You are on page 1of 11

A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.

com to remove the watermark

Sumpah Pemuda

Peserta Kongres Pemuda II

Pendahuluan

Sepanjang sejarah Indonesia, pengertian pemuda berubah dari masa ke masa.


Pada masa awal pergerakan nasional, pemuda diartikan kalangan terpelajar,
baik para pelajar sekolah menengah, maupun pelajar sekolah tinggi yang
mendapat pendidikan Barat, tinggal di kota, dan mengenyam kebudayaan
Barat melalui pendidikan. Mereka datang dari kalangan priyayi, menengah dan
rendahan. Mereka inilah yang menjadi motor penggerak tumbuhnya
pergerakan nasional. Selain bergerak melalui organisasi kepemudaan, para
pemuda juga bergerak melalui partai politik. PNI dan PSII, dua partai politik
yang monumental dalam sejarah pergerakan nasional, didirikan dan dikelola
oleh para pemuda.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, kapan sejarah pergerakan pemuda di


Indonesia dimulai? Budi Utomo, organisasi pergerakan nasional pertama, yang
didirikan tanggal 20 Mei 1908 adalah organisasi yang didirikan oleh para
pemuda. Soetomo dan para pendiri Budi Utomo yang lain masih sekolah di
STOVIA. Akan tetapi, tanggal 20 Mei 1908 tidak bisa dijadikan titik awal
pergerakan pemuda. Mohamad Tabrani, Ketua Kongres Pemuda Pertama,
dalam pidatonya, “Sejarah Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia,
mengatakan :

“…kalau bagi Kaum Tua Budi Utomo menjadi titik tolaknya (20 mei 1908), yang
kemudian diakui sebagai hari kebangkitan nasional, maka bagi Kaum Muda
perlambang kebangkitan nasionalnya bertitik tolak pada Tri Koro Dharmo pada
tanggal 7 Maret 1915.”

Hal senada diungkapkan oleh Iwa Kusumasumantri, mantan anggota dan


pengurus Perhimpunan Indonesia. Iwa Kusumasumantri (1963 : 45) menulis :

“…lahirlah untuk pertama kalinja pergerakan pemuda dengan nama ‘Tri Koro
Dharmo’ pada tanggal 15 Maret 1915.”

Keberadaan Tri Koro Dharmo sebagai organisasi pemuda pertama juga


dibenarkan oleh A. K. Pringgodigdo (1990 : 24), Surjomihardjo (1979 : 55),
Nugroho Notosusanto (1990 : 190).
2

Hasil monumental dari pergerakan pemuda tahun 1920-an adalah Sumpah


Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia hasil rumusan Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II,
dibacakan pada 28 Oktober 1928. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai
"Hari Sumpah Pemuda".

Isi

PERTAMA.
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe,
Tanah Indonesia.

KEDOEA.
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa
Indonesia.

KETIGA.
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean,
Bahasa Indonesia.

Kongres Pemuda II

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan


Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota
pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga
gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen


Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo
Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan
dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad
Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya,
ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah,
bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop,


membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan
Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat
pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di
sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan


demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan,
gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan
kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang
dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage


Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta
kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh
para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
3

Peserta

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi
pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong
Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dll. Di
antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat,
yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee
Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Museum

Di Gedung Sekretariat PPI di Jalan Kramat Raya 106, tempat diputuskannya


rencana Kongres Pemuda Kedua saat ini dijadikan Museum Sumpah Pemuda.
DENGAN SUMPAH PEMUDA MENJADIKAN INDONESIA MILIK BERSAMA
Hari Sumpah Pemuda, yang setiap tahun kita rayakan pada tanggal 28
Oktober, adalah hari yang keramat bagi bangsa Indonesia. Namun, sayangnya,
selama 32 tahun Orde Baru peringatan hari yang amat penting ini, terasa
sudah kehilangan “api”-nya atau jiwanya yang revolusioner. Padahal, Sumpah
Pemuda adalah salah satu di antara berbagai landasan utama bagi
kebangkitan nasional kita, dan merupakan semen yang mempersatukan
bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda adalah pegangan penting bagi
kita semua.

Dewasa ini, ketika negara dan bangsa kita sedang dilanda oleh berbagai krisis
di banyak bidang, adalah amat penting bagi kita semua untuk menyimak
kembali arti penting hari yang bersejarah ini, dan berusaha menghayati
maknanya bagi kelangsungan kehidupan kita bersama. Selama lebih dari 32
tahun, Hari Sumpah Pemuda telah diperingati dengan upacara-upacara yang
kebanyakan dikemas dengan pidato-pidato para “tokoh” yang kosong isinya,
dan terlepas dari jiwa sejarah revolusioner yang melahirkannya. Tidak bisa
lain!. Sebab, jelaslah kiranya bahwa tidak bisa diharapkan adanya pemahaman
yang tepat dari para pendukung politik Orde Baru, yang umumnya terdiri dari
oknum-oknum reaksioner, tentang sejarah lahirnya Sumpah Pemuda dalam
tahun 1928. Mereka TIDAK MAU mengerti, dan tidak bisa memahami bahwa
Sumpah Pemuda tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik revolusioner
Bung Karno. Mereka juga TIDAK MAMPU memahami bahwa Sumpah Pemuda
ada kaitannya yang erat dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh
pembrontakan melawan kolonialisme Belanda yang dilancarkan oleh PKI dalam
tahun 1926.

Oleh karena politik “de-Sukarnoisasi” dan anti-komunis yang dilancarkan


selama puluhan tahun oleh para pendukung Orde Baru, maka Hari Sumpah
Pemuda kehilangan api kerevolusionerannya, dan dipreteli pesan-sejarahnya
yang penting. Adalah sudah waktunya, sekarang, bagi masyarakat sejarawan
Indonesia untuk memeriksa kembali berbagai aspek tentang lahirnya Sumpah
Pemuda. Dan adalah kewajiban pemerintah dan berbagai lembaga negara kita
untuk mngangkat kembali Sumpah Pemuda sebagai senjata ampuh dalam
mempersatukan bangsa dan negara, yang sekarang sedang terancam oleh
beraneka-ragam rongrongan dari banyak fihak. Dan oleh karena kita semua
TIDAK BOLEH hanya menggantungkan harapan kepada kemauan atau
kemampuan para “tokoh” (kaum elite atau kalangan “atasan”) saja, maka obor
Hari Sumpah Pemuda haruslah untuk selanjutnya dipanggul bersama-sama
oleh beraneka-ragam gerakan ornop, LSM, partai-partai politik, organisasi-
organisasi buruh, tani, pemuda, mahasiswa, perempuan dan lain-lain.

ARTI PENTING LAHIRNYA SUMPAH PEMUDA


Ketika beraneka-ragam kecenderungan permusuhan atau perpecahan mulai
nampak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kita, maka mengisi
Hari Sumpah Pemuda dengan jiwa aslinya adalah amat penting. Suara-suara
negatif sebagai akibat interpretasi yang salah tentang otonomi daerah sudah
mengkhianati jiwa Sumpah Pemuda.
2

Demikian juga pernyataan dan kegiatan-kegiatan sebagian dari golongan Islam


reaksioner, seperti yang dipertontonkan oleh organisasi/gerakan semacam
Front Pembela Islam, Ahlussunah Waljemaah, Majelis Mujahidin Indonesia,
KISDI dan lain-lain sebagainya.

Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama-sama bahwa Sumpah Pemuda, yang
dilahirkan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-
28 Oktober 1928 di Jakarta adalah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat
kalangan muda Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, untuk
menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme
Belanda. Mereka ini adalah wakil-wakil angkatan muda yang tergabung dalam
Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong
Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi dan lain-
lain. Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) inilah kongres
pemuda itu telah melahirkan Sumpah yang berbunyi : “Kami putera dan puteri
Indonesia mengaku bertumpah-darah yang satu : tanah Indonesia. Kami
putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu : bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa yang satu : bahasa
Indonesia “.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, sudah terjadi banyak perlawanan terhadap


kolonialisme Belanda, yang dilakukan oleh berbagai suku di berbagai daerah,
baik di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Namun,
karena perjuangan itu sebagian besar bersifat lokal dan kesukuan, maka telah
mengalami kegagalan. Pembrontakan PKI di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dalam tahun 1926 merupakan gerakan yang menimbulkan pengaruh
politik yang lintas-suku dan lintas-agama yang penting (karena juga terjadi di
Sumatera Barat). Sumpah Pemuda lahir dalam tahun 1928, ketika puluhan
ribu orang telah ditahan dan dipenjarakan oleh pemerintah Belanda sebagai
akibat pembrontakan PKI dalam tahun 1926. Berbagai angkatan muda dari
macam-macam suku dan agama telah menyatukan diri dalam perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda lewat Sumpah Pemuda, ketika ribuan orang
digiring dalam kamp pembuangan di Digul. Adalah penting untuk sama-sama
kita perhatikan bahwa tokoh-tokoh nasional seperti Moh. Yamin (Jong
Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Senduk (Jong Celebes), J.
Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah
Pemuda. Dan perlulah juga kita catat, bahwa Sumpah Pemuda dicetuskan oleh
kalangan muda, ketika Bung Karno aktif melakukan beraneka kegiatan lewat
PNI (yang dua tahun kemudian ditangkap Belanda dan diajukan di depan
pengadilan Bandung, di mana ia mengucapkan pidato pembelaannya yang
terkenal “Indonesia Menggugat”).

Jadi, jelaslah bahwa Sumpah Pemuda adalah semacam kontrak-politik


berbagai suku bangsa Indonesia, yang diwujudkan secara kongkrit oleh wakil-
wakil angkatan muda mereka. Sumpah Pemuda adalah fondasi penting
kebangkitan bangsa Indonesia dan landasan utama bagi pembentukan negara
Republik Indonesia.
3

SUMPAH PEMUDA ADALAH BHINNEKA TUNGGAL IKA


Dengan mengingat perjuangan rakyat Indonesia lewat berbagai bentuk dan
cara (antara lain : Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Dagang Islam, Indische
Party, ISDV, PKI, PNI, kemudian GAPI dan Gerindo) maka nyatalah bahwa
Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah yang amat penting bagi perjalanan
bersama bangsa kita. Dalam perjalanan perjuangan ini telah ikut serta banyak
tokoh lokal dan nasional, dari berbagai suku dan agama serta aliran politik.
Ada yang dari kalangan Islam, kristen Katolik dan Protestan, nasionalis,
sosialis, komunis dan humanis. Mereka bersatu dalam Sumpah Pemuda, dan
juga dalam berbagai perjuangan melawan Belanda, sampai lahirnya
kemerdekaan tahun 1945.

Sekarang, sesudah Orde Baru membikin kerusakan-kerusakan yang begitu


parah dalam kehidupan bangsa di bidang politik dan moral, maka lebih-lebih
terasa lagi betapa pentingnya untuk mengingat kembali arti Sumpah Pemuda.
Kita semua perlu berusaha bersama-sama meghidupkan kembali “api” Sumpah
Pemuda. Semangat perjuangan HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim yang
disalurkan lewat Sarekat Islam dan Muhammadiyah, patut dikenang terus.
Demikian juga semangat Amir Syarifuddin, yang sebagai orang Kristen dan
komunis telah menggunakan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) untuk
meneruskan perjuangan melawan Belanda (dan kemudian melawan Jepang
lewat gerakan di bawah-tanah).

Namun, memperingati Hari Sumpah Pemuda adalah sesuatu yang hambar,


sesuatu yang kosong, atau tidak artinya, kalau dilepaskan dari konteks sejarah
yang melahirkannya. Sumpah Pemuda sudah menjadi alat pemersatu bangsa
Indonesia yang amat ampuh dalam perjuangan melawan Jepang dan Belanda.
Revolusi Agustus 1945 telah dicetuskan oleh berbagai golongan pemuda yang
menjunjung tinggi-tinggi Sumpah Pemuda (mohon diingat : rapat-rapat di
gedung Menteng 31, “penculikan” terhadap Bung Karno dan Bung Hatta ke
Rengasdengklok). Pertempuran besar-besaran di kota Surabaia dan di banyak
daerah-daerah lainnya di Jawa dan Sumatera telah juga dimotori atau
dikobarkan oleh Sumpah Pemuda.

Jadi, keagungan Sumpah Pemuda adalah adanya kenyataan bahwa ia


merupakan produk bersama yang diciptakan oleh banyak orang dari berbagai
suku, agama, dan aliran politik. Di antara mereka terdapat banyak orang-
orang, yang telah mengorbankan diri dengan berbagai cara dan bentuk. Dari
sinilah kelihatan betapa benarnya dan betapa indahnya (atau betapa
agungnya!) lambang kita Bhinneka Tunggal Ika. Kita berbeda-beda, namun kita
satu : Indonesia. Jadi, Sumpah Pemuda ada hubungannya yang erat, atau,
bahkan satu dan senyawa, dengan Bhinneka Tunggal Ika.

MARILAH KITA KOBARKAN SUMPAH PEMUDA


Dalam merenungkan kembali arti penting Sumpah Pemuda, mungkin perlu
kita pertanyakan apakah Sumpah Pemuda benar-benar telah dihayati oleh
Orde Baru beserta para pendukungnya?
4

Memang, selama Orde Baru ada juga upacara-upacara peringatan. Namun,


kebanyakan hanyalah bersifat ritual dan rutine yang tidak ada “api”-nya lagi.
Seperti halnya Pancasila, Orde Baru beserta para pendukungnya telah
mencabut roh Pancasila yang sebenarnya, atau melecehkannya sehingga
menjadi barang busuk. Orde Baru telah memalsu dan menghina Pancasila,
dengan membunuh jiwa perjuangan revolusioner Bung Karno. Para pendukung
Orde Baru telah memperlacurkan Pancasila, atau, telah memalsukannya
selama puluhan tahun. Jelaslah kiranya, bahwa Pancasila tidak bisa dihayati
secara penuh dan murni kalau mengkhianati Bung Karno, penciptanya. Dan,
justru inilah yang telah dilakukan oleh para pendukung Orde Baru.

Demikian juga halnya dengan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah


kontrak sosial atau kontrak politik bersejarah , yang telah dibuat secara
khidmat bersama-sama oleh angkatan muda dari berbagai golongan suku,
agama, aliran politik. Perjuangan revolusioner Sarekat Islam, pembrontakan
PKI dalam tahun 1926 terhadap kekuasaan kolonial Belanda, perjuangan
kaum muda Batak, Aceh, Melayu, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Menado,
Ambon dan lain-lain suku (ma’af bagi yang tak tersebut di sini) adalah “api”
Sumpah Pemuda. Dengan kalimat lain : obor Sumpah Pemuda telah
dinyalakan bersama-sama oleh golongan Islam, Katolik, Protestan, nasionalis,
sosialis, komunis, humanis, dan lain-lainnya lagi.

Aspek-aspek penting inilah yang harus kita camkan bersama-sama dalam hati
kita masing-masing, ketika dewasa ini negara dan bangsa kita sedang
menghadapi berbagai krisis. Sebab, kecenderungan-kecenderungan negatif
sudah makin terdengar di sana-sini, yang bisa membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa kita. Sebagai akibat politik pemerintahan Orde Baru, telah
muncul permusuhan dan pertentangan suku, agama, dan aliran politik.
Sebagian dari golongan reaksioner Islam telah memunculkan isyu-isyu
keagamaan dan kesukuan yang berbahaya. Golongan yang menganut faham
politik marxis, sosialis atau komunis telah dikucilkan selama puluhan tahun.
Pelaksanaan otonomi daerah telah disalahgunakan oleh para oknum korup dan
anti-rakyat di banyak daerah.

Sumpah Pemuda mengingatkan kita semua bahwa Indonesia ini adalah milik
kita bersama, tidak peduli dari kalangan agama atau suku yang mana pun,
atau dari kalangan aliran politik yang bagaimana pun. Sumpah Pemuda telah
meng-ikrarkan bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah-air dan satu
bahasa. Tetapi, Sumpah Pemuda hanya bisa betul-betul dihayati atau dipatuhi,
kalau semua merasa mendapat perlakuan yang adil. Sumpah Pemuda hanya
bisa betul-betul diakui atau ditaati secara bersama dengan sepenuh hati, kalau
semua merasa dihargai setara. Adalah pengkhianatan terhadap Sumpah
Pemuda, kalau ada golongan yang mau memaksakan secara sewenang-wenang
faham keagamaannya atau aliran politiknya. Sumpah Pemuda mengingatkan
kita semua, bahwa di Indonesia tidak boleh ada golongan yang merasa
ditindas, dianak-tirikan, dikucilkan, atau diabaikan.

Dalam perjuangan panjang dan berliku-liku untuk merebut kemerdekaan


nasional, Sumpah Pemuda telah merupakan senjata yang ampuh bagi banyak
golongan.
5

Dan dalam perjuangan panjang ini telah gugur banyak orang, dan banyak pula
yang telah mengorbankan sebagian dari hidup mereka dalam penderitaan.
Sekarang ini, setelah bangsa kita sudah merdeka, Sumpah Pemuda masih
perlu kita kibarkan terus, dalam menghadapi berbagai persoalan nasional
maupun ingernasional. Negara dan bangsa yang sudah dirusak secara besar-
besaran oleh Orde Baru harus kita bangun kembali lewat reformasi di segala
bidang. Kita semua sedang menghadapi berbagai akibat globalisasi ekonomi
dan globalisasi komunikasi. Kita juga sedang menghadapi berbagai dampak
dari aksi-aksi terorisme, baik yang dilakukan di tingkat nasional maupun
internasional.

Kita semua belum tahu bagaimana dan apa kelanjutan dari peristiwa
peledakan bom terror di Bali. Dan kita juga tidak tahu apakah Irak memang
akan diserang oleh Amerika Serikat. Namun, yang sudah jelas yalah bahwa
kita semua perlu tetap mengibarkan panji-panji Sumpah Pemuda, dalam
menghadapi berbagai prahara politik, sosial dan ekonomi, yang mungkin akan
muncul lebih serius di masa datang.

Dengan semangat dan jiwa asli Sumpah Pemuda yang dicetuskan dalam tahun
1928, kita perlu berusaha bersama-sama untuk menjadikan Indonesia yang
berpenduduk 210 juta orang ini sebagai milik kita bersama. Indonesia adalah
untuk semua golongan, yang merupakan berbagai komponen bangsa. Dengan
mengibarkan panjji-panji Sumpah Pemuda, Bhinneka Tunggal Ika dan
Pancasila kita perlu berjuang terus bersama-sama demi kepentingan seluruh
rakyat, demi kesejahteraan dan kedamaian berbagai golongan suku,
keturunan, agama, dan aliran politik.

Umar Said. Paris, 25 Oktober 2002


SUNARIO
Tokoh Sumpah Pemuda dan Manifesto Politik 1925

MENURUT Prof Sartono Kartodirdjo sebetulnya Manifesto Politik yang


dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1925 lebih
fundamental dari Sumpah Pemuda 1928. Manifesto Politik 1925 itu pada
intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan),
dan liberty (kemerdekaan). Sedangkan Sumpah Pemuda sebagaimana ada pada
memori kolektif bangsa ini hanya menonjolkan persatuan. Paling tidak
demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia
selama ini melalui slogan populer "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa".

Satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi
tonggak sejarah nasional itu adalah Prof Mr Sunario. Ketika Manifesto Politik
itu dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta.
Sunario menjadi Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925, ia
meraih gelar Meester in de rechten, lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai
pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi
Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928
yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi
pembicara dengan makalah "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia."

Kesamaan dengan Hatta

Tahun ini diperingati secara meriah melalui pameran foto, penerbitan


buku dan diskusi di berbagai kota di Indonesia, satu abad kelahiran Bung
Hatta. Padahal Sunario juga lahir pada tahun yang sama dengan Hatta dan
hanya terpaut beberapa hari (Hatta di Bukittinggi 12 Agustus, Sunario di
Madiun 28 Agustus 1902). Keduanya seperti dijelaskan, adalah pengurus
Perhimpunan Indonesia tahun 1925. Pada tahun itulah perhimpunan ini
mengeluarkan Manifesto Politik yang sangat signifikan itu.

Setelah Indonesia merdeka, Hatta menjadi wakil presiden, sedangkan


Sunario menjadi anggota dan kemudian Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat).

Kedua tokoh ini sama-sama pernah menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu).
Hatta merangkap Menlu pada pemerintahan RIS (20 Desember 1949-6
September 1950). Aktif dan salah seorang pendiri PNI, Sunario menjadi Menlu
semasa kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-12 Agustus 1955).
2
Hatta adalah penggagas politik luar negeri yang bebas aktif. Pidato
terkenalnya yang berkait dengan hal ini adalah Mendayung di antara Dua
Karang. Politik luar negeri yang bebas aktif itu dijabarkan Sunario secara
nyata. Ketika menjadi Menlu dilangsungkan KAA (konferensi Asia Afrika) di
Bandung tahun 1955 yang menghasilkan Dasa Sila Bandung. Sunario juga
menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan
Chou En Lai, persoalan yang sampai kini tetap krusial.
Hatta mundur sebagai wakil presiden Desember 1956. Pada tahun yang
sama Sunario ditunjuk menjadi Duta Besar di Inggris (sampai tahun 1961).
Setelah itu Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum
internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-
1966). Setelah sama-sama pensiun, kedua tokoh ini kembali bertemu dalam
Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul
kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali
Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad
Subardjo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo. Ketiga anggota pertama
adalah tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.
Tahun 1925 diterbitkan buku Uraian Pancasila oleh Panitia Lima. Bung
Karno diakui sebagai tokoh yang pertama berpidato dan mengungkapkan nama
Pancasila sebagai dasar negara. Namun, dalam pidato Soekarno, sila
Ketuhanan itu tercantum pada urutan terakhir. Itulah yang di balik dalam
perumusan naskah Pancasila oleh founding fathers kita. Sila Ketuhanan
(ditambah ungkapan Yang Maha Esa) diletakkan pada urutan pertama. Sila-
sila lain hanya menyangkut perubahan istilah. Panitia Lima termasuk Bung
Hatta dan Sunario menganggap, sila pertama merupakan fundamen moral
sedangkan keempat sila lainnya adalah fundamen politik. Sendi moral harus
ditempatkan di atas sendi politik. Bukan sebaliknya, sebagaimana terjadi
terutama belakangan ini.

"Qu'est-ce qu'une nation?"


Sunario Sastrowardoyo yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur
ini menikah dengan gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya saat
berlangsung Kongres Pemuda 1928. Perkawinan ini awet, mereka hanya
terpisahkan oleh maut. Sunario wafat 1997 dan istrinya tiga tahun lebih awal.
Bakat politik menurun kepada salah seorang putrinya, Prof Astrid Susanto,
yang setelah lama berkarier di Bappenas kini menjadi anggota DPR.
Kakek dari bintang sinetron Dian Sastrowardoyo ini terkenal sederhana,
setelah pensiun ia mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tidak punya mobil
sendiri, dari rumah di Jalan Raden Saleh, Jakarta, ia pergi ke kampus naik bis
kota atau bajaj. Sempat membuat heboh pejabat Departemen Luar Negeri
ketika suatu saat Sunario yang mantan Menlu ini datang ke Pejambon dengan
naik sepeda.
Pelajaran utama yang selalu diajarkan kepada anak-anaknya serta
dijalaninya sendiri adalah hidup jujur. Kenapa harus jujur? Alasannya
sederhana, supaya malam hari bisa tidur nyenyak. Barangkali itulah salah
satu resep panjang umur tokoh yang sempat mengecap usia di atas 90 tahun.
3

Salah satu hal yang menjadi obsesi tokoh nasionalis ini adalah persatuan
bangsa. Sejak dari negeri Belanda sampai proklamasi kemerdekaan, Sunario
adalah tokoh yang konsisten dengan pandangan tentang negara kesatuan. Ia
keberatan dengan dengan negara federal. Pidatonya dalam Kongres Pemuda
mengutip filsuf Perancis Ernest Renant yang kemudian pernah disitir Bung
Karno. Artikel Qu'est-ce qu'une nation? itu, lalu diterjemahkan Sunario ke
dalam bahasa Indonesia menjadi Apakah Bangsa Itu.

Bangsa itu adalah hasil historis yang ditimbulkan deretan kejadian yang
semua menuju ke satu arah. Setelah menguraikan masalah ras, bahasa,
agama, persekutuan kepentingan bersama, keadaan alam, Renant
menyimpulkan, bangsa itu merupakan keinginan untuk hidup bersama (le
desir de vivre ensemble).

Bangsa itu seperti individu-individu merupakan hasil masa silam yang


penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Jadi bangsa itu adalah suatu
solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah
berkorban banyak dan bersedia untuk memberikan pengorbanan lagi.

Saat bangsa ini sedang terancam disintegrasi perlu kita kenang kembali
pemikiran yang disampaikan Prof Mr Sunario dalam Sumpah Pemuda tahun
1928.

Dr Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI

You might also like