Professional Documents
Culture Documents
oleh
Ilmu pengobatan Cina, menurut legenda berasal dari akar kata Shen Nung (sekitar
2000 SM), seorang kaisar cina, yang mencari dan meneliti sekitar ribuan tanaman yang
berpotensial sebagai obat. Kaisar telah mencoba sendiri kasiat obat dan
pengalamannya tertuang dalam buku Pen T-Sao, yang memuat sekitar 365 tanaman
sebagai obat. Shen Nung telah mencoba setiap bagian dari tanaman, seperti akar, kulit
batang, daun, bunga untuk mengobatan, dan beberapa tanaman obat masih digunakan
sampai sekarang, seperti tanaman gingseng, huang ma (efedra).
Naskah pengobatan dikenal dengan ”Papyrus Ebers” (1500 SM.) didalamnya tercatat
sekitar 800 resep dan tertulis dalam 700 jenis obat. Praktek pengobatan di jaman ini
dilakukan oleh dua atau lebih kelompok, yaitu sekelompok yang mengiapkan obat-
obatan dan pimpinan produsen obat atau ketua farmasis. Penyiapan obat dilakukan
dilingkungan rumah tangga, resep dibacakan oleh ketua ahli obat. Pimpinan juga
bertingak sebagai penentu senyawa aktif yang digunakan dalam campuran resep.
Theophrastus (sekitar 300 SM) seorang pilosop Yunani dan seorang ilmu alam, dia
dikenal sebagai bapak botani. Theophratus mengamati karakterisasi individu tanaman
obat dan menulisnya dalam suatu buku. Pada awalnya pengobatan lebih didasarkan
pada pengalaman dan dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat
bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia
membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya. Hippocrates (459-370 SM)
yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah
menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan.
Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan
toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :”I pondered at length, finally I
resolved to clarify the matter by experiment”. Ia adalah orang pertama yang melakukan
penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan
merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat
diuji–coba secara klinik pada manusia.
Experimen pengembangan uji coba efek obat pada hewan dan manusia dilakukan di
Universitas,(Institut Farmakologi). Institut Farmaskologi pertama didirikan pada th 1847
oleh Rudolf Buchheim (1820-1879) di Universitas Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald
Schiedeberg (1838-1921) bersama dengan pakar disiplin ilmu lain menghasilkan
konsep fundamental dalam kerja obat meliputi reseptor obat, hubungan struktur dengan
aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer (1852-
1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di
Jerman.
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan
produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya, pendidikan tinggi
farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker. Menurut Peraturan
Pemerintah RI No. 41 tahun 1990 tetang masa bakti dan ijin kerja apoteker menyatakan,
yang dimaksudkan dengan apoteker adalah sarjana, farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Seorang apoteker guna
dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian memerlukan surat ijin kerja dari pemerintah.
Apoteker yang baru lulus oleh pemerintah diberikan Surat Penugasan, yang diberikan
kewenangan kepada apoteker yang besangkutan untuk menjalankan pekerjaan
kefarmasian dan memberi tanggungjawab dalam upaya pengendalian dan pengawasan
perbekalan farmasi. Profesi apoteker adalah keahlian yang menjadi tugas, wewenang
dan tanggung jawab apoteker sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sumpah
apoteker (PP no 41 tahun 1990, Pasal 21).
Dalam ketentuan umum UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, menjelaskan bahwa
sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Sedangkan
dalam pasal 40 bagian pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, memasukkan
alat kesehatan sebagai bagian dari sediaan farmasi. Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Alat kesehatan adalah
instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk
mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang
sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur
dan memperbaiki fungsi tubuh. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan
mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan
produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Berdasarkan penjelasan tetang
pekerjaan kefarmasian dalam UU No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi, menggambarkan
bahwa pekerjaan kefarmasian lebih menekankan pada seni meracik obat “ars
preparandi”. Perkembangan aspek pekerjaan kefarmasian dijelaskan dalam UU No 23
tahun 1992, yaitu disamping aspek ars preparandi diperluas sampai pada aspek
penyediaan penyendalian produk farmasi yang bermutu, pengelolaan distribusi dan
penyimpanan perbekalan farmasi yang aman, pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional, serta pelayanan akan informasi obat baik kepada pasien maupun
rekan profesi kesehatan lainnya.
Pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin berkembang selain berorientasi kepada
produk (product oriented) juga berorientasi kepada pasien (patient oriented) seiring
dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan
pergeseran budaya rural menuju urban yang menyebabkan peningkatan dalam
konsumsi obat terutama obat bebas, kosmetik, kosmeseutikal, health food,
nutraseutikal dan obat herbal.
Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai
komoditi telah berkembang orientasinya menuju pelayanan yang mengacu kepada
pharmaceutical care / asuhan kefarmasian, yaitu pelayanan yang konferhensif yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan obat kepada penderita
melalui berbagai tahapan pekerjaan meliputi diagnosis penyakit, pemilihan, penyiapan
dan penyerahan obat kepada penderita yang menunjukkan suatu interaksi antara
dokter, farmasis, penderita sendiri dan khusus di rumah sakit melibatkan perawat.
Dalam pelayanan kesehatan yang baik, informasi obat menjadi sangat penting terutama
informasi dari farmasis, baik untuk dokter, perawat dan penderita.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan prilaku agar dapat melaksanakan
interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah
melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui
tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication eror) dalam
proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan pengabdian profesinya
dalam asuhan kefarmasian, harus selalu meningkatkan standardnya, dan apoteker
harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapakan
terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.
Orientasi atau falsafah pekerjaan kefarmasian dalam tahun belakangan ini lebih
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, pelayanan
farmasi (klinik) yang murah sehingga terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Tujuan pelayanan kefarmasian, seperti yang tercantum dalam Kep.Menkes. No.
1197/Menkes/SK/X/2004, adalah:
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun
dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas
yang tersedia.
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
c. Melaksanakan KIE (komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
e. Mekalukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evalusai
pelayanan.
g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode.
Pelayanan farmasi klinik adalah pendekatan profesional yang bertanggung jawab dalam
menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan yang sesuai dengan indikasi, efektif,
aman, dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan, keahlian,
ketrampilan, dan prilaku apoteker, serta bekerjasama dengan pasien dan profesi
kesehatan lainnya. Sasaran utama pelayanan farmasi klinik adalah untuk mencegah
atau mengatasi terjadinya:
a. kesalahgunaan obat (drug misuse),
b. penggunaan obat yang berlebih (drug overuse),
c. penyalahgunaan obat (drug abuse), dan
d. efek-efek obat yang tidak diinginkan.
Pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian maka apoteker atau dikenal pula dengan
sebutan farmasis, telah dapat menempati bidang pekerjaan yang makin luas. Bidang
pekerjaan farmasis di Indonesia saat ini tersebar di: lembaga pemerintahan, lembaga
penelitian, lembaga pendidikan (pendidikan tinggi dan kejuruaan), sarana produksi
sediaan farmasi, sarana penyaluran sediaan farmasi, sarana pelayanan sediaan
farmasi, dan bidang lainnya.
ii) Bidang pekerjaan farmasis di lembaga pendidikan dan penelitian. Sesuai dengan
tugas tridarma perguruan tinggi, farmasis yang bekerja di lembaga pendidikan tinggi,
dituntut juga dapat melakukan penelitian bidang farmasi. Lembaga penelitian
pemerintah dimana farmasis eksis didalamnya seperti: LIPI, BATAN, dll. Penilitian
yang dikerjakan oleh lembaga suasta, khusus dibidang obat-obatan masih sangat
kurang. Belakangan ini telah terjadi pengingkatan perhatian dari lembaga industri
dalam melakukan penelitian, khususnya penelitian pengembangan tanaman obat
menjadi produk sediaan obat (jamu, atau sediaan fitofarmaka). Hal ini ditunjukkan
mulai banyak dikenal produk fitofarmaka yang beredar dimasyarakat. Hasil
penelitian ini juga merupakan kerjasama antara Lembaga Pendidikan Tinggi
Farmasi dengan Industri Farmasi.
iii) Bidang pekerjaan farmasis disarana produksi sediaan farmasi meliputi: produksi
bahan baku obat, obat, jamu (obat tradisional / obat herbal), fitofarmaka, nutrisi
tambahan, dan produksi kosmetik-kosmeseutika. Farmasis yang bekerja di sarana
produksi sediaan farmasi dituntut memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mampu melaksanakan fungsi pendaftaran obat.
b. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices
c. Mampu berpartisipasi mengembangkan senyawa/eksipien baru.
d. Mampu mengembangkan formula sediaan obat, pilot plant dan up scaling.
e. Mampu mengembangkan spesifikasi, metode analisis dan prosedur pengujian
untuk bahan awal, obat jadi dan kemasan.
f. Mampu melaksanakan Good Manufacturing Practices.
g. Mampu mengendalikan teknis operasi dan proses manufaktur obat.
h. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices / analisis kontrol untuk
pengawasan mutu obat.
i. Mampu melaksanakan pengemasan produk.
j. Mampu merancang dan melakukan uji stabilitas / kadaluwarsa.
k. Mampu berpartisipasi dan berkontribusi dalam uji klinik obat baru.
l. Mampu untuk melaksanakan pengujian yang sesuai untuk perbaikan mutu produk.
m. Mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan validasi proses.
n. Mampu menajamin keselamatan kerja.
o. Mampu berpartisipasi dalam menghasilkan dan mendiseminasikan pengetahuan
baru.
p. Mampu melaksanakan promosi dan penyampaian informasi obat kepada tenaga
profesional kesehatan lainnya.
iv) Tempat pengambdian profesi farmasis pada sarana penyaluran antara lain di:
pedagang besar farmasi dan disdributor alat kesehatan. Sesuai dengan amanat UU
23 tahun 1992 tentang kesehatan, salah satu pekerjaan kefarmasiaan yaitu
pengamanan, penyimpanan dan distribusi obat. Peraturan perundang-undangan
yang ada saat ini memungkinkan terjadi pelimpahan pekerjaan kefarmasiaan
tersebut kepada tenaga kefarmasian (Asisten Apoteker). Pertimbangan dari
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah kurangnya jumlah
apoteker di republik ini. Dengan meningkatnya jumlah perguruan tinggi farmasi di
Indonesia, sampai saat ini tercatat terdapat 60 perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi farmasi, dan setiap tahunnya diluluskan sekitar
3500 apoteker baru, akan menuntut perluasan kesempatan kerja bagi apoteker baru
(Danutirto, 2008). Mengacu pada amanah yang tersurat pada UU kesehatan no 23
tahun 1992 dan usaha menjalankan pekerjaan kefarmasian dikerjakan oleh apoteker
(farmasis) berarti akan terbuka luas lapangan pekerjaan bagi apoteker.
Aspek pekerjaan kefarmasian yang lain, dimana oleh ketentuan peraturan dan
perundangan yang masih dapat dikerjakan bukan oleh farmasis adalah:
a. Penyerahan obat pada pasien. Penyerahan obat kepada pasien yang belum
dilakukan oleh apoteker diunit pelayanan kesehatan seperti di klinik, puskesmas,
dokter dispensing, perawat, bidan dispensing)
b. Pelayanan informasi obat baik kepada pasien maupun oleh sekan sejawat
tenaga kesehatan lainnya belum optimal diberikan oleh apoteker, dimana saat ini
rekan dokter lebih banyak memberikan informasi obat kepada pasien.