You are on page 1of 24

Ali Hasan Al-Halabi, Sekarang ini?

Dr. M Faiq Sulaifi


Sesungguhnya sekarang telah terjadi perubahan dalam diri Syaikh Ali Hasan Al-Halabi
yang dulu bersama para salafiyyin. Penulis dulu sangat mengagumi beliau. Ketika awal-
awal penulis mengenal manhaj salaf, penulis banyak membaca dan mengambil isi kitab
‘ILMU USHULIL BIDA’ tulisannya.

Tetapi akhir-akhir ini ia berubah manhajnya dari yang semula salafi. Ini karena
kedekatannya dengan Jum’iyyah Ihya’ut Turats dan pembelaannya kepada Adnan Ar’ur,
Al-Maghrawi, Abul Hasan Al-Ma’ribi dan tokoh-tokoh terfitnah lainnya yang telah
diperingatkan dan ditahdzir oleh Al-Allamah Asy-Syaikh Rabi’.

Ini juga sekaligus menjadi bantahan terhadap Abu Salma, seorang fanatikus dan fans
berat Ali Hasan Al-Halabi dalam blog gilanya:
http://abusalma.wordpress.com/2009/02/18/pujian-syaikh-al-albani-terhadap-muridnya-
syaikh-ali-al-halabi/

Penulis akan memaparkan sedikit penyimpangan Al-Halabi dengan bantuan keterangan


Fadlilatusy Syaikh Ahmad bin Umar Bazmool serta Fadlilatusy Syaikh Ubaid bin
Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiri dengan sedikit perubahan dari penulis agar bantahan
lebih fokus pada penyimpangannya.

Di antara pemikiran Ali Hasan Al-Halabi yang menyimpang adalah:

Tidak perlunya Imtihan (menguji kecintaan seseorang


terhadap Ahlus Sunnah) kepada Seseorang yang Dikenal
Konsisten dengan As-Sunnah
Al-Halabi menyatakan dalam bukunya “Manhajus Salafish Shalih” –sebagaimana yang
dikutip oleh Syaikh Ahmad Bazmool-:

!)) ‫؟‬‫ﻦ ﺑِﻪ‬ ‫َﺘﺤ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬-‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻓ‬- ‫ﺃْﺳ ًﺎ‬‫ ﺭ‬‫ﻜُﻮﻥ‬‫ ﻳ‬‫ﻥ ﺃَﻥ‬ ‫ﻭ‬‫ ﺩ‬-ٍ‫ﻋﻠْﻢ‬ ‫ﺐ‬‫ ﻃَﺎﻟ‬‫ﻤ ًﺎ ﺃَﻭ‬‫ ﻋﺎﻟ‬-‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ ﺩﺍﻉٍ ﺇَِﻟﻴ‬‫ﺃَﻭ‬- ‫ﺔ‬‫ﺴﻨ‬
 ‫ﻞٍ ﺑِﺎﻟ‬‫َﺘﻐ‬‫ﻣﺸ‬ ‫ ْﻞ ﻛُﻞﱡ‬‫ﻫ‬

‫ﺍﻧﺘﻬﻰ‬

“Apa setiap orang yang menyibukkan dirinya dengan As-Sunnah –atau da’i
kepadanya- baik itu seorang alim atau penuntut ilmu- yang bukan pemimpin di dalam

1
As-Sunnah- perlu diuji (tentang kecintaannya kepada ulama As-Sunnah)?” (Al-
Kasyfu wal Bayan li Mukhalafati Al-Halabi li Manhajis Salafi fi Mas’alatil Imtihan: 6).

Jawaban:

Asy-Syaikh Ahmad Bazmool berkata:

. ‫ ﻭﺃﻧﻪ ﻳﻘﺼﺪﻫﻢ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﳊﻤﻠﺔ ﺍﻟﺸﻌﻮﺍﺀ‬،‫ﻭﺫﻟﻚ ﻳﺆﻛﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺮﻯ ﺍﻻﻣﺘﺤﺎﻥ ﲟﺜﻞ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ ﻓﻬﻢ ﰲ ﺯﻣﺎﳖﻢ ﳝﺜﻠﻮﻥ ﺃﻳﻮﺏ ﺍﻟﺴﺨﺘﻴﺎﻧﻲ ﻭﻣﺎﻟﻜ ًﺎ‬،‫ﻭﺍﳊﻖ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻄﻌﻦ ﻓﻴﻬﻢ ﻭﳜﺎﻟﻒ ﻣﻨﻬﺠﻬﻢ ﺇﻻ ﻣﺒﺘﺪﻉ ﺿﺎﻝ‬

‫ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﳛﺒﻬﻢ ﺇﳕﺎ ﳛﺒﻬﻢ ﻷﳖﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺞ ﺃﻳﻮﺏ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ‬،‫ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﰲ ﺯﻣﺎﳖﻢ؛ ﻷﳖﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺠﻬﻢ‬

.‫ﻭﻏﲑﻫﻢ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺴﻨﺔ‬

‫ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﺘﺪﺍﻉ‬‫ ﻭﻛﻔﻰ ﺑﺬﻟﻚ ﺩﻟﻴﻼ‬،‫ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﻐﺾ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﰲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺇﳕﺎ ﻳﺒﻐﻀﻬﻢ ﻟﺘﻤﺴﻜﻬﻢ ﲟﻨﻬﺞ ﺍﻟﺴﻠﻒ‬

.‫ﻭﺿﻼﻝ ﻣﻦ ﻳﺒﻐﻀﻬﻢ‬

“Ini (ucapan Al-Halabi) menguatkan bahwa ia tidak menganggap perlu untuk


menguji kecintaan seseorang kepada para ulama As-Sunnah. Dan ia memaksudkan
mereka dalam permasalahan yang terpisah-pisah.

Dan yang benar adalah bahwa tidaklah mencela ulama-ulama As-Sunnah dan
menyelisihi manhaj mereka kecuali Ahli bid’ah yang sesat. Mereka di jamannya
seperti Ayyub As-Sakhtiyani, Malik dan Al-Auza’I di jaman mereka karena para
ulama tersebut di atas manhaj mereka. Dan orang yang mencintai mereka adalah
karena mereka di atas manhaj Imam Ayyub, Imam Malik, Imam Al-Auza’I dan yang
lainnya dari kalangan ulama As-Sunnah.

Dan orang yang membenci ulama As-Sunnah di jaman ini (seperti Syaikh Rabi’,
Syaikh Muhammad Al-Madkhali dan lain-lain, pen) hanyalah karena ulama-ulama
itu berpegang pada manhaj salaf. Cukuplah ini menjadi bukti atas bid’ah dan sesatnya
orang yang membenci mereka (seperti: Adnan Ar’ur, Al-Maghrawi dan sebagainya,
pen).” (Al-Kasyfu wal Bayan li Mukhalafati Al-Halabi li Manhajis Salafi fi Mas’alatil
Imtihan: 6).

Al-Imam Al-Barbahari berkata:

2
‫ ﻭﺇﺫﺍ‬‫ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﳛﺐ ﺃﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺳﻴﺪ ﺑﻦ ﺣﻀﲑ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺻﺎﺣﺐ ﺳﻨﺔ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍ‬

‫ ﺑﻦ ﺍﺩﺭﻳﺲ ﺍﻷﻭﺩﻱ ﻭﺍﻟﺸﻌﱯ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﻣﻐﻮﻝ‬‫ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﳛﺐ ﺃﻳﻮﺑﺎ ﻭﺍﺑﻦ ﻋﻮﻥ ﻭﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﻭﻋﺒﺪ ﺍ‬

‫ﻭﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺯﺭﻳﻎ ﻭﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﻭﻭﻫﺐ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﻭﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻭﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ‬

‫ﻭﺯﺍﺋﺪﺓ ﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺻﺎﺣﺐ ﺳﻨﺔ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﳛﺐ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻭﺍﳊﺠﺎﺝ ﺑﻦ ﺍﳌﻨﻬﺎﻝ ﻭﺃﲪﺪ‬

‫ﺑﻦ ﻧﺼﺮ ﻭﺫﻛﺮﻫﻢ ﲞﲑ ﻭﻗﺎﻝ ﻗﻮﳍﻢ ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺻﺎﺣﺐ ﺳﻨﺔ‬

“Jika engkau mencintai Abu Hurairah, Anas bin Malik, Usaid bin Hudlair maka
ketahuilah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah, insya Allah. Dan jika melihat seseorang
mencintai Ayyub (As-Sakhtiyani), Ibnu Aun, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Idris Al-
Audi, Asy-Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin Zurai’, Mu’adz bin Mu’adz, Wahb bin
Jarir, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Malik bin Anas, Al-Auza’I, dan
Zaidah bin Qudamah maka ketahuilah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah. Dan jika
engkau melihat seseorang mencintai Ahmad bin Hanbal, Hajjaj bin Minhal, Ahmad
bin Nashr, menyebutkan mereka dengan kebaikan dan berpendapat dengan pendapat
mereka maka ketahuilah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah: 52-53).

Membedakan antara Aqidah dan Manhaj


Al-Halabi berkata –sebagaimana penukilan Syaikh Ahmad Bazmool dari bukunya
Manhajus Salafish Shalih-:

: ‫" ﻭﺧﻼﺻﺔ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﻌﺪ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺇﱃ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺴﲏ ﺍﳌﺬﻛﻮﺭ ﰲ ﺿﺒﻂ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﲔ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻭﺍﳌﻨﻬﺞ‬:

‫ ﻓﻠﻮ ﺣﺼﻞ ﺃﻥ ﺃﺣﺪﺍً ﻛﺎﻥ ﺫﺍ ﻋﻘﻴﺪﺓ ﺳﻠﻔﻴﺔ ﰲ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻣﻨﺤﺮﻑ ﰲ‬،‫ﺍﳌﻨﻬﺞ ﺳﻴﺎﺝ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻭﺣﺼﻨﻬﺎ ﺍﳌﻨﻴﻊ‬

‫ ﻭﻳﺆﺛﺮ ﻓﻴﻪ ﲝﻴﺚ‬،‫ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻷﻗﻮﻯ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﻬﺠﺎً ﺃﻭ ﻋﻘﻴﺪﺓ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺳﻴﺴﻄﺮ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ﻣﻨﻬﺠﻪ ﺣﺰﺑﻴ ًﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻡ ﻏﲑﻩ‬

.‫ﻻ ﻳﺴﺘﻤﺮ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﰲ ﺣﺎﻟﺔ ﺍﻧﻌﺪﺍﻡ ﺍﻟﻮﺯﻥ ﺍﻟﱵ ﻳﻌﻴﺸﻬﺎ‬

.ً‫ﻓﺈﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﺆﺛﺮ ﻣﻨﻬﺠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﻘﻴﺪﺗﻪ ﻓﻴﺆﻭﻝ ﻣﺒﺘﺪﻋﺎً ﻣﻜﺸﻮﻓﺎ‬

3
.ً‫ﻭﺇﻣﺎ ﺃﻥ ﺗﺆﺛﺮ ﻋﻘﻴﺪﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺠﻪ ﻓﻴﺼﺒﺢ ﺳﻠﻔﻴﺎً ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ‬

.‫ﻭﺇﻥ ﺍﻷﺧﲑﺓ ﻷﺣﺐ ﺇﻟﻴﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﻭﱃ ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻧﺪﻋﻮ ﻭﳒﺪ ﻭﻧﺼﱪ ﻭﻧﺘﺼﱪ‬
“Dan kesimpulan ucapan setelah isyarat pada adanya perbedaan sunni tersebut dalam
batasan pembedaan antara Aqidah dan Manhaj:
Manhaj adalah pagar dari aqidah dan bentengnya yang kuat. Seandainya terjadi bahwa
seseorang yang memiliki aqidah salafiyah dalam dirinya tetapi manhajnya
menyimpang kepada hizbiyah atau selainnya maka perkara yang paling kuat di antara
Manhaj ataukah Aqidah itulah yang akan menentukan atasnya dan berpengaruh
atasnya dengan syarat tidak terus menerus seperti yang dikatakan pada keadaan tidak
adanya timbangan yang mana ia hidup atasnya.
Adakalanya Manhajnya mempengaruhi Aqidahnya sehingga ia menjadi Ahlul bid’ah
yang tersingkap.
Adakalanya Aqidahnya mempengaruhi Manhajnya sehingga ia menjadi Salafi yang
dikenal.
Dan yang terakhir ini lebih aku pilih dari yang pertama. Oleh karena itu kami selalu
berdo’a, bersungguh-sungguh, bersabar dan memaksakan bersabar.” (Shiyanatus Salafi
min Waswasati wa Talbisati Ali Al-Halabi (Halaqah I): 2).

Jawaban:

Sebelum membantah Al-Halabi, Penulis perlu menjelaskan pengertian manhaj secara


bahasa yaitu jalan yang terang. (Al-Mu’jamul Wasith: 2/957).

Asy-Syaikh Ahmad Bazmool berkata:

: ‫ﺃﻗﻮﻝ ﻭﱄ ﻣﻌﻪ ﻭﻗﻔﺎﺕ‬

‫ ﻳﻌﺘﱪ ﺍﳊﻠﱯ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﰲ ﺳﻠﻔﻴﺔ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻫﻲ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﺃﻣﺎ ﺍﳌﻨﻬﺞ ﻓﻴﻤﻜﻦ ﺃﻥ ﻳﻐﺘﻔﺮ ﻣﻨﻬﺠﻪ ﺇﺫﺍ‬: ‫ﺍﻟﻮﻗﻔﺔ ﺍﻷﻭﱃ‬

‫ﻓﻴﻤﻜﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺳﻠﻔﻴﺎً ﰲ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﻣﻊ ﺍﳓﺮﺍﻓﻪ ﰲ ﺍﳌﻨﻬﺞ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻋﻘﻴﺪﺗﻪ ﻫﻲ‬. ‫ﺳﻠﻤﺖ ﻋﻘﻴﺪﺗﻪ‬

...‫ﻭﻫﺬﺍ ﺑﺎﻃﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻭﺑﻴﺎﻧﻪ ﰲ ﺍﻟﻮﻗﻔﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺍﱁ‬. ‫ﺍﳌﺴﻴﻄﺮﺓ‬


“Aku katakan –aku dengannya memiliki catatan yang perlu dibahas-:
Catatan pertama: Al-Halabi menganggap bahwa kaidah tentang ke-salafi-an
seseorang adalah terletak pada aqidahnya. Adapun manhaj (jalan atau metodologi)
maka masih mungkin seseorang untuk dimaafkan jika aqidahnya masih selamat.
Maka masih mungkin seseorang itu salafi dalam masalah aqidah dengan
penyimpangannya dalam masalah manhaj dengan syarat aqidahnya itu lebih
dominan. Ini adalah ucapan yang batil dan penjelasannya pada catatan kedua…..dst.”
(Shiyanatus Salafi min Waswasati wa Talbisati Ali Al-Halabi (Halaqah I): 3).

4
Penulis menyatakan bahwa seolah-olah Al-Halabi berkata bahwa orang-orang yang
manhajnya telah menyimpang seperti Al-Ma’ribi, Al-Maghrawi dsb adalah masih salafi
karena aqidahnya masih salafi.
Kemudian Syaikh Ahmad Bazmool menukilkan perbedaan pendapat para ulama apakah
istilah manhaj dengan aqidah itu sama ataukah berbeda. Menurut Al-Allamah Asy-
Syaikh Ibnu Baz dan lainnya manhaj dan aqidah adalah sama. Menurut Al-Allamah Asy-
Syaikh Al-Albani dan lainnya manhaj berbeda dengan aqidah. Sedangkan menurut
Syaikh Shalih Fauzan manhaj lebih luas dari pada aqidah. Manhaj itu meliputi
aqidah, suluk, akhlaq, muamalah dan setiap aspek kehidupan. Setiap langkah yang
ditempuh oleh seorang muslim disebut manhaj. Sedangkan aqidah yang dimaksud
adalah pokok-pokok keimanan, makna syahadatain dan konsekuensinya. (Shiyanatus
Salafi min Waswasati wa Talbisati Ali Al-Halabi (Halaqah I): 3).
Oleh karena itu orang yang tidak menempuh jalan atau manhaj Salafus Shalih akan
diancam neraka. Allah  berfirman:

‫ﺕ‬‫ﺎﺀ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻪ‬‫ﺼﻠ‬


 ُ‫ﻧ‬‫ﻟﱠﻰ ﻭ‬‫ﺎ َﺗﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻟﱢﻪ‬‫ ُﻧﻮ‬‫ﲔ‬‫ﻣﻨ‬‫ﻤﺆ‬ ْ‫ﺒِﻴﻞِ ﺍﻟ‬‫ ﺳ‬‫ﺮ‬‫ َﻏﻴ‬‫ﱠﺘﺒِﻊ‬‫ﻯ ﻭﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﺍْﻟﻬ‬‫ ﻟَﻪ‬‫ﻦ‬‫ﺒﻴ‬‫ﺎ َﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺑﻌ‬ ‫ﻦ‬‫ﻮﻝَ ﻣ‬‫ﺳ‬‫ﻖِ ﺍﻟﺮ‬‫ﺎﻗ‬‫ﻳﺸ‬ ‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬

‫ﺍ‬‫ﲑ‬‫ﺼ‬‫ﻣ‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan (manhaj) yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’:
115).
Allah  juga memerintahkan kita mengikuti manhaj orang yang bertaubat kepada-
Nya. Allah  berfirman:

‫ ﺇِﻟَﻲ‬‫ ﺃَﻧَﺎﺏ‬‫ﻦ‬‫ﺳﺒِﻴﻞَ ﻣ‬
 ‫ﺍﱠﺗﺒِﻊ‬‫ﻭ‬
“Dan ikutilah jalan (manhaj) orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15).
Ayat di atas memberikan pelajaran bahwa meskipun seseorang beraqidah salafi tetapi
manhajnya bukan salafi maka dia tetap mendapat ancaman neraka jahannam.

Menyetujui
Adanya Sifat ‘Ghutsa’ pada Sebagian Sahabat Nabi 
Ghutsa’ artinya buih, yaitu buihnya banjir. Al-Halabi mengikuti bid’ahnya Abul Hasan
Al-Ma’ribi yang menyatakan bahwa di kalangan sahabat Nabi  ada sahabat yang
kualitasnya seperti buih.
Asy-Syaikh Ahmad Bazmool membawakan rekaman dialog Al-Halabi dengan seorang
penanya dalam tulisan beliau Mauqif Ali Al-Halabi min Man Yuthliqu Kalimah
Ghutsa’ ala Ash-habin Nabi halaman: 2-4. Penulis akan membawakan potongan terakhir
dari dialog tersebut:

5
‫ﺍﻟﺴ‪‬ﺎﺋﻞ ‪:‬ﺃﻧﺎ ﻓﺎﻫﻢ ‪ -‬ﺷﻴﺨﻨﺎ ! ‪ -‬؛ ﺑﺲ ﻓﻴﻪ ﺳﺆﺍﻝ ﺑﺴﻴﻂ ؛ ﺇﻧّﻮ ﻛﻠﻤﺔ ) ﻏُﺜﺎﺀ ( ﺗُﻌﺘﱪ ﺳﺐ‪ ‬ﺃﻡ ﻻ ؟!‬

‫ﺐ ) ﻛﺬﺍ‪) .‬‬
‫ﱯ ‪:‬ﻻ ؛ ﻣﺎ ﺗﻌﺘﱪ ﺳ ‪‬‬
‫ﺍﳊﻠ ‪‬‬

‫ﻫﺬﻩ ‪ . . .‬ﺧﻄﺄٌ ﻟﻔﻈﻲ‪. . . ‬‬

‫ﻭ ﺃﻣ‪‬ﺎ ﺍﻟﺴ‪‬ﺐ‪ ‬؛ ﻓﻬﻮ ﺍﻟﺸ‪‬ﺘﻢ ﻭ ﺍﻟﺘّﺤﻘﲑ‪( !!! ) .‬‬

‫ﺍﻟﺴ‪‬ﺎﺋﻞ ‪:‬ﺇﻳﺶ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ؛ ﻳﻌﲏ ‪ :‬ﺇﻳﺶ ﻣﻌﻨﻰ ﻛﻠﻤﺔ ) ﻏُﺜﺎ‪‬ﺀ !!! ( ؟!‬

‫ﱯ ‪ -‬ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼ‪‬ﻼﺓ‪ ‬ﻭ ﺍﻟﺴ‪‬ﻼ‪‬ﻡ ‪ -‬ﻗﺎﻝ ‪ )) :‬ﺃﻧﺘﻢ ﻏُﺜﺎﺀ ؛ ﻭ ﻟﻜﻦ ﻛﻐُﺜﺎﺀ ﺍﻟﺴ‪‬ﻴﻞ ؟!‬
‫ﱯ ‪:‬ﺃﻻ ﺗﺮﻯ ﺃﻥ‪ ‬ﺍﻟﻨ‪ ‬‬
‫ﺍﳊﻠ ‪‬‬

‫ﺍﻟﺴ‪‬ﺎﺋﻞ ‪:‬ﻃﻴ‪‬ﺐ ) ! ( ؛ ﻭ ﺍﻟ ‪‬ﺪﻟﻴﻞ ‪ -‬ﻳﺎ ﺷﻴﺨﻨﺎ ‪ -‬؟ !‬

‫ﱯ ‪:‬ﻫﻞ ﲰﻌﺖ ﺍﳊﺪﻳﺚ ؟ !‬


‫ﺍﳊﻠ ‪‬‬

‫ﺍﻟﺴ‪‬ﺎﺋﻞ ‪:‬ﺇﻳﻪ ؛ ﲰﻌﻨﺎﻩ !‬

‫ﱯ ‪:‬ﻫﺬﺍ ﻫﻮ‪.‬‬
‫ﺍﳊﻠ ‪‬‬

‫ﻟﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻻ ﻧﺴﺘﻌﻤﻠُﻪ ﳓﻦ‪.‬‬

‫ﻫﺬﺍ ﻻ ﻧﺴﺘﻌﻤﻠُﻪ ؛ ﻷﻧّﻮ ) ﻛﺬﺍ ( ﺟﻨﺎﺏ‪ ‬ﺍﻟﺼ‪‬ﺤﺎﺑﺔ‪ ‬ﻋﻈﻴﻢ ‪).‬‬

‫ﻟﻜﻦ؛ ﻟﻮ ﻭﺭﺩ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻥ ﻭﺍﺣﺪ‪ - ‬ﻣﺘﺄ ‪‬ﻭ ًﻻ ‪ -‬؛ ﻓﻼ ﻧﻘﻮﻝ ﻟﻪ ‪:‬‬

‫ﺐ ﺍﻟﺼ‪‬ﺤﺎﺑﺔ!!!‬
‫ﺃﻧﺖ ﺗﺴ ‪‬‬

‫ﻫﺬﻩ ‪ -‬ﻳﻌﲏ ‪ -‬ﻣﻌﺰﻭﻓﺔٌ ﺑﺎﺭﺩﺓ‪ ،‬ﻭﻭﺍﻓﺪﺓ‪ ،‬ﻭ ﺑﻌﻴﺪﺓ‪ ‬ﻋﻦ ﺍﳊﻖ‪ ‬ﻭﺍﻟﺼ‪‬ﻮﺍﺏ‪.‬‬

‫ﺍﻟﺴ‪‬ﺎﺋﻞ ‪:‬ﺷﻜﺮ‪‬ﺍ ‪ -‬ﻳﺎ ﺷﻴﺦ‪! - .‬‬

‫ﱯ ‪:‬ﺍﻟﺴ‪‬ﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ‪.‬‬
‫ﺍﳊﻠ ‪‬‬

‫ﺍﻟﺴ‪‬ﺎﺋﻞ ‪:‬ﺷ‪‬ﻜﺮ‪‬ﺍ ))‬

‫‪6‬‬
Penanya: “Saya faham wahai Syaikh, di dalamnya ada pertanyaan luas. Apakah kata
“buih” itu dianggap sebagai caci maki (kepada sahabat) atau tidak?”
Al-Halabi: “Tidak, tidak dianggap caci maki…. Ini adalah…. Kesalahan pengucapan..
Adapun caci makian maka itu pelecehan dan merendahkan (sahabat Nabi, pen)..”
Penanya: “Terus maknanya apa? Yakni makna kata: “buih”?!!!
Al-Halabi: “Tahukah kamu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kalian
adalah buih, tetapi seperti buih aliran banjir?!!”
Penanya: “Bagus, Dalilnya, wahai Syaikh?”
Al-Halabi: “Kamu sudah dengar haditsnya?”
Penanya: “Ya, kami sudah mendengarnya.”
Al-Halabi: “Ya seperti itu. Tetapi kami tidak menggunakan kata itu karena
menggunakan kata tersebut pada sahabat Nabi adalah sesuatu yang besar. Akan tetapi
jika terucap pada mulut seseorang –dengan maksud menta’wil- maka kami tidak
menyatakan padanya bahwa ia telah mencaci maki sahabat Nabi. Ini –yakni- telah
ditinggalkan, sudah dingin, yang baru datang, dan yang jauh dari al-haq dan kebenaran.”
Penanya: “Terima kasih wahai Syaikh!!”
Al-Halabi: “As-salamu alaikum”
Penanya: “Terima kasih.”

Jawaban:

As-Syaikh Ahmad Bazmool berkata:

‫ ًﺎ‬‫ ﺳﺒ‬‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻴﺴﺖ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍ‬‫ﺎﺱِ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﺤﺎﺏِ ﺭﺳﻮﻝِ ﺍ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻛﻠﻤﺔّ ﻏُﺜﺎﺀ ﺍﻟﱵ ﺃﻃﻠﻘﻬﺎ ﺑﻌﺾ‬‫ﺮﻯ ﺃﻥ‬‫ﺍﳊﻠﱯ ﻳ‬

‫ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺑ‬‫ﻭﻳﺴﺘﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﻳﻪ ﲝﺪﻳﺚ َﺛﻮ‬. ً‫ﺎ‬‫ﺳﺒ‬


 ‫!!! ﻭﻳﺪﺍﻓﻊ ﻋﻤﻦ ﻳﻄﻠﻘﻬﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻳﻄﻌﻦ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﻌﺘﱪﻫﺎ‬

‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬‫ ﻭ‬:ٌ‫ﻞ‬‫ﺎ "ﻓﻘﺎﻝ ﻗَﺎﺋ‬‫ﺘﻬ‬‫ﻌ‬ ‫ﻰ ﺍﻟْﺄَ َﻛﻠَﺔُ ﺇﱃ ﻗَﺼ‬‫ﺍﻋ‬‫ ﻛﻤﺎ ﺗَﺪ‬‫ﻜُﻢ‬‫َﻠﻴ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﺍﻋ‬‫ ﺗَﺪ‬‫ﻢ ﺃَﻥ‬ ‫ ﺍﻟْﺄُﻣ‬‫ﻚ‬‫ﻮﺷ‬‫ "ﻳ‬: ‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻗَﺎ َﻝ‬‫ﺍ‬

 ‫ ﺍﻟ‬‫ َﻛ ُﻐﺜَﺎﺀ‬‫ﻢ ﻏُﺜَﺎﺀ‬ ُ‫ﻜ‬‫ﻜﻨ‬ َ‫ﻟ‬‫ ﻭ‬،‫ﲑ‬‫ َﻛﺜ‬‫ﺬ‬‫ﻣﺌ‬ ‫ﻮ‬‫ﻢ ﻳ‬ ُ‫ ْﻞ ﺃَْﻧﺘ‬‫ ﺑ‬:" ‫ ؟ ﻗﺎﻝ‬‫ﺬ‬‫ﻣﺌ‬ ‫ﻳﻮ‬ ‫ﻦ‬‫ﺔ ﻧَﺤ‬‫ﻗﻠﱠ‬
‫ﻢ‬ ُ‫ﻛ‬‫ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺭِ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ ﻣﻦ ﺻ‬‫ ﺍ‬‫ﻦ‬‫ﺰﻋ‬ ‫ﻴﻨ‬َ‫ﻟ‬‫ ﻭ‬،ِ‫ﻞ‬‫ﺴﻴ‬

‫ﺎ‬‫ﻧْﻴ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﺐ‬‫ ﺣ‬:"‫ ؟ ﻗﺎﻝ‬‫ﻦ‬‫ﻫ‬‫ﻭﻣﺎ ﺍْﻟﻮ‬، ‫ﻮ َﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻳﺎ ﺭ‬:ٌ‫ﻞ‬‫ "ﻓﻘﺎﻝ َﻗﺎﺋ‬‫ﻦ‬‫ﻮﻫ‬ ْ‫ ﺍﻟ‬‫ ﰲ ُﻗﻠُﻮﺑِﻜُﻢ‬‫ ﺍ‬‫ﻓَﻦ‬‫ﻘْﺬ‬‫َﻟﻴ‬‫ ﻭ‬،‫ﻜُﻢ‬‫ﻣﻨ‬ َ‫ﺔ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻬ‬‫ﺍﻟْﻤ‬

‫ﺕ‬‫ﻤﻮ‬ ْ‫ﺔُ ﺍﻟ‬‫ﻫﻴ‬ ‫ﺍ‬‫ﻛَﺮ‬‫ﻭ‬


“Menurut Al-Halabi, kata “buih” yang diucapkan oleh manusia kepada para sahabat
Nabi  tidak termasuk cacimakian!!! Dan membela orang yang mengucapkannya kepada
para sahabat dan mencela orang yang menganggapnya sebagai kata cacimakian. Ia
berdalil atas pendapat (bid’ahnya, pen) dengan hadits Tsauban dari Nabi  bahwa beliau
bersabda: “Hampir-hampir umat-umat akan mengeroyok kalian sebagaimana
penyantap hidangan mengeroyok hidangannya.” Seseorang bertanya: “Karena kami
jumlahnya sedikit ketika itu?” Beliau berkata: “Bahkan kalian jumlahnya banyak
ketika itu tetapi kalian adalah buih seperti buihnya banjir. Dan Allah akan mencabut
rasa takut terhadap kalian dari hati musuh-musuh kalian. Allah akan melempar
7
penyakit “wahan” pada hati-hati kalian.” Seseorang bertanya: “Apa itu wahan, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu cinta dunia dan benci kematian.” (HR. Abu
Dawud: 3745, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah: 7/336, Ahmad: 21363 (45/378),
Isnadnya Ahmad di-jayyid-kan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’: 7/563, dan di-
shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah hadits: 958).
(Mauqif Ali Al-Halabi min Man Yuthliqu Kalimah Ghutsa’ ala Ash-habin Nabi
halaman: 5).
Syaikh Ahmad Bazmool menerangkan bahwa bantahan atas cara pendalilan dari Al-
Halabi ada beberapa point:
Pertama: terjadinya keadaan “Hampir-hampir umat-umat akan mengeroyok kalian
sebagaimana penyantap hidangan mengeroyok hidangannya.” Hanyalah terjadi pada
masa-masa terakhir bukan pada masa sahabat Nabi , dan sangat jauh dari masa sahabat.
Bukan pula terjadi pada masa dinasti Umayyah dan bukan pula pada masa dinasti
Abbasiyah. Pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah justru terjadi futuhat
(penaklukan dan perluasan) negeri-negeri menjadi wilayah islam….kemudian beliau
menjelaskan panjang lebar….dst. Awal terjadinya keadaan ini adalah: jatuhnya Andalus
(Spanyol) ke tangan orang-orang kafir, kemudian jatuhnya dinasti Utsmaniyah dimana
wilayahnya dipecah-pecah. Negeri Syam dicaplok Inggris dan Perancis, semenanjung
Hindia dicaplok Inggris, Indonesia dicaplok Belanda dsb…
Dari ucapan sahabat: “Karena kami jumlahnya sedikit ketika itu?”, kemudian sabda
Nabi: “Bahkan kalian jumlahnya banyak..dari sini muncul sifat “buih” pada umat ini
karena perpecahan menjadi banyak firqah yang kebanyakan karena munculnya bid’ah
rofidloh, tajahhum (jahmiyyah), tasawwuf ghuluw,…dst.
Dari sabda Nabi : “Dan Allah akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari hati
musuh-musuh kalian” dan sabda: “Allah akan melempar penyakit “wahan” pada hati-
hati kalian.” Sifat ini hanya muncul di akhir ummat ini. Adapun pada masa sahabat maka
hati musuh islam dipenuhi rasa takut kepada para sahabat sebagai bukti dari sabda Nabi
: “Aku ditolong dengan rasa gentar pada hati musuh-musuhku selama perjalanan 1
bulan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Jabir )…dst
Dari sabda Nabi : “Yaitu cinta dunia dan benci kematian.” Penyakit ini hanyalah
muncul pada umat terakhir. Apakah menurut Al-Halabi Rasullullah  menujukan sifat ini
kepada para sahabat beliau yang mendapat tazkiyah dari Allah dan Rasul-Nya, yang ikut
berjihad bersama beliau untuk meninggikan kalimat Allah…? Dan sudah biasa dari sifat
Al-Halabi ia akan menyatakan bahwa Ini adalah…. Kesalahan pengucapan…
Kedua: hadits di atas adalah sejenis dengan hadits:

:‫ﺎ‬‫" ُﻗْﻠﻨ‬. ‫ﻢ‬‫ﻮﻫ‬‫ﻌﺘُﻤ‬ ‫ﺐ ﻟَﺎﱠﺗﺒ‬


‫ﺮِ ﺿَ ﱟ‬‫ﺟﺤ‬ ‫ﻠُﻮﺍ ﰲ‬‫ﺩﺧ‬ ‫ﺍﻉٍ ﺣﺘﻰ ﻟﻮ‬‫ﺭ‬‫ﺎ ﺑِﺬ‬‫ﺍﻋ‬‫ﺭ‬‫ﻭﺫ‬ ٍ‫ﺮ‬‫ﺸﺒ‬
 ِ‫ﺍ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺷﺒ‬
 ‫ﻜُﻢ‬‫ﺒﻠ‬َ‫ ﻣﻦ ﻗ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻦ‬‫ﻨ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫" َﻟﺘَﱠﺘِﺒﻌ‬

‫ﻦ‬‫ ﻓَﻤ‬:" ‫ﻯ ؟ ﻗﺎﻝ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺼ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺩ‬‫ﻴﻬ‬‫ ﺁْﻟ‬،‫ﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻳﺎ ﺭ‬


“Sungguh, kalian akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta sehingga ketika mereka terperosok ke dalam liang
biawak kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah.
Apakah mereka itu Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau
bukan mereka).” (HR. Muslim: 4822, Ahmad: 11372 (23/417) dari Abu Sa’id Al-
Khudri).
8
Apakah Al-Halabi –dengan hadits ini- akan menyatakan bahwa para sahabat Nabi  akan
mengikuti ajaran-ajaran Yahudi dan Nashara???
Ketiga: hadits di atas juga sejenis dengan hadits:

‫ ﺣﺘﻰ‬‫ﻪ‬‫ ِﺰﻋ‬‫ﻳﻨ‬ ‫ﺎ ﻟَﺎ‬‫ﻢ ﺫُﻟ‬ ُ‫ﻜ‬‫ﻋَﻠﻴ‬ ‫ﺳﻠﱠﻂَ ﺍ‬


 ‫ﺎﺩ‬‫ﺠﻬ‬
ِ ‫ ﺍْﻟ‬‫ ْﻛﺘُﻢ‬‫ﻭﺗَﺮ‬ ِ‫ﻉ‬‫ﺭ‬‫ﻢ ﺑِﺎﻟﺰ‬ ُ‫ﻴﺘ‬‫ﺿ‬‫ﺭ‬‫ﻘَ ِﺮ ﻭ‬‫ ﺍْﻟﺒ‬‫ َﺃﺫْﻧَﺎﺏ‬‫ ْﺬﺗُﻢ‬‫َﺃﺧ‬‫ﺔ ﻭ‬‫ﻴﻨ‬‫ﻢ ﺑِﺎﻟْﻌ‬ ُ‫ﻌﺘ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫" ﺇﺫﺍ َﺗﺒ‬

‫ﻜُﻢ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻮﺍ ﺇﱃ ﺩ‬‫ﺮﺟِﻌ‬ َ‫ﺗ‬


“Jika kalian berjual beli dengan ‘inah’ (sejenis riba), memegang ekor lembu, ridla
dengan pertanian dan meninggalkan jihad maka akan menguasakan pada kalian
kehinaan dan tidak mencabutnya sampai kalian kembali lagi pada agama kalian.”
(HR. Abu Dawud: 3003, di dalam isnadnya ada pembicaraan sedangkan isnadnya Ahmad
perawinya tsiqat dan di-shahih-kan oleh Ibnul Qaththan. Bulughul Maram hadits: 841).
Keempat: kata “kalian” pada hadits di atas tidak boleh ditujukan kepada para sahabat
dan juga tabiin dan pengikut mereka karena sabda Nabi :

‫ﻢ‬‫ﻳﻠُﻮَﻧﻬ‬ ‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ ﺛُﻢ‬‫ﻢ‬‫ﻳﻠُﻮَﻧﻬ‬ ‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ ﺛُﻢ‬‫ﻢ‬‫ﻠُﻮَﻧﻬ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻲ ﺛُﻢ‬‫ﻧ‬‫ﻢ ﻗَﺮ‬ ُ‫ﻛ‬‫ﺮ‬‫ﺧﻴ‬ ‫ﺇِﻥ‬
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah generasiku (sahabat) kemudian generasi
setelahnya (tabiin) kemudian generasi setelahnya (tabi’ut tabiin).” (HR. Muslim: 4603,
Ahmad: 18994 (40/314)).
Kemudian Syaikh Ahmad Bazmool menjelaskan keutamaan para sahabat Nabi  secara
panjang lebar…..dst.
Kelima: dan yang menunjukkan batilnya ucapan Al-Halabi adalah riwayat Al-Hasan
bahwa A’idz bin Amr (salah seorang sahabat Nabi ) memasuki rumah Ubaidullah bin
Ziyad dan berkata:

‫ﻥ‬ ‫ ﺗَﻜُﻮ‬‫ﺎ َﻙ ﺃَﻥ‬‫ ُﺔ ﻓَِﺈﻳ‬‫ﺤﻄَﻤ‬


 ْ‫ ﺍﻟ‬‫ﺎﺀ‬‫ﺮﻋ‬ ‫ ﺍﻟ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ ﺇِﻥ‬:" ‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍ‬‫ﻮ َﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺇﻧﻲ ﲰﻌﺖ ﺭ‬‫ﻲ‬‫ﺑﻨ‬ ‫ﺃَﻱ‬

‫ﻞْ ﻛﺎﻧﺖ ﳍﻢ‬‫ﻭﻫ‬ : ‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ‬‫ﺪ ﺻﻠﻰ ﺍ‬ ‫ﻤ‬‫ﻣﺤ‬ ‫ﺏ‬
ِ ‫ﺎ‬‫ﺻﺤ‬
 َ‫ﺔ ﺃ‬َ‫ﺎ ﺃﻧﺖ ﻣﻦ ُﻧﺨَﺎﻟ‬‫ ﻓَﺈِﻧﱠﻤ‬‫ﺲ‬‫ﺟﻠ‬ ‫ ﺍ‬: ‫"ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ‬. ‫ﻣﻨﻬﻢ‬

‫ﻢ‬‫ ِﺮﻫ‬‫ ﻭﰲ َﻏﻴ‬‫ﻢ‬‫ﺪﻫ‬ ‫ﺑﻌ‬ ُ‫ﻨﺨَﺎﻟَﺔ‬‫ُﻧﺨَﺎﻟَﺔٌ ﺇﳕﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟ‬


“Wahai anakku aku telah mendengar Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya sejelek-
jelek penggembala (pemimpin umat) adalah orang yang suka berbuat zhalim kepada
rakyatnya. Dan hendaknya engkau tidak termasuk dari mereka.” Maka Ubaidullah
berkata: “Duduklah kamu karena kamu hanyalah termasuk sisa ayakan para sahabat
Rasulullah .” Maka A’idz berkata: “Apakah para sahabat itu ada yang menjadi sisa
ayakan tepung? Sisa ayakan itu hanyalah pada setelah mereka dan selain mereka.”
(HR. Muslim: 3411, Ahmad: 19719 (42/100)).
Demikian ringkasan penjelasan Syaikh Ahmad Bazmool. (Mauqif Ali Al-Halabi min
Man Yuthliqu Kalimah Ghutsa’ ala Ash-habin Nabi halaman: 5-9).

9
Ilmu Al-Jarhu wat Ta’dil tidak terdapat dalam Al-Quran dan
As-Sunnah
Dalam sebuah Tanya jawab di rumah Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri di Amir Madinah
tanggal 29 Sya’ban 1429 H. Salah seorang ikhwah yang bernama Abu Abdirrahman
Ra’id bin Abdul Jabbar Al-Mahdawi mengajukan pertanyaan:

‫ ﺃﻣﺎ‬،‫ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﻣﻦ ﺍﺗﺒﻊ ﻫﺪﺍﻩ‬،‫ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‬، ‫ ﺍﳊﻤﺪ‬،‫ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬‫ﺑﺴﻢ ﺍ‬

: ‫ﺑﻌﺪ‬

‫ﻥ ﺃﻋﺮﺽ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﻛﻼﻡ ﻋﻠﻲ ﺣﺴﻦ ﺍﳊﻠﱯ ﺍﻟﱵ ﺟﺎﺀﺕ ﰲ ﺑﻌﺾ‬ ‫ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺍﻟﻔﺎﺿﻞ ﺃ‬‫ﻓﺄﻭﺩ‬

: ‫ ﺣﻴﺚ ﻳﻘﻮﻝ‬،‫ﺍﻟﺘﺴﺠﻴﻼﺕ ﺍﳌﻨﺘﺸﺮﺓ‬

‫ ﻋﻠﻢ ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﻻ ﻫﻮ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﰲ ﺃﺩﻟﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﻻ‬،‫ﻼ ﻭﺟﺪ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ‬


 ‫ ﻋﻠﻢ ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﺃﺻ‬‫ "ﺇﻥ‬:1‫ﺱ‬

‫ ﺇﺫﺍً ﻫﻮ ﻋﻠﻢ ﻣﺼﻠﺤﺔ "ﻓﻤﺎ ﺭﺃﻳﻜﻢ ﲠﺬﺍ ﺍﻟﻜﻼﻡ‬،‫ﺔ‬‫ ﻫﻮ ﻋﻠﻢ ﻧﺎﺷﺊ؛ ﻧﺸﺄ ﳊﻔﻆ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨ‬،‫ﺔ‬‫ﰲ ﺃﺩﻟﺔ ﺍﻟﺴﻨ‬

‫؟‬‫ﺣﻔﻈﻜﻢ ﺍ‬
Setelah basmalah, tahmid, dan shalawat: “Saya ingin mengajukan pertanyaan kepada
Anda –wahai Syaikh yang mulia- terkait kutipan dari ucapan Ali Hasan Al-Halabi dalam
rekaman-rekaman yang beredar, ia menyatakan:
“Sesungguhnya ilmu al-jarhu wat ta’dil secara asal hanya didapatkan untuk sebuah
maslahat. Ilmu al-jarhu wat ta’dil secara asal tidak ditemukan dalam dalil-dalil Al-Kitab
dan dalil-dalil As-Sunnah. Ia adalah ilmu yang muncul, muncul untuk menjaga Al-Kitab
dan As-Sunnah. Sehingga ia adalah ilmu maslahat. Bagaimana menurut Antum dengan
ucapan ini –semoga Allah menjaga anda-?”
Syaikh Ubaid Al-Jabiri berkata:

‫ ﻭﺣﺪﻩ ﻻ‬‫ﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍ‬ ‫ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃ‬،‫ ﻭﻻ ﻋﺪﻭﺍﻥ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﺎﳌﲔ‬،‫ ﻭﺍﻟﻌﺎﻗﺒﺔ ﻟﻠﻤﺘﻘﲔ‬،‫ ﺍﻟﻌﺎﳌﲔ‬‫ ﺭﺏ‬ ‫ﺍﳊﻤﺪ‬

‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ‬‫ ﺻﻠّﻰ ﺍ‬،‫ ﳏﻤﺪﺍً ﻋﺒﺪﻩ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ؛ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺁﺩﻡ ﺃﲨﻌﲔ‬‫ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ‬،‫ ﺍﳌﺒﲔ‬‫ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ؛ ﺍﳌﻠﻚ ﺍﳊﻖ‬

: ‫ ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ‬.‫ ﻭﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ﻭﺍﻟﺴﻨﲔ‬،‫ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﻠﻴﺎﻝ‬‫ ﻭﺳﻠّﻢ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎً ﻛﺜﲑﺍً ﻋﻠﻰ ﻣﺮ‬،‫ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺍﻟﻄﻴﺒﲔ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮﻳﻦ‬

:‫ﻭﺍﳉﻮﺍﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻋﺪﺓ ﺃﻭﺟﻪ‬. ‫ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﺍﻟﻌﻘﻠﻲ‬،‫ ﻭﺍﻟﺮﻭﻏﺎﻥ‬،‫ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻣﻨﺸﺄﻩ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﱄ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﺔ‬‫ﻓﺈﻥ‬

10
‫ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻷﻭﻝ ‪:‬ﺃﻥ‪ ‬ﻋﻠﻢ ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﻗﺪ ﺩﻝّ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨ‪‬ﺔ ﻭﺍﻹﲨﺎﻉ؛ ﻓﻤﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﻗﻮﻟﻪ‬

‫ﺗﻌﺎﱃ‪":‬ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺇﻥ ﺟﺎﺀﻛﻢ ﻓﺎﺳﻖ ﺑﻨﺒﺄ ﻓﺘﺒﻴﻨﻮﺍ ‪ "...‬ﺍﻵﻳﺔ‪ ،‬ﻓﻬﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﻧﺺ‪ ‬ﺻﺮﻳﺢ ﰲ ﻗﺒﻮﻝ ﺧﱪ‬

‫ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻟﻌﺪﻝ‪ ،‬ﻭﻭﺟﻪ ﺫﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﱃ؛ ﺃﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﺜﺒﺖ ﻭﺍﻟﺘﺒﻴ‪‬ﻦ ﺣﻴﻨﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﺍﳋﱪ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ‪ ،‬ﻭﻣﻔﻬﻮﻡ‬

‫ﺫﻟﻚ؛ ﺃﻥ‪ ‬ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻻ ﻳﺘﺜﺒﺖ ﻣﻦ ﺧﱪﻩ‪ ،‬ﻭﺍﻟﻌﺪﻝ‪ :‬ﻫﻮ ﻣﻦ ﻋﺮﻑ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﻭﺍﻟﺘﺜﺒﺖ ﰲ ﻧﻘﻞ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ‪ ،‬ﻭﻭﺟﻪ‬

‫ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ؛ ﰲ ﺗﻘﺴﻴﻢ ﺍﻟﻨ‪‬ﺎﺱ ﺇﱃ ﻗﺴﻤﲔ ‪:‬‬

‫ﺃﺣﺪﳘﺎ ‪:‬ﻣﻦ ﳚﺐ ﺍﻟﺘﺜﺒﺖ ﻭﺍﻟﺘﺒﻴ‪‬ﻦ ﰲ ﺧﱪﻩ؛ ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺮﻑ ﻓﺴﻘﻪ‪ ،‬ﻭﺍﻵﺧﺮ‪ :‬ﻣﻦ ﳚﺐ ﻗﺒﻮﻝ‬

‫ﺧﱪﻩ؛ ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﻋﺮﻓﺖ ﻋﺪﺍﻟﺘﻪ‪ ،‬ﻓﺈﺫًﺍ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﻘﺴﻤﲔ ﳎﺮﻭﺡ؛ ﻭﳍﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺧﱪﻩ ﺳﺎﻗﻄﺎً‪ ،‬ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻣﻌﺪ‪‬ﻝ ﻣﺰﻛّﻰ؛‬

‫ﻭﳍﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺧﱪﻩ ﻣﻘﺒﻮﻻً‪.‬‬

‫ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨ‪‬ﺔ ﺍﳌﺴﺘﻔﻴﻀﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ‪ ‬ـ ﺻﻠّﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ـ ﻓﻘﻮﻟﻪ‪" :‬ﺇﻳﺬﻧﻮﺍ ﻟﻪ ﺑﺌﺲ ﺃﺧﻮ ﺍﻟﻌﺸﲑﺓ"‪ ،‬ﻓﻠﻤ‪‬ﺎ ﺩﺧﻞ‬

‫ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻫﺶ‪ ‬ﻟﻪ ﻭﺑﺶ‪ ،‬ﻭﺃﻻﻥ ﻟﻪ ﺍﻟﻜﻼﻡ‪ ،‬ﻓﻠﻤ‪‬ﺎ ﺧﺮﺟﻮﺍ ﻣﻦ ﻋﻨﺪﻩ ﻗﺎﻟﻮﺍ‪ :‬ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ !‬ﻗﻠﺖ ﰲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﺎ‬

‫ﻗﻠﺖ‪ ،‬ﻭﺻﻨﻌﺖ ﻣﻌﻪ ﻣﺎ ﺻﻨﻌﺖ ﻗﺎﻝ‪":‬ﺇﻥ‪ ‬ﺷﺮ‪ ‬ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﺍﻟﻨ‪‬ﺎﺱ ﺃﻭ ﻗﺎﻝ‪ :‬ﻣﻦ ﻭﺩﻋﻪ ﺍﻟﻨ‪‬ﺎﺱ ﺍﺗﻘﺎﺀ‪ ‬ﻓﺤﺸﻪ"‪،‬‬

‫ﻭﺟﻪ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﰲ ﲨﻠﺘﲔ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﳊﺪﻳﺚ‪:‬‬

‫ﺇﺣﺪﺍﳘﺎ ﰲ ﻗﻮﻟﻪ‪ :‬ﺑﺌﺲ ﺍﺧﻮ ﺍﻟﻌﺸﲑﺓ‪ ،‬ﻓﻬﺬﺍ ﺫﻡ‪ ‬ﻟﺬﻟﻜﻢ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺑﺎﺗّﻔﺎﻕ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻭﺍﻟﻠﻐﺔ ‪.‬‬

‫ﻭﺍﳉﻤﻠﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﰲ ﻗﻮﻟﻪ‪ :‬ﺇﻥ‪ ‬ﺷ ‪‬ﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﱃ ﺁﺧﺮﻩ‪ ،‬ﻓﻬﺬﺍ ﺗﻨﺒﻴﻪ ﺇﱃ ﺷﻴﺌﲔ ‪:‬‬

‫ﺃﺣﺪﳘﺎ ‪:‬ﺃﻥ‪ ‬ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ ‬ـ ﺻﻠّﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ـ ﻛﺎﻥ ﻣﺎ ﺻﻨﻌﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ ﻟﲔ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻭﺍﳍﺸﺎﺷﺔ‬

‫ﻭﺍﻟﺒﺸﺎﺷﺔ ﻟﻪ ﻫﻮ ﻣﻦ ﻗﺒﻴﻞ ﺍﳌﺪﺍﺭﺍﺓ‪ ،‬ﻭﺍﳌﺪﺍﺭﺍﺓ ﺳﻴﺎﺳﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﻭﺍﺟﺒﺔ ﰲ ﻣﻮﺿﻌﻬﺎ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻣﺆﻛﺪ ﳌﺎ ﺳﺒﻖ ﻣﻦ‬

‫ﺃﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﺬﻣﻮﻡ ﳑﻘﻮﺕ‪ ،‬ﺻﺎﺣﺐ ﻓﺤﺶ‪ ،‬ﻭﻫﺬﺍ ﺟﺮﺡ ﺁﺧﺮ ﻣﻨﻪ ‪ -‬ﺻﻠّﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ‪ -‬ﻟﺬﻟﻜﻢ ﺍﻟﺮﺟﻞ‪.‬‬

‫‪11‬‬
‫ﻭﺃﻣﺎ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ‪:‬ﻓﻬﻮ ﺣﺪﻳﺚ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﻗﻴﺲ ـ ﺭﺿﻲ ﺍ‪ ‬ﻋﻨﻬﺎ ـ ؛ ﺃﳖﺎ ﺟﺎﺀﺕ ﺇﱃ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ ‬ـ ﺻﻠّﻰ‬

‫ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ـ‪ ،‬ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ :‬ﺇﻥ‪ ‬ﺃﺑﺎ ﺟﻬﻢ ﻭﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺧﻄﺒﺎﻧﻲ‪ ،‬ﻓﻘﺎﻝ‪":‬ﺃﻣﺎ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ‪ :‬ﻓﺼﻌﻠﻮﻙ ﻻ ﻣﺎﻝ ﻟﻪ‪،‬‬

‫ﻭﺃﻣﺎ ﺃﺑﻮ ﺟﻬﻢٍ‪ :‬ﻓﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﻀﻊ ﺍﻟﻌﺼﺎ ﻋﻦ ﻋﺎﺗﻘﻪ "‪..‬ﺍﳊﺪﻳﺚ‪ ،‬ﻓﺎﻟﺸﺎﻫﺪ ﻣﻨﻪ ﺃﻥ‪ ‬ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ ‬ـ ﺻﻠّﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ‬

‫ﻭﺳﻠﻢ ـ ﺗﻜﻠﻢ ﰲ ﺫﻳﻨﻜﻢ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻴﲔ ـ ﺭﺿﻲ ﺍ‪ ‬ﻋﻨﻬﻤﺎ ـ ﲟﺎ ﳚﻌﻞ ﺗﻠﻜﻢ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﻻ ﺗﻘﺒﻞ ﺑﺄﺣﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ـ‬

‫ﺻﻠّﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ـ ﻋﺎﺏ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺑﻌﻴﺐ ﻻ ﺗﻄﻤﺌﻦ‪ ‬ﻟﻪ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﳌﺨﻄﻮﺑﺔ‪ ،‬ﻓﺎﳌﺮﺃﺓ ﺗﺮﻳﺪ ﺭﺟﻼ‪ ‬ﻏﻨﻴﺎً ﻣﺴﺘﻘﺮ‪ً‬ﺍ‬

‫ﻋﻨﺪﻫﺎ‪ ،‬ﻓﻤﻌﺎﻭﻳﺔ ﻓﻘﲑ‪ ،‬ﻭﺃﺑﻮ ﺟﻬﻢ ﻛﺜﲑ ﺍﻟﱰﺣﺎﻝ‪ ،‬ﻭﻋﻨﻪ ﻛﻨﻰ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻻ ﻳﻀﻊ ﺍﻟﻌﺼﺎ ﻋﻦ ﻋﺎﺗﻘﻪ؛ ﻭﻗﻴﻞ ﰲ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ‪:‬‬

‫ﻛﺜﲑ ﺍﻟﻀﺮﺏ‪ ،‬ﻓﻬﻮ ﺿﺮ‪‬ﺍﺏ ﻟﻠﻨﺴﺎﺀ‪ ،‬ﻭﺳﻮﺍﺀ‪ ‬ﻛﺎﻥ ﺫﺍ ﺃﻭ ﺫﺍﻙ؛ ﻓﺈﻥ‪ ‬ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻻ ﲢﺐ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﻭﺻﻔﻪ‪.‬‬

‫ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻹﲨﺎﻉ ‪:‬ﻓﻴﺪﺭﻛﻪ ﻣﻦ ﻧﻈﺮ ﰲ ﻛﺘﺐ ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﺍﻟﱵ ﻻ ﲢﺼﻰ‪ ،‬ﻓﺄﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻗﺪﳝﺎً ﻭﺣﺪﻳﺜﺎً ﻳﺮﺟﻌﻮﻥ ﺇﱃ‬

‫ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻜﺘﺐ‪ ،‬ﻭﻳﻨﻈﺮﻭﻥ ﻓﻴﻤﻦ ﺗﻜﻠﻤﻮﺍ ﻓﻴﻪ؛ ﺃﻫﻮ ﻣﺰﻛﻰ‪ ‬ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻣﻌﺪﻝ ﻓﻴﻘﺒﻠﻮﻥ ﺧﱪﻩ‪ ،‬ﺃﻭ ﻫﻮ ﳎﺮﻭﺡ ﻋﻨﺪﻫﻢ‬

‫ﻣﺬﻣﻮﻡ ﻓﲑﺩﻭﻥ ﺧﱪﻩ‪ ،‬ﻭﻣﺎ ﺃﻇﻦ ﺃﺧﺎﻧﺎ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﻠﻴﺎً ﳚﻬﻞ ﻫﺬﺍ؛ ﻭﻟﻜﻦ ﺃﺣﻴﺎﻧﺎً ﻳﻨﻄﺒﻊ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻗﻮﺍﻋﺪ‬

‫ﻓﻠﺴﻔﻴ‪‬ﺔ‪ ،‬ﻓﻴﻌﱪ ﺑﻌﺒﺎﺭﺍﺕ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺒﻂ ﻭﺧﺒﻂ‪ ،‬ﻓﻴﻀﻴﻊ ﺍﻟﺴﺎﻣﻊ ﻣﻌﻬﺎ ﻭﳛﺎﺭ‪.‬‬

‫ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﰲ ﻗﻮﻟﻪ "ﻧﺎﺷﺊ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ‪".‬‬

‫ﻭﳓﻦ ﻧﻘﻮﻝ ‪:‬ﺃﻳﺔ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻫﺬﻩ؟ ﻫﻞ ﻫﻲ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻧﻔﻌﻴﺔ ﺩﻧﻴﻮﻳﺔ ﺷﺨﺼﻴ‪‬ﺔ‪ ،‬ﺃﻭ ﻫﻲ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ؟‬

‫ﺍﳉﻮﺍﺏ ﻫﻮ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ‪ ،‬ﻫﻮ ﳌﺼﻠﺤﺔ ﺣﻔﻆ ﺩﻳﻦ ﺍ‪ ‬ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺚ ﻭﺍﳋﻠﻂ ﻭﺍﳋﺒﻂ ﻭﺍﻟﺪﺱ‪ ،‬ﻭﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻧﻘﻮﻝ‪ :‬ﺇ ‪‬ﻥ ﻋﻠﻢ‬

‫ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﻋﻠﻰ ﺿﺮﺑﲔ‪:‬‬

‫ﺃﺣﺪﳘﺎ ‪:‬ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺮﻭﺍﺓ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ ﻭﻧﻘﻠﺘﻬﺎ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ ‬ـ ﺻﻠﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ـ‪ ،‬ﻭﻣﻮﺿﻮﻋﻪ ﺳﻠﺴﻠﺔ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ‬

‫ﻣﻦ ﻣﺼﻨﻒ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﳊﺪﻳﺜﻲ ﺇﱃ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‪ ‬ـ ﺻﻠّﻰ ﺍ‪ ‬ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠّﻢ ـ‪ ،‬ﻓﻬﺬﺍ ﻗﺪ ﻓﺮﻍ ﻣﻦ ﺃﺻﻮﻟﻪ ﻭﻗﻮﺍﻋﺪﻩ‬

‫ﻭﺩﻭﳖﺎ ﺍﻷﺋﻤ‪‬ﺔ؛ ﻓﻤﺎ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻧﺴﲑ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﺍﻋﺪﻫﻢ ﺗﺼﺤﻴﺤﺎً ﻭﺗﻀﻌﻴﻔﺎً‪ ،‬ﺟﺮﺣﺎً ﻭﺗﻌﺪﻳﻼ‪. ‬‬

‫‪12‬‬
‫ﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺙ ﺍ‬‫ ﺑﺒﻘﺎﺀ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻨ‬‫ ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻕ‬،‫ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬،‫ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﻫﻞ ﺍﳌﻘﺎﻻﺕ ﻭﺍﻟﺴﻠﻮﻙ‬: ‫ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ‬

‫ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻀﻄﺮﻭﻥ ﺇﱃ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ‬،‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ـ‬‫ ـ ﺻﻠّﻰ ﺍ‬‫ﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‬‫ ﻭﺃﻋﲏ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔّ ﺳﻨ‬،‫ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻣﻦ ﻋﻠﻴﻬﺎ‬

‫ ﻓﻤﻦ ﺍﺳﺘﺸﺎﺭ ﰲ ﺟﻮﺍﺭ ﺭﺟﻞ ﺃﻭ ﻣﺪﺍﻳﻨﺘﻪ ﺃﻭ ﻏﲑ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ‬:‫ ﻭﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﳌﺜﺎﻝ‬،‫ﺣﺘﻰ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﳌﻌﺎﻣﻼﺕ‬

‫ﺍً ﺍﻧﺸﻤﺮ ﻋﻨﻪ ﻭﺍﺑﺘﻌﺪ‬‫ ﻭﺇﻥ ﺃﺛﻨﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﺷﺮ‬،‫ ﻓﺈﻥ ﺃﺛﻨﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﺧﲑﺍً ﺍﻃﻤﺄﻥ‬،‫ﺍﻟﺘﻌﺎﻣﻞ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺮﺟﻊ ﺇﱃ ﺃﻫﻞ ﺍﳋﱪﺓ ﺑﻪ‬

‫ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﳌﺨﻄﻮﺏ ﻣﻨﻪ ﺻﺎﺣﺐ ﻓﻄﻨﺔ‬،‫ ﺧﻄﺐ ﺇﱃ ﺁﺧﺮ ﻣﻮﻟﻴﺘﻪ‬‫ ﻟﻮ ﺃﻥ ﺭﺟﻼ‬:‫ ﻭﻣﺜﺎﻝ ﺁﺧﺮ‬،‫ﻣﻨﻪ‬

‫ "ﺇﺫﺍ ﺃﺗﺎﻛﻢ ﻣﻦ ﺗﺮﺿﻮﻥ ﺩﻳﻨﻪ ﻭﺧﻠﻘﻪ‬:‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬‫ﻭﻛﻴﺎﺳﺔ ﻭﻗﺒﻞ ﺫﻟﻚ ﻧﺼﺤﺎً ﳌﻮﻟﻴﺘﻪ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺘﺬﻛﺮ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍ‬

. ‫ ﺇﻥ ﱂ ﺗﻔﻌﻠﻮﺍ ﺗﻜﻦ ﻓﺘﻨﺔ ﰲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻓﺴﺎﺩ ﻋﺮﻳﺾ" ﺻﺤﻴﺢ ﲟﺠﻤﻮﻉ ﻃﺮﻕ‬،‫ﻓﺰﻭﺟﻮﻩ‬

‫ ﻓﺈﺫﺍ‬،‫ ﻭﻣﻌﺎﺭﻓﻪ ﻭﺯﻣﻼﺋﻪ ﰲ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﻒ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﻟﻪ‬،‫ ﻳﺴﺄﻝ ﺟﲑﺍﻧﻪ‬،‫ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬‫ﻓﺒﻨﺎﺀ‬

‫ ﻭﺇﻥ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﺇﱃ ﻏﲑ ﺫﻟﻚ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﺑﻪ‬،‫ﺟﻪ‬‫ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﳋﻠﻖ؛ ﺯﻭ‬‫ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﺇﱃ ﺃﻧﻪ ﻣﺮﺿﻲ‬

‫ﺀ ﳍﺎ؛ ﻷﻧﻪ ﺇﻣﺎ ﻏﲑ ﻣﺮﺿﻲ‬‫ً ﺛﻢ ﺑﺎﻥ ﺑﻌﺪ ﺃﻧﻪ ﻏﲑ ﻛﻒ‬‫ﺘﻪ ﺭﺟﻼ‬‫ ﻭﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺯﻭﺝ ﻣﻮﻟﻴ‬،‫ﺯﻭﺟﺎً ﳌﻮﻟﻴﺘﻪ‬

‫ﺍﺀ ﻣﺎ ﳚﺮﻱ‬‫ ﻭﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺗﺰﻭﳚﻪ ﺇﻳﺎﻫﺎ ﱂ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻨﻪ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻠﻮﻡ ﻭﻳﺘﺤﻤﻞ ﺍﻟﺘﺒﻌﺔ ﺟﺮ‬،‫ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻭ ﻏﲑ ﻣﺮﺿﻲ ﺍﳋﻠﻖ‬

. ‫ﻋﻠﻰ ﻣﻮﻟﻴﺘﻪ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﻭﲞﺲ ﻭﺗﻌﺪ‬

‫ ﻧﻌﻢ‬،‫ﻭﻫﺎﺕ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ‬


Setelah tahmid, shalawat dan syahadat beliau berkata:
Ucapan ini –menurut keterangan yang jelas bagiku- muncul berasal dari filsafat,
penyimpangan dan analogi (qiyas) aqli. Jawaban bagi syubhat ini ada beberapa segi:
Pertama: ilmu Al-Jarhu wat Ta’dil memiliki landasan dari Al-Quran, As-Sunnah dan
ijma’.
Dalil dari Al-Kitab adalah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS.
Al-Hujurat: 6). Ayat ini merupakan nash yang jelas tentang diterimanya khabar ahad
(perorangan) yang adil. Arah pendalilannya adalah bahwa Allah  memerintahkan kita
untuk tatsabbut (kroscek) dan tabayyun (meneliti) jika datang berita dari orang fasiq.
Mafhum dari ayat ini adalah tidak perlunya tatsabbut pada orang adil. Orang adil adalah
orang yang dikenal dengan kejujurannya, amanahnya dan tatsabbutnya dalam mengutip
berita. Dari arah pendalilan ayat ini, manusia dibagi 2: pertama adalah orang yang
beritanya wajib ditatsabbuti dan ditabayyuni, ini adalah orang fasiq yang dikenal
13
fasiqnya. Kedua adalah orang yang wajib diterima beritanya karena keadilannya sudah
dikenal. Maka yang pertama adalah orang yang majruh (dicela) sehingga beritanya gugur,
yang kedua adalah orang yang sudah ditazkiyah dan dianggap adil sehingga beritanya
diterima.

Adapun dalil dari As-Sunnah yang terkenal adalah ucapan Rasulullah : “Ijinkan ia
masuk. Ia sejelek-jelek saudara kerabat.” Ketika orang itu masuk maka Rasulullah 
melembutkan ucapan kepadanya. Ketika mereka sudah keluar (pulang) para sahabat
bertanya: “Ya Rasulullah engkau berkata demikian dan demikian dan berbuat demikian
dan demikian?” Maka beliau berkata: “Sejelek-jelek orang adalah orang yang
ditinggalkan orang lain karena takut kejelekannya.“ (HR. Al-Bukhari: 5572, Abu
Dawud: 4160). Arah pendalilan dari hadits di atas ada pada 2 kalimat: Yang pertama
adalah kalimat “Ia sejelek-jelek saudara kerabat.” Ini adalah celaaan (jarh) terhadap
orang itu sesuai kesepakan ahli syariat dan ahli bahasa. Yang kedua adalah kalimat
“Sejelek-jelek orang adalah orang yang ditinggalkan orang lain karena takut
kejelekannya.“ Di dalamnya ada 2 peringatan: sikap Rasulullah  yang lembut dan
bermanis muka terhadap orang itu termasuk dari taktik. Taktik itu termasuk siyasah
syar’iah jika diletakkan pada tempatnya. Yang kedua menguatkan celaan pada orang itu.
Dan ini adalah celaan yang lain dari beliau.
Hadits kedua adalah dari Fathimah binti Qais ketika ia datang kepada Rasulullah  dan
berkata: “Wahai Rasulullah, aku dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm.” Maka
Rasulullah  berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia miskin tidak memiliki harta. Dan
adapun Abu Jahm maka ia tidak pernah meletakkan tongkat pada pundaknya.” (HR.
Muslim: 2709, Abu Dawud: 1944, At-Tirmidzi: 1053, An-Nasa’i: 3193). Kemudian
Syaikh Ubaid menjelaskan jarh (celaan) yang dilakukan oleh Nabi kepada kedua sahabat
tersebut…………dst.”

Adapun ijma’ maka dapat ditemui oleh orang-orang yang mempelajari kitab-kitab Al-
Jarhu wat Ta’dil yang tak terhitung jumlahnya. Para ulama dari jaman dahulu sampai
sekarang merujuk kepada kitab-kitab itu dan mempelajari orang-orang yang sedang
diperbincangkan….. Saya tidak menyangka Saudaraku Ali (Al-Halabi) bodoh terhadap
permasalahan ini. Akan tetapi kadang-kadang mulut seseorang sudah terbiasa dengan
kaidah filsafat sehingga ia mengungkapkan sesuatu dengan ungkapan yang gugur
(rendah). Sehingga pendengar tersia-sia dan bingung terhadap ungkapan itu.”

Kemudian Syaikh Ubaid menjelaskan bahwa Ilmu Al-Jarhu wat Ta’dil ada 2 macam:
 Pertama yang berhubungan dengan para perawi hadits dan pembawanya. Maka
kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya telah selesai dan dibukukan oleh para ulama.
Kita (di jaman ini) tinggal mengikuti manhaj dan kaidah mereka dalam men-
shahih-kan, men-dlaif-kan, men-jarh dan men-tazkiyah mereka.
 Kedua yang berhubungan dengan tokoh-tokoh yang memiliki pendapat dan
perilaku tertentu, berhubungan dengan keadaan manusia. Maka ilmu ini akan
terus ada dengan adanya As-Sunnah itu sendiri. Yang saya maksud dengan As-
Sunnah adalah sunnah Rasulullah . Manusia sangat membutuhkan ilmu ini

14
sampai dalam masalah mu’amalah sekali pun. Kemudian Syaikh Ubaid
mencontohkan penerapan ilmu ini dalam pernikahan… dst.
(Sahab.net dengan judul artikel: Majmu’ah As’ilah haula Ba’dli Qawaid Ali Al-
Halabi Al-Jadidah Al-Fasidah fil Jarhi wat Ta’dil, tanggal 2008-09-17, 12:42 AM).

Menjadikan Manhaj Muwazanah dalam Al-Jarh wat Ta’dil


Maksud muwazanah adalah jika kita memperingatkan kesalahan-kesalahan tokoh bid’ah
maka hendaknya disebutkan pula kebaikan-kebaikannya.
Setelah menukil ucapan Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz, Al-Halabi –sebagaimana yang
dinukil oleh Syaikh Ahmad Bazmool- menyatakan

“Ini adalah 3 masalah yang dapat diambil dari ucapan Ustadz kami Asy-Syaikh Ibnu Baz:
1. Bolehnya menyebutkan kebaikan orang yang dibantah –sesuai kebutuhan-.

15
2. Tidak adanya kewajiban dan kemestian menyebutkan kebaikan mereka
3. Menganggap baik penyebutan kebaikan orang yang dibantah –jika ia
diharapkan bisa rujuk kepada al-haq
Aku (Al-Halabi) berkata:
Ada lagi point keempat –dari bab lain- yaitu:
4. Yang wajib bagi seseorang yang ingin menegakkan (penilaian) yang sempurna
kepada seseorang tertentu –sesuai kebutuhan- adalah menyebutkan kesalahan
dan kebaikannya
Semoga Allah merahmati Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi –beliau adalah termasuk ahli
istiqra’ yang sempurna- ketika beliau berkata dalam ‘Siyar A’lamin Nubala’ (20/46):
“Kami memohonkan kepada Allah maaf dan ampunan untuk ahlut tauhid dan
membebaskan kepada Allah hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah. Kami mencintai As-Sunnah
dan ahlinya, mencintai seorang alim atas sifat Ittiba’nya (kepada As-Sunnah) dan sifat-
sifat lainnya yang terpuji. Dan kami tidak mencintai perbuatan bid’ahnya karena ta’wil
yang luas (permasalahan ijtihad, pen). Yang dianggap adalah banyaknya kebaikan.”
Selesai ucapan Al-Halabi. (Shiyanatus Salafi min Waswasati wa Talbisati Ali Al-Halabi
(Halaqah IV): 56-57).

Jawaban:

Syaikh Ahmad Bazmool memberikan pertanyaan penting untuk Al-Halabi:


1. Mengapa ia mendatangkan manhaj muwazanah dalam bukunya ini (Manhajus
Salaf..)? Mengapa Al-Halabi membawakan dalam keadaan tergesa-gesa?
2. Mengapa Al-Halabi hanya membawakan ucapan Syaikh Ibnu Baz dan
melupakan ucapan ulama yang lain apalagi gurunya sendiri yaitu Al-Allamah Al-
Albani yang membantah manhaj muwazanah dalam 1 majelis selama 8 kali
dan menyatakannya sebagai bid’ah yang sesat?
Di sini Al-Halabi mengadakan tadlis (penipuan) dan talbis (mencampur aduk) bahwa
seolah-olah kesimpulan para ulama itu membolehkan manhaj muwazanah. (Shiyanatus
Salafi min Waswasati wa Talbisati Ali Al-Halabi (Halaqah IV): 56-57).

Asy-Syaikh Shalih Fauzan menyatakan:

‫ﺐ‬‫ﻭﻏَﻀ‬ ُ‫ ﺍ‬‫ﻪ‬‫ﻌﻨ‬ ‫ َﻟ‬‫ﻦ‬‫ }ﻣ‬:‫ ﻭﺫﻟﻚ ﰲ ﻗﻮﻟﻪ‬،‫ ﰲ ﺍﻵﻳﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺫﻛﺮ ﻋﻴﻮﺏ ﺍﳌﺮﺩﻭﺩ ﻋﻠﻴﻪ‬:‫ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ‬

‫ﺴﺒِﻴﻞِ{ ﻓﻔﻴﻪ ﺫﻛﺮ‬


 ‫ ﺍﻟ‬‫ﺍﺀ‬‫ﺳﻮ‬
 ‫ﻦ‬‫ﺃَﺿَﻞﱡ ﻋ‬‫ﻜَﺎﻧﺎً ﻭ‬‫ ﻣ‬‫ﺷﺮ‬
 ‫ﻚ‬‫ ﺃُﻭَﻟﺌ‬‫ ﺍﻟﻄﱠﺎﻏُﻮﺕ‬‫ﺪ‬‫ﻋﺒ‬ ‫ ﻭ‬‫ﺎﺯِﻳﺮ‬‫ﺨﻨ‬
َ ْ‫ﺍﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﺓ‬‫ﺮﺩ‬ ‫ ﺍﻟْﻘ‬‫ﻢ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻞَ ﻣ‬‫ﺟﻌ‬ ‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻋَﻠﻴ‬

.‫ﻢ ﰲ ﺍﳋﺼﻮﻣﺔ‬‫ ْﻔﺤ‬‫ﺨﺘَﺰِﻯ ﻭﻳ‬


ْ ‫ﻳ‬ ‫ﻣﻌﺎﺋﺐ ﺍﳌﺮﺩﻭﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺘﻰ‬

.‫ ﺇﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺫﻛﺮ ﳏﺎﺳﻦ ﺍﳌﺮﺩﻭﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻮﻧﻪ ﺑﺎﳌﻮﺍﺯﻧﺎﺕ‬: ‫ ﰲ ﺍﻵﻳﺔ ﺭﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻝ‬:‫ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﺍﳋﺎﻣﺴﺔ‬

16
‫ ﺫﻛﺮ ﰲ ﻫﺬﻩ‬‫ ﺃﻥ ﺍ‬:‫ ﻭﻭﺟﻪ ﺍﻟﺮﺩ‬،‫ﻭﺫﻛﺮ ﳏﺎﺳﻦ ﺍﻟﻄﻮﺍﺋﻒ ﺍﻟﻀﺎﻟّﺔ ﻭﺍﻷﺷﺨﺎﺹ ﺍﻟﻀﺎﻟﲔ ﻣﻦ ﺍﳌﺒﺘﺪﻋﺔ ﻭﻏﲑﻫﻢ‬

.‫ ﻭﱂ ﻳﺬﻛﺮ ﳍﻢ ﺷﻴﺌﺎً ﻣﻦ ﺍﶈﺎﺳﻦ‬،‫ﺍﻵﻳﺔ ﻣﻌﺎﻳﺒﻬﻢ‬

‫ ﺻﺮﻳﺢ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﳌﻘﺎﻟﺔ ﺍﻟﱵ ﻳﺮﺍﺩ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﺴﻜﻮﺕ ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﳋﺮﺍﻓﺎﺕ ﺃﻭ ﺫﻛﺮ ﳏﺎﺳﻦ ﺍﳌﺒﺘﺪﻋﺔ‬‫ﻓﻔﻲ ﺍﻵﻳﺔ ﺭﺩ‬

.‫ﻭﺍﳌﺨﺎﻟﻔﲔ ﻟﻠﺤﻖ‬
“Masalah yang keempat: di dalam ayat yang kedua terdapat dalil atas penyebutan aib-
aib orang yang dibantah. Yaitu firman-Nya: “Yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 60). Di dalamnya disebutkan aib-aib orang
yang dibantah sampai ia malu dan bungkam ketika didebat.
Masalah kelima: dalam ayat tadi terdapat bantahan kepada orang menyatakan
bolehnya menyebutkan kebaikan orang (ahli bid’ah) yang dibantah yang mereka
sebut dengan manhaj muwazanah dan menyebutkan kebaikan kelompok-kelompok
sesat dan tokoh-tokoh sesat di kalangan ahli bid’ah dan lainnya. Arah bantahannya
adalah bahwa Allah menyebutkan pada ayat ini hanya aib-aib mereka tanpa menyebutkan
kebaikan mereka sama sekali.
Maka dalam ayat ini terdapat bantahan yang jelas terhadap pendapat yang dimaksudkan
untuk berdiam diri (tidak membantah) dari kebid’ahan-kebid’ahan dan khurafat atau
menyebutkan kebaikan ahli bid’ah dan orang-orang yang menyelisihi Al-Haq.” (I’anatul
Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid: 1/330).

Al-Allamah Al-Faqih Ibnu Utsaimin berkata:

‫ ﻓﺎﻟﻮﺍﺟﺐ ﺃﻥ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﶈﺎﺳﻦ ﻭﺍﳌﺴﺎﻭﺉ؛ ﻟﻘﻮﻝ ﺍ‬،‫ﻡ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻫﻮ‬‫ﺇﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻳﺮﻳﺪ ﺃﻥ ﻳﻘﻮ‬

‫ﻟُﻮﺍ‬‫ﺪ‬‫ﻋﻠَﻰ ﺃَﻟﱠﺎ َﺗﻌ‬ ٍ‫ﻡ‬‫ َﻗﻮ‬‫ﺂﻥ‬‫ﺷﻨ‬


 ‫ﻜُﻢ‬‫ﻣﻨ‬ ِ‫ﺮ‬‫ﻳﺠ‬ ‫ﻻ‬‫ﻂ ﻭ‬
 ‫ﻘﺴ‬ْ‫ ﺑِﺎﻟ‬‫ﺍﺀ‬‫ﺪ‬‫ﺷﻬ‬
 ‫ﻠﱠﻪ‬‫ﻟ‬‫ﻣﲔ‬‫ﺍ‬‫ﻮﺍ ﻛُﻮﻧُﻮﺍ َﻗﻮ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﺬﻳﻦ‬ ‫ﺎ ﺍﻟﱠ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺎ َﺃ‬‫ } ﻳ‬:‫ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﱃ‬

‫ ﻳﺬﻛﺮﻭﻥ‬،‫[ ﻭﳍﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻨﺪﻣﺎ ﻳﺘﻜﻠﻤﻮﻥ ﻋﻦ ﺣﻴﺎﺓ ﺍﻟﺮﺟﻞ‬8:‫ﻯ { ]ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬‫ﻠﺘﱠ ْﻘﻮ‬‫ﻟ‬‫ﺏ‬‫ ﺃَﻗْﺮ‬‫ﻮ‬‫ﻟُﻮﺍ ﻫ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻋ‬

.‫ ﻭﻣﺜﺎﻟﺒﻪ‬،‫ﳏﺎﺳﻨﻪ‬

‫ ﺃﻧﻚ ﺇﺫﺍ ﺫﻛﺮﺕ‬-‫ﻤﻌﺘﻢ ﰲ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ‬‫ﻓﻴﻤﺎ ﺳ‬- ‫ﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎ‬‫ﻤ‬‫ﺤﺎﺳﻨﻪ؛ﻟ‬‫ ﰲ ﻣﻌﺮِﺽ ﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻼ ﺗﺬﻛﺮ ﻣ‬‫ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﻨﺖ‬

‫ ﻫﺬﺍ‬،ً‫ﻌﺠﺐ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﲟﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﶈﺎﺳﻦ ﻭﻳﱰﻙ ﺍﻷﺧﻄﺎﺀ ﺟﺎﻧﺒﺎ‬‫ ﻭﺭﲟﺎ ﻳ‬،‫ﻒ ﺟﺎﻧﺐ ﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻴﻪ‬‫ﺍﳌَﺤﺎﺳﻦ ﺿﻌ‬

‫ﻫﻮ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﰲ ﺫﻛﺮ ﳏﺎﺳﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻣﺴﺎﻭﺋﻬﻢ‬

17
“Sesungguhnya manusia jika ingin menegakkan jatidiri seseorang tentang asal-usulnya.
Maka wajib menyebutkan kebaikan dan kejelekannya karena firman Allah : “Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. “ (QS. Al-
Maidah: 8). Oleh karena itu ketika para ulama membahas biografi seseorang, mereka
menyebutkan kebaikan dan keburukannya.
Adapun jika kamu dalam proses membantahnya maka jangan kamu sebutkan
kebaikannya. Karena –sebagaimana pertanyaan yang kalian dengar- bahwa jika kamu
menyebutkan kebaikan-kebaikannya maka akan melemahkan sisi bantahannya.
Dan terkadang seseorang kagum dengan kebaikannya lalu melupakan sisi kesalahan-
kesalahannya. Ini adalah jalan (manhaj) dalam menyebutkan kebaikan dan keburukan
seseorang.” (Liqa’ul Babil Maftuh: 23/127).

Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan anggota Lajnah Haiah Kibaril Ulama
Arab Saudi ketika ditanya: “Apa termasuk manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam
mentahdzir ahli bid’ah dan kesesatan harus menyebutkan kebaikan-kebaikan dan pujian
kepada mereka dengan alasan obyektif dan keadilan?”
Beliau menjawab:

!‫ﻻ ﺣﺴﻨﺔ ﻷﺣﺪﻫﻢ ؟‬, ‫ ﻭﻫﻞ ﻛﺎﻧﺖ ﻗﺮﻳﺶ ﻓﻰ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻭﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺸﺮﻙ‬:

!‫ﻫﻞ ﺟﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺫﻛﺮ ﺣﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺣﺴﻨﺎﲥﻢ ؟‬

!‫ﻫﻞ ﺟﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺫﻛﺮ ﻣﻜﺮﻣﺔ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﺭﻣﻬﻢ ؟‬

‫ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﱂ ﺗﺬﻛﺮ‬, ‫ ﻭﳛﻔﻈﻮﻥ ﺍﳉﻮﺍﺭ‬, ‫ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻓﻰ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻳﻜﺮﻣﻮﻥ ﺍﻟﻀﻴﻒ‬, ‫ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻜﺮﻣﻮﻥ ﺍﻟﻀﻴﻒ‬

‫ ﺟﻞ ﻭﻋﻼ‬‫ﻓﻀﺎﺋﻞ ﻣﻦ ﻋﺼﻰ ﺍ‬

.‫ﻟﻴﺴﺖ ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺗﻌﺪﺍﺩ ﺍﶈﺎﺳﻦ ﻭﺍﳌﺴﺎﻭﺉ ﻭﺇﳕﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﲢﺬﻳﺮ ﻣﻦ ﺧﻄﺮ‬

‫ ﻓﻠﻴﻨﻈﺮ ﺇﱃ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻛﺄﲪﺪ ﺍﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻭﳛﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﻌﲔ ﻭﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺍﳌﺪﻳﲏ‬, ‫ﻭﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻨﻈﺮ‬

.‫ﻭﺷﻌﺒﺔ‬

‫ﻭﺟﻮﺍﺩ ﻓﻰ ﺑﺬﻝ‬, ‫ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻛﺮﻳﻢ ﺍﻷﺧﻼﻕ‬: ‫ﻫﻞ ﻗﺎﻝ‬. ‫ﻛﺬﺍﺏ‬: ‫ﻫﻞ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﺇﺫﺍ ﺳﺌﻞ ﻋﻦ ﺷﺨﺺ ﳎﺮﻭﺡ ﻭﻗﺎﻝ‬

!‫ ﻛﺜﲑ ﺍﻟﺘﻬﺠﺪ ﻓﻰ ﺍﻟﻠﻴﻞ ؟‬, ‫ﺍﳌﺎﻝ‬

18
‫ﻄﻠﺐ‬‫؟ ﺇﻻ ﳌﺎﺫﺍ ﻳ‬.. ‫ﻭﻟﻜﻦ ﻓﻴﻪ‬.. ‫ ﻭﻟﻜﻦ ﻓﻴﻪ‬: ‫ ﻫﻞ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ‬. ‫ ﺃﺧﺬﺗﻪ ﺍﻟﻐﻔﻠﺔ‬: ‫ ﺃﻭ ﻗﺎﻟﻮﺍ‬. ‫ﻭﺇﺫﺍ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﳐﺘﻠﻂ‬

!!‫ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ؟‬.. ‫ ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ‬.. ‫ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ‬: ‫ ﺇﺫﺍ ﺣﺬﺭ ﺷﺨﺺ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ‬, ‫ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﻦ‬

‫ ﻭﺍﻟﺘﻨﻔﲑ ﻣﻦ ﺿﻴﺎﻋﻬﺎ‬, ‫ ﻭﳚﻬﻞ ﺃﺳﺒﺎﺏ ﲢﻘﻴﻖ ﺍﳌﺼﻠﺤﺔ‬, ‫ﻫﺬﻩ ﺩﻋﺎﻳﺎﺕ ﻣﻦ ﳚﻬﻞ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ‬
“Apakah para dedengkot kesyirikan di kalangan Quraisy tidak memiliki kebaikan? Terus
apakah ada ayat Al-Quran yang menerangkan satu saja dari kebaikan-kebaikan mereka?
Apakah juga ada dalam As-Sunnah penyebutan satu saja dari kemuliaan-kemuliaan
mereka? Padahal mereka itu adalah orang-orang yang memuliakan tamu. Orang-orang
Arab pada masa jahiliyah sangat memuliakan tamu, menjaga hubungan baik dengan
tetangga. Dalam keadaan demikian pun tidak diceritakan sama sekali (dalam Al-Quran
dan As-Sunnah) tentang keutamaan orang yang berbuat maksiat kepada Allah.
Kalaulah seseorang ingin meneliti, maka hendaknya ia meneliti ucapan para imam seperti
Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, Syu’bah dll.
Apakah salah seorang dari para imam itu jika ditanya tentang keadaan seseorang yang
majruh (dicela) dan beliau berkata: “(Orang ini) kadzdzab (pendusta).” Apakah kemudian
beliau berkata: “Akan tetapi ia mulia akhlaqnya, dermawan dalam hartanya, banyak
tahajjud di malam hari?”
Jika mereka berkata: “(Orang ini) bercampur aduk hafalannya.” Atau berkata: “Ia terkena
lupa.” Terus apakah mereka menyatakan: “Tetapi ia ….(memiliki kebaikan) , tapi
ia….(memiliki keutamaan)??”
Lalu kenapa tetap saja dicari di antara manusia di jaman ini yang berpendapat jika
seseorang ditahdzir maka harus disebutkan pula: “Tetapi ia demikian ….tetapi ia
demikian…(disebutkan kebaikan-kebaikannya)??”
Ini adalah seruan-seruan orang yang bodoh terhadap kaidah Al-Jarh wat Ta’dil, dan
bodoh terhadap sebab-sebab pencapaian maslahat dan sebab-sebab untuk menghidari
hilangnya maslahat.” (dari kaset Salamatul Manhaj Dalilul Falah)

Menjadikan Perbedaan Manhaj seperti Perbedaan Ijtihad


Ali Hasan menyatakan dalam bukunya Manhaj As-Salafish Shalih cet.2 halaman 24-25:

‫ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺍﳊﺠﺞ ﻭﺍﻟﱪﺍﻫﲔ ﻭﺍﻟﺒﻴﻨﺎﺕ ﻭﺍﻟﱵ ﻻ ﺗﻮﺍﺟﻪ ﺍﻛﺜﺮﻫﺎ ﺍﻻ ﺑﺎﻟﺘﻬﻮﻳﺶ‬-‫ﻭﻟﺌﻦ ﺃﻗﻤﺖ ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻲ –ﻫﺬﺍ‬

‫ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﺳﺒﺒﺎ ﻟﻼﻋﺬﺍﺭ ﻭﻃﺮﻳﻘﺔ ﻟﻼﻋﺬﺍﺭ‬-‫ ﰲ ﺍﻃﺎﺭ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ‬-‫ﻭﺍﻟﺘﺸﻮﻳﺶ –ﻓﺎﻥ ﺍﻗﻞ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ‬

‫ﺇِﻥ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﻴﺌًﺎ ﻟَﻪ‬‫ ﻗَﺎﻝَ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻒ‬‫ﻨ‬‫ ﻟَﺎ ُﺃﻋ‬:‫ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ‬-‫ ﻋﻠﻴﻪ‬‫ﻛﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﳌﺒﺠﻞ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ –ﺭﲪﺔ ﺍ‬

‫ﺎﻩ‬‫ﺎﻟَ ْﻔﻨ‬‫ﺧ‬

19
:‫ﻭﻫﻲ ﻛﻠﻤﺔ ﻋﻠﻤﻴﺔ ﻣﻨﻬﺠﻴﺔ ﻋﺎﻟﻴﺔ‬

!-‫ ﺑﺎﻟﺘﻨﻜﲑ‬-‫ )ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺌﺎ( –ﻫﻜﺬﺍ‬: -‫ﻓﺘﺄﻣﻠﻮﺍ ﻗﻮﻟﻪ –ﺭﲪﻪ ﺍ‬

!-‫ ﺑﺎﻟﺘﻨﻜﲑ‬-‫ )ﻟﻪ ﻭﺟﻪ( –ﺃﻳﻀﺎ‬:-‫ﻭﺗﺄﻣﻠﻮﺍ ﻗﻮﻟﻪ –ﺭﲪﻪ ﺍ‬

!!(‫ )ﻭﺍﻥ ﺧﺎﻟﻔﻨﺎﻩ‬:-‫ﻭﺗﺄﻣﻠﻮﺍ ﻗﻮﻟﻪ –ﺭﲪﻪ ﺍ‬

‫ ﺑﻔﻌﺎﺋﻞ ﻣﻦ ﻟﻨﺎ ﳜﺎﻟﻔﻮﻥ ﻭﻷﺣﻮﺍﻟﻨﺎ ﻳﱰﺑﺼﻮﻥ ﻭﻷﺧﻄﺎﺋﻨﺎ‬-‫ –ﻧﻈﺮﻳﺎ ﻭﻋﻤﻠﻴﺎ‬‫ ﺣﻔﻈﻜﻢ ﺍ‬-‫ﻭﻗﺎﺭﻧﻮﺍ ﺫﻟﻚ –ﻛﻠﻪ‬

!-‫ﻳﱰﺻﺪﻭﻥ ﻭﻟﺪﻻﺋﻠﻨﺎ ﻳﻬﺪﻣﻮﻥ ﻭﻻﺳﻘﺎﻃﻨﺎ ﻳﻬﺪﻓﻮﻥ –ﺑﻞ ﺑﻪ ﻳﺼﺪﻋﻮﻥ ﻭﻳﺼﺮﺣﻮﻥ‬

!‫ ﻫﺬﻩ؟‬-‫ ﻭﺃﻓﺎﻋﻠﻬﻢ – ﻣﻦ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﺍﳍﺎﺩﻳﺔ ﺍﻟﺴﺪﻳﺪﺓ – ﺭﲪﻪ ﺍ‬-‫ ﳍﻢ‬‫ﻓﺄﻳﻦ ﻫﺆﻻﺀ –ﻏﻔﺮ ﺍ‬
“Jika aku tegakkan di dalam kitabku –ini- dengan dalil-dalil, hujjah, keterangan dan
bukti-bukti dan perkara yang kebanyakannya tidak diarahkan kecuali dengan campur
aduk dan perselisihan (pendapat, pen) –maka paling sedikitnya adalah- dalam lingkup
ahlul ilmi dan ahlus sunnah- menjadi sebab untuk memberikan udzur (kepadaku) dan
jalan memberikan udzur (dalam perselisihan) sebagaimana keterangan yang datang dari
Al-Imam Ahmad –semoga rahmat Allah atasnya- yang berkata: “Aku tidak akan
bersikap keras terhadap orang yang berpendapat sesuatu yang memiliki arah (dari
dalil) meskipun kami menyelisihinya.”

Ini adalah kata-kata ilmiah manhajiyah yang luhur:

Maka perhatikan ucapan beliau “orang yang berpendapat sesuatu” seperti ini dalam
bentuk nakirah (umum)!!

Perhatikanlah ucapan beliau “yang memiliki arah (dari dalil)” juga dalam bentuk
nakirah (umum)!!

Perhatikan pula ucapan beliau “meskipun kami menyelisihinya”!!

Bandingkan ini semua –semoga Allah menjaga kalian- dalam penelitian dan amalan-
dengan kelakuan orang-orang yang menyelesihi kami, mengintai keadaan kami, selalu
mencari-cari kesalahan kami, mematahkan dalil-dalil kami dan memiliki tujuan
menjatuhkan kami –bahkan menggembar-gemborkan dan membenturkan dengannya
(yaitu Syaikh Ahmad Bazmool, Syaikh Ubaid dan para salafiyyin yang membantah
pemikirannya, pen).

20
Maka dimana mereka –semoga Allah mengampuni mereka- dan perbuatan mereka
dibanding dengan kata-kata beliau (Imam Ahmad) yang membawa kebenaran dan
petunjuk ini?”

Jawaban:

Ada beberapa point:

 Al-Halabi telah berbuat zhalim karena meletakkan kata-kata Al-Imam Ahmad


tidak pada tempatnya. Ucapan Al-Imam Ahmad di atas adalah dalam konteks
ikhtilaf (perbedaan) ijtihadi. Al-Allamah Ibnu Muflih telah menukil ucapan ini:

: َ‫ ﻗَﺎﻝ‬، ‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ﻭ َﻏﻴ‬ ُ‫ ﺍْﻟﺨَﻠﱠﺎﻝ‬‫ﻩ‬‫ﺧﺘَﺎﺭ‬ ‫ ﺍ‬‫ﻲ‬‫ﻨﻬ‬‫ ﺍﻟ‬‫ﻢ‬‫ﻋﻠ‬ ‫ ﺇﻥ‬‫ﻪ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ ) ﺡ ( ﻭ‬‫ﺢ‬‫ﻋﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺻ‬ ِ‫ﻭﺭ‬‫ﺰ‬‫ﻢِ ﺍْﻟﺠ‬‫ ( ﺃَﻛْﻞُ َﻟﺤ‬‫ﺱ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺍﻟﺴ‬

‫ﻣ ْﻄﻠَﻘًﺎ‬ ‫ﻴﻪ‬‫ﻴﻞَ ﻓ‬‫ﻗ‬‫ ﻭ‬، ٌ‫ﻝ‬‫ﻣﺘَﺄَﻭ‬ ‫ﻪ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ ﻭ‬، ‫ﺓ‬‫ ﺍﻟْ َﻜﺜْﺮ‬‫ﻊ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻳﻌ‬ ‫ ﻟَﺎ‬‫ﻪ‬‫ﻋﻨ‬ ‫ ﻭ‬، ِ‫ﻴﻞ‬‫ﻟ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻟﺨَﻔَﺎﺀ‬ ، ‫ﻟُﻪ‬‫ َﻗﻮ‬‫ﺳﺘَﻘَﺮ‬
 ‫ ﺍ‬‫ﻪ‬‫َﻠﻴ‬‫ﻭﻋ‬

، ‫ﻪ‬‫َﻠﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺢٍ ﻧَﺺ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﻴﺖ‬‫ﻗ‬‫َﺗﻮ‬‫ ﻭ‬، َ‫ﺔ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺄْﻧ‬‫ ﺍﻟﻄﱡﻤ‬‫ﻪ‬‫ﻛ‬‫ ﺗَﺮ‬‫ﻠَﺎﻑ‬‫ ِﺑﺨ‬، ‫ ﺍﻟْ َﺄﺛَﺮ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﺧﺘَﻠَﻒ‬ ‫ﺎ ﺍ‬‫ﻴﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﻣْﺜﻠُﻪ‬ ‫ﻪ‬‫ﻮﺟ‬ ‫َﺘ‬‫ ﻭﻳ‬، ِ‫ﻳﺘَﺎﻥ‬‫ﺍ‬‫ﺭِﻭ‬

‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺀ‬‫ﻲ " ﺍﻟْﻤ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﺟﻬ‬ ‫ﺎ ﻭ‬‫ﺨﻨ‬


ُ ‫ﺷﻴ‬
 ‫ﻩ‬‫ﻭﺫَﻛَﺮ‬ ، ‫ﻣ ْﻄﻠَﻘًﺎ‬ ٌ‫ﻭﻝ‬ َ‫ﻣﺘَﺄ‬ ‫ﻴﺪ‬‫ﻳﻌ‬ ‫ﺔٌ ﻟَﺎ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺟ‬‫ﻭﺫَﻛَﺮ‬ ، ‫ﺎ‬‫ﺨﻨ‬
 ‫ﻴ‬‫ ﺷ‬‫ ﻛَﻠَﺎﻡ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻨ‬‫ﻣﻌ‬ ‫ﻭ‬

‫ﺎﻩ‬‫ﺎﻟَﻔْﻨ‬‫ ﺧ‬‫ﺇِﻥ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﻴﺌًﺎ ﻟَﻪ‬‫ ﻗَﺎﻝَ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻒ‬‫ﻨ‬‫ ﻟَﺎ ُﺃﻋ‬: ‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﻗَﺎﻝَ َﺃﺣ‬، ‫ﺧﻠَﺎﻓُﻪ‬ ‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ َﺃﺣ‬‫ ﻧَﺺ‬‫ﺃَﻥ‬‫ " ﻭ‬‫ﺎﺀ‬‫ﺍﻟْﻤ‬

“Pembatal thaharah kecil (wudlu) yang keenam adalah memakan daging unta
menurut pendapat yang paling shahih dari Al-Imam Ahmad dengan menyelisihi 3
imam madzhab lainnya. Dan (masih dari Imam Ahmad) memakan daging unta
akan membatalkan jika pelakunya mengetahui larangannya, pendapat ini dipilih
oleh Al-Khallal dan lainnya. Dan Al-Khallal menyatakan bahwa atas demikianlah
pendapat Ahmad karena samarnya dalil (atas pelakunya, pen). Dan diriwayatkan
dari Ahmad bahwa seseorang tidak perlu mengulangi wudlu orang yang lupa
dalam waktu lama begitu juga orang yang menta’wil hadits (memakan daging
unta). Kemudian Ibnu Muflih menyebutkan perselisihan para ulama madzhab
Hanbali… Imam Ahmad berkata: “Aku tidak akan bersikap keras terhadap
orang yang berpendapat sesuatu yang memiliki arah (dari dalil) meskipun kami
menyelisihinya.” (Al-Furu’: 1/172). Bahkan Imam Ahmad menyatakan:

‫ﻨﺖ‬‫ ْﻘ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻒ‬‫ﻋﻨ‬ ُ‫ﻟَﺎ ﺃ‬

21
“Aku tidak akan bersikap keras terhadap orang yang ber-qunut shubuh
(dengan do’a witir).” (Al-Furu’: 2/323)

Sedangkan Al-Halabi meletakkan ucapan Al-Imam Ahmad di atas pada ikhtilaf


manhaji atau ikhtilaf tadlod.

 Ditanyakan pula kepada Al-Halabi apakah para salafiyyin terutama Syaikh


Ahmad Bazmool dan Syaikh Ubaid bersikap keras kepadanya karena ia berqunut
shubuh, ataukah karena ia tidak mengulangi wudlu karena memakan daging unta,
ataukah karena ia turun sujud mendahulukan tangan sedangkan kebanyakan
ulama Saudi mendahulukan lutut?

 Ditanyakan kepada Al-Halabi apakah pernyataan muwazanah dalam al-jarhu wat


ta’dil, pernyataan adanya sahabat Nabi yang seperti ‘buih’, pernyataan tidak
adanya dalil atas ilmu al-jarh wat ta’dil dan sebagainya termasuk ikhtilaf ijtihad
dan bukan ikhtilaf manhaj?

 Bandingkan ucapan Al-Halabi yang menganggap penisbatan ‘buih’ kepada


sahabat Nabi  sebagai kesalahan pengucapan dengan ucapan Al-Imam Ahmad:

‫ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺴﻮﺀ ﻓﺎﲥﻤﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍ‬‫ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺣﺪﺍ ﻳﺬﻛﺮ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ‬

“Jika kamu melihat seseorang menyebut sahabat Rasulullah shallallahu alaihi


wasallam dengan keburukan maka curigailah keislamannya.” (Aujazul Khithab
fi Bayan Mauqifisy Syi’ah minal Ash-hab: 86). Dan Al-Imam Ahmad tidak
menyatakan: “Aku tidak akan bersikap keras terhadap orang yang berpendapat
sesuatu yang memiliki arah (dari dalil) meskipun kami menyelisihinya.”

 Bandingkan ucapan Al-Halabi yang menganggap ilmu al-jarhu wat ta’dil tidak
memiliki dalil dengan ucapan Al-Imam Ahmad -kepada Abu Turab An-
Nakhsyabi yang menganggap al-jarhu wat ta’dil sebagai ghibah-:

.‫ ﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﻏﻴﺒﺔ‬،‫ﻭﳛﻚ! ﻫﺬﺍ ﻧﺼﻴﺤﺔ‬


“Celaka engkau, ini adalah nasehat, bukan ghibah!” (Al-Ba’itsul Hatsits fi
Ikhtishar Ulumil Hadits: 36). Dan juga ucapan Al-Imam Ahmad kepada Abu
Turab:

‫ﻭﻟﻮﻻ ﺍﳉﺮﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻳﻞ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ‬


“Dan seandainya tidak ada ilmu al-jarhu wat ta’dil maka darimana dapat
diketahui hadits shahih dari yang batil?” (Talbis Iblis: 298). Dan beliau tidak
22
menyatakan: “Aku tidak akan bersikap keras terhadap orang yang berpendapat
sesuatu yang memiliki arah (dari dalil) meskipun kami menyelisihinya.”

Penutup
Sesungguhnya sangat banyak penyimpangan-penyimpangan Al-Halabi. Yang penulis
paparkan di atas adalah contoh saja bukan pembatasan.

Jika kita gunakan kaidah:

‫ﺎِﺑﻪ‬‫ﺳﺒ‬
 َ‫ ﺑِﺄ‬‫ﺎﺭِﻑ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻨﺎً ﻣ‬‫ﻴ‬‫ﻣﺒ‬ ‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ ﺻ‬‫ﺪﻳﻞِ ﺇﻥ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ﺍﻟﱠﺘﻌ‬ ‫ﻡ‬‫ﻘَﺪ‬‫ ﻣ‬‫ﺮﺡ‬ َ‫ﺍﳉ‬‫ﻭ‬

“Jarh (celaan) didahulukan atas ta’dil (pujian) jika keluar secara terperinci dari
seorang yang mengerti sebab-sebabnya.”

Maka celaan dari Syaikh Ahmad Bazmool dan Syaikh Ubaid Al-Jabiri kepada Ali Hasan
Al-Halabi adalah bersifat terperinci dan harus didahulukan daripada pujian para ulama –
seperti Al-Allamah Al-Albani- kepadanya. Sehingga status Al-Halabi sekarang adalah
tercela.

Tulisan di atas adalah juga sebagai pelajaran berharga bagi kita semua (terutama penulis)
bahwa setinggi apapun ilmu ad-dien yang dimiliki seseorang maka tidak menjamin
pemiliknya maksum dan tidak tersesat dari jalan yang lurus.

Tulisan di atas penulis kumpulkan karena penulis juga takut akan fitnah kesesatan yang
menimpa penulis. Di antara sebab istiqamah seseorang adalah ia bersedia membantah
sebuah kesesatan -sesuai keilmuannya- dalam rangka menolong agama Allah . Allah
berfirman:

‫ﻜُﻢ‬‫ﺍﻣ‬‫ ﺃَﻗْﺪ‬‫ﺒﺖ‬َ‫ﻳﺜ‬‫ ﻭ‬‫ﻛُﻢ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﻳﻨ‬ ‫ﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ َﺗﻨ‬‫ﻮﺍ ﺇِﻥ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺎ َﺃﻳ‬‫ﻳ‬

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (sehingga istiqamah).” (QS.
Muhammad: 7).

Akhirnya semoga Allah menjadikan kita semua istiqamah. Amien.

Babat: 8 Rabiul Awwal 1431 H

23
24

You might also like