You are on page 1of 24

Kritik Terhadap ‘Kritik Nalar Islam’ Arkoun

Oleh: Irwan Malik Marpaung

Prolog

Epistemologi1 menempati posisi penting dalam dunia pemikiran, sebab ia


menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.
Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lainnya.
Epistemologi adalah produk langsung dari worldview2 yang dimilikinya. Dalam
hal ini E.G Guba dan Y.S. Lincoln menyatakan bahwa: “the basic belief system or
worldview guides not only in choices of method but in ontologically and
epistemologically fundamental ways.” Pernyataan ini sebenarnya mengungkap
rahasia mengapa ilmu itu value laden atau tidak bebas nilai.3 Dalam Islam,
epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah
terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini
berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh)
terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen

1
Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk
memperoleh dan menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu.
2
Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap
kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview
masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka
spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy
Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20., Prof. Alparslan mengartikan
worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan
teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam
pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of
all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is
ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Alparslan
Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The
International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6). Dari
definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk
membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Dan dapat kita mengerti bahwa worldview
melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitas
penalaran manusia.
3
Al-Attas, Risalah Kaum Muslimin, International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 2000, hal. 49-50.

1
(thawabit), dinamis (mutaghoyyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar
(mutasyabih), yang asasi (ushul) dan yang tidak (furu’).4
Sehubungan dengan masalah ini, berikut ini akan dibahas epistemologi
yang digagas oleh Muhammad Arkoun, seorang cendikiawan Muslim asal
Aljazair yang kini banyak dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Ia dikenal
karena kritiknya atas bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi
intelektual Islam. Menurutnya masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh
nalar Islami yang memiliki karakter logosentrism5 dengan ruang perkembangan
yang sangat sempit, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena
itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi ummat Muslim kontemporer.
Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya
yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada
intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi
historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara
benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem
semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di
samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi
tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi
dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat,
memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada
gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.

4
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA,
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 9. Dengan kata lain,
dalam epistemologi Islam, wahyu menempati hirarki tertinggi dalam sumber kebenaran,
sedangkan dalam epistemologi Barat wahyu tidak memiliki tempat sebagai sumber kebenaran.
5
Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et verite religieuse dans la pensee Islamique”
dalam Studia Islamica XXXV, Paris, 1972, hlm. 12-15, yang dikutip dalam Suadi Putro,
Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 38.

2
Muhammad Arkoun dan Gerakannya

Muhammad Arkoun adalah seorang pemikir terkenal di hadapan


intelektual yang concern dengan pemikiran dan kajian tradisi di dunia Arab.6
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19287 dikeluarga biasa di
perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki-gunung Taorirt-
Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata
fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf)8 dengan bahasa Kabilia Berber
sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.9 Pendidikan
dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah
menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat,
yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra
Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah
Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota
Aljazair.10
Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun
melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne,
Paris.11 Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan
Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah
Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra
Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai
dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia
menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut.
Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis

6
Ali Harb, Naqd al-Nash, al-Markaj al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet. IV 2005, hal. 88
7
Fedwa Malti Douglas, “Arkoun, Mohammed” dalam John L. Esposito (editor), The
Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, vol. 2 (New York: Oxford University Press,
1995), hlm. 139.
8
Robert D. Lee, “Foreword” dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common
Question, Uncommon Answers (Ouvertures sur l’Islam), Robert D. Lee (editor dan translator)
(Oxford: Westview Press, 1994), hlm. viii.
9
Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm. 14 dan 16.
10
Ibid., hlm. 15.
11
Ibid., dan Douglas, “Arkoun… ”, dalam Esposito (editor), The Oxford… , hlm. 139.

3
Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad 10 M yang
menekuni kedokteran dan filsafat.12 Semenjak menjadi dosen di Universitas
Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya
yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu
bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan
Perancis.13

Karya-karya Muhammad Arkoun

Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan
artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia
Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq
(Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga
menerbitkan beberapa kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan
dengan cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite
d’ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq)
(sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq
Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle:
Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme
Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee
arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan pengantar
untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan
artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee islamique
(Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan
Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar
islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la pensee musulmane

12
Disertasinya diterbitkan dengan judul Traite d’ethique (tradution francaise avec
introduction et notes du Tahdib al-Akhlaq de Miskawayh) (Damas: Institut francais de Damas,
1969) dan Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe
et hostorien (Paris: Vrin, 1982), lihat Johan Hendrik Meuleman, “Semiotika dan Batas Semiotika
Dalam Ilmu Agama: Studi Kasus Tentang Pemikiran Mohammed Arkoun”, dalam Johan Hendrik
Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran
Mohammed Arkoun, cet. II (Yogyakarta: LkiS, 1996), hlm. 40.
13
Meuleman, “Semiotika… ” dalam Meuleman, Tradisi… , hlm. 40.

4
calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh
(Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-
wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, hier, demain (Islam, kemarin
dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, religion et societe (Islam,
agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya lainnya
yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting, seperti pada
Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’islam”,
“Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, “History as
an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan
Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan sebagainya.
Karya-karya Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami
oleh ilmuwan-ilmuwan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack
Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh ahli
bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack Goody, ahli sastra
Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya. Pengaruh pengaruh tersebut tampak
misalnya pada anggitan tentang myth14 dan imaginaire social15 dari Ricoeur,
episteme, discours dan archeology dari Foucault16, signifiant dan signifie dari de
Saussure17, deconstruction, unthought (l’impense), unthinkable (l’impensable) dan
thinkable (le pense) dari Derrida18 dan sebagainya. Arkoun terus mencoba
pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan

14
Myth adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah, simbol adalah sejenis tanda
yang mempunyai rujukan ganda (salah satunya kepada dirinya), dan tanda (sign) adalah segala
sesuatu yang menunjuk di luar dirinya sendiri, lihat St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama
Mohammed Arkoun” dalam Meuleman, Tradisi… , hlm. 81.
15
Imaginaire Social adalah kumpulan dari gambaran-gambaran moral dan esensial yang
menimbulkan kekuatan dari dalam yang dimiliki oleh setiap komunitas, lihat Mohammed Arkoun,
al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim Shalih (penterjemah), (Beirut: Markaz al-Inma’ al-
Qawmi, 1987), hlm. 21.
16
Episteme adalah sistem pemikiran yang digunakan oleh manusia sebagai cara unrtuk
menangkap (memandang dan memahami) kenyataan, Discours adalah cara manusia membicarakan
kenyataan, dan archeology adalah usaha untuk menggali berbagai kaidah episteme yang
menentukan suatu periode tertentu, lihat Putro, Mohammed Arkoun… , hlm. 22.
17
Signifiant (penanda) adalah sesuatu yang merujuk atau yang menandai, signifie
(petanda) adalah sesuatu yang dirujuk atau ditandai, lihat Ibid., hlm. 22-23.
18
Deconstruction adalah pembongkaran, yaitu suatu upaya kritik dari dalam untuk
mengungkap aneka ragam aturan yang sebelumnya tidak tampak dan tidak dikatakan dalam teks,
l’impense adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, l’impensable adalah sesuatu yang tidak
mungkin terpikirkan, dan le pense adalah sesuatu yang dapat dipikirkan, lihat Ibid., hlm. 23.

5
menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern.
Dengan begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa
memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim
akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang mereka buat
sendiri.19

Metodologi dan Landasan Epitemologi Gagasan Arkoun

Sebagaimana banyak intelektual, baik Muslim dan nonmuslim yang


belajar di Prancis, Arkoun memiliki kecenderungan berpikir yang terbilang rumit.
Perpaduan dari berbagai jenis perkembangan wacana ilmu yang digandrungi di
sana, seperti Derrida (Dekonstruksi-grammatologi), Lacan (psikologi), Barthes
(semiologi), Foucault (epistemologi), Poststrukturalisme ala Saussure (linguistik),
Levi Strauss (antropologi), Politik (Voltaire), Eksistensialisme (Nietzche dan
Sartre), Rasionalisme (Descartes), juga ilmu-ilmu arkeologi-sosial-sejarah
Mazhab Analle20 Prancis. Arkoun tidak sendirian dalam hal ini. Salah seorangnya
ada juga ideolog Mesir kenamaan, Hassan Hanafi, yang menggoncang gairah
pemikiran Islam dengan teori Islam Kirinya. Arkoun banyak meminjam konsep-
konsep kaum poststrukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah
kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi,
mitos, logosentrisme, yang tak terpikir dan dipikirkan, parole21, aktant dan lain-

19
Arkoun, “Introduction” dalam Arkoun, Pour une critique de la raison islamique, hlm.
38, yang dikutip dalam Ibid., hlm. 23-24.
20
Mazhab Analle adalah Pengkajian sejarah yang tidak hanya menitik beratkan pada
sejarah politik dan sejarah orang-orang besar/terkenal saja. “sejarah yang lebih luas dan lebih
manusiawi”, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat
kepada penceritaan kejadian dibanding kepada analisis struktur (Burke, 2001: 22). Itulah madzab
Annales yang telah meletakkan tonggak baru pengkajian sejarah jenis baru. Misalnya, para
sejarawan Perancis mulai akrab dengan penggunaan konsep-konsep ilmu sosial lain di luar sejarah,
termasuk psikologi, demografi, sosiologi, dan geologi. Kadang-kadang cara kerja sejarawan
diandaikan seperti seorang geolog yang sedang menggali lapisan bumi, dimulai dari lapisan atas
untuk menemukan isi paling dalam lapisan bumi itu (dalam kasus penelitian sejarah kebudayaan
berarti ingin menemukan fakta mental). Karya Braudel tentang dunia Laut Tengah atau karya
Dennys Lombard tentang Silang Budaya yang terjadi di Nusa Jawa dapat dijadikan contoh
mengenai model pengkajian dan penulisan sejarah yang dikembangkan oleh madzab Analles itu.
21
Istilah parole dan langue dipinjam dari Bapak perintis semiotika dari Swis (1857-1713).
Dalam seluruh gejala kebahasaan—ia menyebutnya langage—perlu dibedakan dua segi: sistem

6
lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah
pergulatannya dengan post-strukturalisme.
Pembacaan Arkoun yang paling menonjol dalam mendekati turats Islam
sebagai berikut: historis dan antropologis (humainora), linguistis, semiotika dan
sastra, tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir ideologi-teologis keimanan serta
segenap perangkat metodologi anyar.22 Dalam menerapkannya ia tidak pernah
setia pada satu metodologi tertentu melainkan dengan aproach secara inter
disipliner (tadakhûl mutaadidah al-ikhtishasât). Atinya ia menggunakan prinsip
eklektik ketimbang selektif pada suatu mazhab/metodologis. Dengan metode asal
comot ini, praktis ia tidak mempedulikan perang kritik antar satu metode dengan
metode lainnya atau mazhab strukturalis dengan post-strukturalis. Kalangan
strukturalis, umpamanya, sangat kritis terhadap empirisme dan positivisme,
bahkan, dengan “keimanannya” terhadap realitas semata, akan melabrak entitas
metafisik yang didaku oleh mazhab post-strukturalis. Begitu juga kritik balik post-
strukturalis terhadap strukturalis yang terlalu mendewakan akal dan realita. Sebab
bagi mazhab strukturalis hakikat tidak tersimpan di balik kenyataan. Kenyataanlah
hakikat sebenarnya, jadinya yang ada pada alam semesta merupakan fenomena
dan bukan nomena: suatu yang tersimpan di balik prase “fe”; realita-realita
gugusan penampakan. Arkoun tampak tidak peduli dengan perdebatan dikotomik
ini. Baginya, selagi masih didamaikan dan dimanfaatkan, maka tidak ada masalah.
Ia tampak terbuai oleh aliran strukturalis yang menekankan kesejarahan makna
kebenaran serta kognitas suatu pemikiran pada komunitas sosial atau budaya

kebahasaan yang disebutnya sebagai langue dan pemakaian bahasa dalam ungkapan-ungkapan
nyata yang disebutnya sebagai parole. Dengan kata lain, parole adalah penggunaan bahasa secara
individual.Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur dari “kamus” umum (langue) tersebut.
Menurut St. sunardi, secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi
sekaligus juga saling tergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak
sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di lain pihak
pemahaman parole serta pengungkapannya hanya mungkin lewat dan dalam langue sebagai
sistem. Lihat St. Sunardi, Op. Cit., h. 65., dan Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup…”, Op.
Cit, h. 14
22
Muhamad Arkoun, op.cit, hal. 39. lihat juga, beberapa kitabnya yang membahas khusus
tentang urgensitas ilmu humainora: Naj’ah al-Ansanah fi Fikr al-Arabi, Dar al-Saqi, cet. II. 2006,
hal. 24, al-Fikr al-Islami: Qira`ah ‘Ilmiyyah, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet, III, 1996, hal. 87,
al-Fikr al-Ushuli wa Istihalah al-Ta`shil: Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al-Islami, Dar al-Saqi,
cet. II, 2007, hal. 295

7
tertentu. Karenanya ia menganut humanisme strukturalis Levi Staruss, di mana
menekankan pentingnya perilaku serta tindak tanduk individual dan sosial sebagai
landasan bagi terbukanya akses makna kebenaran dan moralitas religius yang
dianut dan dicita-citakannya: kebebasan nalar intelektual.
Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu
sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis. Ia
menekankan pentingnya metode historisisme tidak lain untuk membangun suatu
penyejarahan baru yang tidak sesuai dengan model sejarah dominan saat ini: sarat
aura dogmatis dan ortodoks. Karenanya ia mulai membangun dengan
memanfaatkan segala perangkat metodologi Barat sebagai upaya menerjemahkan
Islam secara fundamental. Baik dalam sejarah pemikiran Islam maupun dalam
pembacaan ulang al-Qur’an. Ia mengandaikan pembaharuan secara totalitas:
teologi ketuhanan, teologi pewahyuan, teologi sejarah pemikiran, teologi etika dan
filsafat. Ia ingin membuang bentuk-bentuk pranata keagamaan yang menurutnya
tidak lain merupakan tahayul masyarakat semata (mikhyâl al-mujtama’) yang
kemudian diyakini menjadi bagian dari praktik keagamaan dan disakralkan
terkemudian. Menurutnya, agama telah terkontaminasi oleh budaya-budaya yang
sebetulnya itu bukan dari ajaran murni agama sendiri. Sebab ia membedakan
Islam Asli (Islam al-Asîl) dan Islam Lokal (Islam al-Mujtama’) di mana agama
telah berakulturasi dan menjelma menjadi Islam Lokal. Sehingga pada tahap
tertentu, bukan lagi sebagai representasi agama murni –akibat terkontaminasi oleh
budaya cetakan lokal yang penuh muatan mitos dan mistis.23
Arkoun menginginkan ada upaya purifikasi serta pembersihan secara
besar-besaran dengan mendekonstruksi nalar dogmatis masa lampau yang
menghegemonik hingga kini. Langkahnya tidak main-main. Untuk merealisasikan
ia menggagas Islam Aplikatif (Islamologie Appliquee) guna membangun proyek
Kritik nalar Islam (Critique de la Raison Islamique) terhadap turast Islam sebagai
obyek kajian terbesarnya. Dalam persepsinya turats tidak hanya khazanah masa
lalu hasil dari produksi para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dan Hadits

23
Muhamad Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikri al-Arabiy al-Islâmiy, Markaz al-Tsaqafi al-
Arabi, cet. II, 1996, hal. 31

8
dalam berbagai disiplin ilmu. Melainkan juga al-Qur’an sendiri. Arkoun membagi
turats menjadi dua kategori. Pertama, teks primer, yaitu al-Qur’an. Kedua, teks
sekunder, yaitu seluruh teks yang mengabdi pada al-Qur’an. Tak heran jika
garapannya yang paling ditekankan adalah pembacaan ulang al-Qur’an sebab ia
merupakan piranti dalam yang paling mendasar atas segalanya; dari sanalah mulai
lahir turats Islam secara umum, sehingga, untuk menggarap ulang, harus dari sana
pula memulainya agar kran akal Islam yang tertutup bisa terbuka kembali. Salah
satunya adalah kampanye membuka workshop studi-studi al-Qur’an.24
Dalam kajian antropologi, Arkoun begitu terpengeruh oleh pemikir Levi
Strauss yang memiliki spesifikasi dalam menyingkap mitologi yang dibentuk
oleh budaya masyarakat tertentu. Dimana segala bentukan budaya sebetulya tidak
akan lepas dari tarik-ulur masa lalu.25 Ia mendeteksi bahwa bahasa merupakan
jalan menuju cakrawala pembacaan baru dan sebagai acuan analisa antropologi
suatu masyarakat dan (bahkan) segala bentuk pengetahuan ciptaan masyarakat.
Strauss agaknya terpengaruh oleh Lacan26, seorang psikologi-strukturalis penerus
Frued, dimana keduanya memiliki kesamaan dalam dua konstruksi pinggiran:
pertama, mitologi masa lalu. Kedua, sejarah pemikiran.27 Kecenderungan wacana
pinggiran biasanya akan tetap survive, tidak berada di bawah payung kekuasaan-
politik. Artinya tidak ada sokongan dari luar melainkan dari watak diri
pengetahuan tersebut.28 Ini artinya pengetahuan atau mitos tidak selalu
memerlukan kekuasaan politik, sebab pada dasarnya, kekuasaan politik hanyalah
faktor penyambung atau alat hegemonik pengetahuan. Tentunya hipotesa ini
sesuai dengan adagium: pengetahuan adalah kekuasaan (knowlodge is power)
sebab ia akan mengeluarkan semacam energi kuasa bagi dirinya sendiri yang
suatu saat bisa berpotensi di(muncul)kan –sekalipun disumbat oleh rezim

24
Muhamad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-
Yawm?, Dar al-Thali’ah, cet. III, hal. 58
25
Ideas Cresol, Ushr al-Binyawiyah, Dar al-Sa’ad al-Shabah, cet. I, 1993, hal. 36
26
Jaques Lacan adalah seorang pemikir Prancis yang mempelajari psikologi Sigmund
Frued. Ia bisa mengembangkan lebih jauh pemikiran Frued, sebab mampu mengkomparisakan
psikologi dengan analisa kebahasaan, dan, karenanya, menganggap bahwa psiko-analisis
sebanding lurus dengan strukturalis. Dan ini yang mengantarkan namanyaa mencuat di Prancis
yang semula alergi terhadap pemikiran Freud. Lihat: Ideas Cresol, op.cit., hal. 208
27
Lihat: Ideas Cresol, op.cit., hal. 48
28
Ibid., hal. 56

9
penguasa masanya. Tentunya dengan dua pemikir ini, Arkoun merasa mendapat
asupan kekuatan guna melengkapi perangkat metodologinya.
Karenanya tak heran jika banyak suara yang menyatakan bahwa ia berhasil
menerapkan dalam sejarah pemikiran Islam. Salah satu “kelinci percobaan” hasil
uji metodologinya adalah Naz’ah Ansanah fi Fikr al-Araby: Jayl Miskawih wa al-
Tauhidi. Bisa dikatakan sekalipun Arkoun “terlalu sibuk” mempromosikan Kritik
nalar Islamnya, kitab ini merupakan bukti kongkrit bahwa ia berhasil menerapkan
Islam aplikatifnya dan salah satu dari representasi nalar Islam ideal. Ia menilai
bahwa pemikiran Miskawih dan al-Tauhidi patut diangkat dan ditarik dari
pengasingannya yang sekian abad akibat terpinggirkan dan nyaris tenggelam pada
abad skolastik: masa-masa dimana kejumudan dan konservatisme merajalela.
Sebab kedua pemikir ini, lanjut Arkoun, merupakan bukti nyata bahwa dalam
Islam terdapat filsafat humanisme. Yang dalam waktu bersamaan, sebetulnya
Arkoun berambisi ingin membuktikan pada publik Barat di saat seru-serunya
meneriakan filsafat: suara kematian Tuhan ala Nietzsche dan kematian manusia
ala Foucualt.29 Tampaknya Arkoun berhasrat memposisikan diri sebagai seorang
defensif dan langkahnya tampak sebagai kebijakan apologetik di mana akan
selalu memberontak dengan suara mayoritas Barat dan pada saat yang sama ia
sendiri jatuh hati dan tergila-gila dengan perangkat metodologi Barat sekaligus
sejarah pencerahan Barat. Paling tidak, alasan paling logisnya adalah bahwa
proyek humanisme Islam yang dibangun kembali oleh Arkoun ini ingin
mengukuhkan “kepentingannya” dalam mengunggulkan kecenderungan
rasionalitas (naz’ah ‘aqlaniyah) dibanding kecenderungan-kecenderungan
lainnya.

29
Muhamad Arkoun, Naz’ah al-Ansanah fi Fikr al-Araby, op.cit., hal. 24

10
Kritik-kritiknya

Sebagai seorang pemikir post-modern30, Arkoun adalah pengkritik tradisi


kemapanan, tradisi objektivisme dan positivisme yang menurutnya tidak hanya
merasuki ilmu pengetahuan Islam, namun juga Barat dan orientalis Barat. Arkoun
berargumen bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong konsepsi
ortodoks tentang “nalar Islam”31 dengan menggunakan kategori-kategori yang
sama, simbol-simbol yang sama dan signifikansi yang sama.32 Dan demi
menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah
jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an
tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).33 Mengikuti analisis
semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita adalah
hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari
bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali

30
Howard M Federspiel menyetarakan kedudukannya dengan Fazlurrahman dan Faruqi.
Lihat makalahnya “Post-modernist Muslim Thought: Fazlurrahman, Faruqi and Arkoun” yang
didiskusikan di beberapa kampus di Indonesia, Oktober 1994.
31
Menyoal Istilah antara Kritik Nalar Arab-nya Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Islam-nya
Arkoun, tentunya mempunyai siginifikansi dan konsekuensi sendiri-sendiri. Alasan Arkoun lebih
memilih “Nalar Islam” –dibanding “Nalar Arab”– sebab ingin menuju terhadap jantung langsung:
Akidah Islam, di mana, dengan demikian, terma tersebut mempunyai cakupan melampaui
perikehidupan muslim secara utuh-menyeluruh, tidak hanya terjebak dengan letak geografis Arab
dan bahasanya. Dan secara praktis ketika al-Jabiri lebih banyak mengandalkan dominasi perangkat
metodologinya pada wilayah Arab, maka Arkoun mengunggulinya terhadap wilayah akidah Islam
secara universal. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, Dar al-
Thali’ah, hal.72
32
Dalam hal ini ada dua nama orientalis yang disebut-sebut Arkoun sebagai orientalis
yang gemilang. Pertama, Joseph Van Ess, dalam buku Theology Und Gesellschaft in 2 und 3
Jahrhundert Hidschra: Eine Geschichte des Religgios Denkens in Fruhen Islam, terbitan Berlin
dan Newyork tahun 1991-1997 dalam enam jilid. Sebagai orang yang berdarah Jerman, Van Ess
tampak menguasai serta mewarisi dengan baik metode filologi yang muncul dari tanah
kelahirannya. Disamping mewarisi metode dari leluhurnnya, ia juga mampu menerapkan metode
metode sosiologi-sejarah dalam menjelaskan keterkaitan hubungan antar sejarah teologi dengan
kelompok masyarakat, dan sistem politik-budaya yang multikultural pada abad-abad pertama
hijriah. Ia, dengan demikian, telah berhasil melampaui loncatan epistemiologis dibanding para
pendahulunya. Lihat: Muhamad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-
Islam al-Yawm? op.cit., hal. 47-49. Kedua Jacquiline Chabbi dalam karya, Le Seigneur de Tribus –
l’Islam de Mohamet, terbit di Paris 1997. Buku ini merupakan usaha keras historisasi wacana teks
al-Qur’an dengan cara menghubungkannya dengan lingkungan geografis, naturalitas, dan
kemanusiaan, yang ada pada semenanjung arab pada abad VII M. Lihat: Muhamada Arkoun, al-
Qur’an: Min al-Tafsîr al-mauruts ila tahlil khitab al-diniy, op.cit., hal. 21
33
Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.

11
teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diterima dan disampaikan nabi Muhammad saw kepada umat manusia selama
tidak kurang dari dua dasawarsa.
Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini kemudian dibukukan
setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi
Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, karya ulama yang menjelaskan
sejarah transmisi dan kodifikasi Al-Quran sebenarnya telah banyak memberikan
informasi mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utsmani
ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum
dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an.34 Baginya,
lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan
ushul kepada standar tertentu serta pembakuan al-Qur’an kepada sebuah mushaf
resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman) menjadi awal ummat Islam
didominasi oleh logosentrisme, dimana fuqaha dan ulama percaya bahwa mereka
mampu menggenggam dan menguasai kebenaran wahyu dengan sarana analisis
naskah secara gramatikal dan leksikal, dengan asumsi bahwa bahasa pada
dasarnya merupakan refleksi dari dunia. Arkoun menganggap Islam sebagai fakta
fenomena yang berkembang secara historis, terlepas dari upaya para alim-ulama
baik qudama (klasik) maupun modern untuk memahami dan menetapkan makna
kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.35
Menurutnya kesalahan para fuqaha dan ulama terletak pada keyakinan
mereka bahwa pengetahuan bahasa membuat mereka mampu memahami naskah,
sedangkan mereka sendiri mengabaikan kebenaran yang lebih hakiki mengenai
kesejarahan dari bahasa itu sendiri. Menurutnya, nalar Islam yang dibangun oleh
para alim ulama adalah atas interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk
mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.36 Hal inilah yang menurutnya
menyebabkan kemunduran filsafat Islam dan terbangunnya cloture logocentrique

34
Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammed Arkoun”,
dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami …, op.cit. , h. 26.
35
Mohammed Arkoun, La Pensee arabe, ed. Ke-3 Paris: PUF, 1979, Bab 1, “Le fait
coranique,” hal.5 dst.
36
Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap Idiologi-ideologi Pembangunan, alih
bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2001, hal.239

12
yang dengannya pemahaman alternatif selain dari wahyu menjadi kemustahilan.37
Arkoun menegaskan bahwa semua yang memiliki otoritas keilmuan sebagai
penentu sifat utama kebenaran, pemikiran atau kebajikan semestinya dikenai
kritik intelektual, berdasarkan asumsi strukturalis tentunya.38 Dengan begitu, ia
akan leluasa melontarkan kritik strukturalis multidisipliner terhadap dominasi
serta kemapanan otoritas alim ulama disetiap institusi-institusi maupun
pemerintahan Muslim, baik yang klasik maupun modern.
Berangkat dari asumsi di atas, Arkoun memandang bahwa nalar bersifat
inklusif dan tidak tunggal –dan yang dimaksud bukanlah nalar aktif-potensial atau
bakat intelektual (al-Mukawwin/la raison constituante), melainkan nalar bentukan
dan didikan yang berisi doktrin-doktrin pengetahuan (al-Mukawwan/la raison
constituee), jika meminjam teori A Lalande39. Ia (nalar Islam), yang terbingkai
frame sejarah, akan mengayun dan melandaskan diri ke mana hendak dibawa
sehingga menjadi suatu entitas yang membentuk dan meng-ada. Karenanya ia
bersifat historik, multi kultural dan (bahkan) sejarah itu sendiri.40 Nalar Islam tak
lain merupakan piranti yang menghasilkan produk-produk pengetahuan Islam
dalam bentangan panjang sejarah. Ia diartikan sebagai diskursus atau wacana nalar
Islam yang darinya, menghasilkan ragam disiplin keilmuan Islam.41
Maka, dikenalah nalar Taswauf, nalar Sunni, nalar Muktazilah, nalar
Syi’ah, nalar Hasan Bashri, nalar Ibn Khaldun, nalar Muhamad Abduh dan
seterusnya hingga kini. Itulah nalar-nalar Islam, dengan segenap identitas dan ciri
khasnya masing-masing, karena pada dasarnya merujuk pada pokok dan otoritas
yang sama: al-Qur’an dan Hadits. Namun, yang perlu dijadikan entry point, nalar
tersebut mempunyai titik tolak dalam sejumlah kognitas dasar dan kepentingan-
37
Mohammed Arkoun, Essais, hal. 189 dan catatan lain yang menyinggung tentang
penggunaan istilah itu oleh Derrida dalam karyanya, De la grammatologie.
38
Leonard Binder, ibid, hal.238
39
(1867-1963) Andre Lalande adalah seorang penulis besar dari francis, salah satu buku
fenomenalnya adalah Dictionnaire des philosophes yang kemudian diterjemahkan kebahasa Arab
oleh Kholil Ahmad Kholil Mausu’atu Lalande al-Falsafiyah.
40
Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 68. Ini
berarti, secara tegas, Arkoun membedakan posisi akal historical-nya dan akal ala neo
platonic/helenestik yang menyatakan akal sebagai lajur transedental dan metafisik secara konteks.
Sebab ia sendiri setuju dengan pemaknaan akal transendental (akal ilahi) sebagi salah satu struktur
bangunan akal Islam elementer.
41
Mukhtar al-Fajjari, Ibid, hal. 70

13
kepentingan tertentu yang membentuknya. Secara historik, nalar-nalar tersebut
kerap bersaing, berseteru, dan bahkan bermusuhan yang berujung pada
kematian/kehancuran. Hal yang paling mendasar, bahwa dalam kemajemukan
nalar tersebut, sesungguhnya memiliki titik konvergensi dan persenyawaan yang
oleh Arkoun, disederhanakan sebagai terma nalar Islam. Singkatnya, ia sengaja
membredel nalar di atas menuju “ruang kematian” dengan cara
mendekonstruksinya menjadi nalar Tunggal (Binyah al-Muwahadah), yakni: nalar
Islam. “Kematian” di sini tentunya diartikulasikan dengan pembacaan kini,
dengan pemaknaan ala Derrida, yakni suatu pengalihan posisi tawar dari alam
klasik menuju alam kontemporer.42
Demi menuju ke arah kesadaran ini, Arkoun melakukan analisa kritik
historis atau klarifikasi historitas dengan membagi sejarah nalar Islam menjadi
empat periodesasi.43 1. Era fundamentalitas Islam, yaitu periode kenabian ini
ditandai dengan terbukanya wacana-wacana pembakuan keagamaan yang baru
lahir dan sedang mencari jati dirinya, baik dalam ranah sosial maupun politik.
Ditandainya dengan terbukanya kebebasan serta penghormatan tinggi terhadap
cita kemaslahatan dan humanisme. Di samping gerak perubahan sejarah yang
dinamis, progresif, dan gradual. 2. Era jati diri nalar Islam klasik, Yang ditandai
pembasisan, pembakuan, dan pembukuan disiplin ilmu pengetahuan, terutama lini
syariah dan teologi. Era nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad
pertama sampai penghujung abad keempat. Pada era ini kecenderungan dialektik
antara agama dan nalar masih menguat dibanding kecenderungan ortodoksi. Yang
paling mengesankan bagi Arkoun pribadi, periode ini melahirkan filsafat
humanisme di tangan Miskawyh dan Abu Hayan al-Tawhidi. Keduanya berhasil
membangun filsafat humanisme dalam perwujudan nalar etika Islam yang
mengenyahakan nalar ortodoksi serta mengawinkannya dengan filsafat.
Miskawyh dalam karya Tadzhib al-Akhlâq-nya membangun etika berdasarkan
ontologi rasional Igrik, sementara Abu Hayan al-Tawhidi membangun humanisme
murni dalam sejumlah karya-karyanya. 3. Era skolastik. Era ini dimulai sejak

42
Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 70-71
43
Ibid., hal. 141-146

14
abad ke lima Hijriyyah. Yang ditandai dengan kemunduran nalar Islam dan
menyeruaknya bentuk-bentuk ortodoksi agama, dengan menguatnya nalar
pragmatis pembebekan dibanding nalar ilmiah. Era ini merupakan babak-babak
era keterpenjaraan akal Islam. Jika pun ada dan bertahan, nalar ilmiah ini mesti
ditopang oleh dukungan penguasa setempat. 4. Era modern. Era ini tidak jauh
berbeda dengan era sebelumnya sebagai era kejumudan dan pembebekan serta
hegemoni ortodoksi. Ini dipandang dari persepsi, bahwa era ini masih mewarisi
era skolastik secara dominan –sekalipun mulai ada rinai-rinai pembaharuan yang
dibawa Muhamad Abduh yang getol mengkampanyekan gerakan kembali ke
salaf: masa di mana belum timbul perselisihan umat.44
Dengan membagi sejarah nalar sedemikian rupa di atas, Arkoun
bermaksud untuk menjelaskan terma “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable),
“yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthinkable) dan “yang belum terpikirkan”
(l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka
membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam. Tentunya terma ini amat kental
terpengaruh metodisasi ‘diskontinuitas’ ala Michel Foucault atas penggalan-
penggalan, mutasi-mutasi, dan retakan-retakan epistemik dan geologi sejarah
nalar Islam. Terma “yang terpikirkan” adalah hal-hal yang mungkin umat Islam
memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Karena keterjangkauannya
yang diperbantukan oleh bahasa, pikiran, dan kondisi masyarakat.45 Sementara
“yang tak terpikirkan” adalah hal-hal “tabu” akibat kemampuan akal sejarah yang
belum sampai ke sana atau karena tersumbatnya pemikiran yang ada oleh sebab
tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan yang berlaku

44
Dalam era terakhir inilah sosok Arkoun menampilkan diri dengan mencoba mendobrak
kemapanan diskursus ortodoksi. Ia meneriakan purifikasi modernitas ala Islam. Modernitas, dalam
konteks arkounis, adalah milik setiap bangsa. Adalah salah kaprah juga jika terma modernitas
hanya didaku Barat –sebagaimana asumsi para orientalis. Sebab menurutnya, modernitas tidak
hanya milik Barat dan muncul di Barat saja. Setiap manusia, di mana pun berada, memiliki
karakter modernitas sesuai takaran ruang bahasa, ras budaya, dan geografis. Barangkali dalam
pemaknaan Barat, modernitas bercirikan dengan jargon “the death of God” atau “the death of
human”. Realitanya, humanisme –sebagai ejawantah ruh modernitas– ternyata tidak hanya
muncul di Eropa, melainkan di dalam peradaban Islam juga. Penokohan ikon-ikon modernitas
Islam seperti Miskawyh, Tawhidi, dan al-Jahidh, jauh-jauh hari sudah ada sebelum muncul
ledakan modernitas di Barat. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad
Arkoun, op.cit., hal. 159
45
Muhamad Arkoun, al-fikri al-ushuli wa istihalah al-ta’sil, op.cit, hal. 10

15
saat itu. Atau ketertindasan pemikiran tersebut oleh faktor agamawan maupun
penguasa politik.46 Dan, karenanya, Arkoun pun ingin membuka lebar-lebar
wilayah tak terpikirkan ini yang menurutnya sudah saatnya melebar di era
kontemporer.
Arkoun menekankan pentingnya bercermin terhadap masa lampau bukan
berarti harus mengikuti arus balik serta mereproduksi tanpa produktivitas
pemikirannya, melainkan agar bisa “bertamasya” serta menganalisa ulang
terhadap diskursus yang terjadi pada masa lalu itu. Bertujuan demi menemukan
problem solving dengan konteks kekinian -atau bisa juga sebaliknya: maju-
mundur, karena besar kemungkinan akan menemukan solusinya dengan menelisik
akar genealoginya. Tak heran pula jika sering terserak dalam kitab-kitabnya terma
la raison emergente: yang berarti hasrat melampaui segala apa yang pernah
dicapai oleh muslimin, di satu sisi, dan hasrat mengatasi akal modern dan post
modern sekaligus, di sisi lain.47 Untuk mencapai tujuan itu, ia mendapuk segala
perangkat-perangkat metodologi post-strukturalis guna dimodifikasi dan dijadikan
metode nalar postulat interdisipliner yang lebih dikenal sebagai Islamologi
Aplikatif: satuan piranti yang “diislamkan” atau disesuaikan dengan fragment
keislaman. Secara holistik ia mencabarkannya sebagai suatu metode kajian yang
concern terhadap segala objek yang berhubungan dengan kehidupan manusia
46
Ibid.,op.cit, hal. 11, Namun menurut Ali Hab, Arkoun kerap menyepelekan hal-hal
teknis seperti mendefinisikan secara detail suatu diskursus serta kebanyakan menggunakan “terma-
terma membingungkan” pembaca; karenanya Ali Aarb memplesetkan “wilayah tak terpikirkan
Arkoun” (l’impinse/unthinkable/alla mufakar fîh) menjadi wilayah terlarang (al-mumtani’ ‘an al-
tafkîr). Lihat: Ali Harb, “al-Mamnu’ wa al-Mumtani’”, al-Markaj al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet.
IV 2005, hal.123
47
Ini yang kemudian agak membingungkan para pengkaji Arkoun dalam membedakan
terma Kritik nalar Islam dan Islam Aplikatif: antara mana subjek metodologi dan objek kajian.
Sebab keduanya memiliki hampir kemiripan dan kesamaan atau jangan-jangan memang hanya
beda terma tapi satu substantif. Wajar jika para pemerhati pemikiran Arkoun berbeda pandangan
dalam memposisikan ‘Islamologi Aplikatif’ dan ‘Kritik nalar Islam’. Mukhtar Fajjari menafsiri
terma Islamologi Aplikatif secara teoritis, sementara Kritik nalar Islam diartikulasikan secara
praksis: yakni sebagai terapan objek kajian Arkoun. Dalam satu kesempatan, ia memahami bahwa
keduanya merupakan terma yang berkelindan dan mata rantai yang sulit dipisahkan serupa mata
uang. Namun dalam persepsi Fauzi Badawi lain lagi, yang memaknai Islamologi Aplikatif sebagai
metode sekaligus proyek dan objek kajian Arkoun. Sebab dalam prakteknya, sebagaimana
termaktub dalam pembacaan baru surat al-Fatihah, Arkoun tampak tidak memilah secara tegas
antara objek kajian dan metodologi. Tentu hal ini dilatarbelakangi akibat relasi antara Islamologi
Aplikatif dan Kritik nalar Islam Arkoun yang terkesan integral sebagai suatu kesatuan (talazum-
tadûkhul) dan, Arkoun sendiri tidak menjelaskan secara kompleks, terbiar mengalir begitu saja
dalam setiap karya-karya. Suatu ritme anual dan membosankan bagi pembaca, barangkali.

16
secara umum. Di mana manusia, sebagai makhluk berakal, tidak akan lepas dari
jejaring entitas yang demikian kompleks: mulai bahasa, sosial, individual, politik,
ekonomi, sejarah, psikis, rasional, imaginatif, religius, dan sebagainya.48
Tak bisa disangkal, gugus tujuan kritik Arkoun tidak bersifat historis
melainkan epistemologis. Historitas dan antropologi tampaknya hanya menjadi
kendaraan untuk mencapai tujuannya: menuju kritik sistematika nalar Islam. Di
mana analisa sistematik ini diawali dengan penyejajaran nalar Islam dengan
imajinasi sosial kaum muslimin. Nalar Islam diidentikan dengan kekakuan
penafsiran, kekuatan politik, dan imajinasi sosial. Yang dalam pada itu pula
tersimpan diam-diam ruh-ruh kebebasan, modernitas, perubahan dan perbedaan.
Dialektika antara keduanya menjadi tema sentralnya. Imaginaire telah tersingkir
dan ditebus dengan analisa kritis interdisipliner baru tentang nalar Islam versinya.
Tentunya, dengan mengaplikasikan perangkat-perangkat (post) strukturalis, yang,
darinya, (berharap-harap) akan mampu membebaskan nalar ummat Muslim.
Belajar (mencoba-coba) untuk berpikir terhadap segala hal yang dianggap tak
terpikirkan oleh ulama kolot. Sejatinya kritik nalar Islam ini tidak hanya
mendekonstruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Sebab jika Arkoun berhasil melakukan kritik-kritiknya niscaya ia telah membuat
catatan sejarah yang belum pernah terjadi dalam bentangan sejarah Islam. Ia akan
dikenal sebagai revolusioner pengetahuan Islam.

Kritik Atas Epistemologi Muhammad Arkoun

Secara historis, pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan telah


terjadi di Eropa. Pertarungan keduanya semakin gencar dan “blak-blakan seiring
dengan penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan ilmu pengetahuan modern
yang dimulai sejak revolusi politik di Prancis dan revolusi industri di Inggris.
Sejak masa itu, dominasi kaum Clergy (rahib, atau kalangan gerejawi)—sebagai
kelompok elit kecil—yang sejak ribuan tahun mendominasi dan menghegemoni
kekuasaan dalam bidang sosial-kemasyarakatan sebagai penentu kebijakan

48
Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal.178

17
(decision maker) runtuh hancur-lebur tatkala teologi yang selama ini menjadi
legitimasi mereka harus berhadapan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan.
Isu-isu sosial yang pada awalnya berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik
berkembang menjadi isu-isu yang menggugat dimensi transendental, yakni agama.
Dialog inipun kemudian berujung pada pemisahan dua kebenaran yang tidak bisa
disatukan satu sama lain. Kebenaran agama pada satu sisi, dan kebenaran ilmu
pengetahuan pada sisi lain. Karena itu, muncullah istilah yang saat ini disebut
“sekularisme”.
Namun, dalam sejarah Islam event pertarungan antara kaum intelektual
dengan fuqoha tidaklah terjadi, Islam menghargai pengetahuan sebagaimana Islam
menghargai keyakinannya pada Rasulullah. Al-Quran sebagai kitab suci yang
tiada satupun keterangan di dalamnya yang tidak dapat diuraikan untuk penelitian
ilmiah, baik yang berhubungan dengan realitas-realitas alam, genetika, atau
kajian-kajian tentang kedalaman laut. Bahkan, sungguh Al-Qur'an telah
membuktikan kebenarannya lewat keterangan yang mendetail tentang
pertumbuhan janin, seperti yang kita kenal sekarang yang tidak mungkin
dibuktikan, kecuali dengan menggunakan alat pendeteksi dalam rahim. Sekalipun
demikian, al-Quran adalah hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushuluddin,
bukan hakikat-hakikat ilmiah, dan bukan dengan elaborasi penyingkapan ilmiah,
kebenaran wahyu hakiki akan tergapai, karena Al-Qur'an bukanlah ringkasan
ilmu-ilmu fisika, biologi, atau kimia. Sekalipun demikian, sejarah telah mencatat
keberhasilan ulama-ulama terdahulu yang telah melahirkan disiplin-disiplin
pengetahuan dari pendalaman mereka terhadap al-Quran, sesuai dengan
afiliasinya masing-masing.
Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak
menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu
pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan
ia berada di pihak pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan
disiplin ilmu humaniora, antropologi, arkeologi pemikiran dll, ia ingin
menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Quran tidak lepas dari historisitas, dan
bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan

18
sebagai penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh
informasi yang menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Quran.
Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji dan dibuktikan keilmiyahannya.
Perlu kita ketahui, sosiologi sebagai disipilin ilmu humaniora, demikian
juga antropologi sebagai anak cabangnya, bukan merupakan disiplin ilmu
normatif melainkan suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi
pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang seharusnya
terjadi. Sebagai suatu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap “penilaian
ideologis” atau subjektivitas tertentu. Artinya tidak menetapkan ke arah mana
sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan maupun keagamaan dari proses
lawatan sejarahnya. Pandangan-pandangan sosiologis tidak dapat menilai apa
yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah serta segala
seuatu yang bersangkut terhadap nilai kemanusian.
Dengan demikian, sosiologi hanya merupakan ilmu pengetahuan murni
(pure science) dan sama sekali bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau
terpakai (applied science).49 Dari sudut penerapannya ilmu pengetahuan menjadi
dua bagian. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang bertujuan membentuk dan
mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi
mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan
adalah ilmu yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu tersebut
dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat maupun
keagamaan. Dalam hal ini, sosiologi bukanlah pengetahuan ilmu terapan, sebab
hanya bertujuan mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat
dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.50
Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah dengan pendekatan
sosiologi-antropologi terjebak atau terbagi dalam dua hal. Pertama, pendekatan
biografis, yakni penguraian bahwa sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga
tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol
49
Soerjono Soekanto, Sosiologi; Ssuatu Pengantar, Rajawali Press, cet. XXVI, 1990,
hal.21
50
Ibid., 21-22

19
daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Sebab, bagaimanapun,
pemikiran tak bisa dilepaskan dari jejaring para pemikir yang menghasilkan
pemikiran tersebut. Dengan menjelaskan biografi dan perjalanan sejarah pemikir;
diskursus pemikiran dengan sendirinya praktis tereksplorasi. Kedua, pendekatan
taksonomis. Sebuah penguraian sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-
kecenderungan tertentu. Fenomena pemikiran ini didekati lewat hasil klasifikasi-
klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought). Misalnya,
membagi mazhab pemikiran tersebut pada Syiah, Suni, Muktazilah dan
sebagainya. Dan kebanyakan, ekses menampilkan pendekatan ini, penulis kadang
tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada salah satu arus
pemikiran tertentu. Selalu ada bias-bias dari penulis untuk menampilkan ide
pemikiran tertentu dan, demi ideologi kepentingannya, kadang mengaburkan
pandangan lainnya. Padahal ini merupakan kecacatan etika pengetahuan –dalam
konteks keilmuan sosialisme– karena tidak boleh ada keberpihakan atau pra
asumsi penilaian.
Dan Arkoun tampaknya mengikut pada pendekatan kedua. Bahkan,
disadari atau tidak, ikut hanyut untuk menjadi bagian pemain di dalamnya.
Menampilkan mazhab yang terpinggirkan menjadi aktor utama dalam proyek
Kritik nalar Islamnya –seperti pembelaan kental terhadap rasionalitas Muktazilah
atau filsafat Ibn Rusyd. Ia, dengan demikian, melanggar rambu-rambu etika
sosiologi-antropologis, dengan inkonsistensinya terhadap aturan pengetahuan
tersebut. Dari sini, setidaknya sudah menyiratkan kepentingan tertentu. Ada bias-
bias ideologis yang bersemayam dalam buncahan pemikiran Arkoun. Bahkan
ditengarai, gara-gara “kepanasan” dengan sejarah pencerahan Eropa. Sebab Eropa,
dalam dongeng sejarahnya, terbagi menjadi atas fase modern dan post modern.
Pada masa modern, munculnya kejayaan science, Revolution of Science
abad XVII, telah memberi keyakinan bahwa manusia dapat mencapai kejayaan
tanpa harus patuh pada otoritas agama. Agama dianggap sebagai penghambat
kemajuan dan bertentangan dengan filsafat pencerahan. Agama Katolik hanya
identik dengan zaman pertengahan yang statis dan tidak progresif. Nalar menjadi
dewa dan agama (iman) tersungkur dipecundangi. Namun demikian, pandangan

20
pemikir-pemikir zaman pencerahan di abad XVIII banyak berubah.
Mengembalikan enlightenment dan kemodernan Eropa terhadap induk agama
seperti pemikir Locke, Thomas Aquinas, dan Kant. Namun penerimaan mereka
bukanlah berdasarkan kepercayaan atau penerimaan otoritas Gereja semata,
melainkan lebih didasarkan pada pemikiran dan argumentasi rasional terhadap
agama. Problemnya adalah bahwa terma modernitas terlanjur identik dengan
kemewahan akal dan mempecundangi agama. Artinya secara esensial sudah ada
kontradiksi dengan ruh modernitas sendiri, sehingga inilah yang kemudian
melahirkan era post modernisme di mana akal seiring seirama dengan agama.51
Pada zaman pencerahan juga terlihat adanya perkembangan epistemologi
dan filsafat. Para ahli epistemologi mulai mencoba mengupas persoalan mendasar
sifat ilmu, serta peranan yang dimainkan oleh akal-budi manusia dalam
menghasilkan ilmu. Tujuannya ialah untuk memahami bentuk ilmu yang
dihasilkan oleh manusia, dan sejauh mana ia bisa dipercayai serta mewujudkan
suatu landasan rasional bagi penerimaan ilmu, yang kini asas penerimaannya tidak
lagi didasarkan pada otoritas agama. Akal digunakan untuk mendirikan landasan
kebenaran sendiri bagi filsafat keilmuan. Pendekatan “foundationalisme” ini
merupakan satu ciri zaman pencerahan yang sangat menggantungkan pada
kemampuan akal manusia serta rasionalitas. Di sinilah Arkoun tampak tergila-
tergila dengan babak-babak perubahan sosial dan institusional agama yang
kemudian mengantarkan Eropa pada era modern: filsafat pencerahan serta
serentetan kronologi sejarah “rationalization” –meminjam bahasa Max Weber.
Rationalization nampak terlihat terhadap adanya upaya reinterpretasi agama
Katolik, Rasionalisasi agama. Kemudian Arkoun mencoba mempraktekannya
terhadap ranah keislaman dengan harapan akan datangnya pencerahan model
Islam. Namun, menurut Muhammad almzogy, Arkoun tidaklah mendatangkan
pencerahan, bahkan justru mendatangkan keragu-raguan pada kemampuan Akal.
Dalam Kritik Nalar Arabnya, Abed al-Jabiri menyatakan retakan
epistemologi antara Andalusia-Maghrib dan Masyriq: di mana Barat tidak hanya

51
Hasyim Sholeh, Madkhâl ila al-Tanwîr al-Uruba, Dar al-Ahaliah, cet. I, 2005, hal. 241-
246

21
dibedakan secara geografis melainkan juga epistemologis: antara representasi
rasionalisme empirik Barat dan representasi illuminatif dan kecenderungan
irrasional Timur, maka pemaknaan retakan epistemologi bagi Arkoun pun
memiliki kecenderungan tipologi sendiri, bahkan lebih luas tidak hanya sekedar
lokalitas Arab namun Islam secara umum. Sebagaimana telah maklum, ide ini
pertama kali dimunculkan oleh Gaston Bachelard pada kisar tahun tiga puluhan di
abad XIX, kemudian diadopsi oleh Luis al-Tuser dan Michel Foucault. Dalam
perjalanannya, ide ini terus berkembang dan menjadi trend keilmuan yang mampu
diaplikasikan dalam filsafat humaniora dan cabang ilmu lainnya.52 Tak terkecuali
agama. Di tangan Arkoun-lah terma diskontinuitas diterapkan dalam melacak
lapisan dasar nalar pemikiran Islam silam.
Sejatinya, jika menelusuri pemikiran menggunakan pisau analisa retakan
epistemologi sangat berbahaya dan terlalu mengambil resiko tinggi. Sebab,
efeknya akan menimbulkan pembelahan dikotomik dan menyerang terhadap
pengetahuan itu sendiri. Di samping resiko dihadapkan pada satu pilihan. Ide ini
cenderung mengakibatkan wilayah hitam dan putih pengetahuan: antara pilihan
benar dan salah; ilmiah dan khurafat; rasional dan irrasional. Ini juga yang dialami
pemikir Maroko Abed al-Jabiri, dengan mengunggulkan nalar Barat atas nalar
Timur. Menjadikan terkotak-kotaknya pengetahuan secara geografis. Sementara
Arkoun, dalam persepsi Ali Harb, menjadikan nalar pengetahuan Islam tercerai
berai secara ideologis.53
Dalam pembacaan Ron Haleber, seorang islamolog kontemporer asal
Belanda, Arkoun menyatakan bahwa retakan epistemologi dalam agama (Islam
dan Kristen di Barat) ada tiga bagian. (1) Transformasi budaya oral menuju
budaya tulis serta ruang jeda masa transisi keduanya. (2) Transformasi dari nalar
murni ilmu, agama, dan politik menuju lampauan ideologis terhadap ketiganya.
(3) Transformasi dari diskursus ortodoksi dan mitologi menuju diskursus modern
dan rasionalitas serta jeda masa transisi keduanya. Dalam hal ini Michel Foucalt

52
Ibid., hal. 129-130
53
Ali harb, al-Mamnu’ wa al-Mumtani’, op.cit. hal. 124

22
memainkan peranannya sebagai pendobrak kemapanan yang ada dan menjadi
inspirator bagi lainnya.54
Tampaknya Arkoun, aku Ron Haleber, tidak begitu memahami secara
menyeluruh parade-parade persitiwa pencerahan di Eropa atau filsafat pencerahan
Barat. Sebab jika benar ia paham tentunya tidak akan menganalogikan persis
dengan pemaknaan yang serupa, antara epistema Barat dan Islam. Bagi Ron
Haleber kesimpulan Arkoun ini terlalu ceroboh dan mereduksi sejarah pencerahan
Barat sendiri. Bahkan semena-mena dalam menerapkan metode karena menyalahi
logika metodologi itu sendiri. Betapa, Arkoun mencampur aduk antara
metodologi mazhab strukturalis dan metodologi mazhab post strukturalis. Padahal
kedua mazhab ini bertentangan. Sebab munculnya kaum post strukturalis
merupakan reaksi protes dari kaum strukturalis. Namun Arkoun tampaknya tidak
menyadari itu. Terkesan cuek bebek mana kala mencomot sana-sini demi
kepentingannya tanpa memperhatikan dari prosedural bakunya sehingga berakibat
menghasilkan konklusi yang kerap tidak sesuai dengan tujuan metodologi itu
sendiri.55 Wajarlah jika ia tak mau disebut pengikut aliran strukturalis maupun
post strukturalis, akibat oportunismenya.56 Sehingga wajar jika Ron Haleber
tampak geram dan seakan, dengan bukunya, ingin menghabisi (metodologi)
Arkoun, bahwa metodologi Arkoun mengalami kecacatan dan ketimpangan akut –
jika dihadapkan langsung di depan altar pencerahan Barat. Ia dianggap telah
memutus urat nadi pengetahuan (fishom al-ma’rifiyah). Semata-mata demi
mendahulukan ideologi ilmiah rasionalitas-nya dibanding “aturan main” serta
syarat-syarat ontologi pengetahuan.57 Semata-semata berambisi menampilkan di
mata Islam kontemperer (lebih-lebih Barat) adanya eksistensialisme Islam,
humanisme Islam, dan rasionalisme Islam.
Dalam konteks yang demikian, mestinya Arkoun memilah dan harus lebih
berhati-hati dalam melakukan percobaan menjadikan pengalaman Eropa sebagai

54
Ron Haleber, al-Aql al-Islam amam Turats Ushru al-Anwr fi al-Gharb; al-Juhud al-
Falsafiyah inda Arkoun, cet. I, Syria, Al-Ahali, 2001, hal. 198
55
Ibid., hal. 303
56
Ibid., hal. 159
57
Ali Harb, al-Mamnu’ wa al-Mumtani’, op.cit. hal. 121

23
acuan bagi gerakan revolusi keagamaan. Tidak terperosok terhadap yang hampir-
hampir menyerupai 'taqlid buta'. Dan jika 'taqlid buta' yang terjadi, maka ijtihad
Arkoun telah terperangkap ke dalam kubangannya sendiri: dogmatisme baru.

Epilog

Tradisi mengkaji al-Quran dikalangan orientalis telah berjalan cukup lama.


Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para ulama. Ketika para
orientalis mengkaji al-Quran, mereka memang merujuk kepada sumber-sumber
Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta sejarah al-Quran
menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk meruntuhkan
otentisitas Mushaf Uthmani tampak lebih menonjol dibanding tujuan lainnya.
Syubhat ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut ia membangun mega
proyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung menyentuh sisi
paling sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. dengan kajian ini, ia berharap
bisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak
meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur ilmu
pengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru
nihilisme, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudah
ia bongkar. Ia hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia
membiarkan ideiologi Islam tercerai berai.

24

You might also like