiatan tesebut dilakukan
berbagai permaslahan yang kompleks dalam penaggulangan tindak pidana
kehutanan atau berkaitan dengan permasalahan perbutan perusakan hutan,
diataranya adalah sebagai berikut

91

a. Pencurian kayu hutan dan pengkaburan asal usul kayu dengan cara
menampung kayu hutan dan mencampur dengan kayu rakyat dalam
industri atau Tempat Penanampungan Kayu Terdaftar (TPT).
b. Perubahan bentuk dari betuk log atau bahan setengah jadi, kedalam
bentuk menjadi produk jadi (meubel).
c. Penggunaan dokumen kayu tanah milik/hak untuk legalitas kayu dari
hutan negara .
d. Jasa atau penyediaan dokumen legalitas kayu oleh pemilik ijin
industri/ijin Tempat Penampungan Kayu Terdatar (TPT) atau Pejabat
Penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU).
e. Penebangan di luar ijin pemanfaatan hasil hutan kayu seperti IPK dari
Penggunaan Kawasan Hutan.
f. Penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman non
kehutanan seperti; jagung, pisang dan tanaman semusim lainnya.
g. Melakukan jual beli lahan ataupun ganti rugi kawasan hutan dan
sertifikasi dalam kawasan hutan.
h. Pembangunan sarana prasarana wisata illegal dalam kawasan hutan
i. Penambangan dalam Kawasan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan
tanpa ijin yang sah.
j. Dilakukan secara masif, berkelompok dan terorganisasi.
k. Dilakukan pada malam hari dan/atau pada hari-hari libur.
l. Menjelang perayaan hari-hari tertentu akan meningkat eskalasi
perbuatan perusakan hutan.
m. Menggunakan alat angkut sepeda motor dan lainnya yang sudah
dimodifikasi sedemikian rupa untuk angkutan.
Berdasarkan pada uraian permaslahan tersebut di atas, terjadinya
91

Makalah bahan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan, Perlindungan dan Pengaman Hutan di
NTB, Bidang Planolgi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Mataram, 2015.

kerusakan hutan disebabkan karena dari berbagai cara modus operandi dan
berbagai tipologi pembalakan liar. Perbuatan atau tindak pidana perusakan
hutan yang terjadi dilakukan dengan masif, terorganisir, hal ini juga
disebabkan adanya kelemahan-kelemahan pada norma hukum yang ada dan
aparat

penegak

hukum

dan

budaya

masyarakat.

Dalam

upaya

penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan diperlukan


penanganan yang dilakukan dengan upaya yang luar biasa dan terpadu
secara terukur, sturuktur dan kelembagaan yang terintegrasi.

6. Perbuatan Perusakan Hutan


Perbuatan

perusakan

hutan

merupakan

suatu

perbuatan

yang

dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan dalam ketentuan Pasal 1 ayat


3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, didefinisikan bahwa perusakan hutan
adalah proses, cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan
pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan
izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang
sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.
Sedangkan pembalakan liar

92

dalam pasal 1 ayat 4

adalah semua

kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
Dalam pasal 1 ayat 5 penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah

92

Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang P3H.

kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk


perkebunan dan/atau

pertambangan tanpa izin Menteri.

Selanjutnya di

dalam pasal 1 ayat 6 kegiatan terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan


oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 2 (dua) orang atau
lebih dan bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan
melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang
tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan
tradisional atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan
tidak untuk tujuan komersial.

B.

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA


Kebijakan formulasi hukum pidana didasarkan pada ketentuanketentuan dalam konsideran yang terdapat dalam suatu peraturan perundangundangan dari yang sudah diundangkan merupakan langkah awal dalam
menentukan kebijakan baru atau mereformulasikan kebijakan-kebijakan yang
secara sadar dilakukan oleh institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang
kemudian ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan hukum
pidana diformulasikan untuk menanggulangi suatu kejahatan atau tindak
pidana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.
Sumber daya hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga
kehidupan harus dijaga kelestariannya dengan dilakukan pengelolaan,
perlindungan dan pemanfaatanya secara baik berkelanjutan. Sebagaimana
terdapat dalam landasan konstitusional pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang

berbunyi Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .


Kawasan hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang
terbuka, sehingga akses bagi masyarakat untuk masuk dan memanfaatkannya
sangat besar

dan dapat memicu permasalahan dalam pengelolaannya.

Kegiatan perusakan hutan berupa, aktifitas penebangan liar,

penggunaan

kawasan hutan tanpa izin pencurian sumber daya alam lainya yang diambil
dari kawasan hutan dengan tidak sah atau tanpa ijin yang sah dari pemerintah
kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana kehutanan atau

dikenal

dengan istilah illegal logging.


Beberapa

hasil

temuan

modus

yang

biasa

dilakukan

dalam

penebangan liar adalah pengusaha melakukan penebangan dibekas areal


lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta pelaku
usaha melakukan manipulasi terhadap isi dokumen SKSHH ataupun dengan
membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek
penebangan liar. Praktek penebangan liar yang terjadi disebabkan karena
adanya kerjasama antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana
dilapangan

dan pemodal atau cukong yang akan membeli kayu-kayu hasil

tebangan tersebut, adakalanya tidak hanya menampung dan membeli kayukayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat, alat tebang lainya
kepada masyarakat untuk kebutuhan penebangan ataupun pengangkutan.
Penanggulangan

terhadap

maraknya

tindak

pidana

kehutanan,

dilakukanlah reformulasi kebijakan hukum pidana, dari jajaran aparat penegak

hukum dari penyidik Polri maupun penyidik PPNS Kehutanan sesuai lingkup
tugasnya yang bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan
maupun pengadilan/hakim, yang sebelumnya mempergunakan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan sarana
menjadi

instrumen

hukum

dalam

menanggulangi

pemberantasan tindak pidana kehutanan.


tidak menyebutkan adanya istilah

pencegahan

dan

Dalam Undang-undang tersebut

illegal logging yang dimaksud dengan

illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang


Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil
hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung
Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan dengan tidak sah.
Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo93,

illegal logging merupakan

penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundangundangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau
hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari
jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

93

Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus
Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang
diselenggarakan, oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003.

Penegakan hukum pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, setelah


diberlakunya Undang-undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang
berwenang, hal tersebut dikenakan ancaman pidana sebagaimana tercantum
dalam Pasal 50 mentukan perbutan pidana atau tindak pidana dan Pasal 78
mengatur sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat
dibandingkan dengan dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam Ketentuan penjelasan pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi,
badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana
terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama sanksi
pidananya.
Dalam rumusan pasal-pasal dalam Undang-undang sebelumnya baik,
dalam ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masih banyak kelemahan sehingga
tidak mampu atau tidak efektif untuk mengakomodir tindakan kebaharuan
perusakan hutan dan memberikan efek jera bagi pelaku. Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999, juga sulit untuk menjerat para pelaku usaha atau
badan

hukum

berupa

korporasi

dengan

permasalahan

tersebut

diundangkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai solusi untuk melakukan


pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan dengan kebijakan
formulasi hukum pidana yang lebih ketat dan tegas.
Adanya berbagai kasus diberbagai daerah dimana seseorang karena
sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil membawa dan
memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang
dikenakan tindak pidana kehutanan, apabila dikaitkan dengan

tujuan

pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan


penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan
masyarakat (social deffence) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan
masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran cukuplah mereka yang
karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi atau perut diancam dengan
hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu
hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dalam mengantisipasi tindak pidana

kehutanan,

menjadi sangat

penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan


legislatif atau formulatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan
yang dianggap sebagai tindak pidana perusakan hutan, syarat apa saja yang
harus dipenuhi untuk mempersalahkan atau mempertanggungjawabkan bagi
seseorang melakukan perbuatan perusakan hutan dan sanksi atau pidana apa
yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan
legislatif tersebut oleh badan yudikatif.

1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana


Suatu perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada
kerusakan hutan merupakan tindak pidana khusus

yang diatur dengan

ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana tersendiri. Seseorang


yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena
sebelum menentukan terdakwa dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan
dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau
bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak
perbuatan pidananya.
Dalam menentukan adanya suatu tindak pidana harus didasarkan
pada asas legalitas (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) dinyatakan tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak
ada aturan pidananya, sebagaimana disebutkan di atas sedangkan
menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas
kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah asas tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan, disebut asas culpabilitas atau dikenal dengan
istilah bahasa Belanda geen straf zonder schuld dan keine strafe ohne

schuld dalam bahasa Jerman.


Asas legalitas yang berkaitan dengan tindak pidana atau aturan
pidana sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat
pidana atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, termasuk juga
hukum pidana berkaitan dengan prosedur dan sitem pemidanaan. Dalam

kasus tindak pidana kehutanan terdapat kriteria yang dapat menunjukan


hukum pidana khusus itu, yaitu

pertama adalah menyangkut dengan

orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya


yang khusus (bijzonder lijk feiten).
Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah
subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang
hanya untuk golongan militer, kedua hukum pidana yang perbuatannya
yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus
dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik
fiskal. Perbuatan yang merupakan tindak pidana kehutan merupakan
tindak

pidana

khusus

yang

dalam

kategori

hukum

pidana

yang

perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik atau tindak pidana yang


terkait dengan penggunaan kawasan hutan, pengelolaan hasil hutan kayu
dan peredaran hasil hutan serta investasi yang ada terdapat di dalamnya.

a. Ketentuan pidana umum dalam KUHP yang terkait Tindak Pidana


Kehutanan
Pada dasarnya tindak pidana kehutanan atau perbutan yang
dikategorikan sebagai perusakan hutan, secara umum berkaitan langsung
dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang terdapat dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP)94. Perbuatan pidana pada Buku II KUHP
tentang Kejahatan, berkaitan dengan kebijakan formulasi tindak pidana
94

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.

kehutanan dapat dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara


umum sebagai berikut :

1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412 KUHP)


Perbutan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406
sampai
hutan

Pasal 412 KUHP, terhadap perkara tindak pidana perusakan


atau

dalam

tindak

pidana

kehutanan,

berkaitan

dengan

pengerusakan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,


terdapat dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dinyatakn bahwa setiap orang
dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan dan/atau
merusak, memindahkan atau menghilangkan pal batas luar kawasan
hutan, batas fungsi kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang
berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk
dan atau luasan kawasan hutan.
Dari ketentuan tersebut konsep pemikiran tentang pengerusakan
yang terdapat dalam KUHP tersebut di atas, pengerusakan dalam sistem
pengelolaan

hutan

yang

mengandung

fungsi

perlindungan

dan

pengawasan terhadap kawasan hutan untuk tetap menjamin keutuhan


kawasan dan kelestarian fungsi hutan yang berdaya guna bagi
kehidupan.
Umumnya

tindak

pidana kehutanan

hakekatnya merupakan

kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada atau tidak


memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar
dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah

berkaitan

dengan

penggunaan

kawasan

hutan

dan

pemanfaatan

terhadap hasil hutan, contohnya pemanfaatan hasil hutan yang diberikan


izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam (IPKHA) terjadi
over atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki termasuk
penebangan liar, penggunaan kawasan untuk pertambangan yang
menyalahi prosedur atau izin terdapat kerugian negara artinya kerugian
secara materil maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan
ekosistemnya tersebut.

2. Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP)


Kegiatan penebangan liar dalam kawasan hutan atau sering disebut
dengan istilah illegal logging merupakan perbuatan pidana pencurian
dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu adalah
untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk
dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP disebutkan barang siapa mengmabil
barang sesuatu kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum dapat dipidana, perbuatan tersebut dalam
ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal
12 huruf a, b dan c, menebang pohon dalam kawasan hutan tidak
sesuai izin, tanpa memiliki izin atau secara tidak sah.
Dalam ketentuan perundangan yang mangatur tentang hak dan
kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan kayu, yang
bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

berarti kegiatan kegiatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan


melawan hukum atau bertentangan dengan hukum baik yang dilakukan
dengan adanya unsur kesengajaan ataupun dengan unsur kelalaian.
Perbuatan perusakan hutan yang dilakukan berupa penebangan kayu di
dalam areal kawasan hutan atau penebangan dalam kawasan hutan yang
bukan menjadi haknya menurut hukum.95 Perbutan demikian merupakan
mengambil suatu yang bertentangan dengan hukum atau pencurian
karena bukan menjadi haknya yang seharusnya menjadi hak negara.

3. Penyelundupan Pasal 121 KUHP


Perbuatan penyelundupan hingga saat ini, belum ada peraturan
perundang-undangan

yang

secara

khusus

mengatur

tentang

penyelundupan kayu hasil penebangan liar, bahkan dalam KUHP yang


merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana belum mengatur
tentang

penyelundupan.

Kegiatan

selama

ini

berkaitan

dengan

penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan tindak pidana


pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak
mengambil barang milik orang lain.
Berdasarkan pada pemahaman tersebut, kegiatan atau usaha
penyelundupan kayu atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak sah
atau illegal menjadi bagian dari rangkaian perbuatan yang dapat
dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan. Penyelundupan hasil
hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan
95

Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003), hlm.19

sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan Undang-undang


Nomor 18 Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf e,
f, g, h, i, j, k, l, m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini berkaitan
dengan pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau
dengan dokumen atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak
sesuai dengan dokumen terhadap penguasaan hasil hutan. ketentuan
penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dan perkebunan,
diketentuan perbuatan pidana pertambangan dalam kawasan hutan pada
Pasal 17 ayat 1 huruf a, b, c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana
perkebunan dalam kawasan hutan dan Pasal 17 ayat 2 huruf a, b, c, d,
e, Pasal 19 huruf f mengubah status kayu hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan kawasan huttan secara tidak sah.

Pada

umumnya ketentuan pasal tersebut terdapat kesamaan unsu-unsur


pencurian atau penggelapan yang terdapat dalam KUHP.

4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP)


Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan
Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya
atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti
aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal,
suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai
sebagai suatu terangan perbuatan atau peristiwa pidana. Ancaman

pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah
pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.
Dalam praktek tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana
dibidang kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan
oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah dengan melakukan
pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan
tanda tangan, pembuatan stempel palsu, atau keterangan Palsu dalam
SKSHH, artinya tidak terdapat kesesuaian yang terdapat dalam dokumen
SKSHH dengan fisik kayu hasil hutan maupun dalam perijinan terhadap
penggunaan kawasan hutan terlebih lagi terhadap hasil hutan kayu.
Perbuatan

pidana

Pemalsuan

dalam

KUHP

direformulasikan

kedalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur dalam


ketentuan Pasal 24 huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan surat izin
pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan,
menggunakan izin palsu dan/atau memindahtangankan atau menjual izin
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan
persetujuan Menteri.

5. Penggelapan (Pasal 372 -377 KUHP)


Unsur-unsur penggelapan dalam tindak pidana dibidang kehutanan
atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di
luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota
yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang

habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih,


pencantuman data jumlah kayu dalam Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya,
penggelapan sebagimana diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus
dalam

ketetuan

Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013

tetang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

6. Penadahan (Pasal 480 KUHP)


Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) penadahan
yang kata dasarnya

tadah

adalah

sebutan

lain

dari

perbuatan

persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan


dalam bahasa asingnya heling (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih
lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo96 sebagai berikut :
Bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau
menyewa barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari
kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan
barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan.
Ancaman pidana dalam Pasal 480 KUHP itu adalah paling lama 4
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- (sembilan ratus

rupiah), modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu


illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu
hasil

pembalakan liar illegal logging

pelaku baik penjual maupun pembeli.

96

Ibid, hlm. 260.

yang nyata-nyata diketahui oleh

Perbuatan penadahan atau persekongkolan atau pertolongan


jahat dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 tahun
2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat di
persamakan sebagai perbuatan yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, c, d,
f, g, h, i, dalam ketentuan dinyatakan sebagai perbuatan, menyuruh,
mengorganisasi

atau

menggerakkan

penebangan

liar

dan/atau

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, melakukan permupakatan


jahat,

mendanai,

penggunaan

mengubah

kawasan

hutan,

status

pembalakan

bahkan

liar

dan/atau

pesekongkolan

dalam

menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menitipkan


dan/atau menukarkan surat berharga lainnya serta harta kekayaan
lainnya

dan/atau

menyembunyikan

atau

menyamarkan

yang

diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari pembalakan liar


dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

b. Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang


dibidang Kehutanan
Dalam rangka untuk penanggulangan tindak pidana kehutanan atau
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perusakan hutan, terdapat
berapa peraturan perudang-undangan yang mengatur ketentuan pidana
kaitannya dengan perlindungan hutan, penggunaan kawasan hutan,
pemanfatan hasil hutan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan
eksistemnya.

Peraturan perundang-undangan atau Undang-undang yang ada


dibidang kehutanan sampai saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya


Alam Hayati dan Ekosistemnya
Ketentuan dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di
dalamnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan
Undang-undang ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan
dan pelanggaran sedangkan sanksi pidana dapat berupa pidana penjara,
pidana kurungan dan pidana denda.
Perbutan pidana

atau tindak pidana dalam undang-undang ini,

ditentukan dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2

dan sistem

pemidanaan atau ketentuan sanksi pidana diatur dalam Pasal 40 ayat 3


dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan unsur-unsur perbuatan
pidana lainya

diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi

pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE.
Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan
unsur

kesengajaan

atau

disebabkan

karena

adanya

kelalaian,

mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan hutan dan


ekosistemnya. Pertama pada ketentuan di dalam Undang-undang Nomor

5 Tahun 1990 tetang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan


Ekosistemnya, hanya khusus pada kawasan suaka alam, taman nasional,
taman hutan raya dan taman wisata alam.

Kedua

perbuatan yang

dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian


mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut,

memperniagakan,

dan

menyelundupkan

hasil

hutan.

Ketentuan khusus berkaitan dengan hasil hutan berupa tumbuhan dan


satwa liar yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam
kepunahan diatur lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


Penanggulangan

tindak

pidana

kehutanan

atau

perbuatan

perusakan hutan, selama ini telah dilakukan dengan instrumen hukum


pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan telah diubah peraturan pemerintah pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undangundang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, belum berjalan
secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal dalam
penanganan serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan.
Belum oftimalnya penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau
perusakan hutan adalah salah satunya disebabkan oleh peraturan

perundang-undangan yang ada sebelumnya, belum secara tegas sanksi


pidana bagi pelakau tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan
secara terorganisasi atau yang dilakukan oleh badan hukum atau
korporasi.
Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
merupakan payung hukum dalam bentuk undang-undang merupakan
landasan hukum dasar agar kejahatan perusakan hutan terorganisasi
dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera
kepada pelakunya baik, yang dilakukan oleh orang perseorangan, badan
hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah yang tidak menjalankan
tugas sesuai dengan kewenangannya.
Kegiatan penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan
dengan menggunakan instrumen yang ada dalam ketentuan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diatur pada
ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf a sampai dengan huruf

m dan

ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 sebagian


besar dicabut dan dinnyatakan tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menyebutkan
bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g,
huruf h, huruf j, serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai
ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai
ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat

(6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan

ketentuan

tersebut

di

atas,

berdampak

pada

penangan terhadap perkara-perkara tindak pidana kehutanan atau


perbuatan perusakan hutan. Penanganan tindak pidana kehutanan
beralih

dan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam ketentuan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Perusakan Hutan, terkeculi pada ketentuan pasal-pasal
yang tidak dicabut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana

Kehutanan dalam Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Perusakan Hutan
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, bahwa perbuatan
perusakan seperti; pembalakan liar (illegal logging), pertambangan tanpa
izin dalam kawasan hutan, perkebunan tanpa izin, penggunaan ataupun
pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan tanpa izin. Perbuatan
tersebut menimbulkan kerugian negara, baik kerugian materil dan
inmateril berupa kerusakan lingkungan, terjadinya banjir, longsor yang
berdampak pada kehidupan sosial budaya, ekonomi serta meningkatkan

pemanasan global dan permaslahan ini telah menjadi isu pada tingkat
nasional, regional, dan internasional.
Perbuatan perusakan hutan tersebut telah menjelma menjadi
suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa (extra ordinary), masif,
terorganisir, melintasi batas-batas wilayah dan lintas negara. Kejahatan
ini dilakukan dengan berbagai modus operandi, dengan kebaharuan
modus yang canggih sesuai perkembangan teknologi informasi, sarana
dan prasarana. Kejahatan ini tentu mengancam keberlangsungan
kehidupan

mahluk

hidup,

sumber

daya

alam

hayati

beserta

ekosistemnya, kehidupan bermasyarakat dan bangsa. Dalam rangka


pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan
pemberian efek jera bagi pelaku, diperlukan landasan hukum yang kuat
dan mampu menjamin efektivitas pencegahan dan penegakan hukum.
Kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak
pidana kehutanan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan

dan Pemberantasa

Perusakan Hutan di dalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenisjenis tindak pidana kehutanan, ketentuan undang-undang ini juga diatur
subjek hukum pertanggungjawaban hukum pidana, terhadap tindak
pidana kehutanan adalah orang/manusia alamiah (naturlijke person) dan
badan hukum atau korporasi (rechtsperson), serta pejabat pemerintah
yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya.

Dalam penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999


tentang Kehutanan, sering kali terjadi disvaritas pidana dan dirasakan
tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karena itu Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan

Hutan, dianut sistem pemidanaan dengan sanksi pidana

minimum khusus dan maksimum khusus. Dalam undang-undang Nomor


18 Tahun 2013, diatur jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang,
subjek hukum pertanggujawaban pidana dan sistem pemidanaan atau
sanksi. Pengaturan sanksi pidana dibedakan antara yang dilakukan oleh
orang perseorangan dengan orang perseorangan yang bertempat tinggal
di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi atau badan
hukum dan pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh dari sitsem pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel : Formulasi Tindak Pidana Kehutanan
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan
No.

Jenis Tindak Pidana

Kesalahan

1.

Pasal 82 ayat (1) Orang


perseorangan ;
a. melakukan
penebangan
pohon dalam kawasan
hutan tidak sesuai izin.
(Pasal 12 huruf a).
b. melakukan penebang
pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki izin
dari pejabat yang
berwenang. (Pasal 12
huruf b ).

Kesengajaan

Sanksi Pidana
Pidana penjara paling singkat
1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.
500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.
2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta rupiah).

c. melakukan penebang
pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah
(Pasal 12 huruf c ).

2.

ayat (2) Orang perseorangan


bertempat tinggal di dalam
dan/atau sekitar kawasan
hutan

Pidana penjara paling singkat


3 bulan dan paling lama 2
tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp.500.000,(lima ratus ribu rupiah) dan
paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).

ayat (3) Korporasi

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).

Pasal 83 ayat (1) Orang


Perseorangan ;
a. memuat, membongkar,
mengeluarkan,
mengangkut, menguasai,
dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan
hutan tanpa izin. (Pasal 12
huruf d )

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta rupiah).

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 3
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000,sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

b. mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi
secara bersama surat
keterangan sahnya hasil
hutan. (Pasal 12 huruf e)
c. memanfaatkan hasil hutan
kayu yang diduga berasal
dari hasil pembalakan liar.
(Pasal 12 huryf h ).
ayat 2 orang perseorangan

ayat 3 orang perseorangan


bertempat tinggal di dalam
dan/atau sekitar kawasan
hutan, melakukan pada ayat
(1) c) dan ayat (2) c )

Pidana penjara paling singkat


3 bulan dan paling lama 2
tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp.500.000,- dan

paling banyak
Rp.500.000.000,ayat 4 Korporasi;

3.

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Pasal 84 ayat (1) Orang


perseorangan membawa alatalat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di
dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
(Pasal 12 huruf f )
Pasal 84 ayat (2) Orang
perseorangan membawa alatalat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di
dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
(Pasal 12 huruf f )
Pasal 84 ayat
perseorangan
tinggal di dalam
disekitar kawasan,
(1) dan ayat (2)

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.250.000.000,(dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 2
(dua) tahun serta pidana
denda paling sedikit
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

3 Orang
bertempat
dan/atau
pada ayat

Pidana penjara paling singkat


3 bulan serta paling lama 2
tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp.500.000-,
(lima ratus ribu rupiah) dan
paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah)

Pasal 84 ayat 4 Korporasi


membawa
alat-alat
yang
lazim
digunakan
untuk
menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang.
(Pasal 12 huruf f )
4.

Pasal 85 ayat 1 Orang


perseorangan membawa alatalat berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di
dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.

Pidana denda paling sedikit


Rp. 2.000.000.000-, (dua
miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Kesegajaan

Pidana penjara paling singkat


2 tahun dan paling lama 10
tahun dan pidana denda paling
sedikit
Rp.2.000.000.000,- (dua miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
miliar rupiah).

(Pasal 12 huruf g ).
Pasal 85 ayat (2) Korporasi
yang membawa alat-alat
berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di
dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
(Pasal huruf 12 g ).
5.

Pasal 86 ayat 1 Orang


perorangan ;
a. mengedarkan kayu hasil
pembalakan liar melalui
darat, perairan, atau
udara.
(Pasal 12 huruf i ).
b. menyelundupkan kayu
yang berasal dari atau
masuk ke wilayah Negara
Kesatuan Republik
Indonesia melalui sungai,
darat, laut, atau udara.
(Pasal 12 huruf j ).

Pidana denda paling sedikit


Rp. 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).

Kesengajaan

Pasal 86 ayat (2) Korporasi

6.

Pasal 87 ayat (1) Orang


perseorangan ;
a. menerima, membeli,
menjual, menerima tukar,
menerima titipan, dan/atau
memiliki hasil hutan yang
diketahui berasal dari
pembalakan liar. (Pasal 12
k ).
b. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan yang
diambil atau dipungut
secara tidak sah. (Pasal 12
huruf l ).
c. menerima, menjual,
menerima tukar, menerima

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.
2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta rupiah).

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).
Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit
Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta
rupiah).

titipan, menyimpan,
dan/atau memiliki hasil
hutan kayu yang berasal
dari
kawasan hutan yang
diambil atau dipungut
secara tidak sah. (Pasal 12
m)
Pasal 87 ayat (2) Orang
perseorangan

7.

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 3
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.250.000.000,(dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

Pasal 87 ayat 3 Orang


perorangan yang bertempat
tinggal di dalam dan/atau
disekitar kawasan hutan,
melakukan pada ayat (1) dan
ayat (2)

Pidana penjara paling singkat


3 bulan dan paling lama 2
tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp.500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dan
paling
banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Pasal 87 ayat (4) Korporasi

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Pasal 88 ayat (1) Orang


perseorangan ;
a. melakukan pengangkutan
kayu hasil hutan tanpa
memiliki dokumen yang
merupakan surat
keterangan sahnya hasil
hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan.
(Pasal 16)
b. memalsukan surat
keterangan sahnya hasil
hutan kayu dan/atau
menggunakan surat
keterangan sahnya hasil
hutan kayu yang palsu.
(Pasal 14 )
c. melakukan

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta rupiah).

penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu
yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang.
(Pasal 15 )

Pasal 88 ayat (2) Korporasi

7.

Pasal 89 ayat (1) Orang


Perseorangan :
a. melakukan kegiatan
penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
Menteri. (Pasal 17 ayat
(1) huruf b) dan/atau

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Kesengajaan

b. membawa alat-alat berat


dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut
diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan
penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang
di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (1) huruf a).
Ayat (2) Korporasi ;

8.

Pasal 90 ayat (1) Orang


perseorangan mengangkut
dan/atau menerima titipan
hasil tambang yang berasal
dari kegiatan penambangan
di dalam kawasan hutan
tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1)
huruf c).

Pidana penjara paling singkat


3 tahun dan paling lama 15
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak
Rp.10.000.000.000,(sepuluh miliar rupiah).

Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah)
dan paling banyak
Rp.50.000.000.000,- (lima
puluh miliar rupiah).
Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


3 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi

9.

Pasal 91 ayat (1) Orang


perseorangan :

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).
Kesengajaan

a. menjual, menguasai,
memiliki, dan/atau
enyimpan hasil tambang
yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin.
(Pasal 17 ayat (1) huruf d)
dan/atau

Pidana penjara paling singkat


3 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).

b. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
tambang dari kegiatan
penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
(Pasal 17 ayat (1) huruf
e).
ayat (2) Korporasi

10.

Pasal 92 ayat (1) Orang


perseorangan;
a. melakukan kegiatan
perkebunan tanpa izin
Menteri di dalam kawasan
hutan. (Pasal 17 ayat (2)
huruf b ) dan/atau
b. membawa alat-alat berat
dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut
diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan
perkebunan dan/atau
mengangkut hasil kebun di
dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri. (Pasal
17 ayat (2) huruf a).
ayat (2) Korporasi

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).
Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


3 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak
Rp5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah).

Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua

puluh miliar rupiah) dan paling


banyak Rp.50.000.000.000,(lima puluh miliar rupiah).
11.

Pasal 93 ayat (1) Orang


perseorangan ;
a. mengangkut dan/atau
menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan
tanpa izin. (Pasal 17 ayat
(2) huruf c).
b. menjual, menguasai,
memiliki, dan/atau
menyimpan hasil
perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan
tanpa izin. (Pasal 17 ayat
(2) huruf d ) dan/atau

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


3 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah).

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 3
tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.100.000.000,(seratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).

c. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan
yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf e).
ayat (2) Orang perseorangan

ayat (3) Korporasi

12.

Pasal 94 ayat (1) Orang


perseorangan ;

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan
paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


8 tahun dan paling lama 15

12.

a. menyuruh,
mengorganisasi, atau
menggerakkan
membalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf a).
b. melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan
embalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf c ).
c. mendanai pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah secara langsung
atau tidak langsung. (Pasal
19 huruf d ) dan/atau
d. mengubah status kayu
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah, seolah-olah
menjadi kayu yang sah
atau hasil penggunaan
kawasan hutan yang sah
untuk dijual kepada pihak
ketiga, baik di dalam
maupun di luar negeri.
(Pasal 19 huruf f ).

tahun serta pidana denda


paling sedikit
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.100.000.000.000,(seratus miliar rupiah).

ayat (2) Korporasi

Pidana denda paling sedikit


Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000.000,(satu triliun rupiah).

Pasal 95 ayat (1) Orang


perseorangan :
a. memanfaatkan kayu hasil
pembalakan liar dengan
mengubah bentuk, ukuran,
termasuk pemanfaatan
limbahnya. (Pasal 19 huruf
g ).
b. menempatkan,
mentransfer,
membayarkan,
membelanjakan,
menghibahkan,
menyumbangkan,
menitipkan, membawa

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


8 tahun dan paling lama 15
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.100.000.000.000,(seratus miliar rupiah).

keluar negeri dan/atau


menukarkan uang atau
surat berharga lainnya
serta harta kekayaan
lainnya yang diketahuinya
atau patut diduga
merupakan hasil
pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf h)
dan/atau
c. menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul
harta yang diketahui atau
patut diduga berasal dari
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah sehingga seolaholah menjadi harta
kekayaan yang sah. (Pasal
19 huruf i ).
ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

ayat (3) Korporasi

13.

Pasal 96 ayat (1) Orang


perseorangan :
a. memalsukan surat izin
pemanfaatan hasil hutan
kayu dan/atau
penggunaan kawasan
hutan. (Pasal 24huruf a).
b. menggunakan surat izin
palsu pemanfaatan hasil
hutan kayu dan/atau
penggunaan kawasan
hutan. (Pasal 24 huruf b)

Pidana penjara paling singkat


2 tahun dan paling lama 5
serta pidana denda paling
sedikit Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.5.000.000.000,(lima miliar rupiah).
Pidana denda paling sedikit
Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.1.000.000.000.000,(satu triliun rupiah).

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta rupiah).

dan/atau
c. memindahtangankan atau
menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang kecuali
dengan persetujuan
Menteri (Pasal 24 huruf c)
ayat (2) Korporasi

14.

Pasal 97 ayat (1) Orang


perseorangan :
a. merusak sarana dan
prasarana pelindungan
hutan (Pasal 25 ) dan/atau

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,-(lima
belas miliar rupiah).
Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 3
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah).

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 2
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah).

b. merusak, memindahkan,
atau menghilangkan pal
batas luar kawasan hutan,
batas fungsi kawasan
hutan, atau batas kawasan
hutan yang berimpit
dengan batas negara yang
mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan
kawasan hutan. (Pasal 26)
ayat (2) Orang perseorangan

ayat (3) Korporasi

Pidana denda paling sedikit


Rp.4.000.000.000,- (empat
miliar rupiah) dan
paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

15.

Pasal 98 ayat (1) Orang


perseorangan turut
serta melakukan atau
membantu terjadinya
pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf b)
ayat (2) Orang perseorangan

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 3
tahun serta pidana denda
paling
sedikit Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.500.000.000,(satu miliar lima ratus juta
rupiah).

Kelalaian

Pidana penjara paling singkat


8 bulan dan paling lama 2
tahun
serta pidana denda paling
sedikit Rp.200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

ayat (3) Korporasi

16.

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan
paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Pasal 99 ayat (1) Orang


perseorangan menggunakan
dana yang diduga berasal
dari hasil pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak
sah. (Pasal 19 huruf e)

Kesengajaan

ayat (2) Orang perseorangan

Kelalaian

ayat (3) Korporasi

Pidana penjara paling singkat


8 tahun dan paling lama 15
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.10.000.000.000,-(sepuluh
miliar rupiah)
dan paling banyak
Rp.100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
Pidana penjara paling singkat
1 tahun dan paling lama 3
tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling
banyak
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Pidana denda paling sedikit
Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling
banyak
Rp.1.000.000.000.000,(satu triliun rupiah).

17.

Pasal 100 ayat (1) Orang


perseorangan mencegah,
merintangi, dan/atau
menggagalkan secara
langsung maupun tidak
langsung upaya
pemberantasan pembalakan
liar dan penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 20).

Kesengajaan

ayat (2) Korporasi

18.

19.

Pasal 101 ayat (1) Orang


perseorangan memanfaatkan
kayu hasil pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak
sah yang berasal dari hutan
konservasi.
(Pasal 21)

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 10
tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.5.000.000.000,(lima miliar rupiah).

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).
Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 3
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.1.500.000.000,- (satu
miliar lima ratus juta rupiah).

ayat (2) Orang perseorangan


yang bertempat tinggal di
dalam dan/atau disekitar
kawasan hutan

Pidana penjara paling singkat


3 bulan serta paling lama 1
tahun dan/atau pidana denda
paling
sedikit Rp.500.000,- (lima
ratus ribu rupiah) paling
banyak Rp500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).

ayat (3) Korporasi

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp.15.000.000.000,- (lima
belas miliar rupiah).

Pasal 102 ayat (1) Orang


perseorangan menghalanghalangi dan/atau
menggagalkan
penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang
pengadilan tindak pidana

Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

pembalakan liar dan


penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah. (Pasal 22)
ayat (2) Korporasi

20.

Pasal 103 ayat (1) Orang


perseorangan melakukan
intimidasi dan/atau ancaman
terhadap keselamatan
petugas yang melakukan
pencegahan dan
pemberantasan pembalakan
liar dan penggunaan kawasan
hutan secara tidak
sah. (Pasal 23)

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
Kesengajaan

ayat (2) Korporasi

21.

Pasal 104 Setiap Pejabat


yang melakukan pembiaran
terjadinya perbuatan
pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12
sampai dengan Pasal 17 dan
Pasal 19, tetapi tidak
menjalankan tindakan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27.

22.

Pasal 105 Setiap pejabat


yang ;
a. menerbitkan izin
pemanfaatan hasil hutan
kayu dan/atau
penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai
dengan kewenangannya.
(Pasal 28 huruf a).
b. menerbitkan izin
pemanfaatan hasil hutan

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak
Rp.5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah).

Pidana denda paling sedikit


Rp.5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).
Kesengajaan

Pidana penjara paling singkat


6 bulan dan paling lama 15
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.7.500.000.000,(tujuh miliar lima ratus juta
rupiah).

Pidana penjara paling singkat


1 tahun dan paling lama 10
tahun serta pidana denda
paling sedikit
Rp.1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

kayu dan/atau izin


penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. (Pasal 28 huruf
b).
c. melindungi pelaku
pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah
(Pasal 28 huruf c)
d. ikut serta atau membantu
kegiatan pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah. (Pasal 28 huruf
d).
e. melakukan permufakatan
untuk terjadinya
pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 28 huruf e).
f. menerbitkan surat
keterangan sahnya hasil
hutan tanpa hak. (Pasal
28 huruf f) dan/atau
g. dengan sengaja melakukan
pembiaran dalam
melaksanakan tugas
sehingga terjadi tindak
pidana pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah. (Pasal 28 huruf
g)

Sumber : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang


Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun


22013, sebagaimana pada tabel di atas, dalam Undang-undang ini juga diatur
berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang melakukan pembiaran tidak
menjalankan tugas diancam sanksi sebagaimana

Pasal 104, dan setiap

pejabat yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki


kewenangan dengan suatu tugas dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana
dimaksud dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 105. Perbuatan
pidana tersebut dapat dikenakan dengan sanksi pidana dengan ancaman
sanksi pidana penjara minimum khusus dan maksimum khusus dan/atau
denda.
Dalam

Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013,

diatur

pertanggungjawaban pidana adalah subjek hukum adalah korporasi atau


badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan
dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109
ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, selain
itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal 10 KUHP), dan pelanggaran
sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, badan
hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi administratif beruapa; paksaan
pemerintah, uang paksa dan/atau pencabutan izin.
Dalam penelitian hukum ini peneliti menemukan dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat adanya permasalahan norma hukum,
permasalahan

norma

hukum

di

dalamnya

berkaitan

dengan

adanya

kekosongan hukum (blank of norm), adanya kekaburan norma hukum (vage

of norm) dan permasalahan

konflik norma hukum (conflict of norm).

Permasalahan norma hukum dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (5)

Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 dinyatakan bahwa Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah


adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan
untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 5 tersebut di atas, bahwa
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, hanya untuk perkebunan
dan/atau

pertambangan.

/pengerjaan/pendudukan

Sedangkan
kawasan

untuk

hutan

kegiatan

perambahan

sebagaimana

Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, jo. Peraturan


Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kawasan Hutan,
sebagian penggunaan kawasan hutan tidak termasuk dalam unsur-unsur
tindak pidana/delik pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013, disisi lain tindak pidana atau delik pidana mengerjakan
dan/atau menggunakan dan/atau menggunakan kawasan hutan secara
tidak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat 3 huruf a undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan tidak
berlaku dan dicabut sesuai ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013,
atas,

tentu

saja

dalam hal kondisi demikian seperti tersebut di

menimbulkan

kekosongan

norma

hukum

dan

ketidakpastian hukum sehingga akan berdampak terhadap penanganan


pencegahan dan penindakan terhadap permasalahan atau kasus-kasus
penggunaan dan/atau pengerjaan/perambahan dan/atau pendudukan

kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat


pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
2. Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana

kehutanan (strrafbar fait)

berupa merambah kawasan hutan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf b Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, tidak termasuk yang
dicabut sebagaimana ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor
18 tahun 2013, akan tetapi ketentuan sanksi pidana atau ancaman
pidananya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan Pasal 112 huruf b yang menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50
ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat
(3) huruf a dan b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan ayat (10) Undangundang Nomor 41 tentang Kehutanan.
Menurut pendapat peneliti, dari ketentuan rumusan perbuatan
pidana tersebut di atas, terdapat permasalahan inkonsistensi hukum atau
adanya konflik norma hukum, sehingga tidak dapat diterapkan unsur
perbuatan pidana atau tidak terjeratnya para pelaku perambahan,
pendudukan kawasan hutan. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan asas

legalitas hukum pidana dinyatakan bahwa tiada suatu perbuatan yang


dapat dipidana jika tidak ada saksi pidana yang mengaturnya atau dalam
bahasa Belanda dikenal nullum dillectum nulla poena sine parapie lege

ponalli atau tidak ada undang-undang yang mengatur.

3. Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 40 ayat 3 dikemukakan bahwa

Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana


dimaksud pada ayat 1 wajib untuk :
a. Melaporkan dan meminta izin sita,
b. Meminta izin peruntukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam
sejak dilakukan penyitaan.
c. Menyampaikan

tembusan

kepada

kepala

Kejaksaan

Negeri

setempat.

Dari ketentuan tersebut di atas terkait dalam hal Penyidik


melakukan penyitaan kepada siapa untuk barang temuan tersebut disita.?,
dari ketentuan Pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,
terdapat kekaburan norma hukum (vage of norm) dalam hal barang bukti
temuan terhadap tindak pidana kehutanan, sehingga diperlukan penafsiran
hukum dalam hal kekaburan norma hukum sebagaimana permasalahan
tersebut di atas.
4. Dalam ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 41 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, dinyatakan bahwa ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik

sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18


Tahun 2013, wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti.
Dari ketentuan tersebut setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri yang menetapkan barang bukti untuk kepentingan publik atau
sosial, siapa yang berwenang untuk menentukan peruntukan barang bukti
tersebut, hal ini juga diperlukan penafsiran atau petunjuk pelaksana teknis
terhadap permasalahan norma di atas.
5. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,
Ayat (1) dinyatakan bahwa Barang bukti kayu hasil pembalakan liar
dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk
kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.
Ayat (2) dinyatakan Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang
berasal

dari

luar

hutan

konservasi

dimanfaatkan

untuk

kepentingan publik atau kepentingan sosial.


Ayat (3) dinyatakan Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang
berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang karena dapat
cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, apakah barang


bukti sitaan dan/atau temuan yang berasal dari kawasan hutan lindung
dapat dilelang dan apakah barang bukti temuan dari kawasan hutan
konservasi dapat dilelang dan hanya untuk kepentingan umum atau sosial.
Dalam hal ketentuan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,

menurut analisa dan

penelitian dari peneliti, bahwa terdapat kelemahan-kelemahan dalam


norma yang ada di dalamnya, permasalahan norma hukum tersebut, tentu
akan

berdampak

pada

upaya

penanggulangan

pencegahan

dan

pemberantasan perusakan hutan.


6. Dalam hal korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum, apakah
apakah korporasi dapat dikenakan sanksi pidana penjara? dalam ketentuan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, tidak diatur secara khusus
berkaitan dengan korporasi sebagai subjek hukum, sehingga terdapat
adanya kekaburan norma (vage of norm) di dalamnya, dalam hal tersebut
diperlukan adanya penafsiran hukum.
Pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi diatur dalam Pasal
18 ayat (1), bahwa selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf
c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf
b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi
dikenai sanksi administratif berupa :

a. Paksaan pemerintah
b. Uang paksa; dan/atau
c. Pencabutan izin.

Pada umumnya permasalahan norma hukum seperti yang


ditemukan

dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, seperti diuraikan di


atas solusi permasalahan norma seperti; adanaya kekosongan norma
hukum, dapat dilakukan upaya penemuan humum, sedangkan berkaitan
dengan adanya permasalahan konflik norma hukum adalah dengan melihat
kepada asas-asas hukum untuk meyelesaikan permasalahan konflik
tersebut selanjutnya dalam hal terdapat adanya kekaburan dalam norma
hukum, dapat dilakukan adalah dilakukan penafsiran hukum berkaitan
dengan kekaburan norma.

2. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana


Kebijakan (policy) pengaturan pertanggungjawaban pidana memiliki
kriteria, bahwa pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban

pidana yang bersifat pribadi. Dalam hukum pidana Indonesia mengenai


perbuatan pidana terdapat asas hukum pidana yang terdapat dalam
Kitab Undang-undang Hukkum Pidana (KUHP) mengatur ketentuan yang
mengatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan
itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis, Asas

ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut
legalitas yaitu asas mengenai
menjatuhkan

atau

berlakunya

menerapkan

suatu

hukum.
pemidanaan

dengan

Untuk

itu

terhadap

asas
dalam

seorang

pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku.


Pertanggungjawaban pidana

dalam peraturan perundang-undangan

Indonesia salah satu kriteria prinsip individualisasi pidana dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa Kewenangan
menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia

dari ketentuan

dalam Pasal 77 KUHP tersebut terkandung suatu prinsip, bahwa penuntutan


pidana harus ditujukan kepada diri pribadi orang, jika orang yang didakwa
telah meninggal dunia, maka penuntutan atas tindak pidana tersebut terhenti,
artinya penuntutan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya.
Dalam teori hukum pertanggungjawaban pidana dikenal beberapa asasasas pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :
2.1. Asas pertanggungjawaban pidana terbatas (strict liability)
Dalam asas pertanggungjawaban terbatas atau absoluth liability
bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak pidana sudah dapat
dipidana apabila

telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana

dirumuskan dalam suatu Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap


batinnya. Asas pertanggungjawaban pidana ini diartikan secara singkat
sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul).

2.2. Asas pertanggungjawaban atas kesalahan (geen straf zonder schuld)


Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat
dipidana karena sebelum menentukan terdakwa yang dipidana, terlebih
dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa
merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak, dalam hal menentukan adanya tindak
pidana maka didasarkan pada asas legalitas sebagaimana disebutkan di
atas, sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban

pidana

didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah
asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, asas culvabilitas atau geen

straf zonder schuld


Berkaitan dengan asas legalitas berkaitan dengan tindak pidana,
sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat atau
berkaitan

dengan

pertanggungjawaban

pidana.

Pertanggungjawaban

pidana ini dalam istilah bahasa asing disebut sebagai toerekenbaarheid ,


criminal responsibility atau criminal liability, pertanggungjawaban pidana
dimaksudkan

untuk

menentukan

apakah

seseorang tersangka

atau

terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)


yang terjadi atau tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon, dikenal dengan
asas Actus non facit reum, nisi mens sit rea atau disingkat asas mens

rea, terjemahan aslinya ialah evil mind atau evil will atau guilty mind.
Asas mens rea merupakan subjective guilt yang melekat pada si
pembuat. Subjective guilt ini berupa intent

(kesengajaan) atau setidak-

tidaknya negligence (kelalaian). Hanya perlu diketahui bahwa di Inggris ada


yang disebut sebagai strict liability yang berarti bahwa pada beberapa
tindak pidana tertentu atau mengenai unsur tertentu pada sesuatu tindak
pidana, tidak diperlukan adanya mens rea.
Pemisahan antara asas legalitas dan asas culpabilitas tetapi asas
tersebut saling berhubungan. Konsekuensi dipisahkannya tindak pidana
dengan orang yang melakukan tindak pidana adalah untuk penjatuhan
pidana tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan tindak pidana, jadi
meskipun perbuatannya merupakan tindak pidana namun belum tentu
orang tersebut dijatuhi pidana, orang tersebut dapat dipidana apabila
memenuhi syarat lainnya yaitu orang yang melakukan itu harus mempunyai
kesalahan,

dengan

perkataan

lain,

orang

tersebut

harus

dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau perbuatannya baru dapat


dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Unsur-unsur dari kesalahan
artinya yang membentuk kesalahan dalam arti ungkapan dasar tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mampu bertanggungjawab
2. Mempunyai unsur kesengajaan atau kealpaan dalam hubungan dengan
dilakukannya tindak pidana.
3. Tidak adanya alasan-alasan yang memaafkan bagi pembuat atau pelaku
dalam melakukan tindak pidana.

Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti bahwa demikian
pula urut-urutan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan
terlebih dahulu, pengertian dan sekaligus perbedaan antara unsur
kesengajaan dan kealpaan menurut Roeslan Saleh yaitu ;
Unsur kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang diharuskan atau dilarang oleh aturan
perundang-undangan. Baik unsur cognitif maupun unsur volitif
merupakan ciri unsur kesengajaanan. Jadi baik kehendak maupun
pengetahuan, sedangkan Kealpaan adalah tidak hati-hati atau kurang
memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang adalah terlarang. 97
Perumusan pertanggungjawaban pidana ini tidak ada di dalam KUHP
dan selama ini lebih banyak didasarkan pada teori-teori dalam hukum
pidana. Dalam rancangan Konsep KUHP Tahun 2004, pertanggungjawaban
pidana dirumuskan dalam Pasal 34 yang berbunyi pertanggungjawaban
pidana ialah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan
secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat
dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability


Asas

pertanggunjawaban

vicarious

liability

diartikan

sebagai

pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang


dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai

97

Ibid.,

pengecualian dari asas kesalahan. Adapun cara untuk mempidana korporasi


adalah sebagai berikut :
1. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan
asas strict
liability atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya.
2. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi,
dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi,
dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini
menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga
merupakan tindakan kehendak dari korporasi.98
Korporasi

mempunyai

sifat

yang

mandiri

dalam

hal

pertanggungjawaban pidana, sehingga korporasi tidak dapat disamakan


dengan model pertanggungjawaban vicarious liability. Perbedaan pertanggungjawaban korporasi enterprise liability

dengan

vicarious liability

dapat dilihat pada direktur adalah identik dengan korporasi sehingga


dikatakan bahwa tindakan direktur itu juga merupakan tindakan dari
korporasi asal tindakan yang dilakukan oleh direktur adalah masih dalam
ruang

lingkup

pekerjaannya

dan

demi

keuntungan

korporasi

yang

dipimpinnya.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna
pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana
yang telah dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di
dalamnya pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif.

98

Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi,


Makalah seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas HUkum Universitas Diponegoro,
1989), hlm. 9.

Masalah pertanggungjawaban pidana dan khususnya pertanggungjawaban


pidana yang berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut

99

a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan


kehendak.
a. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang
mampu, tidak mampu.
b. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu
bertanggung jawab
Permasalahan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan bukanlah
masalah tentang proses sederhana mempidanakan seseorang dengan
menjebloskannya ke penjara, pemidanaan harus mengandung unsur
kehilangan atau kesengsaraan yang dilakukan oleh institusi yang berwenang
karenanya pemidanaan bukan merupakan balas dendam dari korban
terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punishment Syistem)


Kebijakan formulasi sistem pemidanaan (punisment syistem) yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berkaitan dengan sistem pemidanaan
terlebih dahulu dikemukakan sistem pemidanaan secara umum terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan
dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau
sanksi pidana. Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut
fungsional dan dari sudut norma-substantif, sistem pemidanaan dari sudut
99

Marjono Reksodiputro, Op.cit, hlm. 12

fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana


atau keseluruhan sistem mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan
atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi
pidana. Dilihat dari sudut norma-substantif merupakan sistem pemidanaan
sebagai keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk
pemidanaan, atau keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana
materiel untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
Pengertian demikian, keseluruhan peraturan perundang-undangan rules
hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan yang terdiri dari
aturan umum dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat dalam Buku II
dan Buku III KUHP maupun dalam Undang-undang khusus yang diatur di
luar KUHP100.
Sumber hukum yang disusun melalui sistem kodifikasi dalam KUHP
tidak hanya kumpulan peraturan hukum pidana atau norma-norma hukum
pidana, akan tetapi memuat juga asas-asas hukum pidana, dengan demikian
KUHP sebagai sumber hukum yang berlaku secara umum untuk semua
perbuatan yang diatur dalam perundang-undangan lain, sepanjang tidak
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan lain tertentu.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda
yaitu Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang mulai
100

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 261-263

berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal 2
Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai
dengan ketentuan terakhir invoeringswet April 1886, Stb. 64101.

van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

berlaku

Wetbook

berdasarkan asas

konkordansi kolonial Belanda yaitu Indonesia dan/atau penambahan sesuai


dengan keadaan dan kebutuhan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana
Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan

Hukum

Pidana,

setelah

diadakan

perubahan

dan/atau

penambahan yang disesuaikan dengan kedudukan dan keadaan Indonesia


yang sudah merdeka sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1946 sebagai berikut :
a. Pasal V menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya
atau

sebagian

yang

sekarang

idak

dapat

dijalankan

atau

bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka


atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
b. Pasal VI menentukan bahwa Nama Undang-Undang Hukum Pidana

Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, Strafrecht yang


kemudian disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dikenal
KUHP.

101

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
Hasnan, cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887), hlm. 1

c. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa


pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai salah satu


sumber hukum pidana di Indonesia, memiliki sifat yang statis jika
dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Artinya ketentuan-ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam KUHP
seringkali tidak dapat diterapkan pada peristiwa atau perbuatan tertentu
dalam perkembangan masyarakat.
Sistem pemidanaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana van

Strafrecht

sangat sederhana dan berhati-hati, karena pada waktu itu

belum ada kepastian tentang dasar hukum pidana. Pada waktu itu Menteri
Kehakiman Modderman mengatakan bahwa asas darimana pembuat
Undang-undang bertolak adalah bahwa hanya boleh dipidana terutama
sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak dan ditambah
dengan syarat bahwa pelanggaran hukum terjadi, apabila menurut
pengalaman mengingat keadaan tertentu dalam masyarakat, perbuatan itu
tidak dapat ditahan sepantasnya dengan sarana lain. Ancaman dengan
pidana harus tetap sebagai suatu ultimatum remidium .
Dalam memilih pidana pembuat Undang-undanag membatasi diri,
dan

memilih

sistem

pemidanaan

yang

sangat

sederhana

dengan

menganggap hal ini sebagai keuntungan besar. Dalam memori penjelasan


dikatakan lebih sedikit pidana, lebih mudah untuk membuat perbandingan

dari

pidana

dan

tanpa

perbandingan

seperti

itu

tidak

mungkin

menjatuhkan pidana yang sesuai dengan beratnya kejahatan yang


dilakukan. Dalam hal sebab-sebab dalam individu dan masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya berbagai macam kejahatan.
Keuntungan dari sistem pemidanaan yang sederhana seperti yang
dianut dalam KUHP adalah Pertama, sebagai keluwesan bagi pembuat
Undang-undang untuk mengancamkan jenis pidana yang telah ditentukan
pada suatu tindak pidana tertentu baik secara tunggal ataupun secara
alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang dirumuskan
dalam pasal yang bersangkutan. Kedua, dalam pidana diancamkan secara
alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan menjatuhkan pidana
yang lebih sepadan dan tepat, disamping kewenangannya bergerak antara
maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan102.
Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti yakni penetapan sanksi
pidana dalam Undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau
pemberatan yang beruhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa pelaku,
kejahatan terdahulu, maupun keadaan khusus dari perbuatan kejahatan
yang dilakukan, dengan demikian, tidak dipakai sistem individualisasi
pidana. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan dalam pasal

102

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEMPETEHAEM, Jakarta 1986, hlm. 458.

50

bahwa

pengembalian

kerugian

akibat

perusakan

hutan

tidak

menghapus pidana pelaku perusakan hutan.

a. Jenis-jenis pidana
Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana
atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi
pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan
pidana. Jenis-jenis pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP
dinyatakan tentang jenis pidana sebagai berikut terdiri atas103 :
a. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara
tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang
dirumuskan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan
sanksi pidana secara khusus juga ditentukan dalam Ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana tersebut diatur dalam

103

Pasal 10 KUHP.

BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan
dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaian, melingkupi tindakantindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa
manusia alamiah (naturlijke person) ataupun sebagai badan hukum atau
korporasi (rechtsperson), tindak pidana perusakan hutan, diantaranya
berupa :
1. Perorangan
2. Korporasi atau Pejabat Pemerintah
Kesemua ketentutuan pidana ini tidak terlepas dari aturan hukum
pidana pada umum (KUHP), bahwa ketentuan pidana lebih khusus
diberlakukan sebagai cara untuk menanggulagi tindak pidana dalam
kehutanan, melingkupi kebijakan hukum administrasi, hukum perdata
atau keperdataan berkaitan dengan korporasi.
Kebijakan

menanggulangi

kejahatan

merupakan

organisasi

rasional dari reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan merupakan bagian


dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakkan hukum. Hal ini
memudahkan bahwa hukum perdata dan administrasi menduduki tempat
yang sama sebagai instrumen pencegahan kejahatan yang tidak bersifat
pidana (non crimininal legal crime prevention). Dalam hubungan ini
pembagian dalam ragam ilmu pengetahuan mengikuti sifat kriminologi.
Kebijakan

kriminal

berwujud

baik

pengetahuan

maupun

sebagai

penerapan

(aplikatif).

Kebijakan

penegakan

hukum

dan

legislatif

merupakan bagian dari kebijakan sosial.104

b. Syarat Pemidanaan
Syarat pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang
digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan.
Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu
bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara
pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of

inosance), kesalahan diartikan sebagai telah melakukan tindak pidana.


Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak pidana, karena dari
segi masyarakat sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut.
Menurut pendapat peneliti, kebijakan hukum pidana merupakan
syarat pemidanaan sebagai bentuk kebijakan reformulasi tindak pidana
dimasa yang akan datang, sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Sebaiknya dirumuskan secara tegas dalam pasal-pasal mengenai
tindak pidana kehutanan kehutanan, seyogyanya rumusan mengenai
tindak pidana kehutanan tersebut adalah serangkaian perbuatan atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang atau korporasi yang berpotensi
menimbulkan kerusakan hutan tanpa adanya ijin dari pejabat yang
berwenang.
104

Rodliyah, Op. Cit, hal. 42

2. Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana

adalah

setiap

perbuatan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan


hutan baik langsung maupun tidak langsung.

c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan


Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan tindak pidana kehutanan
dibedakan terhadap orang perorangan, orang perorangan yang berada
disekitar kawasan hutan, badan hukum atau korporasi dan pejabat
pemerintah dalam hal tidak melaksanakan tugas sesuai kewenangannya.
Dengan dijadikannya korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum
tindak pidana kehutanan, tentu sistem pemidanaannya juga seharusnya
berorientasi pada korporasi, ini berarti harus ada ketentuan khusus
terkait dengan permasalahan :
a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana.
b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap orangperorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan
tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan
pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang
berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar
kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah dengan ancaman

sanksi pidana atau sistem pemidanaan dengan ancaman sanksi pidana


minimun khusus sampai dengan ancaman maksimum atau sistem relatif
sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

3. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan


KUHAP Nasional

a. Formulasi hukum pidana dalam racangan Kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP) Nasional
Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional
untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan
pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan
salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional.
Penyusunan

Hukum

Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi

dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran,


ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan kepentingan
nasional, masyarakat, dan individu dalam negara Republik Indonesia
berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 :


732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van

Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan


Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik
Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-

Indie disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan


dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk
daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden.
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RU
KUHP) Nasional dilakukan adalah :
1. Pembaharuan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana
(delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk
keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ini hanya terdiri dari 2 (dua) buku
yaitu Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua

yang

memuat aturan tentang tindak pidana. Adapun Buku Ketiga Kitab


Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang delik
pelanggaran dihapus dan materinya ditampung

ke dalam Buku

Kedua dengan kualifikasi tindak pidana.


Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diakui pula
adanya tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di

beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan


hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di
daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran
atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat
menetapkan sanksi berupa Kewajiban Adat yang harus dipenuhi
oleh pembuat tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa nilai dan norma
yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi.
Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin
pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2.

Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan


perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya
pada manusia alamiah (naturlijke

person) tetapi mencakup pula

manusia hukum atau badan hukum (rechtsperson)


disebut korporasi,

yang lazim

karena tindak pidana tertentu dapat pula

dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi


adalah subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha
harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di
samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul
bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja.
3. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(RU KUHP)

ini diatur mengenai jenis pidana yang berupa : 1) pidana pokok, 2)

pidana mati,

dan 3) pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok

terdiri atas105 ;
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.
Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu
dikembangkan

sebagai

alternatif

dari

pidana

perampasan

kemerdekaan, sebab dengan pelaksanaan kedua jenis pidana ini


terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.
Demikian pula masyarakat dapat berperan serta secara aktif
membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara
wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat
ringannya pidana. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana yang akan
dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku
Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan
tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana
mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan
pidana kerja sosial merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai
alternatif pidana penjara.
105

Rancangan KUHP Nasional terakhir 2004

Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana


mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa
jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jenis pidana mati
adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara
alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula
secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga
dalam

tenggang

waktu

masa

percobaan

tersebut

terpidana

diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu


dilaksanakan.
4.

Di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-undang


Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan. Dalam hal ini
hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan
tindak

pidana,

tetapi

tidak

atau

kurang

mampu

mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena


menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau degradasi mental.

5.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, dianut sistem


pemidanaan baru yang berupa ancaman pidana minimum khusus.
Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan :

a. Untuk menghindari

adanya disparitas pidana yang sangat

mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda


kualitasnya;
b. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya
bagi

tindak

pidana

yang

dipandang

membahayakan

dan

meresahkan masyarakat;
c. Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat,
sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk

minimum

pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat.


Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu
pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang
dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan
masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau
diperberat oleh akibatnya.
6. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini ancaman pidana
denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini
dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu
disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan
menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan
dalam Buku Kesatu.

Dasar pemikiran menggunakan sistem kategori ini adalah


bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering
berubah nilainya karena perkembangan situasi. Dengan demikian,
apabila terjadi perubahan nilai uang, dengan sistem kategori akan
lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang
diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam
perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang
mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.
7. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diatur pula
mengenai jenis pidana dan cara pemidanaan secara khusus
terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari segi fisik maupun
psikis anak berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, pengaturan
mengenai jenis pidana dan pemidanaan secara khusus terhadap
anak dikaitkan karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Anak.
Dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini
terdapat beberapa jenis tindak pidana baru yang disesuaikan
dengan perkembangan serta kebutuhan hukum masyarakat, antara
lain mengenai tindak pidana penghinaan terhadap penyelenggaraan
peradilan (contempt of court), pencucian uang (money laundering),
dan

mengenai

terorisme.

Mengenai

penyelenggaraan

peradilan

(Contempt

penghinaan

of

Court)

terhadap
tidak

dikelompokkan dalam satu bab tersendiri, melainkan pengaturannya

tersebar dalam bab yang berbeda, meskipun terdapat bab khusus


yang merumuskan tindak pidana tersebut.
Seirama dengan lajunya pembangunan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak
pidana baru masih akan muncul, terhadap jenis tindak pidana baru
yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana ini, pengaturannya dilakukan dalam undang-undang
tersendiri.

b. Formulasi Hukum Acara Pidana dalam Rancangan Kitab Undang-undang


Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional
Perubahan harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih
maju, terutama demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat
seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai dengan
tuntutannya. Untuk itu, perubahan KUHAP yang diinginkan harus
mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang
terkandung sebelumnya, misalnya asas106 :
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan
cara yang diatur dengan undang-undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah

106

Rancangan KUHAP Nasional, terakhir 2004.

sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya


dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau didadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian
dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak
hukum yang dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau
dikenakan hukuman disiplin;
5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, biaya ringan,
bebas, jujur, dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen
pada seluruh tingkat peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atau dirinya;
7. Terhadap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau
penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya dan wajib diberitahu haknya tersebut
termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan advokat;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
9. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
10. Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan
secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang
(adversarial); dan
11. Bagi setiap korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang
diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua
tingkat peradilan.
Dalam KUHAP ini dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya
kepastian hukum dalam hukum acara pidana sehingga ketentuan hukum
tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam
lingkup hukum acara pidana. Ditentukan pula bahwa ruang lingkup
hukum acara pidana untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam
lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, kaitannya
dengan pemisahan lingkungan peradilan militer. Lingkup berlakunya

hukum acara pidana ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan umum.
Ketentuan

mengenai

penyelidikan,

disesuaikan

dengan

perkembangan hukum, terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara


atas pelanggaran hak asasi manusia. Kewenangan penyelidikan tidak
hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan juga pegawai negeri
atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. Selain perluasan kewenangan penyelidikan, penyidikan juga
diperluas tidak hanya pejabat kepolisian, melainkan antara lain Pejabat
penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik lembaga atau badan, yang
ditetapkan dalam rancangan KUHAP yang diberikan kewenangan
menyidik dan menyerahkan berkas penyidikannya langsung kepada jaksa
penuntut umum. Dengan demikian, di luar pejabat di atas, undangundang lain tidak dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan
pejabat penyidik tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk kepastian hukum
dan menghindari tumpang tindih kewenangan penyidikan dikemudian
hari oleh suatu undang-undang yang mengaturnya. Keberadaan pegawai
negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal dengan PPNS, tetap
diberikan

kewenangan

sesuai

dengan

undang-undang

yang

mengaturnya, tetapi dibatasi dengan memperhatikan kekhususan tugas


dan fungsi yang secara teknis memerlukan keahlian tertentu atau
spesifik.

Untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini


penyidik pembantu ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di
jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan
penegak hukum lainnya. Dalam KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ditiadakan, misalnya,
kewenangan prapenuntutan penuntut umum; kewenangan penangkapan
dalam tahap penyelidikan; penahanan rumah dan penahanan kota
(konsep penahanan hanya pada rumah tahanan negara); masa
perpanjangan penahanan karena alasan tertentu. Rumah penyimpanan
benda sitaan negara (Rupbasan) dalam KUHAP ini juga ditiadakan, yakni
dengan

memberikan

kewenangan

masing-masing

instansi

yang

melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Keberadaan


Rupbasan

tersebut

pada

awalnya

dikehendaki

untuk

secepatnya

melaksanakan KUHAP, namun dalam perjalanannya banyak mengalami


kendala, di samping juga belum tersedianya sarana dan prasarana.
Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari, dengan ketentuan
bahwa waktu penangkapan diperhitungkan setelah yang bersangkutan
berada dalam tempat pemeriksaan, bukan pada saat ditangkap. Waktu
penahanan pada semua tingkat peradilan diubah menjadi 30 (tiga puluh)
hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sehingga
keseluruhan jumlah penahanan dari tingkat penahanan oleh penyidik
sampai tingkat pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah 300

(tiga ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh

melebihi ancaman pidana maksimum. Penangguhan penahanan hanya


dijamin dengan uang dan syarat serta besarnya jaminan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai rujukan atau acuan terhadap
peraturan perundang-undangan lainnya, KUHAP ini secara umum
mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pelapor, pengadu, saksi,
dan korban sebagai wujud tegaknya hukum dan keadilan masyarakat.
Bantuan hukum dilakukan oleh advokat, disesuaikan dengan
Undang-Undang tentang Advokat. Penasihat hukum sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam berhubungan dengan tersangka atau
terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum, dan petugas rutan.
Ditentukan pula mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk menolak
bantuan hukum.
Ditentukan pula mengenai terdakwa yang berhak untuk banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan
bebas (bukan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan
dalam acara cepat). Untuk menggantikan lembaga praperadilan yang
selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, ditentukan lembaga
baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga hakim komisaris. Lembaga ini
pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan
penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim
komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga
praperadilan).

Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan


antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi
ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini. Hal ini berkaitan dengan
keinginan adanya penundukan militer ke dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana Militer menentukan
lain. Demikian secara ringkas ketentuan-ketentuan dan pembaharuan
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional
dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Nasional dimasa mendatang.

c. Lembaga

atau Instansi lain yang berwenang menangani Tindak Pidana

dibidang Kehutanan
Dalam penanganan tindak pidana dibidang kehutanan, terdapat
berapa instansi/lembaga

yang memiliki tugas dan kewenangan dalam

penegakan hukum dibidang kehutanan. Beberapa institusi/lembaga yang


ada dan diakui oleh Undang-undang diantaranya adalah Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Polisi Kehutanan/PPNS,

Kejaksaan, Pengadilan dan

Satuan Pengamanan Kehutanan (SPK)107 pada badan usaha milik negara


(BUMN) atau swasta yang mengelola kehutanan dan termasuk juga
Tentara Nasional Indonesia (TNI), khusus dalam melakukan pencegahan
dan penangkapan terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan atau dari

107

Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang
Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project, (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade)
Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010. hlm. 33

perbuatan perusakan hutan. Lembaga atau instansi yang diberikan


kewewenangan diantaranya :

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)


Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan

hukum,

memberikan

perlindungan,

pengayoman

dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan


dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ;
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum dan,
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.

Dalam melaksanakan tugas salah satunya menegakkan hukum


Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan

oleh undang-undang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana


umum

atau

kejahatan,

khusus/tertentu.

termasuk

Penegakan

hukum

penanganan
dilakukan

tindak

pidana

meliputi

upaya

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum sebagaimana dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana


tertentu atau khusus yang diatur dalam Undang-undang Khusus.

b.

Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan


PPNS Kehutanan
Sejarah panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan
kemerdekaan pengelolaan dan perlindungan hutan menjadi sangat
strategis dan penting, kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya
alam dan ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya
hal

ini

melahirkan

fungsi-fungsi

dalam

usaha

pengelolaan,

perlindungan hutan dan konservasi alam. Kebutuhan akan sumber daya


alam bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat mutlak
dibutuhkan, upaya untuk melestarikan sumber daya alam, mencegah
dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya
alam, hama, serta penyakit.

Usaha untuk mempertahankan dan

menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan,


kawasan

hutan,

hasil

hutan,

investasi

serta

perangkat

yang

berhubungan dengan pengelolaan hutan menjadi tugas khusus108.


Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan khusus
Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)109 sebagai
108

Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;


Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Pasal 1 angka 2 PERATURAN DIRJEN
PHKA Nomor : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK PELAKSANAAN OPERASIONAL SPORC dan
Permenhut RI Nomor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI KEHUTANAN bahwa; Satuan Khusus
109

bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum


kehutanan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai
Pasal 51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tetang

Kehutanan.

Pelaksanaan

ketentuan

Undang-undang

ini

kemudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah


Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undangundang

Nomor

18

Tahun

2013

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15 bahwa Polisi


Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan
pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya
menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan
yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian
khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando.
Dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), pada ketentuan Pasal 6 ayat 1 Penyidik adalah dimaksud
huruf :
a. Pejabat Penyidik Polri dan,
b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Polisi Kehutanan Reaksi Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan dalam polisi
kehutanan yang ditingkatkan kualifikasinya untuk menanggulangi gangguan keamanan hutan secara
cepat, tepat dan akurat.

Sementara dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun


2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pasal
1 ayat 17

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya

disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam


lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang
diberi wewenang khusus dalam penyidikan dibidang kehutanan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Penegakan

hukum

seyogyanya

dapat

dilakukan

maksimal

dengan adanya komitmen yang sama, adanya sinergitas dan koordinasi


antar lembaga penegak hukum. Upaya penanggulangan tindak pidana
kehutanan dengan penegakan hukum melalui kegiatan persuasif dan
represif.

Kegiatan

represif

melalui

penegakan

hukum

dengan

penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan persidangan merupakan


sistem peradilan pidana yang terpadu (Integreted Criminal Justice

Syistem) dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

c. Kejaksaan Republik Indonesia


Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan
kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan
juga dalam bidang ketertiban umum. Dalam Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1
kewenangan dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan ;

a. Melakukan penuntutan,
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas
bersyarat.
d. Melakukan

penyidikan

terhadap

tindak

pidana

tertentu

berdasarkan Undang-undang.
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan dengan
penyidik.

Dalam hal ini kejaksaan dapat melakukan tugas pokok melakukan


penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi.

d. Tentara Nasional Indonesia (TNI)


Meskipun tugas utama TNI adalah sebagai institusi yang berfungsi
sebagai lembaga pertahanan yang menjaga kedaulatan negara dari segala
macam bentuk ancaman yang datangnya baik dari dalam maupun dari
luar negeri, namun khusus dalam hal kejahatan atau tindak pidana

dibidang

kehutanan

keterlibatan

TNI

sebagai

bagian

dari

upaya

pencegahan dan pemberantasan tentu dapat dilakukan.


Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya TNI dalam dalam
penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah sebagai
berikut ;
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPRRI) RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/MPR/2000, tentang
pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic Mission.
b. Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun 2005
tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI untuk
melakukan

pencegahan

dan

penebangan liar illegal logging

penangkapan

terhadap

terjadinya

diseluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.
c. Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan
Nomor : 51/II/PIK-I/2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan
tropis Indonesia.

Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya


pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan
dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk
dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat

penyidik pegawai negeri sipil,

peyidik kejaksaan terkait dengan tindak

pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI Angkatan


Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan oleh Undangundang yang menjadi dasar kewenangannya.

BAB III
KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PERUSAKAN HUTAN (LP3H) DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KEHUTANAN

1. Kedudukan Lembaga

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan (P3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan

Dalam melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau tindak


pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum

(law enforcement) yang dilakukan tentu harus memperhatikan asas-asas hukum


yaitu,

dengan

memperhatikan

keadilan

(gerechtigkeit),

kemanfaatan

(zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit), karena hukum


bersifat umum dan mengikat semua orang selalu identik dengan keadilan. Dalam
penggulangan pencegahan dan penegakan hukum, masyarakat mengharapkan
kemanfaatan, dan adanya kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan semaunya, dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
lebih tertib dan tercapainya keadilan.
Amanat yang ada dalam Undang-undang untuk melakukan pencegahan
dan pemberantasan terhadap perusakan hutan atau tindak pidana dibidang
kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga
oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk pembentukan lembaga/badan
baru yang disebut Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa;

dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,


Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan


(LP3H)
Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan

(LP3H),

sebagai

penegasan

dari

reformulasi

sepertinya

tidak

memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana


perusakan

hutan

pembentukan

dari

peraturan

kelembagaan

sebelumnya,

Lembaga

sehingga

Pencegahan

dan

diamanatkan

Pemberantasan

Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan


dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam
ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56
Undang-undang

Nomor

18

pemberantasan

Perusakan

Tahun
Hutan,

2013
lembaga

tentang

Pencegahan

dimaksud

dibentuk

dan
dan

berkedudukan sebagai berikut110 :


a. Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan.

110

Pasal 54 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.

b. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di


bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam rangka penanggulangan tindak pidana perusakan hutan,


pembentukan lembaga pemberantasan perusakan hutan memiliki peranan
yang strategis dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan karena
lembaga ini berkedudukan di bawah presiden, memiliki struktur, tugas dan
fungsi serta kewenangan. Selain itu lembaga P3H, ini memiliki fungsi koodinasi
dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana perusakan hutan.

b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum


Dalam upaya penanggulanngan perusakan hutan,
koordinasi antar lembaga penegak hukum

kerjasama dan

sangat diperlukan. Lembaga

penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a


antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik
Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan.
Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan
terintegrasi111.
perusakan

hutan

Upaya
yang

untuk

dapat

terorganisir

mengoptimalkan

yang

memiliki

pemberantasan

karakter

berbagai

kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik.


Peran strategis lembaga pencegahan pemberantasan perusakan hutan
sebagai institusi atau lembaga dalam penanggulangan perusakan hutan
111

Terintegrasi

adalah sistem informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses


secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung
satu sama lain, penjelsan Pasal 57 ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang P3H.

dengan tugas dan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-undang


dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan termasuk
melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penaganan perkara tindak
pidana perusakan hutan. sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 56
Undang-undang

Nomor

18

Pemeberantasan

Perusakan

Tahun
Hutan

2013,
(P3H)

lembaga
memiliki

Pencegahan
tugas,

fungsi

dan
dan

kewenangan adalah sebagai berikut ;


a. Melakukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum
dalam pemberantasan perusakan hutan.
b. Mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara
berkala

kepada

masyarakat

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan; dan
c. Memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil
operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan
hutan konservasi untuk kepentingan sosial.

Pelaksanaan tugas dan pertanggujawaban terhadap tugas serta


kewenangan lembaga pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan,
ditentukan sesuai ketentuan dalam Pasal 57 dalam Undang-undang Nomor
18 Tahun 2013 dinyatakan bahwa lembaga/badan P3H dalam melaksanakan
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga dimaksud
melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

Selanjutnya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan


di dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan, terdapat pengawasan
melekat yang dilakukan oleh deputi bidang pengawasan internal dan
pengaduan masyarakat, selain itu bertanggungjawab kepada presiden dan
melaporkan hasil kerja kepada dewan perwakilan rakyat, hal ini akan
menjamin pengawasan, efektifitas,

transparansi dan akuntabilitas kerja

pemberantasan perusakan hutan.

2. Struktur Kelembagaan dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan


Perusakan Hutan (LP3H)

a. Struktur Kelembagaan Lembaga/Badan P3H


Struktur pelaksanaan tugas kelembagaan dalam kegiatan pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan. Dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga/Badan dan dibantu oleh seorang
Sekretaris Jenderal dan beberapa orang Deputi.

Dalam ketentuan yang

terdapat pada Pasal 55 ayat 2 jabatan Sekretaris Jenderal sebagaimana


dimaksud pada ayat 1 berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas
menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan
tanggungjawab lembaga dimaksud.
Selanjutnya pada ketentuan Pasal 55 ayat 3 Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013,

lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan dengan

bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, membidangi antara lain sebagai berikut112 :
a. Bidang Pencegahan
b. Bidang Penindakan
c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, struktur
atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan atau
penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau
penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan. Kelembagaan Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), dengan organ
dalam organisasi tersebut dapat melakukan kegiatan pencegahan, penindakan
atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan, melakukan
kerjasama antar lembaga penegak hukum dan melakukan pengawasan internal
untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat.
Keberadaan lembaga P3H dan kewenangan yang diamanahkan Undangundang kepada lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
menjadi

harapan

penanggulangan

untuk

perusakan

dapat

melakukan

hutan

upaya

secara sistematis

pencegahan
dan

dan

konprehensif.

Kegiatan penanggulangan perbuatan perusakan hutan tentu dapat dilakukan


dengan maksimal jika didukung

112

perangkat sumber daya manusia, budaya

pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H

hukum masyarakat (culture) dan tentu dengan norma atau aturan hukum yang
responsif dan progresif.

b. Unsur-unsur dalam kelembagaan P3H


Dalam penanganan penanggulangan dan pencegahan tindak pidana
perusakan hutan, kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, sebagaimana dalam Pasal 53 ayat 3

Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan


Hutan, Lembaga P3H sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsurunsur antara lain :
a. Unsur
b. Unsur
c. Unsur
d. Unsur

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia


Kepolisian Republik Indonesia
Kejaksaan Republik Indonesia; dan
lain yang terkait. 113

Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-undang ini. keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam
lembaga/badan pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, menjadi
kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat optimal dalam melakukan

tugas

dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.


Selanjutnya struktur dalam lembaga pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, dengan komposisi yang konprehensif dalam pelaksanaan
penanganan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, hal ini

113

Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H

tentu akan mempermudah kerja-kerja dan efektifitas dalam mempermudah


koordinasi dan supervisi dalam penanganan tindak pidana kehutanan.

3. Kewenangan,

Tugas

dan

Fungsi

Lembaga

Pencegahan

dan

Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)


Berdasarkan pada teori kewenangan authority, bahwa dasar kewenangan
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sebagimana disebut sebagai
kewenangan atribusi. Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang
didasarkan atau diberikan oleh Undang Undang Dasar atau Undang-Undang
kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan
mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum, sedangkan
kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat
bersumber dari konstitusi, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari Undangundang.
Undang-undang yang memberikan amanat kewenangan pada
Pencegahan dan Pemberantasan Pesusakan

Lembaga

(LP3H) merupakan kewenangan

bersumber langsung dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang


Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, untuk melaksanakan tugas
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dari berbagai pola
pidana

perusakan hutan dengan kondisi kerusakan hutan yang terjadi

lemahnya penegakan hukum114


hutan.

114

Sukardi, Op.cit, hlm. 131.

tindak
dan

terhadap tindakan atau perbuatan perusakan

Dasar

yang

menjadi

kewenangan

Lembaga

Pencegahan

dan

Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) adalah memiliki tugas, fungsi dan


kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa Dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas (taks force) sebagai
unsur pelaksana, selanjutnya dalam pasal 56 ayat 1, bahwa lembaga yang
menangani Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat 1 bertugas sebagai berikut :
a. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan;
b. Melaksanakan

administrasi

penyelidikan dan

penyidikan

terhadap

perkara perusakan hutan;


c. Melaksanakan kampanye anti perusakan hutan;
d. Membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi;
e. Memberdayakan

masyarakat

dalam

upaya

pencegahan

dan

pemberantasan perusakan hutan

Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantsan


Perusakan

Hutan

diberikan

kewenangan

berdasarkan

ketentuan

yang

diberikan langsung oleh Undang-undang. Amanat yang diberikan untuk


melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,
terhadap tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
ditentukan pada ketentuan Pasal 55 ayat 4 Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat


membentuk satuan tugas sebagai unsur pelaksana.
Dalam pelaksanaan tugas, unsur pelaksana dalam ketentuan di
Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, pelaksana satuan tugas115 yang dilakukan


satuan tugas (taks force) dalam melaksanakan pemberantasan perusakan
hutan yang bersifat strategis memiliki kewenangan dari penyelidikan sampai
dengan penuntutan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
termasuk wilayah kepabeanan atas perintah kepala lembaga dan/atau deputi.

1. Ruang lingkup Tugas dan Fungsi

1.1. Pencegahan
Dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik
oleh pemerintah melalui organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi
dalam usaha pencegahan dan pencegahan perusakan hutan yang
dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana

(non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban
membuat kebijakan berupa116 :
a. Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan;
b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;
115
116

Pasal 55 ayat 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.


Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2013

c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian


hutan;
d. Peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis
sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.
Sesuai pada ketentuan terkait pencegahan perusakan hutan pada
Pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dinyatakan Pencegahan
perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan
korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan. Bahwa partisipasi
seluruh komponen masyarakat memiliki hak dalam melakukan usaha
pencegahan terhadap kerusakan hutan.
Kegiatan dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang
dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya

menetapkan

sumber

kayu

alternatif

ataupun

kebutuhan lainnya adalah dengan mendorong pengembangan hutan


tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan termasuk melakukan
kampanye

anti

perusakan

hutan.

Selain

membuat

kebijakan

sebagaimana dimaksud diatas, upaya pencegahan perusakan hutan


dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan
peran serta masyarakat melalui kegiatan partisipasi dalam pengelolaan
dan pelestarian hutan.
Kegiatan atau upaya pencegahan perusakan hutan

yang

dilakukan seperti tersebut di atas, adalah temasuk juga upaya


pencegahan dengan sararan non penal atau hukum pidana diantaranya

juga melalui instrument lain termasuk hukum perdata maupun hukum


administrasi negara dalam hal penggunaan kawasan hutan dan
pemanaatan hasil hutan, guna untuk pencegahan perusakan hutan.

1.2. Penindakan atau Penegakan Hukum


Dalam rangka untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan
atau perusakan hutan. kegiatan dengan pemberantasan perusakan hutan
yang dilakukan dengan cara menindak secara hukum atau penegakan
hukum terhadap pelaku perusakan hutan. Menurut Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH. Menyatakan bahwa117 ;
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penegakan

hukum

dalam

penanggulangan

tindak

pidana

kehutanan, dalam hal melakukan 3 (tiga) unsur yang selalu harus


diperhatikan

yaitu;

Kepastian

Hukum

Keadilan

dan

Kemanfaatan

terhadap Perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana yang dilakukan


terhadap hutan, kawasan hutan dan peredaran hasil hutan baik
langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.
Penindakan atau penegakan hukum (law enforcement) terhadap
pelaku melalui tindakan secara hukum meliputi rangkaian proses
penegakan

117

hukum

yang

meliputi

penyelidikan

dan

penyidikan,

Jimly Asshiddiqi, Penegakan Hukum, Makalah Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional,
VI, LIPI, Jakarta, November 2011.

penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Aparat penegak


hukum yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana
yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Proses hukum terhadap tindak pidana kehutanan atau perkara
perusakan hutan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013, dinyatakan bahwa perkara perusakan hutan harus
didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna
penyelesaian secepatnya.

1. Penyelidikan dan Penyidikan

1.1. Penyeledikan
Rangkaian proses penyelidikan merupakan tahapan awal proses
perkara pidana yang tidak dapat dipisahkan dengan penyidikan, dengan
penyelidikan penyelidik dapat memberikan informasi data dan fakta yang
akurat kepada penyidik sehingga penyidik dapat segera menentukan
sikap apakah dapat dilakukan penyidikan, ditunda atau tidak perlu
dilakukan penyidikan, kemudian dari hasil penyelidikan penyidik telah
memiliki persiapan yang matang untuk melakukan tindakan penyidikan,
sehingga semaksimal mungkin akan dapat dihindari kesalahan dalam
penggunaan tindakan upaya paksa yang berakibat proses praperadilan.

Penyelidikan

adalah

serangkaian

tindakan

penyelidik

untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak


pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini118. Berkaitan dengan
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Proses penegakan hukum melalui proses hukum (litigasi), terhadap
perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dilakukan dari
peyelidikan, penyidikan, penuntutan samapi dengan pemeriksaan di
sidang pengadilan, proses hukum tersebut merupakan satu kesatuan
dalam sistem peradilan pidana terpadu yang dikenal dengan istilah

(integreted criminal justice syistem), tahapan-tahapan dalam proses


hukum tersebut dijabarkan sebagai berikut ;

1.2. Penyidikan
Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime investigation)
tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang temukan atau
tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang
berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa
pidana atau delik, dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat
bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan.
Dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa,
118

Pasal 1 angka 5 KUHAP

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut


cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.119
Dalam ketentuan Undang-undang 18 Tahun 2013, penyidik yang
dapat melakukan Penyidikan120 adalah pejabat Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia dan Pejabat PPNS diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, sementara dalam ketentuan yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam ketentuan Pasal
30, PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang untuk
sebagai berikut

121

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan


berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang
diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana perusakan hutan
f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan.
119
120
121

Pasal 1 ayat 2 KUHAP.


Pasal 29 Undang-undang Nomor 18 Tahun 3013 tentang P3H.
Pasal 30 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.

g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas


penyidikan tindak pidana perusakan hutan
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang
adanya tindakan perusakan hutan
i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain
yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan
k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat
perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa
saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Dalam hal melaksanakan tugas dan kewenangannya pada
Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan wilayah
hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tersebut adalah wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Wilayah Kepabeanan.
Berdasarkan pada jenis, karakter dan sifat kekhususan dari
tindak pidana perusakan hutan, seluruh penyidik PPNS memilki
kewenangan

yang

memaksimalkan

sangat

upaya

luas,

hal

ini

penanggulangan

diharapkan
dalam

dapat

melakukan

pencegahan maupun pemberantasan terhadap perusakan hutan.


Rangakaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 dinyatakan bahwa
Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi
terkait. Selanjunya pada ketentuan lain yang terdapat dalam Pasal

34

ayat 1 menyatakan bahwa berdasarkan bukti permulaan yang

cukup

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013, bahwa penyidik berwenang untuk meminta


kepada

lembaga

penyelenggara

komunikasi

untuk

dalam

hal

melakukan :
a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos
serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan
pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau
b. Meminta

informasi

pembicaraan

melalui

telepon

atau

alat

komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,


merencanakan, dan melakukan perusakan hutan.
Dalam proses penegakan hukum (law enforcement proces)
dan pembuktian suatu tindak pidana kehutanan terhadap tidak
terlepas dari alat bukti yang cukup untuk menentukan perbuatan
perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, alat bukti lain ditentukan sebagai
alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan meliputi122 :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana; dan/atau
b. Alat bukti lain berupa :
1. Informasi elektronik
2. Dokumen elektronik; dan/atau
3. Peta.
122

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.

Kekhususan lain juga terdapat dalam Pasal

35 ayat 1

dinyatakan bahwa; untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau


pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Pada ayat 4 dalam hal
permintaan keterangan kepada Bank terkait keuangan tersangka
atau terdakwa; penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
meminta kepada Bank untuk memblokir rekening simpanan milik
tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil pembalakan liar
selama proses penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan
berlangsung.
Selanjutnya tindakan penyidik yang melakukan penyidikan
terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan, sesuai dengan
tahapan ketentuan beracara dan memenuhi telah memenuhi syarat
formil dan materil dalam peraturan perundangan. Sedangkan upaya
paksa yang dilakukan dalam penyidikan dilakukan dimulai dengan
penangkapan, penahanan penyitaan dan penggeledahan sampai
dengan pelimpahan perkara beruapa pelimpahan tersangka dan
barang bukti tindak pidana kehutanan kepada jaksa selaku penuntut
umum.
2. Penuntutan

Rangkaian kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai


penuntut terhadap perkara tindak pidana kehutanan berdasarkan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, kewenangan penuntut umum dalam
penuntutan terkait dengan perbuatan perusakan hutan selain mengacu
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur khusus
juga dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa, penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya di ketentuan Pasal
137 dijelaskan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap siapapun yang didakwa melakukan delik atau tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan melimpakan perkara pada Pengadilan
Negeri yang berwenang mengadili.
Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Disisi lain
jaksa diberikan wewenang sebagai penuntut umum juga melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(incrahts) sebagai eksekutor.


Sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang penuntut umum123 adalah
sebagai berikut :
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undangundang ini.
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Sementara itu, di dalam ketentuan yang terdapat pada Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan
Perusakan Hutan, diatur bahwa untuk mempercepat penyelesaian tindak
pidana perkara perusakan hutan124. penyidik, penuntut umum wajib
untuk melakukan :

123
124

Pasal 14 KUHAP
Pasal 39 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

a. Penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas


perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak dimulainya penyidikandan dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh) hari;
b. Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum
wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari;
c. Penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan
paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai
penyidikan;
d. Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam dan
geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka
penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang
bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai
dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan
e. Instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan
pengukur
kayu
yang
diminta
penyidik
dengan
mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan.
Berdasarkan dari ketentuan tersebut di atas dalam proses
penyidikan dan penuntutan terdapat proses percepatan terhadap
penanganan perkara tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan
hutan, hal ini terlihat dari adanya ketentuan mengatur jelas dan satu
kesatuan yang konprehensif dalam penanganan perkara perusakan
hutan.

Bahwa

untuk

kepentingan

penyidikan,

penuntutan

atau

pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik penuntut umum atau hakim


pada Pasal 36 berwenang untuk :
a. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada unit kerja terkait.
b. Meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan
tersangka.

c. Meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang


berpergian ke luar negeri.
d. Menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam
daftar pencarian orang dan/atau
e. Meminta

kepada

pimpinan

atau

atasan

tersangka

untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Dari kewenangan tersebut di atas diatur dengan tegas dan jelas,


bahwa penyidik, penuntut umum dan hakim dalam penanganan perkara
perusakan hutan, dalam hal tersangka atau terdakwa dapat meminta data
kekayaan, perpajakan dan keuangan kepada lembaga terkait dan kepada
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), melarang seseorang
untuk berpergian ke luar negeri, menetapkan sebagai tersangka dan
meminta pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya kepada
pimpinan atau atasanya dalam hal berkaitan dengan adanya dugaan
melakukan tindak pidana kehutanan atau telah melakukan perbutan
perusakan hutan.

3. Persidangan di Sidang Pengadilan


Proses persidangan merupakan proses pemeriksaan dan pembuktian
yang merupakan bagian dari sistem hukum dalam penanganan perkara
pidana secara hukum (litigasi). Tahapan pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan merupakan tahapan terpenting dari suatu proses

peradilan,

karena sebagai institusi lembaga pengadilan merupakan institusi/lembaga


kekuasaan kehakiman (yudikatif power) yang memiliki kewenangan untuk
menyatakan dan memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak
bersalah melakukan suatu tindak pidana serta menjatuhkan sanksi pidana
sesuai dengan kesalahannya berdasarkan hukum dan sesuai dengan
peraturan-perundangan yang belaku. Dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa berusaha untuk
membuktikan perbutan yang disangkakan atau didakwakan oleh jaksa atau
penuntut umum adalah :
a. Apakah benar suatu peristiwa telah terjadi
b. Apakah benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana
c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi
d. Siapakah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Dalam proses persidangan pembuktian merupakan penentu berhasil


tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh penuntut
umum. Artinya jaksa selaku penuntut umum harus dapat membuktikan
semua unsur-unsur dalam dakwaanya jika mengiginkan pelaku tindak
pidana atau terdakwa dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan sanksi pidana
atau hukuman (punishment) hakim harus mendasarkan keputusannya
pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam

ketentuan

Pasal

184

Kitab

Undang-undang

Hukum

Acara

Pidana

(KUHAP)125 ditentukan alat bukti sebagai berikut :

a. Alat
b. Alat
c. Alat
d. Alat
e. Alat

bukti
bukti
bukti
bukti
bukti

Keterangan Saksi
Keterangan Ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan Terdakwa

Berdasarkan alat bukti tersebut hakim memperoleh kenyakinan


bahwa

terdakwa

bersalah,

telah

melakukan

tindak

pidana

yang

didakwakan kepadanya126. Dengan alat bukti dimaksud, hakim dalam


memutuskan suatu perkara dengan minimal 2 (dua) alat bukti dan
keyakinan hakim. Dalam ketentuan lain Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan

Perusakan

Hutan,

ditentukan Alat bukti lain127 dalam perkara perbuatan perusakan hutan


ditentukan dalam ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013, ditentukan alat bukti lain adalah sebagai berikut :
1. Informasi elektronik
2. Dokumen elektronik, dan/atau
3. Peta.
125
126
127

Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Alat bukti lain dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013;
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang ukum Acara
Pidana; dan/atau
b. Alat bukti lain dalam UU Nomor 18 Tahun 2013.

Berdasarkan pada ketentuan alat bukti tindak pidana, jadi selain alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), ditentukan juga alat bukti dalam Undang-undang Nomor
18 Tahun 2013, dalam melakukan pembuktian terhadap perkara tindak
pidana perusakan hutan. Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas
merupakan sumber ataupun ciri khusus lain dari tindak pidana umum
dengan tindak pidana kehutanan.

1. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan


Mekanisme pemeriksaan terhadap perkara perusakan hutan di
sidang pengadilan pada Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa Dalam hal
terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus
tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan pada ayat 2 Putusan yang
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum
pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah,
dan/atau diberitahukan kepada terdakwa atau kuasanya.
Selanjutnya pada ayat 3 terdakwa atau kuasanya dapat
mengajukan upaya hukum atas putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
putusan dijatuhkan, diumumkan, atau diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir. Dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan dinyatakan

dalam Pasal 52 bahwa pemeriksaan

terhadap perkara perusakan hutan ditentukan pada :


ayat

(1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh


Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 45

(empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal


penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum.
ayat (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal, dimohonkan banding, perkara perusakan
hutan wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
Ayat (3) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan kasasi,
perkara pembalakan liar wajib diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Mahkamah Agung.

Menurut pendapat peneliti, dalam penanganan perkara tindak


pidana perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dengan dengan
telah

diundangkannya

Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013,

mereformulasikan perbutanan pidana yang dikategorikan sebagai


tindak pidana perusakan hutan dan mengamanhkan pembentukan
Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H),

terdapat upaya konprehensif dan percepatan dalam penanganan tindak


pidana perusakan yang terintegrasi, sehingga menjamin adanya
kepastian hukum, tercapainya kemanfaatan dan keadilan.

2. Hakim Pemeriksa Perkara Perusakan Hutan


Dalam penanganan atau pemeriksaan perkara perusakan hutan,
komposisi hakim dalam pemeriksaan perkara perusakan hutan memiliki
kekhususan, dalam hal ini disebabkan sifat dan karakter dari tindak
pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan yang
teroganisir, menimbulkan kerugian negara dan berdampak luas tehadap
berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan.
Dalam pemeriksaan di persidangan hakim pemeriksa terdiri dari

hakim karier dan hakim ad hoc128, sebagai pemeriksa yang mengadili


tindakan perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang
kehutanan harus benar-benar memiliki profesionalisme dan integritas,
pemeriksaan perkara tindak pidana perusakan hutan sebagaimana yang
terdapat dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
dinyatakan bahwa129 :

128

Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan sebagai hakim. (lihat Pasal 53 ayat 5), Hakim karier adalah hakim yang masih aktif yang
berada dalam lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
129
Pasal 53 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.

1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh
majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari
satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua
orang hakim ad hoc.
2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang
diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara
perusakan hutan.
4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan
kepada masyarakat.
Penanganan perkara dan hakim pemeriksa dalam proses
peradilan dalam penanganan perkara perusakan hutan berbeda dengan
penanganan perkara pada pemeriksaan perkara umum lainnya.
Pemeriksaan perkara pidana perusakan hutan atau tindak pidana
dibidang kehutanan dilakukan oleh hakim karier dan hakim ad hoc.
Dalam

penanganan

atau

pemeriksaan

perkara

di

sidang

peradilan, pemeriksaan perkaranya dilakukan dengan komposisi hakim


pemeriksa 1 (satu) orang hakim karier dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.
Ketentuan dalam pengangkatan hakim ad hoc diajukan oleh Mahkamah
Agung ke Presiden setelah diumumkan kepada masyarakat.
Pengaturan berkaitan dengan persyaratan untuk dapat diangkat
menjadi hakim ad hoc dalam penanganan perkara perusakan hutan,
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, harus


terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut

130

1. Warga Negara Indonesia.


2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan.
4. Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki
keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun dalam bidang kehutanan.
5. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5
(lima) tahun atau lebih.
6. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
7. Cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan
memiliki reputasi yang baik.
8. Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan
9. Melepaskan jabatan struktural dan jabatan lainnya selama
menjadi hakim ad hoc.
Proses penanganan perkara di pengadilan merupakan benteng
terakhir keadilan, maka dalam proses mengadili perkara tindak pidana
kehutanan atau perkara perusakan hutan para hakim harus memiliki
keahlian, berpengalaman dibidang kehutanan dan tidak melakukan
kolusi dan korupsi. Profesionalisme aparat penegak hukum baik;
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam Lembaga Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H).
Hakim yang akan dibentuk untuk memeriksa perkara tindak pidana
perusakan hutan di persidangan, yang berasal dari hakim karier
maupun hakim ad hoc, menjadi harapan dalam upaya untuk

130

Pasal 53 ayat 5

mewujudkan perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang


berkeadilan.

4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional


Peran serta masyarakat diatur juga dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan,
tugas fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan meliputi; kewenangan Pencegahan dan
Penindakan atau Penegakan Hukum serta kewenangan lainya. Pada BAB VI
diatur juga peran

serta masyarakat dalam rangka pencegahan dan

Pemberantasan perusakan hutan, dimana mengatur hak dan kewajiban,


termasuk perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya, perlindungan
hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses
peradilan

sebagai

saksi

pelapor,

saksi,

saksi

ahli

sesuai

peraturan

perundang-undangan.
Lembaga P3H ini, memiki tugas dan fungsi sebagaimana yang
ditentukan pada BAB VII,
internasional

dengan

Lembaga P3H dapat melakukan kerjasama

negara

lain

dalam

rangka

pencegahan

dan

pemberantasan perusakan hutan dengan mempertimbangkan dan menjaga


kepentingan nasional. Kerjasama internasional dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan,

dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat


dilakukan dalam bentuk

131

a. Kerja sama bilateral


b. Kerja sama regional atau
b. Kerja sama multilateral.
Dalam melakukan kerjasama pemerintah atau lembaga P3H, dapat
dilakukan dengan melakukan suatu perjanjian. Dalam hal perjanjian belum
ada, kerjasama dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip
timbal balik resiprositas132. Pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 67 ayat
2 Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, kerja sama internasional dalam
rangka pencegahan perusakan hutan dapat dilakukan dalam hal :
a. Manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan;
b. Kerja sama konservasi dan restorasi kawasan hutan;
c. Pemberdayaan masyarakat; dan
d.

Pemerkuatan sistem verifikasi dan sertifikasi legalitas kayu yang


diakui secara internasional.

Kerjasama internasional tersebut dalam rangka mencegah perdagangan


dan/atau pencuian kayu tidak sah, kerjasama internasional dalam pengelolaan
hutan. Kerjasama internasional yang dilakukan dalam rangka penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap

131

Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.


Resiprositas adalah hubungan bersahabat dengan berpedoman pada kepentingan nasional
dan berdasarkan pada prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Penjelasan Pasal 62 ayat 2 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013.
132

perkara perusakan hutan, pemerintah dapat melakukan kerja sama regional


dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kerjasama internasional
dalam rangka penyelidikan dilakukan melalui kerjasama interpol negara
masing-masing negara.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

C. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya di atas, dapat diajukan
kesimpulan yang menjadi hasil penelitian tesis ini. Kesimpulan hasil penelitian
dimaksud adalah :
1. Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan dengan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya
diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum
pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana yang
diancam berbeda terhadap orang perseorangan, orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan,
korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem pemidanaannya dengan

sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum khusus sampai
dengan maksimum khusus.
2. Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan

Hutan

(P3H)

adalah

bersumber

dari

kewenangan

yang

diamanatkan Undang-undang. Adapun bentuk, kedudukan, ruang lingkup


kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB V Pasal 54, 55,
56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam penanggulangan tindak
pidana kehutanan lembaga P3H memiliki kewenangan pencegahan dan
pemberantasan atau penindakan.
Tugas dan fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber
kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan
hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan serta kebijakan
penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat,
partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan, melakukan kampanye
anti perusakan hutan dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan
lembaga

P3H,

penyelidikan,

melalui
penyidikan,

penegakan

hukum

penuntutan

(law enforcement) melalui

sampai

proses

pemeriksaan

di

persidangan, diatur dengan hukum acara tersendiri. Lembaga P3H juga,


memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana
kehutanan.

D. S A R A N
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut :
1. Dari kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
kehutanan

baik,

Ketentuan

norma

pencegahan
berupa

dan

pemberantasan

jenis

tindak

perusakan

pidana,

subjek

hutan.
hukum

pertanggungjawaban pidana, sistem pemidanaan dan hukum acara sendiri


dalam

Undang-undang

Nomor

18

Tahun

2013,

diperlukan

adanya

penyempurnaan dan harmonisasi, sehingga menjadi norma yang efektif,


responsif dan sesuai dengan semangat

pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan. Dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan


khusunya

kebijakan

pencegahan

dan

formulasi

hukum

pemberantasan

pidana

perusakan

dalam
hutan

penanggulangan

diharapkan

dapat

mengakomudir kepentingan negara dan masyarakat dalam hal perlindungan


masyarakat (social defence) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial (social

welfare) bagi masyarakat.


2. Kewenangan yang diamanahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,
untuk

pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan (LP3H), dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan dan


pemberantasan perusakan hutan. Lembaga P3H memiliki fungsi koordinasi
dan supervisi terhadap penanganan perkara tindak pidana kehutanan, bahwa
konflik antar lembaga atau instansi yang berwenang dapat dilakukan

harmonisasi

antar

peraturan

perundang-undangan

terkait

kewenangan

dan/atau koordinasi antar pimpinan dan dapat dilakukan kesepahaman


bersama memoradum of understanding (MOU) antar pimpinan lembagalembaga terkait untuk menghindari konflik kepentingan antar lembaga yang
berwenang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Buku
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta), 2006.
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial

prudence) termasuk interpretasi Undanag-undang (legis


prudence), Edisi Pertama, Cetakan Kedua, (Kharisma Putra
Utama, Jakarta), 2009.
Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan

Penyalahgunaan

Komputer,

(Universitas

Atmajaya

Yogyakarta), 1999.
Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, cetakan pertama (PT. Rineka Cipta, Jakarta),
2003.
______________, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (PT. Rineka Cipta,
Jakarta), 1996.
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

(Raja

Grafindo Persada, Jakarta), 2012.


Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Arikha Media Cipta, Jakarta),
1995.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (Balai Penerbitan Universitas Diponegoro,


Semarang), 2000.
_______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Citra Aditya Bakti,
Bandung), 2002.
_______________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), 2002.


________________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan

Pidana

Penjara,

(Balai

Penerbitan

Undip,

Semarang), 1996.
_______________ , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana Edisi Revisi, (Citra Aditya Bakti, Bandung),


2005.
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Ghalia indonesia, Jakarta),
1998.
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi Kejahatan Kehutanan dan

Mendorong

Prinsip

Kehati-hatian

Mewujudkan

Pengelolaan

Pendekatan

Anti

Hutan

Pencucian

Perbankan
yang

Uang,

untuk

Berkelanjutan
(Center

for

International Forestry Research CIFOR, Jakarta), 2005.


Darmono, Pengenyampingan Perkara Pidana Seponering dalam Penegakan

Hukum, Studi kasus ketetapan mengesampingkan perkara

demi kepentingan umum atas nama Dr. Samad Rianto dan


Chandra M. Hamzah, (Solusi Publishing, Jakarta), 2013.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, Apa dan

Bagaimana

Filsafat

Hukum

Indonesia,

cet.,

Kelima,

(Gramedia Pustaka Utama), Jakarta,


Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Alfa Beta, Bandung),
2007, hlm. 3
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum

Bidang Kehutanan,

EC-Indonesia Plegt Support Project

(Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade)


Kementerian Kehutanan RI, Jakarta), 2010.
Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence

Dalam Kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan Dalam


Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang
diselenggarakan

oleh

ICEL

bekerjasama

dengan

Mahkamah Agung RI, Jakarta), 2003.


H.B Sutopo, Metode Penelitian Hukum Kualitatif II, (Universitas Negeri
Semarang Press, Surakarta), 1998.
IGM. Nurdjana, et. al., Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi,
cet. III, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), 2008.
J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum,
Terjemahan

HASNAN,

Bandung), 19887.

cetakan

kedua,

(Binacipta,

Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
(Sekertariat

Jenderal

Mahkamah

Konstitusi

Republik

Indonesia), Jakarta, 2006.


J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan., Hukum Pidana, cet. III, (PT. Citra Aditya
Bhakti), 2011
Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The Phylosophy of Law an Introduction

To Jurisprudence, (Totowa NJ, Rowman & Allenheld),


1984.
Koesnadi

Hardjosoemantri,

Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi


I, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 1999
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, (Lembaga


Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta), 1999.
______________,

Pertanggungjawaban

Korporasi

Dalam

Tindak

Pidana

Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi,


(Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro),
1989.
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang), 2005.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Ghalilia
Indonesia, Jakarta), 1986.

Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-

pokok pikiran Revis Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964,


(CV. Arti Bumi Intara Yogyakarata), 2011.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung), 1996.
______________, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, (Genta Publishing, Yogyakarta), 2010.


S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Alumni AHAEM - PETEHAEM, Jakarta), 1986.
Soerjono Soekamto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, edisi
1., cet. 10 (PT. Raja Grafindo, Jakarta), 2011.
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Citra Aditya
Bakti, Bandung), 1996.
_______________, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian

Sengketa, (Rineka Cipta, Jakarta), 2005.


Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, Penegakan Hukum Kejahatan di

Bidang Kehutanan, cet. II, (Laksbang Grafika, Yogyakarta)


2012.
Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan

Hutan di Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan


Kehutanan Kalimantan-Indonesia), 2005.
Sukaradi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua),
Universitas Atmajaya, Yogyakarta), 2005.

Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka

Pembangunan Nasional, (Ghalilia Indonesia, Jakarta),


1973.
Anonim, Seri Hukum dan Perudangan KUHAP dan KUHP, (SL Media, Jakarta),
2014.
_______________, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan, Direktorat
Penyidikan dan Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal
Perlindungan
Kehutanan,

dan

Konservasi

EC-Indonesia

FLEGT

Alam
SP

Departemen
(Forest

Law

Enforcement, Goverment and Trade), 2008.


______________, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan,
(Kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan
Hutan

Direktorat

Jenderal

Perlindungan

Hutan

dan

Konservasi Alam Kementerian Kehutanan dengan United


Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian
Office, Jakarta), 2013.

B.

Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen I, II, III dan IV.
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c. Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional, terakhir Tahun 2013

d. Udang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.


e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan diubah Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang


Nomor 1 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Kehutanan.
g. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara


h. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.


i. Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan

Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik


Indonesia.

c. Desertasi, Thesis, Jurnal dan Makalah

Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Sistem Pidana Minimum Khusus

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Desertasi Program Studi


Doktoral Universitas Brawijaya),

Mei 2014.

Dila Romi Aprilia, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanganan Tindak

Pidana Illegal Loging, (Tesis Magister Hukum Universitas


Indonesia),

2012.

I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani,

Penegakan Hukum Kehutanan dalam

Rangka Antisipasi Dampak Climate Change di Indonesia,


(Seminar Nasional Program Studi Strata dua (S-2) Ilmu
Lingkungan Universitas Negeri Semarang),

September 2008.

Muktar Amin Ahmadi, et.al, Panduan Pelaksanaan Kegiatan Polisi Kehutanan

Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, (Direktorat Penyidikan


dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan Dan Konservasi Alam - Freeland Foundation), Jakarta,
2012.
Andi Pramaria, Makalah bahan seminar dan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan,
Perlindungan dan Pengaman Hutan di NTB, Bidang Planolgi
dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB,
Mataram,

Maret 2015.

d. Internet dan Media


M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, http://blogmhariyanto. blogspot.com,
diposting pada tanggal, 18 juni 2009 jam 10.00 wita

________________,Hukum

Kehutanan

dan

Tata

Usaha

Kayu,

http://blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal


5 Desember 2014.
http://hukumonline.com. Perundang-undangan Indonesia, diakses pada tanggal

10 Januari 2015, jam 11.00 wita.


________________, Ketentuan legaliatas pengangkutan tumbuhan dan satwa
liar, http://blogkonservasi.blogspot.com., diposting pada
tanggal 20 Desember 2013, jam 15. 00 wita.
http://ugm.ac.id, Pemerintah segera menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi

tentang Hutan

Adat, diposting pada tanggal, 21 Februari

2014, jam 12.40 wita.


Romli Atmasasmita,

Pengertian dan tujuan hukum, http://statushukum.com,


diposting pada tanggal, 24 Maret 2013, jam 09.50 wita.

You might also like