Professional Documents
Culture Documents
Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat
memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan
hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan Adat Minangkabau yang
berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Hampir separuh
jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada
umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam,
Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di
Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di
mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan masakan Padang,
sangatlah digemari.
Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi yang terjadi pada tahun 1804
- 1837. Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan suku ini berada dibawah kekuasaan
pemerintah kolonial Hindia-Belanda sejak tahun 1837 - 1942.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Etimologi
• 2 Asal Usul
• 3 Sosial Kemasyarakatan
• 4 Persukuan (Marga) dalam kelompok Etnis Minangkabau
• 5 Minangkabau Perantauan
o 5.1 Jumlah Perantau
o 5.2 Gelombang Rantau
o 5.3 Perantauan Intelektual
o 5.4 Sebab Merantau
5.4.1 Faktor Budaya
5.4.2 Faktor Ekonomi
• 6 Orang Minangkabau dan Pencapaiannya
• 7 Lihat pula
• 8 Literatur
• 9 Pranala luar
• 10 Catatan kaki
[sunting] Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu
berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-14, kerajaan Majapahit melakukan
ekspedisi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan
untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul
tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat
Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya.
Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik
perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui.
Kecemerlangan masyarakat Minang tersebutlah yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh
sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah
Minangkabwa, Minangakamwa, Minangatamwan dan Phinangkabhu. Istilah Minangakamwa
atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar
yaitu Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk
kepada sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu
disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan
migrasi massal dari hulu sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah
Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar atau Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di
dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang
menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari
Barus di utara hingga Kerinci di selatan.
Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India
Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera
menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke
tangan Portugis.
Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan
suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di antara
suku-suku tersebut adalah:
Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang
berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau, yaitu:
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar
provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi,
bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Mohctar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar
Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[2]
Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7
juta jiwa.[3] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh dunia, berarti hampir separuh
orang Minang berada di perantauan. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup
besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab
menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5% dibawah orang
Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi pertama terjadi pada
abad ke-7, dimana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman
Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan
Kerajaan Malayu.[4] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga
Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia.
Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat
Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan
koloni-koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan
sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511,
banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi
pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta
bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[5]
Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau
mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kesultanan Riau-Lingga.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika
perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa
kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama
Jakarta. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami
agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah
air, mereka menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi di Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada
awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan
Muhammad Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah,
diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid Al-
Haram
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka
antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir
Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan
Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut,
yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri
Republik Indonesia.[6]
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem
kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum
perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang
menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun
sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin
berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme
dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan
luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[7]
Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang
yang mengatakan Ka rantau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi
merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi
merantau sedari muda.
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya
sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber
utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah
tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib
di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau
menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para
perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di
seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara
lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah
populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah
satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun
2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang
Minang.
Sejak dulu orang Minang telah merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung
Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan
Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke
Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan
mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun
1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan
Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi
sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah
Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain
A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.
Pada periode 1920 - 1960 banyak politisi Indonesia yang berpengaruh berasal dari
Minangkabau. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana
menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang
sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang sebagai presiden Republik Indonesia
dibawah RIS (Assaat), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan
yang menjadi menteri, diantara yang cukup terkenal ialah Agus Salim dan Muhammad
Yamin. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi Liberal parlemen Indonesia di dominasi
oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, Islamis,
Nasionalis, Komunis dan Sosialis. Disamping menjabat gubernur Provinsi Sumatera
Tengah/Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di
Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Muhammad Djosan dan Muhammad
Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Sulawesi Tengah), Adenan
Kapau Gani (Sumatra Selatan), Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[8]
Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Mereka
mengembangkan bahasa Indonesia melalui berbagai macam profesi dan bidang keahlian.
Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, dan A.A Navis sebagai
penulis novel. Chairil Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Abdul Rivai, Djamaluddin
Adinegoro, Rosihan Anwar dan Ani Idrus sebagai jurnalis.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai
pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil,
rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Abdul Latief dan Tunku Tan Sri
Abdullah merupakan figur sukses pengusaha Minangkabau.
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser,
penyanyi, maupun artis. Diantara mereka ialah Usmar Ismail, Asrul Sani, Arizal, Ani
Sumadi, Soekarno M. Noer, dan Dorce Gamalama.
Orang Minangkabau juga berkontribusi besar di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku
Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden
pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura),
Sheikh Muszaphar Shukor, Rais Yatim, Tan Sri Abdul Samad Idris dan Adnan bin Saidi. Di
negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-
satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.[9]
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Wilayah budaya
• 2 Sistem Adat
o 2.1 Sistem Kelarasan Koto Piliang
o 2.2 Sistem Kelarasan Bodi Caniago
o 2.3 Sistem Kelarasan Panjang
• 3 Reformasi Budaya
• 4 Produk Budaya
o 4.1 Demokratis
o 4.2 Novel
o 4.3 Upacara dan Festival
o 4.4 Kesenian
o 4.5 Ukiran
o 4.6 Kain Sungkik (Songket)
• 5 Referensi
Jika merujuk pada ungkapan tersebut, maka wilayah budaya Minangkabau meliputi :
1. Sumatera Barat
2. Bagian barat Riau : Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan, Indragiri Hulu
3. Bagian selatan Sumatera Utara : Natal, Kabupaten Mandailing Natal
4. Bagian timur Jambi : Kabupaten Kerinci, Bungo
5. Bagian utara Bengkulu : Kabupaten Mukomuko
Ditambah daerah rantau yang menerapakan budaya Minangkabau, yaitu :
Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana hal
ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal.
Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh
agama Islam yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku
Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi
merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan
harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan
hukum Islam.
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri
yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis
keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik,
berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan
sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut
paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah
Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.
[sunting] Sistem Kelarasan Panjang
Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama Mambang Sutan
Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam
nagari yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.
Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak
dikotomis lagi.
Produk budaya Minangkabau yang cukup menonjol ialah sikap demokratis pada
masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem
pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari, dimana pengambilan keputusan
haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Selain itu tidak adanya jarak antara
pemimpin dan rakyat, menjadi faktor lain tumbuh suburnya budaya demokratis ditengah
masyarakat Minang. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat bahwa "pemimpin itu
didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila
keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi
Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup ditengah-tengah permusyawaratan
yang terwakilkan.
[sunting] Novel
Novel yang beredar luas serta menjadi pengajaran bagi pelajar di seluruh Indonesia dan
Malaysia, merupakan novel-novel berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Dibawah Lindungan Ka'bah
karya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan
Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis.
Disamping itu terdapat pula produk budaya Minangkabau seperti upacara, festival, kesenian,
tambo, pepatah-petitih, hingga makanan.
• Tabuik
• Turun mandi
• Batagak pangulu
• Turun ka sawah
• Manyabik
• Hari Rayo
[sunting] Kesenian
• Randai
• Rabab Pasisie
• Silek (Silat Minangkabau)
• Saluang
• Talempong
• Tari Piring
• Tari Payung
• Tari Pasambahan
• Tari Indang
• Sambah Manyambah
[sunting] Ukiran
Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak Nagari di Minangkabau, namun saat ini seni ukir
ini berkembang di Pandai Sikek (Pandai Sikat). Nagari Pandai Sikek terletak di antara Kota
Padang Panjang dan Bukittingi, tepatnya di kaki Gunung Singgalang, termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Data.
Kain songket dahulunya sama dengan seni ukir, kerajinan ini dimiliki oleh beberapa Nagari
di Minangkabau, namun sekarang yang masih bertahan adalah Nagari Pandai Sikek dan
Silungkang.
Bahasa Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu anak cabang bahasa Austronesia
yang dituturkan khususnya di wilayah Sumatra Barat, bagian barat propinsi Riau serta
tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 9 Lihat pula
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan
Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo
adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
Bahasa Minangkabau juga menjadi bahasa lingua franca di kawasan pantai barat Sumatra
Utara, bahkan menjangkau jauh hingga pesisir barat Aceh. Di Aceh, penutur bahasa ini
disebut sebagai Aneuk Jamee. Selain itu, bahasa Minangkabau juga dituturkan oleh
masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia yang nenek moyangnya merupakan pendatang asal
ranah Minang sejak berabad-abad silam.
[sunting] Dialek
Dialek bahasa Minangkabau sangat bervariasi, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh
sungai sekali pun dapat mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan terbesar adalah dialek
yang dituturkan di kawasan Pesisir Selatan dan dialek di wilayah Mukomuko, Bengkulu.
Selain itu dialek bahasa Minangkabau juga dituturkan di Negeri Sembilan, Malaysia dan
yang disebut sebagai Aneuk Jamee di Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat Daya dan Aceh
Selatan. Berikut ini adalah perbandingan perbedaan antara beberapa dialek:
Untuk komunikasi antar penutur bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini,
akhirnya dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau atau disebut
Baso Padang atau Baso Urang Awak. Bahasa Minangkabau dialek Padang inilah yang
menjadi acuan baku (standar) dalam menguasai bahasa Minangkabau.[rujukan?]
[sunting] Contoh
Bahasa Sadang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia
Minangkabau: (peribahasa)
Bahasa Indonesia: Sedangkan pohon di hutan tidak sama tinggi, apa lagi manusia
Bahasa
Co a koncek baranang co itu inyo (peribahasa)
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Bagaimana katak berenang, seperti itulah dia.
Bahasa
Indak buliah mambuang sarok di siko!
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Tidak boleh membuang sampah di sini!
Bahasa
Bungo indak satangkai, kumbang indak sa ikua (peribahasa)
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Bunga tidak setangkai, kumbang tidak seekor
Bahasa
A tu nan ka karajo ang* ?
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Apa yang akan kamu kerjakan?
* perhatian: kata ang (kamu) adalah kata kasar
b. Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak
perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati, dipelajari dan
dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar seperti yang disebutkan
dalam pepatah-petitih Adat :
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik,
nan sakapa jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Adat nan diadatkan nenek moyang adalah
merupakan pokok-pokok hukum dalam mengatur masyarakat MinangKabau dalam
segala hal, yang diadatkan semenjak dahulu sampai sekarang. Uraian secara agak
mendasar kita kemukakan dalam halaman selanjutnya pada kaidah-kaidah dalam
pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun, dan gurindam Adan nantinya. Pepatah-petitih,
mamang bidal, pantun dan gurindam Adat yang disusun dari ketentuan-ketentuan
alam dengan dengan segala fenomenanya itu berguna untuk mengungkapkan segala
segala sesuatu dalam pergaulan seperti : Menyuruh, melarang, membolehkan, ke-
baikan, keburukan, akibat yang baik, akibat yang buruk, kebenaran, keadilan,
kemakmuran, kerusuhan, kebersamaan, keterbukaan, persatuan dan kesatuan, bahaya
yang menimpa, kesenangan, kekayaan, kemiskinan, kepemimpinan, kepedulian, rasa
sosial, keluarga, masyarakat, moral dan akhlak, dan sebagainya.
3. Adat Teradat
a. Adat teradat adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penghulu-penghulu Adat
dalam suatu nagari, peraturan guna untuk melaksanakan pokok-pokok hukum yang
telah dituangkan oleh nenek moyang (Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt.
Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Bagaimana sebaiknya penetapan
aturan-aturan pokok tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bertentangan
dengan aturan-aturan pokok yang telah kita warisi secara turun-temurun dari nenek-
moyang dahulunya. Sebagai contoh kita kemukakan beberapapepatah-petitih,
mamang, bidal, Adat yang telah diadatkan oleh nenek moyang tersebut diatas seperti :
Abih sandiang dek Bageso, Abih miyang dek bagisiah.
Artinya nenek-moyang melalui pepatah ini melarang sekali-kali jangan bergaul
bebas antara dua jenis yang berbeda sebelum nikah (setelah Islam) atau kawin
(sebelum Islam).
- Untuk terlaksananya ketentuan larangan ini oleh anggota masyarakat, maka
pemimpin-pemimpin adat di suatu nagari bermusyawarah untuk mufakat dengan hasil
mufakat bulat. Dilarang bagi kaum wanita remaja keluar malam setelah jam delapan,
kecuali ditemani oleh orang tuanya. Peraturan ini hanya berlaku di nagari tersebut
saja, belum tentu tidak berlaku pada nagari lainnya. (disebut juga Adat Salingka
nagari).
lain nagari lain adatnyo, lain padang lain belalangnyo,
lain lubuak lain ikannyo.
b. Begitupun peresmian SAKO(gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang
memotong kerbau, ada banteng, ada kambing, ada dengan membayar uang adat
kenagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian
satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah
mufakat. dan lain sebagainya.
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo.
4. Adat Istiadat
1. Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu
disuatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan
KESUKAAN anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong,
pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan kerumah mempelai,
begitupun helat jamu meresmikan S a k o itu tadi. Begitu pula Marawa, ubur-ubur,
tanggo, gabah-gabah, pelamina dan sebagainya yang berbeda-beda disetiap nagari.
Juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo,
lain nagari lain adatnyo (Istiadatnya) .
2. Kedua jenis adat nan teradat dan Adat Istiadat tersebut adalah peraturan
pelaksanaan dari aturan-aturan pokok yang telah diciptakan oleh nenek-moyang,
dimana dua macam jenis huruf c dan d Adat nan babuhua sentak artinya : aturan Adat
yang dapat dirobah, dikurangi, ditambah dengan melalui musyawarah mufakat dan
selama tidak bertentangan dengan pokok hukum yang telah dituangkan dalam
pepatah-petitiah ciptaan nenek-moyang (kato Pusako) Adat.
Namun keempat jenis Adat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, secara utuh disebut ( ADAT ISTIADAT
MINANGKABAU ).
•
Adat
Pada bagian ini akan kita sampaikan bagaimana adat istiadat sumaniak dalam konteks
khusus serta hubungan lainnya dengan adat istiadat secara umum yang berlaku di
Minangkabau, tentunya harapan tulisan dan paparan dari warga sekalian yang mempunyai
data-data atau dokumentasi perihal tenang adat istiadat ini, tentunya menambah wawasan kita
sebagai putra sumaniak dan serta memberikan edukasi terhadap kaum muda atas sejarah adat
istiadat kita....mohon saran dan masukannya...
untuk melengkapi data awal diharapkan bantuan informasi pemangku adat yang sekarang ini
baik secara kesukuan maupun secara kenagarian sekaligus dengan data-data pribadi dan
jajaran kepenguluannya....
Kedua jenis Adat pada a dan b hukumnya babuhua mati (tidak boleh dirobah-
robah walau dengan musyawarah mufakat sekalipun :
c. Adat teradat.
d. Adat Istiadat.
Kedua jenis Adat pada c dan d hukumnya babuhua sentak (boleh dirobah-robah
asal dengan melalui musyawarah mufakat).
• Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada
alam benda, flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya
(Sunatullah). Adat nan sabana Adat ini adalah sebagai "SUMBER" hukum
Adat Minangkabau dalam menata masyarakat dalam segala hal. Dimana
ketentuan alam tersebut adalah aksioma tidak bisa dibantah
kebenarannya. Sebagai contoh dari benda Api dan Air, ketentuannya
membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat
dengan sifat tersebut, kecuali Allah sebagai sang penciptanya
menentukan lain (merobahnya).
• Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau yakni
Datuak perpatiah nan sabatang dan datuak ketumanggungan diamati,
dipelajari dan dipedomani dan dijadikan guru untuk mengambil iktibar
seperti yang disebutkan dalam pepatah-petitih Adat :
B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan
siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan
perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa
"keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang
selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan
harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering
dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap,
penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian
individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat.
Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu,
dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan
oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu
berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan.
Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan
dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi,
1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan
adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan
kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk
perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya
terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982;
Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989).
Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola
tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya
khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk
hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama
nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang
sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan
perbuatan perbuatan selanjutnya.
Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977)
memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap
dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam
mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal
rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996)
yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang
merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan
demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap
lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar
kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih
baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus
atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat
dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait
pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang
telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide
serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu
yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya
yang sama.
C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya
yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai
yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh
segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada
dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini
antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti
dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai
kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa
tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/
etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain.
Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau
kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap
mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh
anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang
dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari.
Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan
kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat
mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang
timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan
demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa
Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi
oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan
yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu
pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya
Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup
bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
(Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa
Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi
proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari
budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang
dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan
sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab
tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan
yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan
hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:
D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat
herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar
(Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian
sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia
muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya
dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ
(Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang
orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan
dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan
demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya
kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena
akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara
benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak,
bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau
tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar.
biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara
tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan
demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak.
Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan
cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan
ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil
berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku
tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya
mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya)
sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong
bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan
digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat
bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau
bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai
nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan
nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak).
Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah
sebagai berikut:
Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting
setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan.
Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang
merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan
yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.
Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan
harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa
akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan
pisau dan lain sebagainya.
2. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran
lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu
kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir
sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai
batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan
batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau
tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang
satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat
tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan
atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa
atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar
desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini
dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah
sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku
dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia
berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang
berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa
peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang
menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk
menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai
suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada
pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk
menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990).
Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota
masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang
telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus
melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita
seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan
fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan
lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar.
Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang
demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi
mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan
masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa
mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan
perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang
bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan
halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa",
biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin"
(malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk
suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap
dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat
dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu
kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang
dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses
pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi
suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak
mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung.
Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses
belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang
menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul
(lrian jaya) sebagai berikut:
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1)
latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya
yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan
dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan
konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang
tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara
konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri.
Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana
dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari,
lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang
penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa
tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa
masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah
tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan
usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya
sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling
lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur
tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi,
serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo &
Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991;
Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).
D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor
sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam
memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat
berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh
konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai
konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves,
1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia
danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan
menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan
keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman
dan gaya hidup mereka.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan
mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh
terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam
melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang
dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan
tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia
berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan
berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa
klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan
membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan
tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang
dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat
berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi,
konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus
dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing
masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu
berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian,
konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual
differences).
2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::
Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!
ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan
kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori
konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing
masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada
kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga,
tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor
semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui
moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut
berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan
demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok
(fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula
muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan
menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan
pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda
dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas
dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya
permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya
intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan
sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita
adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang
lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia.
Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi
usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada
akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya
yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan
bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul
jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar,
dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor,
“Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana
budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif
mungkin?”
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat
memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor
mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa
konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini
mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah
dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa
persetujuan klien.
E. Referensi
Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku
bangsa di Indonesia. Surabaya: Pelangi.
Anderson, D.J., Gingras, A.C. 1991. Sensitizing Counselor and Educators to
Multicultural Issues: an interactive approach. Journal of Counseling and
Development. 70: 91-93.
Bilton, Tony., et al. 1981. Introductory Sosiology. London: The Macmillan Press
Ltd.
Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and implications
for counseling. Journal of Counseling & Development. 70: 164-173.
Fraenkel, Jack. 1977. How to Teach About Values: an analityc approach. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Graves, Desmond. 1986. Coorporate Culture – Diagnosis and Change. New York:
The Free Press.
Keesing, Roger., Keesing, Felix. 1971. New Perspective ini Cultural Antrhopology.
New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan.
Persell, Caroline. 1990. Understanding Society (3rd ed). New York: Harper and
Row Publishers, Inc.
Ritzer, George (et al). 1979. Sosiology: experiencing a changing society. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.