Professional Documents
Culture Documents
3
Kafrawi, Pembaharuan SistimPendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan
Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta : Cemara Indah, 1978), h. 17. Syaikh
Mawlana Malik Ibrahim dipandang sebagai Spiritual Father Wali Songo, gurunya guru tradisi
pesantren di tanah Jawa (Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta : Dharma Bhakti,
1399 H., h. 52. )
4
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren (Jakarta : Dharma Bhakti, 1982), h. 25.
5
Abu Bakar Atjeh, seperti dinukil Marwan, melukiskan bahwa pesantren Giri Kedaton
sebagai pesantren yang termasyhur di wilayah Jawa Timur. Para santri yang datang untuk belajar di
sana berasal dari daerah yang sangat beragam seperti : Madura, Lombok, Bima, Makasar, dan Ternate
(Halmahera), selain daeri daerah-daerah di Jawa Timur sendiri. Sampai dengan abad ke-17 M.
pesantren ini masih tetapharum dan didatangi oleh para santri untuk menimba ilmu agama Islam di
sana. (Marwan Saridjo, h. 25).
3
6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Dharma Bhakti, 1982),
h. 257. Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran Ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salif
ortodoks. Ia menguasai ilmu fiqh, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Ajaran Sunan
Bonang berintikan pada filsafat cinta. 9Mastuki, Intelektualisme Pesantren, hal. 24.)
7
Marwan Saridjo Op. Cit., h. 27.
8
Abdullah bin Nuh, Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Masa Kejayaan Kesultanan
Banten, (Bogor, 1961), hal. 11-12.
9
Mahmud Yunus, Op. Cit., h. h. 257.
10
Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta : Ikhtiar Baru, 1993).
4
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta : LP3ES, 1982), h. 85.
19
Martin Van Buinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung, Mizan, 1999),
hal. 32.
20
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya,
1992), h. 194. Pendirian pesantren ini dipandang sebagai upaya penting komunitas pesantren karena
mulai memperlihatkan sikap pesantren menentang hegemoni penjajah. Boleh dijuga diasumsikan
motivasi politik yang ditujukan Pesantren Tebuireng adalah manifestasi kesadaran diri dan percaya diri
paling tertinggi dari kaum pesantren. (Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, h. 20).
21
Abdurrahman Wahid, “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi”, dalam Alwi Shihab,
Islam Sufistik, (Bandung: Mizan, 2001), hal. xxiv-xxv.
7
22
Abdurrahman Wahid, “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi”, dalam Alwi Shihab,
Islam Sufistik, (Bandung: Mizan, 2001), hal. xxiii.
23
Abdurrahman Wahid, “Martin Van Bruinessen dan Pencariannya”, dalam Martin Van
Bruinessen, Ikitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hal. 13.
24
Martin Van Bruinessen, Ikitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hal. 190.
25
Nurcholis Madjid, “ Tasauf dan Pesantren”, dalam, Dawam Rahardjo, Pesantren dan
Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1988, hal. 105.
8
30
Madjid, Nurcholis, “Keilmuan Pesantren Antara Materi dan Metodologi”, dalam, Majalah
PESANTREN, No. Perdana, Oktober/Desember, 1984, hal. 104.
31
Martin van Bruinessen ,Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung, Mizan, 1994, hal.
188.
32
Shihab, Ali, Islam Sufistik, Bandung, Mizan, 2001, hal. 32.
10
Sakandari (w. 796 H./1394 M.) yakni al-Hikam dan Hidayat al-
Atqiya’ ila Thariq al-Awliya’ karya Zain al-Din al-Malibari (w. 914
M./1508 M.).36 Diantara kitab-kitab fiqh ibadah yang diajarkan
adalah Safinah al-Najah, Sullam al-Tawfiq, Masail al-Sittin, dan
Minhaj al-Qowim.37
Secara edukasional, peran kitab-kitab klasik adalah
memberikan infromasi kepada para santri bukan hanya mengenai
warisan yursiprudensi di masa lampau atau tentang jalan terang
untuk mencapai hakikat ubudiyah kepada Tuhan, namun juga
mengenai peran-peran kehidupan di masa depan bagi suatu
masyarakat. Didalam pendidikan pesantren peran ganda kitab-kitab
klasik itu adalah memelihara warisan masa lalu dan legitimasi bagi
para santri dalamkehidupan masyarakat di masa depan.
Kehadiran tasawuf memiliki makna korektif terhadap
ideologisasi dan formalisasi Islam yang dilakukan masing-masing
kaum modernis Islam dan fuqaha’. Alam pikiran fuqaha’ lebih
menekankan agama sebagai hukum formal dan kaum modernnis
mengembangkannya menjadi semacam ideologi. Kaum modernis
dan fuqaha’ mendekati Tuhan secara kalkulatif rasional, sedangkan
kaum sufi mendekati Tuhan dengan menggunakan bahasa cinta
dan bersifat intuitif. Pola keberagamaan ahli fikih dan kaum
modernis terutama diwujudkan dalam bentuk ketaatan hamba
kepada tuannya. Konstruk keberagamaan seperti ini kurang
memberi kemungkinan untuk menghayati dimensi kedalaman dari
agama (Islam).
36
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta,
Bulan Bintang, 1984, hal. 157.
37
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, hal. 135.
12
38
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogjakarta, LKiS, 2001, hal. 167.
14
MENGAPA FIKIH-SUFISTIK ?
39
Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan,hal. 27.
15
40
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, h. 36.
16
41
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hal. 20.
17
42
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, hal. 30-31.
43
Abdurrahma Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta, , 1309 H., hal. 169.. Di kalangan
pesantren terkenal prinsip pergaulan bahwa, “orang harus mendahulukan kepentingan orang lain di
atas kepentigan diri sendiri”, “orang harus mendahulukan kewajiban diri sendiri, sebelum orang lain”,
dan “memelihara hal-hal yang baik yang ada, sambil mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik”,
dan seterusnya.
44
Mastuhu, Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,, hal. 148.
18
45
Drwews, G.W.J., An Early Javanese Code of Muslim Ethics, ( the Hague, 1978), hal. 19.
20
46
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1399), hal. 67.
21
47
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1399), hal. 12.
22