You are on page 1of 154

ISSN: 0854-915X No.

13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003

JURNAL

TEKNODIK
Website: http://www.pustekkom.go.id

• Model Pendidikan
Terbuka Jarak Jauh

• Belajar Berbasis
Aneka Sumber

• Belajar Mandiri

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


PUSAT TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN
INFORMASI PENDIDIKAN
2003

No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 11
Daftar Isi:

DAFTAR ISI ............................................................................ 2

EDITORIAL ............................................................................. 3

SAJIAN:
• Virtual Learning/Virtual Classroom sebagai Model
Pendidikan Jarak Jauh: Konsep dan penerapannya
(Dr. Anung Haryono, M.Sc.& Drs. Abubakar Alatas, M.Sc.) .... 5
• Pemanfaatan Teknologi dalam Evaluasi Hasil
Belajar Pendidikan Terbuka Jarak Jauh (PTJJ)
(Dr. Suci M. Isman dan Ir. K.A. Puspitasari, M.Ed.) ............... 19
• Upaya Peningkatan Motivasi Berprestasi dalam Pembelajaran
di SLTP dan SMU Terbuka (Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd.) .......... 38
• Belajar Berbasis Aneka Sumber (Bebas) Sebuah
Pemikiran tentang Peluang dan Tantangannya
(Drs. Mohammad Tahmid) ................................................... 59
• Guru dan Media Pembelajaran
(Drs. Ade Koesnandar, M.Pd.) ............................................. 75
• Sistem Belajar Mandiri: Dapatkah Diterapkan dalam Pola
Pendidikan Konvensional? (Uwes A. Chaeruman, S.Pd.) ....... 82
• Menata Ulang Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi
(Once Kurniawan) ............................................................... 96
• Validitas dan Reliabilitas Tes: Deskripsi Konsep dan Aplikasinya
dalam Evaluasi Pendidikan (Drs. Jafar Ahiri, M.Pd.) .............. 115
• Singkatan dan Akronim dalam Media Chatting dan
SMS (Analisis Komunikasi Teks dalam Internet dan
Telepon Selular) (Lydia Irawati, S.S. ) ....................................136

ACUAN PENULISAN ............................................................... 155

2 Website: http://www.pustekkom.go.id
Editorial

eiring kemajuan teknologi, perkembangan pendidikan terbuka/

S jarak jauh makin menjadi trend termasuk di Indonesia. Banyak


pakar dan praktisi pendidikan melakukan penelitian, pengkajian,
dan pengembangan model pendidikan terbuka jarak jauh berbasis
teknologi. Anung Haryono dan Abubakar Alatas melakukan pengkajian
virtual learning/virtual classroom sebagai model pendidikan jarak jauh.
Menurutnya virtual learning memiliki sejumlah potensi terutama
kemudahan interaksi guru dengan siswa atau sesamanya tanpa terikat
waktu dan tempat belajar. Namun model ini membutuhkan teknologi
internet yang kini masih relatif mahal.

Suci M. Isman dan KA Puspitasari melakukan pengkajian pemanfaatan


teknologi dalam evaluasi hasil belajar pada sisitem pendidikan terbuka
jarak jauh. Contoh kasus di Universitas Terbuka menurutnya masih
terbatas menggunakan teknologi scanner dan LAN (local Area Network).
Teknologi ini sangat membantu dalam pemprosesan dan komunikasi
hasil ujian. Sementara itu Nurdin Ibrahim menekankan perlunya upaya
peningkatan motivasi berprestasi pembelajaran dalam model pendidikan
terbuka jarak jauh tingkat SLTP (SLTP Terbuka) dan SLTA (SMU
Terbuka).

Belajar Berbasis Aneka Sumber (BEBAS) merupakan proses belajar


alternatif bagi mereka yang tak mampu masuk ke dalam lembaga
pendidikan konvensional. Menurut Tahmid, dengan BEBAS seorang anak
didik dapat belajar dengan bantuan sumber belajar apa saja, belajar dari
siapa saja, belajar kepada siapa saja, belajar tentang apa saja, dan
belajar untuk tujuan apa saja.

Editorial No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 3


Ade kusnandar melakukan pengkajian pentingnya guru memanfaatkan
media dalam pembelajaran. Dalam hal ini ia menguraikan enam alas an
keengganan guru menggunakan media. Cara yang paling jitu mengatasi
semua alasan itu adalah perubahan sikap guru.

Menurut Uwes, sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih
menitikberatkan pada peran otonomi belajar kepada pebelajar. Pendidikan
dengan sistem belajar mandiri dapat menghasilkan pebelajar mandiri.
Pada dasarnya, sistem belajar mandiri bukan hanya milik pendidikan
jarak jauh. Tapi, dapat diterapkan dalam semua pola pendidikan, termasuk
dalam pola pendidikan konvensional.

Lulusan perguruan tinggi dengan kadar pengetahuan dan


keterampilannnya banyak yang tidak siap kerja atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. Pemecahan ini menurut Once
Kurniawan perlu penataan ulang proses pembelajaran di perguruan tinggi
secara menyeluruh mulai dari paradigma perguruan tinggi, SDM, content
pembelajaran, dan proses pembelajaran itu sendiri. Sementara itu Jafar
Ahiri melakukan pengkajian tentang validitas dan reliabilitas tes secara
konseptual dan aplikasinya dalam pendidikan.

Lydia Irawati menganalisis tentang Singkatan dan Akronim yang sering


digunakan dalam Media Chatting dan SMS sebagai upaya memudahkan
komunikasi. Pembentukan singkatan dan akronim ini bisa menggunakan
pola yang telah baku atau pola baru yang belum ada. Yang penting
menghindari keambiguan, karena mengandung beberapa makna.

Selamat membaca. (os).

uuuuuuuuuuuuu

4 Editorial Website: http://www.pustekkom.go.id


VIRTUAL LEARNING/VIRTUAL CL ASSROOM
CLASSROOM
SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN JARAK JAUH:
KONSEP DAN PENER
DAN AP
PENERAP ANNY
APANNY A *)
ANNYA
Oleh: Anung Haryono dan Abubakar Alatas**)

Abstrak
Kelas virtual akan menjadi trend teknologi pembelajaran masa depan.
Pemanfaatan teknologi pembelajaran seperti video conference, audio
conference, e-learning, CD interaktif, dll telah dimulai di sejumlah institusi
Pendidikan. Secara konseptual, kelas virtual memiliki sejumlah potensi antara
lain; memberikan peluang bagi siswa untuk berinterkasi dengan guru, teman,
maupun bahan belajar tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Demikian pula guru
melalui internet dapat mengontrol kegiatan belajar siswa kapan saja diperlukan.
Selain itu, kelas virtual dapat memberikan sajian bahan belajar yang menarik
sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Namun di pihak lain, kelas virtual
juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain; penggunaan internet memerlukan
imprastruktur yang memadai, saat ini masih relatif mahal, dan komunikasi
melalui internet sering kali lamban. Oleh karena itu penerapan kelas virtual di
Indonesia perlu dilakukan secara bertahap. Sekolah-sekolah di perkotaan yang
telah mempunyai akses ke internet dapat memulai terlebih dahulu.

PENDAHULUAN
Banyak orang di seluruh penjuru dunia mengakui bahwa Pendidikan Jarak
Jauh (PJJ) dapat digunakan sebagai salah satu cara yang efektif untuk
mengatasi permasalahan pendidikan yang sulit diatasi dengan cara
konvensional. Permasalahan itu misalnya banyaknya anak usia sekolah
yang tidak dapat mengikuti pendidikan konvensional karena tinggal di
tempat yang jauh dari sekolah, banyaknya anak maupun orang dewasa
yang ingin memperoleh pendidikan tetapi tidak dapat mengikuti
pendidikan konvensional karena harus bekerja mencari nafkah pada jam

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, Hotel Indonesia


Jakarta, 18 - 19 Juli 2002.
**) Dr. Anung Haryono, M.Sc., CAS., adalah Deputy Director SEAMEO SEAMOLEC,
Jakarta, Drs. Abubakar Alatas, M.Sc., adalah staf SEAMEO SEAMOLEC, Jakarta.

Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 5


jam sekolah, banyaknya orang yang pada waktu mudanya tidak
mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan dan sekarang ingin
mendapatkan kesempatan kedua tetapi tidak dapat meninggalkan
pekerjaannya, banyaknya orang yang ingin mendapatkan pendidikan tetapi
tidak dapat karena cacat badan, sakit, tinggal di penjara, tidak dapat
meninggalkan rumah karena banyaknya urusan dan tanggung jawab
keluarga, dan sebagainya.

Makalah ini membahas mengenai pengertian PJJ, efektivitas dan


kelemahan sistem yang digunakan selama ini, timbulnya keinginan untuk
mengembangkan kelas virtual sebagai cara baru dalam
menyelenggarakan sistem PJJ, serta potensi, cara menggunakan, dan
kelemahan model PJJ melalui internet ini.

DEFINISI PENDIDIKAN JARAK JAUH


Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) berkembang sudah lama sebelum kita di
Indonesia menggunakannya. Banyak definisi yang digunakan untuk PJJ.
JW. Keegan melakukan penelitian mengenai praktek penyelenggaraan
dan definisi PJJ yang digunakan di berbagai negara di dunia. Dia
melakukan analisis dan menelaah berbagai definisi yang hampir sama,
mulai dari definisi Doamen (1967), Meckenzie. Christensen; dart Rigby
(1968); Undang-undang Pendidikan Perancis (1971); Peters (1973),
Holmberg (1977) dan membuat sintese mengenai definisi-definisi
tersebut. Menurut dia ada enam unsur dasar pengertian (six defining
elements) Pendidikan Jarak Jauh yang dapat diketengahkan, yaitu:
• Terpisahnya guru dan siswa. Karakteristik inilah yang membedakan
PJJ dari pendidikan konvensional.
• Adanya lembaga yang mengelola PJJ. Hal ini yang membedakan
orang yang mengikuti PJJ dari orang yang belajar sendiri (self study).
• Digunakannya media (biasanya media tercetak) sebagai sarana untuk
menyajikan isi pelajaran.
• Diselenggarakannya sistem komunikasi dua arah antara guru dan
siswa atau antara lembaga dan siswa sehingga siswa mendapatkan
manfaat darinya. Dalam hal ini siswa dapat berinisiatif untuk
terjadinya komunikasi itu.

6 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


• Pada dasarnya PJJ itu bersifat pendidikan individual. Pertemuan
tatap muka untuk melengkapi proses pembelajaran berkelompok
maupun untuk sosialisasi dapat bersifat keharusan (compulsory),
pilihan (optional), ataupun tidak ada sama sekali tergantung kepada
organisasi penyelenggaranya.

Definisi tersebut berlaku bagi berbagai sistem atau model PJJ yang
menggunakan nama yang berbeda-beda seperti Correspondence School,
Distance Learning, Open Learning. Open Education, Open University,
Extentiori Study, Home Study, Independent Learning, dan masih banyak
lagi istilah lain. Definisi itu bahkan juga masih berlaku bila diterapkan
pada sistem PJJ baru yang sekarang sedang banyak diminati orang
yaitu On-line Learning, Virtual Learning atau e-Learning.

JARAK TRANSAKSI DAN CARA


MENJEMBATANINYA
Sebelum pembahasan mengenai pendidikan jarak jauh melalui internet
ini dilanjutkan kiranya perlu dibahas terlebih dahulu mengenai arti jauh
dalam istilah “pendidikan jarak jauh” dan bagaimana cara menjembatani
jarak itu. Menurut Moore (1983) jarak antara siswa dan guru dalam
pendidikan jarak jauh hanya dipandang dari segi jarak fisik dan geografis
saja melainkan harus dilihat sebagai jarak komunikasi dan psikologis
yang disebabkan karena keterpisahan siswa dari guru. Dewey dalam
Moore (1903) menjelaskan bahwa transaksi pendidikan merupakan
interaksi antara individu; lingkungan, dan perilaku yang terjadi dalam
situasi tertentu. Transaksi pendidikan dalam sistem PJJ terjadi antara
siswa dan guru dalam situasi yang bersifat khusus yaitu keterpisahan
mereka satu dari lainnya. Jarak transaksi dalam sistem pendidikan jarak
jauh merupakan jarak komunikasi dan jarak psikologis antara siswa dan
guru. Jarak transaksi ini dapat mengakibatkan perbedaan persepsi
mengenai konsep yang dijelaskan oleh guru melalui media dan
pemahaman siswa mengenai konsep itu. Oleh karena itu jarak itu perlu
dijembatani supaya perbedaan persepsi itu berkurang atau hilang.

Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 7


Menurut Moore (1983, 1996) jarak transaksi itu dapat dijembatani melalui
komunikasi dan percakapan (dialogue). Dialog atau komunikasi
pembelajaran dapat mengurangi jarak transaksinya. Artinya makin mudah
dan makin sering guru dan siswa berinteraksi makin kecil kemungkian
terjadinya kasalahpahaman dalam menafsirkan isi pelajaran. Jadi dalam
sistem PJJ ini adanya interaksi aktif antara siswa dan guru itu sangat
penting supaya proses belajar dapat terjadi.

Moore (1983, 1996) juga mengatakan bahwa media yang digunakan untuk
menyajikan isi pelajaran itu sangat mempengaruhi ada tidaknya
komunikasi, dialog, atau interaksi antara guru dan siswa. Kalau media
yang digunakan adalah TV, radio, atau buku kesempatan siswa untuk
berkomunikasi, berdialog, atau berinteraksi dengan guru sangat kecil.
Kalau media yang digunakan adalah audio conference, video conference,
atau internet kesempatan bagi siswa untuk berkomunikasi, berdialog,
atau berinteraksi dengan guru secara relatif jauh lebih besar. Dengan
perkataan lain, bila media yang digunakan itu internet jarak transaksi
antara siswa dan guru kecil dan karenanya komunikasi dapat sering
dilakukan sehingga kesalahpahamanan penafsiran isi pelajaran semakin
kecil.

USAHA YANG TELAH DILAKUKAN


Sampai saat ini media pembelajaran yang masih banyak digunakan dalam
sistem pendidikan jarak jauh terutama adalah media cetak berupa bahan
belajar mandiri yang biasa disebut modul. Media ini seringkali ditunjang
dengan media radio, TV, kaset audio, dan kaset video.

Seperti yang telah dibicarakan pada bagian sebelumnya media tersebut


di atas kurang memberikan kesempatan kepada siswa dan guru untuk
saling berinteraksi, karena itu menyebabkan adanya jarak transaksi yang
besar. Artinya media tersebut kurang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berkomunikasi, berdialog, atau berinteraksi dengan guru.
Akibatnya siswa yang mendapatkan kesulitan dalam memahami isi
pelajaran tidak dapat menanyakan kesulitan itu kepada guru. Dengan

8 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


demikian kalau siswa salah dalam menafsirkan isi pelajaran, kesalahan
itu akan disimpannya dan dibawanya terus sebelum ada orang yang
memberi penjelasan mengenai penafsiran yang benar.

Apakah usaha yang dilakukan untuk menjembatani jarak tersebut? Telah


banyak usaha yang dilakukan untuk membantu siswa dalam mengatasi
kesulitan belajar. Usaha itu antara lain berupa layanan bantuan belajar
melalui tutorial. Dalam kegiatan tutorial ini guru atau tutor memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menanyakan atau mendiskusikan
kesulitan belajar yang mereka hadapi. Guru akan memberikan bantuan
dalam memecahkan masalah itu dengan memberikan penjelasan atau
mendiskusikannya dengan siswa yang lain.

BEBERAPA JENIS TUTORIAL DAN


KELEMAHANNYA
Tutorial dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya tutorial tatap
muka, tutorial melalui surat-menyurat, turorial melalui telepon, tutorial
melalui audio konference atau video conference.

• Tutorial tatap muka


Siswa dan guru atau tutor bertemu muka secara berkala untuk
memberikan kesempatan kepada siswa menanyakan kesulitan yang
dihadapi siswa. Tutorial seperti ini sangat bagus untuk mengurangi
jarak transaksi antara guru dan siswa. Dengan demikian
kesalahpahaman dalam menafsirkan isi pelajaran dapat diperkecil.

Kekurangan yang ada dalam tutorial semacam ini:


- Tutorial tidak dapat dilakukan terlalu sering. Makin sering
dilakukan makin mahal biayanya. Biasanya tutorial ini diadakan
seminggu sekali, sebulan sekali, atau bahkan ada yang hanya
diselenggarakan dua atau tiga kali dalam satu semester. Hal ini
menyebabkan siswa harus menunggu lama sebelum mereka
dapat mengutarakan kesulitannya kepada guru atau tutor.

Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 9


- Tutorial seperti ini biasanya bukan merupakan keharusan.
Akibatnya banyak siswa yang memilih tidak hadir karena
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat individual. Banyak yang
tidak hadir karena aiasan waktu, biaya transpor, atau alasan
lain.

• Tutorial melalui telepon dan surat


Tutorial jenis ini tidak banyak dimanfaatkan siswa, pada hal biayanya
relatif murah dan mudah melakukannya. Kendalanya mungkin tidak
semua siswa mempunyai telepon, atau sungkan untuk menanyakan
pelajaran kepada guru melalui telepon atau surat. Rasa sungkan ini
mungkin dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Di samping itu tutorial
melalui surat jawabannya seringkali datangnya sangat lambat.

• Tutorial melalui konferensi audio atau video


Tutorial ini jarang digunakan karena biayanya relatif mahal.

SISTEM PEMBELAJARAN MELALUI


INTERNET
Dunia telah mengakui bahwa sistem PJJ yang diselenggarakan selama
ini merupakan wahana belajar siswa yang cukup efektif. Lulusan PJJ
dapat bersaing dengan lulusan sekolah konvensional di pasar kerja di
masyarakat. Banyak juga lulusan PJJ yang berhasil memasuki dan
meyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dalam kedudukan
yang sama seperti lulusan sekolah konvensional. Namun kekurangan
yang ada dalam penyelenggaraan sistem PJJ yang selama ini
berlangsung dan kemajuan di bidang teknologi informasi telah mendorong
banyak orang untuk menjajagi efektifitas teknologi pembelajaran melalui
internet yang diduganya dapat meningkatkan proses belajar dalam sistem
PJJ. Dalam sistem pembelajaran melalui intemet isi pelajaran
disampaikan secara on-line, siswa belajar, berdiskusi, bertanya, dan
mengerjakan soal latihan secara on-line. Karena itu sistem pembelajaran
ini seringkali disebut pembelajaran secara on-line. Dalam sisten
pembemlajaran ini semua proses pembelajaran dapat dilakukan tanpa

10 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


menuntut siswa hadir di ruang kelas tertentu, tetapi mereka dapat
berinteraksi satu sama lain untuk mendiskusikan pelajaran seperti yang
terjadi di kelas biasa. Karena dalam sistem pembelajaran ini tidak ada
ruang kelas atau kampus secara fisik maka sistem ini seringkali disebut
virtual learning, virtual classroom, atau virtual campus (Potter, 1997).
Selain dari pada itu, karena proses pembelajaran, dalam sistem ini
dilaksanakan melalui komunikasi elektronik dengan menggunakan
intemet, maka sistem ini juga sering disebut e-learning.

POTENSI VIRTUAL LEARNING DALAM


PROSES PEMBELAJARAN
Virtual Learning ini banyak diminati orang karena potensi yang dimilikinya
untuk membuat proses belajar menjadi efektif.
• Potensi yang utama adalah dapat memberikan peluang bagi siswa
untuk berinteraksi dengan guru, dengan teman, maupun dengan bahan
belajarnya.
- Siswa dapat berkomunikasi dengan gurunya melalui e-mail.
Komunikasi ini bersifat orang perorang. Siswa dapat mengajukan
pertanyaan kapan saja dia mau. Guru akan menjawab secepat
mungkin sesuai dengan waktu yang dimilikinya. Cara
berkomunikasi seperti ini jauh lebih cepat dari pada komunikasi
yang dilakukan melalui pertemuan tatap muka.

- Siswa dapat berkomunikasi dengan guru dan teman-temannya


secara bersama-sama melalui papan buletin. Dalam forum ini
pertanyaan seorang siswa kepada guru dapat dibaca oleh teman-
temannya yang mengambil pelajaran yang sama. Jawaban guru
juga dapat dibaca oleh siswa lain yang tidak mengajukan
pertanyaan. Dalam proses ini guru juga dapat melontarkan
pertanyaan tadi kepada siswa yang lain. Siswa yang lain dapat
memberikan jawaban yang akan dibaca oleh seluruh anggota
kelas. Dengan demikian sesuatu persoalan dapat dipecahkan
bersama antara guru dan semua siswa di dalam “kelas virtual-
nya”.

Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 11


Komunikasi antara siswa dan guru atau antara siswa dengan
siswa lain itu dapat dilakukan secara tidak bersamaan waktu (a-
synchronous) maupun secara bersamaan waktu (synchronous).
Komunikasi melalui e-mail dan papan buletin seperti yang
diutarakan di atas dilakukan secara tidak bersamaan waktu.
Pengiriman dan penerimaan informasi tidak dilakukan pada waktu
yang sama.

Komunikasi yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan


(synchronous) dapat dilaksanakan melalui forum diskusi secara
on-line. Diskusi semacam itu dilakukan menurut jadwal waktu
yang disepakati. Dengan demikian pada waktu yang sama semua
peserta diskusi akan membuka internetnya. Masing-masing akan
dapat membaca informasi yang masuk dan pada waktu itu juga
akan dapat memberikan tanggapan. Diskusi semacam ini akan
sama menariknya dengan konferensi melalui audio atau video.
Hanya biayanya relatif lebih murah.

- Komunikasi antara siswa dengan isi pelajaran. Siswa akan terbiasa


untuk mempelajari sendiri bahan belajar yang disajikan secara
on-line. Karena bahan belajar on-line itu biasanya disertai dengan
tes mandiri, siswa akan dapat menguji kemajuan belajar dirinya
sendiri. Bila siswa memerlukan pengayaan bahan belajar siswa
juga dapat mencari sumber bacaan yang sesuai melalui internet.
Hal tersebut akan mernbiasakan siswa mencari informasi dan
sumber belajar sendiri, tidak menunggu diberikan oleh guru. Karena
itulah proses pembelajaran on-line ini sering kali disebut juga
resource based learning atau belajar berbasis sumber.

• Guru dapat mengontrol aktivitas belajar siswa melaiui internet. Guru


akan dapat melihat kapan siswa belajar, topik apakah yang dipelajari,
berapa lama ia mempelajarinya, berapa kalikah ia mempelajari ulang
topik itu. Guru juga dapat melihat apakah siswa mengerjakan latihan
soal setelah selesai mempelajari topik tertentu. Berapa banyak soal
yang dapat dikerjakan dengan betul. Berapa sekornya dan
sebagainya.

12 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


• Virtual learning dapat menyajikan pelajaran dengan cara yang
menarik. Merrill dalam Reigeluth (1983) mengemukakan bahwa dalam
mengajar ada empat langkah utama yang dilakukan guru (1)
pemberian penjelasan, (2) pemberian contoh, (3) pemberian latihan
(exercise), dan (4) pemberian umpan balik atau feedback yang
berfungsi sebagai reinforcement.

Keempat langkah ini dapat diterapkan dengan mudah dalam penyajian


pelajaran melalui internet. Dalam memberikan penjelasan dan contoh,
internet dapat menggunakan gambar, diagram, chart, suara, dan juga
gerakan. Kalau dalam memberikan penjelasan digunakan, kata, atau
istilah, atau konsep yang umum dikenal oleh siswa, siswa dapat
meng-klik kata, istilah, atau konsep itu dan akan muncul paparan
yang dengan mudah dapat dipelajari siswa. Setelah mempelajari
paparan itu siswa akan dengan mudah kembali ke pelajaran semula.
Dengan cara ini interaksi antara siswa dan bahan belajar dapat
berlangsung secara aktif.

Pada saat siswa mengerjakan latihan, siswa akan segera mengetahui


apakah jawaban yang diberikan betul atau salah. Karena program
on-line akan segera memberikan umpan baliknya. Dengan demikian
siswa akan gembira mendapatkan umpan balik itu dan akan
termotivasi untuk belajar lebih lanjut.

MENCIPTAKAN KELAS VIRTUAL


(VIRTUAL CLASSROOM)
Porter (1997) menyarankan, kalau kita akan menciptakan kelas virtual
kita harus mempertimbangkan berbagai hal supaya kelas virtual tersebut
dapat menjadi wahana proses belajar yang efektif
• Kelas virtual tersebut harus dilengkapi dengan sumber belajar yang
pada saat diperlukan siswa telah tersedia dan mudah diakses.
Andaikan sumber belajar itu tidak dapat disediakan, penyelenggara
kelas virtual tersebut harus dapat menunjukkan di mana sumber
belajar itu dapat dicari. Kelas virtual itu harus dilengkapi dengan

Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 13


peralatan (tool) yang dapat digunakan untuk mencari dan
mengirimkan pesan kepada guru atau sesama siswa. Sebagai contoh,
bila siswa ingin mempelajari buku atau dokumen tertentu yang
berkaitan dengan pelajaran yang sedang dipelajari, bahan belajar
tersebut harus dapat diakses secara on-line. Bila tidak tersedia,
setidak tidaknya alat yang tersedia dapat digunakan untuk
mencarinya di sumber data yang lain.

Kelas virtual seringkali juga menggunakan alat komunikasi lain selain


internet, seperti fax, telepon, konferensi audio dan konferensi video.

• Kelas virtual tersebat harus dapat memberikan harapan kepada siswa


untuk terjadinya proses belajar dan menciptakan lingkungan yang
kondusif untuk belajar. Hal tersebut antara lain dapat diwujudkan
dengan merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik,
menyusun bahan belajar yang baik dan berkualitas tinggi, dan
memfasilitasi terjadinya komunikasi timbal balik antara siswa dan
guru.

• Kelas tersebut harus dapat menyatukan siswa dan guru supaya


mereka bersikap terbuka untuk berbagi informasi dan bertukar
gagasan. Mungkin siswa dan guru dalam kelas virtual tidak pemah
berjumpa satu dengan lainnya, tetapi kalau mereka sering berdialog
jarak komunikasi dan jarak psikologisnya (jarak transaksinya) menjadi
kecil. Dalam situasi seperti ini kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam menafsirkan isi pelajaran juga kecil.

• Kelas virtual harus menyediakan ruang untuk percobaan dan


penerapan. Dalam sistem konvensional siswa sering diberi
kesempatan melakukan percobaan, menghadapi workshop,
melakukan demonstrasi mengenai hasil pelaksanaan tugas-tugas
akademik, dan melakukan penyajian untuk mengungkapkan gagasan.

Kelas virtual juga perlu dirancang supaya siswa dapat berbagi (share)
hasil karya dan bertukar pengalaman dalam menerapkan
pengetahuan yang telah diperolehnya. Misalnya konferensi jarak jauh

14 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


atau desktop video conference dapat digunakan untuk ceramah atau
penyajian. Dapat juga dilakukan simulasi secara on-line mengenai
penerapan pengetahuan tentang prosedur melakukan sesuatu yang
baru dipelajari. Simulasi seperti ini harus dirancang untuk dapat
memperoleh umpan balik, sehingga dapat diketahui apakah penerapan
pengetahuan yang disimulasikan tersebut benar atau salah.

• Kelas virtual juga harus dapat memberikan penilaian terhadap kinerja


siswa. Dalam sistem pembelajaran ini harus dimasukkan evaluasi
kemajuan belajar siswa yang dapat dikerjakan secara on-line. Guru
dapat memeriksa dan memberikan penilaian secara on-line juga.
Pekerjaan siswa dan nilainya hanya dapat dilihat oleh siswa dan
gurunya saja. Siswa lain tidak dapat mengetahui hasil tes tersebut.
Dengan perkataan lain kerahasiaan hasil tes itu terjaga dengan baik.

Kelas virtual ini juga dapat memberikan tugas perorangan kepada


setiap siswa melalui e-mail. Pekerjaan siswa yang dikirimkan kepada
guru melalui e-mail diperiksa oleh guru, diberi komentar, dan diberi
nilai. Komentar dan nilainya dikirimkan ke siswa melalui e-mail.

• Kelas virtual harus dapat menjadi wahana kebebasan akademik.


Siswa itu perlu memperoleh kebebasan dalam melakukan percobaan,
dalam membuat asumsi, dalam berinteraksi dengan siswa lain tanpa
harus merasa takut dan cemas. Kelas yang efektif merupakan
wahana bagi siswa untuk mengekspresikan diri dengan cara yang
tepat, wahana untuk menempuh resiko sehingga dapat belajar lebih
banyak, wahana berbagi gagasan, dan wahana melontarkan
pertanyaan tanpa rasa takut.

KELEMAHAN KELAS VIRTUAL


Kelas virtual diciptakan dengan bantuan media internet. Ungkapan yang
mengatakan bahwa “tidak ada media terbaik” kiranya berlaku juga bagi
media internet. Media ini baik kalau digtmakan untuk tujuan yang tepat
dalam situasi yang tepat juga. Ada beberapa kelemahan yang perlu
dikemukakan dalam paper ini.
Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 15
• Penggunaan intemet memerlukan infrastuktur yang memadai
Internet dapat dioperasikan kalau ada jaringan listrik dan ada jaringan
telepon. Tempat-tempat yang belum mempunyai jaringan listrik dan
telepon tidak dapat menggunakan internet. Karena itu banyak tempat
di Indonesia yang belum dapat menggunakan internet.

• Penggunaan internet mahal


Untuk dapat menggunakan internet orang harus mempunyai komputer
yang dilengkapi dengan modem, tenaga listrik, fasilitas telepon, dan
terhubung dengan internet provider yang dapat diperoleh melalui
langganan. Harga komputer dan modemnya mahal tetapi membeli
sekali dapat dipakai dalam waktu yang lama.

Sedangkan biaya penggunaan saluran telepon, tenaga listrik dan


langganan provider internet harus dibayar setiap bulan. Biaya ini
untuk banyak orang seringkali tidak terpenuhi.

• Komunikasi melalui internet sering kali lamban


Arus komunikasi melalui internet sering kaki berjalan lamban. Lebih-
lebih kalau informasi itu mengandung gambar, chart, bagan, gambar
bergerak, suara dan sebagainya. Lambatnya arus informasi ini dapat
menyebabkan proses belajar menjadi membosankan.

APAKAH KELAS VIRTUAL DIPERLUKAN


DI INDONESIA?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Untuk menjawabnya memerlukan
pemikiran dan analisis yang mendalam dengan mempertimbangkan
berbagai faktor. Kalau melihat kondisi infrastruktur dan kondisi
perekonomian di Indonesia terutama di daerah pedesaan kelas virtual
ini mungkin memang belum waktunya dikembangkan dan digunakan.
Namun kalau kita melihat potensi yang dimiliki oleh kelas virtual sebagai
suatu sistem pembelajaran rasanya salah kalau kita tidak menggali
potensi itu dan memanfaatkannya sesuai dengan kondisi di Indonesia.

16 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


Demi rasa keadilan dan pemerataan kesempatan belajar kita memang
perlu mengutamakan pengembangan sistem pembelajaran yang sesuai
untuk daerah-daerah pedesaan dan daerah terpencil. Namun kalau
Indonesia tidak ingin tertinggal dalam penggunaan teknologi umtik
memajakan sistem pendidikan, kita harus juga memikirkan cara
penggunaan teknologi itu sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Kelas virtual mungkin dapat dikembangkan dan digunakan untuk


meningkatkan efektivitas proses pembelajaran di daerah perkotaan yang
infrastruktur dan kondisi perekonomian warganya dapat mendukung
pelaksanaan kelas virtual itu.

PENUTUP
Sungguhpun mempunyai berbagai kelemahan, sistem PJJ yang
digunakan untuk mengatasi problema pendidikan di Indonesia selama
ini ternyata cukup efektif. Sistem ini perlu terus dikembangkan dan
digunakan terutama untuk melayani kebutuhan pendidikan di daerah
pedesaan dan daerah perkotaan.

Kelas virtual yang mempunyai potensi yang tinggi untuk meningkatkan


efektititas proses pembelajaran dalam sistem PJJ, ternyata memerlukan
infrastruktur dan biaya yang mahal untuk melaksanakannya. Karena itu
mungkin pada saat ini biaya dapat dikembangkan untuk daerah perkotaan
saja. Supaya sistem pendidikan kita dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan teknologi barat dalam bidang pendidikan, pengembangan
dan penggunaan kelas virtual ini merupakan kebutuhan pengembangan
pendidikan yang tidak dapat kita abaikan.

Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 17


REFERENSI
Alatas, Abubakar (2002) Virtual Campus: a Project Proposal. Jakarta:
SEAMOLEC
Bullen Mark (2001) E-Learning and Internationalisation of Education,
Malaysian Journal of Educational Technology. Volume 1, Number l,
June 2001.Penang : META.
Buck, Martin (2000) Introduction to Web Course College.
Haryono, Anung (2000) Self Learning: The Concept and its Application
in ODL. Jakarta : SEAMOLEC
Moore, Michael (1983) A Theory of Apartness and Autonomy dalam
Keegan, Desmond Six Distance Education Theorist. ZIFF : Hagen
Moore, Michael G and Kearsley, Greg (1996) Distance Education: A
System View. Belmond : Wadworth Publishing Company
Porter, Lyhhette (1997) Virtual Classroom, Distance Learning with
the Internet. New York : John Wiley and Sons,Inc.
Regeluth, Charles M (1963) Instructional Design Theories and
Models:An Overview of their Current Status. London: Lawrence
Erlabaum Associates, Publisher
Suryo, Roy (2001) Information Technology and Communication
Technology for Open And Distance Learning. Jakarta :
Pustekkom-SEAMOLEC.

uuuuuuuuuuuuu

18 Anung Haryono & Abubakar Alatas: Virtual Learning Website: http://www.pustekkom.go.id


PEMANFAATAN TEKNOLOGI
DALAM EVALUASI HASIL BELAJAR
PENDIDIKAN TERBUKA JARAK JAUH (PTJJ) *)
Oleh: Suci M. Isman dan K.A. Puspitasari **)

Abstrak
Tulisan ini membahas pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan
Evaluasi Hasil Belajar (EHB) Pendidikan Terbuka Jarak Jauh (PTJJ)
dengan mengambil kasus Universitas Terbuka (UT) sebagai contoh. Di
dalam system PTJJ, EHB merupakan muara dari proses pembelajaran,
hasil EHB sering kali menjadi tolok ukur terpenting dalam menilai
keberhasilan belajar mahasiswa. Ada serangkaian kegiatan yang
dilakukan dalam pelaksanaan EHB, yaitu mencakup; pengembangan
soal ujian, penyiapan bahan ujian, penyelenggaraan ujian, pemrosesan
hasil ujian, serta pelaporan hasil ujian. Teknologi yang digunakan untuk
menunjang kegiatan tersebut saat ini masih terbatas pada scanner dan
LAN (local area network). Pemanfaatan teknologi ini sangat membantu
dalam pemrosesan hasil ujian serta proses pengkomunikasian hasil
ujian. Selanjutnya disarankan agar dilakukan perubahan sistem, bukan
sekedar perubahan perangkan keras dan lunak, namun perlu juga
perubahan pada struktur organisasi PTJJ.

PENDAHULUAN
Sistem Pendidikan Terbuka Jarak Jauh (PTJJ) sebenarnya mempunyai
aktivitas utama yang tidak berbeda dengan sistem pendidikan tatap muka,
yaitu terdiri dari aktivitas mengajar dan aktivitas belajar (Belawati, 2000).
Namun, karena adanya keterpisahan pelaksanaan kegiatan mengajar
dan kegiatan belajar pada sistem PTJJ; pengelolaan kedua aktivitas
tersebut berbeda dengan pengelolaan kegiatan belajar mengajar pada
sistem pendidikan konvensional (Gambar 1).

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, Hotel Indonesia


Jakarta, 18 - 19 Juli 2002.
**) Dr. Suci M. Isman dan Ir. K.A. Puspitasari M.Ed., adalah dosen Universitas Terbuka

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 19


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Mengajar Belajar

Menyiapkan bahan ajar Membeli/memperoleh


Menyampaikan bahan ajar bahan ajar

Memberikan bantuan belajar Melakukan kegiatan belajar

Menyiapkan bahan ujian Mengikuti ujian


Menyelenggarakan ujian
Mengolah hasil ujian

Menyampaikan hasil ujian Menerima hasil ujian

Gambar 1.
Aktivitas mengajar dan belajar pada sistem PTJJ (Belawati,2000)

Dari gambar di atas terlihat bahwa Evaluasi Hasil Belajar (EHB) merupakan
komponen penting dalam kegiatan mengajar dan belajar. Tanpa EHB
sulit untuk mengukur kemajuan dan keberhasilan belajar mahasiswa.
Peran EHB semakin menonjol dalam sistem PTJJ, di mana interaksi
fisik antara pengajar dan mahasiswa sangat kurang dibandingkan dengan
interaksi antar mahasiswa dan pengajar dalam sistem pendidikan
konvensional. Dalam sistem pendidikan konvensional, EHB umumnya
didasarkan pada dua elemen penting, yaitu kehadiran/keterlibatan
mahasiswa dalam proses belajar di kelas dan ujian. Di dalam sistem
PTJJ (Gambar 2) di Universitas Terbuka (UT) khususnya, EHB merupakan
muara dari proses pernbelajaran yang terjadi. Oleh karena itu hasil ujian
sering kali merupakan tolok ukur terpenting dalam menilai keberhasilan
mahasiswa. Kualitas ujian yang diselenggarakan sangat menentukan
penilaian tentang keherhasilan belajar dan kualitas bahan ajar.

Kuatnya tuntutan dari kebutuhan masyarakat akan pendidikan lanjutan


yang berkualitas tercermin dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang penyelenggaraan PTJJ, yang membuka peluang
bagi institusi selain UT untuk ikut berpartisipasi dalam PTJJ. Kompetensi
yang terjadi antar penyelenggara PTJJ ini akan menjadi pemicu bagi
setiap institusi untuk selalu meningkatkan layanan yang diberikan.

20 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Penyelenggaraan PTJJ harus dilakukan secara lebih efektif dan efisien
disesuaikan dengan permintaan pasar. Hal ini akan dapat dilakukan jika
penyelenggara PTJJ seperti UT memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi yang semakin canggih. Makalah ini akan membahas tentang
evaluasi hasil belajar (EHB) sebagai salah satu komponen dalam sistem
PTJJ dan pemanfaatan teknologi dalam EHB dengan menggunakan
kasus UT sebagai contoh.

BAHAN BANTUAN
UJIAN
AJAR BELAJAR

Gambar 2.
Komponen dalam sistem PTJJ

EVALUASI HASIL BELAJAR (EHB)


Evaluasi hasil belajar mahasiswa mempunyai beberapa tujuan. Sebagai
institusi penyelenggara PTJJ, UT melaksanakan EHB untuk memotivasi
mahasiswa agar mereka belajar lewat Tugas Mandiri (TM), untuk
mengukur ketercapaian tujuan matakuliah lewat ujian akhir semester
(UAS), dan untuk mengetahui ketercapaian tujuan program melalui ujian
kemprehensif tertulis (UKT). Agar tujuan EHB tersebut dapat tercapai
dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk memperbaiki
cara belajar mereka dan oleh UT untuk memperbaiki penyelenggaraan
PTJJ-nya, maka semua kegiatan yang terkait dengan komponen EHB
harus dilakukan dengam baik. Sebelum membahas mengenai
pemanfaatan teknologi dalam komponen evaluasi ini, akan dibahas
secara lebih rinci setiap kegiatan yang ada dalam komponen evaluasi
ini.
• Pengembangan Soal Ujian
Pengembangan soal ujian ini meliputi tiga kegiatan yaitu, analisis
kompetensi, pengembangan kisi-kisi, dan pengembangan soal.

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 21


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
1. Analisis Kompetensi
Analisis kompetensi merupakan kegiatan menentukan
kemampuan dan keterampilan (kompetensi) yang akan
dibelajarkan kepada mahasiswa dalam sebuah program atau
matakuliah. Hal ini dilakukan pada saat sebuah program/
matakuliah dirancang. Berdasarkan kompetensi tersebut
kemudian diturunkan tujuan-tujuan instruksional yang harus
dicapai dalam sebuah matakuliah. Dengan dilakukannya analisis
kompetensi ini, dimungkinkan penggunaan penilaian acuan
patokan dalam evaluasi hasil belajar dengan menggunakan
kompetensi sebagai kriteria yang harus dicapai oleh mahasiswa.

2. Pengembangan Kisi-kisi
Setelah menentukan tujuan instruksional yang akan dicapai maka
tahapan selanjutnya dalam EHB adalah pengembangan kisi-kisi
yang mencakup penulisan dan penelaahan kisi-kisi. Penulisan
kisi-kisi ini merupakan upaya untuk merencanakan ujian dengan
baik dengan memperhatikan tujuan ujian, kompetensi yang
hendak diukur, dan sumber daya yang tersedia. Kisi-kisi atau
test blueprint ini mencakup informasi yang diperlukan untuk
menulis soal ujian. Untuk mengembangkan kisi-kisi yang mampu
menghasilkan ujian yang mempunyai validitas isi diperlukan
kerjasama yang baik antara pakar bidang ilmu dan ahli evaluasi.
Sebagian besar dari kisi-kisi ujian UT dikembangkan dengan
melakukan outsourcing ke perguruan tinggi (PT) lain untuk
penulisan sedangkan penelaahan dilakukan oleh staf akademik
UT yang sudah terlatih dalam EHB. Namun karena para penulis
dan penelaah berada di lokasi yang berbeda maka kegiatan
pengembangan kisi-kisi ini memerlukan proses yang agak lama.
Oleh karena itu tidak terlalu mudah untuk mengakomodasi secara
cepat perubahan yang terjadi dalam bahan ajar ke dalam kisi-
kisi ujian.

3. Pengembangan Soal
Pengembangan soal ujian, seperti kisi-kisi, terdiri atas dua
kegiatan yaitu, penulisan soal dan penelaahan soal. Soal yang

22 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
berkualitas adalah soal yang mengikuti rambu-rambu penulisan
soal yang baik sehingga dapat membedakan mahasiswa yang
telah mencapai tujuan dan yang belum (Jacobs & Chase, 1992;
Osterlind 1989; Zainul & Nasoetion, 2001). Untuk menghasilkan
soal seperti ini diperlukan keterlibatan pakar bidang ilmu yang
telah dibekali dengan keterampilan menulis soal. Sebagai institusi
yang banyak memanfaatkan jaringan kerjasama, UT dalam
menyediakan soal ujiannya juga mengikutsertakan dosen dari
PT lainnya. Sebelum para pakar ini menulis soal biasanya
mereka dibekali terlebih dahulu dengan pengetahuan dan
keterampi}an untuk mengernbangkan soal jenis ujian tertentu.
Oleh karena adanya jarak antara UT dan PT lainnya ini,
pembekalan para penulis soal ini membutuhkan waktu dan
sumber daya yang tidak sedikit. Soal ujian yang telah ditulis
tidak bisa langsung digunakan, tapi harus melewati proses
penelaahan yang juga memerlukan waktu dan sumber daya.

• Penyiapan Bahan Ujian


Penyiapan bahan ujian ini terdiri dari tiga kegiatan, pengetikan soal,
penggandaan bahan ujian, dan pengiriman hahan ujian ke lokasi ujian.
1. Pengetikan Soal
Penyiapan bahan ujian diawali dengan pengetikan soal untuk
dijadikan naskah ujian. Dengan jumlah matakuliah yang terus
bertambah seiring dengan pembukaan program baru, maka
jumlah naskah ujian yang harus disiapkan oleh UT juga bertambah
untuk setiap masa ujian. institusi PTJJ seperti UT memerlukan
sebuah unit tersendiri untuk menangani penyiapan bahan ujian
ini. Penyiapan bahan ujian UT merupakan tugas yang diemban
oleh Pusat Pengujian (Pusjian). Pengetikan soal melibatkan
kerjasama antara para staf akademik sebagai perakit dan
pemfinal naskah ujian dan para tenaga administratif sebagai
pengetik soal. Soal ujian yang telah ditulis dan telaah kemudian
dirakit menjadi set soal. Soal yang sudah berupa set ini kemudian
diserahkan kepada pengetik untuk diketik, dilengkapi dengan
petunjuk, serta di layout menjadi naskah ujian. Sebelum menjadi
master naskah ujian yang siap digandakan diperlukan proses

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 23


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
editing yang cukup menyita waktu. Dengan pertimbangan
keamanan penyiapan bahan ujian ini dilakukan di sebuah gedung
yang agak jauh terpisah dari gedung lainnya. Namun hal ini
membuat proses pengetikan soal dan editing naskah ujian
menjadi agak terhambat karena memerlukan penyediaan waktu
khusus staf akademik untuk berkunjung ke gedung tersebut.

2. Penggandaan Bahan Ujian


Setelah master naskah ujian disiapkan maka selanjutnya bahan
ini harus digandakan. Penggandaan ini dilakukan di kantor pusat
UT untuk kemudian dikirim ke unit pembelajaran jarak jauh
(UPBJJ) yang ada di daerah. Oleh karena jumlah mahasiswa
peserta ujian bisa mencapai ratusan ribu per matakuliah
sedangkan mesin cetak yang digunakan jumlahnya terbatas dan
dengan kondisi yang sudah tidak prima lagi, maka proses
penggandaan inipun cukup menyita waktu dan sumber daya.

3. Pengiriman Bahan Ujian


Bahan ujian yang sudah digandakan tadi kemudian ditata menurut
matakuliah, jam, hari, dan lokasi ujiannya. Dengan jumlah naskah
yang banyak dan tenaga yang terbatas, maka dalam penataan
bahan ujian ini masih terjadi human error. Walaupun jumlah dan
jenis kesalahan penataan ini selalu diupayakan untuk menurun,
namun karena adanya jarak antara lokasi Ujian dan kantor UT
setiap kesalahan akan berakibat terhadap kualitas
penyelenggaraan ujian. Setelah penataan, bahan ujian tersebut
siap untuk dikirim. Pengiriman dilakukan dengan ekspedisi darat
untuk wilayah Sumatera (kecuali Bengkulu), Jawa, Bali, dan NTB.
Sedangkan wilayah yang lain dikirim lewat udara sehingga beban
pengiriman ini cukup menyita sumber daya UT.

• Penyelenggaraan Ujian
Penyelenggaraan ujian terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu penyiapan
bahan, ruang dan pengawas ujian; pelaksanaan ujian; dan pengiriman
hasil ujian.

24 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
1. Penyiapan bahan, ruang dan pengawas ujian
Kegiatan penyelenggaraan ujian dimulai dengan penyiapan bahan
ujian, ruang dan pengawas ujian. Bahan ujian terdiri dari naskah
uj ian dan bahan pendukung ujian. Bahan pendukung ujian
meliputi Lembar Jawaban Ujian (LJU) atau buku jawaban ujian
(BJU), daftar hadir, daftar peserta ujian, dan berita acara
pelaksanaan ujian. Sebelum pelaksanaan ujian, bahan ujian harus
dicek terlebih dahulu, apakah naskah ujian yang diterima sesuai
dengan yang akan diujikan, apakah jumlah naskah dan jumlah
lembar jawaban sesuai dengan jumlah peserta ujian, dan apakah
sudah tersedia format daftar hadir peserta ujian. Bahan Ujian
lain yang harus disiapkan adalah pensil cadangan, penghapus,
rautan, cassette player atau stop watch bila diperlukan. Dalam
memeriksa kelengkapan bahan ujian panitia ujian perlu
berpedoman pada check list bahan ujian agar tidak ada bahan
ujian yang terlupa belum disiapkan. Untuk Ujian listening,
kelayakan cassette player dan sound system harus diuji terlebih
dahulu. Sebelum pelaksanaan ujian, bahan ujian harus disiapkan
di tempat yang aman untuk mencegah terjadinya kebocoran ujian.

Ruang ujian perlu dipersiapkan sedemikian rupa sehingga


terdapat cukup jarak di antara tempat duduk peserta ujian untuk
menghindari kerjasama antar peserta ujian dalam mengerjakan
ujian. Penomoran tempat duduk diperlukan agar peserta ujian
tidak dapat memilih tempat duduk yang berdekatan dengan
temannya. Dengan demikian, diharapkan ujian dapat terlaksana
dengan aman dan tertib. Pemilihan ruang ujian didasarkan pada
beberapa syarat, yaitu cukup terang, sirkulasi udara cukup dan
kondisi ruang bersih sehingga peserta ujian merasa nyaman.
Sedapat mungkin suasana di luar ruang ujian cukup tenang agar
tidak rnengganggu konsentrasi peserta ujian. Kurangnya jarak
antara peserta Ujian dan tidak nyamannya ruang ujian dapat
mempengaruhi hasil ujian. Biasanya ruang ujian yang cukup ideal
adalah ruang kelas, yang memang dirancang untuk kegiatan
belajar.

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 25


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Bila memungkinkan, sebaiknya dosenlah yang mengawasi ujian
para siswanya. Hal ini akan menimbulkan rasa aman bagi siswa
bila ada pertanyaan mengenai materi tes yang tidak jelas. Dosen
juga dapat rnengamati secara langsung perilaku siswa pada saat
menempuh ujian Pengawasan Ujian yang dilakukan oleh para
dosen yang bersangkutan juga lebih menjamin keamanan ujian.
Pada pendidikan jarak jauh (PJJ), umumnya tidak selalu
memungkinkan bagi dosen untuk melakukan pengawasan ujian.
Untuk itu, pengawasan ujian dilakukan oleh pengawas pengganti,
yang diharapkan mempunyai kemampuan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban pelaksanaan ujian. Di UT, umumnya
pengawas ujian adalah para guru, yang memang sudah terbiasa
melakukan pengawasan ujian. Agar pengawas merasa ikut
bertanggungjawab untuk menjamin ketertiban dan keamanan
ujian, yang notabene bukan anak didiknya sendiri, ada baiknya
dilaksanakan pengarahan pengawasan Ujian oleh sebelum
pelaksanaan ujian.

2. Pelaksanaan ujian
Agar tidak terjadi keributan di luar ruang Ujian pada saat ujian
berlangsung, perlu dipasang pengumuman di sekitar ruang ujian.
Untuk menjaga ketertiban dan keamanan ujian, ada beberapa
hal yang wajib dilakukan oleh pengawas ujian, yaitu antara lain:
a) membacakan tata tertib ujian, b) menginformasikan waktu
ujian, dan memberi tanda untuk memulai dan mengakhiri ujian.

Waktu ujian harus ditepati agar hasil ujian dapat


dipertanggungjawabkan. Khusus untuk UT, hal ini juga
dimaksudkan untuk menghindari kebocoran soal mengingat ujian
dilaksanakan secara serentak di seluruh tempat ujian di
Indonesia. Materi tes yang diujikan kepada seluruh siswa dibuat
sama dengan tujuan untuk menyamakan standar pengukuran
hasil belajar siswa di seluruh Indonesia. Untuk memastikan
ketepatan waktu ujian, waktu ujian dimulai dan waktu ujian harus
berakhir dicatat di papan tulis. Peserta ujian secara periodik perlu
diberi informasi tentang sisa waktu ujian.

26 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Selama ujian berlangsung; peserta Ujian harus diawasi dengan
ketat. Pengawas berhak merrieeiksa identitas peserta ujian.
Identitas yang meragukan maupun perbuatan peserta ujian atau
kejadian yang dapat mempengaruhi hasil ujian perlu dilaporkan
dalam Berita Acara Pelaksanaan Ujian. Misalnya, ada peserta
ujian yang bekerja sama saat ujian, atau yang sibuk menerima
telpon melalui handphonenya, atau yang membuka contekan.
Pelanggaran ketertiban dan keamanan ujian akan menyebabkan
hasil ujian kurang mencerminkan kemampuan belajar siswa yang
sebenarnya. Uatuk itu sebaiknya dilakukan ujian ulang.

3. Pengiriman hasil ujian


Setelah pelaksanaan ujian selesai, hasil ujian dan daftar hadir
dipak dan segera diberikan kepada dosen pemeriksa untuk
menjaga keamanan hasil ujian. Di UT, setelah pelaksanaan ujian,
LJU dan BJU, serta daftar hadir langsung dikirim ke UT pusat
dari tempat-tempat ujian.

• Pemrosesan Hasil Ujian


Pemrosesan hasil ujian terdiri atas proses scoring dan grading.
Scoring merupakan proses pemberian skor (nilai mentah) terhadap
jawaban siswa. Umumnya skor diberikan oleh dosen yang
bersangkutan. Kelebihan cara ini adalah dosen segera mengetahui
materi-materi yang tidak dapat dijawab oleh siswa dengan benar,
sehingga dapat segera memberikan umpan balik. Bila scoring
dilakukan oleh orang lain, diperlukan pedoman penskoran yang valid
(terutama untuk soal uraian), dan scoring harus dilakukan oleh orang
yang menguasai materi ujian serta sudah terlatih melakukan
penskoran. Scoring dapat dilakukan oleh orang yang tidak menguasai
materi ujian, meskipun tetap harus dilakukan oleh orang yang terlatih
dan mengacu kepada penskoran yang ada. Ketelitian tetap diperlukan,
terutama dalam menggunakan pedoman penskoran dan menghitung
jawaban benar. Sedangkan scoring untuk ujian objektif juga dapat
dilakukan secara dengan bantuan komputer. Grading merupakan
proses konversi dari nilai mentah (skor) menjadi nilai huruf (grade).
Nilai huruf yang umum digunakan adalah A, B; C, D, E atau F. Proses

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 27


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
grading dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berdasarkan
penilaian acuan norma (PAN) atau berdasarkan penilaian acuan
patokan (PAP). Ada juga instansi pendidikan yang memilih
menggunakan istilah Lulus (L) dan tidak Lulus (TI).

• Pelaporan Nilai
Setiap institusi pendidikan wajib memberikan laporan nilai kepada
siswanya. laporan nilai wa jib diberikan agar siswa mempunyai catatan
kemajuan belajarnya sendiri, sehinga dapat digunakan untuk
melakukan rencana studi selanjutnya. Pada tingkat perguruan tinggi,
laporan nilai umumnya diberikan dalam bentuk kartu hasil studi, daftar
nilai ujian atau transkrip. Laporan nilai dapat juga diberikan kepada
orang tua atau instansi pemberi beasiswa yang memberikan biaya
belajar kepada siswa.

Kegiatan pelaporan nilai terdiri dari dua kegiatan, yaitu pencetakan


dan pengumuman hasil ujian. Pencetakan hasil ujian atau pencetakan
nilai merupakan akhir dari proses penilaian. Pengumuman hasil ujian
dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti dipasang di papan
pengumuman, diberikan langsung kepada siswa, atau dikirimkan
melalui jasa pos.

PEMANFAATAN TEKN0LOGI DALAM EHB


Berbicara mengenai masa depan evaluasi hasil belajar PTJJ tidak bisa
terlepas dari pembahasan mengenai teknologi. Agar dapat
menyelenggarakan EHB yang efektif dan efisien maka UT sebagai
institusi PTJJ harus memanfaatkan teknologi yang tepat guna. Teknologi
yang digunakan sekarang ini untuk menunjang pelaksanaan EHB di UT
masih terbatas pada penggunaan scanner dan LAN, Berikut akan dibahas
teknologi yang tersedia dan yang mungkin dimanfaatkan untuk setiap
kegiatan EHB di UT.
• Pengembangan Soal Ujian
Pengembangan soal ujian di UT masih dilakukan secara
konvensional dimana dilakukan pelatihan pembekalan keterampilan
penulisan kisi-kisi dan soal bagi para penulis secara tatap muka.

28 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Kegiatan pembekalan ini memerlukan waktu dan sumber dana yang
tidak sedikit terutama jika dilakukan di tempat yang tersebar dan
lokasinya jauh dari kantor UT pusat. Setelah kisi-kisi dan soal selesai
ditulis maka perlu dilakukan penjemputan bahan ujian tadi ke tempat
para penulis. Sistem pengembangan soal seperti ini menyebabkan
institusi PTJJ seperti UT tidak mudah untuk memperbaharui bahan
ajarnya karena akan berdampak kepada ujian yang memerlukan
waktu pengembangan yang cukup lama. Agar kegiatan
pengembangan ini menjadi lebih singkat dan tidak menyita sumber
daya yang terlalu banyak, bisa dimanfaatkan teknologi yang
sederhana seperti penggunaan video untuk pembekalan para penulis
soal. Teknologi jaringan juga dapat dimanfaatkara dimana para
penulis dapat mengakses website seperti PAU-Online yang salah
satu materi pelatihan adalah membuat soal ujian. Para penulis dan
penelaah pun dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan
fasilitas chatting di internet. Jika suatu saat nanti infrastuktur jaringan
yang ada di UT memadai, maka dapat dibuat sistem pengembangan
soal secara remote, di mana para penulis soal dapat mengakses
fasilitas jaringan yang memungkinkan mereka menulis soal secara
on-line. Tentu harus dipikirkan bagaimana menjaga keamanan
sehingga tidak bisa ditembus oleh pihak yang tidak berkepentingan.

• Penyiapan Bahan Ujian


Penyiapan bahan ujian di UT memanfaatan teknologi LAN yang
tersedia di Pusjian. Dengan satu server dan lebih kurang sepuluh
terminal serta tiga printer laser, UT mempersiapkan bahan ujian untuk
ribuan mahasiswa setiap semester. Oleh karena sistem pendidikan
yang terbuka, rnaka UT harus rnenyiapkan naskah ujian untuk semua
matakuliah yang ada. Dengan teknologi yang ada sekarang maka
proses pengetikan, editing, dan penggadaan bahan ujian ini
memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan. Kegiatan ini cukup menyita
waktu staf UT sehingga upaya peningkatan kualitas komponen yang
lain seperti bahan ajar dan layanan bantuan belajar menjadi agak
lambat. Untuk mengatasi hal ini maka perlu dimanfaatkan teknologi
komputer dalam membuat dan mengelola bahan ujian (Boekkooi-
Timingga, 1989) yang dikenal sebagai Bank Soal Terkomputersasi.

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 29


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Pengelolaan soal ujian melalui Bank Soal ini menuntut tersedianya
kumpulan soal yang sudah teruji kualitasnya. Sejak tahun 2000, UT
telah mengembangkan sistem Bank Soal yang mencakup prosedur
penyimpanan soal, pengkalibrasian soal, dan perakitan naskah ujian
(lihat lampiran 1 dan 2). Di beberapa institusi lain seperti CITO di
Belanda, sistem Bank Soalnya mencakup sampai proses
pengadministsasian; penilaian; bahkan pelaporan nilai ujian (Van Theil
& Zwarts, 1985). Bank Soal UT menggunakan teknologi LAN dengan
satu server dan 20 terminal, didukung oleh empat printer dan dua
scanner (pada saat operasional 2005). Dengan adanya Bank Soal
ini penyiapan bahan ujian setiap semester dapat dilakukan dalam
waktu yang relatif cepat. Keamanan soal juga lebih baik karena akses
kepada Bank Soal dibatasi dan beberapa naskah ujian paralel dapat
dihasilkan sehingga akan dimungkinkan untuk memberikan soal ujian
yang berbeda namun setara dalarn satu lokasi ujian.

Penggandaan bahan ujian masih mengandalkan teknologi mesin


cetak yang masih sederhana. Sekarang UT sedang
mempertimbangkan kemungkinan pengiriman master naskah ujian
lewat teknologi jaringan sehingga penggandaan naskah menjadi
tanggung jawab UPBJJ di di daerah. Dengan demikian dapat dikurangi
waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk penggandaan naskah ujian
ini di UT Pusat.

• Pelaksanaan Ujian
Pelaksanaan ujian UT masih dilakukan dengan paper and pencil di
lokasi yang telah ditentukan secara tatap muka, sama seperti yang
dilakukan oleh institusi pendidikan konvensional. Dengan sistem yang
seperti ini prinsip keterbukaan dari PTJJ agak dibatasi karena
mahasiswa harus mengikuti jadwal ujian. Semua peserta ujian juga
diberikan soal yang sama tanpa memperhatikan tingkat kemampuan
mereka, di suatu lokasi tertentu, dan waktu yang sama. Berbagai
bentuk pelanggaran ujian terjadi sebagai akibat dari kurangnya
pengawasan dan soal yang seragam ini. Untuk itu perlu dipikirkan
pemanfaatan teknologi yang dapat mengurangi peluang terjadinya
distorsi nilai, dan meningkatkan kualitas ujian. Dengan perkembangan

30 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
dalam teori pengukuran dan evaluasi serta perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi maka dimungkinkan untuk
menyelenggarakan ujian dengan komputer yang dikenal dengan istilah
computer-based testing (CBT). Ada dua macam CBT, yaitu linear
test dan adaptive test. Linear CBT terdiri atas seperangkat soal,
dari yang termudah sampai yang tersukar. tanpa memperhatikan
kemampuan peserta tes. Sedangkan adaptive adalah tes di mana
komputer mampu memberikan soal-soal yang sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta tes. Soal-soal dipilih dari sejumlah besar soal
(item pool) yang dikategorisasikan sesuai materi dan tingkat
kesukarannya. Oleh karena itu, jumlah soal dalam CBT biasanya
lebih sedikit dari pada tes linear, tetapi cukup dapat memberikan
informasi kepada institusi dan peserta tes. Soal yang diperlukan
pada adaptive CBT lebih sedikit karena komputer dapat memilihkan
soal-soal yang tingkat kesukarannya sesuai tingkat kemampuan
peserta tes, berdasarkan jawaban-jawaban terhadap soal
sebelumnya. Artinya peserta tes mendapatkan lebih sedikit soal yang
tidak terlalu mudah ataupun terlalu sukar. Dengan demikian, tes
diharapkan cukup menantang untuk setiap individu.

Adaptive CBT atau computerized aduptive testing (CAT) dirancang


untuk setiap individu peserta tes (Wiener, 1990). Peserta tes akan
diberi satu set soal yang memenuhi spesifikasi rancangan tes (kisi-
kisi) dan biasanya sesuai dengan tingkat kemampuan setiap individu.
Tes dimulai dengan soal-soal yang tidak terlalu sukar. Setiap peserta
tes menjawab soal,-komputer akao memberikan skor. Jawaban
terhadap soal tersebut akan menentukan soal yang akan ditampilkan
oleh komputer selanjutnya. Setiap menjawab soal dengan benar,
peserta tes akan diberi soal yang lebih sukar. Sebaliknya, bila
menjawab salah, komputer akan memilihkan soal yang febih mudah.
Urutan soal disajikan tergantung pada jawaban terhadap soal-soal
sebetutnnya dan pada kisi-kisi tes. Dengan kata lain, komputer
diprogram untuk memberikan soal yang sesuai dengan kisi-kisi tes,
sekaligus secara terus menerus mencari soal-soal yang tingkat
kesulitannya sesuai dengan tingkat kemampuan peserta ujian. Dalam
hal ini peserta ujian harus menjawab semua soal. Keuntungannya,

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 31


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
pada setiap layar hanya ditampilkan satu butir soal, sehingga peserta
tes dapat berkonsentrasi untuk menjawab soal tersebut. Setelah
menjawab soal, peserta ujian tidak akan dapat mengulang soal-soal
sebelumnya dan mengganti jawabannya.

Salah satu contoh institusi penyelenggara ujian yang telah


memanfaatkan teknologi komputer adalah ETS (ETS, 2002) yang
telah menyediakan ujian seperti ini untuk TOEFL, GRE dan GMAT.
Peserta ujian yang tersebar di seluruh dunia dapat mengikuti ujian
ini lewat teknologi jaringan.

UT dengan adanya sistem bank soal terkomputerisasi sedang


menjajaki penerapan tes online yang bersifat adaptive test (tes
adaptif). Untuk mendukung aplikasi tes online diperlukan infrastruktur
yang mapan di tempat-tempat ujian, termasuk penyusunan rambu-
rambu pengawasan ujian. Tes adaptif mempunyai beberapa
kelebihan, antara lain:
• Tes dapat diadministrasikan pada saat siswa merasa siap
menempuh ujian;
• Tes dapat dilaksanakan sepanjang tahun di banyak lokasi
sekaligus;
• Tes dilaksanakan di tempat ujian yang nyaman, yang privasinya
lebih terjaga, dan diletagkapi komputer;
• Peserta tes lebih sedikit dalam satu kesempatan;
• Skor sementara (Unofficial scores) langsung ditampilkan setelah
tes berakhir, kecuali untuk tes uraian;
• Nilai resmi (official scores) dapat diumumkan secara lebih cepat;
• Tes dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa;
• Soal yang dibutuhkan lebih sedikit; dan
• Keamanan tes dapat ditingkatkan.

• Pemrosesan Hasil Ujian


Proses penilaian (scoring) dengan menggunakan teknologi elektronik
sudah banyak digunakan di dunia pendidikan. Untuk itu diperlukan
mesin scanner dan lembar jawaban ujian (LJU), yang khusus didesain

32 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
untuk scanner tersebut. Peserta ujian menjawab ujian dengan cara
menghitamkan huruf-huruf atau kode-kode yang tersedia dalam LJU,
dengan menggunakan pensil khusus. Setelah mesin scanner
membaca LJU, kumputer secara otomatis akan melakukan scoring
dan grading. Untuk tes adaptif, proses scoring merupakan bagian
dari rancangan tes (ETS, 2002). Peserta tes secara otomatis akan
mengetahui skor yang telah diperolehnya. Skor yang diberikan
tergantung pada jumlah soal yang dijawab dan jawaban terhadap
soal yang diberikan. Soal yang diberikan oleh kumputer akan
mencerminkan keberhasilan dalam menjawab soal sebelumnya dari
kisi-kisi tes. Kisi-kisi tes meliputi:
• tingkat kesulitan soal yang diberikan;
• tipe soal yang diberikan; dan
• cakupan materi tes yang sesuai.

Soal yang pertama diberikan merupakan soal yang tidak terlalu sulit.
Benar tidaknya jawaban terhadap soal tersebut dan soal-soal
berikutnya menentukan apakah selanjutnya peserta tes akan diberi
soal-soal yang lebih mudah atau lebih sukar. Dengan demikian,
peserta tes akan rnendapatkan skor-skor yang mencerminkan
kebenaran jawaban terhadap setiap soal dan tingkat kesulitan setiap
soal.

Bila ada dua peserta tes yang mempunyai jumlah jawaban benar
yang sama, peserta tes yang merrjawab soal-soal yang lebih sulit
akan mendapatkan skor yang lebih tinggi. Demikian juga, bila ada
dua peserta tes mendapatkan dua set soal yang tingkat kesulitannya
sama, peserta tes yang lebih cepat menjawab dan mempunyai jumlah
jawaban soal benar lebih banyak akan mendapatkan skor yang lebih
tinggi.

Pemrosesan hasil ujian di UT sebagian besar dilakukan dengan


menggunakan komputer. Penggunaan komputer dalam proses
penilaian diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat
secepat dan seekonomis mungkin, mengingat jumlah siswa UT yang
mencapai puluhan ribu.

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 33


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
Setelah sampai di Pusat Pengujian, amplop hasil ujian diberi nomor
batch (proses batching). Nomor batch tercatat dalam komputer.
Penomoran hasil ujian ini berrnanfaat untuk mencari LJU secara
mudah dan cepat bila dibutuhkan. LJU di-.scan dengan menggunakan
optical .scanner. Setelah semua LJU di-scan, hasil scanning diload
di komputer. Karena masih banyak siswa yang melakukan kesalahan
dalam menghitamkan identitas pada LJU (nama, NIM, kode mata
kuliah, tanggal lahir, kode naskah) maka Pusat Pengujian melakukan
editing, Kegiatan ini bertujuan untuk memisahkan data siswa yang
salah ke suatu file pada komputer, yang disebut file jawaban salah.
Selanjutnya dilakukan proses updating, yaitu memperbaiki data
identitas yang salah, sesuai data pribadi dan data registrasi siswa
yang tersimpan pada komputer. Kemudian dilakukan proses scoring
untuk menghitung jumlah jawaban benar dari setiap siswa. untuk
ujian uraian, pemberian skor dilakukan oleh staf akadernik di fakultas.
Setelah skor setiap siswa diterima dari fakultas Pusat Pengujian
melakukan key-in skor ke dalam komputer laporan hasil key-in skor
akan diperiksa lagi oleh fakultas untuk keperluan verifikasi nilai.

Setelah proses scoring (baik untuk ujian objektif maupun ujian uraian),
sebaran nilai huruf (grade) dicetak dalam beberapa kategori kelulusan,
yang disebut laporan pragmade. Fakultas akan menentukan kategori
kelulusan. Penentuan kategori kelulusan dilakukan untuk seluruh
siswa, tanpa membedakan status demograti siswa. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa proses penilaian siswa UT sangat terstandar.
Proses selanjutnya adalah melakukan grading atau proses penilaian
(dengan bantuan komputer) berdasarkan kategori kelulusan yang
ditentukan oleh fakultas.

Proses grading diikuti oleh proses verifikasi nilai, untuk memastikan


bahwa tidak ada kesalahan penilaian. Kemudian dilakukan
pencetakan daftar nilai ujian (DNU), yang merupakan akhir dari proses
pengolahan hasil ujian.

Perlu juga dijajaki penggunaan komputer dalam pemeriksaan ujian


uraian karena sudah tersedia berbagai software yang dapat membaca

34 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
tulisan tangan. Jika hal ini dawat dilakukan maka proses penilaian
akan semakin cepat lagi karena yang sering menyebabkan nilai
tertunda adalah pemeriksaan uraian yang terlambat.

• Pelaporan Nilai
Di UT, laporan nilai per semester diberikan dalam bentuk daftar nilai
ujian (DNU). Sedangkan laporan nilai keseluruhan selama siswa
belum lulus disebut laporan Kemjuan Akademik Siswa (LKAM). DNU
dicetak dengan menggunakan komputer, yang dapat dilakukan di
Kantor UT Pusat maupun di setiap UPBJJ- Pencetakan DNU dapat
diprograrn untuk setiap UPBJJ, setiap Program Studi, maupun setiap
siswa. Bila diprograrn untuk satu UPBJJ, maka DNU untuk seluruh
siswa di UPBJJ tersebut yang mengikuti ujian pada semester yang
bersangkutan akan tercetak. DNU dikirimkan ke setiap siswa melalui
jasa pos.

Selain melalui DNU, siswa juga dapat melihat nilai per semester
melalui peragaan nilai ujian di website UT (http://www.ut.ac.id).
Peragaan nilai ujian di komputer juga tersedia melalui jaringan Student
Record System di UT Pusat dan di UPBJJ untuk keperluan konsultasi
siswa.

LKAM juga dicetak menggunakan komputer- Pencetakan LKAM


dilakukan dengan menuliskan nomor induk siswa (NIM) pada
komputer, dan secara otomatis semua data nilai yang pernah diperoleh
di UT akan tercetak. Pencetakan dan peragaan LKAM baru tersedia
di UT Pusat.

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 35


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
PENUTUP
Perubahan teknologi merupakan proses yang memerlukan waktu dan
dana yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari
sebuah teknologi baru bukan saja harus dipikirkan ketepatan teknologi
yang dipilih juga kesiapan orang yang akan mengelola teknologi tersebut.
Dengan menyadari bahwa sistem PTJJ tidak mudah diubah karena
dampaknya luas, maka perubahan terhadap sistem yang ada hendaknya
memang dipersiapkan dengan matang dan terencana. Transisi antara
kedua sistem yang akan berubah ini juga harus dipikirkan dengan baik.
Sistem yang dimaksud disini bukan saja mencakup perangkat keras
maupun lunak tapi termasuk juga struktur organisasi yang menunjang
pelaksanaan evaluasi PTJJ di UT.

Makalah ini telah membahas pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan


evaluasi hasil belajar mahasiswa PTJJ dengan mengambil contoh yang
dilakukan di Universitas Terbuka. EHB itu walaupun merupakan salah
satu ujung tombak dari PTJJ, namun tidak bisa berdiri sendiri. Kualitas
EHB juga dipengaruhi oleh kualitas dua komponen PTJJ yang lain, bahan
ajar dan layanan bantuan belajar. Semoga makalah ini dapat menjadi
pemicu pemikiran kearah penyelenggaraan EHB yang lebih baik melui
pemanfaatan teknologi bagi orang-orang yang terlibat atau yang akan
terlibat dalam penyelenggaraan PTJJ.

36 Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: Website: http://www.pustekkom.go.id


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
DAFTAR PUSTAKA
Belawati, T. (200Q). Prinsip-prinsip pengelolaan sistem PTJJ.
Makalah dibawakan dalarn Seminar Sistem Pendidikan Tinggi
Terbuka Jarak Jauh, Universitas Terbuka, 25 Januari 2000.
Boekkooi-Timinga, E. (1989). Models,for Computerized Test
Construction. Academisch Boeken Centrum: De Lier.
Educational Testing Services. (2002). Computer-bused testing:
Arrswer’s, for- candidats testing in the US; US territories, Puerto
Rico, and Canada. {URL:http/www.ets.org/ebt/dstan l fq,html].
Jacobs., L.C. dan Chase, C. 1. (1992). Developing and Using Tests
Effectively. Jossey-Bass Publishers: San Fransisco.
Osterlind, S.J. (1989). Constructing Test Items. Kluwer Akademik
Publishers: Boston, MA.
Van Theil, C.C. dan Zwarts, M.A. (1986). Development of a Testing
Service System. Applied Psychological Measurement. 10, 391-403.
Wainer, H. (1990). Computerized Adaptive Testing.- A Primer.
Lawrence Erlbaum Asociates, Inc. Publishers: New Jersey.
Zainul, A. dan Nasoetion. N. (2001) Penilaian Hasil Belajar, PAU-PPAI
Universitas Terbuka: Jakarta.

uuuuuuuuuuuuu

Suci M. Isman & K.A. Puspitasari: No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 37


Pemanfaatan Teknologi dalam EHB PTJJ
UPAYA PENINGK
UPA PENINGKA ATAN MOTIV ASI
MOTIVASI
BERPRESTASI D
BERPRESTASI AL
DAL AM PEMBEL
ALAM AJAR
PEMBELAJAR AN
AJARAN
DI SLTP D
SLTP AN SMU TERBUK
DAN TERBUKA A
Oleh: Nurdin Ibrahim *)

Abstrak
Keberhasilan pembelajaran pada semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan sangat dipengaruhi oleh karakteristik si pebelajar dan
strategi (metode) pembelajaran. Hal ini termasuk pada sistem
pendidikan terbuka jarak jauh seperti SLTP Terbuka dan SMU
Terbuka. Karakteristik si pebelajar akan mencakup beberapa
variabel yang di antaranya kemampuan awal dan motvasi belajar
dan berprestasi yang biasanya disebut kondisi pembelajaran,
sedangkan dalam strategi pembelajaran mencakup variabel
strategi pengorganisasian bahan pembelajaran, strategi
penyampaian isi pembelajaran, dan strategi pengelolaan
pembelajaran. Strategi penyampaian isi pembelajaran: mencakup
penggunaan media pembelajaran dan bentuk kegiatan
pembelajaran, sedangkan strategi pengelolaan pembelajaran:
mencakup penjadwalan, pembuatan catatan kemajuan belajar
siswa, kontrol belajar, dan pengelolaan motivasional si pebelajar.

I. PENDAHULUAN
Untuk mengatasi permasalahan perluasan kesempatan memperoleh
pendidikan sekaligus sebagai upaya mensukseskan wajib belajar
pendi9dikan dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun, pemerintah telah
mengembangkan sistem pendidikan terbuka pada tingkat SLTP.
SLTP Terbuka semula dirintis pada lima lokasi, yaitu SLTP Terbuka
Kalianda Lampung Selatan, SLTP Terbuka Plumbon Cirebon Jawa
Barat, SLTP Terbuka Adiwerna Tegal Jawa Tengah, SLTP Terbuka

*) Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd. adalah Kepala Bidang Pengembangan Sistem, Pustekkom
Depdiknas.

38 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


Kalisat Jember Jawa Timur, dan SLTP Terbuka Terara Lombok
Timur. Pada tahun 1994/1995 pada saat Wajar Dikdas 9 tahun
dicanangkan, jumlah SLTP Terbuka sebanyak 59 lokasi dan tahun
2002/2003 jumlah telah berkembang menjadi 2,870 lokasi dengan
jumlah siswa 232.395 orang.

Berdasarkan hasil evaluasi tahun 1984/1985 lulusan SLTP Terbuka


mempunyai hasil belajar yang tidak berbeda secara signifikan dengan
lulusan SLTP reguler lainnya. Selain itu lulusan yang melanjutkan
ke jenjang SLTA (SMU dan SMK) mempunyai hasil belajar yang
sama dengan lulusan SLTP lainnya, bahkan di beberapa tempat lain
cukup banyak lulusan SLTP Terbuka masuk kategori lima besar di
kelasnya. Namun setelah ditetapkan bahwa sistem SLTP Terbuka
sebagai salah satu pola Wajar Dikdas 9 tahun yang diunggulkan,
maka pengembangan lokasi SLTP Terbuka tidak didasarkan studi
kelayakan lokasi secara sistem dan sistemik, sehingga cukup banyak
lokasi pengembangan yang kurang layak.

Cukup banyak lokasi SLTP Terbuka yang mempunyai SLTP Induk


yang tidak memenuhi syarat seperti kecukupan jumlah guru yang
sesuai latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang ajarkan
(dibina) dan sarana dan prasarana pembelajaran yang tidak tersedia

Hal ini menyebabkan cukup banyak lokasi SLTP Terbuka tidak dapat
menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai dengan
konsepsi pembelajaran pendidikan pada SLTP Terbuka. Kondisi
dan strategi pembelajaran tak bisa dilaksanakan secara optimal
sehingga diasumsikan (belum ada penelitian) motivasi belajar dan
motivasi keberhasil siswa semakin menurun. Pada akhirnya hasil
belajar siswa tidak sesuai dengan yang diharapkan seperti pada
lokasi-lokasi perintisan. Permasalahan yang terjadi pada sistem SLTP
Terbuka, terjadi pula pada sistem SMU Terbuka, walaupun jumlahnya
baru diritis di tujuh lokasi. Atas dasar itu maka perlu upaya-upaya
untuk meningkatkan motivasi belajar dan motivasi berprestasi siswa
SLTP Terbuka dan SMU Terbuka.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 39


II. KAJIAN LITERATUR
Cukup banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Namun
dalam makalah ini, kami mencoba mengangkat dari berbagai sumber,
yang mengatakan hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh 1)
karakteristik siswa dan 2) metode atau strategi pembelajaran
(Reigeluth, 1983).

1. Karakteristik Siswa
Karakteristik siswa dalam kajian ini penulis batasi pada dua faktor
yaitu a) kemampuan awal dan b) motivasi belajar dan motivasi
berprestasi.
a. Kemampuan awal
Beberapa ahli perancang pembelajaran, mengisyaratkan
bahwa rancangan pembelajaran dikatakan baik apabila
memperhitungkan kemampaun awal siswa sebagai sasaran.
Pada awal proses pembelajaran kadang-kadang siswa belum
mempunyai kemampuan yang dijadikan tujuan dalam
kegiatan pembelajaran, bahkan terdapat suatu jurang antara
tingkah laku (kemampuan, pengetahuan, sikap, dan
keterampilan) awal proses pembelajaran dan tingkah laku
siswa pada akhir proses pembelajaran. Jurang tingkah laku
siswa pada awal dengan akhir pembelajaran tersebut perlu
dijembatani, sehingga hasil setelah proses dilakukan
tercapai sebagaimana yang direncanakan. Proses
pembelajaran yang baik dimulai dengan titik tolak yang
berpangkal pada kemampuan awal siswa untuk
dikembangkan menjadi kemampuan baru, sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang dirumuskan (kemampuan atau
tingkah laku final). Oleh karena itu, keadaan siswa pada awal
proses pembelajaran tertentu (tingkah laku awal) mempunyai
relevansi terhadap penentuan, perumusan, dan pencapaian
tujuan-tujuan pembelajaran (tingkah laku akhir/final). Menurut
Winkel (1991), tingkah laku awal itu dipandang sebagai
pemasukan (input; entering behavior), yang menjadi titik tolak
dalam proses pembelajaran yang berakhir dengan suatu

40 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


pengeluaran (output; final behavior). Kalau demikian
kemampuan awal siswa merupakan salah satu karakteristik
yang perlu diperhatikan oleh perancang pembelajaran atau
guru dalam merancang pembelajaran tertentu, karena
kemampuan awal memungkinkan proses pembelajaran akan
berjalan dengan efektif dan pencapaian hasil sebagaimana
yang diharapkan.

Benyamin S. Bloom (1976), menyebutkan kemampuan awal


(Cognitive Entery Behavior) adalah berkaitan dengan
berbagai tipe pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi
yang dipersyaratkan (prerequisite), yang esensial untuk
mempelajari tugas atau satu set tugas khusus yang baru.
Ini berarti kemampuan awal itu adalah pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang telah dipelajari atau
dikuasai oleh siswa sebagai persyaratan untuk mempelajari
tugas-tugas pembelajaran yang baru. Pengetahuan faktual
itu mungkin saja sesuatu yang telah atau pernah dipelajari
oleh siswa, yang perlu dikeluarkan untuk mempelajari atau
memecahkan soal-soal yang sedang dipelajari. Misalnya;
untuk mempelajari atau menghitung masa jenis suatu benda
(r) pada pelajaran fisika di SLTP menggunakan rumus; masa
jenis benda (r) = masa jenis (M) dibagi Volume (V) atau
r = M : V. Dalam memecahkan persoalan rumus dan problem
fisika ini siswa harus telah mengetahui atau mempunyai
pengetahuan tentang perkalian, dan pembagian. Selain itu
siswa harus juga telah menguasai pengetahuan bahwa
konsep tentang volume sama dengan isi yang disimbolkan
ukurannya dengan meter kubik (m3 ) dan masa jenis dengan
ukuran kg. Selain itu siswa haru tahu pula bahwa 1 m3 sama
dengan 1.000 liter, karena 1 m3 sama dengan 1.000 dm3,
sedangkkan 1 dm3 sama dengan 1 liter.

Gerlach dan Ely mengatakan bahwa melalui tes Enteryng


Behaviors (kemampuan awal) siswa, guru akan mengetahui
apa yang dibawa atau yang telah diketahui oleh siswa

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 41


terhadap sesuatu pelajaran pada saat (pelajaran) dimulai.
Para perancang pembelajaran atau guru dalam
mengembangkan satuan pelajaranya dia harus mengetahui;
siapa kelompok, populasi, atau sasaran kegiatan
pembelajaran tersebut ? Perlunya guru atau perancang
pembelajaran mengetahui kemampuan awal ini, agar
pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif, karena
pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa terdapat juga
pengetahuan yang merupakan prerequisit bagi tugas belajar
yang baru. Untuk mengetahui kemampuan awal sekelompok
siswa atau mahasiswa perlu diadakan tes awal. Tes awal
mempunyai fungsi atau tujuan yang berharga bagi
pengembang pembelajaran.

Menurut Popham dan Baker (Hadi, dkk., 1992) berdasarkan


data tes awal guru dapat menentukan 1) apakah siswa-
siswanya telah memiliki keterampilan yang diperlukan demi
berhasilnya program pengajaran yang disusunnya. 2)
Sudahkan siswanya telah mencapai tujuan-tujuan yang
seharusnya sudah dicapai dalam pelajaran-pelajaran
sebelumnya? Apabila siswa telah gagal menguasai prilaku-
prilaku prasyarat maka pelaksanaan pembelajaran
berikutnya akan mengalami hambatan.

Bloom berpendapat, kemampuan membaca pemahaman


pada kelas 1 - 6 kelihatannya mempunyai pengaruh yang
besar dalam belajar di sekolah yang lebih tinggi kemudian.
Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan bahan belajar yang
digunakan di sekolah mempersyaratkan kemampuan
membaca pemahaman. Bahkan telah diteliti hubungan
antara kemampuan membaca pemahaman dengan
keberhasilan mempelajari mata pelajaran Matematik dan IPA
Fisika. Dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa; korelasi
antara membaca pemahaman dengan matamatika 0.72, dan
membaca pemahaman dengan IPA Fisika 0.62 untuk kelas

42 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


6 - 8; sedangkan pada kelas 9 - 12, korelasi antara membaca
pemahaman dengan Matematika 0. 54, serta antara
membaca pemahaman dengan IPA Fisika 0.58. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelas-kelas rendah
(SD dan SLTP) keberhasilan dalam mempelajari berbagai
mata pelajaran khususnya Matematikan dan Fisikan banyak
dipengaruhi oleh kemampuan membaca pemahaman dari
siswa. Makin tinggi kemampuan membaca pemahamannya
semakin mudah menelaah materi-materi mata pelajaran lain.
Hal ini lebih-lebih pada SLTP Terbuka, karena sistem ini
menerapkan sistem belajar mandiri dengan modul cetak
sebagai bahan belajar utamanya. Oleh karena itu
pengetahuan prerequisites atau cognitive entry behaviors
untuk menelaah tugas-tugas belajar kognitif memerlukan
suatu keterkaitan antara siswa dengan penyelesaian tugas
belajar. Bila siswa telah menguasai pengetahuan prerequisit
yang diperlukan untuk tugas-tugas belajar yang baru
kemungkinan mereka akan mudah menyesuaikan mempelajari
tugas-tugas belajar yang baru, sehingga memungkinkan
mereka berhasil dalam mempelajari nata pelajaran yang
bersangkutan. Walaupun demikian, hal ini akan terjadi bila
mereka termotivasi untuk melakukan tugas-tugas balajar itu
dan bila kualitas dari pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
mereka. Dengan demikian keberhasilan belajar seseorang
akan tercapai, di samping mempunyai kemampuan awal yang
memadai, bermotivasi untuk melaksanakan tugas-tugas
belajarannya dengan baik, dan juga kualitas pembelajaran yang
disajikan sesuai dengan kebutuhan (need) siswa.

Selanjutnya Bloom mengatakan, ada bukti bahwa kemampuan


awal (cogtinive entry behaviors) dapat menjelaskan (mempunyai
pengaruh) 50 persen terhadap keberhasilan seseorang terhadap
suatu set tugas belajar. Ini berarti walaupun kemampuan awal
mempunyai andil 50 persen dalam keberhasilan belajar
seseorang, namun temuan tersebut belum tentu benar untuk
semua tugas belajar atau semua mata pelajaran.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 43


Dari uraian tersebut jelas sekali bahwa kemampuan awal,
dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
Kemampuan awal yang dibutuhkan untuk mempelajari suatu
mata pelajaran, bukan saja pengetahuan yang dikuasai oleh
siswa pada mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi juga
pengetahuan mata pelajaran lain. Pengetahuan awal pada
suatu mata pelajaran memungkinkan untuk dimanfaatkan
secara lintas mata pelajaran. Misalnya, kemampuan
membaca pemahaman dapat mempermudah mempelajari
semua mata pelajaran yang tertulis. Begitu pula, simbol-
simbol atau angka-angka yang telah dipelajari dan dikuasai
melalui mata pelajaran matematika dapat digunakan di
samping untuk mempelajari matematika lebih tinggi, tetapi
juga untuk mempelajari mata pelajaran fisika, kimia, biologi,
tata buku, geografi, ekonomi, statistik, dan sebagainya.

b. Motivasi belajar dan motivasi berprestasi


Motivasi (motivation) berarti to move atau menyebabkan
terjadinya aktifitas-aktifitas seseorang (si pebelajar).
Motivasi disebut juga sebagai sesuatu yang melatar-
belakangi terjadinya prilaku si pebelajar. Bisa juga sebagai
dorongan atau hasrat yang menyebabkan si pebelajar
beraktifitas atau bertingkah laku dalam mencapai tujuan
(pembelajaran) atau kebutuhan (Suriasumantri, tanpa tahun).

Dalam kegiatan pembelajaran, motivasi merupakan salah


satu faktor yang menentukan keberhasilan belajar siswa, di
samping faktor karakteristiknya di antaranya kemampuan
awal dan sikap siswa terhadap mata pelajaran dan guru.
Menurut Davies (1981), motivasi mempunyai pengaruh
penting dalam pembelajaran.

Pertama; Motivasi memberi semangat siswa; Hal ini


membuat siswa menjadi aktif, sibuk, dan tertarik. Ini berarti
siswa melakukan berbagai upaya atau usaha untuk

44 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


meningkatkan keberhasilan dalam belajar sehingga mencapai
kleberhasilan yang cukup memuaskan sebagaimana yang
diharapkan. Di samping itu motivasi juga menopang upaya-
upaya dan menjaga agar proses belajar siswa tetap jalan.
Hal ini menjadikan siswa gigih dalam belajar. Upaya-upaya
atau usaha (Gredler, 1986), merupakan atribusi intrinsik untuk
memperoleh kesuksesan atau menghindari kegagalan. Siswa
yang bermotivasi tinggi (motivasi berprestasi) akan
melakukan upaya-upaya atau usaha dengan frekuensi dan
intensitasnya pun akan tinggi. Bila hal ini terjadi, maka
keberhasilan belajar siswa akan terjadi. Dengan kata lain
siswa yang bermotivasi tinggi dalam belajar memungkinkan
akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula. Semakin
tinggi motivasinya, semakin intensitas usaha dan upaya yang
dilakukan, maka semakin tinggi hasil belajar yang
diperolehnya.

Kedua; Motivasi mengarahkan dan mengendalikan tujuan.


Siswa yang bermotivasi mampu mengarahkan dirinya untuk
melengkapi tugas-tugas, memungkinkan ia mencapai tujuan
(khusus) yang diinginkan. Hal ini menjadikan siswa terarah.
Dalam proses pembelajaran, selalu mengarah untuk
pencapaian tujuan. Bila dalam pembelajaran setelah
dievaluasi, menunjukkan sebagian besar tujuan telah dicapai,
itu menunjukkan proses pembelajaran tersebut berjalan efektif
dan terarah. Semakin tinggi motivasi siswa, semakin efektif
atau terarah mengerjakan atau melengkapi tugas-tugas
belajar, dan memungkinkan memudahkan pencapaian tujuan
pembelajaran. Ini berarti motivasi dapat mengarahlan
seseorang untuk mencapai tujuan.

Ketiga; Motivasi itu adalah selektif; Selektif dalam


menentukan kegiatan yang akan dilakukan (diambil). Artinya
siswa terpusat perhatian dan pikirannya terhadap apa yang
sedang dihadapinya. Bila pada saat itu sedang belajar, berarti

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 45


siswa terpusat perhatiannya pada apa yang sedang
dipelajarinya. Bila perhatian terpusat banyak informasi,
konsep, prosedur, atau meta kognitif, dalam materi yang
dipelajarinya terserap. Begitu pula, bila siswa menemukan
masalah dalam kondisi pikiran yang terpusat, memungkinkan
ia mampu menemukan bagaimana tugas-tugas atau masalah-
masalah itu akan dilakukan. Berarti motivasi menentukan
prioritas pemecahan masalah dari berbagai kemungkinan
pemecahannya. Menilik penjelasan ini, motivasi dapat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Siswa yang tidak
bermotivasi, pikiran dan perhatiannya tidak terpusat,
sehingga tidak mampu menemukan alternatif pemecahan
masalah belajarnya, memungkinkan hasil belajarnya
menurun atau tidak tercapai.

Keempat; Motivasi membentuk prilaku siswa. Motivasi


mengorganisir berbagai aktivitas siswa. Aktivitas-aktivitas
memungkinkan keberhasilan ditingkatkan frekuensinya,
sebaliknya aktivitas-aktivitas yang memungkinkan akan
kegagalan, dienyahkan atau diacuhkan. Bila hal ini terjadi
dalam kondisi pembelajaran, maka akan memungkinkan
keberhasilan akan diperoleh atau diraih. Ini berarti hasil
belajar dapat ditingkatkan.

Dari uraian di atas, motivasi yang merupakan fungsi stimulus


tugas, dan mendorong siswa (individu) untuk berusaha atau
berupaya mencapai keberhasilan atau menghindari
kegagalan. Siswa yang bermotivasi (belajar dan berprestasi)
tinggi, misalnya ingin memproleh nilai prestasi tinggi, melihat
dirinya lebih mampu daripada siswa yang bermotivasi rendah.
Mereka akan berusaha lebih banyak serta melakukan atau
menyelesaikan tugas-tugas untuk mencapai prestasi itu. Jadi
untuk keberhasilan belajar siswa di samping bermotivasi
tinggi, juga harus didukung oleh kemampuan yang memadai
(kemampuan awal siswa) untuk mengerjakan tugas-
tugasnya.

46 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


2. Metode (Strategi) Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik (si
pebelajar) dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belaqjar (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003). Sementara
itu, “strategi dapat diartikan sebagai cara bagaimana isi pelajaran
disajikan atau dipresentasikan dalam lingkungan pembelajaran”
(Gerlach & Ely, 1971). Ini dapat diartikan bahwa strategi
pembelajaran adalah cara bagaimana isi pembelajaran
dipresentasikan. Hal itu termasuk keluasan dan urutan kegiatan/
kejadian yang dapat memberikan pengalaman belajar. Sementara
itu Reigeluth & Merril (1983), menyatakan ada tiga komponen
utama dalam strategi pembelajaran, yaitu: strategi
pengorganisasian Pembelajaran, strategi penyampaian, dan
strategi pengelolaan (kegiatan) pembelajaran.

a. Strategi pengorganisasian
Strategi pengorganisasian pembelajaran atau strategi
pengorganisasian bahan ajaran lebih menitikberatkan pada
“cara untuk membuat urutan dan mensintesis fakta, konsep,
prosedur, dan meta kognitif yang berkaitan dalam penyajian
isi suatu mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa”. Cara
penyajian semacam ini dalam sistem SMP dan SMU
Terbuka lebih cenderung kepada pengembangan dan
penulisan bahan belajar atau modul pelajaran cetak. Modul
pelajaran sudah disusun melalui diskusi dan lokakarya yang
melibatkan akhli mata pelajarn, guru mata pelajaran, dan
pengkaji media.

b. Strategi penyampaian
Strategi penyampaian pembelajaran dapat dirinci menjadi 1)
penggunaan media pembelajaran, dan 2) bentuk belajar
mengajar (pembelajaran).

Pertama; Penggunaan media pembelajaran. Media


pembelajaran mampu menyajikan muatan isi (fakta, konsep,
prosedur,meta kognitif) yang akan disampaikan kepada siswa.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 47


Interaksi siswa dengan media akan mencakup “apa yang
harus dilakukan siswa dan bagaimana peranan media untuk
meningkatkan interaksi yang dimaksud”. Proses belajar
terjadi dalam diri siswa ketika mereka berinteraksi dengan
media atau sumber belajar. Pada sistem SLTP Terbuka,
siswa melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan
modul cetak sebagai media utama, dan media audio visual
(audio kaset, video kaset, program radio, program TV, VCD,
buku paket) sebagai media penunjang. Media-media tersebut
dipilih dan dikembangkan berdasarkan karakteristik mata
pelajaran, dan melibatkan berbagai unsur seperti guru, ahli
mata pelajaran, dan pengkaji media. Misalnya; media audio,
diperioritaskan untuk mata pelajaran yang diasumsikan efektif
disimak melalui pendengaran seperti bahasa Inggris, bahasa
Indonesia, dan mata pelajaran IPS. Mata pelajaran-mata
pelajaran yang muatan isinya lebih banyak mengandung
konsep, prosedur, dan prinsip seperti matematika, fisika,
biologi, dan beberapa topik IPS, lebih banyak disajikan
dengan media video, atau televisi.

Kedua; Bentuk kegiatan pembelajaran. Dalam bahasan ini


akan mencakup pengelompokan siswa dalam bentuk
kelompok besar, kecil, perorangan atau mandiri. Dalam
sistem SLTP Terbuka, bentuk kelompok besar terjadi pada
saat siswa mengikuti pembelajaran melalui tatap muka. Pada
kegiatan ini lebih difoluskan pada pemecahan kesulitan-
kesulitan atau materi-materi yang tidak dimengerti oleh siswa
pada saat belajar mandiri atau kelompok kecil di TKB masing-
masing.

c. Strategi pengelolaan
Menurut Reigeluth dan Merrill (Degeng, 1989) paling tidak
ada 4 (empat) hal yang menjadi urusan strategi pengelolaan,
yaitu: “1) penjadwalan; (2) pembuatan catatan kemajuan
belajar siswa; (3) kontrol belajar; dan 4) pengelolaan

48 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


motivasional. Pengelolaan motivasional telah diuraiakan
pada bagian-bagian sebelumnya, sehingga tidak perlu dibahas
di bagian ini.

Pertama; Penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran


mengacu kepada kapan dan berapa kali suatu strategi
pembelajaran atau komponen-nya dipakai dalam suatu situasi
pembelajaran. Misalnya berapa kali siswa menggunakan
program kaset audio dan mendengarkan program radio dalam
seminggu, berapa kali kegiatan belajar secara tatap muka
dilakukan dalam sebulan untuk tiap mata pelajaran, berapa
lama mereka dijadwalkan untuk melaksanakan praktek IPA
(fisika) dalam satu semester, berapa kali mereka menonton
proram video dan televisi dalam satu bulan, dan berapa kali
mereka belajar serta mengunjungi alam terbuka seperti
metode proyek, serta berapa kali dalam seminggu mereka
mengunjungi dan magang pada industri-industri kecil atau
rumah tangga di sekitarnya. Bila semua hal tersebut di atas
dijadwalkan dengan jelas, maka pelaksanaan pembelajaran
akan berjalan secara efektif, menarik, praktekable, maka
niscaya hasil belajar siswa meningkat dan bermanfaat.

Kedua; Pembuatan catatan kemajuan belajar siswa,


mengacu kepada kapan dan berapa kali penilaian hasil belajar
dilakukan, serta bagai-mana prosedur penilaian. Pada sistem
SMP Terbuka dilakukan bermacam bentuk penilaian, yaitu
penilaian akhir modul, akhir unit (beberapa modul), akhir
catur wulan dan ujian akhir dalam bentuk EBTA dan UAN.
SLTP Terbuka yang bagus, apabila melaksanakan semua
ketentuan termasuk pelaksanaan dan pembuatan catatan
kemajuan belajar siswa. Catatan kemajuan belajar siswa,
sebagai salah satu fungsinya adalah sebagai balikan (umpan
balik) baik bagi siswa maupun bagi sekolah dan guru mata
pelajaran (Guru Bina). Berdasarkan hasil penelitian dan
berbagai sumber menunjukkan bahwa umpan balik yang
dilakukan dengan baik dan benar, mampu mendongkrak

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 49


motivasi belajar dan berprestasi siswa. Ini berarti umpan
balik secara tidak langsung meningkatkan hasil belajar siswa.

Ketiga; Kontrol belajar merupakan bagian penting untuk


mempreskripsikan strategi pengelolaan pembelajaran.
Komponen ini mengacu kepada “kebebasan siswa melakukan
pilihan pada bagian isi yang dipelajari, kecepatan belajar,
komponen strategi pembelajaran yang dipakai, dan strategi
kognitif yang digunakan. Aspek-aspek ini dapat memberikan
petunjuk bagaimana cara pengelolaan pembelajaran”.

Setiap siswa mempunyai kondisi dan karakteristik yang


berbeda dengan yang lainnya. Kemajuan belajar setiap
siswa selalu berbeda dengan siswa yang lain. Untuk itu
diperlukan pengontrolan belajar siswa, termasuk pengontrolan
belajar mandiri dan kelompok di rumahnya. Data kemajuan
belajar dapat dipakai sebagi informasi tentang fluktuasi dan
atmosfir kemajuan belajar siswa. Siswa yang kelihatan
kemajuan belajarnya cenderung menurun, maka kepadanya
perlu diberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk-
petunjuk bagaimana meningkatkan hasil belajarnya.
Sebaliknya siswa yang prestasinya baik dan fluktuasi hasil
tesnya menunjukkan grafik yang bagus, maka kepadanya
pula diberi pengarahan supaya mempertahankan prestasinya.

III. UPAYA-UPAYA PENINGKATAN MOTIVASI


Untuk menentukan upaya-upaya peningkatan motivasi, indikatornya
banyak sekali. Karakteristik siswa dan mata pelajaran sangat
menentukan untuk menentukan upay-upaya tersebut. Siswa yang
mempunyai motivasi belajar dan berprestasi intrinsik yang kuat
berbeda penanganannya dengan siswa yang bermotivasi belajar dan
berprestasi ekstrinsiknya yang kuat. Siswa yang bermotivasi atau
beraspirasi melanjutkan pendidikan, berbeda dengan siswa beraspirasi
mencari pekerjaan setelah tamat SLTP. Begitu pula pendekatan
yang digunakan untuk meningkatkan motivasi belar IPA berbeda

50 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


dengan mata pelajaran Bahasa Inggris, IPS, Bahasa Indonesia, atau
Muatan Lokal. Di sisi lain faktor-faktor terjadinya penurunan motivasi
belajar dan berprestasi juga turut menentukan pemilihan upaya yang
akan dilakukan. Oleh karena itu sangat mustahil dalam tulisan ini
untuk menyajikan upaya peningkatan motivasi sesuai dengan
karakteristik siswa dan mata pelajaran. Lagi pula (Davies, 1971)
mengatakan sering terjadi strategi yang paling baik adalah tanpa
menghiraukan ada atau tidak adanya motivasi, akan tetapi
memusatkan pada penyampaian materi dengan cara yang begitu
rupa sehingga motivasi siswa dapat dimunculkan dan diperkuat
selama proses belajar. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan hasil
belajar di atas juga merupakan upaya-upaya dalam meningkatkan
motivasi belajar siswa terutama siswa SLTP Terbuka. Atas dasar
itu kami mencoba menyampaikan upaya-upaya peningkatan motivasi,
pada situasi pembelajaran secara umum.

a. Pengembangan Bahan Pembelajaran


Pada sistem SLTP dan SMU Terbuka, siswa belajar secara
mandiri melalui bahan belajar utama berupa modul cetak yang
ditopang oleh berbagai media non cetak. Berbagai macam jenis
media tersebut harus menarik dan mudah dipahami siswa, kalau
tidak maka motivasi belajar dan motivasi berprestasi siswa akan
menurun. Berarti upya peningkatan motivasi belajar dan
berprestasi siswa SLTP dan SMU Terbuka dimulai dengan
pengembangan bahan belajar mandirinya.

Upaya-upaya dan usaha untuk meningkatkan motivasi belajar


siswa melalui pengembanagan bahan belajar sudah dilakukan
dengan mengacu kepada teknik-teknik, konsep-konsep atau
teori-teori pengembangan dan penulisan modul. Misalnya,
menggunakan ilustrasi, gambar, dan grafis, menggunakan
bahasa yang sederhana sehingga memudahkan siswa
memahaminya, penyajian materi dari yang sederhana ke
kompleks, dari yang mudah ke sukar, dari yang konkrit ke yang
abstrak, dan penampilan serta perwajahan berwarna.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 51


Penyediaan jenis media yang disesuaikan karakteristik mata
pelajaran ini, dimungkinkan guru atau siswa dalam proses
pembelajaran dapat memilih jenis media yang sesuai karakteristik
dan pola pembelajaran yang diinginkannya, dan memungkinkan
pemanfaatannya secara kombinasi. Berarti kehadiran berbagai
jenis media, memungkinkan proses pembelajaran sesuai dengan
minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa. Dengan kata lain
kehadiran berbagai jenis media dalam sistem SLTP Terbuka,
membuka dan mendorong motivasi siswa untuk melakukan
aktivitas belajar dan mecapai keberhasilan dalam belajar. Berarti
pemanfaatan media oleh siswa dan guru dalam proses
pembelajaran secara maksimal akan memungkinkan peningkatan
hasil belajar siswa. Perlu pula diperhatikan dan dicatat oleh Kepala
sekolah, Guru Bina, dan Guru Pamong bahwa media atau sumber
belajar di samping dapat meningkatkan pengaruh motivasional
siswa, “misalnya seorang guru/tokoh masyarakat sebagai sumber
belajar dapat bertindak sebagai motivator bagi seorang siswa,
namun perlu hati-hati kadang-kadang pada saat yang sama ia
justru menghancurkan motivasi siswa yang lain”.

b. Awal Pembelajaran
Di TKB siswa belajar mandiri dan dalam kelompok kecil dibawah
bimbingan atau kontrol dari Guru Pamong. Dalam 2 (dua) hari
dalam seminggu mereka mengikuti belajar melalui tatap muka
di SLTP Induk atau tempat lain, di bawah bimbingan Guru Bina
(Guru Mata Pelajaran).

Pada awal pelajaran kelompok di TKB dan belajar melalui tatap


muka, Guru Pamong dan Guru Bina, hendaknya memulai
pelajaran atau pertemuan dengan

Pertama; Menyapa siswa, misalnya selamat berjumpa, selamat


siang/sore dan diikuti dengan mencek kehadiran siswa; Kegiatan
ini dimaksudkan untuk memusatkan perhatian siswa pada situasi
pembelajaran yang akan di mulai. Dengan demikian baik fisik

52 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


dan mentalnya terjaga dan siap mengikuti pelajaran. Memusatkan
perhatian berarti motivasi siswa sudah mulai muncul;

Kedua; Mengutarakan mata pelajaran, judul, dan nomor modul


yang akan dibahas atau didiskusikan, dan diikuti dengan
penjelasan singkata materi yang lalu serta kaitannya dengan
modul yang didiskusikan. Perhatian siswa terhadap mata
pelajaran bersangkutan susdah lebih dipusatkan. Melalu
penjelasan hubungan materi yang lalu dengan materi yang
dibahas sekarang, berarti guru merangsang siswa untuk
memunculkan informasi berupa fakta, konsep, prosedur, dan
prinsip yang telah ada dalam ingatan jangka panjangnya (long
term memory). Informasi yang telah dipunyai itu dapat
mempermudah mempelajari informasi yang baru.

Ketiga; Membentuk kelompok (belajar kelompok di TKB); siswa


diatur duduknya dalam kelompok yang dipimpin oleh seorang
temannya, dan dijelaskan berapa lama mereka belajar mandiri,
diskusi kelompok, dan diskusi dalam kelompok besar seluruh
siswa di TKB tersebut. Melalui pengelompokan ini, berdasarkan
teori belajar arah diri, siswa dapat berinteraksi antar teman, saling
tukar menukar pendapat dan pikiran, dan dapat membahas
masalah secara bersama. Melalui kegiatan semacam ini dapat
mengembangkan konsep diri dan kemampuan memecahkan
masalah bagi siswa. Pada sekolah-sekolah di negara Eropah
kegiatan semacam ini ditunjang oleh komputer menggunakan
bahasa LOGO dengan program grafik kura-kura (turtle graphics)

Untuk menunjang beberapa upaya tersebut di atas, pada setiap


bagian pendahuluan modul, selalu menggunakan bahasa sapaan,
kaitan isi modul dengan modul sebelumnya, tujuan, pokok-pokok
materi, petunjuk cara mempelajari modul, dan petunjuk
mengerjakan tes akhir modul sebagai balikan hasil belajar. Hal
ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan motivasi belajar
siswa waktu belajar mandiri.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 53


c. Saat Proses Pembelajaran
Pertama; Membuat suasana kelas yang mengandung persaingan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan saksama, terarah,
dan jelas secara umum kemudian perkelompok (per TKB pada
tatap muka). Namun demikian, kurangi persaingan untuk
memperoleh ganjaran dan kegiatan yang memberikan ganjaran
yang berkaitan dengan akademik.

Kedua; Menciptakan kondisi kelas yang mendukung terjadinya


interaksi antar siswa, saling menukar pengalaman dan
pengetahuan melalui teknik atau metode diskusi;

Ketiga; Tingkatkan motivasi dan perhatian ke arah siswa yang


kelihatan kurang perhatian atau motivasi dengan menggunakan
kode gerakkan mata, intonasi suara yang sekali-sekali keras
dan bersemangat.

Keempat; Manfaatkan dan gunakan berbagai macam media


dan teknik atau metode secara bergantian sesuai dengan
spsifikasi materi yang dibahas dan didiskusikan.

d. Akhir Pembelajaran
Pertama; Beriakan balikan (umpan balik) pada saat jawaban
pertanyaan oleh siswa, hasil jawaban siswa setiap tes. Dalam
memberikan balikan, guru hendaknya memberikan penjelasan
jawaban yang benar seharusnya bagaimana, bila jawaban siswa
hampir betul atau betul berikan pujian misalnya; bagus sekali,
betul sekali dsb. Tetapi bila jawabannya belum betul, janganlah
memberikan balikan dengan mengatakan salah, bodoh. Dalam
hal ini, alangkah baiknya gunakan bahasa yang menyenangkan,
misalnya, jawabanmu belum betul, atau kamu sebenarnya pintar
mungkin belum berusaha dengan baik, dan sebagainya.

Kedua; Pada akhir pertemuan atau kegiatan, usahakan materi


yang dibahas tadi dibuatkan atau dijelaskan secara singkat
rangkumannya dengan tepat, jelas, dan singkat.

54 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


Ketiga; Pada akhir kegiatan perlu juga diperingatkan siswa waktu
pertemuan lagi, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan siswa
sebelum kegiatan berikutnya, atau memberikan pekerjaan rumah.

Keempat; Pada sat kegiatan berakhir, ucapkan selamat sore


atau siang, dan selamat bertemu lagi pada pertemuan yang akan
datang.

Selain dari berbagai upaya tersebut di atas, ada pula upaya-


upaya lain yang lebih umum dan di luar kegiatan pembelajaran
di kelas, seperti berikut.

Pertama; Biasakan memberikan ganjaran berupa hadiah alat


tulis, buku pelajaran, atau bea siswa bagi siswa yang masuk
kategori 10 besar pada setiap tingkat kelas dan tiap semester.

Kedua; Pada waktu pembagian raport, siswa yang termasuk


dalam 10 besar diumumkan di muka orang tua murid, dan
dipanggil untuk maju dan berdiri di muka kelas.

Ketiga; Adakan kegiatan olah raga dan kesenian, pertandingan


olah raga dan kesenian antar kelas, antar tingkat, dan atar
sekolah. Berikan hadiah dan piagam bagi yang berhasil juara,
baik perorangan maupun kelompok.

Keempat; Khusus siswa SLTP dan SMUTerbuka, berilah


kesempatan mereka untuk mengikuti upacara penaikan dan
penurunan bendera, sekali gus sebagai petugasnya. Lebih bagus
kegiatan tersebut bergabung dengan siswa-siswa SLTP
Induknya.

e. Kehadiran Guru Bina dan Guru


Kehadiran guru bina dan guru pamong dalam pembelajaran tutorial
tatap muka dan belajar di TKB akan meningkatkan motivasi
belajardan motivasi berprestasi siswa.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 55


Guru mata pelajaran yang bersangkutan di samping membantu
siswa memecahkan kesulitan, juga diharapkan meningkatkan
motivasi belajar siswa khususnya siswa yang bermotivasi rendah.
Kehadiran guru mata pelajaran yang sehari-harinya mengajar dan
sebagai guru SLTP reguler (Induk), memunculkan perasaan/
keyakinan siswa bahwa mereka betul-betul bersekolah di SLTP
Negeri, walaupun rata-rata hanya dua hari dalam seminggu
bertemu dengan guru-guru mata pelajaran (guru bina) dan Kepala
Sekolahnya. Pertemuan yang demikian, dapat memunculkan
dan meningkatkan rasa senang, menambah wawasan,
menambah jumlah kawan dari berbagai TKB dan dari SLTP Induk,
dan bahkan dapat menghilangkan ketegangan. Kalau demikian
kegiatan pembelajaran melalui tatap muka ini dapat meningkatkan
motivasi belajar dan berprestasi siswa, khususnya siswa-siswa
yang bermotivasi rendah. Hal ini secara tidak langsung akan
meningkatkan hasil belajar siswa. Perlu ditambahkan bahwa,
penentuan waktu (hari dan jamnya) dalam pelaksanaan
pembelajaran melalui tatap muka di SLTP Terbuka di dasarkan
waktu luang bagi siswa itu sendiri.

Pada sistem SLTP dan SMU Terbuka, selain ada


pengelompokkan pada pembelajaran tatap muka, juga ada
kegiatan belajar dalam kelompok kecil dan mandiri di TKB
masing-masing. Pada waktu belajar di TKB, siswa
dikelompokkan dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari
4 atau 5 orang siswa. Dalam kelompok kecil ini siswa diberikan
kebebasan untuk menentukan waktunya berapa lama mereka
belajar mandiri, kemudian berdiskusi untuk memecahkan
kesulitan yang dialami setiap siswa, dan merumuskan kesulitan-
kesulitan yang akan diajukan untuk didiskusikan seluruh siswa
di TKB tersebut. Selama kegiatan belajar mandiri dan diskusi
kelompok, guru pamong bersikap proaktif memonitor, memantau,
mengarahkan, membantu memecahkan kesulitan bila kebenaran
informasinya tidak diragukan. Suasana belajar rileks, tanpa ada
tekanan, siswa bebas memilih mata pelajaran yang didiskusikan
asal sesuai dengan jadwal yang ada. Kondisi belajar seperti ini

56 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


memungkinkan gejolak emosi siswa pada taraf yang normal atau
moderat sehingga memungkinkan pembangkitan dan
peningkatan motivasi siswa. Berdasarkan berbagai sumber,
pada saat emosi seseorang berada pada taraf moderat, akan
membuka peluang munculnya motivasi termasuk motivasi belajar
dan berprestasi.

Dalam kondisi emosi moderat. seseorang dapat melakukan


aktivitasnya dengan baik, mampu membangkitan informasi-
informasi dalam memorinya, baik memori jangka panjang maupun
jangka pendek. Belajar itu sendiri akan berlangsung dengan baik
dan efektif bila mampu mengkaitkan dan menghubungkan informasi
yang sudah dimiliki dengan informasi-informasi yang baru.

IV. PENUTUP
Isi makalah ini mungkin saja bukan hal yang baru, terutama sekali
para pembaca dan peserta latihan yang pernah duduk dibangku
pendidikan guru atau pernah mengikuti penataran yang serupa.
Kalau demikian kehadiran makalah ini sebagai upaya untuk
membangkitkan dan mengaktifkan informasi-informasi yang telah
tertahan dalam ingatan jangka panjang, serta dimanfaatkan dalam
menjalankan tugas sebagai pengelola pendidikan. Mungkin juga
beberapa informasi dalam paper ini ada hal-hal yang baru, sehingga
melengkapi pengetahuan dan pengalaman yang pernah dirasakan
dan dilaksanakan.

Bagi pembaca yang berstatus sebagai Kepala Sekolah, kami himbau


sebarkan pengetahuan dan informasi dalam makalah ini kepada
teman-teman sesama Kepala Sekolah, kepada Guru Bina dan Guru
Pamong, serta aplikasikan apabila masuk mengajar di kelas.
Menyebarkan ilmu dan pengetahuan itu adalah suatu perbuatan yang
baik dan mendapat pahala tiada taranya dari Allah Yang Maha Kuasa.
Lebih-lebih orang ditulari itu ditularkan lag kepada temannya dan
diamalkan dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan
pengajar.

Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 57


DAFTAR PUSTAKA
Berliner, David C. and Calfee, Robert C., Hand Book of Educational
Psychology, New York, Macmillan library Revarence USA, 1996.
Bloom, Benyamin S., Human Characteristics and School Learning, New York,
McGraw-Hill Company, 1976.
Buchler/Snowman, Psychology Applied to Teaching, Boston, Houston Miffin
Company, 1986.
Davies, Ivor K., Pengelolaan Belajar, (Penterjemah Sudarsono sudiardjo,
Lily Rompas, Koyo Kartasurya), Jakarta, PAU-UT kerjasama dengan CV
Rajawali, 1981.
————, Instructional Technique, New York, McGrow-Hill Book
Company,1981.
Degang, I. Nyoman S., Ilmu Pengajaran; Taksonomi Variabel, Jakarta
Depdikbud Ditjen Dikti, 1989.
Gagne, Robert M. and Briggs, Lislie J., Principle of Instructional Design,
Second Edition, New York, Holt Rinchart and Winstone, 1979.
Gerlach Vernon S. and Ely, Donald P., Teaching and Media, A Systematic
Approach, New Jersey, Prentice-Hall Inc. Engliwood Cliffa, 1971.
Good, Thomas L. and Brophy, Jere E., Educational Psychology A Realistic
Approach, Four Edition, New York & London, Longman, 1990.
Gredler, Margaret E. Bell, Belajar dan Membelajarkan, Penterjemah Munandir,
Jakarta, Rajawali Pers, 1986.
McClelland, David C. dkk., The Achievement Motive, New York, Irvington
Publishers, 1976.
Pophan, W. James and Baker, Evil L. Teknik Mengajar Secara Sistematik,
Penterjemah Amirul Hadi, dkk., Jakarta, Rineka Cipta, 1992.
Reigeluth, Charles M., Instructional Design, Theories and Model An Overview
of Their Current Status, London, Lawence Erlbaum Associaties Publisher,
1983.
Steers, Richard M. and Porter, Lyman W., Motivation and Work Behavior, Fift
Edition, New York, McGrew-Hill Inc., 1991.
Suparman, Atwi, Desain Pembelajaran, Jakarta Dirjen Dikti, PAU-UT,1991.
Suriasumantri, Jujun S., Berfikir Sistem; Konsep, Penerapan, Teknologi dan
Strategi Implementasi, Jakarta, Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta (tanpa
tahun).
Travers, Robert M.W., Essential of Learning; The New Cognitive Learniong
for Students of Education, Fift Edition, USA, Macmillan Publishing Co
Inc., 1982.
Winkel, W.S., Psikologi Pengajaran, Jakarta, PT Grasindo, 1987.

‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹

58 Nurdin Ibrahim: Motivasi Berprestasi Website: http://www.pustekkom.go.id


BELAJAR BERBASIS
ANEKA SUMBER (BEBAS):
Sebuah Pemikiran tentang Peluang dan Tantangannya *)
Oleh: Mohammad Tahmid **)

Abstrak
Belajar Berbasis Aneka Sumber (BEBAS) merupakan proses
belajar alternatif bagi mereka yang tak mampu masuk ke dalam
lembaga pendidikan konvensional. Dengan BEBAS seorang anak
didik dapat belajar dengan bantuan sumber belajar apa saja,
belajar dari siapa saja, belajar kepada siapa saja, belajar tentang
apa saja, dan belajar untuk tujuan apa saja. BEBAS dapat
berlangsung jika ada inisiator yang berasal dari masyarakat yang
peduli kepada pemerataan pendidikan, LSM, organisasi atau
bahkan pemerintah . Peran penting yang diharapkan dari
pemerintah adalah kebijaksanaan sertifikasi bagi mereka yang
dinilai telah mendapatkan keahlian tertentu setelah mengikuti
BEBAS. Keuntungan dari BEBAS disamping perluasan
kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan
yang mereka inginkan juga mengurangi beban pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan nasional.

A. Pendahuluan
Belajar tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan fisik,
melainkan non-fisik, yakni rasa ingin tahu dan prasyarat untuk
mencapai kemampuan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya
mampu pula memecahkan berbagai masalah. Kenyataan hidup
sehari-hari dalam meningkatkan kualitas dan bertahan hidup

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, Hotel Indonesia


Jakarta, 18 - 19 Juli 2002.
**) Drs. Mohammad Tahmid adalah Staf Balai Diklat Pegawai Teknis Keagamaan
Jakarta, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Pendidikan UNJ.

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 59


diperlukan berbagai kompetensi sehingga mampu bersaing dengan
lainnya. Hal demikian dapat dicapai kalau seseorang mampu belajar
dengan baik dan benar. Dengan demikian belajar sudah selayaknya
menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi seseorang yang
ingin mempertahankan, meningkatkan kualitas diri dan kehidupannya
serta ingin memenangkan persaingan di tengah arus global.

Belajar Berbasis Aneka Sumber (selanjutnya disingkat dan ditulis


dengan huruf kecil “bebas”) memang telah dipakai sebagai
pendekatan di lingkungan pendidikan1) konvensional sebagai upaya
memperluas sumber belajar. Namun bebas di sini dimaksudkan
sebagai proses belajar dari sumber apa saja, tentang apa saja, dan
kemudian di sini, mengenai bebas ini juga diperluas dalam pengertian
bebas yang sebenarnya, yakni tidak terikat. Jadi bebas dapat
dilakukan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan
bagaimanapun caranya yang tidak terikat oleh format pendidikan
formal yang telah diatur pemerintah.

Belajar di lingkungan formal dan non-formal telah dirasakan oleh


masyarakat pada umumnya sebagai suatu yang semakin sulit
dijangkau dan di sisi lain mereka semakin rnenyadari arti pentingnya.
sebagian kecil masyarakat dengan relatif mudah mendapatkan
(menikmati) proses pembelajaran yang bermutu tinggi di institusi
unggulan sementara jauh lebih banyak mereka yang tidak mampu
memperoleh pendidikan (baca: menyekolahkan) anggota keluarganya
di institusi pendidikan yang lumayan baik saja. Mahalnya biaya
pendidikan (belajar) merupakan salah satu yang mendorong penulis
untuk mencoba memaparkan bebas ini sebagai salah satu alternatif
pemecahannya. Keuntungan bebas lainnya disamping segi relatif
murah biayanya adalah terkait dengan waktu dan keleluasan
pebelajar untuk menguasai materil kemampuan tertentu, tanpa terikat
oleh berbagai aturan baku yang terkadang bersifat kaku.

1
) Tetap penulis gunakan istilah pendidikan ini, karena sudah umum digunakan
walaupun sebenarnya penulis setuju bahwa institusi pendidikan tidak mungkin
diformalkan dan yang bisa diformalkan adalah persekolahan.

60 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


Tanpa disadari setiap hari anak-anak maupun orang dewasa telah
menerapkan bebas ini. Namun demikian perlu disadari bahwa belajar
merupakan suatu proses yang disengaja

Untuk tujuan tertentu dan mengarah pada perubahan yang ralatif


menetap. Pada tataran terjadinya proses bebas ini memang
sebaiknya pemerintah atau lembaga resmi lainnya tidak ikut campur
tangan, namun persoalan pengendalian mutu dan standar hasil
belajarnya diperlukan campur tangan pihak-pihak yang lebih
berkompeten termasuk dan terutama sertifikasi atau pemberian
semacam surat tanda tamat belajar/menguasai kemampuan tertentu.
Dalam benak penulis mungkin akan dapat muncul semacam
sertifikasi bebas; SD, SLTP, SMU, SMK, D II, D III dan lain-lainnya
sebagai tanda bahwa peserta bebas telah memiliki dan bisa
dibuktikan mereka mampu dalam hal tertentu yang disyaratkan untuk
melaksanakan tugas tertentu. Misal bebas D III Perhotelan, bila
peserta bebas entah bagaimanapun caranya telah memiliki
kemampuan tertentu sebagai petugas khusus di Hotel.

Siapapun dapat melakukan dan atau ikut serta di dalam pendekatan


bebas ini sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tentu saja
akan disyaratkan umur tertentu apabila dalam pelaksanaannya
diharuskan belajar mandiri dan memerlukan persyaratan minimal
tertentu. Mengingat masih minimnya kemampuan masyarakat secara
umum mengidentifkasi sumber-sumber belajar dari kemampuan
tertentu sebagai tujuan belajar yang harus dikuasainya, maka
diperlukan paling tidak adanya inisiator maupun lembaga tertentu
yang memungkinkan terlaksananya bebas ini sesuai dengan
karakteristiknya (yang penulis maksudkan di atas) tanpa mengarah
kepada format pendidikan yang telah ada.

lnisiator di sini diharapkan dari orang/lembaga yang sangat peduli


kepada pemerataan pendidikan dari kesejahteraan ataupun mungkin
adanya campur tangan pemerintah sebagai legitimator terhadap hasil
belajar mereka (peserta bebas). Kepedulian dapat diwujudkan antara
lain dengan kesediaan membantu proses bebas dalam bentuk
bekerjasama dengan para “inisiator”, “organisator”; “koordinator” atau
Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 61
apapun namanya serta masing-masing individu pembelajar sehingga
memungkinkan adanya arah yang dituju secara jelas. Hal demikian
tentunya akan dimungkinkan lebih cepat terwujud apabila pemerintah
mengeluarkan aturan khusus tentang bebas ini sebagai proses
pendidikan/pembelajaran alternatif dan inovatif. Dan akhirnya
pantaslah untuk direnungkan ungkapan berikut “ Bebas untuk Belajar
dan Belajar untuk Bebas “.

B. Bebas di Lembaga Pendidikan Konvensional


Konsep pemakaian sumber belajar di sekolah/institusi pendidikan
konvensional memang telah menggunakan pendekatan bebas ini.
Namun kenyataannya penggunaan sumber belajar masih didominasi
oleh yang sifatnya merancang, belum memanfaatkan yang ada
disekelilingnya secara optimal. Keberadaan SLTP dan SMU Terbuka
yang dirintis oleh Pustekkom nampaknya cukup mendekati apa yang
penulis maksudkan, yakni berusaha menggunakan sumber belajar
yang relatif lebih luas yang berada di lingkungan sekitar para siswa.

C. Bebas Non-Format Pendidikan Konvensional


Belajar di lingkungan formal telah banyak mendapat kritik yang tajam
berbagai kalangam berkaitan dengan hasil belajarnya maupun pola-
pola administratif dan manajerial yang terkadang dirasa kaku dan
menghambat kreativitas. Uraian berikut mencoba memaparkan pola
lain proses belajar dan pembelajaran yang lebih banyak mendasarkan
diri pada pembelajar. Hal demikian akan sejalan dengan apa yang
dipandang oleh Teori Belajar Berdasarkan Psikologi Sasial:
Dalam pandangan faham belajar sosial, orang tidak
didorong oleh tenaga dari dalam, demikian pun tidak
digencet stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan.
Alih-alih fungsi psikologi orang itu dijelaskan sebagai
fungsi interaksi timbal balik yang terus menerus terjadi
antara faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya.
(Bandura, 1977b, hal. -11).2)
2
) Margaret E, Bell G.redler, Belajar dan Membelajarkan, Seri Pustaka’Teknologi
Pendidikan No. 11, CV Rajawali bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas di
Universitas Terbuka, Jakarta, 1991, hal 369

62 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


Teori belajar sosial Albert Bandura tersebut berusaha menjelaskan
asas belajar yang berlaku dalam latar/lingkungan yang wajar. Tidak
seperti halnya latar laboratorium, lingkungan sekitar memberikan
kesempatan yang luas kepada individu untuk memperoleh
keterampilan yang kompleks dan kemampuan melalui pengamatan
terhadap tingkah-laku model dan konsekuensi-konsekuensinya.

Menyimak sekilas teori belajar sosial tersebut, selanjutnya dalam


tulisan ini penggunaan sumber belajar di dalam aktivitas belajar oleh
pembelajar menurut hemat penulis dapat di golongkan ke dalam 3
tingkatan kebebasannya:

1. Bebas mutlak
Urusan belajar dan hal lain yang terkait, merupakan hak asasi
manusia sehingga setiap individu atau kelompok orang bebas
menentukan apa saja yang terkait dengan belajar termasuk
sumber belajarnya. Hal ini dapat dilihat dengan lebih jelas pada
orang dewasa lengkap dengan sifat-sifat kedewasaan yang lekat
padanya. Mereka memandang dan menyadari benar bahwa
belajar adalah kebutuhan individual dan sehagai kecenderungan/
kodrat manusia/binatang untuk memahami sesuatu dan bertahan
hidup. Dalam hal demikian siapapun kita tak dapat berbuat
banyak atas orang lain dalam hat belajarnya, tetapi semua hal
yang berkait dengan belajar terpulang pada individu, terutama
yang tergolong telah dewasa.

2. Bebas terkendali longgar


Proses belajar dan penggunaan sumber belajar terkendali dalam
arti positif oleh para inisiator, organisator, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) secara longgar demi efektivitas proses belajar.
Peran pengendali di sini hanyalah mungkin sebagai perumus
tujuan belajar, penyedia pokok-pokok materi dan pengidentifikasi
sumber-sumber belajar yang dapat digunakan oleh si belajar dan
kamudian hanya menginformasikan (termasuk di mana ada pusat
sumber belajar yang bisa dimanfaatkan) hal tersebut kepada
pembelajar yang selanjutnya terserah sepenuhnya kepada si

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 63


belajar. Dengan demikian akan tampak perbedaan model ini
dengan format pendidikan formal dan non-formal selama ini. Hal
demikian disadari karena pada dasarnya basis belajar ini pada
aneka sumber yang harus dicari, dialami, dicoba, dikoreksi sendiri
dan dimanfaatkan sendiri oleh si pembelajar. Namun demikian
juga masih dimungkinkan para inisiator tersebut menyediakan
sumber belajar tertentu untuk tujuan belajar tertentu.

Format seperti inilah yang penulis maksudkan di dalam tulisan


ini, sehingga memang di sana-sini terdapat berbagai peluang
dan tantangan bagi berbagai pihak mulai dari individu yang ingin
belajar menguasai sesuatu sampai lembaga-lembaga yang
secara resmi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pendidikan/proses pembelajaran.

3. Bebas terkendali ketat


Hal demikian telah dilakukan oleh berbagai institusi pendidikan
konvensional yang telah memiliki aturan yang terkadang bersifat
kaku dan berskala nasional. Namun demikian nampaknya
sekarang ini sedang berlangsung suatu proses penyusunan
peraturan pemerintah tergantung pendidikan yang di dalamnya
terdapat reorientasi keberadaan pendidikan nasional selama ini,
baik terkait dengan persoalan kurikulum, profesionalisme
kependidikan dan lain-lain termasuk di dalamnya penggunaan
sumber-sumber belajar.

Proses belajar itu dapat dilakukan setiap individu sesuai dengan


kemampuan masing-masing. Belajar dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari paling tidak dapat dipilah-pilah menjadi:
- belajar dengan ...
- belajar dari ...
- belajar kepada ...
- belajar tentang ...
- belajar untuk ...

64 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


• Belajar dengan. Menunjukkan bahwa proses belajar itu disertai,
didampingi, dengan perantaraan, menggunakan sesuatu yang
mendukung terjadinya proses belajar itu sendiri sehingga
tercapailah tujuan belajar. Dikaitkan dengan bebas, maka hal ini
dapat ditafisirkan pula penggunaaan aneka sumber belajar baik
insani maupun non-insani yang telah dirancang maupun yang
tinggal memanfaatkan. Namun peran sumber belajar di sini
merupakan pendamping, penyemangat ataupun penguat sehingga
pebelajar mampu melalukan tugas belajarnya. Misalnya untuk
belajar mengendarai sepeda motor seorang anak didampingi oleh
kakaknya/orangtuanya, untuk belajar desain grafis pebelajar
menggunakan perantaraan komputer.

• Belajar dari. Menunjukkan bahwa di dalam proses belajar


terdapat sesuatu yang digali sehingga pebelajar menguasai dan
mencapai tujuan belajar. Nuansa ini juga dapat disebut belajar
karena yang maksudnya lebih dekat kepada susuatu yang
menjadi inspirasi terjadinya belajar. Kaitannya dengan bebas
adalah bahwa segala sesuatu dapat menjadi inspirasi terjadinya
belajar, sehingga hal tersebut dapat disebut pula sumber belajar.
Misalnya; peristiwa hujan dapat kita jadikan sumber belajar. Jadi
kita dapat belajar dari hujan, kebakaran, kekeringan, kerusuhan,
dll.

• Belajar kepada. Hal ini lebih menunjukkan adanya obyek yang


dijadikan narasumber belajar. Narasumber lebih berperan sebagai
pengajar yang memiliki kemampuan lebih dan dengan demikian
ia dapat memberikan bahan ajar (sesuatu yang dapat dipelajari)
melalui dirinya kepada si belajar. Misalnya; belajar kepada
Ustadz, Kyai, Guru, Seorang Ahli, dll.

• Belajar tentang. Hal ini menunjukkan adanya spesifikasi materi


yang akan dikuasai sehingga proses belajar menjadi terfokus
kepada satu atau beberapa hal yang sejenis. Misalnya; belajar
tentang matematika, pemograman barbasis komputer, bagaimana
cara belajar yang baik, desain interior, sepak bola, dll.

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 65


• Belajar untuk. Hal ini menunjukkan adanya tujuan akhir belajar,
tujuan di sini lebih merupakan tujuan utama yang harus dilewati
melalui pencapaian tujuan-tujuan lain yang menjadi tahapan ke
arah tujuan utama. Kata untuk di sini juga bisa dipadankan
dengan demi, guna. Misalnya; belajar untuk menjadi seorang
sopir yang baik maka seseorang harus pula belajar tentang mobil,
jalan raya, aturan lalu lintas dan juga ia harus pula belajar dari/
kepada sopir lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikaitkan bahwa berbasis dalam


bahasan bebas ini dapat meliputi berbagai hal di atas kecuali belajar
tentang dan belajar untuk. Karena kata berbasis penulis artikan
sebagai “berdasar”, “mendasarkan diri”, “berpijak” kepada segala
macam sumber-sumber belajar.

Menurut Association for Educational Communication and Technology


(AECT ) sumber belajar sebagaimana dikutip oleh Karti Soeharto,
dkk dalam bukunya Teknologi Pembelajaran (1995):

Learning resources (for Educational Technology) all of


the resources (data, people, and things) which may be
used by the learner in isolation or in combination, usuaily
in a formal manner, to facilitate learning; they include
messages, people, materials, devices, techniques, and
setting. (AFCT, 1977, p.F) 3)

Yang dimaksud dengan sumber (pen: sumber belajar)


ialah asal (pen: sesuatu) yang mendukung terjadinya
belajar, termasuk sistem pelayanan, bahan pembelajaran
dari lingkungan.4)

3) Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media. Surabaya
Intelektual Club - Surabaya, Cet T 1995, hal. 73.
4) Barbara B. Seels, Rita C. Richey. Teknologi Pembelajaran; Definisi dan Kawasannya,
Seri Pustaka Teknologi Pendidikan No. 12, IPTPI bekerjasama dengan LPTK,
Gedung C, Kampus UNJ Rawamangun, Jakarta, hal. 13.

66 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


D. Peluang
Peluang dalam hal ini dimaksudkan sebagai adanya kesempatan
baik, yang penulis pandang sebagai sesuatu yang cukup inovatif
dan alternatif yang bisa di dapat/terwujud apabila diusahakan ke
arah itu dan berhasil melewati tantangan-tantangan tertentu.

Peluang melaksanakan bebas dan memperoleh manfaat dari bebas


ini secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Individu
2. Keluarga
3. Masyarakat
4. Pemerintah
5. Tempat Kerja
6. Tempat Ibadah
7. Media
8. Sekolah
9. Perguruan Tinggi

Namun demikian, konsisten dengan apa yang penulis maksudkan


pada uraian terdahulu yang diharapkan dapat berperan penting dalam
pelaksanaan bebas ini adalah individu, keluarga, dan masyarakat
lengkap dengan segala potensinya.

Beranjak dari kesempatan yang dimungkinkan oleh keleluasaan


penyelenggaraan bebas ini, maka berikut ini terdapat keuntungan
yang bisa didapat:
1. Masing-masing individu akan leluasa menentukan tujuan dari
topik belajar sendiri, baik menyangkut -pengetahuan,
keterampilan dan atau sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
Kebebasan inipun dapat difaktakan dalam hal waktu penyelesaian
belajarnya.
2. Memotivasi masyarakat untuk ikut serta menggerakkan pebelajar
ataupun menjadi inisiator pelaksanaannya.

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 67


3. Pendanaan relatif lebih rendah daripada yang ada pada lembaga
formal karena telah banyak variabel-variabel pembiayaan yang
bisa dihemat/dipangkas, antara lain tak perlu gedung sekolah,
tak perlu pegawai administrasi yang banyak, tak perlu rnembuat
aturan. yang macam-macam, tak perlu gedung pertemuan, dll.
4. Beban pemerintah dalam penyelenggaraair pendidikan menjadi
lebih ringan dengan adanya partisipasi aktif masing-masing
individu pelajar, masyarakat, para inisiator, organisator, dll.

E. Tantangan
Konsep bebas dalam tulisan ini dalam prakteknya lebih dimungkinkan
berhasil apabila terarah pada tingkat SLTP ke atas, karena perlu
adanya persyaratan minimal tertentu sehingga belajar mandiri dapat
dilaksakan. Sedangkan dalam tingkat SD pendekatan bebas juga
akan sangat baik dilakukan untuk merangsang kamandirian dan
kreativitas siswa.

Mengingat dengan bebas ini dimungkinkan banyak keuntungan/


kelebihan yang dapat diperoleh, tentunya akan sulit terwujud apabila
tidak ada peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan
pelaksanaannya secara rill di masyarakat. Berikut ini akan dicoba
paparkan pihak-pihak yang dapat berperan menembus tantangan
dimaksud yang tentu saja akan berbeda dengan apa yang oleh sekolah
konvensioal pernah lakukan.

Pemerintah. Pemerintah dapat berperan dengan mengeluarkan


aturan khusus mengenai mekanisme pelaksanaan bebas termasuk
di dalamnya; kurikulum khusus untuk bebas, acuan patokan
penguasaan kemampuan, standar minimal, serta sertifikasi atau
pemberian semacam surat tanda tamat belajar sehingga hal ini
menarik perhatian banyak kalangan untuk ikut serta di dalamnya.
Baik individu maupun masyarakat akan tergerak karena terdapat
legitimasi/pengakuan bahwa tidak hanya mereka yang menamatkan
sekolah di lembaga formal saja yang berhak mendapatkan pekerjaan

68 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


ataupun menduduki jabatan yang layak. Contoh bila ada seseorang
yang memiliki kemampuan tertentu sebanding dengan tamatan SMK
(Mis: dulu STM jurusan Otomotif) namun tidak pernah bersekolah di
SMK, tentunya mereka akan senang kalau kemampuannya dihargai
dengan tamatan SMK.

Selanjutnya dengan adanya ketentuan khusus yang telah dikeluarkan


pemerintah, tentunya harus diikuti pula kesadaran berbagai pihak,
terutama pihak-pihak yang biasanya mensyaratkan ijasah tertentu
untuk bekerja di instansinya dengan merubah paradigma rekruitmen
menjadi persyaratan kemampuan minimal tertentu dan bukan ijasah
tertentu. Misalnya; seseorang yang bekerja di hotel sebagai ‘house
keeping’ yang agak jarang berhubungan dengan orang adalah tamatan
D III perhotelan. Mungkin nanti pekerjaan house keeping dapat pula
dilakukan oleh seseorang yang hanya memiliki ijasah SD atau SLTP
namun ia mampu melakukan hal sebagaimana D III perhotelah tersebut.
Kenapa tidak? Yang digaji itu pekerjaannya atau ijasahnya dan apakah
ijasah sudah pasti menjamin keterampilan riil yang diperlukan?

Persyaratan peserta dibuat seringan dan semudah mungkin dipenuhi;


misalnya telah miliki ijasah SD atau bisa membaca dan menulis
saja. Umur pesertapun tidak dibatasi, mengingat hak belajar dan
berkemampuan adalah hak setiap orang.

Individu. Setelah tahu kurikulum dan tujuan belajar, peserta bebas


selanjutnya akan mandiri mencari sumber belajarnya dan berusaha
dengan berbagai cara menguasainya. Dituntut disiplin, kemandirian
dan kemampuan untuk maju yang tinggi dari para peserta bebas
beserta kelompok-kelompok belajarnya. Memang dimungkinkan
peserta bebas bisa semaunya sendiri dan tak terkontrol dalam hal
belajarnya. Hal demikian menurut hemat penulis justru merupakan
tantangan kemadirian yang harus ditanamkan sehingga dalam
sikapnya mereka memiliki kedewasaan dan kesadaran penuh.

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 69


Dorongan masyarakat orangtua juga tetap dimungkinkan. Kepentingan
belajar sudah seharusnya melekat pada pebelajar tanpa adanya
campur tangan pihak lain terutama pemerintah sehingga diharapkan
akan mendewasakan mereka. Dengan banyaknya contoh temannya
yang berhasil, maka akan lebih memacu, merangsang dan
mendorong, memotivasi mereka untuk mengikuti jejak teman-
temannya.

Inisiator. Inisiator dapat dilakukan pada prinsipnya siapa saja yang


peduli akan pemerataan pembelajaran baik berupa individu, tokoh
masyarakat, organisasi masyarakat, institusi pendidikan, tempat-
tempat kerja, tempat-tempat ibadah, pemerintah, dll.

Para tokoh masyarakat, Ormas, LSM dan lain-lain dapat berperan


memantau/menyemangati para peserta agar dengan sungguh-
sungguh “berproses” kepada tujuan belajarnya. Masyarakat maupun
lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi terkait diharapkan
membantu mengidentifikasi, bahkan bila mungkin, menyediakan
sumber-sumber belajar yang diperlukan. Institusi pendidikan dan
lembaga lain yang berkompeten hendaknya menyediakan sumber
belajar terbuka (open learning resources) yang akan bisa
dimanfaatkan oleh peserta bebas.

Mengingat sebagian besar masyarakat telah terlalu banyak yang


terbiasa dengan bersekolah secara konvensional, kemampuan untuk
belajar mandiri akan tergantung dengan pola bebas ini. Dengan
demikian perlu adanya bahan belajar mandiri (BBM) karena kurang
ada kemampuan otodidak dan tidak yakin akan berhasil, selalu ingin
dibimbing, diarahkan, diberitahu dan lain-lain. Hal ini juga merupakan
tantangan para inisiator maupun pemerintah untuk membantu lebih
banyak tersedia bbm.

70 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


F. Pengendalian Mutu Bebas
Pengendalian mutu dapat dengan lebih mudah dilakukan pada materi-
materi tertentu yang lebih terkait dengan perfarmunce ability daripada
kemampuan konseptual. Pengendalian ini dimaksudkan agar terdapat
standar minimal yang disesuaikan dengan kondisi si pelajar dan
lingkungannya. Dalam dunia pendidikan formal hal ini dikenal dengan
standar acuan patokan yakni level kemampuan tertentu yang menjadi
rujukan pengusaan kemampuan peserta belajar.

Pengendalian ini dapat diperankan oleh lembaga-lembaga pendidikan


konvensional yang ditunjuk yang dalam prakteknya hanya
memfasilitasi terlaksananya ujian/tes penguasaan materi peserta
bebas. Peran ini juga dapat dimainkan oleh segenap komponen
bangsa yang potensial, institusi swasta, maupun LSM yang memiliki
kompeteltsi yang relevan sebagai bentuk partisipasi aktif
masyarakat. Adapun sasaran pengendalian mutu adalah kompetensi
para peserta bebas dalam prosesnya menuju tujuan akhir belajarnya.

G. Mekanisme Bebas
Mekanisme pelaksanaan bebas yang penulis maksudkan secara
sederhana dapat digambarkan dengan mengacu pada prinsip belajar
dan kepentingan si belajar.

Para inisiator memberitahukan kurikulum berikut dengan sumber


belajar standar buku-bukunya. Selanjutnya peserta bebas mencari
tambahan referensi sendiri. Bila peserta telah merasa menguasai
materi mereka dapat mengajukan ujian kepada inisiator.

Berikut ini digambarkan struktur subordinat dalam pendekatan yang


berorientasi pada siswa/pembelajar5).

5) Fred Percipal & Henry Ellington, Alih bahasa: udjarwo S. Teknologi Pendidikan,
Erlangga,Jakarta, 1998.

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 71


Pusat
Perpustakaan Sumber Belajar
Korespondensi Media
Perguruan
Bimbingan Bahan
Belajar Bacaan

Tutorial Siswa Adminstrasi


Pendidikan
Saling Menolong Panitia
antar Siswa Ujian/Tes

Kontak Sosial Penyuluhan

Fasilitas Kerja Bimbingan


Praktek Kejuruan

Gambar tersebut di atas merupakan pendekatan kepada siswa yang


dilaksanakan di institusi pendidikan konvensional, sehingga beban
lembaga penyelenggaran menjadi berat dan dibalik itu kebebasan
siswa dirasa kurang.

Berikut ini bandingkan dengan pendekatan bebas yang penulis


maksudkan dengan mengadaptasi bagan di atas. Dalam bagan berikut
siswa/pebelajar masih menjadi pusat perhatian, namun kemandirian
dan kedewasaan mereka sangat ditantang yang tentu saja peran orang
tua maupu masyarakat sebaiknya menyertai proses belajar mereka.

Pendekatan Bebas yang penulis maksudkan dapat digambarkan sbb:

Pusat
Perpustakaan
Sumber Belajar
Korespondensi Media
Perguruan
Bimbingan Bahan
Belajar Bacaan

Tutorial Pebelajar Adminstrasi


Pendidikan
Saling Menolong Panitia
antar Siswa Ujian/Tes

Kontak Sosial Penyuluhan

Fasilitas Kerja Bimbingan


Praktek Kejuruan

72 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


H. Bebas dalam Pandangan Islam
Menurut Agama Islam, ayat pertama dalam Al-Qur’an adalah IQRO’
yang berarti bacalah. Menyimak ayat pertama surat Al-Alaq ini
(iqro’bismirobbika alladzi kholaq: bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan) sebenarnya dalam pandangan Al-
Qur’an sejak diturunkan ayat tersebut umat Islam khususnya telah
diperintahkan untuk “membaca’’. Tentu saja membaca dalam hal ini
tidak hanya diartikan sebagaimana membaca tulisan di dalam buku,
kitab, dan lain-lainnya, tetapi ia mengandung arti yang lebih luas
dari itu. Menurut hemat penulis membaca dapat diartikan selain
membaca dalam arti sesungguhnya tersebut adalah juga sebagai
mengamati, menganalisa, mengambil pelajaran hikmah, dari
lingkungan sekitar kita, diri kita sendiri, peristiwa, keteladanan,
aktivitas sosial, dll. Lebih lanjut dalam surat Al-Alaq ayat lima (allamal
insaanna maa lam ya’lam: Dia (pen: Allah) mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.

Bila dikaitkan dengan bebas, maka Al-Qur’an pun sejak ayat


pertamanya telah menunjuk dan menginspirasikan pada kita untuk
membaca (baca:belajar) dari berbagai sumber, walaupun tidak
dijelaskan secara eksplisit di sana. Adapun ayat lima lebih eksplisit
disinggung bahwa Allah (Tuhan) adalah sumber ilmu.

Dalam hal penafsiran terhadap ayat tersebut, para ulama rupanya


telah sepakat bahwa iqro dapat dibagi/dijabarkan dalam tiga dimensi:
- Membaca diri sendiri (iqro’ bin-Nafs)
- Membaca alam semesta/lingkungan (iqro’ maa fi Samawati wal
Ard)
- Membaca kitab (iqro’ bil Kutub)

Dengan demikian jelaslah bahwa sebenarnya bukan hanya konsep


modern sekarang saja yang menyatakan bahwa belajar itu dapat
dan sebaiknya Harus berbasis segala sumber yang memungkinkan.
Bahkan telah diakui dan terbukti oleh berbagai kalangan terutama
para Ilmuwan dan umat Islam sendiri bahwa .Al-Qur’an adalah

Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 73


sumber ilmu pengetahuan. Di kalangan umat Islam telah sangat
populer adanya ajaran bahwa; apabila kulian ingin memperoleh
kebaikan dengan ilmu dan apabila kalian ingin kebaikan pada
keduanya hendaklah dengan ilmu pula. Maka dari itu jelaslah
khususnya bagi umat Islam, Al-Qur’an bukan sekedar sumber belajar,
tetapi pedoman/tuntunan hidup. Demikian pula tentunya umat yang
beragama selain Islam menyakini bahwa kitab sucinya dapat
merupakan sumber belajar dan pedoman hidup mereka.

I. Penutup
Inilah sebuah pemikiran dan apabila diperkuat dengan pemikiran-
pemikiran lain tentu akan lebih baik dan berpengharapan. Dan bahkan
bila muncul pemikiran yang berbeda tentu hal ini juga sebuah
pemikiran yang bila digambarkan sebuah pemikiran dari masing-
masing kita, yang peduli tentunya, akan menjadi kumpulan pemikiran
yang luar biasa yang diharapkan menjadi salah satu solusi krisis
multi dimensi masa kini. Penulis menyadari di sana sini terdapat
kekurangan, baik kurang operasinal, terlalu teoritis, tidak jelas
maksudnya dan lain-lain. Namun paling tidak, penulis harapkan paper
ini menggugah dan merangsang pemikiran kita akan nasib anak
bangsa yang kurang beruntung untuk dapat berkemampuan,
berketerampilan, bersikap sebagaimana mereka yang lebih dulu
menikmatinya pembelajaran yang baik.

uuuuuuuuuuuuu

74 Mohammad Tahmid: Belajar Berbasis Aneka Sumber Website: http://www.pustekkom.go.id


GURU DAN
MEDIA PEMBEL AJAR
PEMBELAJAR AN
AJARAN
Oleh: Ade Koesnandar*)

Abstrak
Sekurang-kurangnya ada enam alasan mengapa sampai saat
ini masih ada sejumlah guru yang enggan menggunakan media
dalam pembelajaran. Keenam alasan tersebut adalah sebagai
berikut; Pertama, menggunakan media itu repot, kedua, media
itu canggih dan mahal, ketiga, tidak bisa menggunakannya,
keempat, media itu hiburan sedangkan belajar itu serius, kelima,
tidak tersedia media di sekolah, keenam, kebiasaan menikmati
bicara. Untuk mengatasi semua alasan tersebut hanya sedikit
yang diperlukan, yaitu perubahan sikap.

GURU DAN MEDIA


Dahulu ada anggapan bahwa guru adalah orang yang paling tahu.
Paradigma itu kemudian berkembang menjadi guru lebih dahulu tahu.
Namun sekarang bukan saja pengetahuan guru bisa sama dengan murid,
bahkan murid bisa lebih dulu tahu dari gurunya. Itu semua dapat terjadi
akibat perkembangan media informasi di sekitar kita. Pada saat ini guru
bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Banyak contoh, di mana siswa
dapat lebih dahulu mengakses informasi dari media masa seperti surat
kabar, televisi, bahkan internet. Bagaimana guru menyikapi perkembangan
ini? Ada tiga kelompok guru dalam menyikapi hal ini, yaitu tidak peduli,
menunggu petunjuk, atau cepat menyesuaikan diri.

Kelompok pertama yaitu mereka yang tidak peduli. Seorang guru yang
mempunyai rasa percaya diri berlebihan (over confidence) barangkali
akan berpegang kepada anggapan bahwa sampai kapanpun posisi guru

*) Drs. Ade Koesnandar, M.Pd. adalah Kepala Studio Multimedia Pusat Teknologi
Komunikasi dan Informasi Pendidikan Depdiknas.

Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 75


tidak akan tergantikan. Dalam setiap proses pembelajaran tetap diperlukan
sentuhan manusiawi. Teknologi tidak bisa menggantikan manusia.
Bagaimanapun teknologi berkembang, guru adalah guru, harus digugu
dan ditiru. Benar bahwa media tidak dapat menggantikan guru, namun
sikap tidak peduli terhadap perkembangan, bukanlah sikap yang tepat.
Walau bagaimana, lingkungan kita terus berkembang, tuntutan
masyarakat terhadap kualitas guru semakin meningkat. Kita tidak bisa
tak peduli.

Kelompok kedua adalah yang menunggu petunjuk. Kelompok inilah yang


paling banyak ditemukan. Mungkin ini akibat dari kebijakan selama ini,
di mana guru dalam system pendidikan nasional hanya dianggap sebagai
“tukang” melaksanakan kurikulum yang demikian rinci dan kaku.
Kurikulum yang sangat lengkap dengan berbagai petunjuk
pelaksanaannya, sehingga guru tinggal melaksanakan, tanpa boleh
menyimpang dari pedoman baku.

Sejalan dengan perubahan kurikulum dan otonomi pendidikan, bukan


lagi masanya bagi guru untuk selalu menunggu petunjuk. Guru adalah
tenaga profesional, bukan tukang. Oleh karena itu, sikap yang tepat
untuk kita adalah cepat menyesuaikan diri. Guru perlu segera mereposisi
perannya. Pada saat ini guru tidak lagi harus menjadi orang yang paling
tahu di kelas. Namun ia harus mampu menjadi fasilitator belajar. Ada
banyak sumber belajar yang tersedia di lingkungan kita, apakah sumber
belajar yang dirancang untuk belajar ataukah yang tidak dirancang namun
dapat dimanfaatkan untuk belajar. Guru yang baik akan merasa senang
kalau muridnya lebih pandai dari dirinya.

MENGAPA PERLU MEDIA?


Pernahkah anda menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu meteri
pelajaran kepada murid anda? Misalnya, anda ingin menjelaskan tentang
seekor binatang yang disebut gajah kepada siswa SD kelas awal. Atau
anda ingin menjelaskan tentang kereta api kepada murid anda yang
berada di Kalimantan, Irian, atau di tempat lain yang tidak ada kereta

76 Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran Website: http://www.pustekkom.go.id


api. Atau anda ingin menjelaskan tentang apa itu pasar terapung. Ada
beberapa cara yang mungkin anda lakukan.

- Cara pertama, anda akan bercerita tentang gajah, kereta api, atau
pasar terapung. Anda bisa bercerita mungkin karena pengalaman,
membaca buku, cerita orang lain, atau pernah melihat gambar ketiga
objek itu. Apabila murid anda tersebut sama sekali belum tahu, belum
pernah melihat dari televisi atau gambar di buku misalnya, maka
betapa sulitnya anda menjelas hanya dengan kata-kata tentang objek
tersebut. Kalau anda seorang yang ahli bercerita, tentu cerita anda
akan sangat menarik bagi murid-murid. Namun tidak semua orang
diberikan karunia kepandaian bercerita. Penjelasan dengan kata-kata
mungkin akan menghabiskan waktu yang lama, pemahaman murid
juga berbeda sesuai dengan pengetahuan mereka sebelumnya,
bahkan bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesalahan persepsi.

- Cara kedua, anda membawa murid studi wisata melihat objek itu.
Cara ini merupakan yang paling efektif dibandingkan dengan cara
lainnya. Namun berapa biaya yang harus ditanggung, dan berapa
lama waktu diperlukan? Cara ini walaupun efektif tapi tidak efisien.
Tidak mungkin untuk belajar semua orang harus mengalami segala
sesuatu.

- Cara ketiga, anda membawa gambar, foto, film, video tentang objek
tersebut. Cara ini akan sangat membantu anda dalam memberikan
penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu,
penjelasan andapun akan lebih mudah dimengerti oleh murid, menarik,
membangkitkan motivasi belajar, menghilangkan kesalahan
pemahaman, serta informasi yang anda sampaikan menjadi
konsisten.

Ketiga cara di atas dapat kita sebutkan cara pertama sebagai informasi
verbal, cara kedua berupa pengalaman nyata, sedangkan cara ketiga
informasi melalui media. Di antara ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah
cara yang paling bijaksana dilakukan. Media kita perlukan agar
pembelajaran lebih efektif dan efisien.

Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 77


MENGAPA GURU (TIDAK) MENGGUNAKAN MEDIA?
Masalahnya, mengapa sampai saat ini masih ada guru yang enggan
menggunakan media dalam mengajar? Berdasarkan pengalaman dan
diskusi dalam berbagai kesempatan dengan para guru, sekurang-
kurangnya ada enam penyebab guru tidak menggunakan media, yaitu;

- Pertama, menggunakan media itu repot.


Mengajar dengan menggunakan media perlu persiapan. Apalagi kalau
media itu semacam OHP atau video. Perlu listrik lagi. Guru sudah
repot dengan menulis persiapan mengajar. Jadwal padat, urusan di
rumah dan lain-lain. Boro-boro sempat memikirkan media. Demikian
kurang lebih alasan yang sering dikemukakan para guru. Padahal
kalau sedikit saja mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media
pembelajaran akan lebih efektif, maka alasan repot itu akan hilang.
Pikirkanlah bahwa dengan sedikit repot, tapi mendapatkan hasil
optimal. Media juga relatif awet, sekali menyiapkan dapat dipakai
beberapa kali sajian. Selanjutnya tidak repot lagi.

- Kedua, media itu canggih dan mahal.


Tidak selalu media itu harus canggih dan mahal. Nilai penting dari
sebuah media bukan terletak pada kecanggihannya (apalagi
harganya yang mahal) namun terletak pada efektivitas dan
efisiensinya dalam membantu proses pembelajaran. Banyak media
sederhana yang dapat dikembangkan sendiri oleh guru dengan harga
murah. Kalaupun dibutuhkan media canggih semacam audio visual
atau multimedia, itu cost-nya akan menjadi murah apabila dapat
digunakan oleh lebih banyak siswa.

- Ketiga, tidak bisa.


Demam teknologi ternyata menyerang sebagian dari guru kita. Ada
beberapa guru yang “takut” dengan peralatan elektronik, takut
kesetrum, takut salah pijit. Alasan ini menjadi lebih parah kalau
ditambah dengan takut rusak, sehingga media audio visual sejak
beli baru tetap tersimpan rapih di ruang kepala sekolah. Sebenarnya,
dengan sedikit latihan dan mengubah sikap bahwa media itu mudah
dan menyenangkan, maka segala sesuatunya akan berubah.

78 Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran Website: http://www.pustekkom.go.id


- Keempat, media itu hiburan sedangkan belajar itu serius.
Alasan ini jarang ditemui, namun ada. Menurut pendapat orang-orang
terdahulu belajar itu sesuatu yang serius. Belajar harus mengerutkan
dahi. Media itu identik dengan hiburan. Hiburan adalah hal yang
berbeda dengan belajar. Tidak mungkin belajar sambil santai. Ini
memang pendapat orang-orang jaman dulu. Paradigma belajar kini
sudah berubah. Kalau bisa dilakukan dengan menyenangkan,
mengapa harus dengan menderita. Kalau bisa dilakukan dengan
mudah, mengapa harus menyusahkan diri?

- Kelima, tidak tersedia.


Tidak tersedia media di sekolah, mungkin ini adalah alasan yang
masuk akal. Tapi seorang guru tidak boleh menyerah begitu saja. Ia
adalah seorang profesional yang harus penuh inisiatif. Seperti telah
disebutkan di atas, media tidak harus selalu canggih, namun dapat
juga dikembangkan sendiri oleh guru. Namun demikian, dalam hal
ini pimpinan sekolah juga hendaklah cepat tanggap. Jangan biarkan
suasana kelas itu gersang, hanya ada papan tulis dan kapur.

- Keenam, kebiasaan menikmati bicara.


Berbicara itu memang nikmat. Ini kebiasaan yang sulit diubah.
Seorang guru cenderung mengikuti cara gurunya dahulu. Mengajar
dengan mengandalkan verbal lebih mudah, tidak memerlukan
persiapan yang banyak, jadi lebih enak untuk guru. Namun yang
harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran adalah
kepentingan murid yang belajar, bukan kepuasan guru semata.

APA PERTIMBANGAN DALAM MEMILIH MEDIA


PEMBELAJARAN?
Ada sejumlah pertimbangan dalam memilih media pembelajaran yang
tepat. Untuk lebih mudah memngingatnya, pertimbangan tersebut dapat
kita rumuskan dalam satu kata ACTION, yaitu akronim dari; access,
cost, technology, interactivity, organization, dan novelty.

Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 79


- Access.
Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam memilih
media. Apakah media yang kita perlukan itu tersedia, mudah, dan
dapat dimanfaatkan oleh murid? Misalnya, kita ingin menggunakan
media internet, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah ada
saluran untuk koneksi ke internet? Akses juga menyangkut aspek
kebijakan, misalnya apakah murid diijinkan untuk menggunakannya?
Komputer yang terhubung ke internet jangan hanya digunakan untuk
kepala sekolah, tapi juga guru, dan yang lebih penting untuk murid.
Murid harus memperoleh akses

- Cost.
Biaya juga harus dipertimbangkan. Banyak jenis media yang dapat
menjadi pilihan kita. Media canggih biasanya mahal. Namun,
mahalnya biaya itu harus kita hitung dengan aspek menfaatnya.
Semakin banyak yang menggunakan, maka unit cost dari sebuah
media akan semakin menurun.

- Technology.
Mungkin saja kita tertarik kepada satu media tertentu. Tapi kita perlu
perhatikan apakah teknologinya tersedia dan mudah
menggunakannya? Katakanlah kita ingin menggunakan media audio
visual di kelas. Perlu kita pertimbangkan, apakah ada listrik, voltase
listrik cukup dan sesuai?

- Interactivity.
Media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua
arah atau interaktivitas. Setiap kegiatan pembelajaran yang anda
kembangkan tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran tersebut.

- Organization.
Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi.
Misalnya, apakah pimpinan sekolah atau yayasan mendukung?
Bagaimana pengorganisasiannya. Apakah di sekolah ini tersedia satu
unit yang disebut pusat sumber belajar?

80 Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran Website: http://www.pustekkom.go.id


- Novelty.
Kebaruan dari media yang anda pilih juga harus menjadi pertimbangan.
Media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik bagi
siswa.

PENUTUP
Tidak diragukan lagi kita semua dapat sepakat bahwa media itu perlu
dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada yang belum
menggunakan media, itu hanya perlu sedikit perubahan sikap. Dalam
memilih media, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi
masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
De Porter, Bobbi & Mike Hernacki, Quantum Learning, Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan, KAIFA Bandung, 1999.
Kemp, Jerrold E, Designing effective Instruction, MacMillan Publisher,
New York, 1994.
Molenda, Heinich Russell, Instructional Media and The New
Technology of Instruction, John Wiley & Son, Canada, 1982.
Sadiman Arief, Media Pendidikan, Pengertian Pengembangan dan
Pemanfaatan, Rajawali , Jakarta, 1990.
Wen, Sayling, Future of The Media, Memahami Zaman Teknologi
Informasi, Lucky Publisher, Batam Centre, 2003.

‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹

Ade Koesnandar: Guru dan Media Pembelajaran No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 81


SISTEM BEL AJAR MANDIRI:
BELAJAR
Dapatkah Diterapkan dalam
Pola Pendidikan Konvensional?
Oleh: Uwes A. Chaeruman*)

Abstrak
Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih
menitikberatkan pada peran otonomi belajar kepada pebelajar.
Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, pebelajar
diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam
menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2)
apa yang harus dipelajari dan darimana sumbernya; 3) bagaimana
mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana
keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi). Belajar mandiri juga
dapat dipandang sebagai metode (proses) maupun tujuan
(produk). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai
metode/cara dalam sistem pembelajaran tertentu. Sedangkan
sebagai produk, mengandung arti bahwa suatu sistem
pembelajaran dengan berbagai strateginya ditujukan untuk
menghasilkan pebelajar mandiri. Sebenarnya pendidikan dengan
sistem belajar mandiripun, secara tidak langsung akan membantu
dan mengembangkan kecakapan belajar mandiri. Sehingga,
pendidikan dengan sistem belajar mandiri dapat menghasilkan
pebelajar mandiri. Pada dasarnya, sistem belajar mandiri bukan
hanya milik pendidikan jarak jauh. Tapi, dapat diterapkan dalam
semua pola pendidikan, termasuk dalam pola pendidikan
konvensional. Dalam rangka membentuk manusia sebagai
pebelajar mandiri yang dibutuhkan di abad 21, maka penerapan
sistem belajar mandiri atau metode lain yang dapat membentuk
kemampuan belajar mandiri perlu digalakan dalam semua pola
pendidikan.

*) Uwes A. Chaeruman, S.Pd. adalah Mahasiswa S-2 Program Pasca Sarjana Program
Studi Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Staff Perancangan Sistem,
Pembelajaran Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom).

82 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


PENDAHULUAN
Sampai saat ini, belajar mandiri dikenal sebagai salah satu sistem
pembelajaran yang diterapkan dalam pendidikan terbuka atau jarak jauh.
Tidak semua orang memahami dengan baik konsep belajar mandiri,
bahkan akademisi. Berdasarkan pengalaman penulis, di kampus,
beberapa akademisi (mahasiswa) masih banyak yang belum memahami
betul tentang konsep belajar mandiri atau istilah terkait lain seperti belajar
individual, belajar sendiri, belajar terbuka atau jarak jauh, dll. Ada beberapa
pertanyaan fundamental yang sering muncul di kalangan akademisi: 1)
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan belajar mandiri?; 2) mengapa
belajar mandiri diterapkan untuk pendidikan terbuka atau jarak jauh?; 3)
apakah hanya dapat diterapkan dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh?;
4) dapatkah diterapkan dalam pendidikan konvensional?; 5) jika
jawabannya ya, mengapa dan bagaimana?

Dalam makalah ini, penulis ingin berbagi gagasan tentang konsep belajar
mandiri dan aplikasinya dalam pendidikan, bukan hanya untuk pendidikan
jarak jauh. Pada dasarnya, sistem belajar mandiri dapat diterapkan dalam
semua pola pendidikan, baik konvensional maupun non-konvensional
(seperti pendidikan terbuka dan jarak jauh). Disamping itu, penulis juga
ingin berbagi pengalaman tentang penerapan belajar mandiri dalam
pendidikan konvensional. Dengan harapan gagasan yang disampaikan
dalam makalah singkat ini dapat memperluas wawasan akademisi dan
professional lain dalam bidang pendidikan tentang belajar mandiri dan
penerapannya. Penulis juga ingin berbagi ide bahwa belajar mandiri dapat
dipandang sebagai proses (metode) dan produk (tujuan). Penulis ingin
mengajak pembaca untuk memikirkan ulang pernyataan kedua. Pebelajar
mandiri sebagai produk dari suatu institusi pendidikan sangatlah penting
dan dibutuhkan dalam abad 21 ini.

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 83


KONSEPSI BELAJAR MANDIRI
Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang
belajar mandiri. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah 1) independent
learning, 2) sel-directed learning, 3) autonomous learning.1) Wedemeyer
(1973) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah cara belajar yang
memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang
lebih besar kepada pebelajar dalam merencanakan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan belajarnya. Pebelajar mendapatkan bantuan bimbingan
dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus bergantung kepada
mereka.2)

Rowntree (1992), mengutip pernyataan Lewis dan Spenser (1986)


menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan terbuka yang menerapkan
sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk membantu
pebelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri
tentang 1) tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar,
tema, topic atau issu yang akan ia pelajari; 3) sumber-sumber belajar
dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana serta dalam
hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai).3) Pengertian senada
juga dijelaskan oleh Knowles (1975), belajar mandiri adalah suatu proses
dimana individu mengambil inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang
lain untuk 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/
menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi sumber-sumber
belajar; 4) memilih dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4)
mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.4)

Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam


pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian

1)
Candy, Philip C., “Independent Learning: Some Ideas from Literature”,
(http://www.brookes.ac.uk /services/ocsd/2_learntch/independent.html)
2)
Keegan, Desmond, “Foundation of Distance Education”, (London: Routledge, 1990),
h. 54.
3)
Rowntree, Derek, “Exploring Open and Distance Learning” (London: Kogan Page
Limited, 1992) h. 61
4)
Knowless, Malcolm S., “Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers”
(Chicago: Association Press: Follet Publishing Company, 1975), h. 18.

84 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


(baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan
belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari
dan dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3)
bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana
keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).

KARAKTERISTIK BELAJAR MANDIRI


Belajar mandiri juga tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit,
tapi merupakan suatu kontinum. Inti dari konsep belajar mandiri terletak
pada otonomi belajar. Artinya, semakin besar derajat otonomi/
kemandirian (peran kendali, inisiatif, atau pengambilan keputusan)
diberikan oleh suatu lembaga pendidikan (guru/dosen) kepada pebelajar
dalam menentukan keempat komponen diatas, maka semakin tinggi
(murni) derajat sistem belajar mandiri yang diberikan oleh suatu lembaga
pendidikan tersebut. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990)
menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada
pebelajar dapat dilihat dari tiga asoek 1) kemandirian dalam menentukan
tujuan: apakah penentuan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau
pebelajar? 2) kemandirian dalam menentukan metode belajar: apakah
pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya
dilakukan oleh guru atau pebelajar?; 3) kemandirian dalam menentukan
evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi serta criteria yang
digunakan ditentukan guru atau pebelajar? 5)

Moore juga memberikan contoh derajat kemandirian belajar yang


diterapkan dalam suatu pembelajaran tertentu sebagai berikut:

5)
Keegan., op.cit., h. 57.

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 85


Penentuan Penentuan Evaluasi
Contoh
Tujuan Strategi

1. Privat O O O
2. University of London External
Degree O O NO
3. Belajar Keterampilan Olah Raga O NO O
4. Belajar Mengemudi Kendaraan O NO NO
5. Learner Control Course and
Evaluation NO O O
6. Kebanyakan Kursus/Kuliah
dengan Belajar Mandiri NO O NO
7. Independent Study for Credit N N N

Diadaptasi dari Moore (1977)

Keterangan: O = Otonom (ditentukan oleh pebelajar)


NO = Non-otonom (tidak ditentukan oleh pebelajar)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa privat merupakan salah satu contoh
suatu pembelajaran yang benar-benar menerapkan sistem belajar mandiri
murni. Sedangkan belajar mandiri untuk mencapai suatu kredit adalah
contoh pembelajaran yang benar-benar tidak menerapkan sistem belajar
mandiri.

BELAJAR MANDIRI SEBAGAI METODE VS


BELAJAR MANDIRI SEBAGAI TUJUAN
Candy (1975), menyatakan bahwa belajar mandiri dapat dipandang
sebagai proses atau produk. Artinya belajar mandiri dapat dipandang
sebagai metode atau tujuan. Belajar mandiri sebagai proses (metode)
mengandung makna bahwa belajar mandiri dijadikan sebagai cara untuk
mencapai tujuan pendidikan dimana pebelajar diberikan kemandirian yang
relatif lebih besar dalam menentukan ketiga aspek seperti dijelaskan
Moore diatas. Belajar mandiri sebagai produk (tujuan) mengandung makna

86 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


bahwa setelah mengikuti pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan
menjadi seorang pebelajar mandiri (independent learner).6)

Dalam konteks yang kedua ini, belajar mandiri dianggap sebagai


keterampilan hidup yang harus dikuasai oleh setiap orang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dunia industri sangat membutuhkan professional
bisnis yang memiliki kecakapan belajar mandiri. Karena dalam konteks
bisnis, setiap individu dituntut untuk terus belajar sepanjang karirnya.7)
Down (1994) dan Mullen (1997), dari hasil penelitiannya menyatakan
bahwa setiap organisasi bisnis mengharapkan lulusan perguruan tinggi
yang memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah, beradaptasi
dengan perubahan-perubahan (belajar terus menerus) dan berkolaborasi
dengan orang lain.8) Lebih jauh, Hughes (2000) menyatakan bahwa
kemampuan untuk belajar dan mengaplikasikannya secara mandiri
seharusnya menjadi karajteristik yang membedakan antara mahasiswa
baru dan mahasiswa lama.9) Issu ini telah menjadi sedemikian pentingnya
bagi isntitusi pendidikan di beberapa negara maju seperti Penn’ State
University10), Cuya Hoga Community College11), Open University of
Hongkong12) dan lain-lain.

Dari beberapa keterangan diatas jelas menunjukkan bahwa belajar mandiri


tidak hanya menjadi metode, tapi lebih jauh merupakan tujuan. Pebelajar
mandiri telah menjadi produk yang diharapkan oleh setiap institusi
pendidikan, khususnya perguruan tinggi karena pebelajar mandiri juga
merupakan kebutuhan dunia kerja.

6)
Ibid. h. 1.
7)
Irene, S. C. Siauw, Fostering Self-Directed Learning Readiness by Way of PBL
Intervention in Bussiness Education”, Open University of Hongkong, http://
www.TPK.edu.sg/pblconference/full/irene%20 siauw.pdf. h. 1
8)
Ibid. h. 1.
9)
Hughes, Peter, “Developing Independent Learning Skills“, http://www.herts.ac.uk./
envstrat/HLP/ dowconfproc/proc2/hughes%20.htm. h.7.
10)
Penn’ State University, “Independent Learning Student Guide“, http://
www.utreach.pse.edu/DE/ie.html
11)
Cuya Hoga Community College, http://www.dle.tre-c.cc.ch.us/docs/l.html
12)
Open University of Hongkong, http://www.TPK.edu.sg

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 87


Belajar Mandiri: antara Pendidikan Jarak Jauh dan Pola Konvensional
Dengan melihat konsepsi dan karakteristik belajar mandiri diatas, maka
timbul pertanyaan, “Apakah belajar mandiri hanya dapat diterapkan dalam
pendidikan jarak jauh?” Mengapa pendidikan jarak jauh menggunakan
sistem belajar mandiri? Apakah sistem belajar mandiri dapat diterapkan
dalam pola konvensional?

Jawabnya, belajar mandiri dapat diterapkan dalam pendidikan jarak jauh


maupun pola pendidikan konvensional. Pada prinsipnya, sejauh suatu
sistem pembelajaran memberikan otonomi/kemandirian yang lebih besar
kepada pebelajar untuk mengendalikan belajarnya maka dapat dikatakan
bahwa sistem pembelajaran tersebut menerapkan sistem belajar mandiri.
Knowless mengatakan bahwa beda antara pembelajaran yang
menggunakan sistem belajar mandiri dengan yang tidak dapat dilihat
dari: 1) apakah pembelajaran yang digunakan lebih berpusat pada pebelajar
(student centered) atau tidak; 2) apakah pembelajaran yang digunakan
lebih bersifat dari bawah ke atas (bottom-up) atau tidak; dan 3) apakah
pembelajaran yang digunakan lebih banyak dikendalikan oleh pebelajar
(student-directed) atau guru.

Dalam pendidikan konvensional, menurut pengalaman penulis, lebih


banyak masih bersifat “teacher-centered” atau “teacher-directed”.
Padahal, seiring dengan perkembangan teori belajar, khususnya
konstruktifisme, hal itu tidak perlu terjadi lagi. Bahkan, tidak hanya dalam
pendidikan orang dewasa, tapi dalam pendidikan anakpun (preschool
education) sudah semestinya menggunakan pendekatan student center
atau student directed learning.

Sebagai kesimpulan, mengingat: 1) telah terjadinya pergeseran paradigma


pendidikan dari “teacher-centered” ke “student-centered”; dan 2)
pentingnya pebelajar mandiri sebagai produk institusi pendidikan, maka
sistem belajar mandiri sangat memungkinkan diterapkan di berbagai pola
pendidikan. Tidak hanya terbatas pada pendidikan jarak jauh. Pendidikan
jarak jauh memiliki karakteristik utama terpisahnya antara pebelajar dan
guru atau tutor. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis dari

88 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


karakteristik tersebut maka pendidikan jarak jauh menerapkan sistem
belajar mandiri.

KONSEKUENSI PENERAPAN SISTEM BELAJAR


MANDIRI
Namun demikian, penerapan sistem belajar mandiri memiliki konsekuensi
yang berbeda. Para Ahli menyarankan beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menerapkan sistem belajar mandiri baik dalam
pendidikan jarak jauh maupun dalam pola pendidikan konvensional. Hal-
hal tersebut adalah kita harus menyadari bahwa peristiwa belajar yang
optimal terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu. Race (1994) 13),
mengidentifikasi bahwa peristiwa belajar yang optimal terjadi apabila:
• Pebelajar merasa menginginkan untuk belajar (want to learn).
• Belajar dengan melakukan (learning by doing) melalui praktek, trial
and error dan lain-lain.
• Belajar dari umpan balik (learning from feedback), baik dari orang
lain (tutor, guru, teman) atau diri sendiri (seeing the result).
• Mendalami sendiri (digesting), artinya membuat apa yang telah
mereka pelajari masuk akal dan dapat dirasakan sendiri aplikasinya
bagi kehdiupannya.
• Sesuai dengan situasi dan kondisinya (at their own pace).
• Pada saat dan tempat yang mereka pilih sendiri (at their own pace).
• Pebelajar mengendalikan sendiri belajarnya (feel in control of their
learning)
• Sering bersama dengan kolega (often with other people around,
especially fellow-learners).

Beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa secara umum peristiwa


belajar terjadi secara independent (mandiri). Disamping itu, persitiwa
belajar terjadi apabila ditunjang oleh sumber belajar (resource-based
learning). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, “most learning is
indendent and resources-based”.

13)
Race, Phill (1994), A Fresh Look at Independent Learning, http://
www.phil-race.net/a fresh look at independent learning.html.

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 89


Apa implikasinya dalam pendidikan dengan menerapkan system belajar
mandiri? Race (1994)14), menyatakan bahwa implikasi utamanya adalah
perlunya mengoptimalkan sumber belajar dengan tetap memberikan
peluang otonomi yang lebih besar kepada pebelajar dalam mengendalikan
belajarnya. Bentuk-bentuk sumber belajar yang perlu dioptimalkan
tersebut meliputi:
• Sumber belajar berupa orang (human resources); seperti tutor,
guru, atau teman sejawat. Dalam menerapkan system belajar
mandiri, peran guru/tutor bergeser dari pemberi informasi menjadi
fasilitator dengan cara:
- Menyediakan berbagai sumber belajar yang dibutuhkan
pebelajar;
- Merangsang gairah/selera/kemauan pebelajar untuk belajar.
- Memberi peluang kepada pebelajar untuk menguji atau
mempraktekkan belajarnya;
- Memberikan umpan balik tentang perkembangan belajarnya; dan
- Membantu pebelajar bahwa apa yang telah dipelajarinya masuk
akal dan berguna dalam kehidupannya (kontekstual).

Sementara itu, teman sejawat diberdayakan sebagai mitra belajar


dengan cara memberikan peluang keapda mereka untuk:
- Belajar dari kesalahan satu sama lain;
- Saling membantu menyamakan perspektif dari apa yang telah
dipelajari;
- Membantu satu sama lain mencari/bertuka/memberi sumber
belajar yang terbaik; dan
- Mendiskusikan ide-ide atau konsep-konsep sulit bersama.

• Sumber Belajar berupa Informasi (Information-Type Resources);


Secara histories, jenis sumber belajar berupa informasi biasanya
ditulis/disimpan diatas kertas (paper-based) seperti buku, modul,
jurnal, artikel, handout atau catatan, buku panduan, buku tugas, dll.
Jenis sumber informasi seperti ini adalah yang paling umum

14)
Ibid.

90 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


digunakan dan paling mudah dikembangkan. Jenis sumber informasi
lain, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
antara lain adalah paket belajar berbantuan computer (seperti CD
ROM interaktif dan hypermedia), media komunikasi berbasiskan
komputer (seperti computer conferencing, e-mail, online database,
dan internet), atau media belajar lain seperti program video, program
audio, practical kits dan lain-lain. Jenis yanag kedua ini kebanyakan
memerlukan bantuan elektronik dan komputer (electronic and
computer-based).

Bagaimana cara mengoptimalkan kedua sumber belajar tersebut?


Phill Race (1994) menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
- Motivasi untuk belajar sangat penting bagi pebelajar sehingga
mereka mempunyai tanggung jawab untuk belajar secara mandiri.
Oleh karenanya, semua sumber belajar (orang maupun non-orang)
harus dirancang/direncanakan dan dikembangkan sedemikian
rupa sehingga benar-benar atraktif agar dapat merangsang gairah/
minat mereka untuk belajar/mempelajarinya.
- Belajar mandiri tergantung pada belajar sambil melakukan
(learning by doing). Jangan biarkan pebelajar hanya mempelajari
bahan belajar tanpa diberikan peluang untuk mempraktekkannya.
Sumber belajar yang efektif adalah sumber belajar yang
memberikan peluang kepada pebelajar memilih dan menentukan
sendiri tugasnya dan mempraktekkannya.
- Pebelajar memerlukan umpan balik tentang perkembangan
belajarnya. Sumber belajar (orang maupun non-orang) harus
memungkinkan adanya pemberian umpan balik sebagai respon
terhadap kegiatan belajar yang telah mereka lakukan.
- Pebelajar harus merasa bahwa apa yang dipelajarinya itu berarti
bagi dirinya. Oleh karena itu mereka, harus memperoleh arti/
makna tersebut dari latihan yang mereka lakukan, umpan balik
yang mereka terima dan atau dari kegiatan melakukan tugas/
praktek bersama kelompok (teman sejawat).

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 91


SISTEM BELAJAR MANDIRI DALAM POLA
PENDIDIKAN KONVENSIONAL: CONTOH KASUS
Penulis telah mencoba menerapkan sistem belajar mandiri dalam
beberapa mata kuliah yang penulis ampu. Salah satunya adalah dalam
mata kuliah Pengenalan Komputer untuk mahasiswa S1 Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa
diharapkan dapat menguasai minimal tiga program aplikasi komputer,
yaitu MS Word, MSExcel dan MSPowerPoint. Sistem belajar mandiri ini
dilakukan tiak semata-mata sebagai metode, tapi penulis mencoba
melalui segala ktifitas yang dilakukan didalamnya berharap agar para
mahasiswa tersebut secara tidak dapat mengembangkan keterampilan
belajar mandiri.

Penulis sebagai dosen untuk mata kuliah tersebut berupaya


memfasiltasinay dengan berbagai langkah sebagai berikut:
1. Pembahasan kontrak kuliah dengan cara membangun visi bersama
(shared vision); pada awal perkuliahan, penulis menggambarkan
secara umum mata kuliah Pengenalan Komputer kepada mahasiswa.
Setelah itu, para mahasiswa, satu persatu diminta untuk menuliskan
harapan masing-masing yang ingin dicapai diakhir mata kuliah. Dari
20 mahasiswa, dipilih satu harapan yang dianggap oleh semuanya
sebagai harapan (visi) yang paling ideal. Visi bersama ini dijadikan
sebagai tujuan umum pembelajaran oleh penulis. Setelah itu penulis,
meminta mahasiswa untuk mengidentifikasi kompetensi-komptensi
khsusu apa sajakah yang harus dikuasai agar tujuan umum (visi)
tersebut tercapai. Dari hasil diskusi tersebut diperoleh beberapa tujuan
pembelajaran khusus. Untuk membahas dua topik ini, memakan
dua jam pelajaran atau 90 menit.

2. Pembahasan Strategi Belajar; Pada pertemuan berikutnya, baru


membahas strategi belajar. Dalam hal ini penulis menjelaskan bahwa
mahasiswa boleh belajar mulai dari mana saja (apakah mau belajar
MSWord dulu, MS excel dulu atau MS Powerpoint dulu) dan boleh
mengusulkan ujian kapan saja mereka siap. Dalam belajar mereka
akan dibekali modul atau buku lain yang relevan dan aplikasi komputer

92 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


itu sendiri sebagai sumber belajar non orang dan teman sejawat
serta dosen sebagai sumber belajar orang. Dengan demikian, setiap
kali pertemuan kuliah, mereka harus datang dengan tujuan dan ide
(apa yang mau mereka pelajari, apa yang mau mereka tanyakan,
apa yang mau mereka lakukan).

3. Pembahasan Sistem Evaluasi; masih pada pertemuan yang sama,


disampaikan kepada mahasiswa bahwa evaluasi dilakukan melalui:
1) sistem portfolio (mereka harus membuat refleksi belajar harian,
evaluasi diri, evaluasi dari dua atau tiga orang teman lainnya, dan
mereka harus menunjukkan tiga karya yang mereka anggap terbaik
untuk dinilai; 2) Mid Test (test buatan dosen) dan 3) Ujian Akhir
(dimana ia boleh mengusulkan kapan saja mereka siap dengan soal
yang dibuat oleh mereka sendiri). Namun demikian dalam ujian akhir,
mahasiswa diajak untuk berdiskusi menyusun kriteria penilaian ujian
akhir termasuk bobotnya.

4. Pelaksanaan; dalam pelaksanaan tugas penulis sebagai fasilitator


hanya berkeliling membimbing dan mengarahkan mereka.

Percobaan untuk mata kuliah dengan sistem belajar mandiri ini


memberikan dampak yang luar biasa tidak hanya untuk hasil belajar tapi
juga motivasi, gairah dan kepuasan belajar mahasiswa. Memnagajtrkan
MSWord yang biasanya memakan waktu 8 kali pertemuan lebih dengan
pola konvensional, dengan metode ini hanya memakan waktu 3-4 kali
pertemuan. Disamping itu, dalam ujian kahir, mahasiswa beanr-benar
menunjukkan produk terbaiknya untuk mengejar kriteria yang telah mereka
susun bersama.

Namun demikian, metode ini, untuk mata kuliah yang sama, tidak berhasil
bagi mahasiswa kelas alih program. Mereka masih memiliki tipe
“dependent learner” sehingga harus dibimbing langkah per langkah secara
bersama. Satu semester tidak cukup untuk mengajarkan MSWord. Hal
ini mungkin lebih banyak disebabkan karena faktor: 1) kefamiliaran dengan
komputer; 2) umur; 3) orientasi; 4) motivasi belajar dan lain-lain.

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 93


KESIMPULAN
Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitik beratkan
peran otonomi belajar kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem
belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau
kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus
dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber
belajarnya (materi & sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi
belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur
(evaluasi).

Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai proses (metode) maupun


produk (tujuan). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode
dalam sistem pembelajaran tertentu. Sedangkan sebagai produk
mengandung arti bahwa suatu sistem pembelajaran dengan berbagai
strateginya ditujukan menghasilkan pebelajar mandiri. Sebenarnya,
pendidikan dengan sistem belajar mandiripun, secara tidak langsung
akan membentu dan mengembangkan keterampilan belajar mandiri.
Sehingga produknya adalah pebelajar mandiri.

Belajar mandiri tidak hanya dapat diterapkan dalam pendidikan jarak


jauh. Tapi, dapat diterapkan dalam semua pola pendidikan sejauh otonomi
belajar lebih besar diberikan kepada pebelajar. Dengan kata lain, sejauh
suatu sistem pembelajaran lebih bersifat “student-centerd” atau “student-
directed”. Namun demikian, dalam penerapannya terdapat beberapah
konsekuensi yang harus dipertimbangkan agar berhasil secara optimal.
Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan atau memberdayakan
segala sumber belajar baik yang berupa orang maupun non-orang.
Semuanya itu harus dirancang dan dikembangkan sedemikian rupa agar
sesuai dengan kebutuhan belajar mandiri.

94 Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri Website: http://www.pustekkom.go.id


DAFTAR PUSTAKA
Candy, Philip C., “Independent Learning: Some Ideas from Literature”,
(http://www.brookes.ac.uk /services/ocsd/2_learntch/
independent.html)
Cuya Hoga Community College, http://www.dle.tre-c.cc.ch.us/docs/l.html
Hughes, Peter, “Developing Independent Learning Skills”, http://
www.herts.ac.uk./envstrat/HLP/ dowconfproc/proc2/
hughes%20.htm. h. 7.
Irene, S. C. Siauw, Fostering Self-Directed Learning Readiness by Way
of PBL Intervention in Bussiness Education”, Open University of
Hongkong, http://www.TPK.edu.sg/pblconference/full/irene%20
siauw.pdf. h. 1
Keegan, Desmond, “Foundation of Distance Education”, (London:
Routledge, 1990), h. 54.
Knowless, Malcolm S., “Self-Directed Learning: A Guide for Learners
and Teachers” Rowntree, Derek, “Exploring Open and Distance
Learning” (London: Kogan Page Limited, 1992) h. 61
Open University of Hongkong, http://www.TPK.edu.sg
Penn’ State University, “Independent Learning Student Guide”, http://
www.utreach.pse.edu/DE/ie.html
Race, Phill (1994), A Fresh Look at Independent Learning, http://
www.phil-race.net/a fresh look at independent learning.html.

‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹

Uwes A. Chaeruman: Belajar Mandiri No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 95


Menata Ulang Proses Pembelajaran
di PPergur
ergur uan Tinggi *)
erguruan
Oleh: Once Kurniawan**)

Abstrak
Banyak alasan yang dapat diketengahkan agar kita selalu bebenah
diri dalam dunia pendidikan nasional, mulai dari pengelolaan
lembaga pendidikan, proses pembelajaran, kompetensi dan
kemampuan dosen sampai kepada kompetensi lulusan. Tanpa
survei dan dukungan data sekalipun kita dapat mengatakan
bahwa pendidikan nasional Indonesia saat ini tertinggal dengan
pendidikan di manca negara. Tulisan-tulisan yang dimuat di media
masa, akhir-akhir ini semuanya bernada sama yaitu ingin
melakukan pembenahan pendidikan nasional. Hal ini sangat
positif dan harus disambut baik, guna melakukan pembenahan,
peningkatan dan penyempurnaan secara menerus.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan TI berperan
besar untuk mendorong agar selalu dilakukan pembenahan dalam
bidang pendidikan. Banyak agenda yang harus dibenahi; salah
satunya yaitu proses pembelajaran di perguruan tinggi. Banyak
lulusan perguruan tinggi dengan kadar pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki tidak siap untuk bekerja maupun
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Konsep link
and match yang pernah dikembangkan, tidak banyak memberikan
hasil yang mengembirakan atau tidak dapat dikatakan sukses
sehingga saat ini hanya tinggal kenangan.

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, Hotel


Indonesia Jakarta, 18 - 19 Juli 2002.
**) Once Kurniawan adalah dosen Universitas Bina Nusantara.

96 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


Kendatipun tidak mudah dan masih memerlukan waktu panjang
dalam pengembangan namun pembenahan proses pembelajaran
harus dilakukan. Perlu ada penataan ulang proses pembelajaran
di perguruan tinggi. Penataan proses pembelajaran tidak semata
hanya meliputi proses itu sendiri, namun harus dilakukan secara
menyeluruh dan lengkap. Ada empat aspek yang harus disiapkan
dalam menata ulang proses pembelajaran di perguruan tinggi,
yaitu: (1) Mengubah paradigma masyarakat perguruan tinggi
tentang proses pembelajaran (2) Mempersiapkan sumber daya
dalam proses pembelajaran yang terdiri dari dosen, sarana
pembelajaran dan sarana komunikasi dan TI, (3) Mempersiapkan
content pembelajaran, sumber belajar yang menyangkut
kurikulum, bahan ajar yang dilengkapi dengan multi media dan
berbasis TI (4) Proses pembelajaran itu sendiri.
Makalah ini mencoba memaparkan penataan ulang proses
pembelajaran yang dilakukan melalui empat aspek tsb. dengan
segala aspek dan permasalahannya. Permasalahan dalam
proses penataan tsb menjadi ide untuk dapat dikembangkan
sebagai model-model riset sehingga diagnosa yang diduga untuk
mencari jalan keluar dan solusi dari permasalahan tsb. dapat
dicapai sesuai dan tepat sasaran.

PENDAHULUAN
Banyak alasan yang dapat diketengahkan agar kita selalu bebenah diri
dalam dunia pendidikan nasional, mulai dari pengelolaan lembaga
pendidikan, proses pembelajaran, kompetensi dan kemampuan dosen
sampai kepada evaluasi dan kompetensi lulusan. Kalau ingin ditelah
satu persatu maka agenda pembenahan sangat banyak dan
membutuhkan waktu panjang, pembenahan dilakukan sejak pendidikan
awal bagi seorang anak sampai kepada pendidikan di tingkat perguruan
tinggi. Perguruan tinggi yang menyelenggaran pendidikan diploma-3 dan
strata-1 merupakan pintu terakhir bagi seorang mahasiswa sebelum terjun
ke dunia usaha, harus ditangani secara baik dalam proses pembelajaran,

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 97


sehingga lulusan perguruan tinggi benar-benar siap terjun dalam dunia
usaha, atau masih ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi

Masih banyak masalah yang harus dibenahi dan ditata ulang, baik dalam
tata kelola, kurikulum, kompetensi dasen, sarana dan prasarana, sampai
kepada metode pembelajaran. Salah satu masalah pendidikan yang
menarik yaitu proses pembelajaran di perguruan tinggi. Banyak kritik
dan masukan baik lewat diskusi dan perdebatan di media elektronik
maupun tulisan di media cetak
membahas proses
pembelajaran. Munculnya Proses pembelajaran di negara
teori-teori untuk mengubah berkembang saai ini belum
proses pembelajaran yang diberdayakan secara optimal,
menempatkan mahasiswa begitupun juga dengan perguruan
agar lebih aktif; antara lain tinggi di Indonesia
Fraire dengan teori pendidikan
pembebasan, Bruffe
mengemukakan Collaborative learning, teori Cosntructivist oleh Brooks
and Brooks, Culture Perspective oleh Zhoads and Black [Zamroni, 156]
. Semua teori tersebut bertujuan untuk mengubah proses pembelajaran
yang bersifat monolog menjadi proses pembelajran yang febih memacu
para coahasiswa menjadi pelaku aktif. Semua teori ini merupakan usaha
dan rasa ketidak-puasan tevhadap proses pembelajaran secara monolog.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekrrolagi
khususnya TI yang dapat dengan mudah menyediakan dan melengkapi
sumber dan Giat belajar merupakan salah satu faktor utama yang sangat
mempengaruhi bahkan menjadi pemicu utama dan sejalan dengan teori-
teori di atas dalam mengubah kebiasaan dan budaya belajar.

Menurut survei yang dilakukan oleh Task Force Information Systems


Curriculum ACM bahwa terjadi gap antara kompetensi lulusan perguruan
tinggi dengan kebutuhan kemampuan tenaga kerja di dunia usaha. Hal
ini dapat dipahami mengingat apa yang disiapkan dan dilakukan oleh
para mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan kebutuhan
kemampuan tenaga kerja di dunia usaha. Pada perguruan tinggi,

98 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


mahasiswa melakukan kegiatan learning/teaching, practicum, content
mastery, systemic know mastery, tools and reference needed, portofolio.
Sedangkan dalam dunia usaha/industri yang dibutuhkan kemampuan
tenaga kerja yang melakukan communication skills, team building,
systemic thinking, professionalism, quality, role of enterprise. Di sisi
lain pergeseran paradigma dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan
menempatkan sumber daya manusia yang berkualitas (knowledge worker)
sebagai asset utama dan kunci penting dalam perusahaan mendorong
perubahan besar dalam sikap dan kebiasaan belajar bagi pelaku belajar
yang harus secara lebih aktif dengan cara beiajar learning how to learn.
Dari semua paparan di atas apa yang harus ditakukan dalam proses
pembelajaran? Yang jelas proses pembeiajaran saat ini masih berjalan
secara monolog tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan harus
ditinggalkan.

SISTEM PEMBELAJARAN DI PERGURUAN


TINGGI
Perkembangan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan;
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelihatannya tidak banyak
menyentuh dan berpengaruh terhadap proses pembelajaran di perguruan
tinggi Indonesia. Gaya pembelajaran searah yang merupakan legacy
masih tetap digunakan sampai saat ini. Dosen sebagai faktor utama
dan “pemain kunci” dalam proses pembelajaran, sedangkan mahasiswa
sangat pasif dan hanya sebagai “penoton” dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran saat ini dilakukan secara monolog yang
menempatkan mahasiswa sebagai objek daiam pembelajaran itu sendiri,
sedangkan dosen sebagai
pelaku atau subjek utama
Mekanisme pembelajaran searah di
mendapat banyak kritik,
mana tidak terjadi interaksi antara
sudah usang dan tidak sesuai
proses mengajar dan proses belajar
dengan perkembangan dan
menyebabkan pemahaman ilmu
kemajuan ilmu pengetahuan
pengetahuan dan mutu
dan teknologi.Mahasiswa
pembelajaran menjadi rendah.
cenderung hanya belajar

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 99


apabila ada ulangan, tes dan atau ujian. Ilmu pengetahuan yang
disampaikan oleh dosen tidak terinternalisasi dalam diri mahasiswa.
Pengetahuan yang dimiiiki sangat dangkai karena hanya bersifat hafalan.
Hal ini terjadi karena proses belajar dan mengajar ditempatkan dalam
proses yang terpisah satu dengan lainnya, yang sebenarnya harus terjadi
interaksi yang mempertemukan dosen dan mahasiswa dalam suatu
diskusi yang intens dan dialog yang dinamis.

Banyak faktor yang menyebabkan proses pembelajaran itu tidak banyak


berubah antara lain, paradigma dosen dan mahasiswa tentang proses
pembelajaran, budaya mengajar dan kemampuan dosen, gaya belajar
mahasiswa, kurikulum, ketersediaan dan kelengkapan sumber dan alat
belajar yang masih menempatkan mahasiswa sebagai objek dalam
pendidikan menjadi lengkap dan sempurna bahwa proses pembelajaran
tetap berjalan di tempat. Untuk memahami lebih rinci perlu dilihat secara
jeli tentang aspek dalam suatu. system pembelajaran yang dapat dilihat
pada gambar-1. Ada empat aspek yang juga turut berpengaruh terhadap
proses pembelajaran dalam lembaga pendidikan yaitu sosial, ekonomi,
budaya dan teknologi. Keempat aspek ini dikatakan pengaruh lingkungan
jauh; kendatipun tidak langsung terasa dalam suatu proses pembeiajaran
namun cukup berperan dan berpengaruh terhadap proses pembelajaran.

Perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi suatu bangsa


mempengaruhl proses pendidikan bangsa tersebut. Dua aspek yang lebih
dekat dengan proses pendidikan yaitu budaya dan teknologi. Budaya
“memainkan” peran yang sangat besar dalam perilaku manusia dan paling
lambat untuk berubah namun teknologi cepat berkembang dan berubah
yang secara perlahan dapat juda menggeser perubahan budaya suatu
bangsa.

100 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


Sosial Ekonomi

Kurikulum Peraturan

Proses
Dosen Pembelajaran Mahasiswa

Sumber Alat
Belajar Belajar

Budaya Teknologi

Gambar-1. Model Sistem Pembelajaran

Faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap proses pendidikan


dan pembelajaran yaitu:
1. Dosen atau Pengajar
Peran dosen dalam pendidikan sangat penting. Dalam budaya bangsa
yang paternalistik para mahsiswa masih sangat patuh kepada
dosennya. Pemegang tampuk pimpinan yang sangat berpengaruh
terhadap mahasiswa dalam pembelajaran yaitu dosen. Gaya,
kebiasaan, disiplin, kemampuan dan kompetensi dosen daiam proses
pembelajaran sangat menentukan hasil dari proses pembelajaran
itu sendiri. Memang tanpa dukungan data, namun dapat dikatakan
bahwa kemampuan dan kompetensi dosen di Indonesia masih harus
dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh demand and supply, di mana
masih sangat kurang dosen sedangkan kebutuhan akan tenaga
dosen sangat banyak. Kelangkaan ini yang menyebabkan
kemampuan dosen yang kurang memadai. Seorang lulusan dengan
predikat jenjang strata-3, strata-2, dan bahkan strata-1, bisa langsung
menjadi dosen yang mana hanya berbekal kepada ilmu yang dikuasai,
tanpa dukungan teaching methodology dan kompetensi lainnya.

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 101


2. Mahasiswa
Dapat dikatakan bahwa rata-rata kemampuan mahasiswa yang
memiliki kemampuan akademik baik kebanyakan terdapat pada
perguruan tinggi negeri, hal ini karena seleksi masuk jauh lebih ketat,
peminat banyak sedangkan jumlah penerimaan sedikit. Tidak dapat
dipungkiri bahwa pada perguruen tinggi swasta pun dapat dijumpai
kemampuan mahasiswa yang baik, namun kalau mau jujur secara
nasional, rata-rata kemampuan mahasiswa masih dikatakan rendah.
Bila diamati secara cermat bukan kemampuan mahasiswanya yang
rendah tetapi kemampuan belajarnya yang rendah, learning habit
belum terbentuk dengan baik. Kebanyakan para mahasiswa sangat
pasif dalam proses pembelajaran. Memang tidak dapat disalahkan
karena gaya pengajaran dan pembelajaran sejak sekolah dasar
sampai kepada perguruan tinggi secara monolog yang menempatkan
para siswa dan mahasiswa sebagai objek datam pembelajaran.

3. Sumber Belajar
Ketersediaan dan kelengkapan sumber belajar menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak
menarik. Seorang siswa atau mahasiswa hanya tergantung kepada
guru atau dosen yang telah memiliki sumber belajar tersebut. Pada
perguruan tinggi di daerah yang sangat langka dengan kelengkapan
buku menjadi masalah besar. Mahasiswa cenderung pasif dan
menunggu ilmu dari dosen, yang sebenarnya bisa lebih aktif dapat
mencari dan mempelajari sendiri tanpa bantuan dosennya.

4. Alat Belajar
Sama dengan sumber belajar, kelangkaan dan ketidak tersediaannya
alat belajar menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak
menarik. Para mahasiswa sangat kurang, bahkan tidak rriemiliki
kesempatan untuk menggunakan alat beiajar dengan baik. Aspek
psychomotor tidak dipacu untuk mengekpresikan pengetahuan yang
dimiliki. Hal ini menyebabkan kemampuan pemahaman dan
penguasaan flmu pengetahuan dan keterampilan menjadi sangat
rendah dan dangkal. Ketiadaan dan kekurangan alat belajar

102 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


menyebakan para mahasiswa cenderung pasif dan hanya menerima
dari dosen melalui penyampai secara teori.

5. Kurikulum dan Acara Perkuliahan


Terlalu banyak orang meributkan kurikulum yang saat ini lagi gencar
dibicarakan dan disiskusikan. Dengan dikeluarkan SK Mendiknas
No. 323/U/2000, dan No. 045/U/2002, merupakan langka maju dalam
penataan kurikulum, namun masih banyak perguruan tinggi yang
kebingungan, karena terlalu lama diatur selama ini, bila dilepas dan
diberikan kebebasan masih ingin tetap diatur, sehingga selalu
meminta acuan ‘karena kurang mampu mengembangkan sendiri. Di
sisi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu satuan acara perkuliahan.
Dapat dikatakan yang menjadi acuan dari satuan acara perkuliahan
yaitu hanya materi dan pokok bahasan, sedangkan mekanisme
pembelajaran tidak diperhatikan dan dianggap tidak penting sehingga
semua pembelajaran dianggap hanya dengan penyampaian material
kuliah: Proses pembelajaran menjadi tidak menarik dan sangat
membosankan, mahasiswa cenderung menghafal.

6. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Institusi


Dengan terbitnya SK Mendiknas No. 184/U/2001 merupakan hawa
segar bagi perguruan tinggi dalam mengatur proses pendidikan di
masing-masing lembaga. Nafas SK. tersebut memberikan kebebasan
kepada perguruan tinggi namun harus bertanggung jawab kepada
masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Selama ini
peraturan pemerintah dan institusi tidak banyak mendukung proses
pembelajaran yang dinamis, sehingga para mahasiswa dan institusi
hanya menyelenggarakan pendidikan yang bersifat statis, hanya
mengikuti peraturan dan rambu-rambu yang ditetapkan.

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 103


MENATA ULANG PROSES
PEMBELAJARAN
Dari semua aspek yang telah: dijelaskan di atas perlu ada konsep dan
ide untuk merombak proses pembelajaran tersebut dan menata ulang
ke arah pembelajaran yang lebih
dinamis; yang menempatkan para
mahasiswa sebagai pelaku perlu ada konsep dan ide
pembelajaran. Perlu dilakukan unutk merombak proses
penelitian dalam kajian yang lebih pembelajaran tersebut dan
mendalam apa yang harus dilakukan menata ulang ke arah
untuk merombak proses pembelajaran yang lebih
pembelajaran itu sendiri, dan dinamis.
bagaimana seharusnya mekanisme
pembelajaran. Suatu dugaan dan
hipotesis yang dapat dijadikan rekomendasi untuk menjawab sernua
permasalahan di atas yaitu melakukan pola pembelajaran student centred
learning, di mana mahasiswa diberikan peran secara aktif dalam
pembelajaran, dengan membetuk study group untuk banyak melakukan
kolaborasi, banyak mengerjakan tugas dan proyek serta penelitian,
melakukan presentasi, dan disiplin yang didukung dengan moral dan
ethic yang baik. Penggunaan TI dengan pola pembelajaran jarak jauh
melalui internet merupakan salah satu cara mendorong para mahasiswa
agar aktif dalam proses pembelajaran. Semua kegiatan pembelajaran di
atas membawa mahasiswa memiliki gaya belajar learning how to learn .

Dari pengamatan dan kajian secara kualitatif tindakan untuk melakukan


pembenahan proses pembelajaran dapat dilakukan melaiui empat aspek
yang saling mendukung. Keempat aspek tersebut terlihat dalam dalam
gambar-2 di bawah ini.

104 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


Paradigma
Masyarakat PT

Proses
Pembelajaran

Sumber Content
Daya

Gambar-2.
Model Penataan Proses Pembelajaran

Menata ulang proses pembelajaran dilakukan melalui empat aspek


secara sistematik dan terencana sehingga dapat mencapai tujuan dan
hasilkan yang baik. Aspek perubahan tersebut sesuai dengan gambar di
atas dapat dijelaskan di bawah ini:
1. Mengubah paradigma masyarakat perguruan tinggi tentang
proses pembelajaran.
Masyarakat perguruan tinggi yang terdiri dari pengelola pendidikan,
dosen, mahasiswa, dan karyawan harus diberikan pengertian dan
makna secara mendalam tentang proses pendidikan dan
pembelajaran. Pemahaman tentang pembelajaran bukan berarti bahwa
mahasiswa sebagai objek dalam proses pembelajaran yang hanya
pasif menerima dan “menelan” semua informasi yang diberikan oleh
dosen, namun mahasiswa sebagai subjek pelaku pembelajaran.
Mahasiswa dapat mempelajari sendiri tanpa bantuan dari para
dosennya. Budaya teacher teaching harus diubah dan diganti dengan
student learning atau teacher cer.ter diganti dengan student activity.
Mahasiswa harus aktif dalam proses pembelajaran sehingga proses
pembelajaran menjadi suatu aktifitas yang menarik, dan harus dicari
oleh mahasiswa. Di sisi lain dosen juga. harus memahami dengan
baik tentang mekanisme proses pembelajaran yang menempatkan

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 105


mahasiswa sebagai pelaku belajar. Dosen harus mengetahui bahwa
dalam proses pembelajaran, dosen tidak mengajari tetapi kehadiran
dosen menyebabkan mahasiswa belajar. Ada empat fungsi dari dosen
yang harus diperankan secara sempurna dan merata, yaitu:
a. dosen sebagai creator, menciptakan suasana pembelajaran yang
kondusif antara dosen dan mahasiswa dan mahasiswa dengan
mahasiswa lain.
b. dosen sebagai motivator yang membangkitkan motivasi dari para
mahasiswa agar lebih aktif dan giat dalam belajar.
c. dosen sebagai moderator dan fasilitator dalam proses
pembelajaran, dan mahasiswa yang aktif sebagai pelaku belajar.
d. dosen sebaaai leader dan resources datam memimpin proses
pembelajaran, di samping memimpin juga sebagai tempat
bertanya dari para mahasiswanya. Dengan peran dosen seperti
ini akan mendorong mahasiswa lebih aktif dalam proses
pembelajaran. Keaktifan mahasiswa tersebut akan menaikan
mutu pendidikan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Mahasiswa diajak dan ditekankan kepada learning
how to learn. Pemahaman ini akan sangat mendorong para
mahasiswa terus mencari ilmu pengetahuan sehingga dapat
terbentuk long life learning,

2. Mempersiapkan Sumber Daya


Perguruan tinggi harus membenahi manajemennya, yang terdiri dari
proses, sumber daya dan content. Perguruan tinggi harus membenahi
semua proses dalam pengelolaan perkuliahan yang menyangkut
semua prosedur. Untuk mendukung semua proses pengelolaan
secara baik dengan menggunankan TI. Banyak proses yang harus
dikelola dengan balk namun yang berkaitan dengan sumber daya
yang harus disiapkan dan berhubungan erat dengan proses
pembelajaran yaitu:
a. Pembinaan dan pengembangan kemampuan dosen
b. Persiapan sarana dan prasarana pembelajaran
c. Komunikasi dan TI berbasis web yang mendukung proses
pembelajaran

106 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


Untuk mewujudkan proses pembelajaran secara baik di samping
memiliki biro, upt, unit kegiatan lain yang telah ada, harus dibentuk
pula
a. unit kerja yang berfungsi melakukan pembinaan dan
pengembanan kemampuan dosen dalam teaching methodology,
bidang keilmuan, penefitian dan penulisan jurnal, TI, manajemen
dan pengembangan diri serta pembentukan karakter.
b. unit kerja yang berfungsi untuk membuat dan mengembangkan
bahan ajar secara manual maupun dalam bentuk multi media
(berbasis TI).
c. unit kegiatan yang berfungsi untuk mengelola dan bertanggung
jawab penuh masalah teknofogi komunikasi dan TI yang
mendukung proses pembelajaran.

Pembinaan dan pengembangan kemampuan dosen menjadi prioritas


utama dalam menata proses pembelajaran di samping itu juga sebagai
perwujudan dari learning organization bagi perguruan tinggi.
Kemampuan dan kompetensi dosen harus dikembangkan dan
ditingkatkan. Perguruan tinggi harus bisa melakukan survei dan
penelitian kompetensi dan kemampuan para dosennya. Sehingga
perguruan tinggi mengetahui secara jelas dan terarah jenis pelatihan
dan pengembangan yang harus dilakukan oleh para dosennya.

Di sisi lain manajemen perguruan tinggi saat ini harus bisa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi dan
teknologi. Di samping tata kelola dan penyelenggaraan harus bagus,
perguruan tinggi layaknya menyediakan sarana dan prasarana yang
memadai. Para mahasiswa dapat menggunakan semua sarana dan
prasana berupa laboratorium, studio, bengkel, perpustakaan, sarana
komunikasi dalam proses pembelajaran yang didukung oleh TI
berbasis web, dan sarana penyediaan bahan ajar. Ketersediaan dan
kelengkapan prasarana dan sarana sangat memicu dan memacu
serta mendorong para mahasiswa lebih aktif dalam proses
pembelajaran.

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 107


Para mahasiswa dapat dengan mudah mengakses semua bahan
ajar dan bisa melakukan pembelajaran secara off campus, yang
bebas dari waktu, ruang dan jarak. Penggunaan TI tidak hanya
mendukung proses
administrasi tetapi sampai
Para mahasiswa dapat dengan
kepada proses
mudah mengakses semua
pembelajaran melalui
bahan ajar dan bisa melakukan
media elektronik.
pembelajaran secara off
Pertemuan antara
campus, yang bebas dari waktu,
mahasiswa dan dosen bisa
ruang dan jarak
melalui media maya dengan
bantuan TI. Ketersediaan
bahan ajar, ruang untuk berdiskusi antar mahasiswa dan dengan
dosen, mengerjakan tugas dan menyampaikan tugas kepada dosen
semuanya dilakukan melalui media elektronik. Para mahasiswa dan
dosen tidak perlu harus bertatap muka dalam suatu tempat dan waktu
yang sama namun bisa mengambit tempat yang sangat tersebar
dan juga mungkin dengan waktu yang berbeda. Kegiatan ini tidak
lagi dibatasi oleh ruang, waktu dan jarak yang mana sangat mendorong
agar para mahasiswa memiliki kesadaran penuh akan komitmen dan
tanggung jawabnya sebagai manusia pembelajar. Perubahan gaya
belajar seperti ini merubah paradigma, kebiasaan dan budaya belajar,
serta mendorong kemajuan dalam pendidikan di Indonesia. Dengan
demikian mahasiswa tidak lagi hanya menerima, pengetahuan semata
namun menjadi inisiator dalam menyampaikan pengetahuan kepada
para mahasiswa lain dan dosennya.

3. Mempersiapkan Content Pembelajaran


Sejalan dengan penyiapan sarana komunikasi pembelajaran harus
dilakukan yaitu penyediaan content pembela,jaran secara baik.
Penyiapan contentterdiri dari :
A. Penyusunan Kurikulum
b. Penyusunan bahan ajar
c. Penyusunan satuan acara perkuliahan Kurikulum

108 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


Kurikulum yang digunakan hampir semua perguruan tinggi di
Indonesia rata-rata “sangat melebar dan tidak dalam”. Mata kuliah
yang diajarkan terlalu banyak, mungkin rata-rata mencapai 50 - 60
mata kuliah dengan jumlah 110 sks untuk diploma-3 dan 144 sks
untuk strata-1. Perlu ada kajian yang mendalam terhadap jumlah
mata kuliah yang demikan banyak. Alangkah baiknya apabila dengan
jumlah sks yang sama namun memiliki jurolah mata kuliah yang
lebih sedikit, sehingga para mahasiswa memiliki kedalaman ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Kukikulum harus
berbasis kepada kompetensi ilmu pengetahuannya yang focus and
deep. Turunkan jumlah mata kuliah sesuai dengan kompetensi
lulusan prodinya, tawarkan peminatan yang fokus sesuai dengan
kompetensinya.

Bahan Ajar
Untuk membuat para mahasiswa cepat memahami pengetahuan dan
keterampilan yang dipelajari perlu disiapkan bahan ajar secara multi
media. Penyediaan bahan ajar yang sangat lengkap dan mudah
diperoleh serta penggunaan alat peraga yang dilengkapi dengan
gambar yang menarik, gerak, bunyi, simulasi dan dipandu oleh
instruktur secara rnaya serta dapat dilakukan berulang-ulang (replay)
membuat para mahasiswa akan betah dan mudah mencerna
pengetahuandengan baik. Penggunaan TI dalam bahan ajar
mencakup tiga cara belajar yaitu auditorial, visual dan kinestetik.
Ketiga cara belajar ini diperankan sangat baik oleh TI dengan sangat
baik, di mana pelaku belajar dapat mendengar, membaca, dan juga
memperagakan walaupun dalam mayantara, namun dapat
membentuk pengetahuan pelaku pelajar.

Satuan Acara Perkuliahan


Satuan Acara Perkuliahan yang disusun saat ini sudah baik namun
kurang menekankan kepada learning outcomes dan mekanisme
pembelajaran. SAP lebih menekankan kepada materi dan pokok
bahasan, sehingga perkuliahan selama ini hanya menekankan
kepada materi kuliah dan tidak kepada mekanisme pembeiajaran
dan learning outcomes dari setiap pokok bahasan atau setiap

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 109


pertemuan. Penerapan sks kelihatannya sudah bergeser, tidak
lagi,mengikuti bakuan yang dikembangkan sejak awal dahulu.
Mahasiswa tidak ada persiapan, tidak ada PR, dst, sehingga
perkuliahan cenderung hanya sebagai penonton dan mencatat
informasi yang disampaikan oleh dosen.

Ada lima butir penting yang harus ada dan diperhatikan oleh dosen
dan mahasiswa dalam setiap pertemuan atau setiap modul yaitu:
- materi & pokok bahasan
- sumber bahan/pustaka/referensi
- learning outcomes
- mekanisme pembelajaran & level Taxnomi Bloom
- assesment criteria

Semua butir di atas tidak ada yang baru namun sudah dilupakan
atau diabaikan oleh dosen dan mahasiswa dalam setiap
pembelajaran. Yang menjadi perhatian hanya pada materi dan pokok
bahasan dan sumber bahan, sedangkan aspek lainnya, diabaikan
dengan demikian proses pembelajaran hanya bersifat menyampaikan
informasi secara monolog. Perlu ada penekanan dan penegasan
kembali semua aspek tersebut dalam SAP yang dibuat. Di samping
learning outcomes, juga harus ditekankan tentang mekanisme
pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan Taxonomi Bloom
(memorizing, comprehension, application, analysis, synthesis,
evaluation ). SAP harus memuat keempat aspek di atas secara
lengkap. Dalam mekanisme pembelajaran mahasiswa harus
diaktifkan dengan jalan berdiskusi, menjelaskan, presentasi, simulasi,
dst. bahkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut mahasiswa
harus melakukan sesuatu proses agar mereka lebih menguasai ilmu
pengetahuan yang dipelajari. Proses pembelajaran yang dilakukan
tidak hanya dosen menyampaikan informasi, namun harus
mendorong mahasiswa agar aktif sehingga kadar penguasaan akan
ilmu pengetahuan dapat sampai kepada high order thinking (analysis,
synthesis, evaluation ).

110 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


Penggunaan TI memungkinkan pembelajaran dilakukan melalui
media internet, sehingga SAP juga dapat memuat mekanisme
pembelajaran melalui media elektronik. di mana antara dosen dan
mahasiswa tidak perlu harus bertemu dalam suatu ruang kelas.
Pertemuan dan diskusi antara mahasiswa dengan dosen dan antara
mahasiswa dengan mahasiswa dapat dilakukan melalui media
elektronik. Demikian pula dengan penyiapan bahan ajar yang terekam
dalam web-site atau CD-ROM membuat para mahasiswa dapat dengan
lebih leluasa dan secara aktif dapat mempelajari bahan ajar tsb.

Pertemuan tatap muka di dalam kelas dapat diganti dengan


pertemuan melalui media elektronik ini, sehingga peraturan jumlah
kehadiran mahasiswa di dalam kelas tidak lagi menjadi penting,
dengan catatan bahwa mahasiswa tersebut aktif berdiskusi dan
mempelajari bahan kuliah melalui media elektronik.

4. Proses Pembelajaran
Bila semua paradigma masyarakat perguruan tinggi telah memahami
dengan baik tentang proses pembelajaran mahasiswa aktif, learning
how to learn, penyiapan sumber daya telah diatur dengan baik, dan
penyiapan content yang sudah tersedia dengan balk dan SAP yang
telah mengatur dengan baik mekanisme proses pembelajaran, maka
proses pembelajaran akan berjalan dengan lebih mudah. Proses
pembelajaran hanya menerapkan kemampuan dan menggunakan
sarana serta mengikuti mekanisme yang telah diatur dengan baik
dalam SAP. Proses pembelajaran yang telah direncanakan dengan
baik akan mencapai kepada tujuan yang telah ditetapkan. Selain
menerapkan proses pembelajaran yang telah ditata secara baik, juga
harus selalu meminta feedback dan melakukan kajian untuk terus
membenahi proses pembelajaran. Proses pembelajaran dapat melalui
tatap muka di dalam ruang kelas dan dapat melalui media elektronik
sesuai dengan pengaturan di dalam SAP. Proses pembelajaran
melalui internet mendorong mahasiswa lebih aktif dalam
pembelajaran karena harus berkomunikasi secara maya dengan para
dosen, dan mahasiswa lain di samping mengembara di dalam dunia
pengetahuan melalui ruang mayantara.

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 111


KESIMPULAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi serta
perubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi dan teknologi telah
mendorong dilakukan penataan ulang proses pembelajaran di perguruan
tinggi, di sisi lain proses pembelajaran di negara berkembang saat ini
belum diberdayakan secara optimal, begitupun juga dengan perguruan
tinggi di Indonesia. Sistem pembelajaran di perguruan tinggi yang meliputi
aspek dosen, mahasiswa, kurikulum, sumber belajar, alat belajar dan
peraturan masih menempatkan para mahasiswa sebagai objek dalam
pembelajaran, mahasiswa sangat pasif, sehingga kadar pemahaman dan
pengusaan ilmu pengetahuan sangat dangkal. Untuk itu perlu dilakukan
penataan ulang terhadap proses pembelajaran.

Pertu ada konsep dan ide untuk merombak proses pembelajaran tersebut
dan menata ulang ke arah pembelajaran yang lebih dinamis yang
menempatkan para mahasiswa sebagai pelaku pembelajaran. Penataan
ulang proses pembelajaran bertujuan untuk memberikan peran yang lebih
aktif kepada mahasiswa dalam proses pembelajaran. Rekomendasi untuk
menata ulang proses pembelajaran yaitu melakukan pola pembelajaran
student centred learning, sehingga mahasiswa berperan aktif dalam
pembelajaran. Penggunaan TI dengan pola pembelajaran jarak jauh
melalui internet merupakan salah satu cara mendorong para mahasiswa
agar aktif dalam proses pembelajaran. Semua kegiatan pembelejaran di
atas membawa mahasiswa memiliki gaya belajar learning how to learn
sehingga dapat membentuk long life learning.

Penataan ulang proses pembelajaran meliputi empat aspek yaitu (1)


mengubah paradigma masyarakat perguruan tinggi, (2) mempersiapkan
sumber daya yang terdiri dari dosen, alat dan sumber belajar, (3)
mempersiapkan content, yang meliputi kurikulum, bahan ajar dan SAP,
(4) proses pembelajaran.

Dari konsep yang disampaikan ini terdapat beberapa pemikiran yang


perlu dikaji dan diteliti lebih dalam antara lain, kemampuan dan kapasitas
para calon mahasiswa di Indonesia, kemampuan dosen dalam mengajar,

112 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


metode mengajar yang baik dan disenangi para mahasiswa di Indonesia,
kemampuan dan kapasitas intelektual lulusan perguruan tinggi di
Indonesia, kemamuan lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang
dibutuhkan di dunia usaha/industri, diagnosa yang tepat untuk
menjembatani gap kemampuan tenaga yang dibutuhkan dengan
kompetensi lulusan perguruan tinggi, sejauh mana peran TI dalam proses
pembelajaran bagi mahasiswa di Indonesia, dan masih banyak topik
lain perlu diteliti lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1997), Problem Based Learning, [http://
ww.ic.polyu.edu.posh97/student/PBL/pbl01/htm#center]
Anonim, (2001), e-Learning Environment, What is’ Student Centred
Learning?,[http:// www.bath.ac.uk/e-learning/environments.html]
Amstrong Thomas, (1999), Seven Kind of Smart, Identifying and
Developing Your Multiple Intellegence, Terjemahan T. Hermaya,
PT Gramedia Pustaka Utama
Kurniawan Once, (2000), TI Menciptakan Budaya Belajar Mandiri,
Kumpulan Makalah Seminar Nasional, Pemanfaatan TI Dalam
Komunikasi Pendidikan, Departemen Pendidikan nasional,
Universitas Terbuka
Kurniawan Once, (1998), Metode Mengajar di Perguruan Tinggi, Jurnal
BINUS, Biro Publikasi Iimiah, Universitas Bina Nusantara
Martin Donald, (1998), How to be Successful Student, Martin Press,
San Anselmo
Mc Kowen, (2000), Teaching Human Beings, [http://www.helicon.
net.cmckowen]
Meier Dave, (2002), The Accelerated Learning Handbook: Panduan
Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan uelatihan,
Terjemahan oleh Rahmani Astuti, Penerbit Kaifa, Bandung
Orstein Allan C, Lasley Thomas ). II, (2000), Strategies For Effective
Teaching, McGraw-Hill Companies, New York

Once Kurniawan: Menata Ulang PT. No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 113


Reed Thomas and Francis M. Laura, ( 2001 ), Learning Circuit, Build
Skill with Action Learning, [http://www.learning Circuit.org/2001/
Oct2001/fancis.html#.bio]
Reid Ian, (1999), Towards A Flexible, Learner Centred Environment,
A Draft Disscution Paper, Curtin University of Technology, [ http:/
/otl.curtin.edu.au]
Sparrow Len, Sparrow Haether, Swan Paul, (2000), Student Centred
Learning; Is it Possible?, Teaching and Learning Forum 2000,
Proceedings Contents, [http://cleo.murdoch:edu.au/confs/tlf/
tIf2000/contents.html]
Tilaar H.A.R., (2002), Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar
Pedagogik -Transformatif untuk Indonesia, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Center for Education and Community Development
Studies
The Joint Task Force on Computing Curricula IEEE Computer
Society, (2001) Association for Computer Machinery ( ACM ),
Computing Curricula 2001 Computer Science (Final ‘ Report,
December 15, 2001) [ http:// www.acm.org].
The Task Force Curriculim Information Systems ACM, (1999), ACM
Recommended Information ‘ Systems Curriculum Created Industry
and Academe, Information Systems Centric Curriculum’99 (ISCC’99)
[http://www.acm.org J
Zamroni, (2000), Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publising,
Bandung.

uuuuuuuuuuuuu

114 Once Kurniawan: Menata Ulang PT. Website: http://www.pustekkom.go.id


VALIDITAS D
VALIDITAS AN RELIABILIT
DAN AS TES
RELIABILITAS TES::
Deskripsi Konsep
dan Aplikasinya
dalam Evaluasi Pendidikan
Oleh:Jafar Ahiri *)

Abstract
Validity of a test is its most important characteristic. A test is
valid to the degree that it accurately measures some
characteristics. There are three basic types of validity: content
validity, which is most important for the classroom teacher’s
achievement test, describes the adequacy of the test to sample
the domains of a subject as stressed in classroom instruction.
Criterion-related validity describes the relationship between test
scores and independent external criterion measures. Construct
validity is the degree to which test scores can be accounted for
by certain explanatory actions that support a psychological
theory.
Reliability of test result is a universal criterion of educational
measurement. Higher reliability measures are obtained as chance
errors associated with the complete process of testing are
reduced. Coefficients of reliability are the best statistical data
available to the teacher who is striving to determine the degree
of success in testing and who is making efforts to improve future
tests. One major aspect of test reliability is the degree to which
a test measures with consistency.

Kata Kunci: validitas, reliabilitas

*) Drs. Jafar ahiri, M.Pd. adalah Mahasiswa Program Doktor PEP PPs. UNJ,
Dosen Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 115


A. PENDAHULUAN
Evaluasi pendidikan melibatkan banyak kegiatan teknis dalam
menentukan metode dan format penilaian yang dapat digunakan untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut
diperlukan dalam menafsir dan menetapkan keputusan untuk
kepentingan pendidikan. Penilai membutuhkan keterampilan dalam
mengidentifikasi dan memahami berbagai macam perspektif
penilaian, baik penilaian kontekstual dan proses maupun penilaian
hasil. Karena penilaian merupakan pusat kontrol keberhasilan program
pendidikan, maka terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi
oleh suatu instrumen penilaian, yaitu validitas dan reliabilitas.

Validitas mengacu pada keberartian, kebenaran, kemanfaatan, dan


kesesuaian skor tes. Validitas merupakan karakteristik suatu tes
ketika diujikan pada suatu kelompok peserta tes. Validasi suatu
instrumen mencakup pengumpulan data empiris dan argumentasi
logis untuk menunjukkan bahwa kesimpulan tertentu adalah tepat.
Sedangkan reliabilitas yang berarti konsistensi adalah ciri umum
dari suatu instrumen pengukuran dan penilaian pendidikan.
Konsistensi tinggi skor instrumen dari suatu pengukuran ke
pengukuran berikutnya merupakan ciri terpenting dari instrumen yang
berkualitas tinggi.

Tulisan ini adalah sebuah kajian teoretis tentang apa dan bagaimana
validitas dan reliabilitas itu apabila dikaitkan dengan kualitas instrumen
dan penerapannya dalam penilaian hasil suatu program pembelajaran.
Selanjutnya, tulisan ini diharapkan untuk mengundang wacana bagi
pembaca tentang: Bagaimana instrumen penilaian yang berkualitas?
Bagaimana meningkatkan validitas dan reliabilitas suatu instrumen
penilaian? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi validitas dan
reliabilitas suatu instrumen penilaian?

116 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


B. DESKRIPSI KONSEP
1. Konsep Validitas
Validitas merupakan produk dari validasi. Validasi adalah suatu
proses yang dilakukan oleh penyusun atau pengguna instrumen
untuk mengumpulkan data secara empiris guna mendukung
kesimpulan yang dihasilkan oleh skor instrumen. Sedangkan
validitas adalah kemampuan suatu alat ukur untuk mengukur
sasaran ukurnya.

Untuk menjadi valid suatu instrumen tidak hanya konsisten dalam


penggunaannya, namun yang terpenting adalah harus mampu
mengukur sasaran ukurnya. Hal ini berarti bahwa validitas
merupakan ciri instrumen yang terpenting. Berbagai usaha
dilakukan untuk meningkatkan validitas instrumen, baik langsung
ataupun tidak berhubungan dengan peningkatan validitas
instrumen itu sendiri. Untuk menjadi valid maka suatu instrumen
harus dikonstruksi dengan baik dan mencakup materi yang benar-
benar mewakili sasaran ukurnya. Validitas instrumen bersifat
relatif terhadap situasi tertentu dan tergantung pada kondisi
tertentu. Instrumen yang mempunyai validitas tinggi terhadap
tujuan atau kegunaan tertentu mungkin akan mempunyai
validitas sedang atau mungkin rendah terhadap tujuan lainnya.

Menurut Messik (1989) terdapat lima aspek yang berbeda dalam


konsep validitas. Kelima aspek tersebut secara bersama-sama
berfungsi sebagai ukuran validitas umum atau standar untuk
semua pengukuran psikologis dan pendidikan. Kelima aspek
tersebut adalah: (1) Substansi. Aspek substansi validitas
mencakup verifikasi proses utama dalam pengungkapan tugas
penilaian. Hal ini dapat dikenali melalui penggunaan teori
substansi dan pemodelan proses. Ketika menentukan substansi
instrumen, seseorang perlu mempertimbangkan dua hal pokok:
Pertama, tugas penilaian harus mewakili materi yang akan dinilai.
Kedua, penilaian harus ditetapkan berdasarkan fakta-fakta
empiris. (2) Strukrur pensekoran. Strukrur pensekoran harus
secara rasional konsisten dengan apa yang diketahui tentang

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 117


sifat hubungan struktural dari keberadaan konstruk yang
dipersoalkan. Struktur internal penilaian harus konsisten dengan
apa yang diketahui tentang struktur internal dari domain konstruk.
(3) Ketergeneralisasian. Ketergene-ralisasian penilaian harus
memenuhi keterwakilan isi dan konstruk. Hal ini memungkinkan
penafsiran skor untuk penggeneralisasian secara luas dalam
konstruk yang ditetapkan. Fakta seperti kemampuan generalisasi
tersebut tergantung pada tingkat korelasi suatu tugas dengan
tugas lainnya yang juga mewakili konstruk atau aspek-aspek
konstruk. (4) Faktor-faktor eksternal. Aspek eksternal dari
validitas mengacu pada tingkat hubungan skor assessment
dengan ukuran lain dan perilaku nonassessment yang
mencerminkan tinggi, rendah, dan hubungan interaksi antara
konstruk yang ditetapkan. (5) Akibat dari validitas. Akibat validitas
meliputi bukti dan dasar pemikiran dalam mengevaluasi
konsekuensi penafsiran dan menggunakan skor yang tidak
diharapkan dan yang diharapkan. Penyelidikan jenis ini terutama
penting ketika berhubungan dengan akibat yang merugikan bagi
individu dan kelompok yang dihubungkan dengan penyimpangan
dalam penskoran dan penafsiran.

Ke lima aspek validitas tersebut berlaku bagi semua pengukuran


psikologis dan pendidikan; umumnya penafsiran berbasis skor
dan kesimpulan tindakan mengasumsikannya secara tegas atau
secara tersembunyi. Tantangan dalam validasi instrumen
selanjutnya adalah menghubungkan kesimpulan ini terhadap
fakta-fakta terpusat yang mendukungnya seperti halnya terhadap
fakta-fakta berbeda yang merupakan bagian kesimpulan
tandingan yang rasional.

2. Konsep Reliabilitas
Reliabilitas telah didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh
pengarang yang berbeda. Cara yang terbaik untuk membahas
reliabilitas adalah sejauhmana hasil pengukuran dari suatu
instrumen mewakili karakteristik yang diukur. Sebagai contoh,
reliabilitas didefinisikan seberapa besar konsistensi skor tes yang

118 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


dicapai peserta tes pada pengujian ulang. Definisi ini akan
memuaskan jika skor tes dapat menggambarkan kemampuan
peserta tes; jika tidak maka skor tes tidak sistematis, tidak dapat
diulangi atau tidak terikat. Reliabilitas juga diartikan sebagai
indikator ketidakhadiran kesalahan acak. Jika kesalahan acak
dapat diperkecil maka skor tes akan lebih konsisten dari suatu
pengujian ke pengujian berikutnya.

Definisi teoretis dari reliabilitas adalah proporsi keragaman skor


tes yang disebabkan oleh keragaman sistematis dalam populasi
peserta tes. Jika terdapat keragaman sistematis yang lebih besar
dalam suatu populasi dibanding dengan populasi lainnya, seperti
dalam semua siswa sekolah negeri dibandingkan hanya dengan
kelas tertentu, tes akan mempunyai reliabilitas lebih besar untuk
populasi yang lebih bervariasi. Reliabilitas adalah karakteristik
bersama antara tes dan kelompok peserta tes. Reliabilitas tes
bervariasi dari suatu kelompok dengan kelompok lainnya.

Para profesional pengukuran menganggap reliabilitas sebagai


persyaratan utama suatu instrumen penilaian. Dalam teori tes
diakui bahwa skor tes akan valid (benar) jika skor tes tersebut
reliabel (Mehrens & Lehmann, 1991). Asumsi ini didasarkan pada
suatu model matematika teori tes dimana skor perolehan terdiri
atas skor tulen dan skor galat (obtained score = true score +
error score). Semakin sedikit kesalahan dalam suatu tes (yaitu
semakin reliabel) semakin valid skor tes. Karenanya, suatu
penilaian yang tidak reliabel secara otomatis tidak valid.

Penekanan utama dalam mengumpulkan data untuk menentukan


reliabilitas tes adalah pada konsistensi dihubungkan dengan
reliabilitas skor atau reliabilitas penilai. Reliabilitas skor berarti
bahwa jika suatu tes telah diadministrasikan pada penempuh
ujian untuk kedua kalinya, maka penempuh ujian akan tetap
memperoleh skor yang sama dengan pengadministrasian yang
pertama. Salah satu cara para spesialis pengukuran dalam
menentukan reliabilitas skor tes adalah melalui tes standar. Jika

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 119


penempuh ujian diuji kembali, mereka harus melengkapi tugas
yang sama persis dalam kondisi yang juga persis sama. Hal ini
akan membantu dalam pencapaian hasil tes yang konsisten.

C. PEMBAHASAN
1. Validitas
a. Jenis-jenis Validitas dan Ukurannya
Crocker dan Algina (1986) membedakan tiga jenis validitas,
yaitu: 1) validitas isi, mengkaji kepadanan sampel yang
terdapat dalam suatu instrumen; 2) validitas konstruk,
mengkaji sifat-sifat psikologis yang menjelaskan keragaman
skor responden dalam instrumen tertentu; 3) dan validitas
relasi kriteria, membandingkan skor responden dengan satu
atau lebih variabel eksternal.

Validitas konstruk mencakup syarat-syarat empiris dan logis


dari validitas isi dan validitas kriteria. Hal Ini berari bahwa
validitas konstruk menggabungkan syarat-syarat yang
terdapat dalam validitas isi dan validitas relasi kriteria
(Anastasi, 1997). Validitas konstruk menghubungkan
gagasan dan praktek pengukuran di satu pihak, dengan
gagasan teoretik di pihak lain. Para penyusunan instrumen
biasanya bertolak dengan bekal suatu konstruk, kemudian
mengembangkan instrumen untuk mengukur konstruk
tersebut. Selanjutnya, butir-butir instrumen yang telah
dikembambangkan diujicobakan secara empiris.

Validitas isi dan validitas konstruk berhubungan dengan


kecocokan butir-butir instrumen dengan tujuan ukurnya.
Kedua jenis validitas tersebut dapat ditentukan melalui
pengkajian secara teoretis dan secara empiris, yang
mencakup: (1) menjelaskan pokok bahasan dan sub pokok
bahasan; (2) menetapkan pokok bahasan dan subpokok
bahasan yang diukur oleh setiap butir instrumen; (3)
mencocokkan butir-butir instrumen dengan pokok bahasan

120 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


dan subpokok bahasan yang diukurnya. Secara teoretis
validitas isi dan validitas konstruk dapat dikaji melalui
penilaian panelis. Penilaian panelis dimaksudkan untuk
menilai kesesuaian setiap butir instrumen dengan pokok
bahasan dan subpokok bahasan yang diukurnya. Prosedur
yang digunakan adalah meminta para panelis untuk
mencermati butir-butir instrumen. Kemudian menilai
kesesuaian setiap butir instrumen dengan pokok bahasan
dan subpokok bahasan yang diukurnya.

Suatu contoh penilaian validitas isi dan validitas konstruk


secara teoretis dapat dilakukan melalui penilaian panelis
(pakar). Pengembangan prosedur penilaian panelis dapat
dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: Pertama,
menetapkan skala yang digunakan, yaitu: 1 = tidak relevan,
2 = kurang relevan, 3 = cukup relevan, 4 = relevan, dan 5
= sangat relevan. Kedua, menetapkan kriteria penilaian yang
mencakup: (1) mengukur indikatornya; (2) hanya memiliki
satu arti; (3) jelas dan mudah dipahami; (4) tidak bersifat
faktual; dan (5) tidak tumpang tindih dengan butir-butir
lainnya. Ketiga, menetapkan pilihan, yaitu: 1 (tidak relevan)
jika hanya satu atau semua kriteria tidak terpenuhi; 2 (kurang
relevan) jika hanya dua kriteria yang terpenuhi; 3 (cukup
relevan) jika hanya tiga kriteria yang terpenuhi; 4 (relevan)
jika hanya empat kriteria yang terpenuhi; dan 5 (sangat
relevan) jika semua kriteria terpenuhi. Keempat, kualitas
masing-masing butir instrumen didasarkan atas rerata hasil
penilaian panelis, dengan kriteria sebagai berikut:

Rerata Penilaian Keputusan

1,0 – 2,9 Tidak sesuai Direvisi


3,0 – 3,9 Cukup sesuai Diterima dengan revisi
4,0 – 5,0 SesuaiDiterima

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 121


Penilaian validitas isi dan validitas konstruk secara empiris
dilakukan dengan ujicoba instrumen kepada responden yang
sesuai dengan karakteristik responden tempat pemberlakuan
instrumen final. Penetapan jumlah sampel dapat diacuh dari
pendapat Nunnaly (1970) bahwa untuk mengurangi resiko
kehilangan butir-butir instrumen dan agar memungkinkan
untuk mengeliminasi faktor-faktor yang tidak dikehendaki
maka dalam analisis instrumen direkomendasikan untuk
digunakan sampel 5–10 kali jumlah butir instrumen.

Ujicoba secara empiris dimaksudkan untuk menganalisis


validitas isi dan validitas konstruk instrumen secara empiris.
Validitas isi biasanya digunakan untuk menyebut validitas
instrumen tes, sedangkan validitas konstruk biasanya
digunakan untuk menyebut validitas instrumen non tes.
Secara empiris, kedua jenis validitas tersebut dianalisis
dengan cara yang berbeda.

Validitas isi. Secara empiris alat analisis validitas isi yang


biasa digunakan (khusus untuk tes pilihan ganda) adalah
Item and Test Analysis (ITEMAN). Alat analisis ini
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang: indeks
kesukaran butir tes, indeks daya beda butir, dan
keberfungsian pengecoh. Disamping itu, juga untuk
menentukan: korelasi biserial titik (point biserial correlation),
dan keseimbangan isi atau keterwakilan materi yang hendak
diukur. Secara empiris kelima informasi tersebut dibutuhkan
karena saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya,
dimana keberfungsian pilihan dapat meningkatkan indeks
kesukaran butir tes, indeks kesukaran butir tes dapat
menentukan daya beda butir, dan indeks kesukaran dan daya
beda butir dapat mempengaruhi interkorelasi butir, dan secara
keseluruhan kelima informasi tersebut merupakan penentu
tingkat reliabilitas tes. Untuk jelasnya prosedur analisis butir
dan penetapan kriteria untuk menerima, menolak atau
merevisi butir-butir tes, secara berturut-turut sebagai berikut:

122 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


(1) Indeks kesukaran butir (p). Indeks kesukaran butir tes
adalah proporsi peserta yang menjawab benar butir tes.
Indeks kesukaran butir yang baik berkisar antara 0,3-0,7
paling baik pada 0,5; karena p=0,5 dapat memberikan
kontribusi optimal terhadap korelasi biserial titik, daya
pembeda butir, dan reliabilitas tes. Butir-butir tes yang
memiliki indeks kesukaran di bawah atau di atas kriteria 0,3
- 0,7 dapat digunakan apabila ada pertimbangan keterwakilan
pokok bahasan yang diukurnya.

(2) Daya pembeda butir (D). Daya pembeda butir adalah


kemampuan butir tes untuk membedakan siswa mampu dan
kurang mampu. Indeks daya beda butir mempunyai rentang
nilai –1 ke +1, namun nilai negatif dan rendah menunjukkan
kinerja butir yang rendah. Suatu butir tes dapat dipertahankan
apabila memiliki nilai D ³ 2,0. Indeks daya beda butir dihitung
dengan menggunakan rumus: D= pu - pi; dimana: pu =
proporsi kelompok atas yang menjawab benar, pi = proporsi
kelompok bawah yang menjawab benar. Pembagian
kelompok responden didasarkan atas pendapat Kelly (1939)
yang dikutip oleh Crocker dan Algina (1996) bahwa indeks
daya beda butir yang lebih stabil dan sensitif dapat dicapai
dengan menggunakan 27 persen kelompok atas dan 27
persen kelompok bawah.

(3) Korelasi biserial titik (rpbi). Korelasi biserial titik adalah


korelasi antara skor butir tes dengan skor total. Korelasi biserial
titik dapat disamakan dengan daya beda butir, namun rpbi itu
sendiri perlu dihitung karena dapat menyediakan refleksi yang
sebenarnya dari kontribusi setiap butir tes terhadap
keberfungsian tes. Semakin tinggi rpbi suatu butir tes semakin
tinggi kontribusinya dalam memprediksi kriteria. Suatu butir
tes dapat dipertahankan apabila memiliki rpbi ³ 0,30.

(4) Keberfungsian pengecoh. Suatu pengecoh dapat


dipertahankan apabila memenuhi syarat-syarat: (1) kunci

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 123


jawaban (keyed answer) harus dipilih lebih banyak oleh
kelompok atas daripada kelompok bawah; (2) setiap
penggagal (foils) harus dipilih minimal 2 persen dari
keseluruhan peserta tes dan dipilih minimal 5 persen
kelompok bawah, (3) Indeks daya beda kunci jawaban harus
positif dan indeks daya beda penggagal harus negatif.

Validitas konstruk. Sama halnya dengan prosedur ujicoba


instrumen tes, instrumen non tes juga diujicobakan secara
empiris kepada sejumlah responden (5-10 kali jumlah butir
instrumen). Data hasil ujicoba secara empiris dari instrumen
non tes biasanya dianalisis dengan menggunakan Analisis
Faktor Konfirmasi (Confirmatory Factor Analysis) dengan
menggunakan metode ekstraksi komponen utama (principle
component extraction). Analisis tersebut bertujuan untuk
menguji kebenaran konstruk teori yang dijadikan acuan dalam
pengembangan instrumen, dengan cara menentukan struktur atau
model faktor dari sejumlah butir instrumen berdasarkan muatan
faktor (factor loading) jumlah varians (eigenvalue), dan proporsi
varians (communality). Dalam analisis ini juga digunakan rotasi
ortogonal dan varimax. Beberapa kriteria yang dijadikan acuan
dalam analisis faktor adalah:
(1) Ukuran kecukupan pensampelan (sampling adequacy).
Ditentukan dengan menggunakan rumus Kaiser-Meyer-Olkin
(KMO), yaitu dengan membandingkan nilai koefisien korelasi
observasi dengan koefisien korelasi parsial (Norusis, 1996).
Jika koefisien korelasi parsial kecil maka nilai KMO besar
(mendekati satu) berarti dapat digunakan analisis faktor,
sebaliknya jika nilai koefisien korelasi parsial besar maka
nilai KMO kecil (mendekati nol) berarti tidak dapat digunakan
analisis faktor. Jelasnya penafsiran nilai KMO diacuh dari
ciri yang dikemukakan oleh Kaiser (1974) seperti dikutip oleh
Norusis (1996) bahwa KMO 0,90 baik sekali (marvelous);
0,80 baik (meritorius); 0,70 sedang (middling); 0,60 kurang
(mediocre); 0,50 sangat kurang (miserable); dan dibawah 0,50
tidak dapat diterima (unacceptable).

124 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


(2) Uji Bartlett tentang bentuk matriks korelasi (Bartlett’s test
of sphericity). Uji ini dimaksudkan untuk memastikan apakah
matriks korelasi berasal dari matriks identitas atau bukan.
Dalam uji ini digunakan pendekatan Chisquare dan dibutuhkan
data yang berasal dari populasi normal multivariat. Dengan
ketentuan bahwa bila matriks korelasi merupakan matriks
identitas (makriks dengan diagonal 1 dan selain diagonal 0)
maka tidak dapat digunakan analisis faktor, sebaliknya bila
matriks korelasi bukan matriks identitas maka dapat
digunakan analisis faktor.

(3) Banyaknya faktor. Banyaknya faktor ditetapkan


berdasarkan aturan yang dikemukakan oleh Norusis (1996)
bahwa jumlah faktor harus diekstraksi sama dengan jumlah
faktor yang mempunyai varians (eigenvalue) lebih besar dari
1,0.

(4) Muatan faktor (factor loading). Muatan faktor diseleksi


setelah melalui ekstraksi komponen utama (extracting
principal component) dengan rotasi ortogonal untuk
memaksimalkan varians (variance maximizing/ varimax)
antara variabel utama. Muatan faktor yang tetap
dipertahankan adalah di atas 0,3. Hal ini sesuai dengan aturan
yang dikemukakan oleh Crocker dan Algina (1996) bahwa
muatan faktor yang lebih dari 0,3 cenderung siginifikan,
sebaliknya muatan faktor yang kurang dari 0,3 tidak dapat
memberikan kontribusi yang siginifikan terhadap suatu faktor
tertentu.

b. Penyebab invaliditas
Ancaman utama terhadap validitas instrumen adalah: (1)
ketakterwakilan konstruk; menunjukkan bahwa tugas yang
diukur dalam penilaian tidak mencakup dimensi penting dari
konstruk. Oleh karena itu, hasil tes tersebut tidak mungkin
untuk mengungkapkan kemampuan siswa sebenarnya dalam
konstruk yang hendak diukur oleh instrumen; (2)

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 125


penyimpangan keragaman konstruk berarti bahwa instrumen
tersebut mengukur terlalu banyak variabel, dan kebanyakan
variabel tersebut tidak relevan terhadap isi konstruk. Jenis
penyimpangan validitas seperti ini mencakup dua bentuk,
yaitu penyimpangan kemudahan konstruk (Construct
irrelevant easiness) dan penyimpangan kesukaran konstruk
(Construct irrelevant difficulty). Penyimpangan kemudahan
konstruk terjadi ketika faktor-faktor luar seperti kata-kata
kunci atau bentuk instrumen memungkinkan seseorang
untuk menjawab benar dengan cara yang tidak sesuai dengan
konstruk yang diukur, dan penyimpangan kesukaran konstruk
terjadi bila aspek-aspek luar dari tugas membuat tingkat
kesukaran tugas tidak sejalan terhadap sebagian atau
keseluruhan anggota kelompok. Sementara bila terjadi
penyimpangan keragaman konstruk yang pertama
menyebabkan seseorang memperoleh skor yang lebih tinggi
dibanding dengan kemampuan yang sebenarnya, dan
terjadinya penyimpangan keragaman konstruk yang kedua
menyebabkan seseorang memperoleh skor yang lebih rendah
dibanding dengan kemampuan yang sebenarnya.

2. Reliabilitas
a. Ukuran Reliabilitas
Terdapat beberapa statistik yang digunakan untuk
menghitung stabilitas skor seperangkat tes dari suatu
kelompok peserta tes, yaitu: reliabilitas test-retest, reliabilitas
split-half, dan reliabilitas konsistensi internal.

Reliabilitas test-retest. Suatu koefisien reliabilitas test-retest


diperoleh dengan mengadministrasikan tes yang sama dua
kali dan mengkorelasikan skor tes tersebut. Dalam konsep,
hal ini merupakan ukuran konsistensi skor yang sempurna
sebab memungkinkan pengukuran konsistensi langsung dari
suatu ujian ke ujian berikutnya. Namun, koefisien ini tidaklah
direkomendasikan dalam praktek, oleh karena masalah dan
keterbatasannya, yaitu memerlukan dua kali

126 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


pengadministrasian tes yang sama dalam kelompok yang
sama dan memerlukan pemilihan waktu yang tepat. Jika
interval waktunya singkat, mungkin skor siswa akan sangat
konsisten sebab mereka masih mengingat sebagian atau
seluruh pertanyaan dan jawaban mereka. Dan jika intervalnya
lama, maka hasilnya akan dipengaruhi oleh perubahan belajar
dan kematangan yang terjadi pada diri siswa.

Reliabilitas Split-Half. Sesuai dengan namanya, reliabilitas


split-half adalah suatu koefisien yang diperoleh dengan
pembagian suatu skor tes ke dalam dua bagian yang masing-
masing separuhnya, kemudian kedua bagian skor tes tersebut
dikorelasikan untuk menentukan koefisien reliabilitasnya.
Pembagian data dipecah atas nomor ganjil dan genap,
memecah butir-butir tes menjadi dua bagian yang sama
jumlahnya, memilih butir secara acak, atau berdasarkan
keseimbangan materi dan tingkat kesukaran. Pendekatan
ini mempunyai suatu keuntungan, yakni hanya memerlukan
satu kali pengujian. Kelemahannya adalah koefisien yang
dihasilkan akan bervariasi tergantung bagaimana tes tersebut
dipecah. Juga tidak cocok digunakan untuk mengukur
reliabilitas tes kecepatan (speed test), karena skor siswa
dipengaruhi oleh seberapa banyak butir tes yang dijawab
dalam waktu yang tersedia.

Konsistensi internal. Konsistensi internal tergantung pada


interkorelasi butir tes, yang juga disebut homogenitas. Rumus
statistik terbaik yang digunakan untuk menentukan koefisien
reliabilitas konsistensi internal adalah: Alpha Cronbach dan
Kuder-Richardson (KR-20 dan KR-21). Kebanyakan program
pengujian melaporkan bahwa hasil pengujian dengan Alfa
Cronbach secara fungsional setara dengan KR-20.

Keuntungan penggunaan statistik ini adalah hanya


memerlukan satu kali administrasi tes dan tidak tergantung
pada pemecahan materi tes. Sedangkan kerugiannya adalah

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 127


akan efektif diterapkan jika tes hanya mengukur area
keterampilan tunggal. Hanya membutuhkan rerata skor tes,
simpangan baku atau varians, dan sejumlah butir, KR-20
adalah rumusan reliabilitas yang paling sederhana. Dan
rumus KR-21 hampir selalu menghasilkan koefisien yang
lebih rendah dari KR-20. Kesederhanaannya menjadikannya
sebagai rumus reliabilitas yang paling banyak digunakan
khususnya untuk mengevaluasi tes yang dikembangkan di
kelas. Namun, rumus ini tidak dapat digunakan untuk
menentukan reliabilitas skor dikotomi.

b. Seberapa Tinggi Koefisien Reliabilitas


Reliabilitas tes adalah proporsi varians tulen (true variance)
dalam skor tes (Guilford, 1982). Penilaian kecukupan
koefisien reliabilitas tes dapat diacuh dari pendapat Aiken
(1988) bahwa jika tes akan digunakan untuk menentukan
signifikansi perbedaan rerata skor dua kelompok siswa maka
koefisien reliabilitas sebesar 0,65 dianggap memuaskan. Dan
jika tes akan digunakan untuk membandingkan siswa yang
satu dengan yang lainnya maka paling tidak diperlukan
koefisien reliabilitas sebesar 0,85. Untuk menjelaskan
keberartian koefisien reliabilitas dapat pula diacuh dari galat
baku pengukuran, yang dihitung dengan menggunakan
rumus: S m = S x 1 − rx ; dimana: S m = galat baku
pengukuran; Sx = simpangan baku skor tes; dan rx =
koefisien reliabilitas tes.

Misalnya, dari hasil perhitungan koefisien reliabilitas


instrumen dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach
diperoleh 0,93 dengan galat baku pengukuran 6,88. Hal ini
berarti bahwa tes tersebut sangat terandalkan karena dapat
mengukur 93 persen keragaman skor yang sebenarnya, dan
bila dalam jangka waktu tertentu dan dalam kondisi yang
sama para responden merespon kembali tes tersebut maka
rentangan penyimpangan skor total yang dicapai masing-
masing responden berkisar antara -+ 6,88; jadi bila pada tes

128 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


pertama seseorang siswa memperoleh skor total 450 maka
kemungkinan rentangan skor total yang dicapai pada tes
berikutnya adalah -450+ 6,88 atau paling rendah 443,12
dan paling tinggi 456,88.

Jika tes yang diadministrasikan memiliki konsekuensi tinggi,


seperti tes yang digunakan untuk penempatan dalam
pendidikan, misalnya ujian akhir SMU, dan sertifikasi
profesional, maka diperlukan reliabilitas konsistensi internal
yang tinggi paling sedikit di atas 0,90, dan paling baik jika di
atas 0,95. Kesalahan klasifikasi yang disebabkan oleh
kesalahan pengukuran harus diperkecil. Tetapi perlu dicatat
bahwa tidak satu pun tes dengan sendirinya dapat digunakan
untuk membuat suatu keputusan penting bagi seseorang.

Tes di kelas tidak selalu membutuhkan koefisien reliabilitas


tinggi. Ketika para siswa lebih menguasai materi yang
diujikan, variabilitas tes akan menurun, sehingga reliabilitas
tes juga akan menurun. Para guru mengawasi siswa mereka
sepanjang hari dan mempunyai peluang untuk mengumpulkan
masukan dari berbagai sumber informasi. Jika pengetahuan
dan pertimbangan guru digunakan bersama dengan informasi
yang diperoleh dari tes, maka akan dapat menyediakan
informasi yang lebih lengkap. Jika suatu tes tidak reliabel
atau tidak akurat untuk siswa secara perorangan, maka guru
perlu membuat koreksi penyesuaian. Suatu koefisien
reliabilitas sebesar 0.50 atau 0.60 mungkin cukup untuk tes
di kelas.

Selanjutnya, reliabilitas adalah karakteristik bersama antara


tes dan kelompok peserta tes. Reliabilitas juga perlu
dievaluasi dalam kaitan dengan kelompok peserta tes. Suatu
tes dengan koefisien reliabilitas 0.92 ketika diujikan pada
siswa dalam beberapa kelas maka koefisien reliabilitas yang
diperoleh tidak akan sama jika tes tersebut hanya diujikan
pada satu kelas saja.

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 129


Reliabilitas berhubungan dengan konsistensi hasil
pengukuran. Reliabiltas dipengaruhi oleh cakupan instrumen
penilaian. Misalnya, suatu instrumen tes tertentu yang
mencakup sasaran belajar dan butir yang terbatas memiliki
reliabilitas yang lebih rendah dibanding dengan tes yang
mencakup sasaran belajar yang lebih luas dengan jumlah
butir yang lebih banyak.

Instrumen yang representatif dengan kesalahan pengukuran


yang relatif kecil akan memiliki reliabilitas tinggi. Kesalahan
pengukuran dapat diperkecil melalui penulisan butir instrumen
yang jelas, petunjuk yang mudah dipahami, administrasi
instrumen yang sesuai, dan penskoran yang konsisten.
Suatu instrumen tes adalah suatu sampel perilaku dari
keterampilan yang diinginkan, tes lebih panjang dengan
sampel yang lebih besar, memungkinkan untuk lebih reliabel.
Hasil ujian akhir dari suatu unit pembelajaran dengan waktu
satu jam akan lebih reliabel ketimbang hasil ujian harian
dengan jangkauan materi dan waktu yang terbatas.

c. Ancaman terhadap Reliabilitas


Semua jenis instrumen tes atau nontes tidak terlepas
kesalahan. Hal ini berlaku untuk instrumen tes dalam ilmu-
ilmu eksakta dan dalam ilmu-ilmu psikologi dan pendidikan.
Misalnya, dalam mengukur panjang dengan suatu penggaris,
mungkin ada kesalahan sistematis berhubungan dengan di
mana titik nol dicetak pada penggaris dan kesalahan acak
berhubungan dengan kemampuan mata dalam membaca
tanda-tanda dan memperhitungkan tanda-tanda tersebut. Juga
memungkinkan bahwa panjang obyek dapat berubah dari
waktu ke waktu dan pada lingkungan yang berbeda (misalnya
perubahan temperatur). Salah satu tujuan penilaian adalah
untuk mengurangi kesalahan tersebut hingga ke tingkatan
yang sesuai dengan tujuan tes. Tes yang beresiko tinggi
(high-stakes tes), seperti ujian untuk mendapatkan SIM,
harus mempunyai kesalahan yang sangat kecil. Tes di kelas

130 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


dapat mentolerir kesalahan yang lebih tinggi secara wajar
kesalahan tersebut mudah dikoreksi sepanjang proses
pengujian. Reliabilitas hanya mengacu pada derajat tingkat
kesalahan yang tidak sistematis, yang disebut kesalahan
acak.

Ada tiga sumber kesalahan utama, yaitu: faktor dalam tes


itu sendiri, faktor siswa yang dites, dan faktor penskoran.
Umumnya tes berisi suatu koleksi butir yang mengukur
keterampilan tertentu. Adakalanya guru secara khas
menggeneralisasikan masing-masing butir tes ke semua
materi yang diukur oleh tes itu. Sebagai contoh, jika seorang
siswa dapat memecahkan beberapa permasalahan seperti
7x8, maka mungkin akan disamaratakan kemampuannya
dalam mengalikan angka tunggal bilangan bulat. Juga
mungkin akan menyamaratakan suatu kumpulan materi
kepada suatu domein yang lebih luas. Jika siswa dapat
menyelesaikan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian, maka mungkin akan disimpulkan bahwa siswa
tersebut mampu menyele-saikan operasi pecahan.
Kesalahan dapat pula disebabkan oleh pemilihan butir untuk
mengukur domein dan keterampilan tertentu. Materi yang
tercakup dalam tes berbeda menurut format masing-masing
tes, kesalahan pensampelan, pembatasan butir tes, dan
karena menyamaratakan ke data yang tidak diamati, yakni,
kemampuan siswa terhadap keseluruhan butir yang mungkin
terdapat dalam tes. Ketika keterampilan dan domain yang
diukur menjadi lebih rumit, mungkin akan terjadi lebih banyak
kesalahan yang disebabkan oleh pensampelan materi.
Sumber lain kesalahan tes adalah ketidakefektifan pengecoh
dalam tes pilihan ganda, seperti jawaban benar yang lebih
banyak, dan tingkat kesukaran butir tes.

Sebagai manusia, para siswa tidaklah selalu konsisten dan


juga tidak terlepas dari kesalahan dalam menyelesaikan tes.
Apakah tes itu dimaksudkan untuk mengukur kemampuan

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 131


khusus atau kemampuan siswa secara optimal, perubahan
dalam berbagai hal seperti sikap siswa, kesehatan, dan
rasa kantuk dapat mempengaruhi kualitas usaha dan
konsistensi siswa dalam menyelesaikan tes. Sebagai
contoh, peserta tes mungkin membuat kesalahan karena
teledor, salah menafsirkan petunjuk tes, melupakan instruksi
tes, melupakan beberapa butir tes, atau salah baca butir
tes.

Kesalahan penskoran merupakan sumber sepertiga dari


kesalahan potensial. Pada bentuk tes objektif, penskoran
bersifat mekanik, dan kesalahan penskoran harus diperkecil.
Pada tes uraian, sumber kesalahan meliputi ketidakjelasan
rubrik penskoran, ketidakjelasan apa yang diharapkan dari
siswa, dan beberapa kesalahan yang bersumber dari penilai.
Para penilai tidaklah selalu konsisten, kadang-kadang
merubah ukuran-ukuran mereka selagi menskor, dan
terkadang terpengaruh oleh hal-hal yang tidak berhubungan
dengan skor tes seperti efek halo, latar belakang siswa,
perbedaan persepsi, kebaikan hati atau kepelikan, dan
kesalahan dalam penskalaan (Rudner, 1992).

D. KESIMPULAN
Validitas adalah kemampuan suatu alat ukur untuk mengukur
sasaran ukurnya. Validitas dibedakan atas: validitas isi mengkaji
kepadanan sampel yang terdapat dalam suatu instrumen; validitas
konstruk mengkaji sifat-sifat psikologis yang dapat menjelaskan
perbedaan-perbedaan responden dalam hal keragaman pencapaian
skor tes dalam instrumen tertentu; dan validitas relasi kriteria
membandingkan skor responden dengan satu atau lebih variabel
eksternal.

Reliabilitas adalah proporsi keragaman skor tes yang disebabkan


oleh keragaman sistematis dalam populasi peserta tes. Reliabilitas

132 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


adalah karakteristik bersama antara tes dan kelompok peserta tes.
Reliabilitas tes bervariasi dari suatu kelompok dengan kelompok
lainnya. Terdapat beberapa statistik untuk menghitung stabilitas skor
tes yaitu: reliabilitas test-retest, reliabilitas split-half, dan reliabilitas
konsistensi internal.

Para profesional pengukuran menempatkan kebanyakan penekanan


mereka dalam penilaian pada reliabilitas. Suatu pengakuan umum
dalam teori tes bahwa suatu tes akan menjadi valid (benar) jika tes
tersebut reliabel. Asumsi ini didasarkan pada suatu model matematika
teori tes dimana skor perolehan terdiri atas skor tulen dan galat.
Semakin sedikit kesalahan dalam suatu tes (yaitu semakin reliabel)
semakin valid skor tes tersebut. Suatu penilaian yang tidak reliabel
secara otomatis tidak valid. Instrumen yang memiliki reliabilitas tinggi
diperlukan jika hasil penilaian akan digunakan untuk pengambilan
keputusan yang penting. Sebaliknya, reliabilitas tingkat menengah
diperlukan jika hasil penilain kurang penting, dan penilaian didasarkan
atas beberapa sumber informasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reliabilitas suatu instumen adalah:


(1) instrumen yang lebih panjang lebih reliabel dari instrumen yang
lebih pendek; (2) reliabilitas akan rendah bila penyebaran skor rendah;
(3) semakin obyektif penskoran semakin tinggi reliabilitas; (4)
reliabilitas instrumen akan berbeda jika diadministrasikan kepada
responden yang memiliki sebaran kemampuan yang berbeda; (5)
interval waktu pengambilan data dalam penentuan reliabilitas test-
retest juga dapat mengaruhi relibiabilitas instrumen.

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 133


DAFTAR PUSTAKA

Aiken, lewis R. Psychological Testing and Assessment. Massachusetts:


Allyn and Bacon Inc., 1988.
Anastasi, A. Psychological Testing. New York: MacMillan Publishing
Company, 1987.
Bloom, B. S., Madaus, G.F., & Hastings, J. T. Evaluation to Improve
Learning. New York: McGraw-Hill Book Company, 1981.
Crocker, Linda and James Algina. Introduction to Classical and Modern
Test Theory. Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1986.
Cronbach, L. J. Essentials of Psychological Testing. Third Edition. New
York: Harper & Row, Publishers, 1970.
Fredericksen, J.R., & Collins, A. A systems approach to educational
testing. Educational Researcher, 1989.
Gregory, Robert J. Psychological Testing History, Principles, and
Applications. Boston: Allyn & Bacon, 2000.
Gronlund, Norman E. Measurement and Evaluation in Teaching. New
York: McMillan Publishing Company, 1985.
Guilford, J.P. Psychomeric Methods. New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Co. Ltd., 1982.
Hopkins, Charles D., and Richard L. Antes. Classroom Measurement
and Evaluation. Itasca, Illinois, 1990.
Linn, R. L., & Gronlund, N. E. Measurement and Assessment in Teaching,
Seventh Edition. Englewood Cliffs, NJ: Merrill, an imprint of Prentice
Hall, 1995.
Mehrens, W. A., & Lehmann, I. J. Measurement and Evaluation in
Education and Psychology. Fourth Edition. Fort Worth, TX: Holt,
Rinehart, and Winston, Inc., 1991.
Messick, S. Validity In Educational Measurement. Robert Linn (Ed.).
Washington, DC: American Council on Education, 1989.
Nitko, A. J. Educational Assessment of Students. Englewood Cliffs,
NJ: Merrill an imprint of Prentice Hall, 1996.
Nunnaly, Jum C. Jr. Introduction to Psychological Measurement. New
York: McGraw-Hill Book Company, 1970.
Oosterhof, A. Developing and Using Classroom Assessments. Englewood
Cliffs, NJ: Merrill, an imprint of Prentice Hall, 1996.

134 Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes Website: http://www.pustekkom.go.id


Popham, W. James. Classroom Assessment, What Teachers Need to
Know. Boston: Allyn and Bacon, 1998.
Shavelson, R., G. Baxter, & J. Pine. Performance Assessments: Political
Rhetoric and Measurement Reality. Educational Researcher, 1992.
Stapleton, Connie D. Basic Concepts in Exploratory Factor Analysis
(EFA) as a Tool to Evaluate Score Validity : A Right-Brained
Approach. http://www.utexas.Edu /stat/packs. html., 2002.

‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹

Jafar Ahiri: Validitis dan Reliabilitas Tes No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 135


SINGKATAN DAN AKRONIM DALAM
MEDIA CHATTING DAN SMS
( Analisis Komunikasi TTeks
eks dalam
Inter net dan TTelepon
Internet elepon Selular)
Oleh: Lydia Irawati *)

Abstract
The analyzed result shows abbreviation types in .... are
shortening and acronym. The analysis of abbreviations produces
(a) the same shortening for difference prolongation, b) different
shortening for same prolongation, c) shortening that cause
ambiguity, d) shortening for foreign language terminology, e)
shortening for regional laguage terminology. The analysis shows
that the obbrevations for the names of places are consistent,
i.e. they always use capital letters.

I. PENDAHULUAN
Bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam tataran
kehidupan bermasyarakat. Fungsi-fungsi bahasa tersebut, antara
lain adalah, (1) sebagai wahana komunikasi antara nggota
masyarakat, melalui bahasa anggota masyarakat mengomunikasikan
pendapat antarsesama, (2) sebagai penyimpan pengetahuan, dan
(3) sebagai cermin keadaan lingkungan sosial. Dengan fungsi-fungsi
semacam itu, dapat dikatakan bahwa selama manusia hidup, tidak
akan pernah lepas dari bahasa.

Pepatah mengatakan bahwa orang yang menguasai dunia adalah


orang yang menguasai informasi. Tampaknya, pepatah tersebut
merupakan ungkapan yang tepat karena memang informasi
merupakan sarana penting yang dapat menghubungkan manusia

*) Lydia Irawati, S.S adalah Staf Balai Bahasa Bandung, Dosen STIMIK AMIK Bandung

136 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
dalam berinteraksi, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini.
Informasi dapat diberikan dalam bentuk data, baik secara lisan
maupun tulisan.

Pada saat ini, komunikasi dilakukan melalui berbagai cara. Adanya


internet dan telepon tidak dipungkiri semakin memudahkan manusia
untuk melakukan komunikasi.. Kedua media tersebut merupakan
teknologi berbasis bahasa yang memiliki keunikan. Keunikannya
ialah jenis informasi yang diberikan harus singkat, tepat, dan mudah
dimengerti. Pada media chatting di internet informasi harus singkat,
tepat, dan tidak terlalu memakan waktu, sedangkan pada SMS
faktor karakter yang tersedia pada telepon selular juga sangat
menentukan.Untuk mengatasi hal tersebut, pemakai media
percakapan dan SMS cenderung menggunakan proses abreviasi
dalam mengirimkan pesan. Proses abreviasi adalah proses
pemendekan sebuah kata. Pemendekan kata itu di antaranya berupa
singkatan dan akronim.

Dalam Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2002: 16) dijelaskan


bahwa singkatan adalah bentuk yang dipendekkan, sedangkan
akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal,
gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata yang
diperlakukan sebagai kata.

Singkatan dan akronim memang sudah menggejala dalam seluruh


tatar kebahasaan di Indonesia. Bila kita perhatikan, hampir semua
nama departemen baik pemerintahan maupun swasta menggunakan
singkatan dan akronim ini. Misalnya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang disingkat menjadi P dan K (lebih disingkat menjadi
P D K) dan kini menjadi Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional)
atau Menteri Transmigrasi dan Permukiman Wilayah
(Mentranskimwil). Singkatan dan akronim ini kadang-kadang telah
menjadi sebuah kata yang lazim dipakai oleh masyarakat memakai
bahasa. Kata tilang yang semula berasal dari bukti pelanggaran,
dahulu adalah semacam surat teguran bagi pengemudi yang
melanggar aturan lalu lintas. Kini, kata itu telah mempunyai makna

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 137


Media Chatting dan SMS
yang lain. Jika kita melihat polisi sedang mengadakan operasi di
jalan, orang akan mengatakan bahwa sedang ada tilang. Makna tilang
berubah menjadi sebuah pemeriksaan/kegiatan rutin ataupun tidak
dari pihak kepolisian terhadap kelengkapan kendaraan dan
mengemudi. Singkatan dan akronim tersebut akan berkembang jika
hasil singkatan atau akronim tersebut banyak dipergunakan oleh
masyarakat bahasa.

1. Internet
Internet adalah jaringan luas dari komputer, yang lazim disebut
dengan worldwide network. Teknologi internet merupakan salah
satu teknologi yang sangat menunjang dalam pemberian
informasi. Saat ini perkembangan internet sangat pesat.
Aksesnya mudah didapat dan aplikasinya pun mudah digunakan
oleh pemakai yang tidak mengerti komputer sekali pun. Pemakai
dapat menggunakan fasilitas internet di rumah, yaitu dengan
fasilitas telepon yang ada. Selain itu, fasilitas internet mudah
didapat di kota-kota besar, seperti adanya warung internet
(warnet) yang marak di mana-mana.

Pemberian informasi dari internet dapat bermacam-macam,


contohnya fasilitas e-mail. Dalam bahasa Indonesia e-mail
(Electronic Mail) dipadankan dengan pos elektronik, lalu disingkat
dengan pos-el. Dengan pos-el memungkinkan dua orang atau
lebih berkomunikasi dalam bentuk surat menyurat, baik berupa
teks, gambar, foto, data, dll. Selain itu, masih ada fasilitas yang
lain yaitu mailing list (milis). Milis merupakan perluasan fasilitas
pos-el. Dengan milis pemakai dapat melakukan diskusi secara
bersama-sama dan memberikan saran pemecahan (brain
storming). Pos-el dan milis tidak dapat digunakan untuk
berinteraksi secara interaktif pada waktu yang sama.

Pemakai internet tampaknya lebih menyukai media interaktif.


Mereka menggunakan fasilitas news group. Fasilitas ini
memungkinkan pemakai berkomunikasi antara dua orang atau
lebih secara serempak dan dilakukan dalam waktu yang sama.

138 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
Komunikasi semacam ini disebut chatting ‘bercakap-cakap’,
‘mengobrol’. Fasilitas pertemuannya dinamakan konferensi.
Saat melakukan konferensi, pemakai dapat berinteraksi langsung
dengan menggunakan teks (kata-kata) dan dapat juga
menggunakan fasilitas multimedia. Dengan fasilitas tersebut,
selain membuat teks sebagai informasi, pemakai juga dapat
langsung melihat lawan bicaranya, yaitu dengan fasilitas kamera
(webcam). Selain kamera, ada fasilitas yang lain, yaitu fasilitas
untuk berbicara (voice) secara langsung. Fasilitas-fasilitas
tersebut dapat digunakan secara pribadi atau bersamaan.

Walaupun fasilitas yang diberikan internet sangat beragam,


fasilitas kamera dan bercakap-cakap secara langsung (voice)
kurang dimanfaatkan. Hal ini disebabkan oleh tidak semua
komputer dan pemakai mempunyai fasilitas kamera (webcam)
dan headphone. Keterbatasan itu membuat pemakai lebih sering
menggunakan teks sebagai sarana komunikasi.

Kata-kata yang digunakan pun ternyata berupa istilah, yang hanya


diketahui oleh pemakai sarana chatting di internet. Hal tersebut
tampak ketika pemakai berkomunikasi dengan seseorang pada
waktu chatting. Dalam ber-chatting pemakai memunculkan
identitasnya, baik yang asli maupun palsu. Berikut ini contoh
percakapan dua orang pemakai media chatting dengan identitas
(1) Jejaka-01 dan (2) Gadis-02.
Jejaka-01 : hi, how r u?
Gadis-02 : im fine, thx
Jejaka-01 : asl plz
Gadis-02 : 21/f/Ina
Jejaka-01 : oic, dr Indo jg, ya? PSSDMN?
Gadis-02 : Bdg
Jejaka-01 : Oh…Mjg Bdg… Kmh kbr bdg?

Saat memulai percakapan, pemakai (1) Jejaka-01 tidak


mengetahui siapa yang diajak bicara. Oleh karena itu, pemakai
(1) menggunakan bahasa Inggris agar dapat berkomunikasi

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 139


Media Chatting dan SMS
secara internasional. Setelah Jejaka-01 mengetahui identitas dari
lawan bicaranya (gadis-02), Jejaka-01 menggunakan bahasa
Indonesia bahkan kemudian dilanjutkan dengan bahasa Sunda
yang merupakan bahasa daerah di Bandung.

Bagi yang baru saja masuk ke media percakapan internet,


percakapan di atas membingungkan. Banyak kata yang tidak
dimengerti, misalnya asl, plz, dan oic. Bentuk tersebut
sebenarnya adalah kependekan dari kata-kata yang akan
digunakan. Maksud dari percakapan itu adalah sebagai berikut.
Jejaka-02 : hi, how r u?
hai, how are you ‘hai, apa kabar?’)
Gadis-01 : im 5n, thx
(I am fine, thanks ‘saya baik-baik saja, terima kasih’)
Jejaka-02 : asl plz
(Age, sex, location, please ‘permohonan saat
menanyakan umur, jenis kelamin, dan lokasi)
Gadis-01 : 21/f/Ina
(21, female, Indonesia ’21 tahun, perempuan, dari
Indonesia)
Jejaka-02 : oic, dr Indo jg, ya? PSSDMN?
(Oh, I see ‘oh, saya mengerti’ dari Indonesia juga,
ya? Posisi di mana?
Gadis-01 : Bdg
(Bandung)
Jejaka-02 : Oh, Mjg Bdg… Kmh kbr Bdg?
(Oh, Mojang Bandung. Kumaha kabar Bandung?)

Bentuk singkatan dari percakapan tersebut dikumpulkan,


kemudian diperoleh data yaitu kata-kata yang mengalami
abresiasi, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.
Singkatan dan akronim baik yang berasal dari bahasa Indonesia
maupun dari bahasa Inggris akan diuraikan berdasarkan bentuk
dan maknanya.

140 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
2. SMS (Short Message Service)
Media komunikasi yang lain ialah telepon selular (phone cell).
Dengan fasilitas yang diberikan pemberi jasa layanan (operator)
telepon selular, pemakai telepon tidak hanya dapat memberikan
informasi kepada lawan bicaranya, tetapi juga dapat
menggunakan fasilitas lain yang disediakan, misalnya SMS
(Short Message Service).

SMS merupakan layanan pemberian pesan singkat. Sesuai


dengan fungsinya, memberikan pesan-pesan singkat, bahasa
yang digunakan pun menjadi khas. Biasanya, penulisan kata
disesuaikan dengan banyaknya karakter huruf yang dapat ditulis
pada fasilitas telepon selular. Beragamnya jenis telepon selular
membuat pemakai SMS sendiri berusaha sehemat mungkin
menimbulkan berbagai kata-kata yang singkat namun masih
dapat dimengerti.

Seperti dalam media percakapan di internet, penulisan SMS


mempunyai pola-pola pembentukan tersendiri dalam rangka
kehematan karakter huruf. Kehematan penulisan kata merupakan
salah satu keunikan sendiri, sekaligus menimbulkan keambiguan.

Sebuah SMS menuliskan (1) Atikah skt gjl tipus.


Kalimat tersebut mempunyai makna lebih dari satu jika kita
tidak mengetahui kepanjangan singkatan atau akronim kata-
kata yang dituliskan. Kemungkinan makna kalimat yang akan di
dapat adalah sebagai berikut.
(1) Atikah skt gjl tipus.
(1a)Atikah sakit ginjal dan tipus.
(1b)Atikah sakit gejala tipus.

Informasi/pesan yang disampaikan menjadi beragam karena


bentukan singkatan yang dibuat menghasilkan keambiguan.

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 141


Media Chatting dan SMS
Pemakaian singkatan dan akronim di media percakapan (chatting)
dan SMS menarik untuk dibahas. Data yang akan diamati diambil
dan dikumpulkan dari media massa (harian umum Pikiran
Rakyat), SMS, dan komunikasi teks (chatting) di internet.

II. SINGKATAN DAN AKRONIM DALAM MEDIA


CHATTING DAN SMS
Akronim dan singkatan merupakan bagian dari proses abreviasi.
Istilah abreviasi yang dipakai oleh Kridalaksana (1996:159) adalah
proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau
kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata.

Dari pendapat tadi penulis menyimpulkan bahwa abreviasi dapat


berarti pemendekan bentuk sebagai pengganti kata atau frase dengan
cara menanggalkan satu atau beberapa bagian leksem. Proses
morfologis terjadi dari masukan (input) yang berupa leksem dan
keluaran (output) yang berupa kata.
Leksem proses morfologis kata

Kridalaksana (1996:162) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk


kependekan adalah (1) singkatan, (2) penggalan, (3) akronim, (4)
kontraksi, dan (5) lambang huruf. Dalam makalah ini bentuk
kependekan (abreviasi) yang akan dibahas dibatasi hanya singkatan
dan akronim. Kridalaksana (1996:162) menyebutkan bahwa singkatan
adalah satu di antara hasil pemendekan yang berupa huruf atau
gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang
tidak dieja huruf demi huruf.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1994:945) singkatan


adalah (1) hasil menyingkat (memendekkan) yang berupa huruf atau
gabungan huruf (misalnya, DPR, KKN, yth.,dsb., dan hlm.), (2)
kependekan; ringkasan. Dengan demikian, semua kependekan kata
atau frase itu dapat digolongkan ke dalam singkatan. Singkatan juga
berarti hasil menyingkat (memendekkan) sehingga akronim
merupakan salah satu bentuk singkatan. Dalam Kamus Besar

142 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
Bahasa Indonesia (KBBI, 1994:18), akronim adalah kependekan yang
berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis
dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (misalnya, mayjen singkatan
dari mayor jenderal, rudal singkatan dari peluru kendali, dan sidak
singkatan dari inspeksi mendadak).

Kridalaksana (1996:162) mendefinisikan akronim sebagai proses


pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian
lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata. Akronim
dianggap sebagai suatu kata contohnya, jika ada seseorang yang
mengucapkan paskibraka, orang sudah mengetahui maknanya.

Dapat disimpulkan bahwa singkatan dan akronim adalah kependekan


dari kata atau gabungan huruf. Perbedaan antara singkatan dan
akronim adalah bentuk singkatan dilafalkan huruf per huruf,
sedangkan akronim dilafalkan sebagai satu kata.

1. Syarat Pembentukan Singkatan dan Akronim


Singkatan digunakan untuk meringkas suatu gagasan dalam
berkomunikasi. Penggunaan singkatan dapat menambah kosa
kata. Akan tetapi, banyak singkatan yang dihasilkan tidak
memperhatikan proses pembentukannya dan tidak melihat
hubungan antara singkatan dengan kepanjangannya. Selain itu,
singkatan dapat juga menimbulkan keambiguan (banyak makna).

Singkatan-singkatan dibentuk lebih banyak oleh faktor pragmatik


daripada fonologis. Jika pembentukan singkatan memperhatikan
kaidah, penyimpangan bentuk singkatan tidak banyak terjadi.

Menurut Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2002: 16), jika


diperlukan membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-
syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi
jumlah suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia. (2)
Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi
vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia
yang lazim.

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 143


Media Chatting dan SMS
Menurut Amran Tasai, ada sembilan pola singkatan. Sebagai
berikut.
1. Pola pertama
Singkatan ini terdiri atas huruf besar. Huruf besar yang
dijadikan pola singkatan tersebut adalah huruf-huruf awal
kata. Singkatan seperti ini adalah singkatan yang umum
dipakai baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
asing. Pada singkatan jenis ini tidak diperlukan tanda titik,
misalnya KKN (Kuliah Kerja Nyata), PT (Perusahaan
Terbatas).

2. Pola Kedua
Pola kedua adalah akronim yang unsur-unsurnya terdiri atas
huruf-huruf besar. Huruf-huruf besar yang membentuknya
terdiri atas huruf-huruf awal kata yang membentuknya,
misalnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia),
LAN (Lembaga Administrasi Negara), ASI (Air Susu Ibu).

3. Pola ketiga
Pola ketiga adalah singkatan yang terdiri atas huruf-huruf
kecil. Singkatan tersebut berasal dari huruf-huruf awal kata.
Dalam pembentukannya kita harus menggunakan tanda titik
di antara huruf-huruf pembentuk singkatan itu, misalnya: a.n.
(atas nama), u.b. (untuk beliau), u.p. (untuk perhatian).

4. Pola Keempat
Pola keempat adalah singkatan yang terdiri atas huruf–huruf
kecil, yang dibentuk dari huruf awal kata yang
membentuknya. Singkatan itu terdiri atas tiga huruf kecil
dan dibubuhi tanda titik pada akhir singkatan, misalnya dll.
(dan lain-lain), dsb. (dan sebagainya).

5. Pola Kelima
Pola kelima adalah singkatan yang berupa akronim dari nama
badan atau nama diri. Singkatan ini terdiri atas huruf-huruf

144 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
bagian kata yang membentuk singkatan itu, bukan hanya
huruf awal kata. Singkatan ini dilafalkan sebagai sebuah kata,
sehingga kita sebut akronim. Huruf awal akronim harus ditulis
dengan huruf besar, misalnya: Bappenas (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional).

6. Pola Keenam
Akronim pada pola keenam ini adalah akronim yang
seluruhnya ditulis dengan huruf kecil, misalnya: tilang (bukti
pelanggaran), rudal (peluru kendali).

7. Pola Ketujuh
Pola ketujuh adalah singkatan pada gelar kesarjanaan dan
sapaan. Singkatan pada pola ketujuh ini merupakan
singkatan yang khusus karena wujudnya dapat berupa
singkatan yang terdiri atas huruf-huruf awal kata dan dapat
pula berbentuk akronnim seperti pola kelima. Yang
membedakannya adalah pada pola ketujuh ada penggunaan
tanda baca titik. Singkatan pada pola ketujuh ini
menggunakan tanda titik pada setiap huruf besar hasil
singkatan, misalnya S.H. (Sarjana Hukum), M.Hum (Magister
Humaniora).

8. Pola Kedelapan
Pola kedelapan adalah pola singkatan yang berhubungan
dengan lambang kimia, ukuran, takaran, timbangan, dan
besaran.Singkatan pada pola ini tidak dibenarkan untuk
menggunakan tanda titik, misalnya Rp (rupiah), cm
(sentimeter), kg (kilogram).

9. Pola Kesembilan
Singkatan yang termasuk dalam pola kesembilan ini disebut
sebagai “bentuk singkat”. Sebagian besar kata-kata berasal
dari bahasa asing. Dalam bentuk singkat ini tidak diperlukan
tanda titik, misalnya lab (laboratorium), Café (cafetaria),
memo (memorandum).

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 145


Media Chatting dan SMS
2. Pemakaian Singkatan dan Akronim pada Sarana Chatting
di Internet dan SMS
Singkatan pada media Chatting dan SMS hampir serupa. Di
internet percakapan dilakukan secara global. Pada awalnya
pemakai tidak mengetahui identitas seseorang secara pasti. Hal
ini dimungkinkan karena pemakai dapat menggunakan berbagai
identitas yang berbeda. Selain itu, pemakai tidak mengetahui
siapa yang dituju sebelum lawan bicara kita memberi data
pribadinya dengan jelas. Karena bersifat global, bahasa yang
digunakan tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia.

Bahasa Inggris yang merupakan bahasa pergaulan internasional


menjadi bahasa yang mau tidak mau harus dimengerti oleh
pemakai dunia chatting. Oleh karena itu, pemakai sarana
percakapan ini harus orang yang multibahasa. Apalagi, jika si
pemakai mencoba untuk memasuki wilayah dengan bahasa yang
berbeda. Cara memasuki kelompok bahasa yang berbeda ini
akan mudah didapat jika masuk ke ruangan (room) yang
disediakan untuk berinteraksi. Keanekaragam ruangan dapat
dilihat dari wilayah, jenis keperluan (komputer dan internet,
keagamaan, dll). Wilayah (regional) dapat dimulai dari negara
yang dituju, contohnya ruangan dengan wilayah (regional)
Indonesia. Indonesia terbagi atas beberapa ruangan, misalnya
Jakarta Global Chat, Nusantara Global Chat, Bandung, Bali,
Jogja. Tiap kota mempunyai channel untuk memudahkan
memilih lokasi, tujuan, dan lawan bicaranya. Pengguna sarana
chatting ini dengan mudah masuk ke negara lain untuk mengetahui
bahasa, adat, dan budaya. Untuk masuk ke wilayah lain, pemakai
harus menguasai bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

Dalam SMS pengguna sudah mengetahui siapa orang yang dituju,


sehingga bahasa yang akan digunakan pun sudah dapat
diketahui, termasuk dalam pemakaian ragam bahasa. Jika akan
meng-SMS seseorang yang kedudukannya lebih tinggi, tentu
saja ragam bahasa yang dipergunakan cenderung yang resmi

146 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
dan santun. Berbeda apabila kita akan berkomunikasi SMS
dengan teman sebaya, bahasa yang dipergunakan cenderung
santai dan tidak resmi.

Untuk pembahasan kali ini, kita memfokuskan pada masalah


akronim dan singkatan yang dipergunakan oleh pengguna sarana
percakapan. Berikut ini data mengenai singkatan dan akronim
dalam media chatting.

3. Pemakaian Singkatan pada Media Chatting dan SMS


1) Singkatan yang Menggunakan Huruf Awal Kapital
Singkatan berikut ini sesuai dengan pola pertama, dibentuk
dari huruf awal pada sebuah kata. Penulisan singkatan itu
harus menggunakan huruf kapital dan tidak disertai tanda
titik.
a. ASL ‘Age Sex Location’
b. ABG ‘Anak Baru Gede’
c. ACK ‘Aku Cinta Kamu’
d. ASK ‘Aku Suka Kamu’
e. BBG ‘Berangkat Bareng Gue’
f. BF ‘Boy Friend’
g. BMW ‘Be My Wife’ (Jadilah istriku)
h. DLK ‘Dinas Luar Kota’
i. EGP ‘Emang Gue Pikirin’
j. GF ‘Girl Friend’
k. JJ ‘ Jalan-Jalan’
l. KDL ‘Kasihan Deh Lu’
m. JAP ‘Jadikan Aku Pacarmu’
n. OL ‘On line’
o. PM ‘Private Message’ (Pesan Perorangan)

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 147


Media Chatting dan SMS
2) Bentuk Singkatan
Bentuk singkatan ini disebut juga pemendekan kata. Dalam
istilah komputer, kata yang disingkat semacam ini banyak
ditemukan, misalnya disk untuk disket.
a. Perpus ‘Perpustakaan’
b. Co ‘Cowok/Laki-laki’
c. Ce ‘Cewek/Perempuan’
d. Ker ‘Kerja’
e. Kul ‘Kuliah’
f. Pi ‘Pipis’
g. Ok ‘Okay’
h. Dir ‘Directory’
i. Ok ‘Okay’

3) Angka sebagai Pengganti Huruf atau Kata


Penggunaan angka untuk menggantikan sebuah kata atau
suku kata ini dipilih berdasarkan kesesuaian bunyi dengan
kata atau suku kata yang digantikannya. Penyingkatan
semacam ini merupakan pola baru dalam proses
penyingkatan sebuah kata. Hal tersebut tampak pada contoh
berikut ini.
a. 1 ‘one, wan’ (satu, wan)
b. 2 ‘two, too, to’ (dua, juga, kepada)
c. 4 ‘four, for’ (empat, untuk)

4) Gabungan Huruf dan Angka


Singkatan berikut ini dibentuk dari gabungan antara huruf
dan angka. Angka yang dipilih adalah angka yang memiliki
lafal yang sama dengan kata atau suku kata yang
digantikannya. Proses penyingkatan semacam ini kerap
menimbulkan kebingungan karena orang harus menebak-
nebak terlebih dahulu sebelum mengetahui makna
sebenarnya. Hal itu lebih tepat disebut sebagai permainan
bahasa yang dipergunakan oleh pemakai media chatting dan
SMS.

148 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
a. U2 ‘you too’(kamu juga)
b. B4 ‘before’ (sebelum)
c. G8 ‘Great’ (bagus)
d. 5n ‘Fine’ (baik)
e. Se9 ‘Senin’
f. G2 / BG2 ‘Gitu / begitu’
g. B4N ‘Bye For Now’ (Sampai jumpa)
h. 2morow ‘tommorow’ (besok)
i. L8 ‘Late’ (terlambat)
j. L8r ‘Later’ (nanti)
k. G9S ‘Genius’
l. 10tu ‘tentu’
m. 1 st ‘first’ (satu)
n. U1 ‘u first / kamu pertama’

5) Singkatan yang Mengubah Beberapa Huruf


Singkatan semacam ini melesapkan huruf-huruf yang
membentuknya atau mengubah kata atau suku kata menjadi
sebuah huruf yang lafalnya mirip. Kata yang dibentuk menjadi
lebih singkat.
a. Plz “Please’
b. thx ‘Thanks’
c. miz ‘miss’
d. GPP ‘ga pa pa’ (Nggak/Tidak apa-apa)
e. ILU ‘I Love U’
f. IWU ‘ I Owe You’
g. QT ‘kita’
h. GW ‘Gue’
i. C ‘see’ (lihat)
j. D ‘The’ (partikel dalam bahasa Inggris)
k. N ‘and’ (dan)
l. B ‘be’ (jadi)
m. R (are)
n. Yr (your)
o. Urs (yours)
p. Mo (mau)
q. Ga (nggak / tidak)

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 149


Media Chatting dan SMS
6) Singkatan yang menghilangkan unsur vokal dalam sebuah
kata
Bentuk singkatan dengan pola penghilangan vokallah yang
paling banyak digunakan pengguna media chatting dan SMS.
Di samping mudah menyingkatnya, hal ini disebabkan karena
hampir semua kata dapat disingkat menjadi bentukan
semacam ini. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan
keambiguan. Contohnya cr adalah singkatan dari cara, cari,
dan ciri.
a. BHG ‘Bohong’
b. BGT ‘Banget’
c. BLG ‘ Bilang’
d. BLM ‘Belum’
e. BR ‘baru’
f. BRS ‘beres’
g. CKP ‘Cakep’
h. JD ‘jadi’
i. JG ‘juga’
j. Jgn ‘Jangan’
k. MCT BGT ‘Macet Banget’
l. MSULkeCRZ ‘Miss You Like Crazy’
m. PJM ‘Pinjam’
n. PGL ‘Pulang’
o. PSSDMN ‘Posisi Dimana?’
p. SKT ‘Sakit’
q. BGN ‘Bangun’
r. BS ‘Bisa’
s. CR ‘Cari’
t. KM ‘Kamu’

4. Pemakaian Akronim
1) Akronim yang Berasal dari Awal Huruf Setiap Kata
Pemendekan huruf awal dari setiap kata yang dilafalkan
sebagai sebuah kata disebut akronim. Jenis akronim tersebut
hanya sedikit ditemukan dalam data media chatting dan SMS.

150 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
Berikut ini adalah contohnya.
a. ASAP ‘As Soon As Possible’ (Secepat mungkin)
b. JAP ‘Jadikan Aku Pacarmu’
c. LOL ‘Laugh of Language’ ‘tertawa terbahak-bahak’

2) Akronim yang Ditulis dengan Huruf Kecil


Akronim ini dari penggalan suku kata atau penggalan satu
huruf saja. Pemendekan ini dinamakan akronim karena
dilafalkan sebagai sebuah kata. Penulisan singkatan
semacam ini sebaiknya dituliskan dengan huruf kecil semua.
Berikut ini adalah contohnya.
a. asbun ‘asal bunyi’
b. asal ‘asli tapi palsu’
c. nomat ‘nonton hemat’
d. boljug ‘boleh juga’
e. borjug ‘borjuis juga’
f. dores ‘doa restu’
g. jaim ‘jaga image’
h. titi dj ‘hati-hati di jalan’.

.
III. KESIMPULAN
Singkatan dan akronim dibentuk lebih sering oleh faktor pragmatik
daripada fonologis. Oleh karena itu, pemakai bahasa sangat berperan
dalam pembentukan singkatan tersebut.

Pembentukan singkatan dan akronim pada media chatting dan SMS


di samping menggunakan pola yang sudah ada juga menggunakan
pola-pola baru yang belum ada dalam pola pembentukan singkatan
bahasa Indonesia. Pola yang sudah ada adalah (1) Singkatan yang
menggunakan huruf awal kapital, (2) bentuk singkat dari sebuah kata,
(3) akronim yang unsur-unsurnya terdiri atas huruf-huruf besar dan
berasal dari huruf-huruf awal kata yang membentuknya, (4) akronim
yang seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 151


Media Chatting dan SMS
Pola baru yaitu (1) singkatan dari angka sebagai pengganti huruf
atau kata, (2) singkatan dari gabungan huruf dan angka, (3) singkatan
yang mengubah beberapa huruf, (4) singkatan yang menghilangkan
unsur vokal sebuah kata.

Pola baru tersebut kemungkinan akan menjadi pola baru dalam


pembentukan singkatan dalam bahasa Indonesia jika pemakai
bahasa terus mempertahankannya, singkatan tersebut akan dianggap
lazim oleh masyarakat bahasa.

Singkatan yang menghilangkan unsur vokal merupakan singkatan


yang paling sering dipergunakan oleh pemakai SMS. Hal ini terjadi
karena pada umumnya hampir semua kata dapat dibentuk dengan
singkatan yang menghilangkan unsur vokal. Hal ini memudahkan
pemakai SMS untuk menyampaikan pesan dengan singkat. Namun,
tentu saja hal ini dapat menimbulkan keambiguan. Keambiguan
tersebut terjadi karena singkatan tersebut mengandung beberapa
makna. Hal itu akan mempersulit pemahaman terhadap makna
sebenarnya.

Untuk menghindari keambiguan itu, sebaiknya pemakai menghindari


penyingkatan kata-kata yang dapat menimbulkan keambiguan.
Dengan demikian komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang
dipahami kedua pihak.

152 Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam Website: http://www.pustekkom.go.id


Media Chatting dan SMS
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa.
Bandung: Penerbit Angkasa.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimukti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pateda, Mansyur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Pardosi, Mico. 2000. Uraian Lengkap tentang Internet. Surabaya:
Penerbit Indah.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2002. Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Tasai, Amran. 1997. “Singkatan dan Akronim dalam Bahasa
Indonesia” Dalam Majalah Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta: Depdiknas.

‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹‹

Lydia Irawati: Singkatan dan Akronim dalam No. 13/VII/TEKNODIK/DESEMBER/2003 153


Media Chatting dan SMS

You might also like