You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia sering mengabaikan tentang
kelogisan dalam berpikir atau berbicara di depan khalayak umum. Kebanyakan orang
tertentu menganggap bahwa kelogisan adalah suatu hal yang rumit dan sulit untuk
dipelajari, mereka menginginkan suatu hal yang mudah dan praktis. Sehingga ketika
mereka diberikan suatu pernyataan tentang silogisme, terkadang mereka tidak
memeperhatikan aturan-aturan dalam silogisme, bentuk-bentuk silogisme, dan
pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan kesalahan. Sehingga dalam membuat
sebuah pernyataan, terkadang seseorang tidak memperhatikan aturan-aturan dalam
sebuah silogisme. Khususnya dalam dalam membuat suatu pernyataan silogisme
kategoris, seseorang sering tidak memperhatikan aturan-aturan dalam pembuatannya,
sehingga kebenaran dari pernyataan dari silogisme kategoris tersebut tidak dapat
terbukti atau terjamin dan pernyataan silogisme tersebut akan menghasilkan suatu
kesimpulan yang salah. Oleh karena itu manusia perlu mengetahui aturan-aturan
dalam membuat pernyataan silogisme kategoris dan bentuk-bentuk dari silogisme.

Dalam kesempatan kali ini kami membawakan tema “aturan-aturan silogisme


kategoris dan pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan kesalahan serta bentuk-
bentuk silogisme”. Tema ini mungkin terkesan terlalu umum jika dilihat, namun
mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat, khususnya bagi para pelajar dan
juga mahasiswa dalam membuat suatu pernyataan tentang silogisme atau logis. Tentu
hal ini sangatlah menjadi perhatian masyarakat dalam berpikir.

Silogisme kategoris merupakan suatu pernyataan yang terdiri dari tiga proposisi.
Dua proposisi pertama sebagai premis, dan proposisi ketiga sebagai kesimpulan. Jadi
silogisme kategoris merupakan perbincangan deduktif yang digunakan untuk
memperoleh kesimpulan yang benar dari kedua premis pertama. Dalam pembuatan
pernyataan sebuah silogisme kategoris perlu memperhatikan aturan-aturan dalam
penyusunannya, karena bila tidak benar dalam penyusunannya, tidak memperhatikan
aturan-aturan tersebut, maka kesimpulan dari pernyataan silogisme kategoris akan
bernilai salah. Di samping itu perlu diketahui bentuk-bentuk silogisme itu sendiri serta
pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan kesalahan karena dengan mengetahui
bentuk-bentuk silogisme dan pelanggaran yang menimbulkan kesalahan tersebut
maka kita akan cenderung berhati-hati dalam membuat suatu pernyataan tentang
silogisme. Sehingga kesimpulan yang kita buat akan bernilai benar.

BAB II
PERMASALAHAN

Permasalahan yang ada dari tema yang kami bawakan adalah :


• Bagaimana cara memperoleh kesimpulan yang benar dalam membuat
pernyataan silogisme kategoris?
• Apa penyebab pelanggaran-pelanggaran sehingga terjadinya kesalahan-
kesalahan?
• Bagaimanakah bentuk-bentuk dari silogisme tersebut?

Tujuan kami membawakan tema ini adalah :


• Untuk dapat mengetahui aturan-aturan silogisme kategoris.
• Untuk mengetahui penyebab pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan
kesalahan.
• Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk dari silogisme.

Manfaat dari tema yang kami bawakan adalah :


• Meningkatkan kemampuan kita dalam berpikir secara logis.
• Untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam membuat pernyataan
silogisme kategoris.
• Memperoleh pedoman dalam memberikan pelanggaran-pelanggaran terhadap
tindakan tertentu.
• Mendapatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk silogisme.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Silogisme

Silogisme adalah penarikan konklusi secara deduktif tidak langsung yang


konklusinya ditarik dari premis yang disediakan sekaligus.

Hal yang paling penting yakni bahwa silogisme dan bentuk-bentuk inferensi yang
lain, persoalan kebenaran serta ketidakbenaran pada premis-premis tidak pernah
timbul. Hal itu disebabkan oleh premis-premis selalu diambil yang benar.
Akibatnya, konklusi sudah dilngkapi oleh hal-hal yang benar. Dengan perkataan
lain, silogisme hanya mempersoalkan kebenaran formal (kebenaran bentuk) dan
tidak lagi mempersoalkan kebenaran material (kebenaran isi). Silogisme inilah
sebenarnya inti dari logika.

B. Struktur Silogisme

Sebuah silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu dua proposisi yang disajikan dan
sebuah proposisi yang ditariknya. Proposisi yang disajikan dinamai premis mayor
dan premis minor, sedangkan kesimpulannya dinamai konklusi. Setiap proposisi
terdiri atas dua term. Oleh karena itu, silogisme harus mempunyai enam term.
Sebenarnya, silogisme hanya memiliki tiga term, karena untuk masing-masing
dinyatakan dua kali. P konklusi disebut term mayor, sedang S-nya disebut term
minor, dan term yang sama-sama terdapat pada kedua proposisi disebut term
pnengah. Term penengah ini merupakan factor terpenting dalam silogisme, karena
penyebab kedua premis dapat saling berhubungan sehingga menghasilkan konklusi.
Dengan perkataan lain, term penengah menetapkan hubungan term mayor dengan
term monir.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam silogisme yaitu:

(1) Premis mayor disajikan terlebih dahulu, lalu diikuti premis minor;
(2) term penengah dilambangkan oleh M;
(3) term mayor dilambangkan oleh P; dan
(4) term minor dilambangkan oleh S.

C. Pembagian Silogisme

Secara garis, silogisme dapat dibedakan atas dua macam yatu silogisme murni dan
silogisme campuran, silogisme mempunyai hubungan yang sama pada
proposisinya. Kebalikanya, silogisme campuran memiliki hubungan yang berbeda
pada proposisinya.

Silogisme murni dapat dibedakan lagi atas:


(1) silogisme murni kategoris (semua proposisi pembentuknya kategoris)
(2) silogisme murni hipotesis (semua proposisi pembentuknya hipotesis), dan
(3) silogisme murni disjunktif (semua proposisi pembentuknya desjunktif).

Silogisme campuran dibedakan atas:

1. Silogisme campuran hipotesis kategori (premis mayor hipotesis, premis


minor kategori dan konklusinya kategoris)
2. Silogisme campuran kategoris disjunktif (premis mayor disjunktif, permis
minor kategoris, konklusinya kategoris), dan
3. Silogisme campuran dilema (premis mayornya hipotesis, premis minor
disjunktif, dan konklusinya kategoris atau disjunktif).

D. Prinsip Dasar Silogisme

Ada dua prinsip dasar dalam silogisme.

(1) Terdapat dua buah term, keduanya mempunyai hubungan dengan term lain,
maka kedua term itu satu sama lainnya memiliki hubungan pula (A = C; B = C; ...
A = C).
Contohnya : Pak Budi adalah ayah Anto
Pak Budi adalah guru SD
Jadi, ayah Anto adalah guru SD

(2) Terdapat dua buah term, satu di antaranya mempunyai hubungan dengan
sebuah term ketiga, sedangkan term yang satu lagi tidak, maka kedua term itu tidak
mempunyai hubungan satu sama lain (A = C; B = C; ... A = B).

Contoh : Ani bukanlah putri Pak Ano


Puteri Pak Ano sngatlah cantik
Jadi, Ani tidaklah cantik

E. Bentuk Silogisme

Aristoteles mengemukakan tiga bntuk silogisme (bentuk I, II dan III), Galen


menambahkannya lagi satu bentuk (bentuk IV). Bentuk silogisme ditentukan oleh
kedudukan term menengah dalam hubungannya dengan term-term yang terdapat
pada premis-premis. Ada empat kemungkinan kedudukan term menengah dalam
dua buah premis, oleh karenanya terdapat pula empat bentuk silogisme.

Bentuk I : Dalam bentuk I, term penengah adalah S premis mayor dan P premis
minor.

Semua manusia akan mati MP


Socrates adalah manusia. SM
Jadi, Socrates akan mati SP

Bentuk II : Dalam bentuk II, term penengah P dari kedua premisnya

Semua manusia bijaksana PM


Semua hewan tidak berotak SM
Semua hewan bukan manusia SP
Bentuk III : Dalam bentuk III, term penengah adalah S dari kedua premisnya

Manusia adalah berbudaya MP


Manusia itu juga berakal budi MS
Jadi, semua yang berakal budi juga berbudaya SP
Bentuk IV: Dalam bentuk IV, term penengah adalah P dari premis mayor dan S
dari premis minor

Semua dosen menulis PM


Semua yang menulis pandai MS
Sebagian yang pandai adalah dosen SP

F. Aturan-aturan Umum Silogisme Kategoris dan Pelanggaran yang


Menimbulkan Kesalahannya.

Aturan I : Tiap-tiap silogisme pastilah terdiri atas tiga term.

Aturan itu berguna untuk menentukan cara penarikan konklusi dalam bentuk
silogisme atau bukan. Suatu bentuk silogisme harus mempunyai tiga term yaitu
term mayor, term minor dan term penengah yang masing-masingnya disebut dua
kali. Pelanggaran terhadap aturan ini akan berdampak kesalahan adanya empat
buah term atau kesalahan pembolakbalikan (fallacy of equivocation). Contohnya
pada:

(1) Semua manusia pasti mati


Semua monyet adalah binatang

Jelaslah bahwa dari dua premis di atas, tidak terdapat konklusi yang dapat diambil.

(2) Kaki saya menyentuh sofa


Sofa menyentuh lantai.
Kaki saya menyentuh lantai.
Dalam contoh (2) terdapat empat butir term yaitu kaki saya, menyentuh sofa, sofa
dan menyentuh lantai. Karena itu, tidak ada konklusi yang dapat ditarik.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat menarik kenyataan bahwa term yang
dipakai dalam silogisme tidak boleh ada yang bermakna ganda (ambigu). Jika salah
satu term bermakna ganda, maka kita akan membuat kesalahan equivocation. Kata-
kata yang dimiliki makna ganda merupakan beberapa term sesuai dengan jumlah
makna yang terkandung di dalamnya. Jika term mayor bermakna ganda, kesalahan
akan menjadi bermakna ganda mayor. Jika term minor atau term penengah yang
bermakna ganda, maka kesalahan akan menjadi bermakna ganda minor atau
bermakna ganda penengah.
Berikut ini merupakan contoh kesalahan argumen dan pemakaian term yang
bermakna ganda.

Bermakna ganda mayor

No courageous creature flies

The eagle is a courageous creature

The eagle does not fly

Dalam contoh pertama term mayor terbang (flies) dipakai dengan makna ganda.
Dalam premis mayor artinya ‘hilang dari perasaan’ . Dalam konklusi artinya
‘terbang di udara’

Bermakna ganda minor

No man is made of paper

All pages are me

No pages are made of paper


Pada contoh diatas term nimor pages dipergunakan dengan arti yang tidak sama.
Pada premis artinya ‘pelayan’. Sedangkan dalam konklusi artinya ‘halaman buku.’

Bermakna ganda penengah

- Semua perbuatan kriminal harus dihukum dengan undang-undang

Pendakwan terhadap pencuri adalah perbuatan criminal.

Pendakwaan terhadap pencurian harus dihukum dengan undang-undang.

Perbuatan kriminal dalam premis mayor artinya ‘kejahatan’ dan dalam premis
minor artinya ‘perkara kriminal’.

Aturan II : Silogisme mestilah terdiri dari hanya tiga proposisi

Aturan II, sama halnya dengan aturan I yakni hanaya untuk membedakan silogisme
dari bentuk-bentuk penarikan konklusi tidak langsung lainnya. Aturan ini
sebenarnya telah dinyatakan dalam definisi silogisme oleh karena itu, tidak ada
yang harus dibahas lagi.

Aturan III: Term penengah mestilah tersebar dalam premis, paling kurang satu kali.

Karena term penengah menyebabkan term mayor dan term minor mempunyai
hubungan, maka ia mestilah tersebar dalam salah satu premis, paling kurang satu
kali. Jika term penengah itu tak tersebar, jelas tidak akan terdapat hubungan antara
kedua premis itu dan karena itu konklusi tidak akan dapat ditetapkan. Oleh karena
itu, jika sebagian term penengah berhubungan dengan term mayor, dan sebagian
lainnya berhubungan dengan term minor, maka tidak ada konklusi yang dapat
diambil. Misalnya dari dua proposisi di bawah ini tidak ada koklusi yang dapat
diambil.
Semua manusia pasti mati

Semua anjing pasti mati

Kesalahan yang terjadi akibat tidak mengikuti aturan III ini disebut kesalahan
penengah yang tidak tersebar (the fallacy of undistributed middle). Berikut ini
contoh kesalahannya.

Sebagian manusia pasti adalah guru

Semua binatang yang padai melacak pencuri adalah manusia.

Semua binatang yang pandai melacak pencuri adalah guru.

Aturan IV: Tak satu pun yang dapat tersebar dalam konklusi bila tak tersebar dalam
premis.

Oleh karena silogisme adalah bentuk penarikan konklusi secara deduktif, maka
konklusi tidak dapat lebih umum dari premis-premisnya. Itulah sebabnya term yang
tidak diambil dari keseluruhan denotasi, yaitu term yang tidak tersebar dalam
premis, tidak dapat pula tersebar dalam denotasi konklusi. Pelanggaran terhadap
aturan ini menimbulkan kesalahan proses yang tidak sah (the fallacy of elicit
process). Jika term mayor tersebar dalam konklusi tanpa tersebar dalam premis,
kesalahan disebut elicit mayor, dan jika term minor tersebar dalam koklusi tanpa
tersebar dalam premis kesalahan disebut illicit minor, misalnya:

Illicit mayor

Semua lembua adalah binatang berkaki empat.

Tidak seekor pun anjing adalah embu


Tidak seekor pun anjung adalah binatang berkaki empat.

Argumen di atas ini mempunyai kesalahan illicit mayor, karena term binatang
berkaki empat tersebar dalam konklusi sedangkan dalam premis ia tidak tersebar.

Illicit minor

Tidak seorang pun manusia adalah sempurna

Semua manusia adalah binatang

Tidak seekor pu binatang adalah sempurna.

Argument ini mempunyai kealahan illicit minor, karena term binatang tersebar
dalm konklusi, sedangkan dalam prenmis tidak tersebar.

Aturan V: Dari dua premis negatif tidak ada konklusi yang dapat diambil

Proposisi negative menyatakan bahwa P menyangkal (negasi) S, yaitu tak ada


hubungan antara S dan P. Jika kedua premis negatif, baik mayor maupun minor
tidak akan mempunyai hubungan denga term penengah. Jika tidak ada hubungan
dengan term penengah atau antara minor dan penengah, maka tidak ada hubungan
antara mayor dan minor. Akibatnya, tidak ada konklusi yang dapat diambil.
Konklusi hanya dapat diambil jika paling kurang satu dari mayor dan minor
mempunyai hubungan penengah karena atas dasar perhubungan itulah kita dapat
menarik konklusi. Misalnya dari segi premis berikut ini tidak dapat ditarik
konklusi.

Tidak seorang pun manusia adalah binatang.

Tidak seekor pun binatang adalah mahluk pandai berfikir.


Kesalahan-kesalahan yang timbul karena pelanggaran terhadap aturan ini dinamai
kesalahan tentang premis-premis negatif (the fallacy of negative premis).

Aturan VI: Bila salah satu premis negative, konklusi mestilah negative, dan
sebaliknya, yaitu untuk membuktikan bahwa konklusi negative, salah satu premis
mestilah negative.

Oleh karena aturan-aturan yang lebih dahulu mengatakan bahwa kedua premis
tidak dapat negative, maka salah satu darinya mestilah afirmatif sehingga konklusi
dapat diambil. Begitu pula aturan ini mengatakan jika salah satu premis negative,
konklusi mestilah negatif. Proposisi negative mengatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara ter penengah dengan term mayor dan minor. Berangkat dari
kenyataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa bila tidak ada hubungan antara
mayor dan minor, akibatnya konklusi adalah negative.

Kebalikan dari aturan ini juga benar. Jika konklusi negatif, maka dinyatakan yaitu
antara mayor dan minor tidak terdapat hubungan. Tetapi ini hanya dapat terjadi bila
salah satu dari premmis negatif. Dengan kata lain, hal ini hanya dapt terjadi bila
salah satu premisnya mempunyai hubungan dengan term penengah dan yang satu
lagi tidak.

Aturan VII: Jika kedua premis afirmatif, maka konklusinya afirmatif, dan
sebaliknya jika konklusi afirmatif maka kedua premis mestilah afirmatif

Jika kedua jenis premis afirmatif, maka mayor dan minor mempunyai hubungan
dengan term penengah dan sebagai akibatnya maka mayor dan minor mempunyai
hubungan pula dengan sesamanya, karena itu konklusi afirmatif pula.

Kebalikan dari aturan ini pun benar. Bila konklusi afirmatif, berarti antara mayor
dan minor memiliki hubungan. Hal ini hanya dapat terjadi jika keduanya
mempunyai hubungan pula dengan penengah. Ini berarti pula bahwa kedua
proposisi itu mestilah afirmatif.

Aturan VIII: Jika kedua premis khusus, konklusi tidak dapat diambil

Bila kedua premis khusus, gabungan yang mungkin kita punyai adalah “I” ”I”, “I”
”O”, “O” ”I”, dan “O” ”O” . Marilah kita perhatikan apakah konklusi dapat kita
ambil dengan menyalahi salah satu aturan yang telah kita bincangkan di atas.

Pertama kita perhatikan gabungan “I” “I”. Gabungan ini tidak menghasilkan
konklusi karena proposisi “I” S dan P-nya tidak tersebar dan akibatnya term
penengah mestilah tersebar. Karena itu, gabungan proposisi “I” “I” tidak
menghasilkan konklusi.

Sekarang kita perhatikan pula gabungan “I” “O” dan “O” “I”. Jika satu proposisi
“I” dan proposisi lain “O”, maka hanya ada satu term yang tersebar oleh karena
proposisi “I” termnya yang tersebar, sedangkan proposisi “O” hanya P-nya yang
tersebar. Karena hanya satu ter yang tersebar, maka term yang tersebar itu mestilah
term penengah agar kita dapat menghindarkan kesalahan penengah yang tak
tersebar. Konklusi tentulah negatif karena premisnya negatif. Usaha untuk menarik
konklusi dari gabungan proposisi “I” dan “O” akan menimbulkan kesalahan
penengah yang tidak tersebar atau kesalahan illicit mayor. Sementara itu, gabungan
proposisi “O” “O” tidak dapat menghasilkan konklusi karena kedua proposisi itu
negatif.

Aturan IX: Jika satu premis khusus, maka konklusi mestilah khusus pula

Kebenaran atutan ini dapat diperlihatkan sebagai berikut. Jika salah satu premisnya
khusus, maka premis yang satu lagi mestilah universal seperti yang tampak dalam
kombinasi- kombinasi: “A” “I”, “I” “A”, “A” “O”, “E” “I”, “I” “E”, “E” “O”, dan
“O” “E”. Kombinasi “E” “O” dan “O” “E” dapat kita tolak karena kedua
proposisinya negatif. Sekarang kita perhatikan kombinasi-kombinasi lainnya.

“A” “I” dan “I” “A” jika salah satu premisnya berbentuk “A” dan yang satu lagi
berbentuk “I”, maka hanya akan ada satu term yang tersebar di antara keduanya itu,
yaitu term penengah agar dapat dihindarkan kesalahan penengah yang tidak
tersebar. Oleh karena itu, tidak ada term yang tersebar dalam konklusi. Jika ada
konklusi, maka konklusi itu mestilah berbentuk proposisi “I”, karena proposisi “I”
adalah proposisi yang tidak menyebarkan satu term pun.

“A” “O” dan “O” “A”, jika salah satu premisnya berbentuk “A” dan yang lainnya
berbentuk “O”, maka ada dua term yang tersebar, yaitu S proposisi “A” dan P
proposisi “O”. Dari kedua term yang tersebar ini, satu diantaranya haruslah term
penengah, karena dalam konklusi hanya ada satu term yang tersebar. Oleh karena
itu, satu dari premisnya negatif, maka konklusi mestilah negatif dan akibatnya P
yaitu term mayor, tersebar. Karena hanya ada satu term yang tersebar dalam
konklusi, yaitu term mayor, maka konklusi haruslah proposisi yang tidak
menyebarkan S-nya, dan yang tak tersebar itu mestilah term minor yang tak
tersebar dalam premis. Syarat ini hanya dapat dipenuhi oleh proposisi “O” yang
bentuknya proposisi khusus.

“E” “I” dan “I” “E”, pada proposisi “E” dan “I” ada dua buah term yang tersebar,
yaitu S dan P proposisi “E”, sedangkan proposisi “I” tidak menyebarkan satu term
pun. Satu di antara kdua term yang tersebar itu harus jadi penengah dan yang
lainnya menjadi tem mayor. Oleh karena konklusi akan menjadi negatif, proposisi
negatif tidak menyebarkan S. Dengan perkataan lain, jika ada konklusi, maka yang
mungkin hanyalah proposisi “O” karena proposisi “O” adalah proposisi khusus.

Aturan-aturan ini menjelaskan bahwa jika konklusi universal, kedua premis


mestilah juga universal, sebab bila salah satu premisnya khusus, konklusi mestilah
ditarik dari premis universal pula.
Kebalikan dari peraturan ini tidak benar. Bila konklusi khusus, premis-premisnya
juga khusus tidaklah benar. Kita dapat memperoleh konklusi khusus dari proposisi
universal.

Aturan X : dari mayor yang khusus dan minor yang negative, tidak ada konklusi
yang dapat diambil

Jika premis minor negatif, myor mestilah afirmatif dan konklusi mestilah negatif
pula. Pada konklusi negatif, mayor termm tersebar, sedangkan mayor premis yang
berbentuk afirmatif khusus tidak menyebarkan sebuah term pun. Oleh karena itu,
dalam usaha manarik konklusi kita berbuat kesalahan illicit mayor.

Haruslah kita ingat bahwa empat aturan terakhir ini adalah kesimpulan dari enam
aturan yang terdahulu. Pelanggaran terhadap salah satu aturan yang empat ini
merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang lainnya. Enam aturan yang
terakhir disebut aturan sekunder.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Inti sari yang dapat diambil dari pembahasan silogisme, silogisme kategoris, dan
aturan-aturan yang menimbulkan kesalahan, yaitu :
a. Tiap-tiap silogisme terdiri atas dari tiga term
b. Silogisme induksi terdiri hanya tiga proposisi
c. Term penengah tersebar dalam premis, sekurang-kurangnya satu kali
d. Tak satu pun yang dapat tersebar dalam konklusi tak tersebar dalam premis
e. Dari dua premis negatif tidak ada konklusi yang dapat diambil
f. Bila salah satu premis negatif, konklusi meskilah negatif dan sebaliknya, yaitu
untuk membuktikan bahwa konklusi negatif salah satu premis mestilah negatif
g. Jika kedua premis afirmatif, maka konklusinya afirmatif pula
h. Jika kedua premis khusus, konklusi tidak dapat diambil
i. Jika satu premis khusus, maka konklusi mestilah khusus pula
j. Jika term mayor merupakan premis khusus dan term minor merupakan premis
negatif, maka tidak ada konklusi yang dapat diambil

Bentuk-bentuk silogisme :
a. Bentuk I, term penengah adalah S premis mayor dan P premis minor
b. Bentuk II, term penengah P dari kedua premisnya
c. Bentuk III, term penengah adalah S dari kedua premisnya
d. Bentuk IV, term penengah adalah P dari premis mayor dan S dari premis minor

DAFTAR PUSTAKA

Poespoprodjo. 1989. Logika Ilmu Menalar. Bandung: Remadja Karya Offset.


http://elmisbah.wordpress.com/silogisme/

You might also like