You are on page 1of 12

Difteri pada Anak

Agung Haryanto
102010207
Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta 11510
Email : agungharyanto16@gmail.com

Pendahuluan
Difteria faring yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Corynebacterium
difteriae adalah kuman batang, gram positif tanpa spora atau kapsul. Gejala-gejala yang
ditimbulkan adalah akibat dari pengaruh eksotoksin yang dilepaskan oleh bakteri tersebut.
Terdapat tiga gejala yang diakibatkan oleh pengaruh eksotoksin yaitu gejala umum , gejala
lokal dan akibat dari toksin. Gejala umum seperti gejala infeksi dengan peningkatan suhu
tubuh, nyeri kepala, lemah, nadi lambat, nyeri menelan; gejala lokal berupa pembentukan
pseudomembran pada tonsil, faring dan laring juga ditemukannya pembengkakan kelenjar
limfe; sedangkan akibat dari toksin menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Diagnosis pada
kasus ini bisa dengan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
pseudomembran.

Anamnesis
1. Keluhan utama
Skenario adalah seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD dengan
keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu
yang lalu dan demam tinggi serta nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga tidak
mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Pada PF didapati
kesadaran compos mentis, tampak sesak dan agitasi. Frekuensi napas 50x/menit, denyut
nadi 130x/menit, suhu 30^C, stridor (+). Leher terlihat membesar dan teraba keras, kedua
tonsil membesar dengan ditutupi selaput putih keabu-abuan yang menyebar sampai ke
dinding faring
Berdasarkan skenario tersebut. keluhan utama pasien adalah sesak napas sejak 1 hari
2.

yang lalu.
Keluhan tambahan
Keluhan tambahan yang dapat ditanyakan dalam anamnesis ini berupa.1,2
a. Apakah terdapat demam.
Adanya demam spesifik untuk mengetahui apakah anak mendapat gejala infeksi
atau karena atopik. Besarnya suhu pada demam juga bermakna pada anak untuk
membedakan infeksi virus atau bakteri.
b. Apakah sesak terus menerus atau hilang timbul pada saat-saat tertentu.
c. Keadaan umum anak.
Keadaan umum anak patut ditanyakan sebelum dibuktikan atau ditambahkan
pada pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan anak.
d. Gejala awal.
Gejala awal seperti batuk, pilek berguna untuk mencari tahu saat terjadinya
infeksi pertama kali dan dapat digunakan untuk melihat tingkat infektivitas
kuman.
e. Riwayat imunisasi
Penting terutama penyakit infeksi pada anak dan dapat dipakai untuk
mengeliminasi diagnosis banding. Yang penting di sini adalah ditanyakan juga
kepatuhan dan keteraturan imunisasi yang harus dilakukan berulang kali.
f. Riwayat penyakit keluarga.

Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit tersebut
berdasarkan anamnesis adalah TTV, inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi.
Inspeksi dilakukan dengan tujuan untuk menilai keadaan fisik anak. Yang dapat
dilaporkan adalah keadaan umum anak, adanya kelainan dalam pernapasan. Dalam hal
ini adalah jenis pernapasan, sesak atau tidak, dan dapat ditemukannya kelainan-kelainan
lain pada rongga thorak anak tersebut. Inspeksi pada rongga pernapasan atas anak juga
2

Tabel 1. Bagian, Sel, dan Fungsi kelenjar

bermanfaat. Kita dapat melihat mukosa rongga faring dan melaporkan hasilnya. Adanya
edem serta hiperemis mendadakan adanya inflamasi pada mukosa tersebut, namun
berdasarkan skenario didapat selaput keputihan pada tonsil sampai ke faring.1
Palpasi dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah terdapat nyeri tekan atau
terdapat suatu massa tumor pada rongga dada. Nyeri tekan dapat bermakna apabila anak
tersebut menderita pneumonia.
Perkusi dilakukan dengan tujuan untuk melihat bagaimana bunyi lapang thorak.
Normal bunyi adalah sonor dan sedikit redup pada daerah jantung.
Auskultasi dilakukan dengan tujuan untuk mendengar bunyi paru dan menentukan
suara paru patologis. Pada skenario terdapat suara stridor. Stridor sendiri terjadi karena
adanya penyumbatan di daerah laring.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap,
identifikasi bakteri, Shick tes, dan uji Elek-Ouchterlony.
Pemeriksaan darah lengkap penting karena berdasarkan hasilnya dapat dilihat apakah
neonatus tersebut mengalami tanda-tanda adanya sepsis atau tidak. Dapat juga dilihat
berbagai kelainan yang lain, seperti LED yang baik, trombositopenia, dan lainnya.
Identifikasi bakteri penyabab dapat diambil dari sputum anak. Sputum yang diambil
harus baik, yakni yang tidak berbuih dan apabila dilihat di bawah mikroskop tidak
banyak terdapat sel epitel. Hasil dari sputum nantinya akan dilakukan pewarnaan dan
dapat dikultur lalu dilakukan uji resistensi.
Shick tes adalah pemeriksaan untuk melihat apakah terdapat antibodi terhadap toksin
yang dihasilkan oleh kuman difteri tersebut dengan cara penyuntikan toksin difteri pada
kulit. Apabila positif maka akan timbul reaksi pada lokasi tempat penyuntikan berupa
bercak eritematosus sementara.
Uji Elek-Ouchterlony adalah uji untuk menentukan apakah strain difteri tersebut
menghasilkan toksin atau tidak dari hasil pembiakan.

Diagnosis & Diagnosis Banding

Diagnosis kerja pada kasus ini adalah difteri berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta diagnosis pasti berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang. Adapun diagnosis
banding untuk kasus ini adalah tonsilitis dan faringitis dengan abses. Adanya abses dapat
menimbulkan adanya obstruksi sebagian pada rongga pernapasan sehingga timbul
manifestasi sesak napas. Anamnesis yang penting untuk membantu penegakkan diagnosis
adalah karakteristik sesak, demam, riwayat imunisasi, serta penyakit keluarga. pada
pemeriksaan fisik tidak didapat adanya abses pada tonsil maupun faring justru ditemukan
selaput putih yang merupakan pseudomembran pada tonsil sampai faring yang apabila
dikerok mudah berdarah. Terdapat juga stridor pada auskultasi yang menandakan adanya
obstruksi. Pada hasil TTV, didapat tanda-tanda infeksi terutama terlihat dari suhu. Hal ini
dipakai sebagai kriteria untuk mengeliminasi diagnosis banding, yakni asma bronkiale. Pada
asma didapat sesak napas namun tidak didapat tanda-tanda adanya infeksi. Pada pemeriksaan
penunjang juga dapat dilihat tanda-tanda infeksi serta hasil identifikasi bakteri penyebab dan
uji terhadap toksin bakteri.
Difteri
Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya bakteri Corynebacterium diphtheria
dengan melakukan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai.
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:3

Infeksi ringan, apabila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan

gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan


Infeksi sedang, apabila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan laring

sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak


Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala gejala
seperti miokarditis, paralisis, dan nefritis.

Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut, ruang retrofiring masih berisi kelenjar limfa, masing masing 2
5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun,
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.

Pencetus terjadinya abses retrofiring antara lain infeksi saluran pernapasan atas yang
menyebabkan limfadenitis retrofiring, trauma dinding belakang faring oleh benda asing, dan
juga tuberculosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Gejala utama abses retrofiring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Anak jadi rewel
dan tidak mau makan atau minum. Selain itu anak demam, leher kaku, dan nyeri. Sesak nafas
dapat terjadi akibat sumbatan di hipofaring. Bila peradangan berlanjut sampai laring dapat
menimbulkan stridor. Sumbatan juga dapat mempengaruhi resonansi suara. Pada dinding
belakang faring tampak ada benjolan yang biasanya unilateral, dengan mukosa oedem dan
hiperemis.
Terapi yang dilakukan adalah dengan tindakan bedah, dilakukan insisi dan punksi
abses melalui laringoskopi langsung. Pus yang keluar segera dihisap untuk mencegah
terjadinya aspirasi. Kemudian terapi medikamentosanya dengan memberikan antibiotik dosis
tinggi secara parenteral.4
Abses Peritonsiler
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat
aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan
abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya
5

akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain gejala dan tanda tonsilitis akut,
terdapat juga nyeri menelan yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau, dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher dan atau terbatasnya gerakan leher, maka ini
dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation).4

Etiologi
Organisme Corynebacterium difteriae adalah kuman batang, gram positif tanpa spora atau
kapsul. Organisme ini berbentuk kuneiformis. Semua jenis bisa mengeluarkan eksotoksin.
Toksin difteri bersifat sitotoksik, yaitu dengan mengganggu pembentukan protein sel. 4 Di
alam Corynebacterium diptheriae ditemukan pada saluran napas, pada luka atau kulit orang
yang terinfeksi atau karier normal. Bakteri ini menyebar melalui droplet atau kontak dengan
orang yang diduga kuat sebagai sumber infeksi. 5

Gambar 1. Bakteri Corynebacterium diphteriae6


Diunduh dari http://www.uic.edu/classes/dh/dh110/Corynebacterium%20&
%20Mycobacterium_files/frame.htm

Epidemiologi
Difteri terjadi diseluruh dunia dan pada setiap waktu sepanjang tahun, meskipun
paling sering saat musim dingin. Reservoir infeksi utama adalah manusia; peran peralatan
seperti baju atau handuk dan hewan dapat diabaikan. Kedekatan dan lama kontak dengan
6

pasien difteri merupakan penentu penting penyebaran infeksi. Difteri tetap merupakan
penyakit yang umum di negara-negara tanpa program imunisasi yang efektif. Di Amerika
Serikat, insiden difteri menurun secara drastis sejak tahun 1950, dan terutama selama tahun
1960-an saat dilaksanakannya program imunisasi yang agresif. Sejak tahu 1980 dilaporkan
kurang dari 5 persen per tahun. Bersamaan dengan itu, difteri beralih dari penyakit anak-anak
ke dewasa. Namun, kemungkinan wabah berlanjut bila masyarakat tidak diimunisasi. 6
Patofisiologi
Corynebacterium diphtheriae adalah mikroorganisme yang tidak insvasif, hanya
menyerang bagian superfisial dari saluran pernafasan dan kulit yang dapat menimbulkan
reaksi peradangan lokal dan diikuti nekrosis jaringan. Penularan terjadi apabila kontak
langsung dengan pasien atau karier difteri. Penularan langsung dengan cara batuk, bersin,
atau berbicara. Kontak tidak langsung dapat melalui debu, baju, buku, ataupun mainan yang
terkontaminasi. Kontak tidak langsung dapat terjadi karena bakteri tersebut cukup resisten
terhadap udara panas, dingin, dan kering, serta tahan hidup pada debu dan muntahan selama 6
bulan.
Bakteri ini masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian berkembang pada mukosa
saluran napas bagian atas, terutama pada daerah tonsil, faring, laring, kadang kadang di
kulit, konjungtiva, atau genitalia. Bakteri ini kemudian akan memproduksi eksotoksin yang
akan diabsorpsi melewati membran sel mukosa. Akibatnya terjadi peradangan dan destruksi
sel epitel yang diikuti terjadinya nekrosis. Pada daerah nekrosis ini akan terbentuk fibrin,
yang kemudian diinfiltrasi oleh sel leukosit. Keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya
patchy exudate yang pada permulaannya masih dapat terkelupas.
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi bakteri ini akan semakin
meningkat, menyebabkan daerah nekrosis akan bertambah luas dan bertambah dalam,
sehingga menimbulkan terbentuknya fibrous exudate atau pseudomembran yang terdiri atas
jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, dan leukosit, yang berwarna abu abu hingga
hitam. Membran ini sulit terkelupas, dan akan menimbulkan perdarahan bila dipaksa lepas.
Pseudomembran ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan berat
dapat meluas hingga ke trakea dan kadang ke bronkus, kemudian diikuti edema jaringan
lunak dibawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran pernapasan,
sehingga memerlukan tindakan segera.
7

Pada keadaan tertentu, bisa saja terjadi pembesaran kelenjar getah bening servikal dan
edema pada muka. Kombinasi antara linfadenopati servikal dan edema muka menimbulkan
perubahan wajah yang disebut bulls neck appearance.
Eksotoksin yang sudah terbentuk akan diserap masuk ke dalam sirkulasi darah,
sehingga menyebar ke seluruh tubuh, menimbulkan kerusakan jaringan di organ organ
tubuh. Kerusakan ini dapat berupa degenerasi, infiltrasi lemak, dan nekrosis. Organ yang
dituju terutama jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenal, dan jaringan saraf perifer.3,6

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dibagi menjadi 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal, dan
gejala akibat eksotoksin.4
a. Gejala umum, seperti juga gekala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan
nyeri menelan
b. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran
semu dapat menyebar ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran napas.1 Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat mudah berdarah.

Pada perkembangan penyakit ini bila

infeksinya berjalan lanjut, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian


besarnya sehigga menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters
hals.1
c. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteria ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung erdapat miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot-otot
palatum dan otot-otot pernapasan pada ginjal menimbulkan albuminuria. 1

Gambar 2. Pseudomembran
Diunduh dari :
http://www2.wmin.ac.uk/~redwayk/lectures/virulence_and_pathogenicity.htm#Exoto
xins

Gambar 3. Bull neck


Diunduh dari : http://mediskus.com/penyakit/difteri.html

Penatalaksanaan
Antibiotika penisilin atau eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3
dosis selama 14 hari. Antibiotik penisilin dan eritromisin menghambat pertumbuhan basil
difteri, meskipun obat ini tidak memiliki pengaruh terhadap proses penyakit, tetapi
menghentikan pelepasan toksin.7
Kortikosteroid diberikan atas indikasi, yaitu pada keadaan obstruksi jalan nafas atas
serta miokarditis. Preparat yang diberikan yaitu prednisone dengan dosis 2 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu, kemudian diturunkan bertahap. 6 Antipiretik untuk simptomatis. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama
2-3 minggu.7

Komplikasi
Laringits difteri dapat berlangsung cepat, membran semua menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien maka pasien makin cepat timbul
komplikasi lain. Miokarditis dapt mengakibatkan payah jantung atau decompenstio cordis.
Kelumpuhan otot-otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring dan laring
9

sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai komplikasi ke ginjal.
Prognosis
Prognosis untuk penderita difteri tergatung pada virulensi organisme, umur, status
imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan pemberian antitoxin. Penyumbatan mekanik karena
difteri laring atau difteri bull neck

dan komplikasi mikoarditis merupakan penyebab

kematian terbesar.7
Preventif
Vaksin difteri merupakan salah satu imunisasi dasar bersama dengan imunisasi tetanus
dan pertussis dalam bentuk vaksin DPT. Pemberian vaksin DPT merupakan imunisasi yang
diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT diberikan untuk anak usia di atas 6 minggu sampai
7 tahun, sedangkan usia 7 18 tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin TD saja.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan dimulai pada usia 2 bulan melalui suntikan IM.
Vaksin dasar diberikan tiga kali dengan selang waktu 6 8 minggu (usia 2, 4, dan 6 bulan).
Ulangan pertama dilakukan 1 tahun setelahnya (usia 15 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4 6 tahun).
Booster perlu diberikan setiap 10 tahun sekali, karena kekebalan yang terbentuk setelah
imunisasi dasar hanya bertahan selama 10 tahun. Pemberian booster cukup dengan
memberikan vaksin TD. Pemberian booster dianjurkan pada usia 11 sampai 12 tahun, atau
minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk pemberian
booster setiap 10 tahun.8

Kesimpulan
Pasien didiagnosa menderita difteria yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae dengan ditemukannya manifestasi klinik berupa sesak napas yang sebelumnya
didahului dengan demam, batuk, dan nyeri menelan . Diagnosa pasti ditegakkan dengan
10

ditemukannya pseudomembran dan bull neck pada pemeriksaan fisik, serta diketahui riwayat
imunisasi yang tidak lengkap melalui anamnesis.

Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. p.

10-8, 31-5.

11

2. Basmajian JV, Slonecker CE. Grant metode anatomi berorientasi pada klinik jilid
dua.ed 11. Jakarta: Binarupa Aksara; 1995.h.125-31.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Ed V. Jakarta: Interna Publishing, 2010
4. Seopardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam:
Arsyad ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Dwi RR. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2011. H. 4-5
5. Brooks GF, Janet SB, Stephen AM. Mikrobiologi kedokteran. Ed 1. Jakarta : Salemba
Medika. 2005. H. 302-7
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Ed 20. Jakarta :
EGC. 2006. H. 635-7
7. Long SS. Difteri. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editor. Ilmu
kesehatan anak Nelson. Ed 15 Vol 2. Jakarta: EGC, 2000. H. 955-9
8. Cahyono JBS, Lusi RA, Verawati, Sitorus R, et al. Vaksinasi: cara ampuh cegah
penyakit infeksi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.

12

You might also like