You are on page 1of 131

Kidung Kelepasan Patanjali

Daftar Isi.
PENGANTAR.......................... i.

PENDAHULUAN.................... iii.

Samãdhi Pãda — Hakekat Penyatuan Agung.

Memasuki Yoga Sutra...................1.

Kiat Mengatasi Modifikasi-modifikasi


Pikiran....................4.

Samãdhi, Tahap Pencapaiannya dan Keampuhan


Isvarapranidhana....................... 6.

Isvara sebagai Guru Semesta dan Pranava


Japa.........................8.

Pelebur Penderitaan......................11.

Sinar Kebijaksanaan lahir dari


Samãdhi.........................15.

Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual.

Kriya Yoga, Mengawali Pendakian


Spiritual........................ 18.

Hambatan Utama dan Kiat


Memusnahkannya......................... 22.

Musnahnya Identitas-diri dalam


Pencerahan........................ 25.

Delapan Langkah Pendakian dan Tujuh Langkah


Penyatuan......................27.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 1
Disiplin Moral dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting
Destruktif....................31.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung


(1)........................33.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung


(2)........................ 35.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung


(3)..........................37.

Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap


Mental....................... 39.

Regulasi Nafas dan Pengendalian Daya


Vital.......................... 41.

Terminal Pendakian......................44.

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan


Kesempurnaan.

Paparan tentang Kekuatan dan


Kesempurnaan...................... 46.

Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan dan Tiga


Bentuk Transformasi Citta......48.

Mengerti Suara, Maksud, Asal dan Kehidupan Lampau


Makhluk Hidup................50.

Mengetahui tanda-tanda Kematian......................52.

Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-


siddhi.....................54.

Posisi sentral Viveka dan Vairagya di dalam Pemanfaatan


Samyama.................... 56.

Tercapainya cita-cita Sang Yogi.......................59.

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati.

Menggapai Kebebasan Sejati..................... 61.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 2
Evolusi Kosmis dan Tujuan......................63.

Yang Mengahalangi Pencerahan


Sempurna.........................65.

Dharmamegha Samãdhi dan Sampainya di


Puncak....................67.

PENUTUP ~ Jalan Kelepasan dan juga Jalan


Kesucian....................69.
Appendiks:
 Raja Yoga..............72.
 Butir-butir mutiara Yoga-Samãdhi yang
tercecer.........................81.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 3
Kidung Kelepasan Patanjali

PENGANTAR

Hadirnya kitab kecil ini sebetulnya hanya dari kenekatan penulis, yang
tidak menguasai bahasa Sanskerta, ibu bahasa-bahasa dunia itu.
Kenekatan ini semakin menjadi-jadi tatkala penulis menyimak sebuah
terjemahan lengkap Yoga Sutra Patanjali dalam bahasa Inggris pada
sebuah website.

Sebelumnya terjemahan dan ulasan parsial seringkali penulis temukan,


namun terjemahan lengkapnya ke dalam bahasa Inggris masih relatif
jarang. Besar dugaan penulis bahwa dalam terjemahan itu, gaya
bahasanya sengaja dibuat sesederhana mungkin; mungkin maksudnya agar
mudah dimengerti dan tidak terkesan menakutkan. Dasar pemikiran yang
amat mengena, mengingat belakangan kehausan generasi muda terhadap
teks-teks kuno spiritual ke-timur-an semakin tampak marak di berbagai
belahan dunia.

Terjemahan dan ulasannya dalam Indonesia dari bahasa Inggris memang


sudah ada. Namun agaknya masih langka yang langsung diterjemahkan
dari bahasa aslinya dan diulas oleh peminat dan penekun jalan spiritual
Indonesia. Kebanyakan, bahkan mungkin semua, masih merupakan
terjemahan atau ulasan 'second-handed'. Kenyataan ini semakin menyulut
kenekatan penulis untuk mencobanya. 'Kenapa tidak saya coba saja?',
pertanyaan inilah yang terlintas di benak penulis ketika memulainya.

Secara kebetulan, penulis mewarisi sebuah kitab Yoga Sutra Patanjali


berbahasa 'melajoe' peninggalan orang tua kami. Ditambah dengan
bacaan-bacaan lain—kecuali yang tercantum dalam daftar bacaan—yang
kebanyakan terbitan The Divine Life Society, serta petunjuk-petunjuk
dari mereka yang amat penulis hormati, maka dicobalah menyusun kitab
kecil ini. Tanpa penguasaan yang baik atas bahasa Sanskerta, penulis
berusaha menterjemahkannya secara bebas, sesuai kemampuan yang
amat terbatas ini.

Dimaklumi bahwa Yoga Sutra adalah teks kuno yang amat dihormati oleh
segenap Yogi paska Patanjali. Sebagai pokok Yoga Darsana, keagungannya

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 4
bahkan dapat didudukkan sejajar dengan Sruti, Bhagavad Gita dan
Upanisad-upanisad yang suci, yang disebut-sebut sebagai diwahyukan
langsung maupun tak-langsung oleh Tuhan sendiri. Ulasan-ulasan
terhadapnya  selama ini, (mungkin) hanya diberikan oleh para Yogi besar,
yang tak diragukan lagi pengetahuan, pengalaman dan kesucian batin
beliau. Tak kurang Vedavyasa sendiri, menurunkan ulasan khusus beliau
dalam Yogabhasya.

Dalam sebuah tulisan karyanya, Sri Swami Sivananda memperingatkan:


“Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah
sutra berupa sebuah aphorisma pendek padat makna. Ia berupa
ungkapan-ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta
signifikansi yang tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala memiliki
suatu tradisi dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun
realisasinya hanya dalam bentuk sutra-sutra saja. Adalah amat sulit
untuk mengertikan maksud yang terkandung di dalam sutra-sutra
tersebut tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang pembimbing
atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik”.

Jadi, kembali harus penulis kemukakan bahwa memang semua ini hanyalah
dari kenekatan, hasrat untuk berbuat dan minat yang besar terhadap
kehidupan dan jalan spiritual. Amat banyak kekurangannya disana-sini.
Semoga ia bermanfaat bagi sahabat peminat dan penekun yang
bersungguh-sungguh dan lewat perantara tulisan ini, semoga Sang
Maharshi berkenan memaparkannya secara langsung kepada pembaca
sekalian.

Denpasar, 9 Nopember 2000.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 5
PENDAHULUAN.

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharshi Patanjali ini adalah teks
klasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ia dinyana
telah ditulis 2500 tahun lalu; jadi kurang lebih sejaman dengan Buddha
Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak
kurang dari abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau
penyatuan universal benar-benar pendek dan akurat; menegaskan secara
lengkap, rinci dan akurat bagian-bagian yang esensial. Mengingat
kepadatan dan kepekatan kandungan makna spiritual-filosofisnya, Yoga
Sutra dianjurkan untuk dijelaskan dan di-interpretasikan oleh seorang
Guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktek Yoga dipandang sebagai
pelengkap dari dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat
Sankhya. Tujuan-pokoknya adalah merealisasikan kebebasan Jiva dari
kungkungan Maya.
Ketidak-cukupan informasi tentang Yoga telah mengundang tak
sedikit persepsi keliru di kalangan awam tentangnya. Yoga seringkali
dikacaukan dengan Tapa, atau bahkan dengan sesuatu yang berbau klenik
yang mendekati takhyul, atau memandangnya hanya dari sudut-pandang
kegaiban-kegaiban dan kanuragan saja, telah menggugah penulis untuk
menghadirkan buku ini di tengah-tengah kita semua.
Untuk ini, ada baiknya diketengahkan paparan Sri Swami Sivananda
—pendiri The Divine Life Society—tentang Yoga.
“Yoga bukanlah mengurung diri di dalam gua-gua, bukan pula
berkelana di hutan-hutan lebat sekitar pegunungan Himalaya. Ia
juga bukan hanya memakan jenis makanan yang berupa sayur-
mayur dari pegunungan. Brahman bukanlah pengecut yang lari dari
hiruk-pikuknya komunitas dan pemukiman manusia. Praktekkan
sajalah Yoga di rumah Anda sendiri. Manakala hasrat untuk
mempraktekkannya muncul, ini berarti bahwa kebebasan telah
berada dalam jangkauan Anda, oleh karenanya manfaatkanlah
peluang ini sebaik-baiknya.....Menjalani kehidupan sebagai seorang
Yogi, tidaklah mesti menelantarkan siapapun juga atau
mengabaikan kewajiban-kewajiban melekat Anda. Ia bermakna
merubah sikap hidup dari kebiasaan mengerjakan sesuatu yang sia-
sia, menuju jalur yang secara pasti mengantarkan langsung kepada
Tuhan. Ia dibarengi dengan perubahan prilaku dalam menjalani
kehidupan serta metode-metodenya guna membebaskan diri Anda

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 6
dari berbagai belenggu dan kemelekatan. Kebenaran dan
pengabaian keakuan, sebenarnya merupakan masalah sikap-batin”.

Sesuai sistematika dari teks aslinya, Kidung Kelepasan Patanjali


inipun disajikan dalam 4 bagian (pãda), masing-masing adalah:
Samãdhi Pãda.
Sãdhana Pãda.
Vibhuti Pãda.
Kaivalya Pãda.

Samãdhi Pãda —Hakekat Penyatuan Agung.

Pãda yang tersusun dalam 51 sutra ini memaparkan tentang


landasan spiritual-filosofis Yoga, hakekat dari penyatuan dan
hakekat ketuhanan dalam Yoga. Dalam bagian ini akan banyak kita
temukan paparan yang menyangkut intisari keimanan Hindu, yang
juga berhampiran dengan Buddha, serta penerangan yang amat
bersesuaian dengan Upanishad-upanishad dan Veda Sruti. Dari
bagian ini pula, bila kita cermati, kesinambungan antara Sanhkya
Darsana dan Vedanta terjembatani dengan Shastrãgama-
shastrãgama lain. Pãda ini merupakan pembuka yang berisikan
pembekalan dalam tahap persiapan, sebagai landasan pijak dan
kerangka dasar seorang sadhaka, seorang penekun di jalan
spiritual.

Samãdhi Pãda terutama menjelaskan beberapa jenis Samãdhi


sesuai dengan tersisa atau tidaknya objek di dalam Samãdhi, yang
dicapai bersama dengan terhentinya pusaran-pusaran pikiran.
Kaivalya, yang merupakan isu sentral dari Yoga Sutra ini, hanya
dicapai melalui Nirvikalpa atau Nirbija Samãdhi. Walaupun
demikian, jenis pencapaian lain tetap merupakan pencapaian tinggi
yang merupakan penghampiran pra yang tertinggi. Pembekalan
mendasar, seperti ketidak-melekatan (vairagya) dan pembiasaan
laku-spiritual (abhyasa) juga diberikan, sebelum seorang sadhaka
benar-benar terjun dalam praktek kehidupan spiritual secara
intens.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 7
Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual.

Pãda yang tersusun dari 55 sutra ini memberikan paparan praktis


bagi seorang sadhaka. Disini mulai diperkenalkan Yama, Niyama,
Pranayama dan Pratyahara, serta persiapan untuk memasuki tiga-
serangkai Samyama —Dharana-Dhyana-Samadhi. Samyama baru
dipaparkan secara panjang lebar pada Vibhuti Pãda. Metode
pembebasan psikologis dan spiritual yang terdiri dari delapan
tahapan ini, juga dikenal dengan Ashtanga Yoga.

Disini juga diingatkan akan bahaya dari siddhi bagi seorang


sadhaka sejati. Secara keseluruhan prinsip-prinsip praktis dari
Yoga dapat ditemukan disini dalam paparan yang lugas. Sebagai
paparan praktis, di dalam mengikuti Sãdhana Pãda ini kita juga
acapkali seakan-akan sedikit ‘dipaksa’ untuk mengerti tentang
sistem Yoga praktis tertentu, terutama Hatha Yoga dan Laya
Yoga atau Kundalini Yoga.

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan.

Disini dipaparkan tuntunan praktis yang lebih tinggi, terutama


tentang tiga-serangkai Samyama, melalui mana kekuatan-kekuatan
spiritual, kegaiban-kegaiban, hingga kesempurnaan Yoga bisa
dicapai.

Bagi yang mempunyai naluri mistis yang kuat, bagian yang tersusun
oleh 56 sutra ini, bisa merupakan bagian yang paling menarik. Disini
juga disampaikan peringatan-peringatan untuk tidak melaksanaan
Yoga hanya demi perolehan kekuatan-kekuatan dan kegaiban-
kegaiban itu, apalagi terikat padanya. Ini dapat dengan mudah
menjatuhkan sang penekun.

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati.

Di antara ke-empat Pãda, Kaivalya Pãda inilah yang tersingkat.


Disini paparan terasa padat, yang utamanya difokuskan pada
pencapaian Kaivalya dan tentang bagaimana seorang Yogi yang
telah mencapai status itu. Disini Patanjali tak lupa menyelipkan lagi
tatanan etika-moral luhur dari seorang Yogi Sempurna —yang

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 8
dalam ajaran Vedanta kita kenal sebagai Jivanmukta, ia yang telah
terbebaskan dari siklus Samsara dan tak terlahirkan kembali di
alam manapun —di antara 34 sutra pembentuknya.

Jadi, secara keseluruhan, ke-empat Pãda benar-benar membentuk


satu kesatuan integral, yang kait-mengait satu sama lain, mengalir dan
berlanjut, saling memperjelas dan mempertegas. Ini juga berarti
meminta praktisi mempelajari Yoga Sutra —guna memperoleh
pemahaman yang baik tentang praktek Yoga itu sendiri— secara
berulang-ulang, bolak-balik ke depan dan kembali ke belakang. Ia memang
merupakan manual-praktis yang tersaji dalam satu kesatuan bahasan
komprehensif, menyeluruh dan terpadu. Guna menunjang bahasan-
bahasan, dengan segala kerendahan hati, di akhir buku ini penyusun
sajikan sebuah tulisan lepas sebagai appendiks.
Dalam kesempatan yang bersahaja ini, kiranya pada tempatnyalah
kita bersyukur dan bersujud dengan penuh hormat kepada Maharshi
Patanjali, atas kemurahan hati beliau yang tanpa pamerih telah menyusun
sistematika praktis serta melahirkan satu aliran filsafat ( darsana) agung
yang tiada duanya, yang dapat mengantarkan manusia menuju Kebebasan
Sejati.


Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 9
MEMASUKI YOGA SUTRA

Konstelasi batin manusia dan Ideal Patanjali

Sekarang dijelaskan tentang Yoga.


Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi
pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha).
Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat—
hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih;
sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru
mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut.
[YS I.1 - I.4]

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan
padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada
Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk
itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya.


Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian
diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man
dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki
posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan
prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya
dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha


mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan
maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki Sankhya, manas menduduki
posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta
menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada
pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan.
Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi
dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas
dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya.
Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang
berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 10
Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut
‘tiga kekuatan Prakriti’.

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh


sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan
menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi
oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara
inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang
buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara,
manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-
ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan;
inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu.

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru


mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu
sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap
pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang
kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga
jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana
Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia. Demikianlah ideal
pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini.

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang


menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran
(pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra)
dan ingatan (smrti).
Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan
penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk
suatu rangkaian metode penalaran yang baik.
[YS I.5 - I.7]
 
Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih
dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan
(smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu
pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan
objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai
pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 11
menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian
proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu
rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang
berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna
memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar


ataupun di dalam, melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama
secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman
disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan
pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan
(smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental ( samskara). Smrti
semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang.
Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra
pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut
pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun
‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.

Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-


sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang
terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut
agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui
mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci.

Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau
dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan
ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan
pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi,
dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan
inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya
Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya
Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang
mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i)
subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti)
dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).

Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-


jñana), yang tidak tersusun dari realitas.
Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa
didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa)

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 12
semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya
keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran
kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah
ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru
itu.
[YS I.8 - I.11]

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan ( panca viparyaya) dalam


Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu
ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk
memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii)
Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping
asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan
—sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra,
menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil
besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang


disebutkan dalam sutra I.10—bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang
disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa
jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya,
menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan
kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi
‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda
menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif
tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia
memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin
mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti
memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk
menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang
tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui


pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja
sedemikian rupa saling menunjang dan menguatkan, sebelum menarik
suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh
pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan ( viparyaya), angan-

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 13
angan atau imajinasi-imajinasi subjektif ( vikalpa), serta kehadiran objek-
objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan
keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-


modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-
jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra
berikutnya.

oOo

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 14
MEMASUKI YOGA SUTRA

Konstelasi batin manusia dan Ideal Patanjali

Sekarang dijelaskan tentang Yoga.


Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi
pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha).
Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat—
hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih;
sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru
mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut.
[YS I.1 - I.4]

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan
padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada
Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk
itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya.


Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian
diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man
dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki
posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan
prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya
dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha


mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan
maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki Sankhya, manas menduduki
posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta
menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada
pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan.
Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi
dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas
dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya.
Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang
berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 15
Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut
‘tiga kekuatan Prakriti’.

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh


sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan
menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi
oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara
inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang
buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara,
manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-
ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan;
inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu.

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru


mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu
sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap
pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang
kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga
jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana
Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia. Demikianlah ideal
pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini.

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang


menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran
(pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra)
dan ingatan (smrti).
Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan
penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk
suatu rangkaian metode penalaran yang baik.
[YS I.5 - I.7]
 
Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih
dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan
(smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu
pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan
objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai
pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 16
menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian
proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu
rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang
berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna
memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar


ataupun di dalam, melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama
secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman
disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan
pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan
(smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental ( samskara). Smrti
semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang.
Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra
pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut
pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun
‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.

Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-


sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang
terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut
agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui
mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci.

Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau
dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan
ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan
pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi,
dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan
inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya
Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya
Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang
mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i)
subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti)
dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).

Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-


jñana), yang tidak tersusun dari realitas.
Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa
didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa)

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 17
semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya
keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran
kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah
ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru
itu. [YS I.8 - I.11]

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan ( panca viparyaya) dalam


Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu
ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk
memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii)
Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping
asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan
—sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra,
menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil
besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang


disebutkan dalam sutra I.10—bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang
disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa
jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya,
menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan
kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi
‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda
menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif
tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia
memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin
mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti
memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk
menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang
tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui


pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja
sedemikian rupa saling menunjang dan menguatkan, sebelum menarik
suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh
pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan ( viparyaya), angan-
angan atau imajinasi-imajinasi subjektif ( vikalpa), serta kehadiran objek-

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 18
objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan
keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-


modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-
jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra
berikutnya.

oOo

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 19
KIAT MENGATASI MODIFIKASI-MODIFIKASI PIKIRAN

Melalui pembiasaan terus-menerus (abhyasa) dan tanpa


keberpihakan dan keterikatan (vairagya) modifikasi-modifikasi
pikiran dan perasaan (vritti) dihapuskan (nirodhah).
Abhyasa adalah usaha terus-menerus pada jalan spiritual hingga
menjadi suatu kebiasaan.
Perhatian yang konstan dalam jangka waktu lama, dengan teguh
dan tanpa jeda memantapkannya.
Pandangan hidup yang bebas dari nafsu keinginan dan kecintaan
pada pengalaman-pengalaman indriawi berikut objek-objeknya,
serta tanpa keberpihakan dan keterikatan lagi padanya adalah
vairagya.
Vairagya yang tertinggi dicapai tatkala munculnya kekuatan Purusa
untuk menghentikan pengaruh guna, walaupun berupa keinginan
yang sekecil apapun.
[YS I.12 - I.16]

Paparan serupa ini ternyata kita temukan pula dalam Bhagavad Gita
VI.35:
"Tidak diragukan lagi, oh...Mahabahu, pikiran memang sulit
dikendalikan, namun ia dapat dikuasai melalui pembiasaan-diri
(abhyasena), ketidak-terikatan (vairagyena) pun dapat dicapai
melaluinya."

Abhyasa saling menguatkan dengan vairagya. Abhyasa dicapai melalui


kesinambungan pelaksanaan sadhana; sesungguhnya antara sadhana dan
abhyasa nyaris tiada beda. Mungkin dapat dikatakan bahwa abhyasa
adalah suatu kebiasaan dalam menjalankan sadhana-sadhana bagi seorang
sadhaka. Sudah barang tentu membiasakan sesuatu —apalagi sesuatu
yang baik dan bernilai spiritual— tidaklah mudah dan dapat diraih dalam
waktu singkat.

Dalam konteks ini, abhyasa ditujukan untuk mengendalikan dan meredam


semua vritti. Menurut Sri Swami Sivananda, mengarahkan kembali pikiran
kepada asalnya —Hrdaya Guha—dan menjadikannya tercerap dalam
Atman adalah abhyasa; demikian pula mengarahkan pikiran ke dalam
untuk menghancurkan kecenderungannya mengarah ke luar. Hanya melalui
abhyasa saja, samskara-samskara dapat dibakar hangus.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 20
Wrhaspati Tattwa melukiskan yang telah meraih vairagya bagaikan raja
yang kuat, yang telah menikmati kemenangan dalam peperangan. Semua
kesenangan duniawi —lewat munculnya kegandrungan terhadapnya— tak
lagi mengikatnya karena ia tak menginginkan lagi semua itu.

Menurut Sri Swami Sivananda ada empat tingkatan vairagya:


(1) Yatamana:- Ini dicirikan dengan adanya upaya untuk tidak
membiarkan pikiran berlari menuju ladang sensualitas;
(2) Vyatireka :- Pada tingkat ini beberapa objek bisa saja menarik
Anda namun Anda berhasrat kuat untuk memotong kelekatan dan
ketertarikan Anda itu, dan sadar akan tingkatan vairagya
terhadap objek-objek yang berbeda-beda;
(3) Ekéndriya:- Sensasi-sensasi masih ada yang berdiri tegak maupun
yang telah tunduk, akan tetapi pikiran masih memiliki raga atau
dvesha, suka atau tak-suka pada objek-objek. Hanya sebatas
pikiran saja; atau dengan lain kata, hanya pikiran saja satu-
satunya sensasi yang berfungsi secara terpisah;
(4) Vasirara:- Pada tingkat vairagya tertinggi ini, objek-objek tidak
lagi menggoda. Mereka tidak lagi menimbulkan ketertarikan
samasekali. Sensasi tenang dengan sempurna. Pikiranpun terbebas
dari suka-tak-suka. Andapun memperoleh kemenangan dan tanpa
ketergantungan lagi. Tanpa vairagya tiada kemajuan spiritual yang
dimungkinkan.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 21
SAMÃDHI, TAHAP PENCAPAIANNYA DAN KEAMPUHAN
ISVARAPRANIDHANA.

Samprajñãta dan Asamprajñãta Samãdhi.

Penalaran yang tajam (vitarka), penyelidikan melalui perenungan


mendalam (vicara), dan kebahagiaan (ananda) yang penuh
kewaspadaan sebagai akibat dari penyatuan semesta dengan Sang
Diri, merupakan kondisi batin ketika tercapainya Samprajñãta
Samãdhi.
[YS I.17.]

Dalam Samprajñãta Samãdhi, batin masih dicirikan dengan kehadiran


empat kondisi yang mendahuluinya—yakni: vitarka, vicara, ananda dan
identifikasi-diri sebagai asmita. Asmita atau keakuan merupakan pijakan
yang hendak dilebur dalam kesadaran kosmis melalui penalaran di dalam,
penyelidikan atau perenungan mendalam. Manakala penyatuan atau
peleburan itu tercapai, maka tercapai pulalah anandam, kebahagiaan
sejati. Inilah yang disebut dengan Samprajñãta Samãdhi.

Disini, anandam sebagai pencapaian tertingginya, dinikmati oleh ‘sang aku


semu’. Disini hadir; “Aku menikmati kebahagiaan tertinggi.” Aku masih
eksis dan bertindak sebagai si penikmat. Sementara, ia sendiri justru
merupakan salah-satu kléša—bahkan yang paling hakiki—untuk dilebur.
Hadirnya aku sebagai si penikmat, yang mengidentifikasikan dirinya pada
kebahagiaan itu, juga merupakan pertanda bahwa pusaran-pusaran pikiran
(vritti) masih aktif. (Mungkin) Inilah sebabnya mengapa pencapaian
Samãdhi ini bukanlah yang tertinggi menurut idealisasi Patanjali.

Pemusnahan sisa-sisa kesan mental (samskara) yang masih mengisi


pikiran, melalui vairagya dan abhyasa, mengkondisikan terjadi
penyatuan sempurna dalam eksistensi yang tiada terbedakan,
tanpa wujud, yang juga berarti musnahnya pengaruh Prakriti
(prakritilaya), disamping kuatnya iman (sraddha), semangat dan
kegigihan (virya), daya ingat yang kuat (smrti), dan bersinarnya
kebijaksanaan (prajña).
[YS I.18 - I.20.]

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 22
Asamprajñãta Samãdhi, merupakan pencapaian tertinggi, dipersamakan
dengan Nirbija atau Nirvikalpa Samãdhi oleh Swami Satya Prakãs
Saraswati. Samãdhi  ini terutama dicirikan dengan musnahnya pengaruh
kekuatan Prakriti yang berupa Triguna itu. Dan itu tak serta-merta
dimungkinkan, terjadi. Patanjali masih menyebut-nyebut beberapa
pencapaian dan kondisi batiniah ‘yang mendahuluinya’ dalam tiga sutra
tadi.

Pencapaian-pencapaian mendahului dimaksud adalah: vairagya, abhyasa,


smrti dan prajña. Dan kondisi batiniah yang dimaksud adalah: sraddha
dan virya. Smrti dimasukkan sebagai pencapaian sebelumnya atau
mendahului karena ia terbentuk sebagai hasil positif dari proses
pembiasaan dan mungkin ini telah dilakukan sejak kehidupan-kehidupan
lampau sang penekun. Keyakinan yang teguh merupakan kondisi batin yang
bisa diperoleh dalam kehidupan ini ataupun yang lampau, namun masih
terus dirasakan atau terpakai; demikian juga halnya dengan semangat
yang kuat yang menyertainya.

Hampir tak mungkin tumbuh suatu semangat yang kuat, tanpa teguhnya
iman. Satu keyakinan mendasar dari seorang sadhaka adalah akan adanya
Isvara (Tuhan), oleh karenanyalah Isvarapranidhana disebut-sebut sejak
awal.

Pencapaian secara bertahap dan keampuhan Isvarapranidhana.

Bagi mereka yang melakukannya dengan intens, penuh semangat-


spiritual (virya), kemajuan pesat dan keberhasilan dalam Samãdhi
segera dicapai.
Pencapaian keberhasilan terbaik dimungkinkan melalui praktek
bertahap, dari rendah, menengah hingga intens, yang selalu
disertai dengan penyerahan-diri sepenuhnya kepada Tuhan
(Isvarapranidhana).
[YS I.21 - I.23.]

Memang dalam banyak hal kesabaran memegang peranan penting bagi


keberhasilan dalam bidang apapun, terlebih lagi dalam Samãdhi. Sabar
disini tidak dimaksudkan sebagai lamban dan menunda-nunda latihan,
dengan mengatakan dalam hati: “Ah....saya harus sabar...toh masih banyak
waktu untuk itu”. Tidak demikian maksudnya. Kesabaran disini lebih
diarahkan pada ketidak-cerobohan, tidak terburu-nafsu tanpa persiapan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 23
yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Mereka yang memilih jalan
Yoga, diharapkan telah berkepribadian matang dengan tekad yang kuat,
sadar sepenuhnya bahwa umur tak dapat kita tentukan. Jadi,
sesungguhnya kita tidak tahu persis, berapa lama waktu yang tersedia
bagi kita dalam kelahiran ini dan kapan kita dapat merampungkan
persiapan dan latihan tersebut hingga benar-benar menjadikannya
sebagai suatu kebiasaan hidup spiritual, dan berhasil. Namun, secara
jujur, sekurang-kurangnya kita tahu persis kekurangan-kekurangan kita.
Ini akan amat membantu dalam menentukan sikap, kapan diperlukan
peningkatan intensitas dan kapan perlu diperlambat, dan sebagainya.

Seperti juga Isvara, Isvarapranidhana diperkenalkan untuk pertama


kalinya oleh Patanjali. Ia belum muncul dalam Sankhya. Isvarapranidhana
disebut-sebut berperan besar dalam keberhasilan dalam Samãdhi.
Penyerahan-diri pada Isvara (Tuhan), bukanlah dimaksudkan sebagai
penyerahan pasif, namun sebaliknya aktif. Kita tak dapat hanya menunggu
dan menunggu, serta memohon dilimpahi rakhmat atau anugrahnya,
dengan dalih bersabar. Bukan demikian maksudnya. Apa yang dapat saya
lakukan untuk menyenangkan beliau, dan bagaimana saya sebaiknya
melaksanakannya? Pertanyaan-pertanyaan proaktif ke dalam (vicara)
inilah yang akan amat membantu penyerahan-diri seutuhnya.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 24
ISVARA SEBAGAI GURU SEMESTA DAN PRANAVA JAPA.

Isvara adalah Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak


tersentuh oleh kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan
(kléša), perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan serta hasil dari
perbuatan-perbuatan itu.
Tiada terbatas adanya benih kemaha-tahuan (sarvajña bija) pada-
Nya.
Beliau adalah Guru dari para Guru sejak jaman purba (purva), yang
ada di luar jangkauan waktu.
[YS I.24 - I.26]

Dalam tiga sutra ini juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam,
bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat
dengan berbagai kléša dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka
samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 diatas oleh
Patanjali. Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran
absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat Tuhan dalam konsep
ketuhanannya, namun lebih secara kontekstual dalam jalan pensucian atau
pemurnian batin manusia.

Dalam ajaran Buddha, yang disebut lima kekotoran batin yang


mengakibatkan penderitaan (kléša) adalah:
 Kesenangan pada kenikmatan pemuasan nafsu indriawi
(kamachanda);
 Itikad jahat atau dendam pada orang lain ( vyapada);
 Kemalasan, keenganan dan kelesuan (stayana-middha);
 Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran ( auddhatya-kaukrtya);
dan
 Keragu-raguan (vicikitsa).

Sementara menurut Patanjali, Panca kléša adalah:


 Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya),
 Egoisme (asmita),
 Kelekatan atau kecintaan ragawi (raga),
 Kebencian (dvesa), dan
 Kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut
mati (abhiniwesa).

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 25
Walaupun ada perbedaan item-item yang dipandang sebagai kléša dalam
kedua ajaran ini, namun bagi penekun jalan spiritual semua kekotoran ini
penting untuk dienyahkan. Memang tidak semua orang terlahir dengan
membawa semua kekotoran-kekotoran ini; ada yang hanya tiga, dua atau
satu saja yang kuat. Akan tetapi ini tetap mesti diwaspadai. Patanjali
memperkenalkan metode ampuh untuk mengentaskannya, yang disebut
Pratipaksa Bhavana atau melalui penerapan sat sampat, seperti yang akan
dipaparkan pada pembahasan sutra IV.29 - IV.34 nanti.

Secara kontekstual pula, Isvara diposisikan sebagai Guru; Guru spiritual


bagi semua Guru dan penekun jalan spiritual, Guru Yoga bagi semua Guru
dan penekun Yoga, dahulu, kini dan nanti. Akan tetapi kita tidak
diharapkan untuk beranggapan: “Ah...saya hanya akan ber-Guru pada
Isvara saja. Saya tak perlu ber-Guru pada yang lainnya, apakah itu Dewa
apalagi manusia.” Jangan berpandangan demikian. Belum banyak di antara
penekun yang berkualifikasi setinggi itu. Para penekun masih butuh Guru
kasat-indria, Guru yang masih berjasad sebagai anutan. Akan tetapi,
bukan pula sebaliknya memandang: “Kita tak mungkin ber-Guru pada
Isvara. Kita harus ber-Guru hanya pada manusia yang masih hidup.” Tidak
demikian adanya. Dua kutub pandang dalam ber-Guru ini memang jamak
kita temui. Ini menunjukkan hadirnya pandangan keliru yang
menyesatkan, untuk disadari dan dientaskan, bersamaan dengan
berjalannya latihan.

Manifestasi simbol-Nya adalah suku kata tunggal Pranava (OM).


Pelafalan Pranava berulang-ulang secara konstan (japa), dengan
penuh penjiwaan dan pemahaman akan maknanya, mengantarkan
pada pencapaian tujuan (artha bhavanam).
Dengan mempraktekkannya lahir kesadaran kosmis
(cetanãdhigamo) dan hambatan-hambatanpun sirna.
[YS I.27 - I.29]

Sebetulnya ketiga sutra ini secara fundamental masih terkait langsung


dengan Isvarapranidhana. Pelafalan berulang-ulang secara konstan Nama
Tuhan, adalah perwujudan cinta dan bhakti kepada-Nya. Dan Pranava
Japa ini dengan tegas disebutkan sebagai membawa keberhasilan dalam
Yoga. Pelafalan secara konstan dalam ber- japa, sebetulnya juga
merupakan suatu proses pembiasaan, membentuk suatu kebiasaan dalam
prilaku spiritual. Inilah salah-satu praktek langsung dari Abhyasa. Jelas
ia tidak dicapai serta-merta; ia merupakan suatu proses, bukan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 26
pencapaian; disini pula dituntut kesabaran dalam melalui pentahapannya.
Agaknya perlu juga dicatat kalau dalam Yoga Sutra ini Patanjali hanya
sekali menyertakan kata 'japa' ini. Hanya pada sutra I.28 ini saja; dan
hanya dikaitkan dengan Pranava OM. Disini pulalah Patanjali
memperkenalkan Japa Yoga kepada kita.

Anjuran untuk melafalkan Pranava OM tentu kita temukan dalam banyak


Upanishad-Upanishad, diantaranya Mundaka Upanishad. Upanishad ini
menganjurkan: “Bermeditasilah atas OM sebagai Atman. Semoga engkau
berhasil menyeberang jauh dari kegelapan.” Mandhukya Upanishad juga
menegaskan bahwa, apa saja yang merupakan keadaan masa silam,
sekarang dan yang akan datang, semuanya adalah Pranava OM. Dan apa
saja yang ada diluar waktu —lampau, sekarang, dan akan datang— itu
hanyalah Pranava OM. Semuanya sesungguhnya Brahman (Tuhan).
Sedangkan Bhagavad Gita menyebutkan Pranavah sarva vedasu —Aku
adalah Pranava dalam seluruh Veda.

Setiap mantra umat Hindu diawali dengan melafalkan Nama-Nya. Semua


Upanishad memuji OM. Pada jaman Upanishad lambang Nama-Nya—OM
—sangat dimuliakan. Kata OM sendiri merupakan hasil penyandian antara
tiga aksara suci A - U - M yang masing-masing mewakili tiga aspek
keagungan Tuhan sebagai Mahapencipta (A), Mahapengatur dan
Mahapemelihara (U) dan Mahapelebur, pengembali ke asalnya (M).
Senantiasa melafalkan Nama-Nya, sebagai praktek langsung dari
Isvarapranidhana, mengikat pikiran liar, dan mententramkannya dalam
Tuhan. Inilah prinsip yang mendasari dan dianut oleh Japa Yoga.

Dalam sadhana, Pranava Japa dilaksanakan dalam hati (manasu japa)


menyertai Pranayama. A(ng) dilafalkan dalam hati saat menarik nafas;
U(ng) saat menahan nafas dan M(ang) saat menghembuskan nafas.
Dengan demikian terjadi kombinasi yang solid antara Pranava dan
Pranayama. Mengenai praktek Japa dalam Pranayama ini akan kita
bicarakan lagi pada Sadhana Pãda, saat membahas Pranayama.

Cetana adhigama merupakan istilah bentukan Patanjali yang menarik


untuk dibahas. Cetana yang disebut juga sebagai Kesadaran Kosmis,
dalam Wrhaspati Tattwa didefinisikan sebagai: bersifat mengetahui, tak
terkena lupa, senantiasa tenang dan tetap serta tak terhalang.
Sebaliknya Acetana disebut sebagai: tanpa pengetahuan, seperti moha

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 27
(kebingungan atau kemabukan). Pertemuan antara Cetana dan Acetana
inilah yang melahirkan: Pradhana, Triguna, Buddhi, Ahamkara, Panca
Buddhindriya, Panca Karméndriya, Panca Tanmatra, dan Panca
Mahabhuta. Dalam pustaka Nusantara Kuno ini, Cetana dirinci ke dalam
Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa.

Sebagai kitab Tattwa ajaran hakekat ketuhanan yang dapat disejajarkan


dengan Upanishad-Upanishad, disini Isvara juga dipaparkan dengan
rincian sifat-sifat:
 Aprameyam —Tidak terpikirkan, karena kejadian-Nya tidak
berawal, tidak berakhir dan tidak terbatas;
 Anirdesyam —Tidak terperintahkan, karena keadaan-Nya tanpa
aktivitas.
 Anaupamyam —Tidak tertandingi, tidak dapat diperbandingkan,
karena keadaan-Nya tidak ada yang menyamai;
 Anamayam —Tidak terkena penyakit, karena tidak ternodai;
 Dhruvam —Berkeadaan sadar, tanpa gerak, tenang, senantiasa
tetap selamanya;
 Avyayam —Tiada kurang, karena beliau sempurna.

Disebutkan pula bahwa dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiwa yang
tidak terjiwai, Jiwa dari semua jiwa. Satu hal yang dapat kita pahami
disini bahwa, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali tidaklah
berbeda dengan konsep yang dianut di dalam Wrhaspati Tattwa —suatu
karya sastragama asli Nusantara yang tidak diketahui oleh siapa dan
kapan disusunnya.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 28
PELEBUR DERITA.

Penyemaian Sifat-sifat Luhur Kedewataan sebagai Pelebur Derita.

Penyakit, kemalasan, keragu-raguan, sikap apatis, kelesuan,


keserakahan pada kenikmatan indriawi, salah persepsi, kurang dan
lemahnya konsentrasi, dan perhatian yang tidak stabil,
semuanya merupakan bentuk-bentuk viksepa yang merusak citta.
Demikian pula kesedihan, kekhawatiran, keputusasaan, dan nafas
yang tak teratur merupakan gejala-gejala yang menyertai viksepa.
Untuk mengatasi semua itu, praktekkanlah meditasi pada satu
objek (eka tattvãbhyasa).
[YS I.30 - I.32]
 
Paparan sutra-sutra ini dimulai dengan bentuk-bentuk derita yang umum
dialami. Semuanya mencirikan terjadinya penyesatan oleh gejolak pikiran
atau viksepa. Pikiran yang bergejolak tidak mudah untuk dipersatukan,
apalagi bentuk-bentuk pikiran yang destruktif. Gejolak ini tentu
menghambat sang sadhaka dalam melaksanakan sadhana. Oleh karenanya,
dalam praktek dianjurkan untuk menenangkannya terlebih dahulu melalui
meditasi hanya pada satu objek, eka tattvãbhyasa.

Meditasi hanya pada satu objek saja melahirkan kewaspadaan


menyeluruh dan tajamnya konsentrasi. Memperhatikan masuk-keluarnya
nafas dan menjadikan nafas sebagai objek meditasi misalnya, dapat
menghadirkan ketenangan. Pada bab berikutnya, Sãdhana Pãda, Patanjali
akan menguraikan tahapan-tahapan bagaimana itu dilakukan.

Ada tiga kelompok besar bentuk derita atau penyakit manusia menurut
ajaran Sankhya, yakni: derita jasmani (adhibhautika), derita mental
(adhidaivika), dan derita rokhani (adhyatmika). Semuanya ini merupakan
penyakit-penyakit mendasar manusia. Oleh karenanya mereka harus
disembuhkan terlebih dahulu oleh seorang penekun jalan spiritual ini.

Derita jasmani (adhibhautika) adalah penyakit yang paling tampak di


permukaan, yang paling kasat-indria. Ia dapat disembuhkan lewat bantuan
luar maupun secara mandiri. Ini relatif mudah ditangani dan
disembuhkan. Umumnya, penyebab utamanya adalah lemahnya daya-vital
(prana) dan gangguan mental. Penyakit mental (adhidaivika), apalagi
penyakit rokhani (adhyatmika), jauh lebih sulit  menanganinya. Mereka

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 29
erat kaitannya dengan bekas-bekas perbuatan di masa-masa kelahiran
yang lampau (sancita-karmavasana). Sadripu  atau enam musuh dan
Saptatimira atau tujuh kegelapan merupakan bentuk-bentuk pokok dari
‘penyakit karma’ ini. Nah...untuk inilah Yoga menjadi sedemikian
pentingnya. Guna tidak menimbun benih-benih penyakit lebih banyak lagi,
Patanjali menganjurkan:

Semaikanlah rasa persahabatan dan rasa welas-asih universal


(maitri), rasa belas-kasihan pada sesama makhluk hidup (karuna),
simpati yang setara baik pada yang sedang bersuka-cita apalagi
pada yang sedang berduka-cita, pada yang bernilai maupun yang
tak-bernilai (mudhita), serta pupuklah keseimbangan-batin
(upeksha); dengan itu terjernihkanlah kesadaran ( citta
prasadanam) dan keseimbangan daya-vital-pun terjaga.
[YS I.33 - I.34]

Maitri, karuna, mudhita dan upeksha disebut Catur Paramãrtha. Mereka


merupakan sifat-sifat atau sikap-batin luhur keilahian, yang bahkan
disebut sebagai Istana Ilahi atau Brahma Vihara dalam ajaran Buddha.
Disebutkannya lagi secara khusus maitri ini oleh Patanjali dalam sutra
III.24, menyiratkan betapa beliau memandang pentingnya sikap-batin
luhur keilahian ini bagi para penekun, demi keberhasilannya.

Pikiran dan perasaan pada dasarnya tidak dapat memegang atau terisi
oleh lebih dari satu objek dalam satu satuan waktu tertentu. Bilamana
manas telah terisi oleh salah-satu daripadanya, tentu ia tak mungkin lagi
di-isi dengan objek lainnya. Inilah prinsip yang dianut dalam
ekatattvaabhyasa. Oleh karenanya, guna penyembuhan derita-derita itu,
Patanjali menganjurkan untuk mengisinya dengan—setidak-tidaknya—
salah-satu dari Catur Paramãrtha ini.

Sayangnya, pikiran yang tidak terlatih amat sulit memegang satu objek
saja, pada saat yang bersamaan dalam jangka waktu tertentu. Ia cepat
sekali meloncat dan berpindah-pindah dari satu objek ke objek lainnya.
Karenanya ia sering di-ibaratkan sebagai se-ekor kera. Dengan
membiasakan menyatukan semua tattva serta penerapan empat sikap-
batin luhur keilahian tadi, hanya Purusa-lah yang masih tegak berdiri dan
memancarkan Cahaya Agung-Nya. Bagaimana rinciannya? Inilah yang
dipaparkan sepanjang Yoga Sutra ini.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 30
Tekad yang teguh memancarkan kembali Cahaya Transenden.

Dengan meneguhkan tekad terhadap rongrongan godaan


kenikmatan indria didalam kehidupan duniawi ( pravrittir), pikiran
diperhalus dan dimantapkan, sehingga bebas dari duka-cita, dengan
demikian Cahaya Transenden di dalampun bersinar, dan
kegandrungan pada pahala yang bersifat jasmaniahpun sirna ( vita
raga visayam), sehingga semakin jernilah citta.
Pengetahuan luhurpun dimungkinkan dari mimpi-mimpi spiritual
(svapana), tidur (nidra), serta meditasi  pada objek pilihan yang
disenangi. Demikianlah, Sang Yogi yang mantap batinnya,
pengetahuannya meluas dari atom yang paling halus ( parama anu)
hingga yang tidak-terbatas besarnya (parama mahatattva).
[YS I.35 - I.40]

Keteguhan terhadap prinsip-prinsip kehidupan spiritual, memberi


kekuatan pada seorang Yogi untuk menolak, tak tergoyahkan oleh godaan-
godaan dari kenikmatan indria. Disinilah penerapan vairagya —seperti
yang telah dipaparkan dari sutra I.12 sampai dengan sutra I.16—
menunjukkan manfaat langsungnya. Menjalani kehidupan spiritual yang
holistik, membutuhkan keteguhan serupa ini sebagai soko-gurunya.

Amatan yang seksama, jernih, disertai kemantapan pikiran, dengan tanpa


terikat pada objek-objek terhalus sekalipun, membangkitkan Kecerahan
Spiritual bersamaan dengan munculnya Cahaya Transenden dalam batin
Sang Yogi. Ada yang memandang fenomena ini sebagai terbitnya sifat
sattvika, bebas dari rajas dan tamas, yang amat kondusif bagi
pengembangan spiritualitas.

Ketidak-gandrungan pada pahala yang bersifat jasmaniah ( vita raga) —


yang merupakan kerja dari rajas dan tamas—juga menunjukkan semakin
matangnya vairagya. Dengan demikian Cahaya Transenden yang tadinya
suram, gelap, terselubungi oleh pekatnya kabut rajas dan tamas, kini
bersinar kembali.

Cahaya Transenden dimaksud, besar kemungkinan merupakan istilah


Patanjali dalam melukiskan pancaran kecemerlangan buddhi, yang
seringkali juga disebut sebagai Intelijensia Kosmis. Ia hanya muncul pada
seorang Yogi sebagai hasil dari keteguhan dan disiplin dalam
melaksanakan sadhana-sadhana, dan tidak pada awam. Segera setelah

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 31
manas hanya dipengaruhi dan didominasi oleh sattvoguna, maka ia
tersublimasi menjadi buddhi. Ia lebih mendekati pengertian intuisi, dalam
peristilahan umum. Wrhaspati Tattwa menyebutkan, apabila sattvika
citta itu terpancar, menyebabkan Atma mencapai Moksha, karena Atma
menjadi suci murni.

Svapana, yang disebut dalam sutra I.38 bukanlah mimpi biasa yang
dipenuhi dengan kesan-kesan mental dari si pemimpi, yang sering disebut
‘bunga tidur’. Mimpi-mimpi serupa itu hanya mengantarkan si pemimpi ke
alam mimpi —yang menurut penjelasan Wrhaspati Tattwa—serba kabur
dan tidak jelas. Bukan ini yang dimaksudkan disini; yang dimaksud disini
adalah ‘mimpi spiritual’.

Manakala pikiran hanya memegang satu objek saja ( ekatattva) sebagai


bahan perenungannya, maka ketika ‘badan di-istirahatkan’, bahan
perenungan itu terpantul dalam format ‘mimpi spiritual’. ‘Badan di-
istirahatkan’ dengan penuh kesadaran bahwasanya ia memang butuh
istirahat, dan bukan karena badan merajuk atau bahkan memerintahkan
untuk beristirahat, seperti yang umumnya terjadi pada awam. Ini
merupakan dua paradigma yang amat jauh bedanya secara spiritual.
Badan kasar ini cenderung malas dan enggan diajak mengerjakan sesuatu
yang tampak sulit, menguras tenaga dan melelahkan. Padanya melekat
kuat sifat tamas. Dialah perwujudan dari sifat tamas itu. Inilah yang
ditundukkan terlebih dahulu oleh seorang sadhaka sejati, melalui tapa
dalam Kriya Yoga, seperti yang akan dipaparkan nanti pada sutra II.1 dan
II.2.

‘Mimpi spiritual’ menghasilkan inspirasi-inspirasi spiritual yang


mendekatkan seorang sadhaka pada pengetahuan luhur nan sejati ( jñana)
itu. Jadi bila pikiran telah dijernihkan dan viksepa tak lagi mengganggu,
maka buddhi dengan sendirinya bercahaya cemerlang; bahkan mimpi
sekalipun, memberi pengetahuan luhur bagi Sang Yogi.

Demikian pula halnya dengan tidur pulas, lepas, tanpa mimpi samasekali,
merupakan bentuk Samãdhi yang alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa
diupayakan dan dikondisikan sebelumnya. Sushuptapada adalah alam tidur
nyenyak, sepi tanpa kesadaran, yang tak terpikirkan kondisinya. Kondisi
batiniah ini disebut Sushupti, apabila diupayakan lewat Yoga. Inilah pesan
yang disampaikan dalam sutra tadi.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 32
Wrhaspatti Tattwa-31 menyebutkan, orang yang telah mencapai
vairagya, melihat alam prakrti musnah (prakrto linah); bagai nyenyaknya
tidur tanpa mimpi, demikian kebahagiaan yang diperolehnya. Para vairagi
adalah mereka yang vairagya-nya telah sempurna. Kalaupun bisa, tidur
seperti ini amat jarang terjadi bagi mereka yang aktif dalam kehidupan
duniawi; yang umumnya dialami adalah tidur dan bermimpi, namun setelah
terjaga kembali lupa akan apa yang dimimpikannya.

Samãpatti dalam Savitarkã Samãdhi hingga Nirvitarkã Samãdhi.

Bila pusaran-pusaran batin telah surut, maka batin menjadi jernih


transparan bagai kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati
(grahana) dan objek-objek yang diamati (grahya)
mentransformasikan diri ‘seperti apa adanya’ (samãpatti).
Disanalah pengetahuan biasa maupun pengetahuan sejati ( jñana)
serta-merta tersusun; apa yang didengar dan diamati lewat indria
menjadi penuh makna; ini menyatakan terjadinya transformasi
batiniah, inilah Savitarkã Samãdhi.
[YS I.41 dan I.42]

Istilah samãpatti memperoleh perhatian khusus dari Swami Satya Prakas


dalam “Patanjali Raja Yoga”-nya. Menurut beliau samãpatti adalah hasil
penyamaan, dimana penyamaan tersebut harus terwujud antara ‘yang
mengetahui’, ‘yang diketahui’ dan ‘pengetahuan’ itu sendiri. Bila telah
terwujud penyamaan di antara ketiganya, tercapailah Samãdhi tertinggi.
Serupa dengan itu, seorang Yogi —yang penulis kenal dengan baik—
menyatakan: “Samãdhi tercapai bilamana ‘yang mengetahui’, ‘yang
diketahui’, ‘tahu’ ‘ dan ‘pengetahuan’ itu lebur dalam satu kesatuan yang
utuh.” Hanya ada sedikit perbedaan disini, yakni dimasukkannya kondisi
‘tahu’ oleh beliau. Kondisi ‘tahu’, dalam hal ini mencerminkan hadirnya
kesadaran penuh dan perhatian murni dalam proses tersebut. Dan ini
tampaknya bagi Sang Yogi merupakan faktor penting dalam proses.

Dalam kitab “Samma Samãdhi” —yang bersumber pada kitab “Visuddhi


Magga” (Jalan Pensucian Batin)— Sri Mahavirotavaro Mahathera
menggunakan istilah samãpatti berpadanan dengan kesuksesan,
keberhasilan atau pencapaian. Dalam kitab ini, samãpatti juga dipadankan
dengan dhyana, keberhasilan bertahap atau keberhasilan dalam tahapan
tertentu.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 33
Sementara itu, mendiang Sri Swami Krishnananda mempersamakan
samãpatti dengan Samãdhi. Beliau mengandaikan sebagai bergabungnya
air sungai di samudra luas. Di samudra, mana air sungai dan mana air laut,
sudah tak terbedakan lagi. Mereka telah bersatu untuk membentuk
samudra itu sendiri. Dari semua itu, bagi kita yang perlu diperhatikan
adalah teknis pencapaiannya, yang oleh Patanjali ditegaskan sebagai
surutnya vritti.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 34
SINAR KEBIJAKSANAAN LAHIR DARI SAMÃDHI.

Ingatan termurnikan (smrti parisuddha), dengan demikian ia


kosong (sunya), kembali seperti keadaan sediakalanya, objek
bersinar—menjelaskan dirinya sendiri—dengan sendirinya
(nirbhasa) merupakan pencapaian transformasi batiniah tanpa
penalaran —Nirvitarka Samãdhi. Melalui proses yang sama serta
melalui pembeda (savicara) dan tanpa objek perenungan (nirvicara),
pemikiran-pemikiran halus terjelaskan. Alam pemikiran-pemikiran
halus berakhir dengan sifat yang tak-terdefinisikan ( nirvicara).
Semua ini hanyalah meditasi dengan benih— Sabija Samãdhi.

[YS. I.43 dan I.46]

Pemikiran-pemikiran halus disini dimaksudkan sebagai gagasan-gagasan


yang bersifat abstrak (arupam). Bahkan gagasan yang mengawali kegiatan
Samãdhi inipun musnah; namun ini disebut sebagai baru pencapaian
Sabija Samãdhi, karena masih diawali dengan benih (bija) yang berupa
gagasan-gagasan abstrak tadi.

Berbeda halnya bila ingatan termurnikan ( smrti parisuddha) yang tak lagi
menyimpan, sehingga tidak lagi memunculkan ingatan-ingatan yang
menggoda dari pengalaman-pengalaman duniawi. Inilah yang
pencapaiannya disebut Nirvitarka Samãdhi. Ini erat kaitannya dengan
vairagya, dan kemahiran yang diperoleh dari pembiasaan praktek spiritual
berikut segala disiplin batiniah yang menyertainya ( abhyasa).

Disebutkan bahwa ia sunya, sunyi, kosong, lenggang, lapang dalam


kejernihan dan kedamaian. Kondisi yang serupa ini disebut Tarka —yang
mengandung makna yang sama dengan Nirvitarka—di dalam Wrhaspati
Tattwa dan Maitri Upanishad. Wrhaspati Tattwa menggambarkannya
layaknya seperti kejernihan akasa. Apabila Patanjali menggunakan
nirbhasa, maka Wrhaspati Tattwa menggunakan istilah-istilah nis-
sabdam, nirupeksam, nirakalpam dan santa, untuk melukiskan apa yang
disebutnya sebagai Tarka Samãdhi.

Swami Satya Prakãs Saraswati menganggap Nirvicãra samprajñãta


Samãdhi sebagai yang tertinggi dibandingkan dengan delapan jenis
Samãdhi lainnya —yaitu: Savitarka, Nirvitarka, Savicãra, Nirvicãra,
Sãnanda, Nirananda, Sasmitã, Nirasmitã Samãdhi — karena ia mengantar
kepada kebijaksanaan transenden (tatra prajña), yakni suatu kesadaran

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 35
atau kebijaksanaan khusus, seperti yang akan dipaparkan lagi pada sutra
I.48 berikut.

Melampaui pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari Kitab-kitab


Suci.

Pada pencapaian kemurnian dan kemahiran nirvicãra, Sang Yogi


teranugrahi kejernihan spiritual (adhiyatma prasadah).
Disana kebijaksanaan khusus (tatra prajña) menjadi identik dengan
Kebenaran Sejati itu sendiri.
Apa yang diperoleh melalui pembelajaran kitab-kitab suci
(srutãnumana), esensinya berbeda dan tidak dapat dibandingkan
dengan Kebenaran Sejati ini.
[YS I.47 - I.49]

Nirvicãra Samãdhi menyajikan kejernihan spiritual. Penyakit atau


kekotoran batin (adhyatmika) terobati, dan Atman-pun kembali
memancarkan sinar-sucinya. Walaupun ia belum merupakan pencapaian
tertinggi bagi Sang Yogi, kejernihan spiritual ini sudah menghadirkan
ketajaman intuisi untuk bisa melihat Kebenaran seperti apa adanya.
Dapat melihat Kebenaran seperti apa adanya , oleh Patanjali disebut
sebagai Kebijaksanaan khusus (tatra prajña); oleh karena ia dicapai
melalui pengalaman spiritual-metafisis langsung.

Vicãra disini adalah perenungan suci. Perenungan yang mempertanyakan


tentang kebenaran hakiki, tentang kesujatian, langsung kepada
sumbernya (Isvara), tanpa perantara lagi. Manakala si perenung, yang
direnungkan dan proses perenungan itu sendiri telah lebur menyatu, maka
Samãdhi dicapai. Tiada lagi aktivitas merenung itu, atau tercapai kondisi
nirvicãra, tanpa perenungan lagi. Tentu yang diperoleh lewat
Samãdhi memiliki esensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya
perolehan dari mempelajari kitab-kitab suci manapun. Apa yang diperoleh
melalui mempelajari kitab-kitab suci barulah sebatas pengetahuan
(vidya); seperti Brahma-vidya, misalnya. Ia belum dapat dikategorikan
sebagai jñana, apalagi prajña.

Bukan maksudnya untuk mengecilkan arti dari pembelajaran kitab-kitab


suci disini. Itu penting; bahkan Patanjali menempatkannya sebagai
pendahuluan untuk bisa benar-benar memasuki yogasadhana. Untuk layak
dikategorikan sebagai Kriya Yoga, Svadhyaya masih mesti ditemani oleh

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 36
Tapa dan Isvarapranidhana. Mereka dilaksanakan guna mengkondisikan
batin sedemikian rupa, hingga bersih dari kléša atau berbagai jenis
kekotorannya.

Pada dasarnya, wahyu suci (sruti) hanya diturunkan kepada ia yang


berbatin suci dan melalui Samãdhi—penyatuan luhur dengan-Nya melalui
upaya spiritual (sadhana) langsung. Batin yang belum tersucikan, belumlah
layak untuk menerima pengetahuan suci ini; dimana ini amat logis adanya.
Kita tak mungkin berharap dapat meminum nektar yang murni dari gelas
yang kotor. Pengetahuan suci diturunkan oleh Yang Mahasuci lewat
penyatuan luhur dengan-Nya, bukan lewat ritual atau cara-cara lainnya.
Sementara itu, himpunan dari pengetahuan suci membentuk
Kebijaksanaan (prajña). Inilah yang tampaknya hendak ditegaskan oleh
Patanjali dalam sutra-sutra tadi.

Antara Sabija dan Nirbija Samãdhi.

Kesan-kesan mental (samskãra) luhur yang terbit atau diperoleh


dari Sabija Samãdhi menahan semua impresi lain.
Pengendalian dan pemusnahan (nirodha), bahkan pada pengendali
dan pemusnah itu sekalipun, dicapai hanya melalui Samãdhi tanpa
benih —Nirbija Samãdhi.
[YS I.50 - I.51]

Dalam sutra-sutra ini Patanjali menunjukkan betapa tingginya idealisasi 


Samãdhi, ke arah mana kita diarahkan lewat Yoga Sutra ini. Jñana yang
diperoleh lewat Sabija Samãdhi sesungguhnya merupakan kesan juga.
Bedanya hanya pada kadar keluhuran dan kemurniannya. Citta yang
benar-benar jernih dan sesuai dengan svarupa-nya adalah tanpa kesan—
yang sehalus apapun—lagi. Kesinilah kita digiring oleh Patanjali. Sedikit
saja sisa kesan, kendati yang haluspun, masih berpotensi menggiring pada
Samsara, yang juga berarti kegagalan dalam mencapai Kaivalyam.

Sementara ini memang banyaknya istilah-istilah maupun sebutan yang


digunakan, yang tentu maksudnya memperjelas deskripsinya, namun
disadari malahan bisa mengundang kebingungan. Kebingungan oleh
peristilahan hanya terjadi bila kita belum terjun dan mengalaminya
sendiri, mengingat menguraikan kondisi batin tidaklah mudah. Namun
demi memperlancar proses pembelajaran, dan terutama untuk

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 37
mengantisipasinya, Swãmi Satya Prakãs Saraswati membantu kita dengan
memberi patokan berikut:
 Samprajñãta   = sabija = savikalpa (kondisi supra-sadar rendahan)
 Asamprajñãta = nirbija = nirvikalpa (kondisi supra-sadar
transenden).

Sementara Sri Swami Sivananda memberi petunjuk bahwa, dalam


Savikalpa Samãdhi masih terdapat dualisme gagasan, yang baru
sepenuhnya musnah dalam Nirvikalpa Samãdhi. Inilah yang sempurna,
yang dituju oleh seorang Raja Yogi.

Sesungguhnya, paparan sutra I.46 hingga I.50, serta paparan dalam


sutra-sutra sebelumnya, telah cukup memberi kejelasan tentang apa yang
disebut oleh Patanjali sebagai pencapaian panunggalan dengan benih,
Sabija Samãdhi. Meditasi dengan objek tertentu, baik yang berwujud
maupun tidak, seperti bentuk-bentuk perenungan misalnya, diawali
dengan benih dan oleh karenanya meninggalkan benih juga. Ini dicirikan
oleh masih tertinggalnya impresi-impresi halus pada batin Sang Yogi.
Impresi-impresi halus—sehalus apapun itu adanya—tetap merupakan
benih yang akan menggiring pada kelahiran berikutnya di suatu alam
kehidupan tertentu, bilamana Sang Yogi mandek dan berpuas-hati hanya
sampai disitu saja.

Sebaliknya, Nirbija Samãdhi hanya dicapai bila tanpa lantaran dan tanpa
menyisakan benih sehalus apapun lagi; bahkan, ‘pengendali dan pemusnah’-
nyapun termusnahkan (pralina) dalam tataran batiniah Sang Yogi. Dengan
tercapai ini, tiada benih lagi yang mengharuskan kelahiran di alam atau
dalam jasad apapun. Inilah pencapaian sempurna, idealisasi Patanjali.
Inilah akhir dari Samsara. Ini amat mirip dengan konsepsi Nirvana, dalam
ajaran Buddha.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 38
KRIYA YOGA, MENGAWALI PENDAKIAN SPIRITUAL.

Memasuki Sãdhana Pãda, berarti memasuki paparan spiritual praktis


dalam rangka mencapai Samãdhi, dalam berbagai kategori, seperti yang
dipaparkan dalam Samãdhi Pãda sebelumnya. Dalam Samãdhi Pãda kita
telah disajikan idealisasi-idealisasi terpenting dari Yoga untuk dicapai;
dan kini, Patanjali mulai memaparkan bagaimana mencapai semua itu.

Sãdhana Pãda, sebagai paparan praktis praktek spiritual, dibuka oleh


Patanjali dengan Kriya Yoga melalui dua sutra berikut.

Hidup sederhana dengan penuh kedisiplinan ( tapa), mempelajari


ajaran-ajaran suci secara mandiri ( svadhyaya), dan penyerahan
diri, kerja dan hasil kerja dalam pengabdian kepada-Nya
(Isvarapranidhana) guna meraih penunggalan, disebut Kriya Yoga. 
Ini dilaksanakan guna melenyapkan kléša dan mencapai Samãdhi.
[YS II.1 dan II.2]

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana merupakan tiga sadhana utama


dari Kriya Yoga. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutnya sebagai
‘Yoga Pendahuluan’. Kenapa disebut 'Pendahuluan'?
Ketiga sadhana utama yang termaktub dalam Niyama hanyalah tiga dari
lima disiplin mental Niyama. Seperti dimaklumi —dan akan dijelaskan
pada sutra-sutra berikutnya—Niyama merupakan tahapan kedua dalam
delapan tahap Yoga-nya Patanjali, dan hanya diperuntukkan sebagai
pembentuk sikap batin yang merupakan landasan moral dari seorang Raja
Yogi. Bila hanya tiga dari disiplin moral-spiritual ( brata) saja sudah layak
memperoleh sebutan Kriya Yoga, dapat dibayangkan betapa tingginya
ajaran Ashtanga Yoga yang dipersembahkan Patanjali kepada umat
manusia ini.

Kriya Yoga diperuntukkan guna melenyapkan kléša atau kekotoran batin,


yang merupakan hambatan-hambatan utama dalam praktek Yoga. Batin
yang telah lenyap kekotorannya menjadi suci atau murni ( sauca).
Sementara itu sauca sendiri juga merupakan salah-satu disiplin dalam
Niyama. Ada kepaduan langkah pengembangan batin yang menyeluruh,
hanya dalam praktek Niyama saja. Kendati disebut sebagai ‘pendahuluan’
itu sudah dikategorikan sebagai Yoga. Di Barat, Kriya Yoga ini

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 39
dipopulerkan oleh Sri Paramahamsa Yogananda. Mengenai kléša akan
dibicarakan pada sutra II.3 sampai dengan II.9.

Menurut Shrii Shrii Anandamurti, Tapa diterapkan dengan menahan


kesulitan-kesulitan fisik maupun mental demi kebahagiaan orang atau
makhluk lain dan melakukan pengabdian tanpa pamerih. Dikatakan juga
bahwa Tapa, sebagai pengabdian tanpa pamerih sendiri, ada empat jenis
ragamnya, yakni:
 Bhuta Yajña —pengabdian untuk kepentingan alam ciptaan.
 Pitra Yajña —pengabdian kepada nenek-moyang atau leluhur.
 Adhyatma Yajña —pengabdian lewat jalan spiritual.
 Nr Yajña atau Manusa Yajña —pengabdian untuk kepentingan
sesama manusia.

Jadi Yajña, persembahan suci yang tulus ikhlas ini, juga dimaknai sebagai
pelaksanaan Tapa oleh guru besar pendiri Ananda Marga itu. Pandangan
ini ternyata sejalan dengan wejangan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita
IV.28: “Ada yang beryajña dengan harta-benda miliknya ( drawya yajña),
beryajña dengan Tapa (tapa yajña), beryajña dengan Yoga (yoga yajña)
dan yang lainnya ada pula yang beryajña dengan Svadhyaya (svadhyaya
yajña), serta dengan Jñana (jñana yajña); demikianlah mereka yang taat
melaksanakan disiplin hidup kerokhanian (vrata).” Dua sutra pembukaan
tadi ternyata memperoleh dukungan kuat dari Bhagavad Gita; bentuk-
bentuk persembahan dalam Isvarapranidhana-pun dipaparkan, sebagai
praktek langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Bhagavan Sathya Narayana, dalam “Jñana Vahini”, membedakan Tapa


atas 3 hal, yakni: Tapa Mental, Tapa Fisik dan Tapa Pembicaraan.
Pembagian dan penjelasannya tentang ketiga hal yang di- tapa-kan ini,
amat mirip dengan konsep etika-moral Hindu, Trikaya Parisuddha, yang
sudah tak asing lagi di Nusantara, terdiri dari:
 pensucian pikiran (manacika),
 pensucian ucapan (wacika) dan
 pensucian perbuatan (kayika).

Ini merupakan upaya pensucian integral terhadap tiga modus utama


perbuatan. Dalam Trikaya Parisuddha secara inklusif terangkum hampir
semua landasan moral-etik Yoga, Yama-Niyama. Ia juga mewakili
pelaksanaan tiga dari Jalan Utama Beruas Delapan dari Buddhisme, yakni:
Pikiran Benar (sammã-sankappa), Ucapan Benar (sammã-vaca) dan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 40
Perbuatan Benar (sammã-kammanta). Secara praktis, membiasakan tiga
etika-moral-spiritual (abhyasa) ini mengantarkan pada vairagya dan
viveka, yang akan amat diperlukan demi terjaminnya pencapaian tujuan
akhir.

Kena Upanishad menyebut Tapa sebagai salah-satu tiang Brahmavidya


(Pengetahuan Ketuhanan), disamping Dama (pengekangan diri) dan Karma
(kegiatan dalam kebajikan). Dalam Prasna Upanishad-pun Tapa mendapat
tempat istimewa dengan ditekankannya secara berulang-ulang. Swami
Satya Prakas Saraswati menyebutkan toleransi, kesabaran dan latihan
yang terus menerus dengan tekun sebagai tiga aspek dari Tapa, yang
mematangkan seorang siswa spiritual (sadhaka). Setiap usaha untuk
mencapai pengalaman duniawi maupun transenden merupakan Tapa. Hanya
dalam artian yang terbatas sajalah Tapa diartikan sebagai
kesederhanaan. Disebutkan pula, secara menyeluruh Tapa dilakukan
bukan saja pada lima indria sensorik dan lima indria motorik, akan tetapi
juga dilakukan bagi sikap mental dan daya vital ( prana). Jadi, Tapa
merupakan upaya pensucian menyeluruh, lahir maupun batin. Manusmrti —
kitab suci Smrti yang hingga kini masih paling sering diacu dalam jenisnya
—juga menyebutkannya demikian.

Di dalam Manusmrti atau Manava Dharmasastra Tapa dan Brata


dipaparkan secara panjang lebar dalam banyak sloka-slokanya. Beberapa
diantaranya, yang khusus menyangkut Tapa pada adhyaya XI, dikutipkan
berikut ini.

Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-
buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu
dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui
kesucian Tapa.
Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai,
apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk
dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena
Tapa mempunyai kekuatan untuk melintasinya. Mereka yang telah
melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat
dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat,
kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan
mencapai surga hanya karena Tapa-nya. Apapun dosa-dosa yang
telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 41
ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan
dengan segera melalui Tapa-nya yang teguh, terjaga bak hartawan
menjaga kekayaannya. Para Dewa-Dewa menerima setiap
persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapa-nya,
akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang
Maha Kuasa, Hyang Prajapati, menciptakan lembaga suci itu
melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi,
menerima wahyu Veda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa
melalui Tapa-nya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan
dari Tapa." [MDs. XI: 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245]

Dalam banyak pustaka suci dan ajaran mental-spiritual Tapa berkait erat
dengan Sauca, pensucian lahir-batin (yang dibicarakan nanti dalam
pembahasan sutra II.40 dan II.41); dan menduduki posisi fundamental
dalam praktek kehidupan spiritual. Tapa berkaitan langsung dengan
kehidupan suci itu sendiri. Bahkan, para rshi di jaman dahulu menerima
wahyu-wahyu melalui kehidupan suci ini.

Svadhyaya adalah upaya mempelajari kitab-kitab suci atau kitab-kitab


spiritual-filosofis secara mandiri, guna memperoleh pengertian yang
sejelas-jelasnya tentang hakekat yang terkandung di dalamnya.
Mempertanyakan (vicara), melakukan analisa-analisa penalaran ( vitarka),
maupun perenungan-perenungan mendalam serta perbandingan dengan
kejadian sehari-hari terhadapnya, merupakan beberapa langkah dalam
pembelajaran secara mandiri yang amat bermanfaat dalam memberi
pengertian serta menumbuhkan pemahaman yang baik dan kian mendalam.
Yang pasti, svadhyaya hendaknya tidak hanya diartikan sebagai membaca
saja, belajar dari buku-buku saja, mengingat setiap bait sloka atau sutra,
bahkan setiap kata dari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-
filosofis—seperti Yoga Sutra ini misalnya—mempunyai makna yang padat
dan dalam. Mereka tak dapat dipahami dengan baik, bila hanya
mengartikan secara harfiah, seperti membaca koran, atau buku-buku
pelajaran sekolahan saja.

Mereka yang hanya berpegang dan terpatok pada arti harfiah, dan
memperlakukan kitab-kitab ajaran hanya seperti buku-buku pelajaran
sekolahan, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang amat
dangkal, sebatas kata-kata saja. Cara pembelajaran seperti inilah yang
punya andil besar di dalam melahirkan sikap dogmatis, yang menjurus

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 42
pada fanatisme. Dalam masyarakat heterogen, global dan terbuka seperti
sekarang ini, sikap-sikap dogmatis dan fanatis bisa amat membahayakan
masyarakat luas dan juga penganutnya. Bukti-bukti tentang fenomena ini,
dapat kita lihat dengan mudah di sekeliling kita.

Dalam proses pembelajaran secara mandiri ini, ‘mengetahui’ adalah yang


mula pertama diperoleh. Apa yang kita ketahui harus dimatangkan lagi
sehingga kita menjadi benar-benar ‘mengerti’. Dari sinilah tumbuh
pengertian-pengertian tentang apa yang diketahui tersebut. Bersama
dengan berjalannya waktu, mendengar, membandingkan, bertukar-pikiran
atau berdiskusi dengan mereka yang telah lebih dahulu mengetahui atau
mengerti, apalagi berpengalaman, secara akumulatif akan membentuk
‘pengertian’ yang semakin baik, lengkap dan kian mendalam tentang apa
yang kita pelajari. Melalui perenungan-perenungan serta pembuktian-
pembuktian seperlunya, pengertian kita lambat laun meningkat menjadi
‘pemahaman’. Nah....dengan semakin halus dan mendalamnya ‘pemahaman’
kita, pengetahuanpun semakin mengembang dengan sendirinya. Yang
pasti, dalam Yoga Sutra ini Patanjali telah telah menegaskan bahwa
‘pengamatan langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan
para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian
metode penalaran yang baik’.

Isvarapranidhana adalah penyerahan diri kepada Isvara (Tuhan), dengan


menerima sepenuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya
perlindungan. Bahkan disebutkan, nanti dalam sutra II.45, bahwa
pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek Isvarapranidhana.
Menurut Swami Satya Prakas Saraswati, ia merupakan suatu istilah
spiritual-teknis khusus ciptaan Patanjali, yang tidak disebut-sebut oleh
Maharshi Kapila dalam Sankhya Darsana-nya.

Bilamana ketiganya diterapkan dengan baik dan benar, walaupun ia


disebut sebagai “Yoga Pendahuluan”, memberikan nilai manfaat spiritual
yang tinggi kepada penekunnya. Ia menumbuhkan sikap batin yang kokoh,
mantap, untuk mulai melanjutkan ke jenjang-jenjang berikutnya dengan
pemahaman yang baik, dan tanpa disertai sikap-sikap dogmatis dan
fanatis. Iapun mengarahkan penekun menjauh dari sikap ekstrim atau
mempertontonkan ke-ekstrim-an pada khalayak.

Dalam Jñana Vahini, Bhagavan Sathya Narayana bahkan menyatakan


bahwa melalui Tapa (dalam arti luas) saja, seseorang dapat mencapai

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 43
tingkat yang tertinggi. Bukan main memang kekuatan yang dapat
dihasilkan Yoga guna mencapai realisasi Diri-Jati dan Kebebasan.

Dipublikasikan di majalah Media Hindu No. 15 — Edisi Mei 2005.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 44
HAMBATAN UTAMA DAN KIAT MEMUSNAHKANNYA.

Hambatan Utama Pendakian

Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya), egoisme (asmita),


kelekatan atau kecintaan ragawi (raga), kebencian (dvesa), dan
kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut
mati (abhinivesa) adalah lima kekotoran batin penghambat ( panca
kléša).
Avidya merupakan ‘bidang gerak’ bagi yang lainnya; apakah mereka
terpendam, kemudian menghilang, teratasi, ataupun malah lebih
meluas.
Terhubung dengan yang tak-kekal, tak-murni, yang bukan-jiwa,
yang dalam kondisi menyedihkan, yang kekal, murni, kesadaran dari
jiwa —yang sebetulnya berbahagia—juga jadi terselimuti oleh
avidya.
Ada dalam liputan kabut asmita, Sang Subjek tampak
teridentifikasikan dengan kekuatan penglihatan.
Terbenam di dalam kenikmatan dunia dan ragawi adalah
kemelekatan atau kecintaan (raga);
(Sebaliknya) tersusupi oleh penderitaan sehingga menimbulkan
sikap penolakan adalah dvesa.
Seakan-akan mengalir dengan sendirinya demikian, bahkan seorang
bijak-pun masih bisa mencintai hidupnya ini dan takut pada
kematian (abhinivesa).
[YS II.3 - II.9]

Disebutkan bahwa avidya adalah cikal-bakal Samsara. Yang satu ini


memang amat patut untuk ditakuti oleh seorang penekun jalan spiritual,
yang mendambakan kebebasan. Berpangkal pada avidya inilah
bermunculan kléša-kléša yang lainnya, yang pada gilirannya menjadi
sumber dari segala sumber penderitaan; persis seperti disebutkan
bahwa, Avidya merupakan ‘bidang gerak’ bagi yang lainnya, apakah mereka
terpendam, menghilang, teratasi, ataupun malah lebih meluas.

Sebaliknya, terhapusnya avidya oleh vidya, berarti meniadakan 'bidang


gerak' dari kléša-kléša yang lainnya, sehingga merekapun tiada
menemukan pijakan dalam batin kita. Dalam konteks ini, vidya

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 45
dikelompokkan dalam dua kelompok besarkan yakni Paravidya
(pengetahuan duniawi atau yang umum sifatnya) dan Aparavidya atau
Brahmavidya (pengetahuan spiritual-filosofis, kebenaran atau
ketuhanan). Penguasaan Paravidya menunjang pencapaian Brahmavidya,
bila diarahkan dengan baik. Ia juga mengkondisikan dan menunjukkan
bukti-bukti konkret, yang mudah dicerap dan dimengerti, atas nilai-nilai
luhur dan kebenaran yang terkandung didalam Brahmavidya. Oleh
karenanyalah, Brahmavidya dapat pula disebut Dharmavidya.

Bukan saja sebagai penunjang dan pengkondisi, Paravidya juga merupakan


bekal hidup pada kehidupan ini. Ia memberi kemudahan-kemudahan dalam
menjalani hidup. Apa yang kita sebut sebagai sains dan teknologi adalah
Paravidya itu adanya. Bukankah penguasaannya memberi kemudahan-
kemudahan dan kenyamanan fisik dan psikis bagi manusia? Akan tetapi,
terhenti dan mandek hanya sampai disana, bukan saja perlu disayangkan
namun bisa berbahaya bagi penguasanya. Peningkatan penguasaan
Paravidya, mutlak perlu di-imbangi dengan dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk meraih Brahmavidya. Ini sejalan dengan lontaran Albert
Einstein, yang terkenal: “Pengetahuan tanpa agama adalah pincang.
Sedang agama tanpa pengetahuan adalah buta.” ini. Dengan penuh
keyakinan ia juga mengemukakan pandangannya: “Setiap orang yang
terlibat secara serius di dalam pencarian pengetahuan, menjadi yakin
bahwasanya, ada suatu jiwa termanifestasikan pada hukum semesta raya
—jiwa yang secara luas superior terhadap jiwa-jiwa manusia, dan sesuatu
dimana di hadapan-Nya, kita beserta kekuatan mutahir kita terasa
sedemikian lemahnya."

Avidya melahirkan ke-aku-an semu (asmita); hadirnya asmita melahirkan


suka-tidak-suka (raga-dvesa); segala penilaian yang berdasarkan atas
raga-dvesa, semakin mempertebal kabut avidya dan memperkuat asmita.
Dengan semakin kuatnya asmita, mempertebal kepemilikan atas segala
sesuatu, termasuk hidup atau kelahiran ini. “Kekayaan-ku, keluarga-ku,
anak-ku, istri-ku, suami-ku, tubuh-ku, diri-ku, hidup-ku....dll.”, demikianlah
ungkapan mereka yang tebal dan kuat asmita-nya. Dengan demikian
abhinivesa berkembang dengan subur.

Namun jangan keliru, mengikis abhinivesa bukan berarti membahayakan


atau menyiksa diri, atau sebaliknya menyia-nyiakan kelahiran dalam jasad
manusia ini dengan cara memanjakannya. Kitab Sarasamuschaya
menegaskan bahwa, hendaknya kelahiran dalam jasad manusia, yang

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 46
sangat berharga ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dimanfaatkan untuk
memupuk kebajikan dan mencapai kebebasan. Bagaimana itu bisa
dilakukan? Dalam sutra-sutra berikut akan kita temukan penjelasannya.

Kiat Memusnahkan Hambatan-hambatan.

Semua itu dapat diatasi lewat perambatan yang berlawanan


(pratiprasava) menuju penghalusannya (suksmah).
Meditasi (dhyana) mengatasi pengaruh pusaran atau modifikasi
(vritti)-nya.
Panca kléša menyebabkan pola-pola perbuatan yang menyebabkan
derita dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.
Selama akar-akarnya semula masih ada, mereka mematangkan
tumimbal-lahir ke dalam golongan, kehidupan dan pengalaman
makhluk hidup.
Mereka menyajikan pahala berupa ‘kebahagiaan’ atau penderitaan,
yang disebabkan oleh kebajikan atau kejahatan.
[YS II.10 - II.14]

Yang menarik untuk dicermati lebih jauh adalah apa yang disebut dengan
istilah ‘pratiprasava’ atau mengatasi suatu kecenderungan melalui
perambatan atau menghadirkan serta membiasakan yang berlawanan
dengannya. Ini dapat disebut sebagai suatu ‘metode tandingan’, metode
untuk memusnahkan yang buruk dengan menandinginya dengan yang baik,
atau sejenis itu. Prinsip atau esensi serupa diulang lagi nanti pada sutra
II.33 oleh Patanjali dengan menyebutnya sebagai: Pratipaksa Bhavana.
Inilah metode praktis dalam yogasadhana yang diajukannya.

Bila panca kléša juga menghadirkan ‘kebahagiaan’ —seperti yang


disebutkan dalam sutra II.14.—mengapa mesti dihapus? Pertanyaan
seperti itu bisa saja muncul dalam benak kita bukan? Sesungguhnya,
dalam sutra sebelumnya, secara implisit, pertanyaan ini telah dijawab.
Tujuan utama kita adalah terbebas dari lingkaran tumimbal-lahir yang
tiada berkesudahan, yang tiada lain dari rangkaian kesengsaraan dan
penderitaan. Samsara, sesungguhnya juga terbaca Sangsara; seperti juga
Ahamkara dibaca Ahangkara, dan yang lainnya.

Kebahagiaan yang disebutkan tadi, yang merupakan pahala dari kebajikan


adalah kebahagiaan temporer dan semu, yang diperoleh dalam kehidupan
berjasad (kasar maupun halus) berupa kenikmatan-kenikmatan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 47
pemenuhan nafsu dan keinginan-keinginan yang tak terhitung banyaknya
itu; bukan kebahagiaan sejati, anandam.

Bagi seorang pertapa yang telah menghacurkan kesan-kesan


pengalamannya (samskara) dan mengembangkan daya memilih dan
memilah-milah (viveka) memahami bahwa berbagai derita (dukha)
yang disebabkan oleh perubahan-perubahan (vritti) bentuk-bentuk
pikiran dan perasaan yang berlawanan (rwabhinneda, seperti:
senang-susah, untung-rugi, sehat-sakit dsb.)
dan pengaruh tiga sifat (sattva, rajas dan tamas) adalah derita
adanya.
Dukha yang belum muncul (anãgata), dapat dihindari.
Penghindaran dimungkinkan melalui peniadaan sebabnya;
sebabnya adalah ‘si pengamat’ (drastr) mengidentifikasikan-diri
sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh).
[YS II.15 - II.17]

Dalam dua sutra terakhir dengan gamblang disebutkan bahwa, sebab dari
dukha adalah adanya kecenderungan manusia untuk mengidentifikasikan-
diri sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh). Kecenderungan inilah yang
menimbulkan hasrat untuk memiliki atau ‘ingin menjadi’. Inilah yang
menggerakkan atau menjadi motivasi utama manusia untuk berbuat dan
berbuat atau menghindari perbuatan tertentu. Hampir semua
aktivitasnya bersandar pada motivasi ini. Semakin sempit lingkup manfaat
aktivitasnya, semakin menguatlah asmita-nya.

Namun secara keseluruhan, secara lebih luas lagi, paparan dalam kedua
sutra itu menunjukkan satu prinsip dasar yakni ‘meniadakan akibat
dengan cara meniadakan sebab yang mendahuluinya.’ Inilah sesungguhnya
pengejawantahan dari Hukum Kausalitas Universal yang mendasari semua
kejadian dan ciptaan. Paradigma ini akan lebih diperjelas lagi dalam
sutra-sutra berikut.

Dipublikasikan di majalah Media Hindu No.16—Edisi Juni 2005.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 48
MUSNAHNYA IDENTITAS-DIRI DALAM PENCERAHAN.

BUKAN PENCERAHAN KOLEKTIF.

Kejelasan bahwasanya kegiatan (kriya), dan pemeliharaan


kelangsungannya (sthiti) di dalam kegiatan mengamati, hanya
merupakan kehebatan dari bekerjanya elemen-elemen dasar (bhuta)
dan sensasi-sensasi indriawi, yang terbentuk dari sari-sari makanan
(bhoga); makanya, pengalaman yang diperoleh dari pengamatan itu
hendaknyalah ditujukan hanya demi meraih Kebebasan.
Baik yang universal maupun tidak universal, yang pasti maupun yang
tak-pasti, hanyalah tahapan-tahapan spesifik dari bekerjanya tiga
sifat-dasar, triguna (sattvam, rajas dan tamas).
Si pengamat sesungguhnya hanyalah matra persepsi murni
(drsimatrah suddho); walaupun demikian, pengamatan berlangsung
melalui campur-tangan citra mental.
Padahal semua itu hanya dimaksudkan untuk pencarian Sang Diri-
Jati lewat mengamati semesta (drsyasãtma).
Walaupun semua itu musnah bagi Sang Yogi yang telah tercerahi,
namun belum bagi kebanyakan orang.
[YS II.18 - II.22]

Ditegaskan kembali disini bahwasanya setiap kegiatan yang dilakukan


manusia melalui segenap indria-indrianya hendaknya ditujukan bagi
tercapainya Kebebasan itu sendiri—tentunya termasuk kebebasan dari
kungkungan indria-indria itu sendiri. Terlebih lagi kalau telah disadari
bahwa semua itu hanya kerja dari sintesa lima elemen-elemen dasar
(mahabhuta) pembentuknya yang kita peroleh dari sari-sari makanan dan
minuman yang dikonsumsi, yang punya tiga sifat-dasar—aktif, pasif dan
netral.

Si pengamat sendiri bukan semua itu. Ia bukan pelaku. Ia matra persepsi


murni yang tiada tercemar. Sayangnya, di dalam melangsungkan
pengamatan campur-tangan beraneka citra mental atau kesan-kesan batin—
yang terbentuk pada pengalaman-pengalaman sebelumnya—menodai
kemurnian persepsinya.

Terbitnya serta semakin dimatangkannya viveka merupakan pencerahan


buddhi, yang hanya dipengaruhi guna sattvam. Pencerahan ini merupakan
‘pencerahan awal’, sebagai pijakan yang semakin berkembang lewat
penguasaan jñana menuju semakin bersinarnya kebijaksanaan (prajña).
Semua ini mesti diperjuangkan secara mandiri, bukan secara kolektif atau
massal. Pencerahan yang dihasilkannyapun langsung dirasakan hanya oleh
Sang Yogi sendiri. Oleh karenanya pula disebutkan bahwa, ‘walaupun semua
itu musnah bagi Sang Yogi yang telah tercerahi, namun belum bagi
kebanyakan orang’.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 49
Tidak seperti Bhakti dan Karma Yoga yang memang dirancang sebagai
praktek kolektif atau massal, Raja Yoga jelas merupakan praktek pribadi
yang mandiri. Pada tahap-tahap awal saja sang sadhaka masih punya
ketergantungan besar kepada Guru-nya ataupun saudara seperguruannya;
selanjutnya, secara berangsur-angsur mau-tak-mau ia mesti semakin
mandiri, hingga akhirnya sepenuhnya mandiri. Hanya sesudahnyalah beliau
benar-benar mampu dan berkompeten memberikan petunjuk dan
bimbingan bagi awam di jalan kecerahan dan kebebasan ini.

IDENTIFIKASI-DIRI DAN KEMUSNAHAN IDENTITAS-DIRI SEMU

Penyamaan (samyoga) antara orang yang memiliki kekuatan-


kekuatan spiritual dengan kekuatan-kekuatan spiritual (sakti) yang
dicapainya itu sendiri, melahirkan ‘identitas-diri semu’
(swarupopalabdhi).
Femomena itu disebabkan oleh Avidya.
Sebaliknya, dengan tidak hadirnya penyamaan itu, musnah pulalah
‘identitas-diri semu’ ini; inilah yang menghadirkan Kebebasan
(kaivalyam) bagi si pengamat (drseh).
[YS II.23 - II.25]

Samyoga disini adalah identifikasi-diri terhadap berbagai hal atau segala


sesuatu. Di permukaan ia berupa sikap ‘mengakui’, yang juga butuh
‘pengakuan’ pihak luar. Bila identifikasi ini tertuju pada pencapaian-
pencapain dalam Yoga, nyaris pasti menimbulkan keangkuhan, atau
setidaknya rasa bangga-diri. Akibatnya, ke-aku-an (asmita) dibuatnya kian
menjadi-jadi.

Identifikasi-diri seperti ini telah menjadi kebiasaan mental kita. Di kalangan


pejalan spiritual, bentuk halusnya adalah idenfikasi-diri pada Guru-nya.
Fenomena ini didorong oleh rasa ‘ingin menjadi’. Ia ingin menjadi ‘seperti’
Guru-nya. Walaupun ini teramat sangat halus —dan oleh karenanya
seringkali diwajarkan — hadirnya viveka memungkinkan sang penekun
menyadarinya. Bila belenggu halus dan kuat ini telat disadari, ia menjadi
semakin halus dan semakin kuat daya-ikatnya. Ia akan amat sulit
dikendorkan, apalagi dilepas. Akibatnya, kebebasan yang dicita-citakanpun
tak kunjung datang. Ini sangat patut diwaspadai oleh setiap sadhaka.

Dipublikasikan dalam majalah Media Hindu edisi 17 — Juli 2005.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 50
DELAPAN LANGKAH PENDAKIAN DAN TUJUH LANGKAH PENYATUAN

Viveka, kecerdasan spiritual yang murni, yang tidak terkontaminasi


(awiplawa), memusnahkan penderitaan.
Ini berkembang bersamaan dengan dicapainya tujuh langkah
penyatuan (saptadha) yang bijaksana (prajña).
Melalui pelatihan langkah-langkah penyatuan ( yogãngãnustãna) ini,
ketidak-murnian (asuddhi) dihancurkan oleh cahaya pengetahuan-
sejati (jñana) hingga viveka tercapai.
Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana
dan Samãdhi —secara keseluruhan— adalah kedelapan langkah itu.
[YS II.26 - II.29]

Sutra II.26 sampai dengan II.28 pada pokoknya memaparkan


tentang viveka, jñana dan prajña —yang terdiri dari tujuh langkah—
dalam ‘satu alur pencapaian’. Viveka diposisikan sedemikian tingginya oleh
Patanjali disini. Ia diposisikan sebagai kecerdasan-spiritual yang murni,
yang tidak terkontaminasi sehingga dapat memusnahkan penderitaan.
Terhancurkannya ketidak-murnian oleh cahaya pengetahuan-sejati,
disebut sebagai prakondisi bagi pencapaian viveka.
Disini, secara implisit, disebutkan bahwa jñana bercahaya dan
mempunyai kekuatan penghancur, bilamana citta telah dimurnikan.
Sementara, tujuh langkah penyatuan —yang disebut juga tujuh langkah
penyatuan yang bijaksana—menghadirkan kondisi yang memungkinkan
bercahayanya jñana. Inilah yang merupakan penghancur asuddhi —untuk
mencapai citta-suddhi—untuk selanjutnya menyempurnakan viveka dalam
batin sang sadhaka.
Dalam banyak teks spiritual-filosofis, viveka juga seringkali
dikaitkan dengan pengetahuan sejati (jñana) dan kebijaksanaan (prajña).
Bahkan seringkali pula viveka langsung dipersamakan dengan
kebijaksanaan. Ia juga seringkali disebut-sebut sebagai kemampuan
untuk membedakan —antara yang baik dengan yang tidak baik, yang patut
dengan yang tidak patut—atau kemampuan diskriminatif sejenis. Viveka,
dalam konteks ini, diartikan sebagai kemampuan memilih dan memilah
antara yang sebenarnya atau sejati dengan yang bukan-sebenarnya,
bersifat khayal, semu atau palsu. Viveka dibentuk oleh pikiran (manas)
sebagai bahan dasarnya, dimana kecerdasan atau buddhi merupakan
transformasi dari manas yang terjernihkan dari rajas dan tamas. Oleh

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 51
karenanyalah, buddhi juga disebut-sebut sebagai kecerdasan kosmis,
yang jernih dan bercahaya karena ia hanya dipengaruhi oleh sattvam —
sifat-sifat luhur kedewataan. Ia-lah yang akan menandingi asmita atau
ahamkara.
Terkait dengan manas dan viveka, Yajurveda XXXIV. 1 - 6
memaparkan fungsi-fungsi manas sebagai berikut:
 Jyotirmanas atau Daivamanas; menerangi alat-alat persepsi dalam
keadaan jaga, dan muncul kembali selama bermimpi ( svapna).
 Manusinahmanas atau Yaksamanas; menjadikan manusia makhluk
yang berakal-budi, sehingga dapat membedakan yang benar dan
yang salah.
 Prajñanam-manas; wadah dimana tersimpan kearifan dan
kebijaksanaan.
 Cetasmanas; bertugas mengumpulkan pengalaman-pengalaman
sebagai ingatan, mencatat, menyimpan, menimbulkan kembali dan
menghubungkan kembali sesuai konteksnya.
 Dhrtimanas; yang mengekspresikan ketabahan atau kemantapan;
menunjang dan mengembangkan gagasan-gagasan, dimana tiada
sesuatu yang dapat diselesaikan tanpa seijin aktivitas mental ini.
 Trikala parigrhtr manas; merupakan pengintegrasi masa lampau
dan masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan; ia membawa
ruang dan waktu dalam satu jangkauan.
 Sapta hotr vistaraka manas; yang berdiri di antara tujuh hakekat,
yakni panca prana di satu sisi, Jivatman dan Prakriti di pihak
lainnya. Ia memimpin panca prana, menghubungkan dunia lahiriah
dan dunia batiniah.
 Hrt pratistha javistha manas; berkedudukan dalam hati dan
senantiasa muda, bertugas mengawasi indriya-indriya.

Pertanyaannya kini adalah, apakah atau bagaimanakah pelaksanaan


pelatihan ‘Tujuh Langkah Penyatuan yang bijaksana’ dimaksud?
Pertanyaan ini terasa menggelitik dan mengundang keingintahuan
penekun bersemangat tinggi manapun pada jalan kebebasan ini. Namun,
tampaknya Patanjali tidak memerinci lagi langkah-langkah tersebut,
mungkin secara inklusif telah terkandung dalam kedelapan tahapan Yoga
—yang akan dipaparkannya lebih lanjut dalam Yoga Sutra ini—seperti
yang disebutkan pada sutra II.29 berikutnya. Atau malah telah
disinggung-singgung sebelumnya, namun luput dari perhatian kita.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 52
Dalam sebuah terjemahan dan ulasan Yoga Sutra Patanjali, yang
dikerjakan oleh Mani-Lana-Boehédwi-Weni (besar kemungkinan mereka
terdiri dari empat sekawan penekun) ditemukan penjelasan tentang itu.
Menurut mereka, ketujuh-langkah tersebut adalah:
 Segala sesuatu yang bisa diketahui telah diketahui, jadi tak ada
lagi yang harus diketahui.
 Segala tali pengikat, bagaimanapun sifatnya, telah teruraikan.
 Karena telah mencapai Kaivalya, sudah tercapailah semua, tidak
ada lagi yang harus dicapai.
 Segala kewajiban sang yogipun telah terselesaikan.

Nah...ke-empat langkah ini disebut masih menggunakan ‘pengikat’.


Sedangkan tiga langkah berikutnya, ‘tanpa-pengikat’, yakni:
 Pikiran telah sentosa.
 Semua guna (sattva, rajas dan tamas) telah jatuh, bagai jatuhnya
batu dari puncak gunung; jadi mereka tidak akan muncul ke
permukaan lagi.
 Setelah terlepas dari triguna, Jivatman berdiri tegak atas dirinya
sendiri, merdeka selamanya.

Ketujuh langkah tersebut ternyata juga merupakan deklarasi


Kebebasan atau Kemahardikan seorang Yogi yang telah mencapai
kesempurnaan, dan telah dipaparkan oleh banyak Guru-guru suci. Itulah
deklarasi Sang Jivanmukti. Jadi, Patanjali sebetulnya telah memberikan
paparan tersamar sebelumnya; sebelum dipaparkannya delapan tahap
yoga pada sutra-sutra berikutnya. Beliau seolah-olah berkata: “Bila kamu
mengikuti jalan ini, maka tujuh langkah kebijaksanaan akan kamu lalui.
Itulah rambu-rambu bagimu sebagai tanda bahwa kamu telah
mengikutinya dengan baik, wahai para sadhaka sejati.”
Bersumberkan “Yoga Vasishtha”, Sri Swami Sivananda juga
menyebut adanya tujuh langkah pendakian dari seorang Jñani. Mereka—
yang disebut dengan Sapta Jñana Bhumika itu—adalah:

1. Yang pertama adalah, Jñana haruslah berkembang melalui suatu


pembelajaran yang mendalam terhadap Sastra-sastra Atma-jñana,
pustaka-pustaka suci prihal pengetahuan luhur tentang Sang Diri-Jati,
dan guyub dengan para orang-orang suci nan bijak (satsanga) serta
melaksanakan kebajikan yang tanpa disertai pamerih. Inilah yang
disebut dengan Subheccha atau hasrat bajik, yang merupakan
Bhumika pertama. Ini akan mengairi batin dengan air pemilah-milah

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 53
dan sekaligus menjaganya. Tidak akan ada lagi ketertarikan atau
kegemaran terhadap objek-objek sensual pada tahapan ini. Tahapan
ini merupakan substratum dari tahapan-tahapan berikutnya.
2. Daripadanyalah kedua tahapan berikutnya —yakni Vicharana dan
Tanumanasi— akan dicapai. Atma Vichara (perenungan berlanjut
terhadap keberadaan Sang Atman) secara konstan, membentuk
tahapan kedua ini.

3. Tahapan ketiga adalah Tanumanasi. Tahapan ini dicapai melalui


penyemaian sikap tiada membedakan objek-objek yang khusus
sifatnya. Pikiran menjadi sedemikian tipisnya, layaknya seutas
benang; tanu berarti benang; jadi ini merupakan kondisi batin dimana
pikiran menjadi setipis benang. Makanya, tahapan ini disebut
Tanumanasi. Langkah ketiga ini juga disebut Asanga Bhavana.
Dalam tahap ketiga ini, sang penekun bebas dari segala bentuk
kegemaran. Bila seorang penekun mati dalam tahap ini, ia akan
mencapai dan tinggal di sorga untuk jangka waktu lama, sebelum
ber-reinkarnasi di alam manusia ini sebagai seorang Jñani.

Nah....ketiga tahap tadi bisa dimasukkan ke dalam status Jagrat,


status Jaga.

4. Tahapan keempat adalah Sattvapatti. Tahapan ini menghancurkan


semua vasana-vasana hingga ke akar-akarnya. Ini bisa dimasukkan
ke dalam status Svapana, status Mimpi. Bagi yogi-yogi yang
mencapai status ini, dunia bagaikan mimpi saja adanya. Mereka
melihat semua hal di alam semesta sebagai setara.
5. Tahapan kelima adalah Asamsakti. Disini ada ketidak-melekatan
sempurna terhadap objek-objek duniawi. Tidak ada Upadhi atau
status jaga dan tidur disini. Inilah status Jivanmukti—pada mana
seorang yogi mengalami Kebahagiaan Abadi Ilahi (Ananda
Svaroopa) yang disertai dengan Jñana yang tanpa noda. Tahapan ini
bisa digolongkan ke dalam Sushupti, status Tidur-lelap tanpa mimpi.

6. Tahapan keenam adalah Padartha Bhavana. Disini sepenuhnya ada


Pengetahuan Sejati (Brahma-jñana).

7. Tahapan ketujuh adalah Turiya, atau status Kesadaran Supra. Inilah


Moksha itu adanya. Ini juga dikenal dengan sebutan status Turiyatita.
Disini tidak ada lagi bentuk-bentuk Sankalpa, bentuk-bentuk
pemikiran akibat terjadinya pusaran kesadaran. Ketiga sifat-sifat
dasar (guna), musnah disini. Tahapan ini melampaui jangkauan
pikiran dan kata-kata. Kebebasan tanpa jasad (videhamukti) dicapai
pada tahapan ini. Tetap tinggal di dalam kehadiran Sang Atma, tanpa
keinginan, dan dengan pandangan setara bagi semuanya, sepenuhnya
telah mengikis habis komplikasi-komplikasi atau pembeda-bedaan
antara ‘Aku’ maupun ‘Dia’, eksistensi ataupun non-eksistensi, adalah
Turiya.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 54
Sutra memang merupakan aphorisma pendek yang padat makna;
oleh karenanyalah, untuk memahaminya dengan baik, perlu terjemahan
dan ulasan (bhasya) seorang Guru yang benar-benar handal dan
terpercaya.
Kias ‘tujuh-langkah’ dan deklarasi kebebasan dari lingkaran
Samsara, juga dapat kita temukan dalam Sutra Pitaka, yang
menggambarkan kelahiran Pangeran Siddhartha, yang nantinya dikenal
sebagai Buddha Gotama —yang telah tercerahi dengan sempurna.
Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan ‘tujuh-langkah’ di
atas ‘tujuh kuntum teratai’ ke arah Uttara.
Setelah berjalan ‘tujuh-langkah’ bayi itu mengucapkan kata-kata:
“Akulah Pemimpin di dunia ini,
Akulah Tertua di dunia ini,
Akulah Teragung di dunia ini,
inilah kelahiran-Ku yang terakhir,
tak akan ada tumimbal-lahir lagi.”

Teratai (padma) seringkali dipakai sebagai simbol kebijaksanaan


(prajña) dalam ikonografi Hindu maupun Buddha. Para Buddha dan
Boddhisattva umumnya digambarkan sebagai duduk atau berdiri di atas
padma atau sekedar memegang sekuntum teratai; demikian pula para
dewa tertentu dalam ajaran Hindu. Dan ‘senjata’ Hyang Siva adalah
‘Padma Anglayang’. Ketujuh Chakra, dalam Kundalini Yoga, juga seringkali
disebut padma. Lagi-lagi kita menemukan kias ‘tujuh padma’ dalam Laya
Yoga. Siva-pun dianggap berstana di Sahasrara Chakra—padma dengan
seribu kelopak.
Sesungguhnyalah, apa yang dipaparkan dalam Yoga Sutra ini,
mengarahkan seorang yogi pada tujuh-langkah bijaksana, yang juga
merupakan rambu-rambu pendakian spiritual-filosofis ini.
Jadi, dalam tiga sutra tadi tampak jelas keterkaitan yang tidak
terpisahkan antara citta suddhi — jñana — viveka — prajña. Citta suddhi
sendiri dimungkinkan bilamana manas telah dibebaskan dari pusaran atau
modifikasinya. Dan citta vritti nirodha inilah yang menjadi kunci dari
ajaran pembebasan Patanjali. Bagaimana langkah-langkah praktisnya
dalam sadhana? Itulah yang disebutkan oleh Patanjali dengan delapan
tahapan, yakni: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana,
Dhyana dan Samãdhi.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 55
DISIPLIN MORAL DAN JURUS AMPUH MENGATASI INSTING-
INSTING DESTRUKTIF

Sepuluh Disiplin Moral Sang Yogi

Yama terdiri dari Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya, dan


Aparigraha;
semuanya merupakan ‘sumpah-sumpah universal yang agung’.
Sementara itu, Sauca, Santosa, Tapa, Svadhyaya, Isvara
pranidhana adalah Niyama.
[YS II.30 - II.32]

Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada
Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai ‘sumpah-
sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak
dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan
hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek
brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra
II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra
II.40 sampai dengan II.45.

Paparan dalam sutra-sutra ini, disampaikan justru sesudah pemaparan


tentang viveka, tujuh langkah penyatuan yang merupakan kemampuan
dasar dan rambu-rambu. Jelas ini bukan suatu kebetulan atau sekedar
sebagai penunjang sistematika saja, mengingat Yama-Niyama merupakan
pondasi dari Yoga itu sendiri. Kokoh dan tegaknya mercusuar Yoga
dimungkinkan oleh kokohnya pondasi Yama-Niyama; demikian pula
sebaliknya, melalui tahapan-tahapan pencapaian dalam Yoga, Yama-
Niyama semakin diperkokoh. Demi kokohnya, ia mesti senantiasa
diterapkan berdasarkan viveka, bukan atas dasar emosi atau rasa
sentimental saja. Justru emosi dan rasa sentimental inilah yang memancing
kemunculan dan menjadi tunggangan insting-insting destruktif dan ikut
andil dalam mengotori citta, yang hendak dimurnikan kembali.

Pratipaksa Bhavana — Jurus Ampuh mengatasi Insting-insting


Destruktif.

Guna mengatasi insting-insting yang destruktif sifatnya (vitarka),


hadirkanlah sifat-sifat yang berlawanan dengannya (pratipaksa
bhavana).
Insting-insting destruktif merupakan pemikiran-pemikiran yang
berdaya rusak tinggi (himsãdayah), apakah ia diperbuat, disebabkan
oleh atau disetujui, maupun dimotivasi oleh keserakahan (lobha),
kemurkaan (krodha), ataupun kebingungan karena mabuk (moha),
apakah yang kwalitasnya halus (mrdu), menengah (madhya),

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 56
ataupun intens (adhi), semua mengakibatkan penderitaan dan
semakin tebal dan berkepanjangannya kabut kebodohan.
Oleh karenanya, kembangkanlah sifat-sifat yang berlawanan
(pratipaksa bhavana) ini.
[YS II.33 dan II.34]

Dalam dua sloka ini amat ditekankan pratipaksa bhavana—metode


mengembangkan sifat-sifat atau kecenderungan yang berlawanan dengan
insting-insting distruktif kita. Metode ini dikembangkan atas fakta bahwa
‘pikiran hanya dapat memegang satu objek saja, pada suatu saat yang sama’.
Bentuk-bentuk pemikiran destrutif tidak punya kesempatan untuk mengisi
pikiran, bilamana pikiran telah terisi oleh pemikiran-pemikiran konstruktif,
yang menunjang pengembangan dan pemurniaan batin (citta-suddhi).

Agar secara instingtif tidak muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat


himsa misalnya, maka hadirkan selalu yang berlawanan, yaitu ahimsa.
Demikianlah kurang lebih prinsip yang dianut oleh pratipaksa bhavana ini.
Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari, apakah ini memungkinkan?
Umumnya tidak. Insting-insting destruktif—seperti lobha, krodha atau
dvesa dan moha—pada kebanyakan orang umumnya terlanjur telah
mengakar kuat, karena dibawa sejak beberapa kelahirannya yang lampau.

Keserakahan (lobha) akan segera mengikuti bila sebentuk keinginan atau


kegandrungan terpenuhi. Terpenuhinya satu keinginan atau kegandrungan,
langsung lebih menguatkannya. Dan ini membangkitkan dorongan untuk
terus-menerus memenuhinya lagi. Disinilah keserakahan menemukan
pijakan kokoh dan lahan suburnya. Bagai benih yang disiram dan diberi
‘pupuk kenikmatan’ secukupnya, iapun tumbuh kian subur. Dalam proses
itu, kemelekatan, kegandrungan dan kecenderungan untuk selalu
memenuhinya, terbentuk dan menguat secara alami.

Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot
untuk ikut menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan,
kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih
halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami
manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian
proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin
mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam
kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan himsa-
karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini,
akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh
karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya
yang paling logis.

Dari pengamatan yang jernih terhadap fenomena-fenomena empiris ini,


serta mengingat sebagian besar manusia cenderung masih membawa
insting-insting destruktif karena kuatnya pengaruh triguna, maka Yama dan
Niyama diketengahkan disini dengan penekanan yang kuat. ‘Jauh lebih baik

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 57
menghindari ketimbang mengobati’. Mungkin atas dasar pola pikir seperti
ini pula dua sloka ini diposisikan sebagai penyela, menyusul paparan rinci
dari Yama-Niyama.

Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih
dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin,
sehingga pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan
untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan
membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara
akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan,
maka sattvam berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi
rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat
diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di
dalam meraih keberhasilannya.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 58
MAHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (1)

Dengan hadirnya kemantapan Ahimsa, rasa permusuhan tidak punya


tempat berpijak (vairatyaga).
Dengan hadirnya kemantapan Satya, ketulusan di dalam
menyerahkan kerja dan hasilnya dimungkinkan (phalasrayatvam).
Dengan hadirnya kemantapan Asteya, semua ‘kekayaan’ mendekat
dengan sendirinya bagi Sang Yogi.
Dengan hadirnya kemantapan Brahmacarya, semangat spiritual yang
kuat (virya) diperoleh.
Dengan hadirnya kemantapan Aparigraha, muncullah pemahaman
yang baik tentang proses kelahiran manusia (janma kathamta).
[YS II.35 - II.39]

Hasil-hasil nyata berupa perkembangan sikap batin lewat pelaksanaan


kelima sumpah batin yang diterapkan berupa disiplin mental atau moral-etik
dipaparkan dalam kelima sutra ini. Ini semestinya lebih menyadarkan kita
kalau Asana disini bukan semata-mata sebagai olah-tubuh ataupun sikap-
sikap tubuh tertentu saja, seperti yang umumnya kita pahami sebelumnya.
Ini akan kita bicarakan lebih lanjut pada ulasan terhadap sutra II.46 - II.48.

Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan sebutan Panca Yama Brata, atau ada
pula yang memberinya sebutan Panca Sila, yang bersama dengan Panca
Niyama Brata membentuk Dasasila. Tidak membunuh atau menyiksa
makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berjinah atau melakukan perbuatan
asusila, tidak berbohong atau berkata-kata tidak jujur, dan tidak mabuk-
mabukan atau menghindari yang memabukkan merupakan lima ajaran
moral-etik buddhis, yang juga disebut Panca Sila.

Ajaran moral-etik adalah ajaran praktis, yang harus diterapkan langsung


dalam kehidupan sehari-hari. Mereka jelas bukan sekedar untuk dihafal.
Seperti yang disebutkan dalam sutra II.30 dan II.31, Yama mesti diposisikan
sebagai mahavrata —sumpah universal yang agung.

Ahimsa dipraktekkan dengan tiada menyakiti baik lewat pemikiran, ucapan,


maupun tindakan fisik. Banyak yang memandang Gandhi sebagai ‘Nabi
Ahimsa’, mengingat perjuangan kemerdekaannya yang tanpa kekerasan
fisik. Bahkan sebutan Mahatma —‘manusia yang berjiwa besar’— diberikan
oleh Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dan penggubah
“Gitanjali” yang termasyur itu, kepadanya.

Ahimsa bukan saja merupakan pengkondisi ketentraman hati dari setiap


pelakunya, namun ia secara aktif ikut menjaga kedamaian dunia.
Pertanyaannya kini adalah: Bagaimana melatih Ahimsa atau penerapan
praktisnya dalam kehidupan sehari-hari?

Berikut ini saya sertakan petunjuk-petunjuk dari Sri Swami Sivananda.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 59
Manakala pemikiran untuk membalas dendam dan kebencian
muncul, cobalah mengendalikan tindakan dan ucapan Anda terlebih
dahulu. Jangan sekali-kali ikuti godaan setan dengan mengucapkan
kata-kata kasar. Jangan lemah! Janganlah mencoba menyakiti orang
lain. Bila Anda berhasil mempraktekkannya dalam beberapa bulan,
pemikiran-pemikiran negatif yang dimunculkan oleh kebencian, tak
akan punya kesempatan untuk menampakkan dirinya ke luar,
merekapun akan mati dengan sendirinya.

Awalnya memang amat sulit mengendalikan pemikiran-pemikiran


serupa itu, tanpa upaya untuk mengendalikannya terlebih dahulu.
Pertama-tama kendalikanlah jasmani Anda. Ketika seseorang
memukulmu, berdiamlah. Tekan perasaanmu. Ikutilah perintah Jesus
Kristus dalam ‘Kotbah di atas Bukit’-nya: “Bila seseorang menampar
sebelah pipimu, serahkanlah pipimu yang sebelah lagi. Bila
seseorang mengambil jaketmu, berikanlah ia kemejamu juga”. Tentu
saja ini amat sulit pada awalnya. Kesan-kesan tua yang terlanjur
tersimpan untuk membalas, seperti ‘sebuah gigi, bagi sebuah gigi’,
‘sebuah mata untuk sebuah mata’ dan ‘membayar dengan koin yang
sama’, akan menekan Anda untuk berontak. Namun Anda mesti
menunggu dahulu hati Anda mendingin. Refleksikanlah itu dan
bermeditasilah terhadapnya.

Lakukanlah upaya mempertanyakannya atau upaya yang benar


lainnya. Batin Anda akan menjadi kalem. Sang musuh yang tadinya
mencak-mencakpun akan menjadi kalem, karena ia tak mendapat
tantangan dari pihak Anda. Iapun akan tertegun dan mendingin, oleh
karena Anda tetap tegar layaknya orang suci. Demikianlah, Andapun
akan memperoleh kekuatan di dalam diri Anda. Jagalah prinsip itu.
Cobalah selalu untuk melakukannya, walaupun awal-awalnya Anda
gagal. Milikilah sikap yang jelas dan nyata dari citra Ahimsa serta
manfaatnya yang pasti.

Nah...setelah berlatih mengendalikan tubuh Anda, kini latihlah


ucapan. Ambil sebentuk kebulatan tekad, "Mulai saat ini saya tak
akan mengucapkan kata-kata kasar kepada siapapun juga". Awalnya
Anda bisa saja gagal beratus-ratus kali. Tak mengapa. Secara lambat
namun pasti Anda akan memperoleh kekuatan itu. Periksalah impuls
dari ucapan Anda. Latihlah Mouna (diam).

Praktekkanlah Kshama (memaafkan). Dan katakanlah pada diri


Anda: “Ia masih berjiwa kekanak-kanakan. Ia lalai; itulah sebabnya ia
melakukan itu. Biarlah saya memaafkannya kali ini. Manfaat apa yang
saya peroleh dengan membalas tindakannya itu?” Hentikanlah
kemelekatan pada ke-aku-an (Abhimana) perlahan-lahan.

Abhimana adalah akar dari semua penderitaan yang dialami


manusia. Akhirnya mulailah memeriksa dan mengamati dengan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 60
seksama bentuk-bentuk pemikiran —di benak Anda— yang bersifat
menyakiti. Jangan sekali-kali berpikir untuk mencelakai orang lain.

Diri-Jati menyelusupi semuanya. Semuanya adalah manifestasi dari


Yang Esa. Dengan menyakiti yang lain, sesungguhnya Anda juga
menyakiti Diri-Jati Anda. Dengan melayani orang lain, Anda juga
melayani Diri-Jati Anda. Kasihilah semua. Layani semua. Jangan
membenci siapapun. Janganlah menyakiti siapapun melalui pikiran,
ucapan dan tindakan atau prilaku Anda. Cobalah selalu memandang
bahwa Diri-Jati yang ada pada Anda juga ada pada semua orang.
Inilah yang akan menghadirkan Ahimsa.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 61
Kidung Kelepasan Patanjali
Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 62
MAHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (2)

Satya diterapkan melalui kejujuran dan senantiasa dalam jalur kebenaran.


Setiap manusia punya hati-nurani. Kita tak dapat membohonginya. Ia
adalah saksi yang senantiasa hadir kemanapun kita melangkah. Kata hati-
nurani inilah yang dapat dipegang kejujurannya. Namun berhati-hatilah! Ini
seringkali amat mengelirukan, sehingga banyak orang menyangka kalau
kilasan emosi atau pemikiran sesaat sebagai kata hati-nurani. Ia jauh lebih
dalam daripada itu.

Kecuali Ahimsa yang telah dikenal luas, Satyagraha adalah ajaran dan apa
yang juga diterapkan Gandhi. Ia berarti senantiasa bersemayam dalam
kebenaran. Menurut Gandhi Satyagraha adalah: perwujudan baru dari
Sanatana Dharma (Ajaran Kebenaran Abadi), sama dengan kekuatan
kebenaran, kekuatan cinta-kasih dan kekuatan batin, dasar dari kehidupan
bersama dalam masyarakat.

Asteya diterapkan dengan tidak melakukan pencurian. Ia bahkan diterapkan


sebagai tidak menginginkan milik orang lain, apalagi berupaya merebutnya
dengan cara-cara curang, bujuk-rayu, tipu-muslihat, sampai-sampai
melakukan pemaksaan fisik. Lebih jauh lagi, ia hendaklah dimaknai sebagai
ajaran moral-etik yang mendukung kehidupan tapa, mengekang nafsu-
keinginan.
  
Sri Sankarãcharya pernah berujar:
“Brahmacharya atau kesucian tanpa noda merupakan yang terbaik
diantara semua upaya penebusan dosa; seorang Brahmacharin,
yang suci tanpa noda, bukan lagi sosok manusia, namun
sesungguhnya seorang dewa... Bagi pembujang yang menyimpan
mani-nya melalui upaya besar ini, apakah yang tiada mampu ia
capai di dunia ini? Menggunakan kekuatan yang terhimpun dalam
mani, seseorang akan menjadi seperti Diriku.”

Brahmacarya juga diterapkan tidak sebatas hidup membujang atau tidak


melakukan jinah; akan tetapi dengan selalu mendambakan penyatuan dan
berusaha untuk tetap melekat pada Brahman Yang Agung.

Dalam pengertian sempitnya, kehidupan membujang memang terbukti


menunjukkan manfaat besar di dalam mendorong kemajuan spiritual,
seperti yang dipaparkan oleh Sri Swami Sivananda  dalam buku “Practice of
Brahmacharya”. Beliau sendiri juga menjalani hidup membujang. Namun
beliau juga mengatakan bahwa, dalam pengertian yang luas, ia berarti
pengendalian mutlak terhadap sensasi-sensasi indriawi.

Mahatma Gandhi dalam “The Gandhi Sutra” —yang disusun oleh Prof. D.S.
Sarma— juga berpendapat sama tentang Brahmacarya. Kata Gandhi:
“Menjalankan Brahmacarya menurut pernyataan orang-orang sangat sukar,

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 63
jika bukan mustahil. Jika kita coba menyelidiki apa sebabnya orang
mengatakan demikian, maka akan ternyata bahwa mereka memberikan arti
yang terlalu sempit pada istilah Brahmacarya ini. Mereka menyangka
bahwa Brahmacarya hanyalah penahanan nafsu-birahi saja. Saya rasa
pandangan ini kurang tepat. Brahmacarya berarti penguasaan seluruh
indria. Orang yang berusaha menguasai hanya satu indria dan mengabaikan,
membiarkan indria-indria yang lainnya, segera akan insyaf bahwa usahanya
itu tidak ada gunanya samasekali....Brahmacarya berarti penuntun
kelakukan kita dalam menemukan Brahman (Hakekat Kebenaran Sejati)”.
Inilah yang melahirkan kekuatan semangat (virya) untuk berusaha terus-
menerus. Ini terkait erat dengan Isvarapranidhana, berlindung dan
menyerahkan-diri kepada Tuhan, salah-satu poin terpenting dalam Niyama
Brata.

Aparigraha diterapkan sebagai tidak-rakus, tidak berlebih-lebihan di dalam


menimbun harta-benda dan menikmati kemewahan duniawi. Ia merupakan
lawan-tanding dari lobha, dalam penerapan metode pratipaksa bhavana. Ia
juga berhubungan erat dengan Tapa. Sri Swami Sivananda mengingatkan
bahwa, bila ingin sukses dalam Yoga, maka terapkanlah Tapa dan
Brahmacarya.

Jadi, tampak jelas bahwa dalam penerapannya, Yama tak dapat dipisahkan
begitu saja dari Niyama —yang akan kita bicarakan belakangan. Keduanya
setangkup, membentuk Dasasila, yang secara kondusif membentuk sikap-
batin luhur dan kejernihan hati, serta menjanjikan kemajuan pesat dan
keberhasilan dalam Yoga.
 
Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan ke-
engganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain.
Dengan pemurnian mental (sattvasuddhi) muncul keriangan, daya
konsentrasi, penaklukan indria, dan kesiapan untuk menerima
pemahaman Sang Diri-Jati (jayãttma darsana).
Dari Santosa, kebahagiaan tertinggi (anuttama sukha) diperoleh.
Kesempurnaan kinerja organ-organ indria datang bersamaan dengan
hancurnya kekotoran batin melalui Tapa.
Melalui Svadhyaya dicapai penyatuan dengan Istadevata.
Pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek
Isvarapranidhana.
[YS II.40 - II.45]

Enam sloka inilah yang menguraikan (terutama) tentang keampuhan dari


pelaksanaan kelima disiplin mental Niyama. Di Nusantara, pelaksanaan
kelima disiplin mental atau ajaran moral-etik ini dikenal sebagai Panca
Niyama Brata.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 64
MAHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (3)

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana telah dipaparkan terdahulu dalam


kaitannya dengan Kriya Yoga [YS II.1 - II.2]. Sutra II.40, yang
menyebutkan bahwa, Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad
(savãnga) dan keengganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad
lain, bukan dimaksudkan sebagai anjuran untuk menarik diri dari
masyakat atau pergaulan sosial. Salah-tanggap seperti ini sangat mungkin
terjadi. Ia lebih diarahkan pada pengikisan raga-dvesa, nafsu dan rasa-
kepemilikan dan kemelekatan. Jadi ia juga berkaitan erat dengan upaya
mempertipis egoisme itu sendiri.

Sauca adalah kesucian lahir-batin. Dalam sutra II.41 tadi disebutkan


pengembangan batin atau sikap-mental yang dicapai melalui Sauca
sebagai:
 Sattvasuddhi —kemurnian daya pemilah,
 Saumanasya —keriangan hati,
 Ekagrata —keterpusatan pikiran yang kokoh,
 Indriajaya —penguasaan terhadap nafsu indriawi dengan baik, dan
 Atmadarsana —visi Sang Diri-Jati atau Atman.

Santosa adalah kepuasan-batin. Kepuasan-batin, tidak berlandaskan pada


pemenuhan atau memuasi dorongan indria. Kepuasan-batin tidak dicapai
melalui penimbunan dan penguasaan materi, karena materi tidak akan
pernah mampu memuaskan siapapun secara batiniah. Dicapainya Santosa
membangkitkan kegairahan dan semangat baru dalam berbagai sendi
kehidupan—fisikal, mental maupun spiritual.

Secara keseluruhan, Niyama kait-mengait satu dengan yang lainnya; yang


satu mendukung dan menguatkan yang lainnya. Mungkin mengingat akan
betapa fundamentalnya sikap-mental luhur bagi seorang siswa spiritual,
Shrii Shrii Anandamurti —gurubesar dari Ananda Marga— juga
menekankan penerapan 15 sila tambahan, disamping Yama-Niyama;
masing-masing adalah:
 Bersifat mengampuni, memaafkan.
 Berjiwa besar.
 Dengan penuh kesadaran mengendalikan perilaku dan kemarahan.
 Tyaga, siap mengorbankan segalanya yang besifat pribadi untuk
kepentingan ideologi.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 65
 Mengendalikan diri sepenuhnya.
 Berpenampilan manis dan murah senyum.
 Memiliki keberanian-moral.
 Dapat dijadikan panutan; dapat melakukannya sebelum menyuruh
orang lain melakukan suatu kegiatan tertentu.
 Membebaskan diri dari kebiasaan mencela, menyalahkan orang lain,
‘menusuk dari belakang’, serta berpandangan ‘kelompokisme’.
 Dengan ketat melaksanakan Yama dan Niyama.
 Apabila suatu kesalahan dilakukan tanpa disengaja—karena kurang
berhati-hati—dan kemudian disadari, maka kesalahan itu segera
harus diakui dan minta hukuman atasnya.
 Meski ketika sedang berhadapan dengan seorang yang sangat
kasarpun, harus membebaskan diri dari kebencian, kemarahan, dan
kesombongan.
 Bebaskan diri dari kebiasaan terlalu banyak bicara atau beromong-
kosong.
 Taat kepada disiplin yang sudah disusun dan disepakati.
 Miliki rasa tanggungjawab.

Wrhaspati Tattwa —yang memuat wejangan-wejangan Hyang Siva kepada


Bhagawan Wrhaspati, Guru para dewa—juga menyebutkan Dasasila tidak
jauh berbedanya secara esensial dengan Yama-Niyama. Hyang Siva
menegaskan kepada Wrhaspati: “Usahakanlah jiwa itu sebagai alat untuk
melaksanakan Yoga-Samãdhi. Janganlah menunda-nunda, usahakanlah
sadhana itu. Yang disebut sadhana adalah Yogamarga yang didasari
Dasasila. Dasasila itu membangun Yoga....Dasasila merupakan penjaga
Sang Yogiswara dalam Samãdhi-nya. Disitulah Sang Yogiswara akan
menemukan pengetahuan tentang Kebebasan dari pengaruh Mayatattwa”.

Setelah mengikuti paparan panjang-lebar dalam lingkup Yama-Niyama


yang disajikan dalam banyak sutra oleh Patanjali, menyimaknya dengan
seksama merenungkan arahnya, terlihat kalau sadhaka diarahkan untuk
mengembangkan Catur Paramãrtha —empat sifat atau sikap-batin luhur
keilahian. Walau paparan pengenalan pada ke-empat sikap-batin luhur
keilahian tersebut hanya dipaparkan sepintas pada sutra I.32 sampai
I.34, namun mereka disebut sebagai pendukung utama pemusnah derita
(dukha). Penerapannya, mengkondisikan batin sedemikian rupa tenang,
mantap, penuh kegairahan serta mengeliminir halangan-halangan tak perlu
di dalam melaksanakan sadhana demi sadhana.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 66
Disadari bahwa, pelatihan tubuh dalam asana juga amat menunjang
kesehatan sang sadhaka. Dalam perjalanan panjang, pendakian yang
semakin curam dan licin yang dipenuhi onak dan kerikil-kerikil tajam,
seorang pendaki butuh ketahanan fisik maupun mental yang prima.
Ketahanan fisik mana pada gilirannya akan amat menunjang ketahanan
mental-spiritual. Kondisi prima inilah yang hendak dimantapkan lagi dalam
paparan sutra-sutra terkait dengan Asana dan Pranayama berikut.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 67
Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap-Mental

Sikap-tubuh (asana) dalam latihan hendaknya mantap dan nyaman.


Dengan lepasnya ketegangan tubuh dan mental, transformasi batin
dimungkinkan mencapai ketidak-terbatasan.
Darisana bentuk-bentuk batin dualistik (dvandva) tak lagi
mengganggu.
[YS II.46 - II.48]

Patanjali memang tidak secara khusus menyebutkan ataupun


merekomendasikan sikap-tubuh tertentu, namun banyak penekun dan
Guru spiritual menemukan manfaat besar dari sikap-tubuh padmãsana
(sikap duduk bagai bunga lotus), siddhãsana (sikap duduk para orang
suci), swastikãsana (sikap duduk bagai simbol swastika) dan sukhãsana
(sikap duduk sesuka hati, namun tetap bersila dengan tulang-punggung
tegak). Banyak yang menyebutkan bahwa padmãsana-lah yang paling
utama diantaranya. Yang perlu untuk digunakan pegangan dalam duduk
bermeditasi adalah, kepala, leher dan tubuh dipertahankan agar tetap
dalam satu garis lurus dan tegak. Tidak condong ke depan, ke belakang
atau ke samping. Pilihlah satu sikap duduk yang paling sesuai bagi Anda,
dan jangan setiap kali merubah sikap duduk. Pertahankan satu sikap
duduk dengan mantap.

Secara khusus, Hatha Yoga —atau juga disebut Yogãsana—mengajarkan


dan melatih semua sikap-sikap tubuh, yang amat bermanfaat bagi
kesehatan dan kelenturan tubuh, dan tidak kita bicarakan secara khusus
disini. Sikap-sikap tubuh ini sangat kondusif di dalam membentuk atau
menghadirkan sikap-mental yang sesuai dengan yang diperlukan dalam
melaksanakan japa dan langkah selanjutnya, yakni pranayama dan dhyana.
Disamping kesehatan tubuh, pembentukan sikap-mental merupakan tujuan
utama dari laku asana ini. Bahkan Sri Swami Sivananda menyatakan “bila
tak dapat melaksanakan asana dengan sempurna, tidak akan dapat
melakukan dhyana dengan baik”.

Sikap dan kondisi tubuh, ekspresi wajah, diketahui sebagai punya kaitan
erat sekali dengan kondisi mental. Ambil contoh anjuran “keep on smiling”
misalnya. Adakah landasan ilmiah —selain empiris—dari anjuran ini?
Ternyata ada; seorang psikolog Jerman, Fritz Stark, pernah mengadakan
penelitian ilmiah terhadap senyum, dalam kaitannya dengan pengkondisian

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 68
batin kita. Menurutnya, membuat senyuman dengan otot-otot wajah,
menipu otak untuk merespon dengan perasaan yang relevan . Pernyataan
ilmiahnya ini, ternyata juga dikuatkan lagi oleh David Lykken —pensiunan
profesor psikologi dari University of Minnesota, Minneapolis USA—
dengan menyatakan “Emosi merupakan perpaduan antara perasaan
internal dengan respons fisik yang memberikan umpan-balik pada otak
kita”.1

Sebetulnya, hingga saat ini memang telah banyak bukti-bukti sebagai


hasil empiris perseorangan, perkumpulan Yogãsana maupun penelitian-
penelitian ilmiah tentang nilai manfaat langsungnya secara fisik maupun
psikis. Asana tertentu —secara phisioterapis— dapat menyembuhkan
penyakit tertentu, bahkan Yogãsana diyakini juga sebagai Yoga
Kesehatan. Kondisi tubuh yang sehat, otot-otot yang lentur, tidak
tegang, menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi kegelisahan mental.
Dan ini amat membantu dalam tercapainya keterpusatan saat berlatih
meditasi (dhyana). “Kalau Anda dapat duduk hanya untuk satu jam saja,
Anda dapat memusatkan pikiran dan merasakan kesentosaan dan
kebahagiaan”, papar Sri Swami Sivananda dengan amat meyakinkan.

Sebagai pembentuk sikap-mental, dan bukan semata-mata sikap-tubuh


layaknya senam dan bentuk-bentuk olah-raga lainnya, asana sesungguhnya
telah terbentuk ketika Yama-Niyama benar-benar diterapkan di dalam
kehidupan. Di Nusantara dikenal—apa yang disebut dengan— sasana,
disiplin mental dan prilaku yang pantas. Pemposisian asana sebagai
tahapan ketiga—setelah Yama dan Niyama—seakan-akan mengisyaratkan
bahwa, ‘tiada sadhana yang terlaksana dengan baik, tanpa didasari oleh
sikap-mental yang baik’. Makanya, dalam yogasadhana, Yama-Niyama
tetap menjadi kunci keberhasilan. Pelaksanaan tiga aspek dari Niyama
saja—yakni Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana —sudah layak
diperhitungkan sebagai melaksanakan Kriya Yoga.

1
Tabloid Aura; Edisi Khusus/Th.III; Minggu ke-3; September 1999.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 69
REGULASI NAFAS DAN PENGENDALIAN DAYA-VITAL.

Setelah Asana, memupuk perhatian murni pada pergerakan keluar


dan masuknya daya-vital (prana), yang disebut Pranayama,
dilaksanakan.
Prana keluar (bahya), masuk (abhyantra) dan diam (stambha) dalam
hening adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengaturan
prana menurut ruang, waktu, dan jumlah kalinya sedemikian rupa,
hingga nafas terasa semakin dalam dan semakin halus.
Ada juga langkah ke-empat berupa penahanan di antara keluar dan
masuknya (bahya abhyantara).
Dengan ini, tabir yang menutupi cahaya batin dapat disingkirkan,
sehingga batinpun siap dan layak memasuki Dharana.
[YS II.49 - II.53]

Prana sendiri adalah daya-vital, daya-hidup; sedangkan yama adalah


pengekangan, pengendalian atau pengaturan. Secara harfiah saja,
Pranayama berarti pengaturan daya-hidup itu sendiri, dan jelas bukan
sekedar mengendalikan keluar-masuknya nafas. Dalam Yoga Sutra ini,
laku Pranayama lebih diarahkan pada yang bersifat yang esensial —
menyingkirkan tabir yang menutupi cahaya batin— bagi persiapan untuk
memasuki anga [baca: angga] atau tahap berikutnya, yakni Pratyãhãra dan
Dharana.
Pranayama yang hanya dikaitkan dengan regulasi nafas, termasuk dalam
bidang pelatihan tubuh dalam sistem Hatha Yoga.

Swami Satya Prakas Saraswati di dalam “Patanjali RAJA YOGA”-nya,


memang menyatakan bahwa Pranayama berhubungan dengan sistem
pernafasan, dimana sikap duduk Siddhãsana (kaki dilipat dengan kaki
kanan di atas kaki kiri) dipandang sebagai sikap duduk terbaik di dalam
latihan regulasi nafas ini. Dalam kitabnya ini, beliau bahkan memaparkan
secara panjang-lebar tentang prana dan Pranayama dalam dua bab
tersendiri, dimana antara lain disebutkan bahwa, prana adalah daya-vital
yang tidak kelihatan, dan yang memungkinkan kita untuk bernafas. Prana
sudah ada pada kita sejak lahir dan tetap ada pada kita selama hidup
dalam jasad ini. Ditegaskan bahwa, prana bukanlah sekedar nafas atau
yang terkait dengan bernafas saja, melainkan adalah daya-vital di
belakang segenap susunan sistem pernafasan dan segala aktivitas otot-
otot dan syaraf. Menurutnya, kata prana berasal dari urat-kata ‘an’, yang

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 70
berarti bergerak, menghidupkan, memasukkan kekuatan. Pikiran
berfungsi karena adanya prana; dan dengan penguasaan prana, pikiran
bisa ditenangkan.

Bahkan, menurut Sri Swami Sivananda, prana bersama-sama dengan


materi dan pikiran, merupakan tiga manifestasi relatif dari Yang Absolut.
Prana benar-benar merupakan sebentuk modifikasi pikiran. Disebutkan
bahwa prana adalah Kriya Sakti atau kerja tingkat tinggi. Materi
dihasilkan oleh prana. Prana merupakan kelanjutan dari pikiran. Materi
berada di bawah Prana, sedangkan Prana berada di antara materi dengan
pikiran. Prana bersifat positif bagi materi, namun negatif bagi pikiran.
Pikiran bersifat positif, baik bagi prana maupun materi; namun negatif
bagi Kehendak —yang merupakan komunikator antara intuisi dengan
pikiran.

Prasna Upanishad antara lain juga mengandaikan prana sebagai ruji dalam
sebuah roda, dimana semua didasarkan prana, didasarkan prinsip-
kehidupan ini. Sri Swami Sivananda memaparkan bahwa, Pranayama
mengantarkan penekun untuk bertatap-muka langsung dengan prinsip-
kehidupan. Mengendalikan prinsip-kehidupan, memberi suatu pandangan
mendalam pada kekuatan yang memotivasinya.

Taittiriya Upanishad menyebut pranamaya kosa (selubung daya-vital) ini


sebagai penghubung antara annamaya kosa (selubung jasmaniah yang
terbuat dari sari-sari makanan) dengan manomaya kosa (selubung
mental). Kitab Wrhaspati Tattwa menyebutkan tentang Dasaprana,
sepuluh prana, yang masing-masing daripadanya adalah: prana, apana,
samana, udana, vyana, naga, kurma, krakara, devadata dan dhananjaya.
Penggolongan prana seperti ini juga ditemukan pula dalam Yajurveda,
Atharvaveda, Taittiriya Upanishad, Chandogya Upanishad,
Prasnopanishad dan Brhadaranyaka Upanishad. Lima prana —naga, kurma,
krakara, devadata dan dhananjaya— disebut sebagai prana minor di
dalam Brhadaranyaka Upanishad.

Akan tetapi, bagaimana dengan latihan praktis Pranayama sendiri?

Seorang Guru pernah mengingatkan siswanya, “Gunakanlah nafasmu


sebagai pegangan; dengan demikian pikiranmu dengan mudah kamu
pusatkan. Pranayama akan amat membantumu dalam mencapai Samãdhi”.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 71
Sementara itu, Chandogya Upanishad mengilustrasikan: “Bagai burung
yang di-ikat dengan tali; setelah terbang kesana-kemari tanpa
menemukan tempat tinggal, ia akan kembali untuk beristirahat, justru
pada tempat dimana ia terikat; begitu pula pikiran, setelah terbang
kesana-kemari tanpa menemukan tempat tinggal, akan kembali
beristirahat pada nafas, karena pikiran punya nafas sebagai
pengikatnya.”

Tampaknya, praktek Pranayama mau-tak-mau mesti dikaitkan dengan


praktek pengaturan pernafasan. Secara garis besar, praktek pengaturan
nafas terdiri dari empat tindakan dasar yakni: (i) menarik nafas ( puraka),
(ii) menahan nafas dalam kondisi penuh ( antah-kumbaka), (iii)
menghembuskan nafas hingga kosong (recaka) dan (iv) membiarkan
kondisi kosong (bahih-kumbaka).

Dalam hal ini, Wrhaspati Tattwa memberi petunjuk: “Tutup semua lubang
yang ada dalam tubuh, seperti: mata, hidung, mulut, telinga; udara, yang
sebelumnya telah terisap, itu dikeluarkan melalui ubun-ubun. Bila tidak
terbiasa mengeluarkan udara melalui jalan itu, udara dapat dikeluarkan
melalui hidung, namun secara perlahan-lahan. Itulah yang disebut
Pranayamayoga.”

Praktek Pranayama menjadi ideal bila disertai Pranava Japa. Disini


pengaturan nafas hanya dalam tiga tahapan saja, dimana menahan nafas
saat kosong (bahih-kumbhaka) dibiarkan saja kosong tanpa pelafalan
dalam hati (manasu). Lafalkan dalam hati suara A(ng) saat menarik nafas
(puraka), U(ng) saat menahan nafas (antah-kumbhaka) dan M(ang) saat
menghembuskan nafas (recaka).
 Bersamaan dengan puraka dengan manasu A(ng), bayangkanlah
Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta yang penuh anugrah;
 Bersamaan dengan antah-kumbhaka dengan manasu U(ng),
bayangkan Tuhan sebagai Sang Maha Pemelihara yang penuh
dengan Cinta-kasih;
 Bersamaan dengan recaka dengan manasu M(ang), bayangkan Tuhan
sebagai Sang Maha Suci, pelebur segala kekotoran batin dan dosa-
dosa.

Bilamana dilakukan pengaturan dalam empat tahapan, dianjurkan untuk


melafalkankan dalam hati Gayatrimantram sebagai berikut:
 OM - Bhur - Bhvah - Svah.......bersamaan dengan puraka;

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 72
 Tat - Savitur - vare - niyam......bersamaan dengan antah-kumbhaka;
 Bhargo - devasya - dimahi.......bersamaan dengan recaka;
 Dhiyo - yonah - pracodayat.....bersamaan dengan bhih-kumbhaka.

Kedua praktek ini adalah yang paling praktis dan paling umum dilakukan
oleh berbagai kalangan dan tingkatan penekun. Baik Pranayama dan Japa
tiga tahapan maupun empat tahapan, ada yang menyertai dengan
penghitungan bulir-bulir tasbih. Namun, bagi sementara penekun yang
merasakan ini sebagai kurang praktis dan menyolok perhatian [terutama
kalau sedang berada di tempat-tempat umum], bisa menggunakan
nafasnya langsung sebagai tasbih. Yang manapun yang dipilih, hendaknya
disesuaikan dengan kondisi, kepentingan dan kebiasaan masing-masing,
agar ia dapat dipraktekkan dengan santai, tanpa ketegangan yang tak
perlu. Ingat, tujuan utamanya adalah membersihkan atau menentramkan
vritti.

Sri Swami Sivananda menjelaskan bahwa, dengan mempraktekkan


pengaturan nafas ini seorang sadhaka bisa memperoleh umur panjang.
Seorang lelaki sehat bernafas 14 sampai 16 kali dalam semenit.
Pengurangan frekuensi nafas melalui pelatihan, meningkatkan ketahanan
paru-paru. Konon, semakin rendah frekuensi nafas, semakin panjang umur
makhluk hidup. Beberapa contoh pada binatang menunjukkan hal ini.
Anjing misalnya, frekuensi nafasnya mendekati 50 kali per menit, dan
umurnya hanya sampai sekitar 14 tahun saja. Sedangkan kuda yang
frekuensi nafasnya 35 kali per menit, umurnya bisa mencapai 29 sampai
30 tahun. Gajah yang bernafas 20 kali per menit, umurnya bisa mencapai
100 tahun. Sementara seekor kura-kura lebih rendah lagi frekuensi
nafasnya, yakni hanya 5 kali dalam semenit; oleh karenanya umurnya
hingga 400 tahun. Yang lebih rendah lagi adalah ular; ular hanya bernafas
2 sampai 3 kali per menit. Ular umurnya bisa 500 sampai 1000 tahun.

Sehubungan dengan kaitan antara frekuensi nafas dengan kehidupan


spiritual, Sri Swami Sivananda menyatakan bahwa, ‘semakin sedikit nafsu
keinginan seseorang, semakin rendah frekwensi nafasnya, demikian juga
sebaliknya.’ Ia yang mempraktekkan japa, meditasi dan hidup membujang
serta mempelajari kitab-kitab spiritual-religius atau kitab-kitab suci,
punya frekuensi nafas yang lebih rendah dan punya konsentrasi yang
lebih baik. Semakin rendah frekuensi nafas seseorang, juga berarti
semakin meningkatnya konsentrasi, dan lebih tenteram hidupnya.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 73
Jadi, semakin jelas bahwa pengaturan nafas bukan saja berkait dengan
kesehatan dan umur seseorang, namun terbukti memang memungkinkan
konservasi serta pengaturan daya-vital yang baik sehingga amat kondusif
dalam pengembangan batin. Yang paling perlu diperhatikan baik-baik
adalah, latihan Yoga —jenis apa saja— harus dibawah bimbingan seorang
Guru Yoga yang handal, berpengalaman dan terpercaya.Yang pasti, Yoga
tak mungkin dipelajari hanya lewat buku-buku.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 74
TERMINAL PENDAKIAN.

Menarik pikiran dari objek-objek indria sehingga citta terjernihkan


kembali sesuai keberadaannya semula yang halus (svarupãnukãra),
inilah Pratyãhãra.
Darisini lahirlah penguasaan sempurna terhadap sensasi-sensasi
indriawi.
[YS II.54 dan II.55]

Untuk yang satu ini, Wrhaspati Tattwa 54 memaparkan: “Seluruh indria


ditarik dari objeknya, sedangkan citta, buddhi dan manah tidak diberi
kesempatan berkelana, dijaga oleh citta yang suci. Itulah yang disebut
Pratyãhãrayoga.” Tampak jelas disini kalau secara esensial praktis, paparan
ini sama dengan sutra tadi.

Dimaklumi bahwa Pratyãhãra merupakan langkah kelima, setelah


Pranayama dan sebelum Dharana. Namun, bila kita perhatikan kembali
sutra sebelumnya, yang antara lain berbunyi, “....sehingga batinpun siap dan
layak memasuki Dharana”,  sekilas tampak kalau setelah Pranayama dapat
langsung memasuki Dharana, dengan tanpa melalui Pratyãhãra terlebih
dahulu. Apa memang demikian?

Yang dimaksud Patanjali dengan Dharana disini, tidak semata-mata


terkonsentrasikannya pikiran pada satu objek sembarang. Oleh karenanya,
dalam sutra II.53 disebutkan ‘siap dan layak memasuki’ Dharana, dan
bukannya ‘adalah’ Dharana itu sendiri.

Dalam praktek, dengan terpusatnya pikiran hanya pada nafas saat


Pranayama, tak ada yang lain lagi yang mengisi pikiran kecuali kegiatan
bernafas itu sendiri. Dengan demikian, pikiran secara otomatis tidak
berkeliaran lagi di luar —di antara objek-objek dan sensasi-sensasi indria.
Ini juga merupakan praktek Pratyãhãra. Bedanya dengan Pranayama
hanya pada objek yang masih dipegang oleh pikiran. Kalau fenomena
keterpusatan ini bisa dianggap sebentuk Dharana juga, maka yang berbeda
disini hanyalah objeknya.

Sesuai tabiatnya, pikiran mempunyai kecenderungan berubah-ubah dengan


cepat, melompat dari satu objek ke objek lainnya dengan amat cepat. Belum
lagi kegandrungannya berkeliaran di antara hal-hal duniawi serta langsung
merespon stimulan-stimulan indriawi. Oleh karenanya, sadhana-sadhana
seperti yang termaktub dalam Yama-Niyama menjadi sedemikian
pentingnya untuk dijadikan sebentuk tradisi spiritual pribadi. Penarikan
perhatian ke dalam umumnya tidak dapat dilakukan secara sekaligus; ia
dilakukan secara bertahap, dalam arti, pikiran harus terkonsentrasi
memegang hanya satu objek saja terlebih dahulu. Dan objek itu, memang
sebaiknya nafas, yang tak jauh dari tubuh. Inilah keuntungan besar yang
diberikan oleh Pranayama, dalam praktek.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 75
Apa yang mula pertama dihasilkan oleh Pratyãhãra adalah semakin jernih
dan heningnya citta. Swami Krishnanda memberi istilah “the frontiers of
Yoga” kepadanya, dan mengatakan bahwa seseorang yang selalu
mempraktekkan Pratyãhãra berada pada wilayah perbatasan dengan
yang tak-terbatas; disini pula ia memperoleh pengalaman supra-fisikal.
Yang pasti, Pratyãhãra melahirkan perhatian murni. Dalam telaga yang
jernih, apapun yang ada dan terjadi di dalamnya tampak jelas; akan teramati
dengan lebih baik. Dalam praktek, kejernihan serupa inilah yang amat ideal
sebagai pijakan batin. Apabila perhatian murni ini diarahkan ke dalam batin
—yaitu untuk mengamati fenomena-fenomena di dalam, ia akan
memberikan pemahaman tentang diri dan batin itu sendiri, secara jauh lebih
baik dan lebih cermat. Pemahaman yang dihasilkan dengan cara seperti ini
tentu lebih terpercaya.

Narada Mahathera, dalam “Buddhism in a Nutshell”, mengungkap fenomena


serupa dengan mengatakan: “Pikiran yang terarah ke luar melalui indria-
indria merupakan penyebab timbulnya segala macam nafsu keinginan, yang
merupakan sumber penderitaan. Karena sebabnya telah ada, maka
timbullah penderitaan saat itu juga, seperti kebingungan, kekhawatiran,
ketakutan, kegelisahan, frustasi, stress dll.” Sejalan dengan itu, dalam
“Vipassana Meditation Course”-nya, Chanmay Sayadaw mengatakan bahwa
teknik penutupan pintu-pintu indria —disebut indriya-samatta dalam
bahasa Pali— menyebutkan bahwasanya indriya-samatta merupakan faktor
teramat penting dalam ajaran Buddha, yang memungkinkan seseorang
terbebas dari semua penderitaan.

Bila kita cermati kembali, sampai dengan Pranayama, perhatian masih


relatif terarah ke luar, belum sepenuhnya terjun ke dalam telaga batin. Ia
masih berkubang dan berkutat di luar, dimana sedekat-dekatnya, ia baru
mendekati nafas yang merupakan aktivitas ragawi. Perhatian masih berkutat
dengan objek-objek pikiran. Sejak tahap Pratyãhãra-lah perhatian baru
mulai benar-benar mengarah ke dalam, untuk kemudian semakin dalam
lagi. Oleh karenanya, sesungguhnyalah Pratyãhãra amat strategis dijadikan
pijakan. Ia hendaknya dijadikan terminal, benteng pemisah yang
memisahkan perhatian yang berkiblat ke luar, yang hanya mengakibatkan
munculnya berbagai bentuk dan karakter pusaran pikiran dan perasaan.
Darisini, pandangan akan jauh lebih jelas, baik ke luar maupun ke dalam,
bagaikan melihat ikan warna-warni, ganggang dan tumbuhan air lainnya
serta bebatuan di dasar ‘telaga batin’ yang tenang dan jernih.

Disinilah Sãdhana Pãda diakhiri oleh Patanjali. Dari Yama-Niyama


hingga Pranayama dipandang sebagai praktek dasar yang masih bersifat
eksternal, belum langsung menuju sasaran. Memasuki Pratyãhãra-lah
penekun mulai mengarah atau mulai menapakkan kakinya dalam pendakian
spiritualnya, langsung menghampiri gerbang batin. Dharana, Dhyana dan
Samãdhi, yang sudah bersifat internal, dipisahkan dalam satu pãda
tersendiri —Vibhuti Pãda.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 76
PAPARAN TENTANG KEKUATAN DAN KESEMPURNAAN.

Sebelum kita masuk pada sutra-sutra dalam Vibhuti Pãda ini, ada baiknya
saya kutipkan pengingatan Sri Swami Sivananda berikut:
“Siddhi terwujud dengan sendirinya, apabila sang Yogi telah
mencapai kemajuan dalam pelaksanaan Yoga-nya. Siddhi merupakan
penghalang dalam jalan spiritual. Seorang penekun harus
menjauhkan diri darinya tanpa kompromi, dan tetap tegar langsung
menuju tujuan, yaitu Asamprajñãta Samãdhi dan Nirvikalpa
Samãdhi. Spiritualitas yang sesungguhnya tak ada kaitannya
dengan daya-daya ini, mereka hanyalah hasil sampingan dari
konsentrasi”.

Samyama dan menjadikan Pratyãhãra sebagai Terminal.


 
Pikiran yang terkonsentrasi hanya pada satu objek tertentu adalah
Dharana.
Dan aliran kesadaran yang terus-menerus pada objek tersebut
adalah Dhyana, meditasi.
Bilamana cahaya kesadaran telah bersinar sendiri dalam
kemurniannya (nirbhasam svarupa), dan kesunyian (sunyam)
dimasuki, inilah tercapainya Samãdhi.
Ketiganya —yang berlangsung dalam satu rangkaian menerus—
sebagai hasil dari pengendalian di dalam ini, disebut Samyama.
[YS III.1 - III.4]

Samyama adalah istilah spesifik dalam Yoga Sutra ini. Dharana-Dhyana-


Samãdhi, yang mengalir dan berlangsung dalam satu kurun waktu tak
bersela, disebut Samyama. Bagi pemula, masing-masing umumnya
berlangsung sendiri-sendiri, yang satu diikuti oleh yang lainnya secara
susul-menyusul. Dharana segera dikuti oleh Dhyana, namun Samãdhi tak
kunjung dicapai hingga Dhyana yang telah tercapai memudar, turun
kembali pada dharana untuk selanjutnya konsentrasi buyar kembali.
Kadangkala keterpusatan seolah-olah melaju tanpa kendali, dimana tak
disadari dengan jelas kapan tercapainya Dharana, kapan Dhyana ataukah
Samãdhi oleh karena mengalir begitu saja.

Samãdhi, seperti yang disebutkan dalam sutra III.3 tadi adalah


tercapainya penyatuan dengan objek yang dipegang ( evãrthamatra), tidak

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 77
ada lagi kata-kata —apakah itu berupa japa atau yang lainnya—dalam
keterpusatan itu (nirbhasam). Citta bercahaya sesuai kemurniannya, dan
yang hadir hanya kesunyian atau keheningan total ( sunyam). Menurut
yang berpengalaman, ketika penyatuan itu benar-benar terjadi, tidak ada
lagi objek meditasi, semuanya sirna bahkan —apa yang selama ini kita
sebut sebagai—kesadaran itu sendiri, namun tidak tertidur. Bila kondisi
ini berlangsung cukup lama, aktivitas biologis penekun seolah-olah
terhenti samasekali, atau dengan kata lain, raganya mengalami kematian
klinis. Inilah yang disebut mati-raga oleh sementara kalangan. Kondisi ini
bisa berlangsung berjam-jam. Dan oleh karenanya, ada yang
memperingatkan agar berhati-hati, karena bisa ‘kebablasan’.

Akan tetapi Samãdhi yang dimaksudkan dalam kaitannya dengan


Samyama ini, saya rasa bukan yang seperti itu. Ia lebih dimaksudkan
dengan penyatuan dengan objek meditasi (ekagrata), dimana pusaran-
pusaran ditenteramkan, sementara kesadaran masih tetap hadir dan
terkendali. Ini adalah Sabija Samãdhi; masih hadir objek perenungan. Ini
akan ditegaskan kembali nanti, pada pemaparan sutra III.8.

Sekedar sebagai perbandingan, di dalam “ Samma Samãdhi”, Yang Ariya


Ven. Sucino menyebutkan 5 tahapan atau ciri dalam mancapai
keterpusatan total (ekagrata), yaitu:
 Vitarka; mulai berusaha memegang objek.
 Vicara; objek mulai terpegang dengan kuat.
 Piti; bangkitnya kegiuran.
 Sukha; kebahagiaan yang sulit digambarkan saat menjalaninya.
 Ekagrata-ramana; batin terpusat, bersatu dengan objek.

Dalam paparan sutra III.9 - III.15 nanti, akan dipaparkan lebih jauh
tentang tahapan-tahapan transformasi internal ( parinama) yang terjadi
dalam batin sang penekun. Bila paparan ini dicermati, ternyata dalam
prakteknya ia amat berhampiran dengan kelima tahapan ini.

Walaupun pada fase awalnya, Samyama tak serta-merta dan dicapai


dengan mudah, namun upaya ini sudah merupakan suatu latihan yang
sangat baik. Ia membentuk abhyasa —kebiasaan dalam praktek spiritual.
Untuk itu—seperti yang telah dianjurkan di akhir Sadhana Pãda
—‘berterminal’ pada Pratyãhãra akan amat membantu. ‘Berterminal’ disini
berarti senantiasa menjaga kejernihan batin, dengan membatasi diri
dalam mengadakan kontak dengan objek-objek luar. Secara praktis ini

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 78
dilakukan dengan segera menarik perhatian kembali melalui Pranayama,
ketika ada tanda-tanda akan ngelantur. Disini Pranayama bukan lagi
sekedar praktek mengatur nafas, namun praktek pengendalian daya-vital
(prana) sehingga mempunyai kekuatan cukup untuk melaksanakan
Pratyãhãra. Ia bertindak sebagai benteng daya-vital, yang melindungi
penekun dengan dunia objek. Bagaikan seekor penyu yang dengan sigap
menarik anggota badannya bila dirasa ada bahaya mengancam,
demikianlah kewaspadaan penekun yang berterminal pada Pratyãhãra.

Tentang rangkaian praktis antara Pranayama, Pratyãhãra dan Dhyana ini,


menarik untuk dicermati ungkapan dari Sri Sankarãcharya ini:
“Dengan Pranayama terbuanglah kekotoran badan;
dengan Pratyãhãra terbuanglah kekotoran akibat ikatan-ikatan;
dengan Dhyana tersingkirkan semua penghalang yang ada antara
manusia dan Isvara”.

Menariknya, disini beliau tidak menyebut-nyebut Dharana. Setelah


Pratyãhãra, beliau langsung masuk ke dalam Dhyana (meditasi). Pola yang
serupa juga ditemukan di dalam Wrhaspati Tattwa dan Maitri Upanishad
manakala membahas Sadangga Yoga. Tidak seperti urutan yang
dikemukakan oleh Patanjali, baik Wrhaspati Tattwa maupun Maitri
Upanishad menempatkan Dharana setelah Dhyana dan Dhyana segera
menyusul setelah Pratyãhãra. Mengapa demikian? Jawabannya hanya bisa
ditemukan di dalam praktek langsung.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 79
MEMANIFESTASIKAN CAHAYA KEBIJAKSANAAN DAN TIGA BENTUK
TRANSFORMASI CITTA.

Samyama ~ Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan.

Melalui penguasaan Samyama, termanifestasikan Cahaya


Kebijaksanaan (prajña'lokah).
Demikianlah Samyama merupakan proses tiga tahap dalam Yoga.
Yang tiga —Dharana, Dhyana dan Samãdhi— ini sudah bersifat
lebih internal (antarangam) dibanding yang sebelumnya, walaupun
masih lebih eksternal (bahirangam) dibanding Nirbija.
[YS III.5 - III.8]

Kebijaksanaan (prajña) hadir berangsur-angsur, namun pasti, bersama


dengan semakin jernihnya citta. Dalam sutra III.5 diingatkan kalau
Samyama hendaknya dialokasikan pada pencapaian Kebijaksanaan; bukan
yang lainnya. Bilamana sesuatu yang lebih tinggi dan lebih internal
dimungkinkan dengan upaya yang sama, kenapa mesti mengupayakan
sesuatu yang lebih rendah dan lebih eksternal?

Samyama jelas lebih internal bila dibandingkan dengan Yama, Niyama,


Asana, Pranayama dan Pratyãhãra. Ia sepenuhnya fenomena internal,
yang berlangsung di dalam tataran batiniah sang penekun, dimana ia tidak
lagi terkait dengan prana, apalagi dengan raga. Penarikan perhatian ke
dalam atau Pratyãhãra, telah terlaksana. Samyama dan pencapaiannya
yang akan dipaparkan dalam sutra-sutra berikut masih lebih eksternal
dibanding Nirbija Samãdhi.

Tiga Bentuk dan Tiga Proses Transformasi Batin.

Nirodha Parinama adalah transformasi citta bersamaan dengan


semakin majunya kemampuan pengendalian pikiran berkat
musnahnya insting-insting destruktif , baik yang sedang
berlangsung maupun yang datang menyusulnya.  Alurnya
berlangsung dengan kalem, layaknya suatu kebiasaan saja.
Bila transformasi citta dihasilkan berkat keberhasilan dalam
menyatukan bentuk-bentuk pemikiran yang buyar dan beraneka-
ragam itu, ini disebut Samãdhi Parinama.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 80
Ekagrata Parinama adalah transformasi citta bila ia dicapai dalam
kondisi terpusat dalam kedamaian.
Melalui tiga prinsip transformasi (parinama) tersebut, perubahan
terhadap bentuk, waktu dan kondisi dari elemen-elemen
sensasional kasar maupun halus, dapat diikuti dengan amat jelas—
apakah ketika alirannya tenang, aktif, maupun campuran.
Perbedaan bentuk transformasi seperti itu, disebabkan oleh
perbedaan pada proses yang melandasinya.
[YS III.9 - III.15]

Masing-masing penekun tentu mempunyai kekuatan atau kelebihan dan


kelemahan atau kekurangannya sendiri. Itulah bagian dari
keberadaannya. Kekuatan dikembangkan dan disempurnakan, sementara
kelemahan dikuatkan dan kekurangannya ditambahkan. Pratipaksa
Bhavana, seperti yang telah disebut sebelumnya, adalah metode yang
dianjurkan oleh Patanjali untuk ini. Transformasi batin yang dicapai bisa
mengambil tiga bentuk, sesuai keberadaan dari penekun itu sendiri.
Masing-masing bentuk proses transformasi tersebut tergantung pada
keberadaan dan landasan berpijak darimana penekun memulai pendakian
spiritualnya ini.

Bila seorang penekun berpijak pada kemampuan memusnahkan pengaruh


kesan-kesan mental yang bermunculan serta insting-insting
destruktifnya, maka ia menggunakan proses Nirodha Parinama; bila ia
kuat dalam berkonsentrasi, dalam menyatukan berbagai bentuk dan
kebuyaran pikirannya, maka ia menggunakan Samãdhi Parinama.
Sedangkan bila ia lebih berkemampuan pada memegang satu objek dengan
kuat, sehingga tak ada tempat bagi yang lain kecuali objek tersebut,
maka ia disebut menggunakan proses Ekagrata Parinama. Setiap penekun
dianjurkan menggunakan bakat, kecenderungan dan kekuatannya masing-
masing. Untuk itu, ia tentu mesti tahu terlebih dahulu apa bakat dan
kecenderungannya, dan apa kekuatannya yang dapat ia handalkan untuk
bertransformasi. Pratyãhãra mengantarkan penekun mengetahui semua
itu.

Yang pasti, dalam perjalanan transformasi itu perhatian dan kewaspadaan


harus senantiasa terjaga alirannya. Segala fenomena dan proses
transformatif internal teramati dengan baik, cermat dan seksama. Sang

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 81
penekun menjadi benar-benar memahami bagaimana sebetulnya
‘berlangsungnya proses perubahan internal’ tersebut.

Melalui Samyama terhadap tiga macam proses transformasi


tersebut —nirodha, ekagrata dan samãdhi parinama— diperoleh
pengetahuan tentang masa lampau dan masa mendatang ( atita-
anagata jñanam).
[YS III.16]

Nah...disini jelas disebutkan kalau yang menjadi objek Samyama proses


transformasi itu sendiri, sang penekun teranugrahi pengetahuan atau
kemampuan untuk dapat menyeberangi tiga-masa.

Pada kesempatan terdahulu, saat membahas sutra-sutra terkait dengan


Pratyãhãra telah disinggung anjuran untuk menjadikan Pratyãhãra
sebagai terminal. Terminal dalam arti suatu pemberhentian, dimana kita
istirahat saat datang dari atau akan menuju ke suatu tempat tertentu.
Dengan demikian, batin senantiasa dalam keadaan siaga penuh. Bila
sewaktu-waktu harus melaksanakan tugas Samyama, batin tak perlu
mengumpulkan serpihan-serpihan pikiran yang terpencar terlebih dahulu.
Dengan berterminal pada Pratyãhãra, disamping kesiagaan di peroleh,
juga enerji vital terkonservasi dengan baik dan siap sewaktu-waktu
digunakan sebagai daya dorong roket Samyama.

Agar tak terlalu meruwetkan, bayangkanlah sebuah roket pelontar dan


pengorbit sebuah satelit. Ia butuh tenaga besar untuk melawan gravitasi
dan keluar dari atmosfir. Untuk itu ia butuh hidrogen cair dalam jumlah
besar, yang ditempatkan dalam beberapa tangki secara tersusun
bertingkat-tingkat. Tidak semua tangki dibawanya ke luar-angkasa, yang
tanpa bobot itu. Tangki paling bawah dilepas bersamaan dengan
tercapainya ketinggian tertentu, langsung disusul dengan berfungsinya
tangki berikutnya. Demikian seterusnya, transformasi terjadi silih-
berganti hingga satelit mencapai orbit-geostiosinernya. Bandingkan
formasi roket yang berbeda-beda pada setiap tahap ini sebagai proses
parinama, dimana tangki bahan-bakarnya yang tersusun itu sebagai prana;
dan pesawat ulang-aliknya sendiri sebagai citta.

Nah....memandang dari orbit-geostiosinernya itu, pesawat —yang kini


berfungsi bak satelit— dapat mengamati dengan jelas apa yang terjadi di
bumi dan sekitarnya. Disana ia juga bergerak dengan amat ringan, karena

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 82
disana tak bekerja gravitasi. Demikianlah kurang-lebih kita
membayangkan proses Samyama terhadap parinama ini, untuk lebih
memudahkan.

MENGERTI SUARA, MAKSUD, ASAL DAN KEHIDUPAN LAMPAU MAKHLUK


HIDUP.

Mengerti suara makhluk hidup dan kehidupan lampaunya.

Suara, makna, dan gagasan yang melatarinya seringkali baur satu


dengan yang lainnya sehingga membingungkan; menganalisanya
melalui Samyama menghadirkan pengertian terhadap suara dari
berbagai makhluk hidup.
Melalui mengamati dengan seksama ikhwal munculnya kesan-kesan
mental (samskara), kehidupan lampau dapat diketahui.
[YS III.17 dan III.18]

Seperti perumpamaan atau pengandaian sebelumnya, satelit dapat


mengamati apa saja dan bergerak kemana saja dengan mudah; demikian
pula bila ia harus mengamati suara makhluk hidup maupun kesan-kesan
mental. Ucapan atau kata-kata adalah tuangan perasaan atau ekspresi
kondisi dan kesan-kesan mental lewat suara. Memahami hakekat dan
bagaimana bekerjanya perasaan dan pikiran, maksud, makna serta
gagasan yang melatari setiap ucapan atau suara mudah dipahami.

Dari kehidupan yang lampau, kita membawa benih-benih perbuatan


(vasana), demikian pula makhluk hidup lainnya. Vasana-vasana itu, dulunya
atau pada kehidupan yang bersangkutan merupakan kesan-kesan mental
yang mendalam (samskara). Demikian juga samskara yang terbentuk kini,
bila belum tersalur dan habis enerji potensialnya dalam kehidupan ini
juga, menjadi vasana untuk kehidupan mendatang. Memahami kejadiannya
demikian, dengan mengamati samskara dalam kejernihan citta, dipahami
juga vasana; dengan mencermati vasana dan samskara melalui kejernihan
citta akan dipahami kehidupan lampau maupun yang akan datang makhluk-
makhluk lain.

Mengetahui Maksud dan Asal suara halus.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 83
Melalui Samyama (terhadap samskara ini), kondisi citta makhluk
hidup diketahui;
tetapi itu belum mendukung untuk mengetahui isinya, bila ia tidak
direfleksikan dalam kehidupannya (melalui tindakan maupun
ucapan).
Melalui Samyama terhadap wujud (rupa), daya sensorik yang
terhalang karena mata tidak mengadakan kontak-langsung dengan
cahaya, dapat diketahui ‘nilai internalnya’ (antardhanam). Dengan
antardhanam inilah sabda dapat dipahami.
[YS III.19 - III.22]

Sutra III.19 - III.22 ini sebetulnya masih dalam suatu keterkaitan


dengan sutra III.17 dan III.18, sebelumnya. Secara implisit,
penjelasannya sebetulnya telah disampaikan pada sutra-sutra
sebelumnya. Tambahan khususnya disini adalah, bagaimana bila hanya
sabda yang terdengar, namun sumber sabda tidak terlihat? Inilah yang
diperjelas dalam sutra III.21 dan III.22.

Sabda dan rupa adalah dua unsur halus dari Panca Tanmatra—lima unsur
halus yang membentuk jasad manusia—disamping rasa, gandha dan sparsa
tanmatra. Mereka ada pada setiap makhluk berjasad. Mereka jugalah
yang merupakan objek cerapan indria sensorik yang ada dalam setiap
makhluk hidup. Melalui kewaspadaan, keterpusatan dan kejernihan
Samyama, daya asosiatif dari sensasi luar dengan yang di dalam
meningkat kepekaannya. Peningkatan daya asosiatif ini yang didukung
oleh ketajaman kelima indria sensorik inilah yang melahirkan kemampuan
ekstra-sensorik bagi sang penekun. Dengan kemampuan ini, sang penekun
mampu mengetahui yang tidak kasat-indria, ‘yang tersembunyi’, ‘yang
rahasia’.

Apa yang sesungguhnya perlu kita ketahui dari sebentuk prilaku atau
tindakan dan ucapan, adalah maksud atau motifnya. Bukan sekedar apa
yang kasat-indria saja. Bukankah kita bertindak pun berucap berdasarkan
motif atau maksud ini? Bukankah ini sebagai ‘nilai internal’ dari setiap
tindakan dan ucapan kita. Namun, darimanakah maksud atau motif itu
berasal? Bila kita menyelidikinya ke dalam, akan kita temukan kalau
mereka semua merupakan ekspresi dari keinginan atau hasrat terpendam
sehubungan dengan kesan-kesan mental yang terbentuk pada pengalaman

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 84
sebelumnya (samskara), yang juga membentuk ingatan ( smrtti), yang
mengisi gudang ingatan.

Ada pula yang menterjemahkan sutra III.21 sebagai: “Dengan


pelaksanaan Samyama pada rupa, pada penundaan dari daya reseptif
(daya yang memudahkan untuk menerima gagasan baru), hubungan antara
mata (dari si pengamat) dan sinar (dari badan) dipecahkan dan badan
menjadi ‘tak terlihat’”. Menterjemahkannya demikian, mengakibatkan
kesinambungannya dengan sutra-sutra yang mendahului dan mengikutinya
terputus, sehingga mengaburkan pengertian yang dikandungnya.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 85
MENGETAHUI TANDA-TANDA KEMATIAN DAN MENDULANG KEMAMPUAN
DAN PENGETAHUAN LAINNYA.

Kematian dan Kekuatan Maitri.

Karmaphala ada dua jenis; yang sedang berlangsung dan yang belum
aktif; melalui Samyama terhadapnya, diketahui tanda-tanda dan
saat kematian.
[YS III.23]

Seorang Yogi terbiasa mengamati dengan jernih melalui visi-spiritualnya;


beliau dapat mengetahui hampir segala sesuatu melalui Samyama. Semua
itu hanyalah dampak dari proses pemurnian citta yang telah beliau jalani;
tidak ada sesuatu yang terlalu aneh atau gaib sehingga tak terjelaskan
dalam Yoga. Ia memang tampak aneh atau gaib di mata awam, karena
awam masih belum menyentuh tataran citta, dan masih bergelimang
dalam kekotoran, insting-insting destruktif dan dikacaukan oleh pusaran-
pusaran berbagai bentuk pemikiran dan perasaan.

Sejauh-jauhnya yang dapat tersentuh oleh awam adalah tataran intelek


atau kecerdasan (buddhi), yang masih di bawah strata citta. Bhagavad
Gita menjelaskan bahwa, yang lebih tinggi dari kemampuan semua indriya
adalah manas, yang lebih tinggi dari kemampuan manas adalah buddhi; dan
citta mengatasi semua itu.

Melalui rasa persahabatan dan welas asih universal ( maitry),


muncul kekuatan (balani).
Melalui kekuatan ini diperoleh kekuatan spiritual yang lebih besar
lagi.
[YS III.24 dan III.25]

Maitri, welas asih universal, disini diketengahkan sebagai salah-satu


contoh. Sesungguhnya, baik maitri, karuna, mudhita maupun upeksa
merupakan empat kekuatan dahsyat. Sifat-sifat luhur kedewataan ini
juga merupakan kekuatan-kekuatan luhur kedewataan. Inilah jenis
kekuatan yang amat bermanfaat bagi Sang Yogi maupun bagi makhluk lain
dan alam sekelilingnya. Dalam ajaran Buddha, mereka disebut Brahma
Vihara. Dapat dibayangkan, betapa besar kekuatan dari makhluk hidup

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 86
yang bersemayam di alam penciptaan itu. Jadi memang dapat dipahami
bila mereka disebut Empat Kesempurnaan ( catur pamartha) dalam Hindu,
yang layak dikembangkan oleh setiap orang.

Mendulang Kemampuan dan Pengetahuan yang bermanfaat.

Melalui pancaran cahaya, yang halus, yang tersembunyi dan yang


jauh, dapat diketahui.
Pengetahuan tentang semesta diperoleh lewat Samyama pada
matahari (surya),
lewat Samyama pada bulan (candra), pengetahuan tentang tata-
surya diperoleh;
lewat Samyama pada bintang-kutub (dhruva), pengetahuan tentang
peredaran benda-benda langit diperoleh;
lewat Samyama pada pusar (nabhi cakra), diperoleh pengetahuan
tentang metabolisme tubuh;
lewat Samyama pada rongga kerongkongan (kantha), diperoleh
pengetahuan dan kekuatan menahan lapar dan haus;
lewat Samyama pada pusat gravitasi (kurma nadi), diperoleh
kemantapan pada badan;
lewat Samyama pada cahaya di ubun-ubun (murdha), diperoleh
kekuatan persepsi langsung seperti yang dipunyai oleh para
siddha2;
lewat Samyama pada intuisi (pratibha), diperoleh pengetahuan
tentang segala sesuatu;
lewat Samyama pada jantung (hrdaye), diperoleh pengetahuan
tentang berbagai kondisi citta.
[YS III.26 - III.35]

Sutra-sutra ini memberi paparan contoh-contoh dari keampuhan


Samyama serta dampak internalnya bagi peningkatan Sang Yogi.
Terhadapnya, ada yang menterjemahkan secara eksternal. Memang bagi
eksternalis, kekuatan Samyama bisa diarahkan pada pertunjukan
kekuatan-kekuatan gaib; oleh karenanyalah Patanjali juga mengingatkan
lewat sutra III.38 (mendatang), tentang bahaya dari eksternalisasi itu.

Menurut Swami Satya Prakas, kekuatan-kekuatan itu dapat menyeret


penekun menuju kejatuhan yang fatal. Sementara Swami Sivananda
2
Para Siddha adalah beliau-beliau yang teranugrahi—baik berupa bakat bawaan maupun berkat
upayanya sendiri, atau kombinasi dari keduanya—siddhi-siddhi, kekuatan-kekuatan adikodrati.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 87
wanti-wanti mengingatkan, sampai-sampai beliau secara khusus
menurunkan tulisan: "Beware of Siddhis". Sebaliknya, beliau amat
menekankan pada vairagya, pelepasan bebagai kemelekatan indriawi dan
keduniawian. Seorang Yogi, yang penulis kenal dengan baik, juga
mengingatkan bahwa permainan siddhi seperti itu, hanyalah ‘mainan anak-
anak’, yang menghambat kematangan dalam Yoga, bahkan menjerumuskan
dan menyesatkan. Menjelang mengakhiri Pãda ini, kembali kita akan
diingatkan pada kejatuhan Sang Yogi sebagai akibat membangga-
banggakan posisi tinggi yang telah diraihnya.

Beberapa hasil dari Samyama tadi mungkin saja memang diperlukan oleh
Sang Yogi untuk mengatasi halangan-halangan fisik, seperti lapar dan
haus atau untuk memahami metabolisme tubuh dan menjaga kesehatan
beliau, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan daya-vital ataupun
pengetahuan-pengetahuan lain yang bermanfaat bagi beliau dan orang
banyak.

Mengetahui kondisi citta, meningkatkan dan mengembangkan persepsi


dan intuisi misalnya, sudah barang tentu amat kondusif sekaligus
bermanfaat bagi Sang Yogi guna memcapai kesempurnaannya. Namun
jelas semua itu bukan untuk dipamerkan atau guna menarik
perhatian khalayak demi popularitas dan menarik pengikut ataupun demi
kepentingan pribadi lain berdasarkan ke-aku-an. Justru hasrat-hasrat
egoistis serupa inilah mesti dikikis.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 88
KEMAMPUAN INTUITIF DAN BAHAYA SIDDHI-SIDDHI.

Pengembangan Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-siddhi.

Antara Sattva dan Purusa benar-benar sulit dibedakan; sementara


itu segenap pengalaman dikualifikasikan dalam kerancuan
pemahaman seperti itu;
melalui Samyama pada manfaat Purusa diperoleh pengetahuan
tentang Purusa, sehingga dapat dipilah dengan yang bukan Purusa.
Darisana pula pendengaran, penglihatan, sentuhan, kecapan dan
penciuman intuitif dilahirkan.
[YS III.36 dan III.37]

Tak banyak yang perlu dikomentari dari kedua sutra ini, kecuali
pengembangan intuisi lewat Samyama dan penegasan lagi bahwasanya
guna sattvam bisa sangat mengelirukan dengan Purusa. Purusa jernih,
transparan, netral, tak terjangkau oleh nalar atau kecerdasan ( buddhi)
manusiawi yang tanpa sifat; sedangkan sattva adalah salah-satu sifat
atau kekuatan luhur dari Prakriti. Sattva ditandai dengan pertimbangan-
pertimbangan yang mengarah pada kebajikan, moralitas dan pengetahuan
suci. Dialah yang mewarnai citta, dan citta yang terwarnai olehnya
disebut buddhi.

Dalam Samãdhi Pãda, ini telah disinggung. Ia merupakan ajaran Sankhya


yang juga diadopsi oleh Yoga. Memang, pengetahuan tentang itu hanya
lewat mempelajari dari buku-buku kemudian menghafalkannya, bukanlah
Yoga. Yoga mengantarkan pada penyelaman jauh lebih dalam. Ia
mengantarkan pada pengalaman langsung sehingga Sang Yogi memahami
dengan merasakannya secara langsung.

Siddhi-siddhi, betapapun pentingnya itu dipandang dari sudut


duniawi, merupakan penghalang-penghalang tercapainya Samãdhi.
Dengan melepaskan penyebab dari keterikatan (bandha karana)
dan melalui pengetahuan tentang penetrasi, citta bisa memasuki
tubuh lain.
[YS III.38 - III.39]

Seperti juga telah diingatkan oleh Sri Swami Sivananda pada awal bagian
ini, sutra III.38 ini menegaskan lagi bahaya dari siddhi-siddhi ini. Sutra

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 89
III.5, sebelumnya telah sejak dini mengingatkan tentang kemana
Samyama hendaknya diarahkan.

Bagi siddhi-siddhi ini Swami Satya Prakas Saraswati malah memberi


penegasan kalau semua hasil-hasil gaib itu tidak ada hubungan apapun
dengan Yoga. Seorang Yogi tidak mencari siddhi, kesaktian atau berbagai
kekuatan gaib lainnya. Siddhi malah merupakan godaan dan seorang Yogi
harus amat waspada agar jangan sampai tergoda. Ini akan menyeret dan
menggelincirkannnya ke bawah, sehingga lenyaplah segala apa yang telah
dicapainya.

Kemampuan-kemampuan Eksternal Dan Internal yang diperoleh dari


Samyama.

Dengan menguasai Udana, air, lumpur, duri, dan yang lainnya tidak
dapat menyentuh; kematianpun teratasi.
Dengan menguasai Samana, kerja api pencernaan diketahui.
[YS III.40 dan III.41]

Apa yang dipaparkan dalam dua sutra ini merupakan pencapaian


eksternal; dapat dikatakan tidak terkait langsung dengan pencapaian
tujuan akhir. Dengan tersingkirkannya abhinivesa, sirnalah ketakutan
akan kematian. Jadi, bagi Sang Yogi itu tak perlu diatasi lagi. Dengan
berusaha mengatasinya, malah mencerminkan bahwa Sang Yogi belum
berhasil menghancurkan abhinivesa-nya. Sesungguhnya Sang Yogi tak
takut mati, disamping beliau telah mengetahui ke alam apa beliau
terlahirkan, atau bahkan tidak terlahirkan kembali di alam manapun
sesudah ini. Jangankan beliau sendiri, orang lain atau makhluk lainpun
dapat beliau ketahui asal dan tujuan kelahirannya.

Mungkin paparan ini dimaksudkan Patanjali sebagai peringatan saja;


artinya bila itu dicapai, berarti Samyama yang dilakukan sudah baik dan
benar langkah-langkahnya. Jadi sejenis rambu-rambu saja dalam
perjalanan sadhana. Prana, Apana, Samana, Vyana dan Udana adalah lima
daya-vital utama yang disebut juga Panca Prana, seperti yang pernah
disinggung sebelumnya.

Dengan samyama pada telinga-angkasa (srotra akasa), datang


pendengaran dewata atau pendengaran bijak ( divya srotra).

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 90
Samyama pada hubungan antara tubuh-angkasa (kaya akasa),
datang keringanan bagai kapas dan kemampuan menjelajahi
angkasa.
Samyama pada kesadaran yang di luar jangkauan kecerdasan,
mahavideha dicapai; dengan begitu tabir penutup sinar
kesadaranpun hancur.
[YS III.42 dan III.44]

Ada dua pencapaian bersifat internal yang menarik disampaikan disini;


masing-masing adalah divyasrotra dan mahavideha. Divyasrotra adalah
pendengaran dewata. Kemampuan ini memungkinkan Sang Yogi untuk
mendengar dan mengerti bahasa segenap makhluk hidup. Beliau juga
mengerti bahasa yang digunakan oleh para dewa dan Tuhan sendiri di
dalam memberikan petunjuk, bimbingan dan pengajaran. Yogi dengan
kemampuan seperti inilah yang mampu menerima wahyu ilahi.
Mahavideha adalah kemampuan tingkat tinggi dimana Sang Yogi telah
sepenuhnya mengatasi badan fisikal, daya-vital dan mental. Mereka telah
sepenuhnya takluk dan ada dalam kekuasaan Sang Mahavideha, yang
adalah sosok kesadaran ilahi. Disebutkan juga bahwa triguna —kekuatan
yang ada pada dan menguasai setiap wujud— telah kehilangan daya
cengkeramnya bagi beliau. Beliau bisa dengan mudah berganti-ganti
mengenakan wujud, berganti dari wujud yang satu ke wujud yang lainnya.
Alam wujud telah beliau tundukkan karena kini beliaulah pengejawantahan
dari Hyang Purusa itu sendiri. Bagi beliau tak ada sesuatupun yang tidak
diketahui.

Melalui Samyama pada materi kasar (sthula), bentuknya,


kehalusannya, kandungannya dan manfaatnya, dunia material
teratasi (bhuta jaya).
Kemudian daripadanya tercapai anima dan yang lainnya (mahima,
laghima dsb.), kesempurnaan tubuh dan kesempurnaan
ketahanannya yang bersifat prinsipil.
Wajah yang indah, keanggunan, kekuatan, dan kekerasan bak
guntur merupakan kesempurnaan tubuh.
[YS III.45 - III.47]

Pencapaian-pencapaian eksternal seperti yang banyak dipaparkan dalam


Pãda ini, hendaklah dimaknai sebagai yang memberi kemudahan-
kemudahan bagi seorang Yogi di dalam mencapai tujuan akhir. Halangan-

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 91
halangan atau hambatan-hambatan yang bersifat jasmaniah atau
keduniaan mungkin saja dialami oleh sang Yogi dalam pendakian
spiritualnya karena karmavasana dari kehidupan lampaunya yang tak
dapat ditolak. Disinilah kemudahan-kemudahan ini akan bermanfaat
sebesar-besarnya demi kesempurnaan jñana, viveka dan prajña dari Sang
Yogi.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 92
POSISI SENTRAL VIVEKA DAN VAIRAGYA DI DALAM PEMANFAATAN
SAMYAMA.

Pemanfaatan Samyama dalam Pencapaian-pencapaian Internal yang


kondusif.

Samyama pada daya pengenal (grahana), wujud keakuan itu sendiri


(svarupa asmita), analisis terhadapnya, keputusan yang diambil
berdasarkan padanya dan kegunaannya, menghasilkan kemampuan 
mengatasi sensasi-sensasi indriawi.
Melalui kecepatan berpikir dan ketajaman daya pengenal non-
indriawi itu, Pradhana terkuasai (pradhana jaya).
[YS III.48 dan III.49]

Pencapaian-pencapaian ini tentunya semakin meneguhkan Pratyahara,


untuk selanjutnya menyempurnakan viveka sekaligus vairagya. Dua pilar
yang maha penting dalam mendukung kemajuan-kemajuan menuju tujuan
akhir. Disini tampak kemiripan antara mahavideha —yang diuraikan
sebelumnya— dengan pradhanajaya. Pada prinsipnya, triguna telah tunduk
pada keduanya.

Ada disebutkan dalam Sutra Pitaka bahwa Yang Arya Ananda — salah
seorang siswa utama Sang Buddha— mempunyai ingatan yang amat kuat
dan amat cerdas. Hampir semua sutra-sutra dalam Tri Pitaka berasal
dari ingatan beliau. Sutra-sutra umumnya dibuka dengan kata-kata
beliau: “Seperti yang pernah saya dengar......dst.” Konon beliau mempunyai
kecepatan berpikir, mencerap dan menyampaikan pemikirannya 7 kali
lebih cepat dari manusia yang cerdas; sementara itu, manusia yang
cerdas memiliki kecepatan berpikir, mencerap dan menyampaikan
pemikiran 7 kali lebih cepat dari manusia normal. Jadi, Ananda 7 x 7 kali
lebih cepat dalam hal ini dari manusia biasa.

Makna sentral Viveka dan Vairagya.

Hanya melalui daya-pemilah antara sattvam dan Purusa itulah hadir


kemahakuasaan dan kemahatahuan.
Melalui ketidak-terikatan, bahkan padanya ( vairagya), benih
belenggu (dosa bija) hancur, disusul dengan tercapainya Kaivalya.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 93
Bila dalam pencapaian-pencapaian yang tinggi ini Sang Yogi masih
terikat pada kebanggaan atas kemampuannya itu, bisa
menyebabkan kejatuhan.
[YS III.50 dan III.52]

Vairagya juga diartikan ketidak-berpihakan pada segala modifikasi dan


transformasi Prakriti. Sattvam adalah salah-satu modifikasi itu. Secara
singkat ia dapat diartikan sebagai ‘ketidak-berpihakan’ atau ‘ketidak-
terikatan’. Umumnya kita lebih berpihak pada berbagai tuntutan
jasmaniah. Kecenderungan ini jualah yang menguatkan lagi sifat egoistis
kita. Diri, bagi kita, umumnya ditujukan pada jasad ini. Kita terbiasa
mengidentifikasikan-diri pada jasad ini. J. Krishnamurti amat
menekankan penolakan terhadap pandangan keliru ini. Beliau
mengingatkan:

“Janganlah keliru memandang badan saudara itu sebagai saudara sendiri;


demikian juga badan astral, maupun badan mental. Masing-masing badan
itu akan berbuat seakan-akan dia-lah manusia, untuk memperoleh apa
yang diperlukannya. Hendaknyalah saudara mengenalnya semua, dan
kenalilah bahwa saudara sendiri sebagai yang berkuasa atasnya....orang
yang tidak sadar berkata pada dirinya: ‘Saya perlu barang-barang ini dan
saya mesti mengupayakannya’. Akan tetapi orang yang sadar, berkata:
‘Yang mempunyai keinginan itu bukanlah aku, ia harus menunggu
sebentar’.”

Lebih jauh lagi, J. Krishnamurti mengingatkan: “Badan ini adalah khewan


kendaraan saudara, kuda yang saudara kendarai. Oleh karenanya, ia
haruslah saudara pelihara dengan baik, dan beri perawatan secukupnya;
jangan disuruh bekerja kelewat batas; saudara harus memberinya
makanan makanan dan minuman yang bersih secukupnya, jauhkan dari
‘percikan lumpur yang sekecil-kecilnya’. Oleh karena tanpa mempunyai
badan yang suci dan sehat, saudara tidak akan dapat melaksanakan ‘tugas
persiapan’, tak akan tertahan oleh saudara tekanan yang terus-menerus
itu. Akan tetapi, hendaknya saudaralah yang menguasai badan itu, bukan
badan itu yang menguasai saudara”.

Terkait dengan kejatuhan seorang yogi yang disebabkan oleh


kebanggaan-diri semu ini, berikut dikutipkan tulisan pendek, sebagai
pengingatan terakhir, dari Sri Swami Sivananda yang amat mengena.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 94
“Seseorang bisa saja mengabaikan dan meninggalkan istri, anak-
anak, kekayaan dan semua yang lainnya, namun amat sulit dan
langka yang mengabaikan ‘nama dan kemasyuran’-nya. Pratishta
memantapkan ‘nama dan kemasyuran’. Ini merupakan hambatan
besar dalam merealisasikan Kesadaran Tuhan. Ini pada akhirnya
mengantarkan pada kejatuhan. Ini tidak memungkinkan seorang
sadhaka untuk melaju ke depan di jalan spiritual. Ia menjadi budak
dari penghormatan dan pemuliaan. Segera setelah ia mencapai
beberapa kemurnian dan kemajuan etika-moral, para awam akan
berhamburan mengerumuninya, dan iapun mulai merasa nyaman dan
mensyukurinya. Ia ditendang oleh kebangaan-dirinya sendiri.

“Ia pikir dirinya sebagai seorang Mahatma besar. Ia malah


diperbudak oleh para pengagumnya. Ia tak bisa menyadari
kejatuhannya yang perlahan. Saat ia mulai bergabung lagi dengan
bebas dengan para perumah-tangga, iapun mulai kehilangan yang
hanya secuil, yang diperolehnya selama delapan hingga sepuluh
tahun dalam sadhana yang intens. Dan kini, ia tidak lagi dapat
mempengaruhi khalayak. Para pengikutnyapun mulai
meninggalkannya, oleh karena mereka tidak menemukan pelipur
hati atau pengaruh spiritual apapun dengan bergabung dengannya.

“Orang-orang pada berkhayal bahwa Sang Mahatma memiliki


banyak siddhi-siddhi dan dimana mereka yang mandul bisa
memperoleh anak-anak melalui kemurahan hatinya, memperoleh
kesehatan yang sempurna, jejamuan Himalaya yang dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit dan mampu membangunkan
aura serta kebugaran tubuh. Mereka umumnya memang selalu
mendekati para sadhu dengan beraneka motif mementingkan diri
sendiri terselubung dan yang sejenisnya.

“Dengan bergabung dengan orang-orang yang tidak semestinya,


sang sadhaka kehilangan vairagya dan viveka. Kemelekatan dan
kenafsuanpun tubuh kian semarak dalam benaknya. Oleh
karenanyalah, Anda harus selalu ‘menyembunyikan diri’. Tak
seorangpun boleh tahu sadhana jenis apa yang sedang Anda
praktekkan. Anda hendaknya jangan sekali-kali mencoba untuk
memamerkan kekuatan-kekuatan psikik dari siddhi-siddhi. Anda
harus amat rendah hati. Anda mesti bertindak bagaikan orang
biasa, awam. Anda tak boleh menerima hadiah-hadiah besar dari

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 95
para perumah-tangga kaya. Anda akan dipengaruhi dengan
pemikiran-pemikiran destruktif oleh yang memberi hadiah-hadiah.
Anda hendaknya jangan pernah berpikir bahwa Anda lebih unggul
dari orang ini atau orang itu. Anda tak boleh memperlakukan orang
lain dengan jijik. Anda harus memperlakukan orang lain dengan
penghormatan besar dan dengan pertimbangan yang dalam.
Penghargaan pasti datang dengan sendirinya. Anda harus
memperlakukan penghormatan, pemuliaan, nama dan kemasyuran,
layaknya tahi sapi dan racun, sementara mengenakan ketidak-
berhargaan dan tanpa-penghormatan layaknya kalung yang
menghiasi leher Anda setiap waktu. Hanya dengan begitulah Anda
akan mencapai tujuan dengan aman sentosa”.

oOo

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 96
TERCAPAINYA CITA-CITA SANG YOGI.

Yang diharapkan dari Pemanfaatan Samyama yang benar.

Melalui Samyama terhadap kejadian-kejadian dan


kelangsungannya, dicapai viveka.
Darisini muncul ketajaman visi terhadap lebih dari satu hal atau
kejadian yang serupa, yang tidak dapat dibedakan menurut kelas,
karakteristik, atau posisinya.
Pemahaman secara simultan terhadap semua objek berikut setiap
aspeknya adalah viveka-jñana.
[YS III.53 - III.55]

Viveka-jñana merupakan pencapaian internal, sebagai kulminasi pendakian


spiritual seorang sadhaka. Disini tampak bahwa yoga mengarahkan para
sadhaka pada Jñana Yoga atau menjadi seorang jñani sempurna. Dalam
berguru spiritual di jaman dahulu, konon yang mula pertama diminta
adalah penguasaan viveka dan vairagya, demikian Swami Krishnananda
pernah mengutarakan.

Terkait dengan itu ada baiknya kita simak paparan pengalaman J.


Krishnamurti, dalam ‘masa persiapan’-nya sebelum memasuki tingkat
diksha (inisiasi). Dalam sebuah kitab kecil, yang ketika itu ditulisnya di
bawah bimbingan Annie Besant, yang diberi judul (dalam bahasa
Indonesia) "Dikaki Guru Sejati", diungkap:

“Mereka yang berdiri disamping-Nya, tahu apa sebabnya mereka


ada disini, dan apa yang seharusnya mereka perbuat, merekapun
berusaha melakukannya. Orang-orang lain, belum tahu apa yang
harus mereka kerjakan, dan oleh karena itu mereka sering berbuat
bodoh. Mereka mencoba menemukan jalan untuk diri sendiri, yang
menurut pikiran mereka akan memberi kesenangan pada mereka,
tanpa mengerti, bahwa ‘semuanya adalah Satu’; dan dengan hanya
menuruti kehendak 'Yang Satu' itulah sebenarnya kebahagiaan
teranugrahi kepada siapapun juga. Semestinya mereka mengikuti
yang sejati, akan tetapi mereka malah mengikuti yang tidak-sejati.
Sebelum mereka dapat belajar membedakan yang dua itu, belumlah
mereka menempatkan dirinya di sisi Tuhan. Jadi, penguasaan
viveka adalah langkah yang pertama”.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 97
Seperti yang dipaparkan dalam sutra III.55, Samyama hendaknya
diarahkan pada penyempurnaan viveka-jñana; ia jelas bukan untuk
mengumpulkan berbagai siddhi, atas dalih apapun. Patanjali memaparkan
Yoga Sutra ini utamanya guna menunjukkan jalan menuju Kaivalyam;
bukan untuk menjerumuskan siapapun lantaran dibelenggu oleh siddhi-
siddhi itu.

Bagi mereka yang memang punya motivasi-awal ingin menarik dan


mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya, siddhi-siddhi tentu
merupakan pencapaian penting yang amat didambakan. Siddhi-siddhi —
kemampuan adikodrati yang memang mengagumkan ini—amat menggiurkan
dan punya daya-tarik yang besar bagi kebanyakan orang. Awam amat
mudah dikecoh dan ditarik lewat pamer siddhi-siddhi ini. Paradigmanya
bak ‘gayung bersambut’. Padahal Ashtanga Yoga samasekali tidak
dirancang untuk itu. Ini akan lebih ditegaskan lagi oleh Patanjali dalam
Kaivalya Pãda.

Dalam “Understanding Yoga”, Sri Swami Sivananda dengan mengingatkan


para peminat Yoga agar berhati-hati. Beliau memaparkan beberapa
contoh yang umum ditemukan, yang beliau tegaskan sebagai ‘bukan Yoga’.
Diantara contoh-contoh yang seringkali mengelirukan dan mengecoh
awam itu adalah:
 Seorang lelaki mengubur dirinya hidup-hidup dalam satu kotak di
bawah tanah.  Ia melakukannya dengan menutup lubang hidungnya
dengan menggunakan  Khechari Mudra (salah-satu cara pengaturan
nafas dalam HathaYoga). Tanpa diragukan lagi, ini memang sebuah
Kriya yang sulit. Ia kemudian memasuki Jada Samãdhi. Ini
merupakan suatu keadaan seperti tidur nyenyak. Samskara-
samskara dan vasana-vasana tidak terbakar melalui Samãdhi ini. Ia
tidak bangkit kembali dengan membawa serta pengetahuan luhur
superintuisional (jñana). Ini tak dapat memberikan Mukti atau
Kebebasan. Ini hanya sejenis pertunjukan prestasi kekuatan saja.
Ini bukanlah ciri spiritualitas sejati. Orang-orang umumnya
memanfaatkan Kriya ini untuk mendapatkan uang, nama dan
kemasyuran. Setelah mereka keluar dari kotak itu, merekapun
menengadahkan tangannya meminta uang. Mereka juga seringkali
membuat transaksi terlebih dahulu, sebelum mereka masuk ke
dalam kotak itu.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 98
 Seseorang yang terikat tangan dan kakinya dengan rantai besi dan
dikurung dalam satu ruangan. Sebelum Anda mengunci pintu
ruangan itu ia berdiri di belakang Anda. Masuklah ke dalam
ruangan untuk melihatnya; Andapun melihatnya masih disana. Tak
diragukan lagi, ini tentu teramat mengagumkan. Ini hanyalah
sebuah trik. Ini sejenis jãlam atau ilusi.
 Beberapa orang dapat duduk di atas selembar papan yang dipenuhi
paku-paku tajam sambil mengunyah ular layaknya mengunyah
coklat. Bila Anda menusukkan sebatang jarum panjang pada kedua
tangannya; tak ada darah yang keluar.
 Beberapa diantaranya dapat menuangkan air dari batu. Seorang
yogi palsu, charlatan yogi, dapat mempertunjukkan semua itu
melalui kehebatan trik-trik atau jãlam-nya. Akan tetapi semua itu
tidak ada hubungannya samasekali dengan yoga sejati.

Masyarakat awam umumnya akan mudah terkecoh dan menyangka bahwa


seseorang sebagai seorang yogi atau Guru spiritual, bila ia mampu
menunjukkan beberapa bentuk siddhi. Ini benar-benar merupakan
kekeliruan serius. Mereka tak seharusnya dipercaya secara berlebihan
hanya lantaran itu. Awam amat mudah menjadi korban tipuan para yogi
palsu ini. Mereka seharusnya menggunakan nalar sehatnya . Mereka
seharusnya mempelajari cara-cara yang digunakan, kebiasaan-kebiasaan,
watak, kelakuan, vritti, svabhava, keturunan, dsb., dari para calon Guru
spiritualnya, dan bila perlu menguji pengetahuan mereka tentang kitab-
kitab suci, sebelum mereka menarik suatu kesimpulan apapun tentang itu.

Tercapainya cita-cita Sang Yogi Sejati.

Manakala sattvam sama sucinya dengan Purusa, inilah Kaivalyam.


[YS III.56]

Sattvam merupakan sifat luhur dari Pradhana, dari semesta material ini.
Sementara Purusa sendiri memang suci adanya. Sattvam yang benar-
benar murni —samasekali tanpa kontaminasi dari sifat Rajas dan Tamas—
akan sedemikian jernih dan transparannya sehingga tidak memberi
pewarnaan atau penyifatan lain apapun kepada Purusa—yang sejak awal
memang suci itu. Sattvam yang benar-benar murni sama artinya dengan
tidak ada samasekali pengaruhnya terhadap Purusa, sehingga Purusa
kembali tegak dalam kesucian-Nya. Kondisi inilah yang dimaksudkan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 99
dengan ‘sattvam sama sucinya dengan Purusa’. Walaupun hampir
sepanjang bagian ini kita disajikan banyak siddhi yang dimungkinkan lewat
Samyama, namun pada sutra terakhir ini kita diberi penegasan yang
teramat jelas, bahwasanya Kaivalya identik dengan Kesucian Batin. Batin
yang bebas dari segala kekotoran adalah batin yang suci. Dalam batin
yang suci inilah Kaivalyam ditemukan. Jalan Pensucian Batin juga adalah
Jalan Pembebasan.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 100
MENGGAPAI KEBEBASAN SEJATI.

Memasuki Kaivalya Pãda adalah memasuki gerbang paparan alam


Kebebasan Sejati. Untuk dapat mengikutinya dengan baik, diperlukan
pemahaman yang memadai tentang konsepsi pembebasan ala Sankhya —
yang merupakan pijakan dasar dari Yoga Darsana, disamping memahami
beberapa prinsip pokok tentang Hukum Karma, terutama yang terkait
dengan masa —lampau, kini dan yang akan datang— terbentuknya vasana
dan matangnya vasana menjadi phala. Semua ini tak dapat dipisahkan
dengan doktrin Samsara.

Siddhi sebagai Alat-bantu untuk menyingkirkan Hambatan-hambatan


Alamiah.

Dari pembawaan kelahiran, obat-obatan tertentu ( usadhi), mantra,


tapa ataupun samãdhi, dapat bangkit kekuatan supra-natural
(siddhi).
Evolusi dari yang lebih rendah menuju yang lebih tinggi dicapai,
selaras dengan hukum alam (prakriti).
Peralatan —yang berasal dari prakriti—tidaklah menyebabkan
manifestasi, namun daripadanya dimungkinkan tersingkirkannya
hambatan-hambatan alami, layaknya yang dilakukan oleh seorang
petani.
[YS IV.1 - IV.3]

Siddhi-siddhi merupakan sesuatu yang alamiah bagi Sang Yogi; mereka


datang dengan sendirinya, bersamaan dengan ditundukkannya pengaruh
dari kekuatan Prakriti. Siddhi-siddhi tidak lagi berbahaya bagi beliau;
mereka telah kehilangan daya pikatnya di mata Sang Yogi. Seorang Yogi
Sejati telah terbekali secukupnya sikap-batin luhur pada tahapan-
tahapan Yama-Niyama dan Asana, terbekali daya tahan dan proteksi
terhadap godaan-godaan luar dalam Pranayama dan Pratyahara, maupun
kekuatan tandingan dalam Samyama.

Beliau amat maklum bahwa, segala sesuatu yang beliau alami dan jalani di
dunia, hanya bekerja sesuai alurnya Prakriti. Sementara beliau masih
menyandang jasad yang berasal dari alam, maka ia mesti toleran pada
kaidah-kaidah alam. Seorang Yogi Sejati bukanlah penentang hukum alam;

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 101
bahkan sebaliknya, beliau hidup selaras dan harmonis dengannya, kendati
Purusa telah tegak dan berdiri dengan ajegnya.

Seorang petani yang baik, akan dengan rajin membersihkan saluran air
yang mengairi sawahnya. Sampah-sampah ataupun kotoran yang
menghalangi aliran air tentu tak dibiarkan begitu saja mengganggu,
apalagi sampai menyumbatnya. Membersihkan saluran, tidak melawan
hukum alam. Bahkan sebaliknya; dengan membersihkan saluran air petani
membantu pemanfaatan air dengan baik sehingga tak terbuang sia-sia.
Saluran yang tersumbat oleh sampah, kotoran, rerumputan dan tanaman
air liar dapat menjadi penyebab meluapnya air sehingga ia terbuang
percuma dan membanjiri area sekitarnya.

Tersingkirnya Asmita mencerahkan kembali Citta.

Citta yang jernih (cittany), tanpa dikotori oleh berbagai bentuk-


bentuk pemikiran (nirmana), dimungkinkan dari tersingkirkannya
ke-aku-an (asmita).
Berbagai aktivitas pikiran yang beraneka-ragam dan tak terhitung
banyaknya dalam kehidupan duniawi (pravritti) ini, kini terkendali
hanya oleh satu kesatuan citta.
Apa yang terlahir melalui dhyana, tidak menyisakan bekas atau
pengaruhnya lagi.
Karma bukan lagi hitam atau putih bagi Sang Yogi, apalagi tiga
jenis —hitam, putih dan abu-abu—seperti bagi yang bukan Yogi.
Dari semua jenis perbuatan beliau, pahala yang dihasilkan hanya
berupa perwujudan dari vasana yang telah matang saja.
[YS IV.4 - IV.8]

Asmita-lah yang mengalami dan yang merasakan baik atau buruk dari
perbuatan, karena dialah yang menganggap dirinya sebagai ‘pelaku’, yang
beranggapan bahwa ‘ini aku’, ‘ini punyaku’ atau sejenisnya. Dengan
tersingkirkannya asmita, maka kléša lain pun kehilangan dayanya. Dengan
hilangnya daya hambat kléša, citta termurnikan kembali. Sang Yogi tak
lagi menerima pahala baik atau buruk dari perbuatannya.

Tiada subha ataupun asubha karmavasana —yang dikiaskan sebagai


hitam-putih (krsna-sukla) oleh Patanjali—lagi yang berpotensi sebagai
penyebab berlangsungnya kelahiran berikut. Sesungguhnyalah tumimbal-
lahir telah hancur bagi beliau; kelangsungan hidup dalam kurun kelahiran

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 102
ini hanya mengikuti prarabdha karma-nya dan hukum alam yang berlaku
bagi jasad yang masih dikenakannya. Sancita karma vasana-nya telah
terbakar habis oleh api Yoga. Demikianlah Sang Jivanmukta. Apa yang
beliau lakukan merupakan nishkamakarma, perbuatan tanpa pamerih,
tanpa motivasi. Sisa umur beliau abdikan bagi semua, demi kebaikan
semua. Sesungguhnya, kelahirannya ini merupakan kelahiran terakhirnya;
tiada suatu sebabpun yang mengharuskannya untuk terlahir di alam
kehidupan manapun.

Bagaimana dengan mereka yang telah, menjelang, maupun belum berhasil


dalam kehidupannya ini? Rinciannya disampaikan lewat paparan sutra-
sutra berikut.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 103
EVOLUSI KOSMIS DAN TUJUAN.

Evolusi Kosmis tetap berjalan sesuai hukumnya.

Walaupun dipisahkan oleh kelahiran (jati), tempat (desa), maupun


waktu (kala), yang berkaitan dengan ingatan (smrti), kesan-kesan
(samskara) serta kebiasaan-kebiasaan tetap berlangsung, karena
yang merangsangnya tetap ada, namun itu tidak menjadi penyebab
lagi (anadhitvam).
Hadirnya sebab, motif, struktur, dan tujuannya tetap mempersatukan
mereka (smrti, samskara serta kebiasaan-kebiasaan); hanya dengan
tidak hadirnya semua (sebab, motif, struktur, dan tujuan) itulah
mereka tidak hadir pula.
Masa lampau dan masa depan (atita-anagata) eksis secara
bergantian betapa adanya, mengikuti prinsip-prinsip kosmis yang
mengaturnya (dharmanah).
Baik berwujud kasar maupun halus, mereka hanyalah guna yang
menyertai Atman (guna atmanah).
(Sedangkan) evolusi menuju panunggalan merupakan realitas dari
keberadaan Sang Yogi kini (vastu tattvam).
[YS IV.9 - IV.14]

Sebagai penjelasan atas paparan sutra-sutra sebelumnya, kini Patanjali


memaparkan prinsip hukum semesta berkaitan dengan sebab-akibat yang
saling bergantungan dari semua keberadaan, disamping kesinambungan
proses evolusi yang dialami oleh seorang Yogi yang belum berhasil
menuntaskan evolusinya.

Sepanjang masih ada yang memotivasi kemunculan suatu sebab, maka


selama itu pula akibat akan tetap menyertainya. Segala macam bentuk
kelahiran, berapa lama, kapan serta dimana kelahiran itu terjadi, apakah
dalam wujud kasar —dengan panca mahabhuta— maupun halus hanya
menggunakan kelima atau beberapa tan-matra saja, akan selalu terjadi.
Semua itu berpangkal pada adanya penyebab, motif, struktur atau
susunannya, serta tujuan-tujuannya yang masih tersisa. Demikian pula pada
waktu atau jaman apa kelahiran berikutnya akan terjadi, dan berapa lama
harus dialami.

Dalam pada itu, kelangsungan waktu berjalan sesuai hukumnya, masa depan
menjadi masa kini, dan masa kini terlewati dan menjadi masa lalu. Prinsip
kosmis yang mengatur segala keberadaan. Berdasarkan hukum kosmis
itulah, bila seorang pendamba kebebasan, penyatuan, dalam kurun tertentu
mengakhiri hidupnya pada satu alam kehidupan tertentu, kesan-kesan
(samskara) serta ingatan-ingatannya akan dambaannya itu tetap terbawa
sebagai benih-benih perbuatan bagi kelahiran berikutnya (kriyamana
karma vasana) untuk diteruskannya. Kriyamana karma-vasana inilah

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 104
yang menjadi benih kelahiran demi kelahiran di berbagai alam kehidupan,
kasar maupun halus. Ia menjadi sahabat setia dalam berbagai kelahiran.

Beruntunglah mereka yang telah terjun ke dalam Yoga, para pendamba


penyatuan dan kebebasan (mumukshu) dalam kelahirannya ini; pencapaian
yang diraihnya dalam kehidupan ini membentuk vasana-nya dan akan terus
membimbingnya dalam evolusi spiritual pada kelahiran-kelahiran
berikutnya. Itulah sesungguhnya yang menjadi realitas keberadaannya;
evolusi yang berkelanjutan hingga tercapainya tujuan akhir, menyatu dan
melebur di dalam-Nya. Paradigma ini, juga ditegaskan oleh Sri Krishna
dalam Bhagavad Gita.

Tujuan tetap sama, hanya pengkondisinya yang berbeda.

Tujuan (vastu) tetap sama, sementara kondisi yang menyertai citta-


lah yang berbeda—karena cara kerjanya berbeda.
Vastu tidaklah tergantung pada satu kondisi tertentu dari citta saja,
karena bila kondisi itu tak hadir, lantas apa yang akan terjadi
padanya?
Oleh terjadinya pencitraan terhadap citta —yang disebabkan oleh
pusaran-pusaran pikiran— inilah vastu menjadi disadari atau tidak
disadari (jñatãjñatam).
Pengetahuan yang ajeg merupakan modifikasi-modifikasi dari citta
juga adanya, namun bagi Sang Yogi, itu terkendali sepenuhnya oleh
kehadiran Hyang Purusa yang tiada berubah.
[YS IV.15 - IV.18]

Bagi yang telah terjun menuju kebebasan, tujuan satu-satunya adalah


kaivalyam. Mereka ini juga disebut sebagai ‘pelawan arus’, yang dengan
gagah-berani terjun melawan arus tumimbal-lahir yang maha-deras ini.
Sekali tujuan ditetapkan dalam suatu kelahiran, ia akan mengalir sebagai
missi lanjutan dalam kelahiran-kelahiran berikutnya.

Mungkin saja citta dalam suatu kelahirannya atau dalam kondisi tertentu,
tampak berbeda; akan tetapi citta sesungguhnya jernih, dan kembali
terjernihkan seperti sediakala. Pengalaman-pengalaman dari pendakian
spiritualnya di masa lalu, pasti muncul kembali sebagai ‘vasana spiritual’.
Paradigma ini seringkali mengecoh banyak orang. Jangankan orang awam,
para peminat dan penekun-pun bisa terkecoh karenanya; padahal
keterkecohan itu tak perlu terjadi bila Hukum Karma Phala dan
Samsara benar-benar dipahami. Yang bijak mengatakan bahwa, derajat
kesucian batin seseorang hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki
kesucian batin yang sekurang-kurangnya setara dengannya.

Pengalaman-pengalaman pada kehidupan lampau yang tersublimasi berupa


vasana inilah yang mewarnai atau memberi citra-artifisial kepada
pandangan murni, seperti juga halnya dengan pengalaman-pengalaman
dalam kehidupan ini. Mereka mengendap sebagai kesan-kesan mental dan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 105
ingatan dan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Nah, kumpulan mereka inilah
yang ter-refleksi di permukaan berupa kepribadian berikut nasib seseorang
dalam setiap kelahirannya.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 106
YANG MENGHALANGI PENCERAHAN SEMPURNA.

Menyadari Pencitraan yang bisa menghalangi Pencerahan


Sempurna.

Buddhi tidak bersinar sendiri, sebab ia berasal dari apa yang dicerap
(drsyatvat);
dan pada saat yang bersamaan dua hal tak dapat dicerap sekaligus.
Kesadaran hanya bertindak sebagai perantara dari ingatan dan kesan-
kesan yang dicerap oleh buddhi dan mengacaukannya; ini merupakan
kemunduran.
[YS IV.19 dan IV.21]

Dalam kejernihan, dalam hening, yang bekerja hanya kesadaran dan


pencerapan atau persepsi murni. Pencerapan murni sebetulnya juga buddhi
adanya. Namun disini ia ada dalam keadaan pasif. Ia tidak pilih-pilih dan
tidak melakukan kerja menilai, bahkan tidak melakukan pencerapan secara
khusus. Ia lebih terfungsikan sekedar sebagai pemerhati. Seperti telah
disampaikan sebelumnya, smrti, vasana-vasana dan samskara-samaskara-
lah yang memberi pewarnaan terhadap apa yang dicerap. Mereka hanyalah
hasil cerapan dari buddhi. Buddhi-lah yang mencerap dan mengalami
pewarnaan itu; bukan citta. Bilamana pewarnaan ini terjadi, maka ini
merupakan kemunduran bagi sang penekun. Berikut ditegaskan kembali
bahwa:

(Sesungguhnya) citta tidak dipengaruhi oleh samskara; yang


berubah-ubah adalah buddhi, oleh karena buddhi mengadakan
identifikasi menurut intuisinya.
Ia yang menyadari, paham kalau semua itu hanyalah pemahaman
yang telah mengalami pewarnaan.
Walaupun diperlengkapi dengan tak-terhitung banyaknya keinginan
yang disebabkan oleh kombinasi dari vasana-vasana, namun semua
itu dipahami hanya sebagai pewarnaan atau pencitraan saja.
[YS IV.22 - IV.24]

Bila suatu benda berwarna didekatkan pada sebuah kristal asli yang jernih,
maka warna dari benda tersebut tampak mewarnai kristal itu. Bila benda
berwarna merah yang mendekatinya, maka merah-lah tampaknya kristal
itu; walaupun sesungguhnya, kristal tersebut tidak berwarna. Daya-cerapnya
yang besar terhadap cahaya-lah yang menyebabkan ia seolah-olah berwarna.
Secara analogis, dapat dikatakan bahwa daya-cerap itu merupakan
perangkat kerja dari buddhi, dan kristal itu adalah citta.

Menyadari kalau demikian kejadiannya, para bijak berulang-ulang


mengajurkan para penekun untuk bergabung dan mendekatkan-diri dengan
para bijak dalam satsanga, guyub dengan para suciwan, dan menjauhi
paguyuban tak senonoh. Dengan demikian, apa yang tercerap akan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 107
terseleksi, sehingga bersifat mengingatkan dan mengarahkan pada
penjernihan kembali citta dan menguatkan viveka.

Viveka senantiasa menyertai Sang Yogi.

Bagi yang telah sempurna visi spiritualnya (visesa darsina


atma), Atman-nya sepenuhnya terlepas dari gelora perasaan dan
gejolak pikiran.
Sejak inilah viveka menjadi sentosa, dan kesadaran menggapai
Kaivalya.
Walaupun masih terjadi selingan berupa kemunculan pemikiran-
pemikiran lain, sebagai konsekwensi dari kecenderungan-
kecenderungan sebelumnya (samskarãbhyah) hingga interval
tertentu, pemusnahannya tak sulit lagi; sama halnya dengan
pemusnahan kléša (yang sudah dipaparkan sebelumnya).
[YS IV.25 - IV.28]

Yoga memang merupakan pengembangan dari Sankhya. Dalam Sankhya


belum menyebut-nyebut Isvara maupun Atman, dan hanya menyebut
Purusa. Demikian pula halnya dengan citta, Sankhya menyebutnya mahat
yang secara esensial dapat dipadankan dengan citta. Baik mahat maupun
citta bukanlah produk, namun lebih merupakan gagasan-awal yang melatari
diproduksinya berbagai produk. Persis di bawah citta ada buddhi —intelek,
daya cerap, setelah itu barulah asmita dan manas menyusul. Buddhi,
asmita dan manas barulah merupakan produk, dan berada dalam hierarki
yang lebih rendah dibanding citta.

Dalam Wrhaspati Tattwa dan Tattwa Jñana ditemukan istilah ambek—yang


dalam penggunaannya dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat yang diserta
semangat yang muncul sebagai akibat dari munculnya bentuk-bentuk
pemikiran dan perasaan akibat terjadinya interaksi dan adanya kontak-
kontak indriawi maupun ingatan. Ia merupakan jelmaan langsung dari
manas. Daripadanyalah muncul berbagai bentuk keinginan yang begitu
banyak jumlah dan ragamnya. Beliau yang telah jernih, yang telah bersinar
kembali citta-nya, viveka-nya pun jadi semakin sempurna. Oleh
karenanyalah—seperti yang disebutkan dalam sutra tadi—manas dan ambek
tak lagi mempengaruhi beliau.

Pemusnahan samskarãbhyah disebutkan sama dengan pemusnahan kléša.


Pada prinsipnya ia adalah pemusnahan ego, asmita atau ahamkara itu
sendiri. Ego-lah sumber dari kléša yang lainnya. Ego menjadikan segala
sesuatunya terpusat pada si diri semu ini. Disinilah semua itu bermukim dan
berpotensi mengotori. Asmita  terutama didominasi oleh rajas dan tamas.
Sesuai kejadiannya, asmita masih terhitung adik kandung dari buddhi;
walaupun ia amat kuat, sesungguhnya buddhi yang terlengkapi viveka
mampu menundukkannya. Namun, bagi seorang Yogi yang telah bersinar
kembali citta-nya, kabut kléša sirna secara pasti, tak ubahnya kabut pagi
yang sirna bersamaan dengan terbitnya sang mentari.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 108


Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 109
DHARMAMEGHA SAMÃDHI DAN SAMPAINYA DI PUNCAK.

Dharmamegha Samãdhi, berbuahnya kebajikan Sang Yogi.

Sang Yogi Sempurna tak lagi mempunyai keterikatan pada keakuan,


sebagai akibat dari perlindungan viveka secara terus-menerus;
ini membentuk kabut kebajikan (dharmamegha samãdhi), sebagai
hasil dari meditasi yang terus-menerus pada kebajikan.
Inilah yang menjadi pembebas dari segala pengaruh karma dan
kléša.
Segala bentuk kekotoran batin sirna (sarvãwarana malãpetasya),
karena bagi pengetahuan suci yang tiada terbatas semesta
material hanya kecil saja, tiada arti.
[YS IV.29 - IV.31]

Apapun yang dilakukan oleh Sang Yogi setelah keberhasilannya, adalah


kebajikan. Jadi setelah pencapaian, perbuatan-perbuatan menimbulkan
‘kabut kebajikan’ (dharma megha). Seperti disebutkan, inilah yang beliau
gunakan untuk memastikan musnahnya karma-vasana dan kléša. Paradigma
ini ada yang menyebutkannya dengan istilah ‘membakar karma’. Bila kita
tengok lagi sutra I.24 Samãdhi Pãda yang mengatakan “Isvara adalah
Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran
batin (kléša) yang mengakibatkan penderitaan, perbuatan-perbuatan
(karma) dan kesan serta hasil dari perbuatan-perbuatan itu”; maka dapat
dipahami kemana kita sesungguhnya digiring oleh Patanjali.

Akan tetapi, bagi yang masih gandrung pada phala dari kebajikannya, dan
berkata dalam hati: “Inilah phala dari upaya dan kebajikanku selama ini”,
asmita dan rasa kepemilikan (mamakara) segera menyergap lagi. Bukan
hanya memaparkan status itu saja, agaknya Patanjali juga mengingatkan
lagi akan hal ini dalam sutra di atas. Karena subha karma phala yang
menumpuk sedemikian banyaknya membentuk dharma megha, mereka bisa
jadi tak terbakar habis dalam kehidupan ini. Dan ini dapat menarik beliau
untuk terlahir di alam surga atau alam para dewa. Ini juga merupakan
pengaruh dari sisa-sisa kléša yang halus, karena masih tersisanya asmita.

Fenomena terbentuknya dharma megha jelas tidak dapat diabaikan oleh


para sadhaka sejati yang benar-benar mendambakan dan mengupayakan
Kaivalyam. Dalam “Vivekachudamani”-nya, Sri Sankaracharya

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 110
mengingatkan: “Ia yang benar-benar telah membunuh kenafsuan-nya
dengan pedang Vairagya yang sempurna, menyeberangi samudra Samsara,
dengan tanpa halangan dan hambatan-hambatan”.

Sementara Wrhaspati Tattwa mengajukan tiga resep utama:


(i) Jñana-bhyudreka —pemahaman menyeluruh dan utuh tentang
berbagai implikasi pengetahuan spiritual;
(ii) Indriyayogamarga —tidak terbelenggu dan diperbudak oleh
indria dan tenggelam di dalam kenikmatan nafsu sensual; dan
(iii) Trsnadosaksaya —tidak terikat akan phala perbuatan baik dan
bebas dari cinta dan benci.

Hingga disini, tampak kalau viveka dan vairagya disebut-sebut dalam


banyak kesempatan, dan dalam posisi yang amat menentukan. Mereka
sebetulnya adalah dua dari sadhana chatushtaya. Selengkapnya adalah:
viveka, vairagya, sat sampat dan mumukshutva. Bhagawan Sathya
Narayana memandang sadhana chatushtaya sedemikian pentingnya dan
menyebutnya sebagai persyaratan mutlak bagi seorang Jñani. Kecuali sat
sampat, ketiganya telah dibahas dan disinggung sebelumnya. Mereka
sadhana-sadhana tingkat tinggi yang amat fundamental bagi keberhasilan
seorang sadhaka, disamping sebagai tandingan dari sifat-sifat atau
kecenderungan ke-asura-an atau asuri sampat.

Sat sampat atau enam sadhana kedewataan ini terbentuk oleh enam
sadhana utama, yakni:
 Sama: dapat mengendalikan kecenderungan pikiran dan perasaan
yang senantiasa mengarah ke dunia luar. Pratyahara
mempersiapkan seorang sadhaka untuk mencapainya.
 Dama: dapat menasehati diri sendiri dan mengendalikan indria. Ini
terkait dengan Svadyaya dan Tapa, dua komponen praktek spiritual
dalam Kriya Yoga; disamping Pratyahara.
 Uparathi: kemampuan menarik indria dari dunia objek, untuk
diarahkan ke dalam. Lagi-lagi ini terkait langsung dengan
Pratyahara.
 Titiksha: kemampuan untuk menanggung kesulitan dan penderitaan
dengan sabar, tabah dan ketenangan. Ini merupakan hasil dari
pelatihan pengekangan atau Tapa.
 Sraddha: keyakinan yang teguh pada-Nya dan pada jalan menuju-
Nya. Ini secara pasti membangun kesempurnaan Isvarapranidhana.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 111
 Samadhana: kemantapan dan keseimbangan batin; ia berpadanan
dengan Upeksha dalam Catur Paramãrtha.

Mencapai Mukti jelas bukan pendakian yang mudah. Seorang Yogi yang
cukup berhasil sekalipun, masih menghadapi berbagai godaan-godaan
halus yang dapat menjatuhkannya. Setelah Pangeran Siddharta
memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Ke-buddha-an, Mara masih
tetap menggoda bahkan hingga setahun sesudahnya. Pengingatan wanti-
wanti dari Patanjali sepantasnyalah dipandang sebagai sesuatu yang
senantiasa mengingatkan untuk berhati-hati, agar jangan sampai
terjebak oleh hasil kebajikan sendiri, disamping mengingatkan secara
wanti-wanti untuk senantiasa menyempurnakan viveka-jñana.

Manakala Sang Yogi sampai pada Puncak Pendakiannya.

Setelah berhasil segala upayanya, evolusi dari transformasi


triguna-pun terhenti (samaptir gunãnãm).
Kesinambungan momen-momen dalam evolusi akhirnya dipahami
dengan jelas hanya sebagai proses transformasi yang berbeda satu
dengan yang lainnya, oleh Sang Yogi.
Bersamaan dengan kembalinya guna ke alamnya (gunãnãm prati
prasavah), tiada apapun yang perlu dicapai lagi ( purusãrtha
šúnyãnãm); inilah Kaivalyam;
citta terang-benderang dalam kesujatian.
[YS IV.32 - IV.34]

Sri Swami Sivananda menerjemahkan sutra terakhir (IV.34) ini dengan:


“Kemahardikan (Kaivalya) adalah status pada mana sifat-sifat semesta
material (guna) mencapai keseimbangannya dan bergabung kembali ke
asalnya, tidak lagi punya suatu kegunaan dalam kaitannya dengan
Sanghyang Purusha (Sang Jiva). Sang Jiva-pun mantap didalam Sifat
Sejati-nya, yang adalah Kesadaran Murni.

Pada puncaknya, triguna —kekuatan kekal dari Prakriti— dikembalikan ke


asalnya —yakni Prakriti. Jiva kembali kepada Sifat Sejati-nya yang
adalah Kesadaran Murni, yang terang-benderang, yang sempurna. Inilah
titik-kulminasi dari paradigma pembebasan yang disebut Kaivalyam.
Dengan dipaparkannya tiga sutra terakhir ini, maka berakhirlah Yoga
Sutra Patanjali.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 112


Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 113
PENUTUP

JALAN KESUCIAN SEKALIGUS JALAN KELEPASAN.


Setelah mengikuti dengan seksama paparan Patanjali, kita seakan
dihadapkan pada ketidak-mungkinan untuk menggolongkannya ke dalam
satu jalan spiritual saja. Yama dan Niyama saja misalnya, merupakan
landasan disiplin moral bagi penekun jalan spiritual manapun. Bahkan
mereka tidak terbatas pada agama, ras, bangsa dan suku bangsa, jenis
kelamin, usia maupun profesi. Mereka tak hanya dibutuhkan manusia di
jaman Veda-veda saja. Mereka dibutuhkan oleh umat manusia di segala
jaman dan dalam segala situasi dan kondisi.

Yama dan Niyama bersifat universal; mereka jelas bukan hanya milik
bangsa India ataupun umat Hindu saja. Mereka merupakan tatanan moral-
etik luhur bagi umat manusia, yang sarat nilai-nilai kemanusiaan yang
universal dan holistik. Ini dimungkinkan oleh karena para bijak dan orang-
orang suci jaman dahulu merancangnya lewat pengetahuan intuitif beliau
yang sempurna terhadap kondisi variatif dari setiap manusia dalam sifat-
sifat fisikal, mental maupun spiritualnya. Mereka bukan juga sebentuk
spekulasi filosofis atau sekedar ajaran moral-etik yang tidak implementatif
samasekali, dogmatik, tak masuk akal atau bersifat takhyul.

Bhakti dan Karma Marga terkandung secara nyata dalam paparan awal
Sadhana Pãda, dalam sebutan Kriya Yoga. Disana ada pola hidup
sederhana dan pengekangan diri dari rongrongan hawa nafsu dan berbagai
keinginan melalui laku tapa, sebagai terapan untuk mensucikan diri lahir-
batin. Ada pula Isvarapranidhana, penyerahan dan perlindungan hanya
kepada Tuhan. Di dalamnya ada rasa sujud, penyerahan diri dan bhakti, ada
pelayanan yang tanpa-pamerih (nishkama karma). Disana juga ada
pembelajaran-diri secara mandiri (svadhyaya), yang menjauhkan kita dari
sikap dogmatis dan fanatisme.

Viveka dan vairagya serta petunjuk-petunjuk dalam memupuk jñana dan


prajña memberi suatu ciri Jñana Marga yang kuat pada Yoga Sutra.
Bahkan, Yoga Sutra memaparkan tri pramana, tiga metode penalaran dalam
memperoleh vidya, bahkan mencapai jñana. Baik viveka maupun vairagya
disebut-sebut secara berulang dalam banyak sutra-sutranya. Menjelang
mengakhiri Yoga Sutra, kembali Patanjali menegaskan: "Lalu, semua
kekotoran batin sirna, oleh karena bagi pengetahuan suci yang tiada
terbatas, semesta material hanya kecil saja, tiada arti." Ini menyiratkan
dengan jelas betapa Patanjali memberi arahan langsung pada penguasaan
jñana.

Belakangan, ternyata Maharshi Vyasa-pun memberi dukungan kuat


terhadap arahan ini. Lewat Bhagavad Gita-nya dengan gamblang Sri Krishna
memaparkan:

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 114
"Diantara mereka (yang memuja-Ku), jñani selalu memusatkan
pikirannya dan berbakti pada Yang Tunggal, adalah yang termulia;
dia sangat 'Ku kasihi karena diapun amat mengasihi-Ku. Memang
mereka semua mulia, akan tetapi jñani 'Ku pegang sebagai Diri-Ku
Sendiri, sebab jiwanya seimbang sempurna dan tujuan tertingginya
hanyalah Aku. Pada banyak akhir dari kelahiran manusia,
jñanavan datang pada-Ku karena tahu Vasudeva adalah
segalanya. Sungguh sukar dijumpai mahãtma serupa ini."

Seorang jñani akan dengan gigih memberdayakan manas guna merebut


vidya. Karena beliau menyadari betul betapa ‘sa vidya ya vimuktaye’ —
pengetahuan bisa mengantarkan pada vimukti, kebebasan—seperti yang
juga disebutkan oleh Yajurveda. Sementara beliaupun mengingatkan
bahwasanya ‘vidya vuhina pasu’ —tanpa menguasai vidya manusia tak
ubahnya binatang— seperti yang disebutkan oleh penyair Bhartrihari dalam
Nitisatakam-nya, yang kesohor itu.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana memberdayakan manas untuk


merebut vidya. Untuk ini, Sri Sankaracharya memberi petunjuk, yakni
dengan mempelajari Catur Veda, Sad Darsana, Upanishad-upanishad,
Bhagavad Gita dan Brahmasutra. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
itu? Untuk mempelajari hingga betul-betul menguasainya, boleh jadi
dibutuhkan banyak kelahiran, seperti yang pernah dialami oleh Rshi
Bharadvaja. Dikisahkan bahwa, selama tiga kelahiran berturut-turut beliau
mempelajari semuai itu. Nah....disinilah Yoga dengan jelas memposisikan
dirinya sebagai solusi alternatif. Yoga mengantarkan langsung pada
Panunggalan dengan Tuhan—sumber dari semua Veda-veda.

Yoga Marga —atau lebih umum dikenal sebagai Raja Yoga—juga dikenal
sebagai jalan spiritual-mistis. Ini mungkin terlahir dari kenyataan, dimana
Patanjali memberi porsi yang cukup besar pada upaya mistis dalam Vibhuti
Pãda, yang dengan panjang-lebar memaparkan perolehan kekuatan-
kekuatan spiritual-mistis (siddhi-siddhi) lewat samyama terhadap objek-
objek eksternal maupun internal tertentu. Sementara itu, di banyak
bagiannya, Patanjali juga wanti-wanti mengingatkan bahwa bukan itu tujuan
Yoga; mereka hanya dampak-samping, yang bahkan dapat mengakibatkan
kejatuhan bagi Sang Yogi. Sementara itu, Pranava Japa, basis dari Japa
Yoga, disinggung dalam lebih dari satu sutra.

Makanya, akan terlampau menyempitkan, bilamana Yoga Sutra hanya


dipandang sebagai salah-satu marga saja. Jauh lebih mengena bilamana
memandangnya sebagai suatu pustaka suci lengkap tentang Yoga—yang
memaparkan secara mendasar pokok-pokok ajaran dan manual dalam
delapan tahapan praktis bagi berbagai kecenderungan manusia.

Walaupun sejak awal Patanjali dengan tegas merumuskan Yoga sebagai


‘citta vritti nirodha’, tak urung sementara penekun cenderung terjebak
dalam pencapaian siddhi-siddhi dan jatuh dari tujuan luhurnya. Apa yang

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 115
kita saksikan disini adalah kelemahan umum kita, disamping menegaskan
kembali kekuatan Prakriti lewat triguna-nya. Mungkin karena
menyadarinya kelemahan-kelemahan umum manusia, pada bagian akhir
Vibhuti Pãda Patanjali menyampaikan pengingatannya: “Manakala antara
sattvam dan Purusa telah sama-sama sucinya, inilah Kaivalyam”. Dalam
Samãdhi Pãda sebelumnyapun beliau sudah mengingatkan: “Setelah
terpenuhi segala manfaatnya, evolusi dari transformasi triguna-pun
terhenti...Tujuan akhir Purusa tercapai bersamaan dengan sirnanya guna;
guna kembali ke alamnya (yakni Prakriti)...”.

Pada akhir Kaivalya Pãda, penulis dengan lancang mencoba memberi


kesimpulan bahwasanya Yoga —seperti yang diajarkan dalam Yoga Sutra—
tiada lain adalah Jalan Kesucian (Visuddhi Marga) menuju pada Kelepasan
Sempurna—terbebas dari siklus Samsara. Bagaimana kesimpulan itu
ditarik? Bagaimana argumentasinya sehingga disebut demikian? Inilah yang
kita coba simak secara ringkas berikut ini.

Ada beberapa konsepsi mendasar yang menggiring kita pada penyimpulan


seperti itu. Yang pokok untuk ditinjau disini adalah adalah:
(i) Essensi dari Asana, Pranayama dan Pratyahara.
(ii) Essensi dari Yama-Niyama, khususnya Sauca dan Tapa.
(iii) Citta vritti nirodha.

Sebagai jalan spiritual praktis, ia tidak saja memaparkan konsepsinya saja,


namun wajib memberi tuntunan penerapannya secara praktis —berupa
sadhana-sadhana lahiriah dan batiniah—yang mungkin untuk dilakoni.

Asana dan Pranayama, memberi tuntunan praktis berupa sadhana-


sadhana lahiriah, guna membentuk ketahanan tubuh, menjaga kondisi
kesehatan, memberdayakan dan mengendalikan daya-vital atau prana.
Dalam ketahanan itulah dapat diharapkan terbangunnya ketahanan mental-
spiritual serta sikap-mental yang tangguh yang dibutuhkan di dalam
menjalaninya. Sementara Yama dan Niyama merupakan disiplin moral-etik
yang membentuk sikap batin luhur, kedewataan. Pratyahara, disamping
sebagai konservasi daya-vital, dengan meniadakan pemborosan prana
melalui kontak-kontak indria dengan objek-objeknya, juga memperkokoh
vrata dan memungkinkan lahirnya pemahaman yang lebih baik, lengkap
dan menyeluruh tentang si diri itu sendiri. Ini berarti tersimpannya cukup
enerji-fiskal dan enerji-mental guna mempertahankan dan memperkokoh
sikap-mental dalam berkehidupan suci. Oleh karenanya pula, bagi seorang
penekun sejati, dianjurkan untuk menjadikan Pratyahara sebagai ‘terminal’.

Nah....inilah yang secara lahir-batin menjadikan manusia siap untuk


mententramkan batinnya sendiri. Manas yang tentram, akan mudah
dijinakkan untuk kemudian dikendalikan. Daripadanya, Buddhi-pun jernih
dan bersinar terang guna diarahkan menuju tataran mental-spiritual yang
lebih dalam lagi, hingga akhirnya Citta termurnikan kembali. Inilah titik
kulminasi dari proses pensucian itu—citta vritti nirodhah.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 116
Sekali lagi, besar harapan saya apa yang mampu dipersembahkan lewat
buku ini ada manfaatnya bagi Anda.

Semoga kita semua selalu ada dalam bimbingan dan limpahan anugrah-Nya.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah


kita!



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 117
RAJA YOGA ~ Dasar-dasar Pemahaman dan Petunjuk-petunjuk
Praktis bagi para Penekun

Oleh:

SRI SWAMI SIVANANDA SARASVATI

FILOSOFI DARI YOGA.

Disebutkan bahwasanya penemu dari Yoga klasik adalah Hiranyagarbha


Sendiri. Adalah Maharishi Patanjali yang memformulasikan pengetahuan
ini dalam suatu sistem pengajaran yang diberi nama Ashtanga Yoga atau
Raja Yoga. Ini membentuk salah-satu dari Shad-Darsana, Enam Sistem
Filsafat Hindu Klasik. Vyasa telah menjelaskan Yoga Sutra Patanjali dan
ini telah berhasil dikembangkan lebih jauh lagi oleh seorang pujangga
terpelajar yang cemerlang bernama Vachaspati Mishra, serta melalui
tulisan-tulisan yang mengagumkan dari Vijñana Bhikshu.

Yoga, sepaham dengan Sankhya; mereka memegang pandangan dimana


ada suatu prinsip yang bersifat kekal dan hadir dimana-mana, yakni Prakriti
disamping suatu prinsip pluralitas dari Kesadaran yang juga ada dimana-
mana, yakni Purusha. Yoga juga menerima prinsip ketiga yakni: Ishvara.
Kontak antara Purusha dengan Prakriti inilah menimbulkan evolusi lanjut
dalam berbagai implikasinya. Purusha —karena Aviveka (tiada
berkemampuan untuk membedakan)— menyangka ada suatu individu
ketika mengidentifikasi Prakriti beserta berbagai modifikasinya itu.

Yoga menitik-beratkan pada metode pembebasan Purusha dari belenggu


ini, melalui upaya yang benar. Oleh karena itu, Yoga lebih merupakan
metode praktis guna pencapaian, ketimbang suatu paparan filosofis semata.
Sebagai suatu sistem filsafat (Darsana), ia merupakan Sa-Ishvara
Sankhya, yaitu dengan memasukkan ke-duapuluhlima Tattva dari
Sankhya serta menambahkan satu lagi yakni: Ishvara. Dengan demikian,
Yoga melengkapi karakteristiknya sebagai suatu sistem Sadhana yang
bersifat praktis.

Ketika diselubungi oleh tembok penghalang kebodohan (Aviveka), Purusha


menyangka bahwa Ia tidak sempurna, tak-lengkap, dan menyangka kalau
kelengkapan itu hanya dapat dicapai melalui penggabungannya dengan
Prakriti. Purusha lalu —katakanlah demikian—mulai menggapai Prakriti;
dan dengan disinari oleh kesadaran-Nya, Prakriti yang tiada berdaya
(lembam) mulai mempertunjukkan berbagai objek-objeknya secara
kaleidoskopis. Purusha, disebabkan oleh Prakriti-Samyoga—penyamaan-
diri dengan Prakriti, tampak ingin merasakan kenikmatan dari objek-objek
ini. Ia berbuat seperti yang sudah-sudah; tampak berupaya meraih objek-
objek tersebut. Kini belenggu—walaupun sesungguhnya tidak esensial bagi
Purusha—menjadi lengkap dan selanjutnya lingkaran visi serupa itu
tersimpan terus. Transmigrasi dari masing-masing individu, seperti itu,

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 118
adalah konsekwensi dari Aviveka beserta segala efek-efeknya. Yoga, melalui
proses ilmiahnya, memotong lingkaran ini satu-per-satu dan mengantarkan
menuju Kaivalya Moksha, yang merupakan realisasi dari Purusha (sejati),
yang bebas dari Prakriti beserta segenap evolusinya.

Jauh dalam lubuk hati setiap orang, ada suatu keyakinan yang mendalam
akan adanya Makhluk Tertinggi, kepada siapa seorang Sadhaka berpaling
untuk memohon bantuan dan bimbingan, perlindungan maupun inspirasi.
Namun sang ego tidak mengijinkan ini terjadi. Hanya dengan cara
melepaskan Purusha dari penjara sang ego saja, Purusha dapat dilepaskan
dari jaring Prakriti. Sang ego memang dengan bersusah-payah bisa
ditundukkan melalui analisa subjektif saja; akan tetapi adalah mudah untuk
membedakan ego—yang terpisah dari Purusha—bila ia dengan suka-rela
menyerahkan-dirinya sebagai suatu persembahan pada altar-persembahan
kepada Yang Maha Kuasa; inilah Ishvarapranidhana. Inilah hipotesa
dari Yoga, sebagai tambahan dari nasehatnya agar berupaya dengan gigih
(Sadhana-Marga).

YOGA SUTRA PATANJALI — Untaian Permata Mulia


Spiritual-filosofis.

Raja Yoga adalah raja dari semua Yoga. Ia secara langsung berurusan
dengan batin. Dalam Yoga ini tidak ada perjuangan dengan Prana maupun
jasmani (Apana). Tidak diperlukan lagi kriya-kriya dari Hatha Yoga. Sang
Yogi duduk dengan sederhana, memperhatikan dan mententeramkan
gelembung-gelembung pemikirannya. Beliau mengheningkan-cipta,
menjinakkan gelombang pikiran dan memasuki kondisi tanpa-pemikiran
(thoughtless state) atau Asamprajñata Samãdhi; itulah Raja Yoga.

Walaupun Raja Yoga merupakan suatu falsafah dualistika yang mengolah


Prakriti dan Purusha, ia membantu siswa Advaitik untuk merealisasikan
penunggalannya. Walaupun diingatkan tentang keberadaan Purusha, pada
puncaknya Purusha menjadi identik dengan Purusha Tertinggi (Parama
Purusha) atau Brahman, seperti yang disebutkan dalam Upanishad-
upanishad. Raja Yoga mendorong siswa untuk mencapai tingkatan
tertinggi di tangga spritual, yakni Brahman.

Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah


sutra berupa sebuah sloka pendek yang padat makna. Ia berupa ungkapan-
ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta signifikasi-
signifikansi tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala punya suatu tradisi
dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun realisasinya, hanya dalam
bentuk sutra-sutra saja. Amat sulit mengertikan maksud yang terkandung
didalam sutra-sutra, tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang
pembimbing atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik. Seorang
Yogi yang sepenuhnya telah merealisasikan Yoga, akan mampu
menjelaskan sutra-sutra dengan indahnya. Secara harfiah, sutra juga berarti
sebuah untaian. Layaknya berbagai bunga beraneka warna yang dirangkai

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 119
secara apik, dan membentuk sebuah rangkaian bunga. Seperti juga mutiara-
mutiara yang diuntai menggunakan seutas tali untuk membentuk sebuah
kalung, demikian pula halnya ide-ide dari Sang Yogi teruntai cantik dalam
sutra-sutra.

Yoga Sutra disusun dalam beberapa bab. Bab pertama adalah Samãdhi-
pãda. Ia memaparkan beberapa jenis Samãdhi. Ia berisikan 51 Sutra.
Hambatan-hambatan dalam meditasi, lima bentuk Vritti (pusaran pikiran)
dan cara mengendalikannya, tiga bentuk Vairagya, sifat-sifat dari Ishvara,
berbagai metode untuk mencapai Samãdhi serta cara untuk menghadirkan
kedamaian hati melalui pengembangan sifat-sifat luhur, juga dipaparkan
disini.

Bab kedua adalah Sãdhana-pãda. Ia terdiri atas 55 Sutra. Ia memaparkan


Kriya Yoga, seperti, Tapa, ajaran penyerahan-diri pada Tuhan, lima
Klesha atau noda-noda batin, metode-metode untuk menghancurkan noda-
noda yang menghalangi pencapaian Samãdhi ini, Yama dan Niyama beserta
hasil-hasilnya, praktek Āsana dan Pranayama beserta manfaat-manfaatnya,
Pratyahara serta keuntungan yang diperoleh, dll.

Bab ketiga adalah Vibhuti-pãda. Ia terdiri dari 56 Sutra. Ia menyangkut


Dharana, Dhyana serta berbagai bentuk Samyama pada objek-objek
eksternal, pikiran, chakra-chakra internal serta beberapa objek lain, yang
dapat menghadirkan berbagai macam Siddhi.

Bab ke-empat adalah Kaivalya-pãda atau bab Kebebasan Sejati, yang


tersusun dari 34 Sutra. Ia memaparkan tentang kebebasan yang dicapai oleh
seorang Yogi yang telah matang (full-blown Yogi), yang telah dapat
membedakan dengan baik mana Prakriti dan mana Purusha, yang telah
terpisah dari Tri Guna. Ia juga memaparkan tentang pikiran dan prilakunya.
Dharmamegha Samãdhi juga dijelaskan disini.

KONDISI-KONDISI BATIN DALAM PRAKTEK RAJA YOGA.

Raja Yoga memberikan perhatian khusus terutama pada batin, modifikasi-


modifikasinya dan pengendaliannya. Ada lima kondisi batin yakni, Kshipta,
Mudha, Vikshipta, Ekagra (Ekagrata) dan Niruddha. Umumnya pikiran—
yang adalah proponen batin yang paling aktif—berlarian ke segala arah;
sinar-sinarnya terpencar dan kacau. Inilah yang disebut dengan kondisi
Kshipta. Terkadang batin lupa diri, ia dipenuhi oleh kedunguan (Mudha).
Ketika Anda berlatih berkonsentrasi, pikiran tampak dapat terpusat sejenak,
namun cepat terganggu lagi. Kondisi batin inilah yang dinamakan Vikshipta.
Akan tetapi bila ia bertahan lebih lama dan telah dilatih secara berulang-
ulang, dan dibantu dengan merafalkan Nama Tuhan, ia menjadi terpusat
pada satu titik. Keterpusatan inilah yang disebut kondisi Ekagrata.
Nantinya, iapun sepenuhnya terkendali—Niruddha. Ia siap untuk tercerap
dalam Parama Purusha, ketika Anda memasuki Asamprajñata Samãdhi.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 120
Guna mencapai kedamaian batin, Anda harus menyemaikan empat sifat-
sifat luhur —Maitri, Karuna, Mudita and Upeksha. Anda harus punya
Maitri (rasa persahabatan yang penuh welas asih), Anda memandang
semuanya dalam sikap-batin yang setara. Anda harus memiliki sifat Karuna
(rasa belas-kasihan) kepada mereka yang sedang dirundung malang.
Andapun mesti punya Mudita (rasa empati dan bersimpati) pada mereka
yang lebih beruntung dari Anda. Rasa kebercukupan atau belas-kasihan
secara pasti menghancurkan kedengkian. Semuanya adalah saudara-saudara
kita. Bila seseorang ditempatkan pada posisi yang lebih baik dari Anda,
berbahagialah atasnya. Bila sedang lewat di antara orang-orang hina,
pandanglah mereka tiada beda dengan kita. Inilah yang dinamakan Upeksha
(stabil dalam tiada membeda-bedakan). Dengan jalan ini Anda akan
mencapai kedamaian hati.

NODA-NODA BATIN.

Lima Noda batin yang merupakan sumber penderitaan adalah:

1. Avidya — kebodohan batiniah: memandang kekal yang tak-kekal,


murni yang tak murni;
2. Asmita — egoisme;
3. Raga —keterikatan atau kecintaan;
4. Dvesha —ke-engganan, penolakan atau kebenciaan; dan
5. Abhinivesha —keterikatan yang kuat pada kehidupan rendah, yang
menimbulkan ketakutan yang amat sangat pada kematian.

Samãdhi menghancurkan semua ini. Raga dan Dvesha, rasa suka-tak-suka,


punya lima kondisi: Udara (termanifestasikan sepenuhnya), Vicchinna
(tersembunyi atau terselubung), Tanu (menipis), Prasupta (tidak aktif ) dan
Dagdha (terbakar musnah).

 Pada manusia duniawi yang masih terlelap dalam keduniawian, Raga


dan Dvesha merupakan Udara Avastha. Mereka ada dalam kondisi
yang meluas; maksudnya, Raga dan Dvesha bermain secara penuh
dan tanpa tendeng aling-aling lagi.
 Vicchinna Avastha adalah kondisi dimana Raga dan Dvesha
tersembunyi. Pasangan suami-istri terkadang bertengkar; saat itu
cinta tersembunyi sejenak. Setelah si istri tersenyum kembali,
cintapun menampakkan dirinya lagi. Inilah contoh dari Vicchinna
Avastha.
 Beberapa orang yang melakukan sedikit Pranayama, Kirtan dan
Japa. Pada mereka Raga dan Dvesha mulai menipis; kondisi inilah
yang dinamakan Tanu Avastha.
 Terkadang pula, berhubung kondisinya tidak sesuai, mereka dalam
kondisi tidak aktif —Prasupta Avastha.
 Namun dalam Samãdhi mereka terbakar musnah —Dagdha.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 121
Raga dan Dvesha memastikan Samsara ini. Pikiran (manas) adalah suatu
kekuatan yang tidak memiliki suatu entitas nyata, namun sementara waktu
seolah-olah demikian, dan menyelubungi Jiva. Ia mengatasi Prana. Ia juga
mengatasi materi. Akan tetapi di atas pikiran ada kemampuan memilih dan
memilah-milah (Viveka). Viveka dapat mengendalikan pikiran; kerinduan
terhadap Diri-Jati Anda atau Atma-Vichara dapat mengendalikan pikiran.
Bilamana Anda telah menghancurkan Raga-Dvesha lewat meditasi dan
Samãdhi, pikiran akan sirna (tiada berdaya lagi). Yang mesti Anda upayakan
setiap hari adalah melatih konsentrasi ke dalam (dharana), walau hanya
lima atau sepuluh menit; Andapun akan mampu mengendalikan pikiran dan
memasuki alam Samãdhi.

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEDITASI.

Ada beberapa hambatan dalam bermeditasi. Vedanta menguraikan


hambatan-hambatan tersebut berupa: kerisauan (laya), pikiran yang cepat
berubah (vikshepa), keinginan-keinginan terselubung (kashaya) dan
keterjebakkan dalam kebahagiaan yang timbul dalam Samãdhi yang lebih
rendah tingkatannya (rasasvada).

Patanjali mengutarakan: “Penyakit, kebodohan, keragu-raguan,


kecerobohan, kemalasan, keduniawian, ilusi, kehilangan tujuan, ketidak-
stabilan mental —semua itu merupakan hambatan-hambatan dalam
Yoga.” Duka-cita, kemurungan, gemetaran (tremor), tarikan dan hembusan
nafas yang tidak wajar merupakan pembantu-pembantu yang lebih
menguatkan hambatan-hambatan utama itu. Anda harus menyingkirkannya
terlebih dahulu.

Bila Anda dikuasai kantuk tatkala bermeditasi, berdirilah, basuh muka


dengan air dingin, lakukan beberapa Āsana dan Pranayama. Kantukpun
akan berlalu. Di jaman dahulu, bagi mereka yang memiliki choti (jalinan
rambut panjang), ada yang mengikat rambutnya ke paku di dinding ruangan
—sehingga bila jatuh tertidur saat bermeditasi, paku seolah-olah menarik
rambut dan membangunkannya. Makanlah makanan ringan saja di malam
hari.

Abhyasa dan Vairagya merupakan dua jalan terbaik untuk menyingkirkan


berbagai hambatan. Vairagya (tanpa kegandrungan) bukan berarti lari dari
dunia. Vairagya merupakan suatu sikap-batin. Analisalah pemikiran-
pemikiran Anda sendiri. Amankanlah motivasi-motivasi luhur Anda.
Sedapat mungkin, hindarilah objek-objek yang paling Anda gandrungi.
Bilamana kegandrungan pada sesuatu telah lenyap, selanjutnya Anda dapat
menggunakan pengalaman tersebut sebagai acuan guna melepaskan
kegandrungan-kegandrungan yang lain.

TIGA KELAS PENEKUN.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 122
Raja Yoga adalah jalan mulia untuk membebaskan diri dari penderitaan. Ia
mencakup perlakuan intensif terhadap empat masalah besar manusia:
penderitaan, sebab-sebab penderitaan, terbebas dari penderitaan dan
jalan pembebasannya. Praktek latihan dari metode-metode yang disajikan
dalam Raja Yoga mengantarkan pada pemusnahan segala derita dan
pencapaian kebahagiaan sejati. Berlatihlah mulai hari ini! Jangan lewatkan
barang seharipun. Ingat, masing-masing hari mengantarkanmu semakin
mendekat pada tujuan akhir dari kelahiran kita sebagai manusia di dunia ini.
Anda telah menyianyiakan banyak hari, banyak bulan dan banyak tahun
selama ini. Anda tak menyadarinya karena Anda telah meminum minuman
keras yang bernama Moha. Karena itulah Anda tidak mengerti sebab
sesungguhnya dari semua derita hidup duniawi ini.

Penyebab utama dari derita ini adalah Avidya. Manakala mentari pemilah-
milah (Viveka) telah terbit di dalam, Sang Purusha mulai menyadari kalau
Ia berbeda dengan Prakriti, bahwa Ia bebas dan tiada terpengaruhi. Raja
Yoga memberi Anda sebuah metode paling praktis yang mengantarkan
Anda pada kondisi yang mengagumkan ini.

Menurut Raja Yoga, ada tiga tipe penekun —Uttama, Madhyama dan
Adhama Adhikari. Bagi masing-masing tipe, disediakan tiga jenis Sadhana.

 Bagi Uttama Adhikari (penekun kelas utama) Raja Yoga


menyediakan Abhyasa dan Vairagya. Ia mempraktekkan meditasi
kepada Sang Diri-Jati; ia mempraktekkan Chitta-Vritti-Nirodha
(penghentian pusaran-pusaran batin) dan dengan cepat memasuki
alam Samãdhi. Inilah praktek Abhyasa yang didukung oleh
Vairagya.
 Bagi Madhyama Adhikari (penekun kelas menengah) disediakan
Kriya Yoga: Tapa, Svadhyaya dan Ishvarapranidhana. Tapa
adalah kesederhanaan atau kepolosan. Ketanpa-akuan (egolessness)
dan pelayanan tanpa pamerih, merupakan bentuk-bentuk teragung
dari Tapa. Kerendahan hati dan tanpa keinginan untuk kepentingan
pribadi atau ketulusan, juga merupakan bentuk-bentuk teragung dari
Tapa. Praktekanlah mereka melalui pelayanan terus-menerus, tanpa
henti dan dengan tanpa pamerih. Praktekkanlah tiga jenis Tapa yang
disebutkan dalam Bhagavad Gita. Penerapan disiplin diri seperti
upavasa, dll., juga merupakan praktek dari Tapa ini. Svadhyaya
adalah mempelajari kitab-kitab ajaran spiritual juga melaksanakan
japa (merafalkan secara berulang-ulang) dari Ishta Mantra Anda.
Ishvarapranidhana adalah penyerahan-diri sepenuhnya kepada
Tuhan dan melaksanakan setiap tugas sebagai Ishvararpana, sebagai
persembahan kepada-Nya. Tiga bentuk Sadhana dari para
Madhyama Adhikari yang terbenam dalam meditasi yang mendalam,
secara cepat akan mengantarkannya mencapai Kaivalya Moksha.
 Bagi Adhama Adhikari, tipe penekun ter-rendah, Raja Yoga
menyediakan Ashtanga Yoga atau delapan tahapan Sadhana —

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 123
Yama, Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana
dan Samãdhi.

ASHTANGA YOGA.

Raja Yoga dari Patanjali umumnya juga disebut Ashtanga Yoga yaitu
Yoga dengan delapan lengan (tahapan); melalui  pempraktekannya,
kebebasan dapat dicapai. Kedelapan lengan tersebut adalah: Yama,
Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan
Samãdhi.

Delapan tahap ini telah tersusun sedemikian rupa secara ilmiah. Mereka
merupakan langkah-langkah alamiah dalam sebuah tangga yang
mengantarkan manusia menuju sifat-sifat kedewataannya yang sejati.
Semua jaring-jaring yang melekatkan Purusha pada Prakriti dipotong
secara pasti. Pemutusan ini membebaskan Purusha untuk menikmati
Kebebasan, Kaivalya Moksha. Inilah tujuan dari Raja Yoga.

Yama dan Niyama memurnikan perbuatan seseorang dan menjadikannya


lebih Sattvik. Tamas dan Rajas —yang merupakan pilar-pilar kokoh
Samsara—diruntuhkan dengan sepuluh kanon dari Yama dan Niyama
(Panca Yama dan Panca Niyama Brata); kesucian batinpun meningkat.
Sifat-sifat individu menjadi Sattvik.

Āsana memberi kemampuan pada individu untuk mengendalikan impuls-


impuls Rajasik; dan pada saat yang bersamaan membentuk landasan kuat
Antaranga Sadhana, atau proses Yoga di dalam (yang membentuk suatu
sikap-batin luhur—pen.).

Pranayama mengantarkan penekun bertatap-muka secara langsung dengan


Prinsip-Kehidupan (Life-Principle). Kendalikan Prinsip-Kehidupan; ini
memberikan suatu pandangan mendalam pada kekuatan yang
memotivasinya. Ia dibuat sadar atas fakta bahwasanya keinginan menjaga
kekuatan-hidup. Keinginanlah yang menyebabkan  terjadinya eksternalisasi
pikiran. Keinginanlah tempat peraduan dari Vritti-vritti. Vritti-vritti
bersama-sama membentuk pikiran, dan pikiranlah yang menghubungkan
Purusha dengan Prakriti.

Bila pikiran hancur, maka Vritti-vritti pun terkikis. Bila Vritti-vritti terkikis,
maka keinginanpun akan tercabut hingga ke akar-akarnya. Sang Yogi lalu
dengan cepat bisa menarik ke dalam semua sinar pikirannya dari tenaga
penggeraknya yang ada di luar. Proses inilah yang disebut dengan
Pratyahara.

Guna menemukan akar dari pikiran, yang merupakan benih-keinginan, ia


membutuhkan sinar yang menerangi seluruh pikirannya. Pada saat yang
bersamaan, sinar itu memberi kekuatan untuk bertahan terhadap
eksternalisasi pikiran dan memutuskan lingkaran setan itu, memutuskan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 124
hubungan keinginan untuk memanifestasikan dirinya lagi akibat adanya
aktivitas pikiran itu sendiri. Sorotan sinar yang terkonsentrasi ini akan
terpancar langsung ke akar dari pikiran itu sendiri; dan pikiran pun
terpegang dan terawasi. Inilah yang dinamakan Dharana.

Nah....kesadaran yang telah sedemikian lamanya mengalir keluar, kini


terkumpul kembali dan mengalir kembali menuju sumbernya, yakni
Purusha yang ada di dalam. Inilah proses dalam Dhyana.

Hubungan dengan Prakriti kini telah sirna. Purusha mengalami kondisi


kebebasan transendental —Kaivalya— dalam Nirvikalpa Samãdhi.
Kebodohan pun hancur kini. Purusha kini menyadari bahwa kesadaran-
Nyalah yang memberi kekuatan pada Prakriti untuk menyenangkan-Nya,
memberi-Nya kenikmatan, menyelubungi-Nya, dan akhirnya membelenggu-
Nya. Ia kini menikmati kebahagiaan yang merupakan sifat sejati-Nya, dan
tetap tinggal bebas dan penuh kebahagiaan selamanya (Anandam). Semua
bentuk-bentuk pemikiran sirna untuk selamanya dalam Nirvikalpa
Samãdhi. Benih-benih keinginan dan VĀsana serta Samskara hangus
sepenuhnya; inilah yang disebut dengan Nirbija Samãdhi.

Sang Yogi yang berada dalam Status Tertinggi ini kehilangan seluruh
kesadaran eksternalnya, demikian pula halnya dengan semua kesadaran
dualitas atau kebhinekaannya; beliau bahkan kehilangan ide tentang aku-
nya (Asmita) dalam Asamprajñata Samãdhi. Inilah Status Tertinggi
dimana Sang Purusha berada mantap dalam Svarupa-Nya.

TEKUNLAH WAHAI PENEKUN SEJATI!

Jangan berkhayal bahwa Anda seorang Uttama Adhikari, dimana Anda


cukup duduk bermeditasi dan langsung tercerap dalam Samãdhi. Anda akan
mengalami kejatuhan yang mengenaskan. Setelah berlatih bertahun-tahun
sekalipun Anda tidak akan memperoleh suatu kemajuan yang berarti, karena
jauh di dalam lubuk-hatimu masih bersembunyi keinginan-keinginan dan
keserakahan, Vritti-vritti yang berada jauh dari jangkauan Anda.

Tekunlah! Lakukanlah analisis yang cermat terhadap hati dan pikiranmu.


Walau Anda seorang penekun kelas wahid sekalipun, anggaplah diri hanya
sebagai penekun kelas terendah dan latihlah selalu kedelapan tahapan
Sadhana, seperti yang diuraikan oleh Raja Yoga. Semakin banyak waktu
yang Anda habiskan pada dua langkah pertama, yakni Yama dan Niyama,
semakin sedikit nantinya waktu yang akan Anda perlukan untuk mencapai
kesempurnaan meditasi. Memang persiapan membutuhkan waktu cukup
lama. Tapi jangan menunggu hingga sempurna dalam Yama dan Niyama,
sebelum melangkah menuju Āsana, Pranayama dan meditasi.

Cobalah meraih kemantapan dalam Yama dan Niyama, dan pada saat yang
bersamaan latihlah Āsana, Pranayama dan meditasi sebanyak Anda bisa.
Dengan demikian keberhasilan akan lebih cepat tercapai. Andapun akan

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 125
lebih cepat tercerap ke dalam Nirvikalpa Samãdhi dan mencapai Kaivalya
Moksha. Bagaimana kondisi tertinggi tersebut?; tak seorangpun pernah
mengutarakannya, karena sesungguhnya terlampau terbatas kata-kata guna
mengungkapkannya.

Berlatihlah dengan tekun, wahai penekun sejati, realisasikanlah Sang


Diri-Jati. Semoga engkau bersinar laksana seorang Yogi sempurna
dalam kehidupan ini!



Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari edisi website The Divine Life
Society yang telah di-update pada hari Minggu 14 Juli 1996.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 126
BUTIR-BUTIR MUTIARA YOGA-SAMÃDHI YANG TERCECER.

”Batin yang tidak tercela, tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya,
tidak ada yang diharapkannya, jernih tanpa noda, tidak dapat
dihancurkan; Cetana seperti itu tanpa objek, tiada lagi ia merasakan
badan, bebas dari Catur Kalpana. Catur Kalpana adalah ‘tahu’,
‘diketahui’, ‘pengetahuan’ dan ‘mengetahui’. Semua itu tak adalagi bagi
Sang Yogiswara. Itulah yang disebut Samãdhiyoga. Ia juga adalah
Sadanggayoga, sebagai pengetahuan suci Sang Pandita, hingga
ditemukannya Sanghyang Wisesa. Sikap ke-yogiswara-an yang demikian
itu, terjaga oleh Dasasila”.

Dasasila dan Cetana.

Dalam paragraf  dari Wrhaspati Tattwa - 59 di atas, ada beberapa kata kunci
yang menarik untuk disimak lebih dalam lagi, yakni: Cetana, Catur
Kalpana, Sadangga-Yoga dan Dasasila.

Dasasila adalah sepuluh sikap-mental luhur yang mendasari prilaku Sang


Yogiswara. Dasasila, juga disebut sebagai ‘Pembangun Yoga’. Dasasila
merupakan dasar moralitas di dalam menjalani jalan spiritual.
Penerapannya amat menentukan sempurnanya keberhasilan seorang
sadhaka. Sebutan lain —yang mungkin lebih akrab di Nusantara—adalah
Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata, yang di dalam Yoga Sutra
disingkat Yama dan Niyama saja.

Cetana adalah ungkapan dalam bahasa Kawi, yang dalam bahasa


sanskertanya adalah Caitanya. Cetana berarti kesadaran spiritual tinggi
yang  dicapai oleh para Yogi Sempurna. Mendiang Shri Caitanya Prabhu
misalnya, amat dipuja oleh sampradaya Hare Krishna, dapat kita ambil
sebagai contoh dari penggunaan makna dari istilah Cetana ini.

Cetana adalah hakekat sejati, yang sesuai kesuciannya dengan dan dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan kesucian: Paramasiwa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. Kesuciannya ditentukan oleh kuat-
lemahnya pengaruh Maya. Paramasiwa Tattwa sepenuhnya bebas dari
pengaruh Maya, Siwa Tattwa masih dipengaruhi Maya, sedangkan
Sadasiwa Tattwa berada di antara keduanya. Disini, Paramasiwa-lah
yang dipandang sebagai Nirguna Brahman, sedangkan Sadasiwa adalah
Saguna Brahman, bila mengikuti peristilahan Advaita Vedanta.

Cetana dicapai melalui Leburnya Catur Kalpana.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 127
Serupa dengan paparan sloka Wrhaspati Tattwa tadi, Patanjali dalam Yoga
Sutra memerinci hanya tiga saja; ini diungkapkan dalam sutra I.41: “Bila
pusaran-pusaran (vritti) telah surut, maka batin menjadi jernih transparan
bagai sebuah kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati (grahana)
dan objek-objek yang diamati (grahya) mentransformasikan dirinya
menjadi apa adanya (samãpatti).”

Ungkapan yang amat mirip dengan paradigma itu pernah saya dengar dari
seorang Wiku, yang telah tiada kini, dengan ungkapan sebagai berikut:

"Manunggaling kang kinaweruhang, kang kinaweruhi, weruh lan


kaweruhi". Bilamana kita terjemahkan secara bebas, kira-kira ia menjadi:
"Bersatu-padunya antara yang mengetahui, yang diketahui, tahu dan
pengetahuan itu sendiri". Mungkin, dengan amat susah beliau
mengungkapkan fenomena batiniah itu; namun itulah yang mampu
terungkap melalui kata-kata.

Menyatupadukan Catur Kalpana berarti tercapainya Cetana. Inilah


idealisasi Samãdhiyoga dalam Wrhaspati Tattwa. Dan demi pencapaian
status Samãdhiyoga ini, dipaparkan enam langkah praktis yang disebut
Sadanggayoga: Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan
Samãdhi.

Sadanggayoga dalam Upanishad.

Beda dengan Ashtãnga Yoga-nya Patanjali, Sadanggayoga tidak lagi


menyebut Yama, Niyama dan Āsana, namun langsung melangkah dari
Prãnãyama. Disini seolah-olah Yama, Niyama dan Āsana sudah dirangkum
dan inklusif di dalam Dasasila. Sebagai tambahan, disini diperkenalkan
tahap Tarka yang tidak ditemukan di dalam Yoga Sutra. Bagaimana
gerangan status batin yang disebutkan dengan Tarka ini?

Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa Tarka itu bersih, jernih, damai


bagaikan akasa; tapi tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan angkasa
atau langit karena tanpa sabda —suara halus di dalam— sekalipun. Ia benar-
benar jernih dalam kesunyian, tanpa bentuk-bentuk pemikiran dan persepsi
apapun. Jelas ia bebas dari vicara maupun vikalpa. Penjelasan serupa juga
dapat kita temukan dalam pustaka Tattwa Jñana —sebuah sastrãgama
Nusantara lainnya. Bilamana Tarka ini yang mendahului Samãdhi, tentu
Samãdhiyoga yang dicapai adalah Nirvikalpa Samãdhi, menurut istilah
yang digunakan oleh Patanjali.

Sistem yogasadhana yang juga menggunakan istilah Tarka adalah yang


dikemukakan di dalam Maitri Upanishad. Disana disebutkan: “Perintah
untuk melaksanakan panunggalan ini adalah demikian; Prãnãyama,
Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.” Maitri Upanishad 
menyebut langkah-langkah yang sama dengan Sadanggayoga-nya
Wrhaspati Tattwa. Sementara itu, di dalam sebuah ulasannya, Swami Satya
Prakas Saraswati menginterpretasikan Tarka hanya sebagai kontemplasi

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 128
atau perenungan, yang secara mendasar berbeda dengan apa yang
dipaparkan dengan jelas di dalam Wrhaspati Tattwa. Perenungan (vicara)
masih menggunakan objek, baik berwujud maupun tanpa-wujud; atau, bila
Rshi dalam Maitri Upanishad memang memaksudkannya demikian, maka
Samãdhi yang dimaksudkan disini masih merupakan Savikalpa Samãdhi,
menurut peristilahan Yoga Sutra.

Persepsi yang Bukan-Persepsi.

Bila kita cermati keempat aspek fungsional dari Catur Kalpana, kita dapat
menangkap bahwa apa yang disebutkan sebagai Catur Kalpana adalah
‘proses dan unsur pencerapan’; mungkin istilah ini lebih akrab dengan
telinga kita. Secara fungsional, semua itu dikerjakan oleh ‘persepsi’. Secara
menyeluruh sloka tadi membicarakan hanya dua proponen batin tertinggi
saja, yakni: kesadaran dan persepsi; dimana persepsi yang dimaksudkan
disini bukanlah cerapan melalui organ-organ indriawi, seperti yang
umumnya dikenal. Ia cerapan murni, tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau
tak-suka, tanpa pengharapan pun penolakan, tidak membenarkan pun
menyalahkan atau bentuk-bentuk penghakiman lain layaknya yang
dilakukan oleh campuran pikiran dan perasaan. Ia melampaui rasio dan
emosi —yang kontroversinya malah menimbulkan konflik internal yang
tiada henti. Ia tanpa dualitas. Ia juga kita kenal dengan sebutan intuisi.

Secara teknis, baik pikiran, apalagi perasaan atau emosi, tak lagi mengotori
suasana batin Sang Yogiswara. Mereka secara praktis telah gugur,
tertinggalkan dalam tataran yang lebih rendah, bersamaan dengan
terlaluinya Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana dan Dhyãna. Hingga
Dhyãna, pikiran telah tersublimasikan dan bercahaya sebagai Buddhi,
sebagai kecerdasan kosmis, sebagai intuisi.

Fenomena ini amat berhampiran dengan fenomena-fenomena alami dalam


suatu proses pendakian sebuah gunung. Awan, kabut dan mendung hanya
masih berpengaruh hingga ketinggian tertentu saja. Selebihnya udara jernih,
tenang; angin, awan, hujan, badai telah tertinggal di bawah. Bukan karena
mereka ditenangkan atau kebetulan tak ada angin berhembus, namun semua
itu hanya berlangsung pada tataran dengan ketinggian tertentu saja. Bila
Anda pernah mendaki gunung di daerah tropis yang cukup tinggi —
katakanlah 3000 meter ke atas— pada musim penghujan fenomena ini akan
jelas teramati. Pada ketinggian tersebut matahari bersinar terang, langsung
menyimari bumi tanpa halangan. Dari sana dapat dilihat dengan amat jelas
betapa awan berarak searah dengan hembusan angin. Ada bagian bumi yang
digelapi untuk beberapa saat, untuk kemudian terang kembali bersama
dengan berlalunya awan di atasnya. Terang, gelap, terang, gelap....dan
seterusnya; demikianlah kondisi dataran rendah yang masih berada di
bawah awan.

Demikian pula halnya dengan pendakian spiritual. Pada ketinggian tertentu,


Rajas dan Tamas telah kehilangan kekuatannya bagi Sang Yogi. Merekalah

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 129
kekuatan Prakriti yang mengombang-ambingkan manusia dalam berbagai
bentuk pemikiran dan perasaan. Manakala yang satu-satunya tertinggal
adalah Sattvam, Buddhi-pun menjadi bercahaya. Citta atau kesadaran
murni dengan leluasa menyinari batin Sang Yogi. Bagi yang telah terliputi
Buddhisattvam, pengaruh dunia sudah sedemikian tipis, walaupun secara
kasat-indria beliau masih tampak seperti biasa di dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya.

Tanpa perumpamaan pendakian gunung tadi, mungkin agak sulit bagi kita
untuk membayangkan dan mengungkapkan kondisi kesadaran yang
terbebas samasekali dari persepsi, murni, jernih bak kristal dan damai itu,
dengan kata-kata. Mungkin itulah sebabnya mengapa agak sulit bagi kita
untuk menemukan paparan yang jelas tentangnya, baik secara lisan maupun
tulisan. Ia jauh lebih mudah dirasakan lewat praktek langsung dalam
sadhana, daripada dibicarakan. Praktek langsung memberi pengalaman
langsung yang amat berharga. Yoga adalah praktek langsung, secara empiris,
bukan sekedar himpunan berbagai konsepsi-konsepsi spiritual-filosofis saja.

Menurut Tattwa Jñana, sesuai dengan kandungan Triguna-nya, makhluk


hidup dapat dibedakan atas tiga kelompok besar, yakni: Buddhisattvam,
Buddhirajas dan Buddhitamas. Kandungan Triguna inilah yang
menentukan jasad apa yang dikenakannya kini dan nanti. Binatang dan
tetumbuhan, Buddhi-nya tidak bercahaya akibat didominasi oleh gelapnya
Tamas.

Warisan Luhur yang sangat patut dibanggakan.

Kita sebetulnya telah diwarisi metode-metode luhur yang bermutu tinggi,


yang tak kalah, bahkan siap bersanding dengan metode-metode yang datang
belakangan, apakah itu dalam kemasan Yoga, maupun Meditasi. Bila kita
pandai-pandai mengemas dan tak cepat berputus-asa di dalam menggali dan
menggali serta menghimpun ceceran mutiara-mutiara Yoga-Samãdhi
Nusantara, kitapun dapat menjadikannya ‘komuditas ekspor’. Yang pasti,
kita tak mesti senantiasa jadi bulan-bulanan dan konsumen empuk bagi
pemasaran komuditas spiritual impor. Pengaruh Sankhya, ternyata terasa
amat kental, justru dalam ajaran Yoga Nusantara. Yoga telah dikembangkan
jauh ke akarnya (Sankhya Darsana) oleh para Yogiswara Nusantara; dan
atas fakta ini, kita boleh berbangga.

Harapan saya, semoga tulisan pendek ini berfungsi sebagai penggugah


nurani kita. Penggugah, untuk mencintai kembali apa yang menjadi warisan
kita semua tanpa kecuali. Keagungan Borobudur dan Prambanan, hanyalah
kulit terluar dari budaya spiritual-religius Nusantara yang menyentak dan
membeliakkan mata dunia. Isinya masih ada, masih tersimpan rapi di bumi
Nusantara. Ia kini sedang menunggu untuk dijamah dan ditampilkan lagi
oleh para pewarisnya. Mengakhiri tulisan ini saya sajikan sekelumit sloka
dari pustaka kuno Tattwa Jñana berikut.

Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 130
“Inilah tujuan Sanghyang Jñana Tattwa yang ditujukan pada Anda
sekalian, yang menyebabkan kembali ke asal apabila Anda tahu dan dapat
merasakan intisarinya. Memahami Sanghyang Jñana Tattwa dengan baik,
dan dengan kesadaran melaksanakan Prayogasandhi di bawah penerangan
Samyagjñana, yang berdasarkan Tapa, Brata, Yoga dan Samãdhi,
merupakan obat dari Atma yang sengsara”.

Denpasar, 7 Oktober 1999.



Kidung Kelepasan Patanjali


Pustaka Pribadi Notaris Herman AALT Tejabuwana Page 131

You might also like