Professional Documents
Culture Documents
1
28 HARI
TENTANG #28HARI
2
28 HARI
1 FEBRUARI 2010
BINTANG
Rasanya sudah lama sekali sejak kita bertemu untuk yang pertama kali. Aku
hampir lupa seberapa sering kita bicara hingga dini hari. Atau diam saja
memandangi hujan sampai bosan. Dan aku sungguh-sungguh lupa kapan
terakhir kali kita tertawa bersama. Kapan terakhir kali kita menangis berdua.
Aku tidak suka ini. Kenyataan bahwa aku mulai melupakan banyak hal tentang
kita. Detail-detail kecil yang menurutku penting.
Ya, aku tidak melupakanmu. Belum. Meskipun aku ingin. Meskipun aku mau.
Karena alangkah lebih baiknya jika begitu. Aku tak perlu mengingat betapa kita
memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda sama sekali. Sendiri-sendiri.
Meninggalkan apa yang pernah kita miliki tanpa pernah memutuskan apakah
3
28 HARI
kita akan kembali, atau apakah kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.
Sekarang, kita seperti dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal.
Menapaki hidup masing-masing dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke
depan, agar hati kita yang rapuh dan retak-retak ini luput dari pandangan. Kita
memaksa diri untuk tidak menoleh ke belakang. Untuk mengubur semua yang
pernah ada.
Tetapi kita tahu, bahwa apa yang kita campakkan itu, akan tetap ada selama kita
ada. Kita sudah terlalu lama bersama. Tidak secepat itu kita bisa terpisah dari
satu sama lain dan menjadi baik-baik saja. Dan bukankah hingga detik ini, kita
masih bertanya-tanya, apakah dulu yang kita campakkan itu cinta?
Di mana kamu berada saat ini? Apakah kamu juga tengah memandangi langit
malam ini; langit yang biasa kita bagi bersama? Katakan, apa yang kamu lihat
ketika kamu memandangi bintang-bintang? Apakah kamu masih melihat aku
dan kamu di masa lalu?
2 FEBRUARI 2010
PERLAMBANG
Bintang mungkin sebuah perlambang: bahwa yang sudah mati pun bisa terus
bersinar dan terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah bertahun-tahun
kemudian.
4
28 HARI
“Kita” mungkin bukan gagasan yang bagus ketika aku dan dirimu sesungguhnya
memang jalan yang bercabang. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kita adalah
dua orang yang berbeda. Dengan kelebihan dan kekurangan, keinginan,
harapan, keberanian, juga ketakutan masing-masing.
Dan ketika dua yang berbeda itu hendak dijadikan satu, yang terjadi bukan
saling melengkapi, melainkan baku menyakiti. Ah, kamu pasti juga masih ingat
ketika aku ingin ke utara, sedangkan kamu ingin ke selatan. Kamu mau salju,
aku berharap musim panas.
Memang ada masa-masa ketika secangkir kopi panas terasa nikmat kita sesap
berdua. Sewaktu kita hanya perlu satu payung sebagai pelindung dari tumpahan
hujan yang begitu deras.
Tapi rupanya gagasan tentang “kita” mudah retak di tengah jalan. Dan aku
seperti kupu-kupu dengan sayap yang patah ketika “kita” berubah menjadi
belenggu.
Maka mengertilah kalau aku kemudian memilih jalan yang sulit—seperti sajak
Robert Frost yang pedih itu.
Aku lebih suka jalan yang paling jarang dilalui orang, demi membuat
perbedaan. Tapi percayalah, kamu selalu menjadi bintang di hatiku.
Kamu tentu tahu bahwa bintang mungkin sebuah perlambang: bahwa yang mati
pun masih terlihat indah dari kejauhan, bertahun kemudian.
Kelak, jika waktu mempertemukan aku dan dirimu kembali, aku akan bercerita
tentang senja yang memerah saga. Tentang warna-warni pelangi dan bidadari
yang menari di tepi lazuardi.
Sekarang hapuskan dulu air matamu. Aku tak kuasa menanggung pedih dan
perihmu. Sedihmu adalah tembang megatruh bagiku. Daun-daun yang luruh,
lalu lesap ditelan bumi…
KITA
Selama kita tidak bercakap tentang ‘kita’, maka segalanya akan baik-baik saja.
Benarkah begitu?
Aku kesepian. Causeway Bay tanpa kamu seperti ribuan bola lampu yang terlalu
5
28 HARI
Dia—bukan aku.
Aku tidak menangis. Tidak berteriak. Tidak bertanya mengapa dia—dan bukan
aku. Karena bukankah kita memang tidak pernah bicara tentang cinta ketika
memutuskan untuk bersama? Bukankah seperti selalu, seperti selayaknya, kita
hanya mengada? Tanpa pernah mempertanyakan rasa macam apa yang selama
ini kita genggam dalam jari-jemari kita yang bertaut?
Dulu, kita selalu membicarakan hari ini: Hong Kong di malam hari, gemerlap
lampu berwarna-warni dari gedung-gedung tinggi, asap hidangan laut yang
dibakar di atas arang, berkotak-kotak makanan Cina dari restoran yang
diterangi lampu neon, menyusuri Tsim Sha Tsui sambil menyanyikan I’m
Walking on Sunshine yang selalu bisa membuat suasana hati kita berubah ceria
itu:
I used to think maybe you loved me, now I know that it’s true
and I don’t want to spend my whole life just in waiting for you
I’m walking on sunshine… and don’t it feel good!
Seharusnya ada kamu di sini. Bersamaku. Kita akan berbicara keras-keras dan
terbahak pada hal-hal yang kelucuannya hanya bisa dimengerti oleh kita
berdua. Orang-orang akan menoleh ke arah kita: sedikit kesal, sedikit iri.
Berharap mereka bisa memiliki ketidakpedulian kita ini separuhnya saja. Untuk
memekik, tertawa, dan berkejaran di trotoar yang sesak ketika ingin. Seperti
pasangan yang tengah kasmaran.
Seperti.
Dan kita selalu terhenti sampai sejauh ini. Sejauh kata ‘seperti’. Karena kita
tidak pernah tahu. Aku tidak pernah tahu. Karena selama kita tidak bercakap
tentang ‘kita’, maka segalanya akan baik-baik saja. Ini seperti sebuah
kesepakatan tidak tertulis, yang tidak seharusnya kita langgar. Dan semua
mimpi buruk ini, kesendirian kita, perpisahan pagi itu, keputusanmu memilih
dia—semuanya adalah semacam kutukan yang jatuh di atasku.
Are we together?
6
28 HARI
Dan kamu membeku seperti mendengar sesuatu yang tabu, yang tidak
seharusnya. Mengapa? Mengapa begitu? Mengapa kita tidak bisa memberi
nama terhadap rasa yang kita punya dan tetap baik-baik saja?
Causeway Bay, hari kedua di bulan Februari. Suhu udara 15 derajat Celcius.
Pukul 10.42 malam hari menurut jam digitalku. Detak sepatu kanvasku di atas
aspal, bunyi denting samar kancing jaketku yang saling beradu… dan aku berlari
menuju entah.
Hidupku telah terlalu terbiasa tertuju kepadamu. Ketika kamu tidak di sini, aku
kehilangan arah. Aku tersesat.
3 FEBRUARI 2010
EMBUN
Tentu saja aku masih ingat ketika kita masih selalu membicarakan hari ini:
Hong Kong menjelang dinihari, kemilau lampu berwarna-warni di dinding
gedung-gedung tinggi, kepiting dan udang yang dibakar di atas arang.
Aku bahkan belum lupa pada pelukanmu yang hangat ketika kita berdua berada
di dalam trem yang mengantar kita menuju The Peak.
Pernah aku kembali mengunjungi The Peak tanpa dirimu, bertahun kemudian.
Sendirian berdiri di Sky Terrace yang menghadap ke hamparan hutan beton
Hong Kong, aku seperti terlempar ke masa silam. Pada tahun-tahun ketika kita
sering ke sana di musim panas.
Tapi tak ada lagi angin yang menerbangkan rambut hitammu yang panjang dan
wangi ke mukaku, seperti tanganmu yang kerap membelai wajahku. Tak ada
lagi cekikikan anehmu yang membuat turis-turis itu berpaling dengan wajah
7
28 HARI
seperti ayam bengong. Tanpa dirimu di sampingku, lanskap siang itu mendadak
berubah bagaikan lukisan Landscape with Good Samaritan Rembrandt yang
kelam.
Apakah aku baik-baik saja waktu itu? Kalau yang kamu maksud aku masih bisa
berdiri menantang angin yang menerpa di Sky Terrace, tentu saja aku memang
baik-baik saja. Jika yang kamu maksud aku masih bisa berjalan menyusuri
taman bebatuan di samping museum The Peak itu, tentu saja aku baik-baik saja.
Aku jelas tak baik-baik saja jika yang kau maksud apakah aku masih bisa
membedakan warna trem itu merah atau biru. Aku sudah tak baik-baik lagi bila
yang kamu maksud apakah aku masih bisa merasakan gerimis yang jatuh.
Sejak kau ke barat, dan aku ke timur, hidup tak pernah sama lagi—seperti ketika
Hong Kong diserahkan dari Inggris ke tangan pemerintah Cina. Bukit-bukit
cinta di hatiku pun tentu saja masih ada dan berdiri kokoh seperti perbukitan
Tai Mo Shan di New Territories. Tapi tak ada lagi yang membuat rumput
menghijau dan kembang bersemi begitu kau pergi.
Lantas ke manakah kelak kita akan pulang? Adakah harapan punya rumah?
Sayup-sayup aku seperti mendengar suara Sting bersenandung dengan
suaranya yang ngelangut…
MIMPI
Cangkir kopiku yang ketiga. Dan satu-satunya hal yang berkecamuk dalam
benakku hanyalah: untuk apa aku di sini?
8
28 HARI
Kenangan kita berdua ternyata terlalu sedih ketika hanya dijalani seorang diri.
Aku masih ingat, bertahun-tahun yang lalu, ketika kita tengah berada di dalam
trem yang melaju menuju The Peak. Di luar gerimis. Udara dingin membuat
kaca jendela berembun. Dengan telunjukmu, kamu melukis gambar hati di
sana, kemudian menorehkan inisial namaku di dalamnya.
Waktu itu, kamu terdengar menggemaskan. Gambar hati itu terlihat lucu. Aku
memelukmu hangat. Sedetik, dua detik, hingga kurasakan sesuatu bergetar di
saku jaketmu. Kamu melepaskan pelukanku, meraih ke dalam saku, dan
mengeluarkan telepon genggammu.
Aku memalingkan wajahku ke jendela. Masih ada gambar hati yang kau lukis
dan inisial namaku di dalamnya. Tetapi tidak ada lagi yang lucu dan
menggemaskan dengan semua itu. Yang nampak di mataku hanyalah sebuah
kebohongan besar. Pelan-pelan, kulayangkan telunjukku menyentuh jendela
yang dingin. Sedingin hatiku. Lalu kugambar retakan di hatimu itu. Seperti
retakan di hatiku.
Seperti biasa, kita tidak pernah membicarakannya. Karena kita akan baik-baik
saja selama kita tidak berbicara tentang ‘kita’.
Tentu, saat itu, kita tidak tahu bahwa kita akan berpisah pada suatu pagi yang
kelabu. Karena ketika tengah bersamamu, perpisahan terdengar seperti sebuah
konsep yang sangat jauh. Begitu jauh sehingga kita tak akan tersentuh.
9
28 HARI
Tetapi, di sinilah aku. Hong Kong, sekali lagi. Sendiri. Tanpamu. Mengejar
bayanganmu setelah bertahun-tahun berlalu, tanpa tahu apakah kamu masih
menginginkanku. Untuk apa aku di sini?
4 FEBRUARI 2010
DINIHARI
Dinihari. Dan aku belum juga memejamkan mata. Kenangan tentang dirimu
membuat hatiku semak. Menjadikanku selalu terjaga. Seperti yang lalu-lalu.
Kenangan itu tercecer di Hong Kong, kota yang sinarnya terus berkeredep itu.
Ontario yang membeku. Moskow yang megah. Swedia yang santun. Singapura
yang tertib. Jakarta. Lombok. Bahkan secangkir kopi Kuba di Bongos Cuban
Cafe di jantung Orlando, selalu berhasil menyeret kenanganku kepadamu.
Oh, ya. Kopi. Cairan kental-pahit ini memang selalu menyatukan aku dan
dirimu. Tanpa membuat aku dan dirimu menjadi “kita”.
Kopi tak pernah membuat kita bosan pada kehidupan yang menekuk pinggang
ini. Kita bahkan selalu punya cara untuk menikmatinya, dengan riang maupun
getir. Sesuatu yang mungkin remeh temeh bagi orang lain.
Tapi, dengan dirimu di bangku depanku, yang remeh-temeh itu menjadi sesuatu
yang membuat semuanya lebih hidup. Sesuatu yang menjadikan dirimu selalu
berarti, dan lebih berarti. Sampai nanti. Sampai mati.
Aku masih ingat satu fragmen ketika kita berada di pojokan Bongo Cuban Cafe
di pinggir 1498 East Buena Vista Drive, Orlando. Musim panas. Pengunjung
datang dengan baju seadanya.
Dan kamu masih juga cekikikan mentertawakan pasangan manula dari Spanyol
yang tak pernah melepaskan gandengan tangan mereka itu. Padahal tanganmu
10
28 HARI
“Lucu ya, mereka itu bisa mesra terus sampai tua,” begitu komentarmu waktu
itu.
Aku cuma nyengir, membayangkan kita juga akan terus berdua sampai tua.
Selamanya. Sebab, duduk pojok di sebuah kafe bersama dirimu yang cerewet,
manja, nanya melulu, dan selalu cekikikan, mungkin bukan ide yang jelek.
Kamu adalah gagasan yang selalu baru. Kamu seperti matahari pagi. Selalu
menghangatkan embun yang bangun setelah dinihari.
Hanya satu pintaku. Janganlah kau usik telepon-telepon yang berdering di saat-
saat tertentu. Usahlah pula bertanya mengapa aku harus berbisik ketika
menjawabnya. Itu panggilan dari dunia lain. Sebuah dunia di mana malam tak
terasa malam, dan siang begitu menyilaukan.
Bukan. Bukan itu yang terpenting dalam hidup ini. Kamu jauh lebih berharga
dari apa pun. Dan layak diperjuangkan dengan cara apa pun. Kamu hanya harus
lebih menahan diri. Masa depan toh menunggu sabar.
Kelak, ketika musim gugur sudah berlalu, dan musim semi dalam hidup kita
menumbuhkan kembang-kembang harapan, aku pasti akan duduk di
sebelahmu lagi. Aku akan bercerita tentang jalan panjang yang baru saja kulalui
menuju rumah. Menuju pulang. Kembali ke hatimu.
LUKISAN
Perpisahan, sedianya melibatkan dua orang: ia yang tinggal, dan ia yang pergi.
Jadi bayangkan, betapa sepinya perpisahan yang harus dilalui seorang diri.
Seperti berkali-kali; seperti setiap hari, ketika aku mengucapkan selamat tinggal
kepadamu. Kepada kenangan. Kepada kita. Kepada rasa yang pernah kita
punya; hanya untuk menemukan diriku kembali terdampar di tepian hatimu.
Aku seperti ombak yang hanya surut sebentar, kemudian berdebur kembali
11
28 HARI
dengan kekuatan yang lebih besar untuk memecah tebing yang memagari kita.
Hidup di masa lalu itu melelahkan. Tetapi hidup di masa depan tanpamu akan
jauh lebih menakutkan. Bahkan hanya untuk kubayangkan.
Malam ini, aku memandangi sosokmu dari kejauhan. Kamu—dan dia. Kalian
berdiri bersisian, tersenyum, membenturkan gelas-gelas wine kalian,
berpelukan, tertawa, menyapa wajah-wajah asing yang memberimu ucapan
selamat dan tepukan bersahabat di bahu. Lalu ia meremas jemarimu, dan kamu
mengecup pipinya.
Meski langit Hong Kong di atas Sky Terrace West Deck ini cerah, langit hatiku
menurunkan hujan.
Seharusnya aku sudah terbiasa dengan semua ini. Dengan rasa sakit ini. Dengan
rasa perih yang mendesak-desak di balik kelopak mataku ini. Kutengadahkan
wajahku ke langit, kemudian kutekan-tekan kelopak mataku untuk mengusir
rasa itu pergi. Tetapi rasa itu tak mau hilang dan tetap bertahan. Karena rasa itu
tak ada di sana. Pedih itu bukan di mata; tetapi di hatiku. Sejenis ketiadaan
akan kamu yang meremukkan segalanya. Menyesakkan.
Tetapi akulah yang memilih untuk berada di sini. Hanya untuk melihatmu,
bersamanya, di atas rasa sakit yang kini sudah berubah menjadi candu. Di
sanalah kamu. Di tengah impianmu. Impian kita.
Kamu pernah berbisik kepadaku, dulu. Di sebuah jalan setapak kecil di Ubud,
sepulangnya kita dari rumah seorang perempuan Bali yang gemar melukis
cahaya bulan.
Di depan hamparan sawah, kamu membisikkan sebuah janji. Bahwa kamu akan
membagi impianmu ini bersamaku. Bahwa kita akan mengabarkan kepada
dunia mengenai perempuan-perempuan pelukis ini. Mereka yang melukis
dengan hati dari segenap penjuru negeri. Kita akan mengabadikan mereka
melalui feature yang kau tulis; gambar-gambar yang kau ambil dengan Canon
EOS 5D Mark II-mu, serta sebait puisi yang kutorehkan di mula, untuk
membuka setiap nama, setiap cerita.
“Seperti aku mengabadikan kamu, pelukis hatiku, puisi jiwaku… ” Dan bisikmu
mendarat di bibirku. Membungkus duniaku dalam sepenuh-penuhnya kamu.
Suaramu lesap ke dalam kalbuku seiring senja yang menebar di angkasa kala
itu.
12
28 HARI
Kuletakkan seratus lima puluh dolar Hong Kong di atas meja yang memajang
impian kita itu. Coffee-table book dengan sampul keras dan halaman-halaman
yang berkilauan; dengan namamu dalam tinta keperakan. Aku cukup
membukanya satu halaman saja untuk melihat semua: feature yang kau tulis,
gambar-gambar para perempuan pelukis…
… tanpa puisiku.
Tidak ada lagi ‘kita’, bahkan untuk sekerat impian lama yang sejak mula kita
bangun berdua. Ini impianmu. Hanya kamu. Dan ada dia di sampingmu, yang
berbagi malam ini bersama kamu.
Aku tidak tahu apakah aku harus merasa bahagia untukmu; atau merasa terluka
untuk masa lalu.
5 FEBRUARI 2010
LUKA
Dari manakah datangnya luka dan air mata? Aku tak tahu. Tapi dari hidup aku
belajar merasakannya. Dan lama-lama aku pun terbiasa menikmatinya.
Dari sanalah aku tahu bahwa luka yang paling pedih adalah ketika kita tahu apa
yang kita mau tapi tak dapat meraihnya.
Tahukah kamu, justru kamulah luka itu bagiku? Aku tahu aku
menginginkanmu. Sangat. Tapi bertahun-tahun kemudian terbukti bahwa
sungguh susah aku meraihmu. Mendapatkan dirimu.
Kamu bayang-bayang yang selalu terbang setiap kali tanganku tinggal sejengkal
lagi menggapainya. Kamu dekat, tapi tak tersentuh.
13
28 HARI
Kamu mungkin bahkan tak pernah paham bagaimana hatiku berdarah meski air
mataku tak keluar setiap kali mengingatmu. Mengenangmu. Dengan mata
setengah terpejam.
Padahal tak banyak yang aku mau. Aku cuma ingin kamu menjadi puisiku setiap
malam. Baris-baris sajak yang bisa kutulis hingga dinihari berganti pagi. Itu
saja. Tidak lebih.
Entah kenapa selalu ada ruang, jarak yang membuat kita sulit bertaut. Itu
sebabnya aku pernah menuliskan surat untukmu, berpuluh purnama yang lalu.
Mungkin kamu masih ingat surat yang berbunyi seperti ini:
“Kutulis surat ini setelah berbelas musim aku terbang menuju matahari.
Demi ruang, juga jarak.
Tapi ternyata aku kemudian mengerti bahwa kita adalah gagasan yang
rumit. Antara ada dan tiada. Pernah ada masanya kau dan aku satu.
Tapi tak menjadi kita.
Kita mungkin seperti matahari dan hujan. Bisa melahirkan pelangi, tapi
tak selalu di ranjang yang sama.
Kita tak sedang hidup di taman yang teduh dengan telaga yang tenang.
Hidup kita adalah kereta harapan yang bersicepat dengan waktu. Aku
harus mengejarnya sebelum kita menjadi sesuatu yang kedaluwarsa.
Kau boleh sebut diriku Sisipus dari Negeri Dongeng. Kau boleh katakan
diriku pecundang tolol dari Bukit Sia-sia. Tapi perlu kau tahu, aku pun
melakukannya demi kita.
Malam ini, aku ingin kau baca lagi surat itu. Bacalah pelan-pelan dengan
hatimu. Kelak kau akan mengertil bahwa hanya satu yang kuinginkan dalam
hidupku: melihatmu tidur seraya tersenyum.
14
28 HARI
PULANG
Tahukah kamu, betapa aku berharap kamu akan menoleh ke arahku? Atau
mencariku dengan hatimu. Kemudian raut wajahmu akan berubah cerah;
sekaligus resah; karena kamu tahu bahwa aku ada.
Tetapi tidak. Malam tadi, hanya dia yang ada dalam jarak pandangmu. Aku
seperti hantu yang datang dari masa lalu. Sesuatu yang mungkin ingin kau usir
pergi untuk tidak pernah kau lihat lagi.
Entahlah.
Semua ini terlalu rumit untukku. Seperti baris-baris dalam suratmu tentang
perpisahan kita pagi itu. Surat yang sudah kubaca berulang kali hingga lipatan
kertasnya sudah nyaris hancur dan tinta hitamnya mulai luntur.
Kau katakan bahwa kita membutuhkan jarak. Membutuhkan ruang. Demi ‘kita’.
Kau pernah bilang, bahwa kebersamaan kita menyakitkan. Bahwa semakin lama
kita bertahan, semakin perih luka yang akan kita timpakan di atas satu sama
lain. Bahwa perpisahan ini untuk kebaikan kita berdua. Demi kita.
Karena cinta yang melukai, kita berpisah. Hanya untuk menemukan bahwa
perpisahan itu melukai kita, jauh lebih dalam. Jika keduanya, kebersamaan dan
perpisahan—sama-sama melukai, mengapa kita tidak terluka saja berdua, dan
bukan sendiri-sendiri?
15
28 HARI
Mengapa hanya aku yang mencoba meraihmu? Mengapa hanya aku yang
menginginkan ‘kita’? Mengapa hanya ada aku, sendiri, di sini?
6 FEBRUARI 2010
MATA HATI
Kita memang berpisah hari itu. Pada musim panas yang mendidih. Tapi
mungkin kau tak tahu. Ketika kau menyeret koper meninggalkan diriku, seluruh
hatiku ikut terangkut bersamamu.
16
28 HARI
Aku memang tak menoleh waktu itu. Karena aku tahu mata hatiku selalu di
belakang langkahmu. Mengikuti dengan takzim ke mana pun kau pergi.
Seandainya kamu lebih sabar dan melihat lebih jernih, mungkin kau bakal tahu
seberapa dalam luka jiwa yang kau sayat dengan prasangkamu. Luka hati
dibawa mati. Luka jiwa, kubawa ke mana?
Dan seandainya saja kau sudi tinggal lebih lama dan melihat dengan lebih
tenang di ruangan itu, kamu akan tahu bawah gelas-gelas anggur itu berdenting
bukan untukku. Pelukan dan kecupan itu hanya hiasan semu. Senyum dan tawa
itu bukan untuk kebahagiaanku. Semuanya adalah topeng. Tembok yang
dibangun atas dasar kepentingan. Kepentingan siapa? Yang jelas bukan milikku.
Mata dan kata hatiku tersimpan rapat-rapat di lubuk sanubariku. Cuma kamu
yang punya kunci untuk membuka dan menjenguknya. Tapi mungkin kau telah
membuangnya entah ke mana. Barangkali kau memang tak sudi menengoknya
barang sejenak.
Jika itu benar, aku mungkin akan menjadi orang paling sial di dunia ini. Seperti
pungguk yang meminang rembulan ketika ternyata sang bulan telah
menjatuhkan pilihan.
Tapi aku percaya pada dirimu. Kamulah orang yang selalu percaya bahwa cinta
tak membuat kita saling terluka. Seperti yang pernah kau bisikkan di telingaku
ketika kita menanti gerimis reda di kafe itu. Bahwa selalu ada setitik harapan di
ujung lorong yang gelap.
Sometimes, in our lives, we all have pain, we all have sorrow. But, if we
are wise, we know that there is always tomorrow.
Begitulah kata para bijak bestari yang kukutip dengan semena-mena waktu itu
dan kusampaikan sebagai jawaban. Dan kurasa mereka benar. Siapa yang tahu
apa yang akan dibawa oleh esok.
Kita?
DULU
Untuk menjatuhkan cinta kepada lebih dari satu orang, kau harus memiliki jiwa
yang cukup besar untuk menampung dua hati.
Ini perlu, agar kedua hati yang kusebutkan tadi tidak bersesakan di dalam
jiwamu. Agar mereka tak perlu berusaha merebut sebanyaknya ruang yang ada,
mendesak-desak, lalu berontak dan merobek lapisan hatimu hingga isinya
17
28 HARI
luluh-lantak.
Jika jiwamu tak cukup besar untuk menampung dua hati, kamu masih bisa
menjatuhkan cinta kepada lebih dari satu orang. Kamu bisa memilih dua
perempuan dengan takaran cinta yang kecil-kecil. Maka kedua hati mereka akan
bersemayam dalam ruang jiwamu tanpa harus bergesekan satu sama lain. Dan
kamu masih punya cukup banyak ruang untuk bernapas lega.
Perpisahan kita terjadi karena ketiadaan keduanya. Jiwamu tak cukup besar
untuk menampung hatiku dan hatinya; sementara cintaku dan cintanya tak
cukup kecil untuk bisa menempati satu ruang bersama-sama.
Mungkin pada dasarnya, aku memang tak percaya pada hati yang bercabang.
Bagiku, selalu hanya ada satu untuk setiap kali. Ketika aku tengah bersamamu,
yang ada hanya masa kini. Tidak ada masa lalu atau masa depan yang kuijinkan
untuk turut ambil bagian.
Karenanya aku tidak bisa mengerti konsep perpisahan yang kau tawarkan pagi
itu. Ketika kau memilihnya, sekaligus berkata bahwa kau melakukannya demi
‘kita’. Ada sesuatu yang sangat salah dengan semua ini. Sesuatu yang tidak bisa
kupahami.
Jika kamu mencintaiku, kamu akan berada di sini, bersamaku. Kita akan
tertawa, berselisih paham, berpelukan, menangis, membagi langit yang terlalu
luas untuk dipandangi sendirian dan menengadah pada bintang-bintang. Kita
akan menyembuhkan setiap perselisihan dengan kecupan, menghapus air mata
dengan tawa.
Pada masa-masa kita yang paling kelam sekalipun, bukankah selalu kukatakan
kepadamu: bahwa aku hanya butuh menangis sehari, untuk kemudian siap
menjaga hatimu lagi?
Jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan pergi meninggalkanku, dan memilih
untuk bersamanya. Kamu akan berada di sini, menggenggam tanganku,
memandang wajahku yang muram.
Kamu akan bertanya apakah aku baik-baik saja. Lantas akan kukatakan padamu
bahwa selama ada kamu, tak mengapa. Aku akan baik-baik saja. Dan kamu
memandangku, seperti tak percaya. Kemudian kamu bertanya, jika demikian
mengapa aku menangis. Aku akan menjawab bahwa aku terluka. Karena hal
yang kamu katakan atau hal yang tidak kamu lakukan, atau karena seribu satu
alasan.
Dan kamu akan meremas jemariku. Permintaan maafmu akan menjelma dalam
18
28 HARI
satu takaran hazelnut latte hangat; genggaman di tanganku yang semakin erat,
dan senyuman di matamu yang berkilauan ketika kita memutuskan untuk
berlari pulang di bawah guyuran hujan.
There’s nothing like the rain, coming down again
To come and wash away the pain…
There’s nothing like the rain, coming down again
To clear the air so we see again…
7 FEBRUARI 2010
VANILA
Dirimu…
tak pernah menyadari
semua…
yang telah kau miliki
kau buang aku, tinggalkan diriku
kau… hancurkan aku seakan ku tak pernah ada…
Aku mendengar Vierra menyanyikan lagu itu dengan perih di Tea Addict di
Jalan Gunawarman pagi itu. Sendirian. Hujan jatuh dan membasahi Jakarta.
Dan tempat minum di dekat kantormu itu sedang sepi di jam-jam seperti ini.
Aku ingat kamu paling suka ice mint green tea, yang selalu kau pesan setiap kali
kita ke sana. Pernah kutanyakan mengapa kau suka minuman itu.
19
28 HARI
Kelak aku tahu kecupan bibirmu pun ternyata memang selezat es krim vanila.
Tapi pagi ini tak ada kecupan untukku lagi. Dan entah kenapa aku nekat ke sini
sendiri. Mungkin karena aku tengah merindukanmu, bersama segenap
kemesraanmu. Barangkali juga lantaran aku telah lama meranggas—kehilangan
pelukan dan kecupanmu yang selezat es krim vanila.
Aku masih ingat benar kamu selalu memilih sofa kulit di pojokan itu sebagai
tempat kita berdua menghabiskan waktu berdua. Aku tahu, kamu memilihnya
karena di situ kakimu bisa berselonjor. Dan kamu bisa melendot ke punggungku
sepanjang malam, hingga penjaga kafe itu dengan tersenyum bertanya seraya
mengingatkan, “Ada last order, Mbak? Kami mau tutup.”
Di sofa itulah biasanya kamu mulai bercerita tentang pekerjaan sehari-hari yang
membuat punggung kita seperti ditindih tumpukan besi beton. Perihal teman-
temanmu yang ajaib. Yang satu suka kucing dan cokelat, tapi galaknya minta
ampun. Yang satu lagi pintar membuat ilustrasi, tapi tak mampu membedakan
antara Doraemon dan Dora The Explorer.
Pagi ini, ketika hujan menderas, aku mengenang lagi semua tentang dirimu.
Perihal perpisahan yang absurd itu. Ihwal “kita” yang tak pernah final. Tentang
cintaku kepadamu yang selalu kau gugat. Tentang hatimu yang selalu
meragukan ketulusanku.
20
28 HARI
menerjang kisahnya
walau perih… walau perih…
GREEN TEA
Apakah kamu masih berada di Hong Kong? Untuk berapa lama? Masihkah
kamu bersamanya?
Pagi itu, dunia berwarna ungu kelabu. Hujan masih belum berhenti sejak dini
hari. Membawa dingin sampai ke dalam hati. Hati yang sendiri. Kemacetan
membuat taksi yang kutumpangi harus terhenti berkali-kali. iPod-ku tengah
memutar The Boy Who Never-nya Landon Pigg ketika dari balik jendela yang
berembun, pandanganku tertumbuk pada secangkir masa lalu.
Tea Addict Gunawarman; sebuah kedai teh yang biasa kita singgahi untuk
melarikan diri dari keramaian. Tempat ini biasanya sepi di pagi hari. Ada sofa di
sudut yang tersembunyi tempat kita bisa menghabiskan waktu berdua saja,
tanpa perlu kuatir akan terlihat oleh siapa-siapa. Mereka yang mengenal kita
hampir tidak bisa ditemui di sini.
Dan rasa sakit itu kembali, seperti gelombang hitam yang menggulungku dan
hendak menyeretku tenggelam. Mengapa kita selalu harus mempertimbangkan
hal-hal seperti ini jika hendak meluangkan waktu bersama? Tidak bisakah kita
berpegangan tangan dan membiarkan seluruh dunia melihatnya? Tidak bisakah
aku memelukmu dari belakang tanpa perlu mencemaskan kata orang tentang
kita?
Mungkin, sejarah kita akan mengubahku untuk selamanya. Mulai detik ini, aku
tidak akan lagi percaya pada rasa serupa cinta yang harus dijalani secara
sembunyi-sembunyi. Bukankah cinta seharusnya membebaskan, dan bukan
21
28 HARI
membebani? Ataukah utopia mengenai cinta yang membebaskan itu hanya ada
dalam angan-anganku sendiri?
Iced mint green tea dengan es krim vanila di atasnya untukku. Cammomile tea
untukmu. Biasanya begitu. Kita selalu bercakap hingga kehabisan waktu; hingga
kita harus beranjak pulang dengan terburu. Dan kamu akan bersikeras untuk
mengantarku, enam puluh kilometer jauhnya; atau empat puluh lima menit jika
perjalanan menuju kota hujan benar-benar bebas hambatan. Kemudian kamu
masih harus menempuh jarak yang sama dan kembali lagi ke sini. Kotamu yang
kau bilang kau benci ini.
Aku jadi ingat, saat pertama kali kamu mengantarku pulang. Waktu itu sudah
hampir tengah malam. Aku sudah memintamu agar tidak perlu menemaniku.
Aku sudah terbiasa ke mana-mana sendirian. Dan kamu sendiri pernah bilang,
aku ini perempuan urban. Jadi tidak ada yang perlu kamu cemaskan.
“Ini bukan karena aku cemas, tetapi karena aku ingin,” katamu. “Aku ingin
melihat kebun tempat kamu berkejaran dengan anjingmu setiap pagi; ingin
melihat rumah yang membuatmu nyaman untuk rebah setiap malam; aku ingin
melihat jendela tempat kamu biasa termenung memandangi hujan.”
“Tetapi ini sudah hampir tengah malam, bukankah masih ada esok hari?”
Mungkin jawabanmu itu juga sebuah pertanda. Bahwa kita tidak akan bertahan
selamanya. Bahwa perpisahan itu tidak sejauh yang kita kira. Mungkin kita
memang tidak membutuhkan selamanya. Sebentar yang bermakna itu bisa jauh
lebih berharga. Seperti setiap kenangan kita yang diabadikan lewat lensa mata.
Dan kita bisa memutar ulang setiap adegan yang pernah kita lewati bersama
hingga bosan.
Seandainya kita tidak perlu menyembunyikan rasa yang kita punya, dan cukup
berani untuk menamainya cinta, mungkin akan ada lebih banyak kenangan
yang bisa kita simpan.
Tetapi kita tidak akan pernah tahu. Kamu terlanjur pergi meninggalkanku.
22
28 HARI
8 FEBRUARI 2010
VIETOPIA
Mengantarmu pulang, membelah Kota Cahaya menuju Kota Hujan, itu berarti
aku bisa menggenggam tanganmu sepanjang 60 kilometer. Itu juga berarti aku
bisa mendengar suaramu yang melodius selama 45 menit.
Aku tak peduli bila itu membuat kakiku pegal karena terlalu lama menginjak
pedal gas. Aku pun tak keberatan bila itu berarti aku harus menembus hujan
yang jatuh bergemuruh. Melewati badai yang menyambar-nyambar sepanjang
jalan beraspal nan licin.
Seperti malam itu, setelah senja rubuh ditelan gelap. Kau datang menjemputku,
lalu mengajakku mampir di Vietopia sebelum pulang. “Aku ingin menikmati
segelas iced lemongrass,” katamu waktu itu.
Segelas lemongrass dingin dan wangi tubuhmu adalah kombinasi yang tak
pernah bisa kutolak. Aku selalu terkapar dalam ekstase keriangan dibuatnya.
Aku tak tahu. Seperti juga aku masih tak tahu kenapa kau selalu bertanya
tentang perpisahan. Bukankah kita selalu berpisah setelah kau sampai di rumah
dan aku harus pulang?
Pergi dan berpisah darimu tak berarti aku tak mencintaimu. Itu hanya
sementara. Fana. Seperti halnya cinta.
23
28 HARI
Maka, sekali lagi pahamilah, kita hanya berbeda ruang. Tapi masih satu hati.
Kita memang berjarak waktu, namun saling dekat di kalbu.
Usahlah kau puspas hati. Aku toh selalu ada bila kau butuhkan. Kita masih tetap
bisa berpalun-palun di sofa kafe mana pun yang kau suka. Menyesap gelas demi
gelas ice lemon grass di Vietopia.
Kelak kau pasti bakal mengerti betapa kosongnya rumah hatiku sejak kau tak
mau pulang ke sana. Kau akan tahu sungai-sungai kalbuku yang mengalirkan
darah setelah kau sayat begitu dalam dengan cinta dan sayangmu.
Malam ini, aku ingin kembali mengantarmu pulang. Menuju rumah. Menuju
cinta. Biar susah sungguh. Biar hampir muskil. Sebab, ketika aku tengadah,
kulihat langit Jakarta sedikit terang oleh cahaya rembulan yang cuma segaris.
Mungkin ini perlambang bahwa di tengah hidup yang semakin kelam, selalu ada
harapan di kejauhan, meski dia toh tak abadi karena pasti akan digantikan oleh
sinar matahari esok pagi.
SURAT
Perempuanku,
Ah, kita memang tidak akan pernah tahu. Mungkin selamanya, mungkin
sebentar, mungkin hanya hari ini saja. Tetapi bukankah, seperti sering kau
katakan, selamanya tak selalu berakhir bahagia. Sebentar bisa menitipkan
makna yang masih terasa bahkan setelah beberapa lama. Dan hari ini saja bisa
menjelma kekal dalam ingatan yang selalu dapat kita putar ulang.
Jadi, jika kita memang hanya memiliki hari ini, detik ini, momen ini pernahkah
kau tanyakan kenangan apa yang akan kau tinggalkan ketika esok datang?
24
28 HARI
Banyak di antara kita yang marah karena masa lalu kita dirusak oleh
orang lain. Maaf mungkin memang tak pernah bisa memperbaiki masa
lalu, tetapi pasti memperindah masa depan.
Bayangkan, hal itulah yang dikatakan Mario Teguh, motivator terkenal itu, di
televisi, tepat ketika aku tengah mengetik surat ini. Bukankah semua ini lucu,
sekaligus menyentuh, sesuatu yang membuatmu ingin tertawa dan menangis
pada saat yang bersamaan?
Ketika kau tahu sulitnya melupakan sebuah kesalahan meskipun kata maaf
telah diucapkan, janganlah meninggalkan ingatan pedih pada kenangan.
Tetapi, apa boleh buat. Satu episode dalam hidup kita sudah lewat. Terangkum
dalam satu masa yang terasa seperti hanya sekejap mata. Maka, yang bisa
kulakukan hanyalah mengucapkan satu harapan untukmu.
Melangkahlah pada sinar mentari esok pagi dengan hati yang utuh dan bukan
cuma separuh. Maafkan aku; dan lepaskanlah semua luka yang telah
membuatmu menangis di malam hari. Kemudian, tersenyumlah lagi.
Lelakimu.
PS: Bisakah kita, setidaknya, kembali menjadi teman? Karena bukankah kita
semua, layak mendapatkan kesempatan kedua?
9 FEBRUARI 2010
RUMAH
Suratku kepadamu mungkin memang tak pernah kau duga. Pertanyaanku pun
mungkin sesuatu yang sulit kau jawab. Bagaimana mungkin kau dan aku hanya
25
28 HARI
berteman setelah semua yang kita lalui bersama? Bagaimana mungkin kita
menafikan perasaan sendiri dan melipat kenangan ke sudut hati? Bagaimana
mungkin harapan yang baru menyala langsung kita matikan begitu saja?
Mungkin kamu belum lupa harapan itu terbit ketika pagi baru saja pergi dan
siang datang membawa panas—waktu itu. Kabut lesap ditelan cahaya. Matahari
baru saja memamerkan sinar yang berdenyar-denyar membakar jangat.
Sejak pertemuan dinihari yang menggetarkan itu, aku dan kamu tak pernah
berpisah lagi. Seperti daun dan ranting. Seperti pelangi dan hujan. Seperti
kemarau dan lengas. Bila hati saling bertaut, rindu yang ditabalkan berpendar-
pendar. Udara wangi seruni.
“Ayolah, kamu pasti bisa,” kau merengek manja seraya merebahkan kepala ke
dadaku.
Aku terdiam, berusaha mengingat sebuah sajak kecil tentang cinta karya
Sapardi.
Cinta mungkin memang relasi yang tak mudah. Barangkali ia juga bukan
sesuatu yang final.
“Mungkin. Aku tak pernah merasa pasti. Maukah kau kupeluk untuk
menggambarkan apa itu cinta?”
Kamu tersenyum malu-malu. “Nanti saja setelah gelap, aku malu pada
matahari,” katamu.
26
28 HARI
“Aku tak tahu. Siapa yang bisa menujum hatimu. Jalan begitu panjang dan tak
lempang di depan… Eh, tapi bagaimana seandainya justru aku yang pergi?” kau
ganti bertanya. “Akankah kau baik-baik saja?”
“Tentu saja tidak. Tapi seandainya aku pergi… ” kamu tak meneruskan
kalimatmu.
“Entah. Siapa yang bisa menebak perasaanku esok, lusa, dan kelak,” jawabku
untuk meyakinkanmu.“Mungkin aku tak akan menangis, tapi hatiku berdarah-
darah.”
“Kalau begitu, aku tak akan pernah meninggalkanmu,” kau berjanji demi
matahari.
27
28 HARI
“Siapa bilang. Buat aku, rumah tak perlu besar, yang penting cozy, tenang,
teduh…”
“Huh, kukira rumah buatmu adalah tempat di mana ada aku,” kau merajuk.
DRAFT
Dan kita memang sudah sejak dulu. Kamu tahu. Menikmati setiap jeda, setiap
jenak, setiap lalu kala menunggu. Sebaris senyap dalam kata-kata yang tergugu.
28
28 HARI
Tidak terburu. Tidak jemu-jemu meski yang kita lakukan tidaklah lebih hebat
dari sekadar menunggui sebatang rokok bertransformasi menjadi abu. Kita
mungkin terikat dalam erat yang terlalu. Begitukah menurutmu?
Semakin singkat. Ingatan fotografis semakin tak bisa diandalkan ketika jejak-
jejak mulai berkarat. Dan kamu tahu karat itu hama seperti binatang pengerat.
Aku tidak lagi ingin kamu dalam satu kerat. Tidak cukup kuat. Imajimu tidak
bisa menjelma nyata hanya dalam nyala lampu 25 watt. Dan waktu tersaruk-
saruk di belakang kita dengan langkah-langkah berat.
[Tidak, kamu meminta terlalu sedikit. Kecanduan akan waktu ini seperti
penyakit, sementara rentang hidup semakin sempit.]
Bisakah kita melahap bintang-bintang dengan mata saja? Pada sebuah ketika di
mana akhirnya langit kita berbagi warna serupa. Ketika jendela tak perlu
menjelma perantara untuk mengantarkan bingkisan kata-kata. Kedipan bulu
mata adalah nyata. Setiap geraknya. Setiap helainya. Tanpa sela. Tanpa cela.
Sempurna.
Aku tahu.
Cuma sementara.
Aku tahu.
Karena aku tidak meminta selalu. Aku cuma minta secukupnya waktu.
Hanya waktu. Untuk mencintaimu.
Perempuanmu (dulu).
—————————
29
28 HARI
10 FEBRUARI 2010
SEPI
Malam ini, aku kembali ke kafe itu. Mencoba memutar kembali kenangan masa
silam. Tapi gagal. Kupandang gelas-gelas iced lemongrass yang kosong. Sisa-
sisa aglio olio di piring.
Kudengar suara The Titans menyanyikan refrain lagu yang pedih itu:
Malam ini, aku ditikam sepisau sepi. Malam ini, berpuluh purnama setelah aku
pergi meninggalkanmu untuk berkelana ke masa depan. Aku cuma bisa terpaku
memandang helai-helai aglio olio yang tak kuhabiskan itu karut-marut seperti
kisah hidup kita.
Dulu kita tak pernah alpa menatap bersama bulan ketika purnama dari balkon
kafe ini. Juga ketika kita kedinginan di The Peak, Bandung. Di pinggir pematang
sawah di Ubud. Di Pantai Senggigi. Di dermaga Labuan Bajo. Di setiap sudut
kenangan. Dan kamu masih saja tak percaya bahwa purnama itu selalu berakhir
untuk kemudian datang lagi sebulan kemudian.
Mengapa semua itu harus ada awal dan akhir? Begitu kau pernah bertanya,
setengah tak percaya. Aku tak mau menjawabnya karena merasa sia-sia
meyakinkan dirimu yang selalu saja bertanya. Aku lebih suka memelukmu.
Merengkuh pertanyaan dalam kehangatan. Mengganti rasa penasaran dengan
kenyamanan.
30
28 HARI
Aku paling suka mencium rambutmu yang hitam bergelombang dan wangi itu.
Tapi kamu tak pernah memberi tahu rahasia merek shampo yang kau pakai
untuk mencuci rambutmu. Padahal aku pernah ingin membelikannya sebagai
kado.
Ah, aku bahkan masih terbayang sampai sekarang masih hapal benar
bagaimana wangi rambutmu mengisi setiap relung hidungku. Menyergap indera
penciumanku dengan sensasi yang nyaman.
Malam ini aku mencoba mengais kembali setiap kenangan tentang dirimu di
kafe ini. Kucoba mencarinya lewat gelas-gelas ice lemon grass dan sepiring aglio
olio. Tapi aku gagal. Dan aku malah terkapar ditikam sepisau sepi…
ESOK
Tidak, tentu saja kita tidak bisa kembali menjadi teman. Ingin sekali rasanya
kutuliskan kata-kata ini untuk membalas surat yang kau kirimkan.
Kamu pernah memiliki waktu yang tak terhingga, dulu. Untuk duduk
bersamaku, menikmati kopi dan teh di kala hujan, menonton DVD film-film
pemenang festival sambil berbagi sepiring aglio olio di atas tempat tidur, atau
hanya untuk diam memandangi langit yang tidak pernah sepi.
Tetapi waktu kita sudah habis. Kamu sudah memilih untuk pergi
meninggalkanku dan menghabiskan sisa waktumu bersamanya.
Lalu, aku bisa apa? Bukannya aku tidak mencoba. Bukannya aku tidak setia.
Selama bertahun-tahun ini, aku lebih memilih untuk sendiri. Untuk hidup
hanya dari kenangan-kenangan akan kita. Aku memilih untuk hidup di masa
lalu, bersamamu. Aku mencoba menghentikan waktu di tempatku, sehingga
selamanya hanya akan ada aku dan kamu.
Tetapi waktu di tempatmu terus berjalan. Kamu dan dia terus bersama-sama.
Melewati sekian tahun yang tidak menginginkan aku menjadi bagian di
dalamnya. Setidaknya kalian memiliki satu sama lain. Kalian memiliki masa
depan.
31
28 HARI
Aku lelah.
Rasanya aku sudah menunggu terlalu lama untuk melihat gambaran mengenai
kamu di masa depan. Kamu yang kembali, kamu yang memutuskan untuk
meninggalkannya, kamu yang memilih untuk bersamaku. Tahun-tahun berlalu,
dan masa depan itu tidak kunjung datang; sementara masa lalu ini terasa
semakin membosankan. Bayanganmu tidak lagi cukup untuk membuatku baik-
baik saja.
Aku hanya ingin berbalik meninggalkan kemarin dan berlari menuju esok hari.
11 FEBRUARI 2010
WAKTU
Seandainya aku bisa memutar waktu, aku pasti tak hanya hidup bersamamu di
masa lalu, tapi juga musim-musim yang hendak kita tuju. Dulu cuma abadi di
masa lalu. Terbuat dari batu cadas. Tak bisa diapa-apakan. Masa depan dapat
kita bentuk dari sekarang.
Untuk apa kita hidup di masa lalu? Dunia toh terus bergegas lekas. Gerimis
turun. Panas meranggas. Begitu seterusnya. Menuju masa depan. Tapi ini soal
pilihan apakah kau tetap ingin hidup sendirian di masa lalu, atau mencoba
peluang bersamaku di masa depan.
Aku toh akan selalu di dekatmu. Mewarnai hidupmu, setiap hari sepanjang
waktu. Meski kita berjauhan. Seperti kau dulu juga setia di sebelahku,
membacakan puisi-puisi Sara Teasdale menjelang tidur: Let It Be Forgotten.
32
28 HARI
Marilah kita lupakan masa lalu yang biru dan membuat bibirmu kelu. Biarlah
perih dan luka disembuhkan oleh waktu.
Waktu adalah teman yang baik. Membuat kita dewasa. Membikin kita lebih
kuat. Dan kuat. Lupakan saja yang dahulu. Seperti kabut meninggalkan tanah,
kupu-kupu melepas kepompong, dan pelangi meninggalkan hujan.
BAHAGIA
Dini Hari datang dengan secangkir kopi panas di tangan, lalu duduk di
hadapanku. “Mari kita berbincang tentang kebahagiaan,” katanya.
“Entahlah,” Dini Hari mengangkat bahu. “Hanya saja, belakangan ini kamu
nampak tidak bahagia…”
Entahlah. Jujur, aku tidak tahu apakah kamu dapat membuatku bahagia…
33
28 HARI
Jadi?
“Ya,” aku mengangguk. “Tapi… mengapa dulu aku tidak ingin mencarinya?
Mengapa dulu aku menganggap kebahagiaan itu tidak terlalu penting, sehingga
aku tak perlu mengejarnya?”
“Karena dulu kamu memilikinya,” Dini Hari menjawab. “Jika kamu sudah
memiliki kebahagiaan itu di dalam dirimu, kamu tak perlu lagi susah-susah
mencarinya. Justru karena kamu sadar bahwa kamu sudah kehilangan
kebahagiaan itu, maka kini kamu mencarinya. Ingat, kamu sendiri yang pernah
berkata: ‘kita tidak akan tahu betapa berartinya sesuatu itu, hingga sesuatu itu
direnggutkan dari kehidupan kita’. Sesuatu itu bisa berupa kebahagiaan, kan?”
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” Kutatap Dini Hari tepat di matanya.
Dini Hari tidak menjawab, tetapi memutar sebuah lagu dari iTunes-ku. Time
After Time-nya Cindy Lauper.
Aku menghela napas panjang. Aku tahu bahwa hidup penuh dengan pilihan-
pilihan, namun tetap saja, aku selalu kesulitan ketika dihadapkan padanya.
“Apa?” tanyaku.
Dini Hari tersenyum. “Ada seseorang yang kukenal, yang pernah mengatakan
kepadaku, bahwa ia ingin mengejar kebahagiaannya sendiri terlebih dahulu,
kemudian baru membahagiakan orang lain. Karena seseorang tidak akan
pernah bisa membagi apa-apa yang tidak ia miliki. Kita tidak akan bisa
membahagiakan orang lain jika kita sendiri tidak bahagia.”
34
28 HARI
Aku tersipu. Aku tahu siapa seseorang itu. Dan aku tidak lupa.
“Aku hanya ingin bahagia,” ujarku, sambil merasakan kehangatan bagian luar
cangkir kopiku dengan kedua telapak tangan.
12 FEBRUARI 2010
SEDERHANA
Aku hanya lelaki sederhana yang merasakan bahagia justru ketika tak memiliki
apa-apa. Aku pun baik-baik saja meski setiap hari mencoba bertahan dengan
keudikanku di tengah deru kapitalisme, hedonisme, juga kliyeng-kliyeng itu,
lengkap dengan neon sign yang berpendar-pendar.
Aku tak pernah menyentuh gendul-gendul Chivas Regal, Chardonnay, Dry Gin,
dan seterusnya itu. Sesekali memang aku mendatangi kedai-kedai moncer
dengan cangkir-cangkir kertas putih berlogo hijau isi kopi panas yang mengepul
itu.
Tapi toh akhirnya aku lebih sering setia pada gelas butut berisi seduhan kopi
dari dapur rumahmu. Dapur yang selalu memanaskan cintamu kepadaku.
Bagiku hidup adalah sesuatu yang tenang tapi pada dasarnya riang di dalam
hati. Aku ingin seperti kembang mawar yang tidak mentereng, tapi segar.
Rumput hijau yang tidak mahal, tapi bersih.
35
28 HARI
Mengapa kamu?
Karena kukira dalam dirimu telah terbentuk sikap yang sejati, untuk tidak
menganggap bahwa makna kata “berada” adalah berpunya. Ber-ada adalah
hadir, hidup. Ber-punya hanyalah memperluas kemungkinan, suatu jalan,
bukan tujuan.
“Aku dulu diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik
surga. Kakek mengajariku untuk menahan keinginan, untuk mengetahui sampai
di mana aku dapat mengatur kekuatan,” begitu kau pernah berkata padaku.
Tapi mengapa pula mesti menghardik? Kamu orang yang sudah berbahagia.
Kesederhanaan bagimu adalah suatu ketenteraman yang mengasyikkan.
Sebuah kebun mawar. Sebidang rumput hijau. Suatu berkah. Karena itu, aku iri
kepadamu. Sangat. Aku selalu mengimpikan tertular virus bahagia darimu. Tapi
itu dulu, sebelum kau memutuskan pergi.
Aku tak tahu apakah dengan kepergianmu itu kamu masih bahagia dan
memiliki keriangan di dalam hati. Mungkin waktu itu untuk pertama kalinya
kau tak bahagia. Entah, aku tak tahu.
Aku hanya yakin bahwa kehidupan tak akan berakhir dengan bahagia yang
lengkap. Manusia tak akan pernah jadi tanpa cacat. Praktis sajalah. Kalaupun
kita memiliki rencana, jangan terlalu muluk, kecewa bisa terlalu pahit.
Hidup adalah pilihan. Dan di antara pelbagai pilihan ke masa depan, kita telah
memilih satu yang paling kurang brengsek. Mungkin kita akan tetap bahagia
karena pilihan itu. Kalaupun pilihan itu salah, setidaknya aku pernah merasa
bahagia karena sempat memilikimu.
Sebentar saja….
36
28 HARI
PUDAR
Semakin kerap rasanya ketika hujan hanyalah menjadi hujan. Yang indah
dipandangi dari balik jendela, dengan selintasan pemikiran acak di benakku:
hazelnut latte hangat, pekerjaan yang harus kuselesaikan besok pagi, wangi
samar Love dari koleksi parfum Harajuku Lover-ku, bait-bait Viva La Vida-nya
Coldplay, film romantis New York, I Love You… semua hal yang tak lagi
berhubungan dengan kamu.
Dari balik jendela taksi yang berembun di malam hari, kupandangi lampu-
lampu yang menyala, gedung-gedung tinggi, menara listrik dengan kilatan-
kilatan yang nampak mengerikan… dan di bingkai jendela, hanya terpantul
wajahku. Tidak ada lagi kamu yang mendesak-desak di sana dan membuatku
hanyut dalam malam-malam yang sendirian.
37
28 HARI
Karena aku juga ingin cepat terbangun dari mimpi buruk ini dan tersenyum
kembali pada matahari.
13 FEBRUARI 2010
KUPU-KUPU
Kamu kupu-kupu yang menari di taman hatiku. Begitulah kamu sejak kita
pertama kali bertemu. Lalu tiba-tiba saja kamu ada di perutku. Di dadaku. Di
kepalaku.
Hatiku tertambat padamu sejak dulu. Kamulah yang mewarnai musim semiku.
Menghangatkan musim saljuku. Dan meneduhkan musim panasku. Di dalam
taman hatiku, hanya ada satu kupu-kupu: kamu. Tak ada kupu-kupu lain.
Bahkan yang masih berupa kepompong sekalipun di sana.
Mereka hanya sejenak menumpang teduh untuk kemudian terbang lagi entah ke
mana. Usahlah kamu cemas pada yang sementara. Pada mereka yang hanya
mampir dan tak benar-benar tinggal.
Seperti halnya terminal, aku toh bisa saja sesekali menjadi tempat bagi bus-bus
dan angkutan kota itu datang mengambil penumpang. Toh aku tak pernah
mengikuti bus-bus itu memburu calon penumpang di jalan-jalan yang sesak dan
berdebu.
38
28 HARI
hatiku—seperti dirimu. Kamulah ibu dari segala ibu bumi. Perempuan dari
semua perempuan penguasa hati.
Pemandangan tentang senyum yang lebar dan tawa yang membahana di setiap
pesta itu pun fatamorgana belaka. Semuanya tak lebih dari perasaanmu yang
terbawa arus sesat semata.
Kamu puisiku. Bait-bait yang tak pernah jemu kutulis. Sajak-sajak yang
tertanam di benakku. Prosa yang menjerat hatiku.
LEPAS
Aku melepaskanmu.
Aku menyadari hal itu ketika pada suatu pagi yang basah dan diguyur hujan
lebat, bayanganmu melekat di kaca jendela yang tengah kupandangi. Melesak ke
dalam benakku dan membuat huru-hara di sana; tetapi hatiku tidak bersuara.
Ini aneh. Karena biasanya ketika kamu menampakkan wujudmu dalam setiap
benda-benda transparan yang kulewati, aku akan menghabiskan sisa hari
dengan melamunkan kamu dan mengasihani diri sendiri, seperti yang selalu
terjadi selama ribuan hari belakangan ini.
39
28 HARI
Ini ganjil. Karena biasanya semua ritual menyedihkan itu akan membuat hatiku
berantakan dan ribut sendiri.
Tapi kali ini aku melewatinya seperti rasa cukup yang menerpa ketika aku mulai
terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang benar-benar aku sukai. Ketika
frekuensi santapan itu telah mengintens menjadi sekali seminggu, tiba-tiba saja
kenikmatannya menjadi tidak terasa lagi.
Tengok ponselku sekarang. Dan namamu tak ada lagi di urutan paling depan
maupun paling belakang. Kehadiranmu tak akan terlacak dalam jajaran inbox,
outbox, maupun draft.
Dalam satu lompatan waktu yang sudah terlalu genting, aku berdiri di depan
setumpuk kenangan itu. Sekarang, atau tidak sama sekali. Melompat pergi, atau
bersiap-siap jatuh lagi. Kupandangi masa lalu itu untuk yang terakhir kali.
Menggigit bibir bawah berulang kali dan menabah-nabahkan diri.
40
28 HARI
Aku jatuh tertidur, dan membuka mata menjelang pukul 5 pagi. Menatap
nyalang langit-langit kamar dan mematikan weker yang baru satu menit lagi
akan berbunyi. Hujan masih belum berhenti.
14 FEBRUARI 2010
VALENTINE
Kita tidak pernah merayakan Hari Kasih Sayang bersama. Tentu saja tidak. Aku
hanya kamu temui secara sembunyi-sembunyi. Lupakan makan malam
romantis dan menghabiskan seharian itu berdua saja. Tidak, tentu kamu akan
memilih untuk berada di sisi perempuan itu. Aku memang selalu menjadi
prioritas kedua.
Ada saat-saat dalam hidupku ketika aku meyakini bahwa ini hanya sementara.
Bahwa aku tidak akan selamanya menjadi yang kedua. Bahwa kamu, suatu hari,
akan memutuskan untuk memilihku dan menjadikanku satu-satunya. Memang,
ada masanya ketika aku meyakini bahwa menjadi prioritas kedua adalah
sesuatu yang harus kuterima dengan lapang dada. Ini demi kamu. Demi kita.
Yang perlu kulakukan hanya bersabar dan tetap berada di sisimu.
Tetapi tahun demi tahun berlalu, dan aku tidak lagi mempercayai hal-hal yang
dahulu kuyakini sepenuh hati. Kesendirian atau kebersamaan tidak
menggangguku. Tetapi kenyataan bahwa aku tak pernah tahu apakah
sesungguhnya aku sendiri atau bersamamu adalah sebuah kutukan yang
menghantui hari-hariku. Ketidaktahuan apakah aku adalah milikmu atau
apakah kamu adalah milikku, menjadikan dunia buram di mataku.
41
28 HARI
Jadi, ijinkan aku untuk jatuh cinta dengan yang lain selain kamu.
Dengan seseorang yang akan membuatku tertawa, bukan menitikkan air mata.
Dengan seseorang yang akan menggenggam tanganku dan berkata bahwa ia
menginginkanku kepada dunia, bukan menyembunyikannya. Dengan seseorang
yang akan berbisik di telingaku bahwa aku adalah satu-satunya, dan sungguh-
sungguh memaksudkannya.
Mungkin, bersamamu, aku sudah lupa apa artinya cinta. Kamu terlanjur
membuatku percaya bahwa cinta adalah penerimaan diri ketika dijadikan orang
ketiga. Dan aku bodoh karena meyakininya. Hari ini, aku menyadari betapa aku
sudah terlalu lama menyakiti diriku sendiri; demi kita. Kita yang mungkin
bagimu tidak pernah ada.
Dan jika bahagia berarti melepasmu; jika itu berarti melewati hari-hariku
tanpamu, tak mengapa. Karena yang kuinginkan saat ini adalah melindungi
jiwaku, dan memastikan bahwa hatiku masih punya kapasitas yang cukup untuk
mencinta.
SELAMANYA
Perempuanku. Tentu saja kita tidak pernah merayakan yang mereka sebut
sebagai Hari Kasih Sayang itu. Kita tak pernah mengatur waktu, lalu pergi ke
42
28 HARI
suatu tempat khusus, berdua saja. Tak pernah ada makan malam berdua
dengan lilin yang menyala syahdu.
Tidak. Itu semua tidak pernah ada. Buat aku, setiap hari adalah kasih dan
sayang. Untukmu. Selalu. Selamanya. Bersamamu, setiap hari adalah istimewa.
Dengan atau tanpa makan malam. Dengan atau tanpa lilin.
Bukan. Itu bukan karena kamu adalah nomor dua, tiga, empat atau yang
kesekian. Ini bukan tentang siapa nomor berapa. Hidup toh bukan matematika
dan statistik. Apalagi sekadar ranking.
Dan ketika tahun demi tahun berlalu, kamu toh tetap segalanya bagiku. Jika kau
bilang, sesekali kau terantuk, aku pun demikian. Bahkan berkali-kali. Tapi toh
ini bukan sebuah relasi berdasarkan keseimbangan semata. Cinta bukan untuk
ditakar dan ditimbang berdasarkan keuntungan. Bukan kutuk gelap yang
menghantui setiap detik yang kita lalui.
Mendung dan matahari datang silih berganti. Begitu juga pasang dan surut.
Siang dan malam. Selalu ada dua sisi dalam kehidupan. Maka nikmatilah rasa
bosanmu sama riangnya dengan rasa senangmu.
Sadari saja bahwa cinta kita bukan dari sejenis yang biasa. Sesuatu yang
dipahami orang-orang sebagai sebagai kebersamaan. Matahari dan bulan toh
tak pernah bersama dalam satu langit—di waktu yang sama. Tapi hidup ini
membutuhkan mereka. Sebagaimana hidup kita memerlukan hujan dan panas.
Musim gugur dan musim semi.
Usahlah kamu semak hati. Sebab siapakah yang dalam hidup ini tak ingin
bahagia. Aku? Kamu? Rasanya kita semua mendamba bahagia. Tapi apa
sebenarnya bahagia. Proses atau tujuan?
Bahagiaku mungkin tak sama dengan bahagiamu. Tapi aku tak hendak
memaksa. Kalau bahagiamu adalah melepasku, tak akan kusesali takdirku.
Sebab aku pun tahu. Bagaimana kau akan melepaskanku kalau kamu tak pernah
benar-benar memilikiku?
Maka, di hari yang mereka sebut sebagai Hari Kasih Sayang itu, aku hanya ingin
menegaskan sekali lagi bahwa harapan selalu punya tempat. Seperti lagu yang
dilantunkan oleh Enya dengan sendu itu…
43
28 HARI
___
44