You are on page 1of 7

TUGAS M.

K GINEKOLOGI DAN OBSTETRI DASAR


PENYAKIT KELAHIRAN

OLEH :
NAMA : LALU HENDRA SUKMANA
NIM : B0D 007 029
PRODI : D3 KESEHATAN HEWAN

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2009
TORSIO UTERI
Torsio uteri adalah perputaran uterus pada porosnya
Causa
• Rongga abdomen yang luas
• Ujung ovarial cornua uterus bunting tidak stabil karna tidak di dukung o
leh kornua yang satunya yang tidak ikut membesar
• Kekurangan cairan foetal
• Musibah karena jatuh atau terguling tiba – tiba
• Kekurangan tonus uterus
Gejala klinis
• Kolik
• Nafas meningkat
• Pulsus meningkat
Pada torsio yang berlanjut disertai komplikasi gangrena uteri, emfisema foetal,r
uptura uteri:
• Lemah
• Depresi
• Suhu badan rendah
• Ujung – ujung kaki dingin
• Diarrhea berbau
Diagnosa
Pemeriksaan vaginal atau rectal
• Fetus sering sulit di raba
• Arteria uterina media tertarik dan tegang
• Pada torsio ke kanan
Ligamentum lata kanan tertarik kebawah corpus uteri atau vagina atau ligamentum
lata kiri tertarik keatas cervix, corpus uteri dan vagina
• Pada torsio ke kiri
Lokasi dan arah ligamentum lata terbalik, dengan ligamenntum lata kanan bertumpu
diatas saluran kelamin
Pertolongan
• Sectio caesaria
• Penggulingan hewan
Badan sapi diguling dalam arah yang sama dengan arah torsio lebih cepat daripada
uterus yang statis
• Pemutaran fetus dan uterus melalui saluran kelahiran
• Insisi leparatomi

PROLAPSUS UTERI
Prolapsus uteri adalah mukosa uterus keluar dari badan melalui vagina secara tot
al ada pula yang sebagian.
Causa
• pertautan mesometrial yang panjang,
• uterus yang lemah, atonik dan mengendur,
• retensi plasenta pada apek uterus bunting dan
• Relaksasi daerah pelvis yang berlebihan
Gejala klinis
• Hewan biasanya berbaring tetapi dapat pula berdiri dengan uterus menggan
tung ke belakang.
• Selaput fetus dan atau selaput mukosa uterus terbuka dan biasanya terkon
taminasi dengan feses, jerami, kotoran atau gumpalan darah.
• Uterus biasanya membesar dan udematus terutamabila kondisi ini telah ber
langsung 4-6 jam atau lebih
Diagnosa
• Jika prolapsus hanya sebagian saja maka besarnya penonjolan mukosa uteru
s mungkin hanya sebesar tinju, mungkin sebesar kepala atau dapat pula lebih besa
r lagi.
• Bila prolapsus ini total maka sampai servik pun ikut tertarik keluar ole
h beratnya uterus yang telah keluar dan memberikan pandangan yang sangat mengeju
tkan seolah-olah ada sekarung beras 20-30 kg, tergantung di belakang sapi, berwa
rna merah tua dan kotor karena sekundinae yang masih melekat pada karunkula
Pertolongan
• Penanganan prolapsus dipermudah dengan handuk atau sehelai kain basah.
• Uterus dipertahankan sejajar vulva sampai datang bantuan.
• Uterus dicuci bersih dengan air yang dibubuhi antiseptika sedikit
• Uterus direposisi.
• Sesudah uterus kembali secara sempurna ketempatnya, injeksi oksitosin 30
-50 ml intramuskuler.
• Kedalam uterus dimasukkan larutan tardomisol (TM) atau terramisin.
• Dilakukan jahitan pada vulva dengan jahitan Flessa atau Buhner.
• Jahitan vulva dibuka dalam waktu 24 jam.
• Dalam waktu tersebut servik sudah menutup rapat dan tidak memungkinkan t
erjadinya prolapsus.
• Penyuntikan antibiotik secara intramuskuler diperlukan untuk membantu pe
ncegahan infeksi uterus.

TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoon ( bersel satu ) yan
g disebut toxoplasma gondii yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak terinf
eksi pada manusia dan hewan peliharaan.
Etiologi
Siklus hidup dari Toxoplasma gondii pertama kali dikemukakan pada tahun 1970 dan
sebagai inang definitif ( penjamu ) adalah kelompok familia Felidae termasuk ku
cing – kucing yang sudah terdomestikasi. Hewan berdarah panas, manusia, dan ungg
as sebagai inang perantara. Kucing yang terdomestikasi merupakan golongan yang s
angat penting untuk penularan terjadinya toksoplasmosis pada hewan lain ataupun
manusia. Parasit ini ditularkan dengan tiga cara yaitu dengan cara kongenital ya
itu melalui plasenta, mengkonsumsi daging yang terkontaminasi oleh kista dan mel
alui kotoran asal kucing yang mengandung ookista. Dalam silkus hidupnya pada phy
lum Amplicomplexa mengenal 3 stadium yaitu stadium takizoit, stadium takizoid, d
an stadium bradizoid.
Patogenesis
Toxoplasma gondii merupakan suatu parasit intraseluler dan reproduksi terjadi di
dalam sel. Kebanyakan kasus toxoplasmosis pada manusia didapat karena mengkonsu
msi jaringan yang mengandung kista yang ada pada daging yang proses pemasakannya
kurang sempurna atau daging mentah. Selain itu, kontak langsung dengan tanah at
au air yang terkontaminasi. (3) Gambaran klinis akan tampak segera setelah beber
apa waktu jaringan mengalami kerusakan khususnya organ mata, jantug, dan kelenja
r adrenal. Parasit ini juga dipengaruhi oleh keadaan temperatur dan kelembaban.
Dengan adanya kelembaban dan temperatur yang sesuai ookista akan mampu bertahan
beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Lalat, cacing, kecoak, dan serangga
lain mungkin dianggap sebagai agen mekanis dalam penyebaran parasit ini. Tingka
t mortalitas dan morbiditas dari parasit ini cukup tinggi pada pasien yang mempu
nyai tingkat kekebalan tubuh rendah dan pada anak-anak yang tertular melalui ibu
nya.
Diagnosis
Diagnosa terhadap penyakit toxoplasmosis dapat dilakukan dengan cara serologi ma
upun pemeriksaan hispatologi. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan dengan cara m
elihat adanya dark spot pada retina, melakukan pemeriksaan darah untuk melihat a
pakah parasit sudah menyebar melalui darah dengan melihat perubahan yang terjadi
pada gambaran darahnya, Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan biopsi dan dari
sample biopsi tersebut bisa dilakukan pengujian dengan menggunakan PCR, isolasi
pada hewan percobaan ataupun pembuatan preparat hispatology. Metode diagnosa lai
n yang sering digunakan adalah dengan menggunakan Indirect haemaglutination ( IH
A ), Immunoflourrescence ( IFTA ), ataupun dengan Enzym Immunoassay (Elisa). Dap
at juga dengan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan antibodi spesifik tox
oplasma dengan IgM, IgG, dan IgG affinity
Pertolongan
Pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine.Dosis pyrimethamine ialah 25-50 mg per h
ari selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari seb
ulan. Karena efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka d
ianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Spiramycin.
Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau
4 kali pemberian. Dianjurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan s
piramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 mingg
u tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
BOVINE VIRAL DIARRHEA AND MUCOSAL DISEASE
BVD-MD dikenal sebagai penyebab diare sejak tahun 1940. Penyakit ini disebabkan
oleh simple virus yang menyebabkan diareVirus ini merupakan RNA virus kecil bera
mplop yang diklasifikasikan sebagai Pestiviruses bersama dengan Border Disease V
irus, yang juga menginfeksi biri-biri, serta Classical Swine Fever Ada dua spesi
es berbeda dari virus BVD/MD yang telah ditemukan; BVD-1 dan BVD-2. irus i
Gejala Klinis:
Gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi virus BVD bervariasi secara luas t
ergantung pada masing-masing individu dan strain virus yang menginfeksi, ketika
seekor hewan yang tidak bunting terinfeksi, penyakit yang muncul tidaklah parah
dan muncul hanya dalam waktu yang singkat. Secara khas hewan yang terinfeksi men
galami kenaikan temperatur, diare dan penurunan produksi susu. Gejala ini pada u
mumnya hanya muncul beberapa hari dan seringkali tidak begitu tinggi sehingga ti
dak teramati. Yang lebih penting barangkali adalah periode immunosupresi yang me
ngikuti infeksi virus BVD. Ini memudahkan infeksi oleh pathogen lain yang menyeb
abkan insiden kejadian penyakit yang lebih tinggi, misalnya diare pada anak sapi
atau radang paru paru (pneumonia) ataupun mastitis pada sapi perah.
Jika hewan yang terinfeksi adalah sapi bunting, selain efek infeksi pada indukny
a, efek infeksi terhadap fetus haruslah dipertimbangkan. Namun lagi-lagi, ini be
rvariasi tergantung pada strain virus yang menginfeksi dan, terutama, terhadap u
mur dari fetus. Pada hampir semua stadium kebuntingan, dan terutama selama trime
ster I dan II, infeksi pada fetus dapat kematian fetus. Ini mungkin dimanifestas
ikan sebagai kegagalan konsepsi, kematian embrio dini dengan estrus kembali yang
tertunda, mumifikasi fetus ataupun abortus. Jika infeksi BVD tidak mengakibatka
n kematian fetus, mungkin saja akan bertanggung jawab dalam menyebabkan berbagai
abnormalitas fetus yang biasanya mempengaruhi CNS, terutama otak besar (cerebel
lum), dan mata. Hasil dari hal ini akan diturunkan pada anaknya dan menyebabkan
antara lain kesulitan untuk berdiri serta menjaga keseimbangannya ataupun katara
k lensa okular (ataupun keduanya). Jika infeksi fetus terjadi pada trimester I k
ebuntingan, sebelum pembentukan sistem imun fetus, kemungkinan lebih lanjutnya a
dalah anak sapi yang terinfeksi secara persisten (PI = Persistently Infected).
Hewan PI, seperti namanya, tetap terinfeksi dan infeksius dengan BVD untuk seumu
r hidup mereka. Sedemikian, mereka menjadi salah satu sumber infeksi terbesar da
lam suatu kelompok ternak yang terinfeksi secara endemis. Sering kali hewan ini
dapat dengan mudah diidentifikasi. Mereka cenderung kecil, penampilan yang jelek
, dan menjadi individu yang sakit-sakitan. Mereka mungkin, bagaimanapun, menjadi
terlihat normal dan tidak dapat dibedakan dari hewan lainnya dengan umur dan br
eed yang sama. Semua hewan PI, dan hanya hewan PI, akan mati karena penyakit pad
a mucosal, biasanya pada umur antara enam bulan sampai dua tahun. Penyakit pada
mucosal, bagaimanapun, terlihat dapat menginfeksi anak sapi pada umur beberapa m
inggu dan beberapa hewan PI dapat bertahan hidup dengan kesehatan yang nampaknya
baik selama bertahun-tahun. Penyakit mucosal, ketika muncul, dikarakteristikkan
oleh adanya ulserasi pada saluran gastrointestinal yang mengakibatkan diare, ya
ng pada umumnya timbul sebagai suatu serangan yang cepat, yang tidak bisa dipred
iksi dan selalu fatal (Cutler, 2002).
Efek BVD-MD pada organ reproduksi sangat bervariasi :
(1) Veneral Infection sapi betina dan sapi dara dapat terinfeksi oleh sapi janta
n yang menderita infeksi persisten melalui udara atau perkawinan alam. Hewn akan
gagal untuk meningkatkan antibody terhadap virus dan menyebabkan rata-rata S/C
menjadi 2,3.
(2) Transplacental Infection. Efek yang nyata pada organ reproduksi merupakan ha
sil dari infeksi secara transplacental. Jika sapi yang hamil terinfeksi oleh vir
us BVD-MD terdapat kemungkinan yang cukup besar bahwa fetus akan terinfeksi, hal
ini dapat menyebabkan aborsi, kelahiran lemah dan fetus yang berukuran dibawah
normal atau malformasi congenital, anak pedet yang sehat juga dapat dilahirkan (
Arthur, 2001).
Patogenesis:
Walaupun BVD dapat menyebar diantara individu dengan immunocompetent sebagai sua
tu infeksi akut, hewan PI bertindak sebagai reservoir utama dan sumber utama inf
eksi. Mereka menyebarkan konsentrasi virus yang lebih tinggi dibanding hewan yan
g terinfeksi secara akut dan mereka tetap menyebarkan virus seumur hidup mereka.
Biri-Biri juga perlu diwaspadai sebagai sumber infeksi yang potensial.
Hewan yang terinfeksi mengeluarkan (mengekskresikan) virus dalam berbagai sekres
i cairan. Yang paling penting adalah penyebaran penyakit peroral serta leleran h
idung. Penyebaran lewan fese relatif tidak penting dalam pathogenesis BVD. Virus
BVD dapat juga ditularkan lewat semen dan transfer (Cutler,2002).
Infeksi oleh strain non cytopatic pada uterus selama 30-120 hari kebuntingan men
yebabkan anak sapi yang dilahirkan mengalami infeksi virus secara persisten, ped
et akan mengalami imunotoleran. Jika terjadi infeksi oleh strain cytopatic BVD d
apat menyebabkan peningkatan penyakit mucosal disease. Hewan yang mengalami infe
ksi persisten akan menyebarkan virus selama hidupnya. Kejadian infeksi persisite
n pada pedet (carier) memiliki perbandingan 1 kejadian untuk setiap 100-1000 kel
ahiran. Hewan yang mengalami infeksi persisten perlu mendapatkan perawatan yang
khusus sehingga tidak mencemari lingkungan disekitarnya. Infeksi persisten pada
sapi dapat ditularkan secara vertical melalui infeksi secara transplacental dari
induk ke pedetnya. Hewan dengan infeksi persisten atau mengalami infeksi akut a
kan menyebarkan virus ini melalui leleran hidung, mata, saliva, urin dan feces.
Infeksi yang terjadi pada sapi dalam stadium kebuntingan dapat menyebabkan kemat
ian fetus dini, aborsi, fetus yang mengalami abnormalitas pada sistim syaraf pus
at dan system ocular. Infeksi pada trisemester kebuntingan akhir tidak mengakiba
tkan imunotoleran pada induk, tetapi dapat menyebabkan gangguan imunitas pada pe
det yang dilahirkan.
Infeksi pada hewan dewasa tidak akan menyebabkan imunotoleran, gejala klinis yan
g menciri adalah adanya periode demam yang disertai leucopenia viremia yang berl
angsung selama lebih dari 15 hari. Pada sekelompok hewan yang peka, akan ditemuk
an gejala diare dengan morbiditas yang tinggi tetapi rata-rata mortalitasnya ren
dah, leleran dari mata dan hidung dan ulcer di mulut. Pada sapi perah yang terin
feksi akan mengalami penurunan produksi. Virus bersifat imunosupresif, sehingga
menyebabkan hospes menjadi rentan terhadap infeksi penyakit yang lain. Gejala kl
inis yang ringan dari penyakit ini akan menimbulkan efek yang besar pada fungsi
reproduksi sejak timbulnya gejala berupa demam ringan dan adanya lesi pada mulut
yang umumnya tidak terdeteksi.
Sapi jantan yang mengalami infeksi kronis/ persisten akan mengekskresiksn virus
dalam semen yang dihasilkan. Pada pengamatan selanjutnya virus akan disebarkan s
etelah terjadi viremia, dimana glandula vesikuler dan prostate merupakan tempat
virus ini melakukan replikasi.
Mucosal disease biasanya terlihat pada hewan muda (6-24 bulan). Penyakit ini dic
irikan dengan adanya anorexia, diare berair, lelerahn hidung, ulcerasi pada mulu
t dan lameness. Tetapi efek pada hewan yang terinfeksi mortalitasnya tinggi.
Efek pada Performance Reproduksi
Efek dari virus BVD pada reproduksi tergantung pada stadium kebuntingan saat ter
jadi infeksi. Infeksi akut dengan salah satu biotipe, dapat berakibat fatal pada
embrio/ fetus selama bulan pertama kebuntingan. Infeksi dapat mengakibatkan kem
atian dan penyerapan sebagian tubuh embrio. Satu-satunya gejala reproduksi yang
timbul pada sapi betina adalah kembalinya estrus dengan interval yang normal ata
u diperpanjang. Rata-rata kebuntingan akan berkurang pada hewan yang terinfeksi.
Rata-rata kebuntingan yang rendah juga merupakan hasil dari inseminasi semen yan
g terkontaminasi oleh virus BVD, walaupun penularan dapat melalui udara dan perk
awinan alami. Penelitian yang dilakukan inseminasi dengan menggunakan semen yang
terkontaminasi virus, sapi dengan seronegatif memiliki rata-rata S/C pada IB ya
ng pertama sebesar 22,2% sedangkan seropositif sebesar 78,6% (Virakula et al., 1
993). Meskipun demikian Wintik et al (1989) menunjukan rata-rata kebuntingan yan
g normal pada sekelompok kecil sapi setelah dilakukan perkawinan dengan sapi jan
tan yang mengalami infeksi persisten.
Pada bulan ke 2-4 kebuntingan, infeksi dapat diikuti dengan aborsi, kematian den
gan mumufikasi, penghambatan pertumbuhan, abnormalitas perkembangan CNS dan alop
ecia, beberapa sapi yang terinfeksi akan menyebabkan kematian pada pedet tetapi
dapat juga menyebabkan infeksi persisten. Infeksi sebelum 128 hari penting untuk
stadium carier pada pedet.
Pada usia kebuntingan 5-6 bulan, akan menyebabkan aborsi atau kelahian pedet den
gan abnormalitas congenital pada CNS dan mata. Terdapat interval antara beberapa
hari hingga 2 bulan diantara terjadinya infeksi virus hingga menyebabkan aborsi
.
Infeksi pad afetus pada masa kebuntingan akhrir akan berperan penting dalam syst
em imun pedet, sejak fetus dapat meningkatkan respon antibodinya terhadap mikroo
rganisme pada usia kebuntingan 5-6 bulan (Bolin, 1990). Walaupun demikian infeks
i pada fetus dapat juga diikuti kelahiran premature, still birth atau pedet yang
kurus dan abnormalitas kebuntingan (Arthur, 2001).
Diagnosis:
Sebagai tambahan pada gejala klinis dan postmortem dari infeksi BVD, berbagai me
todologi laboratorium dapat membantu mendiagnosa penyakit ini. Ini meliputi demo
nstrasi antigen atau antibodi spesifik dalam darah atau susu serta isolasi virus
dari jaringan.
Konfirmasi hasil diagnosa BVD pada kasus akut tergantung pada adanya demonstrasi
seroconversion di dalam sampel serum. Konfirmasi BVD sebagai penyebab aborsi ad
alah lebih sulit. Demonstrasi seroconversion maternal maupun fetal serta isolasi
virus dari jaringan fetus dapat menjadi bukti yang sempurna.
Dalam banyak kasus dimana pengujian laboratorium dilaksanakan, tujuannya tidakla
h diagnostik tetapi lebih pada screening exercise untuk mengidentifikasi hewan P
I sebagai bagian dari progam pengendalian penyakit. Dalam kondisi ini keakuratan
hasil pengujian laboratorium adalah sangat penting. Walaupun sensitivitas (kepe
kaan) dan spesifitas (ketegasan) dari pengujian yang saat ini tersedia adalah ba
ik, sensitivita dapat lebih ditingkatkan, dari segi biaya, dengan lebih dulu men
guji untuk adanya seroconversion dan kemudian dengan pengujian lebih lanjut dari
hewan yang seronegative ( hewan PI tidak menghasilkan antibodi dalam merespon b
aik infeksi ataupun vaksinasi) atau mempunyai titer antibodi yang rendah terhada
p adanya vir Faktor konfonding, bagaimanapun, masih tetap ada. Adalah mungkin un
tuk hewan non-PI memiliki antibodi negative-antigen positif jika, kebetulan, pen
gambilan sampel dilakukan pada fase infeksi akut. Juga memungkinkan untuk hewan
PI memilki antibodi positif. Biasanya ini terjadi sebagai hasil transfer pasif a
ntibodi dalam kolostrum dari induk non-PI kepada anak sapi PI nya segera setelah
. Antibodi maternal ini akan menurun pada saat anak sapi itu berumur sekitar 4
bulan dan akan kembali menjadi antibodi negatif-antigen positif.us BVD. Adakalan
ya, bagaimanapun, seekor hewan PI akan menghasilkan antibodi spesifik BVD dengan
sendirinya yang mana, walaupun jarang, adalah suatu kemungkinan yang harusnya t
idak dilewatkan. Suatu kemungkinan yang serupa namun jarang adalah hewan PI non-
viraemic. Barangkali, bagaimanapun, alasan yang paling umum dari kegagalan untuk
mengidentifikasi hewan PI adalah kegagalan untuk mengetahui status dari fetus k
etika menguji hewan yang bunting. Haruslah aman untuk berasumsi bahwa induk deng
an antibodi negative-antigen negatif akan menghasilkan anak sapi non-PI (tergant
ung pada stadium kebuntingan saat sampel yang akan diuji dikumpulkan dan kemungk
inan dari sapi betina tersebut menjadi terinfeksi setelah diambil sebagai sampel
). Juga suatu hal yang biasa bahwa induk PI akan menghasilkan keturunan yang jug
a PI. Status dari anak sapi yang dilahirkan oleh induk dengan antibodi positif-a
ntigen negatif, bagaimanapun, bervariasi dan akan tergantung pada stadium kebunt
ingan saat induk tersebut terinfeksi. Jika induk terinfeksi sebelum konsepsi ana
knya haruslah antibody negatif-antigen negatif. Jika infeksi terjadi selama stad
ium akhir kebuntingan anaknya haruslah antibody positif-antigen negatif. Jika, b
agaimanapun, induk terinfeksi selama kebuntingan awal mungkin, atau bahkan mungk
in tergantung pada waktu yang tepat terjadinya infeksi, anaknya akan terinfeksi
BVD secara persisten. Dalam rangka menentukan dengan derajat ketelitian berapapu
n apakah ini adalah atau bukanlah kasus, sampale dikoleksi dari anak sapi baik s
ebelum menyusu kolostrum apapun maupun sekali ketika mencapai usia 6 bulan perlu
untuk diuji (Cutler, 2002).
Diagnosis dapat dilihat dari gejala klinis yang terlihat. Fetus yang dikeluarkan
juga akan menujukan lesi yang menciri pada kasus ini. Virus dapat di isolasi da
ri fetus, yaitu pada jaringan limfoit seperti lien. Identifikasi monocytocemical
protein virus BVD pada jaringan fetus, khususnya ginjal, paru-paru atau jaringa
n limfoid kadang-kadang dapat terdeteksi. Kenaikan substansi neutralizing antibo
dy pada sekelompok ternak yang mengalami aborsi dan menunjukan antibodi dalam se
rum pada pedet yang baru saja dilahirkan atau cairan thorak fetus yang diaborsik
an dapat digunakan sebagai bahan diagnosis infeksi. Pad kasus pedet yang dapat d
ilahirkan, serum harus diambil setelah pedet mengkonsumsi colostrum (Arthur, 200
1).
BRUCELLOSIS PADA SAPI
Penyebab/Causa
Brucellosis atau penyakit Bang disebabkan suatu kuman kecil berbentuk batang dan
bersifat gram negatif, Brucella abortus, yang tumbuh di dalam sel. Bakteri ini
pertama kali diuraikan oleh Bang di Denmark tahun 1897. Brucellosis terjangkit p
ada sapi di seluruh dunia, kecuali di negara-negara yang telah mengendalikan pen
yakit tersebut dengan vaksinasi atau dengan cara-cara lainnya
Cara penularan
Penularan dapat terjadi karena pembelian dan pemasukan satu betina yang tertular
ke dalam suatu kelompok ternak. Materi yang tertular dapat terbawa dari suatu p
eternakan ke peternakan lain oleh anjing atau manusia.
Infeksi sering terjadi karena ingesti kotoran dari alat kelamin hewan yang menga
lami abortus yang mengkontaminasi makanan dan air. Penularan dapat pula terjadi
melalui selaput lender mata dan intrauterin setelah inseminasi dengan semen yang
tertular.
Gejala Klinis
Brucella abortus menyebabkan keguguran pada trimester terakhir masa kebuntingan
dan diikuti oleh suatu periode infertilitas. Brucella abortus menyebabkan demam
“undulans” atau brucellosis pada manusia yang meminum susu mentah yang belum dip
asteurisasi atau bersentuhan dengan kotoran atau tenunan yang tertular.
Keluron karena Brucella abortus umumnya terjadi dari bulan keenam sampai kesembi
lan (setelah bulan kelima) periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar antara
5-90% dalam suatu kelompok ternak, tergantung dari jumlah hewan bunting yang te
rtular, daya penularan, virulensi organisme dan faktor lain.
Diagnosa
Diagnosa terhadap brucellosis diperlukan untuk dua tujuan, pertama untuk menetap
kan sebab abortus pada satu individu ternak, dan kedua untuk mengidentifikasi te
rnak dalam rangka program pengendalian penyakit tersebut.
Sejarah kelompok ternak sangat bermanfaat dalam mendiagnosa penyebab abortus. Di
agnosa perbandingan antara penyebab abortus cukup sulit dan tidak mungkin tanpa
bantuan pemeriksaan laboratoris. Lesio placental pada brucellosis, vibriosis dan
penularan jamur pada sapi nampak sama.
Identifikasi
Organisme Brucella abortus dapat diidentifikasi pada preparat ulas dari bahan pa
ru-paru. Media tersebut umumnya diisolasi dalam media kultur atau pada marmut.
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan brucellosis pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan sanitasi,
vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor.
Tindakan higienik sangat penting dalam program pencegahan brucellosis pada suatu
kelompok ternak. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelom
poknya
Fetus dan placenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang te
rkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejeni
s
Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella
Strain 19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati karena dapat menyebabkan b
rucellosis atau demam undulan pada manusia.
Metode pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap semua ternak,
uji serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT, monitoring dengan MRT
dan isolasi atau penyingkiran reaktor.
Pengobatan
Pengobatan brucellosis dengan berbagai antiseptik dan antibiotik telah dicoba ta
npa hasil.
Pengobatan yang efektif dapat dilakukan dengan antibiotik seperti kombinasi peni
silin dan streptomisin, tapi dapat pula dengan metritin atau oestrilan yang dibe
rikan intrauterina.

You might also like