You are on page 1of 12

TEORI KRITIS JÜRGEN HABERMAS

Irwan Malik Marpaung

A. Prolog
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan
hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran
yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang
masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak
memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang
ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias
dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri?
Tanpa mengabaikan semua minat yang terus ada dan bahkan semakin
meningkat, teori kritis telah menarik perhatian dunia internasional. Sebuah
kesadaran kritis mulai muncul terkait dengan pencapaian teoretisnya dewasa ini.
Setiap gelombang minat baru, dengan seluruh upaya risetnya, menghilangkan dari
proyek lama satu-dua elemen awalnya yang terkenal. Sehingga secara bertahap
membentuk teori kritis menjadi sebuah pendekatan teoretis yang realistis dan
terbuka untuk diverifikasi. Oleh karena itulah, upaya-upaya untuk merekonstruksi
secara sistematis teori kritis selalu beranjak dari temuan-temuan kritis bahwa teori
ini tidak membumi. 1
Teori kritis yang akan dibahas adalah sebutan untuk orientasi teoritis
tertentu yang bersumber dari Kant, Hegel dan Marx, kemudian disistematisasi
oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan
dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen
kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap
Kant.2 Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap

1
Axel Honneth, “Teori Kritis”, dalam Anthony Giddens and Jonathan H. Tunner, Social
Theory Today Panduan Sistematis Traadisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, penerjemah: Yudi
Santoso, Pustaka Pelajar, 2008, hal: 606
2
Kritik dalam arti Kantian adalah dengan mempertanyakan syarat kemungkinan
pengetahuan. Kant dengan epistemologinya berusaha menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi
kritis terhadap kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan
menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio

1
filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Yaitu teori kritis yang merupakan program
metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan
wawasan baru, dan pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan
kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praxis. Dengan
singkat bisa dikatakan, bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis.3

B. Latar Belakang Jürgen Habermas


Jurgen Habermas adalah filsuf kontemporer yang tidak diragukan lagi
merupakan filsuf Jerman terpenting dewasa ini. 4 Ia dilahirkan pada 18 Juni 1929
di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang
propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach,
sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan.
Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis disertasi doktor, ia
menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama Heidegger Melawan
Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca kehancuran akibat
Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang diandalkan, jembatan
antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi luhur filsafat Jerman.
Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah, bagaimana dulu Heidegger
memuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela Habermas, “bisa dipakai
untuk apa-apa saja”.
Habermas berhasil menyelesaikan disertasinya pada 1954 di Universitas
Bonn Jerman, dengan menulis “Das Absolute und die Geschichte. Von der
Zwiespältigkeit in Schellings Denken (The absolute and history: on the
contradiction in Schelling’s thought)”. Habermas bertolak dari Teori Kritis
Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Ia hendak
mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud yang

belaka. Sedangkan Kritik dalam arti Hegelian adalah refleksi atau Refleksi-diri atas rintangan,
tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri dari rasio dalam sejarah.
Dengan kata lain, kritik berarti refleksi atas proses menjadi sadar atau negasi dan dialektika,
karena bagi Hegel kesadaran timbul melalui rintangan..lihat: F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi
menyingkap pertautan pengetahuan dan kepentingan bersama Jurgen Habermas, Penerbit
Kanisius, 2009, hal: 53-55.
3
Ibid, hal: 59
4
Ibid, hal: 9

2
praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua punggawa mazhab
Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat.

C. Teori kritis (Critical Theory)


Teori kritik hendak memberikan sesuatu yang lain yang bukan berupa
pencerminan tidak memihak mengenai masyarakat dewasa ini. Dengan
menimbulkan kesadaran bahwa suatu filsafat masyarakat tanpa penyelidikan
empiric hanya akan menghasilkan rangka pemikiran yang hampa, yang tidak
memberikan keinsyafan apapun mengenai struktur masyarakat yang ada.
Sebaliknya, penyelidikan empiric akan merupakan kegiatan yang sia-sia, bila
tidak disertai kerangka kefilsafatan yang mewadahi serta memberi makna kepada
penyelidikan tersebut.5
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan
komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk
melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita
mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi
salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini
didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan
langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide
tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh
dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia
diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis mempertanyakan
legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran.
Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang
selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari
pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang,
yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan
asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari

5
Bernard Delfgauw, Filsafat abad 20, penerjemah: Soejono soemarno, PT Tiara
WAcana Yogyakarta, 2001, hal. 163

3
bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi
dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya,
salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan
luas.
Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat
dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis
Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya
untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel dalam Phenomenology of Spirit,
mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri,
mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel
menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa
sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi.
Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara
teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori.
Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam arti
tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam
bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.

D. Teori Kritis Mazhab Frankfurt


Para pendahulu Habermas memandang pencerahan membuahkan
Zweckrationalitat (rasionalitas tujuan), yang merupakan sumber dari berbagai
bentuk saintisme, positivism, teknokratisme dan barbarism gaya baru. Aliran
Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule)
merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für
Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat
refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang
rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat
tersebut.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik
masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah
membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Sejak semula, Sekolah

4
Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya.
Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil
semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari
pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran
kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat
cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl
Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis
materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan
perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-
barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan
selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-
pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran
sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam
sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme).

E. Konstruksi Teori Kritis Habermas


Berpijak dari pembacaan tentang masyarakat modern yang berjangkar
pada tradisi pencerahan, Habermas melihat beberapa tendensi menindas dari
tradisi Pencerahan sebagaimana secara terbuka telah diserang oleh
Postmodernisme, karenanya dia menolak pendekatan transendental dan idealistik
atas rasio. Habermas ingin menyajikan sebuah konsep rasio yang akan dapat
dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Seluruh proyek
Habermas mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan,
termasuk sekalipun penindasan itu dilakukan dalam dan atas nama ‘rasionalitas
modern’.6
Impresi masa muda Habermas ketika menyaksikan fakta-fakta yang
terungkap dalam pengadilan Nurenberg terkait dengan kejahatan kolektif atas
kemanusiaan, sungguh membentuk pandangan ontis tentang seluruh atribut
manusia dan masyarakat. Sangat menghentak nurani dan pikiran Habermas,

6
Sindung Tjahyadi, “Teori Kritis Jurgen Habermas:Asumsi-asumsi dasar Menuju
Metodologi Kritik Sosial”, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2, hal. 181

5
bagaimana sebuah kebudayaan yang memunculkan tradisi berpikir Kant hingga
Marx yang didominasi oleh tema pembebasan dan realisasi kebebasan dapat
menjadi lahan subur bagi munculnya Hitler dan nazisme. Mengapa Jerman dahulu
tidak menghalangi monster penyakit ini dengan upaya yang lebih kuat lagi?
Impresi atas kekejaman Nazi telah membuat Habermas memikirkan kembali dan
mengapropiasi tradisi pemikiran Jerman yang telah menjadi kacau. Rasio,
kebebasan, dan keadilan bukan hanya merupakan issue yang diekplorasi secara
teoritis, namun merupakan tugas praktis yang meski dicapai. Sebuah tugas praktis
yang menuntut komitmen yang penuh gairah.7
Teori kritis Habermas, sebagaimana pemikiran mazhab Frankfurt pada
umumnya, tetap berakar pada tradisi idealisme Jerman, khususnya
transendentalisme Kant, Idealisme Fichte, Hegel dan Materialisme Marx.8 Ia juga
mengintegrasikan psikoanalisis Freud 9 ke dalam Teori Kritisnya. Habermas
membangun teorinya atas dasar keprihatinannya pada problematika ilmu-ilmu
social dan keterlibatannya dalam teori kritis mazhab Frankfurt. 10 Habermas
merumuskan bahwa Teori Kritis bukanlah suatu teori “ilmiah”, sebagaimana
secara luas dikenal dikalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas
melukiskan Teori Kritis sebagai metodologi yang berdiri di dalam ketegangan
dialektis antara Filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). 11 Dalam ketegangan

7
Bernstein, Richard J., ed.,1985/1991, Habermas and Modernity, The MIT Press,
Cambridge, Massachusetts dikutip dari Sindung Tjahyadi, “Teori Kritis Jurgen Habermas:Asumsi-
asumsi dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial”, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34,
Nomor 2, hal. 181
8
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kejian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2008, hal: 165
9
Dalam arti Freudian, Kritik adalah refleksi, baik dari pihak individu maupun
masyarakat, atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidak bebasan internal. Sehingga
dengan cara refleksi itu masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan asing yang
mengacau kesadarannya. Dengan singkat, dapat dikatakan bahwa Kritik tak lain dari
ketidaksadaran menjadi kesadaran.
10
Ibid, hal: 166
11
Habermas mengungkapkan status ilmu-ilmu kritis dengan banyak cara. Lihat: J.
Habermas, Theory and Practice, London, Heinemann, 1971, hal, 10-13. Usaha menerangkan
status ilmu-ilmu kritis itu terangkum dalam gagasannya tentang Kritik sebagai metode dalam
ketegangan antara ilmu dan filsafat. Dinukil dari F. Budi Hardiman Kritik Ideologi .., hal: 33

6
itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta objektif,
sebagaimana dianut teori-teori positivistic.12
Habermas mencoba merumuskan dua arti Kritik atau apa yang kemudian
disebutnya Refleksi-Diri. Arti Kritik yang pertama diambil dari transendentalisme
Kant. Kritik dalam arti ini adalah suatu refleksi atas syarat kemungkinan
pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subjek yang mengetahui,
berbicara dan bertindak. Kritik dalam arti ini disebut Habermas sebagai
rekonstruksi rasional. Habermas melakukannya atas kegiatan mengetahui,
bertindak dan berbicara yang kesemuanya bertautan (dan ia menemukan kategori
tindakan dan kepentingan kognitif) Arti Kritik yang kedua diambil dari idealisme
Hegel dan materialisme Marx. Kritik dalam arti ini adalah suatu refleksi di atas
hambatan yang dihasilkan secara tak sadar yang menyebabkan subjek (pribadi
maupun kelompok social tertentu) menundukkan diri kepadanya dalam proses
pembentukan–dirinya. Dan dalam arti ini, Habermas melakukannya terhadap
filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang dalam masa awal sejarah positivism
modern. Dengan kata lain, kritik adalah refleksi diri atas kesadaran palsu.13
Pendekatan Habermas dapat disebut “kritis” menurut arti yang telah
dikembangkan para pendahulunya. Baginya, karya Marx merupakan Kritik. Dan
Kritik adalah pendekatan yang berada dalam ketegangan antara pendekatan
“ilmiah” dan “filosofis”. Dalam ungkapan Habermas, Marxisme adalah ilmu
pengetahuan sekaligus filsafat. Dan ia mempertegas bahwa teori kritiknya adalah
suatu filsafat sejarah empiric dengan tujuan praktis. 14 Teori kritis Habermas
dibangun atas dasar keprihatinannya, terutama tentang problema-problema ilmu
sosial dan keterlibatannya dalam teori kritis madzab Frankfurt. Dengan sedikit
simplifikasi, keprihatinan Habermas mengerucut dalam dua persoalan, pertama

12
F. Budi Hardiman Ibid. problem ilmu pengetahuan positivistic adalah penyingkiran
subjek dari proses penemuan atau paling tidak memandang manusia dan kemanusiaan hanya dari
aspek materialnya. Lihat: Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, .., hal: 165
13
Dua arti Kritik ini diterangkan Habermas dalam postscriptumnya untuk Knowledge and
Human Interests. Lihat: Philosophy of the Social Sciences, No. 3, (1975), hal. 157-189. Tetapi
beberapa kritikus menganggap arti Kritik ini sebagai ambivalensi dalam teori kritis Habermas.
Lihat: F. Budi Hardiman Ibid, hal. 204
14
Habermas, Teorie und Praxis, 1963, hal. 175, dikutip dari Bernard Delfgauw, Filsafat
abad 20, penerjemah: Soejono soemarno, PT Tiara WAcana Yogyakarta, 2001, hal. 165

7
problem ilmu pengetahuan positivisme dengan segala argument atau logika yang
dibawa, terutama ilmu bebas nilai dan penyingkiran peran subjek dari proses
penemuan atau aspek materialnya. Kedua menyangkut keterlibatan ilmuwan
dalam praktek sosial masyarakat.15

F. ASUMSI-ASUMSI DASAR: ONTOLOGI SOSIAL


Teori Kritis berpijak pada suatu pandangan umum tentang hakikat realitas
sosial, baik dalam dimensi faktual maupun dimensi normatif. Belajar dan
mengamati realitas-realitas sosial masa lalu dan realitas sosial masa kini
perupakan pijakan penting dalam membangun proyeksi masyarakat yang
diharapkan. Suatu ontologi sosial selalu berdimensi historis –faktual dan sekaligus
proyektif. Suatu pandangan umum tentang hakikat masyarakat akan membentuk
cara pandang terhadap masa lalu dan masa kini, namun sekaligus juga mengarah
pada proyeksi masyarakat yang dicita-citakan. Pada pendekatan seperti inilah
diusahakan untuk diungkap perspektif ontologi sosial Habermas tentang
masyarakat modern dan masyarakat kapitalisme lanjut.
Terdapat konsep-konsep dasar dan asumsi-asumsi dasar yang menjadi
landasan ontis pembacaan Habermas atas realitas sosial. Konsep-konsep tersebut
adalah tentang kepentingan, dunia-hidup, sistem, argumentasi, rasionalitas, dan
kolonisasi dunia-hidup. Adapun asumsi-asumsi dasar yang pokok adalah
hubungan antara kepentingan dan pengetahuan; komunikasi dan bentuk-bentuk
interaksi sosial; dan syarat-syarat ontis adanya konsensus rasional. Dengan tegas
Habermas menolak sikap yang dikatakan sebagai bebas nilai dalam bentuk ilmu
pengetahuan. Menurutnya, semua ilmu pengetahuan dan pembentukan teori selalu
dibarengi oleh interest-kognitif atau “kepentingan konstitutif-pengetahuan”
tertentu yaitu suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan dan
objek pengetahuan tertentu. 16 Habermas memahami kepentingan manusiawi

15
Kontruksi teori Habermas berasumsi bahwa antara teori dan praktek memiliki
hubungan yang sangat erat, bahkan juga dengan ideologi dan kepentingan manusiawi. Hal tersebut
dalam karyanya terutama "Knowledge and Human Interest" "Theory and Praktice". Lihat:
Muhammad Muslih, ibid, hal. 166
16
Muhammad Muslih, Ibid, hal: 167

8
sebagai sesuatu yang ada dalam ketegangan antara aspek empiris dan
transcendental. Kepentingan ini mengarahkan pengetahuan kita, maka disebutnya
“interest-kognitif” atau “kepentingan konstitutif-pengetahuan”. Karena
kepentingan ini konstitutif bagi pengetahuan, dan bersifat empiris dan
transcendental, tidak terpisah dari konteks objektif proses kehidupan biasa tetapi
sekaligus melampainya.17
Kepentingan teknis ini merupakan orientasi dasariah ilmu-ilmu alam.
Karena itu, ilmu-ilmu alam sebenarnya berakar pada konteks kehidupan objektif
manusia sebagai spesies yang melangsungkan hidupnya melalui tindakan
instrumental. Atas dasar interests tersebut, Habermas menunjukkan implikasinya
dalam tiga disiplin ilmu pengetahuan. Interests yang berkaitan dengan kebutuhan
reproduksi dan kelestarian diri, lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifat empiris-
analitis (analitis-empiris). Interests yang kedua berhubungan dengan kebutuhan
manusia untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya di dalam praktek social
yang menimbulkan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat histories-hermeneutis
(hermeneutis-historis). Dan interests yang ketiga berhubungan dengan
kepentingan yang mendorong diri untuk mengembangkan otonomi dan tanggung
jawab sebagai manusia, dan tercermin dalam ilmu pengetahuan yang bersifat
18
social-kritis (emansipatoris-kritis). Dengan mendefinisikan kepentingan-
kepentingan yang membentuk pengetahuan ini, Habermas ingin mengajak kita
waspada terhadap klaim bahwa pengetahuan diidentifikasikan melalui

17
Dengan memandang kepentingan manusiawi itu bersifat baik empiris maupun
transcendental, Habermas mempertautkan aspek antropologis dan aspek epistemologis dari
kepentingan pengetahuan itu. Dalam pidato pengukuhannya, ia melukiskan kepentingan itu
sebagai berikut: “ But the human interests that have emerged in man’s natural history, to wich we
have traced back the three knowledge-constitutive interests, derive both from nature and from the
cultural break with nature,” lihat. J. Habermas, Knowledge and Human Interests,hal. 312.
Kepentingan itu berciri alamiah, yaitu memuat aspek-aspek naluriah, psikologis, empiris, demi
survival manusia di alam, tetapi juga sekaligus mengatasi alam, yaitu bersifat transcendental,
memiliki klaim universal, dan mengatasi fungsi self-perservation sendiri. Habermas menolak
reduksi pengetahuan pada satu kutub, entah empiris maupuntransendental. Dikutip dari F. Budi
Hardiman Ibid, hal. 157
18
Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES,
1990, hal. 43, dikutip dari Muhammad Muslih, Ibid, hal: 167

9
kepentingan yang tunggal, Habermas menekankan bahwa pengetahuan ilmiah
bukanlah satu-satunya pengetahuan yang harus diperhitungkan di dunia.19
Habermas melihat adanya masalah ‘apriori’ yang ada pada
pengorganisasian pengalaman manusia yang ada pada semua ilmu, dan juga
terjadi pada pembentukan wilayah-wilayah objek ilmu sebagaimana disajikan oleh
‘kerangka transendental’. Di dalam ruang fungsional tindakan instrumental subjek
menghadapi objek yang dinamis. Di sini sesuatu, peristiwa, dan kondisi secara
prinsip dapat dimanipulasi.
Dalil bahwa setiap struktur logis ilmu berkaitan erat dengan fungsi
pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan pijakan penting dalam bangunan
teori kritis Habermas. Dalil tersebut juga membantu untuk memahami wilayah
dan bentuk komunikasi intersubjektif yang berbeda, yakni ‘dunia-hidup’. Dunia-
hidup (lifeworld) adalah sebuah konsep yang semula digunakan oleh Alfred
Schutz untuk merujuk dunia kehidupan sehari-hari. Bagi Habermas terdapat tiga
dimensi dunia-hidup, yakni: dunia objektif yang merepresentasikan fakta-fakta
yang independen dari pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensi
umum untuk menentukan kebenaran; dunia sosial yang terdiri dari hubungan-
hubungan intersubjektif; dan dunia subjektif dari pengalaman pribadi. Bagi
Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari pengalaman dan perspektif
yang melibatkan mereka, mencapai suatu pemahaman ‘tak terpusat’ (decentered)
dari dunia hidup.20

G. Kritik Ideologi
Sebagai kerangka dalam membangun keilmuan emansipatif, yang
menyuarakan kesadaran (refleksi diri), sasaran Teori Kritis adalah kritik terhadap
segala bentuk statisme, baik yang digerakkan oleh rasionalitas individu maupun

19
Miller, Katherine, 2002, Communications Theories: Perspectives, Processes, and
Contexs, McGraw Hill, Boston, dikutip dari Sindung Tjahyadi, “Teori Kritis Jurgen
Habermas:Asumsi-asumsi dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial”, dalam Jurnal Filsafat,
Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2, hal. 184
20
Habermas, 1990: 133-141

10
ideologi masyarakat. Dalam persoalan ideologi 21 , Teori Kritis memiliki tiga
pandangan. Pertama, kritik secara radikal terhadap masyarakat dan ideologi
dominan. Kedua, kritik ideologi tidak dilakukan untuk memberikan semacam
justifikasi dalam bentuk ‘kritik moral’.22 Dan yang ketiga, Kritik sebagai jiwa dari
23
ilmu pengetahuan social kritis. Dengan ketiga pandangan ini, Habermas
mengungkap ide yang secara terselubung dipakai untuk menjelaskan dan
membenarkan tindakan sebagai pengganti motif yang sebenarnya dari tindakan
itu. Dan selanjutnya dengan teorinya Habermas mengungkap interests-interests
manipulative dan menindas yang bersembunyi dibalik realita.

H. Epilog
Analisisi-analisis epistemologis Habermas merupakan kritik yang tajam
terhadap scientism dan positivisme yang memberhalakan sains dan teknologi
modern sebagai kebenaran universal yang bebas kepentingan. Analisis-analisis
Habermas masih tetap relevan untuk masyarakat Indonesia yang masih terus
mencari orientasi bagi strategi modernitasnya. Pesannya amat jelas: “Waspadalah
terhadap positivisme dan ilmu-ilmu sosial dan berbagai bentuk social engineering
yang tidak melibatkan public dalam mengambil keputusan yang menyangkut
kehidupan bersama, karena sains dan teknologi tidak netral dari kepentingan-
kepentingan.” Tujuan yang mau dicapai oleh Habermas adalah merumuskan
syarat-syarat nyata untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan.
Karena itu, Habermas mencoba mengembangkan teori kritis masyarakat.

21
Ideologi difahami Habermas sebagai kepercayaan, norma atau nilai yang dianut dan
dikenal sebagai weltanschauung (world view), sekaligus merupakan sudut pandangtertentu dalam
memandang realitas social. Lihat: Muhammad Muslih, Ibid, hal: 173
22
Segala bentuk ideologis dari sebuah kesadaran tidak akan diteliti apakah ia benar,
memuaskan, buruk, dan sebagainya. Kritik ideologis mempermasalahkan apakah sesuatu hal itu
merupakan kesadaran palsu, khayalan atau yang lainnya.
23
Muhammad Muslih, Ibid, hal: 172

11
Dartar Pustaka
Agger,Ben. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi
Wacana , Yogyakarta, 2007
Anthony Giddens & Jonathan Turner, Social Theory Today: Panduan Sistematis
Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, Pentj: Yudi Santoso, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008
Axel Honneth, “Teori Kritis”, dalam Anthony Giddens and Jonathan H. Tunner,
Social Theory Today Panduan Sistematis Traadisi dan Tren Terdepan
Teori Sosial, pentj: Yudi Santoso, Pustaka Pelajar, 2008
Bernard Delfgauw, Filsafat abad 20, penerjemah: Soejono soemarno, PT Tiara
Wacana Yogyakarta, 2001
Bernstein, Richard J., ed.,1985/1991, Habermas and Modernity, The MIT Press,
Cambridge, Massachusetts
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi menyingkap pertautan pengetahuan dan
kepentingan bersama Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, 2009
Herbert Marcuse, Rasio & Revolusi, menyuguhkan kembali Doktrin Hegel untuk
Umum, pentj: Imam Baehaqie, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
J. Habermas, Theory and Practice, London, Heinemann, 1971
Miller, Katherine, 2002, Communications Theories: Perspectives, Processes, and
Contexs, McGraw Hill, Boston
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kejian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2008
Sindung Tjahyadi, “Teori Kritis Jurgen Habermas:Asumsi-asumsi dasar Menuju
Metodologi Kritik Sosial”, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34,
Nomor 2

12

You might also like