You are on page 1of 36

Suku Minangkabau atau Minang adalah suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat.

Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat
memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan
hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan Adat Minangkabau yang
berlandaskan Islam.

Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Hampir separuh
jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada
umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam,
Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di
Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di
mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan masakan Padang,
sangatlah digemari.

Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi yang terjadi pada tahun 1804
- 1837. Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan suku ini berada dibawah kekuasaan
pemerintah kolonial Hindia-Belanda sejak tahun 1837 - 1942.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Etimologi
• 2 Asal Usul
• 3 Sosial Kemasyarakatan
• 4 Persukuan (Marga) dalam kelompok Etnis Minangkabau
• 5 Minangkabau Perantauan
o 5.1 Jumlah Perantau
o 5.2 Gelombang Rantau
o 5.3 Perantauan Intelektual
o 5.4 Sebab Merantau
 5.4.1 Faktor Budaya
 5.4.2 Faktor Ekonomi
• 6 Orang Minangkabau dan Pencapaiannya
• 7 Lihat pula
• 8 Literatur
• 9 Pranala luar

• 10 Catatan kaki

[sunting] Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu
berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-14, kerajaan Majapahit melakukan
ekspedisi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan
untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul
tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat
Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya.
Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik
perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui.
Kecemerlangan masyarakat Minang tersebutlah yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh
sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah
Minangkabwa, Minangakamwa, Minangatamwan dan Phinangkabhu. Istilah Minangakamwa
atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar
yaitu Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk
kepada sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu
disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan
migrasi massal dari hulu sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah
Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

[sunting] Asal Usul


(Lihat : Sejarah Sumatera Barat)

Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar atau Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di
dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang
menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari
Barus di utara hingga Kerinci di selatan.

Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India
Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera
menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke
tangan Portugis.

[sunting] Sosial Kemasyarakatan


Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan
kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang
dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali
mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri
dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan
Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah
sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

[sunting] Persukuan (Marga) dalam kelompok Etnis


Minangkabau
Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan
istilah suku. Di masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan
dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-
suku tersebut adalah:
• Suku Koto
• Suku Piliang
• Suku Bodi
• Suku Caniago

Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan
suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di antara
suku-suku tersebut adalah:

• Suku Tanjung • Suku Mandailiang


• Suku Sikumbang • Suku Sipisang
• Suku Malayu • Suku Payobada
• Suku Guci • Suku Pitopang
• Suku Panai • Suku Mandaliko
• Suku Jambak • Suku Sumagek
• Suku Panyalai • Suku Dalimo
• Suku Kampai • Suku Simabua
• Suku Bendang • Suku Salo

• Suku Kutianyie • Suku Singkuang

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang
berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau, yaitu:

• Suku Biduanda (Dondo)


• Suku Batu Hampar (Tompar)
• Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh)
• Suku Mungkal
• Suku Tiga Nenek
• Suku Seri Melenggang (Somolenggang)
• Suku Seri Lemak (Solomak)
• Suku Batu Belang
• Suku Tanah Datar
• Suku Anak Acheh
• Suku Anak Melaka
• Suku Tiga Batu

[sunting] Minangkabau Perantauan


[sunting] Jumlah Perantau
Rumah Gadang

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar
provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi,
bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Mohctar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar
Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[2]
Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7
juta jiwa.[3] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh dunia, berarti hampir separuh
orang Minang berada di perantauan. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup
besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab
menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5% dibawah orang
Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

[sunting] Gelombang Rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi pertama terjadi pada
abad ke-7, dimana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman
Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan
Kerajaan Malayu.[4] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga
Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia.
Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat
Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan
koloni-koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan
sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511,
banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi
pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta
bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[5]
Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau
mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kesultanan Riau-Lingga.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa
kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama
Jakarta. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

[sunting] Perantauan Intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami
agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah
air, mereka menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi di Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada
awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan
Muhammad Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah,
diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid Al-
Haram

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka
antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir
Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan
Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut,
yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri
Republik Indonesia.[6]

[sunting] Sebab Merantau

[sunting] Faktor Budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem
kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum
perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang
menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun
sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin
berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme
dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan
luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[7]
Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang
yang mengatakan Ka rantau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi
merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi
merantau sedari muda.

[sunting] Faktor Ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya
sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber
utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah
tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib
di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau
menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para
perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

[sunting] Orang Minangkabau dan Pencapaiannya


(Lihat : Daftar tokoh Minangkabau)

Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Fahmi Idris

Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di
seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara
lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah
populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah
satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun
2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang
Minang.

Sejak dulu orang Minang telah merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung
Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan
Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke
Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan
mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun
1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan
Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi
sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah
Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain
A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920 - 1960 banyak politisi Indonesia yang berpengaruh berasal dari
Minangkabau. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana
menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang
sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang sebagai presiden Republik Indonesia
dibawah RIS (Assaat), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan
yang menjadi menteri, diantara yang cukup terkenal ialah Agus Salim dan Muhammad
Yamin. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi Liberal parlemen Indonesia di dominasi
oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, Islamis,
Nasionalis, Komunis dan Sosialis. Disamping menjabat gubernur Provinsi Sumatera
Tengah/Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di
Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Muhammad Djosan dan Muhammad
Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Sulawesi Tengah), Adenan
Kapau Gani (Sumatra Selatan), Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[8]

Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Mereka
mengembangkan bahasa Indonesia melalui berbagai macam profesi dan bidang keahlian.
Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, dan A.A Navis sebagai
penulis novel. Chairil Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Abdul Rivai, Djamaluddin
Adinegoro, Rosihan Anwar dan Ani Idrus sebagai jurnalis.

Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai
pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil,
rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Abdul Latief dan Tunku Tan Sri
Abdullah merupakan figur sukses pengusaha Minangkabau.

Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser,
penyanyi, maupun artis. Diantara mereka ialah Usmar Ismail, Asrul Sani, Arizal, Ani
Sumadi, Soekarno M. Noer, dan Dorce Gamalama.

Orang Minangkabau juga berkontribusi besar di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku
Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden
pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura),
Sheikh Muszaphar Shukor, Rais Yatim, Tan Sri Abdul Samad Idris dan Adnan bin Saidi. Di
negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-
satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.[9]

Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau serta


daerah rantau Minang. Hal ini merujuk pada wilayah di Indonesia meliputi propinsi Sumatera
Barat, bagian timur propinsi Riau, bagian selatan propinsi Sumatera Utara, bagian timur
propinsi Jambi, bagian utara propinsi Bengkulu, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Berbeda
dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut
sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Wilayah budaya
• 2 Sistem Adat
o 2.1 Sistem Kelarasan Koto Piliang
o 2.2 Sistem Kelarasan Bodi Caniago
o 2.3 Sistem Kelarasan Panjang
• 3 Reformasi Budaya
• 4 Produk Budaya
o 4.1 Demokratis
o 4.2 Novel
o 4.3 Upacara dan Festival
o 4.4 Kesenian
o 4.5 Ukiran
o 4.6 Kain Sungkik (Songket)

• 5 Referensi

[sunting] Wilayah budaya


Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang meliputi
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang.
Kemudian budaya tersebut menyebar ke wilayah rantau di sisi barat dan timur Luhak Nan
Tigo. Batas-batasnya biasa dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini :

Dari Sikilang Aia Bangih


hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi

Jika merujuk pada ungkapan tersebut, maka wilayah budaya Minangkabau meliputi :

1. Sumatera Barat
2. Bagian barat Riau : Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan, Indragiri Hulu
3. Bagian selatan Sumatera Utara : Natal, Kabupaten Mandailing Natal
4. Bagian timur Jambi : Kabupaten Kerinci, Bungo
5. Bagian utara Bengkulu : Kabupaten Mukomuko
Ditambah daerah rantau yang menerapakan budaya Minangkabau, yaitu :

1. Negeri Sembilan, Malaysia


2. Bagian barat Aceh : Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya

[sunting] Sistem Adat


Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku
Minangkabau yaitu :

1. Sistem Kelarasan Koto Piliang


2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3. Sistem Kelarasan Panjang

Pakaian adat Minangkabau

Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana hal
ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal.
Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh
agama Islam yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku
Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi
merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan
harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan
hukum Islam.

[sunting] Sistem Kelarasan Koto Piliang

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri
yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis
keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik,
berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan
sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.

[sunting] Sistem Kelarasan Bodi Caniago

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut
paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah
Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.
[sunting] Sistem Kelarasan Panjang

Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama Mambang Sutan
Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam
nagari yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.

Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak
dikotomis lagi.

[sunting] Reformasi Budaya


Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada tahun
1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama,
tokoh adat, dan cerdik pandai. Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang
pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Syarak mangato adat mamakai.

[sunting] Produk Budaya


[sunting] Demokratis

Produk budaya Minangkabau yang cukup menonjol ialah sikap demokratis pada
masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem
pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari, dimana pengambilan keputusan
haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Selain itu tidak adanya jarak antara
pemimpin dan rakyat, menjadi faktor lain tumbuh suburnya budaya demokratis ditengah
masyarakat Minang. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat bahwa "pemimpin itu
didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila
keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi
Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup ditengah-tengah permusyawaratan
yang terwakilkan.

[sunting] Novel

Novel yang beredar luas serta menjadi pengajaran bagi pelajar di seluruh Indonesia dan
Malaysia, merupakan novel-novel berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Dibawah Lindungan Ka'bah
karya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan
Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis.

Disamping itu terdapat pula produk budaya Minangkabau seperti upacara, festival, kesenian,
tambo, pepatah-petitih, hingga makanan.

[sunting] Upacara dan Festival

• Tabuik
• Turun mandi
• Batagak pangulu
• Turun ka sawah
• Manyabik
• Hari Rayo

[sunting] Kesenian

• Randai
• Rabab Pasisie
• Silek (Silat Minangkabau)
• Saluang
• Talempong
• Tari Piring
• Tari Payung
• Tari Pasambahan
• Tari Indang
• Sambah Manyambah

[sunting] Ukiran

Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak Nagari di Minangkabau, namun saat ini seni ukir
ini berkembang di Pandai Sikek (Pandai Sikat). Nagari Pandai Sikek terletak di antara Kota
Padang Panjang dan Bukittingi, tepatnya di kaki Gunung Singgalang, termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Data.

[sunting] Kain Sungkik (Songket)

Kain songket dahulunya sama dengan seni ukir, kerajinan ini dimiliki oleh beberapa Nagari
di Minangkabau, namun sekarang yang masih bertahan adalah Nagari Pandai Sikek dan
Silungkang.

Bahasa Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu anak cabang bahasa Austronesia
yang dituturkan khususnya di wilayah Sumatra Barat, bagian barat propinsi Riau serta
tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Terdapat pertentangan mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu.


Sebagian pakar bahasa menganggap bahasa ini sebagai dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan
bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Daerah sebar tutur


• 2 Dialek
• 3 Contoh
• 4 Karya sastra
• 5 Perbandingan dengan Bahasa Melayu/Indonesia
• 6 Catatan
• 7 Referensi
• 8 Pranala luar

• 9 Lihat pula

[sunting] Daerah sebar tutur


Secara historis, daerah sebar tutur Bahasa Minangkabau meliputi bekas wilayah kekuasaan
Kerajaan Pagaruyung yang berpusat di Batusangkar, Sumatra Barat. Batas-batasnya biasa
dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini:

Dari Sikilang Aia Bangih


hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi.

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan
Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo
adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.

Bahasa Minangkabau juga menjadi bahasa lingua franca di kawasan pantai barat Sumatra
Utara, bahkan menjangkau jauh hingga pesisir barat Aceh. Di Aceh, penutur bahasa ini
disebut sebagai Aneuk Jamee. Selain itu, bahasa Minangkabau juga dituturkan oleh
masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia yang nenek moyangnya merupakan pendatang asal
ranah Minang sejak berabad-abad silam.

[sunting] Dialek
Dialek bahasa Minangkabau sangat bervariasi, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh
sungai sekali pun dapat mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan terbesar adalah dialek
yang dituturkan di kawasan Pesisir Selatan dan dialek di wilayah Mukomuko, Bengkulu.

Selain itu dialek bahasa Minangkabau juga dituturkan di Negeri Sembilan, Malaysia dan
yang disebut sebagai Aneuk Jamee di Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat Daya dan Aceh
Selatan. Berikut ini adalah perbandingan perbedaan antara beberapa dialek:

Bahasa Indonesia/ Bahasa Melayu Apa katanya kepadamu?


Bahasa Minangkabau "baku" A keceknyo jo kau?
Mandahiling Kuti Anyie Apo kecek o kö gau?
Padang Panjang Apo keceknyo ka kau?
Pariaman A kato e bakeh kau?
Ludai A kecek o ka rau?
Sungai Batang Ea janyo ke kau?
Kurai A jano kale gau?
Kuranji Apo kecek e ka kau?
Salimpaung Batusangkar Poh ceknyoh kah khau duh?
Rao-Rao Batusangkar Aa keceknyo ka awu tu?

Untuk komunikasi antar penutur bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini,
akhirnya dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau atau disebut
Baso Padang atau Baso Urang Awak. Bahasa Minangkabau dialek Padang inilah yang
menjadi acuan baku (standar) dalam menguasai bahasa Minangkabau.[rujukan?]

[sunting] Contoh
Bahasa Sadang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia
Minangkabau: (peribahasa)
Bahasa Indonesia: Sedangkan pohon di hutan tidak sama tinggi, apa lagi manusia

Bahasa
Co a koncek baranang co itu inyo (peribahasa)
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Bagaimana katak berenang, seperti itulah dia.

Bahasa
Indak buliah mambuang sarok di siko!
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Tidak boleh membuang sampah di sini!

Bahasa
Bungo indak satangkai, kumbang indak sa ikua (peribahasa)
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Bunga tidak setangkai, kumbang tidak seekor

Bahasa
A tu nan ka karajo ang* ?
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Apa yang akan kamu kerjakan?
* perhatian: kata ang (kamu) adalah kata kasar

[sunting] Karya sastra


Karya sastra tradisional berbahasa Minang memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra
tradisional berbahasa Melayu pada umumnya, yaitu berbentuk pantun, cerita rakyat, hikayat
nenek moyang (tambo) dan adat-istiadat Minangkabau. Penyampaiannya biasanya dilakukan
dalam bentuk cerita (kaba) atau dinyanyikan (dendang).

[sunting] Perbandingan dengan Bahasa Melayu/Indonesia


Orang Minangkabau umumnya berpendapat banyak persamaan antara Bahasa Minangkabau
dengan Bahasa Melayu/Indonesia. M. Rusli dalam Peladjaran Bahasa Minangkabau
menyebutkan pada pokoknya perbedaan antara Bahasa Minangkabau dan Bahasa Indonesia
adalah pada perbedaan lafal, selain perbedaan beberapa kata.

Contoh-contoh perbedaan lafal Bahasa Melayu/Indonesia dan Bahasa Minangkabau adalah


sebagai berikut:

• ut-uik, contoh: rumput-rumpuik


• us-uih, contoh: putus -putuih
• at-ek, contoh: rapat-rapek. Untuk kata-kata berasal dari bahasa asing at-aik, contoh:
adat-adaik
• al/ar-a, contoh: jual-jua, kabar-kaba
• e(pepet)-a, contoh: beban-baban
• a-o, contoh: kuda-kudo
• awalan ter-, ber-, per- menjadi ta-, ba-, pa-. Contoh: berlari, termakan, perdalam
(Bahasa Melayu/Indonesia) menjadi balari, tamakan, padalam (Bahasa
Minangkabau) [1]
• Adat Minangkabau terdiri atas empat jenis yaitu :

1. Adat nan sabana Adat


2. Adat nan diadatkan oleh nenek moyang.
- Kedua jenis Adat pada 1 dan 2 hukumnya babuhua mati (tidak boleh dirobah-robah
walau dengan musyawarah mufakat sekalipun ).
3. Adat teradat.
4. Adat Istiadat.
-Kedua jenis Adat pada 3 dan 4 hukumnya babuhua sentak (boleh dirobah-robah asal
dengan melalui musyawarah mufakat).

1. Adat nan sabana adat.


a. Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam
benda, flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan
sabana Adat ini adalah sebagai SUMBER hukum Adat Minangkabau dalam menata
masyarakat dalam segala hal. Dimana ketentuan alam tersebut adalah aksioma tidak
bisa dibantah kebenarannya. Sebagai contoh dari benda Api dan Air, ketentuannya
membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat dengan sifat
tersebut, kecuali Allah sebagai sang penciptanya menentukan lain (merobahnya).

b. Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak
perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati, dipelajari dan
dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar seperti yang disebutkan
dalam pepatah-petitih Adat :
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik,
nan sakapa jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.

2. Adat nan diadatkan oleh nenek-moyang.


a. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya diatas yakni dengan meneliti,
mempedomani, mempelajari alam sekitarnya oleh nenek-moyang orang
Minangkabau, maka disusunlah ketentuan-ketentuan alam dengan segala fenomena-
fenomenanya menjadi pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam Adat
dengan mengambil perbandingan dari ketentuan alam tersebut, kemudian dijadikan
menjadi kaidah-kaidah sosial untuk menyusun masyarakat dalam segala bidang
seperti : ekonomi, sosial budaya, hukum, politik, keamanan, pertahanan dan
sebagainya.

b. Karena pepatah-petitih tersebut dicontoh dari ketentuan alam sesuai dengan


fenomenanya masing-masing, maka kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan sumbernya
tidak boleh dirobah-robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun. Justru kedua
jenis Adat pada huruf a dan b karena tidak boleh dirobah-robah disebut dalam pepatah
:
Adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan,
dianjak tak layua, dibubuik tak mati,
dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi.
Artinya adalah Kebenaran dari hukum alam tersebut . Selama Allah SWT, sebagai
sang pencipta ketentuan alam tersebut tidak menentukaan lain, maka ketentuan alam
tersebut tetap tak berobah.
contoh pepatah :

lawik barombak, gunuang bakabuik,


lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku,
karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo .

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Adat nan diadatkan nenek moyang adalah
merupakan pokok-pokok hukum dalam mengatur masyarakat MinangKabau dalam
segala hal, yang diadatkan semenjak dahulu sampai sekarang. Uraian secara agak
mendasar kita kemukakan dalam halaman selanjutnya pada kaidah-kaidah dalam
pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun, dan gurindam Adan nantinya. Pepatah-petitih,
mamang bidal, pantun dan gurindam Adat yang disusun dari ketentuan-ketentuan
alam dengan dengan segala fenomenanya itu berguna untuk mengungkapkan segala
segala sesuatu dalam pergaulan seperti : Menyuruh, melarang, membolehkan, ke-
baikan, keburukan, akibat yang baik, akibat yang buruk, kebenaran, keadilan,
kemakmuran, kerusuhan, kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan, bahaya
yang menimpa, kesenangan, kekayaan, kemiskinan, kepemimpinan, kepedulian, rasa
sosial, keluarga, masyarakat, moral dan akhlak, dan sebagainya.

3. Adat Teradat
a. Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat
dalam suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang
telah dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt.
Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan
aturan-aturan pokok tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan
dengan aturan-aturan pokok yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-
moyang dahulunya. Sebagai contoh kita kemukakan beberapapepatah-petitih,
mamang, bidal, Adat yang telah diadatkan oleh nenek moyang tersebut diatas seperti :
Abih sandiang dek Bageso, Abih miyang dek bagisiah.
Artinya nenek-moyang melalui pepatah ini melarang sekali-kali jangan bergaul
bebas antara dua jenis yang berbeda sebelum nikah (setelah Islam) atau kawin
(sebelum Islam).
- Untuk terlaksananya ketentuan larangan ini oleh anggota masyarakat, maka
pemimpin-pemimpin adat di suatu nagari bermusyawarah untuk mufakat dengan hasil
mufakat bulat. Dilarang bagi kaum wanita remaja keluar malam setelah jam delapan,
kecuali ditemani oleh orang tuanya. Peraturan ini hanya berlaku di nagari tersebut
saja, belum tentu tidak berlaku pada nagari lainnya. (disebut juga Adat Salingka
nagari).
lain nagari lain adatnyo, lain padang lain belalangnyo,
lain lubuak lain ikannyo.

- Setiap perkawinan kaidah pokok dari nenek-moyang

ayam putiah tabang siang, basuluah matohari,


bagalanggang mato rang banyak, datang bajapuik pai baanta,
arak sapanjang labuah, iriang sapanjang jalan.

Untuk pelaksanaan aturan pokok tentang perkawinan ini, maka nagari-nagari


penghulunya membuat peraturan pelaksanaan melalui musyawarah mufakat. Ada
dengan ketentuan ada nagari yang membuat keputusan pelaksanaan jemput antar
disiang hari, ada pula dimalam hari dengan mengutamakan seluruh masyarakat
mengetahui bahwa sipolan dengan sipolin telah nikah. Ada pula keputusan penghulu
disuatu nagari yang membuat peraturan seperti : Kedua marapulai diarak dengan
pakaian yang diatur pula dengan musyawarah. Aturan Adat ini belum tentu sama
dengan aturan nagari lainnya.

b. Begitupun peresmian SAKO(gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang
memotong kerbau, ada banteng, ada kambing, ada dengan membayar uang adat
kenagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian
satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah
mufakat. dan lain sebagainya.
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo.

4. Adat Istiadat
1. Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu
disuatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan
KESUKAAN anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong,
pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan kerumah mempelai,
begitupun helat jamu meresmikan S a k o itu tadi. Begitu pula Marawa, ubur-ubur,
tanggo, gabah-gabah, pelamina dan sebagainya yang berbeda-beda disetiap nagari.
Juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo,
lain nagari lain adatnyo (Istiadatnya) .

2. Kedua jenis adat nan teradat dan Adat Istiadat tersebut adalah peraturan
pelaksanaan dari aturan-aturan pokok yang telah diciptakan oleh nenek-moyang,
dimana dua macam jenis huruf c dan d Adat nan babuhua sentak artinya : aturan Adat
yang dapat dirobah, dikurangi, ditambah dengan melalui musyawarah mufakat dan
selama tidak bertentangan dengan pokok hukum yang telah dituangkan dalam
pepatah-petitiah ciptaan nenek-moyang (kato Pusako) Adat.

Namun keempat jenis Adat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, secara utuh disebut ( ADAT ISTIADAT
MINANGKABAU ).


Adat
Pada bagian ini akan kita sampaikan bagaimana adat istiadat sumaniak dalam konteks
khusus serta hubungan lainnya dengan adat istiadat secara umum yang berlaku di
Minangkabau, tentunya harapan tulisan dan paparan dari warga sekalian yang mempunyai
data-data atau dokumentasi perihal tenang adat istiadat ini, tentunya menambah wawasan kita
sebagai putra sumaniak dan serta memberikan edukasi terhadap kaum muda atas sejarah adat
istiadat kita....mohon saran dan masukannya...

untuk melengkapi data awal diharapkan bantuan informasi pemangku adat yang sekarang ini
baik secara kesukuan maupun secara kenagarian sekaligus dengan data-data pribadi dan
jajaran kepenguluannya....

EMPAT JENIS ADAT DI MINANGKABAU


1. Adat Minangkabau terdiri atas empat jenis yaitu :

a. Adat nan sabana Adat


b. Adat nan diadatkan oleh nenek moyang.

Kedua jenis Adat pada a dan b hukumnya babuhua mati (tidak boleh dirobah-
robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun :

c. Adat teradat.

d. Adat Istiadat.

Kedua jenis Adat pada c dan d hukumnya babuhua sentak (boleh dirobah-robah
asal dengan melalui musyawarah mufakat).

1. Adat nan sabana adat.

• Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada
alam benda, flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya
(Sunatullah). Adat nan sabana Adat ini adalah sebagai "SUMBER" hukum
Adat Minangkabau dalam menata masyarakat dalam segala hal. Dimana
ketentuan alam tersebut adalah aksioma tidak bisa dibantah
kebenarannya. Sebagai contoh dari benda Api dan Air, ketentuannya
membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat
dengan sifat tersebut, kecuali Allah sebagai sang penciptanya
menentukan lain (merobahnya).
• Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni
Datuak perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati,
dipelajari dan dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar
seperti yang disebutkan dalam pepatah-petitih Adat :

" Panakiak pisau sirawik,


A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan
sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan
dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan
mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di
sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan
manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan
interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat
sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan
lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini
meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat
dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa
benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif.
Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut
menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki
oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai
sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser,
1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan
dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian
proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang
tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi
nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam
hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di
masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai
nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup
mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan
dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi
panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari
agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan
dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga
menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini
menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di
masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan
tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan
diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal
dengan istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino &
Beck: 19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk
mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan
ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya
hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa
depannya sudah mulai tergambar (Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs,
Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada.
Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan
menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang
dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi,
in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat.
Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan
sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan
oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga
merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk
mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.

B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan
siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan
perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa
"keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang
selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan
harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering
dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap,
penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian
individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat.
Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu,
dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan
oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu
berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan.
Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan
dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi,
1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan
adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan
kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk
perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya
terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982;
Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989).
Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola
tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya
khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk
hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama
nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang
sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan
perbuatan perbuatan selanjutnya.

Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977)
memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap
dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam
mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal
rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996)
yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang
merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan
demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap
lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar
kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih
baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus
atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat
dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait
pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang
telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide
serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu
yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya
yang sama.

C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya
yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai
yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh
segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada
dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini
antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti
dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai
kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa
tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/
etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain.
Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau
kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap
mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh
anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang
dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari.
Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan
kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat
mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang
timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan
demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa
Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi
oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan
yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu
pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya
Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup
bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
(Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa
Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi
proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari
budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang
dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan
sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab
tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan
yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan
hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:

1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan


dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan
kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan
masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hu¬bungan dengan
kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan,
menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya,
hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat
dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan
sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus
mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.

D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat
herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar
(Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian
sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia
muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya
dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ
(Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang
orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan
dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan
demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya
kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena
akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara
benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak,
bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau
tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar.
biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara
tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan
demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak.
Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan
cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan
ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil
berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku
tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya
mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya)
sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong
bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan
digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat
bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau
bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai
nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan
nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak).
Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah
sebagai berikut:

Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting
setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan.
Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang
merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan
yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.

Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan
harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa
akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan
pisau dan lain sebagainya.

2. Peran Masyarakat.

Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran
lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu
kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir
sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai
batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan
batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau
tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang
satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat
tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan
atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa
atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar
desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini
dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah
sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku
dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia
berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang
berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa
peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang
menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk
menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai
suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada
pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk
menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990).
Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota
masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang
telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus
melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita
seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan
fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan
lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar.
Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang
demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi
mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan
masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa
mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan
perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang
bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan
halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa",
biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin"
(malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk
suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap
dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat
dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu
kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang
dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses
pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi
suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak
mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung.
Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses
belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang
menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul
(lrian jaya) sebagai berikut:

“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar


bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap
hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki
ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang
terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung
untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan.
Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi
kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap
lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang,
tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan
sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh.
Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih
sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti
yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka
meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur
¬membadut".

llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah


kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui
cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang
berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus).
Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada
seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment)
kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau
menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam
macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada
beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya
(Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu,
maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara
berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian
budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala
apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.

C. Konseling Lintas Budaya


Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari
istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan
secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam
pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2)
adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam
memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian
budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2)
menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari
budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu
hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar
belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991;
Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan
Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya
secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika
antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara
konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain
sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari
budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor
kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor
orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari
Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal
dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula
muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang
berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal
dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi
perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan
orang Jawa Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar",
sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai
sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain
sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu
yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai
nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus".
Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam
kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses
konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin
disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini
memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan
perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang
negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau
manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan
atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul
dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan
dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling
akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991;
Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah
pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan
perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda
(indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya
sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian
membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah
bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan
hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami
klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat
memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan
klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya
mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari
sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena
setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari
budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien
yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia
tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi
dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai
Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap
budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam
usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang
bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya
di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di
sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam
memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu
yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas
perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari
lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang
sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien
akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa
terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai
atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga
dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling,
tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai
yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di
mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia
ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup.
Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki
oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di
pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar
seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran
akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan
membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.
Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor
untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya.
Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki
tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1)
latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya
yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan
dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan
konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang
tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara
konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri.
Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana
dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari,
lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang
penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa
tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa
masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah
tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan
usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya
sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling
lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur
tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi,
serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo &
Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991;
Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).

D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor
sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam
memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat
berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh
konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai
konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves,
1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia
danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan
menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan
keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman
dan gaya hidup mereka.

Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.

1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan
mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh
terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam
melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang
dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan
tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia
berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan
berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa
klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan
membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan
tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang
dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat
berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi,
konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus
dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing
masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu
berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian,
konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual
differences).

2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::

Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!
ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan
kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori
konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing
masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada
kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga,
tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor
semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui
moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut
berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan
demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok
(fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula
muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan
menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan
pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda
dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas
dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya
permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya
intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan
sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita
adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang
lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi
usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada
akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya
yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan
bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul
jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar,
dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor,
“Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana
budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif
mungkin?”

4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.


Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia
klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak
konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya
yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak
menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang
berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah
ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor ¬yang tidak
sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri
dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau
jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang
dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh
konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan
mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan
berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki
tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya,
memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling
yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu
adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi
kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka
kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan
melanggar kode etik profesi konseling.

5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada


kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor
adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya
adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien.
Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang
jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan
mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau
pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar
benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien.
Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam
membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang
budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang
sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu
masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan
masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa
memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang
dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar
menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya
yang dimak¬sud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali
dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk
berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau
kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa
membantu klien mengatasi masalahnya.

a. kompetensi yang dikehendaki


Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor
yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson)
menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya
perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain
itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan
layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti
dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang
dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya
karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya.
Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai
nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan
konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan
pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang
perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio
budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang
dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat
ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di
masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi
dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan
semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai
suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan
keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar
belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan
dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan
(perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan
dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku
sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang
Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau
berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan
dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk
bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya

b. Karakteristik konselor yang efektif


Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk
mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas.
Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari
konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam
George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai
berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan
sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya,
seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung
tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya
itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus
menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai
nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor
harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.

2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.


Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian
dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena
pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor
dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai
kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya.

3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka


harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan
yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan
dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu.
Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus
sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja
membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau
belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan
mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya,
diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan
selama proses konseling.

4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat
memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor
mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa
konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini
mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah
dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa
persetujuan klien.

5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan


pendekaten eklektik
Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba
untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu
memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien
yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat
berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang
digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous).

E. Referensi
Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku
bangsa di Indonesia. Surabaya: Pelangi.
Anderson, D.J., Gingras, A.C. 1991. Sensitizing Counselor and Educators to
Multicultural Issues: an interactive approach. Journal of Counseling and
Development. 70: 91-93.

Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. 1980. Preparing Culturally Effective


Counselors. The Presonnel and Guidance Journal. Juni.

Barnadib. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan Sumbangan bagi Bimbingan


dan Konseling. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X
IPBI di Surabaya.

Bilton, Tony., et al. 1981. Introductory Sosiology. London: The Macmillan Press
Ltd.

Brammer, Lawrence., Shostrom, Everett. 1982. Therapeutic Psychology:


fundamentals of counseling and psychotherapy (4th ed). New Jersey: Prentice-
Hall Inc.

Brislin, Richard. 1981. Cross-Cultural Encounter. New York: Pergamon Press.

Budi. 11 Pebruari 1995. Penyimpangan Sosial Remaja Perkotaan. Harian


Jayakarta. Hal IV. Kolom 4-9.

Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and implications
for counseling. Journal of Counseling & Development. 70: 164-173.

Chinapah, V. 1987. Differential Acces to Primary Schooling: can education


promote equality in a multi-cultural society? International Journal for the
Advanced of Counseling. 10: 5-17.

Davenport, Donna., Yurich, John. 1991. Multicultural Gender Issues. Journal of


Counseling & Development. 70 (1): 64-71.
Dewantara, KH. 1977. Pendidikan 9(cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur
Persatuan Taman Siswa.

D”Andrea, Michael., Daniels, Judy, 1991. Exploring the Different Levels of


Multicultural Counseling Training in Counselor Educations. Journal of Counseling
& Development. 70: 78-85.

Fetterman, David. 1984. Ethnography in Educational Evaluation (2nd ed).


California: Sage Publications.

Ford, Robert. 1987. Cultural Awareness and Cross-Cultural Counseling.


International Journal for the Advanced Counseling. 10: 71-78.

Fraenkel, Jack. 1977. How to Teach About Values: an analityc approach. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Gerertz, Hildred. 1983. Keluara Jawa. Jakarta: Grafiti Pres.

Goldenweiser, Alexander. 1968. History, Psychology and Culture. Oregon:


Gloucester, Mass.

Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh Lailahanum Hasyim).


Jakarta: Bumi Aksara.

Graves, Desmond. 1986. Coorporate Culture – Diagnosis and Change. New York:
The Free Press.

Herr, Edmin (ed). 1989. Counseling in a Dynamic Society: opportunities and


chalenges. American Association for Counseling and Development.

Ihromi, TO. 1990. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Keesing, Roger., Keesing, Felix. 1971. New Perspective ini Cultural Antrhopology.
New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit


Djambatan.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Loekmono, Lobby. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya


Wacana.

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in


Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1):
131-135.

Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi


Nasional ABKIN di Bandung 2005.

Munandir. 1989. Bimbingan Sekolah di Indonesia: Corak yang Bagaimana.


Disajikan dallam pidato pengukuhan guru besar IKIP Malang tanggal 6 Juli 1989.

Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan.

Nwachuku, Uchena., Ivey, Allene. 1991. Culture-Specific Counseling: an


alternative training model. Journal of Counseling and Development. 70: 106-111.

Persell, Caroline. 1990. Understanding Society (3rd ed). New York: Harper and
Row Publishers, Inc.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta:


Depdikbud.

Ritzer, George (et al). 1979. Sosiology: experiencing a changing society. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.

Rosjidan. 1994. Proses dan Teknik Konseling yang Memperhatikan Budaya


Setempat.

You might also like