You are on page 1of 10

Candi Borobudur, Satu dari Tujuh Keajaiban Dunia

Sumber: Go Archipelago Topik: Geografi Tags: Abhayamudra, Agama


Buddha, Avadanas,Bhumisparcamudra, Candi
Borobudur, Dharmacakramudra, Dhyanamudra, Dinasti
Syailendra, Gandvyuha, Jatakas, Karmavibhangga, Lalitavista, Reinkarnasi
Bodhisattva,Sakyamuni, Samaratungga, Siddharta Gautama, Tujuh Keajaiban
Dunia, Varamudra,Virtakamudra

Salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah Buddha. Hal ini cukup beralasan
mengingat ajaran yang satu ini dianut oleh penduduk Indonesia dalam jumlah yang cukup signifikan.
Bahkan dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, Buddha merupakan agama yang populer di
Jawa Tengah, yaitu antara tahun 750 – 850 Masehi. Waktu yang cukup singkat memang. Tetapi
walupun demikian, Buddha telah meninggalkan monumen-monumen besarnya di Indonesia, salah
satunya adalah Candi Borobudur, yang merupakan monumen Buddha paling besar dan spektakuler di
dunia.

Borobudur secara keseluruhan

Salah Desain?

Lalu, dimanakah letak kesalahan desain Candi Borobudur? Menurut Dirjen Kebudayaan, I Gusti
Ngurah Anom dalam “Simposium Rahasia di Balik Keagungan Borobudur” yang diselenggarakan
Dhammasena Universitas Trisakti di Jakarta, pertengahan Maret lalu, kesalahan desain itu diperbaiki
dengan membuat “kaki tambahan” dan menutupi kaki aslinya. Hal ini dilakukan pada tahap kedua
pembangunan Borobudur.

Adanya dua kaki itu pertama kali diketahui oleh Yzerman (1885) ketika mengadakan penelitian untuk
penyelamatan Candi Borobudur dari bahaya kerusakan. Kaki tambahan seperti yang terlihat sekarang,
bentuknya sangat sederhana dan sering disebut teras lebar. Teras lebar ini menutupi relief di kaki asli,
yang terdiri dari 160 pigura. Di beberapa pigura terdapat tulisan singkat sebagai petunjuk ringkas bagi
pemahatnya dalam huruf Jawa Kuna. Ternyata kata-kata yang dipergunakan itu juga terdapat dalam
kitab Mahakarmavibhangga yang memuat cerita tentang cara kerja hukum karma dalam kehidupan.

Mengapa relief di kaki asli Candi Borobudur ditutup memang masih menjadi polemik di kalangan para
arkeolog. Sebagian berpendapat bahwa penutupan ini sekedar masalah teknis agar candi itu tidak
longsor, mengingat kaki aslinya sangat curam. Sebagian lagi mengatakan bahwa penutupan ini karena
alasan keagamaan. Argumentasinya, karena relief di kaki asli menggambarkan kehidupan sehari-hari
yang terkadang berkesan sadis, seronok, dan sebagainya. Hal ini dianggap tidak patut diketahui oleh
umat Buddha yang berkunjung ke Borobudur (Kompas, 7 April 2000)

Pertanyaannya sekarang, benarkah pernah terjadi kesalahan desain pada Candi Borobudur? Mengapa
bisa terjadi? Dan untuk apa sebenarnya desain baru dibuat? Agaknya hanya sang pendiri yang bisa
menjawabnya.

Patung Buddha

Pada Candi Borobudur, terdapat patung-patung Buddha dengan 6 macam image atau mudra yang
berbeda. Kenam mudra Buddha tersebut adalah:

1. Bhumisparcamudra atau “memanggil bumi untuk menyaksikan”. Posisi Buddha dimana tangan
kanan menyentuh bumi, diletakkan di atas lutut kanan, dengan jari-jari menunjuk ke bawah. Mudra
ini melambangkan permintaan Buddha kepada Dewa Bumi untuk menyaksikan prilakunya yang benar
ketika menyangkal tuduhan Mara. Mudra ini ciri khas bagi Dhyani Buddha Aksobhya.

2. Abhayamudra. Posisi Buddha dimana tangan kanan diletakkan di atas paha kanan, dengan telapak
tangan menghadap ke atas, sebuah posisi yang melambangkan upaya penghalauan terhadap rasa
takut. Mudra ini merupakan Dhyani Buddha Amoghasiddi, Buddha Utara.

3. Dhyanamudra atau “meditasi”. Kedua tangan terbuka dan diletakkan di pangkuan, dimana tangan
kanan berada di atas tangan kiri, dan kedua ibu jari saling menyentuh satu sama lain. Mudra ini
dianggap berasal dari Amitabha, Dhyani Buddha Barat.

4. Varamudra atau “amal”. Tangan kanan diputar ke atas dan jari-jari ke bawah dan diletakkan di
lutut kanan. Dhyani Buddha tersebut adalah Ratnasambhava, Buddha Selatan.

5. Virtakamudra atau posisi menimbang keputusan secara matang, digambarkan dengan posisi
mengangkat tangan kanan di atas lutut kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, dan ujung
jari telunjuk menyentuh ibu jari. Dhyani Buddha yang dimaksud di sini adalah Budha dari semua
arah.

6. Dharmacakramudra, atau “perputaran roda Hukum”, yang melambangkan kotbah pertama


Sakyamuni di Taman Kijang di Benares. Kedua tangan ditahan di dada, tangan kiri di bawah tangan
kanan, dan diputar ke atas dengan jari manis menyentuh ibu jari, sedangkan jari manis tangan kanan
menyentuh jari kelingking kiri. Posisi tangan yang demikian memberi kesan perputaran roda, dan
dihubungkan dengan Vairocana, Dhyani Buddha Puncak.

Relief pada Candi Borobudur

Hal lain yang unik dan indah yang bisa kita temui di Candi Borobudur adalah relief yang terukir di
permukaan dinding-dindingnya, dan di sepanjang lorong atau jalan kecil yang terdapat di sini. Pada
tahap pertama pembangunan Borobudur, terdapat serangkaian relief pada kaki bangunan. Ilustrasi
teksnya diambil dari Karmavibhangga (Hukum Sebab Akibat). Teks itu mencerminkan niat baik dan
imbalannya, tapi lebih menitikberatkan pada hukuman berat bagi mereka yang berniat jahat seperti
membunuh hewan, berkelahi atau penjagalan.

Dinding dari galeri pertama didekorasi oleh 4 rangkaian relief: dua pada tembok serambi, dan dua
pada tembok utama. Kedua rangkaian relief yang terdapat di dinding serambi diambil dari teks
Jatakas, atau Kisah Kelahiran. Dongeng-dongeng ini menceritakan kehidupan Sakyamuni (Buddha
Gautama) dalam berbagai inkarnasi sebelum kelahiran akhirnya sebagai manusia. Tema dari kisah-
kisah ini adalah pengorbanan diri sebagai sarana memperoleh kebaikan dan kelahiran yang lebih baik
pada kehidupan berikutnya, dengan mencapai nirwana sebagai tujuan akhir.

Tingkat dinding utama yang lebih rendah dihias dengan kisah kelahiran yang lain, yang menceritakan
kehidupan orang-orang lain selain Sakyamuni yang juga memperoleh pencerahan. Berbeda dengan
ajaran Buddha Theravada, dimana didalamnya diyakini bahwa hanya satu orang yang dapat
memperoleh pencerahan pada zaman ini, para pengikut Buddha Mahayana yakin banyak makhluk
yang telah mencapai tahap ini. Teks ini disebut Avadanas.

Pada tingkat dinding utama yang lebih tinggi, galeri pertamanya mempertunjukkan relief-relief yang
menceritakan kehidupan Sakyamuni (Siddharta Gautama) sepanjang kehidupannya sebagai pangeran
yang menjadi guru bertapa. Relief-relief ini dimulai dengan Buddha ketika berada di surga sebelum
reinkarnasi terakhirnya, dan berakhir dengan upacara pertamanya di Taman Kijang di Benares. Teks
ini dinamakan Lalitavista.

Rangkaian kelima dan terakhir menempati 3 galeri Borobudur sebelah atas. Teks digunakan sebagai
sumber inspirasi yang disebut Gandavyuha. Ukiran ini mengandung cerita seorang pemuda, anak
pedagang, bernama Sudhana, yang berguru dari satu guru ke guru lain dalam upaya mencari
pencerahan. Sebagian besar relief memperlihatkan adegan pemuda itu bepergian dengan berbagai
transportasi termasuk kereta kuda dan gajah, serta adegan ketika dia berlutut di hadapan para
gurunya (kalayanamitra, atau “teman baik”), baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan Bodhisattvas.
Penjelajahan Sudhana berakhir di Istana Maitreya, Buddha di masa depan, di puncak gunung Sumeru,
dimana dia diberi pelajaran dan memiliki berbagai pandangan.

Rangkaian terakhir relief yang terdapat di teras bagian atas diambil dari lanjutan teks ini, yang
disebut Bhadracari, dimana Sudhana bersumpah untuk menjadi Bodhisattva, dan mengikuti contoh
Bodhisattva tertentu bernama Samantabhadra.

Bhadracari; “Dan kemudian selanjutnya, Raja Buddha akan datang, yang akan menerima pencerahan
di masa depan, seperti Raja Maitreya yang mulia dan seterusnya, dan akhirnya Samantabhadra, Sang
Buddha Masa Depan”

Penempatan rangkaian relief pada tingkat paling tinggi dari candi menunjukkan bahwa ini merupakan
teks yang paling dihormati oleh pendiri Borobudur. Adegan-adegan relief kelihatannya didesain untuk
mendorong para pejiarah agar mengikuti contoh Sudhana ketika memanjat gunung, yang
melambangkan tujuan dan sumber kebijaksanaan tertinggi.

Secara keseluruhan, tepatlah kiranya kalau kita menyebut candi yang satu ini sangat ajaib (itulah
kenapa ia menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia bukan?). Mungkin sebelumnya kita tidak pernah
membayangkan, bahwa di zaman dahulu ada seorang manusia yang mampu merancang dan
membangun monumen serumit, sespektaluker, sekaligus seindah Borobudur. Bayangkan saja, batu
ditumpuk satu per satu hingga membentuk sebuah bangunan tinggi nan indah. Setiap bagiannya pun
memilki makna, tidak asal desain. Well, apakah saat ini ada arsitek kita yang mampu membuat
bangunan bermutu seperti Candi Borobudur?

Sumber:
1. “Antiquities of Central Java”, Insight Guides Indonesia, APA City Guide Publishing Company Ltd.,
1993, hal. 77-78
2. “Borobudur and The Rise of Buddhism”, Indonesian Heritage: Ancient History, ed. John Miksic,
Singapura: Archipelago Press, hal.66-67
3. “Borobudur: A Prayer in Stone”, Singapura: Archipelago Press, 1990
4. “Borobudur: Form and Symbolism”, Indonesian Heritage: Ancient History, ed. John Miksic,
Singapura: Archipelago Press, hal.68-69
5. “Borobudur Pernah Salah Desain”, Kompas, 7 April 2000
Borobudur secara keseluruhan

Candi Borobudur terletak di tengah-tengah Pulau Jawa, 41 km sebelah baratlaut Yogyakarta, dan 7
km sebelah selatan Magelang. Dataran Kedu yang mengelilinginya sering disebut sebagai “Taman
Jawa” (The Garden of Java), karena dataran ini memang sangat subur, dan penduduknya pun sangat
tekun. Dataran ini dikelilingi oleh 4 buah gunung, yaitu Gunung Sumbing (3.371 m) dan Sindoro
(3.135 m) di sebelah baratlaut, serta Merbabu (3.142 m) dan Merapi (2.911 m) di sebelah timurlaut.

Candi Borobudur dibangun oleh Samaratungga dari Dinasti Syailendra selama kurang lebih 50 tahun,
yaitu pada tahun 778 – 856 M, 300 tahun sebelum Angkor Wat (Kamboja), dan 200 tahun sebelum
Notre Dame.

Secara keseluruhan, tinggi Borobudur mencapai 42 m, tetapi kemudian setelah dipugar, tingginya
berkurang hingga hanya 34,5 m, dan mempunyai dimensi 123 x 123 m. Borobudur mempunyai 10
lantai atau tingkat. Lantai pertama sampai keenam berbentuk segi empat, dan lantai ketujuh sampai
kesepuluh berbentuk lingkaran.

Candi ini menghadap ke timur, dan terdiri dari 1.460 panel, yang masing-masing memiliki lebar 2 m.
Luas seluruh dindingnya mencapai 2.500 m2, dan dipenuhi oleh relief. Jumlah panel yang memiliki
relief ada 1.212. Menurut penelitian, jumlah patung Buddha sekitar 504, termasuk patung-patung
yang masih utuh dan yang telah hancur. Pemugaran Borobudur sudah dilakukan sebanyak dua kali,
yaitu dari tahun 1905 – 1910, dan yang terakhir pada tahun 1973 – 1983.

Salah Desain?

Borobudur dibangun selama kurang lebih 50 tahun lamanya, melalui beberapa tahapan. Selama ini
pula desain Borobudur mengalami beberapa kali perubahan.

Tahap pertama
Tahap pertama kemungkinan dimulai sekitar tahun 780 M. Pada tahap ini, bangunan kecil dengan tiga
buah teras bertumpuk didirikan pada saat bangunan lainnya mulai dibangun dan kemudian
dihancurkan. Bangunan ini kemungkinan awalnya dirancang sebagai sebuah piramid bertingkat.

Tahap kedua
Pada tahap ini, pondasi Borobudur diperlebar, menutupi kaki asli. Selain itu, jumlah teras juga
diperbanyak, termasuk dua buah teras persegi empat dan satu buah teras bundar.
Tahap Ketiga
Perubahan yang lebih teliti dilakukan, dimana puncak teras bundar dipindahkan dan diganti dengan
serangkaian tiga buah teras bundar yang baru. Stupa juga dibangun di puncak teras-teras ini.

Tahap keempat dan kelima


Ada sedikit perubahan pada monumen, termasuk penambahan relief-relief baru dan perubahan pada
tangga dan patung di sepanjang jalan. Simbol pada monumen tetap sama, dan perubahan sebagian
besar hanya pada dekorasinya.

Lalu, dimanakah letak kesalahan desain Candi Borobudur? Menurut Dirjen Kebudayaan, I Gusti
Ngurah Anom dalam “Simposium Rahasia di Balik Keagungan Borobudur” yang diselenggarakan
Dhammasena Universitas Trisakti di Jakarta, pertengahan Maret lalu, kesalahan desain itu diperbaiki
dengan membuat “kaki tambahan” dan menutupi kaki aslinya. Hal ini dilakukan pada tahap kedua
pembangunan Borobudur.

Adanya dua kaki itu pertama kali diketahui oleh Yzerman (1885) ketika mengadakan penelitian untuk
penyelamatan Candi Borobudur dari bahaya kerusakan. Kaki tambahan seperti yang terlihat sekarang,
bentuknya sangat sederhana dan sering disebut teras lebar. Teras lebar ini menutupi relief di kaki asli,
yang terdiri dari 160 pigura. Di beberapa pigura terdapat tulisan singkat sebagai petunjuk ringkas bagi
pemahatnya dalam huruf Jawa Kuna. Ternyata kata-kata yang dipergunakan itu juga terdapat dalam
kitab Mahakarmavibhangga yang memuat cerita tentang cara kerja hukum karma dalam kehidupan.

Mengapa relief di kaki asli Candi Borobudur ditutup memang masih menjadi polemik di kalangan para
arkeolog. Sebagian berpendapat bahwa penutupan ini sekedar masalah teknis agar candi itu tidak
longsor, mengingat kaki aslinya sangat curam. Sebagian lagi mengatakan bahwa penutupan ini karena
alasan keagamaan. Argumentasinya, karena relief di kaki asli menggambarkan kehidupan sehari-hari
yang terkadang berkesan sadis, seronok, dan sebagainya. Hal ini dianggap tidak patut diketahui oleh
umat Buddha yang berkunjung ke Borobudur (Kompas, 7 April 2000)

Pertanyaannya sekarang, benarkah pernah terjadi kesalahan desain pada Candi Borobudur? Mengapa
bisa terjadi? Dan untuk apa sebenarnya desain baru dibuat? Agaknya hanya sang pendiri yang bisa
menjawabnya.

Patung Buddha

Pada Candi Borobudur, terdapat patung-patung Buddha dengan 6 macam image atau mudra yang
berbeda. Kenam mudra Buddha tersebut adalah:

1. Bhumisparcamudra atau “memanggil bumi untuk menyaksikan”. Posisi Buddha dimana tangan
kanan menyentuh bumi, diletakkan di atas lutut kanan, dengan jari-jari menunjuk ke bawah. Mudra
ini melambangkan permintaan Buddha kepada Dewa Bumi untuk menyaksikan prilakunya yang benar
ketika menyangkal tuduhan Mara. Mudra ini ciri khas bagi Dhyani Buddha Aksobhya.

2. Abhayamudra. Posisi Buddha dimana tangan kanan diletakkan di atas paha kanan, dengan telapak
tangan menghadap ke atas, sebuah posisi yang melambangkan upaya penghalauan terhadap rasa
takut. Mudra ini merupakan Dhyani Buddha Amoghasiddi, Buddha Utara.
3. Dhyanamudra atau “meditasi”. Kedua tangan terbuka dan diletakkan di pangkuan, dimana tangan
kanan berada di atas tangan kiri, dan kedua ibu jari saling menyentuh satu sama lain. Mudra ini
dianggap berasal dari Amitabha, Dhyani Buddha Barat.

4. Varamudra atau “amal”. Tangan kanan diputar ke atas dan jari-jari ke bawah dan diletakkan di
lutut kanan. Dhyani Buddha tersebut adalah Ratnasambhava, Buddha Selatan.

5. Virtakamudra atau posisi menimbang keputusan secara matang, digambarkan dengan posisi
mengangkat tangan kanan di atas lutut kanan, dengan telapak tangan menghadap ke atas, dan ujung
jari telunjuk menyentuh ibu jari. Dhyani Buddha yang dimaksud di sini adalah Budha dari semua
arah.

6. Dharmacakramudra, atau “perputaran roda Hukum”, yang melambangkan kotbah pertama


Sakyamuni di Taman Kijang di Benares. Kedua tangan ditahan di dada, tangan kiri di bawah tangan
kanan, dan diputar ke atas dengan jari manis menyentuh ibu jari, sedangkan jari manis tangan kanan
menyentuh jari kelingking kiri. Posisi tangan yang demikian memberi kesan perputaran roda, dan
dihubungkan dengan Vairocana, Dhyani Buddha Puncak.

Relief pada Candi Borobudur

Hal lain yang unik dan indah yang bisa kita temui di Candi Borobudur adalah relief yang terukir di
permukaan dinding-dindingnya, dan di sepanjang lorong atau jalan kecil yang terdapat di sini. Pada
tahap pertama pembangunan Borobudur, terdapat serangkaian relief pada kaki bangunan. Ilustrasi
teksnya diambil dari Karmavibhangga (Hukum Sebab Akibat). Teks itu mencerminkan niat baik dan
imbalannya, tapi lebih menitikberatkan pada hukuman berat bagi mereka yang berniat jahat seperti
membunuh hewan, berkelahi atau penjagalan.

Dinding dari galeri pertama didekorasi oleh 4 rangkaian relief: dua pada tembok serambi, dan dua
pada tembok utama. Kedua rangkaian relief yang terdapat di dinding serambi diambil dari teks
Jatakas, atau Kisah Kelahiran. Dongeng-dongeng ini menceritakan kehidupan Sakyamuni (Buddha
Gautama) dalam berbagai inkarnasi sebelum kelahiran akhirnya sebagai manusia. Tema dari kisah-
kisah ini adalah pengorbanan diri sebagai sarana memperoleh kebaikan dan kelahiran yang lebih baik
pada kehidupan berikutnya, dengan mencapai nirwana sebagai tujuan akhir.

Tingkat dinding utama yang lebih rendah dihias dengan kisah kelahiran yang lain, yang menceritakan
kehidupan orang-orang lain selain Sakyamuni yang juga memperoleh pencerahan. Berbeda dengan
ajaran Buddha Theravada, dimana didalamnya diyakini bahwa hanya satu orang yang dapat
memperoleh pencerahan pada zaman ini, para pengikut Buddha Mahayana yakin banyak makhluk
yang telah mencapai tahap ini. Teks ini disebut Avadanas.

Pada tingkat dinding utama yang lebih tinggi, galeri pertamanya mempertunjukkan relief-relief yang
menceritakan kehidupan Sakyamuni (Siddharta Gautama) sepanjang kehidupannya sebagai pangeran
yang menjadi guru bertapa. Relief-relief ini dimulai dengan Buddha ketika berada di surga sebelum
reinkarnasi terakhirnya, dan berakhir dengan upacara pertamanya di Taman Kijang di Benares. Teks
ini dinamakan Lalitavista.

Rangkaian kelima dan terakhir menempati 3 galeri Borobudur sebelah atas. Teks digunakan sebagai
sumber inspirasi yang disebut Gandavyuha. Ukiran ini mengandung cerita seorang pemuda, anak
pedagang, bernama Sudhana, yang berguru dari satu guru ke guru lain dalam upaya mencari
pencerahan. Sebagian besar relief memperlihatkan adegan pemuda itu bepergian dengan berbagai
transportasi termasuk kereta kuda dan gajah, serta adegan ketika dia berlutut di hadapan para
gurunya (kalayanamitra, atau “teman baik”), baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan Bodhisattvas.
Penjelajahan Sudhana berakhir di Istana Maitreya, Buddha di masa depan, di puncak gunung Sumeru,
dimana dia diberi pelajaran dan memiliki berbagai pandangan.

Rangkaian terakhir relief yang terdapat di teras bagian atas diambil dari lanjutan teks ini, yang
disebut Bhadracari, dimana Sudhana bersumpah untuk menjadi Bodhisattva, dan mengikuti contoh
Bodhisattva tertentu bernama Samantabhadra.

Bhadracari; “Dan kemudian selanjutnya, Raja Buddha akan datang, yang akan menerima pencerahan
di masa depan, seperti Raja Maitreya yang mulia dan seterusnya, dan akhirnya Samantabhadra, Sang
Buddha Masa Depan”

Penempatan rangkaian relief pada tingkat paling tinggi dari candi menunjukkan bahwa ini merupakan
teks yang paling dihormati oleh pendiri Borobudur. Adegan-adegan relief kelihatannya didesain untuk
mendorong para pejiarah agar mengikuti contoh Sudhana ketika memanjat gunung, yang
melambangkan tujuan dan sumber kebijaksanaan tertinggi.

Secara keseluruhan, tepatlah kiranya kalau kita menyebut candi yang satu ini sangat ajaib (itulah
kenapa ia menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia bukan?). Mungkin sebelumnya kita tidak pernah
membayangkan, bahwa di zaman dahulu ada seorang manusia yang mampu merancang dan
membangun monumen serumit, sespektaluker, sekaligus seindah Borobudur. Bayangkan saja, batu
ditumpuk satu per satu hingga membentuk sebuah bangunan tinggi nan indah. Setiap bagiannya pun
memilki makna, tidak asal desain. Well, apakah saat ini ada arsitek kita yang mampu membuat
bangunan bermutu seperti Candi Borobudur?

Sumber:
1. “Antiquities of Central Java”, Insight Guides Indonesia, APA City Guide Publishing Company Ltd.,
1993, hal. 77-78
2. “Borobudur and The Rise of Buddhism”, Indonesian Heritage: Ancient History, ed. John Miksic,
Singapura: Archipelago Press, hal.66-67
3. “Borobudur: A Prayer in Stone”, Singapura: Archipelago Press, 1990
4. “Borobudur: Form and Symbolism”, Indonesian Heritage: Ancient History, ed. John Miksic,
Singapura: Archipelago Press, hal.68-69
5. “Borobudur Pernah Salah Desain”, Kompas, 7 April 2000

Candi Rejo Desa Wisata "Penyangga" Candi Borobudur (Bagian 1)


Time Traveller Fri, 26 Mar 2004 10:12:00 WIB
Ada program baru di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yakni desa wisata berbasis
massa. Desa yang ketiban sampur (dipilih) adalah Candirejo, sekitar tiga kilometer arah tenggara
Candi Borobudur.
Pegunungan Menoreh di Candirejo luasnya 48.735 kilometer persegi. Konservasi terhadap
pegunungan ini merupakan upaya melestarikan cagar budaya Candi Borobudur. Bila wilayah
fisik dan budaya masyarakatnya berubah, dikhawatirkan membawa dampak negatif bagi
kelestarian Candi Borobudur. Pegunungan Menoreh yang gundul akan mengakibatkan banjir di
wilayah Borubudur sebab wilayah ini merupakan tangkapan air tiga sungai yang mengalir di
daerah itu, yaitu Sungai Progo, Sileng, dan Serayu.

Selain itu, pegunungan yang gundul menyebabkan erosi dan menyebabkan tanah ladang di
sekitarnya menjadi tidak subur. Dalam jangka panjang kondisi ini akan memiskinkan para petani
dan memaksa mereka melakukan urbanisasi guna mencari alternatif pekerjaan lain. Kepergian
mereka akan digantikan orang baru yang pasti rasa keterikatan kulturalnya dengan Candi
Borobudur lebih longgar.

Untuk sementara ini secara swadaya, masyarakat sudah membangun 10 home stay dengan gaya
tradisional (limasan). Dari tempat ini juga bisa disaksikan kokohnya Gunung Merapi, Merbabu,
Sindoro, dan Sumbing. Juga tampak siluet Candi Borobudur dari kejauhan, dan beberapa guide
lokal yang siap mengantar wisatawan.

Untuk menikmati indahnya suasana Desa Candirejo secara utuh, bermalam di desa menjadi
keharusan. Ada 10 home stay dengan gaya limasan yang siap menampung wisatawan.

Pagi hari, suara kokok ayam hutan terdengar. Ketika kabut mulai menghilang dan udara kian
hangat, terlihatlah panorama alam yang indah. Sosok Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, dan
Sumbing tampak berdiri kokoh.

Di kejauhan tampak pula Candi Borobudur dikelilingi sawah ladang berselang-seling dengan
hijaunya pepohonan. Sedangkan aliran Sungai Progo dan Sileng yang berkelak-kelok melewati
Desa Candirejo, tampak seperti ular raksasa.

Panorama alam yang indah ini dapat disaksikan dari salah satu puncak perbukitan Menoreh yang
berada di Dusun Butuh, Desa Candirejo, Magelang. Di bukit dengan ketinggian 800 m di atas
permukaan air laut (dpl) ini juga terdapat beberapa batu besar yang diberi nama seperti nama
perkakas dapur (dalam bahasa Jawa) seperti watu dandang, watu ambeng, dan watu kendil.

Watu kendil adalah yang terpopuler. Batu yang menempel di bibir jurang ini tidak terguling
karena tiupan angin meskipun bidang yang. menempel di tanah jauh lebih kecil daripada luas
bidang yang di atas. Mitos masyarakat setempat mengatakan bila batu ini terguling, Candi
Borobudur akan tertimpa bencana banjir.

Desa di kaki Pegunungan Menoreh ini memang terletak tidak jauh dari Candi Borobudur, sekitar
tiga kilometer arah tenggara candi itu. Dari desa ini, pada pagi hari para wisatawan dapat dengan
cepat meluncur ke candi Buddha itu untuk menikmati sun rise dari sela-sela stupa besar.

Sadar memiliki potensi yang dapat dijadikan obyek wisata, penduduk sepakat menjadikan desa
mereka sebagai desa wisata. Menurut Kepala Desa Candirejo, Slamet Tugiyanto, peresmian desa
itu sebagai desa wisata berbasis massa dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede
Ardika, 18 April 2003.

"Pengembangan Candirejo sebagai desa wisata juga dimaksudkan agar aktivitas pariwisata tidak
hanya terpusat di Candi Borobudur," ujar Satya Hermawan dari Yayasan Patra-Pala Institute for
Social Ecology and Ecotourism, sebuah NGO yang memfasilitasi pembentukan desa wisata ini.
Untuk proyek ini Yayasan Patra-Pala mendapatkan bantuan dana dari JICA (Japan International
Cooperation Agenry).
Pengelolaan turisme yang menawarkan pesona keindahan alam ini sepenuhnya ada di tangan
masyarakat desa sendiri, mulai dari penyediaan local guide hingga home stay-nya. Dari aktivitas
ini diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat dan mereka mempunyai kepedulian untuk
mengonservasi Pegunungan Menoreh.

Berbagai keindahan alam yang ditawarkan di Candirejo, sepenuhnya tergantung pada lestarinya
Pegunungan Menoreh dan hijaunya aneka jenis pepohonan. Menyaksikan pemandangan yang
indah sebagaimana dilukiskan di atas, menjadi tidak menarik bila Pegunungan Menoreh gundul
dan gersang.
Konservasi terhadap Pegunungan Menoreh juga merupakan upaya melestarikan cagar budaya
Candi Borobudur. Pegunungan ini adalah daerah penyangga Candi Borobudur. Bila wilayah
fisik dan budaya masyarakatnya berubah, ditakutkan akan membawa dampak negatif bagi
kelestarian Candi Borobudur. Pegunungan Menoreh yang gundul akan mengakibatkan banjir di
wilayah Borobudur, sebab wilayah ini merupakan tangkapan air bagi tiga sungai yang mengalir
di daerah itu, yaitu Sungai Progo, Sileng, dan Serayu.

Selain itu, Pegunungan Menoreh yang gundul akan menyebabkan erosi dan menyebabkan tanah
ladang di sekitarnya menjadi tidak subur. Dalam jangka panjang kondisi ini akan memiskinkan
para petani dan memaksa mereka melakukan urbanisasi guna mencari alternatif pekerjaan lain.
Kepergian mereka akan digantikan orang baru yang pasti rasa keterikatan kulturalnya dengan
Candi Borobudur lebih longgar.Bersambung
==============================

Candi Rejo Desa Wisata "Penyangga" Candi Borobudur (2)

Pagi hari, setelah menyaksikan panorama alam dari puncak bukit, kegiatan wisata dapat
dilanjutkan dengan melakukan tracking menyusuri hutan di Pegunungan Menoreh. Di sini aneka
jenis burung dapat disaksikan. Suara burung raja udang adalah yang paling sering terdengar.
"Namun, pengunjung juga dapat menyaksikan beberapa jenis burung raptor di sini," ujar Satya
Hermawan.

Menyusuri jalan antara Dusun Butuh dan Wonosari, ada jalan yang di sepanjang sisinya
ditumbuhi tanaman pandan (Pandanus Sp). Karena lebatnya, jalanan ini dinamakan Gua Pandan.
Setiap tiga hari sekali penduduk mengambil daunnya sebagai bahan membuat aneka jenis
kerajinan seperti tas dan tikar.

Setelah menyusuri hutan, perjalanan dilanjutkan dengan melewati ladang penduduk. Para petani
di ladang akan menyambut kita dengan tegur sapanya yang ramah. "Mari, istirahat dan minum
dahulu," begitulah sa~laan ramah khas mereka kepada wisatawan. Ladang itu ditanami aneka
jenis sayuran dan buah-buahan, seperti rambutan, jeruk, pepaya, dan mangga. Bila musim panen,
wisatawan boleh ikut memanen dan menikmatinya.

Obyek alam lain yang menarik dinikmati adalah menyusuri tepian Sungai Progo atau Sungai
Sileng. "Selain mendaki Pegunungan Menoreh, wisatawan asing sangat suka menyusuri tepian
sungai," ujar Imam Taufik, salah seorang local guide. Di sepanjang tepian sungai ini, tumbuh
pohon bambu dan pohon lainnya yang dengan indahnya "memagari" sungai itu.
Sungai Progo yang berkelak-kelok menjadi daya tarik tersendiri. Di beberapa tempat, kelokan
sungai ini membentuk formasi setengah lingkaran atau huruf U. Di tempat ini, penduduk desa
biasa mencari ikan dengan menebar jaring sepanjang 60 meter atau memancing.

Di bagian lain sungai ini, terdapat pula konsentrasi batu-batu besar yang berasal dari letusan
gunung berapi. Saat sungai surut, batu-batu besar itu tampak menghubungkan kedua sisi sungai
sehingga seperti membendung aliran sungai. Karena itulah penduduk menamakannya watu
tambak (batu untuk membendung).

Sedangkan Sungai Sileng adalah bukti betapa penduduk desa masih hidup menyatu dengan
alam. Di sungai yang melintas di tengah desa, Anda bisa menyaksikan penduduk mencuci, anak-
anak mandi dan bermain air sementara para pria menangkap ikan.

Aktivitas menarik lainnya adalah pembuatan kerajinan dari daun pandan dan bambu. Di sini,
proses pembuatan dari awal hingga akhir dapat disaksikan secara langsung. Semua bahan
bakunya diambil dari tanaman pandan dan bambu yang ada di Pegunungan Menoreh.

Candirejo juga kaya tradisi dan seni budaya. Tradisi yang masih dipertahankan adalah nyadran,
yaitu upacara mengirim doa untuk para arwah leluhur setiap bulan Ruwah (kalender Jawa), dan
Bersih Desa, ritual untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas keselamatan dan hasil panen
pertanian yang diberikan selama satu tahun. Bersih Desa yang meriah ini diadakan setiap tanggal
15 bulan Sapar. Acara ini tentu saja menjadi "bonus" bagi para wisatawan yang saat itu sedang
mengunjungi Candirejo.

Sedangkan kesenian tradisi yang dapat disaksikan adalah jathilan (kuda lumping), wayang kulit,
dan beberapa jenis tarian seperti GatholocolWulangsunu, Kubrosiswo, dan Shalawatan. Tarian
ini diiringi musik yang syair lagunya berisi ajaran tentang kebajikan dalam hidup. Selain
dipentaskan dalam hajatan, kesenian ini juga ditampilkan untuk memeriahkan acara Bersih Desa.

Itulah keindahan suasana desa yang tidak akan pernah membosankan untuk dikunjungi.
Berwisata di desa ini, selain memberikan kesegaran jiwa, para wisatawan secara tidak langsung
juga telah ikut melestarikan Candi Borobudur yang telah ditetapkan menjadi salah satu warisan
dunia. Naskah & Foto: Heru Prasetya

Sumber: SuaraMerdeka

You might also like