Professional Documents
Culture Documents
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping
fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial .
Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik
antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam
hal ini munculnya hukum berkaitan
dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak .
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh
masyarakat. Hukum sebagai dewa
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka
yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang
sedang mengalami konflik, seringkali
bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang
tertindas oleh hukum bergerak mencari
keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha
mereka dilakukan tidak melalui jalur
hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan
tanah yang lain, konflik perburuhan
yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan
hukum . Diantara banyaknya
permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat
awam adalah adanya inkonsistensi
penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang
melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga,
maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya).
Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut
tokoh-tokoh masyarakat (pejabat,
orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam
peristiwa yang berskala kecil maupun
besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat
dapat melihat bagaimana suatu
peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta)
tidak berlaku bagi anggota TNI dan
POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas
meski mobil tersebut berpenumpang
kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila
kebetulan penumpangnya berpangkat lebih
tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor
kelas kakap dibebaskan dari dakwaan
karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan
penjara karena adanya bukti nyata.
Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di
bidang hukum. Ketimpangan dan
putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan
dari hari ke hari.
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah
jatuhnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan
pemotretan areal hutan antara
Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus
menjatuhkan hukuman dua tahun
penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status
tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan
rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara
puluhan milyar rupiah, Bob Hasan
yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses
pengadilan pun relatif berjalan dengan
cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia), kasus Texmaco,
dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media
cetak dan elektronik menemukan
ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian
secara administratif ini seakan
dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa
ketidakadilan masyarakat terusik
tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun
terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso,
yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji
untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini
belum terlaksana.
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan
hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun
penjara . Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir
terhadap vonis mahkamah militer
tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba
lainnya yang terjadi di Indonesia yang
didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini
juga memperlihatkan eksklusivitas
hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara
karena kasus manipulasi tukar gling
tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah,
sampai saat ini tidak berhasil ditangkap
dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan
grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling
berkomentar melalui media cetak dan
elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih
berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini
mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September
2000, yang menewaskan tiga orang staf
UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan
keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia
kepada Presiden Abdurrahman Wahid
untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk
mengirim misi penyelidik kasus Atambua
ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan
ancaman embargo oleh Amerika Serikat.
Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan
segera melucuti persenjataan milisi
Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang
dianggap bertanggung jawab.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang
menyangkut pengusaha besar dan kroni
mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena
dakwaan yang lemah.
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya
kasus korupsi dan kolusi yang
melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini
biasanya melibatkan pengacara yang
menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara
yang seharusnya berada di kutub
memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan
keputusan seringan mungkin
dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang
seharusnya berada di kutub yang menjaga
adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim
yang seharusnya berada ditengah-tengah
dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong
membebaskan atau memberikan putusan
seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing
dapat membawa berkah bagi pencari
keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat.
Lembaga asing non pemerintah biasanya
aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus
pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon,
Sambas, dan sebagainya.
Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi
masyarakat. Beberapa perusahaan
asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat
adat setempat, serta sengketa
perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan
dan tekanan terhadap pemerintah
Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka,
tanpa membiarkan hukum untuk
menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman
embargo, penggagalan penanaman
modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk
meningkatkan posisi tawar mereka dalam
proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Daftar Pustaka:
○ Ali, Achmad., Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press, Ujung
Pandang, 1999.
○ Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z.
Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
○ Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat.
Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi
mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau
bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada
yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh
hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang
usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di
daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan
di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya,
perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan
dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat.
Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun
lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi
penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang
menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang
berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya.
Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di
beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas
membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang
dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya
berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap
dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman
tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan
dari hari ke hari.
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis
mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam,
baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti
melalui media cetak dan elektronik.
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan
dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob”
Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan
menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa
ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar
rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses
pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali,
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah
lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan
negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding.
Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari
hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat
mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan
tinggi.
Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak
tahun 1985. Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter
persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam
bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang
perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986.
Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-
Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung,
Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali
memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika
Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding
tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran
yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT
Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah.
Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif,
semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad
tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan
elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang
mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan
pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus
ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik
pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI)
Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi
dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu
sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak
adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang
didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga
memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus
manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar
rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah
pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar
melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih
berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga
bekas pejabat.
4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai
dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB),
surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan
permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke
Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh
Amerika Serikat. Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan
segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi
Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia,
misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami
penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat.
Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan
situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus
kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua.
Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat
melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun.
Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book.
Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi.
Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau
melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah,
tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus
berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin
dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan
upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke
pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan
arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak
demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di
Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum
di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik
dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan
argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak
kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan
penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat
maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat
itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara
yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh
karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut
pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti
bebas karena dakwaan yang lemah.
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia.
Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat
bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan
pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu
merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai
jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif
yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran
kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak
melakukan tindakan pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga
Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon,
Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan
Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan
iselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut
sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan
kebenaran serta sanksi bagi pelaku yangmelanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak
diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang
berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi
dan kolusi yang
melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya
melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi
pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah
menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya.
Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya
kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada
ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong
membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui
kesepakatan tertentu.
Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran
dan penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan
terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan
inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan
putusan pengadilan yang lebih tinggi.
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa
berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat.
Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya
dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.
Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat.
Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh
masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya
untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai
kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk
menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo,
penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya
untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah
hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi
kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum,
menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana
penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur.
Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan
hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak
yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia. penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus
dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam
wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala
bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di
Indonesia.
Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus
tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak
akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran
DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-
undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula
peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya
masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.
Semoga dengan dimuatnya artikel ini pengunjung dapat lebih memahami kondisi penagakan
hukum di Indonesia dan dapat ikut serta memikirkan langkah-langkah strategis dalam menegakkan
hokum dan keadilan. Jadikan panduan hokum dari langit (QS. 4:105) sebagai rujukan agar kita tidak
salah menetapkan keputusan.
Daftar Pustaka:
o Ali, Achmad. Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press, Ujung Pandang, 1999.
o Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia,
Jakarta, 1986.
o Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui
proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu ( Tannabaum, Weschler
dan Nassarik, 1961). Sedangkan menurut Rauch dan Behling (1984) kepemimpinan adalah
suatu proses yang mempengaruhi aktivitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan
bersama.
Kepemimpinan merupakan pokok yang sangat penting di dalam suatu bangsa dan
masyarakat. Krisis yang di alami oleh bangsa Indonesia yang berkepanjangan dan belum ada
jalan keluarnya menyadarkan semua bahwa di perlukan model kepemimpinan baru karena
jika yang lama diteruskan bangsa ini tidak bisa keluar dari krisisnya bahkan akan membawa
bangsa ini terpuruk. Jika tidak ada model yang baru, maka pemimpin yang berperan sebagai
nahkoda bangsa akan terus membawa kapal Indonesia ini berputar tanpa arah.
Kepemimpinan bangsa ini sedang mengalami titik yang terendah sepanjang sejarah, karena
akhirnya semua disadarkan bahwa walaupun bangsa ini sudah ada lebih dari 62 tahun
merdeka dan sudah bergonta-ganti pemimpin dengan segala tipenya, tetapi masalah bangsa
ini semakin berat. Beberapa era sudah di lewati, Era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
satu dekade tampaknya hanya jalan ditempat atau bahkan mengalami kemunduran. Orde baru
bukannya meningkatkan taraf hidup masyarakat, tetapi membawa kesengsaraan mayoritas
warga dan mewariskan bahaya disintegrasi nasional (Kazhim dan Alfian Hamzah, 1999:56).
Walaupun banyak keberhasilan ekonomi dan sosial, Orde Baru akhirnya erat terkait dengan
represi politik yang kejam, korupsi yang mencolok dan nepotisme, serta tiadanya kepastian
hukum dan lemahnya penegakan hukum (Wie, 2005 : ixi).
Menurut Mannulang (2008) persoalan kepemimpinan yang dihadapi bangsa ini adalah karena
model pemimpin yang sudah dibangun dimasyarakat adalah sesuatu yang salah, juga proses
untuk menghasilkan pemimpinpun tidak mendukung untuk menghasilkan produk pemimpin
yang benar. Sementara menurut Laksmono (2008), situasi Indonesia sekarang karena konsep
kita belum terbangun menyiapkan pemimpin, sehingga muncul politisi aktor dadakan. Dan
yang perlu kita kritisi, kesiapan konsep di luar negeri ada konsep kabinet bayangan untuk
menjadi acuan yang mempunyai terobosan. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh partai yang
padahal harus mereka siapkan untuk menjalankan konsep pemerintahan, jika nanti partainya
menang. Akibat belum ada acuan yang kuat dalam kepemimpinan menurut Bambang,
mengakibatkan terjadi koalisi dan kompromi yang sampai hari ini belum menyiapkan konsep
koalisi yang sempurna untuk rakyat.
Di tengah pengap dan gegap gempitanya jeritan ekonomi rakyat yang belum nampak ke arah
perbaikan yang berarti. Lobi-lobi politik di tingkat elite sudah mulai dieratkan seiring isu-isu
politik yang berpengaruh pada dampak kebijakan dan pamor tokoh-tokoh politik dan yang
ditokohkan. Persoalan dalam negeri yang membludak seperti air bah rupanya tidak
menyurutkan langkah beberapa mantan presiden yang sebelumnya telah gagal memimpin
bangsa ini ke arah perbaikan. Miris memang kegagalan memimpin bangsa ini ke arah
perbaikan nasib rakyat di masa lalu bukan menjadi bahan introspeksi dan sadar diri akan
hakekat pemimpin yang sebenarnya ini malah semakin kecanduan. Dengan dalih rakyat
masih mempercayai untuk mencalonkan diri jadi presiden (Mulyani, 2008).
Sikap kesewenang-wenangan terhadap nasib dan harta rakyat telah menjadikan lupa diri
bahwa mereka pengayom rakyat bukan perampok rakyat. Gemerlapan kemewahan telah
menjadikannya lupa pada posisinya sebagai pelayan masyarakat yang dititipi amanah untuk
memperbaiki nasib rakyat yang semakin hancur akibat didera kesulitan hidup yang tiada
henti-hentinya.
Melihat pemimpin bangsa saat ini, cita-cita luhur proklamasi 1945 mungkin hanya akan ada
dalam impian. Pemimpin bangsa telah kehilangan hati dan otak (baca: Intelektual).
Miskinnya hati nurani, terbukti dengan semakin banyaknya kasus-kasus memalukan
dilakukan pejabat yang notabene pemimpin bangsa di semua lini tatanan pemerintahan, mulai
dari pelecehan seksual anggota dewan hingga penyuapan jaksa. Kegagalan bangsa ini lepas
dari permasalahan adalah indikator bahwa para pemimpin tidak punya kapabilitas intelektual
yang cukup. Kebijakan-kebijakan yang mereka ambilpun lebih cenderung pada solusi instant
terhadap permasalahan yang saat itu mereka hadapi, bukan pada penyelesaian masalah secara
komprehensif. Dengan pola pikir pemimpin seperti itu, tidak mengerankan jika pemimpin
lebih memilih menjual asset bangsa dari pada mencari alternatif solusi lain.
Mengatasi Krisis Kepemimpinan Di Indonesia
Atas banyaknya permasalahan kepemimpinan dan permasalahan bangsa yang tidak kunjung
henti, menyebabkan rakyat tidak lagi percaya dengan kepemimpinan di Indonesia saat ini.
Hal ini disebabkan karena moral para pemimpin kita yang rendah. Rakyat tidak butuh
pemimpin yang pintar dan piawai berpidato, berpendidikan tinggi sampai S3, berpangkat
militer tinggi hingga Jenderal tapi kerjanya hanya menipu dan memperdayakan rakyat. Tetapi
rakyat butuh pemimpin yang mendengar tangisan pilu nasibnya dan mengulurkan tangannya
untuk berdiri tegak bersama-sama dalam mengatasi masalah dengan asas kejujuran dan
kepercayaan serta kerendahan dan kesederhanaan. Rakyat butuh pemimpin memikirkan masa
depan anak-anak bangsa. Rakyat butuh pemimpin yang berani mengambil kebijakan untuk
mengkounter harga-harga bahan pokok dan menghilangkan kebijakan pengendalian harga
pada kelompok tertentu, hingga harga kebutuhan pokok dapat terjangkau hingga dapat makan
nasi putih yang hangat dengan sekerat tempe sudah cukup bagi mereka.
Menurut Barry Z. Posner kepemimpinan dan kredibilitas tergantung pada hati, bukan hanya
otak. Kedua hal tersebut seharusnya ada pada setiap pemimpin bangsa ini, punya
intelektualitas yang cerdas dan juga punya hati yang ikhlas untuk memimpin bangsa ini lepas
dari berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Dengan penyatuan dua hal tersebut
tentunya akan mampu membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia menuju kesejakteraan umum, kecerdasan bangsa, dan keadilan sosial sesuai
dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD
1945.
Sri Sultan Hamengku Buwono X (2008) mengungkapkan adanya kebutuhan mendesak
melahirkan kembali kepemimpinan global untuk mengatasi berbagai krisis di dunia,
khususnya Indonesia. Menurut Sri Sultan, kepemimpinan global tersebut harus mampu
mencapai tujuan-tujuan utama global yang dirumuskan dalam "Millennium Developmen
StGoals" (MDGs). "Salah satu yang mendesak disebut dalam MDGs adalah lingkungan
hidup. Disebutkan bahwa lingkungan hidup akan menjadi masalah besar bagi Indonesia
dimasa yang akan datang. Hal itu sesuai hasil survey "Environmental Performance Index
(EPI) 2008 oleh Universitas Yale dan Columbia menyebutkan bahwa Indonesia berada di
urutan ke-102 dari 149 negara berwawasan lingkungan (http://www.antara.co.id).
Masalah lingkungan, tidak pernah berdiri sendiri, karena berkaitan dengan pilihan sistem
ekonomi, politik, sosial, menyangkut HAM dan keadilan pengelolaan sumber daya alam. Jika
melihat tantangan yang begitu besar, barangkali tipe kepemimpinan yang dibutuhkan
Indonesia ke depan adalah tipe yang peduli terhadap lingkunganatau "eco-sexsual".
"Eco-seksual" yang dimaksud adalah budaya tandingan terhadap metroseksual atau individu
yang sadar terhadap penampilan, yang ditopang pola hidup konsumtif. Menurut Sri Sultan
HB X (2008) bahwa calon pemimpin "eco-sexsual" setidaknya harus mempunyai tiga ciri
yakni : Pertama memiliki visi yang jelas tentang pembangunan berwawasan keberlanjutan
ekologi dan bukan hanya berhenti pada pembangunan berkelanjutan. Kedua, tidak pernah
terlibat dalam kegiatan yang merusak lingkungan hidup, mensemponsorinya, atau
mengesahkan peraturan yang merusak lingkungan. Ketiga, tidak menerima dana kampanye
dari perusahaan dan pengusaha yang terlibat dalam kasus lingkungan hidup, atau potensial
menimbulakn kerusakan dan pencemaran.
Sedangkan menurut Laksmono (2008) bahwa akibat belum ada acuan yang kuat dalam
kepemimpinan, mengakibatkan terjadi koalisi dan kompromi yang sampai hari ini belum
menyiapkan konsep koalisi yang sempurna untuk rakyat. Resep yang bisa menjadi solusi bagi
bangsa adalah kepemimpinan yang akan muncul tidak cukup dengan pesona, tapi konsep dan
harus bisa menyemangati masyarakat ikut membangun.
Melihat situasi yang sudah genting, maka di butuhkan keberanian dan terobosan untuk
munculnya pemimpin dengan model baru yaitu pemimpin yang memiki motivasi yang bersih
untuk mengutamakan kepentingan rakyat banyak dan bukan untuk kepentingan yang lain,
untuk hal ini dibutuhkan pemimpin yang bersih dari hutang politik dan hutang janji kepada
kelompok manapun. Dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi yang jelas untuk memberi
arah penyelesaian dari krisis berkepanjangan dan mempercepat mengejar ketertinggalan dari
bangsa-bangsa lain yang di buat dalam program jangka pendek, menengah dan panjang
dengan kriteria keberhasilan yang dapat diukur. Pemimpin yang berani untuk mengubah
paradigma mengemis minta bantuan dari bangsa lain dengan paradigma mempercayai bahwa
bangsa dengan segala potensinya mampu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa atau
bersama bantuan dari bangsa lain. Kalaupun ada perjanjian dengan bangsa lain harus sebesar-
besarnya untuk kepentingan rakyat banyak, jika tidak perjanjian itu harus dievaluasi bahkan
dibatalkan.
Proses melahirkan kepemimpinan yang ada harus dibaharui, karena yang ada sekarang hanya
menghasilkan pemimpin yang penuh dengan hutang politik dan balas budi kepada orang dan
kelompok tertentu, ini harus dihentikan. Cara berpikir dan cara mengelola negara ala
Soeharto harus segera diakhiri. Soeharto dulu berperilaku seperti raja Jawa yang melibatkan
seluruh wilayah negara sebagi kerajaannya dan setiap provinsi bukan saja harus membayar
upeti ke pemerintah pusat, tetapi juga harus tunduk dan taat kepada kehendak dan otoritas
sentral. Akibat manajemen Soeharto itu, kini kita harus memikul akibat yang membawa
rawan perpecahan (Kazhim dan Alfian Hamzah, 1999:83).
Adanya pelatihan-pelatihan kepemimpinan di kampus-kampus harus tetap ditingkatkan agar
terjadi regenerasi kepemimpinan yang dinamis dan berkesinambungan. Dan sebagai upaya
untuk membentuk kader-kader bangsa yang tangguh, berkepribadian dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Mahasiswa sebagai agen of change harus benar-benar sadar atas apa
yang telah mereka sandang selama ini, mereka tidak hanya berpangku tangan saja atas apa
yang sedang terjadi di negara ini. Tetapi ikut memikirkan bagaimana nasib bangsa ini
kedepan, bagaiman memajukan bangsa ini agar terbebas dari berbagai permasalahan bangsa
yang semakin hari semakin sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian.1999. 5 Partai Dalam Timbangan: Analisis dan Prospek.
Bandung: Pustaka Hidayah
Laksmono, Shergi, Bambang. 2008. Atasi Krisis Kepemimpinan, DPD Sarankan Kontrak
Politik. Dalam http://rakyatriau.com/index.php?option=uon-
conten&task=viev&id=1414&itemin=33 (Diunduh pada 12/11/2008)
Manullang, Rachmat T. 2008. Krisis Bangsa dan Kepemimpinan. Koran Mitra Bangsa : Edisi
33 tahun II 1207
Mulyani, Neni. 2008. Sosok Pemimpin Indonesia Mendatang. Dalam http://suara pembaca-
detik.com./read/2008/06/23/070651/960587/471/indonesia-krisis-pemimpin-muda (Diunduh
pada 12/11/2008)
Sri Sultan Hamengku Buwono X. 2008. Kepemimpinan Global Atasi Krisis Di Indonesia.
Dalam http://www.antara.co.id (Diunduh pada 12/11/2008)
Wie, Thee Kian. 2005. Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950 sampai 1990-an. Jakarta.
Kompas Media Nusantara
1 komentar:
David Pangemanan mengatakan...
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
UPS : Yang selalu menjadi problim adalah di aparat penegak hukum itu
sendiri.
Untuk menghentikan itu, tidak hanya komitmen tapi juga diperlukan
keberanian
untuk menindak aparat penegak hukum. Kita sudah punya KPK Komisi
Pemberantasan
Korupsi. KPK juga sudah melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan
untuk kasus korupsi peradilan. Contohnya adalah kasus Abdullah Puteh (red:
mantan gubernur Aceh). Ia mencoba menyuap hakim di pengadilan tinggi dan
panitera. Dan akhirnya pengacara Abdullah Puteh ditangkap.
KPK jangan berhenti di kasus Abdullah Puteh saja. Masih banyak kasus
korupsi
peradilan di Mahkamah Agung yang belum terungkap oleh KPK. Itu harus
dibongkar.
Dan itu butuh dukungan dari pemerintah. Presiden SBY harus melakukan upaya
untuk mendukung itu.
RN : Ada semacam pesimisme bahwa pemerintahan presiden SBY atau upaya-upaya
yang dilakukan atau akan ditempuh SBY dilakatan sebagai "misi impossible"
yang
tidak mungkin.
UPS : Itu kita akui. Ada yang sangat impossible (red: tidak mungkin) karena
buruknya aparat penegak hukum. Hal itu sangat mengakar.
RN : Di luar negeri kasus Munir disebut merupakan ujian yang berat bagi
pemerintahan SBY, untuk menegakan kembali hukum di Indonesia.
UPS : yang menjadi concern (red: perhatian) saya adalah mengenai aktor
utamanya. Siapa yang sebenarnya memerintahkan untuk membunuh Munir, belum
terungkap. (Pilot Garuda Indonesia) Polykarpus dan pramugari hanyalah orang
lapangan. Saya melihat bahwa memang Munir menjadi test-case (red: batu
ujian)
karena Munir tidak hanya penting untuk Indonesia tetapi juga bagi dunia
internasional. Munir seorang pejuang HAM. Dia punya kredibilitas
internasional,
jadi SBY dan jajaranya harus sungguh-sungguh mengusut kasus ini tidak hanya
sekedar untuk memuaskan masyarakat tetapi juga harus mengusut sampai
membawa
aktor intelektualnya ke pengadilan.
***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:
--------------------------------------------------------------------------
Bagi Anda yang ingin berdiskusi tentang apa saja dg akrab, santai tapi
serius
dan penuh persahabatan dg seluruh masyarakat/mahasiswa Indonesia di luar
negeri
serta tokoh-tokoh intelektual dan pejabat Tanah Air, silahkan bergabung dg
milis ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxxx Kirim email kosong ke:
ppiindia-subscribe@xxxxxxxxxxxxxxx atau kunjungi
Situs resmi: http://www.ppi-india.org ;
Situs milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ;
Situs beasiswa/scholarship: http://informasi-beasiswa.blogspot.com
Pada upacara Wisuda Program Doktor, Magister dan Spesialis yang berlangsung
Sabtu pagi (04/02) di Balairung Kampus UI Depok, dilakukan pula orasi ilmiah,
yang disampaikan Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D, memperingati Dies
Natalis ke-56 UI. Berikut ini adalah ringkasan teks pidato ilmiah tersebut, yang
berjudul: “Penegakan Hukum Dalam Kajian Law and Development: Problem dan
Fundamen Bagi Solusi di Indonesia. Yang terhormat
Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Wali Amanat
Rektor dan para Wakil Rektor
Ketua, Sekretaris dan para sejawat Anggota Senat Akademik Universitas
Ketua, Sekretaris dan para sejawat Anggota Dewan Guru Besar Universitas
Para Rekan Dekan dan Wakil Dekan
Para Staf Pengajar, Mahasiswa dan Karyawan di lingkungan Universitas Indonesia
Para hadirin dan hadirat sekalian yang saya muliakan,
Dalam kesempatan ini perlu kita mengingat bahwa nama besar UI akan sangat
bergantung pada kiprah dan prestasi yang dicetak oleh para alumni di
masyarakat. Oleh karena itu, “kualitas lulusan” bagi UI bukan sesuatu yang
dapat ditawar. Kualitas dengan standar internasional harus dimiliki alumni UI
meskipun bekerja di Indonesia mengingat para skilled workers mancanegara
telah banyak yang bekerja di Indonesia. Bila tidak memiliki standar internasional
maka para alumni UI harus siap tergilas di negeri sendiri dalam persaingan
global.
Disamping itu, nama besar UI akan bergantung pada kiprah dan prestasi para
mahasiswa, pengajar dan penelitinya. Sementara manajemen serta pegawai
administratif memiliki tugas untuk menciptakan suasana dan iklim kondusif bagi
kegiatan akademis. Demikian pula infrastruktur dibangun untuk memfasilitasi
suasana akademis.
Dalam peringatan Dies Natalis kali ini, saya dan civitas akademika fakultas
hukum merasa memperoleh suatu kehormatan karena diangkat topik yang
terkait dengan masalah hukum. Terakhir masalah hukum diangkat adalah pada
saat peringatan Emas UI, 6 tahun yang lalu. Namun rasa tersanjung tiba-tiba
berubah menjadi perasaan berat meskipun menjadi tantangan tersendiri karena
topik yang diangkat adalah penegakan hukum di Indonesia.
Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah
dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis,
mencemooh dan dalam keadaan tertentu kerap melakuan proses pengadilan
jalanan. Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan, “mengapa hukum sulit
ditegakkan?” Bahkan lebih sarkastis masyarakat bertanya “apakah hukum di
Indonesia sudah mati?”
Namun kondisi ini lambat laun berubah. Pemerintahan dari banyak Negara Barat,
mendorong, bahkan menekan, agar pemerintahan Negara Berkembang
memperhatikan keberadaan dan fungsi hukum yang dikenal di negara mereka.
Awalnya pemerintah Amerika Serikat sangat agresif dalam upaya ini. Tidak
heran bila ada yang mengatakan, ”... the term Law and Development was first
applied to the efforts to modernize newly independent states in Africa, Latin
America, and Asia. These efforts were centered around efforts to export
American-style law and legal institutions to these states on theory that such laws
and legal institutions were central to economic development.” Kajian Law and
Development tumbuh secara pesat di Amerika Serikat pada tahun 1970an.
Hanya saja banyak ahli Law and Development pada saat itu melupakan
hubungan antara hukum dan masyarakat dengan mengasumsikan bahwa sistem
hukum Amerika dapat di-ekspor secara telanjang ke Negara Berkembang.
Disinilah kegagalan mulai dirasakan dan para ahli mendapat kritikan.
Berbagai studi sebagai hasil penelitian telah dipublikasikan. Salah satu yang
menarik adalah studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank atas 6
negara Asia sehubungan dengan peran dari hukum dan institusi hukum pada
pembangunan ekonomi. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa, ”Law and
legal institutions in Asia changed in response to economic policies. When
economic policies were introduced…, the law and its role in Asian economic
development became increasingly similar to the West. Not only substantive laws,
but also legal process and institutions responded to these changes ...”
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan
menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat
lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah
mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh
aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat
mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.
Ilustrasi sederhana dapat dilihat dalam sikap pengendara terhadap lampu lalu
lintas di jalan raya pada saat jam menunjukkan pukul satu pagi. Bila lampu lalu
lintas menyala merah dan pengendara berhenti maka pengendara tersebut
dikategorikan sebagai taat pada hukum. Namun, bila pengendara tersebut tidak
berhenti meskipun ia tahu tidak ada ancaman apapun maka pengendara
tersebut dikategorikan sebagai takut pada hukum.
Dikategorikan sebagai takut pada hukum karena si pengendara tahu di pagi buta
tidak akan ada polisi lalu lintas yang akan menegakkan aturan, paling tidak
kekhawatiran akan ’denda damai’. Bagi pengendara yang takut dengan hukum,
lampu lalu lintas dipersepsikan sebagai bukan hukum, melainkan sekedar benda
mati.
Realitas saat ini, penegakan hukum berfungsi dan difungsikan sebagai instrumen
untuk membuat masyarakat takut pada hukum yang pada gilirannya diharapkan
menjadi tunduk pada hukum.
Problem dalam penegakan hukum yang dihadapi oleh Indonesia perlu untuk
dipotret dan dipetakan. Berikut adalah sejumlah problem penegakan hukum
yang dihadapi.
Problem berikut adalah penegakan hukum telah menjadi komoditas politik. Pada
masa pemerintahan Soeharto penegakan hukum sebagai komoditas politik
sangat merajalela. Penegakan hukum bisa diatur karena kekuasaan
menghendaki. Aparat penegak hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan
diintervensi dalam menegakkan hukum.
Penegakan hukum seolah hanya berpihak pada si kaya tetapi tidak pada si
miskin. Bahkan hukum berpihak pada mereka yang memiliki jabatan dan koneksi
dari para pejabat hukum atau akses terhadap keadilan.
Ini semua karena mentalitas aparat penegak hukum yang lebih melihat
kedudukan seseorang di masyarakat daripada apa yang diperbuat.
Penghasilan profesi hakim dan jaksa ketika itu sangat baik bila dibandingkan
dengan advokat. Namun pada tahun 1970-an, dunia keadvokatan mengalami
perubahan yang sangat mendasar. Kompensasi yang didapat sebagai advokat
jauh melebihi hakim dan jaksa.
Bila sektor publik gagal menarik para individu yang memiliki ilmu dan integritas
maka penegakan hukum akan terus lemah dan akan terus terlanggengkan
peranan uang dalam penegakan hukum.
Dunia advokat pun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum. Dalam dunia
advokat dapat dibedakan antara advokat yang tahu hukum dan advokat yang
tahu hakim, jaksa, polisi, pendeknya advokat yang tahu koneksi.
Lebih menyedihkan lagi para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
harus menggunakan peraturan perundang-undangan yang mereka beli sendiri.
Perpustakaan di kebanyakan pengadilan sangat miskin literatur sehingga tidak
mungkin dijadikan rujukan untuk membuat putusan.
Ekses dari penegakan hukum yang dipicu oleh pers dapat berakibat fatal. Aparat
penegak hukum berada dalam kondisi panik dan pihak-pihak yang tidak
seharusnya menghadapi proses hukum bisa dijadikan pesakitan.
Banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Sebagian telah diakomodasi
sebagai kebijakan oleh pemerintah. Hanya saja solusi yang diberikan terkadang
tidak komprehensif, hanya memadai untuk sesaat, tidak terlalu memperhatikan
konsekuensi ikutan, sekedar untuk memenuhi suatu kebutuhan, bahkan diadopsi
agar pemerintah mendapat dukungan publik.
Pada kesempatan ini yang hendak disampaikan adalah dasar atau fundamen
bagi sejumlah solusi yang lebih kongkrit.
Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam
posisi dapat menerima berbagai problem penegakan hukum. Pengambil
kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal berbagai problem yang
ada karena penyangkalan sama saja menjadikan apapun solusi menjadi tidak
relevan.
Fundamen berikut adalah problem yang dihadapi harus diakui dan diterima oleh
komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat
diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum.
Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and
Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan.
Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi harus memiliki
pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial.
Akhirnya perkenankanlah saya menghimbau agar kita semua yang hadir disini
untuk memulai hal terkecil demi tegaknya hukum di Indonesia. Para alumni dan
handai taulannya, dosen, mahasiswa, karyawan dan penyelenggara di UI baik di
Rektorat maupun Fakultas untuk senantiasa berorientasi pada aturan dan
hukum. Mudah-mudahan manusia UI dapat menjadi contoh bagi masyarakat
untuk tunduk pada hukum karena taat dan bukan takut.
Disamping itu, kita semua berharap UI di usianya yang semakin dewasa, dapat
menyumbangkan berbagai pemikiran sebagai program kongkrit pembenahan
penegakan hukum karena UI memiliki berbagai disiplin ilmu yang relevan. Saat
ini yang diperlukan adalah interaksi para warga UI untuk bertemu dan berdiskusi
secara informal. Satu kuncinya, UI melakukan ini bukan sebagai proyek untuk
dikomersialkan, tetapi sebagai tanggung jawab moral UI kepada bangsa.
Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh
Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih
berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik
hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu
ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini
tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang
bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka
panjang.
Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang
mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang
telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap
berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003
dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti
UU No.25 tahun 1997.
Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat
lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja
dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut
diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.
Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha.
Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan
itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-
undang.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di
tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah
menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya
ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law
Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah
untuk diharapkan”.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya
korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum
hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir
maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.
Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai
pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa
diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain
yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak
kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” Sindiran yang
sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang
baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti
akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam
masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk
sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika
sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan
proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia
peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada
kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.
Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung
abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan
hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa
dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang
korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan
dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan
membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan
Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga
adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang
perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut
kekuasaan !
suster keramas antara pro dan kontra
Posted by opiq on 28 January, 2010
No comments yet
This item was filled under [ Uncategorized ]
Sudah ditayangkan beberapa minggu, film SUSTER KERAMAS masih juga menuai kecaman.
Kali ini kontra datang dari sejumlah orang yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa
Keperawatan Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka berkumpul dan berunjuk rasa di Makassar,
Jumat, menolak film yang dibintangi bintang porno asal Jepang, Rin Sakuragi.
Mereka mendesak DPR segera merekomendasikan pencabutan izin edar film tersebut karena
dinilai menampilkan adegan porno yang sangat mendiskreditkan profesi perawat. Sekitar 100
perawat dari berbagai perguruan tinggi di Makassar di hadapan anggota DPRD Sulsel
meminta ketegasan agar film tersebut ditarik dari peredaran.
Mereka juga meminta kepada Maxima Production yang memproduksi film ini menarik
filmnya dan segera meminta maaf kepada publik, khususnya kepada lembaga profesi
keperawatan yang merasa dilecehkan.
kasus century tak knjung usai
Posted by opiq on 28 January, 2010
No comments yet
This item was filled under [ Uncategorized ]
Wakil Ketua Pansus Bank Century DPR-RI Gayus Lumbuun menyatakan, pihaknya tidak
akan membuat kesimpulan sementara terkait dengan keterangan yang telah dikumpulkan dari
sejumlah saksi.
“Kami tidak akan melakukan kesimpulan sementara dari hasil yang telah dikumpulkan
tersebut. Bahkan masukan dari staf ahli akan dijadikan untuk membuat konstruksi pendapat,”
kata Gayus Lumbuun di Denpasar, Rabu malam.
Di sela menyaksikan pertandingan kejuaraan tinju internasional WBO Asia Pasifik antara
Tommy Seran dengan Liempetc Sor Veorapol dari Thailand itu, ia mengatakan, mulai Kamis
(28/1) akan bertemu dengan pimpinan lembaga negara, antara lain dengan Mahkamah
Agung.
Tujuan bertemu dengan pimpinan lembaga tersebut, kata Gayus, untuk mendengar masukan
dan saran yang akan dijadikan rekomendasi pada sidang paripurna yang rencananya
dilakukan hari Jumat (29/1).
“Masukan dan saran dari pimpinan lembaga negara itu kita akan bahas dalam sidang
paripurna, yang selanjutnya dijadikan rekomendasi,” katanya.
Sebelumnya Gayus Lumbuun di Jakarta mengatakan, Pansus Century juga akan
memperingatkan Ketua DPR karena tidak segera menggelar rapat konsultasi dengan
Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rapat konsultasi dengan MA dan KPK tersebut diminta Pansus Century untuk mempertajam
temuan Pansus Century, katanya. (ant/cax)
peradilan dan hukum
Posted by opiq on 28 January, 2010
No comments yet
This item was filled under [ Uncategorized ]
Pangkalpinang – Salah seorang praktisi hukum di Provinsi Bangka Belitung (Babel), Darmo
Sutomo, mengatakan para pengacara harus bekerja secara profesional, jangan menjadi
“makelar hukum”.
“Saya selalu mewanti-wanti kepada anggota advokasi yang notabenenya adalah pengacara
untuk bekerja secara profesional, jangan menjadi makelar hukum,” katanya di
Pangkalpinang, Selasa (24/11).
Hal itu dikemukakannya sehubungan dengan komitmen Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya yang berkomitmen memberantas mafia peradilan
(hukum) di negeri ini.
“Hukum di negeri ini memang masih lemah sehingga harus ditegakkan dengan memberantas
mafia peradilan,” ujarnya.
Darmo Sutomo yang juga menjabat sebagai Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Babel,
mengakui, mafia peradilan cukup marak di provinsi itu namun belum terungkap ke
permukaan.
“Ini tugas bersama untuk memberantas mafia hukum demi tegaknya keadilan di negeri ini,
kita berantas mafia hukum hingga ke akar-akarnya dan kami pengacara di daerah mendukung
penuh komitmen SBY mereformasi hukum,” ujarnya.
Langkah awal sebagai pembuktian penegakan supremasi dan reformasi hukum di negeri ini
menurut dia dengan menyelesaikan secara tuntas kasus Anggodo yang hingga sekarang
penyelesaian hukumnya ditunggu oleh rakyat.
“Saya mengharapkan dukungan berbagai pihak dalam memberantas mafia hukum di Babel,
baik dari LSM dan para pekerja pers untuk melaporkan kasus yang terkait dengan mafia
peradilan,” ujarnya.
Darmo Sutomo juga merasa prihatin dengan adanya praktek mafia peradilan yang bisa
memperjual belikan hukum sehingga menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat
terhadap hukum itu sendiri.
“Demokrasi di negeri ini sudah berjalan dengan baik, namun harus diakui secara jujur
penegakan hukum masih lemah sehingga perlu reformasi hukum yang salah satunya adalah
memberantas mafia peradilan,” ujarnya.
makelar hukum
Posted by opiq on 28 January, 2010
No comments yet
This item was filled under [ Uncategorized ]
jual beli tak hanya di pasar…jual beli keadilan pun ada di meja hijau, yang smpae skrang pun
masih beroprasi di indonesia sampai sekarang…..