You are on page 1of 11

1

BAB I
LATAR BELAKANG

1.1 Pendahuluan
Apakah etika, dan apakah etika profesi itu? Kata etika berasal dari kata
ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai
suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu
ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada
pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks.
Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis
prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak
dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan
hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Tetapi lebih jauh,
masalah hukum dalam dunia ketiga adalah seputar bagaimana mempersiapkan
yang belum ada dan menyesuaikan yang tidak lagi cocok dalam rangka proses
transplantasi hukum secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses
pertumbuhan tatanan baru globalisasi.
Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya
persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari
segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya
kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan riil hampir
semua orang. Di sisi lain, proses transplantasi tersebut juga menuntut negara dan
masyakarat untuk menanggulangi distorsi yang ada agar tidak terus-menerus
menjalar dan menggerogoti seluruh institusi dan infrastruktur pendukung sistem
hukum Indonesia. Salah satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak
lagi berperan sebagai ruang sakral di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan,
tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan
permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum
menjadi komoditinya dan keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan
menjadi taruhan utamanya.
2

Dalam perspektif semacam itu, 3(tiga) kondisi hukum di ataslah, yakni


mempersiapkan, menyesuaikan dan menanggulangi yang pada gilirannya kembali
mencuat ke permukaan menjadi perdebatan dan diskusi mengenai kebutuhan akan
etika, standar dan tanggung jawab sebagai nilai-nilai pokok yang akan
mendukung dan menjamin keberlanjutan terselenggaranya proses pencarian
keadilan yang sehat. Faktor lain yang ikut menuntut mencuatnya debat tersebut
berada di sisi masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin tergantung kepada
keahlian dan keterampilan dari sekelompok orang yang disebut kaum profesional.
Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi
sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal
tertentu masih dapat dinilai melalui parameter etika umum yang ada di dalam
masyarakat. Dengan begitu, telaah lebih lanjut mengenai dimensi moral dari
profesi advokat dan pekerja bantuan hukum berkaitan erat dengan makna, fungsi
dan peranan advokat beserta kode etik yang mengatur mengenai profesi advokat
itu sendiri.
Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesional adalah
merupakan dasar bagi seorang advokat. Sudah sejak dahulu profesi advokat
dianggap sebagai profesi mulia atau lebih di kenal dengan istilah nobile officium.
Oleh karena itu seorang advokat dalam bersikap haruslah menghormati hukum
dan keadilan, sesuai dengan kedudukan seorang advokat sebagai the officer of the
court. Akan tetapi dalam kenyataannya advokat merupakan profesi yang sangat di
benci oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena advokat itu sendiri yang telah
membuat profesinya itu menjadi dibenci oleh masyarakat. Pada masa sekarang ini
tidak bisa dipungkiri lagi profesi advokat hanya lebih mementingkan materi dari
pada kebenaran dan keadilan yang ditegakkan. Sejarah telah membuktikan bahwa
hukum menjadi unsur terpenting bagi suatu tatanan masyarakat, di belahan dunia
manapun masyarakat tersebut berada. Dan advokat merupakan bagian daripada
hukum.
Sudah merupakan suatu keharusan bagi seorang advokat memiliki kode
etik dalam menjalankan tugasnya. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada
pedoman moral bagi seorang advokat dalam bertindak menjalankan tugasnya.
“Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali dan tanpa pengarahan.
3

Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya tidak maju bahkan tidak


tegak.

1.2 Permasalahan
Dari beberapa uraian dalam latar belakang diatas maka dapat diambil
beberapa permasalahan diantaranya :
1. Apa yang menjadi faktor penghambat bagi advokat dalam
menjalankan perannya sebagai penegak hukum sehingga tidak mampu
menjalankan kode etik seorang advokat?
2. Bagaimana solusi atas kendala yang dihadapi oleh advokat sebagai
seorang penegak hukum?
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Etika, Moral dan Profesi Advokat


Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti
tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani,
Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan
fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara
hati. (E.Y. Kanter 2001:2)
Kata yang dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal
dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika
(bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat
mengenai baik-buruk suatu perbuatan. Namun demikian moral tidak sama dengan
etika. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia,
menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran
rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun
seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti
ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral (E.Y.
Kanter 2001:2).
Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut
kalangan professional atau orang yang menyandang suatu profesi tertentu disebut
seorang profesional. Selanjutnya Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-
peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental
dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam
melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik
(Oemar Seno Adji 1991:8).
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community
(masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka
membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang
5

sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan
demikian, profesi menjadikan suatu kelompok mempunyai kekuasaan tersendiri
dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.
Istilah advokat sudah dikenal ratusan tahun yang lalu dan identik dengan
advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, abogado dan
lain sebagainya di Eropa yang kemudian diambil alih oleh negara-negara
jajahannya. Kata advokat berasal dari bahasa Latin, advocare, yang berarti to
defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.

2.2 Fungsi dan Peranan Advokat


Secara garis besar dapat disebutkan di bawah ini mengenai fungsi dan
peranan advokat antara lain sebagai berikut :
Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
1. Memperjuangkan hak asasi manusia;
2. Melaksanakan Kode Etik Advokat;
3. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan
hukum, keadilan dan kebenaran;
4. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai
keadilan, kebenaran dan moralitas);
5. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat
dan martabat advokat;
6. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat
terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus
(continuous legal education) untuk memperluas wawasan dan ilmu
hukum;
7. Memelihara kepribadian advokat karena profesi advokat
merupakan profesi yang terhormat (officium nobile);
8. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman
sejawat;
9. Memberikan pelayanan hukum (legal services), nasehat
hukum (legal advice), konsultasi hukum (legal consultation),
pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal
information), menyusun kontrak-kontrak (legal drafting),
Membela kepentingan klien (litigasi) dan mewakili klien di muka
pengadilan (legal representation);
10. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada
masyarakat yang lemah dan tidak mampu (melaksanakan pro bono
publico).

2.3 Hak Dan Kewajiban Advokat


1. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
6

pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan.
2. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
3. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
4. Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh
informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun
pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan
untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan
perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
6. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain
oleh Undang-undang.
7. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik Advokat.
8. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan
kepentingan tugas dan martabat profesinya.
7

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Faktor penghambat bagi advokat dalam menjalankan perannya


sehingga melanggar kode etik advokat
Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :
1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat
seperti merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain,
intimidasi terhadap teman sejawat ;
2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi
dengan advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan
terhadap klien, menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien
berdasarkan bayaran, dan lain sebagainya;
3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan
pegawai pengadilan dan lain-lain.
Dari beberapa pelanggaran diatas saya ingin sedikit mengkritisi masalah
mengenai pendiskriminasian klien serta praktek curang seperti menggunakan data
palsu, kolusi dengan pegawai pengadilan. Yang pertama, tidak banyak orang yang
tahu bahwa bantuan hukum adalah bagian dari profesi advokat. Kewajiban
membela orang miskin bagi profesi advokat tidak lepas dari prinsip persamaan di
hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi advokat
(access to legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang
tanpa terkecuali, termasuk fakir miskin (justice for all). Namun demikian,
mungkin tidak seluruh advokat yang akan bergerak di bidang ini, akan tetapi
hanya advokat tertentu yang diarahkan secara khusus untuk menangani persoalan
pemberian bantuan hukum untuk golongan miskin.
Lalu, mengenai masalah praktek curang seperti menggunakan data palsu,
kolusi dengan pegawai pengadilan dan lain-lain bahkan saya pribadi pernah
mengetahui hal itu secara langsung. Hal itu buka lagi bukanlah hal yang tabu bagi
mereka karena menurut mereka hal itu adalah sesuatu yang wajar dan biasa
terjadi. Bagi saya, faktor yang juga mempengaruhi hal ini sehingga terjadi
demikian yakni karena faktor lingkungan yang lama-kelamaan memang akan
8

menjadi budaya. Jika kita melihat fakta yang demikian dan berfikir pasti muncul
sebuah pertanyaan di benak kita,“mau dibawa kemana bangsa ini?”
Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena
mentalitas sumber daya manusia kita yang boleh dibilang bobrok, selain faktor-
faktor lain seperti kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang advokat
mengenai substansi kode etik profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Selain itu, apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada
pengaturan mengenai sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini
juga yang merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik.
Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik
bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan norma-
norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat
anggotanya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat
pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang
melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan, peringatan
keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian selamanya
dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing sanksi
ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dan
sifat pengulangan pelanggarannya.
Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah
budaya advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang
diberlakukan terhadapnya. Budaya solidaritas korps disinyalir merupakan salah
satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif.
Solidaritas ini lebih dikenal dengan “Spirit of the Corps” yang bermakna luas
sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat
membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih menonjol
ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman
sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya skeptis.
Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan
karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang sudah
sangat korup dan rasa segan untuk bertindak “heroik’ secara individual dalam
tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung pada rusaknya sistem
9

peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung untuk berpraktek di luar
pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.

3.2 Solusi atas kendala yang dihadapi oleh advokat sebagai seorang
penegak hukum
Penegakan kode etik advokat adalah isu yang menjadi sorotan dari banyak
advokat dan seluruh elemen penegakan hukum di Indonesia. Penegakan kode etik
diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk
memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya,
memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang
melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik.
Pembelaan bagi orang tidak mampu, baik di dalam maupun di luar
pengadilan merupakan bagian dari fungsi dan peranan advokat di dalam
memperjuangkan hak asasi manusia. Mengenai pendiskriminasian klien maka
perlu kaderisasi advokat-advokat muda yang militan yang sudah dipersiapkan
sejak dari bangku kuliah. Dalam hal ini, maka peranan dari lembaga atau biro
bantuan hukum yang ada di fakultas-fakultas hukum menjadi sangat penting
sekali. Dengan demikian maka kehadiran para mahasiswa hukum dalam
pembelaan perkara di muka pengadilan merupakan penyiapan kader public
defender di bawah bimbingan para ahli hukum yang berpengalaman. Untuk
melakukan kaderisasi ini diperlukan sekali penyiapan kurikulum yang mantap
untuk pengembangan bantuan hukum melalui biro atau lembaga bantuan hukum
yang ada di fakultas-fakultas hukum, baik negeri maupun swasta. Selain itu,
dengan didirikannya lembaga-lembaga bantuan hukum yang diprakarsai oleh
masyarakat, organisasi profesi advokat dan pemerintah, diharapkan pula dapat
meningkatkan jumlah pembela umum (public defender). Sudah merupakan
tanggung jawab organisasi profesi advokat untuk menyediakan para pembela
umum dari para anggotanya yang siap memberikan waktu untuk membela orang
miskin secara gratis (pro deo/pro bono publico). Demikian pula pemerintah
mempunyai tanggung jawab menyediakan pembela umum untuk menciptakan
keseimbangan dimana negara mempunyai kewajiban menyediakan penuntut
umum/jaksa (public prosecutor). Karena jaksa dipersiapkan untuk menuntut
10

tersangka/terdakwa sedangkan pembela umum disiapkan untuk membela


tersangka/terdakwa.
Hal diatas adalah solusi yang sangat terbatas pada satu permasalahan saja.
Namun diatas itu semua yang merupakan hal terpenting dalam mengatasi krisis
moral dan etika yang mengakibatkan hancurnya sistem hukum nasional kita yakni
pendidikan sedini mungkin mengenai bagaimana sikap dan perilaku yang baik.
Mengajarkan kepada anak-anak agar mampu untuk bersikap jujur, berdisiplin,
menghormati teman dan memiliki sopan santun serta mempunyai jiwa yang
berbudi pekerti luhur, hal-hal tersebut adalah termasuk kedalam pendidikan
hukum par exellence. Anak-anak tersebut juga harus dibekali oleh ajaran agama
yang dapat dijadikan landasan bagi jiwa mereka, sehingga mereka dapat
menentukan perbuatan mana yang boleh mereka lakukan dan tidak boleh mereka
lakukan sesuai dengan norma-norma agama yang mereka anut. Hal ini
dimaksudkan agar suatu saat apa yang sudah ditanamkan semenjak dini tetap
menjadi pegangan bagi mereka sebagai generasi penerus bangsa, baik dalam
hidup secara umum dan khususnya dalam menjalankan etika berprofesi agar
mereka kelak tidak melakukan hal-hal atau perilaku yang menyimpang sehingga
diharapkan mampu membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan.
11

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari apa yang sudah dibahas diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dari
pelanggaran kode etik atau etika profesi oleh advokat yang sampai saat ini yang
utama adalah praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan
pegawai pengadilan dan lain-lain yang sudah menjadi budaya para aparat hukum.
Lalu diskriminasi klien berdasarkan bayaran. Prinsip persamaan di hadapan
hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi advokat (access to
legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa
terkecuali.

4.2 Saran
Dalam tulisan Profesor Satjipto Rahardjo dikemukakan bahwa sebelum
membangun hukum maka kita harus mendahulukan pembangunan manusia
Indonesia terlebih dahulu. Dari situ maka hukum akan turut terbangun dan
kehidupan akan menjadi lebih baik. Salah satu cara yang menurut saya sangat
perlu dilakukan guna pembangunan manusia Indonesia adalah pendidikan dini
seperti apa yang sudah dikemukakan oleh Profesor Satjipto Rahardjo tanpa harus
mendidik mereka menurut apa yang ada dalam teks book, baik berupa undang-
undang dan sebagainya, melainkan pendidikan par exellence.

You might also like