Professional Documents
Culture Documents
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Mataram
ASTAN WIRYA
NIM. I2B 013 009
Halaman Pengesahan
01 Juni 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Ketua,
Direktur,
01
/H18.4/HK/2015
Ketua
: ..............................
Anggota
: ..............................
Anggota
: ..............................
Anggota
: ..............................
Anggota
: ..............................
CURRICULUM VITAE
Nama
: ASTAN WIRYA
Tempat/tanggal lahir
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama Islam
: Islam
Pekerjaan
: Polisi Kehutanan
Data Keluarga :
Istri
Anak
:-
Riwayat Pendidikan
Perguruan Tinggi
Universitan Mataram
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang Maha Agung, yang
Maha Suci, Yang Maha Menguasai Samudera Ilmu yang telah melimpahkan berkah,
rahmat serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini dengan lancar. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW.,
beserta keluarga dan sahabat-Nya yang senantiasa menjadi teladan bagi umat
manusia. Adapun kajian penelitian tesis ini adalah Kebijakan Formulasi Hukum
bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mataram dan sebagai dosen pengajar.
2. Bapak Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan dalam setiap
kesempatan berdiskusi.
3. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. Selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum dan sebagai dosen pengajar.
4. Bapak I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D., selaku Ketua Studi Program Pascasarjana
Hukum Universitas Mataram.
6. Bapak Dr. Lalu Parman, SH, M.Hum., yang telah meluangkan waktu di tengahtengah kesibukan beliau selalu meluangkan waktu dalam membimbing,
mentransfer ilmu penegetahuan kepada penulis khususnya dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
7. Bapak Dr. Amiruddin, SH., MH., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah
kesibukan beliau selalu meluangkan dalam membimbing penulis menyelesaikan
penulisan tesis ini dan telah memberikan ilmu dalam penulisan tesis ini.
8.
Bapak Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH., selaku Dosen pengajar dan Ketua
Dewan Penguji tesis ini.
9.
Ibu Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH., dan Dr. Muhammad Sood, SH., M.Hum.,
selaku Dewan Penguji dan sebagai dosen pengajar.
10. Semua Guru Besar, Dosen dan seluruh civitas akademik pada Program
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram yang semoga
dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu pengetahuan, membuka
wawasan dan mempasilitasi penulis untuk mengenal luasnya samudera ilmu
pengetahuan yang indah untuk diselami.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapakan terima kasih, khususnya
kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Keluaga Besar Korps Polisi
Kehutanan dan seluruh Rimbawan dimanapun berada yang telah memberikan
dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi. Ucapan terima kasih dan doa penulis
untuk kedua orang tuaku Menggep dan Rahmin, mertua H. Abdul Karim dan Hj.
Maoizah dan istri tercinta Dewi Karmila, ST., semoga Allah SWT., membalas semua
kebaikan-kebaikanya. Doa-doanya selalu mengiringi penulis, sehingga mampu
menghadapi cobaan hidup dan menjadi berkah yang memberikan semangat dari
segala rintangan. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan mendoakan, penulis
ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.
Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa dalam
penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Penulis
mengkharapkan semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
dan semua pihak yang telah membacanya.
Mataram,
Hormat Penulis,
Astan Wirya
Juni 2015
DAFTAR ISI
G.
H.
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xi
1
12
13
13
14
18
18
20
22
28
38
40
48
48
49
50
51
53
54
57
58
61
Air ..................................................................................................
64
64
66
73
79
80
87
88
89
89
91
92
2.1. Asas Pertanggungjawaban pidana terbatas atau ketat (stric liability) .....
2.2. Asas Pertanggungjawaban atas Kesalahan (genn straf zonder schuld) ...
2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability ........................................
3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punisment Syistem)
93
94
95
97
120
121
122
124
126
131
133
134
4. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan
KUHAP Nasional ................................................................................... 135
a. Formulasi hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang
147
155
(LP3H) ...................................................................................................
b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum ................................................
155
159
3. Kewenangan,
Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan 161
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ............................................
1. Ruang Lingkup Tugas dan Fungsi ...................................................... 162
164
167
3. Penuntutan ..........................................................................................
168
172
176
183
A. KESIMPULAN ................................................................................
186
B. S A R A N .......................................................................................
187
189
200
DAFTAR SINGKATAN
1. DHH
2. DR
= Dana Reboisasi
3. HPH
4. IPK
5. IPHHK
6. IPKTM
7. IUPHHK
8. IUPHHA
9. KB
= Kayu Bulat
10. LHP
11. LHPKB
12. PSDH
13. RKL
14. P2SKSHH
15. P3KB
16. P3KG
17. RKT
18. SATS
19. SAT-DN
20. SAT-LN
21. SKAU
22. SKSHH
23. TPKT
24. TPI
25. P3H
26. KUHP
27. KUHAP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir
dari
proklamasi
kemerdekaan
Indonesia
merupakan
tonggak
sejarah
pemerintahan
dengan
pembangunan.
Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang
Kedaulatan Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum.
pembangunan
merupakan
suatu
proses
perubahan
terus-menerus
dan
hakekatnya
pembangunan
nasional
adalah
bertujuan
untuk
satu
hukum,
Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur-unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Lihat Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, Rineka Cipta,
Jakarta, 1998, hlm. 47.
3
Konservasi adalah kegiatan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya hutan, tanah dan air yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
2
yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan
transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang khususnya
juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang
terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal
tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan
melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya
mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan,
pemodal (cukong), perusahaaan berbadan hukum atau korporasi, broker,
penyedia angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha
adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi4.
Dalam
upaya untuk mengatasi tindakan perusakan hutan, jajaran aparat penegak hukum
penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab
terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan dan Hakim telah mempergunakan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
persediaannya dengan tetap menjamin dan meningkatkan kuwalitas keanekaragaman nilainya. Lihat
Alam Setia Zein, Ibid, hlm. 93-94.
4
Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan
Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm. 9499.
tentang
Degradation adalah penyusustan luas produktivitas dan fungsi hutan atau daya dukung
lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan jenis pengelolaan hutan yang
ditetapkan, lihat Alam Setia Zein, ibid., hlm. 40
6
Deforestation adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga
menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 189.
Putra
Jaya9
mengatakan
bahwa;
proses
penegakan
hukum
itu
menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum atau perundangundangan. Perumusan pikiran pembuat Undang-undang yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu nanti dijalankan.
Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda
Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana,
maksudnya hukum pidana materiel terletak pada masalah mengenai yang saling
berkait yaitu10 :
1.
2.
3.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 28.
9
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 2000, hlm. 23.
10
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 136.
aparat pelaksana/eksekusi pidana. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan
actions to crime).
Mencakup beberapa bagian mengenai kriminal antara lain :
11
Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-pokok
Pikiran Revisi Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarata, 2011, hlm. 37.
yang
sungguh-sungguh
dalam
penanggulangan
dan
pencegahan
kerusakan hutan, sebagai akibat dari tindak pidana kehutanan atau perusakan
12
13
Ibid. hlm. 42
perbuatan
kejahatan yang berdampak luar biasa (exstra ordinary crimes) dan sebagai
kejahatan yang terorganisir (orgenaized crimes), melibatkan multi pihak, baik
nasional, regional maupun internasional.
Dalam melakukan pencegahan perusakan hutan, sunggu telah lama
dilakukan, namun terdapat kendala yang disebabkan antara lain, oleh peraturan
perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana
perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi dan kompleksitas kehidupan
sosial ekonomi, budaya dan politik. Oleh karena itu diperlukan landasan hukum
yang konprehensif dan tegas dalam bentuk Undang-undang agar perusakan
hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta memberikan
efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut,
telah
mencapai
pada
tingkat
yang
sangat
mengkhawatirkan
bagi
penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan, juga harus
dilakukan secara luar biasa (esxtra ordinary).
Kebijakan formulasi hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, lahir sebagai jawaban terhapap adanya kelemahan-kelemahan pengaturan
hukum tindak pidana kehutanan atau ketidak epektifan dari Undang-undang
sebelumnya untuk mengatasi permasalahan tindak pidana kehutanan atau
perbuatan perusakan hutan.
Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dikharapkan dapat dilakukan upaya
penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan tentu dengan
mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta
keberlanjutan, tanggungjawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung gugat,
prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi.
Dalam pembentukan Undang-undang ini, memiliki aspek pencegahan dan
pemberantasan atau aspek represif, juga mempertimbangkan aspek restoratif,
yang bertujuan untuk15 :
a. Memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan
sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya.
b. Meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan
15
melakukan
upaya pencegahan,
memiliki
kewenangan
juga dalam
adalah
memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani
tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan.
Berdasarkan
pada
uraian
latar
belakang
di
atas,
penelitian
ini
pidana
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
kehutanan
dan
B. Rumusan Permasalahan
Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar
lebih memahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum
khususnya dibidang kehutanan yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan pada latar
belakang di atas, dirumuskan kajian permasalahan berkaitan dengan penelitian
tesis sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
Kebijakan
Formulasi
Hukum
Pidana
dalam
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk secara kritis menelaah dan
mengkaji dengan memaparkan landasan konseptual dan teoritis sehingga
dapat memperoleh jawaban dengan permasalahan tindak pidana kehutanan
atau perusakan hutan di Indonesia. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah :
tindak pidana
D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan tesis ini, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berguna dan memberikan
kontribusi positif bagi banyak pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis
maupun praktis antara lain manfaat tesebut adalah :
1.
Secara teoritis
Manfaat penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pidana dan
hukum lainya khususnya mengenai ikhwal kebijakan hukum pidana
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
kehutanan,
pemberantasan
tindak
pidana kehutanan.
2.
Secara praktis
Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai
bahan masukan bagi lembaga atau instansi, atau pihak-pihak yang
berkepentingan, aparat penegak hukum khususnya (Penyidik, Jaksa dan
Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), dalam
upaya
penanganan,
mengambil
atau
menerapkan
hukum
dalam
ini
tidak
membias
dari
pokok
1. Keadilan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian
besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls,
menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" .
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai : "Kita
tidak hidup di dunia yang adil"16
ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan
16
2. Kemanfaatan
Pada prinsipnya tujuan hukum hanyalah untuk menciptakan
kemanfaatan
atau
kebahagiaan
praktis
untuk
masyarakat.
Aliran
utilitis
3. Kepastian
Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis
dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
17
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial prudence)
termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), edisi pertama, Cet. Kedua, Kharisma Putra
Utama, Jakarta, 2009, hlm. 221.
18
Ibid., hlm. 272 273.
F. KERANGKA TEORITIK
Teori hukum normatif yang merupakan orientasi dalam studi ini
menggunakan beberapa pemikiran atau konstruksi, kritik dan sistematik
sebagai kerangka teori dalam mengembangkan permasalahan penelitian dan
menjawab setiap permasalahan hukum yang menjadi pokok bahasan dalam
kajian penelitian tesis ini, adapun teori-teori yang digunakan adalah sebagai
berikut :
19
Jhon
Locke
bahwa
kekuasaan
tersebut
justru
untuk
20
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 72.
21
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Uniersitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.
hukum
melalui
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
terjadinya
sengketa
atau
permasalahan.
Sementara
dalam
peraturan
perundang-undangan,
sehingga
pada
2. Teori Keadilan
Keadilan
menurut
Plato,
Herman
Bakir24,
dan menyeimbangkan
hal itu
seperti
dikutif
25
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Cet. Kelima, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 167.
26
government
yang
hanya
menyangkut
aparatur
negara,
melainkan
mengatur
pengelolaan
dan
tindakan
pendistribusian
Kebijakan
publik
berorientasi
pada
penyusunan
kebijakan,
Dalam arti
suatu
bidang
atau
bagian
dari
pembangunan
sosial
atau
group).
27
hlm. 3
Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfa Beta, Bandung, 2007,
Beberapa ahli seperti Magil, Marshal, Rein, Huttma, Specker dan Hill
yang dikutif dari desertasi Lalu Parman mengartikan kebijakan sosial dalam
kaitannya dengan kesejahteraan sosial yakni
28
28
pencegahan kejahatan harus didasarkan pada sebab-sebab dan kondisikondisi yang menimbulkan kejahatan.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau dikenal
dengan istilah politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral
dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu,
dapat dikatakan tujuan akhir dari atau tujuan utama politik kriminal ialah
perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kebahagiaan
masyarakat
Ibid, hlm. 81
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Balai Penerbitan Undip, Semarang, 1996, hlm. 3.
30
31
merupakan
suatu
keharusan. Tidak
ada
32
Melaksanakan
politik
kriminal
antara
lain
berarti
membuat
yang merupakan bagian dari kebijakan sosial itu sendiri. Dalam hal
penaggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan pula dua
kebijakan,
yaitu
dengan
menggunakan
kebijakan
33
penal,
dengan
. Apabila berbagai
penal
sarana
difungsikan
menjadi
ultimum
remidium
untuk
pidana
atau
politik
hukum
pidana
dilihat dari sudut pandang politik hukum atau dari sudut pandang
dapat
politik
kriminal.
Menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktifitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat. Dalam studi politik hukum ada beberapa
pertanyaan mendasar yaitu :
1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;
33
2. Cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
mencapai tujuan tersebut;
3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah; dan
4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik34.
negara.
Selain
itu
politik
negara
dalam
pembuatan
hukum
dan
sekaligus
34
Rajawali Pers,
atau
membuat dan
merumuskan suatu
mengangkat/menetapkan/menunjuk suatu
melakukan
kriminalisasi
haruslah
didahului
oleh
formulasi
dalam
perbuatan
rumusan
yang
hendak
undang-undang
dilarang
pidana
dapat
dengan
Kebijakan
peraturan
substansi
hukum
pidana
maupun
merupakan
perundang-undangan
pidana
prosedur
usaha
untuk
yang
sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang
akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung
makna baik dalam memenuhi syarat keadilan dan dayaguna37.
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait
antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang
rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang
berorientasi pada nilai.38
Kebijakan penegakan hukum
pidana
merupakan
serangkaian
36
pidana
sistem/proses/kewenangan
integral.
Oleh
penegakan
karena
hukum
itu
pidana
keseluruhan
itupun
harus
pentingnya
pemidanaan
sebagai
sarana
untuk
berkaitan
denngan
teori-teori
penjatuhan
pidana
atau
teori
pemidanaan, yakni :
1. Teori absolut atau vergeldings theorie adalah teori yang mempunyai
ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pidana ialah sifat
pembalasan (vergelding or vergeltung). Diantara penganut teori ini
Immanuel
adalah
Kant
yang
memandang
pidana
sebagai
clims
of
justice)
sedangkan
pengaruh-pengaruhnya
yang
anggota
masyarakat
lainnya,
sehingga
untuk
40
maatshappelijke orde).
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai
akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad
misdadinger).
5. Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoMing van de misdaad).42
.
41
42
absolut
pertimbangan
dan
relatif
bahwa kedua
sebagai
teori
dasar
tersebut
pemidanaan,
memiliki
dengan
kelemahan-
kelemahan :
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus yang segera
melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan
karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat,
kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki
masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit
dilaksanakan43. Dalam teori ini diperhitungkan adanya pembalasan,
prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana.
43
44
Ibid. hlm. 2
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 155.
kesejahteraan
umum
atau
taraf
sosial
(sebagai
akan
dilakukan,
mengutamakan
lakukanlah
keseimbangan
mengesampingkan
penderitaan
perbuatan
dari
bagi
tersebut
kebahagiaan
umat
manusia
dengan
dengan
secara
menyeluruh).46
Ajaran utilitarianisme terkadang disebut dengan teori kebahagiaan
terbesar yang
47
48
Perusakan
adalah
untuk
menanggulangi
kejahatan
(rechtgelling).
Kewenangan (authority) berbeda dengan wewenang (competence)
kewenangan merupakan kekuasaan formal, yang berasal dari kekuasaan
legislatif atau dari kekuasaan eksekutif. Dalam hal kewenangan terdapat
wewenang untuk melakukan kewenangan publik.
Prajudi Admosudirjo49 memberikan pengertian wewenang
adalah
49
hlm. 78.
oleh
yang
diberikan
oleh
Undang-undang
untuk
melakukan
atasan
dan
bawahan
dalam
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan.
G. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan landasan konsep yang akan
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang di gunakan oleh
atau politiek
dalam bahasa
Secara umum politik atau kebijakan dapat diartikan sebagai prinsipprinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah
(dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam
mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik,
masalah-masalah
masyarakat
atau
bidang-bidang
penyusunan
Kebijakan Hukum
Terdapat banyak definisi menegenai kebijakan hukum atau
politik hukum. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum
adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi
hukum yang akan dibentuk51. Sedangkan Teuku Mohammad
Radhie52 mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan menegenai arah perkembangan hukum yang akan
dibangun.
Menurut ahli lain berpendapat Satjipto Raharjo53 yang di kutif
dari tesis
1986.
51
52
1.3.
dari Inggris,
dari
formula
merupakan
pembentukan,
penyusunan
atau
54
hukum litigasi dan upaya hukum non litigasi55. Kegiatan non penal dengan
melakukan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan
kejahatan (criminal policy) atau penanggulangan tindak pidana dengan
penggunaan sarana penal dilakukan dengan menggunakan sarana hukum
pidana melalui penegakan hukum (law enforcement). istilah penegakan
hukum dapat dipergunakan terjemahan dari echtshandhaving, yang
dimaksud disini adalah hukum yang berkuasa dan ditaati melalui sistem
peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan56. Koesnadi Hardjosoemantri mengemukakan
bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai
kalangan,
yaitu
bahwa
penegakan
hukum
hanya
melalui
proses
tentang
hak
dan
kewajiban
menjadi
syarat
mutlak.
berperan
dalam
penegakan
hukum57.
Andi
Hamzah
55
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang
Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project Forest Law Enforcement, (Goverment Ang Trade)
Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010, hlm. 9.
56
Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta,
1999, hlm. 78-79.
57
Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
peristiwa pidana
dikenal dengan strafbaar feit yang merupakan istilah dari bahasa Belanda
yang
(WvSNI).
58
hlm. 61.
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, PT. Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995,
perundang-undangan
dan
buku-buku
literatur
ditemukan
59
Anonim, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan
Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan,
EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade ), 2008.
yang lazim
dan Ekosistemnya60.
Dalam buku hukum kehutanan yang dikemukakan oleh M.
Hariyanto61 mendefinisikan Tindak Pidana Kehutanan sebagai Suatu
peristiwa yang telah/sedang/akan terjadi berupa perbuatan melanggar
larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam peraturan
perundang-undangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya bagi barang siapa yang secara melawan
hukum melanggarnya".
Dari berbagai ketentuan dan pendapat ahli tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa, perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan
pidana seperti perusakan hutan, pembalakan liar atau illegal logging
merupakan merupakan tindak pidana dibidang kehutanan dan konservasi
60
Anonim, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan , kerjasama antara
Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam
Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian
Office, Jakarta, 2013.
61
M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, hhtp//blogmhariyanto. blogspot.com, diposting
pada tanggal, juni 2009, jam 09.00 wita.
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diistilahkan dalam hukum
pidana atau sering disebut sebagai tindak pidana kehutanan (TIPIHUT).
H.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum dalam studi ini adalah penelitian hukum
normatif atau doktrinal. Jenis penelitian hukum ini memfokuskan untuk
menelaah dan menganalisis norma-norma hukum, asas-asas hukum,
falsafah (dogma atau doktrin) hukum. Penelitian hukum doktrinal juga
dapat berupa usaha untuk menemukan hukum in concerto yang dapat
diterapkan untuk menyelesaikan perkara hukum tertentu.62
Dalam
penelitian
hukum
normatif
atau
doktrinal
juga
Soetandyo
Wingyosoebroto,
Hukum,
Paradigma,
Methode
dan
Dinamika
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
yaitu
pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah hkum kehutanan atau
tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang-undangan lain
yang terkait. Dalam hal ini peneliti melihat hukum sebagai sistem
tertutup yang mempunyai sifat komprehensif, norma-norma hukum
yang terdapat di dalamnya berkaitan antara satu dengan yang
lainnya secara logis dan sistematik. Bahwa di samping bertautan
antara satu dengan lainnya, norma hukum juga tersusun secara
hirarkis.63
b. Pendekatan konsep (conseptual approach),
pikiran.
Menurut
63
bahan
hukum
sekunder
yang diperoleh
dari
penelitian
pidana
kehutanan
atau
perbuatan
perusakan
hutan.
tentang
Konservasi
Sumber
Daya
Alam
Hayati
dan
64
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm . 19
dokumentasi
dalam
studi
ini
dilakukan
pengumpulan,
bahan
ketentuan
hukum
dari
secara
pendekatan
normatif
penelitian
ini
yang
kepustakaan
sehingga
penyusunan
kerangka
65
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm. 199
analisis
dengan
cara
menuturkan
66
dan
menggambarkan
sesuai
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN
land, not
necessarily
other game
68
yang
dipesan
67
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa , Cet. I, Erlangga,
Jakarta, 1995, hlm. 11.
68
Garner, Black Laws Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660.
69
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, 1980, hlm. 6.
berikut :
Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbuh-tumbuhan
berkayu seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet,
kelapa sawit ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai
hutan.
Adapun pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh
Sukardi71 adalah sebagai berikut :
Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,
sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi
menentukan lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuhtumbuhan pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup
luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).
Sedangkan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1
Udang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
70
hlm. 196.
71
Mochtar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988,
Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 12.
Kehutanan
meliputi;
kegiatan
penyelenggaraan,
perencanaan
polemik
dan
multitafsir
sehingga
dilakukan
permohnan
pengujian atau uji materiil terhadap Undang Undang Dasar 1945 atau
dilakukan
putusan Mahkamah
tidak
relevan dan tidak memenuhi rasa keadilan72, sehinga definisi kawasan hutan
tersebut untuk menjamin kepastian hukum, sebagaimana terdapat dalam
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
adanya
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
tersebut,
maka
penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai
kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan
hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses
penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata
batas kawasan hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan.
2. Jenis-jenis Hutan
Berdasarkan jenis-jenis hutan, dilakukan pengelompokan jenis-jenis
hutan
72
berdasarkan
Undang-undang
Nomor
41
Tahun
1999
tentang
Status Hutan,
denganTujuan Khusus dan Pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.
dapat
hutan
hutan
menurut
statusnya
adalah
suatu
1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang pengelolaannya
73
2003, hlm. 43
74
Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta,
http://ugm.ac.id,
Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi
tanggal 21 Februari 2014.
pemerintah
yang
diserahkan
pengelolaannya
kepada
Kemasyarakatan
pemanfaatan
utamanya
(HKm),
ialah
ditujukan
hutan
untuk
negara
yang
memberdayakan
adalah
untuk
meningkatkan
kualitas
mutu
kehidupan,
hukum
adat
(rechtsgemeenschap).
Pembedaan
mengatur
peruntukan,
pemanfaatan
dan
hubungan-
M.
Alim
pada
saat
Hakim Mahkamah
membacakan
pertimbangan
pengaturan
pengusahaan
hasil
hutan
atau
didalam
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Republik
untuk
Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang
mempunyai pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya75. Hutan konservasi ini terdiri atas :
1.1.
1.2.
kehidupan,
pengawetan
keanekaragaman
jenis
11
Undang-undang
Nomor
41
tentang
Kehutanan,
1.3.
2. Hutan Lindung
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah
instrusi
air
laut
dan
memelihara
kesuburan
tanah
3. Hutan Produksi
Hutan produksi adalah hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang mempunyai
fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan
menjadi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.
3. Perlindungan Hutan
Kegiatan
perlindunggan
hutan
atau
usaha
perlindungan
hutan
hutan
dapat
tetap
terjaga.
Dalam
melakukan
kegiatan
perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global
(global
secara
efektif,
standar
(baku
mutu)
lingkungan,
sasaran
(tiga) aspek bentuk dari perlindungan hutan sebagai berikut; 1). Perlindungan
atas hutan, 2). Perlindungan kawasan hutan, dan 3). Perlindungan terhadap
hasil hutan. Dari ketiga aspek pokok dalam perlindungan hutan tersebut
merupakan inti dari kegiatan atau upaya dalam penanggulangan pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan. Kegiatan perlindungan tersebut
dilakukan melalui; upaya persuasif dengan melakukan kegiatan pencegahan
dan kegiatan dilakukan dengan melakukann tindakan represif atau penindakan
dengan proses penegakan hukum (law enforcement proces).
pengangkutan,
penatausahaan,
pengolahan,
hingga
pada
pemasaran. Legalitas hasil hutan kayu dapat dilihat dari keabsahan asal-usul
atau sumber dari hasil hutan kayu, kemudian dilihat dari tatacara atau
prosedur
dari
izin
penebangan,
sistem
dan
prosedur
penebangan,
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
pencegahan
dan
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliyar lima ratus juta
rupiah), apabila perbuatan tersebut, yang melakukan kejahatan adalah badan
hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi pidana berbeda dan lebih berat
dengan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar)
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar).
78
Ketentuan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen-dokumen yang merupakan
bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. (Pasal 1
angka 12 dan Pasal 1 angka 29 PP Nomor 6 tahun 2007).
sanksi pidana tersebut dapat juga dikenakan terhadap barang siapa atau
orang yang memalsukan atau menggunakan SKSHH palsu79.
Penggunaan istilah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 atau
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, bukan merupakan nama dokumen
tetapi merupakan terminologi umum (general term) yang di dalamnya terdiri
dari beberapa bagian atau nama dokumen surat keterangan sahnya hasil
hutan. Dokumen legalitas atau dokumen keabsahan hasil hutan yang
digunakan dalam penguasaan ataupun pengangkutan hasil hutan baik yang
berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dari hutan produksi pada hutan
negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia80.
Dokumen yang termasuk Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
adalah sebagai berikut:
a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB
401
b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA. 301
c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko
model DKA. 302
d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA. 303
e. Surat Angkutan Lelang (SAL) adalah blanko model DKB. 402
f. Nota atau faktur Perusahaan pemilik kayu olahan.81
79
Pasal 88 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
80
Permenhut RI Nomor : P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Alam dan Permenhut RI Nomor : P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan
Tanaman pada Hutan Produksi.
81
M. Hariyanto, Hukum Kehutanan, http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/dokumen
legalitas pengangkutan hasil hutan kayu.html/2013/html, diakses pada tanggal 22 Februari 2015, jam
20. 30 wita.
Dengan
demikian,
SKSHH
merupakan
dokumen
milik
negara
pengangkutan dengan dokumennya untuk hasil hutan yang berasal dari hutan
82
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti
nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
83
Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Lihat
penjelasan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dana untuk
reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha
pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Jadi disini jelas pengenaan Dana
Reboisasi (DR) hanya berlaku untuk hasil hutan berupa kayu dari hutan alam. Pengenaan Dana
Reboisasi (DR) tidak berlaku untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman dan hasil hutan bukan kayu,
seperti; rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, daun, tanaman obat-obatan, dan lain-lain.
84
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah dokumen legalitas pengangkutan hasil hutan
yang berasal dari hutan hak/rakyat atau dari tanah milik yang telah di bebani alas hak sesuai
P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak.
pengaturan atau
85
Dokumen NOTA Angkutan untuk 23 jenis diantaranya ; Rambutan, randu, sawit, sawo,
sukun, trembesi, waru, karet, jabon, sengon, petai, cempedak, dadap, duku, jambu, jengkol, kelapa,
kecapai, kenari, mangga, manggis, melinjo dan nangka.
Sedangkan sumber daya hutan atau hasil hutan berupa flora dan fauna
yang terdapat dalam hutan, karena keunikan dan kelangkaannya dilakukan
upaya konservasi untuk mempertahankan jenis dilakukan perlindungan
terhadap tumbuhan dan satwa liar.
pengiriman
atau
pengangkutan86,
baik
dokumen
perizinan
86
species for flora and fauna (CITES), maupun yang tidak dilindungi dalam
ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsenvasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2008 tentang Pengankutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.
Ketentuan terkait legalitas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tidak
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut: a) Pasal 42 ayat (1) Pengiriman atau pengangkutan jenis
tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya
di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan
dokumen pengiriman atau pengangkutan berikut Pasal 63 ayat (2)
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat
dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 250.000.000,- (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang
bersangkutan; b) Pasal 64 ayat (2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63,
sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi maupun
yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan
sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara.
Berdasarkan
pada ketentuan
peraturan
yang berkaitan
dengan
atau
menggunakan
kawasan
hutan
secara
tidak
sah
atau adanya
kesalahan, asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder
schuld).
Permaslahan norma tesebut di atas, tentu saja menimbulkan
kekosongan norma hukum dan ketidakpastian hukum terhadap penanganan
penggunaan
dan/atau
pengerjaan/perambahan
dan/atau
pendudukan
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang
terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu
87
dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di
dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. (Penjelasan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013).
88
Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H.
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang
sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.
Dalam
perbuatan
perusakan
hutan,
terdapat
tipologi
dalam
pembalakan liar, dimulai dari penyandang dana atau sering dikenal dengan
istilah cukong (penyokong dana) memiliki peranan penting dibalik kejahatan
pembalakan liar tersebut. Kegiatan pembalakan liar dilakukan dengan
merencanakan semua langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kayu
hutan secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara sah
atau legal. Untuk menyembunyikan harta hasil dari pembalakan liar dan
mencucinya, penyokong dana pertama-tama membayar sejumlah uang untuk
para pembalak dan pemimpin masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa
uang tunai infrastruktur seperti; jalan dan fasilitas umum lainnya ataupun
jasa lainya. Sebagai balasannya, penyokong dana memperoleh akses kepada
hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu. Mereka juga menyuap
oknum disektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat yang sah. Proses ini
pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Setelah melakukan
semua hal ini, penyokong dana kemudian harus membayar suap kepada
oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan pada beberapa titik
pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi
kayu
illegal
kepada
pembeli kayu. Pembeli-pembeli tersebut dapat berupa industri kayu lokal atau
pedagang kayu asing.
Dana tunai yang diterima oleh para pemimpin masyarakat lokal, oknum
pejabat pemerintah dan penegak hukum digunakan untuk membeli barang-
kembali
pada
bisnis
sama
atau
mentransfer
untuk
berinvestasi dibisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil
kejahatan non kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan
pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu.
Pemodal atau penyandang dana juga menjaga hubungan baik dengan
oknum pengambil keputusan dalam pemerintahan atau instansi terkait yang
Pembeli kayu
Penebang
liar
USS
Rp, barang,
jasa
Pemimpin
masyarakat
Rp
USS
Rp
Pejabat
pemerintah
Pejabat penegak
hukum
Pengambil
kebijakan
Rp
B
a
r
a
n
g
k
o Kejahatan Kehutanan dan Mendorong
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi
n
Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan
Hutan yang Berkelanjutan
s
Pendekatan Anti Pencucian Uang, Center for International Forestry
Research, Jakarta, 2005, hlm. 11.
90
u 12
Bambang Setiono dan Yunus Husain, Op, cit., hlm.
m
e
n
,
89
b
i
s
koodinasi
91
a. Pencurian kayu hutan dan pengkaburan asal usul kayu dengan cara
menampung kayu hutan dan mencampur dengan kayu rakyat dalam
industri atau Tempat Penanampungan Kayu Terdaftar (TPT).
b. Perubahan bentuk dari betuk log atau bahan setengah jadi, kedalam
bentuk menjadi produk jadi (meubel).
c. Penggunaan dokumen kayu tanah milik/hak untuk legalitas kayu dari
hutan negara .
d. Jasa atau penyediaan dokumen legalitas kayu oleh pemilik ijin
industri/ijin Tempat Penampungan Kayu Terdatar (TPT) atau Pejabat
Penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU).
e. Penebangan di luar ijin pemanfaatan hasil hutan kayu seperti IPK dari
Penggunaan Kawasan Hutan.
f. Penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman non
kehutanan seperti; jagung, pisang dan tanaman semusim lainnya.
g. Melakukan jual beli lahan ataupun ganti rugi kawasan hutan dan
sertifikasi dalam kawasan hutan.
h. Pembangunan sarana prasarana wisata illegal dalam kawasan hutan
i. Penambangan dalam Kawasan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan
tanpa ijin yang sah.
j. Dilakukan secara masif, berkelompok dan terorganisasi.
k. Dilakukan pada malam hari dan/atau pada hari-hari libur.
l. Menjelang perayaan hari-hari tertentu akan meningkat eskalasi
perbuatan perusakan hutan.
m. Menggunakan alat angkut sepeda motor dan lainnya yang sudah
dimodifikasi sedemikian rupa untuk angkutan.
Berdasarkan pada uraian permaslahan tersebut di atas, terjadinya
91
Makalah bahan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan, Perlindungan dan Pengaman Hutan di
NTB, Bidang Planolgi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Mataram, 2015.
kerusakan hutan disebabkan karena dari berbagai cara modus operandi dan
berbagai tipologi pembalakan liar. Perbuatan atau tindak pidana perusakan
hutan yang terjadi dilakukan dengan masif, terorganisir, hal ini juga
disebabkan adanya kelemahan-kelemahan pada norma hukum yang ada dan
aparat
penegak
hukum
dan
budaya
masyarakat.
Dalam
upaya
perusakan
hutan
merupakan
suatu
perbuatan
yang
92
adalah semua
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
Dalam pasal 1 ayat 5 penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah
92
Selanjutnya di
B.
berbunyi Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
penggunaan
kawasan hutan tanpa izin pencurian sumber daya alam lainya yang diambil
dari kawasan hutan dengan tidak sah atau tanpa ijin yang sah dari pemerintah
kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana kehutanan atau
dikenal
hasil
temuan
modus
yang
biasa
dilakukan
dalam
tebangan tersebut, adakalanya tidak hanya menampung dan membeli kayukayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat, alat tebang lainya
kepada masyarakat untuk kebutuhan penebangan ataupun pengangkutan.
Penanggulangan
terhadap
maraknya
tindak
pidana
kehutanan,
hukum dari penyidik Polri maupun penyidik PPNS Kehutanan sesuai lingkup
tugasnya yang bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan
maupun pengadilan/hakim, yang sebelumnya mempergunakan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan sarana
menjadi
instrumen
hukum
dalam
menanggulangi
pencegahan
dan
penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundangundangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau
hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari
jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
93
Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus
Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang
diselenggarakan, oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003.
terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang
berwenang, hal tersebut dikenakan ancaman pidana sebagaimana tercantum
dalam Pasal 50 mentukan perbutan pidana atau tindak pidana dan Pasal 78
mengatur sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat
dibandingkan dengan dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Dalam Ketentuan penjelasan pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi,
badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana
terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama sanksi
pidananya.
Dalam rumusan pasal-pasal dalam Undang-undang sebelumnya baik,
dalam ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masih banyak kelemahan sehingga
tidak mampu atau tidak efektif untuk mengakomodir tindakan kebaharuan
perusakan hutan dan memberikan efek jera bagi pelaku. Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999, juga sulit untuk menjerat para pelaku usaha atau
badan
hukum
berupa
korporasi
dengan
permasalahan
tersebut
tujuan
kehutanan,
menjadi sangat
pidana
khusus
yang
dalam
kategori
hukum
pidana
yang
dalam
tindak
pidana
kehutanan,
berkaitan
dengan
hutan
yang
mengandung
fungsi
perlindungan
dan
tindak
pidana kehutanan
hakekatnya merupakan
berkaitan
dengan
penggunaan
kawasan
hutan
dan
pemanfaatan
yang
secara
khusus
mengatur
tentang
penyelundupan.
Kegiatan
selama
ini
berkaitan
dengan
Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003), hlm.19
Pada
pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah
pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.
Dalam praktek tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana
dibidang kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan
oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah dengan melakukan
pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan
tanda tangan, pembuatan stempel palsu, atau keterangan Palsu dalam
SKSHH, artinya tidak terdapat kesesuaian yang terdapat dalam dokumen
SKSHH dengan fisik kayu hasil hutan maupun dalam perijinan terhadap
penggunaan kawasan hutan terlebih lagi terhadap hasil hutan kayu.
Perbuatan
pidana
Pemalsuan
dalam
KUHP
direformulasikan
ketetuan
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tetang
tadah
adalah
sebutan
lain
dari
perbuatan
96
atau
menggerakkan
penebangan
liar
dan/atau
mendanai,
penggunaan
mengubah
kawasan
hutan,
status
pembalakan
bahkan
liar
dan/atau
pesekongkolan
dalam
dan/atau
menyembunyikan
atau
menyamarkan
yang
dan sistem
pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE.
Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan
unsur
kesengajaan
atau
disebabkan
karena
adanya
kelalaian,
Kedua
perbuatan yang
memperniagakan,
dan
menyelundupkan
hasil
hutan.
tindak
pidana
kehutanan
atau
perbuatan
m dan
(6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut
di
atas,
berdampak
pada
pemanasan global dan permaslahan ini telah menjadi isu pada tingkat
nasional, regional, dan internasional.
Perbuatan perusakan hutan tersebut telah menjelma menjadi
suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa (extra ordinary), masif,
terorganisir, melintasi batas-batas wilayah dan lintas negara. Kejahatan
ini dilakukan dengan berbagai modus operandi, dengan kebaharuan
modus yang canggih sesuai perkembangan teknologi informasi, sarana
dan prasarana. Kejahatan ini tentu mengancam keberlangsungan
kehidupan
mahluk
hidup,
sumber
daya
alam
hayati
beserta
dan Pemberantasa
Perusakan Hutan di dalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenisjenis tindak pidana kehutanan, ketentuan undang-undang ini juga diatur
subjek hukum pertanggungjawaban hukum pidana, terhadap tindak
pidana kehutanan adalah orang/manusia alamiah (naturlijke person) dan
badan hukum atau korporasi (rechtsperson), serta pejabat pemerintah
yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya.
Kesalahan
1.
Kesengajaan
Sanksi Pidana
Pidana penjara paling singkat
1 tahun dan paling lama 5
tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp.
500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.
2.500.000.000,- (dua miliar
lima ratus juta rupiah).
c. melakukan penebang
pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah
(Pasal 12 huruf c ).
2.
Kesengajaan
Kelalaian
b. mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi
secara bersama surat
keterangan sahnya hasil
hutan. (Pasal 12 huruf e)
c. memanfaatkan hasil hutan
kayu yang diduga berasal
dari hasil pembalakan liar.
(Pasal 12 huryf h ).
ayat 2 orang perseorangan
paling banyak
Rp.500.000.000,ayat 4 Korporasi;
3.
Kesengajaan
Kelalaian
3 Orang
bertempat
dan/atau
pada ayat
Kesegajaan
(Pasal 12 huruf g ).
Pasal 85 ayat (2) Korporasi
yang membawa alat-alat
berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di
dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
(Pasal huruf 12 g ).
5.
Kesengajaan
6.
titipan, menyimpan,
dan/atau memiliki hasil
hutan kayu yang berasal
dari
kawasan hutan yang
diambil atau dipungut
secara tidak sah. (Pasal 12
m)
Pasal 87 ayat (2) Orang
perseorangan
7.
Kelalaian
Kesengajaan
penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu
yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang.
(Pasal 15 )
7.
Kesengajaan
8.
9.
a. menjual, menguasai,
memiliki, dan/atau
enyimpan hasil tambang
yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin.
(Pasal 17 ayat (1) huruf d)
dan/atau
b. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
tambang dari kegiatan
penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
(Pasal 17 ayat (1) huruf
e).
ayat (2) Korporasi
10.
Kesengajaan
Kelalaian
c. membeli, memasarkan,
dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan
yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf e).
ayat (2) Orang perseorangan
12.
Kesengajaan
12.
a. menyuruh,
mengorganisasi, atau
menggerakkan
membalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf a).
b. melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan
embalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah.
(Pasal 19 huruf c ).
c. mendanai pembalakan liar
dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah secara langsung
atau tidak langsung. (Pasal
19 huruf d ) dan/atau
d. mengubah status kayu
hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan
kawasan hutan secara
tidak sah, seolah-olah
menjadi kayu yang sah
atau hasil penggunaan
kawasan hutan yang sah
untuk dijual kepada pihak
ketiga, baik di dalam
maupun di luar negeri.
(Pasal 19 huruf f ).
Kesengajaan
Kelalaian
13.
Kesengajaan
dan/atau
c. memindahtangankan atau
menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang kecuali
dengan persetujuan
Menteri (Pasal 24 huruf c)
ayat (2) Korporasi
14.
Kelalaian
b. merusak, memindahkan,
atau menghilangkan pal
batas luar kawasan hutan,
batas fungsi kawasan
hutan, atau batas kawasan
hutan yang berimpit
dengan batas negara yang
mengakibatkan perubahan
bentuk dan/atau luasan
kawasan hutan. (Pasal 26)
ayat (2) Orang perseorangan
15.
Kesengajaan
Kelalaian
16.
Kesengajaan
Kelalaian
17.
Kesengajaan
18.
19.
Kesengajaan
20.
21.
22.
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013,
diatur
norma
hukum
di
dalamnya
berkaitan
dengan
adanya
pertambangan.
/pengerjaan/pendudukan
Sedangkan
kawasan
untuk
hutan
kegiatan
perambahan
sebagaimana
Peraturan
tentu
saja
menimbulkan
kekosongan
norma
hukum
dan
berupa merambah kawasan hutan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf b Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, tidak termasuk yang
dicabut sebagaimana ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor
18 tahun 2013, akan tetapi ketentuan sanksi pidana atau ancaman
pidananya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan Pasal 112 huruf b yang menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50
ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat
(3) huruf a dan b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan ayat (10) Undangundang Nomor 41 tentang Kehutanan.
Menurut pendapat peneliti, dari ketentuan rumusan perbuatan
pidana tersebut di atas, terdapat permasalahan inkonsistensi hukum atau
adanya konflik norma hukum, sehingga tidak dapat diterapkan unsur
perbuatan pidana atau tidak terjeratnya para pelaku perambahan,
pendudukan kawasan hutan. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan asas
tembusan
kepada
kepala
Kejaksaan
Negeri
setempat.
dari
luar
hutan
konservasi
dimanfaatkan
untuk
berdampak
pada
upaya
penanggulangan
pencegahan
dan
a. Paksaan pemerintah
b. Uang paksa; dan/atau
c. Pencabutan izin.
pertanggungjawaban
ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut
legalitas yaitu asas mengenai
menjatuhkan
atau
berlakunya
menerapkan
suatu
hukum.
pemidanaan
dengan
Untuk
itu
terhadap
asas
dalam
seorang
Indonesia salah satu kriteria prinsip individualisasi pidana dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa Kewenangan
menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia
dari ketentuan
pidana
didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah
asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, asas culvabilitas atau geen
dengan
pertanggungjawaban
pidana.
Pertanggungjawaban
untuk
menentukan
apakah
seseorang tersangka
atau
rea, terjemahan aslinya ialah evil mind atau evil will atau guilty mind.
Asas mens rea merupakan subjective guilt yang melekat pada si
pembuat. Subjective guilt ini berupa intent
dengan
perkataan
lain,
orang
tersebut
harus
dapat
Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti bahwa demikian
pula urut-urutan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan
terlebih dahulu, pengertian dan sekaligus perbedaan antara unsur
kesengajaan dan kealpaan menurut Roeslan Saleh yaitu ;
Unsur kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang diharuskan atau dilarang oleh aturan
perundang-undangan. Baik unsur cognitif maupun unsur volitif
merupakan ciri unsur kesengajaanan. Jadi baik kehendak maupun
pengetahuan, sedangkan Kealpaan adalah tidak hati-hati atau kurang
memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang adalah terlarang. 97
Perumusan pertanggungjawaban pidana ini tidak ada di dalam KUHP
dan selama ini lebih banyak didasarkan pada teori-teori dalam hukum
pidana. Dalam rancangan Konsep KUHP Tahun 2004, pertanggungjawaban
pidana dirumuskan dalam Pasal 34 yang berbunyi pertanggungjawaban
pidana ialah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan
secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat
dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
pertanggunjawaban
vicarious
liability
diartikan
sebagai
97
Ibid.,
mempunyai
sifat
yang
mandiri
dalam
hal
dengan
vicarious liability
lingkup
pekerjaannya
dan
demi
keuntungan
korporasi
yang
dipimpinnya.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna
pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana
yang telah dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di
dalamnya pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif.
98
99
berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal 2
Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai
dengan ketentuan terakhir invoeringswet April 1886, Stb. 64101.
berlaku
Wetbook
berdasarkan asas
Hukum
Pidana,
setelah
diadakan
perubahan
dan/atau
sebagian
yang
sekarang
idak
dapat
dijalankan
atau
101
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
Hasnan, cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887), hlm. 1
Strafrecht
belum ada kepastian tentang dasar hukum pidana. Pada waktu itu Menteri
Kehakiman Modderman mengatakan bahwa asas darimana pembuat
Undang-undang bertolak adalah bahwa hanya boleh dipidana terutama
sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak dan ditambah
dengan syarat bahwa pelanggaran hukum terjadi, apabila menurut
pengalaman mengingat keadaan tertentu dalam masyarakat, perbuatan itu
tidak dapat ditahan sepantasnya dengan sarana lain. Ancaman dengan
pidana harus tetap sebagai suatu ultimatum remidium .
Dalam memilih pidana pembuat Undang-undanag membatasi diri,
dan
memilih
sistem
pemidanaan
yang
sangat
sederhana
dengan
dari
pidana
dan
tanpa
perbandingan
seperti
itu
tidak
mungkin
102
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEMPETEHAEM, Jakarta 1986, hlm. 458.
50
bahwa
pengembalian
kerugian
akibat
perusakan
hutan
tidak
a. Jenis-jenis pidana
Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana
atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi
pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan
pidana. Jenis-jenis pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP
dinyatakan tentang jenis pidana sebagai berikut terdiri atas103 :
a. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara
tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang
dirumuskan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan
sanksi pidana secara khusus juga ditentukan dalam Ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana tersebut diatur dalam
103
Pasal 10 KUHP.
BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan
dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaian, melingkupi tindakantindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa
manusia alamiah (naturlijke person) ataupun sebagai badan hukum atau
korporasi (rechtsperson), tindak pidana perusakan hutan, diantaranya
berupa :
1. Perorangan
2. Korporasi atau Pejabat Pemerintah
Kesemua ketentutuan pidana ini tidak terlepas dari aturan hukum
pidana pada umum (KUHP), bahwa ketentuan pidana lebih khusus
diberlakukan sebagai cara untuk menanggulagi tindak pidana dalam
kehutanan, melingkupi kebijakan hukum administrasi, hukum perdata
atau keperdataan berkaitan dengan korporasi.
Kebijakan
menanggulangi
kejahatan
merupakan
organisasi
kriminal
berwujud
baik
pengetahuan
maupun
sebagai
penerapan
(aplikatif).
Kebijakan
penegakan
hukum
dan
legislatif
b. Syarat Pemidanaan
Syarat pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang
digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan.
Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu
bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara
pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of
adalah
setiap
Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap orangperorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan
tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan
pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang
berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar
kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah dengan ancaman
Hukum
yang
ke dalam Buku
yang lazim
(RU KUHP)
pidana mati,
terdiri atas105 ;
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.
Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu
dikembangkan
sebagai
alternatif
dari
pidana
perampasan
tenggang
waktu
masa
percobaan
tersebut
terpidana
pidana,
tetapi
tidak
atau
kurang
mampu
5.
a. Untuk menghindari
tindak
pidana
yang
dipandang
membahayakan
dan
meresahkan masyarakat;
c. Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat,
sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk
minimum
mengenai
terorisme.
Mengenai
penyelenggaraan
peradilan
(Contempt
penghinaan
of
Court)
terhadap
tidak
106
hukum acara pidana ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan umum.
Ketentuan
mengenai
penyelidikan,
disesuaikan
dengan
kewenangan
sesuai
dengan
undang-undang
yang
memberikan
kewenangan
masing-masing
instansi
yang
tersebut
pada
awalnya
dikehendaki
untuk
secepatnya
(tiga ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh
c. Lembaga
dibidang Kehutanan
Dalam penanganan tindak pidana dibidang kehutanan, terdapat
berapa instansi/lembaga
107
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang
Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project, (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade)
Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010. hlm. 33
hukum,
memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan
atau
kejahatan,
khusus/tertentu.
termasuk
Penegakan
hukum
penanganan
dilakukan
tindak
pidana
meliputi
upaya
b.
ini
melahirkan
fungsi-fungsi
dalam
usaha
pengelolaan,
hutan,
hasil
hutan,
investasi
serta
perangkat
yang
Kehutanan.
Pelaksanaan
ketentuan
Undang-undang
ini
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
hukum
seyogyanya
dapat
dilakukan
maksimal
Kegiatan
represif
melalui
penegakan
hukum
dengan
a. Melakukan penuntutan,
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas
bersyarat.
d. Melakukan
penyidikan
terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan Undang-undang.
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan dengan
penyidik.
dibidang
kehutanan
keterlibatan
TNI
sebagai
bagian
dari
upaya
pencegahan
dan
penangkapan
terhadap
terjadinya
Republik Indonesia.
c. Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan
Nomor : 51/II/PIK-I/2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan
tropis Indonesia.
BAB III
KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PERUSAKAN HUTAN (LP3H) DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KEHUTANAN
1. Kedudukan Lembaga
dengan
memperhatikan
keadilan
(gerechtigkeit),
kemanfaatan
(LP3H),
sebagai
penegasan
dari
reformulasi
sepertinya
tidak
hutan
pembentukan
dari
peraturan
kelembagaan
sebelumnya,
Lembaga
sehingga
Pencegahan
dan
diamanatkan
Pemberantasan
Nomor
18
pemberantasan
Perusakan
Tahun
Hutan,
2013
lembaga
tentang
Pencegahan
dimaksud
dibentuk
dan
dan
110
kerjasama dan
hutan
Upaya
yang
untuk
dapat
terorganisir
mengoptimalkan
yang
memiliki
pemberantasan
karakter
berbagai
Terintegrasi
Nomor
18
Pemeberantasan
Perusakan
Tahun
Hutan
2013,
(P3H)
lembaga
memiliki
Pencegahan
tugas,
fungsi
dan
dan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; dan
c. Memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil
operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan
hutan konservasi untuk kepentingan sosial.
bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, membidangi antara lain sebagai berikut112 :
a. Bidang Pencegahan
b. Bidang Penindakan
c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, struktur
atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan atau
penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau
penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan. Kelembagaan Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), dengan organ
dalam organisasi tersebut dapat melakukan kegiatan pencegahan, penindakan
atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan, melakukan
kerjasama antar lembaga penegak hukum dan melakukan pengawasan internal
untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat.
Keberadaan lembaga P3H dan kewenangan yang diamanahkan Undangundang kepada lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
menjadi
harapan
penanggulangan
untuk
perusakan
dapat
melakukan
hutan
upaya
secara sistematis
pencegahan
dan
dan
konprehensif.
112
hukum masyarakat (culture) dan tentu dengan norma atau aturan hukum yang
responsif dan progresif.
Undang-undang
Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-undang ini. keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam
lembaga/badan pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, menjadi
kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat optimal dalam melakukan
tugas
113
3. Kewenangan,
Tugas
dan
Fungsi
Lembaga
Pencegahan
dan
Lembaga
114
tindak
dan
Dasar
yang
menjadi
kewenangan
Lembaga
Pencegahan
dan
administrasi
penyelidikan dan
penyidikan
terhadap
masyarakat
dalam
upaya
pencegahan
dan
Hutan
diberikan
kewenangan
berdasarkan
ketentuan
yang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
1.1. Pencegahan
Dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik
oleh pemerintah melalui organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi
dalam usaha pencegahan dan pencegahan perusakan hutan yang
dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana
(non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban
membuat kebijakan berupa116 :
a. Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan;
b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;
115
116
menetapkan
sumber
kayu
alternatif
ataupun
anti
perusakan
hutan.
Selain
membuat
kebijakan
yang
hukum
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
yaitu;
Kepastian
Hukum
Keadilan
dan
Kemanfaatan
117
hukum
yang
meliputi
penyelidikan
dan
penyidikan,
Jimly Asshiddiqi, Penegakan Hukum, Makalah Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional,
VI, LIPI, Jakarta, November 2011.
1.1. Penyeledikan
Rangkaian proses penyelidikan merupakan tahapan awal proses
perkara pidana yang tidak dapat dipisahkan dengan penyidikan, dengan
penyelidikan penyelidik dapat memberikan informasi data dan fakta yang
akurat kepada penyidik sehingga penyidik dapat segera menentukan
sikap apakah dapat dilakukan penyidikan, ditunda atau tidak perlu
dilakukan penyidikan, kemudian dari hasil penyelidikan penyidik telah
memiliki persiapan yang matang untuk melakukan tindakan penyidikan,
sehingga semaksimal mungkin akan dapat dihindari kesalahan dalam
penggunaan tindakan upaya paksa yang berakibat proses praperadilan.
Penyelidikan
adalah
serangkaian
tindakan
penyelidik
untuk
1.2. Penyidikan
Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime investigation)
tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang temukan atau
tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang
berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa
pidana atau delik, dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat
bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan.
Dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa,
118
121
yang
memaksimalkan
sangat
upaya
luas,
hal
ini
penanggulangan
diharapkan
dalam
dapat
melakukan
34
cukup
lembaga
penyelenggara
komunikasi
untuk
dalam
hal
melakukan :
a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos
serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan
pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau
b. Meminta
informasi
pembicaraan
melalui
telepon
atau
alat
35 ayat 1
123
124
Pasal 14 KUHAP
Pasal 39 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
Bahwa
untuk
kepentingan
penyidikan,
penuntutan
atau
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
peradilan,
ketentuan
Pasal
184
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
a. Alat
b. Alat
c. Alat
d. Alat
e. Alat
bukti
bukti
bukti
bukti
bukti
Keterangan Saksi
Keterangan Ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan Terdakwa
terdakwa
bersalah,
telah
melakukan
tindak
pidana
yang
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan
Perusakan
Hutan,
Berdasarkan pada ketentuan alat bukti tindak pidana, jadi selain alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), ditentukan juga alat bukti dalam Undang-undang Nomor
18 Tahun 2013, dalam melakukan pembuktian terhadap perkara tindak
pidana perusakan hutan. Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas
merupakan sumber ataupun ciri khusus lain dari tindak pidana umum
dengan tindak pidana kehutanan.
diundangkannya
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013,
128
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan sebagai hakim. (lihat Pasal 53 ayat 5), Hakim karier adalah hakim yang masih aktif yang
berada dalam lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
129
Pasal 53 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
penanganan
atau
pemeriksaan
perkara
di
sidang
130
130
Pasal 53 ayat 5
sebagai
saksi
pelapor,
saksi,
saksi
ahli
sesuai
peraturan
perundang-undangan.
Lembaga P3H ini, memiki tugas dan fungsi sebagaimana yang
ditentukan pada BAB VII,
internasional
dengan
negara
lain
dalam
rangka
pencegahan
dan
131
131
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya di atas, dapat diajukan
kesimpulan yang menjadi hasil penelitian tesis ini. Kesimpulan hasil penelitian
dimaksud adalah :
1. Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan dengan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya
diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum
pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana yang
diancam berbeda terhadap orang perseorangan, orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan,
korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem pemidanaannya dengan
sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum khusus sampai
dengan maksimum khusus.
2. Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan
Hutan
(P3H)
adalah
bersumber
dari
kewenangan
yang
P3H,
penyelidikan,
melalui
penyidikan,
penegakan
hukum
penuntutan
sampai
proses
pemeriksaan
di
D. S A R A N
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut :
1. Dari kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
kehutanan
baik,
Ketentuan
norma
pencegahan
berupa
dan
pemberantasan
jenis
tindak
perusakan
pidana,
subjek
hutan.
hukum
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013,
diperlukan
adanya
kebijakan
pencegahan
dan
formulasi
hukum
pemberantasan
pidana
perusakan
dalam
hutan
penanggulangan
diharapkan
dapat
harmonisasi
antar
peraturan
perundang-undangan
terkait
kewenangan
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Buku
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta), 2006.
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial
Penyalahgunaan
Komputer,
(Universitas
Atmajaya
Yogyakarta), 1999.
Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, cetakan pertama (PT. Rineka Cipta, Jakarta),
2003.
______________, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (PT. Rineka Cipta,
Jakarta), 1996.
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
(Raja
dengan
Pidana
Penjara,
(Balai
Penerbitan
Undip,
Semarang), 1996.
_______________ , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Mendorong
Prinsip
Kehati-hatian
Mewujudkan
Pengelolaan
Pendekatan
Anti
Hutan
Pencucian
Perbankan
yang
Uang,
untuk
Berkelanjutan
(Center
for
Bagaimana
Filsafat
Hukum
Indonesia,
cet.,
Kelima,
Bidang Kehutanan,
oleh
ICEL
bekerjasama
dengan
HASNAN,
Bandung), 19887.
cetakan
kedua,
(Binacipta,
Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
(Sekertariat
Jenderal
Mahkamah
Konstitusi
Republik
Hardjosoemantri,
Pertanggungjawaban
Korporasi
Dalam
Tindak
Pidana
Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-
dan
Konservasi
EC-Indonesia
FLEGT
Alam
SP
Departemen
(Forest
Law
Direktorat
Jenderal
Perlindungan
Hutan
dan
B.
Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen I, II, III dan IV.
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c. Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional, terakhir Tahun 2013
Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Sistem Pidana Minimum Khusus
Mei 2014.
Dila Romi Aprilia, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanganan Tindak
2012.
September 2008.
Maret 2015.
________________,Hukum
Kehutanan
dan
Tata
Usaha
Kayu,
tentang Hutan