You are on page 1of 276

BAB 1

STRUKTURALISME-GENETIK

Dalam kajian ini mempergunakan data primer


karya sastra. Data sekunder yang dipergunakan
adalah pustaka-pustaka yang ada relevansinya
dengan kajian terhadap karya, yakni: karya fiksi
dan nonfiksi, berbagai tulisan mengenai karya, dan
usalan mengenai karya serta buku-buku referensi
yang dapat mendukung kajian terhadap karya.
Selanjutnya, kajian ini mempergunakan metode
yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann untuk
penerapan S-G, yaitu metode dialektik. Menurut
Goldmann (1977:8), metode dialektik termasuk
metode yang khas, sehingga berbeda dengan
metode positivistik. Metode positivistic
menitikberatkan pada usaha pencarian hubungan
antara sastra dengan faktor iklim, geografis,
filsafat, dan politik. Sastra diperlukan sebagai fakta
yang statusnya sama dalam penelitian ilmiah
(Damono, 1984:18). Metode ini tidak mengadakan
penelitian terhadap karya yang digunakan sebagai
data. Karya dianggap sebagai dokumen yang
mencatat unsur sosiokultural. Setiap unsur di

1
dalamnya dianggap mewakili secara langsung
unsur sosiokultural (Junus, 1986:1).
Metode dialektik hanya mempergunakan
karya yang bernilai sastra, karya yang kuat karena
keseluruhan karya itu membentuk jaringan yang
kohesif dari segala unsurnya. Yang berhubungan
dengan unsur sosiokultural adalah keseluruhan
unsur sebagai satu kesatuan (Junus, 1986:2).
Namun, harus diakui bahwa dari segi titik awal dan
titik akhir metode dialektik sama dengan metode
positivistik, karena keduanya sama-sama berawal
dan berakhir pada teks sastra. Adapun
perbedaannya selain yang telah disebutkan di atas,
metode positivistik tidak mempertimbangkan
koherensi struktural, sedangkan metode dialektik
memperhitungkan koherensi struktural itu
(Goldman via Faruk, 1994:19).
Bentuk operasional (cara kerja) metode
dialektik yaitu secara bolak-balik antara teks
dengan struktur sosial yang diteliti. Hal ini terjadi
karena proses pencapaian pengetahuan dengan
metode dialektik menjadi semacam gerak yang
melingkar terus-menerus tanpa bisa diketahui titik

2
yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk,
1994:20).
Selanjutnya, melengkapi cara kerja metode
dialektik, Goldmann mengembangkan dua
pasangan konsep berupa keseluruhan-bagian dan
pemahaman-penjelasan. Konsep keseluruhan-
bagian mengacu kepada pengertian bahwa setiap
fakta atau ide individual akan memiliki arti apabila
ditempatkan dalam keseluruhan. Keseluruhan
hanya bisa dimengerti dengan pengetahuan
tentang bagian-bagian yang membangun
keseluruhan itu. Adapun konsep pemahaman-
penjelasan mengandung pengertian bahwa
pemahaman merupakan usaha penggambaran
struktur obyek yang dikaji, sedangkan penjelasan
merupakan usaha menggabungkan struktur obyek
tersebut ke dalam struktur yang lebih besar
(Goldmann, 1977:5).
Pemahaman bolak-balik dalam kajian akan
meliputi pemahaman struktur teks, pemahaman
kondisi sosial, politik, agama, budaya, perempuan,
dan pandangan dunia pengarang. Adapun langkah-
langkah kajian ini di tempuh melalui beberapa
tahapan sebagai berikut.

3
(1) Menentukan teks yang dipakai sebagai obyek
penelitian;
(2) Mengarahkan fokus yang menjadi obyek kajian
mengenai struktur teks, kondisi sosial, politik,
agama, budaya, perempuan, dan pandangan
dunia pengarang;
(3) Mengumpulkan data-data dari sumber-sumber
kepustakanaan yang ada kaitannya dengan
obyek kajian. Data itu berupa karya fiksi atau
non fiksi, tulisan-tulisan pengarang, karya-
karyanya, buku referensi yang ada kaitannya
dengan kajian data;
(4) Menganalisis obyek kajian dengan sudut
tinjauan S-G. Cara menganalisis obyek kajian
berdasarkan tinjauan S-G adalah sebagai
berikut.
(a) analisis struktur teks dengan
mengungkapkan relasi tokoh dengan tokoh
lain, latar, dan dunia sekelilingnya;
(b) analisis konteks sosialnya dengan
menghubungkan karya sastra dan
kenyataan sosial, politik, seni, dan agama
yang melatarbelakangi terciptanya karya;

4
(c) analisis hal-hal mengenai perempuan dan
pandangan dunia pengarangnya.
Pandangan dunia ini terbentuk berdasarkan
pemahaman struktur teks, kondisi sosial,
politik, budaya, sosok perempuan yang
ditampilkan dalam karya.

DAFTAR RUJUKAN
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1941. Layar
Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
Badudu, Yus. 1995. Inilah Bahasa Indonesia Yang
Baik dan Benar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Budianta, Melani, 1998. Sastra dan Ideologi Gender.
Dalam Horizon. Tahun XXXII. Nomer 4 Jakarta.
Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-Laki dan Wacana
Gender. Yogyakarta: Yayasan Indonesia Tera.
--------------- 1999. Feminografi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Chamamah S, Siti. 1994. “Teori Penelitian Sastra.”
Dalam Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang
Teori dan Metode Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia
IKIP Muhammadiyah.

5
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gardiner, Oey dan Mayling. 1996. Perempuan
Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Hamka. 1965. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta:
Nusantara.
Haris, Abdul. 1997. “Mobilitas Angkatan Kerja
Wanita Indonesia ke Luar Negeri.” Dalam
Irwan Abdullah (ed.) Sangkan Paran Gender.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hellwig, Tinieke. 1994. In The Shadow of Change:
Women in Indonesian Literature. USA: The
Regents of The University of California.
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme
(terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta:
Penerbit Fajar Pustaka Baru.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi:
Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia.
---------------. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah
Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Kramarae, Cheris and Paula A. Treachler. 1985. A.
Feminist Dictionary. London: Sydney
Wellington.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

6
BAB 2
FEMINISME

Kritik sastra feminis merupakan salah satu


komponen dalam bidang interdisipliner studi
perempuan, yang ada di negara-negara Barat
diawali sebagai gerakan sosial. Sejak studi
perempuan dianggap bagian dan agenda politik
feminis, seluruh interpretasi kritik sastra feminis
adalah kebijakan politik. Menurut Belsey dan Moore
(Hellwig, 1994:7), pembaca feminis diperoleh
dalam proses perubahan relasi jender yang berlaku

7
dalam masyarakat. Ia menganggap tindakan
membaca sebagai tempat-tempat dalam
memperjuangkan peruibahan. Kritik sastra feminis
memeriksa bagaimana kaum perempuan
dipresentasikan dan bagaimana teks berurusan
dengan relasi jender dan perbedaan seksual.
Bagaimana pemahman pembaca terhadap teks
bergantung pada persoalan yang dipertanyakan
oleh kaum perempuan atau kaum laki-laki.
Kritik sastra feminis meliputi penelitian
tentang penggunaan teori feminis diharapkan
mampu membuka pandangan-pandangan baru
terutama berkaitan dengan bagaimana karakter-
karakter perempuan diwakili dalam sastra
(Ruthven, 1984:30). Selain itu, bagaimana
perempuan digambarkan dan bagaimana potensi
yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan
patriarkhi dalam karya sastra (Ruthven, 1984:40-
50).
Kritik sastra feminis memiliki tujuan politik
yang terang-terangan dan tidak hanya merupakan
tindakan yang melawan proses dekonstruksi. Untuk
itu, Ruthven (1984:54) memberikan solusi dengan
soft deconstruction: memusatkan konstruksi-

8
konstruksi realitas maskulin dengan pandangan
yang memusatkan konstruksi realitas feminis.
Meskipun secara umum, agenda feminisme
adalah menciptakan dunia yang adil menganalisis
mengapa dan bagaimana kaum perempuan
tertindas. Apa yang disebut dengan feminisme
gelombang kedua (tahun 1960-an di Eropa dan AS)
tidak merupakan suatu gerakan yang homogen,
tetapi berbagai dalam tiga golongan besar, yakni
feminisme radikal, liberal, dan sosialis (Saptari dan
Holzner, 1977:48).
Kelompok feminisme radikal berpandangan
bahwa penindasan perempuan berasal dari
penempatan terhadap perempuan ke dalam kelas
inferior dibandingkan dengan kelas laki-laki dengan
menggunakan basis jender. Feminisme radikal
bertujuan menghancurkan system kelas jemnis
kelamin. Ia memfokuskan pada akar dominasi laki-
laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan
adalah perpanjangan dari supremasi (keunggulan)
pada laki-laki. Patriarkhi adalah karakteristik yang
ada dalam masyarakat. Ia berkeyakinan bahwa
persoalan politik dan keterpusutan pada

9
perempuan bias menjadi basis masyarakat di masa
depan (Eisenstein dalam Humm, 2002:383-384).
Menurut Atkinson (Humm, 2002:384), system
peran laki-laki dan perempuan yang secara politik
menindas merupakan model asli dari semua
penindasan. Masalah-masalah tertentu
menempatkan feminisme radikal berbeda dengan
perspektif feminis lainnya, terutama pandangan
sosialis, yang akan sentralitas kelas dan pandangan
perempuan kulit hitam akan sentralitas ras.
Berbeda dengan pendapat Mitchell (Humm,
2002:384-385), mengkritik Firestone secara khusus
dari feminisme radikal pada umumnya tidak
berbicara mengenai penindasan perempuan dalam
cara tertentu secara histories. Hal ini dikarenakan
feminis radikal berkaitan dengan seksualitas dan
sosialisasi peklerja. Dengan memfokuskan pada
kesadaran dan budaya di satu sisi dan
ketidaksadaran di sisi lain, feminis radikal
menganalkiss struktur psikis, seksual, dan ideologis
yang membedakan kedua jenis kelamin dalam
kaitannya dengan ketidaksetaraan jender.
Salah satu tema utama dalam tulisan feminis
radikal adalah oposisi politik pada kelompok kiri,

10
yang melibatkan perempuan sebagai seksisme.
Menurut Morgan (Humm, 2002:385-386), seksisme
adalah akar atau penindasan radikal, aliran ini
menawarkan model analisis yang secara mendasar
berbeda dengan marxisme. Perhatikan bersama
mereka (aliran fr) terhadap psikologis perempuan,
menyatakan bahea teori sebelumnya gagal untuk
menganalisis dominasi terhadap peremnpuan
sebagai bentuk psikolososial. Sementara itu, aliran
feminis radikal memberikan sumbangan terhadap
teori feminisme dalam beberapa hal yang berbeda,
yakni: (1) mereka menciptakan konsep budaya
perempuan di mana institusi alternative bias
menghasilkan perubahan social, suatu konsep yang
analog dengan libertarianisme (kebebasan untuk
membangun model-model masyarakat utopis
(idaman); (2) feminisme radiokal adalah teori yang
pertama mengkonsepkan kembali secara total
realitas dari sudut pandang perempuan; (3) mereka
(aliran fr) mengungkapkan bahwa maskulin yang
tersembunyi dalam kerangka konseptual dari
berbagai pengetahuan tradisional dan dualisme
bahwa penggunaan teori politik tradisional untuk
menjustifikasi subordinasi perempuan. Mereka

11
bekerja untuk memperjelas ketidaktampakan
dengan membawa ke focus struktur jender
masyarakat.
Kaum feminis radikal beranggapan bahwa
struktur masyarakat berlandaskan pada relasi
hirarkis berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki
sebagai suatu kategori social mendominasi kaum
perempuan sebagai kategori social yang lain,
karena kaum laki-laki diuntungkan dengan adanya
subordinasi perempuan. Menurut aliran feminis
radikal, dominasi laki-laki itu merupakan model
konseptual yang biasa menjelaskan berbagai
bentuk penindasan yang lain.
Kaum feminisme radikal terutama menyoroti
dua konsep utama, yaitu patriarkhi dan seksualitas.
Bagi kaum radikal, ideology patriarkhi
mendefinisikan perempuan sebagai kategori social
yang fumngsi khususnya untuk memuaskan
dorongan seksual kaum laki-laki, untuk melahirkan,
dan mengasuh anak. Patriarkhi tidak hanya
memaksa kaum perempuan menjadi ibu mereka
(anak-anak). Ideologi patriarkhi yang mengobyekan
seksualitas perempuan tampak dalam wujud
kekerasan seksual yang muncul sehari-hari dengan

12
gejala perkosaan, pornografi, iklan seksual, seni
kapitalis, dan pornoaksi.
Beberapa feminis radikal memuja atribut
biologis perempuan sumber keunggulan daripada
inferioritas (kerendahan). Setiap alas an yang
ekstrem (perbedaan yang besar) bagi kodrat
khusus perempuan menimbulkan resiko sampai
dengan jalan yang berbeda dalam kedudukan yang
sama dikuasai oleh chauvinis (sifat patriotic yang
berlebihan) bagi laki-laki (Selden, 1996:137).
Kebanyakan feminis radikal menganut
pandangan bahwa para perempuan telah dicuci
otaknya oleh tipe ideology patriarkhi ini, yang
menghasilkan gambaran stereotype lelaki yang
kuat dan perempuan yang lemah (Selden,
1996:138). Pada permulaan abad ke-19, aliran ini
mengangkat isu besar menggugat semua lembaga
yang dianggap merugikan perempuan seperti
patriarkhi yang dinilai merugikan perempuan,
karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki.
Lebih dari itu, di anatara kaum feminis radikal ada
yang lebih ekstrem, tidaka ahanya menuntut
persamaaan hak dengan laki-laki, tetapi persamaan
seks dalam arti kepuasan seksual juga bisa

13
diperoleh dari sesame perempuan, sehingga
mentolerir (memaklumi) praktek lesbian
(Ramazanoglu via Umar, 2002:66-67). Menurutnya,
perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki
dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan dan
kepuasan seksual. Perempuan dapat merasakan
kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual
kepada sesame perempuan. Kepuasan seksual dari
laki-laki merupakan masalah psikologis. Melalui
berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan ini
dapat terpenuhi dari sesame perempuan
(Ramazanoglu via Umar, 2001:67).
Berdasarkan pemikiran itulah, Ramazanoglu
(Umar, 2001:67), mengupayakan pembenaran
rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta
bahwa laki-laki merupakan masalah bagi
perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi
reproduksi perempuan dengan berbagai dalih
(argument). Ketertindasan perempuan berlangsung
cukup lama dan dinilai sebagai bentuk penindasan
yang sangat panjang di belahan dunia. Penindasan
ras , perbudakan, dan warna kulit dapat segera
dihentikan dengan resolusi (peraturan), tetapi

14
pemerasan secara seksual sangat susah dihentikan,
dan diperlukan gerakan yang lebih mendasar.
Menurut Brownmiller (Fakih, 2001:84), para
penganut feminis radikal ini justru muncul sebagai
reaksi atau kultur sexism (yang merendahkan
perempuan) atau diskriminasi social berdasarkan
jenis kelamin di Barat tahun 60-an, khususnya
dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi.
Sementara itu, dipertegas oleh Jaggar (Fakih,
2001:85), para penganut feminisme radikal tidak
melihat adanya perbedaan antara tujuan individu
dan politik, unsure-unsur seksual (biologis). Dalam
melakukan analisis tentang penyebab penindasan
terhadap perempuan, mereka menganggapnya
akar dari jenis kelamin laki-laki beserta ideology
patriarkhinya. Dengan demikian, kaum laki-laki
secara biologis maupun politis adalah bagian dari
permasalahan Dari itu aliran feminisme ini
menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan
oleh laki-laki, seperti hubungan seksual sebagai
bentuk dasar penindasan terhadap kaum
perempuan. Selanjutnya, menurut Eisenstein
(Fakih, 2001:85), bagi mereka patriarkhi
merupakan dasar dari ideology penindasan yang

15
merupakan system hierarki seksual di mana laki-
laki memiliki kekuatan superior (unggulan) dan
privilege (hak istimewa) ekonomi.
Berbeda dengan pendapat Stanley dan Wise
(Fakih, 2001:85-86), revolusi terjadi pada setiap
perempuan yang telah mengambil aksi untuk
mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan
mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Revolusi
dan perlawanan atas penindasan perempuan bias
dalam bentuk yang sangat individual seperti:
urusan subyektif personal perempuan. Perintis
feminis radikal seperti: Chorlette Perkins Gilman,
Emma Goldman, dan Margaret Sanger memandang
teori feminis radikal kontemporer dikembangkan
oleh kelompok di New York pada akhir tahun 1960-
an.
Adapun feminisme liberal merupakan salah
satu arus utama teori social dan politik feminis
yang mempunyai sejarah jangka waktu paling lama.
Dalam buku Vindication of the Rights of Woman
(1789) dan Wollstonecraff (Humm, 2001:250)
menggambarkan perempuan sebagai agen rasional
yang inferioritasnya disebabkan oleh pendidikan
yang rendah. Menurutnya, hal ini bias ditelaah

16
dengan persamaan kesempatan untuk perempuan.
Feminisme liberal kontemporer menyepakati
optimismenya bahwa akar dari penindasan
perempuan terletak pada ada-tidaknya hak sipil
dan peluang pendidikan yang sama. Inti dari
keyakinan feminis liberal mengenal seksualitas,
yang merupakan pandangan bahwa kehidupan
pribadi seseorang tidak harus menjadi obyek
peraturan masyarakat. Feminisme liberal
mendukung pemenuhan individu yang terbebas
dari keterbatasan peran seks dan mendukung hak-
hak perempuan dalam hal kebutuhan
kesejahteraan, pendidikan universal, dan layanan
kesehatan. Misalnya, kritikus liberal menuding pada
praktek ketenagakerjaan yang tidak fair daripada
menyerang institusinya secara keseluruhan.
Selanjutnya, menurut Elshtain (Humm, 2002:250-
251), feminisme liberal mereduksi (mengurangi
nilai motivasi manusia menjadi sekedar utilitarian
(bermanfaat terhadap kepentingan diri.
Dasar pemikiran kelompok feminisme liberal
adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan
diciptakan seimbang dan serasi, yang seharusnya
tidak terjadi penindasan antara satu dengan

17
lainnya. Kelompok ini diinspirasi oleh prinsip-prinsip
pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-
sama mempunyai kekhususan tersendiri. Secara
ontologism keduanya sama, hak-hak laki-laki
dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan.
Kelompok ini tetap menolak persamaan secara
menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam
beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan
fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap
memandang perlu adanya pembebasan antara laki-
laki dan perempuan. Bagimana juga fungsi organ
reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi
logis di dalam kehidupan bermasyarakat (Umar,
2001:64-65).
Kelompok ini termasuk paling moderat, yang
membenarkan perempuan bekerja bersama laki-
laki, yang menghendaki agar perempuan
diintegrasikan secara total di dalam semua peran,
termasuk bekerja di rumar rumah. Dengan
demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis
kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini
beranggapan tidak harus dilakukan perubahan
struktur secara totalitas, tetapi hanya melibatkan
perempuan di dalam berbagai peran, seperti:

18
sosial, ekonomi, dan politik. Berhubungan dengan
peran perempuan mengenai organ reproduksi
bukan merupakan penghalang terhadap peran-
peran tersebut.
Pemikiran feminisme liberal muncul sebagai
kritik terhadap teori politik liberal, yang umumnya
menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai
moral, dan kebebasan individu. Namun, pada saat
yang sama dianggap mendeskriminasikan kaum
perempuan. Masalah perempuan tidak dilihat
struktur dan system sebagai pokok persoalan.
Asumsi feminis liberal berakar pada pandangan
bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan
(Equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat (individu) dan publik (umum).
Kerangka kerja feminis liberal dalam
memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju
pada hak mendapatkan kesempatan, hak yang
sama bagi setiap individu, termasuk hukum bagi
perempuan (Umar, 2001:81).
Kesempatan dan hak yang sama antara laki-
laki dan perempuan ini penting bagi mereka. Oleh
karena itu, tidak perlu pembedaan kesempatan
antara laki-laki dan perempuan. Feminisme liberal

19
beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh
kesalahan mereka sendiri. Jika system sudah
memberikan kesempatan yang sama kepada laki-
laki dan perempuan, maka kaum perempuan tidak
mampu bersaing dan kalah, yang perlu disalahkan
yakni kaum perempuan sendiri (Umar, 2001:82).
Usulan aliran ini untuk memecahkan masalah
kaum perempuan, dengan cara menyiapkan kaum
perempuan agar bersaing dalam suatu dunia yang
penuh persaingan bebas. Usaha ini dapat dilihat
dalam program-program perempuan dalam
pembangunan (WID), yakni dengan menyediakan
program intervensi guna meningkatkan taraf hidup
keluarga, seperti pendidikan, keterampilan, dan
kebijaksanaan yang dapat meningkatkan
kemampuan perempuan, sehingga mampu
berpartisipasi dalam pembangunan.
Feminisme liberal tidak pernah
mempertanyakan deskriminasi akibat ideology
patriarkhi, sebagaimana dipersoalkan oleh
feminisme radikal dan social, yang menyoroti
analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi, dan
jender. Ide feminis liberal ini telah muncul sejak
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun baru

20
tahun 60-an gerakan ini kelihatan menonjol dan
akhirnya mendominasi pemikiran tentang
perempuan di seluruh dunia. Salah satu pengaruh
feminis liberal ini terekspresi dalam teori
modernisasi dalam program global yang dikenal
WID (perempuan dalam pembangunan).
Sejak awal, bagi kelompok ini persoalan
perempuan dianggap sebagai masalah bagi
perekonomian modern atau partisipasi politik dan
pembangunan. Keterbelakangan kaum perempuan,
selain akibat dari sikat irasional yang bersumber
pada nilai-nilai tradisional kaum perempouan tidak
berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena
itu, keterlibatan kaum perempuan dalam
industrialisasi dan program pembanguan dianggap
sebagai jalan untuk meningkatkan status
perempuan (Fakih, 2001:83).
Berkaitan dengan pandangan kaum feminis
sosial, mereka percaya bahwa perempuan adalah
penduduk kelas dua masyarakat kapitalis
patriarkhi, yang menggantungkan keberlangsungan
hidupnya kepada eksploitasi orang-orang dari
perempuan pekerja. Aliran ini (fs) mengajak untuk
mentransformasikan bukan hanya kepemilikan alat-

21
alat produksi. Namun, pengalaman social
merupakan akar dari penindasan perempuan, yang
terletak pada system ekonomi kapitalisme secara
total (Reed dalam Humm, 2002:447-448).
Feminisme social menolak memperlakukan
penindasan ekonomi sekunder tidak sebagaimana
feminis marxis, mereka menolak memperlakukan
penindasan jenis kelamin sebagai sekunder. Alira fs
menyatakan bahwa laki-laki mempunyai
kepentingan material khusus dalam mendominasi
perempuan dan laki-laki mengkonstruksikan
berbagai tatanan institusional untuk
melanggengkan dominasi ini. Batasan konvensional
mengenai ekonomi dengan mempertimbangkan
aktivitasnya yang tidak melibatkan pertukaran
uang. Misalnya dengan memasukkan kerja
prokreatif dan seksual yang dilakukan perempuan
di rumah. Dalam menganalisis semua bentuk
kegiatan produktif, aliran ini menggabungkan alat
analisis jender dengan kelas.
Menurut Furguson (Humm, 2002:449), salah
satu problem aspek feminisme sosial ini bahwa
mereka menjadikan konsep pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin sebagai dasar untuk

22
mengeksploitasi relasi-relasi antara subordinasi
perempuan, sistem ekonomi tertentu, dan cara
mengorganisasikan seksualitas.
Sekarang, feminis social sedang
mengembangkan penjelasan yang lebih memadahi
mengenai subordinasi perempuan, untuk
menunjukkan bagaimana jenis-jenis produksi,
ekonomi yang toidak biasanya dipertimbangkan,
bias dipahami dalam istilah ekonomi. Idealnya
yakni bahwa perempuan dan laki-laki sebagai
kelompok yang dikonstruksi secara social harus
dihilangkan.
Adapun para penulis feminis sosialis, seperti
Linda Gordon (1976), Lydia Sargent (1981), dan
Rosalid Petchesky (1986), mencoba meletakkan
persoalan-persoalan feminis yang besar, seperti
keputusan mengenai masalah reproduksi ke dalam
perjuangan politik secara menyeluruh bagi
sosialisme feminis. Selain itu, feminis social
mendeskripsikan tentang kelompok perempuan
sebagai akar rumput libertarian yang bisa menjadi
model baru bagi sosialisme (Rowbotham dalam
Humm, 2002:449-450).

23
Kaum feminis sosial (marxis) berupaya
menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat
berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu
bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis
kelamin itu, sesungguhnya lebih disebabkan oleh
faktor budaya alam. Aliran ini (fs) di dalamnya para
teolog menolak anggapan tradisional bahwa status
perempuan lebih rendah daripada laki-laki, karena
faktor biologis dan latar belakang sejarah (Umar,
2001:65).
Kelompok ini menganggap posisi inferior
perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan
keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis social
berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam
masyarakat adalah akibat penerapan sistem
kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja
tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan
rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan
lebih tinggi daripada suami, begitu juga sebaliknya.
Senantiasa, perempuan mencemaskan keamanan
ekonominya, karena mereka menggantungkan diri
pada kekuasaan suami.
Struktur ekonomi atau kelas di dalam
masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap

24
status perempuan, karena untuk mengangkat
harkat dan martabat perempuan supaya seimbang
dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali
structural secara mendasar, terutama dengan
menghapus pengkotak-kotakan (dikotomi)
pekerjaan sektor domestik (biasanya untuk
perempuan) dan sekctor publik (biasanya untuk
laki-laki).
Kaum feminis liberal bertolak dari tesis bahwa
setiap laki-laki atau perem,puan mempunyai
keinginan dalam mengembangkan kemampuan dan
rasionalitas secara optimal. Tidak ada lembaga
atau individu yang boleh merenggut hak itu dan
intervensi Negara hanyalah untuk menjamin agar
hak tersebut terlaksana dengan baik. Dalm hal
pembedaan seksual itu merupakan pelanggaran
hak asasi. Inti dari deskriminasi itu terletak pada
prejudice (prasangka) yang terdapat di kalngan
kaum laki-laki. Prasangka itu muncul dari system
nilai yang ditanamkan, baik pada laki-laki maupun
perempuan. Pada saat sosialisasi mereka waktu
masih kecil, seperti maskulinitas (cirri yang harus
dimiliki laki-laki yang agresif), keberanian,
kepemimpinan, dan kekuatan fisik), dan feminitas

25
(cirri yang harus dimiliki perempuan seperti
kelembutan dan kehalusan) serta keengganan
untuk menampilkan diri). Dengan demikian, feminis
liberal menentang pandangan biologis. Kunci
penghapusan deskriminasi dan ketimpangan social
atas dasar perbedaan terutama terletak pada
pendidikan (formal dan nonformal) dan pembukaan
kesempatan kerja. Kedua hal itu harus diiringi
dengan usaha menyingkirkan prejudice kaum laki-
laki dengan cara mensosialisasikan mereka
kembali.
Perbedaan dengan dua pandangan kaum
feminis di muka, kaum feminis social mengaitkan
dominasi laki-laki dengan proses kapitalis. Menurut
mereka, pengertian yang baik tentang system
kapitalis lakoi-laki. Suatu pengertian yang baik
tentang dominasi laki-laki masa kini membutuhkan
pemahaman tentang bagaimana dominasi itu
dibentuk oleh proses kapitalis. Dengan demikian,
aliran ini lebih m,emperhatikan keaneragaman
bentuk patriarkhi dan pembagian kerja seksual,
karena kedua hal ini tidak bias dilepaskan dari
modus produksi masyarakat.

26
DAFTAR RUJUKAN
Budianta, Melani, 1998. Sastra dan Ideologi Gender.
Dalam Horizon. Tahun XXXII. Nomer 4 Jakarta.
Budiman, Kris. 2000. Feminis Laki-Laki dan Wacana
Gender. Yogyakarta: Yayasan Indonesia Tera.
--------------- 1999. Feminografi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Chamamah S, Siti. 1994. “Teori Penelitian Sastra.”
Dalam Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang
Teori dan Metode Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia
IKIP Muhammadiyah.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gardiner, Oey dan Mayling. 1996. Perempuan
Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Haris, Abdul. 1997. “Mobilitas Angkatan Kerja
Wanita Indonesia ke Luar Negeri.” Dalam
Irwan Abdullah (ed.) Sangkan Paran Gender.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hellwig, Tinieke. 1994. In The Shadow of Change:
Women in Indonesian Literature. USA: The
Regents of The University of California.
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme
(terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta:
Penerbit Fajar Pustaka Baru.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi:
Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia.
---------------. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah
Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

27
Kramarae, Cheris and Paula A. Treachler. 1985. A.
Feminist Dictionary. London: Sydney
Wellington.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mosse, Julia C. 2002. Gender dan Pembangunan
(terjemahan Hartian Silawati). Yogyakarta:
Kerja sama Rifka Annisa Women’s Crisis
Centre dengan Penerbit Pustaka Pelajar.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997.
Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial:
Sebuah pengantar studi perempuan. Jakarta:
Anem Kosong Anem.
Susilastuti, Dewi H. 1993. “Gender Ditinjau dari
Perspektif Sosiologi.” Dalam Fauzie Ridjal, dkk
(ed.). Dinamika Spiritualitas Hindu: Potret
Illahi Setengah Hati. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.

28
BAB 3
JENDER

1. Pengertian
Pembicarakan masalah jender, sasarannya
tidak saja pembedaan laki-laki dan perempuan,
melainkan masalah kemanusiaan atau
memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Pembedaan itu juga mengacu pada dua konsep
jenis kelamin (seks) dan jender itu sendiri. Konsep
yang harus dipahami untuk membahas perempuan
dari segi seks dan jender, yaitu: (1) seks
merupakan pembagian jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis, secara permanen
tidak bisa dipertukarkan; (2) jender adalah sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun

29
kultural (Fakih, 2001:3-12). Berbeda dengan
pendapat Susilastuti (1993:29-30), keberadaan
jender, baik aliran dan tempat munculnya
merupakan adanya prasangka jender yang
cenderung menomorduakan kaum perempuan.
Perempuan dinomorduakan karena adanya
anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda
dengan perempuan. Perbedaan itu tidak hanya
terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga
sampai pada kriteria sosiokultural. Selanjutnya,
menurut Haris (2003:186), jender berkaitan dengan
budaya. Oleh karena itu, jender pada gilirannya
merupakan suatu fenomena yang melintas budaya.
Jender merupakan produk budaya yang dibangun
atas dasar ide fungsional yang terdapat dalam
kategori masyarakat, yaitu perempuan dan laki-
laki.
Perkembangan pemikiran tentang jender
didasarkan pada realitas bahwa analisis
sosiokultural sebelumnya masih tetap
menyingkirkan semangat pluralisme dengan
menyisihkan analisis berwacana jender. Jender
membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin
dan feminin. Biasanya, maskulin ditempatkan oleh

30
jenis kelamin, sedangkan feminin oleh jenis kelamin
perempuan.
Sejalan dengan itu, hubungan maskulin dan
feminin (pembagian kerja) bukan merupakan
korelasi yang absolut. Jender tidak bersifat
universal. Ia bervariasi dari waktu ke waktu serta
dari masyarakat ke masyarakat. Sekalipun
demikian ada dua elemen jender yang bersifat
universal, (1) jender tidak identik dengan jenis
kelamin, (2) jender merupakan dasar pembagian
kerja di semua masyarakat (Susilastuti, 1993:30).
Konsep ini melahirkan stereotipe (pelabelan)
perempuan dan laki-laki. Perempuan bersifat
lembut, keibuan, halus, perasa, sedangkan laki-laki
bersifat kuat, perkasa, gagah, dan cekatan.
Berbagai studi lintas budaya menunjukkan bahwa
dikotomi ini membuat perempuan selalu
dinomorduakan atau tersubordinasi.
Jika dilihat secara umum otoritas perempuan
sedikit lebih rendah jika dibandingkan laki-laki,
karena perannya hanya di sektor domestik (rumah
tangga), sedangakan peran laki-laki di sektor publik
(dunia kerja). Oleh karena, perannya di luar rumah
bisa menghasilkan materi, maka kecenderungan

31
dalam rumah tangga atau kepala rumah tangga
semua urusan diserahkan kepada laki-laki. Menurut
Millet (1970), pemerintahan ayah (laki-laki) berarti
segala tata aturan keluarga sangat mementingkan
garis keturunan bapak, yang disebut dengan istilah
patriarkhi. Sistem patriarkhi terus berlangsung
sepanjang manusia hidup. Meskipun ada demokrasi
pada kenyataannya perempuan masih terus
dikuasai oleh suatu sistem peranan kejenisan yang
stereotipe, hanya saja kadarnya setiap orang
berbeda.
Dalam Dialectic of Sex Firestone (Humm,
2002:178) menyatakan bahwa jender membedakan
struktur setiap aspek kehidupan dengan kerangka
yang tidak terbantahkan. Pembedaan struktur
tersebut adalah bagaimana masyarakat
memandang laki-laki dan perempuan. Perbedaan
jender merupakan sistem yang kompleks yang
mempertegas dominasi laki-laki. Selanjutnya, Gayle
Rubin (Humm, 2002:179) mempertegas bahwa
jender merupakan produk relasi sosial berkaitan
dengan seksualitas karena sistem hubungan
persaudaraan berdasarkan pada perkawinan.
Setiap sistem jender menunjukkan suatu ideologi

32
atau sistem kognitif yang mendasarkan pada
penindasan untuk menampilkan kategori jender
sebagai hal yang sudah mapan.
Menurut Mackinnon (Kramarae, 1985:179),
jender sebagai pembagian perempuan dan laki-laki
yang disebabkan oleh keperluan heteroseksualitas
(dasar dari penindasan) sosial perempuan. Definisi
itu sudah mengukuhkan dan mengesahkan
perempuan pada posisi subordinasi, yaitu posisi
yang meletakkan perempuan pada tingkatan relasi
seksual. Ukuran itu bukanlah perbedaan biologis,
melainkan perbedaan yang dikonstruksi oleh sistem
sosial dan kultural, seperti pandangan yang
menyatakan bahwa “perempuan itu memiliki alat
reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan
(vagina), sel telur atau avum, saluran air seni, dan
alat untuk menyusui adalah suatu kodrat.” Akan
tetapi, perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik,
emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki
dianggap kuat, jantan, rasional, dan perkasa
merupakan sifat-sifat yang bukan kodrat,
melainkan dapat dipertukarkan. Hal ini ada juga
pada laki-laki yang memiliki sifat lembut,
emosional, dan keibuan. Sebaliknya, perempuan

33
juga ada yang kuat, rasional, dan perkasa.
Perubahan sifat-sifat itu terjadi dari kurun waktu
yang panjang dan dari satu tempat ke tempat
lainnya. Bahkan, perubahan itu terjadi dari satu
kelas masyarakat ke kelas masyarakat lainnya.
Jender bukanlah kodrat, melainkan peran yang
ditampilkan oleh budaya, yang menempatkan
perempuan dan laki-laki menjadi feminin atau
maskulin.
Menurut Mosse (2002:3), memberi batasan
jender sebagai seperangkat peran yang seperti
halnya kostum dan topeng di panggung di teater,
menyampaikan kepada orang lain bahwa seseorang
adalah feminin atau maskulin. Selanjutnya,
Budianta (1998:6-7) menyatakan bahwa prinsip-
prinsip dasar jender dalam sastra dan idologi
jender, ada tiga prinsip dasar jender, yaitu: (1)
antideterminisme biologis, yang menyingkirkan
aggapan bahwa perbedaan biologis (seks) dapat
menentukan perbedaan sikap, sifat, dan perilaku,
(2) perspektif yang menolak cara berpikir
esensialisme yang tampak pada penggunaan istilah
kodrat dan takdir yang sering dipakai dalam
wacana normatif untuk memberikan pembenaran

34
yang dianggap sakral atas pembedaan-pembedaan
yang sebenarnya dikonstruksi secara sosiokultural,
(3) ide-ide maskulin dan feminin tidak muncul
begitu saja, tetapi produk budaya yang memiliki
sejarah yang panjang.
Adapun tiga gagasan itu memiliki sejarah
sendiri, yaitu: (1) stereotipe ekstrem ini berubah-
ubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman,
(2) adanya keterkaitan yang menunjukkan
hubungan relational. Artinya, gagasan maskulin
tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan gagasan
feminitas. Dengan demikian, pendekatan yang
berwawasan jender mengoreksi kecenderungan
sementara kaum feminis yang memfokuskan
perhatian pada masalah perempuan. Istilah jender
juga melingkupi pembenaran-pembenaran yang
didasarkan atas segala macam gagasan yang
berhubungan dengan seks dan seksualitas, (3)
multidimensi yang mengukuhkan bahwa masalah
jender tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya
dengan aspek politik, sosial, budaya, ekonomi,
norma-norma agama. Bahkan, pendekatan ini
seringkali tidak dapat dipisahkan dari kajian

35
terhadap kategori-kategori sosial lainnya seperti
ras, etnisitas, dan kelas masyarakat.
Sesungguhnya perbedaan jender bukanlah
merupakan persoalan yang serius sepanjang
perbedaan itu tidak mengakibatkan ketidakadilan
jender. Namun, yang terjadi adalah perbedaan itu
melakukan ketidakadilan jender, baik terhadap laki-
laki maupun kaum perempuan. Ketidakadilan
jender adalah sistem sosial dan kultur yang seolah-
olah adalah paham yang melekat secara mutlak.
Ketidakadilan itu dapat dilihat dalam berbagai
bentuk, seperti (1) marginalisasi atau pemiskinan
ekonomi, (2) subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, (3) pembentukan
stereotipe atau pelabelan negatif, (4) kekerasan,
(5) beban kerja lebih lama dan banyak, dan (6)
sosialisasi idelogi nilai peran jender. Manifestasi
ketidakadilan itu bertalian erat dan saling
mempengaruhi secara dialektika (Fakih, 2001: 13-
21).
Selanjutnya, ketidakadilan jender terdapat
pula dalam teks-teks sastra seperti terlihat pada
tokoh Annisa. Dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban menempatkan perempuan pada kedudukan

36
yang serba kurang menguntungkan. Dengan dalil
seorang istri harus menurut kepada suami,
akhirnya apapun perlakuan suaminya harus diikuti
dan perempuan tidak berani menolak karena
semua sudah tersurat dalam kitab kuning.

2. Dominasi
Dominasi adalah kekuatan dari satu kelompok
atau individu terhadap kelompok atau individu lain
(Humm, 2002:117). Berhubungan dengan realitas
secara implisit melembagakan dominasi laki-laki
atas perempuan karena pengetahuan, apapun
bentuknya, mempertinggi perluasan kekuasaan
pria (Mosse, 2002:31). Berhubungan dengan
wacana jender, dominasi yang dimaksud berkaitan
dengan relasi laki-laki dan perempuan berbasis
ideologi jender.
Berhubungan dengan dominasi yang
didasarkan atas tuntutan-tuntutan kesahihan yang
dibuat oleh penguasa dan disosialisasikan lewat
aturan-aturan, muncullah legitimasi sebagai alasan
bagi penguasa untuk menginginkan kepatuhan dari
bawahannya. Oleh karena itu, para penguasa
menentukan aturan dasar nilai bagi penggunaan

37
kekuasaan. Menurut Syidie (1987:56), membagi
tiga tipe dasar, yaitu (1) dominasi legal-rasional,
yang didasarkan atas hukum-hukum dan aturan-
aturan perundang-undangan yang membenarkan
tuntutan penguasa terhadap posisinya (2) dominasi
kharismatik, yang di dasarkan atas kejeniusan
individual, dan (3) dominasi tradisional, yang di
dasarkan atas kepentingan penguasa. Kesahihan
kekuasaan itu merupakan suatu cara bagi
penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaannya.
Bagi penguasa tradisional, kekuasaan dijalankan
dengan cara warisan dari leluhur yang merupakan
bentuk dasar pemerintahan ayah.

3. Kekerasan
Kata kekerasan mengingatkan pada sebuah
situasi dan kondisi yang kasar, menyakitkan, dan
menimbulkan efek negatif. Akan tetapi, mayoritas
masyarakat hanya memahami kekerasan sebagai
suatu bentuk perilaku (tingkah laku) fisik yang
kasar, keras, dan penuh penganiayaan. Menurut
Fakih (2001:17), kekerasan adalah serangan atau
invasi terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Selanjutnya, Hayati (2000:28)

38
menyatakan bahwa kekerasan pada dasarnya
adalah semua bentuk perilaku, baik verbal oleh
seseorang atau sekelompok orang, terhadap
seseorang atau sekelompok orang lainnya,
sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik,
emosional dan psikologis terhadap orang yang
menjadi sasarannya.
Di dalam keluarga kekerasan terhadap
perempuan bisa terjadi di antara anggota keluarga.
Kekerasan tersebut bisa dilakukan oleh seorang
suami kepada istrinya, seorang ayah atau ibu
kepada anak perempuannya, seorang saudara
perempuan atau laki-laki kepada sauadara
perempuan lainnya, dsb (Djannah, dkk., 2003:2).
Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi
kecemasan bagi setiap negara di dunia, termasuk
negara-negara maju yang dikatakan sangat
menghargai dan peduli dengan hak-hak asasi
manusia sebuah penelitian yang dilakukan di
Inggris dan Amerika utara menyimpulkan bahwa
kekerasan domestik terjadi pada setiap satu dari
empat keluarga dan bahwa satu dari sepuluh
perempuan mengalami kekerasan dari pasangan

39
hidupnya (NSW Child Protection Council via
Djannah, dkk., 2003:5).
Kekerasan terhadap perempuan merupakan
masalah yang serius dalam bidang kesehatan
karena melemahkan mental perempuan, mengikis
kesehatan fisik dan harga diri. Di samping itu,
kekerasan menyebabkan luka-luka baik luar
maupun dalam. Luka luar secara temporal dapat
diobati, tetapi luka dalam dapat mengakibatkan
trauma atau depresi yang beresiko jangka panjang.
Di samping itu, kekerasan dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung yang
menyebabkan kemampuan atau perilaku hidup
seseorang menjadi tidak aman dan gelisah.
Batasan yang transparan lagi bila mengacu pada
kekerasan terhadap perempuan, yang disebutkan
dalam Deklarasi yang disahkan oleh PBB tahun
1993, yaitu Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan Pasal 1, yang berbunyi:
“Kekerasan terhadap perempuan adalah segala
bentuk tindakan kekerasan yang berbasis
jender, yang mengakibatkan atau akan
mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan
terhadap perempuan, termasuk ancaman,
paksaan, pembatasan kekebasan, baik yang
terjadi di area publik maupun domestik.”

40
(Women and Human Right: The Basic Document,
1996) (Hayati, 2000:30).

Berhubungan dengan hal di atas tadi,


kekerasan terhadap manusia terjadi karena
beberapa sumber tetapi salah satu kekerasan
terhadap satu jenis kelamin tertentu dapat
disebabkan oleh anggapan jender. Di antara wujud
kekerasan ini antara lain:
(1) kekerasan dalam bentuk pornografi, yaitu
pelecehan terhadap kaum perempuan yang
menegaskan bahwa tubuh perempuan dijadikan
objek demi keuntungan seseorang;
(2) kekerasan dalam bentuk pemerkosaan
terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan
dalam perkawinan. Pemerkosaan terjadi bila
seseorang melakukan paksaan untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa
kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini
seringkali tidak terekspresikan karena malu,
ketakutan atau keterpaksaan baik ekonomi,
sosial, maupun budaya;
(3) pelecehan seksual, yaitu memegang atau
menyentuh bagian tubuh perempuan dengan
berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan

41
sipemilik tubuh. Termasuk jenis kekerasan ini
adalah pelecehan seksual (Fakih, 2001:17-20).

4. Perkosaan
Perkosaan merupakan bentuk kekerasan
seksual yang sudah cukup banyak dikenal oleh
masyarakat. Namun, sesungguhnya perkosaan
tidak dipahami tentang kemungkinan cara
melakukannya, kecuali sekedar memasukkan penis
ke dalam vagina saja. Jika dipahami secara
fenomena perkosaan, menurut Hayati (2000:37)
menyatakan bahwa perkosaan dapat terjadi juga
pada masa damai, bahkan dalam kehidupan
perkawinan. Meskipun fenomena ini masih
dianggap kontraversial, namun fakta di lapangan
telah menunjukkan bahwa perkosaan suami
terhadap istri (marital rape) adalah realitas yang
benar adanya. Lebih lanjut, Warner dan Braen
(Hayati, 2000:38) menyatakan bentuk perkosaan
dalam perkawinan antara lain dipaksa melakukan
hubungan seks pada saat istri merasa sedang tidak
berhasrat, atau dipaksa melakukan hubungan seks
dengan cara-cara yang tidak dikehendaki istri (oral,

42
anal, dan berbagai cara lain yang tidak disukai
istri).
Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan
yang mencakup pelecehan seksual, memaksa istri
baik secara fisik untuk melakukan hubungan
seksual dan atau melakukan hubungan seksual
tanpa persetujuan dan di saat istri tidak
menghendaki, melakukan hubungan seksual
dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak
disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak
memenuhi kebutuhan seksual istri (Djannah, dkk:
2003:15).
Kekerasan terhadap istri sangat mungkin
terjadi di dalam perkawinan, karena ada keyakinan
bahwa hal itu adalah hak suami sebagai seorang
pemimpin dan kepala keluarga. Mendidik istri
merupakan pemahaman yang seringkali dijadikan
sebagai alasan hal yang benar manakala suami
menggunakan cara-cara yang kasar, seperti ucapan
yang menyakitkan hati, memukul, menjambak
rambut, melempar, dan sebagainya, yang
mengarah pada berbagai bentuk perilaku lain.
Berdasarkan kenyataan di masyarakat,
tampaknya belum ada atau bahkan negara tidak

43
mengakui hal semacam ini sebagai sebuah bentuk
perkosaan karena seks adalah hak suami. Adapun
hal itu, biasanya oleh para istri lebih cenderung
untuk memilih diam atau menyalahkan dirinya
sendiri dan menyalahkan orang yang
menjodohkannya serta mencoba menerima itu
semua sebagai ujian untuk menjadi istri yang baik.

5. Pornografi
Menurt Fakih (2001:19), kekerasan dalam
bentuk pornografi adalah jenis kekerasan lain
terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk
kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum
perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan
objek demi keuntungan seseorang. Pornografi
mengkondisikan kegairahan laki-laki terhadap
subordinasi perempuan, dalam hal penghinaan atau
pengrusakan nama baik secara halus maupun
kasar. Si pelaku selalu orang yang menciptakan
kesan, selalu memulai dengan merendahkan subjek
menjadi objek, yang dapat menjadi materi demi
keuntungnya sendiri. Materi yang didapat tidak
selalu berupa benda tetapi terkadang berupa
kepuasan demi suatu kesenangan.

44
6. Pelecehan Seksual
Seperti sudah dijelaskan di atas, jenis
pelecehan seksual, yakni memegang atau
menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan
dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh (Fakih, 2001:19). Jenis
kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan, di
terminal Bus, tempat rekreasi, dan bahkan di
rumah.
Menurut Hayati (2000:36) incest adalah
perkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga,
atau orang yang telah dianggap sebagai anggota
keluarga. Lebih lanjut, Hayati (2000:39) juga
menyatakan incest adalah kekerasan seksual yang
terjadi antaranggota keluarga. Para pelaku
biasanya adalah anggota keluarga yang lebih
dewasa dan korban adalah anak-anak. Pelaku
biasanya orang dekat atau keluarga sendiri,
sehingga antara korban dan pelaku saling bertemu
satu dengan yang lain, hal itu seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apap di antara keduanya.
Menurut Warner dan Braen (Hayati, 2000:40)
menekankan pelaku kekerasan, biasanya

45
melakukan dengan menggunakan bujukan akan
memberikan imbalan tertentu, seperti jajanan,
permen, atau uang sehingga anak merasa senang.
Selain itu, faktor penyebab anak-anak ini menyerah
begitu saja adalah, karena pelaku biasanya adalah
orang yang mereka percayai atau mereka sayangi
(telah mereka kenal secara cukup dekat).

DAFTAR RUJUKAN
Budianta, Melani, 1998. Sastra dan Ideologi Gender.
Dalam Horizon. Tahun XXXII. Nomer 4 Jakarta.
Djannah, Fathul. (dkk.) 2003. Kekerasan Terhadap
Istri. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gardiner, Oey dan Mayling. 1996. Perempuan
Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Haris, Abdul. 2003. “Mobilitas Angkatan Kerja


Wanita Indonesia ke Luar Negeri” dalam
Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender.
Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan
UGM.
Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk Pendamping
Perempuan Korban Kekerasan. Yogyakarta:
Riffa Annisa bekerja sama dengan Pustaka
Pelajar.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow of Change:
Women in Indonesian Literature. USA: The
Regents of The University of California.

46
Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme
(terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta:
Penerbit Fajar Pustaka Baru.
-------------. 1986. Feminist Criticism. Great Britain:
The Harvester Press Limited.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi:
Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia.
---------------. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah
Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Kramarae, Cheris and Paula A. Treachler. 1985. A.
Feminist Dictionary. London: Sydney
Wellington.
Mosse, Julia C. 2002. Gender dan Pembangunan
(terjemahan Hartian Silawati). Yogyakarta:
Kerja sama Rifka Annisa Women’s Crisis
Centre dengan Penerbit Pustaka Pelajar.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997.
Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial:
Sebuah pengantar studi perempuan. Jakarta:
Anem Kosong Anem.
Susilastuti, Dewi H. 1993. “Gender Ditinjau dari
Perspektif Sosiologi.” Dalam Fauzie Ridjal, dkk
(ed.). Dinamika Spiritualitas Hindu: Potret
Illahi Setengah Hati. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Sydie, R.A. 1987. Natural Women, Cultural Men: A
Feminist Perspective on Sociological Theory.
England: Open University Press.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori
Kesusastraan terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

BAB 4

47
SOSIOLOGI SASTRA

Pembicaraan konsep sastra bila dihubungkan


dengan sosial merupakan sebuah produk dari
sebuah sistem-sistem yang dapat dijadikan sebagai
album rekaman pada zaman tertentu. Dengan
mempelajari atau mengambil sebagian atau secara
totalitas, kita diajak untuk berkontemplasi
memahami nilai-nilai kehidupan yang ada dalam
album rekaman tersebut. Hal seperti itu, selain
dapat dijadikan album rekaman dapat juga
dijadikan dokumen masyarakat, yang berisi tentang
norma-norma, sejarah perjuangan, adat-istiadat,
dan silsilah tokoh. Menurut Warton (Wellek dan
Warren, 1995:122), sastra adalah gudang adat-
istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama
sejarah bangkit dan runtuhnya semangat
kesatriaan. Oleh karena itu, melalui pendekatan
sistematis, mempelajari sastra dapat dikatakan
sebagai dokumen atau potret sosial. Dikatakan
sebagai dokumen sosial, karena sastra berkaitan
dengan reproduksi ulang dari cermin kehidupan
yang cenderung realitas di masyarakat, sedangkan
sastra sebagai potret sosial, sastra mempunyai

48
kemampuan untuk merekan tanda-tanda zaman
baik secara temporal maupun secara periodik.
Bila mengacu pada masa lalu, sebelum tahun
1945 muncullah karya-karya sastra yang
berhubungan dengan para penjajah, misalnya novel
Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan masih banyak lagi.
Karya sastra itu memang mempunyai latar situasi
pada saat itu, bangsa Indonesia masih dijajah
bangsa Belanda. Lebih lanjut, masih berhubungan
dengan sastra bahwa kata-kata dalam teks sastra
merupakan media dari tradisi-tradisi, norma-norma,
atau ideologi-ideologi sosiokultural yang ada dalam
realitas masyarakat secara implisit atau eksplisit
saat itu, anggapan ini menunjukkan suatu
kenyataan bahwa ada hubungan yang tidak
terpisahkan antara sastra dan masyarakat (Iser,
1978:53). Ditambahkan oleh Teeuw (1984:94 dan
1983:65), sastra tidak lahir dalam situasi
kekosongan budaya dan juga karya sastra
merupakan karya fiksi yang bersifat imajinatif,
pengarang berusaha memanfaatkan kondisi sosial
di sekitarnya sebagai objek karya sastra. Kehadiran
sastra ada misi-misi tertentu dari seorang

49
pengarang sebagai anggota masyarakat yang peka
akan sentuhan-sentuhan situasional.
Deskriptif di atas merupakan cermin realita
yang membuat pengarang merasa terpanggil untuk
ikut mengukir sejarah dalam kehidupannya. Bisa
juga pengarang betul-betul tergugah hati dan
pikirannya dalam mengekspresikan sebuah
pandangan dunianya. Berhubungan dengan itu
semua, pengarang sebagai anggota masyarakat
dapat memberi makna terhadap realitas sosial itu
melalui coretan-coretan secara riil yang dapat
diciptakannya dengan bebas, asalkan tetap
dipahami oleh pembaca dalam kerangka konvensi
bahasa, sosiokultural, dan sastrawi. Dunia yang
diciptakannya adalah dunia alternatif terhadap
kenyataan hanya mungkin dibayangkan
berdasarkan pengetahuan realitas itu sendiri.
Karya sastra merupakan ekspresi realitas
yang telah dimiliki dalam pikirannya dalam bentuk
dan makna (Zeraffa, 1973:36). Bentuk mengacu
pada karya yang diciptakan baik puisi, cerpen,
novel maupun yang lain, sedangkan makna
mengacu pada konteks. Pengarang
mengekspresikannya dengan berbagai cara yang

50
telah diwarisi dari pendahulu-pendahulunya dan
telah ditentukan sendiri dari fenomena yang
diobservasinya secara sungguh-sungguh.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu
fenomena (gejala) sosial. Sastra yang ditulis pada
suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan
dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.
Pengarang mengubah karyanya selalu warga
masyarakat dan sekaligus mengapa pembaca yang
sama-sama merupakan warga masyarakat
(Luxemburg, 1992:23).
Dengan anggapan itu, persoalan-persoalan
sosiologi yang terkandung dalam karya sastra
selalu terkait baik secara imajinatif maupun realita
mempunyai persoalan-persoalan tersendiri. Dalam
tulisan ini, penulis ingin mengkaji isi kandungan
novel RDP, yang merupakan kehadiran secara
realitas-imajinatif sosiokultural masyarakat pada
zamannya. Ketika karya RDP ditulis oleh
pengarangnya, novel tersebut didasarkan atas
deskriptif realitas-imajinatif sebagai potret sosial.
Karakter-karakter dalam novel RDP juga didasarkan
imajinasi pengarang dengan mengambil nama-

51
nama orang desa, seperti Srintil, Darsa, Sakarya,
Kartareja, Marsusi, Bajus, dan lain-lain.
Berdasarkan pendapat-pendapat
sebelumnya, tulisan ini mengkaji isu-isu yang
berkaitan dengan perempuan dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Melalui kajian sosiologi ini
berturut-turut akan dijabarkan mengenai masalah-
masalah seperti: (1) kondisi lingkungan sosial-
budaya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, (2)
citra perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk, meliputi: perempuan pelacur (pemikat),
perempuan gowok (pelayan laki-laki), perempuan
inferior, dan perempuan Pemaksa (dominan).

1. Kondisi Lingkungan Sosial-Budaya


Dukuh Paruk digambarkan sebagai wilayah
gerumpulan kecil di padang luas. Wilayah ini hanya
terdiri atas 23 rumah yang dihuni warga
seketurunan. Leluhur mereka adal;ah Ki
Secamenggala, seorang bekas bromocorah yang
menjalani kehidupan terakhirnya di pedukuhan
tersebut.
Dukuh Paruk merupakan wilayah sangat
miskin dan dihuni oleh warga yang tidak
mengenal peradaban yang luhur, terbelakang,

52
dan bodoh. Kemanusiaan, akal budi, dan
nurani warga Dukuh Paruk berkembang hanya
sampai batas taraf primitif (JB:212). Bahkan,
mereka tidak mengenal sistem birokrasi
(JB:63), … Dukuh Paruk yang tidak pernah
mengerti ilmu gizi mencukupi kebutuhan
protein dengan belalang. Beri-beri dicegah
dengan serangga (JB:303).

Bagi orang Dukuh Paruk, segala fenomena


atau peristiwa-peristiwa alam merupakan ngelmu
bukan ilmu. Pola pikir mereka tidak pernah
didasarkan pada pengetahuan orang-orang
sekolahan, tetapi selalu dibungkus dengan
wawasan mistik. Seperti yang diungkapkan Kamitua
Dukuh Paruk, yakni Sakarya berikut ini.
Itu nasihat Sakarya kepada puak Dukuh Paruk.
Tetapi pengetahuan semacam itu bagi orang
Dukuh Paruk adalah ngelmu, bukan ilmu.
Pemahamannya tidak pernah menjadikan orang
di sana samapai pada pengetahuan praktis. Tak
pernah membumi dan selalu dibungkus dengan
pandangan-pandangan mistik (RDP:312).

Dialah yang memangku dan melaksanakan


sistem tradisi serta norma-norma sosiokultural di
wilayahnya, sehingga pedukuhan itu memiliki
karakteristik tersendiri, yaitu ronggeng dan
kelompok seni calung yang diemban oleh Srintil
(cucu Sakarya). Bagi pedukuhan itu, ronggeng

53
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
kehidupan masyarakat. Bahkan sebagaimana
diungkapkan Sakarya berikut ini.
Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku
keturunan Ki Secamenggala itu merasakan
hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahir
seorang ronggeng di sana. “Dukuh Paruk tanpa
ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku
sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya
pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya
sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki
Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila
kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk
(RDP:15).

Masyarakat Dukuh Paruk mempercayai bahwa


ronggeng sejati tidak dihasilkan melalui
pengajaran. Mereka meyakini bahwa seorang gadis
tidak bisa menjadi ronggeng kecuali mendapatkan
kekuatan supranatural, hal itu bagi masyarakat
Dukuh Paruk, dipercayainya dengan roh indang
yang masuk ke tubuh gadis.
Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat,
seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran.
Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa
menjadi ronggeng kecuali roh indang telah
merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam
wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan
(RDP:13).

54
Setelah diyakini mendapatkan roh indang,
barulah seseorang dianggap sebagai ronggeng.
Untuk menjadi ronggeng, seseorang harus
menjalani tiga ritus sebagai syarat pengesahan
bagi seseorang untuk menjadi ronggeng, yaitu: (1)
perempuan calon ronggeng harus diserahkan
kepada dukun ronggeng, lalu seorang ronggeng
pentas di pedukuhannya sebelum berangkat ke
pemakaman Ki Secamenggala. Pada kesempatan
itu, seorang ronggeng diberi mantra-mantra
pengasihan dan susuk kecantikan oleh dukun
ronggeng; (2) seorang ronggeng harus dimandikan
dan melakukan pentas ronggeng di depan makam
Ki Secamenggala; (3) seorang ronggeng harus
melakukan upacara bukak klambu, yaitu sebuah
upacara penyerahan keperawanan calon ronggeng
kepada laki-laki yang telah memenuhi syarat-syarat
tertentu, yang telah ditetapkan oleh dukun
ronggeng. Bagi laki-laki yang mampu memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dan berhasil
mendapatkan keperawanan calon ronggeng akan
mempunyai prestise di masyarakat. Secara ironis,
perempuan yang suaminya berhasil melakukan
bukak klambu tersebut merasa senang dan bangga.

55
Selanjutnya, kehidupan masyarakat Dukuh
Paruk tidak dapat dipisahkan dari seloroh cabul dan
sumpah serapahnya. Kedua hal itu
mengindikasikan bahwa masyarakat di pedukuhan
itu belum memiliki norma-norma yang adiluhung
dan peradaban yang tinggi. Hal itu terlihat dari
anggapan masyarakat bahwa perkawinan bukan
merupakan hal yang suci. Masyarakat di Dukuh
Paruk tidak mempersoalkan masalah perzinahan.
Pola kehidupan ini, barangkali identik dengan pola
kehidupan binatang, seperti tercermin dalam
seloroh atau umpatan warga Dukuh Paruk yang
menggunakan metafora-metafora binatang, seperti:
asu buntung, bajingan tengik, bangsat atau
jangkrik.
Dalam hal kepercayaan, warga Dukuh Paruk
menyandarkan diri pada kekeramatan makam
leluhurnya, yaitu Ki Secamenggala. Hal itu
diindikasikan dari (1) sikap mereka yang meyakini
bahwa malapetaka yang menewaskan sebagian
besar warga Dukuh Paruk sebelas tahun silam
merupakan kehendak roh Ki Secamenggala; (2)
mereka percaya bahwa roh Ki Secamenggala
bangkit dan turut menyaksikan upacara pentas

56
ronggeng ketika Srintil disahkan menjadi ronggeng.
Mereka juga mempercayai bahwa “hidup adalah
berperan menjadi wayang atas sebuah wayang
dalam sebuah cerita yang telah dipastikan dalam
pakem.” (LKDH:242).
Selanjutnya, seseorang harus bersikap pasrah
terhadap sesuatu yang menimpa diri atau
lingkungannya sehingga peristiwa kebakaran yang
membumihanguskan Dukuh Paruk atau peristiwa
geger tahun 1965 yang menyeret sebagian warga
Dukuh Paruk ke penjara merupakan garis
kehidupan yang tealah ditentukan dan harus
diterima dengan ikhlas.
Di samping itu, bentuk-bentuk yang bertalian
dengan kepercayaan terhadap roh Ki
Secamenggala, kehidupanh mereka juga tidak
dapat dilepaslkan dari muatan mistis. Mereka
menghubungkan gejala-gejala alam dengan
peristiwa yang sedang atau akan terjadi.
Setidaknya, hal itu dihadirkan oleh Sakarya. Laki-
laki tersebut melihat segala keanehan alam
lingkungannya merupakan isyarat (sasmita) atau
tanda buruk yang akan menimpa Dukuh Paruk. Hal
itu dapat dibaca berikut ini.

57
…Kemarin seekor burung tlimukan terbang
secepat angin menerobos pintu rumahnya yang
terbuka, membentur keras cermin lemari
kacanya. Burung ituh runtuh ke lantai dan mati
seketika. Dari paruhnya yang mungil merah
menetes darah…. (LKDH:158).

….Dan pagi ini, selagi duduk membatu di ruang


depan, punggung Sakarya tertimpa sesuatu
yang dingin dan lembut: seekor cicak. Dua
makhluk sama-sama terkejut. Binatang itu lari
setelah menjatuhkan diri ke tanah lalu merayap
cepat di dinding. Skarya tak kalah cepat.
Dengan gombal pembersih meja dilecutnya
cicak itu, kena! Dilumatnya dengan kaki, “Asu
bumbung, mampus kamu!” (LKDH:158-159).

Seekor ular koros menyeberang jalan setapak


yang hendak dilaluinya. Binatang melata itu
berhenti sejenak, mengalang jalan. “Lagi-lagi,
alangan!” desis Sakarya. “Kalau tidak berada-
ada mengapa ular itu berkeliaran mengalang
jalan. Toh perutnya menggembung pertanda ada
tikus yang telah dimakannya. Dalam keadaan
biasa seharusnya dia bergelung tidur di bawah
semak.” (LKDH: 159).

Penjelasan di atas, memperlihatkan bahwa


kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk bersifat
mistis (mitos), animisme (mempercayai adanya
roh-roh hidup, dan manisme (pemujaan kepada
roh-roh), serta memiliki fatalistik, yaitu sikap
ketergantungan seseoarang kepada nasib dan
takdir. Perilaku masyarakat Dukuh Paruk tersebut

58
disebabkan oleh tingkat kemampuan akalnya yang
masih bersahaja. Dalam kaitan ini, Lang
(Koentjaraningrat, 1987:59) menyatakan bahwa
gejala-gejala gaib bisa bekerja lebih kuat pada
orang-orang yang kurang aktif dalam pemikirannya.

2. Citra Perempuan dalam RDP


a) Perempuan Pemikat (Pelacur)
Kehadiran ronggeng di Dukuh Paruk
merupakan mata rantai sejarah yang menandai
keharusan dan kesejatian. Hal ini didasarkan pada
suatu keyakinan bahwa dukuh paruk bukanlah
Dukuh Paruk tanpa kehadiran seorang ronggeng.
Tampilnya Srintil sebagai ronggeng, yang dipercaya
memiliki roh indang, membuat pedukuhan itu
bangkit dengan euforianya yang khas. Tidak
mengherankan jika masyarakat pedukuhan itu
menyambut kehadiran ronggeng dengan suka cita.
Hal itu tampak pada perlakuan warga Dukuh Paruk
yang terlalu berlebihan memanjakan Srintil, seperti
diungkapkan Rasus berikut ini.
Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih
nyata. Srintil sudah menjadi ronggeng di
dukuhku. Usianya sebelas tahun. Aku empat
belas tahun. Kini Srintil menjadi boneka. Semua
orang ingin menimangnya, ingin

59
memanjakannya. Aku tahu sendiri perempuan
Dukuh Paruk berganti-ganti mencucikan pakaian
Srintil. Mereka memandikannya dan
menyediakan arang gagang padi buat keramas
(RDP:36).

Kutipan di atas menggambarkan seorang


ronggeng dijadikan kerinduan bagi perempuan-
perempuan Dukuh Paruk. Mereka berkompetisi
untuk mendapatkan perhatian dari seorang
ronggeng dengan cara masing-masing. Bahkan, di
luar itu para perempuan akan merasa bangga dan
terhormat jika suaminya berkesempatan tidur
seranjang bersama Srintil. Jadi, bagi masyarakat
Dukuh Paruk ronggeng bagaikan harta benda yang
tidak ternilai harganya.
Dalam tradisi masyarakat Dukuh Paruk,
ronggeng tidak hanya berpentas dan menari, tetapi
bertugas pula melayani laki-laki yang berkeinginan
kepadanya. Laki-laki yang mendapatkan
kesempatan tidur dengan seorang ronggeng
dianggap oleh masyarakat sebagai laki-laki jantan,
baik dalam hal seksual maupun materi. Pada
gilirannya, hal itu akan meningkatkan prestise
seorang laki-laki di dalam masyarakatnya. Demi
mengangkat citra diri sebagai laki-laki terhormat

60
dalam masyarakatnya itu, ronggeng dikonstruksi
oleh sistem religi yang ada untuk menampilkan
perilaku atau peran yang menyokong kepentingan
sepihak itu. Hal itu ditunjukkan dengan suatu
realita bahwa ronggeng dicipta untuk memikat laki-
laki sehingga perempuan ronggeng tidak
dibenarkan terpikat kepada laki-laki tertentu atau
berumah tangga dengan laki-laki tertentu. Hal itu
merupakan suatu konvensi yang tidak bisa ditawar-
tawar yang berlaku di Dukuh Paruk. Dengan kata
lain, ronggeng diciptakan sebagai tempat
pelampiasan seksual laki-laki. Dalam hal ini, muncul
opsisi stereotipe (pelebelan yang berlawanan)
antara kedua jenis kelamin itu. Laki-laki yang
menari dan tidur bersama ronggeng menunjukkan
power, baik dalam hal seksual maupun materi
sehingga dia mengangkat citra diri dihadapan
masyarakatnya. Sebaliknya, perempuan mendapat
perlakuan yang dipandang sekadar sebagai pemuas
seksualitas, yang tentu saja menurunkan citra
dirinya. Pandangan itu, setidaknya ditunjukkan
Rasus yang menolak ketika Srintil menawrkan diri
untuk dinikahinya.

61
Dengan kesadaran yang sederhana, Rasus
mengkomparasikan nilai-nilai yang ada di
pedukuhannya dengan nilai-nilai yang ada di luar
pedukuhan seperti di Dawuan. Setelah dia
mengalami penyadaran bersama dengan Siti, gadis
alim di kecamatan Dawuan. Dalam hal hubungan
personal antara suami-istri di Dukuh Paruk, seorang
suami tidak perlu berkelahi jika suatu saat
penangkap basah istrinya yang sedang tidur
dengan laki-laki lain. Suami tersebut telah tahu
cara bertindak yang lebih praktis, yaitu mendatangi
istri tetangga dari laki-laki yang menggauli istrinya
tadi dan berganti untuk menggaulinya pula.
Selanjutnya, di Dukuh Paruk, bahkan ada obat
bagi perempuan-perempuan yang sudah lama
belum mempunyai anak alias mandul. Obat itu
bernama lingga kependekatan dari kata li dari kata
peli (alat kelamin) dan ngga artinya tangga atau
tetangga. Selain itu, demi arwah Ki Secamenggala
obat itu bukan sesuatu yang tabu atau aneh
(RDP:137). Sebaliknya, di Dawuan gadis cantik di
antara mereka selalu menutup diri di rumah di
samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu
yang bagi Rasus merupakan hal baru yang

62
dilihatnya di luar Dukuh Paruk. Hanya laki-laki yang
bersembahyang pula yang pada suatu saat bisa
menikahinya, itupun setelah terjadi ikatan
perkawinan yang sah antara keduanya.
Pelanggaran atas ketentuan itu merupakan dosa
besar. Perkawinan yang sah dan dosa besar adalah
duia ungkapan yang baru didengar oleh Rasus.
Komparasi yang asimetris ini menjadikan alasan
bagi Rasus untuk menolak keinginan Srintil
tersebut, sebagaimana pengakuannya sendiri.
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan
Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia duapuluh
tahun aku hampir dibuatnya menyerah. Tetapi
sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu
banyak akan dunia luar, aku mempunyai seribu
alasan untuk mempertimbangkan, bahkan untuk
menolak permintaan Srintil Srintil boleh
mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan
perkawinan. Aku tahu hal ini sudah cukup
memadai bagi seorang perempuan Dukuh Paruk.
Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya
didorong keinginan sesaat yang kebetulan
sejalan dengan nalurinya sebagai perempuan
(RDP:105-106).

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa


seorang ronggeng diciptakan oleh spirit
kepercayaan masyarakat sebagai tempat atau
wadah pemuas seksual kaum laki-laki, yang tentu

63
saja perilaku tersebut mempunyai citra yang
rendah di luar Dukuh Paruk. Image itu terlihat dari
pandangan perempuan-perempuan istri pejabat di
kecamatan Dawuan terhadap Srintil ketika
pelaksanaan pentas ronggeng dalam rangka
agustusan. Bahkan, Srintil sendiri meragukan
identitas keperempuannya dengan menjadi seorang
ronggeng.
… Perang yang seru terjadi dalam dadanya,
yang ditandai dengan sepasang garis basah
yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah
pertanyaan yang buat kali pertama muncul di
hatinya: mengapa diriku seorang ronggeng?
Pertanyaan itu datang dari pikiran Srintil: kalau
ia bukan seorang ronnggeng Rasus tak akan
meninggalkannya dengan cara begitu saja
(LKDH:118).

b) Perempuan Gowok (Pelayan Laki-laki)


Gowok adalah seorang perempuan yang
disewa oleh seorang ayah untuk anak laki-lakinya
yang sudah menginjak dewasa dan menjelang
kawin.
Seorang gowok akan memberikan pelajaran
kepada anak laki-laki tersebut tentang banyak
hal yang berkaitan dengan kehidupan rumah
tangga, misalnya dari keperl;uan dapur samapai
dengan cara-cara seorang suami
memperlakukan istri dengan baik. Tugas utama
seorang gowok adalah mempersiapkan seorang
64
perjaka agar tidak mendapat malu pada malam
pengantin baru (LKDH:201).

Selama menjadi gowok, perempuan itu tinggal


berdua dengan laki-laki tersebut dengan dapur
yang terpisah. Masa pergowokan berlangsung
hanya beberapa hari dan palking lama selama satu
minggu.
Pengalaman sebagai gowok telah dialami
Srintil bersama Waras. Setelah Srintil ditangkap di
Alaswangkal oleh Sentika, Srintil menerima tawaran
Sentika untuk menjadi gowok bagi Waras (anak
lelaki Sentuka). Selama seminggu, Srintil mengajari
Waras tentang seorang lelaki dalam
memperlakukan istrinya dengan baik, terutama
pada malam peertama setelah pernikahan. Hal-hal
yang diajarkan oleh Srintil kepada Waras adalah
permainan masak-masakan, pengantin-
pengantinan, dan tidur-tiduran. Dengan segala
cara, Srintil berusaha untuk membentuk
kepribadian Waras agar berkembang menjadi laki-
laki jantan. Pada malam terakhir tugasnya, Srintil
mencoba kembali membangkitkan gairah
kelelakian Waras, tetapi upaya tersebut tidak
berhasil. Dengan cara layaknya hubungan intim

65
antara laki-laki dan perempuan, Srintil menipu
kedua orangtuanya yang pada saat itu sedang
mengintipnya.
Pada peran dan tugas seorang gowok, dapat
diketahui bahwa perempuan diposisikan inferior
sehingga bisa dipermainkan oleh laki-laki. Mereka
dapat dipanggil dan disewa atas kehendak laki-laki.
Bahkan, itu merupakan simbol dari tugas utama
perempuan bahwa sebagai ibu rumah tangga yang
baik sehingga tugas lainnya dianggap pelengkap
dan tidak mempunyai harga sama sekali. Seorang
istri yang baik adalah seorang istri yang pandai
berhias, memasak, dan melayani keperluan
seksuial suaminya setiap saat diperlukan. Tugas itu
harus dilakukan istri dengan sepenuh hati.
Setidaknya, hal itu tercermin dari tugas
pergowokan Srintil bersama Waras, yakni melalui
masak-masakan, pengantin-pengantinan, dan tidur-
tiduran. Peristiwa itu barangkali tidak jauh berbeda
dengan tugas perempuan yang ditunjukkan dengan
konsep perempuan masyarakat Jawa tradisional,
yaitu macak, masak, dan manak (berhias-
memasak-melahirkan). Jadi, seorang gowok
menyediakan diri sepenuhnya untuk kepentingan

66
laki-laki yang menjadi pasangannya, tertutama
dalam hal memberikan kepuasan seksual terhadap
laki-laki tersebut. Dengan kata lain, sebagai gowok
perempuan telah dipersiapakan untuk mengemban
peran domestik. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut ini.
Segala sesuatu di dunia ini ada berpasang-
pasangan pengetahuan dasar Srintil.
Pengetahuan yang telah mengakar menjadi
keyakinan yang sulit tergeser. Maka selama
yakin dirinya perempuan, dia yakin pula bahwa
Waras adalah laki-laki dengan naluri kelelakian
dan menemukannya kembali bila kelelakian itu
hilang. Srintil tidak lupa untuk itulah dia
didatangkan ke Alaswangkal…. (LKDH:177).

c) Perempuan Inferior
Sebagaimana yang telah disebutkan pada
uraian terdahulu, seorang ronggeng di Dukuh Paruk
memiliki status yang sangat istimewa sehingga
kemunculan ronggeng disambut oleh masyarakat
desa itu dernga gembira. Dengan berbagai perilaku
warga Dukuh Paruk berusaha untuk memanjakan
Srintil. Ronggeng tidak menjadi bahan
pencemburuan bagi perempuan-perempuan Dukuh
Paruk. Sebaliknya, mereka bersaing memamerkan
power suaminya dalam bertayub. Semakin lama

67
seorang suami bertayub dengan ronggeng, istri
mereka semakin bangga pula seorang suami itu.
Seorang istri merasa puas jika kejantanan
suaminya, baik dalam pengertian harta maupun
seksualnya, disaksikan oleh masyarakat umum.
Bahkan, perempuan Dukuh Paruk tidak pernah
mempersoalkan tindakan tersebut sebagai
sesuatu yang negatif (LKDH:182).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa


perempuan Dukuh Paruk melakukan segala upaya
demi kepuasan seksual suaminya. Dengan kata
lain, tugas mereka direduksi (diturunkan) hanya
untuk melayani kebutuhan seksual suaminya.
Fenomena ini juga terlihat ketika Srintil
menganjurkan kepada Tampi untuk melayani
suaminya sebaik-baiknya agar kembali mempunyai
anak. Dalam hal ini, perempuan direduksi hanya
sebagai alat kelangsungan reproduksi. Perempuan
dicitrakan sebagai insan yang pasif dan tidak dapat
memutuskan persoalan hidup yang dihadapinya
secara mandiri. Hal itu tampak sebagaimana
ungkapan batin Srintil terhadap Bajus.
Tetapi juga, belum belum sekali pun Bajus
membicarakan-meski hanya melalui ungkapan
yang tidak langsung tentang perkawinan. Suatu
penantian yang demikian lekat dalam jiwa, bagai
benalu mencengkeram dahan kayu. Kadang

68
Srintil merasa tidak sabar menunggu sampai
mulut Bajus mengeluarkan kata-kata lamaran
atau semacam itu. Lalu setiap kali Srintil
membunuh sendiri ketidaksabarannya dengan
kesadaran seorang perempuan kampung.
Perempuan adalah bubu yang bila sudah
dipasang hanya bisa menunggu ikan masuk.
Selamanya bubu tak akan mengejar ikan atau
memaksanya masuk ke dalamnya (JB:360).

Penganalogian perempuan dengan bubu


merupakan hal yang menunjukkan bahwa
perempuan bersifat pasif atau tidak bisa
mengambil inisiatif yang bertalian dengan
persoalan yang dihadapinya. Perempuan tidak bisa
mengambil keputusan dan hanya berperan sebagai
tempat naungan bagi laki-laki seperti fungsi bubu
bagi ikan. Dengan kata lain, terdapar relasi
subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Laki-
laki dinilai aktif dan perempuan pasif. Jika yang
terjadi adalah kebalikannya saknsi moral akan
dikenakan terhadap perempuan itu oleh
masyarakat. Pencitraan seperti menimbulkan posisi
rendah bagi perempuan.
“Ya, Mas. Aku merasa berutang budi kepadamu.
Karena itu aku ingin membalas kebaikan-
kebaikan. Tetapi, Mas belum sekalipun berkata
harus bagaimana aku. Padahal, Mas aku seorang
perempuan” (JB:372).

69
d) Perempuan Pemaksa
Tradisi yang berlaku di Dukuh Paruk
mengajarkan bahwa seorang calon ronggeng harus
diserahkan kepada dukun ronggeng untuk dididik
masalah hal ikhwal peronggengan. Sakarya
melakukan hal itu ketika dirinya meyakini bahwa
cucunya, yaitu Srintil kemasukan indang ronggeng.
Pada hari yang dinilai baik, sepenuhnya, Sakarya
menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng, yaitu
Kartareja dan istrinya. Sejak saat itu, Srintil tinggal
bersama (serumah) dengan dukun ronggeng selaku
induk semangnya.
Dukun ronggeng yang diserahi tanggung
jawab dari Sakarya itu mempunyai tugas mengurusi
peronggengan, misalnya berkaitan dengan
pementasan ronggeng (merias, luluran, mengisi
pengasihan, dan lain-lain). Akan tetapi, dalam
tradisi Dukuh Paruk, ronggeng juga mempunyai
tugas melayani seksual laki-laki dengan imbalan
sejumlah uang tertentu. Oleh karena itu, di
samping mengurusi peronggengan, dukun
ronggeng juga bertugas menjadi mucikari yang
menyediakan sarana pelacuran. Bahkan, dukun

70
ronggeng berfungsi juga sebagai perantara bagi
laki-laki yang akan menggunakan Srintil. Tugas itu
tidak berarti lepas dari konsekuensi buruk.
Persoalan akan muncul jika ronggeng yang menjadi
asuhannya tidak berkenan untuk melayani laki-laki
tertentu. Peristiwa tersebut juga dialami oleh dukun
ronggeng Kartareja sewaktu menghadapi
pembangkangan Srintil.
Ketika keinginannya untuk menjadi istri Rasus
ditolak oleh dukun ronggeng (Kertareja), Srintil
mulai menyadari bahwa status ronggeng, yang
dianggap istimewa oleh masyarakat Dukuh Paruk
mempunyai status dengan citra yang buruk.
Setidaknya dihadapan pandangan Rasus. Pada
akhirnya, Srintil menyimpulkan bahwa perempuan
sejadi adalah perempuan yang menyerahkan
dirinya kepada satu laki-laki tertentu melalui ikatan
perkawinan yang sah, bukan perempuan yang
menyerahkan kepada semua laki-laki. Dengan kata
lain, perempuan sejati adalah perempuan yang
melayani keinginan suaminya. Pergeseran
kesadaran itu memunculkan keberanian pada Srintil
untuk memberontak terhadap tradisi
masyarakatnya yang terwujud dalam bentuk

71
penolakan untuk melayani laki-laki bernama
Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling. Saat
itu, dia datang dan meminta Srintil untuk
melayaninya. Dengan tegas, Srintil menolak
permintaan laki-laki tersebut.
Marsusi mencondongkan kepalanya lebih ke
depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia
ingin segera tahu apa kata Srintil selanjutnya.
“Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi.”
“Lho, kenapa?”
“Hanya merasa tak ingin, begitu.”
“Katakan terus terang!” Nada suara Marsusi
mulai berat.
“Memang hanya tak ingin. Kalau sekadar menari
atau bertayub, nah, ayolah. Aku memang
seorang ronggeng.”
“Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kaukatakan
kepadaku; bukan kepada laki-laki lain sebelum
aku? Mengapa?”
“Persoalannya sederhana, Pak,” kata Srintil
masih dalam ketenangan yang utuh. “Sampeyan
kebetulan menjadi laki-laki pertama yang datang
setelah saya memutuskan mengubah haluan.”
“Jelasnya, kamu menampik kedatanganku?”
“Tidak sepenuhnya demikian, Pak. Kalau
sampean ingin sekedar bertayub denganku,
maka selenggarakan pentas. Terserah, kapan
dan di mana.” (LKDH:150)

Selain itu, Srintil sudah berani juga untuk


mengelabuhi induk semangnya, yaitu Nyai

72
Kartareja dengan cara meninggalkan Dukuh Paruk
menuju pasar Dawuan
Diperhatikannya induk semangnya yang berjalan
menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk. Tak
lama kemudian Srintil pun ikut turun. Bukan
mengikuti jalan Nyai Kartareja, melainkan jalan
lain yang tidak menuju pancuran atau menuju
rumahnya. Srintil melangkah sepat ke arah jalan
yang membawanya keluar dari Dukuh Paruk.
Langkahnya sepat dan panjang-panjang. Kepada
orang-orang yang kebetulan berpapasan Srintil
hanya tersenyum atau mengangguk ringan.
Sampai di pematang yang menuju Dawuan,
Srintil mempercepat jalannya. Matahari yang
sudah melewati titik kulminasi menyiram
ronggeng itu dengan pancaran terik yang
menyakitkan kepala. Srintil terus berjalan,
terkadang sambil mengangkat tangan kirinya
untuk mengurangi terik matahari ke arah
wajahnya (LKDH:120).

Dalam pandangan masyarakat Dukuh Paruk,


penolakan Srintil tersebut merupakan bentuk
penyimpangan dari tradisi mereka. Terlebih lagi,
Nyai Kartareja, penolakan itu merupakan bentuk
penentangan terhadap dirinya selaku dukun
ronggeng. Anggapan itu tidak semata-mata
didasarkan atas tugasnya sebagai dukun ronggeng,
tetapi lebih menitikberatkan pada pola relasi yang
tercipta antara Nyai Kartareja (induk semang) dan
Srintil (anak asuh), yang bisa juga dianalogikan
73
dengan antara majikan dengan panak buah. Pada
gilirannya, relasi ini mengindikasikan relasi
subordinatif menguasai dan dikuasai. Nyai
Kartareja sebagai pihak yang menguasai dan Srintil
yang dikuasai. Relasi tersebut ditunjukkan dengan
menggunakan kode-kode sosial yang digunakan
Srintil pada waktu memanggil induk semangnya
dengan sebutan Nyai (sebutan terhormat bagi
masy. Jawa). Sebaliknya, penggunaan kata
jenganten dan sampean dipakai oleh Nyai Kartareja
dalam memanggil sambil merayu Srintil agar mau
menuruti kemauannya. Akibatnya, muncullah rasa
dominasi Nyai Kartareja terhadap Srintil. Teks RDP
menunjukkan relasi itu sebagai berikut.
“Oalah Gusti, Nyai Kartareja, kamu ini
kebangeten. Keterlaluan. Apa kamu kira aku
akan memikirkan hal seperti itu lagi? Cukup,
Nyai, cukup!”
“Lho, nanti dulu, Jenganten Aku belum berkata
semuanya. Marsusi sekarang sudah menjadi
duda. Siapa tahu sekarang dia hendak
mengambil sampean menjadi istrinya. Siapa
tahu, Jenganten.”
“Jangan kebangeten, Nyai. Aku baru dua bulan
pulang dari tahanan. Aku baru ditinggal kakek
Sakarya. Kamu tahu semuanya, tetapi kamu
tidak tahu perasaanku Perih, Nyai. Perih!”
(JB:278).

74
Kutipan tersebut mengindikasikan bahwa
Srintil merasa tertekan dengan paksaan induk
semangnya untuk kawin dengan Marsusi. Bahkan,
secara implisit, Srintil telah menyadari inferioritas
dirinya terhadap masyarakat lingkungannya
disebabkan oleh statusnya sebagai ronggeng
(pelayan seksual bagi laki-laki).

3. Penutup
Berdasarkan kajian sosiologi sastra dapat
disimpulkan bahwa novel RDP bersifat realitas-
imajinatif dengan mengacu pada dunia seni
ronggeng yang penuh liku-liku. Keliku-likuan itu
berkaitan dengan nama para tokoh desa, status
sosial, adat-istiadat primitif, status sosial
masyarakat bawah, dan prilaku para tokoh sehari-
hari merupakan cermin masyarakat dari kelompok
sosial tertentu. Peristiwa dalam novel RDP
mencerminkan kondisi sosial-budaya pada suatu
tempat di mana masyarakat itu bisa hidup dari seni
ronggeng.
Berkaitan dengan itu, konsep bayangan
kehidupan ronggeng sangat dilandasi nilai-nilai

75
budaya Jawa dan hakikat hidup ajaran Islam;
setelah adanya penyadaran diri para tokoh seperti
Rasus dan Srintil. Pada novel RDP sebenarnya
Tohari ingin menunjukkan dua tokoh dengan dua
karakter yang berbeda pula. Rasus, yang pada
awalnya berpola pikir primitif mengikuti orang-
orang di pedukuhan paruk; setelah pergi dari
Dukuh Paruk mengalami penetralan sikap hidup
sehingga dia sadar akan makna kehidupan dan dia
meningglkan Srintil. Demikian juga, Srintil menjadi
ronggeng bukan keinginannya sendiri. Semua itu
karena Sakarya seorang Kamitua dan sekaligus
kakek Srintil. Berangkat dari ketidaktahuan posisi
menjadi ronggeng, Srintil hanya senang karena
dimanjakan dan senang karena dijadikan ronggeng
bagaikan kembang desa dikelilingi para pemuda
yang haus nafsu. Padahal itu semua semacam
birokrasi pelacuran yang dilegalkan dengan kedok
ronggeng, yang dilindungi induk semang atau
manajer ronggeng Kartareja dan Nyai Kartareja
sebagai dukun ronggeng.
Berkaitan dengan hal di atas, novel RDP hanya
memperlihatkan borok-borok moral orang-orang
Dukuh Paruk yang ingin tidur dengan Srintil dengan

76
bumbu pelacuran dan juga ajaran etika yang tak
pantas serta hanya mungkin bisa diterima bagi
masyarakat Dukuh Paruk saja. Dengan demikian,
gambaran itu semua hendaknya dijadikan bahan
renungan dari segi-segi kemanusiaan, sosial-
budaya, nilai-nilai kehidupan yang baik dan
mungkin sangat berguna bagi para pembaca.

DAFTAR RUJUKAN
Chamamah, Siti. 1994. “Teori Penelitian Sastra.”
Dalam Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang
Teori dan Metode Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP
Muhammadiyah (skr Univ. Ahmad Dahlan).
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading. Baltimore
and London: The Johns Hopkins Press Ltd.

77
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Luxemburg, Van. (dkk.). 1992. Pengantar Ilmu
Sastra (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
---------- 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar
Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori
Kesusastraan (terjemahan Melani Budianta).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zeraffa, Michel. 1973. “The Novel as Literary Form
and as Social Institution” dalam Elizabeth and
Tom Burnns. Sociology of Literature and
Drama. England: Penguin Books Ltd.

BAB 5
SEMIOTIK

78
1. Semiotik Michael Riffaterre
Michael Foucault seorang filsuf yang
digolongkan dalam Mazhab post-strukturalisme
lewat konsep diskursus, relasi, dan resistensi
kekuasaan di Perancis tahun 1970-an banyak
membantu pemikiran para feminis postmodernis.
Di dalam memahami sebuah karya sastra dari
segi maknanya, misalnya sebuah puisi haruslah
dipahami konvensi bahasa dan konvensi sastranya.
Di antara konvensi puisi itu adalah konvensi
ketidaklangsungan ekspresi. Di dalam semiotik
Riffaterre, (1978) untuk pemaknaan puisi dapat
dilakukan dengan cara, yaitu: (1) ketaklangsungan
ekspresi; (2) pembacaan heuristik (konvensi
bahasa); (3) pembacaan hermeneutik (4) konvensi
sastra); (5) matriks dan model; (6) varian-varian;
(7) tema. Untuk lebih jelaskan uraian dibawah ini
akan memberikan penjelasan-penjelasan secara
rinci.
Untuk dapat memberi makna baru terhadap
sajak, pertama yang harus dilakukan dengan
pembaca sajak secara heuristik dan hermeneutik
(retroaktif). Pembacaan heuristik adalah

79
pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya
atau pembacaan berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat pertama. Adapun pembacaan
hermeneutik (retroaktif) adalah pembacaan
berulang-ulang dengan memberikan tafsiran
berdasarkan konvensi sastranya atau sistem
semiotik tingkat kedua.

1.1 Pembacaan Heuristik


Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca
berdasarkan struktur kebahasaanya. Untuk
memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata
atau sinonim kata-katanya ditaruhkan dalam tanda
kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya
disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan
normatif); bilamana perlu susunannya dibalik untuk
memperjelas arti.

DEWA TELAH MATI

Tak ada dewa di rawa-rawa ini


Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
Pertapa yang terbunuh dekat kuil.

Dewa telah mati di tepi-tepi ini


Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut

80
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri.
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi hari.

1.2 Pembacaan Sajak Dewa Telah Mati


Bait ke-1
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
Pertapa yang terbunuh dekat kuil.

Bait kie-2
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri.

Di rawa-rawa ini tak (tidak) ada dewa. (Yang


ada) hanya gagak yang mengakak (bergaok-gaok)
pada malam hari, dan di waktu siang hari (gagak
itu) terbang mengitari bangkai pertapa yang
terbunuh (di) dekat kuil.
Di tepi-tepi ini (rawa-rawa ini) dewa telah mati.
(Yang ada) hanya ular yang mendesir (menjalar
dengan berisik) dekat sumber (sumber air, kolam
atau danau). Lalu (ular itu) minum (air sumber itu)
dari mulut pelacur (dengan mulut pelacur) yang

81
tersenyum dengan bayangannya sendiri
(tersenyum melihat bayangannya sendiri yang
cantik).
Bait ke-3
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagai hari.

(Sesungguhnya) bumi ini adalah perempuan


jalang (pelacur, perempuan nakal) yang menarik
laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum
ini; dan membunuhnya di pagi hari. Tentu saja
pembacaan heuristik ini belum memberikan makna
sajak yang sebenarnya. Pembaca ini terbatas pada
pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem
semiotik tingkat pertama. Pembacaan ini harus
diulang-ulang dengan pembacaan retroaktif dan
ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan
konvensi sastra (sajak), yaitu sistem semiotik
tingkat kedua.

1.2 Pembacaan Retroaktif (Hermeneutik)


Bait ke-1
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
82
Pertapa yang terbunuh dekat kuil.

Bait ke-2
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri.

Di tempat-tempat yang penuh kemaksiatan


(rawa-rawa) Tuhan telah tidak dipercaya lagi oleh
orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh
kemaksiatan ini yang ada hanya orang-orang jahat
(koruptor, penjilat, maling, perampok, dsb). Orang-
orang jahat (gagak) tersebut melakukan kejahatan
atau bersimarajalela (mengakak) di masa kacau
atau gelap (malam hari). Mereka (orang-orang jahat
itu) beramai-ramai mengelilingi harta yang haram
(bangkai) milik orang-orang suci (pertapa, para
pemeluk agama) yang ingkar (sudah mati pada
hakikatnya), mereka terbunuh (oleh kejahatan) di
dekat tempat sucinya, tempat peribadatannya (kuil,
gereja, masjid, dsb).
Tuhan sudah tidak dipercaya lagi atau orang-
orang telah ingkar kepada Tuhan di tempat-tempat
pinggir (tempat mesum), tempat-tempat yang
penuh kemesuman dan kejahatan. Oleh karena itu,

83
yang ada (pada hakikatnya) hanya orang-orang
jahat (ular) yang berbuat jahat atau melakukan
makar di tempat-tempat kekayaan tau
keberuntungan (mendesir dekat sumber). Para
penjilat itu (ular itu) lalu memuaskan nafsunya
(minum) dari mulut para pelacur (orang-orang yang
melacurkan diri, menjual dirinya). Artinya, orang-
orang tersebut mendapatkan kekayaan dan
kesenangan dari melacurkan diri: menjilat
atasannya atau pemilik harta. Mereka berbuat apa
saja demi keuntungan dirinya, dengan menjual
kehormatan untuk mendapatkan keuntungan dan
kesenangan, tidak peduli halal dan haram. Mereka
tidak peduli kehinaan, bahkan masih dapat
tersenyum (berbangga diri) melihat bayangan di
depan cermin. Mereka masih mengagumi
kehebatannya, kekayaan yang sebetulnya hanya
sekejap saja atau palsu belaka (hanya bayangan).

Bait ke-3
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi hari.

84
Pada hakikatnya dunia atau kehidupan ini
(bumi adalah perempuan jalang (pelacur yang
menjual kenikmtan sesaat). Yang menjerumuskan
orang-orang yang suka memuaskan hawa nafsu
dan orang-orang suci ke tempat-tempat
kemaksiatan. Oleh karena itu, kehidupan yang
penuh kemaksiatan itu membunuh mereka yang
hanya terpikat kepada dunia yang fana dan penuh
penyakit pada waktu mulai timbulnya harapan
kehidupan yang baik (pagi hari).

1.3 Ketaklangsungan Ekspresi


Menurut Riffaterre (1978:1), puisi itu dari
dahulu hingga sekarang selalu berubah karena
evolusi selera dan konsep estetik yang selalu
berubah dari periode ke periode. Ketaklangsuingan
ekspresi menyatakan pikiran atau ide secara tidak
langsung. Hal itu bisa dinyatakan lewat, yakni: (1)
penggantian arti (displacing of meaning); (2)
penyimpangan arti (distorting of meaning); (3)
penciptaan arti (creating of meaning)

a) Penggantian Arti (displasing of meaning)

85
Penggantian arti disebabkan oleh pengguaan
metafora dan metonimi dalam karya sastra.
Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk
menyebut bahasa kias pada umumnya. Hal ini
disebabkan oleh metafora dan metonimi ini
merupakan bahasa kiasan yang sangat penting
hingga untuk mengganti bahasa kias lainnya. Di
samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain,
yakni: simile (perbandingan), personifikasi,
senekdoki, alegori, dsb. Gejala bahasa metafora
mengumpamakan sesuatu hal yang tidak
mengguanakn kata pembanding; bagai, seperti,
bak, dsb. Contohnya:
(1) Bumi ini perempuan jalang (sajak Dewa Telah
Mati karya Subagio Sastrowardojo);
(2) Aku boneka engkau boneka/penghibur dalam
mengatur tembang (sajak Sebab Dikau karya
Amir Hamzah).
(3) Terasa apa hidup yang terbaring mati (sajak
Pusat karya Toto S. Bachtiar).

b) Penyimpang Arti (distorting of meaning)

86
Menurut Riffaterre (1978:2), penyimpangan
arti itu disebabkan oleh tiga hal, yaknI ambiguitas,
kontradiksi, dan nonsense.

(1) Ambiguitas
Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra
yang berarti bermakna ganda, lebih-lebih bahasa
puisi. Kegandaan arti itu dapat berarti bisa dari
kata, frase, atau kalimat yang ambigu (taksa) atau
mempunyai makna yang lebih dari satu
(polyinterpretable). Hal ini disebabkan oleh sifat
puisi yang berupa pemadatan hingga satu kata,
frase, klausa, atau kalimat bermakna ganda.
Bahkan, puisi seringkali dipergunakan ambivalensi,
dalam satu kata terkandung dua arti yang
berlawanan. Di samping itu, untuk menciptakan
misteri dalam sajak, menarik perhatian, dan selalu
menimbulkan keingintahuan itu membuatnya dapat
ditafsirkan dengan bermacam-macam makna,
sifatnya menjadi remang-remang (kabur) itulah
makna taksa. Setiap kali sajak dibaca timbul makna
baru. Untuk menjelaskan ambiguitas itu, berikut ini
kutipan sajak DOA karya Chairil Anwar (1959:13).

87
DOA
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

CayaMu panas suci


Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Sajak Doa karya Chairil Anwar secara rinci


dapat dijabarkan sebagai berikut.
Bait ke-1
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Bait ke-2
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Si aku masih termangu-mangu atau setengah


ragu akan adanya Tuhan, tetapi si aku masih

88
menyebut-nyebut nama Tuhan juga. Meskipun si
aku merasa sangat susah untuk menyebut-nyebut
nama Tuhan, tetapi ia masih menyebut nama-Nya
karena ia mengingat bahwa Kau itu penuh seluruh.
Kau penuh seluruh itu ambigu dapat diberi makna:
Engkau memang mutlak ada, Engkau maha
sempurna adanya, keberadaan-Mu tidak dapat
diingkari, Engkau sungguh-sungguh ada secara
utuh. Makna yang banyak itu saling melengkapi.
Bait ke-3
CayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Bait ke-4
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Cahaya Tuhan itu panas suci: Tuhan memberi


penerangan kepada manusia dengan cahaya yang
panas dan suci, sempurna, dan mengesankan, tidak
tercela, penuh keikhlasan. Akan tetapi, dalam
keraguan si aku, penerangan Tuhan itu tinggal
sedikit seperti lilin dalam kegelapan dan kesunyian
hati si aku yang merasa sunyi (karena penderitaan
batin).

89
Kiasan ini menunjukkan bahwa si aku sangat
menderita, tiodak terceritakan lagi ujud
penderitaannya: si aku hilang bentuk dan remuk:
hancur seluruh harapannya. Begitulah, penderitaan
si aku tidak dapat diberi bentuk dan wujud lagi.

Bait ke-5
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Bait ke-6
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.

Orang yang mengembara di negeri asing itu


terpencil, terasing tidak dikenal orang, tidak tahu
jalan, sepi dan sendiri. Itulah makna ganda kalimat
tersebut. Manusia hidup di dunia ini pada
hakikatnya adalah orang yang mengembara di
negeri asing, sebagai aku yang dilemparkan begitu
kata J.P Sarte, seorang eksistensialis Perancis.
Manusia adalah aku yang dilemparkan dan jauh di
tempat asing, yang tidak dapat dimengerti.
Satu-satunya penerangan dan penolong
hanyalah Tuhan, tidak ada yang lain, maka setelah
si aku mengetuk pintu kerahmanan Tuhan, ia tidak

90
bisa berpaling lagi: tidak dapat pergi lagi, tidak
dapat menengok ke kanan dan ke kiri, dalam arti
pandangan (jiwanya) hanya tertuju kepada Tuhan
yang maha rahman dan rahim.

(2) Kontradiksi
Kontradiksi berarti mengandung pertentangan
disebabkan oleh paradoks dan ironi. Hal ini untuk
membuat orang atau pembaca berpikir hingga
pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan
sajak. Untuk menyatakan arti secara total kenalilah
sajak dan pergunakan gaya ucapan paradoks.
Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan
sesuatu secara berlawanan atau bertentangan
dalam wujud bentuknya. Akan tetapi, bila dipikirkan
sungguh-sungguh hal itu tidak bertentangan.
Seperti dapal kutipan sajak berikut ini.

Serasa apa hidup yang terbaring mati


Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah dunia berhenti
Padaku, tanpa bicara.

Hidup tetapi mati, pengertian ini sangat


kontradiksi atau pertentangan sekali. Hal itu bila
dipahami secara cermat barangkali tidak

91
bertentangan. Hidup yang berbaring mati itu hidup
tanpa perubahan, statis, tidak ada kemajuan alias
pasrah apa adanya. Jadi, pada hakikatnya hidup itu
mati.
Memandang musim yang mengandung luka
dapat juga disebut paradoks. Biasanya musim itu
mengandung hal-hal yang menyenangkan,
misalnya musim buah, musim panen, musim kawin,
dan sebagainya. Musim (saat) yang di dalamnya
terdapat hal-hal yang tidak menyenangkan: hal-hal
yang menyebabkan hidup menderita karena di
suatu negara banyak koruptor, kejahatan hukum,
dan kedhaliman. Hal itu menjadikan luka hati
(batin), kata luka itu ambigu atau mengandung
makna ganda. Jika sudah menjadi luka, maka
kehidupan selanjutnya: serasa apa kisah dunia
berhenti. Bagi seseorang hidup itu melakukan
kegiatan untuk melakukan kegiatan harus sehat.
Jika ada luka maka perjalanan hidup (kisah)
menjadi tidak aktif alis mati atau tanpa bicara
(berhenti).

(3) Nonsense

92
Nonsense adalah kata-kata yang secara
linguistik tidak mempunyai arti. Kata-kata itu
diciptakan penyair, tidak ada dalam kamus bahasa.
Meskipun tidak mempunyai arti secara linguistik,
tetapi mempunyai makna dalam puisi karena
konvensi puisi. Misalnya, kata-kata dalam puisi
mantra seringkali berupa nonsense. Dalam puisi
bergaya mantra banyak dipergunakan kata-kata
nonsense untuk menimbulkan daya magis dan
konsentrasi. Dalam sastra modern, puisi bergaya
mantra dan sufistik banyak mengandung nonsense.
Akan tetapi, dalam sajak DOA karya Chairil Anwar
tidak ada kata nonsense, semuanya mengandung
pengertian dan penjelasan yang dapat dipahami
bila dijabarkan secara rinci.

c) Penciptaan Arti (creating of meaning)


Penciptaan arti bisa lewat sarana-sarana yang
mengandung makna, yakni: rima sajak,
enjambement, homologue, dan tipografi.

(1) Rima Sajak


Dalam sajak DOA di depan ada ulangan bunyi
bentuk-remuk dalam bait Tuhanku – aku hilang

93
bentuk–remuk. Persajakan atau rima itu secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi
menimbulkan makna intensitas (keseringan) dalam
puisi, memberi intensitas makna: sangat menderita
atau penderitaan maha hebat.

(2) Enjambement
Enjambement adalah baris sajak yang secara
struktur kalimat langsung bersambung dengan
baris berikutnya.
DOA DOA
Tuhanku, Tuhanku
Dalam termangu aku Dalam termangu
masih menyebut nama- Aku masih menyebut
Mu. nama-Mu

Biar susah sungguh Biar susah sungguh


mengingat kau penuh Mengingat Kau penuh
seluruh. seluruh

CayaMu panas suci, CayaMu panas suci


Tinggal kerdip lilin di tinggal kerdip lilin
kelam sunyi. di kelam sunyi

Tuhanku, Tuhanku
Aku hilang bentuk (dan) Aku hilang bentuk
remuk. Remuk

Tuhanku, Tuhanku
Aku mengembara di Aku mengembara di

94
negeri asing. negeri asing

Tuhanku, Tuhanku
Di pintuMu aku Di pintuMu aku
mengetuk, aku tidak bisa mengetuk
berpaling. Aku tidak bisa
berpaling

(3) Homologue
Homologue adalah bentuk persamaan posisi
dalam bait. Sajak Sepisaupi ialah sajak yang kata
awalnya diulang-ulang dan vokal akhirnya ri-pi-ri-
nyi.
SEPISAUPI
Sepisau luka sepisau duri
Sepisau dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau sunyi

(4) Tipografi
Tipografi atau tata huruf dipergunakan untuk
menciptakan makna, biasanya makna ikon dan
indeks. Dalam sajak DOA karya Chairil Anwar, tata
huruf yang dipergunakan bait ke-1: 3 baris; bait ke-
2: 2 baris; bait ke-3: 2 baris; bait ke-4: 3 baris; bait
ke-5: 2 baris; bait ke-6: 3 baris.

95
DOA

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh


Mengingat Kau penuh seluruh

CayaMu panas suci


Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

2. Semiotik-Umberto Eco
Dia lahir di Poitiers-Perancis tahun 1926, ayah
dan saudaranya ahli bedah, tetapi Foucault malah
terjun ke filsafat, sejarah, dan psikologi. Dia
meninggal tanggal 25 Juni 1984 (usia 58). Dia
belajar filsafat di Ecole Normale Supériure 1945.
Dia menjadi anggota Partai Komunis Perancis
sampai tahun 1951, kemudian dia menjadi dosen

96
tahun 1954 di UPPSALA (Swedia) bidang sastra dan
budaya Perancis 1958.
Menurut definisi Eco (Faruk, 1999:10),
semiotik itu adalah sebagai ilmu yang mempelajari
deretan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa,
seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda.
Selanjutnya, Eco (Faruk, 1999:16)
menambahkan bahwa tanda itu sendiri adalah
segala sesuatu yang secara berarti dapat
menggantikan sesuatu yang lain.
Menurut Eco (Faruk, 1999:10), sesuatu yang
lain itu tidak harus secara aktual ada pada waktu
tanda tersebut mewakilinya. Dengan kata lain, Eco
menyatakan bahwa semiotik sesungguhnya
mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk berbohong. Dengan menganggap bahwa
karya sastra sebagai gejala semiotik yang lain dan
dapat dilihat dari dua segi, yakni: sebagai sistem
signifikasi dan sistem komunikasi.
Sebagai sistem signifikasi adalah sistem yang
memungkinkan tanda tertentu mewakili sesuatu
yang lain, sedangkan sistem komunikasi
merupakan proses pemanfaatan signifikasi itu
untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Sistem

97
signifikasi menyangkut aturan-aturan, sedangkan
sistem komunikasi menyangkut proses. Menurut
Teeuw (Faruk (1999:43-66) sebagai sistem
komunikasi sastra melibatkan banyak faktor,
seperti faktor pembaca dan pengarang. Oleh
karena itu, menurut Eco (Faruk, 1999:11),
kemampuan pembangun semiotik sistem signifikasi
dapat dilakukan secara mandiri, sedangkan
pembangun semiotik sistem komunikasi
bergantung pada sistem signifikasi.
Menurut Eco (Faruk, 1999:11), sesuatu dapat
menjadi tanda signifikasi apabila sebelumnya telah
terbangun suatu kode atau konvensi sosial. Kode-
kode itu pada dasarnya merupakan aturan-aturan
yang memungkjinkan lahirnya tanda-tanda sebagai
peristiwa kongkret dalam komunikasi. Aturan-
aturan dari kode itu meliputi: (1) aturan kombinasi
internal tanda-tanda yang disebut sistem sintaktik;
(2) aturan mengenai perangkat isi yang mungkin
dikomunikasikan; (3) aturan pola respon tertentu
yang dapat memberi petunjuk bahwa pesan telah
diterima; (4) aturan-aturan penggabungan yang
memungkinkan dihubungkannya sistem sintaksik
dengan sistem-sistem lainnya.

98
3. Semiotik-Roland Barthes
Dia diangkat Direktur Pusat Kebudayaan
Perancis di Warsawa (Polandia). Tahun 1961, dia
mendapat gelar Doktor dan dosen terbang di Afrika
Utara. Karya-karya antara lain: (1) Penyakit jiwa
dan kepribadian 1954; (2) Kegilaan dan
ketidaksadaran: sejarah kegilaan di zaman klasik
1958; (3) Sejarah kegilaan (ringkasan disertasi)
1963; (4) Kata-kata dan benda-benda sebuah
arkeologi tentang ilmu-ilmu manusia tahun 1966,
yang membuatnya menjadi terkenal.

3.1 Penanda dan Petanda


Tanda memiliki empat hal pokok, yaitu: (1)
substansi ekspresi (suara dan artikulasi); (2) bentuk
ekspresi yang dibuat dari aturan-aturan sintagmatik
dan paradigmatic; (3) substansi isi (aspek-aspek
emosional, ideology); (4) bentuk isi (susunan formal
petanda di anatara petanda-petanda itu sendiri
melalui hadir atau tidaknya sebuah tanda
semantic).
Petanda bukanlah benda, tetapi kehadiran
mental dari benda (konsep Saussure). Petanda

99
dar5i kata kambing, misalnya bukanlah binatang
kambing, tetapi imajimental tentang kambing itu
sendiri. Jika akan memahami petanda, tidak bias
tidak harus kembali kembali kepada system biner
Saussure, yakni pasangan petanda dan penanda.
Menurut Barthes (1967:43) pencampuran antara
petanda dan penanda dalam bahasa diistilahkan
isologi.

4. Semitik-Charles Sander Peirce (1839-1914)


Istilah semiotik dikemukakan pada akhir abad
ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, yakni
Charles Sander Peirce. Dia merujuk kepada doktrin
formal tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar
dari semiotik adalah konsep tentang tanda, tidak
hanya bahasa dan sistem komunikasi yang
tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu
sendiri yang mempunyai hubungan dengan pikiran
manusia. Di dalam pikiran manusia seluruhnya
terdiri atas tanda-tanda karena bila tidak demikian,
manusia tidak akan dapat menjalin hubungan
dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan
suatu sistem tanda yang paling fundamental bagi
manusia, sedangkan tanda-tanda non-verbal

100
seperti gerak-gerik, bentuk pakaian serta beraneka
praktik sosial konvensional lainnya, dapat
dipandang sebagai bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda yang bermakna dan dapat
dikomunikasikan atas dasar relasi-relasi. Oleh
karena itu, dalam lapangan semiotik atau ilmu
tentang tanda-tanda yang perlu dijelaskan adalah
pengertian tanda sendiri.
Dalam pengertian tanda ada dua prinsip,
tanda itu mempunyai dua aspek, yaitu:
(1) Penanda (signifier), signifiant) atau yang
menandai (bentuk tanda).
(2) Petanda (signified, signifie) atau yang ditandai
(artinya/maknanya).
Pengertian itu, di dalamnya ada tiga tanda
pokok berdasarkan hubungan penanda dan
petandanya, yakni:

(1) Ikon, tanda yang menunjukkan bahwa relasi


antara penanda dan petanda itu hubungan
persamaan atau kemiripan, misalnya gambar
kuda itu menandai kuda;

(2) Indeks, tanda yang menunjukkan bahwa relasi


penanda dan petanda itu bersifat kausalitas
(sebab-akibat). Misalnya, asap itu menadai api;

101
(3) Simbol, tanda yang penanda dan petannya
tidak ada relasi alamiah. Hubungan itu bersifat
semaunya atau arbitrer, hubungan berdasarkan
konvensi (kebiasaan perjanjian) masyarakat.

Dalam kehidupan ini kita berkomunikasi lewat


tanda-tanda. Tanda-tanda bahasa merupakan salah
satu kelompok tanda yang dipergunakan. Tanda-
tanda itu bisa hadir lewat kata-kata, kalimat, dan
teks-teks dalam bahasa. Menurut Peirce ada tiga
faktor yang menentukan sebuah tanda, yakni: (1)
tanda itu sendiri, (2) hal yang ditandai, dan (3)
tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima.
Tanda itu merupakan suatu gejala yang dapat
diserap dan apa yang ditandai (diacu) terdapat
suatu relasi mewakili. Misalnya, tanda BURUNG
mewakili sebuah jenis unggas, mengacu kepada
burung itu sendiri. Unsur dari wujud yang diwakili
itu dinamakan denotatum atau objek.
Denotatum dapat berupa sesuatu yang nyata
atau bisa juga sesuatu yang tidak nyata (harus
ada). Misalnya, tanda TUHAN secara kasar mata
tidak mewakili, karena tidak dapat hadir di tengah-
tengah kita. Tanda dan kehadirannya (yang

102
mewakili) bersama-sama menuju sebuah
penafsiran. Penafsiran merupakan tanda baru, yang
dibayangkan oleh si penerima tanda bila dia
menerima atau mengamati tanda itu. Hasil dari
penafsiran itu dinamakan interpretant.
Dalam ilmu sastra (Peirce) penerapan semiotik
berupa tanda tadi dipergunakan istilah ikonitas
(ikon). Ikon merupakan hubungan antara tanda dan
denotatum (objeknya) biasanya bersifat perwakilan.
Lebih jelas lagi, ikon adalah tanda yang menyerupai
denotatum (benda tau objek) yang diwakilinya.
Misalnya, GAMBAR FOTO seseorang harus sama
dengan wujud nyata seseorang itu. Indeks adalah
tanda yang melalui cara-cara tertentu dengan
denotatum (benda atau objek) yang diwakilinya.
Misalnya, ASAP dengan API.

5. Semiotik Jury Lotman


Jury Lotman seorang tokoh semiotik sastra
dari Rusia aliran Tartu. Menurutnya perbedaan
bahasa sehari-hari dengan bahasa sastra
disebabkan fungsi ikonitas dalam sastra
(Luxemburg,, 1984:47). Menurut pandangan
Lotman (Luxemburg, 1984:47), seni adalah salah

103
satu cara manusia menjalin hubungan dengan
dunia sekitarnya. Seni merupakan sistem tanda-
tanda yang menerima informasi, menyimpannya,
kemudian mengalihkannya.
Sebuah karya seni merupakan sebuah teks,
yang berlaku bagi semua jenis kesenian. Setiap
cabang kesenian dapat dipandang sebagai suatu
bahasa. Karya seni merupakan teks-teks dalam
bahasa alami. Teks-teks yang termasuk di
dalamnya, salah satu contoh: Puisi Inggris abad ke-
17 dan Komedi Rudia abad ke-18.
Setiap sistem semiotik sastra merupakan
sistem yang membuat modul-modul. Seni tidak
membuat copy dari kenyataan, tetapi mengenakan
sebuah modul pada kenyataan atau
mengungkapkan kenyataan lewat sebuah modul
(Luxemburg, 1984:47). Dari bahasa sehari-hari
(secara alami), seorang sastrawan membuat
struktur-struktur yang artistik. Dia dapat terikat
dengan unsur-unsur formal dan struktur bahasa.
Kemampuan informasi yang istimewa itu
disebabkan seorang sastrawan mempergunakan
bermacam-macam kode yang ada, seperti: metrum,
bahasa, gaya, ritme, sintaktik, dan semantik.

104
Setiap teks sastra terbangun dari sejumlah
sistem yang mengaturnya. Teks puisi sebagai suatu
sistem yang berlapis, di dalamnya ada makna yang
hanya berwujud secara kontekstual. Makna sebuah
teks bukan pada baris puisi, tetapi makna itu ada
dalam hubungan teks dengan sistem-sistem yang
lebih luas. Baik berupa kode, norma, isi secara
totalitas.
Berkaitan dengan hal di atas, perbedaan dan
paralelisme dalam teks hanyalah istilah-istilah yang
bersifat relatif dan hanyalah dapat diteliti dalam
hubungan dengan yang lain. Dalam bidang puisi,
sifat dan bentuk penanda, pola bunyi, dan irama
yang diatur oleh baris pada halaman menentukan
apa yang ditandainya. Puisi merupakan keindahan
isi sebuah teks. Teks puisi biasanya syarat dengan
makna, pemadatan lebih banyak amanat (pesan)
daripada wacana-wacana yang lain. Puisi
mempunyai redundancy yang minim, yaitu
lambang-lambang yang berwujud dalam wacana
untuk lebih membantu komunikasi daripada
penyampaian pesan.

DAFTAR RUJUKAN

105
Badrun, Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra.
Surabaya: Usaha Nasional.
Barthes, Roland. 1967. Elements of Semiology.
London: Jonathan Cape.
Esten, Mursal. 1984. Kritik Sastra Indonesia.
Padang: Angkasa.
Husnan, Ema, dkk. 1986. Apresiasi sastra
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Kenny, William. 1966. How to Analyze Fiction. New
York: Monach Press.
Lubis, Mochtar. 1986. Teknik Mengarang. Jakarta:
Balai Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. 2000.
Yogyakrta: Gadjah Mada University Press.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumardjo, Jakob dan KM., Saini. 1986. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Utami, Ayu, 1988. Saman. Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama
dengan Jurnal Kebudayaan Kalam.
Waluyo, J. Herman. 1974. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Zakaria, S. dan Mariani, S. 1980. Kamus Kecil
Kesusastraani Indonesia. Bandung: TB.
Singgalang.

106
BAB 6
INTERTEKSTUALITAS

1. Pengantar
PRINSIP intertekstualitas berasal dari Perancis
dan bersumber pada aliran strukturalisme, yang
dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, yaitu
Jaques Derrida yang dikembangkan oleh Julia
Kristeva. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra
dibaca dan dipahami dengan mengkaitkan latar
belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks yang
sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa
penciptaan dan pembacaannya tidak dapat
dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai
contoh, teks yang menjadi teladan atau kerangka;
tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani
teks lain atau mematuhi kerangka yang telah
diberikan lebih dahulu, tetapi dalam penyimpangan
dan transformasi model teksnya sudah ada, yang
memainkan peranan penting. Pemberontakan atau

107
penyimpangan sebagai pengandaian adanya
sesuatu yang dapat diberontaki/disimpangi, dan
pemahaman teks baru memerlukan latar belakang
pengetahuan tentang teks-teks yang
mendahuluinya (Kristiva via Teeuw, 1984:146).
Tiap teks itu merupakan mosaik kutipan-
kutipan dan merupakan penyerapan teks-teks lain.
(Kristeva via Culler, 1977:139). Maksudnya, tiap
teks itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks
lain berdasarkan respon-respon dan diolah kembali
dalam karyanya dan ditulis setelah melihat,
meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara
sadar maupun tidak dasar.
Sebuah karya sastra mempunyai relasi sejarah
antara karya-karya sezaman, yang mendahuluinya
atau yang kemudian. Relasi sejarah ini baik berupa
persamaan maupun pertentangan. Dengan
demikian, sebaiknya kajian karya sastra itu ada
relasinya antara sebelumnya atau sesudahnya.
Dalam relasi sejarah antarteks itu perlu
diperhatikan prinsip intertekstual Menurut Riffaterre
(1978:11 dan 23) sajak yang menjadi latar
penciptaan karya sastra sesudahnya disebut
hipogram. Mengapa demikian, karena tidak ada

108
karya sastra yang lahir mencontoh atau meniru
karya-karya sebelumnya yang diserap dan
ditafsirkan dalam bentuk lain.
Setelah menanggapi teks dan menyerap
konvensi sastra, estetik atau pikiran-pikirannya,
kemudian mentransformasikannya ke dalam karya
sendiri dengan ide dan konsep estetik sendiri yang
diserap itu dapat dikenali apabila membandingkan
teks yang menjadi hypogramnya dengan teks baru
itu.
2. Penerapan Intertekstualitas dalam Karya
Sastra
Pada tahun 80-an prinsip intertekstual ini baru
diterapkan dalam karya sastra Indonesiaa yang
dipelopori oleh Teew dalam Majalah Basis tahun
1980 yang ditulis kembali dalam buku Membaca
dan Menilai Sastra (1983). Karya sastra tidak lahir
dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya
sastra itu merupakan respon (Teew, 1983:65) pada
karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh karena
itu, sebuah teks tidak dapat dilepas sama sekali
dari tek lain. Sebuah karya sastra baru
mendapatkan maknanya yang hakiki dalam
kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam

109
pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan
hanya teks tertulis atau teks lisan saja. Adat-
istiadat, kultur, film, drama secaraa pengertian
adalah teks. Karya sastra tidak dapat lepas dari hal-
hal yang menjadi latar penciptakaan tersebut, baik
secara umum maupun secara khusus.
Misalnya: sajak-sajak Indonesia modern karya
Amir Hamzah (Pujangga Baru) dan sajak-sajak
karya Chairil Anwar (Angkatan ’45) seperti sajak
Kusangka dengan Penerimaan.
Menurut pandangan Jassin yang ditulis dalam
buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1978)
telah menerapkan intertekstual untuk memahami
sajak Chairil yang penciptaannya dilatari saja-sajak
penyair Eropa dan Amerika. Berbeda dengan
Pradopo (1978) hubungan intertekstual dalam sajak
Indonesia modern tercipta berdasarkan konvensi
dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan.
Tahun 1930 muncul sajak-sajak Indonesia baru
dengan mengacu pada konvensi yang telah dikenal
sebelumnya, yaitu syair dan pantun dalam
Indonesia Lama (Melayu). Setelah para penyair
mengenal sajak-sajak dari Eropa dan Amerika

110
mereka membuat sajak-sajak bebas (sajak
Indonesia modern).
Untuk memahami intertekstual sajak
Kusangka dengan Penerimaan tersebut atau lebih
jelasnya dapat dibaca berikut ini.
KUSANGKA

Kusangka cempaka kembang setangkai


Rupanya melur telah berseri…
Hatiku remuk mengenangkan ini

Wasangka dan waswas silih berganti.


Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari…
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kembang berpuluh kali.

Kupohonkan cempaka
Harum mula terserak…
Melati yang ada
Pandai tergelak

Mimpi seroja terapung di paya


Teratai putih awan angkasa…
Rupanya mawar mengandung Lumpur
Kaca piring bungaa renungan…

Igauanku subuh, impianku malam


Kuntum cempaka putih bersih…
Kulihat kembang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cumbu.

Kusangka hari bertudung lingkup


Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik

111
Kalau dipetik menguku segara.

(Amir Hamzah)

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kembali


Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi


Bak kembang sari yang yang sudaah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani


Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

(Chairil Anwar)

Sajak Kusangka merupakan hypogram sajak


Penerimaan, yang menunjukkan kesejajaran kedua
sajak tersebut adalah idenya yang membandingkan
gadis dengan bunga. Akan tetapi, cirri dua penyair
dari zaman yang berbeda dapat diamati dari bentuk
formal sajak dan bahasa yang dipergunakan.
Idenya yang sama diolah dua penyair yang memiliki
kepribadian masing-masing sehingga sikap dan

112
wawasan mereka pun berbeda dalam menghadapi
suatu permasalahan.
Dalam sajak Kusangka, Amir Hamzah sangat
kecewa sekali karena gadis yang disangka murni
ternyata tidak murni (tidak perawan) lagi sehingga
memutuskan untuk tidak menerima gadis itu.
Berbeda pandangan dengaan Chairil Anwar dalam
sajak Penerimaan, dia menghadapi masalah yang
sama tetapi bersikap bertentangan dengan Amir
Hamzah. Chairil Anwar bersedia menerima gadis
yang tidak murni itu tetapi dengan satu syarat
sepenuhnya milik si Aku secara keseluruhan dan
tidak boleh ada perasaan mendua lagi. Perasaan
mendua ini bisa ditafsirkan bisa membanding-
bandingkan kekayaannya, kasih-sayangnya,
kejantanannya, dan sebaginya.

DAFTAR RUJUKAN
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics.
London: Methuen & Co. Ltd.
Pradopo, Djoko Rachmat. 1995. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teew, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: Gramedia.
----------. 1984. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: Gramedia.

113
BAB 7
POSTKOLONIALISME

1. Pendahuluan
YANG diberikan contoh dalam masa
pendidikan kolonialisme di Indonesia itu adalah
dalam sebuah novel Salah Asuhan Karya Abdul
Muis, yang merupakan salah satu karya sastra yang
populer pada angkatan Balai Pustaka. Novel
tersebut mengisahkan pembauran dan
pembenturan antara kebudayaan Barat dan

114
kebudayaan Timur. Novel Salah Asuhan, tampil
ditengah-tengah zamannya, yang menggambarkan
pemberontakan antara kaum muda (pembaharu)
yang berpendidikan Barat dengan berpandangan
luas dengan kaum tua (tradisonal) yang masih
berpegang erat akan nilai-nilai adat-istiadat
setempat. Gesekan-gesekan yang muncul dalam
Salah Asuhan, pada hakikatnya bukan benturan
antara kaum tua (ibu dan mamak Hanafi) dengan
kaum muda (Hanafi), melainkan benturan yang ada
dalam diri Hanafi sendiri. Hanafi dengan bekal
pendidikan dan lingkungan pergaulannya
menganut nilai-nilai dan sikap hidup yang
berorientasi ke Barat, dan berusaha dengan sekuat
tenaganya untuk mewujudkan cita-citanya dengan
jalan mengawini gadis Indo-Eropa, yang bernama
Corrie du Busse, dan meningggalkan istrinya
Rapiah yang dianggapnya sebagai perempuan
kampungan yang tidak tahu apa-apa.
Novel Salah Asuhan merupakan gambaran
kehidupan salah satu pemuda Indonesia, karena
memperoleh pendidikan Barat ingin hidup seperti
kehidupan orang-orang Barat, yang sudah barang
tentu tidak akan dapat diterima bahkan

115
mengejutkan anggota keluarga mereka sendiri.
Timbullah gesekan-gesekan yang terjadi tidak lain
dari konflik batin dalam diri sendiri, muncullah
pertikaian antara keinginan dengan realita, jauh
dari relasi sanak-saudara, cinta yang gagal,
bahagia sesaat, dan dikucilkan dari lingkungan
setempat.
Dalam rangka pemahaman terhadap novel
Salah Asuhan dengan maksud untuk mengetahui
tentang ras dan kultur pada masa pendidikan
kolonialisme yang digambarakan dalam Salah
Asuhan, maka akan dicoba dilakukan pembacaan
postkolonial education, dengan acuan makalah
yang ditulis oleh Paul Tickel dengan judul Love in
Time of colonialisme: Race and Romance in an
Early Indonesia Novel.

2. Sinopsis Novel Salah Asuhan


Novel Salah Asuhan merupakan sebuah karya
sastra yang mengisakan perjalanan seorang
pemuda Indonesia tepatnya dari Minangkabau,
bernama bernama Hanafi. Dia memperoleh
pendidikan Barat. Akibat dari pendidikan itu dia
tidak malah dewasa dalam berpikir, berhubungan
dengan sanak-saudara dan masyarakat, khususnya
116
minangkabau. Demikian pula, dia tidak diterima
oleh masyarakat Barat sehingga terjadi masalah
batin dalam diri sendiri.
Hanafi merupakan anak tunggal dan sejak
kecil sudah ditinggal ayahnya. Dia di sekolahkan di
Jakarta oleh mamaknya. Demikian juga Corrie
merupakan anak tunggal dari Tuan d Bussee,
seorang arsitek keturunan bangsawan Perancis,
yang kawin dengan seorang perempuan pribumi
dari padang.
Corrie gadis Indo-Eropa anak bangsawan
keturunan perancis-padang, karena pergaulannya,
pendidikan, dan pengaruh masyarakat Belanda,
maka ia merasa dirinya lebih tinggi daripada orang
pribumi, kecuali ibunya sendiri yang di anggap
perempuan pribumi yang baik. Menurut Corrie
orang yang sebaik ibunya bukan pribumi lagi. Sejak
masih kecil, Corrie ditinggal ibunya (mati), maka
kasih sayang ayahnya tercurah sepenuhnya kepada
anak tunggalnya. Oleh karena, anak tunggalnya
tidak mau terlantar sepeninggalnya nanti, maka
Corrie dikirim ke asrama di Jakarta. Jika ada waktu
kosong atau ada liburan Corrie menengok ayahnya
di Solok, Padang.

117
Setamat dari HBS, Hanafi dinanti pulang oleh
ibunya karena sudah tua dan tidak ingin lagi
berpisah dengan anaknya itu. Dengan pertolongan
sahabat-sahabat ayahnya, dia dapat diterima
menjadi pegawai di kantor Asisten Residen Solok
dan akhirnya menjadi komis.
Sejak mulai tinggal dengan Hanafi, ibunya
sudah merasa bahwa dia sudah salah didikan dan
makin tidak hormat kepada orang tua dan para
tamu khususnya tamu pribumi. Ibunya makin
bimbang melihat tingkah laku anaknya yang
kebelanda-belandaan itu. Hanafi sejak kecil tidak
diajarkan sopan-santun secara adat ketimuran, tata
cara pergaulan, dan dia memandang rendah
bangsa serta agama. Di matanya yang ada hanya
cinta kepada Corrie. Hanafi sangat menyesali
dirinya hanya seorang pribumi, karena rasa
ketinggian bangsanya, rasa harga diri sebagai gadis
Belanda tidak mengizinkan dia jatuh cinta
kepadanya, tetapi perasaannya mengatakan lain.
Untuk menyenangkan perasaan Corrie
mencoba meminta pendapat ayahnya tentang
perkawainan campuran itu, dan menanyakan jika
hal itu terjadi pada diri Corrie sendiri. Tuan du

118
Busse menerangkan kesulitan dan kekurangan
serta keburukan kawin campuran itu, apalagi
setelah dilihat sifat-sifat anaknya yang tidak akan
mungkin dapat mengatasi rintangan dalam
perkawinan itu. Nasihat dari ayahnya itu termakan
betul oleh Corrie, dan dia sudah berjanji dengan
dirinya sendiri akan berusaha tidak akan melanggar
nasihat ayahnya itu.
Corrie memutuskan untuk segera kembali
Jakarta dan menulis surat kepada Hanafi agar dia
menjauhi dan melupakan cintanya. Sebaliknya,
Hanafi ketika membaca surat itu sudah tidak tahu
diri lagi dan menjauhi kelahirannya sebagai
pribumi. Lama-kelamaan, Hanafi menjadi marah
dan memendam rasa sakit yang mendalam.
Perasaan marahnya timbul karena Corrie dalam
suratnya itu menyinggung perasaan dan menghina
kaum pribumi. Betapa rendahnya pandangan
Hanafi terhadap kaum pribumi, tetapi dia merasa
tidak senang jika ada orang asing yang menghina
pribumi. Pada akhirnya, akibat pertarungan dalam
dirinya dan pertarungan batin dengan masyarakat
setempat serta dengan Corrie, lalu dia jatuh sakit
demam yang sangat tinggi.

119
Tidak lama kemudian dia sembuh dari
sakitnya, sering dia termenung dan apa yang
dilakukan ibunya tidak berkenan di hatinya, dia
tidak ingin apa-apa. Hal itu membuat ibunya
senang karena Hanafi sudah melupakan Corrie dan
dukun pun telah berhasil mengobati Hanafi. Setelah
mengetahui hal itu, ibunya menyampaikan semua
keinginan kepada Hanafi mengenai kawin dengan
anak mamaknya, yaitu Rapiah. Dengan hati-hati ibu
Hanafi menyabarkan mamaknya yang sudah bosan
menunggu lama sekali.
Dengan hati yang berat akhirnya, Hanafi
menjalani permintaan ibunya untuk menikahi
Rapiah. Dari perkawinannya Hanafi dikaruniai anak
laki-laki bernama Syafei. Perkawinan Hanafi dengan
Rapiah justru memisahkan Hanafi dari lingkungan
pergaulannya. Semua itu terjadi akibat
perkawinannya dengan Rapiah. Akhirnya semua
orang yang ada dimarahi karena Hanafi merasa
dijauhi dari teman-teman pergaulannya.
Pada suatu hari, ketika Hanafi mengeluarkan
kata-kata kasar kepada ibunya terpaksa ibunya
hanya diam saja, menangis, dan meratapi dirinya
menyesal mempunyai anak yang sudah tersesat.

120
Ibunya memohon kepada Tuhan agar anaknya
ditunjukan jalan kebaikan dan penuh kerahmatan
serta kembali ke jalan yang baik. Entah apa
namanya, apa memang laknat dari Allah atau
hanya suatu kebetulan; suatu ketika Hanafi sedang
tiduran di bangku panjang tiba-tiba ada anjing gila
masuk dan menggigit tangan Hanafi. Dia terpaksa
harus berobat ke Jakarta, karena rumah sakit di
Padang kurang memenuhi sarat atas penyakit yang
diderita Hanafi.
Di saat-saat pikirannya kacau dan hatinya
tidak tenang, Corrie bertemu kembali dengan
Hanafi di jalan yang kebetulan Hanafi sedang mau
berobat. Hal itu akhirnya mereka menjalin
hubungan kembali. Hanafi sangat bergembira
karena setiap hari dia bisa menjalin dan
mengharapkan bisa mendekati Corrie kembali.
Hanafi bercerita tentang istrinya (Rapiah), yang
mau diceraikan dan keluar dari agama serta
berpisah dengan ibunya. Hanafi berusaha keras
untuk dipersamakan haknya dengan bangsa
Belanda, dengan kekuatan hukum telah keluar dari
bangsanya dan sudah sama kedudukannya dengan

121
Belanda, sehingga tidak ada halangan lagi baginya
untuk meminang Corrie.
Pada suatu hari, datanglah surat dari Hanafi
yang isinya memulangkan Rapiah kembali ke
ibunya karena istrinya itu dianggap pemberian
ibunya dan Hanafi mengatakan bahwa haknya
sudah sama dengan bangsa Belanda. Dengan
demikian, dia sudah melepaskan diri dari adat dan
bangsa, walaupun demikian dia tidak putus
hubungan dengan ibunya.
Akhirnya, Corrie dan Hanafi melangsungkan
perkawinan secara diam-diam dan mereka
menempuh hidup baru. Perkawinan itu justru
tidaklah mendatangkan kebahagiaan karena selalu
ada percekcokan antara mereka. Puncak
permasalahan mereka terjadi ketika Corrie sering
didatangi Tante Lien, seorang pecatut nyonya-
nyonya rumah tangga. Akhirnya tanpa usut-panjang
Hanafi telah menuduh Corrie berbuat serong
dengan laki-laki lain dan perceraian pun tidak dapat
dielakan lagi.
Berkaitan dengan penyelesaian masalah itu,
Corrie memutuskan untuk mencari pekerjaan di
kota lain. Dengan pertolongan nyonya tempat ia

122
menumpang tidur dan lain-lain, ia berangkat ke
Semarang untuk bekerja di rumah tumpangan anak
yatim piatu.
Sementara itu, Hanafi sudah sadar bahwa
istrinya itu tidak bersalah dan dicobahnya untuk
menyusul ke Semarang. Akan tetapi, Corrie sudah
berpesan pada orang tua itu, untuk sementara ia
tidak ingin diganggu dengan kedatangan suaminya.
Dalam keadaan sudah tersisi dari teman-
temannya dan penyesalannya karena
meninggalkan Corrie ditambah lagi tuduhan dari
teman-teman membuat Hanafi menjadi putus asa
dan kembali merenungi nasibnya yang malang itu.
Dalam keadaan seperti itu, teringatlah dia kembali
kepada ibunya yang selama ini sangat
mengasihinya, tetapi dia telah menyakitinya dan
mengecewakan ibunya.
Di sisi lain, Hanafi teringat pula Rapiah, di
samping itu berdiri pula Corrie dalam ingatannya,
seorang gadis yang dinilainya tidak ada cacatnya,
hanya dia (Hanafi) jugalah celaka yang telah
menyia-nyiakan perampuan itu. Akhirnya, Hanafi
menyusul ke Semarang, dia meminta maaf agar
Corrie menerima kembali kehadirannya. Akan

123
tetapi, Corrie yang sedang sakit hanya berpesan
agar Hanafi hidup lurus dan percaya kepada Tuhan.
Tidak lama kemudian, Corrie menghembuskan
nafasnya dengan tenang.
Selesai pemakaman Corrie, Hanafi pulang ke
Solok, padang untuk meminta maaf kepada ibunya
dan ingin sekali bertemu kapada anaknya. Dia
mengharap kelak jika besar agar Syafii mendapat
pendidikan yang cukup dari Barat, tetapi
asuhannya menurut orang Timur. Kedatangan
Hanafi di kampungnya tidak kembali kepada
Rapiah, tetapi dia hanya ingin sendiri karena dia
tidak mencintainya. Dia merasa bersalah kepada
Corrie dan dikejar-kejar rasa bersalah, dia sakit dan
akhirnya meninggal dunia.

3. Pembacaan Postkolonial
a) Ras
Dari abad ke-16 sampai 18, kata ras sering
dibaca sinonim dengan berbagai bentuk kolektivitas
sosial seperti kerabat, garis keturunan, rumah,
keluarga. Ras menjadi penanda suatu komunikasi
yang dibayangkan, suatu ungkapan yang telah
dipakai oleh Benedict Anderson dalam

124
hubungannya dengan bangsa. Baik bangsa maupun
ras dibayangkan sebagai komunitas-komunitas
yang mengikat sesama manusia dan menarik batas
antara mereka dengan kelompok lain (Loomba,
2003:154).
Selanjutnya, ras berfungsi sebagai salah satu
penanda yang kuat meski paling rapuh untuk
identitas manusia, yang sulit dijelaskan dan
diidentifikasi, dan bahkan lebih sulit lagi untuk
dipertahankan. Ras sebagai suatu konsep
menerimamakna-makna secara kontekstual dan
dalam relasi dengan kelompok-kelompok sosial
lainya, seperti kelas dan jenis kelamin (Loomba,
2003:158). Dewasa ini, warna kulit (putih dan sawo
matang) telah menjadi penanda utama untuma ras-
ras atau identitas rasial, yang sebenarnya dibentuk
oleh penerimaan-penerimaan adanya perbedaan
agama, bahasa, jenis kelamin, kelas, dan etnik.
Berkaitan dengan, salah satu novel Salah
Asuhan karya Abdul Muis, tokoh Corrie di
tempatkan pada kelompok ras biologis, dengan
kecantikan keindahannya, Corrie menjadi tumpuan
perhatian tokoh lain, yaitu Hanafi, Corrie, gadis
Indo-Eropa yang pergaulan, pendidikan, dan

125
pengaruh pergaulan masyarakat ambtener Belanda
disekelilingnya, merasa dirinya lebih tinggi dari
pada orang-orang pribumi, kecuali ibunya sendiri
yang dianggap perempuan Bumiputra yang terbaik.
Menurut Corrie orang sebaik ibunya bukan pribumi
lagi. Dari pandangan Corrie tersebut tampak sekali
bahwa kaum pribumi sangat rendah derajatnya.
Dengan label keindohannya pula, Corrie
ditempatkan sebagai seorang perempuan yang
mempunyai pandangan dan pemikiran yang lebih
luas dari Hanafi. Dengan label keindohannya pula,
Corrie memiliki sifat ketinggian bangsa, dan sifat
inilah yang menimbulkan perang batin dalam
dirinya tatkala bersahabat dengan Hanafi.
Ras, yang melekat pada Corrie merupakan
satu penanda yang dapat dipertentangkan dengan
ras lainnya. Meskipun Corrie dilahirkan dari buah
perkawinan antara Tuan du Busse, seorang warga
Perancis yang menikah dengan seorang perampuan
pribumi (Padang). Namun, Corrie labih menunjukan
keeropahannya daripada keindonesiaannya.
Sistem patriakhal (garis laki-laki atau kebapakan)
menempatkan dan manjadikan Corrie pada ras
Eropa, bukan ras Indonesia.

126
Dalam pemahaman ras, Hanafi dapat
ditampilkan sebagai wakil dari masyarakat yang
termasuk dari kelompok ras geografis. Hanafi
adalah seorang pemuda Minangkabau yang
melakukan pemberontakan terhadap label ras-nya.
Hanafi merasa menyesal dan sedih dengan status
pribuminya. Dia tidak menerima apa yang
menjadikan sekarang, sehingga dia bisa sekolah ala
Barat dan bisa berkesempatan bergaul dengan
orang-orang Belanda.
Diskriminasi ras terjadi karena adanya
ketegangan antara kelompok ras yang kuat
(penjajah) menekan kelompok ras lemah (terjajah).
Kaum pribumi merupakan masyarakat yang
menempati posisi marginal. Menurut pandangan
bangsa Eropa (Barat), bangsa Timur adalah bangsa
yang rendah. Pandangan itu terjadi karena adanya
sifat kesombongan bangsa, sifat itu merupakan
penyakit yang sulit disembuhkan. Orang Barat
merasakan bahwa datang ke Indonesia sebagai
orang yang dipertuan. Perbedaan antara bangsa
Barat dan bangsa Timur sangat jelas dapat dilihat
melalui dialog Tuan du Busse dengan Corrie, seperti
kutipan berikut ini.

127
Contoh sudah banyak, Corrie sudah tentu
banyak juga di antara bangsa Barat yang
memandang sama akan segala bangsa di dunia
ini, atau sekurang-kurangnya tidak sangat
memandang hina akan bangsa Timur tetapi
sebahagiaan yang terbesar masih meyakini
kata: Kipling seorang pujangan Inggris, Timur
tinggal Timur, Barat dan tinggal Barat, dan
tidaklah keduanya akan menjadi satu (hlm. 21).

Diskriminasi ras lainnya, tampak pula pada


pandangan orang-orang Barat yang menjadi
sahabat Tuan du Busse. Sahabat-sahabat Tuan du
Busse memandang hina istri Tuan du Busse yang
berasal dari kaum pribumi (bumi putra).
Di dalam pergaulan hidup, sunggh tampaklah
orang Barat dan orang Timur memperlihatkan
bencinya kepada kami berdua, tapi yang
terlebih sekali benci ialah orang Barat kepada
ibumu (hlm.18).

Perbedaan ras antara Barat dan Timur telah


menimbulkan kebencian ras tersebut. Orang Barat
merasa benci kepada orang Timur dan sebaliknya
orang Timur pun merasa benci kepada orang Barat,
apalagi bila telah terjadi perkawinan campuran dari
kelas ras yang berbeda itu.
Adanya diskriminasi ras menyebabkan
ketertekanan pada kelompok ras yang

128
didiskriminasikan. Ketertekanan itu bisa
menyebapkan pemberontakan, seperti hanya yang
terjadi pada diri Hanafi. Dia seorang pribumi
merasa tersiksa dengan statusnya sebagai seorang
pribumi. Dia mengadakan pemberontakan
terhadapa diskriminasi rasia (race) dan Hanafi
menempatkan diri sebagia seorang Indonesia yang
kebelanda-belandaan. Hanafi menganggap bahwa
dengan menjadi Belanda akan lebih berharga dari
pada menjadi seorang inlander. Hanafi berusaha
menempatkan dirinya sebagai seorang Belnada
sejati. Ketika Hanafi melakukan pendekatan
kembali terhadap Corrie, Hanafi dengan rela hati
keluar dari bangsanya dan berusaha keras untuk
dipersamakan hakanya dengan bangsa Belanda.
Dengan kekuatan hukum (wet), Hanafi sudah keluar
dari bangsanya dan sudah sama kedudukannya
dengan bangsa Belanda Hanafi merasa sangat
gembira karena merasa tidak akan ada halangan
lagi baginya untuk meminang Corrie. Pada tahap
ini, Hanafi merasa puas telah meningggalkan
kebumiputraannya. Namun, ternyata tindakannya
itu merupakan tindakan yang sesat, karena pada
akhirnya Hanafi harus terbuang dari golongannya

129
dan dihancurkan oleh masyarakat lingkungan Barat
yang menolak kehadirannya bersama Corrie ke
dalam lingkungan mereka. Hanafi merasa
disisihkan oleh kawan-kawannya. Dengan
bangsanya sendiri tidak mau berteman karena
orang Melayu ada-ada saja cacatnya bagi Hanafi.
Begitu pula Corrie oleh bangsanya dari pergaulan.
Mereka menganggap bahwa Corrie telah
membuang diri dengan perkawinannya dengan
orang Melayu (Minangkabau). Mereka hidup
terpencil, tidak ke Barat, tidak juga ke Timur.
Dalam hal ini, Hanafi dan Corrie bila di tempatkan
pada suatu posisi, maka mereka berada pada
ketidakbertempatan.
Hanafi yang kebelanda-belandaan
menunjukan ekspresinya dari ketertekanan tentang
status yang dipandang rendah. Dia memberontak
tentang status kebumiputraannya. Untuk tujuan itu,
Hanafi berusaha menikahi Corrie, tetapi pada
akhirnya Hanafi tetap tidak mendapat pengakuan
dari masyarakat lingkungan Barat. Diskriminasi ras
tidak dapat terpisahkan dari politik. Bangsa Barat
yang berkedudukan sebagai penjajah memiliki

130
kekuatan politik dalam mencapai tujuan dan
menguasai kaum terjajah.
Ketika Hanafi menjadi orang Indonesia yang
kebelanda-belandaan, yang menganggap menjadi
Belanda lebih berharga dari pada menjadi seorang
inlander, yang menganggap ibunya sendiri (yang
asli Indonesia) sebagai seorang kotor dan mengejek
istrinya yang didapat secara adat, sebagai tokoh
yang menjauhkan dirinya dari kawan-kawan Eropa.
Pada hakekatnya, yang menyedihkan dari
pendidikan kolonialisme terhadap bangsa
Indonesia, yaitu tokoh Hanafi sebagai bangsa
Indonesia yang dididik menjadi anjing Belanda,
tetapi tidak sadar akan keanjingannya, dan dia
justru sadar akan sikap kebelandaannya yang oleh
kaum Belanda sendiri tidak diakui. Oleh karena itu,
sekalipun Hanafi sudah minta dipersamakan
haknya dengan warga negara Belanda, pada
hakekatnya dia selalu dijauhi oleh orang-orang
Belanda sendiri (merupakan politik Belanda yang
menjadikan orang Indonesia sebagai antek
Belanda). Pada konsep pendidikan Barat untuk
menjadikan anjing inilah, pada umumnya
pendidikan yang menjadikan orng Indonesia

131
semata-mata sebagai antek-antek Belanda dalam
Salah Asuhan ini ditentang keras oleh Abdul Muis.
Abdul Muis memberikan ganbaran tentang faham
kebangsaan dalam Salah Asuhan terungkap dalam
berbagai dialog, di antaranya dialog antara tuan du
Busse dengan Corrie yang mempersalahkan
perkawinan campuran. Menurut Tuan du Busse
bahwa setiap manusia selalu dihinggapi suatu
penyakit kesombongan bangsa artinya setiap orang
menjujung tinggi martabat bangsa. Hal itu terlihat
sebagai berikut.
Kawin canpuran itu sesungguhnya banyak benar
rintangannya,yang timbulkan oleh manusia juga,
corrie! Karena masing-masing manusia
dihinggapi oleh suatu penyakit, “kesombongan
bangsa“. Sekalian orang ,masing-masing
manusia dihinggapi oleh suatu
penyakit,”kesombongan bangsa”. Sekalian
orang masing-masing dengan perasaanya
sendiri,menayalhi akan bangsanya, yang
menghubungkan hidup kepeda bangsa yang
lain, meskipun kedua orang menjadi satu suami
istri itu sangat berkasih-kasihan. Tapi asal kedua
yang dikatakan, “berkesalahan itu” sama-sama
meneguhkan hatinya, tiadalah kana menanganai
pada dirinya segala nista dan cerca orang lain
itu. Lihat sajalah keadaanku dengan namamu.
Bangsa dan kaum kerabatnya sekali-kali tidak
suka ia hidup bersama dengan aku,pun
bangsaku menyalahi benar akan perbuatannya
itu (hlm.14).

132
Corrie sebagai gadis Indo-Eropa dipolitisasi
sebagai pahlawan dengan maksud untuk
mengagungkan bangsa Belanda, bahwa Belanda
tidak ada celanya. Perceraian Hanafi dengan Corrie
atau ditolaknya Corrie bekerja pada sebuah
perusahaan, dilukiskan hanyalah sebagai akibat
fitnahan belaka. Dalam pengasingannya di
Semarang Corrie meninggal dunia karena dijangkiti
penyakit kolera. Bagaimanapun juga gambaran
kehidupan Corrie yang demikian mengandung
simpatik, ia meningggal dunia sebagai pahlawan,
sebagai korban fitnah dari suaminya. Sosok Hanafi
yang telah memfitnah Corrie berzinah merupakan
simbol antipati bangsa Barat terhadap pribumi
(Bumiputra) dan terkesan pula adanya suatu
pembelaan tentang ketangguhan Barat. Meskipun
Barat hancur, namun hancurnya itu sebagai
pahlawan yang meninggalkan berbagai jasa kepada
pribumi. Kehancurannya itu bukanlah semata-mata
karena kelemahan Barat, tetapi akibat fitnah dari
bangsa Timur. Walaupun Corrie merupakan hasil
perkawinan campuran, tetapi ia menganggap
ibunya sebagai perempuan pribumi yang baik dan
dianggap telah memenuhi kriteria Barat. Hal inilah

133
yang menunjukan pola pikir orang-orang Eropa
dalam bermain politik kolonialisme bahwa
bangsanya jauh dari cela dan noda.

b) Identitas Kultur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990:131), kebudayaan diartikan sebagai (1) hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia,
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat-istiadat;
(2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi
pedoman tingkah lakunya; (3) hasil akal budi dari
alam sekelilingnya dan dipergunakan bagi
kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan timur
merupakan keseluruhan cara hidup bangsa-bangsa
di belahan bumi bagian timur, sedangkan
kebudayaan barat adalah keseluruhan cara hidup,
cara berpikir, dan pandangan hidup bangsa-bangsa
di dunia bagian Barat.
Dalam masyarakat Minangkabau perkawinan
merupakan ikatan dua keluarga atau kerabat, yaitu
kelompok kerabat suami dan kelompok kerabat istri
(Melalatoa via Faruk, 1995:572). Perkawinan yang

134
dilakukan oleh Hanafi dan Corrie tidak
menimbulkan keromantisan keduanya, tetapi justru
malah menimbulkan permasalahan antara
keduanya dan kerabat saudara dari Hanafi sendiri.
Oleh karena itu, pertimbangan posisi dan martabat
antara kedua kerabat pun mendapat perhatian
yang besar. Di sisi lain, Corrie dan keluarga Indo-
Eropa, sedangkan Hanafi dari kaum pribumi (Bumi
putra). Dalam masyarakat Minangkabau bila laki-
laki mendapatkan istri dari luar Minangkabau
berarti dia sudah melepaskan diri dari ikatan
keluarganya.
Di samping itu, juga harus
mempertimbangkan asal-usul kerabat, perkawinan
dalam masyarakat Minangkabau juga
mempertimbangkan asal daerah. Menurut Navis
(1986:194-195), perkawinan ideal bagi masyarakat
Minangkabau adalah perkawinan antara dua orang
yang berasal dari daerah Minangkabau. Hal ini
terkait juga dengan sistem matrilineal (garis
keturunan ibu), karena sistem ini juga
mempengaruhi struktur adat yang disepakati oleh
masyarakat itu. Berawal dari alasan struktur adat
itu, dalam perkawinan ini terdapat pembedaaan

135
antara laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki
Minangkabau tidak diperbolehkan menikah dengan
perempuan yang berasal dari luar daerah
Minangkabau. Menganai hal serupa Corrie adalah
bukan perempuan murni atau gadis murni
Minangkabau, karena gadis keturunan Bapak Tuan
du Busse dari warga Perancis, sedangkan ibu dari
Solok, Padang.
Perkawinan antara seorang laki-laki
Minangkabau dengan perempuan yang berasal dari
luar daerah Minangkabau dipandang sebagai
perkawinan yang akan merusak struktur adat,
karena anak yang lahir dari perkawinan itu tidak
dianggap bersuku bangsa Minangkabau. Selain itu,
datanglah istri dari luar daerah Minangkabau juga
dianggap sebagai beban bagi suami yang
seharusnya bertanggung jawab pada sanak
saudara dan kaumnya. Sebaliknya, perkawinan
antara perempuan yang berasal dari daerah
Minangkabau dengan laki-laki yang berasal dari
luar daerah Minangkabau diperbolehkan, karena
anak yang lahir dari keduanya tetap diakui bersuku
Minangkabau sehingga tidak akan mengubah
struktur adat. Dengan penjelasan ini, dapat

136
dipahami bahwa pola perkawinan yang berlaku
dengan masyarakat Minangkabau seperti ini
dilakukan bukan karena keeklusifan latar belakang
sistem komunal dan kolektivisme yang di
antaranya. Sistem ini akan utuh jika tidak dicampuri
oleh orang yang berasal dari luar daerah
Minangkabau (Navis, 1986:194-195).
Masyarakat Minangkabau menganut sistem
matrilineal (garis keturunan ibu). Berkaitan dengan
penerapan sistem ini, masyarakat Minangkabau
mempunyai model pengaturan pertemuan antara
suami dan istri yang berbeda dengan kehidupan
suami dan istri pada umumnya. Dalam kehidupan
selanjutnya, posisi suami dipandang sebagai tamu
dan diperlakukan sebagai tamu yang akan
memberikan keturunan dalam keluarga (Naim,
1984:19; Melalatoa via Faruk, 1995:572).
Pandangan seperti ini membawa dampak pada
pengaturan peran keluarga. Laki-laki sebagai suami
bagi istrinya dan ayah bagi anak-anaknya berfungsi
sebagai orang lain bagi keluarganya karena posisi
dan tanggung jawabnya telah beralih kepada
mamak (saudara laki-laki ibu). Masalah-masalah

137
yang timbul dalam keluarga ditangani oleh seorang
mamak yang dianggap sebagai majikan rumah.
Dalam perkembangannya, saat ini posisi laki-
laki sebagai tamu tidak diterapkan lagi
dimasyarakat. Seorang suami tetap berfungsi
seperti lazimnya seperti seorang kepala keluarga di
dalam rumah tangganya (Depdikbud via Faruk,
1997:26). Menurut Basa (1999:31-32), pergeseran
peran ini dipengaruhi oleh zaman dan pengaruh
kedekatan hubungan darah yang memungkinkan
munculnya ikatan hati.
Kepentingan perkawinan dalam masyarakat
Minangkabau lebih berarti dari pada kerabat pihak
perempuan, meskipun perkawinan itu melibatkan
dua kerabat besar. Pihak perempuan menjadi
pemrakarsa perkawinan, mulai dari mencari jodoh,
meminang, menyelenggarakan perkawinan, sampai
pada urusan rumah tangga setelah perkawinan
berlangsung (Navis, 1986:210). Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari sistem matrilineal lebih
mengedepankan posisi perempuan.
Dalam masyarakat Minangkabau, mencari
jodoh untuk seorang gadis dewasa menjadi beban
yang sangat berat bagi pihak perempuan.

138
Masyarakat akan menganggap gadis yang sampai
tua belum mendapat jodoh itu menderita cacat
turunan. Seorang perawan tua yang belum
mendapat jodoh akan menjadi aib bagi seluruh
kaum dan mereka akan melakukan segala upaya
untuk menutupi aib yang akan merendahkan harga
diri kaum tersebut (Navis, 1986:210). Pihak
perempuan akan menggadaikan barang warisan
untuk memberikan harta yang banyak kepada
pihak laki-laki, bahkan dalam keadaan mendesak,
pihak perempuan akan mempertimbangkan laki-
laki tanpa memandang usia atau status, asalkan
sepadan dengan martabat sosial mereka.
Berkaitan dengan hal di atas, Abdul Muis
dalam Salah Asuhan menampilkan persoalan
zamannya, yaitu perbenturan antara dua
kebudayaan, Barat dan Timur. Novel Salah Asuhan,
yang menampilkan sosok Hanafi yang memperoleh
pendidikan di masa kolonialisme, yang lebih baik
tentang adat kebiasaan dan kebudayaan
bangsanya sendiri akan mengakibatkan dia salah
menempuh jalan (kehilangan indentitas budaya
akibat krisis budaya pada dirinya) dan dia tidak bisa
melihat sisi yang baik pada bangsanya sendiri. Dia

139
terlalu membanggakan bangsa orang lain, yaitu
Belanda.
Tokoh Hanafi merupakan gambaran pemuda
zaman itu, yang silau terhadap mata hatinya pada
permulaan ketika berhadapan dengan glamour
kebudayaan Barat, yang digambarkan pada diri
Corrie. Adat dan kebudayaan Timur dipandang
kuno dan kolot, yang akan menghambat kemajuan
zaman. Akibatnya kaum inteleks yang
berpendidikan Barat yaitu dilambangkan dengan
Hanafi, menjauhi adat dan kebudayaan serta
memeluk kebudayaan Barat. Sosok Hanafi merasa
menjadi orang Barat dan selalu ingin dianggap
menjadi seorang Barat, bahkan minta
dipersamakan haknya dengan orang Barat. Dia
selalu memiliki pandangan bahwa orang yang tidak
setingkat dengannya, hanya pantas sebagai babu
atau pelayan saja. Hal ini menunjukan, betapa
Hanafi memandang rendahnya kebudayaan dan
adat-istiadat bangsanya, yaitu bangsa Timur. Hal ini
terjadi karena Hanafi berada pada krisis identitas.
Jelas tidak mungkin Hanafi dapat menghargai dan
mencintai Rapiah, karena dia membenci
kebudayaan Timur, sementara Rapiah merupakan

140
sosok perempuan yang memegang teguh adat
ketimuran.
Selanjutnya, Hanafi sebagai seorang yang
mengalami krisis identitas kebudayan, yang pada
akhirnya dia meninggalkan budayanya sendiri.
Secara jelas dia tidak memiliki identitas budaya
karena budaya Timur yang menjadi identitasnya
telah ditinggalkannya, sementara budaya Barat
yang diakuinya sebagai identitas baru, pada
akhirnya tidak memperkokoh keberadaan, jati diri,
dan pengakuan. Oleh karena, orang-orang Barat
tidak menerima Hanafi sebagai orang Belanda.
Dalam Salah Asuhan digambarkan pula
banyak kontradiksi jika seorang Timur memeluk
kebudayaan Barat. Kontradiksi yang utama yaitu
timbulnya pertentangan di dalam diri pemeluk
kebudayaan itu.
“Pa! Apakah halangan antara perkawinan antara
orang Barat dan orang Timur?”
“kawin campuran itu sesungguhnya banyak
benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh
manusia juga, Corrie! Karenamasing-
masingmanusia dihinggapi oleh suatu penyakit,
“kesombongan bangsa”. Sekalian orang,
masing-masing dengan perasaannya sendiri,
menyalai akan bangsanya, yang
menghubungkan hidup kepada bangsa lain,
meskipun kedua orang menjadi satu suami istri

141
itu sangat berkasi-kasihan. Tapi asal kedua yang
dikatakan, “berkesalahan itu” sama-sama
meneguhkan hatinya, tiadalah akan menganai
pada dirinya segala nista dan cerca orang lain
itu. Lihat sajalah keadaanku dengan mamamu.
Bangsa dan kaum kerabatnya sekali-kali tidak
suka ia hidup bersama dengan aku, pun
bangsaku menyala benar akan perbuatanku itu
(hlm.14).

Menurut pandangan Barat, rintangan


perkawinan campuran di antaranya setiap manusia
itu selalu dihinggapi suatu penyakit yang berupa
kesombongan bangsa. Dengan adanya penyakit
kesombongan bangsa itu, maka tidak akan ada
persamaan pandangan. Rintangan kedua,
perkawinan campuran akan menimbulkan konflik di
antara dua ras (kaum kerabat) yang berbeda,
karena akan saling cerca dan saling menyalahkan.
Rintangan ketiga, yaitu adanya sikap yang
mendasar tentang: kekuasaan bahwa orang Barat
datang ke Indonesia merupakan orang yang
dipertuan, bila terjadi perkawinan akan timbul
pandangan hina dari orang-orang Barat. Jika laki-
laki Barat datang ke Indonesia atau mengambil
istri, hal tersebut tidak menimbulkan pandangan
yang jelek. Jika laki-laki Bumiputra mengawini Indo-

142
Eropa dan memiliki anak, maka perbuatan tersebut
dipandang telah menghinakan dirinya sebagai
bangsa Barat; dan dikatakan membuang diri
kepada orang pribumi, atau dipandang telah
mengurangi derajat bangsa Eropa.
Kegelisaan seksual itu sebagai kegelisahan
biologis pelaku perkawinan campuran karena telah
tersisih dan di anggap hina baik oleh bangsa Timur,
maupun oleh lingkungan orang-orang Barat itu
sendiri. Tekanan psikologis yang kuat terjadi bila
wanita Barat manikah dengan laki-laki pribumi dan
melahirkan anak, maka itu merupakan suatu iab.
Anak dari hasil perkawinan campuran itu menjadi
halangan dan sekaligus menjadi korban
kesombongan bangsa. Hal ini dapat dipandang
sebagai kegelisahan seksual secara biologis
(keturunan).
Kegelisahan seksual pada masa kolonialisme
yang dihadapi oleh bangsa Timur yang
berhubungan dengan perkawinan campuran, bahwa
bangsa Timur pun memandang perkawinan
campuran itu akan menimbulkan masalah, seperti
dikhawatirkan oleh ibu Hanafi.
Maksud anaknya akan beristrikan anak Belanda
itu, saja amat bertentangan dengan

143
perasaannya, bukan saja menjadi keyakinan
baginya bahwa perkawinan yang serupa itu
kelak menceraikan dia dengan anaknya, dari
dunia sampai akhirat. Pada Hanafi sudah nyata
tak ada keteguhan hati di dalam agamanya,
sedang bangsanya sendiri pun sudah di
belakanginya. Selama ini hanyalah ibu sendiri
yang menjadi tali perhubungan Hanafi dengan
dunia Minangkabau dan dunia Islam. Alangkah
jauhnya tersesat Hanafi itu, bila ia beristrikan
nyonya Belanda pula (hlm.52).

Kegelisahan seksual pada tataran ini


merupakan kegelisahan yang dialami seorang
perempuan yang berkedudukan sebagai seorang
ibu dari seorang anak yang berjenis kelamin laki-
laki yang bermaksud menikah dengan seorang
Indo-Eropa, yaitu Corrie. Kegelisahan secara
psikologis itu berupa rasa cemas yang mendalam
pada diri ibu Hanafi. Kecemasan ini memainkan
peranan yang penting dalam kepribadian ibu
Hanafi. Kecemasana yang dialami ibu Hanafi
terhadap prilaku anaknya yang bermaksud menikah
dengan Corrie meliputi kecemasan tentang
kenyataan suatu kecemasan objektif, dan
kecemasan moril.
Kecemasan tentang realita yang dialami ibu
Hanafi akibat adanya suatu pengalaman perasaan

144
sebagai akibat mengetahui suatu bahaya dalam
dunia luar. Terjadi ketika ibu Hanafi mengetahui
bahwa anaknya akan menikahi Corrie yang berasal
dari keturunan keluarga Barat yang secara
ideologis terdapat suatu perbedaan yang
mendasar. Perkawinan itu memisahkan antara dia
dengan anaknya. Perpisahan itu merupakan
perpisahan yang sangat hebat karena perpisahan
dunia akhirat.
Kecemasan moral yang dialami ibu Hanafi
merupakan suatu perasaan bersalah dalam
egoisme yang ditimbulkan oleh suatu pengalaman
pribadi mengenai pendidikan anaknya atau bahaya
dari hati nurani seorang ibu yang merasa bersalah
telah melakukan kesalahan, yaitu menyekolahkan
Hanafi ke jalur pendidikan kebarat-baratan
sehingga mendatangkan kepribadian Hanafi
menuju jalur yang menyesatkan.

4. Penutup
Dalam Salah Asuhan, Rapiah dianggap oleh
Hanafi sebagai perempuan kampungan yang tidak
tahu apa-apa. Corrie yang berubah secara tragis
setelah manikah dengan Hanafi, ia seorang gadis

145
yang lincah dan luwes menjadi nyonya yang
pendiam dan kaku, merupakan perempuan-
perempuan yang terbingkai oleh kekuasaan laki-
laki (Hanafi). Keduanya sebagai tempat sampah
pelempiasan kemarahan dan kesalahan Hanafi
yang lebih banyak dikuasai alam tidak sadarkan diri
dan mudah diperbudak oleh perasaannya, baik
dalam percintaan, maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
Kedua perempuan (Rapiah dan Corrie) dalam
pandangan (wacana) Hanafi harus memenuhi
segala standar yang ditentukan sesuai dengan
keinginannya (oleh struktur yang menguntungkan
Hanafi sebagai laki-laki). Nilai standar itu
merupakan nilai realitas objektif yang memintah
kepatuhan-kepatuhan sehingga menjadi praktik
yang terus-menerus berulang di dalam kehidupan
keluarga atau sosial.
Kepatuhan-kepatuhan sosial Rapiah dan Corrie
tidak terlepas dari ideologi nature dan culture atau
objek dan subjek perempuan (Rapiah dan Corrie),
yang ditempatkan sebagai objek dalam dunia laki-
laki (Hanafi). Dari hal tersebut dapat di
interpretasikan bahwa Hanafi telah menegaskan

146
dan melestarikan kekuasaan sebagai laki-laki
melalui berbagai instrumen, termasuk melalui
percintaan. Perempuan dalam wacana itu hanya
dijadikan komoditi yang mati, yang ditempatkan
dipihak yang selalu salah dan memandang Rapiah
sebagai perempuan desa yang tidak memiliki
kemampuan apapun dan sebagai perempuan yang
tidak layak berdampingan dengannya, sehingga
Rapiah selalu dipandang salah dan rendah.
Aspek kecenderungan dalam Salah Asuhan
merupakan himbauan untuk menjaga para pemuda
pribumi supaya tetap bersifat ketimuran walaupun
telah mengenyam pendidikan Barat. Selain itu,
perkawinan campuran dapat menjerumuskan orang
Timur ke dalam jurang kehancuran dan
menyeretnya kepada pribadi-pribadi yang limbung.

DAFTAR RUJUKAN
Bakar, Jamil, dkk. 1981. Sastra Lisan Minangkabau.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Bakar, Zainal, 2000. Perspektif Pendidikan, Sosial,
Budaya Minangkabau dalam Menghadapi
Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional
Perspektif Otonomi Daerah UNY.

147
Balai Pustaka. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Basa, Ahmad Hasen Datuk Pintu. 1999. Sistem
Kekerabatan di Minangkabau dalam Seri
Pengetahuan Adat Minangkabau 2.
Yogyakarta: Ikatan Mahasiswa Urang Awak.
Faruk, dkk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
, 1995. Perlawanan Atas Diskriminasi Rasial
Etnik. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Tera.
Loomba, Ania. 2003.
Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj. Hartono
Hadikusumo). Yogyakarta: Bentang Budaya
Muis, Abdul. 1999. Salah Asuhan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Orang
Minangkabau. Yogyakarta: Gadja Mada
University Press.
Navis, A.A. 1986. Menelaah Orang Minangkabau
dari Novel Indonesia Modem Bahasa dan
Sastra. Yogyakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.

148
BAB 8
RESEPSI SASTRA

Pada tahun 1953 Abrams menyodorkan empat


model dalam mendekati karya sastra, pendekatan
itu, antara lain: (1) ekspresi, penulis sebagai
pencipta; (2) pragmatik, pembaca sebagai
perespon (penyambut); (3) mimetik, kaitan karya
sastra dengan dunia nyata; (4) obyektif, karya
sastra sebagai struktur yang otonom.
Di dunia Barat, pendekatan ekspresif sangat
dominan lewat penyair, pencipta/pengarang sesuai
dengan aliran romantik. Pada tahun 1920-an minat
penyair, pengarang dan sebagainya berangsur-
angsur pindah ke karya sastra itu sendiri (otonom)
lepas dari sejarah dan penulis. Pendekatan karya
sastra tahun 1915-1930 berkembang formalis di
Rusia, strukturalisme di Praha dan Eropa Barat.

149
Pembawa pendekatan itu New Criticism ke AS,
antara lain: Jakobson dan Wellek. Di Perancis
Barthes, Levi-strauss menyajikan pendekatan
struktural sehingga mereka menjadi tokoh
terkemuka.
Pendekatan strukturalisme yang hanya
menekankan otonom karyaa sastra mempunyai dua
kelemahan pokok, antar lain: (1) melepaskan karya
sastra dari sejarah sastra; (2) mengasingkan karya
sastra dari sosial-budaya (Teeuw, 1983:61). Sejak
itu tahun 1960 para peminat sastra, yang semula
menyenangi struktur karya sastra beralih ke arah
pembaca (pragmatik).
Menurut Barthes (Teeuw, 1983:61-62),
penggabungan pendekatan obyektif dengan
pragmatik arena pembaca dipandangnya sebagai
penyingkap struktur karya sastra secara cukup
mutlak, sehingga unsure subyektivitas menjadi
makin kuat. Demikian juga akhir pembaca karya
sastra menjadi pencipta makna yang daya ciptanya
tidak kurang daripada kreativitas si penulis sendiri.
Pendekatan struktural yang mutlak dan statis
oleh Mukarovsky dan siswanya Vodicka
mengembangkan strukturalisme-Dinamik atas

150
dasar konsep semiotik untuk dapat memahami
sepenuh-penuhnya seni sebagai struktur dan ciri
khas sebagai tanda/sign (Teeuw, 1983:62).
Diperkuat idenya Jakobson (1960:62), tanda itu
baru bermakna sepenuhnya lewat persepsi
pembaca. Resepsi pembaca ditentukan oleh dua
fungsi, antara lain: (1) fungsi otonom-puitik, yaitu
terlaksana lewat kode sastra berdasarkan
pengalaman pembaca sastra (norma sastra); (2)
fungsi komunikatif, yaitu terlaksana lewat pembaca
sebagai pemberi makna (sistem masyarakat).
Pemahaman dan penilaian karya sastra terus
bergeser bermunculan angkatan baru, pembaca
selalu menemukan ketegangan ganda antara karya
sastra dan masyarakat. Menurut (Teeuw, 1983:62-
63), dengan dipertahankannya ilmu sastra dan
sejarah sastra, maka metode ilmiah yang otonom
berdasarkan ciri semiotik khas sastra tanpa
mengasingkan diri dari sejarah dan sosial.

1. Estetika Resepsi
Yang menjadi perhatian utama adalah
pembaca karya sastra di anatara jalinan segitiga
pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca

151
(Jauss, 1974:12). Hal ini disebabkan oleh kehidupan
historis sebuah karya sastra tidak terpikirkan tanpa
paritisipasi para pembacanya. Pembaca itu
mempunyai peranan aktif, bahkan merupakan
power pembentuk sejarah (Jauss, 1974:12). Karya
sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat
resepsi/respon para pembacanya. Menurut Jauss
(1974:12-13), apresiasi pembaca pertama terhadap
sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan
diperkaya melalui respon-respon yang lebih lanjut
dari generasi ke generasi.
Dengan cara ini makna historis karya sastra
akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap.
Sebuah karya sastra bukan obyek yang berdiri
sendiri dan yang memberikan wajah yang sama
kepada masing-masing pembaca di setiap periode.
Sebuah karya sastra jauh lebih merupakan
orkestrasi yang selalu menyuarakan suara-suara
baru di natara para pembacanya. Oleh karena itu,
sebuah karya sastra harus dimengerti sebagai
pencipta dialog, maka keahlian filosofis harus
didirikan pada pembacaan kembali teks secara
terus-menerus, tidak hanya ada fakta-fakta saja
(Jauss, 1974:14)

152
Dalam metode resepsi ini dikaji respon-respon
setiap periode, yaitu respon-respon sebuah karya
sastra oleh para pembacanya. Pembaca dalam
hubungan ini yang dimaksud adalah pembaca yang
cakap, bukan awam, yaitu para kritikus sastra dan
ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para
pembaca pada periodenya. Mereka ini seperti yang
dimaksudkan oleh Vodicka (1964:78), ahli sejarah,
para ahli estetika, dan kritikus. Para ahli sastra
setiap periode memberikan komentar-komentar
berdasarkan konkretisasi terhadap karya sastra
yang bersangkutan. Menurut (Vodicka, 1964:78-
79), pengonkretan makna karya sastra atas dasar
pembacaan dengan tujuan estetika; konkretisasi ini
istilah yang berasal dari Roman Ingarden.
Pendapat para ahli sejarah sastra, para ahli
estetika, dan para kritikus tidak selalu sama
mengenai norma tunggal yang benar sebab
memang tidak ada norma estetika tunggal yang
benar yang semacam itu (Vodicka, 1964:78-79).
Efek estetika karya sastra sebagai keseluruhan,
begitu juga konkretisasinya tunduk kepada
perubahan yang terus-menerus. Kekuatan karya
sastra tergantung pada mutu yang dikandung

153
secara potensial karya itu dalam perkembangan
norma sastra. Jika karya sastra dinilai positif,
bahkan bila norma berubah itu berarti bahwa karya
sastra tersebut mempunyai jangka hidup yang lebih
panjang daripada sebuah karya sastra yang
efektivitas estetiknya habis dengan lenyapnya
norma sastra pada masanya (Vodicka, 1964:79).
Dengan demikian, kajian dengan metode
estetika resepsi, seperti juga dikemukakan Segers
(1978:49), yakni: (1) merekontruksi bermacam-
macam konkretisasi karya sastra dalam masa
sejarahnya; (2) meneliti relasi di antara konkretisasi
dan karya sastra dengan konteks historis yang
memiliki konkretisasi itu. Aplikasi dari estetika
resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
sinkronik dan diakronik.
Sinkronik ialah cara analisis resepsi terhadap
sebuah karya sastra dalam satu masa/periode. Jadi,
di sini yang dianalisis resepsi (respon) pembaca
dalam satu kurun waktu. Namun, harus diingat
bahwa dalam satu kurun waktu itu biasanya ada
norma-norma yang sama dalam memahami karya
sastra. Akan tetapi, karena tiap-tiap orang itu
mempunyai horison harapan sendiri, berdasarkan

154
pengetahuan dan pengalamannya, bahkan juga
ideologinya, maka mereka akan merespon sebuah
karya sastra secara berbeda-beda. Misalnya saja
responsive pembaca yang berpaham seni untuk
seni akan berbeda dengan responsive pembaca
yang berpaham seni untuk masyarakat, dan
sebagainya.
Untuk mengetahui respon-respon yang
bermacam-macam itu dapat dikumpulkan respon-
respon pembaca yang menulis atau dapat
dilakukan dengan mengedarkan angket kepada
pembaca dalam kurun waktu tertentu. Dari hasil
angket yang diedarkan itu, dapat diteliti
konkretisasi dari masing-masing pembaca. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bagaimana sebuah
karya sastra itu pada suatu kurun waktu. Akan
tetapi, meskipun telah diketahui konkretisasi
pembaca terhadap karya sastra pada suatu kurun
waktu, namun nilai seni karya sastra tersebut
belum teruji secara historis.
Diakronik ialah akan menunjukkan nilai seni
sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah
dilaluinya. Penilaian diakronik dapat dilakukan
dengan mengumpulkan respon-respon pembaca

155
ahli sebagai wakil pembaca dari tiap-tiap periode.
Hal itu bisa diarahkan pada sebuah karya sastra itu
terbit, kemudian resepsi-resepsi pada periode
selanjutnya, dan periode kehadiran karya sastra
lain, masihkah karya itu bertahan. Dengan
demikian, akan dapat diketahui bagaimana nilai
estetika karya sastra berdasarkan resepsi-resepsi
pada setiap periode. Dalam analisis itu diteliti
dasar-dasar apa yang dipergunakan oleh pembaca
di setiap periode; norma-norma apa yang menjadi
dasar konkretisasinya. Bila sebuah karya sastra
dapat diketahui dasar konkretisasinya dan
penilaiannya di setiap periode yang dilaluinya,
maka dapat disimpulkan nilai estetiknya sebagai
karya seni sastra. Bila di setiap karya tersebut
mendapat nilai positif, hal ini berarti karya sastra
tersebut bernilai agung dan tinggi.
Menurut Jauss menginginkan adanya respon
pembaca dengan horizon harapan untuk
memahami dan menilai karya sastra. Horizon
harapan menurutnya bahwa seorang pembaca
terhadap karya sastra harus mempunyai wujud
sebuah karya sastra sebelum ia membaca karya
sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu

156
mempunyai konsep ataau pengertian tertentu
mengenai sebuah karya sastra, baik sajak, cerpen,
novel, dan sebagainya. Seorang pembaca itu
mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu
sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra
seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda,
lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode
dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda,
dan hal itu disebut cakrawala harapan. Cakrawala
harapan seseorang itu ditentukan oleh
pengalaman, pendidikan, kemampuan menalar,
dan sebagainya dalam merespon karya sastra.
Begitu juga halnya cakrawala harapan sebuah
periode.
Sependapat dengan itu, Segers (1978:41)
menyatakan tiga kriteria cakrawala harapan,
antara lain: (1) pengetahuan dan pengalaman atas
semua teks yang telah dibaca sebelumnya; (2)
norma-norma yang terpancar dari teks yang telah
dibaca oleh pembaca; (3) pertentangan antara fiksi
dan realita tentang kemampuan pembaca untuk
memahami, baik dalam horison sempit dari

157
harapan sastra maupun dalam horison luas dari
pengetahuan tentang kehidupan.
Selain itu, adanya perbedaan cakrawala
harapan itu, meskipun pembaca itu menentukan
makna karya sastra, tetapi tidak dapat diingkari
bahwa dalam karya sastra itu ada ruang-ruang
kosong yang harus diisi oleh pembaca, seperti
sebuah donat ditengahnya ada ruang yang kosong.
Hal itu juga berhubungan dengan sifat karya sastra
sendiri yang mengandung banyak tafsir
(polyinterpretable). Karya sastra itu merupakan
penjelmaan ungkapan yang padat makna, maka
hal-hal yang kecil tidak disebutkan, begitu juga hal-
hal yang tidak langsung berhubungan dengan
cerita (problem). Dengan demikian, setiap pembaca
diharapkan mengisi kekosongan tersebut.
Dipertegas oleh Iser (Segers, 1980:39), makin
banyak ruang-ruang kosong, maka karya sastra
makin bernilai. Tentu saja ada batasnya, yaitu bila
sebuah karya sastra terlalu banyak mempunyai
ruang kosong itu menyebabkan pembaca tidak bisa
mengisinya. Tentu hal ini menyebabkan kegelapan
dalam karya sastra. Wawasan horizon harapan dan

158
ruang kosong merupakan pengertian dasar untuk
memahami estetika harapan.
Dia mempertahankan pendapat mengenai
karya sastra dengan melakukan dialog dengan ahli
sastra aliran marxis di Jerman Timur. Anggapan
Jauss bahwa (1) sastra tidak hanya merupakan
pencerminan dunia nyata yang sifatnya ditentukan
oleh realita sosial-ekonomi; (2) sastra seringkali
mempelopori perkembangan masyarakat,
membayangkan realita sosial dengan pilihan
rekaan yang dalam realita belum terwujud sehingga
sastra mempunyai fungsi membina sistem
masyarakat, entah dengan cara memberontak
sistem lama atau mempertahankan sistem yang
baru/mapan (Teeuw, 1983:64). Contohnya: novel
Madame Bovary karya Flaubert dimuka pengadilan
Perancis (1857).
Selanjutnya, berkaitan dengan teori resepsi
yakni: tokoh semiotik Macheal Riffaterre, beliau
guru besar untuk sastra Perancis modern, pada
Columbia Universitay di New York, beliau
menganalisis puisi les chats karya Baudelaire
dengan perspektif semiotik. Dia menolak aliran
yang sudah ada atau aliran yang diberikan oleh

159
Jakobson dan Levi-Strauss (1962) berdasarkan
pendekatan struktural-linguistik.
Menurut Riffaterre (1966), penafsiran Jakobson
dan Levi-Satruss tentang sajak sama sekali keliru
dan tidak sesuai dengan sajak itu. Hal yang
dibongkar mengenai karya sastra tersebut
dianggapnya sama sekali tidak relevan untuk
pembaca dan bagi mereka sama sekali buta the
poem as reponse (sajak sebagai jawaban) tidak
menempatkan waktu dan sejarah puisi Perancis
yang fundamental (Teuww, 1983:64-65). Karya
sastra selalu merupakan jawaban terhadap
tantangan yang terkandung dalam perkembangan
sastra sebelumnya, mungkin secara kongkret
dalam sebuah sajak/kumpulan lain. Makna sebuah
sajak seringkali baru dapat digali secara lengkap
dan tuntas dalam rangka sejarah sastra itu.
Dalam makalah Riffaterre itu disempurnakan
lagi menjadi sebuah buku Semioties of Poetry
(1978) dalam pendekatan ini karya sastra sebagai
dialektik antara teks dan pembaca; di sisi lain karya
sastra sebagai dialektik mimetik dan semiotik.
Tugas pembacalah justru menemukan dan
menafsirkan respon yang terkandung dalam sajak

160
itu, tetapi hal itu tidak mungkin dengan data-data
dan fakta-fakta linguistik saja. Selanjutnya,
pembaca juga memberi makna pada karya sastra
dan harus mulai dengan menemukan arti (bahasa),
unsur-unsurnya, kemudian dia harus meningkat ke
semiotik di mana kode karya sastra dibongkar
secara struktural.

2. Paradigma Jauss
Sekitar tahun 70-an muncul aliran estetika
resepsi di Jerman Barat dengan pusat studi
Universitas Konstanz dipelopori Hans Robert Jauss.
Dia seorang medievis, peneliti sastra pada abad
pertengahan di Eropa Barat, beliau tidak puas
dengan pendekatan sastra saat itu, ialah sejarah
sastra secara konvensional. Secara kreatif tahun
1970 menerbitkan makalah dengan judul Sejarah
Sastra Sebagai Tantangan, makalah itu berisi kajian
motif, tema, dan biografi pengarang yang dianggap
tidak relevan. Pendapat di atas sama dengan
pendapat Vodicka dan Mukarovsky, karena tulisan
mereka belum diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman saat itu.

161
Jauss, lebih menitikberatkan pada segi
kesejarahannya, sedangkan Iser menitikberatkan
pada pembaca dan karya sastra secara individual
dan dalam dimensi waktu tertentu. Teori estetika
resepsi Jauss, banyak dipengaruhi oleh sejarah
menurut Schiller dan hermeneutik menurut
Gadamer.
Menurut Schiller (Jauss, 1983:5), seorang
sejarawan tidak hanya secara pasif
mendeskripsikan fakta masa lampau, tetapi juga
fakta kini yang di dalamnya ia ikut ambil bagian.
Selanjutnya, menurut Gadamer (Holub, 1984:39),
hermeneutik ialah cara menemukan sesuatu di
dalam teks. Adapun menurut Jauss (1981:136)
sendiri bahwa hermeneutik meliputi pemahaman,
penafsiran, dan penerapan. Pandangan Riffaterre,
Iser, dan Barthes dapat digolongkan dalam
kelompok konsep hermeneutik ini. Pengaruh
Schiller pada Jauss terlihat pada resepsi pembaca
sebelumnya, sedangkan pengaruh Gadamer terlihat
pada sudut pandang pembaca memahami,
menafsirkan, dan merefleksikannya.
Jauss adalah seorang filolog yang mencoba
memperbaharui teori filologi sebelumnya yang

162
hanya melihat kesejarahan teks tanpa
memperhatikan aspek hermeneutiknya. Tidaklah
berlebihan jika dia dianggap sebagai Bapak Filologi
Modern karena usahanya untuk memberikan
makna kepada karya sastra (teks) lama, meskipun
tidak dapaat dikesampingkan bahwa teorinya itu
berguna juga pada pemahaman sastra modern.
Jauss mencoba menjembatani kesenjangan
antara sastra dan sejarah, antara pendekatan
estetik dengan historis. Dia berangkat dari sudut
pandang yang kurang mendapat perhatian, baik
dari kaum Formalis maupun kaum Marxis. Kaum
formalis memandang fakta literer dalam lingkaran
tertutup produksi estetik, sedangkan kaum Marxis
memandang fakta literer sebagai lingkaran tertutup
penggambaran realita. Dengan kata lain, mereka
berusaha menghilangkan dimensi lain, yaitu
penerimaan dan pengaruhnya yang sebenarnya
tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri
estetik dan fungsi sosialnya. Pembaca, pendengar,
dan penonton (audiens) kurang diperhatikan dalam
kedua teori sastra itu. Estetika Marxis ortodoks
memperlakukan pembaca sama seperti
pengarang; meneliti posisi sosial atau

163
kedudukannya dalam masyarakat. Kaum formalis
menginginkan pembaca hanya sebagai subyek
yang mengikuti petunjuk di dalam teks untuk
membedakan bentuk sastra atau menemukan
langkah-langkahnya. Kedua motode ini kurang
memperhatikan peran pembaca yang
sesungguhnya, sebuah peran sebagai yang dituju
pertama-tama bagi karya sastra.
Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin
ada tanpa partisipasi aktif penerima. Hanya melalui
proses mediasi karya sastra masuk ke ruang
horison pengalaman yang selalu berubah dari
penerimaan sederhana menjadi penerimaan aktif,
dari norma-norma estetik yang telah dimilikinya
menjadi produksi (ks) baru yang mendominasi.
Kesejarahan sastra memiliki ciri-ciri komunikatif
yang mensyarakatkan adanya relasi dialogis dan
relasi proses antara karya sastra dan audiens,
sehingga hasilnya karya sastra baru dapat
dipandang sebagai pembawa pesan dalam
merespon, seperti pertanyaan dengan jawaban,
dan problem dengan solusinya. Jika sejarah sastra
dipandang dalam kontinuitas horison dialog antara
karya sastra dan audiens, maka oposisi antara

164
aspek histories dengan aspek estetis juga secara
terus-menerus dimediasi. Jalinan dari pengalaman
masa lampau sampai dengan pengalaman sastra
saat ini terjadi kesejarahaan yang telah membagi-
baginya, diikat kembali bersama-sama.
Hubungan karya sastra dengan pembaca
memiliki nilai estetik sebaik pengertian nilai
histories. Pengertian estetik terletak pada fakta
bahwa penerimaan pertama sastra oleh pembaca
melibatkan pengujian nilai estetik jika dibandingkan
dengan karya-karya sastra yang telah dibacanya.
Dalam hal pengertian histories dimaknai bahwa
pemahaman pembaca pertama akan didukung dan
diperkaya oleh mata rantai penerimaan dari
generasi ke generasi; dalam hal ini makna historis
karya sastra itu akan dapat ditentukan oleh nilai
estetik akan dijelaskan.

3. Tujuh Tesis Jauss


Pernyataan-pernyataan di atas, memunculkan
sebuah pertanyaan bagaimana sejarah sastra
secara metodologis diberi dasar agar jelas
pondasinya, kemudian hal itu dapat ditulis dan

165
dijelaskan kembali dalam tujuh tesis Jauss secara
rinci berikut ini.
Tesis 1
Pembaruan sejarah sastra menuntut
pembuangan prasangka obyektivitas histories
dan dasar-dasar estetika karya sastra dan
penggambaran realita yang tradisional.
Kesejarahan sastra tidak tergantung pada
organisasi fakta-fakta literer yang dibangun oleh
post festum, tetapi pada pengalaman kesastraan
sebelumnya oleh para pembacanya.

Karya sastra bukanlah obyek yang berdiri


sendiri menawarkan pandangan sama kepada
setiap pembaca dalam setiap periode. Karya sastra
bukanlah sebuah monumen yang secara monologis
menyatakan esensi/makna sepanjang masa. Karya
sastra lebih mirip sebagai orkestrasi yang selalu
memberi resonansi-resonansi baru di antara para
pembacanya dan membebaskan teks dari materi
kata-kata dan membawanya pada eksistensi
kontemporer. Koherensi karya sastra sebagai
sebuah peristiwa terutama terutama
dimediasikan/dijembatani dalam horizon harapan
pembaca, kritikus, dan pengarang yang lebih
dahulu. Mungkin tidak memahami dan
menggambarkan sejarah sastra dalam kesejarahan

166
yang unik, tergantung pada harison harapan
dinyatakan.
Tesis 2
Analisis pengalaman kesastraan pembaca
menyisihkan perangkap-perangkap psikologi
yang mengancam, jika analisis itu
mendeskripsikan penerimaan dan pengaruh
karya sastra dalam sistem-sistem harapan yang
dapat dinyatakan yang muncul untuk masing-
masing dalam momen historis kemunculannya,
dari pemahaman genre sebelumnya, dari bentuk
dan tema karya-karya sastra yang diakrabinya,
dan perbedaan antara poetika dan bahasa
praktis.

Tesis ini menentang skeptisisme luas yang


meragukan apakah analisis pengaruh estetika
dapat memberikan makna pada karya sastra atau
justru lebih berhasil daripada sosiologi pemahaman
yang sederhana.
Karya sastra, bahkan karya yang kelihatannya
barupun tidaklah benar-benar baru dalam
kekosongan informasi, tetapi mempengaruhi para
pembacanya dengan pemberitahuan, tanda-tandaa
yang mudah dan sulit, cirri-ciri yang akrab atau
sindiran yang tidak langsung. Semua itu
membangkitkan memori tentang apa yang telah
dibacanya membawa pembaca ke dalam tingka

167
laku emosional yang khusus dan dengan
permulaannya menimbulkan harapan-harapan pada
bagian tengah dan akhir, kemudian dapat
dipertahankan keutuhannya/dibalik diorientasikan
kembali/bahkan secara ironi disempurnakan dalam
pembacaan itu sesuai dengan aturan-aturan jenis
tertentu (tipe teksnya). Proses psikis dalam resepsi
tek situ, dalam horizon pengalaman estetika utama,
tidak hanya melalui seperangkat pengalaman
subyektif yang arbitrer, tetapi lebih memberikan
arahan-arahan khusus dalam proses persepsi
terarah, yang dapat dipahami sesuai dengan
linguistik tekstual. Teks yang baru menimbulkan
bagi pembaca harison harapan/aturan-aturan yang
akrab dari teks-teks yang telah dibaca sebelumnya,
dapat divariasikan, dibetulkan, diganti, dan
diproduksi.
Tesis 3
Jika direkonstruksi dengan cara ini, horizon
harapan karya sastra mengikuti salah satu untuk
menentukan cirri-ciri artistiknya dengan macam
dan tingkat pengaruhnya pada pembaca yang
ditentukan. Jika seseorang mengarakterisasikan
perbedaan antara horizon harapan dengan
pemunculan karya baru sebagai jarak estetik,
maka penerimaannya dapat menghasilkan
perubahan hiroson-horison melalui negasi
terhadap tingkat kesadaran. Dengan demikian,

168
jarak estetik dapat diobyektivasikan secara
histories sepanjang spectrum reaksi-reaksi
audiens dan penentuan kritik (keberhasilan yang
spontan, penolakan, penyetujuan di beberapa
bagian, pemahaman bertahap/ditunda).

Cara karya sastra pada momen histories


kemunculannya memuaskan, mengalahkan,
mengecewakan atau menolak harapan-harapan
audiens pertamanya benar-benar menyediakan
criteria untuk penentuan nilai estetiknya. Jarak
antara horizon harapan dengan karya sastra,
anataraa keakraban pengalaman-pengalaman
estetik sebelumnya dengan perubahan horizon
yang diharaapkan pada respon terhadap karya
baru, menentukan ciri-ciri artistik karya sastra
sesuai sudut pandang estetika resepsi. Semakin
kecil jarak estetik ini, yang berarti tidak ada
tuntutan-tuntutan pada kesadaran menerima untuk
membuat perubahan pada horizon pengalaman
yang tidak diketahui, semakin dekat karya itu
menjadi bacaan ringan. Sebaliknya, jika ciri-ciri
artistik karya sastra diukur dengan jarak estetik
yang dipertentangkan dengan pembaca
pertamanya, maka jarak estetik ini, yang pertama
kali dialami sebagai perspektif baru yang

169
menyenangkan/tidak dapat tidak muncul bagi
pembaca berikutnya pada tingkat yang sama
dengan penolakan keaslian karya yang telah
terbukti dengan sendirinya.
Dengan demikian, harapan-harapan yang
telah diketahuinya menjadi bagian dari pengalaman
estetik pembacaan sesudahnya. Misalnya karya-
karya klasik yang disebut karya agung termasuk
pada perubahan horizon yang kedua itu; keindahan
karya agung itu dan makna abadi yang tidak dapat
dipertanyakan kembali membuat karya itu dalam
pandangan estetik resepsi keadaaannya berbahaya
seperti mirip karya seni sebagai hiburan yang
mengasyikan. Usaha-usaha khusus diperlukan
untuk membaca karya sastra agung itu, tidak
dengan butir-butir pengalaman yang sudah menjadi
biasa sehingga ciri-ciri artistik karya itu dapat
diperoleh kembali
Tesis 4
Rekonstruksi horizon harapan dalam hal ini
karya sastra disipta dan diterima pada waktu
lampau, menyebabkan seseorang bertanya
kembali teks itu, dan mencoba menemukan
bagaimana pembaca saat ini memandang dan
memahami karya itu. Pendekatan ini
membenarkan norma-norma klasik yang tidak
dikenal/pemahaman seni (ks) modern, dan

170
mengbaikan jalan lain “semangat zaman” yang
umum.

Hal ini menimbulkan pandangan hermeneutic


yang berbeda dengan yang dahulu/kini; hal ini
menimbulkan kesadaran sejarah pada resepsi yang
memediasi kedua pandangan itu, dan membuang
diktum metafisik filologis yang telah mapan yang
mengaggap karya sastra sebagai karya abadi dan
memiliki makna obyektif serta ditentukan untuk
seterusnya.
Metode resepsi histories tidak dapat
dikesampingkan pemahaman karya sastra pada
waktu lampau. Ketika pengarang tidak dikenal,
maksudnya tidak dapat diketahui. Hubungannya
dengan sumber-sumber dan model-model hanyaa
hanya secara tidak langsung dapat diperoleh.
Pertanyaan filologis tentang bagaimana teks itu
seharusnya dipahami, sesuai dengan maksud dan
dimensi waktunya, dapat dijawab dengan baik jika
teks itu dipertimbangkan dalam perlawanannya
terhadap latar belakang karya itu yang diharapkan
oleh pengarang agar dipahami pembacanya, baik
secara eksplisit maupun implisit.
Tesis 5

171
Teori estetika resepsi tidak hanya memandang
makna dan bentuk karya sastra dalam
penjelasan histories pemahaman. Teori ini juga
menuntut kerja individu sebagai bagian dari
jajaran kerja lainnya, untuk mengetahui arti dan
kedudukan historisnya dalam konteks
pengalaman sastra. Di dalam tahapan dari
sejarah resepsi sastra ke sejarah sastra, yang
kedua ini memanifestasikan diri sebagai proses
resepsi pasif yang merupakan bagian dari
pengarang. Karya (pemahaman) berikutnya
dapat menyelesaikan masalah-masalah moral
dan formal yang ditinggalkan oleh karya
sebelumnya dan dapat menghadirkan masalah
baru bagi pemahaman berikutnya.

Tesis 6
Hasil-hasil yang dicapai dalam linguistik melalui
perbedaan dan interelasi metodologis analisis
sinkronis dan diakronis ialah penyempurnaan
observasi diakronis yang sampai kini menjadi
metode yang menjadi biasa dalam studi sejarah
sastra. Oleh karena, hal ini membuka perubahan
dalam perilaku estetik, perspektif sejarah
resepsi selalu menemukan relasi fungsional
antara pemahaman karya-karya baru dengan
makna karya-karya yang dahulu. Perspektif ini
juga dapat mempertimbangkan pandangan
sinkronis guna menyusun karya-karya yang
heterogen dan berbeda waktunya ke dalam
kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan
teratur sehingga didapat sistem relasi yang
umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.

172
Atas dasar semua itu dapat dinyatakan bahwa
pencapaian khusus karya sastra dalam masyarakat
dapat ditemukan hanya jika fungsi karya sastra itu
tidak dipahami sebagai karya imitasi. Jika
seseorang melihat momen-momen dalam sejarah
ketika karya sastra menumbangkan larangan (tabu)
moralitas yang sudah mengakar atau menawarkan
kepada pembaca penyelesaian baru terhadap
pendapat-pendapat yang salah dalam hidupnya,
kemudian akan didukung oleh kesepakatan semua
pembaca dalam masyarakat, terutama daerah
penelitian yang sedikit terbuka bagi para ahli
sejarah sastra.
Tesis 7
Perbedaan antara sastra dengan sejarah sastra,
antara estetik dengan pengetahuan histories
dapat dimediasi jika sejarah tidak hanya
menggambarkan karya sastra sebagai refleksi
proses sejarah umum, tetapi dalam evolusi
kesastraannya menemukan fungsi formatif
sosialnya yang benar-benar menjadi milik karya
sastra itu, secara bersama-sama dengan seni
dan power sosial lainnya dalam emansipasi
kemanusiaan dari ikatan sifat alamiah,
keagamaan, dan sosial. Jika kritikus sastra
menginginkan untuk mengatasi kekurangan
pada arti historis, maka teori estetika resepsi ini
mencoba menjawab pertanyaan, mengapa dan
untuk tujuan apa seseorang tetap mempelajari
sejarah sastra?

173
Demikianlah beberapa pokok pemikiran Jauss
yang disebutnya sebagai tujuh tesis. Dengan tujuh
tesis ini, dia mengharapkan dan memberikan
kepada pembaca, untuk melakukan sesuatu
pendekatan yang sistematik terhadap kegiatan
penulisan sejarah sastra.
Teori estetika resepsi Jauss memiliki corak
khusus dalam studi sastra, terutama dari sudut
pandang penerima yang dikaitkan dengan unsur
kesejarahan. Teori ini berpengaruh luas di Jerman
dan mendapat respon secara serius di Amerika.
Mesklipun begitu, ada sejumlah tokoh yang
menentangnya, yaitu Benyamin (de Man, 1983:xv),
dengan menolak tegas peranan resepsi karya
sastra (bentuk seni lainnya) tidaka da puisi yang
ditujukan kepada pembaca, tidak ada lukisan untuk
penikmat, tidak ada simponi untuk pendengar.
Menurut Benyamin peran pengarang lebih penting
sebagai penghasil sastra, sedangakan pembaca
tidak lebih daripada penerjemah saja.
Pada abad pertengahan misalnya, karya-karya
sastra justru dipahami melalui kesesuaian dengan
harapan pembaca. Kaum feodal ingin
mempertahankan konvensi-konvensi sastra yang

174
ada sesuai dengan konvensi social. Kebaruan
hanyalah sah wasangka masyarakat modern yang
dipengaruhi oleh kaum kapitalis yang selalu
menuntut adanya produksi-produksi baru (Holub,
1984:63).
Menurut Holub (1984:61), melihat kontradiksi
teori estetika resepsi Jauss, di satu pihak Jauss ingin
menghindari pandangan sejarah obyektif, dia
menginginkan peran aktif pembaca kini; di lain
pihak dia menghendaki kendala psikologis pada diri
peneliti dihindari. Oleh karena itu, untuk
mengurangi versi-versi reserpsi dan menjauhkan
respon individual, Jauss kembali kepada linguistik
tesktual.
Kekontradiksian lain terdapat pada
pandangannya tentang nilai estetik karya sastra.
Menurut Jauss, niulai estetik di dapat dengan
adanya jarak estetik horizon harapan pembaca
yang berbeda dengan realitaa karya sastra. Hal ini
mirip dengan defamiliarisasi menurut kaum
formalis (Shklovsky). Jauss menolak horizon yang
dipenuhi sebagai penentu nilai estetis. Pandangan
terakhir Jauss, menjadi kontradiksi karena karya-

175
karya agung itu sebagai karya yang tidak dipahami
hanya dengan negativitas saja (Holub, 1984:72)
Terlepas dari pro dan kontra terhadap
pandangan Jauss itu, kehadiran teorinya sangat
penting dalam pemerkaya teori krik sastra. Teori ini
merupakan pilihan pemecahan bagi kedua teori
yang berbeda, yaitu kritik obyektif dan mimetik
sebagai penghubung keduanya yang sering disebut
sebagai kritik pragmatik.
Untuk mengetahui estetika resepsi terhadap
sajak Cintaku Jauh Di Pulau, Selamat Tinggal, dan
Penerimaan karya Chairil Anwar dapat diketahui
berikut ini.

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,


Gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan menacar,


Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar,
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu,


Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkalanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!

176
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau


Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

SELAMAT TINGGAL
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu


- dalam hatiku? -
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula


Menggelepar tengah malam buta

Ah…..!!

Segala menebal, segala mengental


Segala tak kukenal…..!!
Selamat Tinggal…..!!

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali


Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri


Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

177
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

Untuk meneliti karya sastra modern ini


sesungguhnya prinsipnya sama dengan penelitian
resepsi sastra yang dikemukakan oleh Segers
(1978:49) yang telah terurai pada fasal 4, bila
orang hendak meneliti resepsi sajak-sajak Chairil
Anwar, orang harus merekontruksikan bermacam-
macam konkretisasinya dalam masa sejarahnya.
Dapat dikatakan yang pertama kali menganggapi
sajak-sajak Chairil Anwar adalah H.B. Jassin:
tanggapan berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan
45 (1962:27-89). Akan tetapi, sebelumnya juga
sudah ada respon, yaitu tanggapan redaktur
majalah (surat kabar), diantaranya Panji Poestaka
(Jassin, 1962:77). Sajak Chairil Anwar diresepsi
secara pragmatik, dikatakan sajak-sajak tidak
mungkin dimuat, dalam Susunan Dunia Baru tidak
ada harganya sebab sajak-sajaknya individualistis
dan kebarat-baratan.
Sajak-sajak Chairil Anwar secara judisial
ekspresif, dengan kriteria estetik dan ekstra estetik.

178
Sajak-sajak Chairil Anwar revolusioner bentuk dan
isi, meledak-ledak, melambung kepada ketinggian
menggamangkan dan menerjunkan kedalaman
menghimpit-mengerikan. Chairil muncul dengan
tradisi baru dan memberikan udara baru yang
segar bagi sastra Indonesia, kecuali kiasan-kiasan,
kombinasi-kombinasi baru, kata-kata yang
menimbulkan berbagai asosiasi panca indra, juga
cenderung pada pembalikan nilai-nilai (Jassin,
1962:78-79). Secara totalitas Jassin merespon
positif kepada sajak-sajak Cahairil, di samping itu,
ada pula respon dari golongan sastrawan/kritikus
Lekra yang berpaham seni untuk rakyat dan politik
sebagai panglima (Siregar, 1964:48). Salah satu
respon dan penilaian terhadap Chairil dari
kritikus/sastrawan Lekra yang dapat dianggap
sebagai wakilnya adalah Klara Akustia dalam
tulisannya berjudul Kepada Seniman Universil
(Hadimadja, 1952:7-8). Secara bentuk dia
sependapat dengan Jassin, tetapi corak revolusi
kesusastraan Chairil tidak mengenai isi, tetapi
mengenai bentuk dan vormnya. Dia menolak
pandangan hidup Chairil Anwar, tetapi mengaku
bentuk sastra barunya. Dikemukakan kriteria

179
penilaiannya: “Syarat hasil sastra yang tinggi nilai
seninya bagi kita adalah dia harus baik isi dan
bentuknya! Artinya dia harus indah, berseni, dan
membawa pandangan hidup yang maju”
(Hadimadja, 1952:88).
Meskipun baru kemudian STA (1977:139-140),
merespon dan memberi penilaian kepada sajak-
sajak Chairil Anwar, namun pandangannya dapat
dianggap mewakili suara angkatan Pujangga Baru.
Responnya tampak dalam artikel berjudul Penilaian
Chairil Anwar Kembali. Selanjutnya, STA (1977:139-
180), menilai bahwa Chairil Anwar membawa
suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekaan, dan
kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia.
Oleh karena itu, penilaian STA (1977:175)
pragmatis, yang menghendaki karya sastra
berguna bagi pembangunan bangsa, maka sajak-
sajak Chairil Anwar yang pesimistis dan berisi
pemberontakan itu diumpamakan sebagai rujak
asam, pedas, asin yang dijadikan sari kehidupan
manusia. Sesungguhnya banyak sekali
respon/resepsi terhadap sajak-sajak Chairil Anwar,
penyair yang paling menonjol itu, namun sebagai
contoh cukuplah tiga respon yang telah terurai itu.

180
Dari tanggapan-tanggapan tersebut dapat
disimpulkan bahwa para perespon itu secara estetis
mengakui kehebatan sajak-sajak Chairil Anwar,
sedangkan secara ekstra estetis tidak ada
kesamaan nilainya.

DAFTAR RUJUKAN
Abrams, M.H. 1979. Miror and Lamp. London–New
York: Oxford University Press.
Hernadi, Paul. 1981. What is Critism?, edisi Korea.
Korea: Indiana University Press.
Holub, Robert C. 1984. Reception Theory, A Critical
Introduction. New York: Methuen Co.
Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a
Challenge to Literary Theory” dalam New
Directions in Literary History, Ralph Cohen
(ed.). London: Routledge & Keegan Paul.
-------------, 1983. Toward an Aesthetic of
Receptions, diterjemahkan oleh Tomothy Bahti
dengan Pendahuluan oleh Paul de Man.
Mineapolis: University of Minnesota Press.
Segers, Rien T. 1978. Evaluasion of Literary Texts.
Lisse: The Peter de Ridder Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakrta: PT Gramedia.
Vodicka, Felix. 1964. “The History of the Echo of
Literary Works.” dalam A Prague School
Reader on Esthetisc, Leterary Structure and
Style. terjemahan dari bahasa Czech oleh Paul
L. Garvin (ed.). Washington: Geargetown
University Press.

181
BAB 9
PSIKOLOGI SASTRA

1. Pengantar
Pada hakekatnya, karya sastra diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan

182
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra merupakan
suatu realita yang menggambarkan kehidupan
sosial. Kehidupan yang mencakup hubungan
antarmasayarakat, antara masyarakat dengan
pribadi, antara manusia dan peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Fenomena hubungan
tersebut sering menjadi bahan sastra.
Menurut Damono (1978:1), karya sastra
diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati,
dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan
dengan lembaga sosial tertentu dalam masyarakat
primitif, misalnya, sulit memisahkan sastra dari
upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-
hari, dan permainan; dalam zaman kini, pemisahan
itu dapat dilakukan meskipun tidak sepenuhnya,
Dunia sastra adalah dunia imajinasi yang
kompleks. Di dalamnya terdapat simbol-simbol
yang mengandung makna. Untuk menikmati dan
mempelajari sastra seseorang menghubungkan
sastra dengan ciri-ciri simbolisme pelambangan
dalam sastra (Semi, 1988:56-57). Sastra adalah
ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,

183
dan keyakinan dalam bentuk gambar nyata yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa
(Sumardjo, 1988:1-3).
Sastrawan sebagai bagian dari anggota
masyarakat memiliki andil yang merefleksikan
realitas sosial dalam karya sastranya. Pengarang
sebagai pribadi memiliki perasaan emosional,
sosial, kejiwaan, dan idealis. Dengan demikian,
diperlukan saluran untuk mengeluarkannya secara
sadar. Masalah yang natural dan alami sebagai
dasar untuk melahirkan ide kejiwaan yang
dimanifestasikan dalam sebuah karya sastra.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kejiwaan
turut pula memberikan dorongan terhadap
perkembangan watak manusia yang digambarkan
dalam karya sastra.
Menurut Jatman (Aminuddin, 1990:93), sastra
sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung
fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak melalui
perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian,
pengalaman kejiwaan sang pengarang
diproyeksikan melalui ciri-ciri kejiwaan para tokoh
imajinasinya.

184
Masalah psikologi dalam karya sastra
berkaitan erat dengan rumusan psikologi sastra.
Salah satu di antara empat rumusan yang
dikemukakan ialah bahwa psikologi sastra berusaha
melihat kaidah psikologi yang dapat ditimba dari
karya sastra. Menurut Harjana (1983), kajian yang
menerapkan teori psikologi terhadap para tokoh
cerita merupakan manifestasi pernyataan tentang
fungsi dan peranan sastra sebagai penghilang citra
manusia dalam keadilan dan kehidupan.
Keberadaan kaidah psikologi dalam sebuah
karya mungkin merupakan visi pengarang yang
sengaja ditampilkan pengarang, karena mungkin
pengarang tersebut ingin mengembangkan aliran
psikologi yang dianutnya. Namun, kehadiran kaidah
psikologi juga merupakan ketidaksengajaan. Dalam
hal ini penataan lakuan tokoh dalam kelogisan dan
keruntunan cerita sehubungan dengan konfliks
yang dialami tokoh. Hal ini bisa terjadi dalam novel
yang menampilkan para tokoh yang bebas secara
psikologis. Oleh karena itu, tokoh yang ditampilkan
semacam ini sungguh merupakan tiruan murni dari
kehidupan manusia. Dalam menghadapi tokoh

185
tiruan tentu saja dibedakan dari aplikasi teori
psikologis pada kehidupan nyata.
Berkaitan dengan hal di atas, dapat juga
dipengaruhi aliran yang bersangkutan terhadap
proses penciptaan karya sastra. Istilah kaidah
mengacu pada tatanan teoritis yang relatif tetap
dengan susunan dan konsekuensi dari faktor-faktor
yang bersangkutan. Kaidah memiliki suatu sifat
yang kadangkala sangat khusus. Kekhususan
kaidah freudisme yang cukup menonjol terlihat
pada seseorang yang memiliki kekurangan dalam
satu bidang kehidupan. Oleh karena itu, ia
berusaha agar dapat menonjol di bidang lain.
Tingkah laku semacam ini merupakan refleksi
mekanisme pertahanan the ego yang disebut
kompensasi. Mekanisme pertahanan ego
merupakan strategi yang digunakan individu untuk
mencegah kemunculan dorongan the id, maupun
the super ego sangat bervariasi pada setiap teori
Freud. Namun, dasar dari semua itu mekanisme
pertahanan the ego adalah resepsi dari usaha
manusia untuk menekan hal-hal yang
membahayakan the ego.

186
2. Pendekatan Psikoanalisis
Pada pertengahan abad ke-19 di Jerman mulai
muncul psikologi, maka sejak itu orang mulai
memusatkan perhatiannya pada kesadaran orang
normal, dewasa, dan beradat. Tugas psikologi
adalah menganalisis kesadaran itu, kesadaran yang
digambarkan dari unsur-unsur struktural yang
sangat erat hubungannya dengan proses-proses
dalam pancaindera.
Perkembangan psikologi berkembang terus
dan berusaha mencari unsur dasar dari kesadaran
manusia itu, sehingga muncullah psikologi asosiasi
dan psikologi wund, tetapi banyak para ahli
menentangnya, antara lain Sigmund Freud. Freud
menganggap bahwa kesadaran merupakan
sebagian kecil dari kehidupan manusia. Freud
mengambil contoh, secara psikis diibaratkan
sebagai gunung es di tengah lautan, yang ada di
atas permukaan air laut yang menggambarkan
kesadaran, sedangkan yang berada di bawah
permukaan air laut merupakan bagian terbesar

187
yang menggambarkan ketidaksadaran manusia
(Suryabrata, 1986:141).
Berkaitan dengan hal itu, pengertian
kepribadian manusia menyangkut segala
perbuatan, ucapan, dan tingkah laku manusia baik
secara sadar maupun tidak sadar, dapat ditelusuri
lewat penggambaran bawah sadar. Ide ini yang
kemudian disebut psikoanalisis

3. Ruang Lingkup Psikologi Sastra


Pada awal perkembangan, kritik sastra hanya
bertumpu pada dua jenis pendekatan, yaitu: (1)
pendekatan moral dan (2) pendekatan formal.
Dengan berlandaskan pada kedua pendekatan
tersebut, para penelaah sastra mencoba
menentukan nilai suatu karya berdasarkan aspek
moral dan aspek formal.
Dalam perkembangan selanjutnya, mulailah
dirasakan adanya pengaruh dari ilmu
kemasyarakatan dan psikologi dalam studi sastra.
Dengan semakin kuatnya arus masuk sosiologi dan
psikologi ke dalam studi sastra, maka muncullah
dua pendekatan baru, yakni: (1) pendekatan
sosiologi yang memanfaatkan teori sosiologi; (2)

188
pendekatan psikologi yang memanfaatkan teori
psikologi.
Munculnya kajian sastra dengan
menggunakan pendekatan psikologi ini berawal
dari semakin meluasnya pengaruh teori
psikoanalisis-nya Freud yang mulai muncul tahun
1905. Meluasnya teori psikoanalisis ini disebabkan
oleh semakin luasnya penyebaran teori Freud
mengenai tafsir mimpi (1900) dan Tiga teori
tentang seksualitas (1905). Ditambah lagi, kedua
teori penting tersebut telah berhasil mengangkat
Freud ke puncak kejayaan sebagai tokoh psikologi
modern. Hal itu diperluas lagi mengenai teori
psikologi oleh murid-murid Freud seperti: C.G. Jung
dengan psikoanalitis dan I.A. Richard dengan teori
Kepribadian.
Dengan semakin meluasnya teori psikoanalisis
tersebut, tidak terelakan lagi meluasnya pengaruh
ke dalam berbagai sisi kehidupan, seperti agama,
etika, edukatif, sosial, dan dunia sastra. Dengan
pengaruh psikologi tersebut, para penelaah sastra
mulai melakukan studi sastra dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan psikologi.

189
Namun, semakin berkembangnya psikologi
sebagai suatau disiplin ilmu, maka studi sastra
dengan pendekatan psikologi pun tidak semata
bertumpu pada teori psikoanalisis-nya Freud, tetapi
juga psikologi Gestalt, psikologi Behavioral,
psikologi Eksistensial, psikologi Sosial, dan
sebagainya.
Di Indonesia, perkembangan pendekatan
psikologi dalam studi sastra jauh lebih lambat
lajunya. Pada tahun 1955 Musyawarah
Kesusastraan di Yogyakarta pernah membahasnya
dalam acara Simposium Sastra disampaikan oleh
Winarno Surachmad dengan judul Pengaruh
psikologi dalam kesusastraan. Namun,
perkembangan selanjutnya untuk studi sastra
dengan pendekatan psikologi mandeg sama sekali
tidak ada para penelaah yang mengkaji psikologi
dalam karya sastra. Baru pada awal tahun 60-an
muncul dua orang , yaitu M.S. Hutagalung dan Boen
S. Oemaryati yang mencoba menerapkan
pendekatan psikoanalisis terhadap novel Jalan Tak
Ada Ujung karya Muchtar Lubis dan novel Atheis
karya Akhdiat Kartamiharja.

190
Dalam perkembangan selanjutnya, Arif
Budiman tampil di sekitar tahun 60-an dengan
memperkenalkan teori Gestalt atau psikologi
Ganzheit. Teori ini pernah didiskusikan di Gedung
Balai Budaya, Jakarta tanggal 31 Oktober 1968.
Namun, pendekatan ini baru diterapkan dalam
analisis sastra tahun 1976, yaitu membicarakan
tokoh Chairil Anwar.
Pada tahun 70-an perhatian penelaah sastra
dan para sastrawan sendiri terhadap pendekatan
psikologi semakin kentara. Hal ini ditandai dengan
semakin meningkatnya kajian-kajian sastra dengan
menerapkan pendekatan ini, seperti (1)
pembicaraan faktor biologis sebagai gejala
atavisme dalam beberapa sajak Indonesia (2)
pembicaraan faktor ketidaksadaran di balik teater
Rendra oleh Subagio Sastrowardojo dan (3)
pembahasan terhadap diri pengarang Utuy Tatang
Sontani dalam kaitannya dengan masalah
freudanisme oleh H.B. Jassin.
Pada tahun 80-an, kehadiran pendekatan
psikologi sastra dalam studi sastra Indonesia
semakin menjadi perhatian, baik oleh penelaah
sastra maupun para sastrawan sendiri. Hal itu

191
ditandai dengan munculnya (1) polemik Goenawan
Mohammad dengan Harry Aveling tentang peranan
faktor seks dalam karya sastra Indonesia tahun
1981; (2) diadakannya Seminar Psikologi-Kesenian
oleh Dewan Kesenian Yogyakarta tahun 1982 yang
berusaha menyibak tabir pentingnya lintas disiplin
antara psikologi dengan kesenian; (3) munculnya
kajian terhadap novel Hati Yang Damai karya NH.
Dini oleh Made Sukada, seorang dosen pada
Fakultas Sastra Universitas Udayana tahun 1987,
dengan menerapkan pendekatan psikonalitis-nya
Jung.

4. Wilayah Kajian Psikologi dalam Sastra


Wilayah yang menjadi tempat penelusuran
psikologi dalam studi sastra, menurut Daichess
(Sukada, 19987:140) menyatakan bahwa
penggunaan psikologi dalam kritik sastra
merupakan seperti penggunaan pendekatan
sosiologi, yaitu bersifat genetis, di satu sisi dan
menggunakan pengetahuan tentang berbagai
masalah dan situasi kejiwaan untuk menafsirkan
karya dengan tanpa memperhatikan petunjuk serta
aspek biografis pengarangnya di sisi lain.

192
Berkenaan dengan pernyataan di atas,
Daiches (Sukada, 1987:139) menyatakan bahwa
masuknya psikologi dalam kritik sastra melalui dua
cara, yakni: (1) melalui penelitian tentang hasil
kreasi yang mengarah kepada penelitian imajinatif;
(2) melalui penelitian psikologi penulis secara
pribadi untuk menunjukkan kaitan antara sikap dan
pernyataan-pernyataan kejiwaan dengan kualitas
tertentu dari karyanya.
Berdasarkan pernyataan di atas, Daichess
menekankan wilayah kajian pendekatan psikologi
dalam studi sastra pada aspek genetiknya. Dengan
kata lain, dia memfokuskan kajian psikologi pada
pengarang sebagai penghasil karya sastra.
Berbedaan dengan pendapat Tarigan (1985:213),
kritik psikologi dalam studi sastra berusaha untuk
mendalami segi-segi kejiwaan pengarang, karya
sastra, dan pembaca. Dengan pernyataan tersebut,
Tarigan tidak membatasi diri pada wilayah kajian
psikologi yang mengacu pada permasalahan
genetik saja, tetapi juga pada karya sastra sebagai
suatu karya otonom. Di samping itu, kajian aspek-
aspek kejiwaan yang ada pada para tokoh dalam

193
cerita juga aspek psikologis pada karya sastra
sangat berpengaruh pada kejiwaan pembaca.
Berkaitan dengan hal di atas, apa yang
dinyatakan Tarigan senada dengan Wellek dan
Werren (1962:81), mereka menyodorkan empat
aspek yang berkaitan dengan kajian psikologi
dalam studi sastra, yakni:
1) Studi mengenai efek karya sastra terhadap
kejiwaan pembaca;.
2) Studi psikologis terhadap pengarang sebagai
tipe dan pribadi;
3) Studi mengenai tipe dan hukum-hukum karya
sastra;
4) Studi mengenai proses kreativitas;

5. Kajian Psikologi terhadap Pengarang


Kajian psikologi dalam studi sastra yang
mengarah kepada proses kreatif dan penelaahan
aspek psikologis penulis, baik penulis sebagai tipe
maupun sebagai pribadi merupakan kajian psikologi
yang menekankan pada aspek penulis sebagai
penghasil karya sastra. Dalam kajian ini seorang
penelaah sastra dapat menempuh melalui tiga
cara, yaitu:

194
1) Penelaah sastra dapat mempelajari karya atau
sejumlah karya seseorang pengarang. Dari
karya-karya tersebut dikajinya lalu dia dapat
menarik simpulan tentang keadaan psikologi si
pengarang. Berdasarkan itu pula, pengetahuan
tentang psikologi pengarang yang disimpulkan
dari karya-karya tersebut, penelaah sastra
dapat menggunakannya untuk menafsirkan
karya yang lain dari pengarang tersebut.
2) Penelaah sastra dapat juga mempelajari riwayat
hidup sang penulis. Hal ini dapat dilakukan
dengan mempelajari tulisan-tulisan yang
pernah dimuat koran, hasil wawancara, catatan
harian, teman dekat, peristiwa yang pernah
dialami penulis, dan sebagainya. Berdasarkan
pengetahuan tentang diri sang penulis tersebut,
penelaah sastra memanfaatkan untuk
menyoroti suatu karya sastra. Hal itulah
sebabnya dokumen pribadi seorang pengarang
sering dikumpulkan, bahkan kadang-kadang tak
sedikit pula yang sampai pula diterbitkan,
karena dianggap penting bagi kepentingan
studi sastra. Sebagai contoh dokumen dari
penulis Gerard Manely Hopkins yang diterbitkan

195
dalam buku The Letters of Gerard Manely
Hopkins to Robert Bridges (1935) merupakan
kumpulan dari surat-surat Manely kepada
Bridges, sedangkan di Indonesia pengumpulan
seperti itu dilakukan oleh almarhum Bapak H.B.
Jassin. Beliau menyimpan semua riwayat hidup
semua pengarang Indonesia.
3) Penelaah sastra dapat mempelajari karya sastra
yang mengandung aspek-aspek psikologis dan
riwayat hidup sang pengarang dengan aspek-
aspek psikologis yang terdapat dalam karya
sastra. Dengan cara ini seorang penelaah dapat
memanfaatkan pengetahuan tentang riwayat
hidup pengarang dan aspek-aspek kejiwaan
suatu karya sesuai kebutuhan. Hal-hal yang
dipandang sangat bermakna dalam riwayat
hidup di pengarang dapat dimanfaatkan untuk
menyoroti aspek kejiwaan dalam karyanya.
Sebaliknya, bagian penting yang dipandang
bermakna dalam karya sastra dapat digunakan
untuk menafsirkan aspek kejiwaan sang
pengarang.

Memang disadari bahwa penelaah terhadap


aspek genetik ini cukup menarik dan tidak jarang

196
pula menunjukkan manfaat pendidikan dalam studi
sastra. Selanjutnya, tidak jarang pula dalam kajian
ini dapat membantu untuk menangkap bahwa
suatu jenis karya tertentu merupakan hasil
khayalan sang pengarang yang sedang mengalami
keadaan jiwa tertentu.
Namun, dengan tegas Harjana (1985:65)
menyatakan bahwa walau bagaimanapun
menariknya, pembahasan ini tidak menunjukkan
adanya hubungan yang jelas dengan teori dan nilai
makna, atau kadar sastra. Oleh karena itu,
penentuan nilai karya sastra yang merupakan
unsur pokok dalam kritik sastra, memang tidak
dapat dilakukan. Sebab, jika penelaah tidak berhati-
hati dalam melakukannya, maka tidak menutup
kemungkinan ia akan terperosok ke dalam
kesesatan genetik. Maksudnya, penelaah akan
mudah terseret untuk menentukan nilai suatu karya
sastra dengan menggantungkan diri pada otoritas
pengarang.
Penelaahan suatu karya sastra yang
menekankan pada aspek genetik akan
menghilangkan hakikat karya sastra sebagai
sesuatu yang multimakna. Hal ini disebabkan oleh

197
si penelaah hanya percaya, bahwa nilai dan makna
suatu karya yang paling benar dan dapat
dipertanggungjawabkan hanyalah nilai dan makna
yang sesuai dengan maksud sang pengarang. Pada
akhirnya, nilai suatu karya sepenuhnya bergantung
pada otoritas sang pengarang. Dengan demikian,
bila penelaah buru-buru menyimpulkan nilai suatu
karya berdasarkan aspek genetiknya, maka ia telah
terperosok ke dalam kesesatan tersebut.
Selain itu, kajian ini menuntut adanya dasar
anggapan bahwa proses penciptaan selalu bersifat
spontan alamiah. Menurut Yunus (1985:6) kajian
semacam ini dianggap benar-benar digunakan
untuk menilai suatu karya jika berlaku keadaan
berikut ini.
1) Pengarang harus melaksanakan dengan
konsekuen, dengan apa yang ingin ditulisnya.
Apa yang dipikirkan sama betul dengan apa
yang ditulisnya.
2) Karya sastra hanya mempunya satu arti
(monoaemi), yakni yang sesuai dengan arti
yang diinginkan oleh penulis.
3) Apa yang dikatakan pengarang dalam sebuah
karya, misalnya novel, memang dapat

198
dikatakan dengan cara lain, bahkan mungkin
dalam bentuk yang disederhanakan. Karya
sastra (novel) itu sebagai suatu cara lain untuk
menyatakan ide dalam pikiran saja.
4) Masyarakat umum memang belum mengetahui
dibandingkan dengan keahlian pengarang,
sehingga selalu perlu dibimbing dari pengarang.
5) Karya sastra tidak dapat berbicara sendiri
(artefak). Ia mesti ditolong dengan keterangan
dari pengarangnya.

Namun, ternyata kelima unsur yang


disarankan Yunus di atas tidak selalu berlaku
secara totalitas, sebab seorang pengarang tidak
mungkin dituntut untuk selalu konsekuen dengan
apa yang ingin dikatakannya. Apa yang
dilakukannya ketika menulis sebuah karya tidak
selalu disadarinya. Sesuai dengan pengakuan
Darma (Eneste, (ed.), 1982:130), dalam menulis
memang saya yang menulis, tetapi seolah-olah
saya didikte oleh suatu kekuatan yang tidak dapat
saya kuasai, dan itu menggelincirkan saya kepada
keterbisuan. Apa yang saya tulis sering keluar
tanpa rencana, sehingga dalam proses keterbisuan
itu saya mulai merencanakan sesuatu, yang terjadi

199
dalam bentuk tulisan bukanlah apa yang saya
rencanakan. Selalu ada yang meleset, selalu ada
yang berkembang, dan selalu ada yang di luar
dugaan.
Apa yang dikatakan oleh Budi Darma di atas
merupakan bukti bahwa nilai suatu karya tidak
bergantung kepada seseorang pengarang, tetapi
kepada karya itu sendiri sebagai karya yang
mandiri. Seperti yang sering dikatakan oleh para
penelaah sastra, bahwa karya sastra itu ibarat anak
panah yang lepas dari busurnya. Begitu ia lahir
menjadi sebuah karya, ia mandiri, lepas dari tuan
penciptanya. Bila karya itu dikritik, dihina,
dibongkar-bongkar, dan sebagainya, pengarang tak
perlu membelanya. Oleh karena, ia sudah lepas
dari tangan pengarangnya, tak ada kata koreksi
dan kalimat pembetulannya.

6. Kajian Psikologi terhadap Karya Sastra


Dalam kajian yang menekankan pada karya
sastra ini, penelaah mencoba menangkap dan
menyimpulkan aspek-aspek psikologis yang
tercermin dalam karakter tokoh dalam karya sastra
dengan tanpa mempertimbangkan aspek biografi

200
pengarangnya. Penelaah dapat menganalisis
psikologi para tokoh melalui dialog-dialog dan
prilakunya dengan menggunakan sumbangan
pemikiran dari aliran psikologi tertentu. Dengan
demikian, apa yang dilakukan oleh penelaah sastra
dala kajian ini merupakan upaya mencari
kesejajaran aspek-aspek psikologi dalam karakater
tokoh suatu karya dengan pandangan tentang
psikologis manusia menurut aliran psikologis
tertentu.
Namun, yang menjadi permasalahan kini,
karya sastra yang bagaimana yang dapat dikaji
dengan pendekatan psikologi sastra?, tentu saja
jawabannya: karya sastra yang menekankan pada
aspek-aspek psikologis dalam karya sastra itu.
Berkaitan dengan konsep sastra psikologis ini,
menurut Jung (Sukada, 1987:144), sastra psikologis
adalah sastra yang berkaitan dengan cerita tentang
dunia kesadaran manusia seperti pelajaran tentang
kehidupan, dengan pengalaman nafsu dan puncak
nasib secara umum. Semua itu membentuk
kehidupan manusia secara sadar, khususnya dalam
kehidupan perasaannya.

201
Sastra psikologis secara kejiwaan diangkat
oleh pengarang dari pengalaman bisa lalu dibawa
ke tingkat pengalaman puitis dan diungkapkan
dengan sedemikian rupa, sehingga mampu
membawa pembaca kepada kejelasan dan
kedalaman pandangan tentang makhluk manusia
yang lebih besar. Karya ini mengenai pengalaman
kehidupan manusia dengan segala duka dan
sukanya.
Berdasarkan ciri pengolahan aspek
psikologisnya, karya-karya psikologis dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1) karya-karya yang oleh pengarangnya belum
diberi penafsiran secara psikologis terhadap
para tokohnya, sehingga terdapat ruang gerak
bagi penelaah untuk menganalisisnya.
2) Karya yang jarang menyajikan eksposisi
psikologis. Karya ini disusun berdasrkan
anggapan-anggapan psikologis secara implisit.
Oleh karena, pengarang tidak menyadari hal
yang demikian, maka bagi penelaah itu justru
membuat karya tersebut tampak utuh.

Berangkali jika diperhatikan uraian tentang


sastra psikologis di atas, maka uraian itu lebih

202
mengarah kepada karya sastra yang berupa prosa
dan drama. Lantas, sampai di sinii kita masih
dihadapkan pada suatu persoalan bahwa berkaitan
dengan genre sastra. Dalam satra dikenal atau
terdapat tiga genre, yaitu puisi, prosa, dan drama.
Mungkinkah ketiga genre tersebut dikaji dengan
pendekatan psikologis? Atau lebih khusus lagi,
mungkinkah puisi dianalisis dengan menggunakan
pendekatan psikologis?
Berkaitan dengan pertanyaan itu Tarigan
(1985:213) menyatakan bahwa analisis dengan
pendekatan psikologi yang mengarah pada aspek-
aspek psikologis dalam karya bukan saja dilakukan
kepada pada pelaku dalam fiksi dan drama, bahkan
juga kepada persona dalam puisi. Namun, yang
perlu diketahui, bahwa kajian terhadap puisi ini
tidak dilakukan secermat dalam prosa dan drma.
Sehingga dengan demikian aspek psikologis tokoh-
tokohnya pun tidak berkembang secara leluasa.
Kajian psikologi terhadap aspek kejiwaan para
tokoh dalam cerita ini dilakukan dengan
menggunakan teori-teori dalam psikologi. Teori
psikologi yang telah banyak digunakan dari dulu
sampai kini adalah psikoanalisis-nya Freud. Dalam

203
kajian ini penelaah sastra ingin mendapatkan
kesejajaran dari aspek-aspek psikologi tokoh
dengan teori psikoanalisis.
Sebagai contoh, MS. Hutagalung setelah
menelaah aspek psikologi tokoh guru Isa, lalu
disimpulkan bahwa gejala kejiwaan yang
ditampilkan oleh Guru Isa adalah sesuai dengan
pandangan Freud tentang tenaga libido seksualitas.
Perilaku tokoh Gusti Biang yang selalu
mengagungkan darah kebangsawanannya, terjadi
dari masyarakat banyak karena pengaruh adat
kepurian yang begitu kuat berpengaruh terhadap
dirinya. Selanjutnya, sesuai dengan teori
pembentukan pribadi menurut psikologi sosial;
dengan semakin berkembangnya ilmu psikologi,
maka semakin banyak pula teori-teori psikologi
yang digunakan dalam kajian sastra, seperti:
psikologi eksperimental, psikologi eksistensial, dan
sebagainya.
Berkenaan dengan terdapatnya kesejajaran
aspek-aspek psikologi para tokoh dalam karya
melalui pandangan aliran psikologi tertentu,
terdapat dua pengarang.

204
Pertama, kesejajaran itu terjadi karena sang
pengarang memang sengaja memasukkan
pandangan teori psikologi tertentu dalam karyanya.
Hal itu seperti telah dilakukan oleh Iwan
Simatupang dalam menciptakan novel-novelnya.
Dia mengaku, dalam menciptakan novel-novel
tersebut banyak diwarnai pandangan teori psikologi
eksisitensialis, sehingga benar sekali, jika dalam
novel seperti Ziarah, Kering, Merahnya Merah karya
Iwan Simatupang sangat dipengaruhi psikologi
eksistensialis yang tampak menonjol sekali.
Pengakuan yang sama juga pernah dikemukakan
Mochtar Lubis dalam novel Jalan Tak Ada Ujung.
Dalam menciptakan karya tersebut, sebelumnya
dia banyak mempelajari psikoanalisisnya Freud,
psikoanalitisnya Jung, dan psikologi kepribadianya
Richard. Dengan bekal pengetahuan tentang
psikologi dalam itulah dia memulai menciptakan
karya tersebut. Dengan demikian, kesimpulan MS.
Hutagalung, bahwa kejiwaan tokoh Guru Isa
memiliki kesamaan dengan teori Freud sangat
benar.
Kedua, kesejajaran antara aspek-aspek
psikologi tokoh dalam suatu karya dengan

205
pandangan psikologi tersebut terjadi secara tidak
sengaja. Hal ini dapat terjadi karena pengarang
yang memiliki kepekaan rasa lebih dari manusia
biasa mampu menangkap aspek-aspek kejiwaan
manusia yang paling dalam. Aspek-aspek kejiwaan
ini lalu diolahnya adan dilahirkannya dalam bentuk
sebuah karya. Begitu juga seorang psikolog mampu
menangkap aspek-aspek kejiwaan manusia yang
paling mendasar. Hanya perbedaannya dengan
pengarang, dia tidak menyajikannya dalam wujud
karya sastra, tetapi dalam bentuk laporan ilmiah
(buku). Hal itulah tidak mengherankan jika di
antara keduanya terdapat kesejajaeran secara
kebetulan, karena tempat berangkatnya sama yaitu
prilaku manusia.

7. Kajian Psikologi terhadap Pembaca


Dalam kajian ini peneliti ingin mendapatkan
gambaran tentang berbagaimana pengaruh suatu
karya sastra terhadap proses psikologi
pembacanya. Penelaah sastra ingin menelusuri
bagaimana rahasia daya tarik dari karya sastra
terhadap pembaca, baik secara individu maupun
kelompok. Penelaaah berusaha mengemukakan

206
bagaimana caranya pengalaman individu sang
pembaca dapat dibawa ke dalam pengalaman
hidup yang ada dalam suatu karya. Bahlan, jika
mungkin menemukan bagaimana caranya pembaca
menyatukan diri dengan pengalaman yang terdapat
dalam suatu karya.
Kajian psikologi terhadap pembaca
mengarahkan diri dengan menggunakan
pendekatan Ikonik (pancaran pribadi), artinya
bahwa respon tokoh cerita tercermin lewat pribadi
pembaca, atau sebaliknya rasa kasihan, simpatik,
terpesona, dan sebagainya pembaca ikut seolah-
olah larut dalam alur cerita yang dibacanya.
Dengan pernyataan di atas, dapat diketahui
bahwa tidak semua karya sastra dapat dijadikan
objek kajian jenis ini. Sebab, kajian psikologi
terhadap pembaca mengarah pada ikonik. Dengan
demikian, karya sastra yang dapat dijadikan objek
pembahasan adalah karya sastra yang bernuansa
tradisi atau budaya. Di dalam sastra Indonesia
karya yang dapat digolongkan memiliki psikologi
lebih tinggi antara lain:
(1) novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari;

207
(2) novel Perempuan Berkalung Sorban karya
Abidah El Khalieqy;
(3) novel Tarian Bumi dan Kenanga karya Oka
Rusmini;
(4) Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin
C. Noor
(5) dan masih banyak lagi.

Dalam karya-karya sastra yang bernafaskan


budaya dan tradisi, karya yang demikian
merupakan karya yang bercirikan norma dan adat
atau kebiasaan. Maksudnya, karya tersebut
diciptakan berdasarkan kesepakatan masyarakat
setempat dan norma-norma dari nenek moyang
leluhurnya.
Berhasil-tidaknya sebuah karya sastra yang
baik tidak saja pengarangnya terkenal atau sebuah
karya yang aneh-aneh tetapi respon pembaca
sangat menentukan sekali dalam memberikan
sumbangan dalam keberhasilan karya yang baik.

BAB 10

208
PSIKOLOGI KEPRIBADIAN

Teori Freud tentang kepribadian dapat dibagi


menjadi tiga macam, yaitu: (1) struktur
kepribadian, (2) dinamika kepribadian, dan (3)
perkembangan kepribadian. Adapan secara rinci
dapat dilihat sebagai berikut.

1. Struktur Kepribadian
Kepribadian terdiri atas tiga aspek, yaitu: (1)
Das Es (the id) aspek biologis; (2) Das Ich (the ego)
aspek psikologis; (3) Das Ueber (the super ego)
aspek sosiologis (Freud dalam Suryabrata, 1986:
145).
Dari ketiga aspek itu masing-masing
mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja
sendiri-sendiri. Ketiganya saling berhubungan erat
sehingga sukar untuk dipisah-pisahkan satu dengan
yang lain, karena ketiganya sangat berpengaruh
terhadap tingkah laku manusia.

1.1 Das Es (the id)

209
Das Es (the id) berkaitan denga aspek biologis,
menurut Freud merupakan sistem yang original di
dalam kepribadian, dari aspek inilah keduanya
tumbuh. Das Es (the id) merupakan dunia batin
atau subjektif manusia yuang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan dunia objektif. Das Es
(the id) berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir
termasuk insting.
Das Es (the id) merupakan kekuatan psikis
yang menggerakkan ego dan super ego. Kekuatan
psikis di dalam das es (the id) itu dapat
meningkatkan rangsangan, baik rangsarang dari
luar maupun rangsangan dari dalam. Apabila
kekuatan itu meningkat, maka dapat menimbulkan
ketegangan yang dapat menimbulkan pengalaman
tidak enak atau tidak menyenangkan. Hal ini oleh
das es (the id) tidak dapat dibiarkan, karena
kekuatan meningkat berarti ada tegangan. Dengan
demikian, das es mereduksi kekuatan itu untuk
menghilangkan rasa tidak enak. Jadi, yang menjadi
pedoman berfungsinya das es (the id) yaitu
menghindari diri dari ketidakenakan dan mengejar
kenikmatan. Pedoman ini menurut Freud yaitu
prinsip kenikmatan. Untuk menghindari

210
ketidakenakan tadi das es (the id) mempunyai dua
cara, yaitu: (1) refleksi atau reaksi otomatis, seperti
bersin, berkedip, dan lain-lain; (2) proses primer,
seperti membayangkan makanan dan air apabila
sedang lapar atau haus. Akan tetapi, prinsip ini
tidak memenuhi kebutuhan, karena orang lapar dan
haus tidak mungkin kenyang dengan hanya
membayangkan saja.

1.2 Das Ich (the ego)


Aspek ini timbul karena kebutuhan organisme
untuk berhubungan secara baik dengan kenyataan.
Das Ich (the ego) dapat membedakan sesuatu yang
ada di luar dunia objektif, dunia realita. Di dalam
fungsinya Das Ich (the ego) berpegang pada
prinsipnya kenyataan dan bereaksi terhadap proses
sekunder. Tujuan realita adalah mencari objek yang
dapat menurunkan tegangan yang timbul dalam
organisme. Proses sekunder itu adalah proses
berpikir realitas dengan menggunakan suatu
rencana untuk memuaskan kebutuhan dan menguji
apakah rencana itu dapat berhasil atau tidak.
Misalnya: orang lapar merencanakan di mana
tempat ia makan, lalu pergi ke tempat yang

211
direncanakan. Perbuatan itu secara teknis di sebut
reality testing.
Das Ich (the ego) dapat pula dipegang sebagai
aspek eksekutif kepribadian, karena das ich (the
ego) ini mengontrol jalan yang yang ditempuh
memiliki kebutuhan yang dapat dipenuhi serta
cara-cara memenuhinya, dan memiliki objek yang
dapat memenuhi kebutuhan. Dapat pula dalam
menjalankan fungsinya seringkali das ich (the ego)
harus mempersatukan pertentangan antara das es
(the id), das ich (the ego), dan dunia luar.

1.3 Das Ueber (the super ego)


Aspek ini mengacu pada sosiologi kepribadian
yang merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional
serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan
orangtua kepada anak-anaknya yang diajarkan
dengan berbagai perintah atau larangan. Das
Ueber (the super ego) lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu
the super ego dapat dianggap aspek moral dalam
kepribadian (Suryabrata, 1986:148). Fungsi pokok
the super ego adalah menentukan apakah sesuatu
itu benar atau salah, pantas atau tidak pantas, dan

212
bersusila atau tidak bersusila. Dengan demikian,
pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral dalam
masyarakat. Fungsi pokok the super ego dapat
dilihat dalam hubungannya dengan ketiga aspek
kepribadian berikut ini.
(a) Merintangi impuls-impuls (dorongan dari dalam)
the super ego terutama impuls seksual dan
agresif yang pernyataannya sangat ditentang
oleh masyarakat.
(b) Mendorong the ego untuk lebih mengejar hal-
hal yang moralitas daripada realitas.
(c) Mengejar kesempurnaan. Jadi, the super ego
cenderung untuk menempatkan the ego sesuai
dengan konsep yang ideal (Freud dalam
Suryabrata, 1986:149).

2. Dinamika Kepribadian
Menurut Freud (Suryabrata, 1988:149),
menganggap organisme manusia sebagai sistem
energi yang kompleks dan memperoleh makanan
serta mempergunakan untuk berbagai hal, seperti
menggerakkan otot-otot, berpikir, melihat,
bernafas, dan sebagainya. Energi di atas
dinamakan energi psikis, karena dapat dipindahkan

213
ke energi fisiologis dan sebaliknya jembatan antara
energi tubuh dengan kepribadian ialah aspek
biologis (das es) dengan instink-instinknya. Ada tiga
istilah di dalam dinamika kepribadian, yakni:
(1) Instink adalah sumber perangsang somatis
dalam yang dibawa sejak lahir.
(2) Keinginan adalah perangsang jiwa (psikologis).
(3) kebutuhan.adalah perangsang jasmani.
Organisme manusia dapat dirangsang dari
luar, tetapi sumber perangsang dari luar
mempunyai peranan yang kurang penting.
Biasanya orang dapat menghindari diri dari
perangsang dari luar. Berbeda dengan instink yang
merupakan perangsang dari dalam dan biasanya
orang tidak akan melarikan diri perangsang dari
dalam.
Selanjutnya, instink itu meruipakan energi
psikis yang dipergunakan oleh kepribadian. Pada
aspek biologis menerima energi psikis yang
merupakan tempat kedudukan instink-instink.
Menurut Suryabrata (1988:150), pada aspek
biologis sebagai dinamo yang memberikan tenaga
penggerak kepada kepribadian; tenaga itu
dihasilkan dari proses metabolisme di dalam tubuh.

214
Sumber instink mempunyai empat macam sifat,
yakni: (1) sumber pada kondisi jasmaniah; (2)
tujuan pada tindakan menghilangkan rasa lapar
(makan); (3) obyek pada tindakan pencarian itu
bisa diperoleh (mencari makanan); (4) pendorong
pada kenikmatan berusaha mencari makanan
(semakin lapar, semakin besar keinginannya untuk
cepat-cepat makan).
Sebagai bahan pengingat bahwa tujuan instink
tetap selama manusia masih hidup, sedangkan
obyek serta cara-cara yuang dipakai orang untuk
memenuhi kebutuhan selalu berubah-ubah. Ada
bermacam-macam instink dalam tubuh manusia,
secara detail tidak cukup dikenal oleh ahli psikologi
karena hal itu bagai ahli fisiologi. Akan tetapi, Freud
(1988:153) menyatakan bahwa instink dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
(1) Instink yang hidup, berfungsi melayani maksud
pribadi untuk tetap hidup dan memperpanjang
ras. Bentuk instink ini seperti makan, seksual,
minum, bekerja, dan sebagainya. Adapun
energi yang dipakai oleh instink ini dinamakan
Libido.

215
(2) Instink yang mati (destruktif), berfungsi untuk
menghentikan energi yang ada dalam tubuh
manusia. Freud berpendapat “setiap orang
mempunyai keinginan yang tidak disadarinya
untuk mati; keinginan matipada manusia
adalah pernyataan psikologi prinsip konstansi.

Perkembangan kepribadian terdiri atas:


penyebaran energi psikis digunakan oleh aspek
biologis, psikologis, dan sosiologis. Jumlah atau
banyaknya energi psikis biasanya terbatas, maka
dari itu dalam penggunaannya sangat bersaing di
anatara ketiga aspek di atas. Jika aspek biologis
yang mempergunakan energi, maka kedua aspek
yang lain dengan sendirinya menjadi lemah.
Pada aspek biologis yang memiliki energi
sebagai pemenuhan keinginan sangat mudah
bergerak dan berpindah, sehingga dapat dengan
mudah pindah dari satu gerakan ke gerakan yang
lain. Oleh karena itu, aspek psikologis tidak
mempunyai energi sendiri, maka ia harus
meminjam dari aspek biologis ke aspek psikologis.
Perpindahan energi dari aspek biologis ke aspek
psikologis ini terjadi karena suatu mekanisme yang

216
disebut identifikasi. Pembedaan apa yang ada
dalam batin dengan apa yang ada dalam realita.
Penggunaan energi oleh psikologis terbentuk
sehingga lambat-laun aspek psikologis seakan-akan
memonopoli energi psikis yang sifatnya hanya
relatif. Sebab aspek psikologis gagal dalam
memuaskan instink, aspek biologis akan menguasai
kembali energi psikis itu. Sebagai energi aspek
psikologis dipergunakan untuk berbagai proses
psikologis seperti mengamati, mengingat, berpikir,
dan sebagainya; sebagian lagi harus dipergunakan
untuk mengekang aspek biologis (hawa nafsu)
jangan sampai bertindak impulsif dan di luar akal.
Selanjutnya, mekanisme identifikasi juga
meliputi pemberian energi kepada aspek sosiologis.
Adapun jalan menuju power pengekang atau
cathexis oleh aspek sosiologis mula-mula
berkembang karena seseorang tergantung pada
orang lain (bayi tergantung pada ibu).
Ketergantungan ini membuat orang selalu
memberikan contoh yang baik demi anaknya.
Demikian juga, sang anak belajar mencocokkan dan
meniru tingkah-laku orangtuanya. Anak juga

217
mengintroyeksikan keharusan moral dari orangtua
sebagai cara untuk memuaskan kebutuhannya.
Pada aspek sosiologis memperoleh energi dari
aspek biologis dengan jalan identifikasi anak
terhadap orangtuanya. Aspek biologis memiliki
tenaga pendorong, sedangkan aspek psikologis dan
sosiologis mempergunakan energinya untuk
memenuhi atau menahan tujuan instink-instink.
Sebagian aspek yang berfungsi dengan prinsip
realitas, aspek psikologis mengontrol aspek biologis
dan aspek sosiologis supaya keduanya berfungsi
sesuai dengan realitas.
Dalam analisis dinamika kepribadian terdiri
atas saling mempengaruhi antara power pendorong
dan power penahan. Semua konflik di dalam
kepribadian dapat dijabarkan kembali kepada
pertentangan kedua power itu.

3. Perkembangan Kepribadian
3.1 Kecemasan
Reaksi individu terhadap ancaman membuat
rasa cemas. Menurut Freud (1988:154), ada tiga
macam kecemasan, yakni: (1) kecemasan realistis
adalah kecemasan (ketakutan) akan bahaya-

218
bahaya di luar; (2) kecemasan neurotis adalah
kecemasan pada instink yang tidak dapat
dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat
sesuatu yang dapat di hukum; (3) kecemasan
moral adalah kecemasan (ketakutan) pada diri
seseorang yang merasa berdosa atau keliru,
apabila berpikir untuk melakukan kesalahan yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral.

219
BAB 11
FILSAFAT MORAL DALAM SASTRA

1. Pengertian
Secara etimologis kata moral berasal dari kata
Latin mos, yang berarti tata-cara, adat-istiadat atau
kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah mores.
Dalam arti adat-istiadat atau kebijaksanaan, kata
moral mempunyai arti yang sama dengan bahasa
Yunani ethos, yang menurunkan kata etika. Dalam
bahasa Arab kata moral berarti budi pekerti yakni
sama dengan akhlak, sedangkan dalam bahasa
Indonesia, kata moral dikenal dengan arti
kesusilaan.
Kata moral yang berasal dari kata mores
artinya mengungkapkan dapat atau tidaknya
sesuatu perbuatan tindakan diterima oleh

220
sesamanya dalam hidup kemasyarakatan. Dapat
diterima atau ditolaknya suatu perbuatan itu,
mensiratkan adanya nilai-nilai tertentu yang dipakai
sebagai ukuran. Nilai-nilai yang dapat diterima dan
diakui bersama mengatur tata cara saling
berhubungan menjadi suatu kebiasaan yang
bersangkutan (Daroeso, 1986:45).
Dalam KUBI (2005:754), kata moral berarti
ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak,
budi pekerti, dan susila. Adapun menurut
Driyarkara (1966:25), moral atau kesusilaan adalah
nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata
lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan
sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan
kodrat manusia.
Menurut Huky (1981:38), untuk memahami
moral ada tiga cara, yakni: (1) moral sebagai
tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri
pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan
untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam lingkungannya; (2)
moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah
laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang

221
dipegang oleh sekelompok manusia di dalam
lingkungan tertentu; (3) moral adalah ajaran
tentang tingkahlaku hidup yang baik berdasarkan
pandangan hidup atau agama tertentu.
Selanjutnya, Bouman (1954:16-17)
menyatakan bahwa moral adalah suatu perbuatan
atau tingkah laku manusia yang timbul karena
adanya interaksi antara individu-individu di dalam
pergaulan.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, moral
memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia yang berhubungan baik atau buruk
terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini
mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral,
bilamana seseorang tersebut bertingkah laku
sesuai dengan norma-norma agama, hukum, dan
masyarakat.
Dengan demikian, moral atau kesusilaan
adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah
laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. Perlu
diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak
pasti baik dan benar bagi orang lain. Oleh karena,

222
itulah perlu adanya prinsip-prinsip kesusilaan yang
dapat berlaku secara umum, yang telah diakui
kebaikan dan kebenarannya oleh semua orang,
Jadi, moral dipakai untuk memberikan penilaian
(predikat) terhadap tingkah laku seseorang.
Muncul dan timbulnya suatu persoalan
tentang ukuran manusia yang baik, tentu ada
persyaratan tersendiri. Persoalan manusia,
menimbulkan syarat-syarat untuk menjadi manusia
yang bermoral. Dengan sendirinya menurut
identitas, ukuran manusia yang baik adalah yang
mampu memenuhi ketentuan-ketentuan kodrat
yang tertanam dalam dirinya sendiri. Ukuran ini
tentunya tidak bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Adapun syarat untuk menjadi manusia yang
bermoral, yakni memenuhi salah satu ketentuan
kodrat, yaitu adanya kehendak yang baik.
Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya
tingkah laku dan tujuan yang baik pula. Berkaitan
dengan itu, untuk menjadi predikat moral yang baik
diperlukan adanya syarat-syarat kebaikan yang
berkesinambungan, mulai munculnya kehendak
yang baik sampai dengan tingkah laku dalam

223
mencapai tujuan yang juga baik. Oleh karena itu,
orang yang bertindak baik kadang-kadang belum
dapat disebut orang yang bermoral.
Menurut realitas, manusia hidup mempunyai
autonomi, tetapi manusia tidak bebas berkehendak.
Dalam kehidupan manusia terikat pada ketentuan-
ketentuan yang ada dalam masyarat. Ketentuan-
ketentuan itu, antara lain: agama, kodrat, adat-
istiadat, dan hukum (Daroeso, 1986:23).
Selanjutnya, apa yang sudah disinggung di
awal teori bahwa etika dari bahasa Yunani ethos,
ethikos. Dalam bahasa Latin istilah ethos, ethikos
disebut mos (moralitas). Baik ethos (moral) artinya
adat-istiadat, kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia
kedua-duanya diterjemahkan dengan susila
(Daroeso, 1986:24). Istilah moral biasanya
dipergunakan untuk memberikan penilaian atau
predikat terhadap tingkah laku manusia. Adapun
etika adalah suatu ilmu cabang filsafat yang
objeknya tingkah laku manusia ditinjau dari nilai
baik dan buruknya. Pada umumnya, etika
digolongkan menjadi tiga macam, yakni:
1) Etika deskriptif adalah etika yang berisi tentang
keadaan moral yang terdapat pada kelompok

224
manusia yang sangat berbeda-beda menurut
suku, bangsa, dan ikatan-ikatan;
2) Etika normatif adalah etika yang menunjukkan
ukuran moral yang berwujud ketentuan-
ketentuan tidak tertulis, tetapi dipatuhi kelompok
pendukungnya;
3) Etika filsafat moral adalah etika yang berisi
tentang seluk-beluk filsafat yang membicarakan
tentang moral.
Dikatakan demikian, karena jati diri manusia
berkaitan dengan perbuatan seseorang, sehingga
sebelum melakukan perbuatan, manusia
menentukan sendiri apa yang akan dikerjakan dan
dilakukannya. Ia telah menentukan sikap, apa yang
akan dikerjakan. Ia telah menentukan sikap yang
harus dilaksanakan dan tidak boleh dilaksanakan.
Sikap ini ditentukan oleh kehendak yang
merupakan sikap batin manusia, yang mengamati
perbuatan apa yang dilakukan. Perbuatan yang
akan dilakukan merupakan objek yang ada dalam
suara hati manusia. Dalam diri manusia ada dua
suara hati, yakni: (1) suara hati yang mengarah
kepada kebaikan, (2) suara hati yang mengajak
kepada keburukan.

225
Suara hati atau batin manusia menjadi alat
untuk menahan agar manusia tidak melakukan
perbuatan yang tidak baik. Memang manusia dapat
juga mencoba untuk tidak mendengarkan suara
hati itu, bahkan akan menindas agar diam, tetapi
suara batin itu tetap berseru agar manusia tidak
menyimpang dari susila. Suara itu didengar terus-
menerus tanpa berhenti, sebelum manusia itu
bertindak atau setelah bertindak.
Suara itu didengar sendiri oleh seseorang,
tetapi suara itu merupakan suara yang menuduh,
bilamana tindakan manusia ada yang salah. Oleh
karena itu, manusia kadang-kadang tidak dapat
melupakan tindakannya yang salah, dengan
maksud agar orang tersebut tidak melakukan
kembali.
Hal itu dapat terjadi bilamana ada manusia
bertindak nekad sesudah berbuat kejahatan.
Mungkin orang ini dapat merasa rendah diri, karena
ia begitu tersinggung (ia dapat bunuh diri). Ia
merasa tertekan oleh peringatan-peringatan yang
diserukan oleh suara batin. Suara batin itu,
sesungguhnya suara yang mengajak manusia agar
sadar melakukan perbuatan yang susila. Kesadaran

226
moral ini menuntut tidak hanya pengertian akal dan
batin saja, tetapi pengertian dari seluruh pribadi
manusia.
Dari uraian di atas, objek moral adalah tingkah
laku manusia, perbuatan manusia, tindakan
manusia baik secara individu maupun secara
kelompok. Dalam melakukan perbuatan tersebut
manusia didorong oleh tiga unsur, yakni: (1)
kehendak merupakan pendorong jiwa manusia
yang memberikan alasan untuk melakukan
perbuatan; (2) perwujudan merupakan cara
melakukan perbuatan dalam segala situasi dan
kondisi; (3) kesadaran merupakan segala
perbuatan dan tingkah laku yang betul-betul
disadari, agar mendapat penilaian moral yang baik.
Penilaian moral yang baik dari perbuatan
manusia bisa meliputi semua aspek kehidupan,
seperti: (1) hubungan manusia dengan Tuhan; (2)
hubungan pribadi dengan masyarakat; (3)
hubungan pribadi dengan lingkungan. Akan tetapi,
tidak semua perbuatan manusia mendapatkan
penilaian moral. Perbuatan manusia dinilai secara
moral, apabila perbuatan itu dipahami dan
dimaklumi pada kesadaran moral. Dalam kesadaran

227
moral tingkah laku (perbuatan) itu dilaksanakan
secara sukarela tanpa paksaan dan keluar dari
pribadinya. Pada diri seseorang ada perasaan wajib
untuk melakukan perbuatan bermoral itu. Menurut
Magnis (1975:31), berkesadaran moral tidak lain
adalah merasa wajib untuk melakukan tindakan
yang bermoral. Perasaan wajib untuk melakukan
tindakan yang bermoral itu ada di dalam setiap hati
sanubari manusia dan terjadi pada siapapun
orangnya, di manapun tempatnya, dan kapanpun
waktunya.

2. Filsafat Moral dalam Sastra


Dalam teks Bekisar Merah, diceritakan ketika
senja mendekati maghrib Lasi gelisah menunggu
Darsa belum juga datang. Begitu datang samar-
samar yang dilihatnya ternyata bukan Darsa,
melainkan Mukri teman penderes. Mukri malah
membawa beban di pundaknya, pandangan Lasi
kabur dan berkunang-kunang karena yang
dilihatnya ternyata Darsa yang terkulai lemas.
Setelah Mukri masuk ke rumah. Melihat Darsa
dalam keadaan seperti itu, Lasi langsung mau
menubruk, tetapi Mukri menahannya.

228
“Katakan, ada kodok lompat!” ujar Mukri
dalam napas megap-megap karena ada beban
berat digendongannya. “Jangan bilang apapun
kecuali ada kodok lompat,” ulangnya.
Lasi ternganga tanpa sepotong suara pun
keluar dari mulutnya. Bahkan Lasi hanya
memutar tubuh dengan mulut tetap
ternganga ketika Mukri menyerobot masuk
dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di
ruang tengah. Darsa langsung rebah terkulai
dan mengerang panjang. Dan tiba-tiba Lasi
tersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak
menubruk suaminya tetapi Mukri menangkap
pundaknya (hlm.19-20).

Setelah Lasi betul-betul sadar bahwa yang


jatuh dari pohon kelapa itu Darsa, ia menjerit dan
menangis lalu pingsan. Mbok Wiryaji ibu Lasi
datang ditemani suaminya. Para tetangga dan
Eyang Mus juga datang. Semua orang datang di
rumah Darsa. Rumah itu penuh sesak orang.
Melihat Darsa seperti itu orang-orang hanya
berkata ada kodok lompat.
Kata jatuh amat sangat dipantangkan di
kalangan para penyadap kelapa. Dengan
kepercayaan semacam itu para penyadap
berusaha menampik sebuah kenyataan buruk
dengan mengundang sugesti bagi kembalinya
keadaan yang baik (hlm.21).

229
Orang-orang mengurus Darsa lalu celana
pendeknya basah dilepas dengan hati-hati. Akan
tetapi, mereka lega karena tubuh Darsa tidak
cidera berat, tetapi hanya goresan luka pada
tangan dan punggung. Namun, seseorang
menyuruh untuk membuatkan teh panas. Sesekali
Darsa mengerang kesakitan. Mukri terus bercerita
kepada semua orang tentang hal-ikhwal Darsa yang
tertimpa naas itu.
“Aku tidak lupa apa yang semestinya
kulakukan. Melihat ada kodok lompat, aku
segera turun. Aku tak berkata- apa-apa. Aku
kemudian melepaskan celana yang kupakai
sampai telanjang bulat. Aku menari menirukan
monyet sambil mengelilingi kodok yang
lompat itu.” (hlm.21-22).
“Bau kencing itu?” tanya entah siapa.
“Ya. Tubuh Darsa memang kekencingi sampai
kuyup.”
“Mukri betul,” ujar Wiryaji. “Itulah srana yang
harus kalian lakukan ketika menolong kodok
lompat. Dan wanti-wanti jangan seorang
penyadap pun boleh melupakannya.”
(hlm.22).
Hal itu malah dianggap suatu penanganan
yang benar dan baik, sebab Wiryaji memberikan
nasihatnya. “Untunglah kamu yang ada di dekatnya
waktu itu. Bila orang lain yang ada di sampingnya,
mungkin ia teriak-teriak dan mengambil langkah

230
yang keliru. Mukri, terima kasih atas
pertolonganmu yang jitu.” (hlm.22).
Dari cerita Mukri orang mengetahui bahwa
Darsa jatuh dari pohon kelapa yang tinggi. Darsa
tidak pingsan dan terkena sabitnya. Akan tetapi,
ceritanya menjadi lain, bila Mukri salah menangani
Darsa dan sudah menjadi suatu kepercayaan bila
ada penderes jatuh si penolong harus berputar-
putar mengelilingi si penderes yang jatuh lalu
mengencinginya.
Selanjutnya, malam yang semakin dingin dan
tanah becek di mana-mana. Wiryaji minta saran
kepada para tetangga. Ada yang berkata lebih baik
di rawat di rumah karena tubuh Darsa tidak cidera
berat, kemudian ada yang berkata lagi lebih baik
dibawa ke rumah sakit agar menjadi jelas.
Kesepakatan terakhir pun diambil, Darsa di bawah
ke rumah sakit malam itu juga.
“Wiryaji,” kata Eyang Mus. “Keputusan berada
di tanganmu. Namun, aku setuju Darsa
dibawa ke rumah sakit. Betapapun kita harus
berikhtiar sebisa-bisa kita.”(hlm.23)

Mereka hanya diam. Mereka dihadapkan pada


ketiadaan uang dan bagi para penyadap, hal itu
bukan pengalaman aneh atau baru sekali, tetapi

231
sudah biasa mereka hadapi. “Las,” kata Wiryaji
dengan suara rendah. “Kamu punya sesuatu yang
bisa dijual?” (hlm.24).
Jawaban Lasi hanya menggeleng kepala dan
kembali menangis. Bahkan, ada pilihan dilematis
bagi mereka, bagaimana jika pohon kelapa
digadaikan kepada pak Tir. Mereka yang hadir diam
dan sekaligus membenarkan Mbok Wiryaji, tetapi
resiko yang akan ditanggungnya Lasi tidak boleh
menjual gula merah kepada orang lain dan harga
gula yang diterimanya selalu lebih rendah.
Malam itu juga, Darsa diusung oleh dua orang
dan diiringi tiga orang sambil membawa obor
menuju rumah sakit di Kawedanan. Setelah
beberapa hari Darsa di sana; tepatnya sudah satu
minggu luka-luka di tangan dan di kakinya sudah
agak sembuh.
Pagi itu, Lasi sedang menjenguk Darsa di
rumah sakit. Darsa sudah mulai mau makan hanya
saja kencingnya terus menetes tidak terkendali.
Para perawat berbicara kemungkinan bedah syaraf
atas diri Darsa. Dokter kepala poli klinik memanggil
Lasi untuk menjelaskan tentang penyakit Darsa.
“Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia
harus dibawa kerumah sakit yang besar agar

232
bisa dirawat dengan sempurna,” kata dokter
yang masih muda itu. “Kamu tahu, bukan,
pakaian suamimu masih terus basah.
Suamimu masih terus ngompol.” (hlm.47)

Mendengar penjelasan dari dokter, Lasi hanya


bingung, cemas, dan tak berdaya bila sudah
dihadapkan dengan uang. Biaya puluhan ribu saja
tidak punya apalagi ratusan ribu jumlahnya. Lasi
hanya bisa menjawab “Nanti akan saya bicarakan
dengan orangtua saya,” kata Lasi setelah lama
terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter
(hlm.47).
Setelah itu, Lasi menemui Darsa menawarkan
makanan lontong tetapi Darsa tidak tertarik
kemudian Lasi pulang membawa pakaian kotor
yang bau tidak enak. Setelah tiba di rumah, Lasi
mengatakan kepada emaknya Mbok Wiryaji bahwa
Darsa masih seperti dulu. Masih ngompol alias
kencing. Mereka bingung dan pikirannya sungguh
dihadapkan pada dua pilihan antara menjual rumah
dan tanah pekarangan untuk pengobatan Darsa
demi kesembuhan atau Darsa dibiarkan begitu saja.
“Kami bingung. Uang sebanyak itu hanya bisa
kami miliki bila rumah dan pekarangan yang
di tempati Lasi kami jual,” ujar Wiryaji sambil
menunduk. “Lalu, apakah hal itu harus

233
kulakukan? Kalaupun ya, siapa yang bisa
membelinya dengan cepat?” (hlm.50).

Untuk kali kedua keluarga Lasi mengalami


kebuntuhan berpikir masalah uang. Tentang
pengobatan Darsa, mereka selalu dihadapkan pada
keuangan. Padahal utang kepada Pak Tir entah
kapan lunasnya, tetapi mereka hanya pasrah
kepada Tuhan yakni Sang Pencipta Jagat Raya.
“Rasanya kami sudah berusaha semampu
kami.” Ujar Wiryaji mencairkan kebisuan.
“Utang sudah kami gali dan tentu tak akan
mudah bagi kami mengembalikannya. Bila
usaha kami ternyata tak cukup untuk
menyembuhkan Darsa, kami tak bisa berbuat
apa-apa lagi. Kami tinggal pasrah.”
“Ya,” sambung Mbok Wiryaji. “Kami pasrah.
Besok Darsa kami jemput dan akan kami
rawat di rumah. Siapa tahu, di rumah Darsa
bisa sembuh. Kita percaya, bila mau
menurunkan welas-asih, Gusti Allah tak
kurang cara. Iya, kan Eyang Mus?”(hlm.52).

ada tambahan

Mbok Wiryaji Mendatangi Eyang Mus


Kali ini tidak seperti biasa, Mbok Wiryaji
mendatangi Eyang Mus memang ada keperluan.
Bukan semata-mata karena bertengkar dengan
suaminya melainkan Lasi bila diarahkan untuk

234
bercerai. Sudah empat bulan Darsa dirawat di
rumah, tetapi keadaannya tetap seperti sediakala.
Masih sering ngompol atau kencing. Bahkan, Darsa
suka marah sepanjang hari dan membanting piring
gara-gara Lasi terlalu lama pergi ke warung.
Selama Darsa sakit, Lasi masih tetap mengolah
nira, sedangkan ia juga mencari bahan bakar nira
setiap hari. Hanya saja mbok Wiryaji merasa
kasihan dengan nasib Lasi sehingga mbok Wiryaji
berpikiran nekad mau memisahkan Lasi dengan
Darsa.
“Eyang Musa, saya berterus terang saja, ya.
Kemarin saya mendapat pesan dari Pak
Sambeng, guru yang dulu mengajar Lasi.
Ketika Lasi masih gadis Pak Sambeng
melamarnya tetapi kami tolak karena waktu
itu Pak Sambeng masih punya istri. Kini, dia
menduda. Dia masih menghendaki Lasi.
Katanya, bila tak kena perawan, jandanya pun
jadi.” (hlm.60).

Mendengar hal itu, Eyang Mus agak sedikit


marah dan menasehati Mbok Wiryaji sebagai
berikut.
… Satu hal kamu tak boleh lupa: jangan
sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga
jangan lupa, Darsa adalah kemenakan
suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu
dan suamimu ikut kena badai….(hlm.60).

235
Akhirnya, mendengar nasehat dan ucapan
Eyang Mus yang demikian lalu mbok Wiryaji
menjelaskankan kepada Eyang Mus tentang
ikhtiarnya atau usaha demi kesembuhan Darsa.
Kini, Darsa sedang ditangani dukun pijak bernama
Bunek. Bunek seorang dukun pijat bayi dan
perempuan melahirkan, tetapi terkadang ia juga
dibutuhkan untuk menyembuhkan hal-hal yang
berkaitan dengan lemah pucuk.
“Soal berikhtiar, Eyang Mus, percayalah.
Sampai sekarang pun kami terus berusaha.
Kini pun Darsa sedang ditangani oleh seorang
tukang urut; Bunek.”
“Kamu yang menghubungi Bunek?”
“Bukan. Lasi sendiri yang menyerahkan
suaminya untuk ditangani peraji itu.”
“Nah, itu namanya pikiran waras. Aku
sungguh-sungguh ikut berdoa semoga ikhtiar
kalian kali ini berhasil.” (hlm.61).

Mbok Wiryaji hanya mengangguk ada kesan


tidak puas di wajah Mbok Wiryaji. Ia capek
memikirkan Darsa belum sembuh dan ia tidur di
balai-balai rumah Eyang Mus.

236
Dukun Pijat
Bunek, dukun pijat yang mempunyai ciri
khusus. Jalannya cepat, langkangnya panjang dan
lambaian tangannya jauh. Ia seorang perempuan
yang mempunyai postur tubuh tinggi bila berada di
antara perempuan-perempuan lain. Murah senyum
dan suka latah. Latah yang sering keluar sering
cabul dan mulutnya selalu mengunyah daun sirih.
Wajah Bunek bulat panjang dan tampak ada
sisa-sisa kecantikan di masa mudanya. Ia sudah
mempunyai beberapa cucu, tetapi rambutnya
kelihatan lembut walaupun sudah mulai beruban. Ia
tampak sekali rajin menyisir rambutnya.
Pijatan tangannya lembut, tetapi tetap bertenaga
selalu menciptakan suasana riang dan akrab.
Hanya saja, para perempuan tidak terlalu suka
kepadanya. Terkadang ia menyuruhh para suami
untuk jajan (berzinah) dengan perempuan lainn bila
nafsunya tidak tersalurkan. Terutama bila
menunggu istri kembali sehat setelah bersalin.
Seperti dalam kutipan berikut ini.
Apabila ada perempuan tidak memilih Bunek,
sebabnya mungkin karena kesukaan dukun
bayi itu berterus-terang. Bunek biasa blak-

237
blakan menyuruh seorang suami jajan bila tak
sabar menunggu istrinya sehat kembali
setelah melahirkan. Bila di sanggah orang
karena nasihatnya yang samin itu dengan
enteng Bunek bilang, “Lelaki ngebet itu biasa,
wajar. Dan siapa yang bisa menahan diri boleh
dipuji. Lho, yang tidak? Jujur saja, apa mereka
harus mencari liang kepiting? He-he-
he.”(hlm.63).

Selama merawat Darsa, dengan entengnya


Bunek membawa suasana cerita dan tidak terlalu
tegang. Semua masalah dianggap gampang
termasuk penyakit yang diderita Darsa yaitu
kemaluan yang menetes dan lemah pucuk
(kemaluan yang tidak bisa menegang).
“Ah, tidak apa-apa. Cuma air yang menembes.
Seperti nira yang kamu sadap, kemihmu akan
berhenti menetes pada saaatnya, “Itu juga
tidak apa-apa. Seperti ular tidur, nanti akan
menggeliat bangun bila cuaca mulai hangat.”
(hlm.64)

Kata tidak apa-apa selalu yang diucapkan


Bunek membuat Darsa percaya akan kemampuan
si dukun pijat itu. Termasuk Darsa rajin minum
jamu buatan Bunek walaupun pahit rasanya.
Selanjutnya, Darsa diminta datang ke rumah Bunek
pada malam hari, sebab siang hari ia sangat sibuk.

238
Dengan senang hati Darsa memenuhi
permintaannya dan Lasi sering menemani Darsa
pergi ke rumah Bunek. Namun, bila Lasi capek , ia
melepas Darsa pergi sendirian.
Sudah hampir enam bulan Darsa ditangani
atau dirawat Bunek. Ada perubahan pada diri
Darsa, wajahnya ceria dan tidak loyo serta tidak
sering marah lagi. Suatu hari, Darsa mendekati Lasi
yang sedang jongkok di depan tungku. Darsa
berbisik “Las, celana yang kupakai sejak pagi masih
kering.” (hlm.67). Lasi menatap suaminya dengan
mata bercahaya. Senyumnya mengembang dan
pikirannya menerawang jauh penuh harapan-
harapan seperti sediakala. Akan tetapi, Lasi hanya
menundukkan kepala saja.
“Nanti kita bikin selamatan, ya Kang. Kita
syukuran.”
“Ya, bila aku sudah benar-benar pulih-asal,
kembali segar seperti sediakala.” “Ya, kang.”
(hlm.67).

Hati Lasi senang dan bersemangat kembali


dalam jiwanya. Perasaan yang selama ini kacau dan
gundah, kini orang lain bisa tutup mulut. Kata orang
Lasi dianggap randha magel (janda kepalang
tanggung). Hal itu mengandung makna bahwa

239
“Dikatakan janda mempunyai suami, dianggap
mempunyai suami, tetapi tidak pernah
berhubungan badan.” Dikatakan demikian, karena
kemaluan Darsa selalu ngompol alias kemaluan
Darsa selalu meneteskan air seni. Kini, orang mulai
diam, termasuk Mbok Wiryaji, emaknya Lasi sendiri
sering menyebut-nyebut Pak Sambeng (guru Lasi di
SD) akan melamar Lasi.

240
Ketika Lasi Berkunjung ke Rumah Handarbeni
Setelah sampai di rumah pak Han, tampaknya
Lasi minta di antar pulang. Akan tetapi, Pak Han
ada akal untuk memutar film dan proyektor yang
dia punyai. Lasi hampir ngantuk, tetapi ia terkejut
tiba-tiba lampu dipadamkan dan ada film di
tembok. Lasi kembali terjaga. Apalagi, Pak Han
mulai kurang sopan terhadap Lasi. Dia duduk di
samping agak mendekat dengan tangan
melingkarkan di pundak Lasi.

241
Film yang diputar menceritakan suasana alam
purba. Lasi melihat seorang laki-laki berambut
panjang, kekar, dan masih mudah berjalan
mengendap-endap di sepanjang sungai. Laki-
laki itu bersenjatakan sepotong tulang besar.
Lasi melihat kengerian di film itu, seorang laki-
laki diserang oleh buaya, untunglah laki-laki itu
bisa membunuh buaya. Laki-laki itu melihat
kambing jantan besar sedang berkelamin
dengan kambing betina. Tidak lama setelah
laki-laki itu berjalan lagi, dia melihat monyet
sedang berkelamin. Melihat monyet kelamin
Lasi mulai bisa tersenyum dan tertawa terkikih-
kikih. Pak Han sedang berusaha melingkarkan
tangan pada pinggang Lasi. Selanjutnya, laki-
laki itu berbalik dan lari menelusuri jalan yang
tadi dilewati. Di sana, ada gua dekat sungai, dia
masuk dan di dalam ada seorang perempuan
sedang menyusui anaknya. Perempuan itu
ditarik oleh laki-laki dan disuruh melayani nafsu
birahinya.
….Di mata Lasi adegan antara lelaki purba
dan pasangannya di sana juga terasa liar,
sangat tidak wajar, biadab, nirsila,
menjijihkan, dan entah apa lagi Lasi tak punya

242
cukup perbendaharaan kata untuk
melukiskannya (hlm.225).

Melihat adegan yang menjijihkan itu, Lasi


mulai perutnya mual-mual dan jantungnya
berdebar-debar serta kepalanya pusing. Ia
langsung pergi ke kamar mandi begitu lampu
dinyalakan oleh Handarbeni. Lasi muntah di kamar
mandi. Nasi dan lauk-pauk yang dimakannya keluar
semua. Handarbeni kebingungan menunggu Lasi di
depan kamar mandi. Dia geleng-geleng kepala. Ada
perasaan yang meleset di pikiran Pak Han lewat
film itu.
….Dengan memutar film biru, sesungguhnya
Handarbeni ingin mencoba mengundang
fantasi birahi untuk membakar Lasi. Bila api
sudah berkobar Handarbeni akan berjerang
dan mengendalikannya sepuas hati. Meleset.
Lasi bukan hanya tak terbakar, kok malah
muntah? Meleset….(hlm.226)

Handarbeni khawatir jangan-jangan Lasi sakit.


Begitu keluar dari kamar mandi Lasi pucat dan pasi.
Setelah lasi minum teh buatan Handarbeni, Lasi
minta pulang dan diantarkan oleh Handarbeni ke
rumah Bu Lanting.

243
Lasi menjadi Istri Handarbeni
Hampir satu tahun Lasi menjadi istri
Handarbeni. Handarbeni sangat memanjakan Lasi
dengan hidup penuh kemewahan. Selama satu
tahun, Lasi juga mengetahui Pak Han yang
sebenarnya. Ternyata, beliau sudah mempunyai
dua istri sebelum mengawini Lasi. Dalam satu
minggu Pak Han hanya tiga kali pulang
mengunjungi Lasi di Slipi-Jakarta. Selain itu, Lasi
mengetahui kejantanan Pak Han yang sebenarnya.
Kejantanannya muncul bila ada bantuan obat-
obatan. Namun, Lasi harus nrimo (menerima) suami
apa adanya.
Suatu ketika, Lasi mengetahui niat dari Pak
Han mengawini Lasi. Lasi merasa dirinya hanya
dijadikan pelengkap untuk sekedar gengsi
dihadapan teman-temannya dan kesenangan
belaka. Cerita itu diperolehan dari Bu Lanting,
ketika Lasi berkunjung ke rumah Handarbeni.
“Ya, Las. Kamu memang diperlukan Pak Han
terutama untuk pajangan dan gengsi,” kata
Bu Lanting suatu kali ketika Lasi berkunjung
ke rumahnya di Cikini. “Atau barangkali untuk
menjaga citra kejantanannya di depan para
sahabat dan relasi. Ya, bagaimana juga
suamimu itu seorang direktur utama sebuah

244
perusahaan besar. Lalu, apakah kamu tidak
bisa menerimanya?” (hlm.266).

Mendengar penjelasan dari Bu Lanting, Lasi


hanya bisa menjawab Ya walaupun dengan rasa
tertekan dalam pikirannya. Pak Han benar-benar
keterlaluan. Lasi hanya tertunduk atas desakan
pertanyaan-pertanyaan dari Bu Lanting. Pikirannya
teringat pada suatu malam, ketika mereka di dalam
kamar bersama Pak Han, Lasi mendapat tawaran
yang memojokkan Lasi.
“Las, aku memang sudah tua. Aku tak lagi
bisa memberi dengan cukup. Maka, bila kamu
kehendaki, kamu aku izinkan meminta kepada
lelaki lain. Dan syaratnya hanya satu: kamu
jaga mulut dan tetap tinggal di sini menjadi
istriku. Bila perlu, aku sendiri yang akan
mencarikan lelaki itu untukmu.” (hlm.267-
268).

Ucapan Pak Han yang diceritakan Lasi kepada


Bu Lanting itu, dalam benak Lasi akan mendapat
jalan keluar yang baik. Akan tetapi, Bu Lanting
meresponnya dengan tertawa sambil tangannya
seperti orang berenang. “Oalah, Las, kubilang juga
apa. Pak Han lelaki yang luar biasa baik, bukan?
Oalah, Las, mujur amat nasibmu!” (hlm.268). Lasi
memandang Bu Lanting sambil membatu.

245
Perasaannya jijih, kecewa, dan tidak bisa mengerti
jalan pikirannya. Tawaran yang bernilai rendah itu
di mata Bu Lanting dianggapnya sesuatu yang
menyenangkan, bebas, dan perbuatan tanpa
mengandung resiko.
Walaupun Bu Lanting mendesak Lasi untuk
memanfaatkan kesempatan itu, “Lho, kalau kamu
tak bisa, jangan khawatir. Aku yang akan
mencarikannya buat kamu.”-- “Las, kamu jangan
sok alim. Mau dibuat enak dan kepenak kok malah
tak mau. Apa itu bukan bodoh namanya?”
(hlm.269). Lasi tetap bersihkukuh menolak tawaran
yang amoral itu. Lasi tersinggung berat. Wajahnya
mendung, beku, dan terheran-heran dengan sikap
Bu Lanting yang membuat segala urusan gampang,
serta selalu mendesaknya untuk melakukannya
perbuatan biadab itu.
Pikiran Lasi kalut dan buntu, terkadang
terlintas pikirannya mau menerima Pak Han apa
adanya sebagai laki-laki impoten dan keputusan itu
tidak buruk. Lasi akan menekan perasaannya
karena Pak Han telah banyak memanjakan dengan
kekayaan dan kemakmuran seisi rumah yang telah
dihuninya. Akan tetapi, bila teringat ucapan beliau

246
yang tidak senonoh, terkadang sungguh sangat
menyakitkan hati Lasi.
Pak Han sering mengulang-ulang kalimat itu
kepada Lasi, “Kamu boleh minta kepuasan
kepada lelaki lain. Yang penting kamu jaga
mulut dan tinggal jadi istriku di rumah ini.”
(hlm.270).

Lasi berusaha menghentikan Pak Han untuk


tidak berkata-kata yang tidak bermoral itu, tetapi
dia selalu mengulang-ulang ucapannya. Lasi protes
dan sering uring-uringan, mereka bertengkar
tentang sesuatu sangat prinsip bagi Pak Han. Untuk
menjernihkan pikiran, akhirnya Lasi pulang ke desa
(Karangsoga) dan ia diizinkan oleh Pak Han.

3. Beberapa Aliran Filsafat Moral


3.1 Hedonisme
Dari bahasa Greek Hedone, berarti
kesenangan dalam bahasa Inggris pleasure
kenikmatan (Salam, 2000:222). Hedonisme
merupakan aliran filsafat yang titik ukurnya sebuah
kenikmatan dan kepuasan rasa. Kecenderungan
untuk mencari kenikmatan dan kepuasan itu masih
merupakan suatu faktor yang mendorong manusia
untuk bertindak. Segala tindakan itu untuk

247
kesenangan walaupun jalan menuju ke arah itu
dengan jalan tidak benar.
Orang-orang yang penganut hedonisme
dengan sendirinya menganggap kesenangan itu
sebagai tujuan utama hidupnya. Mereka biasanya
hidup boros, menghambur-hamburkan harta-benda
karena untuk memburu kesenangan tanpa
memperhitungkan halal-haramnya.

3.2.2 Utilitarisme
Utilitarisme (utilis: berguna) merupakan ukuran
yang berguna bagi perorangan, sedangkan ukuran
bagi masyarakat atau negara disebut sosialisme.
Faktor yang terpenting yakni berguna, walaupun
jalan menuju ke arah itu dengan paksaan,
berbohong, kekerasan, fitnah, dan sebagainya;
asalkan berguna untuk mencapai tujuan.

Darsa Kehilangan 10 Pohon Kelapa


Pagi itu, Darsa tidak pergi menyadap nira,
karena sepuluh dari duabelas pohon kelapa
miliknya akan dirobohkan. Tidak ada kegiatan yang
dilakukan Darsa. Dia hanya jongkok dan merenung
di emper rumah. Dia kepalanya pusing dan

248
pikirannya buntu. Dia juga tidak kuasa melawan
keputusan pemerintah karena sepuluh pohon
kelapa terkena jalur pemasangan listrik. Dia hanya
menerima apa adanya. Akan tetapi, di saat-saat
kesedihannya ada sedikit kebahagiaan. Dia sudah
dikaruniai bayi yang lucu dan putih. Perkawinanya
dengan Sipah, istri Darsa yang pincang telah
memberikan kebahagiaan tersendiri.
Para pekerja sudah berdatangan dengan
membawa gergaji mesin. Darsa menyaksikan pada
pekerja penebangan pohon kelapa dengan chain
saw. Tidak saja Darsa yang terkena jalur
penebangan tetapi banyak orang termasuk Mukri.
Mereka yang hadir di sana hanya pasrah dan tidak
berdaya melihat penebangan pohon kelapa. Kanjat
dan Lasi juga hadir di sana, tetapi mereka hanya
diam dan tidak bisa mengusirnya. Melihat Darsa
terlalu bersedih, karena sepuluh pohon kelapanya
telah roboh, Mukri mendekati Darsa sambil
menghiburnya.
“Darsa, kita memang tak bisa lain kecuali
pasrah. Maksudku, daripada bersedih dan
terus kecewa tetapi pohon-pohon itu tetap
tumbang, lebih baik kita terima dan
mengalah.” --- Mukri menepuk pundak Darsa.
“Sungguh, Darsa. Percuma menyesali atau

249
menolak kuasa yang kita tak mungkin
menampiknya. Kukira, lebih baik kamu
mencoba hidup dari dua batang pohon
kelapamu yang tersisa.”(hlm.301).

Kesepuluh pohon kelapa itu sudah tumbang.


Darsa pulang dengan lesunya. Kanjat dan Lasi
menginguti dari belakang agak berjauhan. Di emper
rumah, Darsa hanya duduk-duduk sambil merokok
di dampingi Sipah yang pincang. Setelah
kedatangan Lasi dan Kanjat Sipah masuk rumah.
Keadaan rumah Darsa sudah rusak, tungku
pengolah nira tidak menyala dan ayaman bambu
juga sudah mulai berlubang.

Lasi Minggat ke Jakarta


Seperti biasa menjelang sore hari Lasi sudah
selesai mengolah nira. Gula merah sudah siap
dalam sebuah bakul kecil. Lalu disetorkan ke Pak
Tir, juragan gula merah.
………………………………………………..
Memasuki jalan besar truck muatan gula yang
disetiri Pardi sudah tidak agak goyang sebab
jalannya agak rata. Tiba-tiba Pardi memperlambat
trucknya, karena dia melihat sesosok tubuh
perempuan muncul dari balik pepohonan. Bagi

250
Pardi yang sudah biasa berpengalaman tentang
dunia perempuan nakal, tetapi perempuan ini
menghalangi jalan sehingga Pardi harus
menghentikan trucknya. Pardi dan Sapon kaget
melihat perempuan itu sebab yang dilihatnya yakni
Lasi anak mbok Wiryaji mau ikut ke Jakarta.
Lho, jangan Las. Kami tahu kamu sedang
punya masalah. Nanti orang bila aku
mencampuri urusanmu. Jangan, Las,” cegah
Pardi.
“Ya, lagi pula kami merasa tak enak terhadap
suami dan orangtuamu. Juga Eyang Mus.
Salah-salah mereka mengira kami melarikan
kamu. Wah, bisa repot,” tambah Sapon
(hlm.81).

Suasana menjadi terasa canggung dan buntu.


Tampaknya Lasi bersihkukuh mau ikut ke Jakarta.
Ada perasaan bersalah pada diri Pardi dan Sapon
nanti dikira yang melarikan Lasi mereka berdua.
Oleh karena, keragu-raguan mereka, Lasi akhirnya
bersumpah untuk memberikan kepercayaan
kepada Pardi dan Sapon, “Bumi-langit jadi saksi
bahwa aku pergi atas kemauanku sendiri. Ayolah.
Atau bila kalian keberatan aku akan turun dan
duduk di depan roda. Bagaimana?” (hlm.81-82).

251
Mendengar sumpah dari Lasi seperti itu,
akhirnya Pardi dan Sapon naik truck lalu mengapit
Lasi di tengah yang sudah duduk dari tadi. Pardi
tidak bisa apa-apa selain menjalankan trucknya
menuju ke Jakarta. Pardi hanya bisa mengatakan,
“Baiklah, bila kamu sudah bersaksi kepada langit,
kepada bumi. Aku pun bersumpah bahwa aku tak
punya urusan dengan pelarianmu ini.” (hlm.82)
Selanjutnya, di dekat jalan besar, Pardi
berhenti dan membeli rokok sambil titip pesan
kepada pemilik warung bahwa Lasi minggat atas
kemauannya sendiri. Setelah itu, truck membelok
ke barat dan meluncur dengan kecepatan stabil
menuju ke Jakrta. Sudah satu jam truck
meninggalkan Karangsoga sejak sore, tadi Pardi
dan Sapon belum makan. Akhirnya, mereka
berhenti di rumah makan. Lasi turun juga ikut
makan. Ada pengalaman baru bagi Lasi, apa yang
dilihat dan dilakukan Pardi di warung itu. Seorang
perempuan memberikan handuk dan sabun
kepada Pardi seperti layaknya istrinya. Sapon
melihat Lasi terheran-heran, lalu dia mengatakan
kepada Lasi, “Sopir, kata orang, bila ingin ngaso,
yang mampir jadi pacarnya banyak.” (hlm.85).

252
Mereka melanjutkan perjalanan lagi ke Jakarta.
Setelah itu truck berhenti di warung. Mereka turun
termasuk Lasi ikut makan. Lasi makan dan minum
dengan lahap. Menurut perkiraan Sapon sejak
kejadian yang menimpa Lasi, yakni dikhianati
suaminya boleh jadi sudah dua hari ia belum
makan.
Setelah itu, mereka melanjutkan lagi
perjalanan menuju Jakarta. Jarak yang kan
ditempuh kali ini empatratus kilometer. Bila truck
menempuh dengan kecepatan normal jarak itu
akan memnakan tujuh atau delapan jam. Selama
dalam perjalanan menuju ke Jakarta, Pardi dan
Sapon memikirkan Lasi, apa yang akan
dilakukannya di Jakrta nanti dan besoknya Lasi apa
akan embali lagi. Walaupun sifat Pardi senang
dengan para perempuan tidak berarti dia
seenaknya saja mengoda dan mengganggu
perempuan yang sedang ada masalah seperti Lasi
berikut ini.
“Hus! Monyet, kamu. Jangan macam-macam.
Kami para sopir memang rata-rata bajingan.
Tetapi kami punya aturan. Kami pantang
main-main dengan perempuan bersuami. Itu
pemali, tabu besar jika kami tidak ingin
mampus dalam perjalanan.”

253
“Ya, Mas. Namun aku juga sedang berpikir
bagaimana nanti bila Lasi benar-benar jadi
janda. Karangsoga bakal ramai.”(hlm.88)

Pukul sebelas malam truck mengisi bahan


bakar di kota Tegal. Sapon tidur di belakang di
bawah terpal karena memberikan Lasi biar tidur
agak leluasa. Setelah sampai di kota Indramayu
truck berhenti. Pardi menyempatkan tidur dua jam
lamanya di kamar salah satu warung. Di tempat itu
juga Pardi mempunyai pacar. Setelah itu truck
melanjutkan lagi ke Jakarta hingga hampir fajar ,
truck berhenti di pinggir kota Jakarta. Pardi tidur
sebentar di atas dipan kayu di emper warung,
karena setor gula baru bisa diterima pukul 08.00
pagi. Lasi bangun dan menuju ke kamar mandi.
Untuk sementara Lasi dititipkan di warung Bu
Koneng, sebab Lasi tidak diizinkan ikut setor gula
merah dan Pardi memberi uang pada Lasi sebelum
pergi. “Untuk sekedar pegangan, Las. Barangkali
kamu membutuhkannya untuk beli minuman
selama aku pergi,” kata Pardi (hlm.92-93).
Selanjutnya, truck menuju gudang milik Cokin
(Juragan gula) setelah lima jam berhenti di warung.
Untuk sementara, Lasi dititipkan di warung Bu

254
Koneng. Selama di warung Bu Koneng, Lasi
diperlakukan dengan baik, …Bu Koneng
mengajaknya makan pagi, bukan di ruang warung
melainkan di ruang dalam. Lasi tak enak karena
merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu
menampik kebaikan Bu Koneng. (hlm.94).
Setelah panjang-lebar omong-omong dengan
Lasi tentang minggatnya dari kampung. Bu Koneng
akhirnya mengetahui dan menawarkan kebaikan
kepada Lasi. “Tinggalah bersamaku di sini barang
satu atau dua minggu sampai hatimu dingin.
Kemudian kamu lihat nanti apa yang sebaiknya
kamu lakukan.” (hlm.95-96). Walaupuyn ada
keinginan di hati Lasi mau menjadi pembantu tetapi
Bu Koneng tidak tega menjadikan Lasi sebagai
pembantu rumah tangga. Yang diinginkan Bu
Koneng Lasi hanya disuruh menemani Bu Koneng
ke pasar dan mengerjakan pekerjaan yang ringan-
ringan.
Setelah jam dua siang, Sapon datang ke
warung Bu Koneng untuk membawa Lasi pulang ke
Karangsoga, tetapi Lasi tidak mau pulang. Sebagai
orang yang bertanggung jawab Pardi dan Sapon
mengkhawatirkan keselamatan Lasi.

255
“Jangan Las. Kamu jangan merepotkan kami.
Kamu harus pulang. Bila tidak, aku dan Mas Pardi
bisa mendapat kesulitan. Kami bisa menjadi
sasaran segala macam pertanyaan.” --- “Sungguh,
Las!” kata Sapon tak peduli. “Kamu harus pulang.
Soal nanti kamu kembali kemari, itu urusanmu.
Tetapi kali ini, karena kamu berangkat bersama
kami pula. Kamu bisa marah kepada suami; tetapi
emak? Dan kamu pergi tanpa memberitahu
siapapun, bukan?”(hlm.98).
Selanjutnya, Bu Koneng memberikan alasan
kepada Sapon bahwa ia sungguh-sungguh akan
memperlakukan Lasi dengan baik dan tidak akan
menyamakan Lasi dengan perempuan nakal yang
ada di warungnya.
“Ya! Aku mengerti apa yang kamu
khawatirkan akan terjadi terhadap Lasi. Tidak.
Kalian jangan cemas. Aku menyadari Lasi
tidak sama dengan perempuan-perempuan
yang kutampung di sini. Jadi aku tidak akan
menyamakannya dengan mereka.” (hlm.100)
“Baik. Aku tidak akan menyia-nyiakan
kepercayaan orang yang sudah lama kukenal.
Percayalah, Lasi akan aman bersamaku di
sini.”(hlm.101)

Sapon dan Pardi berusaha keras untuk


membujuk Lasi agar ikut pulang ke Karangsoga,

256
tetapi ia tidak ikut pulang. Untuk meyakinkan
mereka akhirnya Lasi mengulangi kata-kata yang
pernah diucapkannya ketika mau ikut ke Jakarta.
Lasi bahkan mengulangi kata-kata yang
diucapkannya kemarin; bumi dan langit
mjenjadi saksi bahwa Pardi dan Sapon bersih
dari kesalahan karena pelarian Lasi adalah
tanggung jawab pribadi sepenuhnya (hlm.100-
101).

Surat Cerai
Setelah semalam Lasi tak bisa tidur
memikirkan segala permasalahan yang berkaitan
dengan dirinya. Pagi itu di meja makan, Lasi ditagih
janji oleh Bu Lanting tentang keputusan menerima
lamaran Handarbeni. Lasi tidak bisa berkata apa-
apa selain hanya pasrah kepada keinginan Bu
Lanting saja, “Bu, sebenarnya saya tidak bisa
memutuskan apa-apa. Saya hanya akan menurut,
semua terserah ibu bagaimana baiknya. Saya
pasrah. Tetapi, Bu, sebenarnya saya takut?”
(hlm.210).
Setelah mengatakan demikian, ada perasaan
mengganjal dalam hati Lasi tentang kesahihan
perkawinannya nanti, “Bu, masih ada lagi yang
menjadi pikiran saya; bagaimana soal surat cerai?

257
Saya ingin bicara blak-blakan, tanpa surat cerai dan
bekas suami saya, saya tidak mungkin mau kawin
lagi.” (hlm.211). Wajah Bu Lanting berubah beku
dan dingin lalu ia berkata sebagai berikut.
“Kamu jangan khawatir tentang kemampuan
Pak Han. Seperti sudah kubilang, kamu bisa
memperoleh surat cerai di sini. Las, di Jakarta
ini segala sesuatu bisa ditembak. Surat cerai,
oh iya, juga surat pindahmu bisa ditembak di
sini dengan duit. Nah, agar urusan jadi cepat
dan mudah, serahkan semuanya kepada Pak
Han. Kamu tinggal tahu beres. Enak, bukan?”
(hlm.211).

Dihadapkan pada hal yang demikian Lasi ragu,


ada perasaan ingin bertanya segala sesuatu yang
berkaitan dengan tindakannya tidak mau hanya
main-main saja. Oleh karena itu, Lasi ingin
mendapatkan surat cerai dari Darsa yang asli,
selain itu, Lasi juga mau minta restu orangtua.
Menanggapi keinginan Lasi yang seperti itu, Bu
Lanting hanya bisa mengizinkannya pulang ke
Karangsoga, walaupun ada perasaan jangan-
jangan Lasi tidak kembali ke Jakarta. Hal itu sudah
dipupuskan dalam pikiran Bu Lanting, “Baik, Las.
Kamu boleh mengurus sendiri perceraianmu,
sekalian minta surat pindah. Aku juga tahu, kira-

258
kira kamu sudah kangen sama emakmu…
(hlm.212).
Di samping itu, menurut celoteh masyarakat
Karangsoga Lasi sedang menuntut cerai kepada
Darsa. Proses perceraiannya sangat cepat. Lasi
membawa surat sakti dari purnawirawan tentara
(overste) dari Jakarta, yang ditujukan kepada Kades
dan Kepala KUA. Oleh karena, takut akan surat
sakti tersebut Darsa dibawa oleh Kepala Desa
menghadap Kepala KUA tanpa kehadiran Lasi,
jatuhlah talak tiga.

3.2.4 Vitalisme
1) Moral Majikan (Herren-moral)
Herren-moral (Ubermensch) adalah moral
yang dipunyai oleh tuan-tuan besar atau moral
kepunyaan orang yang kuat seperti majikan atau
penguasa. Biasanya seseorang yang bersifat
ubermensch, yakni bisa menghalalkan segala cara.

2) Moral Buruh (Sklaven-moral)

3.2.5 Theologis

259
Theologia merupakan segala perbuatan dan
tingkah laku yang sesuai dengan kebenaran
agama. Terkadang prilaku manusia untuk
mengukur baik-buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik jika
bertujuan mencapai sesuatu tindakan dinilai baik
jika bertujuan mencapai sesuatu yang baik dan
akibat yang ditimbulkannya juga baik. Misalnya,
anak kecil itu mencuri uang tetangganya untuk
membeli obat buat Ibunya yang sakit parah. Hal itu
dalam aliran filsafat theologis diperbolehkan,
karena tujuan akhirnya demi kebaikan. Theologi
lebih cenderung memasuki etika situasional, karena
tujuan dan akibat dari tindakan itu bisa sangat
situasional sifatnya. Oleh karena itu, setiap norma
dan kewajiba moral tidak bisa berlaku begitu saja
dalam setiap situasi. Lain halnya dengan tuntunan
agama sebagai basis dari segala kebaikan.
Secara umum, berklaitan dengan agama
memberikan tuntunan yang baik bagi umatnya. Hal
ini juga biasanya berkaitan dengan moral yang baik
apabila perbuatan tersebut sesuai dengan agama.
Dalam arti bahwa perbuatan itu sesuai dengan

260
peristah Tuhan dan menjauhi larangannya.
Tuntutan kesusilaan dalam hal ini telah digariskan
oleh agama dan tertulis dalam kitab suci masing-
masing agama. Tentunya bagi masing-masing
agama, norma-norma tersebut tidak sama, tetapi
dalam garis besarnya tuntutan kesusilaan dalam
agama ada kesamaan.

a) Egoisme
Dari kata Latin Egoisme (aku) Ego (Inggris).
Yang dapat dinilai baik, yakni: sesuatu yang
memberikan manfaat bagi kepentingan diri sendiri.
Tindakan apa saja yang dipikirkan atau diharapkan
semuanya memberikan keuntungan pada diri
sendiri. Biasanya orang seperti ini, ingin dipuja dan
selalu ingin diketahui kepandaiannya dan
kemampuannya. Ke-aku-annya lebih menonjol
daripada secara umum. Misalnya, saya membuat
Kue Taar, saya mula-mula memberi contoh tentang
pembuatan kue taar, hingga selesai. Tindakan itu
menekankan kepentingan dan kebahagiaan pribadi
berdasarkan hal yang menyenangkan tau
kebahagiaan. Setiap tindakan yang menyenangkan
bagi diri sendiri selalu dimulai sebagai tindakan

261
yang baik dan pantas dilakukan. Sebaliknya,
tindakan yang tidak menyenangkan dan tidak
menendatangkan kebahagiaan bagi diri sendiri
harus dihindari.
Secara singkat, egoisme seharusnya bertindak
untuk mengusahakan kepentingan pribadi dengan
mengejar kenikmatan yang membahagiaakan dan
menghindari yang tidak menyenangkan.
Sesungguhnya, egoisme bersifat positif karena
didasarkan pada prinsip bahwa dalam situasi
apapun setiap orang wajib memperoleh sebanyak
mungkin hal yang baik bagi dirinya. Dalam
perkembangan selanjutnya, egoisme mengarah
pada hedonisme yang vulgar dengan menekankan
kebahagiaan manusia, terletak pada kesenangan
dan kenikmatan lahiriah saja. Kecenderungan
egoisme ini dalam kebudayaan modern lebih
tertuju pada sikap individu dan material pada setiap
pribadi ke arah yang negatif, yakni mementingkan
kebutuhan pribadi.
Selanjutnya, berkaitan dengan etika theologis,
memandang bahwa segala kegiatan manusia harus
mendatangkan kesenangan dan selalu ingin
menjadi nomor satu. Semua orang selalu

262
cenderung melakukan apa yang diinginkannya
tanpa menyakitkan baginya. Semua orang selalu
bertindak demi kepuasan pribadinya dan hanya
pribadinya yang hanya dimotivasi oleh kepentingan
sendiri. Apa yang disebut pengorbanan dan
pengabdian untuk orang lain, sebenarnya
mempunyai tujuan akhir yakni kebahagiaan dan
kepuasan diri. Bisa juga usaha yang dilakukan
secara matia-matian untuk membantu orang lain,
untuk memajukan kesejahteraan orang lain,
sesungguhnya bertujuan untuk mencari
kepentingan pribadi.
Berkaitan dengan novel Bekisar Merah karya
Ahmad Tohari, perbuatan sang tokoh yang baik
dilakukan oleh Eyang Mus tanpa mengharapkan
balasan apapun dari orang lain. Ada beberapa
macam kebaikan-kebaikan yang dilakukan orang
tua tersebut.
Ketika itu, di desa Karangsoga jatuh pada
bulan puasa. Seperti biasanya surau Eyang Mus
banyak didatangi warga. Mereka melaksanakan
sholat tarawih bersama, slawatan, dan terkadang
membaca suluk sisingiran secara bergantian. Selain
itu, tidak jarang Eyang Mus menjadi tumpuhan

263
warga tempat bertanya mengenai hukum agama
Islam. Pertanyaan yang dilemparkan warga itu,
mempunyai ciri khas berkaitan dengan para
penderes. Sebenarnya pertanyaan itu sudah
setahun yang lalu ditanyakan kepada Eyang Mus,
tetapi beliau selalu menghindar atas pertanyaan
itu. Entah apa sebabnya. Padahal, pertanyaan itu
sangat sederhana sekali, seperti “Apakah seorang
penderes tetap wajib berpuasa sementara dia harus
naik-turun empatpuluh pohon kelapa pagi dan sore
hari.” Yang lain, menambahi pertanyaan, “Tidak
puasa takut salah, tetapi bila berpuasa kaki saya
sering gemetar ketika naik-turun pohon kelapa. Apa
lagi bila hari hujan.” (hlm.234).
Mendengar pertanyaan itu, Eyang Mus hanya
menunduk lalu batuk dengan mengangkat kepala
kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan
Mukri setahun yang lalu.
“Dhawuh berpuasa hanya untuk mereka yang
percaya, dan dasarnya adalah ketulusan dan
kejujuran. Intinya adalah pelajaran tentang
pengendalian dorongan rasa. Mukri, bila kamu
kuat melaksanakan puasa meski pekerjaanmu
berat, dhawuh itu sebaiknya laksanakan.”
(hlm.234-235).

264
Mereka yang berkumpul di surau Eyang Mus
dengan cermat mendengarkan dan memperhatikan
ucapan-ucapan beliau. Oleh karena, Mukri tidak
sabar, kemudian dia menyela “bila tak kuat?”
potong Mukri (hlm.235). Eyang Mus menjawab lagi.
“Di sinilah pentingnya kejujuran itu. Sebab
kamu sendirilah yang paling tahu kuat-
tidaknya kamu berpuasa sementara
pekerjaanmu memang menguras banyak
tenaga. Apabila kamu benar-benar tidak kuat,
ya jangan kamu paksakan. Nanti malah
mengundang bahaya. Dalam hal seperti ini
kukira kamu bisa mengganti puasamu dengan
cara berderma atau menebusnya dengan
berpuasa pada bulan lain. Gampang?”
(hlm.235).

Mereka yang hadir di surau tampak lega ada


kejelasan jawaban dari Eyang Mus. Mukri dan San
Kardi saling berpandangan. Mereka gembira karena
sudah hilang tanda tanya yang selama ini menjadi
beban mereka. Selain itu, pesan dari Eyang Mus di
samping sifat jujur dan tulus dalam bulan puasa
harus bisa mengendalikan nafsu, perasaan, dan
keinginan yang buruk-buruk. Petuah Eyang Mus
sangat dimengerti dan dipahami oleh para
penderes yang hadir di surau. Jawaban Eyang
ternyata sangat sederhana, tetapi sangat mengena

265
sekali. Mereka berpikir mengapa Eyang Mus
menundanya sampai bertahun-tahun?
“Eyang Mus terkekeh. Mulutnya yang sudah
ompong terbuka. “Mau tahu jawabanku?
Begini, Anak-anak. Sebab aku tahu kalian
bekerja sangat berat dan berbahaya,
sementara pekerjaanku hanya memelihara
sebuah kolam ikan, itu pun tidak seberapa
luas. Itulah, maka aku tak berani mengatakan
puasamu harus sama seperti puasaku.”
“Dan itulah, maka sampai sekian lama Eyang
Mus tidak berani berterus terang kepada
kami?” seloroh Mukri. Mereka tertawa. Eyang
Mus juga tertawa (hlm.236).

Utilitarianisme (Utili)
Istilah utilitas, dalam bahasa Latin berarti
berguna dan berfaedah, dalam bahasa Inggris
useful. Aliran menilai baik-tidaknya ditinjau dari
segi kegunaan yang didatangkannya. Ulitisme
sebagai paham atau aliran dibagi menjadi dua
macam, yakni: utilisme individual dan utilisme
sosial.
Pertama, utilisme individual yaitu suatau
paham yang menganggap bahwa seseorang itu
boleh bersikap sesuai dengan situasi yang
menguntungkan dirinya. Sikap itu boleh berpura-

266
pura hormat, menjilat, asalkan perbuatan itu
membawa keuntungan pribadi.
Kedua, utilisme sosial yaitu pada prinsipnya
dihadapkan pada masyarakat umum, demi
kepentingan banyak orang, tidak apa berdusta
sedikit, tidak apa bermulut manis, tidak apa basa-
basi, dan sebagainya.
Sikap seperti ini banyak dipakai oleh orang
yang bergerak di kalangan politik (diplomat).
Paham utilisme sosial dipraktekkan oleh ajaran
marx (Salam, 2000:217), tindakan itu asal berguna
bagi kepentingan orang banyak, seperti untuk
kepentingan negara, hal itu berarti baik. Jadi, boleh
dilaksanakan dengan tidak perlu memperhatikan
protes dari mana saja. Tindakan seperti itu
dinamakan tujuan menghalalkan cara. Dari segi
moral, perbuatan itu tidak dapat dibenarkan,
walaupun hasilnya baik. Akan tetapi, kebohongan
tetap kebohongan dan perampokan tetap
perampokan, maka dari itu dalam tuntunan semua
agama tidak mengizinkan tindakan seperti itu.
Sependapat dengan ide Kant (salam, 2000:217),
sikap itu merusak kepribadian manusia. Sebab bila
cara-cara itu dibenarkan, jelas bisa saja terjadi

267
suatu hasil kebohongan/perampokan yang dipakai
untuk sesuatu yang berguna dapat dikatakan baik,
yang dengan sendirinya berarti cara itu juga
dianggap sopan dan bersusila.
Jika egoisme menilai baik-buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan akibatnya dari
tindakan itu bagi diri sendiri, maka utilitarianisme
menilai baik-buruk suatu tindakan berdasarkan
tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi
kebanyakan orang. Menurut teori utilitarianisme
menekankan pada kegunaan bagi masyarakat
secara umum, faktor manfaatlah yang perlu
dipikirkan atas tindakan itu. Teori ini berakar dalam
pernyataan bahwa suatu tindakan dinilai baik jika
tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi
masayarakat secara umum atau akibat buruk yang
paling kecil (minim). Berkaitan dengan hal di atas
ada dua hal yang sangat positif dari utilitarianisme,
yakni:

(1) Rasionalitas
Suatu tindakan dinilai baik, karena tindakan
itui akan mendatangkan keuntungan yang lebih
banyak daripada tindakan lain. Di sini ada unsur

268
pertimbangan perhitungan; jika nilai yang diperoleh
akan mendatangkan keuntungan, maka hal itu
akan dilakukannya. Jika nilai perolehannya minim,
hal itu tidak akan dilakukannya.

(2) Universalitas
Suatu tindakan dinilai berdasarkan banyaknya
orang yang memperoleh manfaat dari nilai itu.
Tindakan ini mengutamakan kepentingan banyak
orang di atas kepentingan segelintir orang. Paham
ini bersifat pragmatis dalam arti yang negatif.
Dalam mengambil keputusan mengenai tindakan
orang cenderung terlalu menekankan kegunaan
praktis. Oleh karena itu, kepraktisanya cenderung
mengorbankan pihak-pihak yang kecil dan lemah
yang seharusnya ikut menikmati manfaat itu.
Sebagai gambaran untuk meningkatkan
devisa negara dan kepentingan ekonomi nasional,
maka ditingkatkannya pengrajin-pengrajin kecil di
daerah. Akan tetapi, sesungguhnya tindakan itu
malah menguntungkan para konglomerat
mendatangkan untung yang besar. Para
konglomerat membeli produk pengrajin murah dan
menjula ke luar negeri dengan mahal.

269
Deontologis
Istilah deontologis berasal dari Yunani, yang
berarti kewajiban atau duty (Inggris). Etika ini
menekankan kewajiban manusia untuk bertindak
secara baik. Dalam etika deontologis, suatu
tindakan itu baik bukan dinilai berdasarkan tujuan
atau akibat itu baik, melainkan tindakan itu sendiri
sudah baik. Tindakan itu baik tentu saja bernilai
moral karena dilaksanakan berdasarkan kewajiban.
Misalnya, seorang pedagang harus melayani
pembeli dengan baik, mengembalikan utang
kepada Bank tepat waktu, memberikan penjelasan
mutu barang sesuai dengan harga, dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal di atas, maka etika
deontologis sangat menekankan pentingnya
motivasi yang baik, kemauan yang baik, dan
karakter yang baik dari para pelaku bisnismen
(pedagang). Kemauan yang baik itu merupakan
kondisi yang mau tidak mau harus ada agar
manusia bisa memperoleh kebahagiaaan. Kemauan
yang baik bukan dampaknya yang ditimbulkannya,
melainkan kemauan itu pada diri sendiri yang baik.
Untuk menilai semua tindakan itu baik/tidak yang

270
harus dinilai apakah motivasi atau kemauan
(karakter) itu sendiri baik apa tidak?
Menurut Kant (1734-1804) berkaitan dengan
kemauan baik bahwa tindakan yang baik tidak saja
sesuai dengan kewajiban manusia, melainkan
tindakan yang dijalanankan demi kewajiban. Kant
(dalam Salam, 2000:210), dia menolak semua
tindakan yang bertentangan dengan kewajiban
sebagai tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban sebagai tindakan yang baik, walaupun
tindaklan itu dalam arti tertentu sangat berguna.
Dia juga merumuskan tiga prinsip dasar, yakni: (1)
supaya tindakan mempunyai nilai moral, maka
tindakan itu harus dijalankan berdasarkan
kewajiban; (2) nilai moral tidak tergantung pada
tercapainya tujuan dari suatu tindakan, melainkan
bergantung pada kemauan baik yang mendorong
seseorang untuk melakukannya; (3) kewajiban
merupakan hal yang niscaya dan tindakan yang
dilaksanakan berdasarkan sikap hormat kepada
hukum.

4. PENUTUP

271
Pertolongan Mukri kepada Darsa, ketika dia
jatruh dari pohon kelapa tidak sesuai dengan moral
manusia secara umum. Pertolongan itu terkesan
menyakiti Darsa, karena dalam keadaan jatuh sakit
dari pohon dia tidak langsung segera ditolong,
malahan dia dikencingi. Perbuatan itu tidak bisa
diterima di masyarakat walaupun bagi masyarakat
setempat diakuinya sebagai srana atau
kepercayaan tetapi kurang memberikan nilai-nilai
pendidikan dan kebaikan. Selain itu, perbuatan
seperti itu dianggap menghina sesama manusia.
Selama Darsa sakit, Lasi tetap mengolah nira
dan mencari kayu bakar sendiri. Melihat kerja
keras Lasi, Mbok Wiryaji merasa kasihan, sehingga
ia berencana untuk memisahkan Darsa dengan
Lasi. Akan tetapi, hal itu dilarangnya oleh Eyang
Mus.
Selama dirawat oleh dukun pijat bernama
Bunek, Darsa sembuh dari sakitnya. Akan tetapi,
Bunek minta upah jasa balas budi kepada Darsa
agar menikahi Sipah.
Ketika berkunjung ke rumah Handarbeni, Lasi
diputarkan film porno dengan harapan Handarbeni
memancing birahi Lasi. Akan tetapi, sungguh di luar

272
dugaan. Lasi malah pusing dan mual-mual serta
muntah.
Setelah menjadi istri Handarbeni, Lasi
mengetahui jati diri suami yang sebenarnya.
Ternyata Handarbeni laki-laki impoten.
Kejantanannya muncul bila ada rangsangan dari
obat-obatan. Ketergantungan obat ini membuat
Handarbeni merasa khawatir akan ditinggalkan
Lasi, sehingga dia menyuruh Lasi untuk mencari
lelaki lain bila kurang puas. Akan tetapi, tanggapan
Lasi sungguh suatu penghinaan baginya.
Dengan adanya listrik masuk desa
Karangsoga, banyak warga yang merasa
kehilangan pohon kelapa. Padahal pohon kelapa
merupakan sumber kehidupannya. Misalnya, Darsa
kehilangan sepuluh pohon kelapa, padahal dia
hanya mempunyai duabelas pohon kelapa. Bila
sepuluh pohon kelapanya sudah dirobohkan berarti
dia hanya mempunyai dua pohon kelapa untuk
dideres. Apakah mungkin dia hanya hidup dengan
dua pohon kelapa? Keminkinan ini yang melilit
sebagian penduduk Karangsoga. Mereka tidak bisa
protes. Mereka hanya pasrah kepada Sang Hyang
Tunggal pencipta Alam.

273
Kepergian Lasi ke Jakarta karena ia sakit hati
kepada Darsa. Suaminya selingkuh dengan Sipah,
anak dukun pijat bernama Bunek. Lasi pergi ke
Jakarta dengan menumpang truck milik Pak Tir,
yang disetiri Pardi. Untunglah, Nasib baik masih
berpihak pada Lasi, ia menumpang di warung Bu
Koneng gratis dan diperlakukan dengan baik. Oleh
karena, Lasi cantik sehingga ia tidak dipajang di
warungnya sebagai perempuan pelacur. Ia
diperkenalkan dengan Bu Lanting. Selanjutnya, oleh
Bu Lanting, Lasi diperkenalkan dengan orang kaya
bernama Handarbeni. Akhirnya, mereka menikah,
tetapi dalam rumah tangganya ada permasalahan
yang mereka sendiri yang harus menyelesaikannya
yaitu hubungan tentang seksualitas.

DAFTAR RUJUKAN
Chamamah, Siti. 1994. “Teori Penelitian Sastra.”
Dalam Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang
Teori dan Metode Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP
Muhammadiyah (skr Univ. Ahmad Dahlan).
Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep
Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: Aneka
Ilmu
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
274
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading. Baltimore
and London: The Johns Hopkins Press Ltd.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Luxemburg, Van. (dkk.). 1992. Pengantar Ilmu
Sastra (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Magnis, Frans von, 1975. Etika Umum.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Magnis-Suseno, Franz. 1998. Tigabelas Model
Pendekatan Etika. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
---------------. 2005. Etika Dasar: Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Poedjawiyatna.2003. Etika Filsafat Tingkah Laku.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Salam, Burhanuddin. 2000. Etika Individual: Pola
Dasar Filsafat Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
---------------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Penerbit
Pustaka Jaya.
Tohari, Ahmad. 1993. Bekisar Merah. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Driyarkara, N. S.J. 1966. Percikan Filsafat. Jakarta:
PT Pembangunan.
Bouman, P.J. 1954. Ilmu Masyarakat Umum. Jakarta:
PT Pembangunan.
Huky, D.A. Wila. 1981. Pengantar Filsafat.
Surabaya: Usaha Nasional.

275
276

You might also like